a. kondisi geografi kota batavia abad xix - abstrak.uns.ac.id · abad xvii, populasi penduduk kota...

31
19 BAB II BATAVIA ABAD XIX A. Kondisi Geografi Kota Batavia Abad XIX 1. Kondisi Kota Sebelum Abad XIX Kota Batavia pada abad XVII berbentuk bujur sangkar dengan panjang kurang-lebih 2.250 m dan lebar 1.500 m. Kota ini dibelah oleh Sungai Ciliwung atau yang biasa disebut oleh orang Belanda sebagai Grote Rivier (Kali Besar) sehingga menjadi dua bagian kota yang hampir sama luasnya. Masing-masing bagian dari kedua sisi sungai tersebut terpotong oleh dua parit yang terletak sejajar pada sepanjang sisi-sisi terpanjang buju sangkar tersebut. Kemudian terpotong lagi secara tegak lurus oleh beberapa parit simpang. 1 Ketika pimpinan armada Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tiba di Batavia pada 13 November 1596, kota tersebut masih berupa pelabuhan kecil yang disebut Sunda Kalapa, yakni pelabuhan yang terletak di muara Sungai Ciliwung di bagian barat laut Pulau Jawa. Batavia kala itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Keberhasilan armada Belanda mendarat di Sunda Kalapa menjadi cikal bakal terbentuknya daerah jajahan baru. Belanda menjadi armada pertama yang menginjakkan kakinya di Batavia, bahkan pada masa tersebut Portugis belum sampai di Sunda Kalapa. 2 1 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (Jakarta: Pustazet Perkasa, 1988), hlm. 4. 2 Susan Blackburn, Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Depok: Masup Jakarta, 2012)., hlm. 32-55.

Upload: trinhbao

Post on 20-Aug-2019

235 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

BATAVIA ABAD XIX

A. Kondisi Geografi Kota Batavia Abad XIX

1. Kondisi Kota Sebelum Abad XIX

Kota Batavia pada abad XVII berbentuk bujur sangkar dengan panjang

kurang-lebih 2.250 m dan lebar 1.500 m. Kota ini dibelah oleh Sungai Ciliwung

atau yang biasa disebut oleh orang Belanda sebagai Grote Rivier (Kali Besar)

sehingga menjadi dua bagian kota yang hampir sama luasnya. Masing-masing

bagian dari kedua sisi sungai tersebut terpotong oleh dua parit yang terletak

sejajar pada sepanjang sisi-sisi terpanjang buju sangkar tersebut. Kemudian

terpotong lagi secara tegak lurus oleh beberapa parit simpang.1

Ketika pimpinan armada Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de

Houtman tiba di Batavia pada 13 November 1596, kota tersebut masih berupa

pelabuhan kecil yang disebut Sunda Kalapa, yakni pelabuhan yang terletak di

muara Sungai Ciliwung di bagian barat laut Pulau Jawa. Batavia kala itu masih

berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Keberhasilan armada Belanda

mendarat di Sunda Kalapa menjadi cikal bakal terbentuknya daerah jajahan baru.

Belanda menjadi armada pertama yang menginjakkan kakinya di Batavia, bahkan

pada masa tersebut Portugis belum sampai di Sunda Kalapa.2

1 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan,

dan Belanda di Batavia VOC (Jakarta: Pustazet Perkasa, 1988), hlm. 4. 2 Susan Blackburn, Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Depok:

Masup Jakarta, 2012)., hlm. 32-55.

20

Oud Batavia atau Batavia Lama merupakan kota yang pertama kali

dikembangkan oleh VOC. Oud Batavia merupakan sebuah kota bergaya abad

pertengahan dengan bentuk bangunan yang menyerupai kastil dikelilingi dengan

tembok yang kokoh.3 Orang-orang Belanda yang menetap di Batavia membangun

jalan-jalan dan kanal-kanal yang sama seperti di negerinya. Mereka pertama kali

mendirikan benteng yang mulanya dibangun menjorok ke laut di muara kali

Ciliwung. Benteng ini disebut Het Kasteel, merupakan sarana yang amat penting

bagi masyarakat Belanda yang pada waktu itu masih berjumlah sedikit. Di dalam

benteng terdapat bangunan-bangunan penting seperti kediaman gubernur-jenderal,

bengkel kapal, garnisun, perbendaharaan, gudang senjata, gudang administrasi

dan akuntansi, penjaara, gereja pertama, serta ruang pertemuan Dewan Hindia

(Raad van Indie).4 Pada masa ini, kota Batavia telah menjadi cikal bakal kota

impian Jan Pieterszoon Coen. Pembangunan kota dipusatkan di sebelah timur Kali

Besar yang diperkuat dengan dibangunnya Benteng Gelderland dan Hollandia

yang juga merupakan pintu masuk-keluar kota Batavia yang menghubungkan

Kota Batavia dengan luar kota. Benteng Zeeland ditempatkan di ujung Barat kota

untuk memantau kawasan sebelah barat Kali Besar.5

3 Yudi Prasetyo, “Dari Oud Batavia Sampai Nieuwe Batavia: Sejarah ota

Batavia 1596-1900”, Genta,Vol. 2, No.1, Maret 2014, hlm. 4. 4 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 20. 5 Ira Sophia, “Peran Strategis Kali Besar Dalam Pembentukan dan

Perkembangan Kota Batavia Pada Masa Pemerintahan VOC”, Skripsi Program

Studi Arsitektur Fakultas Teknik UI, 2006, hlm. 36.

21

Gam

bar

1

Pet

a K

asti

l B

atav

ia p

ada

tahun 1

667

Sum

ber

: K

ole

ksi

Tro

ppen

Muse

um

22

Pembangunan kota ini tergolong pesat karena dalam tempo delapan tahun

luas wilayahnya telah mencapai tiga kali lipat. Bentuk kotanya menyerupai kastil

berbentuk kotak yang dibangun di atas dataran rata. Bangunan di dalam kastil

disebut dengan Intramorus, sedangkan kediaman gubernur jenderal Belanda,

anggota dewan, serta para opsir Belanda disebut Citadel.6 Wilayah benteng ini

dibuat persis menyerupai kota-kota di Belanda khususnya Amsterdam.7 Benteng

ini dikelilingi oleh kanal-kanal yang sengaja dibuat di bagian depan, sedangkan di

bagian belakang dibangun gedung dan bangunan yang juga dikelilingi oleh kanal,

pagar besi, dan tiang yang kuat. Wilayah benteng ini kemudian menjadi

pemukiman masyarakat Belanda.8 Sejumlah aktivitas yang dilakukan di dalam

benteng berkembang pesat dan menyebar ke kota yang dikelilingi dinding dan

berkembang semakin jauh ke selatan. Daerah di luar benteng Batavia ini

kemudian disebut ommenlanden9. Pada sisi seberang kali, di benteng bagian barat

daya berdiri bangunan-bangunan dermaga utama sebagai tempat membongkar

muat barang dagangan.10

Kota Batavia Lama berbatasan dengan Pantai Utara (Pasar Ikan) di sebelah

utara dan Javasche Bank11 di sebelah selatan. Batavia Lama sendiri dibelah oleh

Kali Besar menjadi dua sisi yaitu barat dan timur. Terdapat pemukiman golongan

6 Yudi Prasetyo, loc.cit. 7 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1988), hlm. 48. 8 Desca Dwi Savolta, “Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota

Batavia Awal Abad 20”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni

Rupa UNS, 2010, hlm. 24. 9 Ommenlanden adalah sebutan untuk daerah di luar benteng Batavia. 10 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 22. 11 Saat ini menjadi Museum Bank Indonesia.

23

rendahan seperti orang-orang Portugis dan Tionghoa di bagian barat. Selain

pemukiman golongan rendahan, di wilayah tersebut juga terdapat pasar daging

dan pasar ikan serta gudang-gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Di

bagian timur berdiri Stadhuis, di samping kiri Stadhuis berdiri gereja yang

terbakar habis ketika para prajurit Mataram ketika menyerang Batavia pada tahun

1628. Pada bagian timur ini, terutama di Tijgergracht12, banyak bermukim orang

kaya dalam rumah-rumah besar dan mewah dengan taman-taman yang luas.13

Salah satu jalan yang terkenal adalah Jacatraweg atau Jalan Jakarta. Jalan ini

dimulai dari Gereja Portugis dekat Jembatan Senti hingga Jembatan Merah.

Pribumi mengenal ketiga daerah tersebut sebagai Kampung Pecah Kulit, Mangga

Dua dan Jembatan Merah. Dari Gereja Portugis hingga Jembatan Merah tidak

ditemui rumah penduduk melainkan hutan dan kebun kelapa.14

Pembangunan benteng di Batavia ini menunjukkan adanya sebuah sikap

yang khas dalam perkembangan kota. Orang Eropa atau bangsa Eropa sejak abad

pertengahan cenderung membangun benteng untuk koloninya. Benteng-benteng

ini dibuat untuk mempertahankan daerah kekuasaan dan melindungi penduduk

yang tinggal di dalamnya. Benteng kemudian dianggap sebagai awal mula

terbentuknya kota dan memainkan peranan penting terhadap sejarah pertumbuhan

kota.15

12 Saat ini Jalan Pos Kota. 13 Abdul Hakim, Jakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: Pustaka Antar Kota,

1989), hlm. 12. 14 Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan

1882-1959, (Depok: Masup Jakarta, 2007), hlm. 41. 15 Kuntowijoyo, Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa. (Yogyakarta:

Penerbit Ombak, 2013), hlm. 35.

24

Pada abad XVIII, Batavia menjadi kota yang terkenal dengan sebutan

Koningin van het Oosten16. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal

Camphuys, muncul suatu perkembangan baru dalam masyarakat kolonial. Suatu

kelompok elit memilih untuk menetap di Jawa daripada di negeri mereka sendiri.

Gaya hidup semacam ini berkembang sepenuhnya pada abad ke-18. Kondisi

Batavia yang memprihatinkan pada waktu itu menyebabkan orang-orang kaya

Batavia berbondong-bondong membangun vila-vila di luar daerah pemukiman

lama. Berpindahnya para penduduk kaya raya ini menyebabkan ukuran kota

Batavia meluas hingga ke selatan kota. Di satu sisi, vila-vila dengan perkebunan

luas ini dibangun untuk ajang saling pamer antar masyarakat Eropa pada zaman

tersebut.17

Selama bertahun-tahun Batavia Lama menjadi tempat tinggal untuk koloni

Belanda, para budak, serta etnis-etnis lain walau tidak tinggal di dalam tembok

benteng. Namun iklim di Batavia Lama ternyata sangatlah buruk. Kabut yang

mengandung udara beracun serta parit yang tercemar membuat kehidupan

penduduknya menjadi kurang nyaman. Ini semua dikarenakan Batavia Lama

dibangun di atas tanah bekas rawa-rawa, yang menjadikannya sangat tidak sehat.

Angin yang berbau busuk serta penyakit yang timbul kemudian, seperti kolera dan

malaria, menyebabkan tingginya angka kematian. Keburukan-keburukan Batavia

Lama tersebut membuat orang-orang Eropa menjulukinya sebagai ‘makam bagi

16 Julukan yang sama dengan The Queen of the East atau Ratu dari Timur. 17 Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, (Depok: Masup

Jakarta, 2009), hlm. 86.

25

orang-orang Eropa’, yang berhasil mengusir predikat ‘Ratu Dari Timur’.18 Selama

abad XVII, populasi penduduk kota Batavia Lama membengkak pada tahun 1730.

Penduduk yang tinggal di dalam benteng kota mencapai 20.000 jiwa sedangkan

yang tinggal di luar benteng kota. Bertambahnya populasi di dalam benteng kota

mempengaruhi sistem aliran air.19

Faktor lainnya yang menyebabkan ketidaksehatan lingkungan Batavia

Lama adalah karena Batavia Lama dibangun di atas tanah bekas rawa-rawa.

Faktor tersebut menjadikan angka kematian di Batavia Lama menjadi tinggi.

Penyakit malaria dan kolera yang sempat mewabah juga ikut memakan korban.

Hal ini membuat Batavia Lama mendapat julukan baru, yakni Graf de Hollanders

atau kuburan orang Belanda.20

18 Leonard Blusse, op.cit., hlm. 24-26. 19 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 56. 20 Leonard Blusse, op.cit., hlm. 27-29.

