file · web viewberdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat...

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem silvikultur merupakan rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, pemudaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu ataupun hasil hutan lainnya. Dalam melaksanakan sistem silvikultur diperlukan perhatian terhadap dua aspek, antara lain Teknik penerapan sistem silvikultur itu sendiri termasuk cara penebangan, regenerasi tegakan hutan, dan pemeliharaan tegakan hutan. Kerangka umum dari bagian pengelolaan hutan, termasuk pembagian area dan daur penebangan pohon. Sistem-sistem silvikultur dibagi atas sistem penebangan disertai dengan pemudaan alam, sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia, sistem tebang jalur, dan sistem pohon induk untuk hutan payau. Sistem tebang habis dengan penanaman disebut juga sistem Tebang Habis dengan Pemudaan Buatan THPB, mengingat penebangannya dilakukan secara tebang habis kemudian diikuti penghutanan kembali atau pemudaan secara buatan. Sistem penebangan yang disertai dengan pemudaan secara alamiah atau disebut juga sistem silvikultur dengan pemudaan alamiah, terdiri atas sistem uniform, sistem Tebang Habis dengan Pemudaan Alamiah atau THPA, dan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), merupakan salah satu sistem silvikultur yang dikembangkan dari sistem silvikultur TPI melalui berbagai penyempurnaan. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi hutan Page 1 of 28 SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Upload: buitruc

Post on 31-Jan-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem silvikultur merupakan rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan

hutan yang meliputi penebangan, pemudaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna

menjamin kelestarian produksi kayu ataupun hasil hutan lainnya. Dalam melaksanakan

sistem silvikultur diperlukan perhatian terhadap dua aspek, antara lain Teknik penerapan

sistem silvikultur itu sendiri termasuk cara penebangan, regenerasi tegakan hutan, dan

pemeliharaan tegakan hutan. Kerangka umum dari bagian pengelolaan hutan, termasuk

pembagian area dan daur penebangan pohon.

Sistem-sistem silvikultur dibagi atas sistem penebangan disertai dengan pemudaan

alam, sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia, sistem tebang jalur, dan sistem pohon induk

untuk hutan payau. Sistem tebang habis dengan penanaman disebut juga sistem Tebang

Habis dengan Pemudaan Buatan THPB, mengingat penebangannya dilakukan secara

tebang habis kemudian diikuti penghutanan kembali atau pemudaan secara buatan. Sistem

penebangan yang disertai dengan pemudaan secara alamiah atau disebut juga sistem

silvikultur dengan pemudaan alamiah, terdiri atas sistem uniform, sistem Tebang Habis

dengan Pemudaan Alamiah atau THPA, dan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem

Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), merupakan salah satu sistem silvikultur yang

dikembangkan dari sistem silvikultur TPI melalui berbagai penyempurnaan. Hal tersebut

disesuaikan dengan kondisi hutan alam Indonesia. Disebut sistem TPTI dikarenakan

penebangannya dilakukan dengan cara tebang pilih atau selektif terhadap pepohonan

komersial, dan dilakukan pemudaan hutan dalam bentuk penanaman kembali. Sistem

silvikultur tebang jalur merupakan sistem silvikultur yang penebangannya dilakukan pada

jalur-jalur yang sudah dibuat secara selang-seling terhadap jalur yang tidak ditebang.

Untuk proses pemudaan dapat dilakukan dengan cara buatan maupun alamiah.

Sebagian besar dari jensi pohon komersial yang dikenal di Indonesia,

dipermudakan/diremajakan dengan biji-biji dan semai (seedlings). Sebagian kecil lagi

dipermudakan melalui trubusan/tebasan dan tunas, misalnya sungkai, sonokeling,

lamtoro, kaliandra, kayu putih, akasia, dan lain-lain. Hasil-hasil percobaan belakangan

ini, menunjukkan beberapa jenis pohon dapat dikembangbiakan melalui bioteknologi,

yaitu secara kultur jaringan. Meskipun demikian, masih banyak jenis-jenis pohon di hutan

tropika basah, terutama yang digolongkan jenis kurang dikenal, masih belum diketahui

Page 1 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 2: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

sifat-sifat silviknya seperti reproduksi, pertumbuhan, toleransi, kualitas kayu, dan

sebagainya.

