repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · web view...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan di suatu daerah masih dilihat sebagai masalah yang sangat pelik
dan menjadi indikator yang penting bagi pembangunan ekonomi daerah. Masih
tingginya tingkat kemiskinan khususnya yang berada di desa merupakan gambaran
bahwa sampai saat ini negara yang telah menggunakan otonomi daerah belum mampu
menuntaskan persoalan ini. Pelimpahan wewenang yang sepenuhnya di pegang oleh
pemerintah pusat kini diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk dalam proses
pembangunan ekonomi didaerah. Artinya masalah kemiskinan menjadi salah satu
tugas pemerintah daerah yang belum terselesaikan. Salah satu daerah yang memiliki
angka kemiskinan tinggi adalah Kabupaten Takalar. Angka kemiskinan di Kabupaten
ini menyentuh angka 28,33 ribu jiwa untuk tahun 2009 dan meningkat pada tahun
2010 menjadi 30,10 ribu jiwa (BPS Kab.Takalar).
Jika melihat data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Sul-Sel angka
kemiskinan Kabupaten Takalar masih cukup tinggi yaitu antara angka 15,80% untuk
tahun 2000 dan untuk tahun 2004 sebesar 12,99%. Meskipun dalam kurun waktu
empat tahun terjadi penurunan terhadap kemiskinan namun nampaknya penurunan
tersebut dapat dikategorikan ke dalam penurunan yang lambat ditengah pendelegasian
1
kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Artinya penurunan angka
kemiskinan dalam waktu empat tahun belum menunjukkan hal yang signifikan.
Persentase yang masih sangat tinggi memberikan indikasi bahwa sistem
desentralisasi yang telah berlangsung selama 12 (dua belas) tahun belum mampu
secara maksimal menurunkan angka kemiskinan (Badan Pusat Statistik 2004).
Dalam pola pendelegasian terdiri dari beberapa dimensi kewenangan yang
didelegasikan yaitu system administrasi, dekonsentrasi dan devolusi. Desentralisasi
Administratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk
menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama
menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi-fungsi
pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat
pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Pada pembagian selanjutnya ada pada pembagian Dekonsentrasi (deconcentration),
yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat yang berada
dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di Daerah. Pendelegasian wewenang
tersebut telah diambil sebagai langkah yang optimis oleh semua pihak dengan
harapan dapat meningkatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
2
Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan
pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah
Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu
melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak
langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, Pemerintah
Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan
kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-
sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Devolusi menjadi salah satu core
point dalam pendelegasian wewenang karena terkait dengan pengelolaan keuangan
daerah sehingga memungkinkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana
daerah untuk tujuan pembangunan dan tentu menjadi tujuan desentralisasi itu sendiri.
Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki
organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative
decentralization. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu
pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar
struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan.
Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam
penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada
pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
3
Sistem desentralisasi ini mengharuskan pemerintah daerah untuk mengelolah
sendiri daerahnya temasuk dalam segi pembiayaan pembangunan. Sistem
Desentralisasi ini dibagi menjadi empat bagian yaitu desentralisasi fiskal, ekonomi,
politik, dan administrasi. Keempat dimensi ini menjadi tanggung jawab penuh daerah
namun tetap memperhatikan koordinasi dengan pemerintah pusat. Untuk itu semua
penyelesaian masalah termasuk dalam masalah pembagunan ekonomi daerah harus
diselesaikan secara mandiri oleh daerah sesuai dengan kewenangan yang telah
diberikan. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah diikuti dengan
pembagian anggaran oleh pemerintah pusat.
Anggaran yang diberikan adalah dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan
dana bagi hasil. Dana transfer tersebut diberikan dimaksudkan untuk mengatasi
ketimpangan vertikal dan horisontal, dan untuk percepatan pembangunan daerah
termasuk dalam menyelesaikan masalah kemiskinan didaerah. Dana transfer dapat
juga digunakan dengan berbagai tujuan, antara lain Menjamin terciptanya
keseimbangan vertical (vertical Fiskal balance) yaitu menjamin terciptanya
keseimbangan antara kebutuhan Fiskal dan sumber yang tersedia untuk masing-
masing level pemerintah; menjamin terciptanya keseimbangan horizontal (horizontal
Fiskal balance) yaitu menjamin terciptanya keseimbangan dalam alokasi sumber
daya antar unit pemerintah yang berada dalam tingkatan yang sama; mendanai
program unggulan dari pemerintah pusat atau untuk menetralisasi (counteract)
eksternalitas spillover effect antar daerah; memberikan kompensasi kepada
4
pemerintah daerah untuk menjalankan mandat/perintah dari pemerintah pusat atau
untuk mengimplementasikan program pemerintah pusat yang telah didelegasikan
kepada pemerintah daerah.
Seperti yang dikemukakan oleh McCulloch dan Suharnoko (2003) dalam M.
Fakhru Rozi (2007) bahwa salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam
desentralisasi adalah bahwa pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap
kebutuhan penduduknya. Tingkat responsifitas yang tinggi terhadap kebutuhan
penduduk memungkinkan pemerintah daerah untuk dapat menyelesaikan masalah
pembangunan termasuk kemiskinan. Namun beberapa kecenderungan menunjukkan
tren yang negative antara dana transfer pemerintah pusat dengan angka kemiskinan
khususnya di Kabupaten Takalar.
5
Perkembangan Dana yang di Transfer ke Daerah dari Tahun 2005-2010
Sumber: Kementerian Keuangan RI 2010
Sampai saat ini salah satu masalah pembangunan ekonomi daerah yang belum
terselesaikan adalah masalah kemiskinan. Selama 12 (dua belas) tahun desentralisasi
berjalan fenomena kemiskinan masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.
Meskipun pada dasarnya tujuan yang dibawa dalam desentralisasi adalah daerah yang
lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya sehingga dalam membuat program
pengentasan kemiskinan seharusnya daerah lebih mengetahui kebutuhan
masyarakatnya sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam mengatasi masalah
tersebut. Bahl dan Linn (1992) berpendapat bahwa pendelegasian sebagian urusan
6
keuangan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan
konsekuensi dari pencapaian taraf hidup masyarakat yang lebih baik.
Melalui desentralisasi, pemerintah daerah di banyak negara memperoleh
wewenang politik dan kekuasaan pengambilan keputusan yang lebih besar, sehingga
mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Pemerintah daerah dapat membuat program penanggulangan kemiskinan
secara lebih efektif dengan menggunakan alat yang lebih baik dan metode yang lebih
tepat untuk memprioritaskan tindakan dan mengevaluasi dampaknya tanpa harus
menunggu instruksi dari pemerintah pusat. Kewenangan daerah yang sangat besar
tersebut saharusnya memberikan dampak yang sangat besar pula khususnya dalam
pengentasan kemiskinan. Ini menjadi peluang pemerintah daerah dalam membangun
daerahnya sesuai dengan prinsip desentralisasi fiskal yang dikemukakan Roy Bahl
(1992) There Must Be A Champion For Fiscal Decentralization.
Dalam konteks daerah kemiskinan masih menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Kabupaten Takalar menjadi salah satu daerah yang tingkat kemiskinan masih tinggi.
Untuk tahun 2010 jumlah orang miskin sebesar 30.100 ribu jiwa. Kemiskinan yang
masih tinggi ini memberikan indikasi bahwa 12 (dua belas) tahun otonomi daerah
belum mampu membawa perubahan yang signfikan termasuk dalam menyelesaikan
masalah ini meskipun jumlah penduduk Kabupaten Takalar hanya berjumlah 269.603
jiwa yang tersebar di 9 (sembilan) kecamatan. Angka kemiskinan ini masih terlalu
tinggi jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan diantaranya
7
Sinjai, Barru, Bantaeng dan Kabupaten Soppeng. Gambaran ini menunjukkan bahwa
otonomi daerah justru membuat ketimpangan pembangunan didaerah semakin nyata.
Kecenderungan yang tidak signifikan ditunjukkan oleh perkembangan dana transfer
dan angka kemiskinan. Ini memberikan Indikasi pertama bahwa dana yang
diserahkan untuk daerah dalam bentuk dana transfer belum cukup untuk membiayai
pembangunan didaerah termasuk untuk menurunkan angka kemiskinan di Kabupaten
Takalar.
Indikasi yang kedua bahwa pemerintah daerah yang tidak mengalokasikan
dengan tepat dana yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat. Beberapa indikasi
tersebut membutuhkan pembuktian, namun perbandingan data memberikan gambaran
tentang melambatnya penurunan kemiskinan, namun di sisi lain jumlah dana yang
diserahkan oleh daerah dalam bentuk DAU, DAK dan DBH pajak dan sumber daya
baik secara nasional (keseluruhan Propinsi dan kabupaten/kota) maupun khusus untuk
Kabupaten Takalar menunjukkan tren yang meningkat.
Untuk itu Pembagian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah baik itu secara politik, administrasi, ekonomi dan pengelolaan fiscal untuk saat
ini belum dapat dikatakan berhasil. Karena jika dikomparasikan dengan dana transfer
pemerintah pusat ke daerah semakin menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal yang
berlangsung selama 12 (dua belas) tahun memberikan hipotesa awal bahwa
desentralisasi belum dinikmati keberhasilannya oleh semua daerah. Dana Transfer ke
daerah terkhusus untuk kabupaten Takalar tiap tahun semakin meningkat sementara
8
angka kemiskinan di kabupaten tersebut hanya mengalami fluktuasi dan cenderung
untuk beberapa tahun tertentu kemiskinan menunjukkan angka yang meningkat.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa penurunan angka kemiskinan di Kabupaten
Takalar mengalami perlambatan pada periode pertengahan dan current period yaitu
pada tahun 2010 desentralisasi antara tahun. Karena pada awal desentralisasi angka
kemiskinan justru mengalami persentase penurunan yang cukup besar.
Persentase Angka Kemiskinan Kabupaten Takalar
Tahun Kemiskinan2000 15,802001 15,662002 15,772003 15,092004 12,992005 14,942006 14,092007 13,802008 12,682009 11,062010 11,16
Sumber: BPS Propinsi Sul-Sel
Kondisi ini bertolak belakang dengan dana transfer pemerintah pusat ke
Kabupaten Takalar dalam bentuk DAU, DAK, DBH pajak dan sumber daya. Dana
alokasi umum untuk kabupaten Takalar meningkat dari tahun 2005 sebesar
Rp.149.180.000.000 dan untuk tahun 2010 sebesar Rp.304.060.000.000.
