absorbsi prinsip ”rebus sic stantibus” dalam kerangka

21
[UNIVERSITAS MATARAM] [ J J A A T T I I S S W W A A R R A A [Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 71 ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PERJANJIAN NASIONAL Dwi Prilmilono Adi 1 Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK Prinsip ”Rebus Sic Stantibus” merupakan prinsip yang belum populer dalam sistem hukum civil law karena ini diambil dari pinsip hukum Anglo Saxon. Secara teroritis pelaksanaan perjanjian pada hakekatnya tunduk pada prinsip pacta sunt servanda. Dalam perkembangannya prinsip pacta sunt servanda memperoleh tantangan dari mereka yang berargumentasi bahwa prinsip tersebut hanya berlaku manakala tidak ada perubahan keadaan yang radikal terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut. Doktrin rebus sic stantibus atau dikenal juga dengan istilah clausula rebus sic stantibus adalah suatu perubahan keadaan dikarenakan oleh kesulitan yang sangat ekstrim bagi salah satu pihak untuk memenuhi kontrak dan bukan dikarenakan ketidakmungkinan kontrak tersebut dilaksanakan dan oleh sebab itu maka harus dilakukan renegosiasi terhadap ketentuan dan syarat-syarat dalam kontrak. Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui bagaimana karakteristik dari Perubahan Keadaan (Rebus Sic Stantibus) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sebagai Pembeda Dengan Keadaan Memaksa (Force Majeure). Metode penelitian menggunakan yuridis normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Hasil dalam penelitian tersebut bahwa Karakteristik dari Perubahan Keadaan (Rebus Sic Stantibus) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sebagai Pembeda Dengan Keadaan Memaksa (Force Majeure) yaitu bahwa dalam force majeure pelaksanaan perjanjian benar-benar tidak mungkin dilaksanakan (impossible) dikarenakan alasan secara fisik atau secara hukum, dengan mengabaikan kesulitan ekonomi atau ketidakpastian- ketidakpastian ekonomi (economic imposibility), sedangkan dalam rebus sic stantibus, alasan tidak dilaksanakan perjanjian tersebut adalah karena pelaksanaan perjanjian tersebut sangat sulit (onerous), jadi termasuk juga economic impossibility. Jadi, tingkat kesulitan performa rebus sic stantibus di bawah force majeure. Kata Kunci : Rebus Sic Statibus, Hukum Perjanjian ABSTRACT Rebus Sic Stantibus principle is an unpopular principle in civil law system because this principle is taken by Common Law principle. In theory, contractual implementation, in the essence, submit to pacta sunt servanda principle. Pacta sunt servanda principle, in the contemporary, has a challenge from they who argue the principle prevail only when there is no radically change condition in the contract. Rebus Sic Stantibus doctrine or it is well known with clausula Rebus Sic Stantibus is a radically change condition because extrime trouble for each other party to fulfill the contract and imposibble the contract to be implemented. Thus, it must be renegotiate to requirement in the contract. The purpose of this research is to know what the change condition charateristic (rebus sic stantibus) in the implementation of contract as a diffrentiation with state of emergency (force majeure). Research method is juridical normative where a legal reserach procedure to discover truth base on logical law from 1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 71

ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKAPEMBAHARUAN HUKUM PERJANJIAN NASIONAL

Dwi Prilmilono Adi1

Fakultas Hukum Universitas Mataram

ABSTRAK

Prinsip ”Rebus Sic Stantibus” merupakan prinsip yang belum populer dalam sistemhukum civil law karena ini diambil dari pinsip hukum Anglo Saxon. Secara teroritispelaksanaan perjanjian pada hakekatnya tunduk pada prinsip pacta sunt servanda. Dalamperkembangannya prinsip pacta sunt servanda memperoleh tantangan dari mereka yangberargumentasi bahwa prinsip tersebut hanya berlaku manakala tidak ada perubahan keadaanyang radikal terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut. Doktrin rebus sic stantibus ataudikenal juga dengan istilah clausula rebus sic stantibus adalah suatu perubahan keadaandikarenakan oleh kesulitan yang sangat ekstrim bagi salah satu pihak untuk memenuhikontrak dan bukan dikarenakan ketidakmungkinan kontrak tersebut dilaksanakan dan olehsebab itu maka harus dilakukan renegosiasi terhadap ketentuan dan syarat-syarat dalamkontrak. Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui bagaimana karakteristik dari PerubahanKeadaan (Rebus Sic Stantibus) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sebagai Pembeda DenganKeadaan Memaksa (Force Majeure). Metode penelitian menggunakan yuridis normatif adalahsuatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuanhukum dari sisi normatifnya. Hasil dalam penelitian tersebut bahwa Karakteristik dariPerubahan Keadaan (Rebus Sic Stantibus) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sebagai PembedaDengan Keadaan Memaksa (Force Majeure) yaitu bahwa dalam force majeure pelaksanaanperjanjian benar-benar tidak mungkin dilaksanakan (impossible) dikarenakan alasan secarafisik atau secara hukum, dengan mengabaikan kesulitan ekonomi atau ketidakpastian-ketidakpastian ekonomi (economic imposibility), sedangkan dalam rebus sic stantibus, alasantidak dilaksanakan perjanjian tersebut adalah karena pelaksanaan perjanjian tersebut sangatsulit (onerous), jadi termasuk juga economic impossibility. Jadi, tingkat kesulitan performarebus sic stantibus di bawah force majeure.

Kata Kunci : Rebus Sic Statibus, Hukum Perjanjian

ABSTRACT

Rebus Sic Stantibus principle is an unpopular principle in civil law system because thisprinciple is taken by Common Law principle. In theory, contractual implementation, in theessence, submit to pacta sunt servanda principle. Pacta sunt servanda principle, in thecontemporary, has a challenge from they who argue the principle prevail only when there isno radically change condition in the contract. Rebus Sic Stantibus doctrine or it is well knownwith clausula Rebus Sic Stantibus is a radically change condition because extrime trouble foreach other party to fulfill the contract and imposibble the contract to be implemented. Thus, itmust be renegotiate to requirement in the contract. The purpose of this research is to knowwhat the change condition charateristic (rebus sic stantibus) in the implementation of contractas a diffrentiation with state of emergency (force majeure). Research method is juridicalnormative where a legal reserach procedure to discover truth base on logical law from

1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram

Page 2: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

72 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

nomative side. The result of this research that the change condition charateristic (Rebus SicStantibus) in the implementation of contract as a diffrentiation with state of emergency (ForceMajeure) is in the implementation of contract imposibble to do it because of the legal reason,avoid economic trouble or economic imposibility, whereas in Rebus Sic Stantibus, the reasonwhy the contract is not implemented because the contractual implementation is too difficultto do it, so include economic imposibility. Therefore, difficult level of Rebus Sic Stantibus isunder Force Majeure.

Key word: Rebus Sic Stantibus, Contractual Law

Pokok Muatan

ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKAPEMBAHARUAN HUKUM PERJANJIAN NASIONAL ................................................... 71

A. PENDAHULUAN............................................................................................................ 72B. PEMBAHASAN .............................................................................................................. 75

1. Konsep Pembaharuan Hukum Perjanjian Nasional..................................................... 75

2. Konsep Rebus Sic Stantibus ........................................................................................ 79

3. Karakteristik dari Perubahan Keadaan (Rebus Sic Stantibus) Dalam PelaksanaanPerjanjian Sebagai Pembeda Dengan Keadaan Memaksa (Force Majeure)............... 83

4. Prinsip Hukum Akibat Terjadinya Perubahan Keadaan (Rebus Sic Stantibus)Pada Pelaksanaan Perjanjian ....................................................................................... 85

C. SIMPULAN ..................................................................................................................... 89PUSTAKA ............................................................................................................................. 20

A. PENDAHULUAN

Dewasa ini, dengan berkembangnyatransaksi bisnis modern, kebutuhan hukumdan khususnya hukum kontrak1 menjadisemakin nyata. David Reitzel dalambukunya Contemporary Bussines Law:Principle and Cases sebagaimana yangdikutip Huala Adolf2 berpendapat bahwakontrak adalah salah satu ”lembagahukum” yang paling penting di dalamtransaksi ekonomi di masyarakat.Selanjutnya P.S. Atiyah dalam bukunya AnIntroduction to the Law of Contract yang

1 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian (PrinsipHukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah),LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2009. Istilah kontrak berasaldari “contract” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis“contrat” dan dalam bahasa Belanda “overeenkomst” sekalipunkadang-kadang digunakan istilah “contract”. Menurut PeterMahmud Marzuki sebagaimana dikutip Yohanes SogarSimamora, Istilah kontrak lebih menunjuk pada nuansa bisnisatau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk. h. 30

2 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum KontrakInternasional, Alumni, Bandung, 2008. h. 2

dikutip Huala Adolf3 juga berpendapat,peran hukum kontrak dewasa ini adalahsentral. Peran ini didasarkan pada duaalasan sebagai berikut :

dengan semakin meningkatnya produkyang dihasilkan pekerja mengakibatkansemakin meningkatnya peralihanproduk tersebut dari seseorang kepadaorang lain4;

dengan meningkatnya peran lembagapembiayaan yang semakin mendorongmanusia untuk melakukan transaksibisnis, maka peran kontrak tersebutsemakin dirasakan5.

Dengan demikian menjadi semakinjelas bahwasanya arti pentingnya kontrak6

3 Ibid.4 Ibid.5 Ibid.6 Op. Cit. Esensi kontrak pada dasarnya adalah

kewajiban, hal mana juga jelas dalam kata-kata Subekti :“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji

Page 3: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 73

sebagai salah satu institusi hukum dalamtransaksi ekonomi masyarakat karenaperalihan produk dari satu pihak kepadapihak lain dan tumbuhnya lembagapembiayaan yang memicu kebutuhan akankeberadaan hukum perjanjian.