Pengelolaan Sistem Pohon induk ataupun sistem silvikultur hutan payau dilakukan

pada hutan payau yang terdapat dalam suatu kawasan hutan produksi. Disebut sistem

pohon induk dikarenakan dalam penebangannya di suatu area hutan harus meninggalkan

sejumlah pohon induk yang minimal berjumlah 40 pohon dalam satu hektar sebagai

sumber benih yang diharapkan mampu melakukan regenerasi atau pemudaan secara

alamiah. Pekerjaan silvikultur yang dinilai baik dari segi aspek kelestarian hutan, yakni

jika pekerjaan itu tidak memusnahkan jenis-jenis biota, baik flora maupun fauna dalam

ekosistem hutan sehingga penerapan sistem silvikultur secara baik akan menjamin

kelestarian keanekaragaman biota alam tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari

makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

1. Apa yang dimaksud sistem silvikultur secara umum ?

2. Apa pengertian sistem pohon induk dan sistem pohon penaung ?

3. Bagaimanakah penerapan sistem pohon induk ?

4. Bagaimanakah penerapan sistem pohon penaung ?

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. Mengetahui sistem silvikultur secara umum;

2. Mengetahui pengertian sistem pohon induk dan sistem pohon penaung;

3. Mengetahui penerapan sistem pohon induk;

4. Mengetahui penerapan sistem pohon penaung.

D. Sistematika Penulisan

Makalah ini tersusun dengan sistematika sebagai berikut :

1. Terdiri atas halaman judul, kata pengantar, daftar isi, Bab 1 Pendahuluan, Bab II

Pembahasan, Bab III Penutup dan daftar pustaka.

2. Bab I Pendahuluan terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sistematika

penulisan dan manfaat penulisan

3. Bab II merupakan pembahasan yang menjadi isi dari makalah ini dan membahas

mengenai rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini. Makalah ini membahas

mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.

4. Bab III Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran dari makalah ini.

Page 2 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 3: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

E. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu :

1. Bagi Institusi

Manfaat yang dapat diperoleh bagi institusi yaitu makalah ini dapat menjadi

referensi ilmu mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.

2. Bagi Mahasiswa S1 Kehutanan

Manfaat yang dapat diperoleh bagi mahasiswa S1 kehutanan yaitu makalah ini

diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai sistem pohon

induk dan sistem pohon penaung

3. Bagi Pembaca

Manfaat yang dapat diperoleh bagi pembaca yaitu makalah ini diharapkan

dapat memperkenalkan sekaligus menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai

sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.

Page 3 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 4: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Silvikultur Secara Umum

Silvikultur merupakan cara-cara mempermuda hutan secara alami dan buatan, serta

pemeliharaan tegakan sepanjang hidupnya. Termasuk kedalam sivikultur ialah pengetian

tentang persyaratan tapak atau tempat tumbuh pohon perilakunnya terhadap berbagai

intensitas cahaya matahari, kemampuannya untuk tumbuh secara murni atau campuran,

dan hal-hal lain yang mempengaruhi pertumbuhan pohon. Jadi sangatlah pentig untuk

mengetahui silvikultur masing-masing jenis pohon, sebelum kita dapat mengelolah suatu

hutan dengn baik. Silvikultur dapat dianalogikan dengan ilmu agronomi dan holtikultura

di pertanian, karena silvikultur dapat juga membicarakan cara-cara membudidayakan

tumbuhan,dalam hal pohon – pohon hutan . Dalam pengertian lebih luas , silvikultur

dapat disebut Ilmu pembinaan hutan, dengan ruang lingkup mulai dari pembijian ,

persemaian, penanaman lapangan, pemeliharaan hutan, dan cara-cara permudaannya.

Untuk itu, seorang ahli sivikultur perlu mempelajari berbagai ilmu dasar yang

mendukungnya, misalnya ilmu tanah, ilmu iklim, ilmu tumbuhan (botani) ,dendrologi,

fisiologi,genetika, serta ekologi. Sekarang, ahli silvikultur pada hakikatnya adalah

seorang pemraktek ekologi. Kita menanam dan memelihara hutan, tidaklah hanya untuk

dikagumi keidahannya, tetapi yang utama untuk dapat memanfaatkan hutan secara lestari.

Dengan demikian ,aspek ekonomi termasuk kedalam pengertian sivikultur sejak dini.

Meskipun demikian, alam tetap merupakan guru kita yang tebaik. Karena itu kaidah-

kaidah dalam hokum alam harus selalu diperhatikan. Hal ini sangat terlihat bika kita

hendak membangun hutan tanaman, dan menggunakan jenis pohon asaing yang

didatangkan dari luar kawasan , atau dari luar negeri.

Sementara penulis, seperti Baker (1950) dan Hawley and Smith (1962), membagi

ilmu silvikultur atas dua bagian, yaitu silvik dan silvikultur. Demikian pula pembagian

tersebut dapat diartikan sebagai dasar teori silvik dan penerapan praktek silvikultur.