9
Perkembangan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus yang di Transfer
ke Daerah dari Tahun 2005-2010
Sumber: Kemenkeu RI
Dana transfer yang terus mengalami peningkatan setiap tahun sementara jika
dibandingkan dengan angka kemiskinan yang masih tinggi tentunya menyisakan
beberapa pertanyaan mendasar, terkait dengan keberhasilan desentralisasi dalam
peningkatkan pembangunan ekonomi daerah termasuk dalam menurunkan angka
kemiskinan yang telah berlangsung selama 12 (dua belas) tahun. Pertanyaan
selanjutnya mengapa dana transfer yang terus meningkat tidak berbanding terbalik
10
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2005 2006 2007 2008 2009 2010Prov. Sulawesi Selatan 332.73 509.54 599.51 656.71 663.42 706.28 35.1 44.8 29.2Kab. Bantaeng 122.49 181.86 206.74 224.67 227.50 235.87 11.6 27.4 39.9 46.2 45.4 30.5Kab. Barru 137.90 209.18 229.25 248.99 252.53 265.53 11.7 26.0 37.0 45.3 53.3 32.6Kab. Bone 276.74 446.42 494.23 529.06 531.91 541.72 14.3 32.3 57.8 70.8 78.7 69.7Kab. Bulukumba 191.27 246.77 332.72 363.39 370.48 383.22 12.8 28.7 45.5 54.7 70.1 50.9Kab. Enrekang 140.06 208.63 230.25 252.23 263.56 266.11 9.9 26.8 37.2 44.4 47.7 32.1Kab. Gowa 225.16 349.37 379.66 417.80 419.30 431.08 13.7 31.3 50.9 60.0 66.1 58.5Kab. J eneponto 162.93 245.02 280.68 296.15 302.31 314.83 12.8 29.3 41.4 48.5 47.9 43.5Kab. Luwu 168.61 265.54 289.61 318.30 338.39 342.64 16.2 33.3 52.4 62.6 61.6 50.4Kab. Luwu Utara 123.78 239.74 268.66 303.62 325.50 343.11 10.1 27.6 56.0 56.4 49.1 40.6Kab. Maros 165.02 260.78 286.00 312.18 316.39 325.25 13.4 29.5 49.6 61.7 57.0 46.4Kab. Pangkajene Kepulauan 164.76 236.04 266.30 326.06 332.58 350.72 12.8 31.5 41.9 53.8 60.7 44.1Kab. Pinrang 170.63 288.93 313.76 340.76 346.66 365.27 14.5 32.6 41.7 51.8 49.2 48.5Kab. Selayar 119.06 182.51 217.51 242.38 252.36 259.17 10.5 26.8 41.1 47.4 55.2 35.7Kab. Sidenreng Rappang 156.38 248.23 265.28 296.50 306.79 318.26 13.9 27.2 43.6 53.6 56.1 37.3Kab. Sinjai 145.52 284.70 255.44 284.00 288.76 295.53 12.4 32.8 53.8 61.8 52.7 38.8Kab. Soppeng 164.54 270.88 292.39 317.48 320.70 332.10 12.7 24.7 40.1 46.0 53.5 34.6Kab. Takalar 149.18 237.75 264.01 294.67 292.18 304.06 13.3 28.4 45.0 56.8 56.4 43.5Kab. Tana Toraja 212.60 334.60 362.63 396.16 262.37 297.36 12.7 29.9 46.0 56.9 62.4 49.3Kab. Wajo 173.21 272.22 305.94 336.19 352.94 364.82 14.1 29.9 44.9 55.5 66.5 49.3Kota Pare-pare 124.41 187.71 208.13 228.26 237.30 242.42 7.9 30.0 32.4 39.7 44.4 23.5Kota Makassar 323.08 513.00 583.84 643.33 647.30 644.27 14.7 8.5 20.0 43.2 45.8Kota Palopo 116.34 176.27 202.46 226.22 244.34 258.18 11.9 25.3 32.1 40.3 45.1 21.9Kab. Luwu Timur 93.15 190.63 216.89 241.00 227.78 238.66 11.9 23.9 44.1 51.1 47.9 28.1Kab. Toraja Utara 139.83 249.41 3.5 46.0
DANA ALOKASI UMUM DANA ALOKASI KHUSUSDaerah
dengan jumlah penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Takalar. Untuk itu penting
melakukan penelitian terkait dengan fenomena antara otonomi daerah dan kemiskinan
tersebut, dengan mengambil tiga variabel independen yang menjadi representasi
(proxy) yaitu dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil serta
variabel dependen yaitu kemiskinan.
Tingginya anggaran yang diberikan ini memberikan sinyalemen untuk
mempercepat penyelesaian masalah pembangunan di daerah. Namun sampai saat ini
masalah tersebut belum sampai pada titik penyelesaian. Sampai saat ini kemiskinan
hanya menjadi komoditi politik yang terus diberitakan dan seolah menjadi prestasi
pemerintah daerah, padahal kemiskinan masih menjadi masalah yang sampai saat ini
masih membutuhkan keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk
menyelesaikannya.
Meskipun anggaran yang ditransfer setiap tahunya semakin meningkat namun
jika tidak diikuti dengan komitmen dari pemerintah daerah maka tujuan Negara yang
mencita-citakan pengentasan kemiskinan menjadi sulit untuk terwujud. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:
Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement; SDM
(Sumber Daya Manusia) yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan
peran Pemerintah Pusat; Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung
jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalah
pokok dalam penelitian ini yaitu: Apakah dana alokasi umum, dana alokasi
khusus dan dana bagi hasil pajak dan sumber daya berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan di kabupaten Takalar antara
periode tahun 2000-2010.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengukur dan menganalisis besarnya pengaruh dana alokasi
umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak dan sumber daya terhadap
penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Takalar periode tahun 2000-2010.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi beberapa kalangan, diataranya:
1. Untuk kalangan pemerintah, penelitian ini memberikan gambaran tentang
fenomena desentralisasi kaitannya dengan kemiskinan.
2. Untuk kalangan mahasiswa, penelitian ini berguna untuk dijadikan
literatur tambahan untuk melakukan penelitian terkait masalah
desentralisasi fiskal.
12
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Landasan Teori
Banyak teori yang telah dikemukakan oleh para ahli yang terkait dengan
dampak desentralisasi fiscal mengenai pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan.
Pada bab ini akan dibahas beberapa landasan teori yang terkait.
2.1.1 Dampak Desentralisasi Terhadap Angka Kemiskinan
Konsep desentralisasi memuat tiga misi utama, yaitu menciptakan efisiensi
dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, meningkatkan kualitas pelayanan
umum dan kesejahteraan masyarakat, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan
(Barzelay,1991). Dijelaskan lebih jauh oleh Robert Simanjuntak (2010) bahwa alasan
pokok dari pelaksanaan desentralisasi tersebut adalah untuk memenuhi tujuan
demokratisasi dan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kebijakan
desentralisasi ini dimaksudkan untuk menciptakan proses pengambilan keputusan
publik yang demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik,
dengan goal’s kesejahteraan rakyat.
13
Argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh
Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), dan
sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan
publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki
kontrol geografis yang paling minimum karena pemerintah lokal sangat menghayati
kebutuhan masyarakatnya, keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap
kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan
efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, persaingan antar
daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong
pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Inilah menjadi dasar mengapa
simpul desentralisasi fiskal ini berada pada tingkat pemerintahan yang paling dekat
dengan masyarakat secara geografis. Kedekatan secara geografis tersebut
memberikan potensi yang besar bagi daerah untuk memperbaiki kesejahteraan
masyarakatnya. Braun dan Grote (2002) dalam Rozi (2007) memberikan gambaran
tentang hubungan antara desentralisasi fiskal terhadap pengentasan kemiskinan.
14
Bagan: Braun dan Grote (2002) dalam Rozi (2007)
Sumber: Braun dan Grote (2002)
Inti dari skema ini adalah penyerahan wewenang yang besar kepada
pemerintah daerah melalui desentralisasi politik, administrasi dan desentralisasi fiskal
memungkinkan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dengan menekankan
kebijakan kepada perbaikan public service yang maksimal untuk masyarakat. Ini
menjadi lebih mudah karena pemerintah daerah tentu lebih jauh mengetahui
kebutuhan masyarakat didaerahnya. Peran masyarakat yang besar dalam proses
penentuan kebijakan dan implementasi kebijakan membuat pemerintah daerah harus
melakukan transparansi terhadap proses pembangunan termasuk dalam penggunaan
keuangan daerah.
15
Disamping itu dalam penentuan program, pemerintah daerah dapat lebih
mudah menentukan karena informasi yang didapatkan merupakan respon langsung
dari masyarakat yang menjadi preferensi dan kebutuhan penduduk setempat. Ini
kemudian dapat memberikan keuntungan kepada pemerintah daerah karena dapat
membuat program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), alasan bahwa desentralisasi dapat
membantu menyelesaikan masalah perekonomian nasional dimulai dari prinsip dasar
bahwa pemerintahan daerah dapat menyelenggarakan layanan publik bagi
masyarakatnya dengan biaya yang lebih rendah atau lebih efisien dibandingkan
dengan pemerintah pusat, dikarenakan pemerintah daerah lebih mengetahui
kebutuhan masyarakatnya sekaligus bagaimana cara memenuhi kebutuhan tersebut
dengan cara yang paling efisien dan, pemerintah daerah lebih dekat terhadap
masyarakatnya, sehingga akan bereaksi lebih cepat apabila kebutuhan tersebut
muncul, dan pada akhirnya masyarakat akan merasa puas atas pelayanan pemerintah
daerahnya. Dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal kemungkinan pemerintah
daerah untuk mempercepat penyelesaian masalah kemiskinan semakin besar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Von Braun dan Groote dapat dijadikan
dasar pentingnya desentralisasi. Studi dengan melakukan analisis multivariate dengan
variabel election tiers untuk proksi desentralisasi politik, kemudian size of population
untuk desentralisasi administratif dan share of subnational expenditure untuk
desentralisasi fiscal. Hasil tersebut menunjukkan semua variabel tersebut dapat
16
menurunkan kemiskinan, meskipun menurut mereka desentralisasi politik dan
administrasi harus mendahului desentralisasi fiscal karena pada awal-awal masa
desentralisasi pengeluaran pemerintah tidak dapat langsung memihak kepada kaum
miskin. Untuk itu Rao et all (1998) menekankan perlunya reorientasi terhadap
pengaturan fiscal antar tingkat pemerintahan daerah sehingga meningkatkan
pelayanan public dan meningkatkan konsumsi mereka.
