a4 408 bab vii damai 75-78

5
BAB VII UPAYA DIALOG UNTUK PENYELESAIAN SECARA DAMAI Langkah-Langkah Presiden B.J. Habibie SETELAH diusahakan dengan berbagai cara, sejak awal mula keberadaan-nya, yang semula bernama Aceh Merdeka (AM), kemudian dilebeli sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GKP), lalu disebut sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT), kemudian di kalangan kepolisian disebut sebagai Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan (GBPK), dan akhirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kualifikasinya pun berubah-ubah dari semula gerombolan, atau pemberontak, kemudian sebagai pengacau keamanan, lalu terakhir semenjak Inpres No. 4 Tahun 2001, secara resmi disebut atau diakui sebagai “Gerakan Separatis Bersenjata”. Perlakuannya pun dari pihak pemerintah, khususnya pihak aparat keamanan negara; juga berbeda-beda, sesuai dengan nama dan kualifikasi, namun hampir semuanya mengatakan bahwa, mereka adalah kelompok atau gerakan yang perlu ditumpas dan/atau ditindas, atau dibasmi sampai ke akar-akarnya, tidak satu pun mengaitkannya dengan aspek politik, sehingga perlu di tangani secara politis pula. Bahkan ketika itu, ada upaya untuk menafikan keberadaannya, sehingga tidak perlu disebut namanya sebagai suatu gerakan untuk menuntut kemerdekaan bagi Aceh, takut kalau disebut berarti mengakui keberadaannya. Ada sementara petinggi ABRI yang mengumpamakan GAM, seperti jarum dalam rumput, sehingga untuk megambil atau menumpasnya, maka rumput di mana jarum tesrebut berada dan di sekitarnya haruslah dibersihkan atau dimusnahkan semuanya (atau dalam BAB VII: Upaya Dialog untuk Penyelesaian Damai 75

Upload: achmed-annur-elfairuzy

Post on 15-Sep-2015

229 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

damai

TRANSCRIPT

PERISTIWA PEMBANTAIAN PKI DI ACEH

BAB VII

Upaya Dialog untuk Penyelesaian secara DamaiLangkah-Langkah Presiden B.J. Habibie XE "Habibie, Presiden"

Setelah diusahakan dengan berbagai cara, sejak awal mula keberadaan-nya, yang semula bernama Aceh Merdeka (AM), kemudian dilebeli sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GKP), lalu disebut sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro XE "Hasan Tiro, Dr. " (GPLHT), kemudian di kalangan kepolisian disebut sebagai Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan (GBPK), dan akhirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM XE "GAM" ). Kualifikasinya pun berubah-ubah dari semula gerombolan, atau pemberontak, kemudian sebagai pengacau keamanan, lalu terakhir semenjak Inpres No. 4 Tahun 2001, secara resmi disebut atau diakui sebagai Gerakan Separatis Bersenjata. Perlakuannya pun dari pihak pemerintah, khususnya pihak aparat keamanan negara; juga berbeda-beda, sesuai dengan nama dan kualifikasi, namun hampir semuanya mengatakan bahwa, mereka adalah kelompok atau gerakan yang perlu ditumpas dan/atau ditindas, atau dibasmi sampai ke akar-akarnya, tidak satu pun mengaitkannya dengan aspek politik, sehingga perlu di tangani secara politis pula. Bahkan ketika itu, ada upaya untuk menafikan keberadaannya, sehingga tidak perlu disebut namanya sebagai suatu gerakan untuk menuntut kemerdekaan bagi Aceh, takut kalau disebut berarti mengakui keberadaannya.

Ada sementara petinggi ABRI XE "ABRI" yang mengumpamakan GAM XE "GAM" , seperti jarum dalam rumput, sehingga untuk megambil atau menumpasnya, maka rumput di mana jarum tesrebut berada dan di sekitarnya haruslah dibersihkan atau dimusnahkan semuanya (atau dalam bahasa Aceh: di-seek terlebih dahulu. Pendapat tersebut bermakna, untuk menumpas GAM, maka rakyat Aceh sebagai rumputnya haruslah dimusnahkan terlebih dahulu. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa metode ini sebagai genocide, atau pemus-nahan suku/etnis. Sementara petinggi ABRI lainnya meggunakan thesis Snouck Horgronje XE "Snouck Horgronje" , bahwa setiap perlawanan orang Aceh harus ditundukkan dengan tindakan yang keras, atau dengan senjata jangan pernah mencari jalan untuk mendekatinya, sebelum mereka menyerah, tidak akan selesai urusannya. Pokoknya harus ditumpas dengan kekerasan, jangan kompromi sedikitpun. Ini pun apalagi kalau bukan haus darah.