Tanpa memahami dasar teori, memang sulit untuk mengembangkan penerapan sivikultur

di lapangan. Silvik dapat menjawab berbagai pertanyaan berikut: mengapa suatu jenis

pohon dipilih untuk ditanam di suatu tapak tertentu? Mengapa ditanam secara murni atau

dicampur dengan jenis lain? Mengapa ditanam dengan cara vegetatif atau generative ?

Mengapa diperlukan simbiosa dengan jamur pembentuk mikoriza ? Mengapa untuk

keperluan reboisasi tanah kritis diperlukan jenis pohon pionir atau pelopor ? Dan

Page 4 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 5: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

sebagainya. Silvikultur ialah ilmu dan seni menghasilkan dan memelihara hutan dengan

menggunakan pengetahuan silvik untuk memperlakukan hutan serta mengendalikan

susunan dan pertumbuhannya.

Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan

yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau

penebangannya (SK Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999). Sistem silvikultur 

merupakan serangkaian kegiatan terencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi

penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian

produksi kayu dan hasil hutan lainnya (Ngadiono 2004).

Persemaian berbagai jenis bibit pohon

Tiga hal penting yang menjadi fokus dalam Sistem silvikultur adalah:

1. Metode regenerasi dari suatu tegakan yang membentuk hutan

2. Bentuk dari hasil yang akan diproduksi

3. Pengaturan dari pohon-pohon dari suatu tegakan hutan, dimana mengacu pada

pertimbangan silvikultur dan perlindungan serta kemudahan dalam pemanenan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999 tentang Sistem

Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dan Pengelolaan Hutan Produksi, sistem silvikultur

yang dilakukan dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi di Indonesia adalah TPTI,

THPB (Sistem Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan), THPA dan TPTJ.   

Dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.10172/Kpts-II/2002

maka sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah TPTI dan THPB karena

THPA dan TPTJ dianggap tidak dapat diterapkan sebagaimana yang diharapkan.  Namun

Page 5 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 6: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

demikian seharusnya tidak terjadi pembatasan penggunaan suatu sistem silvikultur karena

harus disesuaikan dengan keadaan hutan dimana hendak diterapkan serta tujuan

pengelolaannya. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pemilihan sistem silvikultur  antara

lain:

1. Tujuan pengelolaan/pengusahaan

2. Keadaan/tipe hutan

3. Sifat silvik

4. Struktur dan komposisi jenis

5. Tanah dan topografi

6. Pengetahuan professional rimbawan

7. Kemampuan pembiayaan

B. Pengertian Sistem Pohon Induk dan Sistem Pohon Penaung

Sistem pohon induk adalah suatu sistem silvikultur dengan membiarakan beberapa

pohon berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk regenerasi,

sistem ini disebut juga sebagai sistem bibit pohon. Sedangkan Sistem pohon penaung

adalah suatu sistem silvikultur yang diterapkan di hutan-hutan temperate dimana kondisi

hutannya relatif seragam, baik dari segi umur dan jenis pohon yang ada di dalamnya.

C. Penerapan Sistem Pohon Induk

Dalam metode ini, berdiri adalah jelas ditebang kecuali pohon benih beberapa, yang

dibiarkan berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk

regenerasi. Setelah tanaman baru didirikan, pohon-pohon benih dihapus atau kiri tanpa

batas. Perbedaan utama dari sistem penampungan kayu adalah bahwa pohon benih

dipertahankan hanya untuk produksi benih dan tidak cukup untuk memberikan

perlindungan. Benih Pohon harus memiliki angin kuat, benih kemampuan memproduksi

dengan mahkota dominan dan usia memproduksi benih berlimpah.

Bibit pohon

Page 6 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 7: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

Jumlah dan distribusi pohon benih tergantung pada faktor-faktor berikut:

1. Jumlah benih yang diproduksi / pohon

2. benih yang dibutuhkan

3. Penyebaran benih

4. Jumlah benih yang layak diproduksi

5. Perkecambahan biji

6. Pembentukan Bibit

Keuntungan: kesempatan cukup untuk seleksi fenotipik, cocok untuk spesies

menuntut cahaya. Kekurangan: Di bawah stocking, stocking atas, kerusakan oleh hutan

dan kekeringan.

Sistem bibit pohon

Jenis Benih Pohon Sistem yaitu :

1. Sistem bibit pohon seragam: Dalam sistem bibit pohon seragam, setiap pohon lebih

atau kurang terdistribusi merata di seluruh blok.