Namun yang perlu diperhatikan adalah Kebijakan desentralisasi (fiskal) tidak
otomatis pro-growth, pro-poor dan pro-job perlu dukungan infrastruktur untuk
aksessibilitas dan konektivitas (Paddu, 2010). Artinya ada beberapa syarat untuk
membuat desetralisasi fiskal ini memberikan efek bagi pengentasan kemiskinan di
daerah yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Minimal alokasi dana transfer
yang jumlahnya besar tersebut diarahkan untuk membuat program pemberdayaan
masyarakat atau diarahkan untuk investasi disektor yang pro job dan pro poor.
Begitupun yang dikemukakan oleh Sidik (2002) dimana keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan
politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat
pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi
pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme
koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan
perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam
pelayanan sektor publik.
17
Tujuan politis untuk meningkatkan tingkat responsifitas birokrasi terhadap
keinginan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik dikaitkan dengan
partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyediaan pelayanan tersebut,
memerlukan setidak-tidaknya tujuh persyaratan penting untuk keberhasilan
pelaksanaan desentralisasi yaitu tahapan pelaksanaan desentralisasi harus realistis
disesuaikan dengan pengembangan institusi, sistem dan prosedur dan mekanisme
koordinasi di lingkup pemerintahan, dan pengembangan kemampuan sumber daya
manusia.
Keselarasan antara proses penyerahan kewenangan fungsi-fungsi
pemerintahan dari Pemeritah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia dan dokumen, desain dan
kerangka kerja proses desentralisasi harus terkait dengan kemampuan keuangan dan
kewenangan fiskal yang dimiliki oleh Daerah untuk memberikan pelayanan publik
kepada masyarakatnya, sehingga keinginan rakyat yang diwakili oleh DPRD dalam
penyediaan barang publik diharapkan mampu didukung oleh partisipasi masyarakat
dalam menanggung biaya atas penyediaan barang publik tersebut.
Masyarakat lokal harus diberikan informasi yang transparan tentang beban
yang mereka tanggung sebagai konsekuensi atas penyediaan barang publik tersebut
terutama melalui sosialisasi, debat publik dan dialog lainnya yang bermanfaat bagi
peningkatan kebutuhan barang publik sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat,
masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan preferensinya dalam
18
penyediaan barang publik melalui suatu mekanisme yang memungkinkan kehendak
masyarakat tersebut dapat ditampung dalam proses pengambilan keputusan pada
tingkat Pemerintah Daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu Peraturan Daerah
tentang penyediaan barang publik dan implikasi pembiayaannya, adanya jaminan
sistem akuntabilitas publik, transparansi dan tersedianya informasi keuangan dan
pembangunan daerah yang memadai, sehingga memungkinkan masyarakat untuk
memantau kinerja aparat Pemda, dan memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja Pemda yang tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat.
Lingkungan ini memungkinkan baik aparat daerah maupun DPRD dituntut
untuk responsif terhadap aspirasi masyarakatnya, instrumen desentralisasi terutama
yang menyangkut aspek ketentuan perundangan, kelembagaan, struktur pelayanan
yang menjadi tugas Pemda, maka mekanisme kontrol dan dukungan pembiayaan
harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu untuk mendukung keinginan politis
dari masyarakat.
Disamping itu juga dikembangkan prioritas pembangunan di bidang
kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan, yaitu : pertama pengembangan
sumber daya manusia terutama pemberdayaan anak-anak dan wanita, kedua
menanggulangi kemiskinan melalui proses pemberdayaan dan mempermudah akses
keluarga miskin terhadap kesempatan berusaha, modal dan pemasaran produk-produk
yang dihasilkan, ketiga penanganan bencana dan musibah (Kaloh, 2007 : 246).
19
Untuk itu seharusnya keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk
mengelolah daerah masing-masing menjadi peluang yang besar untuk mempercepat
proses pengentasan kemiskinan di daerah. Ini juga dijelaskan oleh M. Fakhru Rozi
(2007). Ia mengatakan secara umum kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat di
Provinsi Riau mengalami perbaikan setelah adanya otonomi, bahkan IPM Provinsi
Riau merupakan yang tertinggi di Sumatera. Otonomi daerah mampu meningkatkan
perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan
pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh
signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah. Begitupun temuan Bonar M.
Sinaga, Hermanto Siregar. Ia menemukan penerapan kebijakan desentralisasi fiskal
berpengaruh positif terhadap kinerja fiskal daerah dan kinerja fiskal daerah yang
cenderung meningkat tersebut pada gilirannya berpengaruh pada kinerja
perekonomian daerah. Selain kinerja fiskal, perekonomian daerah adalah investasi
swasta juga mengalami perbaikan pasca desentralisasi fiskal.
Dalam menyusun alokasi anggaran, pemerintah tidak boleh keluar dari tujuan
anggaran tersebut. Berdasarkan trylogi Musgave tentang tujuan alokasi anggaran
diataranya adalah Fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi
berhubungan dengan persediaan barang-barang sosial dan proses pemanfaatan
sumber daya secara menyeluruh untuk produksi barang-barang swasta, barang-barang
sosial, dan kombinasi dari barang-barang sosial yang telah dipilih. Fungsi distribusi
20
berhubungan dengan persamaan kesejahteraan dan distribusi pendapatan dalam
masyarakat.
Selama fungsi stabilisasi ditujukan untuk menstabilkan atau mempertahankan
rendahnya tingkat pengangguran, harga atau tingkat inflasi, dan pertumbuhan
ekonomi yang telah ditargetkan. Namun yang harus diperhatikan agar desentralisasi
fiskal berjalan on the track adalah prinsip (rule) yang dikemukakan oleh Roy Bahl.
Roy Bahl mengemukakan bahwa ada 12 (dua belas) aturan untuk membuat
desetralisasi berjalan dengan baik, yaitu Fiskal Decentralization Should Be Viewed As
A Comprehensive System, Finance Follows Function,There Must Be A Strong Central
Ability To Monitor And Evaluate Decentralization,One Intergovernmental System
Does Not Fit The Urban And The Rural Sector, Fiskal Decentralization Requires
Significant Local Government Taxing Powers,Central Governments Must Keep The
Fiskal Decentralization Rules That They Make,Keep It Simple, The Design Of The
Intergovernmental Transfer System Should Match The Objectives Of The
Decentralization Reform, Fiskal Decentralization Should Consider All Three Levels
Of Government,Impose A Hard Budget Constraint, Recognize That
Intergovernmental Systems Are Always In Transition and Plan For This, There Must
Be A Champion For Fiskal Decentralization.
21
2.1.2 Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Kemiskinan
Sejak negara ini mulai memikirkan tentang pola hubungan antara keuagan
daerah dan keuangan pemerintah pusat, berbagai perspektif teori tentu telah
mendahuluinya dan menjadi dasar dalam membangun konsep tentang dana transfer
termasuk dalam dana transfer yang bersifat khusus atau DAK (Dana Alokasi
Khusus).
Setidaknya terdapat empat alasan menurut Oates (1999) untuk
dilaksanakannya kebijakan desentralisasi, yaitu efisiensi ekonomi, efisiensi biaya,
akuntabilitas, dan mobilisasi sumber dana. Efisiensi ekonomi dalam hal ini adalah
efisiensi alokasi sumber daya, yaitu keputusan yang dilakukan oleh lingkup
pemerintahan yang lebih kecil menghasilkan jenis dan tingkat pelayanan publik yang
lebih sesuai dengan preferensi lokal terutama jika kebutuhan antar daerah relatif
berbeda (Oates 1972, 1999).
Secara teoritis, menurut Shah (1994), jika pelayanan publik dasar dan
kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas utama nasional dan tidak menjadi
prioritas utama daerah, maka mekanisme transfer dana alokasi khusus tanpa dana
pendamping (conditional non-matching grant) adalah yang terbaik.
Dari perspektif teori, DAK yang diterapkan di Indonesia sejauh ini termasuk
conditional,closed-ended, and binding constrainmatching grant. Artinya, DAK di
Indonesia merupakan transfer bersyarat dengan tujuan khusus yang besaran dananya
22
(pagu) telah ditetapkan sejak semula. Secara teoritis (Boadway, dan Shah 2007: lihat
Tabel 2.1) dapat diprediksi bahwa jenis matchinggrant seperti ini adalah jenis yang
paling lemah dampaknya terhadap tiga hal yaitu penambahan kapasitas keuangan
daerah, akuntabilitas pelaporan anggaran dan kesejahteraan masyarakat. sehingga
konsep tentang dana alokasi khusus yang mengalami kesulitan untuk memberikan
dampak yang signifikan khususnya terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah.
Ini lebih disebabkan oleh pola penetapan program yang langsung dtentukan
pagu/besaran dana yang akan ditransfer sesuai dengan program yang ditentukan
sendiri oleh pemerintah pusat, sehingga besar kemungkinan program yang ditentukan
tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan oleh daerah. Untuk itulah penggunaan DAK
telah ditentukan sebelumnya oleh pemerintah pusat yang semuanya untuk
pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan raya, fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Ini dapat membantu daerah yang mengalami kesulitan keuangan sehingga pendapatan
daerah hanya cukup untuk membiayai belanja rutin. Sebagai modal desentralisasi
fiskal, DAK dirancang untuk memenuhi kebutuhan khusus di daerah tertentu (DAK
white paper 2011) sehingga pengaruh DAK terhadap pembangunan daerah cukup
penting disamping membantu pembiayaan keuangan daerah.
23
2.1.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Kemiskinan
DAU tidak hanya sekedar memperkuat kegiatan sektoral Kementerian-
Lembaga (KL) di daerah, tetapi bahkan bisa menjadi kegiatan substitusi karena
minimnya kegiatan daerah di sektor itu. Grand design DAU menunjukkan peran
penting DAU dalam mempercepat pembangunan dan memperbaiki pelayanan
masyarakat. Di tingkat daerah, melihat pola umum belanja yang menempatkan
belanja pegawai dalam porsi yang dominan, DAU dapat dijadikan kompensasi atas
kekurangan pembiayaan pembangunan fisik dan pelayanan masyarakat di daerah
kendatipun dalam jumlah yang terbatas.
