repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 68475... · bab 2 tinjauan...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pruritus Uremikum
2.1.1 Pendahuluan
Pruritus adalah suatu sensasi yang secara khusus ditemukan pada kulit,
didefinisikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan yang menyebabkan
keinginan untuk menggaruk.
Pruritus dapat terjadi akibat faktor-faktor
dermatologis maupun non dermatologis.6,21
Pruritus dermatologis adalah puritus karena kelainan-kelainan kulit seperti
eksema atopi, psoriasis, xerosis, skabies, dermatitis kontak, insect bite, liken
planus, dermatofitosis, pedikulosis, folikulitis, urtikaria dan liken simpleks kronis.
Pruritus nondermatologis diakibatkan oleh penyakit-penyakit sistemik, seperti
penyakit ginjal kronik, kolestasis, limfoma Hodgkin, polisitemia vera, infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hipertiroidisme; penyakit-penyakit
neuropati, seperti pruritus brakioradial, parestetika notalgia dan gatal pada pasca
herpetika; dan penyakit-penyakit psikogenik, seperti gangguan obsesif kompulsif,
delusi parasitosis dan penyalahgunaan obat. Pada penyakit-penyakit psikogenik
ini dapat ditemukan gambaran ekskoriasi neurotik berupa garis-garis linier
berkrusta yang tersebar. Gambaran ini dapat terjadi dibagian tubuh yang dapat
dijangkau oleh pasien, walaupun paling sering ditemukan pada daerah
ekstremitas.22,23
Pruritus uremikum adalah istilah yang dipakai untuk pruritus yang dialami
oleh pasien PGK atau penyakit ginjal stadium akhir, dengan tidak disertai oleh
penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan gatal.3,24
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2 Epidemiologi
Pruritus uremikum terjadi pada 10-85% pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis. Kesulitan dalam menentukan gejala yang sangat subjektif,
terbatasnya jumlah pasien pada kebanyakan penelitian, dan sifat-sifat retrospektif
dari beberapa informasi, mungkin merupakan penyebab mengapa angka ini
memiliki rentang yang lebar.25
Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study
(DOPPS) melaporkan pruritus mengenai 42% pasien yang sedang menjalani
hemodialisis.24
Selama 20 tahun terakhir insidensi pruritus menurun dari 85%
pada awal tahun 1970-an menjadi 30% pada akhir tahun 1990-an.2 Kemajuan
teknik-teknik dialisis dan manajemen pasien disebutkan sebagai alasan mengapa
prevalensi pruritus uremikum ini telah menurun.3,10
2.1.3 Etiologi dan patogenesis
Banyak faktor yang terlibat sebagai etiologi pruritus uremikum, dan
faktor-faktor metabolik dikaitkan dalam patogenesisnya. Faktor-faktor metabolik
tersebut diantaranya adalah hiperkalsemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme
sekunder, dan hipermagnesemia. Keithi-Reddy et al membagi penyebab terjadinya
gatal pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir atau End-Stage Renal
Disease (ESRD) berdasarkan penyebab yang berkaitan dengan uremia dan yang
tidak berhubungan dengan uremia.26
Ada lima teori yang didapatkan mengenai etiopatogenesis pruritus
uremikum pada literatur-literatur tentang ginjal, diantaranya adalah:27
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.3.1 Xerosis (kulit kering)
Kira-kira 50% pasien-pasien dialisis dengan pruritus melaporkan adanya
kulit kering dan dikaitkan dengan adanya sensasi gatal. Tiga hal yang dikaitkan
dengan xerosis pada PGK adalah dehidrasi kulit, fungsi barier yang mengalami
perubahan dan iritasi yang jelas terhadap substansi-substansi eksternal seperti
surfaktan. Patogenesis pruritus uremikum dikaitkan dengan adanya atrofi kelenjar
sebasea dan bagian duktus dari kelenjar ekrin yang menyebabkan kadar lipid
permukaan kulit yang lebih rendah. Selain itu disfungsi barier juga menyebabkan
hilangnya integritas dari kandungan air pada stratum korneum kulit.27
2.1.3.2 Substansi-substansi pruritogenik
Substansi pruritogenik merupakan akumulasi dari substansi-substansi yang
tidak dapat dikeluarkan secara adekuat dengan dialisis yang dapat menyebabkan
pruritus. Substansi-substansi ini antara lain adalah vitamin A, histamin, dan ion-
ion divalen seperti kalsium, fosfor, dan magnesium. Secara lokal substansi-
substansi ini dapat berperan pada reseptor-reseptor yang memediasi sensasi gatal.
Secara sentral, substansi-substansi ini juga dapat memodulasi jalur yang
menyebabkan persepsi gatal.10
Ion-ion divalen disebutkan dapat mengendap pada lapisan epidermis kulit
dan menghasilkan efek yang mensensitisasi pruritus. Selain itu kadar histamin
serum juga ditemukan meningkat pada sebagian besar pasien dengan pruritus.