2. Kelompok sistem bibit pohon: Dalam sistem bibit pohon kelompok, pohon benih yang

tersisa di blok di patch kecil. Patch ini dapat diatur dalam kelompok-kelompok yang

tidak teratur atau strip.

Page 7 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 8: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

Pada tahun 1978, Direktorat Jenderal Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.

60/Kpts/DI/1978 tentang Pedoman Sistem Siivikultur Hutan Mangrove. Berdasarkan

sistem siivikultur ini, hutan mangrove harus dikelola dengan Sistem Pohon Induk (Seed –

Tree Method). Secara garis besar, sistem tersebut adalah sebagai berikut;

1. Rotasi tebang adalah 30 tahun, dimana rencana kerja tahunan (RKT) dibagi ke dalam

100 ha blok tebangan dan setiap blok tebangan dibagi lagi kedalam 10 sampai 50 ha

petak tebang. Rotasi tebangan dapat dimodifikasi oleh pemegang konsesi yang

didasarkan pada kondisi habitat, keadaan ekologi dan tujuan pengelolaan hutan

setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.

2. Sebelum penebangan, pohon-pohon dalam blok tersebut harus diinventarisasi dengan

menggunakan systematic strip sampling dengan sebuah jalur selebar  10 m dan jarak

diantara rintisan jalur lebih kurang 200 m. Inventarisasi harus dilakukan oleh pihak

pemegang konsesi. Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut, Direktorat Jenderal

Kehutanan akan menetapkan apakah hutan tersebut layak untuk ditebang atau tidak.

Bila hutan tersebut layak ditebang, maka Direktorat Jenderal Kehutanan akan

menentukan Annual Allowable Cut (AAC).

3. Pohon-pohon yang ditebang harus mempunyai diameter sekurang-kurangnya 10 cm

pada ketinggian 20 cm di atas akar penunjang atau setinggi dada. Hanya kampak,

parang, dan gergaji mekanik digunakan untuk menebang pohon

4. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha, atau

dengan jarak antara pohon rata-rata 17m. Diamater pohon induk adalah > 20 cm yang

diukur pada ketinggian 20 cm di atas pangkal banir bagi jenis Bruguiera spp dan

Ceriops spp. atau di atas pangkal akar tunjang yang teratas bagi Rhizophora spp. Pada

umur 15-20 tahun, setelah penebangan dilakukan penjarangan sampai hutan tersebut

berumur 30 tahun.

Page 8 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 9: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

5. Pengeluaran kayu dari dalam hutan dilakukan dengan perahu melalui sungai, alur air

atau parit. Pengeluaran kayu ini dapat juga dilakukan dengan lori melalui jalan rel.

Parit dibuat selebar 1,5 m dengan jarak satu sama lain kurang dari     200 m.

6. Luas tcmpat penimbunan kayu termasuk tempat pembakaran arang dibatasi 0,1 ha tiap

10 ha areal penebangan.

7. Wilayah yang permudaannya rusak seperti bekas tempat penebangan pohon, kiri-

kanan parit, bekas jalan rel, dan bekas tempat penimbunan kayu harus ditanami jenis

pohon anggota Rhizophoraceae.

8. Membuat jalur hijau (green belt} selebar kira-kira 50 m disepanjang tepi pantai, dan

10 m di sepanjang tepi sungai, saluran air dan jalan-jalan utama.

Sehubungan dengan jalur hijau mangrove, pada tahun 1990 Direktorat Jenderal

Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. 507/IV-

BPHH/1990 mengenai penentuan lebar jalur hijau mangrove selebar 200 m di sepanjang

garis pantai dan 50 m di sepanjang pinggir sungai. Saat ini, berdasarkan hasil studi

ekologi di Sungai Saleh, Sumatera Selatan, Soerianegara et al. (1986) menyarankan lebar

jalur hijau mangrove = 130 x perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan

surut terendah. Hasil penelitian ini tertuang dalam PP No. 32 Tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung.

Ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam sistem pohon induk yaitu :

1. Ekologis

Penerapan sistem silvikultur dengan sistem pohon induk (seed trees method)

merupakan didasari dengan pertimbangan ekologis yang memanfaatkan sumber benih

lokal untuk peremajaan hutan. Benih dari pohon induk yang terpilih dan sehat dapat

dikatakan unggul, karena telah terbukti mampu bersaing dan mampu beradaptasi

dengan kondisi lingkungan/ekologis setempat pada hutan payau tersebut. Dengan

adanya pohon induk ini sebagai sumber benih peremajaan hutan diharapkan agar

komposisi jenis pada hutan payau tidak mengalami perubahan secara drastis sehingga

kondisi ekologis dan fungsi hutan payau dapat berjalan.