Tambahan lagi, bagi banyak daerah-daerah bentukan baru akibat pemekaran
DAU mengambil porsi yang signifikan (Bappenas). Untuk melihat peran DAU yang
cukup besar dalam pembangunan ekonomi daerah membuat porsi DAU terus
mengalami peningkatan.
DAU merupakan dana tambahan yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk membantu kuangan daerah termasuk untuk
mencapai prioritas pembangunan nasional. Kendati hanya mengambil porsi kecil,
DAU tetap dianggap penting karena setidaknya di tingkat nasional, undang-undang
menetapkan DAU sebagai jembatan untuk mempercepat ketercapaian prioritas
pembangunan nasional.
24
Peran DAU dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan menjadi penting
mengingat kemampuan daerah yang masih mengalami kesulitan fiskal dimana
kebutuhan fiskal lebih besar dibandingkan potensi fiskal. Dalam kondisi seperti ini
DAU menjadi salah satu variabel penting dalam membantu kuangan daerah untuk
membiayai pembangunan khususnya dalam hal penyelesaian kemiskinan di daerah.
Jika tujuan dari transfer adalah untuk peningkatan kesejahteraan secara umum, maka
unconditional non-matchinggrant atau block grants seperti Dana Alokasi Umum
(DAU) adalah yang terbaik (Shah (1994) dalam Wuryanto, 1996). Menunjukkan
DAU, betapapun kecil porsi yang dialokasikannya, memainkan peran penting dalam
pembangunan daerah.
2.2 Tinjauan Empiris
Beberapa penelitian memberikan hasil yang beragam terkait dengan
signifikansi antara dana transfer (DAU, DAK, DBH) terhadap jumlah kemiskinan
didaerah. Misalnya yang dilakukan oleh Suyoto (2009). Ia Menemukan bahwa DAU
yang ditansfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk ABD
(Anggaran Bantuan Desa) memberikan dampak yang signifikan terhadap angka
kemiskinan.
Variabel Anggaran Bantuan Desa (ABD) mempuyai pengaruh negatif dan
signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda negatif serta
25
dengan nilai thitung sebesar -1.45752 dan probabilitas 0.0853 atau kurang dari
α=0,01. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan anggaran (ABD) yang ditujukan
untuk program pemberantasan kemiskinan maka akan berdampak terhadap
pengurangan angka kemiskinan. Hal ini senada dengan yang ditemukan oleh
panelitan dari IPB dengan judul penelitian dampak dana transfer terhadap
kemiskinan. Temuan tersebut menunjukkan bahwa dana transfer dalam bentuk DBH
Pajak memberikan pengaruh yang negative dan signifikan terhadap angka
kemiskinan.
Hasil yang berbeda ditemukan oleh Christy dan Priyo Hadi Adi (2009),
Abdullah, Syukri, dan Abdul Halim (2007), Adi dan Harianto (2004) hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa Belanja Modal berpengaruh terhadap Kualitas
Pembangunan Manusia, sedangkan variabel Dana Alokasi Umum juga merupakan
faktor yang sangat menentukan besaran Belanja Modal. Pengaruh dana transfer pusat
ada pada besaran belanja modal pemerintah daerah, sehingga berdampak pada
perbaikan kesejahteraan masyarakat. Artinya ada beberapa mekanisme yang harus
dilewati oleh dana transfer agar berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di
daerah, salah satunya kebijakan harus diarahkan untuk memperbesar pengeluaran
pemeritah pada sisi belanja modal.
Ini sesuai dengan hasil yang ditemukan oleh Adi dan Harianto (2004) yang
menaliti tentang Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja
Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se-Jawa-
26
Bali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAU memberikan pengaruh terhadap
belanja modal. Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
Otonomi daerah dengan kebijakan peningkatan pengeluaran infrastruktur
sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan memberikan dampak penurunan tingkat
kemiskinan seperti studi Yudhoyono (2004), Usman (2006) dan Hermami (2007).
Namun Temuan sebaliknya diperoleh pada studi Nanga (2006) dan Sumedi (2005)
yang menyatakan bahwa transfer fiskal di Indonesia cenderung memperburuk
ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar daerah.
Dalam penelitian yang lain menunjukkan bahwa desentralisasi fiscal dapat
meminimalkan ketimpangan suatu daerah. Artinya pembangunan daerah menjadi
merata dan tidak menunjukkan ketimpangan yang tajam. Fatimah (2007) dalam
penelitiannya tentang Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap
Ketimpangan Pendapatan Antar Propinsi di Indonesia Tahun 1993 – 2004. Dengan
menggunakan Indeks Ketimpangan Williamson menyimpulkan bahwa ketimpangan
transfer Fiskal berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap
ketimpangan pendapatan.
Dengan meningkatnya ketimpangan transfer fiskal ini maka akan menurunkan
tingkat ketimpangan pendapatan. Lebih jauh, karena peningkatan ketimpangan
transfer fiskal ini disebabkan oleh meningkatnya dana transfer yang diperoleh
pemerintah daerah. Maka hal ini pun akan berarti bahwa peningkatan dana transfer
akan berdampak terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Jadi secara
27
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan dana transfer untuk tiap-
tiap propinsi di Indonesia membawa dampak yang positif terhadap tingkat
kemerataan pendapatan antar propinsi di Indonesia.
2.3 Kerangka Pikir
Pada dasarnya desentralisasi lahir untuk menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan daerah secara mandiri. Desentralisasi dianggap dapat mempengaruhi
pembangunan ekonomi daerah yang salah satu indikatornya adalah tingkat
kemiskinan secara signifikan. Namun tidak semua daerah mamiliki kemampuan
keuangan atau kondisi fiskal yang memadai untuk membuat program pembangunan
termasuk untuk program pengentasan kemiskinan. Ini sesuai dengan salah satu fungsi
pemerintah yaitu fungsi distribusi yaitu memastikan bahwa terdapat pembagian
pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat sehingga
ketimpangan pendapatan semakin berkurang.
Untuk membantu daerah, pemerintah pusat mengikutkan penyerahan
wewenang dengan penyerahan dana transfer (intergormental transfer) dalam bentuk
Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Non
Pajak. Intergovermental transfer tersebut bertujuan untuk menghilangkan fiskal gap
(Horizontal fiskal gap and Vertical fiskal gap). Seperti skema yang digambarkan oleh
Braun dan Grote (2002) bahwa desentralisasi fiskal akan memberikan keleluasaan
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang maksimal sesuai
28
dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan pada
bab II, kemudian dibuatlah kerangka pikir yang menjelaskan bahwa peran
desentralisasi fiskal memiliki hubungan dengan pengentasan kemiskinan.
Gambar: Kerangka Pikir
Desentralisasi fiskal dapat memberikan pengaruh terhadap angka kemiskinan
jika pemerintah baik pusat maupun daerah dapat memenuhi syarat yang telah
ditentukan. Misalnya pemerintah daerah harus menyadari bahwa desentralisasi ini
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dasar untuk masyarakat sehingga akses
untuk mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan semakin luas.
29
DANA ALOKASI UMUM
DANA ALOKASI KHUSUS
DANA BAGI HASIL PAJAK
DESENTRALISASI
FISKAL
ANGKA
KEMISKINAN
DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA
Untuk itu dana yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat dalam rangka
desentralisasi fiskal harus digunakan untuk meningkatkan pelayanan dasar
masyarakat. Alokasi dana transfer yang efektif tentu menyesuaikan dengan program
indikatif yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip ini dikenal dengan money
follow function artinya uang yang diserahkan kepada daerah harus berbasis program,
sehingga penggunaan dana tersebut dapat diketahui.
Semua prinsip yang ditentukan untuk mengawal jalannya desentralisasi harus
di perhatikan oleh pemerintah. Ini menjadi “rule of game” dalam menjalankan sistem
desentralisasi. Jika tidak desentralisasi justru menjadi sistem yang membahayakan
pemerintah daerah khusnya masyarkat. Beberapa indikasi telah menuju kearah itu,
misalnya belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau
dalam hal ini target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum) sehingga selama
ini dana yang diserahkan ke daerah dalam bentuk transfer pemerintah pusat belum
menunjukkan hal yang menggembirakan. Misalnya masih terdapat di beberapa daerah
yang masyarakatnya kekurangan gizi, mendapat pelayanan kesehatan yang buruk,
masih sulitnya warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.
30
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian terdahulu dalam penelitian ini, maka
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
Diduga terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara variabel DAK,
DBH dan DAU terhadap tingkat kemiskinan di Kabupten Takalar tahun 2000-2010
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang
bersifat time series untuk Kabupaten Takalar. Data ini didapatkan dari beberapa hasil
penelitian sebelumnya termasuk dalam jurnal, skripsi, tesis, buku dan karya ilmiah
yang lain yang mendukung penelitian ini. Selain itu data tersebut juga diperoleh dari
situs resmi Badan Pusat Statistik dan Bappenas yang diterbitkan secara resmi.
Model Analisis
Untuk melihat hubungan antara dana transfer pemerintah (DAU, DAK, DBH)
terhadap kemiskinan, digunakan model dasar sebagai berikut:
Y=ƒ(X1,X2, X3, X4) ….….……….……….……….……….………. (1)
Dari fungsi sederhana tersebut, kemudian dibuat model regresi berganda
sebagai berikut:
Y= α0+ Lnα1X1+ Lnα2X2 +Lnα3 X3+Ln α3X4 µ……..………. ………. …. (2)
Dimana:
Y= Kemiskinan
α = Koefisien regresi
32
X1 = Dana Alokasi Umum
X2 = Dana Alokasi Khusus
X3 = Dana Bagi Hasil Pajak
X4 = Dana Bagi Hasil Sumber Daya
µ = Standar error
3.1 Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi berganda.
Untuk memudahkan dalam menganalisis data maka penelitian ini menggunakan
bantuan software SPSS.
3.2 Uji Kesesuaian
1. R2 (koefisien determinan) ditujukan untuk melihat keterikatan antara ariable
bebas dan ariable terikat
2. T-test dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi koefisien regresi. Jika
hasilnya t hitung>t table maka H0 ditolak dan H1 diterima.