Pada hakikatnya pembuatan kontrakmerupakan salah satu sistem perbuatanhukum dalam hubungan keperdataan.Kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, sebabpembuatan kontrak terdapat unsur prosesseperti pada pembuatan undang-undang.L.J. Apeldoorn7 menyatakan bahwaperjanjian dikelompokkan ke dalam faktoryang membantu pembentukan hukum.Oleh karena itu, dalam beberapa haltertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan per-janjian karena keduanya memiliki sifatyang sama, yaitu mengikat. Hingga batas-batas tertentu, para pihak dalam suatuperjanjian atau kontrak bertindak sepertipembentuk undang-undang, yaitu meng-ikatkan diri diantara mereka sendiri.8

Perbedaannya adalah jika perjanjianyang akan terikat yaitu para pihak yangmembuatnya, sedangkan dalam undang-undang yang terikat adalah semua warganegara. Oleh karena itu, Pasal 1338 BWmuncul kalimat yang menyatakan :”Semua perjanjian yang dibuat secara sahberlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya”. Dalammengadakan perjanjian, para pihakmelakukan perikatan secara konkrit,sedangkan apa yang dilakukan pembuatundang-undang pada umumnya mengaturperbuatan yang bersifat abstrak.9

kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanjiuntuk melaksanakan sesuatu hal”. h. 31

7 Taryana Soenandar. h. 178 Ibid.9 Ibid. Perbedaan pembuatan kontrak dengan pembuatan

undang-undang adalah kontrak didasarkan pada hasil negoisasiantara para pihak berdasarkan pertimbangan ekonomi atau bisnisyang hasilnya hanya mengikat para pihak saja. Adapun dalampembuatan undang-undang sebagai hasil perdebatan dankeputusan politik yang hasilnya berupa undang-undang yangakan mengikat semua warga negara. Namun demikian pada

Dengan demikian maka perjanjiandapat dianalogikan sebagai proses pem-buatan undang-undang dalam pengertianmikro.

Bentuk kedua dari suatu transaksiyang disebut dengan istilah kontrak padahakikatnya adalah transaksi hukum yangbersifat hukum perdata (legal transactionof civil law). Kontrak semata-mata adalahsuatu pernyataan kehendak dari dua ataulebih individu10. Pernyataan ini merupakansyarat yang harus ada. Tanpa adanyapernyataan ini maka kontrak yang dibuattidak dapat ada atau dikuatkan oleh suatuprosedur hukum11. Pernyataan tersebutbaru akan mengikat jika ditujukan kepadapihak lain dan pihak lain yang dimaksudmenyatakan menerima12. Tindakan duapihak ini sebagai transaksi hukum duapihak (two-sided legal transaction)13.

Dilihat dari tahapannya, pembuatankontrak melewati 3 (tiga) tahap, yaitunegosiasi (negosiation), pembuatan per-janjian (formation of contract), danpelaksanaan perjanjian (performance ofcontract).14 Kedua belah pihak harusmemenuhi syarat untuk menjaminkeabsahan (validitas) dalam menutupperjanjian.

Dalam pembuatan kontrak ada duapihak atau lebih yang bernegoisasi untukmembuat seperangkat aturan yang

hakikatnya ada persamaan-persamaan yang penting, yaitu (a)kehendak dari berbagai pihak yang harus dipertemukan melaluiargumentasi-argumentasi, (b) proses mempertemukan kehendakitu yang akan dituangkan ke dalam aturan-aturan: out put berupaaturan yang mengikat, (c) adanya akibat hukum apabila parapihak yang tunduk dalam aturan itu.

10 Pasal 1313 BW – Definisi Perjanjian: Suatupersetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebihmengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2008, menyatakan bahwa: Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorangberjanji kepada orang lain atau di mana dua orang saling berjanjiuntuk melaksanakan sesuatu. h. 1

11 Huala Adolf. Op. Cit. h. 1712 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian,

Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa olehPemerintah, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2009. Prinsipkonsensualisme sangat penting terutama pada aspekpembentukannya. h. 191

13 Huala Adolf.Op. Cit. h. 1714 Taryana Soenandar. Op. Cit. h.18

Page 4: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

74 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

mengatur hubungan hukum dikemudianhari.

Melaksanakan kontrak dalamkeadaan kesulitan dapat menimbulkanketidak adilan. Oleh karena itu, hukumharus memberikan landasan agar parapihak dapat meminta bantuan hakim atauarbiter untuk meninjau kembali isi kontrak,apakah klausula kontrak harus direno-gosiasi ulang, diubah, atau dibatalkan.15

Pada telaah ini secara khusus akandikaji tentang sebuah gejala hukum yangterdapat pada tahapan pelaksanaan per-janjian (performance of contract), yaitutimbulnya suatu perubahan keadaan16

yang sangat fundamental yang tidakdiperhitungkan sebelumnya pada saat

15 Ibid.16 Faisal Akbaruddin Taqwa, Rebus Sic

Stantibus Dalam Khasanah Hukum Kontrak, LawSociety (ILS) Utrecht School of Law, UniversiteitUtrecht. Sebagai ilustrasi, peristiwa yang membawaefek langsung pada keberadaan kontrak yang telahdibuat oleh para pihak, adalah sebagai berikut :Krisis ekonomi global mengakibatkan banyakperusahaan kelas dunia bertumbangan. Hal serupapernah melanda Indonesia di tahun 1997 yangditandai terdepresiasinya mata uang Rupiah hinggahampir 300% terhadap US Dollar. Krisis yangmelanda Indonesia kala itu menyebabkan banyakperusahaan yang terikat perjanjian dengan mitradagangnya di luar Indonesia dengan memakaipatokan mata uang yang diterima secara globalseperti US Dollar harus menanggung beban yangtidak mudah dalam memenuhi klausula-klausulakontrak terutama kontrak dagang dengan mitradagang mereka di luar negeri. Sebuah pelajaranyang bisa dipetik dari krisis ekonomi global yangjuga melanda Indonesia pada tahun 1997 tersebutadalah terpuruknya beberapa perusahaan Indonesiayang melakukan kontrak bisnis dengan mitranya diluar negeri, mengalami kesulitan untuk memenuhiklausula kontraknya karena menggunakan matauang US Dollar/asing. Apalagi jika dalam klausula-kalusula kontrak yang dibuat tidak diperhitungkansuatu keadaan yang ekstrim sehingga menimbulkansuatu persoalan keuangan yang sangat besar bagipromissor. Selanjutnya juga terlihat bahwa krisisekonomi merupakan salah satu pemicu terjadinyaperubahan keadaan yang secara fundamentalmengakibatkan kesulitan dalam pelaksanaan sebuahkontrak. h. 2

pembuatan perjanjian atau yang dikenaldengan istilah rebus sic stantibus. Sebagaiakibatnya ada pihak yang sangat dirugikanmanakala pelaksanaan perjanjian dipaksa-kan untuk dilanjutkan. Apalagi jika dalam

klausula-kalusula kontrak yangdibuat tidak diperhitungkan suatu keadaanyang ekstrim tersebut sehingga menim-bulkan suatu persoalan antara lainkeuangan yang sangat besar bagipromissor. Kemudian bahkan melahirkanketidak-adilan pada salah satu pihak,sehingga tujuan pembuatan perjanjian yangsemula untuk melegalkan pertemuankehendak para pihak dengan mengusungharapan-harapan yang memiliki nilaikeadilan17 menjadi sirna karena terjadinyaperistiwa tersebut.

Kajian ini bersifat yuridis normatifkarena analisis dan pembahasan didasar-kan pada doktrin/ajaran hukum, prinsiphukum dan peraturan perundang-undangan. Di dalam tulisan ini terdapatbeberapa pendekatan. Dengan pendekatantersebut akan didapatkan informasi dariberbagai aspek mengenai isu yang sedangdicoba untuk untuk dicari jawabannya.Pendekatan yang dipergunakan dalampenelitian hukum ini adalah pendekatankonseptual (conceptual approach),18 pen-dekatan undang-undang (statute approach)dilakukan dengan menelaah semuaundang-undang dan deregulasi yangbersangkut paut dengan isu hukum yangsedang diteliti serta pendekatanperbandingan (comparative approach).

17Andrea Ata Hujan, Filsafat Hukum (MembangunHukum Membela Keadilan), Kanisius, Yogyakarta, 2009.Hukum sebagai lex adalah kaidah formal yang merupakanartikulasi normatif dari ius. Dengan demikian, keadilanmerupakan substansi hukum. Tuntutan dari segi substansimenjadi penting karena hukum dibuat dengan tujuan utamamenegakkan keadilan melalui jaminan bahwa hak dankewajiban segenap warga negara dapat dilaksanakan dandipenuhi dnegan baik (legitimasi moral). h. 16

18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta. 2008. h. 93.

Page 5: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 75

B. PEMBAHASAN

1. Konsep Pembaharuan HukumPerjanjian Nasional

Aturan umum mengenai hukumkontrak nasional saat ini masihberpedoman pada aturan yang merupakanwarisan dari pemerintahan kolonial HindiaBelanda, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW)khususnya Buku III tentang Perikatan.19

Belanda sendiri, sebagai negara yangmembawa BW ke Indonesia sudahmengganti hukum perdatanya dengan yangbaru, yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek(NBW) yang muatannya sudah sangatberbeda dengan BW. NBW yang saat iniberlaku di Belanda sebagai The DutchCivil Code sudah jauh lebih maju baik darisegi substansi maupun sistematika sebagaikoreksi atas kelemahan-kelemahan yangterdapat dalam BW.20

Status KUHPerd sebagai Undang-Undang pun menjadi perdebatan dikalangan para ahli yang terbagi menjadikelompok pro dan kontra. Bagi yang pro,KUHPerd adalah Undang-Undang karenapencabutan bagian-bagian dari KUHPerddituangkan dalam bentuk Undang-Undang.Misalnya, ketentuan mengenai ketenaga-kerjaan dicabut melalui Undang-UndangKetenagakerjaan dan ketentuan mengenaiperkawinan dicabut melalui Undang-Undang Perkawinan. Bagi yang ber-pendapat sebaliknya, KUHPerd tak perlulagi dianggap sebagai Undang-Undang.Menariknya, Mahkamah Agung di masakepemimpinan Wirjono Prodjodikoromasuk dalam kelompok ini.

Pada 5 September 1963, KetuaMahkamah Agung Wirjono Prodjodikoromenerbitkan Surat Edaran MahkamahAgung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 tentang

19 Ibid.20 Nurfaqih Irfani, Pembaharuan Hukum Kontrak di

Indonesia dikaitkan dengan ditetapkannya Peraturan PresidenNomor : 59 Tahun 2008tentang Pengesahan Statute of theInternational Institute for thePrivate Law, intl.published.pdf. h.1

Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek(BW) tidak sebagai Undang-Undang. BWdianggap sebagai “suatu dokumen yanghanya menggambarkan suatu kelompokanhukum tak tertulis”. Pada perkemba-ngannya, Mahkamah Agung sendirimenganggap sebagian pasal dari BW tidakberlaku.