2. Ekonomis

Pemilihan sumber benih dengan memanfaatkan pohon induk akan

berpengaruh secara ekonomis,karena dapat menekan biaya pada kegiatan pengadaan

bibit (persemaian, pemeliharaan bibit, pengangkutan bibit, dll). Pemilihan pohon

induk dengan tepat dapat memaksimalkan jumlah panenan (pohon yang ditebang)

Page 9 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 10: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

3. Teknis

Aspek teknis pada sistem hutan payau dilakukan dengan mempertimbangkan

jumlah panenan/tebangan dengan aspek ekologi dan pemilihan pohon induk yang baik

dan sehat serta memperhitungkan luas dan jarak antara pohon induk. Pelaksanaan

secara teknis harus dapat mengakomodir jumlah panenan dalam jumlah sebanyak

mungkin namun harus meminimalisir kemungkinan kerusakan pada pohon induk

yang ditinggalkan. Pelaksanaan sistem silvikultur pada hutan payau dengan sistem

pohon induk ini meliputi kegiatan penebangan dan kegiatan pemeliharaan pohon

induk dan tegakan sisa hingga daur selanjutnya sebagai suatu kesatuan kegiatan.

Dengan demikian harus ada sikronisasi antara kegiatan penebangan dan kegiatan

pemeliharaan.

Tindakan yang dilakukan dalam Metode Pohon Induk

Menyisakan pohon tua, sekurang-kurangnya sampai permudaan tersebar merata

Pemanenan pohon tua ditujukan untuk mengatur ruang peremajaan

Beda dengan selection method : hasil tegakan seumur

Semua pohon tua ditebang kecuali sedikit pohon induk → soliter, group

Beda dengan shelterwood methods ; biji disediakan di petak, tidak ada batasan jalur

tebang agar biji sampai

Tidak ada tegas di jumlah pohon induk antara STM dan SWM

Bila tapak buruk, oleh tanah, ingin bantu tebar biji atau tambah pohon induk menjadi

SWM.

Pemetaan Pohon Induk :

Pohon induk soliter sebelah pohon lain dipanen → permudaaan merata

Pohon induk group : memudahkan penyelamatan pohon induk dan mudah

memanennya kemudian →permudaan tidak merata

Kalau biji mengelompok, ternaung, tidak hidup, jarangi lagi

Tidak ada bukti pohon induk di group lebih tahan angin

Kriteria Pohon Induk

Tegap, tajuk lebar, % tajuk besar, tahan badai, banyak buah

Tidak cocok untuk jenis pohon perakaran dangkal

Umur pohon induk cukup tua

Jumlah dan Sebaran Pohon Induk

Bila jenis pohon berumah dua : sisakan pohon jantan + pohon betina

Page 10 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 11: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

Bunga betina (konifer) sering diatas, pohon soliter sering kurang produktif karena

kurang turbulasi angin

Jumlah pohon tergantung pengalaman berapa produksi biji per pohon di masa lalu

Musim Berbuah Raya

Kerapatan permudaan tergantung musim buah raya

Sebagian besar biji dimakan predator ; pengerat, burung, serangga, jamur → sebab

kecil saja yang menjadi semai

Gunakan produksi biji sedang sebagai dasar penentuan jumlah penduduk

Pengembangan Sistem Silvikultur Pohon Induk

Ada empat hal yang seyogyanya dikembangkan di dalam penerapan sistem pohon

induk di hutan mangrove, yaitu :

1. Pohon induk sebaiknya tidak ditinggalkan secara soliter, tetapi pohon induk tersebut

harus ditinggalkan tersebar merata dalam bentuk koloni yang terdiri atas 3 atau lebih

individu pohon, karena kekuatan berdirinya pohon mangrove sangat bergantung pada

kekuatan saling ikat-mengikatnya sistem perakaran yang kedalamannya jarang lebih

dari 1,5 meter.

2. Sistem tebang habis tidak boleh dilakukan walaupun ketersediaan semai sebanyak

2500 bt/ha atau lebih. Hasil penelitian De Laune ef al. (1993) di hutan mangrove di

Australia menunjukkan bahwa sistem tebang habis di hutan mangrove menyebabkan

penurunan potensial redoks tanah dan peningkatan konsentrasi sulfida pada endapan,

sehingga kondisi ini menjadi racun bagi tumbuhan (penurunan produktivitas hutan

pada rotasi tebang berikutnya).

3. Untuk tujuan yang bersifat konservatif, lebar jalur hijau mangrove nampaknya perlu

dikaji lagi. Walaupun lebar jalur hijau tersebut sudah direkomendasi selebar 130  kali

perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan surut terendah, namun

pelaksanaannya secara luas di Indonesia perlu disesuaikan dengan iokasi setempat.