26

Gambar 2

Molenvliet sekitar tahun 1890

Sumber: media-kitlv.nl

2. Kondisi Kota Pada Abad XIX

Revolusi Perancis yang terjadi di Eropa berpengaruh besar terhadap

perubahan-perubahan yang terjadi di Batavia pada abad selanjutnya. Belanda tak

luput dari revolusi besar ini. Yang terjadi kemudian ialah Belanda menjadi bagian

dari negara Perancis dan namanya berubah menjadi Bataafsche Republik atau

Republik Bataaf. Kondisi ini ditambah dengan VOC yang tidak akan bisa

dipertahankan lagi, membuat Batavia dan daerah kekuasaan Belanda di Nusantara

diambil alih oleh pemerintahan Perancis pada saat itu. Napoleon Bonaparte

menyerahkan Kerajaan Belanda kepada kerabatnya yang bernama Louis

Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengutus salah satu bawahannya, Herman

Willem Daendels (1808-1811), untuk mengurus daerah jajahan Belanda di bumi

27

belahan timur. Sejak Januari 1808, Daendels menjadi Gubernur-Jenderal di

Hindia Belanda.21 Akibat kondisi yang tidak sehat di Batavia Lama, Daendels

mengambil beberapa tindakan penanggulangan. Tindakan-tindakan tersebut antara

lain memperbaiki saluran air, membersihkan jalan, menimbun genangan air kotor,

memindahkan kantor dan kompleks pemukiman, memperbaiki rumah sakit, serta

merelokasi kompleks makam.22

21 Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, Lintasan:

Sejarah Jakarta (Jakarta: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman, 2004), hlm. 37. 22 Djoko Marihandono, “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman

Willem Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”,

Disertasi Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya UI., hlm. 320.

28

Gambar 3

Kota Batavia yang telah berkembang ke selatan pada tahun 1897,

Societeit Harmonie ditandai dengan bulatan warna kuning, Societeit

Concordia ditandai bulatan warna hitam

Sumber: KITLV

29

Secara administratif Karesidenan Batavia merupakan suatu residentie

(karesidenan) yang dipimpin oleh seorang residen. Daerah administratif

Residentie Batavia dibagi pula secara administratif dalam lingkungan-lingkungan

yang lebih kecil yang disebut afdeeling. Residentie Batavia terdiri atas Afdeeling

Stad en Voorsteden, Afdeeling Meester Cornelis, Afdeeling Tangerang, Afdeeling

Buitenzorg dan Afdeeling Krawang. Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia

dibagi lagi kedalam 4 districten (distrik), yaitu, Penjaringan, Pasar Senen, Mangga

Besar dan Tanah Abang.23

Dalam hal ini, Daendels memindahkan kantor dan kompleks pemukiman

ke pedalaman Batavia. Di daerah baru yang diberi nama Weltevreden24, Daendels

membangun berbagai fasilitas baru dengan cara menghancurkan beberapa gedung

di Batavia Lama. Kemudian di Batavia Baru tersebut muncul daerah pemukiman-

23 Adhitya Hatmawan, “Perkembangan Transportasi Kereta Api di Batavia

1870-1925”, Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, 2002, hlm. 17. 24 Wilayah Weltevreden sendiri pada mulanya ialah sebuah kompleks

tanah yang diberikan kepada Anthony Pavilyun Sr. pada tahun 1648 dengan hak

milik di dekat daerah Waterlooplein. Lahan ini berulang kali pindah tangan. Pada

tahun 1749 lahan tersebut dijual kepada Direktur Jenderal sebesar 28.000 Ringgit

dan di atas lahan tersebut kemudian dibangun sebuah rumah yang besar. Rumah

tersebut biasanya digunakan untuk bermain bilyar. Di belakang rumah terdapat

sejumlah kolam dan di seberang sungai terdapat kolam renang yang luas. Pada

saat Gubernur-Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) berkuasa, dibangun sebuah

kapel dan sekolah di kompleks lahan tersebut. Tanah tersebut sempat ditawar oleh

Gubernur-Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten (1796-1801). Gubernur-

Jenderal van Overstraten ingin menjadikan tanah tersebut sebagai tempat

tinggalnya, namun karena harganya yang tinggi maka ia meminta Kepala Balai

Harta Batavia untuk meminjamkan uang kepadanya sebesar 137.803 ringgit

dengan ketentuan bahwa setiap Gubernur-Jenderal berikutnya harus mengambil

alih tanah ini dari pendahulunya dengan harga yang sama. Maka sejak saat itu

rumah di Weltevreden menjadi tempat tinggal Gubernur-Jenderal di Batavia.

Lihat Djoko Marihandono, op.cit., hlm. 323.

30

pemukiman baru seperti Tanah Abang, Gondangdia, Meester Cornelis25, dan

Menteng. Orang-orang membangun rumah-rumah luas dan sejuk di pinggir jalan

yang dinaungi pohon-pohon rindang. Pemandangan ini berbeda dengan

pemandangan yang disuguhkan di Batavia Lama, dengan rumah-rumah bertingkat

dua dan dekat dengan jalan.26 Weltevreden memiliki gereja-gereja baru, sekolah,

klub, dan teater. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut membuat Weltevreden

menjadi hunian mewah dan bergengsi. Batavia Baru kemudian kembali

mendapatkan julukan “Ratu dari Timur” yang sebelumnya menjadi julukan bagi

Batavia Lama.27

Akibat banyaknya kanal atau parit yang sudah tidak dapat menampung air

yang mengalir ke laut serta berbau busuk, maka Daendels memerintahkan

penimbunan parit kepada Letnan Buyskes. Untuk tujuan tersebut, banyak rumah-

rumah dan semua bangunan kastil kecuali gudang di Batavia Lama dibongkar.