Dengan mengunakan berbagai teori dan hipotesis, serta ber-dasarkan pengalaman perang di mana-mana, banyak Komandan baik di daerah maupun di pusat, yakin betul bahwa konflik di Aceh akan segera dapat diselesaikan dengan menumpasnya sampai habis, dalam tempo yang berbagai-bagai: ada yang mengatakan 3 bulan, ada yang menyebutnya 6 bulan, dan ada pula yang mengestimasi dalam tempo satu tahun. Semuanya akan menggunakan kekuatan militer, baik TNI maupun polisi/Brimob.

Asumsi awalnya adalah, GAM XE "GAM" tidak mempunyai senjata, yang mereka punyai hanya senjata peninggalan Jepang atau bekas Belanda yang telah digunakan selama dan oleh orang-orang DI/TII XE "DI/TII" , selain rencong, parang/pedang, dan lembing tentunya. Selain itu, pengikut GAM diperkirakan tidak banyak, hanya ratusan orang, de-ngan logistik dan dukungan dana yang terbatas. Namun kenyataan-nya, sungguh mencengangkan semua pihak, terutama pihak yang rada arogan mengatakan konflik Aceh adalah masalah kecil dan segara dapat dituntaskan. Di tengah-tengah keheranan dan kegundahan itulah Presiden B. J. Habibie XE "Habibie, Presiden" berkesimpulan, bahwa masalah Aceh tidak dapat diselesaikan dengan senjata, tetapi haruslah dengan pendekatan kultural/spiritual, dan sentuhan hati nurani serta perasaan (empathy). Agar betul-betul kena ke sasaran-nya, perlu dibuka dialog. Tegasnya penyelesaian Aceh haruslah dengan cara damai, mengingat Aceh bukan musuh bangsa Indonesia, orang Aceh adalah saudara kandung orang Indonesia lainnya. Tidaklah diterima akal sehat, kalau terjadi sengketa sesama saudara, harus diselesaikan dengan berperang, atau dengan memerangi. Itulah filosofi Pak Habibie XE "Habibie, Presiden" dalam menyelesaikan masalah Aceh.

Mulailah dengan para pembantu dekatnya, Presiden RI Habibie XE "Habibie, Presiden" , menyusun kerangka penyelesaian konflik Aceh yang kemudian disebutnya dengan: penyelesaian secara komprehensif, damai, adil dan berwawasan ke depan. Presiden Habibie XE "Habibie, Presiden" kemudian meng-elaborasi pengertian dari komprehensif, damai, adil dan berwawasan ke depan tersebut, sebagai berikut:

- Komprehensif: mencakup semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbang-sa dan bernegara, yakni ipoleksosbudkumhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan pertahanan dan keamanan) atau tegasnya tidak hanya aspek keamanan saja. - Damai, dengan cara-cara yang tidak kekerasan (non-violence), yakni melalui proses dialog, dan atau perundingan. - Adil, haruslah obyektip (berdasarkan kenyataan yang sebenarnya), tidak menggunakan asumsi-asumsi yang menyamaratakan atau menganggap semua orang Aceh adalah GAM XE "GAM" . Ada orang Aceh yang GAM dan merekalah yang menjadi sasaran operasi dan/atau penggarapan, dan ada pula yang tidak GAM, dan mereka haruslah didekati dengan cara yang berbeda, mereka harus diambil hatinya (to win their hart), diajak untuk berkerja sama, bukan disakiti apalagi dianiaya, walaupun dengan alasan shock therapy sekalipun. - Berwawasan Ke depan: bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi menjadi-kan masa lalu sebagai pengalaman dan pelajaran untuk melangkah kemasa depan yang penuh harapan dan tantangan. Pengalaman pahit dan keliru, tentulah tidak perlu diulangi dimasa depan, sedangkan pengalaman yang baik dan berguna, terus dikembangkan demi kabaikan dan kemaslahatan di masa depan. Langkah pertama beliau setelah dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto XE "Soeharto, Presiden" , adalah mecabut status DOM XE "DOM" bagi Aceh, dengan menugaskan Pangab Jenderal Wiranto XE "Wiranto, Pangab" untuk men-deklarasikannya baik di Masjid Baiturrahman, maupun di pendopo Bupati Aceh Utara di Lhokseumawe XE "Lhokseumawe" , pada tanggal 7 Agustus 1998. Hal ini berarti membebaskan Aceh dari operasi militer yang sangat mencekam, yang ketika itu terkenal dengan nama: Operasi Jaring Merah XE "Operasi Jaring Merah" . DOM sebenarnya telah diberlakukan bagi Aceh sejak tahun 1989. Walaupun terjadi kontroversi dan polemik di masyarakat, apakah DOM perlu/harus dicabut atau tidak. Kalangan tertentu dalam ABRI XE "ABRI" yang tergolong garis keras, tentu saja tidak setuju dengan pencabutan DOM, namun, kearifan Presidenlah sebagai orang yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan me-nyadari ekses operasi militer yang sangat menyedihkan dan me-nyengsarakan rakyat Aceh, beliau akhirnya memutuskan mencabut DOM, serta sekaligus menarik semua pasukan non-organik dari Aceh. Langkah kedua, Presiden Habibie XE "Habibie, Presiden" adalah membentuk Tim Penasihat Presiden tentang Aceh, yang kemudian lebih populer disebut sebagai TPPUA (Tim Penasehat Presiden Urusan Aceh), dengan Keppres. Langkah ketiga, beliau adalah mengadakan kunjungan silaturrahmi ke Aceh dan bertemu serta berdialog dengan masyarakat Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh XE "Banda Aceh" , setelah menunaikan sholat Jumat bersama. Langkah keempat, beliau membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang disingkat sebagai KIPTKA, atas usul dari TPPUA. Langkah kelima, Presiden Habibie XE "Habibie, Presiden" adalah mulai merealisir janji-janji dan komitmen beliau di depan masyarakat dalam Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, namun hal itu tidak sempat beliau tuntaskan, keburu digantikan oleh Pre-siden Abdurrahman Wahid, yang terpilih dalam sidang paripurna MPRRI, tanggal 23 Oktober 1999. Demikian pula dengan langkah-langkah berikutnya berupa dialog dengan pihak GAM XE "GAM" , walaupun telah direncanakan, namun tidak berkesempatan melaksanakannya, dan kemudian dilaksanakan oleh Gus Dur XE "Gus Dur, Presiden" , dengan mengundang intermediasi dan di fasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC XE "HDC" ).

Namun demikian ada juga beberapa komitment di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh XE "Banda Aceh" , yang sempat dilaksanakan sebelum beliau lengser, yakni memberikan amnesti kepada 40 orang Tapol/ Napol, memberikan beasiswa. Sedangkan penataan kuburan-ku-buran korban DOM XE "DOM" , ketika itu masih menunggu fatwa Majelis ulama dan kesediaan dan/atau izin keluarga korban. Sedangkan perpan-jangan landasan pacu Bandara Sultan Iskandar XE "Iskandar" Muda, segera di-mulai pembangunannya. Secara keseluruhan, skema, dan ikhtisar, penyelesaian konflik Aceh secara Damai adalah sebagai berikut:

Era Kepresidenan B. J. Habibie XE "Habibie, Presiden" :

- Cabut DOM XE "DOM" dan tarik Pasukan Non-Organik dari Aceh

- Bentuk Tim Penasehat Presiden Urusan Aceh. - Bentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. - Pemberian Amnesti kepada sejumlah Tapol/Napol, yang terkait dengan GAM XE "GAM" . Era Kepresidenan K. H. Abdurrhaman Wahid:

- Undang Henry Dunant Center (HDC XE "HDC" ), Genewa, untuk intermediasi dan fasilitasi dialog Pemerintah RI dengan Pimpinan GAM XE "GAM" . - Mulai dialog di Bavois, Genewa, Switzerland. - Joint of Understanding tentang Jeda Kemanusiaan XE "Jeda Kemanusiaan" (Humanitarian Pause) ditandatangani pada tanggal 12 Mei 2000, di Jenewa, dan bentuk perangkatnya di Aceh. Era Kepresidenan Megawati XE "Megawati" Soekarnoputri:

- Bentuk Desk Aceh XE "Desk Aceh" di Menko Polkam, dengan Panasehatnya terdiri dari Tokoh Masyarakat Aceh. - Lakukan kembali dialog dengan mediasi HDC XE "HDC" . - Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2002, di Genewa. Era Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono:

- Teruskan keberadaan Desk Aceh XE "Desk Aceh" , tanpa Penasehat. - Lakukan kembali dialog, dengan Mediasi Martti Ahtisaari XE "Martti Ahtisaari" , Mantan Presiden Finlandia XE "Finlandia" . - MoU ditandatangani antara Pemerintah RI dengan GAM XE "GAM" , tang-gal 15 Agustus 2005, di Helsinki.***

78

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH77BAB VII: Upaya Dialog untuk Penyelesaian Damai