4. Penjarangan seyogyanya dilakukan pada umur 10 sampai 15 tahun setelah

penebangan, dimana ketersediaan pancang umumnya cukup tinggi. Menurut Kusmana

ef al. (1991), laju kematian akibat persaingan antar individu pohon di hutan mangrove

cukup tinggi pada permudaan tingkat pancang.

D. Penerapan Sistem Pohon Penaung

Pada sistem ini, tegakan yang baru dibangun di bawah atau di salah satu sisi naungan

dari pohon tua dimana pada saat yang sama naungan tersebut akan melindungi pula

tempat tumbuhnya. Syarat dari sistem shelterwood adalah di dalamnya terdapat sistem

Page 11 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 12: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

penebangan regenerasi yang berturut-turut bersamaan dengan sistem seleksi. Dimana

pada sistem ini, hutan ditebang ke dalam jalur-jalur tebang yang berseling dengan

demikian diharapkan biji yang diproduksi oleh pohon-pohon yang ada di jalur-jalur yang

belum ditebang akan jatuh di jalur-jalur yang ditebang. Biji-biji ini akan berkecambah

dan selanjutnya akan membentuk hutan baru di jalur tersebut.

Shelterwood system(Source: http://www.ec.gc.ca)

Pada prinsipnya sistem ini memanfaatkan kemampuan permudaan alami dari jenis-

jenis pohon yang tumbuh di hutan untuk permudaan hutan yang ditebang. Dimana pada

sistem ini akan diperoleh tegakan muda/permudaan di bawah naungan dan perlindungan

pohon tua. Keuntungan dari permudaan alami adalah sebagai berikut :

1. Tegakan muda berada di bawah perlindungan tegakan tua dan hal ini kurang lebih

terjadi dalam proses hutan alam

2. Kondisi iklim mikro dan tanah sesuai dengan yang dibutuhkan semai setidaknya

selama awal dari perkembangan tegakan

3. Lapisan humus yang menutupi horizon teratas dari tanah menyediakan media yang

baik untuk perlindungan benih dari sinar matahari dan cocok untuk daya hidup awal

semai

4. Seed barers digunakan sebagai induk dari proses suksesi yang terjadi pada tanah yang

beradaptasi dengan baik dalam tegakan. Hal ini merupakan keuntungan yang sering

dan biasa terjadi pada suatu tegakan tapi bukan merupakan alternatif yang baik.

Page 12 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 13: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

Populasi yang dapat beradaptasi dengan baik tidak selalu paling produktif atau paling

bernilai dalam segi karakter silvikultur atau kualitas kayu

5. Jenis campuran dapat lebih siap untuk diperoleh dan lebih sesuai untuk tegakan lokal

yang bervariasi,

6. Meningkatkan struktur yang lebih komplek dimana secara umum lebih mudah. Hal ini

penting ketika tegakan tidak beraturan diinginkan

7. Gangguan dalam produksi yang berhubungan dengan tebang habis tidak terjadi.

Adapun kerugian permudaan alami terutama dari segi manajemen ekonomi

yaitu sebagai berikut :

1. Kegiatannya sulit dilakukan dan mahal dari segi keahlian, tenaga, waktu, dan uang

2. Proses permudaan alami kurang mampu mengurangi resiko kegagalan, defisiensi

stock, dan waktu yang diperlukan

Ada beberapa persyaratan untuk menjamin keberhasilan permudaan alami, yaitu :

1. Suplai benih viable yang memadai

2. Benih reseptif terhadap keadaan yang buruk dengan suplai air dan nutrisi

3. Iklim mikro yang cocok untuk berkecambah, daya hidup, dan daya kecambah yang

tinggi dari tanaman muda

4. Ketahanan tahanan terhadap serangan hama, penyakit, gulma, dan iklim yang ekstrim.

Persyaratan permudaan alami tersebut lebih ke arah pembibitan dimana pada sistem

shelterwood terjadi regenerasi untuk persediaan benih dan mengubah iklim mikro pada

lantai hutan. Pada sistem regenerasi ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

inisiasi tunas bunga dan bisa mengurangi kegagalan yang terjadi antara pembungaan dan

pematangan buah dan benih, yaitu sebagai berikut:

1. Iklim. Pada daerah temperate, iklim mempengaruhi periode pembungaan dan

produksi benih.