33
3.3 Uji Asumsi Klasik
1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan kondisi dimana terdapat hubungan antara
variabel independen (bebas). Untuk itu uji multikolinearitas bertujuan
untuk melihat apakah terdapat hubungan antara satu variabel bebas
dengan variabel bebas yang lain. Seharusnya model regresi yang baik,
tidak terdapat hubungan antara variabel bebas.
3.4 Definisi Operasional
Defenisi operasional dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan
variabel yang ingin diteliti. Untuk itu defenisi operasional variabel dalam penelitian
ini adalah:
1. Dana alokasi umum adalah dana transfer dapat digunakan oleh pemerintah
daerah untuk membiayai kebutuhan pembangunan daerah.
2. Dana Alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada Daerah dan digunakan untuk kegiatan yang telah
ditentukan sebelumnya oleh pemerintah pusat.
3. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
34
4. Kemiskinan adalah jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
(2100 Kilo kalori/ hari). Berdasarkan definisi BPS. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data BPS.
35
BAB IV
GAMBARAN UMUM DESENTRALISASI FISKAL
DI KABUPATEN TAKALAR
Terjadi perubahan yang mendasar dalam pembangunan ekonomi suatu daerah
ketika daerah tersebut memutuskan untuk mengubah sistem pemerintahan yang
bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Kondisi ini dialami oleh Kabupaten
Takalar yang memutuskan mengikuti sistem desentalisasi fiscal. Dilihat dari indikator
pembangunan, Takalar termasuk salah satu kabupaten yang mengalami pasang surut
pasca Indonesia menerapkan sistem desentralisasi (politik, administrasi, fiscal,
ekonomi). Yang menjadi menarik adalah jumlah orang miskin di Kabupaten Takalar
mengalami fluktuasi sehingga secara rata-rata perubahan untuk jumlah orang miskin
bisa dikatakan mengalami perlambatan.
Sementara secara konseptual, desentralisasi ditujukan salah satunya untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan mengutamakan pelayanan public di
antaranya jalan raya, fasilitas pendidikan dan kesejahteraan yang efektif dan efisien.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa belum terjadi hal yang signifikan dalam
perbaikan taraf hidup masyarakat di daerah khususnya di Kabupaten Takalar. Tentu
ada berbagai factor yang mendukung jalanya desentralisasi diantaranya kesiapan
pemerintah daerah untuk secara mandiri mengelolah daerah masing-masing sesuai
36
dengan kewenangan yang diatur dalam UU. Political will menjadi titik awal untuk
menjalankan desentralisasi dengan baik dan mencapai tujuan bersama yaitu
kesejahteraan masyarakat. Namun saat ini dampak yang dihasilkan oleh desentralisasi
justru adalah dampak negative. Apa yang dikemukakan oleh Musgrave tentang
dampak negatif desentralisasi adalah munculnya “raja-raja” baru yang membangun
dinasti politik didaerahnya masing-masing, korupsi yang tadinya tersentralisasi kini
menjadi desentralisasi akibat penyerahan wewenang yang besar terhadap kepala
daerah.
Selama 12 (dua belas) tahun desentralisasi masalah kemiskinan di Kabupaten
Takalar belum menemui jalan keluar. Tidak terselesaikannya kemiskinan lebih
disebabkan ketidak mampuan sumber daya manusia untuk menerapkan sistem ini
secara komprehensif. Besarnya dana transfer pemerintah pusat untuk Kabupaten
Takalar meningkat setiap tahunnya akibat besarnya biaya penyelenggaraan
pembangunan di daerah. Dinamika politik local dan meningkatnya kebutuhan daerah
tentu memberikan konsekuensi diantaranya semakin membesarnya alokasi dana
transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dana tersebut terdiri dari dana
alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak.
37
Tabel 4.1Data Persentase Jumlah Orang Miskin di Kabupaten Takalar
Tahun Kemiskinan2000 15,802001 15,662002 15,772003 15,092004 12,992005 14,942006 14,092007 13,802008 12,682009 11,062010 11,16
Sumber: Badan Pusat Statistik Sul-Sel
Besaran dana yang diberikan pemerintah pusat memberikan indikasi yang
menunjukkan bahwa saat ini pemerintah Kabupaten Takalar termasuk daerah yang
menggantungkan masalah pembiayaan pembangunan daerah terhadap dana
perimbangan.
38
Tabel 4.2Dana Transfer Pemerintah 10 (sepuluh) Tahun Terakhir untuk Kabupaten
Takalar
Tahun
Dana Alokasi
Umum Dana Alokasi Khusus
Dana Bagi Hasil Pajak
Dana Bagi Hasil Sumber Daya
2000 90,778,000,000 217,480,000,000 5.420.000.000 108.000.000
2001 100.983.390.000 213.600.000.000 3.497.390.000 5.191.310.000
2002 119.100.000.000 174,460,000,000 3.838.740.000 5.525.470.000
2003 136.890.000.000 7.635.460.000 11.091.270.000 1.548.370.000
2004 138.354.000.000 13.240.000.000 13.611.760.000 2.014.890.000
2005 149.184.000.000 13.340.000.000 8.431.530.000 8.820.840.000
2006 237.750.000.000 28.420.000.000 7.467.780.000 11.736.640.000
2007 264.008.000.000 44.979.000.000 18.156.890.833 9.657.388.425
2008 294.665.014.000 56.819.000.000 19.191.583.029 3.186.252.813
2009 292.181.834.000 56.354.000.000 11.069.470.794 10.868.486.614
2010 304.060.484.000 43.478.400.000
23,070,958,757
721.576.000
2011 334.734.972.000 43.636.900.000 19.809.051.000 1.785.116.000
Sumber: DJPK.Kemenkeu RI
39
Semakin membesarnya intergovernmental transfer dari pemerintah pusat ke
daerah menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat
melalui pelayanan publik yang efektif sesuai dengan tujuan awal desentralisasi dan
pengelolaan ekonomi daerah secara mandiri yang mendorong tingginya laju investasi
di daerah semakin besar. Namun ada syarat wajib yang harus dijalankan pemerintah
daerah untuk mencapai keberhasilan tersebut diantaranya desain, proses
implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-
masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia,
mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem
nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam
pelayanan sektor public (Machfud Sidik, 2002).
Selama 12 (dua belas) tahun desentralisasi terjadi beberapa perubahan dalam
tata kelola pemerintahan daerah dan pola hubungan antara keuangan pusat dan
daerah. Perubahan itu ditunjukkan dengan perubahan undang-undang No.22 tahun
1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Perubahan tersebut disebabkan karena lambatnya proses
reformasi perpajakan yang membuat daerah mengalami kesulitan untuk
meningkatkan fiscal capacity ditengah semakin tingginya fiscal need. Untuk tahun
2008 Belanja Pemerintah Kabupaten Takalar terdiri dari belanja operasional sebesar
Rp.439,719,491,783.66, belanja pegawai sebesar Rp.320,189,397,889.66 belanja
40
barang sebesar Rp.214,155,052,011.00, belanja bunga sebesar Rp.
85,622,687,513.00, subsidi sebesar Rp.20,364,721,699.00 dan belanja modal sebesar
Rp. 112,995,055,157.00. diantara semua belanja pemerintah untuk tahun 2008 belanja
barang dan belanja pegawai yang memiliki porsi yang paling besar. Kondisi tersebut
menunjukkan belum maksimalnya keberpihakan pemerintah Kabupaten Takalar
dalam menurunkan angka kemiskinan. Besarnya belanja rutin yang terdiri dari
belanja operasional pemerintah daerah dan belanja pegawai membuat belanja yang
seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus dikurangi porsinya.
Kondisi ini juga menggambarkan ketidakberdayaan pemerintah daerah karena
disatu sisi kebutuhan operasional daerah mengalami peningkatan dan disisi lain gaji
aparat pemerintah daerah juga meningkat. Meskipun begitu seharusnya pemerintah
Kabupaten Takalar dalam menggunakan dana daerah secara efektif dan efisien
dimana pemerintah harus menentukan skala prioritas pembiayaan termasuk untuk hal-
hal yang bersifat oprasional.
Namun saat ini pemerintah pusat tengah menyusun perubahan UU No.33
tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ini disebabkan karena
sampai sejauh ini desentralisasi fiscal justru hanya memperdalam jurang antara
horizontal dan vertical fiscal gap. Tentunya perubahan tersebut akan memperbaiki
struktur hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Namun perubahan tersebut
belum mampu membawa keberhasilan yang menyeluruh terhadap perbaikan
pembangunan ekonomi daerah. Takalar masih menjadi daerah yang mengalami
41
perlambatan dalam penurunan angka kemiskinan dibandingkan dengan beberapa
daerah di Selawesi Selatan.
Gambaran perkembangan desentralisasi fiskal yang berjalan dinamis tentu
memberikan implikasi yang besar bagi pembangunan ekonomi daerah. Salah satu
variabel untuk menilai keberhasilan pembangunan daerah adalah angka kemiskinan.
Saat ini Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki angka
penurunan jumlah orang miskin yang dinamis atau dapat dikatakan lambat. Memang
data menunjukkan angka kemiskinan di Kabupaten Takalar juga mengalami
penurunan untuk beberap tahun misalnya di awal-awal penerapan desentralisasi.
Namun pada tahun-tahun tertentu angka kemiskinan mengalami peningkatan dan
pada saat yang sama dana yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah justru
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun khususnya untuk Dana Alokasi Umum.
Pemerintah daerah tentu menyadari besarnya kewenangan yang diberikan
untuk mengelolah daerah harus sejalan dengan tujuan desentralisasi yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun tidak cukup hanya kesadaran politik
harus ada kemauan dari pemerintah daerah untuk menunjukkan keberpihakan mereka
terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat dan didukung oleh sumber daya
manusia (aparat pemerintah daerah) yang mengerti perannya sebagai penyusun
kebijakan dan memberikan pelayanan untuk memperbaiki pelayanan dasar karena
diyakini bahwa salah satu faktor yang membuat lambatnya penurunan angka
42
kemiskinan adalah kecilnya akses masyarakat miskin dalam pelayanan dasar seperti
pendidikan, kesehatan dan hal-hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
43
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Variabel Independen (DAU, DAK, DBH pajak dan SD) terhadap
Variabel Dependen (Angka Kemiskinan)
Untuk menjelaskan tentang bagaimana signifikansi hubungan antara variabel
independen terhadap variabel dependen maka dilakukan analisis regresi berganda.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan regresi linear dan dilakukan dalam
beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen. Hasil regresi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.1Hasil Analisis Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) 96.794 24.354 3.975 .007
X1 -2.865 2.015 -.754 -1.422 .205
X2 -.031 .482 -.020 -.063 .952
X3 -.525 1.582 -.192 -.332 .751
X4 .188 .407 .153 .462 .660
a. Dependent Variable: Y
Setelah melakukan analisis regresi, maka ditemukan beberapa hasil yang dapat
menjadi kesimpulan yaitu:
44
1. Pengaruh Variabel X1 (Dana Alokasi Umum) terhadap variabel Y (angka
kemiskinan) merupakan pengaruh yang negative namun tidak signifikan. Jika
Dana Alokasi Umum mengalami peningkatan 1% maka angka kemiskinan
dapat menurun sebesar 1,422%.