Misalnya, Pasal 108 dan 110 tentangwewenang seorang isteri untuk melakukanperbuatan hukum dan untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuansuami dan Pasal 284 ayat (3) BWmengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh seorang perempuanIndonesia asli. Belanda sendiri, sebagainegara yang membawa BW ke Indonesiasudah mencabut dan mengganti denganNieuw Burgerlijk Wetboek (NBW.) NBWyang saat ini berlaku di Belanda sebagaiThe Dutch Civil Code sudah jauh lebihmaju baik dari segi substansi maupunsistematika sebagai koreksi atas kele-mahan-kelemahan yang terdapat dalamBW.

Pemerintah mengakui bahwa KUHPerd sendiri sebenarnya memang bukanproduk hukum yang ideal untukdiberlakukan seterusnya dan sesegeramungkin perlu dibuat undang-undang baruyang mengatur masalah keperdataan secaralebih komprehensif, sistematis, danaplikatif. Empat puluh dua tahun silam, R.Subekti dan R. Tjitrosudibio dalampengantar terjemahan Burgerlijk Wetboek(BW) menyatakan: “Kitab Undang-UndangHukum Perdata ini adalah suatuterjemahan dari Burgerlijk Wetboek, ialahsalah sebuah kitab undang-undang berasaldari pemerintahan zaman Belanda dahulu,kitab mana demi Peraturan PeralihanUndang-Undang Dasar Sementara haruskita warisi dengan segala cacat dan segalacelanya”.21 Selama puluhan tahun, BWseperti sebuah buku yang satu persatulembarannya terlepas. Rumusan-rumusan-

21 Ibid.

Page 6: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

76 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

nya yang berjumlah 1993 pasal nyarislaksana hiasan semata di atas kertas.

Pemerintah Indonesia jugamenyadari ketertinggalannya hukumperdata Indonesia dan oleh sebab itudisusunlan RUU Kitab Undang-UndangHukum Perdata (RUU KUHPerd) yangdilakukan oleh Direktorat JenderalPeraturan Perundang-undangan Depar-temen Hukum dan HAM. Melalui SuratKeputusan No. PPE.232.PP.01.02 Tahun2008, Menteri Hukum dan Hak PrinsipiManusia telah membentuk PanitiaPenyusunan RUU KUHPerd.22 Panitiaberanggotakan 22 orang, diketuai ElyanaTanzah.

Selain berasal dari internalDirektorat Peraturan Perundang-UndanganDephukham, anggota tim juga melibatkanakademisi seperti Rosa Agustina, notarisA. Partomuan Pohan, serta mantan hakimAgung Arbijoto dan J. Johansyah. PanitiaPenyusunan RUU KUHPerd sudahmenyampaikan laporan akhir kepadaMenteri Hukum dan HAM padapenghujung tahun 2008 lalu. Sejauh ini,bagian yang sudah tersusun adalah Buku Itentang Orang.23

Artinya pemerintah sudah melakukanupaya untuk melakukan pembaharuanhukum perdata Indonesia dengan me-lakukan penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata yang dikoordiniroleh Departemen Hukum dan HAM.Perkembangan terakhir sangat meng-gembirakan dengan disampaikannyalaporan akhir kepada Menteri Hukum danHAM pada tahun 2008. Kendati sampaisejauh ini bagian yang sudah tersusunadalah Buku I tentang ”Orang”.

Pembahasan yang dilakukan olehPanitia Penyusunan RUU KUHPerd belumsampai pada pembahasan Buku III tentang

22 Ibid. h. 223 Ibid.

Perikatan. 24 Tentunya pembahasantersebut harus dilakukan secepatnyamengingat tuntutan akan aktivitasperdagangan dan bisnis nasional yangsemakin pesat. Kegiatan bisnis atauperdagangan baik yang dilakukan olehnegara maupun pihak swasta di Indonesiaharus terus berjalan dan tidak bisamenunggu pembahasan RUU tersebutselesai. Stagnasi payung hukum atauaturan hukum perjanjian akan menim-bulkan kerugian bagi negara maupun pihakswasta di Indonesia sendiri.

Dengan demikian, maka pembaruanhukum perjanjian nasional sebagai upayamenghilangkan hambatan-hambatan baiksustansi dan prosedural untuk mendukungpertumbuhan ekonomi harus segeradilakukan. Sebab kegiatan perdagangandan transaksi bisnis terus berjalanberdasarkan kesepakatan para pihak yangdituangkan dalam suatu perjanjian. Dengandemikian, perjanjian memiliki posisi yangsangat penting sebagai rujukan yang palingutama bagi para pihak dalam pelaksanaansuatu hal yang diperjanjikan, bahkansampai pada penentuan bagaimana carapenyelesaian yang akan ditempuh olehpara pihak manakala dikemudian haridalam pelaksanaan perjanjian tidak dapatdirealisasikan sebagaimana mestinya.

Harmonisasi hukum merupakantuntutan sekaligus kebutuhan yang harusdipenuhi oleh para pihak dalampelaksanaan perdagangan atau transaksibisnis. Upaya harmonisasi menurut HannuHonka25 dapat dilakukan melalui beberapacara, yaitu:

1. peraturan perundang-undangan nasi-onal di bidang kontrak;

2. penggunaan kontrak baku;

3. penerapan hukum kebiasaan inter-nasional (international customs).

24 Ibid.25 Ibid.

Page 7: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 77

Dengan demikian, harus dilak-sanakan pembaruan hukum kontrak untukmenggantikan BW yang sudah sangattertinggal sesuai dengan kebutuhanmasyarakat pada tingkat perkembanganmutakhir, sesuatu yang biasa disebutsebagai modernisasi hukum. Dalampembaruan hukum ini perlu dibuatpendekatan dengan pengkajian hukumyang bertujuan mencapai jaminan dankepastian hukum bagi kegiatan investasidan perdagangan secara global.

Pembaruan hukum kontraksebenarnya sudah dilakukan melaluipendekatan parsial, dalam arti pembaruanhukum diprioritas-kan pada bidang hukumyang sifatnya khusus mengatur sektortertentu, misalnya adanya Undang-Undangtentang Larangan Praktik Monopoli danPersaingan Usaha tidak sehat, Undang-Undang tentang Penanaman Modal,Undang-Undang tentang Perseroan Ter-batas, Undang Undang tentang Mineraldan Batubara, Undang-Undang tentangPerlindungan Konsumen, dan peraturanperundang-undangan sektoral lainnya yangdalam materi muatannya diatur jugamengenai kontrak/perjanjian, misalnyaPeraturan Pemerintah tentang Waralaba.Pembaruan hukum kontrak secara sektoralmemang memberikan kepastian hukumdalam sektor terkait. Namun tetapdiperlukan aturan umum yang menentukanprinsip-prinsip perjanjian baik dari aspekformil maupun materiil agar terjadikeseragaman serta untuk mengakomodirkepentingan kontrak/perjanjian yangbersifat lintas sektoral.

Dengan demikian, pembaruan hukumkontrak perlu dilakukan secara holistik,terpadu, terencana, dan sistematis, yaitudengan melakukan revisi atau perubahanterhadap undang-undang yang mengatursecara umum (lex generalis) dalam hal iniadalah KUHPerd khususnya Buku Ketigatentang Perikatan.

Dalam rangka pembaharuan hukumini, perlu dipahami pendapat Burg’s.26

Menurut studi yang dilakukan Burg’smengenai hukum dan pembangunan,terdapat 5 (lima) unsur yang harusdikembangkan supaya tidak menghambatekonomi, yaitu stabilitas (stability),prediksi (predictability), keadilan (fair-ness), pendidikan (education), danpengembangan khusus dari sarjana hukum(the special development abilities of thelawyer). Selanjutnya Burg’s mengemuka-kan bahwa unsur pertama dan kedua di atasini merupakan persyaratan supaya sistemekonomi berfungsi.

Di sini stabilitas berfungsi untukmengakomodasi dan menghindari kepen-tingan-kepentingan yang saling bersaing.Sedangkan prediksi merupakan kebutuhanuntuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan denganekonomi suatu negara. Hal ini sesuaidengan J.D. Ny Hart27 yang jugamengemukakan konsep hukum sebagaidasar pembangunan ekonomi, yaituDengan mengacu pada pendekatan hukumdalam pembangunan ekonomi di atas ini,maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

Pertama, hukum harus dapatmembuat prediksi yaitu apakah hukum itudapat memberikan jaminan dan kepastianhukum bagi pelaku dalam memprediksikegiatan apa yang dilakukan untukproyeksi pengembangan ekonomi. Kedua,hukum itu mempunyai kemampuanprosedural dalam penyelesaian sengketa.Misalnya dalam mengatur peradilantribunal, penyelesaian sengketa diluarpengadilan, dan penunjukan arbitrer, danlembaga-lembaga yang berfungsi samadalam penyelesaian sengketa. Ketiga,pembuatan, pengkodifikasian hukum olehpembuat hukum bertujuan untukpembangunan negara. Keempat, hukum itu

26 Ibid.h. 327 Ibid. h.

Page 8: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

78 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

setelah mempunyai keabsahan, agarmempunyai kemampuan maka harusdibuat pendidikannya dan selanjutnyadisosialisasikan. Kelima, hukum itu dapatberperan menciptakan keseimbangankarena hal ini berkaitan dengan inisiatifpembangunan ekonomi. Keenam, hukumitu berperan dalam menentukan definisidan status yang jelas.

Dalam hal ini hukum tersebut harusmemberikan definisi dan status yang jelasmengenai segala sesuatu dari orang.Ketujuh, hukum itu harus dapat meng-akomodasi keseimbangan, definisi danstatus yang jelas bagi kepentingan inividuatau kelompok-kelompok dalam masya-rakat. Terakhir, tidak kalah pentingnya danharus ada dalam pendekatan hukumsebagai dasar pem-bangunan adalah unsurstabilitas.

Sebagaimana diuraikan dalam bagiansebelumnya, pembaruan terhadap hukumkontrak/perjanjian khususnya KUHPerdBuku Ketiga tentang Perikatan merupakantuntutan sekaligus kebutuhan yang harusdipenuhi dalam rangka mendukungpelaksanaan perdagangan dan transaksibisnis internasional. Pembaruan hukumkontrak tersebut berjalan beriringandengan harmonisasi hukum kontrakinternasional sebagai upaya untukmengatasi hambatan atau rintangan dalampraktik perdagangan atau bisnisinternasional.