2. Ruang tumbuh. Ruang tumbuh ini harus mendukung pertumbuhan vegetatif.

3. Kualitas benih dan kecukupan benih

4. Intensitas cahaya matahari. Intensitas matahari harus cukup untuk menyinri mahkota

pembawa benih

5. Unsur hara. Unsur hara yang diaplikasikan dengan dosis yang tepat dan waktu yang

tepat sesuai dengan jenis tanaman yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan,

meningkatkan pembungaan dan produksi buah-buahan.

Page 13 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 14: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

Pada prinsipnya dalam sistem shelterwood, tahapan penebangan dilakukan

dengan beberapa tahap, yaitu :

1. Preparatory cutting (Tebangan persiapan), dilakukan untuk memperbaiki kondisi

tempat tumbuh yang tidak cocok untuk perkecambahan biji.

2. Seed or seeding cutting (Tebangan biji/pemeliharaan), dihilangkan untuk

menghangatkan tanah dan merangsang perkecambahan, serta pertumbuhan

permudaan

3. Removal or final cutting (Tebangan pembersihan atau akhir/pemungutan), dilakukan

untuk memberikan cukup regenerasi dan telah tumbuh sampai cukup tinggi dan siap

untuk ditebang.

Proses penebangan dalam sistem silvikultur Shelterwood(Source: http://www.for.gov.bc.ca)

Sistem shelterwood dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sistem, yaitu : 1) Uniform

system. Pada sistem ini, pembukaan lapisan tajuk merata, tegakan muda kurang lebih

seumur dan seragam, 2) Group system. Pembukaan lapisan tajuk dengan celah-celah yang

tersebar, tegakan muda kurang lebih seumur, 3) Irregular shelterwood system.

Pembukaan lapisan tajuk tidak teratur dan tegakan muda tidak seumur, 4) Strip system

(sistem jalur). Penebangan dilakukan secara jalur. Penebangan untuk permudaan pada

suatu waktu dibatasi ke dalam bagian-bagian tertentu, kompartemen atau sub

Page 14 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 15: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

kompartemen, 5) Wedge system (Sistem baji). Penebangan dimulai pada garis dalam dan

maju kea rah luar dalam formasi baji, 6) Tropical shelterwood sistem.

Metode pohon pelindung :

membentuk tegakan seumur sebelum tegakan tua dihabiskan

Pemanenan tegakan tua secara bertahap (a series of partial cuttings)

Mirip penjarangan sangat keras berulang

Tegakan tua dihabiskan bila seluruh bagian lahan tertutup permudaan alami

Variasi perlakuan sangat besar tergantung target komposisi jenis yang diinginkan

Menyisakan pohon baik, dahulukan tebang pohon kurang baik ditengah anak petak

Kadang harus menyisakan sebagian pohon induk selama daur berikutnya untuk satwa

pelindungnya dan keindahan

Prinsip Dasar : :

Ruang dikosongkan agar biji dapat berkecambah dan tumbuh menjadi semai, pohon

tua diharapkan melindungi semai dari hama dan frost

Pohon tua harus dihabiskan bilamana tidak lagi melindungi melainkan mehalangi

pertumbuhan tegakan muda oleh naungannya

Penebangan pohon tua dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali

Pohon tua terbaik ditinggalkan untuk membuat keturunan, tumbuh lebih cepat pula

Preparatory Cuttings

Untuk menguatkan calon pohon tunggal dan mempercepat dekomposisi serasah (lebih

banyak panas dan hujan)

Bilamana banyak permudaan setelah penjarangan langsung panen utama

Removal Cuttings :

Panen utama bisa lebih dari satu kali untuk memberikan sebagian besar ruang kepada

peremajaan dan Pohon induk

Panen utama ada dua : estabilishment dan untuk ria. Agar semai cepat meninggi,

kurangi lagi pohon pancang

Kecepatan pemanenan tergantung kebutuhan cahaya permudaan jenis utama

Panen utama menimbulkan luka. Panen dengan kerusakan minimal bila semai masih

fleksibel

Panen utama rebahkan kearah semai padat dan hindari semai jarang

Empat macam variasi :

Uniform Method : seragam diwilayah tegakan

Strip shelterwood method : dilakukan di jalur

Page 15 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 16: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

Group shelterwood method : dilakukan di kelompok

Irregular shelterwood method : dilakukan jangka panjang

Keuntungan :

a.   Dapat melindungi jenis-jenis yang sensitive thd cahaya, kekeringan dan angin dingin

b.   Tanah lebih terlindungi

c.    Lebih tahan dari hama dan penyakit

d.    Bahaya erosi lebih kecil

e.    Kesempatan memberikan ruang tumbuh pada pohon-pohon terbaik lebih besar pada

waktu membuka canopi dan melakukan regenerasi

f.    Dari segi keindahan lebih baik

 Kerugian :  

a. Memerlukan keahlian dan waktu yang cukup

b. Secara ekonomis kurang efisien karena tidak dapat bekerja secara terkonsentrasi

c. Kerusakan pada pohon-pohon yang baik dapat terjadi pada waktu melakukan

penebangan.

d. Pada beberapa kasus, tanaman muda lebih banyak memerlukan waktu untuk establish

dari pada dengan sistem tebang habis

e. Pengawasan regenerasi dan penebangan lebih sulit.