2. Untuk variabel X2 ( Dana Alokasi Khusus) berpengaruh negatif namun tidak
signifikan terhadap angka kemiskinan (Y). Ini ditunjukkan dengan besaran t-
hitung yaitu -0,063. Jadi kenaikan Dana Alokasi Khusus hanya menurunkan
angka kemiskinan sebesar 0,063%.
3. Variabel X3 (Dana Bagi Hasil Pajak) memiliki hubungan yang negative dan
tidak signifikan terhadap angka kemiskinan. Hubungan itu dapat dilihat dari
besaran t-hitung yaitu -0,332. Jadi meskipun Dana Bagi Hasil Pajak
meningkat 1% maka angka kemiskinan hanya turun sebesar 0,33%.
4. Hubungan antara variabel X4 (Dana Bagi Hasil SD) terhadap angka
kemiskinan memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan. Hubungan
positif tersebut dapat dilihat dari hasil t-hitung sebesar 0,462. Hasil ini
menunjukkan bahwa ketika Dana Bagi Hasil Sumber Daya dinaikkan 1%
maka angka kemiskinan juga meningkat sebesar 0,462%.
45
Tabel 5.2Analisis KorelasiModel Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .869a .756 .593 1.11665
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X2, X1
Untuk hasil analisis korelasi yang diperoleh dari pengolahan data
menunjukkan korelasi antara Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,
Dana Bagi Hasil Pajak dan SD terhadap kemiskinan diperoleh nilai sebesar
R2 = 0.756. Angka ini menunjukkan bahwa variable pengentasan kemiskinan
yang dapat dijelaskan oleh model dalam penelitian ini sebesar 75,6%
sedangkan selebihnya yaitu 24,4% dijelaskan oleh variabel diluar persamaan
model ini. Nilai R didapatkan sebesar 0,869 menunjukkan pengaruh antara
variable Independen terhadap variabel dependen memiliki pengaruh yang
kuat.
5.2 Analisis Pengujian Hipotesis
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah variable Dana
Alokasi Umum, Dana alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya
mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap angka kemiskinan. Terkait
dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini maka kemudian dibangun sebuah
46
hipotesis yang hendak diuji melalui dalam penelitian ini, yaitu Dana Alokasi Umum,
Dana alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap angka kemiskinan.
Untuk membuktikan hipotesis tersebut maka akan digunakan uji serempak
(uji F) dan uji parsial (uji t). Uji serempak dimaksudkan untuk mengetahui bahwa
variable independen secara serempak mempengaruhi penurunan angka kemiskinan.
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara nilai F hitung dengan nilai F
table pada α = (0,5). Sedangkan untuk uji T digunakan untuk mengetahui apakah
masing-masing variable independen berpengaruh secara parsial terhadap variabel
dependen. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara T hitung dengan T
table pada α= 0,5. Berikut hasil pengujian hipotesis:
Tabel 5.2Pengujian Hipotesis (Uji F)
ANOVAb
ModelSum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 23.155 4 5.789 4.642 .048a
Residual 7.481 6 1.247
Total 30.636 10
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X2, X1b. Dependent Variable: Y
Berdasarkan hasil uji hipotesis secara serempak maka ditemukan hasil dengan
F-Hitung sebesar 4,642. Jika dibandingkan dengan F-Tabel sebesar 1,84 maka dapat
47
disimpulkan bahwa secara serempak variabel independen yaitu DAU, DAK, DBH
Pajak dan SD berpengaruh signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan. Untuk
itu hipotesis dalam penelitian ini diterima (H0 ditolak, H1 diterima).
Setelah melakukan uji hipotesis secara serempak, selanjutnya dilakukan uji hipotesis
secara parsial. Dengan menggunakan standar eror 0,5 maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Secara parsial variabel X1 (Dana Alokasi Umum) berpengaruh negative dan
tidak signifikan terhadap angka kemiskinan. Kesimpulan ini dapat dilihat
dengan membandingkan antara T-hitung dengan T-tabel. T-hitung untuk
variabel Dana Alokasi Umum sebesar -1.422 sedangkan T-tabel sebesar
0,700. Artinya T-hitung<T-Tabel sehingga kesimpulannya secara parsial
DAU berpengaruh negative dan tidak signifikan terhadap angka kemiskinan
2. Secara parsial variabel X2 (Dana Alokasi khusus) berpengaruh negatif namun
tidak signifikan terhadap angka kemiskinan. Kesimpulan ini dapat dilihat
dengan membandingkan antara T-hitung dengan T-tabel. T-hitung untuk
variabel Dana Alokasi Khusus sebesar -0.063 sedangkan T-tabel sebesar
48
0,700. Angka T-hitung>T-tabel sehingga kesimpulanya H0 diterima dan H1
ditolak
3. Secara parsial variabel X3 (Dana Bagi Hasil Pajak) berpengaruh negatif
namun tidak signifikan terhadap angka kemiskinan. Kesimpulan ini dapat
dilihat dengan membandingkan antara T-hitung dengan T-tabel. T-hitung
untuk variabel Dana Alokasi Khusus sebesar -0.332 sedangkan T-tabel
sebesar 0,700. Angka T-hitung>T-tabel sehingga kesimpulannya H0 diterima
dan H1 ditolak
4. Secara parsial variabel X4 (Dana Bagi Hasil Sumber Daya) berpengaruh
positif namun tidak signifikan terhadap angka kemiskinan. Kesimpulan ini
dapat dilihat dengan membandingkan antara T-hitung dengan T-tabel. T-
hitung untuk variabel Dana Alokasi Khusus sebesar 0.462 sedangkan T-tabel
sebesar 0,700. Angka T-hitung>T-tabel sehingga kesimpulannya H0 diterima
dan H1 ditolak.
49
5.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Angka Kemiskinan
Pembangunan ekonomi daerah sangat erat kaitannya dengan keuangan daerah.
Untuk menyelesaikan masalah pembangunan didaerah, pemerintah daerah harus
mengalokasikan dengan tepat anggaran yang dimiliki. Namun salah satu kendala
yang dimiliki daerah adalah keterbatasan anggaran. Dalam era desentralisasi fiscal
daerah yang mengalami kesulitan untuk menzdanai kebutuhan pembangunan daerah
mendapatkan bantuan berupa dana transfer yang terdiri dari Dana Alokasi Khusus,
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Pajak dan Sumber Daya. Semua dana transfer
memiliki ketentuannya masing-masing dalam penggunaannya yang diatur dalam UU
No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari Penerimaan
Dalam Negeri APBN yang dialokasikan kepada Daerah dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar-daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk
itu DAU bertujuan untuk meminimalisir gap kemampuan keuangan antar daerah.
Dalam Menghitung jumlah DAU yang diterima tiap daerah, pemerintah pusat
menggunakan variabel IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Sehingga jika ada
daerah yang memiliki IPM yang rendah menjadi prioritas dalam pemberian DAU.
Untuk itu formula untuk menghitung DAU disebut sebagai kebutuhan fiscal karena
mencerminkan kebutuhan dana yang diperlukan oleh daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum.
50
Kabupaten Takalar salah satu kabupaten yang menikmati besarnya Dana
Alokasi Umum yang diberikan oleh pemerintah pusat. Untuk tahun 2010 Kabupaten
Takalar mendapat dana Alokasi Umum sebesar Rp. 304,060,484,000 dan meningkat
pada tahun 2011 menjadi Rp.334,734,972,000. Jika melihat proporsi pembagian Dana
Alokasi Umum, Kabupaten Takalar salah satu daerah yang mengalami peningkatan
dalam pembagian DAU.
Secara konsep, penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah
daerah untuk mendanai kebutuhan dan tanggung jawab daerah. Namun porsi yang
besar dalam penerimaan DAU seharusnya menjadi peluang besar untuk menurunkan
angka kemiskinan di daerah. Sesuai dengan perhitungan dalam penelitian ini,
pemerintah Kabupaten Takalar telah menggunakan DAU untuk menurunkan angka
kemiskinan di daerah. Pada tahun 2008 kemiskinan di Kabupaten Takalar mencapai
12,68% atau 34.185 jiwa dan menurun pada tahun 2009 menjadi 11,06% atau 29.818
jiwa. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa hubungan antara DAU terhdap
angka kemiskinan signifikan dan negatif artinya kenaikan pada DAU dapat
menurunkan angka kemiskinan dengan asumsi cateris paribus.
Jika melihat skema yang dibuat oleh Braun dan Grote (2002), maka hasil
penelitian ini menjadi relevan karena menurut Braun dan Grote bahwa kesejahteraan
masyarakat dapat ditingkatkan dengan memperbaiki pelayanan public dan
menentukan prioritas investasi. Selain itu pemberdayaan pemerintahan dalam artian
kemandirian pemerintah daerah dalam mengelolah perekonomian daerah juga
51
menjadi necessary condition untuk menurunkan angka kemiskinan. Semua kondisi itu
menurut mereka terbentuk dari desentralisasi politik, administrasi dan fiscal.