Puing-puing hasil bongkaran bangunan tersebut digunakan untuk membangun

bangunan-bangunan lain di luar kota seperti Molenvliet, Rijswijk, Kampung Baru,

Weltevreden, dan Meester Cornelis. Daendels kemudian merencanakan

membangun sebuah kota baru di pedalaman Batavia yang letaknya lebih tinggi

dari kota Batavi, yaitu di Weltevreden. Pertama-tama Daendels membangun

tangsi militer dan rumah-rumah mewah untuk para perwira militer. Menyusul

rumah-rumah baru para orang kaya Belanda yang dibangun di sepanjang

25 Saat ini daerah Jatinegara. 26 Willard A. Hanna, op.cit., hlm. 191. 27 Retno Galih, loc.cit.

31

Molenvliet, Rijswijk dan Weltevreden, serta tak lama menyusul pula rumah-

rumah baru di Koningsplein dan di jalan menuju benteng Meester Cornelis.28

Selain memindahkan pemukiman, Daendels turut serta memindahkan

sarana-sarana lainnya dari Batavia Lama. Daendels membangun sebuah istana

yang rencananya akan digunakan sebagai kantor pemerintahan baru dan tempat

tinggal Gubernur-Jenderal di Waterlooplein, serta memindahkan gedung Societeit

dari Batavia Lama.29

Gedung dan sarana umum di Weltevreden, gedung teater, gedung klub

atau perkumpulan seperti Harmonie dan Concordia, Kastil Daendels, dan balai

kota, seluruhnya dirancang oleh arsitek militer yang menamakan hasil rancangan

mereka sebagai “colonial empire style” pada bangunan yang dibangun paruh awal

abad XIX. Kemudian untuk bangunan yang dibangun paruh kedua abad XIX

dinamakan gaya “late empire” atau “neo-classical empire style”.30

Pembangunan istana di Waterlooplein dilanjutkan oleh Gubernur-Jenderal

Du Bus de Gisignies (1825-1830). Selain itu Du Bus membangun taman kota

yang baru beserta vila-vila berhias pohon rindang di pinggir jalan besar.31

28 Loc.cit. 29 Ibid, hlm. 326. 30 Pauline Dubline Milone, Queen City of the East: The Metamorphosis of

a Colonial Capitol, (Michigan: University Microfilms USA & England, 1966),

hlm. 314. 31 H.C.C. Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20, (Depok: Masup

Jakarta, 2007), hlm. 46.

32

Gambar 4

Suasana Waterlooplein pada tahun 1842

Sumber: KITLV

Akibat perombakan besar-besaran yang terjadi di kota Batavia dan

pembangunan ibukota baru Hindia Belanda ini, Weltevreden selanjutnya

mendapat julukan sebagai Ratu dari Timur. Julukan ini tentu saja merupakan

julukan lama yang ‘dianugrahkan’ kepada kota Batavia Lama sebelum berubah

menjadi “Makam orang Belanda”. Julukan tersebut tentu saja berkaitan degnan

dibangunnya berbagai sarana pendukung kehiduapn sosial yang baru, seperti

jaringan komunikasi, sarana transportasi, dan kemunculan pabrik-pabrik sebagai

sarana pendukung kegiatan perekonomian. Selain itu sistem pemerintahan yang

dikembangkan serta masalah kebersihan kota yang sangat diperhatikan juga

menjadi pertimbangan. Para pendatang dari Inggris bahkan menganggap wilayah

33

ini cukup baik jika dibangingkan dengan koloninya, yaitu Singapura, dan

merupakan kota yang patut dipamerkan di daerah khatulistiwa.32

Gambar 5

Herman Willem Daendels (1764-1873) dilukis oleh Charles Howard

Hodges, yang berpangkat Maarchalk van Holland

Sumber: Handinoto, “Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia

Belanda Abad XIX”, Dimensi, Vol. 36, nomor 1, Juli 2008, hlm. 4.

32 Mega Destriyana, loc.cit.

34

B. Kondisi Demografi Batavia Abad XIX

1. Populasi Penduduk Batavia Abad XIX

Terdapat banyak etnis yang tinggal di Batavia. Sebelum abad XIX,

diketahui bahwa budak merupakan satu-satunya kelompok populasi terbesar di

Batavia hingga paruh terakhir abad XVIII. Mereka berasal dari berbagai tempat

dan bermacam-macam etnis. Sebagian besar budak dimiliki oleh orang Eropa

yang menjadikan mereka sebagai pengiring untuk memamerkan kekayaan. Rata-

rata budak yang dimiliki oleh seorang Eropa yang kaya bisa mencapai 5 orang

atau lebih.33 Populasi para imigran Cina menempati posisi kedua sebagai etnis

dengan jumlah terbanyak. Selain orang Cina dan budak sebagai kelompok utama

penduduk Batavia, penduduk non-Eropa lainnya merupakan orang-orang

campuran, yaitu orang Melayu dan orang Moor34. Kelompok lainnya yang dikenal

pada zaman VOC dan namanya hilang seiring runtuhnya VOC ialah kelompok

Mardijker35.36

Memasuki periode abad XIX, Batavia mengalami transformasi yang cukup

signifikan baik dari segi masyarakat maupun birokrasi pemerintahan. Dari segi

33 Susan Blackburn, op. cit, hlm. 30-31. 34 Orang Moor adalah pedagang Muslim India yang kebanyakan berasal

dari Gujarat, dimana Belanda memiliki sebuah pos dagang di sana. 35 Sebutan lain untuk kelompok ini adalah “Orang Portugis Hitam”.

Masyarakat kelompok Mardijker merupakan budak-budak yang dimerdekakan

oleh seorang Portugis karena menjadi penganut Kristen. Kata Mardijker berasal

dari bahasa Belanda lama yang merupakan kata Portugis dari Maharddhika.

Apabila diartikan ke dalam bahasa Melayu, artinya menjadi merdeka. Orang-

orang Mardijker sebagai pewaris budaya Mestizo milik orang Portugis

diperkenankan mengenakan pakaian. Pakaian mereka merupakan kombinasi dari

unsur Eropa dan Asia. Mereka biasanya memakai sutera Portugis dan topi lebar,

hanya saja tanpa sepatu. Mereka berbicara dalam bahasa Portugis yang sudah

tidak asli. Lihat Jean Gelman Taylor, op. cit, hlm. 83. 36 Ibid. hlm. 41.

35

masyarakat, terjadi pembauran antara anggota tentara kolonial Belanda dengan

anggota NHM (Nederland Handel Maatschappij) yang berlatar belakang sebagai

pedagang. Sementara dari segi birokrasi terjadi perubahan dari pemerintah

kompeni (VOC) ke pemerintah tanah jajahan Hindia Belanda. Dampak sosial dari

perubahan birokrasi tersebut adalah imigrasi besar-besar orang Belanda ke Hindia

Belanda. Mereka bukan kaum proletar dan petani yang dahulu dibawa J.P.Coen

untuk dipekerjakan di VOC, melainkan kaum borjuis kecil dan para pedagang,

sehingga mereka turut berperan dalam perkembangan sosial kehidupan kota

Batavia.37 Dalam gelombang baru imigran ini, ikut serta para perempuan sebagai

istri dan anak pegawai pemerintah serta pengusaha. Jumlah imigran perempuan

selalu lebih sedikit jika dibandingkan dengan imigran laki-laki.38

Daerah Penjaringan dan Mangga Besar merupakan daerah padat penduduk

sebelum abad XIX. Kemudian daerah pemukiman ini bergeser sekitar tiga mil ke

selatan Mangga Besar, yaitu daerah sepanjang Sungai Ciliwung hingga Meester

Cornelis. Pergeseran pemukiman ini disebabkan oleh keadaan sanitasi yang

kurang baik serta banjir yang sering menggenangi wilayah tersebut.