Page 16 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 17: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah yang kami buat, maka kami dapat menyimpulkan bahwa :

1. Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan

yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau

penebangannya (SK Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999).

2. Sistem pohon induk adalah suatu sistem silvikultur dengan membiarakan beberapa

pohon berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk

regenerasi, sistem ini disebut juga sebagai sistem bibit pohon. Sedangkan Sistem

pohon penaung adalah suatu sistem silvikultur yang diterapkan di hutan-hutan

temperate dimana kondisi hutannya relatif seragam, baik dari segi umur dan jenis

pohon yang ada di dalamnya.

3. Ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam sistem pohon induk yaitu Ekologis,

Ekonomis dan Teknis.

4. Ada empat hal yang seyogyanya dikembangkan di dalam penerapan sistem pohon

induk di hutan mangrove, yaitu :

a. Pohon induk sebaiknya tidak ditinggalkan secara soliter, tetapi pohon induk

tersebut harus ditinggalkan tersebar merata dalam bentuk koloni yang terdiri atas

3 atau lebih individu pohon, karena kekuatan berdirinya pohon mangrove sangat

bergantung pada kekuatan saling ikat-mengikatnya sistem perakaran yang

kedalamannya jarang lebih dari 1,5 meter.

b. Sistem tebang habis tidak boleh dilakukan walaupun ketersediaan semai sebanyak

2 500 bt/ha atau lebih.

c. Untuk tujuan yang bersifat konservatif, lebar jalur hijau mangrove nampaknya

perlu dikaji lagi.

d. Penjarangan seyogyanya dilakukan pada umur 10 sampai 15 tahun setelah

penebangan, dimana ketersediaan pancang umumnya cukup tinggi.

5. Pada sistem pohon penaung, tegakan yang baru dibangun di bawah atau di salah satu

sisi naungan dari pohon tua dimana pada saat yang sama naungan tersebut akan

melindungi pula tempat tumbuhnya. Syarat dari sistem shelterwood adalah di

dalamnya terdapat sistem penebangan regenerasi yang berturut-turut bersamaan

dengan sistem seleksi.

Page 17 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 18: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

B. Saran

Saran yang dapat kami berikan sesuai dengan makalah yang kami buat yaitu :

1. Dalam melakukan penerapan sistem pohon induk dan sistem pohon penaung dalam

suatu manajemen kehutanan harus melalui analisis terlebih dahulu, supaya sistem

yang ditetapkan atau dipakai dapat memberikan keuntungan baik dari segi ekonomi

maupun ekologinya.

2. Makalah ini sangat memberikan tambahan pengetahuan mengenai sistem pohon

induk dan sistem pohon penaung dalam bidang kehutanan, maka dari itu kami

harapkan makalah ini dapat dijadikan sebuah referensi ilmu yang berhubungan

dengan penerapan sistem silvikultur.

Page 18 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)

Page 19: file · Web viewBerdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Sistem Silvikultur. Dalam http://pengetahuankehutanan.blogspot.com /2012/03/metode-fba-functional-branch-analysis.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

Anonim. 2013. Sistem Silvikultur. Dalam http://www.forestrynepal.org/notes/silviculture-systems/6, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

Cecep. 2010. Sejarah dan Evaluasi Sistem Silvikultur. Dalam http://cecep_kusmana. staff.ipb.ac.id/2010/06/15/sejarah-dan-evaluasi-sistem-silvikultur-hutan-mangrove-di-indonesia/, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

David. 2010. Sistem Silvikukltur. Dalam http://david-pas.blogspot.com /2010/02/sulvikultur. html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

Ghina. 2011. Sistem Silvikultur. Dalam http://ghinaghufrona.blogspot.com/2011/08/sistem-silvikultur.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

Joxzyn. 2008. Sistem Silvikultur. Dalam http://joxzyn.blogspot.com/2008/12/created-by-tri7okoyahoo.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

Wilarso. 2008. Sistem Silvikultur. Dalam http://wilarso.wordpress.com/2008/08/17/sistem-silvikultur-by-dr-sri-wilarso/, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.

Page 19 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)