Gambar 5.1
Skema Braun Dan Grote
Kondisi inilah yang terjadi di Kabupaten Takalar. Kabupaten Takalar dapat
memanfaatkan dengan baik DAU yang diberikan untuk mencapai tujuan
pembangunan. Kewenangan yang luas dimanfaatkan oleh pemerintah Kabupaten
Takalar untuk memanfaatkan Dana Alokasi Umum dalam menyelesaikan program
pengentasan kemiskinan. Ada beberapa program pengentasan kemiskinan yang dibuat
oleh pemerintah kabupaten Takalar, salah satunya adalah program SISDUK (Sistem
dukungan Terpadu Pemeberdayaan Masyarakat Desa Lokal). SISDUK adalah
program pengentasan kemiskinan yang melibatkan masyarakat miskin untuk
52
mengusulkan program yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka. Setelah mereka mengusulkan yang menjadi prioritas utama kemudian
mendapatkan DBL (Dana Bantuan Langsung) dari pemerintah daerah.
Kemiskinan di Kabupaten Takalar termasuk kemiskinan yang paling rendah
jika dibandingkan dengan kemiskinan dibeberapa daerah. Pada tahun 2007 angka
kemiskinan di Kabupaten Takalar sebesar 13,80%, jika dibandingkan dengan Polman
sebesar 24,96% dan Bone 18,84%. Perbandingan menunjukkan bahwa untuk
beberapa hal desentralisisi fiskal di Kabupaten Takalar berhasil menurunkan angka
kemsikinan. Meskipun dalam beberapa tahun tertentu kenaikan DAU justru di ikuti
dengan kenaikan kemiskinan.
5.4 Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Angka Kemiskinan
Dana Alokasi Khusus merupakan bantuan dalam bentuk Matching grant.
DAU digunakan salah satunya untuk mencapai standar nasional termasuk dalam
pelayanan minimum masyarakat. Dana alokasi khusus (DAK) merupakan salah satu
mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional. Sesuai dengan peruntukannya DAK hanya untuk kegiatan
fisik dan tentunya dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pembangunan
ekonomi daerah.
53
Secara teoritis (Boadway, dan Shah 2007) dapat diprediksi bahwa jenis
matchinggrant seperti ini adalah jenis yang paling lemah dampaknya terhadap 3 hal:
1. Penambahan kapasitas keuangan daerah;
2. Akuntabilitas pelaporan anggaran; dan
3. kesejahteraan masyarakat.
Kelemahan ini disebabkan karena salah satunya karena penentuan program
yang akan didanai oleh DAK ditentukan oleh pemerintah pusat meskipun melibatkan
pemerintah daerah namun penentuannya program merupakan kewenangan
pemerintah pusat sehingga daerah tidak bisa menggunakan DAK untuk program yang
lain meskipun menurut pemerintah daerah ada program pembangunan daerah yang
lebih prioritas untuk diberikan pendanaan.
Teori Boadway dan Shah (2007) didukung oleh hasil penelitian ini yang
menemukan bahwa DAK tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kemiskinan.
Ini karena DAK secara signifikan tidak memberikan perubahan terhadap kapasitas
keuangan daerah karena pada dasarnya daerah hanya menjalankan program nasional
yang memiliki sinergi dengan daerah. Dan selain itu DAK hanya digunakan untuk
kegiatan yang sifatnya pembangunan fisik, seperti jalan, pengairan, pembangunan
pabrik tidak focus pada pemberdayaan masyarakat sehingga tidak berpengaruh
signifikan terhadap kemiskinan di Kabupaten Takalar. Meskipun tidak bisa
54
dipungkiri bahwa DAK menunjukkan hubungan yang negatif terhadap angka
kemiskinan namun hubungan tersebut tidak signifikan.
Pengaruh DAK yang tidak signifikan terhadap kemiskinan juga disebabkan
karena kegiatan yang didanai oleh DAK merupakan kegiatan yang bersifat jangka
panjang sehingga hasil yang didapatkan juga bersifat jangka panjang. DAK hanya
dialokasikan untuk 5 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, prasarana jalan, prasarana
irigasi dan prasarana pemerintah (Bappenas, GIZ, PG SP White Paper, 2011). Selain
itu belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau dalam
hal ini target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum).
Selain permasalahan besaran DAK yang kurang mencukupi dan program yang
telah ditentukan oleh pemerintah pusat, permasalahan yang timbul terkait dengan
DAK adalah efektifitas dalam pengelolaan. Penelitian yang dilakukan oleh harian
equator yang dikutip oleh Bappenas. Di antara sejumlah alasan bagi peninjauan ulang
atas DAK adalah perbaikan sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dan kebutuhan
daerah. Harian Equator (11/06/11), misalnya, menulis bahwa di Kabupaten Kubu
Raya kebijakan pemberian buku bagi perpustakaan sekolah tidak sejalan dengan
kebutuhan sekolah, karena sekolah lebih membutuhkan perbaikan sarana pendidikan
atau ruang kelas. Serupa itu, bantuan alat-alat kesehatan dan rumah sakit juga gagal
mencapai sasarannya sehingga harus dikembalikan ke pusat karena daerah penerima
tidak memiliki rumah sakit. Nilai besaran DAK antar daerah juga dinilai tidak
55
proporsional terhadap besaran penduduk dan luas wilayah layanan pemerintah
daerah.
Untuk itu muncul beberapa usulan untuk melakukan peninjauan kembali
terhadap mekanisme dan efektifitas DAK untuk melakukan perbaikan baik dalam
penentuan program maupun mekanisme alokasinya khususnya dalam mencapai
prioritas pembangunan nasional diantaranya di usulkan oleh Asian Development
Bank dalam Laporan Final Usulan Reformasi Dana Alokasi Khusus (ADB, 2011) dan
Lembaga Penelitian SMERU (Syaikhu dkk, 2008) sebagaimana dilaporkan dalam
Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus dengan mengambil kasus di
Banda Aceh, Wonogiri, Gorontalo, dan Kupang.
5.5 Pengaruh DBH Pajak dan Sumber Daya terhadap Angka Kemiskinan
Dana Bagi Hasil merupakan dana transfer dengan tujuan untuk membantu
keuangan daerah. Dana Bagi Hasil terdiri atas dua bagian yaitu pajak dan sumber
daya. DBH pajak terdiri dari pajak bumi dan bangunan, PPH dan cukai hasil
tembakau sedangkan DBH sumber daya terdiri dari hasil yang diperoleh dari
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Pembangian DBH dapat membantu percepatan pembangunan daerah namun
untuk Kabupaten Takalar pembangian DBH tidak berpengaruh signifikan terhadap
56
angka kemiskinan. Tentu ada beberap hal yang menyebabkan hal tersebut diantaranya
adalah proporsi yang telah ditetapkan pemerintah pusat untuk pembangian DBH tentu
lebih menguntungkan daerah yang memiliki wajib pajak yang besar dan daerah
penghasil sumber daya alam. DBH dialokasikan berdasarkan prinsip by origin,
dimana daerah penghasil penerimaan negara mendapatkan bagian (persentase) yang
lebih besar dan daerah lainnya dalam satu provinsi mendapatkan bagian (persentase)
berdasarkan pemerataan.
Pola pembagian tersebut membuat pemerintah daerah Kabupaten Takalar
mendapat porsi yang minim dan tidak mencukupi untuk menurunkan angka
kemiskinan. Dana Bagi Hasil Sumber Daya yang didapatkan Kabupaten Takalar
menurun dari Rp. 10.868.486.614 untuk tahun 2009 menjadi Rp.721,576,000 pada
tahun 2010. Jumlah yang mengalami fluktuasi membuat DBH belum signifikan
mempengaruhi penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Takalar.
Selain itu untuk DBH cukai hasil tembakau telah ditentukan penggunaanya
oleh pemerintah pusat seperti yang terdapat dalam Pasal 66A ayat (1) undang-undang
Nomor 39 tahun 2007 tersebut, yaitu
1. Peningkatan bahan baku industri hasil tembakau;
2. Pembinaan industri hasil tembakau;
3. Pembinaan lingkungan social;
57
4. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan
5. Pemberantasan barang kena cukai illegal.
58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan terkait dengan hasil regresi diatas maka dapat
disimpulkan beberapa hal terkait dengan penelitian ini, yaitu:
1. Dana transfer pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiscal
dapat membantu pembangunan didaerah termasuk untuk menurunkan angka
kemiskinan di Kabupaten Takalar
2. Dalam penelitian ini di dapatkan hasil bahwa DAU memiliki hubungan yang
negative namun tidak signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan. Jadi
kenaikan terhadap DAU mampu menurunkan angka kemiskinan namun tidak
signifikan.
3. Untuk variabel DAK, hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan dengan penurunan angka kemiskinan. Meskipun hubungan antara
variabel adalah negative namum kenaikan DAK belum mampu mendorong
angka kemiskinan menurun secara signifikan.
4. Variabel DBH pajak dan sumber daya menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Untuk varibel DBH sumber daya justru menunjukkan hubungan
yang positif namum tidak signifikan.
59
6.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan dalam penelitian ini maka
untuk melakukan optimalisasi dalam pemanfaatan dana transfer maka dalam
penelitian ini memberikan beberapa saran, diantaranya:
1. Pemerintah pusat memperhatikan proporsi dalam pembangian DAU. Dalam
beberapa hal daerah yang justru melakukan pembangunan mendapatkan porsi
alokasi DAU yang besar dibandingkan dengan daerah yang belum melakukan
pembangunan.
2. Pemerintah Kabupaten Takalar harus memprioritaskan penggunaan DAU
untuk program pemberdayaan masyarakat karena semakin tinggi DAU yang
diberikan maka semakin rendah tingkat kemiskinan.
3. DAK sebaiknya digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat. Atau
setidaknya kegiatan yang dibiayai oleh dana alokasi khusus memberikan
dampak jangka pendek dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di
daerah.
4. Untuk mengoptimalkan peran DBH dalam penurunan angka kemiskinan,
pemerintah pusat harus mengarahkan penggunaan Dana Bagi Hasil baik pajak
maupun sumber daya untuk pemberdayaan masyarakat. Atau dialokasikan
60
untuk program yang memiliki dampak multiplier terhadap pengentasan
kemiskinan di daerah.
5. Pemerintah pusat harus mengawasi penggunaan dana transfer DAU, DAK,
DBH. Sesuai dengan prinsip desentralisasi bahwa There Must Be A Strong
Central Ability To Monitor And Evaluate Decentralization.
61
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Sulawesi selatan, Berbagai Edisi
Bahl, R.W. dan Linn, J. F., 1992. Urban Public Finance in Developing Countries, Oxford University Press, Oxford.