Perkembangan kota Batavia dipicu oleh pesatnya pertambahan jumlah penduduk.

Pada tahun 1815, sebagaimana dilaporkan oleh Raffles, penduduk yang bermukim

di kota lama dan kota baru berjumlah 47.217 jiwa. Pada tahun yang sama Raffles

melaporkan jumlah penduduk Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia

sebanyak 332.615 jiwa dan Residentie Batavia berjumlah 439.952 jiwa. Kenaikan

penduduk yang mencolok terjadi pada tahun 1848 hingga 1850. Selama dua tahun

37 Yudi Prasetyo, op.cit., hlm. 12. 38 Jean Gelman Taylor, op.cit., hlm. 228.

36

tersebut jumlah penduduk naik hingga 28%, sejumlah 64.798 jiwa. Kemudian

antara tahun 1865 dan 1868 berjumlah 405.149 jiwa atau naik sekitar 44% dalam

tiga tahun. Kenaikan jumlah penduduk dapat dikatakan akibat menurunnya angka

kematian orang Eropa yang mencapai 227,7 perseribu orang pada tahun-tahun

sebelumnya, menjadi 54,1 perseribu orang pada tahun 1844. Hal ini terkait dengan

semakin meningkatnya kesehatan penduduk terutama setelah ditemukannya kina

sebagai obat anti malaria, yang menjadi salah satu penyakit pemicu kematian pada

tahun-tahun sebelumnya.39

Faktor yang kuat dan sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk di

Batavia memasuki akhir abad XIX adalah adanya pembangunan pelabuhan

Tanjung Priok pada tahun 187740, menyebabkan kenaikan penduduk yang

signifikan pada tahun 1893. Mengenai populasi penduduk di wilayah Batavia dan

sekitarnya digambarkan melalui tabel 1.

39 Adhitya Hatmawan, op.cit., hlm. 19. 40 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 124.

37

Tabel 1

Populasi Kota Batavia dan Pinggiran Kota41

Catatan:

Termasuk 5.000 penduduk Jawa di luar dinding benteng.

a. Termasuk sejumlah kecil penduduk Timor.

b. Seluruh penduduk asli.

c. Tidak termasuk 1.260 penduduk Belanda dan 359 penduduk asli di

garnisun.

Sumber: 1673 : Dagh-Register, 1674 (Batavia: 1902), hlm. 27-30.

1815 : T.S. Raffles, History of Java (2nd ed., London: 1830), Vol. II,

hlm. 270

1893 : Encyclopedie van Nederlandsch Indie (The Hague/Leiden, n.d.),

Vol. I, hlm. 140

41Lance Castle,Profil Etnik Jakarta, (Depok: Komunitas Bambu, 2007),

hlm. 153.

Keterangan Suku atau

Etnis

Tahun

1673 1815 1893

Eropa dan Indo 2.750 2.028 9.017

China (Termasuk

Peranakan)

2.747 11.854 26.569

Mardijker (Portugis) 5.362 - -

Arab - 318 2.842

“Moor” (India) 6.399a

119

Jawa (termasuk Sunda) 3.311

72.241c

Kelompok Sulawesi Selatan - 4.139b

Bali 981 7.720

Sumbawa - 232

Ambon dan Banda - 82

Melayu 611 3.155

Budak 13.278 14.249 -

Total 32.068d 47.217 110.669

38

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada akhir abad XIX terjadi kenaikan

penduduk yang cukup tinggi. Komposisi etnis di Batavia dalam tiga zaman

terlihat jelas. Pada akhir abad XIX, beberapa kelompok etnis yang ditunjukkan

pada kolom kedua dalam Tabel 1 telah kehilangan jatidiri mereka dan mulai

digolongkan ke dalam etnis Betawi42. Pada tahun 1815, dapat dilihat bahwa

terdapat banyak etnis-etnis dari luar Pulau Jawa. Etnis Sulawesi, Bali, Sumbawa,

Ambon dan Banda. Etnis-etnis ini tinggal di Batavia sebagai budak. Hal ini

membuktikan bahwa populasi penduduk Batavia pada masa tersebut dipenuhi

oleh para budak, terutama yang berasal dari pulau timur Nusantara. Para budak-

budak dari berbagai suku tersebut kemudian membaur menjadi satu dan pada

tahun 1893 diidentifikasi berjumlah 72.241 sebagai satu kesatuan dalam arti tidak

dibedakan menurut etnisnya lagi seperti pada tahun 1815. Sama dengan para

budak, orang-orang Mardijkers atau yang disebut sebagai bangsa Portugis, lambat

laun berbaur dengan masyarakat lainnya. Pada akhir abad XVIII, sebagian dari

para Mardijker bergabung dengan masyarakat Indo-Eropa, lainnya menganut

agama muslim dan berbaur ke dalam kelompok etnis Betawi.43

2. Kondisi Sosial Masyarakat Batavia Abad XIX

Orang-orang Belanda pada awal abad XIX hampir tidak bisa digolongkan

sebagai orang Eropa, karena selain warna kulit, perawakan, dan bentuk wajah,

42 Dalam hal ini mencakup etnis Cina Peranakan, Mardijker, Moor, dan

Arab. 43 Lance Castle, op.cit., hlm. 158.