Sementara peningkatan hormon paratiroid juga memiliki korelasi terhadap gejala
pruritus, walaupun hormon paratiroid sendiri tampaknya bukan merupakan zat
pruritogenik.13
Universitas Sumatera Utara
9
Toksin-toksin uremikum disebutkan berperan dalam proses terjadinya
pruritus uremikum. Toksin dapat berupa senyawa kecil yang larut dalam air (berat
molekul < 500 Dalton), molekul-molekul menengah (> 500 Dalton) dan molekul-
molekul yang terikat protein (sebagian besar memiliki berat molekul <500 Dalton,
juga berperan untuk terjadinya pruritus uremikum. Pada proses hemodialisis,
senyawa-senyawa kecil mudah dibersihkan, namun molekul-molekul menengah
hanya dapat dipindahkan dengan strategi tertentu. Sedangkan molekul-molekul
yang terikat protein, oleh karena ikatannya tersebut, terhambat pola
pemindahannya melalui proses hemodialis.28
2.1.3.3 Etiologi neuropatik
Proliferasi yang abnormal dari serat-serat saraf sensoris yang
menyebabkan sensasi gatal pada PGK. Pada keadaan ini, pruritus dapat
merupakan tanda dari neuropati yang mendasari.10
Hipotesis ini didukung oleh
penemuan bahwa gabapentin, suatu agen yang digunakan untuk nyeri neuropatik,
telah terbukti efektif dalam mengobati pruritus pada penyakit ginjal kronik.3
2.1.3.4 Ketidakseimbangan peptida opioid
Pada pruritus yang berkaitan dengan PGK, diyakini bahwa terdapat
ketidakseimbangan antara peptida opioid endogen yang menstimulasi dan yang
menghambat jalur pruritus.3 Beberapa reseptor opioid terlibat dalam jalur pruritus,
seperti yang sudah dikonfirmasi dengan observasi bahwa morfin, suatu agonis
opioid, dapat menginduksi gatal. Sebaliknya, agen-agen yang menstimulasi
reseptor κ-opioid dapat mengurangi rasa gatal.13
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.3.5 Keadaan proinflamasi
Penyakit ginjal kronik dianggap menyebabkan abnormalitas sistem imun
yang menyebabkan keadaan pro inflamasi, yang bermanifestasi sebagai pruritus.
Hal ini didukung oleh studi-studi yang menunjukkan bahwa terapi-terapi
imunosupresan termasuk sinar ultraviolet B (UVB), takrolimus, dan talidomid
memberikan respon terhadap penurunan pruritus.3
2.1.4 Pendekatan diagnostik
Gambaran klinis dari pruritus uremikum adalah bersifat simetris, dimana
daerah yang paling sering terlibat adalah punggung, lengan, dada dan kepala.
Pruritus yang bersifat generalisata jarang dijumpai. Eksaserbasi pruritus dapat
dipicu oleh adanya panas dari eksternal, keringat, stres dan kulit kering.
Sementara mandi dengan air hangat atau dingin, suhu yang dingin dan aktivitas
dapat mengurangi pruritus. Pada kulit dapat terlihat ekskoriasi akibat garukan,
dengan atau tanpa adanya lesi impetigo, prurigo maupun likenifikasi yang
merupakan suatu fenomena sekunder. Agitasi atau depresi dapat ditemukan pada
separuh pasien pruritus uremikum. Durasi, derajat keparahan dan karakteristik
pruritus bervariasi, dapat berubah sepanjang waktu dan berbeda-beda pada tiap
pasien. Pruritus biasanya lebih berat dirasakan pada malam hari sehingga sering
menyebabkan gangguan tidur. Sebagian pasien mengalami pruritus dalam jangka
waktu yang singkat sementara sebagian lainnya merasakannya sepanjang hari dan
sepanjang malam.13,14
Diagnosis pruritus uremikum dapat ditegakkan dari anamnesis adanya
suatu rasa gatal yang terjadi pada individu yang menderita penyakit ginjal kronik,
Universitas Sumatera Utara
11
yang dapat dibantu oleh pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penamaan
pruritus uremikum sering dianggap suatu kesalahan dalam penamaan oleh karena
beberapa alasan berikut:3
1. Pruritus pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir tidak universal
2. Pruritus ini tidak memiliki korelasi dengan tingkat keparahan uremia
3. Bahkan dialisis dengan aliran tinggi tidak meringankan masalah
4. Pruritus tidak didapati pada pasien-pasien gagal ginjal akut
Telah diajukan istilah “pruritus yang terkait uremia”, namun nomenklatur yang
lebih tepat untuk kondisi ini adalah “pruritus yang berkaitan dengan penyakit
ginjal kronik” atau “gatal karena penyakit ginjal kronik”.
Kriteria spesifik yang digunakan untuk mendiagnosis pruritus uremikum
adalah apabila didapatkan salah satu dari gejala-gejala yang berikut ini:26
1. Pruritus timbul segera sebelum dialisis, atau kapan saja, tanpa adanya
bukti penyakit aktif lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya pruritus.
2. Lebih dari atau sama dengan tiga episode gatal selama suatu periode 2
minggu, dengan gejala yang timbul beberapa kali sehari, terjadi paling
tidak beberapa menit, dan mengganggu pasien.
3. Timbulnya suatu keadaan gatal dalam pola yang teratur selama periode 6
bulan, tetapi frekuensinya lebih sedikit daripada yang disebutkan diatas.
2.1.5 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membantu mengarahkan
diagnosis pruritus uremikum. Pada pruritus yang generalisata biasanya dibutuhkan
pemeriksaan darah lengkap, profil kimia darah meliputi ureum dan kreatinin serta
Universitas Sumatera Utara
12
pemeriksaan urin lengkap. Pemeriksaan elemen-elemen darah lain yang terkait
juga dapat dilakukan, seperti kalsium, fosfor, magnesium, aluminium, fosfatase
alkali dan hormon paratiroid.6,13-15
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk pruritus uremikum meliputi penatalaksanaan
nonfarmakologis, farmakologis dan dengan mengatasi penyakit yang
mendasarinya. Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi pengobatan secara
fisik, seperti fototerapi, akupunktur dan sauna, sampai dengan tindakan
paratiroidektomi. Penatalaksanaan farmakologis meliputi penatalaksanaan topikal
dan sistemik. Pada penatalaksanaan topikal dapat diberikan emolien, kapsaisin
dan steroid topikal. Pada penatalaksanaan sistemik dapat diberikan diet rendah
protein, minyak primrose, lidokain dan metiksilin, antagonis opioid, charcoal
aktif, kolestiramin, antagonis serotonin, talidomid, nicergoline dan nalfurafine.
Pruritus uremikum dapat diatasi dengan penanganan penyakit yang mendasarinya,
yaitu dengan transplantasi ginjal, dialisis yang efisien maupun pemberian
eritropoietin.26,29
2.2 Derajat Keparahan Pruritus
Derajat keparahan pruritus sulit untuk dinilai oleh sebab sifat-sifat
alaminya dan lokalisasinya yang tidak jelas. Secara umum, penilaian pruritus
dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu evaluasi subyektif dari rasa gatal
dan penilaian garukan. Untuk mengevaluasi rasa gatal secara subyektif dapat
dilakukan penilaian sederhana terhadap derajat keparahan rasa gatal [seperti VAS,
Universitas Sumatera Utara
13
numeric rating scale (NRS), verbal rating scale (VRS)], kuesioner gatal yang
menyediakan data kualitas gatal, sistem analisis terkomputerisasi, dan penilaian
ambang persepsi pruritus. Untuk menilai garukan dapat dilakukan dengan bantuan
pengamatan adanya ekskoriasi dan derajat likenifikasi, rekaman video inframerah,
limb meter (monitor aktivitas pergelangan tangan, sensor tekanan), transduser
vibrasi kuku jari-jari tangan (sensor piezo film, pruritometer) dan sistem evaluasi
akustik dari garukan. Selain itu, untuk menganalisis aktivitas otak selama episode
gatal, telah dilakukan teknik-teknik pencitraan fungsional (functional magnetic
resonance, positron emission tomography).30
Untuk menilai pruritus direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi
paling sedikit dua metode penilaian rasa gatal yang independen. Namun,
rekomendasi ini dapat terlalu menghabiskan waktu pada pengunaan klinis sehari-
hari, oleh karena itu untuk penilaian intensitas gatal tersebut dibutuhkan suatu
metode yang sederhana dan dapat dipercaya.30,31
2.2.1 Visual analogue scale (VAS)
VAS merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan untk
penilaian pruritus karena dapat memberikan estimasi rasa gatal yang mudah dan
cepat.29
VAS dinilai dengan meminta pasien menandai skala 1-10 pada kertas baik
horizontal maupun vertikal, untuk menunjukkan derajat keparahan pruritus yang
dirasakan pasien.14,17,24,30
Namun VAS memiliki keterbatasan pada pasien-pasien
yang berusia tua. Pada usia ini pasien dapat memiliki penurunan kognitif,
sehingga sulit untuk mengerti skala yang dimaksud atau membutuhkan waktu
Universitas Sumatera Utara
14
untuk mengubah suatu hasil grafik menjadi metrik, maupun dalam hal motorik,
sehingga sulit untuk menandai garis dengan pena.30
2.2.2 Penilaian pruritus modifikasi Duo dan Mettang
Derajat keparahan pruritus dapat dinilai dengan suatu metode yang
didasarkan pada metode yang diusulkan oleh Duo (1987) dan dimodifikasi oleh
Mettang et al. Skor dinilai oleh peneliti yang sama terhadap semua pasien. Metode
ini didasarkan pada kriteria yang mencakup scratching, keparahan, frekuensi dan
distribusi pruritus, dan gangguan tidur yang berkaitan dengan pruritus, yaitu
sebagai berikut:7,32
1. Scratching: Pruritus yang dilaporkan dengan periode waktu: pagi, sore,
dan malam, dan masing-masing memiliki 1 skor.
2. Keparahan:
1 skor : sensasi gatal ringan tanpa perlu menggaruk
2 skor : beberapa kali menggaruk
3 skor : sering menggaruk
4 skor : menggaruk tanpa ada rasa berkurang
5 skor : pruritus yang dirasakan terus menerus.
3. Distribusi: Setiap lokasi misalnya lengan, tungkai bawah, dan batang
tubuh mendapatkan masing-masing 1 skor, dengan skor maksimal adalah
5, untuk pruritus generalisata.
4. Frekuensi: Yang dinilai adalah jumlah episode pruritus dan durasinya.
Setiap dua episode singkat (< 10 menit) atau satu episode panjang (> 10)
Universitas Sumatera Utara
15
mendapatkan 1 skor. Skor maksimal adalah 5, yaitu dengan > 10 episode
singkat atau > 5 episode panjang.
5. Gangguan tidur: Keadaan yang dinilai adalah jumlah jam tidur dan
frekuensi gangguan tidur oleh karena rasa gatal. Skor 0 jika memiliki > 7
jam tidur pada malam hari dan skor 10 jika tidak dapat tidur sama sekali.
Gangguan tidur juga dinilai dari jumlah berapa kali pasien terbangun pada
malam hari oleh karena rasa gatal.
1 skor : untuk 1 kali terbangun
2 skor : untuk 2 kali terbangun
3 skor : untuk 3 kali terbangun
4 skor : untuk 4 kali terbangun
5 skor : untuk > 5 kali terbangun.
Untuk keparahan, distribusi dan frekuensi, penilaian skor dilakukan pagi dan
siang. Sehingga skor paling tinggi selama 24 jam adalah 48.7,32
Pada penelitian
yang menggunakan penilaian derajat pruritus, evaluasi dalam 4 minggu terakhir
pernah dilakukan untuk menentukan skor pruritus.11,18
Skor pruritus dibagi menjadi skor 0 untuk yang tidak pruritus, dan pada
subyek yang pruritus derajat keparahannya dapat dibagi gradasinya menjadi 1-16
untuk pruritus ringan, 17-32 pruritus sedang dan 33-48 pruritus berat.7 Pada
penelitian DOPPS I 45% pasien dilaporkan mengalami pruritus sedang ke berat
dan dan DOPPS II melaporkan 42% pasien yang mengalami pruritus sedang ke
berat.17
Mirnezami et al melaporkan bahwa didapatkan 55,6% mengalami pruritus
ringan, 33,3% pruritus sedang dan 11,1% pruritus berat dari 100 pasien yang
diteliti.7
Universitas Sumatera Utara
16
2.3 Penyakit Ginjal Kronik
2.3.1 Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu spektrum dari berbagai proses
patofisiologis yang berkaitan dengan fungsi ginjal yang abnormal, dan suatu
penurunan yang progresif dari laju filtrasi glomerulus (LFG).1 Penyakit ginjal
stadium akhir didefinisikan sebagai “gangguan ginjal yang membutuhkan dialisis
atau transplantasi ginjal untuk dapat bertahan hidup”.2 Istilah penyakit ginjal
stadium akhir menunjukkan suatu stadium dari penyakit ginjal kronik dimana
terjadi akumulasi toksin-toksin, cairan dan elektrolit yang secara normal
diekskresikan oleh ginjal yang menyebabkan terjadinya sindrom uremikum.
Sindrom ini dapat menyebabkan kematian jika toksin-toksin tersebut tidak
dikeluarkan dengan terapi penggantian ginjal, dengan menggunakan dialisis atau
transplantasi ginjal. Penyakit ginjal stadium akhir adalah istilah untuk penyakit
ginjal kronik stadium 5.1
Faktor-faktor risiko terjadinya PGK mencakup hipertensi, diabetes
melitus, penyakit autoimun, usia yang lebih tua, keturunan Afrika, riwayat
keluarga menderita penyakit ginjal, episode gagal ginjal akut sebelumnya, dan
keadaan proteinuria, sedimen urin yang tidak normal atau abnormalitas traktus
urinarius. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
meningkatkan risiko penyakit ginjal kronik tersebut, bahkan pada individu yang
memiliki LFG normal.1
Universitas Sumatera Utara
17
2.3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat pada tahun 1995-1999 diperkirakan terdapat 100 kasus
per 1 juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia, yang memiliki populasi sekitar 18 juta penduduk, diperkirakan terdapat
1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya, sedangkan di negara-negara
berkembang lainnya insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per 1 juta
penduduk per tahun.4 Prevalensi penyakit ginjal stadium akhir di Amerika Serikat
pada tahun 2003 adalah lebih dari 320.000 pasien dan prevalensi ini pada saat itu
diperkirakan akan meningkat menjadi 650.000 pada tahun 2010 dan menjadi 2
juta pada tahun 2030.3
Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia adalah sekitar 12,5%, seperti
yang dilaporkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009.5
Data
yang didapatkan di Kota Medan adalah berdasarkan penelitian pada tahun 2010
didapatkan 265 orang penderita PGK di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.
Pirngadi Medan dan penelitian pada tahun 2011 terdapat 633 orang penderita PGK
di RSUP Haji Adam Malik Medan.33,34
2.3.3 Etiologi dan patogenesis
Pada tahun 1995-1999, dilaporkan bahwa etiologi PGK di Amerika Serikat
berturut-turut dimulai dari persentase yang paling banyak adalah diabetes melitus,
hipertensi, glomerulonefritis, penyakit sistemik lain seperti lupus dan vaskulitis,
neoplasma dan penyakit lainnya. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2000, urutan
penyebab PGK pada pasien yang menjalani hemodialisis antara lain adalah
Universitas Sumatera Utara
18
glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi dan sebab-
sebab lain.4
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua
rangkaian mekanisme kerusakan, yaitu: (1) mekanisme awal yang spesifik
terhadap etiologi yang mendasarinya (misalnya kompleks imun dan mediator-
mediator inflamasi dalam jenis tertentu dari glomerulonefritis, atau pajanan toksin
pada penyakit-penyakit tertentu dari tubulus renal dan interstisium); dan (2) suatu
rangkaian dari mekanisme progresif, yang melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi
dari nefron-nefron yang tersisa, yang merupakan konsekuensi umum dari etiologi
yang mendasarinya tersebut.1
Pada awal terjadinya PGK, pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini merupakan
upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang
kemudian diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian selanjutnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Akhirnya, proses ini akan
diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi. Peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh berbagai growth factor. Keadaan albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia juga dianggap berperan terhadap
Universitas Sumatera Utara
19
progresifitas PGK. Terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstisial berbeda-beda pada tiap individu.1,4
Pada PGK stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, walaupun
LFG masih normal atau malah meningkat. Selanjutnya terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan urea dan kreatinin serum.
Sampai LFG 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik). Sampai
LFG 30% mulai terjadi keluhan misalnya seperti nokturia dan badan lemah.
Sampai LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme kalsium
dan fosfor, mual dan muntah. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi komplikasi
yang lebih serius dan memerlukan terapi penggantian ginjal antara lain dialisis
atau transplantasi, yaitu pada gagal ginjal.4
2.3.4 Pendekatan diagnostik
Beberapa gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik adalah: (a) sesuai
dengan penyakit yang mendasari, (b) sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma, (c) gejala
komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).4
Kriteria PGK meliputi: (1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural dan fungsional, dengan atau tanpa
penurunan LFG dengan manifestasi kelainan patologis dan terdapat tanda
kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
Universitas Sumatera Utara
20
dalam tes pencitraan (imaging tests) dan (2) LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.4
Ada 5 klasifikasi PGK berdasarkan stadium penyakitnya yang dinilai dari
laju filtrasi glomerulus, yaitu LFG normal atau meningkat, penurunan LFG
ringan, sedang, berat sampai dengan gagal ginjal.1,4
Gambaran laboratorium PGK
meliputi: (a) sesuai penyakit yang mendasarinya, (b) penurunan fungsi ginjal
berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG, (c)
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia dan asidosis metabolik, dan (d) kelainan urinalisis
meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast dan isostenuria. Pemeriksaan
radiologi dan histopatologi juga membantu untuk mengetahui kerusakan ginjal
yang terjadi, mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi
hasil terapi yang diberikan.4
2.3.5 Penatalaksanaan
Berbagai penatalaksanaan PGK telah dikemukakan, diantaranya adalah
terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap
kondisi komorbid, memperlambat pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskuler, pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
gagal ginjal kronik, apabila tidak dilakukan terapi penggantian ginjal, dapat terjadi
kematian akibat kelainan metabolik dengan cepat.35
Terapi pengganti ginjal ini
dilakukan pada pasien yang memiliki LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.1
Universitas Sumatera Utara
21
2.4 Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu sistem penggantian ginjal modern yang
menggunakan mesin dialisis melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan
air dan zat terlarut yang tidak diinginkan maupun toksin-toksin, yang dilakukan
pada pasien-pasien gagal ginjal kronik.35,36
Difusi zat-zat terlarut melewati membran semipermeabel merupakan
prinsip hemodialisis. Produk-produk sisa metabolisme berpindah sesuai dengan
gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dialisat. Laju transportasi difus meningkat
sebagai respons terhadap berbagai faktor, termasuk besarnya gradien konsentrasi,
daerah permukaan membran dan koefisien transfer massa dari membran tersebut.
Modalitas hemodialisis ini dilakukan kira-kira selama 3-4 jam dengan sesi dialisis
intermiten.1
Darah dan cairan dialisat dipompa dengan arah gerakan yang berlawanan
melewati sisi-sisi membran semipermeabel. Membran terdapat di dalam wadah
sebagai lembaran yang memiliki lubang ditengahnya. Jumlah cairan yang
dikeluarkan melalui ultrafiltrasi dikontrol dengan mengubah tekanan hidrostatik
darah dibandingkan dengan cairan dialisat. Cairan dialisat terbuat dari konstituen
esensial plasma yaitu natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa,
dan suatu bufer seperti bikarbonat, asetat, atau laktat. Pada kedua sisi membran
dicapai kesetimbangan antara darah dan dialisat, sehingga komposisi plasma dapat
dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium dalam dialisat
biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan
kalium keluar dari darah. Dalam sirkuit dialisis ini, untuk mencegah
penggumpalan darah digunakan heparin.35
Universitas Sumatera Utara
22
Semakin besar molekul, semakin lambat laju perpindahannya melewati
membran, sesuai dengan asas difusi. Molekul kecil seperti ureum (60 Da), dapat
melalui klirens substansial, sementara molekul yang lebih besar, seperti kreatinin
(113 Da), lebih sedikit yang dibersihkan secara efisien. Perpindahan produk-
produk sisa dari sirkulasi ke dialisat juga dapat terjadi sebagai hasil dari
ultrafiltrasi. Proses pembersihan konvektif terjadi oleh sebab tarikan dari pelarut,
dengan zat-zat terlarut ikut terbuang bersama dengan air melewati membran
dialisis semipermeabel tersebut.1
2.5 Beberapa Faktor Metabolik yang Berkaitan dengan Pruritus Uremikum
Gangguan mineral dan tulang pada PGK ialah suatu sindrom klinik yang
terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada PGK.
Salah satu kelainan yang ditemukan pada sindrom ini adalah kelainan
laboratorium akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat atau hormon
paratiroid.5
Faktor-faktor metabolik telah terlibat dalam patogenesis gatal, seperti,
hiperkalsemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme sekunder, dan
hipermagnesemia.10
Namun demikian, secara klinis, belum jelas didapatkan
adanya kaitan antara perubahan metabolik yang dapat dideteksi dengan persentase
kejadian pruritus yang tinggi.15
2.5.1. Kadar kalsium serum
Kalsium berperan penting dalam fungsi dan pensinyalan sel normal,
pengaturan proses-proses fisiologis yang berbeda, kontraktilitas jantung, sekresi
Universitas Sumatera Utara
23
hormon dan koagulasi darah. Oleh karena itu konsentrasi kalsium ekstrasel harus
dipertahankan dalam rentang yang sempit namun stabil melalui suatu rangkaian
mekanisme umpan balik yang melibatkan hormon paratiroid dan metabolit
vitamin D aktif. Mekanisme ini diatur oleh adanya sinyal-sinyal yang terintegrasi
antara kelenjar paratiroid, ginjal, usus dan tulang.1
Kalsium merupakan salah satu dari target biokimia yang telah ditetapkan
dalam pemeriksaan laboratorium pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis.
Jika target tersebut tercapai, penyakit ginjal terkait tulang oleh karena kadar
kalsium yang abnormal semakin kecil kemungkinannya untuk berkembang.36
Kalsium berada di dalam plasma dalam beberapa bentuk yaitu bentuk
bebas/terionisasi, terikat pada protein dan bentuk kompleks.37
Kalsium yang
terionisasi merupakan 48% dari seluruh kalsium total, yang terikat pada protein
40% dan yang berbentuk kompleks yang terikat dengan anion lain seperti fosfat,
sitrat dan bikarbonat sebanyak 12%. Dalam praktek di klinik yang dipakai adalah
kalsium total yaitu jumlah dari ketiga bentuk tersebut.5
Dalam keadaan kadar albumin plasma abnormal, kalsium (Ca) total tidak
merefleksikan kadar yang sebenarnya, oleh karena itu dilakukan “koreksi”
terhadap hasil pengukuran. Hasil yang didapat disebut kalsium koreksi (corrected
Ca). Rumus koreksi adalah sebagai berikut: Ca koreksi = [(4-albumin)x0,8] + Ca
total. Kadar kalsium darah normal atau normokalsemia adalah 8,4-9,5 mg/dl.
Hipokalsemia adalah kadar kalsium total darah < 8 mg/dl. Hiperkalsemia adalah
kadar kalsium total darah > 10 mg/dl.5
Keadaan hiperkasemia dapat terjadi oleh karena gangguan pada
mekanisme umpan balik yang normal yang meregulasi kalsium serum, seperti
Universitas Sumatera Utara
24
produksi hormon paratiroid yang berlebihan, adanya keganasan, produksi
1,25(OH)2D yang berlebihan, peningkatan resorpsi tulang primer, peningkatan
asupan kalsium yang berlebihan dan penyebab-penyebab lainnya. Produksi
hormon paratiroid yang berlebihan dapat disebabkan adanya adenoma atau
hiperplasia, stimulasi jangka panjang sekresi hormon paratiroid pada insufisiensi
renal, sekresi hormon paratiroid ektopik, mutasi calcium sensor receptor (CaSR)
atau perubahan fungsi CaSR.1
Dengan memburuknya fungsi ginjal, terjadi gangguan homeostasis mineral
yang progresif, yang terlihat dari abnormalitas kadar kalsium dan perubahan
hormon paratiroid. Gangguan mineral dan tulang ditemukan pada sebagian besar
pasien PGK stadium 3-5 dan secara universal dialami pasien PGK stadium 5 yang
menjalani dialisis.5 Pada pasien-pasien hemodialisis terjadi penurunan
kemampuan mengeliminasi dan mereabsorpsi kalsium dan penurunan aktivasi
vitamin D3 dalam ginjal. Kadar kalsium darah pada pasien-pasien ini dipengaruhi
kuat oleh perubahan keseimbangan kalsium yang disebabkan oleh
hiperparatiroidisme sekunder.19
Peningkatan kadar kalsium serum pada pasien hemodialisis berkaitan
dengan pruritus dalam beberapa penelitian, walaupun dalam penelitian-penelitian
lainnya dikatakan tidak ditemukan hubungan.10,11,16,38
Mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap induksi gatal masih tetap belum diketahui, namun
ada yang menghubungkannya dengan adanya suatu deposit kalsium pada kulit,
dan telah dilaporkan bahwa gradien kalsium yang tinggi pada epidermis dapat
mengganggu barier permeabilitas.16,19
Kalsium dapat berperan langsung dalam
menyebabkan rasa gatal dengan menginduksi terjadinya degranulasi sel mast.39
Universitas Sumatera Utara
25
Obat-obat antihistamin atau anti alergi disebutkan memiliki mekanisme
menghambat influks ion kalsium ke sel mast yang dapat menghambat degradasi
sel mast.19
Selain itu Menon menyebutkan bahwa pada kulit yang normal konsentrasi
ion kalsium semakin tinggi ke arah lapisan terluar epidermis, namun pada pasien-
pasien pruritus ion kalsium didapatkan lebih tinggi pada lapisan yang lebih dalam.
Hal ini mengindikasikan terjadinya gangguan dari gradien kalsium, yang
disebabkan oleh gangguan fungsi barier permeabilitas pada stratum korneum.40
Tidak diketahui dengan jelas apakah ion-ion kalsium yang meningkat pada lapisan
yang lebih dalam dari epidermis ini adalah penyebab pruritus uremikum atau
hanya fenomena terkait saja.19
Pada penelitian pada hewan, Elias melaporkan
bahwa hewan rodent yang memiliki gangguan perkembangan barier memiliki
peningkatan ion-ion kalsium pada cairan ekstrasel di sekitar reseptor ujung saraf
sensoris di dalam lapisan spinosum, membran basal dan dermis.41
Ion-ion kalsium
yang terdapat pada cairan ekstrasel telah terbukti mempengaruhi saraf sensoris.
Batas ambang dari pruritus dapat diturunkan oleh karena perubahan aktivitas
rangsangan dari serat-serat saraf C yang tidak bermielin.19
Bibb dan Cochrane
menyebutkan bahwa jika konsentrasi ion kalsium pada cairan ekstrasel tinggi
maka sel mast, makrofag, limfosit dan keratinosit dapat mensekresikan sitokin-
sitokin, diantaranya adalah interleukin-2, dan beberapa protease seperti histamin,
tryptase dan chymase. Oleh karena itu disebutkan bahwa ion kalsium yang tinggi
dapat menstimulasi produksi sitokin-sitokin yang menginduksi pelepasan
substansi-substansi pruritogenik pada perkembangan pruritus uremikum,
walaupun tidak secara langsung.19,20
Universitas Sumatera Utara
26
2.5.2. Kadar fosfor serum
Fosfor (P) adalah elemen penting bagi pembentukan adenosine
triphosphate (ATP) dan sintesis membran fosfolipid dan tulang. Sumber dari
fosfat anorganik pada sel terutama berasal dari fosfat ekstrasel, oleh sebab itu
regulasi fosfat serum sangat penting untuk fungsi sel dan struktur membran.37
Tubuh menyimpan fosfor dalam rentang 700 sampai 1000 g dan terutama
berpasangan dengan oksigen sebagai suatu anion fosfat. Kira-kira 85% fosfat
adalah komponen anorganik dari kristal hidroksiapatit yang terkandung dalam
reservoar fosfat dalam tulang dan gigi. Empat belas persen fosfat adalah suatu
anion intrasel organik yang penting untuk metabolisme energi aerobik dan
anaerobik dalam sel darah merah. Dalam membran sel, fosfat merupakan struktur
sebagai suatu fosfolipid dan merupakan konstituen utama dari deoxyribonucleic
acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) dan makromolekul fosfoprotein. Selain
itu fosfat penting untuk metabolisme karbohidrat, lipid dan protein, serta
berfungsi sebagai suatu kofaktor dalam berbagai sistem enzim dan sebagai suatu
komponen integral dalam serum atau metabolisme asam basa intrasel. Terakhir,
sebagai adenosin difosfat, menghasilkan energi yang penting untuk semua
aktivitas metabolik. Fosfor anorganik yang sisa sebanyak 1% ditemukan dalam
kompartemen ekstrasel, yang dapat diukur dalam serum.42
Kadar fosfat normal dalam darah atau normofosfatemia adalah 2,5-4,5
mg/dl. Hiperfosfatemia ialah kadar fosfat darah >4,6 mg/dl. Pada pasien
hemodialisis, kadar fosfat darah hendaknya dipertahankan antara 3,5-5,5 mg/dl.
Pasien hemodialisis dengan kadar fosfat >6,5 mg/dl dilaporkan 27% mengalami
peningkatan risiko mortalitas daripada 2,4-6,5 mg/dl.5
Universitas Sumatera Utara
27
Metabolisme fosfat diatur oleh pengangkut fosfat yang berpasangan
dengan natrium yang terletak di nefron, tulang dan usus untuk mempertahankan
homeostasis. Ekskresi fosfat melalui ginjal secara kasar serupa dengan absorpsi di
saluran gastrointestinal. Fosfat terutama diabsorbsi melalui transport aktif pada
tubulus proksimal. Mekanisme tambahan juga membantu homeostasis fosfor,
dimana adanya parathyroid hormone (PTH) dapat menghambat reabsorpsi fosfat.1
Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam mempertahankan
homeostasis fosfat, dan progresifitas penyakit ginjal kronik dapat berakibat pada
retensi fosfat, meskipun terdapat respons adaptasi untuk mengkompensasi
rendahnya LFG terhadap keseimbangan fosfat. Hiperfosfatemia dapat
meningkatkan mortalitas pada pasien hemodialisis dan pasien penyakit ginjal
kronik yang tidak menjalani hemodialisis. Hiperfosfatemia menyebabkan
hipokalsemia, penurunan kadar kalsitriol, hiperparatiroidisme sekunder,
kalsifikasi ekstraosseus, kalsifikasi jaringan lunak, gangguan hemodinamik,
kalsifikasi vaskuler dan koroner, kalsifikasi miokard dan katup jantung.43
Penyakit ginjal kronik sering disertai beberapa gangguan diantaranya
adalah pada metabolisme fosfat yang dapat berperan penting dalam patofisiologi
pruritus.18
Hubungan yang signifikan antara kadar fosfat serum dengan pruritus
uremikum telah dilaporkan pada pasien-pasien hemodialisis, namun mekanisme
patofisiologinya belum jelas. Beberapa penelitian, termasuk DOPPS,
menyebutkan bahwa pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik, didapatkan kadar
kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, yang selanjutnya akan menyebabkan
peningkatan kadar kalsium dan fosfor di kulit. Ion-ion divalen ini akan
menyebabkan mikropresipitasi pada kulit dan menyebabkan gatal.13,17,42
Universitas Sumatera Utara
28
2.5.3. Produk kalsium fosfor
Produk kalsium fosfor adalah hasil perkalian antara kadar fosfor darah
(mg/dl) dan kadar kalsium total darah (mg/dl). Nilai produk kalsium fosfat ini
harus dipertahankan < 55 mg2/dl
2.5 Gangguan mineral dan tulang pada penyakit
ginjal kronik dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium, diantaranya
adalah kalsium, fosfor, produk kalsium x fosfor (Ca x P), hormon paratiroid dan
fosfatase alkali. Walaupun hormon paratiroid sendiri tidak bersifat pruritogenik
ketika diinjeksikan ke kulit, namun hormon paratiroid sendiri diperkirakan
menyebabkan sel mast melepaskan histamin dan juga menyebabkan
mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium pada kulit. Peningkatan produk
kalsium fosfor berhubungan erat dengan pruritus, diperkirakan oleh karena
hormon paratiroid merangsang peningkatan kalsium dalam serum sehingga juga
dapat menyebabkan mikropresipitasi kalsium pada kulit.13,44
2.6 Hubungan antara Kalsium, Fosfor dan Produk Kalsium Fosfor Serum
dengan Skor Pruritus
Beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya hubungan
kalsium, fosfat dan produk kalsium fosfat memberikan hasil yang berbeda-beda.
Duque et al melaporkan adanya korelasi hanya antara kalsium dengan pruritus
uremikum.16
Welter et al melaporkan kadar kalsium yang tinggi ditunjukkan oleh
55% pasien dan 47% diantaranya mengalami pruritus. Enam puluh persen pasien
memiliki kadar fosfor yang tinggi dan 43% diantaranya mengalami pruritus. Rasio
Ca/P adalah normal pada semua pasien.38
Mirnezami et al melaporkan adanya
hubungan langsung antara kadar fosfat dengan pruritus uremikum.7 Narita et al
Universitas Sumatera Utara
29
melaporkan bahwa hiperkalsemia dan hiperfosfatemia diidentifikasi sebagai
faktor-faktor risiko independen untuk perkembangan pruritus uremikum yang
lebih berat.10
Resic et al melaporkan korelasi yang signifikan dari produk kalsium
fosfat pada pasien-pasien pruritus dan tanpa pruritus dan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada kadar kalsium dan fosfor serum.2
Afsar et al. menemukan
korelasi yang signifikan antara pruritus uremikum dengan PTH dan produk
kalsium fosfat.45
Pisoni et al melaporkan bahwa pasien-pasien memiliki pruritus
sedang hingga berat yang secara signifikan lebih tinggi jika mereka memiliki
kadar kalsium serum atau fosfor serum yang lebih tinggi. Konsentrasi produk
kalsium fosfor juga ditemukan berkaitan dengan pasien-pasien yang memiliki
gejala gatal yang sedang sampai ekstrim, khususnya pasien-pasien dengan produk
kalsium fosfor > 80 mg2/dl
2.18
Gatmiri et al melaporkan derajat keparahan pruritus
lebih tinggi didapatkan pada pasien-pasien dengan kadar fosfor serum yang lebih
tinggi.17
Kadar hormon paratiroid meningkat yang dapat menyebabkan proliferasi
sel mast pada kulit yang menyebabkan pelepasan histamin dimana histamin itu
sendiri menyebabkan pruritus.14
Hampir 40 tahun yang lalu, telah dilaporkan
peranan yang menonjol dari hiperparatiroidisme sekunder dan ketidakseimbangan
dari metabolisme kalsium dan fosfat dalam patogenesis pruritus uremikum.
Terdapat laporan-laporan yang masih diperdebatkan mengenai adanya korelasi
antara pruritus dengan peningkatan hormon paratiroid intak. Pada studi DOPPS
dengan sampel yang luas, hubungan independen yang kuat didapatkan antara
serum kalsium yang lebih tinggi (>10.2 mg/dl), serum fosfor yang lebih tinggi
(>5.5 mg/dl), dan produk kalsium dan fosfor serum yang lebih tinggi (>80
Universitas Sumatera Utara
30
mg2/dl
2) dengan pruritus uremikum.
18 Penelitian oleh WikstrÖm di Swedia
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kalsium serum yang lebih tinggi
(>10,2 mg/dl), fosfor serum yang lebih tinggi (> 5,5 mg/dl) dan kadar produk
kalsium fosfor yang lebih tinggi (>70 mg2/dl
2) dengan pruritus uremikum.
Mekanisme hubungan yang pasti antara kalsium serum dan fosfor serum dengan
pruritus uremikum masih belum dapat dimengerti.11
Universitas Sumatera Utara
31
2.7 Kerangka Teori
Fosfor
Kalsium
Xerosis
Substansi pruritogenik:
vitamin A, histamin, ion-
ion divalen (kalsium,
fosfor,magnesium)
Etiologi
neuro-
patik
Ketidak-
seimbangan
peptida
opioid
Keadaan
pro
inflamasi
Sel mast,
Makrofag,
Limfosit,
Keratinosit
Mikropre-
sipitasi
pada kulit
Sitokin-sitokin:
IL-2, Protease
Perubahan
aktivitas
serat
saraf C
Penyebab
psikogenik
Penyebab
neuropatik
Penyebab
sistemik
Penyebab sistemik lain:
- Kolestasis
- Limfoma Hodgkin
- Polisitemia Vera
- Infeksi HIV
- Hipertiroidisme
Penyakit
Ginjal
Kronik
Penyebab
dermatologis
Penyebab non
dermatologis
Pruritus
uremikum
Gambar 2.1 Kerangka teori
Pruritus
lainnya
Penatalaksanaan:
- Berbagai terapi
sesuai kondisi
- Hemodialisis
- Transplantasi
ginjal
Universitas Sumatera Utara
32
2.7 Kerangka Konsep
Dari landasan teori yang telah diuraikan dapat disusun kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka konsep
2.8 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara kadar kalsium serum dengan skor pruritus
pada pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP
Haji Adam Malik Medan.
2. Terdapat hubungan antara kadar fosfor serum dengan skor pruritus pada
pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Haji
Adam Malik Medan.
3. Terdapat hubungan antara produk kalsium fosfor serum dengan skor
pruritus pada pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis
RSUP Haji Adam Malik Medan.
Skor Pruritus
(Pruritus uremikum)
- Kalsium serum
- Fosfor serum
- Produk kalsium fosfor
serum
Universitas Sumatera Utara