Dengan ditetapkannya Perpres No.59 Tahun 2008 maka Indonesia resmimenjadi negara anggota UNIDROIT.Keanggotaan Indonesia dalam UNIDROITtentunya harus dilaksanakan secarakonsisten. Perpres No. 59 Tahun 2008hendaknya bukan sekedar hitam di atasputih yang mencerminkan politik luarnegeri Indonesia dalam konteks per-dagangan internasional namun harusditindaklanjuti dengan langkah-langkah

konkrit sebagai konsekuensi menjadinegara anggota UNIDROIT.

Dengan demikian perlu dilakukanimplementasi atas penetapan Perpres No.59 Tahun 2008 yang berupa pembenahanatau pembaruan hukum kontrak/perjanjiannasional sebagai upaya harmonisasi hukumkontrak internasional dalam rangkameningkatkan perdagangan dan transaksibisnis internasional.28

Sudah sepatutnya prinsip-prinsipUNIDROIT atau UPPICs menjadi suaturujukan yang dijadikan bahan pertim-bangan dalam penyusunan hukum kontraknasional yang menggantikan KUHPerdkhususnya Buku Ketiga tentang Perikatandan lebih khusus lagi ketentuan-ketentuanyang terdapat dalam Bab III tentangPerikatan yang Dilahirkan dari Perjanjian.Prinsip-prinsip yang terkandung dalamUPICCs bisa dijadikan sebuah sistemhukum tulen yang mengatur secara lebihlengkap, terstruktur, fleksibel, danmengakomodir perkembangan perdaga-ngan dan transaksi bisnis internasional.

Penyusunan RUU KUHPerd harusdilaksanakan secara lebih optimal. Banyakketentuan dalam KUHPerd yang sudahtidak aplikatif khususnya dalampelaksanaan kontrak bisnis internasionalsehingga upaya penyusunan RUU tersebutharus dijadikan prioritas. Hal ini perludilakukan segera mungkin mengingatperkembangan perdagangan dan transaksibisnis internasional begitu dinamis.

Panitia Penyusunan RUU KUHPerdyang ditetapkan dengan Surat KeputusanNo. PPE.232.PP.01.02 Tahun 2008,Menteri Hukum dan Hak Prinsipi Manusiaperlu mengkaji secara menyeluruh danmendalam ketentuan UPICCs untukdijadikan rujukan dalam penyusunanKUHPerd khususnya terkait denganpengaturan hukum kontrak dalam konteks

28 Ibid. h.

Page 9: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 79

perdagangan dan transaksi bisnisinternasional. Sejalan dengan itu,Departemen Luar Negeri hendaknyamenindaklanjuti keanggotaan Indonesiadalam UNIDROIT antara lain denganmelakukan hal-hal sebagai berikut : a.Menyusun terjemahan resmi (officialtranslation) UPICCs agar dapat dipahamisecara mudah baik oleh kalangan birokrasi,akademisi, praktisi, dan masyarakat padaumumnya; b. Melakukan sosialisasi prinsipUNIDROIT/UPICCs kepada kalanganbirokrasi, akademisi, praktisi, maupunmasyarakat pada umumnya.

2. Konsep Rebus Sic Stantibus

Istilah rebus sic stantibus sendiriberasal dari suatu kalimat bahasa latinyaitu contractus qui habent tractumsuccesivum et depentiam de future rebussic stantibus intelligentur yang dapatditerjemahkan sebagai “Perjanjianmenentukan perbuatan selanjutnya untukmelaksanakannya pada masa yang akandatang harus diartikan tunduk kepadapersyaratan bahwa lingkungan dankeadaan di masa yang akan datang tetapsama”29. Konsep ini pertama kalidiperkenalkan oleh pengadilan-pengadilanagama (gereja) oleh ahli-ahli hukumkanonik pada abad XII dan XIII.30

Penerapannya semakin berkembang padaabad-abad berikutnya karena semakinbanyak pengadilan dan ahli hukum yangmenerapkan clausula rebus sic stantibus.Namun, pada sekitar akhir abad XVII31,

29 Ibid. Anggapan ini juga ditemukan dalamhukum Romawi: pacta sunt servanda ex fide bona:"... perjanjian harus dipenuhi dengan itikad baik.Pembatasan ini kesucian "kontrak" itu diuraikanoleh canonists abad XII dan abad XIII. Menurutcanonists: qui contractus tractum succesivumhabent depentiam et de rebus sic stantibusintelliguntur. Hal ini dapat secara bebasditerjemahkan sebagai: "kontrak berlaku secaraterus-menerus dengan asumsi bahwa keadaan akantetap sama seperti pada saat kontrak dibuat."

30 Ibid.31 Rebus sic stantibus pertama kali

diterapkan oleh pengadilan gerejawi, terutama bila

seiring dengan berkembangnya paham”liberalisme”32 yang sepaham denganaliran Lasse Faire atau lassez passe, makamuncul perlawanan yang dilakukan olehkaum borjuis terhadap klausula tersebutkarena ketidakamanan dan ketidak-nyamanan dalam pelaksanaan kontrakbisnis yang dijalankan oleh kaum borjuisakibat menyebarluasnya konsep rebus sicstantibus, sehingga pamornya sempatmemudar dan secara perlahan digantikanoleh paham pacta sunt servanda. Akantetapi, setelah pecahnya Perang Dunia I,ahli-ahli hukum dari Eropa mencarijustifikasi terhadap beban yang sangatberat yang ditanggung oleh promissorsdalam pelaksanaan kontrak dalam kondisiperang tersebut. Konsekuensinya, prinsiprebus sic stantibus kembali mengambilperanan yang penting dalam sistem hukumdi beberapa negara, terutama negara-negara dengan common law system denganistilah-istilah yang berbeda33.

Prinsip Rebus sic stantibusmenjelma menjadi bermacam istilah dibeberapa sistem hukum seperti hardship

ada kecurigaan terhadap riba. Ini kemudiandiadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli hukum.Konsep ini diterima secara luas pada akhir abadXVIII. Seperti dalam sejarah, perubahanpenerimaan suatu konsep hukum tertentu bisaberangsur-angsur pudar dari waktu ke waktu.Seperti Prof Rosenn menjelaskan: "Pada awal abadkelima belas, popularitas teori stantibus sic rebussudah mulai berkurang, terutama karenaperkembangan kepentingan komersial terhadapiklim ketidakamanan transaksi yang dihasilkan olehaplikasi luas teori tersebut. Pada akhir abadkedelapan belas, pacta sunt servanda sangatdominant dan teori rebus sic stantibus telahditurunkan ke tumpukan memo doktrinal. Lahirnyapositivisme menjadikan meningkatnya otonomiindividu dan kebebasan kontrak dan surutnya rebussic stantibus.

32Liberalisme, yang merupakan aliran filsafat yangdominan pada abad kedelapan belas, membawa ide-ide baruyang tidak kompatibel dengan aplikasi keras dan pembatasanstantibus sic rebus yang disediakan oleh canonists. Pacta suntservanda, di sisi lain koheren dengan konsep lasse faire. Olehkarena itu, code yang berlaku di periode ini (code Napoleon)tidak mengadopsi stantibus rebus sic.

33 Ibid.

Page 10: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

80 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

rule (UNIDROIT), frustration of purpose(Inggris), Wegfall des Geschäftsgrundlage(Jerman), imprevision (Perancis),accessiva anerosita supravvenuta(Spanyol), impracticability (AmerikaSerikat).34

Selain itu, ternyata prinsip ini jugadiadopsi oleh Konvensi Wina Tahun 1969tentang Hukum Perjanjian (the ViennaConvetion on the Law of Treaties, 1969)khususnya dalam Article 61 dan Article 62yang masing-masing mencakup hal-haltentang kesulitan dalam pelaksanaanperjanjian dan perubahan keadaan yangbersifat mendasar dalam pelaksanaanperjanjian.35

Aturan tentang hardship36 menentu-kan bahwa apabila pelaksanaan kontrakmenjadi lebih berat bagi salah satu pihak,pihak tersebut bagaimanapun juga terikatmelaksanakan perikatannya dengan tundukpada ketentuan tentang hardship (sebagaipengecualian). Hal ini sebagaimana diaturdalam Article 6.2.1 Principles ofInternational Commercial Contracts 1994- UNIDROIT37, tentang (Contract to beobserved–kontrak yang harus dipatuhi)Ketentuan ini menentukan dua hal pokok,yaitu :

a. sifat mengikat dari kontrak sebagaiaturan umum (binding character of thecontract the general rule). Tujuan dariaturan umum untuk mempertegasbahwa kontrak itu mengikat untukdilaksanakan asal dimungkinkan, tanpamemperhatikan beban yang dipikuloleh pihak yang melaksanakan. Dengankata lain, meskipun salah satu pihakmengalami kerugian besar ataupelaksanaan kontrak menjadi tidak

34 Agus Yudha Hernoko. Op. Cit. hal 25235 Ibid..36 Ibid. h. 25337 Article 6.2.1 – Contract to be Observed : Where the

performance of a contract becomes more onerous for one of theparties, that party is nevertheless bound to perform itsobligations subject to the following provisions on hardship.

berarti bagi pihak lain, bagaimanapunkontrak harus diharmati.

b. Perubahan keadaan yang relevan hanyaterkait kontrak-kontrak tertentu(kontrak yang pelaksanaannya belumdilakukan/masih berlaku dan berjangkapanjang) – (change in circumstancesrelevant only in exceptional cases).

Prinsip sifat mengikatnya kontraksebagaimana huruf a di atas tidaklahbersifat absolud, terutama dalam hal terjadikeadaan yang menimbulkan perubahanyang fundamental terhadap keseimbangandari kontrak.38 Keadaan yang demikianmerupakan situasi yang dikecualikansebagaimana dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship.

UNIDROIT (Principles ofInternational Commercial Contracts,1994) sebagai acuan dalam perancangankontrak internasional mengadopsi prinsiprebus sic stantibus ini pada Section 2dibawah titel Hardship. Hardship adalahsuatu keadaan yang terjadi ketikaekuilibrium atau keseimbangan kontraksecara fundamental berubah dikarenakanbiaya pelaksanaan kontrak oleh promissor(debitur) meningkat secara signifikan ataunilai dari performa yg diterima olehpromisee (kreditur) menjadi kecil secarasignifikan39 (Article 6.2.2. UNIDROITPrinciples40). Selanjutnya dari pengertianhardship didalam UNIDROIT Principlestersebut, terdapat 4 (empat) persyaratan

38 Ibid. h. 253.39 Ibid. h. 254.40 Article 6.2.2 - Definition of Hardship : There is

hardship where the occurnceof events fundamentally alters theequilibrium of the contract either because the cost of a party’sperformance has increased or because the value of theperformance a party receives has diminished , and : (1) theevents occur or become known to the disadvantaged party afterthe conclusion of the contract; (2) the events could notreasonable have been taken into account by the disadvantagedparty at the time of the conclusion of the contract; (3) the eventsare beyond the control of the disadvantaged party; and (4) therisk of the events was not assumed by the disadvantaged party.

Page 11: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 81

yang dikategorikan sebagai suatu keadaansulit41, yaitu :

1. Keadaan yang muncul atau barudiketahui oleh pihak yang tidakdiuntungkan pada saat pelaksanaanatau penutupan kontrak;

2. Keadaan tersebut tidak dapatdiperkirakan sebelumnya secararasional atau secara semestinya akanterjadi oleh pihak yang tidakdiuntungkan oleh keadaan itu pada saatpelaksaaan atau penutupan kontrak;

3. Keadaan tersebut diluar kendali daripihak yang tidak diuntungkan tersebut;dan

4. Risiko dari keadaan tersebut tidakdiprediksi atau diperkirakan sebelum-nya oleh pihak yang tidak diuntungkantersebut;

Berpijak dari definisi Hardship yangdiberikan oleh UNIDROIT Principlestersebut diatas beserta empat persyaratan-nya, maka setidaknya terdapat 3 (tiga)unsur untuk menentukan ada atau tidaknyahardship42 yaitu:

1. Perubahan keseimbangan kontraksecara fundamental (fudamentalalteration of equilibrium of thecontract);

2. Meningkatnya biaya pelaksanaankontrak (increase in cost ofperformance);

3. Menurunnya nilai pelaksanaan kontrakyang diterima salah satu pihak(decrease in value of the performancereceived by one party);

UNIDROIT dalam komentarpenjelasannya memberikan contohpenerapan kasus dimana dalil hardship43

dapat diterima sebagai berikut :

41

42 Ibid. h. 254.43 Ibid. h. 255.

Pada prinsipnya, adanya perubahankeadaan tidak mempengaruhi kewajibanpelaksanaan kontrak (vide : Article 6.2.1.)Dengan demikian hardship tidak dapatdijadikan alas an pembatalan kontrak,kecuali perubahan itu bersifat fundamental.Apa yang dimaksud dengan fundamentaltergantung pada keadaan dari peristiwatersebut. Namun demikian, apabila yangdimaksud dengan pelaksanaan kontrakadalah suatu kemampuan yang dapatdihitung secara pasti menurut kontekskeuangan, maka perubahan sebesar 50%atau lebih dari biaya atau dari nilaipelaksanaan kontrak dianggap sebagaijumlah yang fundamental.

Contoh Kasus :

Pada bulan September 1989, Adealer barang elektronik berdomisili dibekas Republik Demokrasi Jerman, telahmelakukan kontrak jual beli stok barangdengan B, yang berdomisili di negara X,juga bekas negara sosialis. Barang tersebutseharusnya dikirim B pada bulanDesember 1990, tetapi pada bulanNopember 1990, A memberitahu B bahwabarang tersebut tidak dapat dikirim sepertibiasanya, dengan alasan bahwa setelahpenyatuan Republik Demokrasi Jermandengan Republik Federal Jerman tidak lagiterbuka pasar untuk barang-barang yangdiimpor dari negara X tersebut. Kecualikeadaan tersebut menunjukkan sebaliknya,A berhak mendalilkan adanya hardship.

Keadaan-keadaan sebagaimanadicakup dalam pengertian hardship olehUNIDROIT Principles tersebut di atas,dalam sistem hukum di Britania Rayadikenal dengan istilah “frustation ofpurpose”. Menurut prinsip “frustation ofpurpose”, perubahan keadaan yang sangatekstrim dan fundamental yangmenyebabkan pemenuhan isi perjanjianmenjadi berbeda secara radikal denganpada saat awal dibuatnya perjanjiantersebut menjadi alasan pemaaf bagi pihakyang merasa tidak diuntungkan dari

Page 12: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

82 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

perubahaan keadaan itu untuk tidakmelaksanakan atau menunda ataumenegosiasikan kembali isi perjanjian. DiJerman, rebus sic stantibus dikenal sebagaiteori wegfall des geschäftsgrundlage44,yang diperkenalkan oleh seorang gurubesar dari Universitas Gottingen, ProfOetmann45, yang pada praktek peradilan diJerman, teori tersebut dikembangkanmenjadi suatu doktrin bahwa ketika terjadikeadaan-keadaan berubah secarafundamental dan tidak bisa diperkirakansebelumnya, maka pijakan dasar daritransaksi telah dirusak dan para pihak tidaklagi terikat dengan komitmen-komitmenmereka yang telah mereka tuangkan dalamkontrak46.

Sebagaimana halnya Britania Rayadan Jerman, di dalam sistem hukumAmerika Serikat pun terdapat konsep rebussic stantibus yang dikenal dengan istilahImpracticability47.Impracticability meliputikesulitan-kesulitan yang sangat ekstrimdan tidak rasional, biaya-biaya, maupunkerugian yang diderita oleh salah satupihak dalam perjanjian, misalnyakelangkaan yang sangat serius terhadapbahan-bahan mentah atau kesulitan dalampenyaluran bahan-bahan mentah tersebutakibat adanya perang, embargo ekonomi,gagal panen, penutupan tiba-tiba sumber-sumber utama suplai dan sejenisnya, yangmengakibatkan peningkatan secarasignifikan terhadap biaya yang dikeluar-kan48. Berdasarkan Uniform CommercialCode (UCC)49 2-616 di Amerika Serikat,maka setidaknya ada empat syarat yang

44 Ibid. wegfall des geschäftsgrundlage atau contractualbasis adalah suatu asusmsi yang dibuat oleh salah satu pihakyang memperjelas kepada pihak yang lainnya dan memperolehpersetujuan dari pihak tersebut pada saat pembentukan kontraktentang keadaan-keadaan yang ada dan yang akan ada yangmelingkupi niat serta suasana batin pihak tersebut untukmengikatkan diri pada saat kontrak tersebut dibuat

45 Ibid.46 Ibid.47 Ibid.48 Taryana Soenandar. Op. Cit. h. 649 Ibid.

harus dipenuhi agar impracticabilitytersebut eksis yaitu :

1. Hal-hal yang telah disepakati dalamperjanjian sulit dilaksanakan (impracti-cable). Secara lebih lugas, sulitdilaksanakan (impracticable) adalahlebih fleksibel pengertiannya dari tidakmungkin dilaksanakan (impossible).Seberapa fleksibel pengertian dariimpracticable tersebut merupakanpertanyaan yang harus dijawab melaluiputusan pengadilan.

2. Munculnya titik temu tentang adanyasuatu keadaan yang mengubah asumsidasar (yang mengikat kedua belahpihak) sebagai pijakan pada saatdibuatnya kontrak.

3. Impracticabilty bukan merupakanakibat dari kesalahan salah satu pihakagar pihak tersebut dibebaskan darikewajibannya.

4. Salah satu pihak harus tidakmenanggung “kewajiban yang lebihbesar daripada yang ditetapkan secarahukum”, sebagaimana dipersyaratkandalam UCC.

Dari pengertian-pengertian tersebutdi atas, terdapat suatu pertanyaan apakahyang dimaksud perubahan yang funda-mental keseimbangan kontrak yangmenjadi dasar dari paham rebus sicstantibus. Menurut Taryana Soenandar50,dalam praktek, perubahan fundamentalkeseimbangan kontrak dapat tercermindalam 2 (dua) cara yang berbeda tetapisaling berkaitan. Pertama, perubahan ituditandai dengan adanya kenaikansubstansial dari ongkos-ongkos yang harusditanggung oleh salah satu pihak padawaktu pihak tersebut melaksanakankewajibannya, dan pihak tersebut me-rupakan satu-satunya pihak yang harusmelaksanakan kewajiban tersebut. Kedua,terjadinya penurunan yang substansial dari

50 Ibid.

Page 13: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 83

nilai pelakanaan kontrak yang diterimaoleh salah satu pihak, termasuk apabilapelaksanaan kontrak itu tidak lagi memilikinilai sama sekali bagi pihak yangmenerimanya.

3. Karakteristik dari PerubahanKeadaan (Rebus Sic Stantibus)Dalam Pelaksanaan PerjanjianSebagai Pembeda Dengan KeadaanMemaksa (Force Majeure)

Secara teroritis pelaksanaanperjanjian pada hakekatnya tunduk padaprinsip pacta sunt servanda51, yang secaraetimologi dapat diartikan bahwa “janjiharus ditepati”. Prinsip ini merupakanrefleksi dari suatu keadilan yang alamiahdan merupakan tuntutan aktivitas ekonomiyang efektif karena prinsip ini mengikatpromisor akan janjinya dan melindungikepentingan pihak promisee. Namun,dalam perkembangannya ternyata prinsippacta sunt servanda52 mendapat tantangan

51 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagiHukum Perjanjian Indonesia ( Hukum PerjanjianBerlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, CitraAditya Bakti, Bandung , 2006. Bunyi lengkapadagium tersebut adalah : ”pacta quantumcumquenuda servanda sunt” (janji betapapun tanpadikukuhkan dengan sumpah harus dipenuhi). h.103. Black’s Law Dictionary mengartikan prinsippacta sunt servanda sebagai : “agreement must bekept” The rule that agreements and stipulations,esp. those contained in treaties must be observed.Lihat : Chengwei Liu, Changed ContractCircumstances, Renmin University of China, April2005: “Pacta sunt servanda (or the sanctity ofcontract) is a basic and it seems universallyaccepted principle of contract law: the contract hasto be respected. It reflects natural justice andeconomic requirements because it binds a person toits promises and protects the interests of thepromisee. Since effective economic activity is notpossible without reliable promises, the importanceof this principle has to be underlined”. h. 3 lihatAziz T. Saliba. Dalam Rebus sic stantibus: AComparative Survey, yang menyatakan bahwa“Landasan hukum kontrak adalah kebebasanberkontrak atau prinsip otonomi, yang berartibahwa ketika seseorang memilih memutuskanuntuk terlibat dalam hubungan kontrak maka akanterikat pada kontrak mereka”. h. 2

52 Op. Cit. h. 3

dari mereka yang berargumen bahwaprinsip tersebut hanya eksis dalam kondisidimana tidak ada perubahan yang radikalterhadap suasana yang melingkupipelaksanaan perjanjian tersebut. Olehkarenanya di beberapa negara, terutamanegara-negara dengan sistem hukumcommon law, prinsip tersebut dibuatfleksibel dengan mengadopsi kembaliprinsip rebus sic stantibus yang pernahmencapai masa kejayaannya pada abad XIIsampai abad XVIII.

Prinsip pacta sunt servanda adalahrefleksi dari suatu nilai keadilan, sekaligusmerupakan tuntutan aktivitas ekonomimasyarakat karena prinsip ini mengikatpromisor serta melindungi kepentinganpromisee. Dalam perkembangannyaprinsip pacta sunt servanda memperolehtantangan dari mereka yang ber-argumentasi bahwa prinsip tersebut hanyaberlaku manakala tidak ada perubahankeadaan yang radikal terhadap pelaksanaanperjanjian tersebut. Adagium pacta suntservanda diakui sebagai aturan yangmenetapkan bahwa semua perjanjian yangdibuat oleh manusia satu sama lain,mengingat kekuatan mengikat hukum yangterdapat di dalamnya, dimaksudkan untukdilaksanakan dan pada akhirnya dapatdipaksakan penaatannya.

Doktrin rebus sic stantibus53 ataudikenal juga dengan istilah clausula rebussic stantibus adalah suatu perubahankeadaan dikarenakan oleh kesulitan yangsangat ekstrim bagi salah satu pihak untuk

53 Ibid. Rebus sic stantibus: Doctrineunderlying change of circumstances. The term"change of circumstances" is used here to refercollectively to a host of different concepts, appliednationally and internationally, that deal withchanges in the economic, legal and businessrealities underlying a contractual agreement. Thesituation existing at the conclusion of the contractmay subsequently have changed so completely thatthe parties, acting as reasonable persons, wouldnot have made the contract, or would have made itdifferently, had they known what was going tohappen. h. 4

Page 14: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

84 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

memenuhi kontrak dan bukan dikarenakanketidakmungkinan kontrak tersebutdilaksanakan dan oleh sebab itu makaharus dilakukan renegosiasi terhadapketentuan dan syarat-syarat dalamkontrak.54 Prinsip rebus sic stantibussangat penting terutama untuk kontrak-kontrak dalam skala besar dan dalamrentang waktu jangka panjang dimanakondisi ekonomi, politik dan situasi sosialpada saat implementasi kontrak-kontraksemacam itu berubah secara drastis, radikaldan fundamental.

Pada tataran praksis, perjanjiansering mengalami kendala secara legal,yang menyebabkan implementasi klausula-klausula dalam kontrak menjadi tidakmungkin bukan atas kemauan pihak-pihakyang terikat dalam kontrak tersebut.

Sebagai contoh jika gempa bumimerusakkan pabrik dimana barang-barangyang diperjanjikan sementara diproduksi ditempat tersebut, maka secara fisik tidakmungkin bagi salah satu pihak untukmemenuhi isi kontrak dalam jangka waktuyang telah diperjanjikan dengan pihaklainnya didalam suatu kontrak, atau dapatjuga sebagai contoh bahwa secara legaltidak mungkin dilaksanakan jika tiba-tibaada larangan ekspor yang dikeluarkanpemerintah terhadap produk yang telahdiperjanjikan pada saat kontrak harusdirealisasikan. Contoh-contoh inilah yangdalam ranah hukum perdata dikenalsebagai keadaan memaksa (force majeure).

Berbeda halnya dengan forcemajeure, maka rebus sic stantibus tetapmenekankan bahwa pelaksanaan perjanjianbisa tetap dipertahankan dengan mencaricara untuk mengatasi berbagai hambatanyang dipikul oleh salah satu pihak yangtidak diuntungkan akibat berubahnyakeadaan-keadaan, terutama keadaanekonomi, pada saat pelaksanaan perjanjian.Sebagai contoh, dalam kontrak jangka

54 Huala Adolf. Op. Cit. h. 31

panjang pengadaan minyak dengan hargapatokan tetap dan tiba-tiba dalampelaksanaan isi kontrak tersebut hargaminyak dunia terus meningkat secarasignifikan yang menyebabkan suppliermengalami kesulitan finansial, maka pihakyang tidak di-untungkan oleh keadaantersebut, dalam hal ini supplier minyak,bisa merujuk kepada klausul rebus sicstantibus sebagai dasar justifikasi untuktidak menyuplai minyak dalam kondisitersebut dan meminta renegosiasikontrak.55

Pada prinsipnya, baik rebus sicstantibus maupun force majeure berkaitansatu sama lain karena keduanya memilikiciri yang sama yaitu keduanya merupakanalat untuk mengantisipasi perubahankeadaan. Perbedaan kedua konsep tersebutsecara umum dapat digambarkan yaitubahwa rebus sic stantibus atau hardshipmengambil peran pada saat pelaksanaankontrak oleh pihak yang tidak diuntungkanoleh perubahan keadaan menjadi sangatsulit namun bukan tidak mungkindilaksanakan, sedangkan pada forcemajeure, implementasi kontrak oleh satupihak memang sudah tidak mungkin,setidaknya untuk sementara waktu56.

Azis T. Saliba57 mengemukakanbahwa perbedaan mendasar antara forcemajeure dan rebus sic stantibus yaitubahwa dalam force majeure pelaksanaanperjanjian benar-benar tidak mungkindilaksanakan (impossible) dikarenakanalasan secara fisik atau secara hukum,dengan mengabaikan kesulitan ekonomiatau ketidakpastian-ketidakpastian eko-nomi (economic imposibility), sedangkandalam rebus sic stantibus, alasan tidakdilaksanakan perjanjian tersebut adalahkarena pelaksanaan perjanjian tersebutsangat sulit (onerous), jadi termasuk juga

55 Faisal Akbaruddin Taqwa Op. Cit. h. 256 Ibid.57 Ibid.

Page 15: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 85

economic impossibility58. Jadi, tingkatkesulitan performa rebus sic stantibus dibawah force majeure59.

4. Prinsip Hukum Akibat TerjadinyaPerubahan Keadaan (Rebus SicStantibus) Pada PelaksanaanPerjanjian

Berdasarkan prinsip dalamInternational Institute for the Unificationof Private Law atau Institute InternationalPour L’unification Du Droit Prive(UNIDROIT)60, kadangkala ditemukansuatu kondisi atau situasi faktual yangmana pembedaan antara hardship ataurebus sic stantibus dan force majeure(Article 7.1.7 Principles of InternationalCommercial Contract 1994UNIDROIT61) mengambil peran yangsama dalam pelaksanaan kontrak. Padakondisi demikian, maka pihak yang tidakdiuntungkan oleh keadaan-keadaan yangtimbul pada saat penutupan ataupelaksanaan kontrak memiliki wewenanguntuk memutuskan upaya hukum manayang akan dipakai62. Jika pihak tersebutmengajukan alasan keadaan memaksa(force majeure), maka upaya hukumtersebut berarti menginginkan agarwanprestasinya dimaafkan. Jika pihaktersebut menggunakan alasan kesulitan(hardship/rebus sic stantibus), maka upayahukum tersebut berarti pada tahap pertama

58 Ibid.h. 359 Ibid.60 Ibid.61 Article 7.1.7 –Force Majeure: (1) Non performance

by a party is excused if that the non performance was due to animpediment beyond its control and that it could not reasonablybe exexpected to have taken the impediment into account at thetime of the conclusion of the contract or to have avoided orovercome its consecuences; (2) When impediment is onlytemporary, the excuse shall have effect for such period as isreasonable having regard to the effect of the impediment onperformance of the contract; (3) The party who fails to performmaust give notice to the other party of the impediment and itseffect on its ability to perform. If the notice is not received by theother party within a reasonable time after the party who fails toperform knew or ought to have known of the impediment, it isliable for damages resulting from such non receipt; (4) Nothingthis article prevents a party from exercising a right to terminatethe contract or to withhold performance or request interest onmoney due.

62 Faisal Akbaruddin Taqwa Op. Cit. h. 4

agar dilakukan renegosiasi syarat-syaratkontrak dan membiarkan kontrak tetapberlaku walaupun syarat-syaratnyadiubah.63 Dengan kata lain, perbedaanantara force majeur dengan hardship ataurebus sic stantibus, adalah bahwa forcemajeure menjadi alasan pemaaf (excuse)untuk tidak melaksanakan apa yangdijanjikan oleh karenanya pihak yangwanprestasi tidak bisa dihukum/digugatkarenanya, sedangkan hardship atau rebussic stantibus bukan merupakan excuse,melainkan memungkinkan salah satu pihakminta kepada hakim untuk mere-negosiasikan kontrak mereka.

Pengadilan memainkan peran yangpenting dalam hal timbulnya suatu keadaanyang mengarah ke rebus sic stantibusnamun para pihak tidak mau merenego-siasikan syarat-syarat dalam kontrak yangmereka buat. Hal itu setidaknya tersuratdari Article 6.2.3 Unidroit Principles64yang menegaskan bahwa dalam hal parapihak tidak mencapai kata sepakat untukmerenegosiasikan kontrak diantara merekasebagai dampak timbulnya keadaan rebussic stantibus, maka mereka bisa membawakasus tersebut ke pengadilan. JikaPengadilan berpendapat bahwa keadaan-keadaan sebagaimana dalam definisi rebussic stantibus, maka Pengadilan65 dapatmengambil setidaknya dua putusan yaitu :

a. Mengakhiri kontrak pada tanggal danjangka waktu yang pasti. Penghentiankontrak dalam hal munculnya keadaankesulitan (hardship) tidak tunduk padakeadaan wanprestasi, maka akibatnyaproses pemeriksaan perkara mungkin

63 Ibid.64 Article 6.2.3 – Effect of Hardship: (1) In case of

hardship the disadvantaged party is entitled to requestrenegotiations. The request shall be made without undue delayand shall indicate the grounds on which it is based; (2) Therequest for renegotiation does not itself entitlethe disadvantagedparty to withhold performance; (3) Upon failure to reachagreement wihin a reasonable time either party my resort to thecourt; (4) If the court finds hardship it may, if reasonable : (a)terminate the contract at date and terms to be fixed; or (b) adaptthe contract with view to restoring its equilibrium.

65 Taryana Soenandar. Op. Cit. h. 76

Page 16: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

86 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

akan menyimpang dari proses peng-akhiran kontrak pada umumnya.Dengan demikian, pengakhiran kontrakharus dilakukan pada tanggal dan atassyarat-syarat yang ditetapkan olehpengadilan.

b. Menyesuaikan kontrak dengan keadaanberjalan untuk mengembalikan kese-imbangannya. Dalam hal alternatif iniyang dipilih oleh Pengadilan, makapengadilan akan menentukan pem-bagian yang adil atas kerugian-kerugian diantara para pihak. Tindakanini dapat mencakup perubahan hargaatau tidak, bergantung dari sifatkesulitan dari peristiwa itu sendiri.Namun, jika perubahan itu mencakupharga, maka perubahan itu tidak perluharus mencerminkan perbaikan secarasepenuhnya yang dialami akibatperubahan keadaan tersebut. Misalnyapengadilan mempertimbangkan sejauhmana salah satu pihak mendapat risikodan sejauhmana pihak yang berhakmenerima pelaksanaan dapat memper-oleh manfaat dari pelaksanaan kontrakitu.

Prinsip yang dianut oleh Unidroitjuga memberikan kesempatan kepadaPengadilan untuk mengambil putusandalam beberapa bentuk ketika munculkesulitan (rebus sic stantibus/ hardship)pada kontrak yang mengikat para pihak66.Bentuk-bentuk dimaksud yaitu : (a)menolak permohonan untuk menegosiakankontrak apabila dampak yang ditimbulkanoleh renegosiasi itu lebih banyak ruginyadaripada manfaatnya, (b) memperpanjangjangka waktu pelaksanaan kontrak, (c)menambah/ mengurangi harga yangdiperjanjikan, (d) menambah/ mengurangikuantitas kontrak, (e). Memerintahkanpembayaran kompensasi, (f) memerintah-kan penundaaan pelaksanaan dalam halkeadaan yang melingkupi pelaksananan

66 Ibid h. 77.

kontrak tersebut semakin memburuk, (g)mengurangi prestasi yang diterima, dan (e)mengakhiri kontrak antara para pihaktersebut.

Putusan Pengadilan yangmemerintahkan untuk mengakhiri ataumemperbaharui kontrak dalam halperubahan keadaan yang radikal dalampelaksanaan kontrak (rebus sic stantibus)haruslah merupakan putusan yang bersifattindakan yang paling akhir dilakukan67.Prosedur di pengadilan dalam kasus rebussic stantibus haruslah difungsikan sebagaialat untuk menyelesaikan secara damaikewajiban-kewajiban yang tertuang dalamkontrak dengan memasuki ranahperundingan.

Pengadilan juga bisa mengembali-kan persoalan pokok dalam perkaratersebut kepada para pihak untukdinegosiasikan, bahkan dengan menunjukmediator. Jika tercapai kata mufakat, makaPengadilan akan memerintahkan untukmemodifikasi kontrak sebagaimana kese-pakatan, namun risiko harus ditanggungbersama. Jika tidak tercapai kata mufakat,maka Pengadilan mengambil peran untukmenentukan nasib akhir kontrak yangdihadang oleh kendala rebus sic stantibusitu.

Peranan hakim yang memeriksaperkara-perkara yang berkaitan denganpersoalan rebus sic stantibus adalahterutama untuk menginterpretasikan apayang dimaksud dengan keadaan yangsangat sulit (onerous). Sebagai contoh,Hakim harus menarik suatu kesimpulanuntuk menjawab apakah tidak dapatterlaksananya suatu perjanjian karenabenar-benar sulit atau tidak mungkindilaksanakan ataukah sebenarnya adaalternatif penyelesaian lain.

Misalnya, eksportir batal mengirimbarang yang dipesan oleh importir karena

67 Ibid.

Page 17: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 87

pengapalan (shipping) barang harusmelewati daerah perang (seumpamaPerang Teluk atau perang Iran-Irak).Beberapa hakim menyatakan bahwa haltersebut tidak bisa dijadikan alasanonerous, karena promissor memilikialternatif pelayaran yang tidak harusmelalui jalur tersebut68. Senada denganperanan tersebut, hakim di AmerikaSerikat misalnya yang memutus denganUniform Commercial Code (UCC) harusmemberikan makna atau pengertian dariimpracticable untuk membedakannya dariimpossible sehingga terpenuhi keadaanyang masuk dalam pengertianimpracticability.

Secara garis besar dapatdikemukakan bahwa pengadilan hanyalahdifungsikan jika renegosiasi kontrak padakeadaan rebus sic stantibus tidak mencapaititik temu. Penekannya yaitu apabilatimbul keadaan kesulitan (rebus sicstantibus/hardship), maka langkah pertamayang harus ditempuh adalah negosiasiulang oleh para pihak untuk kelanjutankontrak. Apabila renegosiasi tersebutgagal, maka barulah pengadilanmengambil peran untuk memodifikasikontrak, itupun setelah tawaran mediasioleh pengadilan agar para pihak sendiriyang memodifikasi kontrak tersebut tidakmencapai kata sepakat.

Hukum perjanjian di Indonesiayang tunduk pada Kitab Undang-undangHukum Perdata sebagai manifestasi nilai-nilai yang termuat dalam Code Napoleontidak mengenal faham rebus sicstantibus.69 Hal ini sangat wajar karenaCode Napoleon yang dibuat pada masakejayaan faham “liberalisme” denganmengagungkan pacta sunt servanda adalahmerupakan koreksi atas penerapan secarakaku hukum-hukum kanonik yangberkaitan dengan rebus sic stantibussehingga mengancam kepentingan-

68 Ibid.69 Ibid.

kepentingan kaum borjuis kala itu. Pahampacta sunt servanda itulah yang kemudianmenjelma menjadi Pasal 1338 BWIndonesia70 yang isi selengkapnya yaitu“Semua perjanjian yang dibuat secara sahberlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya. Suatu Perjajiantidak dapat ditarik kembali selain dengansepakat kedua belah pihak, atau karenaalasan-alasan yang oleh undang-undangdinyatakan cukup untuk itu. Suatuperjanjian harus dilaksanakan denganitikad baik.”

Bercermin pada ketentuan Pasal1338 BW tersebut, maka setiap perjanjianharuslah tunduk pada itikad baik(bonafide/good faith) dalam pelaksanaan-nya karena sifatnya yang mengikat laksanasebuah undang-undang. Pengecualian dariketentuan tersebut ditemukan dalamketentuan yang mengatur tentang keadaanmemaksa (force majeure) yaitu dalamPasal 124471 dan 1245 BW72.

Keadaan memaksa adalah sebuahkeadaan yang tidak bisa diprediksi, tidakdikehendaki dengan sengaja, dan debiturtidak bisa dibebani tanggung jawab dantidak bisa sama sekali memenuhikewajibannya. Dalam teori, kedaaanmemaksa (force majeure) mempunyai duabentuk yaitu keadaan memaksa yangbersifat obyektif/absolud dan keadaanmemaksa yang bersifat relatif. Menurutajaran keadaan memaksa yang bersifat

70 Pasal 1338 BW menyatakan : Semua persetujuanyang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagaiundang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itutidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan keduabelah pihak, atau karena alas an-alasan yang ditentukan undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

71 Pasal 1244 BW menyatakan : Debitur harus dihukumuntuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapatmembuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atautidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itudisebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang takdapatdipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikadburuk padanya.

72 Pasal 1245 BW menyatakan : Tidak ada penggantianbiaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa ataukarena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalangmemberikan atau berbuat sesuatuyang diwajibkan, ataumelakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Page 18: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

88 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

absolud, debitur berada dalam keadaanmemaksa apabila pemenuhan prestasi itutidak mungkin (ada unsur impossibility)dilaksanakan oleh siapapun juga atau olehsetiap orang, sebagaimana tergambar jugadalam ketentuan Pasal 1444 BW73 yangbiasa juga disebut sebagai hal kebetulanyang tidak dapat dikira-kirakan (onvoor-ziene toeval)74. Sedangkan force majeure

73 Pasal 1444 BW menyatakan : Jika barang tertentuyang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapatdiperdagangkan, atau hilang tak diketahui sama sekali apakahbarang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perkatannya,asalkan barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitursebelum lalai ia menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalaimenyerahkan suatu barang yang sebelumnya sebelumnya tidakditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga,perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengancara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebutsudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikankejadian tak terduga yang dikemukannya. Dengan carabagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yangmengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dari kewajibanuntuk mengganti harga.

74 Faisal Akbaruddin Taqwa. Op. Cit. Dalamthesisnya, Tri Harnowo, mengungkapkan salah satucontoh yaitu Kasus Permohonan Pailit terhadap PT.Bakrie Finance Corporation,Tbk. yang diperiksa diPengadilan Niaga pada PN.Jakarta Pusat74. PT.Bakrie Finance Corporation,Tbk. yang didirikanpada tahun 1985 dan bergerak di berbagai bidangseperti leasing dan usaha jasa konstruksi ternyatadalam usahanya banyak melakukan pinjamandengan lembaga-lembaga keuangan di luar negeridengan memakai kurs US Dollar. Akibat krisisekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997yang salah satunya ditandai dengan depresiasi matauang Rupiah atas US Dollar, maka ketika hutang-hutang perusahaan tersebut terhadap sindikasiperbankan dan lembaga-lembaga keuangan luarnegeri74 jatuh tempo pada tahun 1999, PT. BakrieFinance Corporation,Tbk. mengalami kesulitanpembayaran. Permohonan pailit pun diajukanterhadap perusahaan tersebut, namun dalam salahsatu argumennya, kuasa hukum PT.Bakrie FinanceCorporation,Tbk. mendalilkan bahwa krisisekonomi telah membawa dampak merosotnya matauang Rupiah terhadap US Dollar yangmenyebabkan kewajiban pembayaran meningkatsangat tinggi bahkan tidak wajar serta memberatkandebitur, dan PT. Bakrie Finance Corporation,Tbk.telah berusaha dengan itikad baik melakukannegosiasi ulang (renegosiasi) atas hutang-hutangnya, yang mana beberapa kreditur telahmenjadwal ulang pembayaran hutang PT. BakrieFinance Corporation,Tbk. diantaranya AsianDevelopment Bank, Hanvit Bank Singapore

yang bersifat subyektif/relatif yaitu suatukeadaan yang masih memungkinkan bagidebitur untuk melaksanakan prestasi tetapipraktis dengan kesukaran atau pengor-banan yang besar sehingga dalam keadaanyang demikian itu, kreditur tidak dapatmenuntut pelaksanaan prestasi75. MariamDarus Badrulzaman menyatakan bahwayurisprudensi Indonesia hanya mengenalkeadaan memaksa (force majeure) yangbersifat absolut, dalam pengertian keadaanmemaksa (force majeure) tersebut beradadiluar kendali manusia sehingga debiturdibebaskan dari kewajiban-kewajiban-nya76.

Dengan demikian, dapat disimpul-kan bahwa sistem hukum di Indonesia77

tidak mengintrodusir prinsip rebus sicstantibus dalam ranah hukum perjanjiannamun lebih mengedepankan aspekkeadaan memaksa (force majeure)78.Kendati demikian, ternyata beberapaputusan hakim pada pengadilan niagamungkin secara tidak sengaja/sadar

Branch, dan Arab Banking Corporation, namunpara Pemohon ternyata tidak menerima itikad baikdari perusahaan tersebut. Walaupun pada akhirnyaPengadilan Niaga menyatakan tidak dapatmenerima permohonan tersebut dengan alasan parapemohon tidak memiliki legitima persona standi injudicio74, namun proses yang terjadi di PengadilanNiaga Indonesia khususnya dalam perkarakepailitan memungkinkan ke depannya menerimaargumen kesulitan akibat krisis ekonomi sebagaisalah satu alasan muculnya kondisi rebus sicstantibus. h. 5

75 Ibid.76 Ibid.77 Agus Yudha Hernoko menyatakan “Berbeda dengan

wanprestasi dan overmacht yang telah diatur dalam ketentuanBuku III BW, maka hardship belum ada pengaturannya dandalam hal terjadi kasus-kasus terkait dengan hardship, padaumumnya hakim akan memutus berdasarkan overmacht(menyamakan hardship dengan overmacht). Istilah hardship diIndonesia diterjemahkan “keadaan sulit” atau “kesulitan” atau“beban”. h. 252

78 Rebus sic stantibus berbeda dengan force majeure.Force majeure alasan nasabah untuk melakukan hanya jika adakendala yang tak tertahankan dan tak terduga. Dalam forcemajeure, kinerja harus secara fisik atau secara hukum tidakmungkin dilaksanakan. Jadi, singkatnya, perbedaan mendasaradalah bahwa, tidak seperti stantibus sic rebus, force majeuretidak termasuk kesulitan ekonomi atau bahkanketidakmungkinan ekonomi.

Page 19: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 89

mengakomodir prinsip rebus sic stantibusseperti dalam kasus kepailitan walaupuntidak dielaborasi secara lengkap dalamlegal reasoning-nya.

Praktik bisnis di Indonesia sebaiknyaperlu mempertimbangkan pencantumanklausul rebus sic stantibus dalampembuatan kontrak terutama kontrak yangberjangka panjang dan memiliki nilaiinvestasi yang besar. Pengalaman krisisekonomi pada tahun 1997 yang menerpaIndonesia menjadi salah satu alasanpentingnya pencatuman klausul tersebut.Klausula rebus sic stantibus juga dianggaplebih fleksibel dan lebih akomodatif dariklausula overmacht karena klausulatersebut sesuai dengan karakter bisnis yangmembutuhkan ruang gerak dinamis namuntetap menjaga kelangsungan hubunganbisnis para pihak79. Terlebih klausula rebussic stantibus membuka peluang yang lebihluas kepada para pihak untukmenyelesaikan sengketa diantara merekadiluar pengadilan melalui renegosiasisyarat-syarat dalam kontrak sehingga lebihadaptif terhadap perubahan keadaan yangada.

Perubahan keadaan secara globalseperti terjadinya krisis ekonomi menuntuthadirnya hukum yang lebih adaptifterhadap perubahan keadaan. Klausulrebus sic stantibus adalah salah satualternatif untuk mengakomodir terjadinyaperubahan-perubahan keadaan secarafundamental yang tidak menguntungkanbagi salah satu pihak dalam perjanjiankhususnya dalam kontrak-kontrak bisnisyang bersifat jangka panjang dan memilikinilai investasi yang besar. WalaupunIndonesia tidak mengakomodir klausulrebus sic stantibus dalam ranah hukumperjanjiannya, namun tidak menutupkemungkinan masuknya klausula tersebutsebagai klausula pelindung bagi para pihakdalam perjanjian pada masa yang akandatang.

79 Ibid.

C. SIMPULAN

Karakteristik dari perubahankeadaan (rebus sic stantibus) dalampelaksanaan perjanjian sebagai pembedadengan keadaan memaksa (Force Majeure)yaitu bahwa dalam force majeurepelaksanaan perjanjian benar-benar tidakmungkin dilaksanakan (impossible)dikarenakan alasan secara fisik atau secarahukum, dengan mengabaikan kesulitanekonomi atau ketidakpastian-ketidak-pastian ekonomi (economic imposibility),sedangkan dalam rebus sic stantibus,alasan tidak dilaksanakan perjanjiantersebut adalah karena pelaksanaanperjanjian tersebut sangat sulit (onerous),jadi termasuk juga economic impossibility.Jadi, tingkat kesulitan performa rebus sicstantibus di bawah force majeure. Prosedurdi pengadilan dalam kasus rebus sicstantibus haruslah difungsikan sebagai alatuntuk menyelesaikan secara damaikewajiban-kewajiban yang tertuang dalamkontrak dengan memasuki ranahperundingan. Pengadilan juga bisamengembalikan persoalan pokok dalamperkara tersebut kepada para pihak untukdinegosiasikan, bahkan dengan menunjukmediator. Jika tercapai kata mufakat, makaPengadilan akan memerintahkan untukmemodifikasi kontrak sebagaimanakesepakatan, namun risiko harus ditang-gung bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Yudha Hernoko, Hukum PerjanjianPrinsip Proporsionalitas DalamKontrak Komersial, LaksBangMediatama, Yogyakarta, 2008.

Ahmadi Miru, Hukum Perikatan,Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai1456 BW, Rajawali Pers, 2008.

Andrea Ata Hujan, Filsafat Hukum(Membangun Hukum MembelaKeadilan), Kanisius, Yogyakarta,2009

Page 20: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA][FAKULTAS HUKUM]

90 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

Bryan A Garner, Black”s Law Dictionary,Eight Edition, West Publising Co,2004.

Chengwei Liu, Changed ContractCircumstances, Renmin Universityof China, April 2005.

Djasadin Saragih, Pokok-Pokok HukumPerikatan, (terjemahan buku Mr. J.H.Nieuwenhuis: HoofstukkenVerbintenissenrecht), UniversitasAirlangga, Surabaya, 1985.

Faisal Akbaruddin Taqwa, Rebus SicStantibus Dalam Khasanah HukumKontrak, Law Society (ILS) UtrechtSchool of Law, Universiteit Utrecht.

Hans Kelsen, Introduction to the Problemsof Legal Theory, Clarendon Press,Oxford, 1992.

-------, General Theory of Law and State,Russell & Ruseeell, New York,1945.

H.L.A. Hart, The Concept of Law,Clarendon Pers, New York, 1997.

Herlien Budiono (1), Ajaran UmumHukum Perjanjian danPenerapannya di BidangKenotariatan, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2009.

-------, (2), Prinsip Keseimbangan bagiHukum Perjanjian Indonesia, HukumPerjanjian Berlandaskan Prinsip-Prinsip Wigati Indonesia, CitraAditya Bakti, Bandung, 2006.

H.L.A. Hart, The Concept of Law,Clarendon Press-Oxford, New York,1976.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalamLintasan Sejarah, Kanisius,Yogyakarta, 1982,

Huala Adolf, Dasar-Dasar HukumKontrak Internasional, RafikaAditama, Bandung, 2008.

Mariam Darus Badrulzaman (1),Perjanjian Kredit Bank, Citra AdityaBakti, Bandung, 1991.

-------, (2), KUH Perdata Buku III HukumPerikatan Dengan Penjelasan,Alumni, Bandung, 2005.

Peter Mahmud Marzuki (1), PenelitianHukum, Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta, 2008.

-------, (2), Pengantar Ilmu Hukum,Kencana Prenada Media Group,Jakarta, 2008.

Rahmi Jened Parinduri, PenyalahgunaanHak Eksklusif Hak KekayaanIntelektual, Disertasi, PascasarjanaUniversitas Airlangga, Surabaya,2006.

R.M. Suryodiningrat (1), Azas-AzasHukum Perikatan, Tarsito, Bandung,1995.

-------, (2), Perikatan-Perikatan BersumberPerjanjian, Tarsito, Bandung, 1991.

S.B. Marsh and J. Soulsby, Bussines Law(terjemahan), Mc.Graw-Hill BookCompany (UK) Ltd. 1978.

Setiawan, Empat Kriteria PerbuatanMelanggar Hukum & Perkem-bangannya dalam Yurisprudensi,Reader III, 1991.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, HukumPerdata, Hukum Perutangan BagianB, Liberty, Yoyakarta, 1980.

Subekti (1), Hukum Perjanjian, Internusa,2008.

-------, (2), Aneka Perjanjian, Citra AdityaBakti, Bandung, 1995.

Sudikno Merokusumo (1), MengenalHukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 1999.

-------, (2), Bab-Bab Tentang PenemuanHukum, Citra Aditya Bakti,Yogyakarta, 1993.

Page 21: ABSORBSI PRINSIP ”REBUS SIC STANTIBUS” DALAM KERANGKA

[UNIVERSITAS MATARAM] [ JJJAAATTTIIISSSWWWAAARRRAAA

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 91

-------, (3), Penemuan Hukum SuatuPengantar, Liberty, Yogyakarta,2009.

Taryana Soenandar, Prinsip-PrinsipUnidroit, Sebagai Sumber HukumKontrak dan Penyelesaian SengketaBisnis Internasional, Sinar Grafika,2006.

Wiryono Projodikoro, Azas-Azas HukumPerjanjian, Mandar Maju, Bandung,2000.

Yohanes Sogar Simamora, HukumPerjanjian, Prinsip Hukum KontrakPengadaan Barang dan Jasa olehPemerintah, Laksbang Pressindo,Yogyakarta, 2009.