39

gaya hidup serta bahasa mereka telah melebur ke dalam karakter pribumi.44 Ini

membuktikan bahwa kebudayaan Indis telah meluas. Orang-orang Belanda yang

tinggal di Batavia maupun Jawa telah membentuk sebuah kebudayaan yang benar-

benar baru dan hanya bisa ditemukan di Hindia Belanda.45 Pada abad XIX, belum

ada pendidikan yang memadai di Batavia. Karena itu orang-orang kaya di Hindia

Belanda yang ingin menyekolahkan anaknya harus mengirim anaknya ke negeri

Belanda atau daratan Eropa manapun.46

Sesudah VOC dibubarkan, orang-orang Belanda lebih cenderung

berhubungan langsung dengan penduduk pribumi. Memasuki abad XIX, mereka

lebih memilih banyak tampil dengan cara berinteraksi dan lebih terbuka terhadap

lingkungan di sekitarnya serta para pribumi. Sejak diterapkannya sistem tanam

paksa pada tahun 1830 telah memunculkan perubahan dengan ditempatkannya

priyayi ke tingkat yang setara dengan orang-orang Belanda. Hal ini dimaksudkan

agar priyayi dapat ikut serta dalam pengawasan berjalannya sistem tanam paksa

yang diprakarsai oleh Van den Bosch tersebut.47

Orang-orang Eropa abad XIX, dimana mereka sudah menjadi bagian dari

kebudayaan Indies48, telah sepenuhnya mengadopsi budaya setempat dan benar-

44 Mayor William Thorn, Penaklukan Pulau Jawa (Jakarta: PT. Elex

Media Computindo, 2011), hlm. 230. 45 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indies Dan Masyarakat Pendukungnya

di Jawa Abad XVII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,

2000), hlm. 23. 46 Mayor William Thorn, op. cit., hlm. 231. 47 Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial

1870-1942 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 2011), hlm. 18. 48 Budaya Indies adalah budaya yang berbeda dengan budaya Belanda.

Orang-orang yang sudah terpengaruh dengan budaya Indies menggunakan bahasa

yang lebih beragam dalam keseharian mereka. Para kaum elite Indies tinggal di

40

benar hidup layaknya pribumi tropis kebanyakan. Kegiatan-kegiatan seperti tidur

siang, minum kopi di pagi hari, dan saling berkunjung satu sama lain. Selain itu,

praktek pergundikan atau menikahi perempuan pribumi di kalangan masyarakat

Belanda dan Eropa pada masa tersebut semakin merajalela. Meskipun begitu,

masyarakat Indies tidak bisa dikatakan bebas dari tekanan. Daendels serta Raffles

pada masa pemerintahan masing-masing telah mengupayakan berbagai cara agar

masyarakat Eropa dan Belanda kembali ke jalan yang benar. Kembali ke jalan

yang benar dalam hal ini berarti tetap berlaku seperti orang Eropa normal di

daratan mereka. Raffles mencoba mengubah gaya hidup masyarakat Indies

dengan mengembangkan tata cara Eropa dalam berbagai aspek kehidupan.49

Pemindahan pusat kota Batavia ke Weltevreden juga menghasilkan tata

kota yang baru untuk berbagai sarana prasarana kota yang dibutuhkan. Hal

tersebut juga berpengaruh terhadap timbulnya pemukiman sesuai kelompok

masyarakat yang ada dan tentu saja semakin memperlihatkan sekat dalam

kehidupan bermasyarakat di Weltevreden dan sekitarnya. Meskipun dasar utama

pembangunan Weltevreden adalah memberikan ruang yang sama kepada semua

kelompok untuk hidup bersama tanpa menganggap rendah atau bahkan

menghilangkan agama atau etnis tertentu, namun bangsa penguasa tetap berada

dalam kelompok yang paling tinggi. Hal ini terlihat dari kawasan tempat tinggal

vila-vila yang luas dan terbuka. Menyantap menu-menu Belanda seperti roti,

daging, dan keju, walau seringkali memakan masakan lokal yaitu menyantap nasi

dan makanan pedas. Mereka berbicara dengan bahasa Melayu dan Portugis, dan

membawahi para seniman. Lihat Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 21, dan Jean

Gelman Taylor, op.cit., hlm. 141. 49 Ibid, hlm. 22.

41

di Rijswijk dan Noordwijk50 yang termasuk kawasan Eropa yang penuh dengan

kemewahan. Orang Cina, Arab, dan India sebagai pedagang kelas menengah ke

atas banyak bermukim di daerah Glodok. Sementara masyarakat pribumi tinggal

di perkampungan kumuh, di dalam bangunan yang tidak permanen, dan

tersembunyi dari keramaian. Keberadaan wilayah pemukiman turut

mempengaruhi kualitas hidup dari tiap kelompok masyarakat di Batavia.51

Dalam strata sosial di Batavia pada abad XIX, yang menempati posisi

paling atas adalah masyarakat Eropa murni atau totok, pejabat sipil pemerintahan,

pengusaha swasta, prajurit militer, pemilik perkebunan, beberapa Indo-Eropa

yang menempati posisi tinggi dalam pemerintahan dan militer, ‘petugas’ Timur

Asing (termasuk pengusaha Cina dan Arab) dan beberapa priyayi pribumi yang

diberi penghargaan oleh pemerintah atas kerjasama mereka demi menjaga

perdamaian.52

Perempuan, yang populasinya hingga abad XIX tidak lebih banyak dari

populasi laki-laki, memiliki peran penting. Kehadiran mereka yang masih sedikit,

menjadi penyeimbang dalam kehidupan sosial di Batavia. Sebagai akibat

pengaruh mereka, gaya hidup orang Eropa dan Cina menjadi semakin mirip

dengan pribumi. Orang-orang Belanda beradaptasi dengan gaya hidup pribumi,

seperti memakan rijstaffel, mengenakan sarong di rumah, menikmati tidur siang,

dan sebagainya. Orang Eurasia berbicara dengan bahasa Melayu atau bahasa

Belanda yang dalam pengucapannya memakai struktur pengucapan bahasa

50 Kini termasuk kawasan sekitar Jl. Ir. H. Juanda, DKI Jakarta. 51 Mega destriyana, op.cit., hlm. 5. 52 Pauline Dubline Milone, op.cit., hlm. 150.

42

Melayu. Orang Eurasia mempopulerkan dua bentuk kebudayaan yang banyak

digemari di Batavia yaitu keroncong, jenis musik yang berasal dari orang-orang

mardijker, serta komedi stambul. Komedi stambul adalah teater yang

mementaskan drama asal Eropa Timur Tengah, Indonesia, Cina, dan lain-lain

dalam bahasa Melayu diselingi nyanyian-nyanyian yang diiringi musik pada masa

tersebut. Sebagian besar perempuan yang disebut perempuan Eropa merupakan

orang Eurasia. Mereka membesarkan anak dalam suasana Indonesia. Para orang

kaya biasanya membiarkan anak mereka diasuh oleh budak-budak mereka.

Pendidikan hanya diberikan kepada anak lelaki, sedangkan anak perempuan dirasa

belum penting untuk menerima pendidikan. Para orang tua Belanda biasanya

menyekolahkan anak mereka ke Eropa. Hampir seluruh perempuan Belanda di

Batavia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama, mengenakan kebaya

dan kain batik untuk pakaian sehari-hari. Terdapat spesifikasi pakaian yang

digunakan oleh para perempuan Belanda dan Nyai yaitu kebaya putih dengan

tepian berenda. Sebagian besar para perempuan ini juga melakukan kebiasaan

lokal seperti sering mandi, mengunyah sirih, berjudi kartu Cina, berkonsultasi

pada dukun, mengonsumsi jamu dan percaya guna-guna.53

Pengaruh kehidupan sehari-hari menurut tata cara budaya borjuasi Eropa

dalam kebiasaan masyarakat yang berada di Batavia semakin terlihat jelas. Dalam

kebiasaan makan dan jenis menu makanan terlihat adanya pengaruh budaya

Eropa. Makanan kemasan dalam kaleng yang diimpor dari Eropa mulai banyak

memasuki pasaran dan banyak dikonsumsi oleh orang-orang Eropa maupun elit

53 Ibid, hlm. 105-115.

43

pribumi, dan tradisi perdagangan produk makanan mulai muncul di Batavia. Pada

masa itu mulai dikenal berbagai macam jenis makanan modern Barat seperti ikan

atau daging kalengan, daging ham, bermacam-macam jenis kue/roti, dan menu

makanan Eropa, serta bahan-bahan makanan Eropa seperti mentega, coklat,

permen, dan sebagainya. Demikian pula dengan minuman. Berbagai minuman

yang biasa dikonsumsi masyarakat dari daratan Eropa, terutama minuman keras,

beredar di Hindia Belanda. Batavia, sebagai kawasan pemerintahan sentral, tidak

luput dari peredaran minuman keras. Para pejabat pemerintahan dan kaum elit

Batavia mengonsumsi minuman keras ini. Pada zaman tersebut telah banyak

minuman keras yang dikemas dalam botol seperti wishky, anggur, cognag, bir, bir

hitam, lemonade, air Belanda, sari buah, siroop, dan lainnya. Minuman keras yang

berjenis anggur, cognag, atau wishky diimpor dari Perancis dan tergolong

minuman mahal yang sangat bergengsi. Biasanya minuman tersebut hadir dalam

acara-acara pesta mewah kaum elit.54

C. Pusat-Pusat Hiburan di Weltevreden Abad XIX

Dibangunnya kota Batavia Baru membuat semangat masyarakat kolonial

kala itu naik. Hal ini membuat kehidupan di Weltevreden dan wilayah lain di

Batavia Baru tampak lebih hidup. Fasilitas yang menunjang turut membuat kota

Batavia Baru sibuk. Pada awal terbentuknya Batavia Baru, Thomas Standford

Raffles (1811-1816), yang menggantikan Gubernur-Jenderal Janssens pada tahun

54 Yusana Sasanti Dadtun, Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX,

(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), hlm. 100.

44

1811, membangun Schouwburg55 atau gedung kesenian berkapasitas 250 orang

pada tahun 1814. Pembangunan gedung kesenian di dekat Pasar Baru dilakukan

secara mendadak menjelang pementasan perdana opera pada 2 Oktober 1814.

Gedung kesenian yang awalnya dibangun dari bambu kemudian dipugar dan

dibuat permanen pada tahun 1820. Gedung kesenian tersebut kemudian menjadi

sebuah bangunan yang amat dipuja masyarakat Batavia kala itu dan kerap

mempertunjukkan opera-opera dari daratan Eropa.56

Selain pertunjukan opera yang diadakan di gedung kesenian, Batavia

memiliki beberapa tempat lainnya yang sering dikunjungi oleh masyarakat untuk

menghibur diri. Sebut saja Waterlooplein, sebuah lapangan luas dengan patung

singa di atas tiang tinggi di tengahnya. Patung singa di atas tiang tinggi ini

dibangun untuk mengenang kemenangan dalam pertempuran Waterloo. Di sisi

selatan Waterlooplein terdapat sebuah klub militer bernama Concordia57. Di

depan Concordia sering diadakan parade musik militer yang dapat dinikmati oleh

siapapun, yang datang dengan mengenakan busana terbaik dan mengendarai

kereta kuda.58

Memasuki abad XIX, kaum elit Batavia memiliki sebuah kebiasaan baru.

Mereka biasa menghibur diri di sebuah societeit atau soos, yaitu sebuah klub. Ada

dua klub penting di Batavia yaitu De Harmonie dan Concordia. De Harmonie di

kemudian hari juga ditemukan di berbagai kota besar dimana banyak populasi

55 Kini beralih fungsi sebagai gedung Kesenian Jakarta. 56 Threes Susilastuti, Kisah Jakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: Intisari,

1988), hlm. 120. 57 Kini lokasinya ditempati oleh Hotel Borobudur. 58 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 75.

45

masyarakat Eropa, sedangkan Concordia merupakan societeit militer. Bangunan

tersebut dibangun pada tahun 1836. Anggotanya kebanyakan berasal dari

garnisun-garnisun militer di Batavia, sebelum dibuka untuk umum. Kedua

bangunan klub tersebut menyediakan fasilitas yang sering ditemukan di klub-klub

lainnya. Kebanyakan fasilitas seperti billiar, meja kartu, meja baca dengan banyak

buku dan jurnal, sebuah perpustakaan, serta ruang makan dan bar merupakan

fasilitas yang diperuntukkan untuk para laki-laki.59 Menurut peta di gambar 3,

jarak antara Societeit de Harmonie dengan Societeit Concordia tergolong cukup

dekat yaitu berjarak 0,8 km.

D. Societeit De Harmonie di Batavia Sebelum Abad XIX

Sebelum adanya sebuah wadah atau tempat yang dikhususkan untuk

tempat perkumpulan (klub), masyarakat VOC menggunakan hotel sebagai tempat

bertemu satu sama lain. Meskipun pembangunan hotel maupun klub malam telah

diatur dan dibatasi oleh peraturan yang dibuat pemerintah tertinggi, pada tahun

1777 pertumbuhan klub-klub malam di Batavia meningkat. Tercatat pada tahun

tersebut terdapat 102 pub dan klub malam baik di luar maupun di dalam kota

Batavia.60

Gagasan untuk membangun sebuah gedung perkumpulan atau yang

kemudian disebut societeit timbul sejak para pelaut VOC mendarat di Teluk

59 Pauline Dubline Milone, op.cit., hlm. 150. 60 F.R.J. Verhoeven, De Jonge Jaren van de Harmonie, (Batavia: De Unie,

1948), hlm. 1.

46

Jakarta. Mereka yang berbulan-bulan berada di lautan, sejak merapatkan haluan di

Bandar Jakarta, segera disambut bau arak yang menyengat nan harum. Kala itu

memang industri arak sudah berkembang di Batavia, yang sebelumnya disebut

Jacatra. Seiring berjalannya waktu banyak kedai-kedai yang menjual arak

bermunculan di sepanjang tepi kali Ciliwung. Kedai yang jumlahnya hanya

selusin pada tahun 1774, meroket jumlahnya hingga 102 buah kedai tiga tahun

kemudian. Meskipun orang-orang Belanda yang tinggal di daerah tersebut belum

terlampau banyak. Kemunculan kedai-kedai ini membuat penguasa Belanda

menjadi risau. Arak, bir Belanda dan Inggris, serta anggur Spanyol dan Afrika

Selatan yang memabukkan, menjadi pemicu banyaknya pertengkaran maupun

perkelahian di kalangan para kelasi. Sering kali malah terjadi pertumpahan

darah.61

Tentu kaum elit Eropa yang tinggal di Batavia tidak akan mendatangi

tempat minum seperti itu. Mereka lebih suka mengadakan pesta di rumah seraya

mengundang pemain musik, naik perahu berhias di Kali Ciliwung yang airnya

coklat, pergi ke pesta tembak atau pesta lain. Belum ada tempat seperti societeit

atau tempat terhormat untuk minum pada masa tersebut.62

Selanjutnya pada 1776, Reiner de Klerk, yang kemudian menjabat sebagai

Gubernur-Jenderal VOC, mengajukan saran supaya sebaiknya dibangun tempat

pertemuan umum di Batavia. Saran ini diajukan agar gaya hidup di Batavia tidak

terlalu liar dan urakan, serta sebuah sarana untuk mencari jodoh yang pantas. Saat

ide de Klerk disuarakan, banyak yang menentang. Namun begitu masa

61 Threes Susilastuti, op.cit., hlm. 103. 62 Ibid. hlm. 104.

47

pemerintahannya tiba, dibangunlah societeit Hindia Belanda di Buiten

Nieuwpoorstraat63.64

Menurut De Haan, di gedung Societeit Harmonie lama di Jalan Pintu

Besar Selatan tersebut terdapat lapangan golf, jalan setapak, serta taman besar.

Sebelum dibangunnya gedung societeit, pada 1776 pertemuan maupun pesta dan

kegiatan menghibur lainnya dilakukan di bar-bar yang tutup sekitar pukul

sembilan malam, serta di loji Freemason yang terbentuk sejak tahun 1736. Hingga

tahun 1818, pertemuan khusus para pria diadakan di kantor umun, namun juga di

Heerenlogement (hotel khusus pria). Hotel khusus pria ini pertama kali berdiri

tahun 1744 diprakarsai oleh Van Imhoff. Terletak di dekat Vierkantsplein (Pasar

Ikan di sebelah barat, di sebelah timur terdapat rawa, dan dekat dengan Menara

Pengintai) dimana daerah tersebut merupakan area paling kotor dan kumuh.

Heerenlogement tersebut kemudian pindah ke Jalan Jacatra (Jacatraweg) pada

1818 di sebelah kiri Toko Merah yang masih berdiri hingga saat ini.65

Sementara itu, satu-satunya data tentang pengumuman pertemuan di

societeit lama dikutip De Haan dalam bukunya. Pada tahun 1807, Sekretaris

Societeit Harmonie mengumumkan bahwa “Pertemuan umum seluruh anggota

klub Societeit Harmonie, pada Senin, 8 Juni 1807 pada pukul 06.30 malam

tentang pungutan suara antara Tuan P. Jansen dan J.M. Jaulen.”66

63 Pintu Besar Selatan, saat ini berada di daerah sekitar Kota Tua, DKI

Jakarta . 64 Threes Susilastuti, loc.cit. 65 F. De Haan, Oud Batavia, Gedenboek Volume II, (Batavia: G. Kolff &

co, 1922), hlm. 27, 32, & 174-176. 66 Ibid, Gambar H14.

48

Meskipun komunitas Eropa di Batavia adalah yang paling besar di Jawa,

namun sisi kehidupan mereka terlalu monoton dan menjemukan dibanding

komunitas lainnya di kota lain. Kehidupan mereka begitu sibuk, hanya berkutat

pada pekerjaan dari pagi hingga sore hari. Malam hari dipergunakan untuk

berjalan-jalan melepas penat dan sesudah makan malam mereka berada di teras

depan rumah, mengobrol, dan membaca surat kabar maupun majalah. Karena di

siang hari masyarakat Eropa ini sibuk, maka malam hari menjadi lebih hidup

daripada siang hari.67 Kaum elit Batavia biasanya menghabiskan malam mereka di

sebuah klub ternama Batavia, yaitu Societeit de Harmonie, dimana tidak

sembarang orang bisa masuk ke dalam klub tersebut. Di sana para pengunjungnya

menghabiskan waktu dengan bermain kartu maupun bermain bola sodok. Selain

itu sering pula diadakan perjamuan makan malam dan pesta dansa di Harmonie

maupun di lingkungan militer Concordia.68

Walaupun terdapat dua klub besar di Batavia, namun klub-klub ini tidak

bisa dimasuki oleh semua kalangan. Societeit Concordia diperuntukkan bagi

kalangan militer sementara Societeit Harmonie dikhususkan bagi kaum elit dan

bangsawan Eropa. Keanggotaan Societeit Harmonie pun bersifat resmi dan dinilai

bergengsi pada masanya. Juga tidak sembarang orang bisa menjadi anggota tetap

komunitas Harmonie karena seleksinya yang ketat. Banyaknya pejabat tinggi

Hindia Belanda yang berkunjung ke Harmonie juga membuat Harmonie semakin

67 Agung Wibowo,”Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa

Depresi Ekonomi (1930-1939)”, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2012, hlm. 37. 68 Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI

Sampai Dengan Abad XX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm.

481.

49

terdengar berharga dan mewah. Selain itu, pelindung dari klub Harmonie sendiri

adalah Gubernur-Jenderal, yang juga tidak melewatkan kesempatan untuk

menyelenggarakan perayaan-perayaan kenegaraan di tempat tersebut. Secara

lengkap Societeit Harmonie akan dibahas pada bab berikutnya.