Boatway,R and D.E.Wildasin.1988.Public Sector Economic.Secound Edition.Little,Brown and Company.Boston
Bird, R.M. and Vaillancourt, F. (1998).Fiscal Decentralization in Developing Countries. Cambridge: Cambridge University Press
Boadway, R., and A. Shah, eds. (2007). Intergovernmental Fiscal Transfers: Principles and practice. The World Bank, Washington, D.C. 575 pp.
Boadway, R., and A. Shah, eds. (2009). Fiscal Federalism: Principles and Practice of Multiorder Governance, Cambridge University Press, New York.
Halim, A. 2001.Anggaran Daerah dan "Fiscal Stress" (Sebuah Studi Kasus pada Anggaran Daerah Provinsi di Indonesia).Jurnal Ekonomi dan BisnisIndonesia.Oktober 2001. 16 (4):346-357.
Hermami, A. 2007.Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten Brebes dan Kota Tegal.Tesis.Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Litvack,J.J.Ahmad,and R.M.Bird.1988.Rethingking Desentralitation In Developing Countries.The World Bank Sector Studies Series.The World and Washington D.C
McCullock, N dan B. Suharnoko.2003 Desentralization and Poverty in Indonesia.Working Paper.Word Bank Office. Jakarta.
Musgrave, R.A dan P.B. Musgrave. 1984. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition. McGraw Hill Book Company. New York
Nanga, Buana. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan Di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan
62
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurdin, A. Heny Mulawati. Pengaruh Anggarran Pemberdayaan Eekonomi Masyarakat Dalam APBD Kota Dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Daerah Perkotaan DiIndonesia.
Oates, Wallece E. (1972), Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace Jovanovich
Oates, W.E. (1999. ‚An Essay on Fiscal federalism‘, Journal of economic Literature, 37(3):1120-49
Paddu, Hamid.2010.Pembangunan Ekonomi Daerah Dan Desentralisasi Fiskal
Rozi, M. Fakhru.2007. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan :Studi Kasus Propinsi Riau.
Shah, A. 1998. Fiscal Federalism and Macroeconomic Governance: For Better or for Worse? Policy Research Working Paper. The World Bank,Washington, D.C.
Shah,A.1994. Intergovermental Fiscal Relation In Indonesia: Issue And Reform Options.World Bank Discussion Paper,No.239.The World Bank Washington D.C
Simanjuntak, Robert.2010.Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia.
Sidik, M. 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yangMengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Direktorat JenderalPerimbangan Keuangan Pusat, dan Daerah Departemen Keuangan,Jakarta.
Suyoto. 2009. Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Dan Tingkat Kemiskinan Di Kabupaten Bogor
Siregar, Hermanto,Dkk.Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum Dan Ssesudah Desentralisasi Fiskal.Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Surbakti, Soedarti dkk.Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Beberapa Daerah di Indonesia
63
Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,Bogor.
The Asian Foundation, Seknas FITRA, UKaid, Royal Netherlands Embassy.2010.Local Budget Management Performance in 42 Kabupatens and Cities in Indonesia.
Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Von Braun,J.And U.Grote.2002.Does Decentralization Serve The Poor?.In Ahmad And Tanzi (Eds) Managing Fiscal Decentralization.Routladge Studies In The Moden World Economic, London and New York
Wuryanto,L.E.1996.Fiscal Decentralization And Economic Performance In Indonesia: an Interregional Computable General Equilibrium Aproach.Disertasi Doktor (Tidak Di Pubilkasikan.Corne University Ithaca
Yudhoyono.S.B.2004.Pembangunan Pertanian Dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Anlisis ekonom Politik Kebijakan Fiskal.Disertasi Doktor (tidak Di Publikasikan).Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor
64
LAMPIRAN TABEL
Persentase Angka Kemiskinan Kabupaten Takalar
Tahun Kemiskinan2000 15,802001 15,662002 15,772003 15,092004 12,992005 14,942006 14,092007 13,802008 12,682009 11,062010 11,16
Sumber: BPS Propinsi Sul-Sel
65
Perkembangan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus yang di Transfer
ke Daerah dari Tahun 2005-2010
Sumber: Kemenkeu RI
66
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2005 2006 2007 2008 2009 2010Prov. Sulawesi Selatan 332.73 509.54 599.51 656.71 663.42 706.28 35.1 44.8 29.2Kab. Bantaeng 122.49 181.86 206.74 224.67 227.50 235.87 11.6 27.4 39.9 46.2 45.4 30.5Kab. Barru 137.90 209.18 229.25 248.99 252.53 265.53 11.7 26.0 37.0 45.3 53.3 32.6Kab. Bone 276.74 446.42 494.23 529.06 531.91 541.72 14.3 32.3 57.8 70.8 78.7 69.7Kab. Bulukumba 191.27 246.77 332.72 363.39 370.48 383.22 12.8 28.7 45.5 54.7 70.1 50.9Kab. Enrekang 140.06 208.63 230.25 252.23 263.56 266.11 9.9 26.8 37.2 44.4 47.7 32.1Kab. Gowa 225.16 349.37 379.66 417.80 419.30 431.08 13.7 31.3 50.9 60.0 66.1 58.5Kab. J eneponto 162.93 245.02 280.68 296.15 302.31 314.83 12.8 29.3 41.4 48.5 47.9 43.5Kab. Luwu 168.61 265.54 289.61 318.30 338.39 342.64 16.2 33.3 52.4 62.6 61.6 50.4Kab. Luwu Utara 123.78 239.74 268.66 303.62 325.50 343.11 10.1 27.6 56.0 56.4 49.1 40.6Kab. Maros 165.02 260.78 286.00 312.18 316.39 325.25 13.4 29.5 49.6 61.7 57.0 46.4Kab. Pangkajene Kepulauan 164.76 236.04 266.30 326.06 332.58 350.72 12.8 31.5 41.9 53.8 60.7 44.1Kab. Pinrang 170.63 288.93 313.76 340.76 346.66 365.27 14.5 32.6 41.7 51.8 49.2 48.5Kab. Selayar 119.06 182.51 217.51 242.38 252.36 259.17 10.5 26.8 41.1 47.4 55.2 35.7Kab. Sidenreng Rappang 156.38 248.23 265.28 296.50 306.79 318.26 13.9 27.2 43.6 53.6 56.1 37.3Kab. Sinjai 145.52 284.70 255.44 284.00 288.76 295.53 12.4 32.8 53.8 61.8 52.7 38.8Kab. Soppeng 164.54 270.88 292.39 317.48 320.70 332.10 12.7 24.7 40.1 46.0 53.5 34.6Kab. Takalar 149.18 237.75 264.01 294.67 292.18 304.06 13.3 28.4 45.0 56.8 56.4 43.5Kab. Tana Toraja 212.60 334.60 362.63 396.16 262.37 297.36 12.7 29.9 46.0 56.9 62.4 49.3Kab. Wajo 173.21 272.22 305.94 336.19 352.94 364.82 14.1 29.9 44.9 55.5 66.5 49.3Kota Pare-pare 124.41 187.71 208.13 228.26 237.30 242.42 7.9 30.0 32.4 39.7 44.4 23.5Kota Makassar 323.08 513.00 583.84 643.33 647.30 644.27 14.7 8.5 20.0 43.2 45.8Kota Palopo 116.34 176.27 202.46 226.22 244.34 258.18 11.9 25.3 32.1 40.3 45.1 21.9Kab. Luwu Timur 93.15 190.63 216.89 241.00 227.78 238.66 11.9 23.9 44.1 51.1 47.9 28.1Kab. Toraja Utara 139.83 249.41 3.5 46.0
DANA ALOKASI UMUM DANA ALOKASI KHUSUSDaerah
Tabel 4.1Data Persentase Jumlah Orang Miskin di Kabupaten Takalar
Tahun Kemiskinan2000 15,802001 15,662002 15,772003 15,092004 12,992005 14,942006 14,092007 13,802008 12,682009 11,062010 11,16
Sumber: Badan Pusat Statistik Sul-Sel
Tabel 4.2
67
Dana Transfer Pemerintah 10 (sepuluh) Tahun Terakhir untuk Kabupaten Takalar
Tahun
Dana Alokasi
Umum Dana Alokasi Khusus
Dana Bagi Hasil Pajak
Dana Bagi Hasil Sumber Daya
2000 90,778,000,000 217,480,000,000 5.420.000.000 108.000.000
2001 100.983.390.000 213.600.000.000 3.497.390.000 5.191.310.000
2002 119.100.000.000 174,460,000,000 3.838.740.000 5.525.470.000
2003 136.890.000.000 7.635.460.000 11.091.270.000 1.548.370.000
2004 138.354.000.000 13.240.000.000 13.611.760.000 2.014.890.000
2005 149.184.000.000 13.340.000.000 8.431.530.000 8.820.840.000
2006 237.750.000.000 28.420.000.000 7.467.780.000 11.736.640.000
2007 264.008.000.000 44.979.000.000 18.156.890.833 9.657.388.425
2008 294.665.014.000 56.819.000.000 19.191.583.029 3.186.252.813
2009 292.181.834.000 56.354.000.000 11.069.470.794 10.868.486.614
2010 304.060.484.000 43.478.400.000
23,070,958,757
721.576.000
2011 334.734.972.000 43.636.900.000 19.809.051.000 1.785.116.000
Sumber: DJPK.Kemenkeu RI
68
Tabel 5.1Hasil Analisis Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) 96.794 24.354 3.975 .007
X1 -2.865 2.015 -.754 -1.422 .205
X2 -.031 .482 -.020 -.063 .952
X3 -.525 1.582 -.192 -.332 .751
X4 .188 .407 .153 .462 .660
a. Dependent Variable: Y
Tabel 5.2Analisis KorelasiModel Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .869a .756 .593 1.11665
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X2, X1
69
Tabel 5.2Pengujian Hipotesis (Uji F)
ANOVAb
ModelSum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 23.155 4 5.789 4.642 .048a
Residual 7.481 6 1.247
Total 30.636 10
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X2, X1b. Dependent Variable: Y
LAMPIRAN GAMBAR
70
Perkembangan Dana yang di Transfer ke Daerah dari Tahun 2005-2010
Sumber: Kementerian Keuangan RI 2010
71
Skema Braun Dan Grote
72
Gambar: Kerangka Pikir
73
DANA ALOKASI UMUM
DANA ALOKASI KHUSUS
DANA BAGI HASIL PAJAK
DESENTRALISASI
FISKAL
ANGKA
KEMISKINAN
DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA