repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · bab i pendahuluan a....
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, jika diamati bersama, kejahatan mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangan globalisasi, dimana kejahatan yang terjadi pada
masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan yang terjadi pada masyarakat
industri. Bahkan jika dipandang dari sudut pelakunya semula pelaku yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana hanyalah orang perorangan atau
individu, tetapi kini juga korporasi atau badan hukum atau disebut juga rechts
person, karena ternyata badan hukum atau korporasi juga dapat melakukan
kejahatan yang dapat dipidana.
Dampak dari globalisasi salah satunya adalah kemajuan di bidang
ekonomi. Kemajuan di bidang ekonomi seperti meningkatnya arus informasi,
uang dan perusahaan multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus
modal dan penanaman modal dan penanaman modal dari luar negeri disatu sisi
membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun disisi lain juga membawa
dampak negatif yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi-
korporasi yang di dalam menjalankan usahanya secara sadar atau tidak sadar telah
melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, disebabkan
Universitas Sumatera Utara
11
banyaknya penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan masyarakat
dalam berbagai bentuk yang berskala luas.1
Sehubungan dengan kejahatan korporasi Soedjono Dirdjosisworo,
sebagaimana yang dikutip oleh Muladi, menyatakan bahwa :
2
Kejahatan-kejahatan korporasi yang menonjol dewasa ini adalah price
fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan
iklan), kejahatan di bidang perbankan: cyber crime, money laundering, illegal
logging, dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime).
kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.
3
1 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Medan: PT Softmedia), 2010, hlm. 1
2 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, (Bandung: Kencana, 2012), hlm. 3
3Ibid., hlm. 5
Salah satu
bentuk kejahatan korporasi yang menjadi perhatian karena perkembangan yang
terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup
(environmental crime). Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dapat
menimbulkan dampak serta korban yang besar dan kompleks yang tidak hanya
menguras sumber daya alam, sumber daya manusia, modal sosial, bahkan modal
kelembagaan yang berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, pada tahun 1984, telah terjadi suatu bencana kimia akibat
kebocoran gas pada pabrik milik Unicorn Carbide India Limited, di Bhopal India.
Kejadian tersebut sebagai akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan
penghematan biaya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dan efeknya akan
dirasakan hingga dua puluh tahun kedepan.
Kasus the Benguet Minning Company di Filipina dimana untuk mencari
emas, Benguet Minning telah membuat lubang yang dalam di bukit-bukit,
mengikis habis pepohonan dan tanah permukaan, dan membuang banyak sekali
bongkahan-bongkahan batu ke dalam sungai-sungai setempat. Dengan
terkurasnya sumber daya tanah dan air, maka orang Igorot yang merupakan
penduduk asli kawasan tersebut merasakan kesulitan dalam menanam padi dan
pisang disana dan harus pergi ke bukit yang satu lagi.4
Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur yang diindikasi sebagai
kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak memenuhi standarisasi (human error)
yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Peristiwa Lumpur Lapindo Brantas
mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan segala harta bendanya
karena terendam lumpur, belum lagi industri-industri yang berada disekitar
semburan lumpur yang mengakibatkan tidak bisa melakukan produksi dan ribuan
orang kehilangan pekerjaannya.
Di Indonesia kasus serupa
terjadi di Teluk Buyat yang dilakukan oleh Newmont.
5
4Ibid., hlm. 9 5 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit,. hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
13
Kejahatan-kejahatan yang dilakukan korporasi tersebut tentu saja tidak
dapat dibiarkan begitu saja, sebab akibat yang ditimbulkannya sangat serius dan
kompleks. Dampak kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di bidang
lingkungan hidup adalah sistemik, dapat merusak satu kesatuan masyarakat
bahkan bisa merusak satu generasi mengingat pentingnya untuk menjaga
keberlangsungan lingkungan. Penting untuk diingat bahwa sebagai manusia,
hidup di dunia juga harus memikirkan penerus kelak, oleh karenanya adalah
kewajiban untuk memelihara lingkungan agar tidak rusak. Apalagi di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28 H menyatakan
bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang. Sehingga
perlu pengaturan hukum yang tegas dari pemerintah untuk dapat menjatuhkan
hukuman pidana bagi korporasi yang melakukan kejahatan agar terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam
sila kelima dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru
dan tercantum dalam beberapa peraturan perUndang-undangan dan penegakan
hukumnya juga sangat lambat. Di Indonesia dalam perUndang-undangannya baru
muncul dan dikenal badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana
pada tahun 1951, yaitu dalam Undang-undang Penimbunan Barang-barang dan
mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Ekonomi.6
Akan tetapi secara umum, sebagaimana yang tercantum dalam KUHP
(Pasal 59 KUHP), subjek tindak pidana korporasi belum dikenal, dan yang diakui
sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah “orang”. Pasal 59 KUHP
berbunyi:
Selain itu juga terdapat dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga
terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Undang-undang lainnya.
7
Dengan demikian dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak
pidana, menimbulkan permasalahan baru dalam Hukum Pidana di Indonesia,
khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi yaitu apakah
unsur kesalahan tetap dapat diterapkan seperti halnya kepada subjek manusia.
Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dalam Hukum
Pidana, yaitu:
“Dalam hal menetukan hukuman karena pelanggaran terhadap
pengurus, anggota salah satu pengurusatau komisaris, maka hukuman tidak
dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu terjadi
diluar tanggungannya”.
8
1. Sifat melawan hukum (unrecht);
2. Kesalahan (schuld);
3. Pidana (strafe).
6 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 14 7 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Kedelapan, (Bogor: Politea, 1985), hlm. 77 8 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 70
Universitas Sumatera Utara
15
Sehingga secara dogmatis dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Pidana unsur
kesalahan harus ada sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana si pelaku tindak
pidana.
Terdapat doktrin yang mewarnai Wet Boek van Straftrecht (W.v.S)
Belanda 1889 yakni asas “universalitas delinquere nonpotest” atau “societas
delinquere nonpotest” yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan
tindak pidana. Namun seiring perkembangan zaman, doktrin badan-badan hukum
tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan sehubungan
dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap) karena
peran korporasi dalam kehidupan ekonomi dirasa penting.9 Maka hal ini
menimbulkan permasalahan dalam Hukum Pidana yaitu apakah badan hukum
dapat mempunyai kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan. Sebab
bagaimanapun juga Indonesia masih menganut asas “geen straf zonder schuld”
atau tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:10
9Ibid., hlm. 17 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)
“Tidak
seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya”.
Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya dalam praktik tidaklah mudah untuk menentukan ada
atau tidaknya kesalahan pada korporasi karena korporasi sebagai subjek Hukum
Pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia
alamiah (naturlijk persoon), oleh karenanya dalam perkembangannya mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi, pertanggungjawaban setiap orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya, ada pandangan baru yang agak berlainan,
bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas
kesalahan tidak perlu dibuktikan.
Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya
doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori
identifikasi (identification theory) atau disebut juga teori atau doktrin ”alter ego”
atau “teori organ”. Perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer)
diidentifikasikan sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Doktrin
pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability). Bertolak dari doktrin
“respondeat superior”. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan
adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh atau karyawan dan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang, yaitu dalam hal
korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban atau kondisi atau situasi
tertentu yang ditentukan Undang-undang. Pelanggaran terhadap kewajiban
korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat
menurut Undang-undang atau strict liability, apalagi kalau korporasi tersebut
Universitas Sumatera Utara
17
menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar
syarat-syarat yang ditentukan dalam izin itu.11
(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
Adapun dalam Hukum Pidana Indonesia sendiri terdapat ide untuk
memasukkan asas strict liability dan asas vicarious liability sebagai pengecualian
terhadap unsur kesalahan terhadap tindak pidana tertentu. Hal ini dapat dilihat
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 38 ayat (1)
dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
(2) Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.
Dengan demikian berarti terdapat keinginan dari pembuat undang-undang
untuk menerapkan asas strict liability dan asas vicarious liability secara umum
dalam hukum pidana Indonesia baik untuk menjatuhkan pidana kepada manusia
maupun korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Terkait korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup tidak
hanya sebatas penempatan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana tetapi perlu
adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus lingkungan hidup diatur dalam
pasal 116 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
11 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, (Medan: PT Softmedia, 2009), hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan pasal 116 ayat (1), yang berbunyi
:12
1. Badan usaha; dan/atau
Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Lebih lanjut dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH mengatur mengenai
pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability dan pertanggungjawaban
yang ketat atau strict liability. Pasal 116 ayat (2) berbunyi:
Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha,
orang yang memberikan perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin, ini
menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup, ada
kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam sektor
usaha dan perbuatan secara konkrit telah dilakukan. Untuk menghindari kesulitan
pembuktian diatas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat
tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran terhadap
kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana strict
liability apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau
12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
Universitas Sumatera Utara
19
korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam
izin.13
B. Perumusan Masalah
Skripsi ini akan membahas dan menganalisa terkait dengan asas strict
liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik
untuk menyusun skripsi yang berjudul “ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS
VICARIOUS LIABILITY TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32
TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP”
Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka terdapat
permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Perumusan
masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana ?
2. Bagaimanakah penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability
terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-
13 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ?
C. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan
skripsi yang berjudul “Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Terhadap
Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiudp”
terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang
tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat
tertanggal 16 Oktober 2013 menyatakan ada satu judul yang memiliki sedikit
kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah “Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Dalam Lingkup Hukum Pidana Indonesia” yang ditulis oleh Ilham P.
Gultom/980200068.
Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
tersebut kemudian menjadi dasar bagi Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H
(ketua Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan penulis,
karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul
diatas.
Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui
media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada
penulis lain yang mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar
Universitas Sumatera Utara
21
sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi
ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum
yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh
karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Mengetahui bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi.
2. Mengertahui penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability
terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Secara Teoritis
1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum
Pidana dan khususnya masalah asas strict liability dan asas vicarious liability
terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana.
2) Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada
pendidikan ilmu hukum mengenai penerapan asas strict liability dan asas
vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
pembuat Undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut
mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi
yang melakukan tindak pidana.
b. Secara Praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
penjelasan bagi Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai
asas pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana khususnya
mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pidana, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana.
Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah lain, yaitu
hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana
dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari
“straf” dan istilah “dihukum” berasal dari “wordt gestraft” merupakan istilah yang
konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah itu dan menggunakan istilah yang
inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam
Universitas Sumatera Utara
23
dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraft”. Menurut Moeljatno,
kalau kata “straf” diartikan sebagai “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya
diartikan sebagai hukuman-hukuman.14
Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak saja hanya sering digunakan
dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,
moral, agama dan sebagainya.
15
Sudarto mengartikan pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Oleh karena itu, pidana merupakan istilah khusus
sehingga perlu adanya pembatasan pengertian dari pidana.
16
Roeslan Saleh memberi pengertian pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik
itu. Dalam kamus Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa punishment
adalah:17
14 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 185 15 Ibid. 16 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 109-110 17 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 186
Any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the low and the judgement and sentence of a court, for some crime on offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law. (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum atau vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian pidana yang telah diuraikan, maka dapat
disimpulkan bahwa pidana memuat unsur-unsur sebagai berikut:18
(1) Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
(2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
(3) Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang
karena telah melanggar hukum;
(4) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.
Istilah tindak pidana diartikan beberapa sarjana sebagai perbuatan pidana
atau peristiwa pidana, istilah-istilah ini digunakan untuk mengartikan strafbaar
feit. Sarjana-sarjana yang mengartikan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana
adalah Simon, seorang guru besar ilmu hukum pidana Universitas Utrecht, serta
van Hamel guru besar ilmu hukum pidana Universitas Kerajaan di Leiden.
Menurut Simons strafbaar feit (terjemahan secara harfiah: peristiwa
pidana) adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan
(schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud
oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan
culpa (alpa atau lalai). Dari rumusan tersebut Simons menyatukan unsur-unsur
perbuatan pidana (meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum) dan
18 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
25
pertanggungjawaban pidana (meliputi kesengajaan, kealpaan, kelalaian dan
kemampuan bertanggung jawab).19
Van Hamel menguraikan strafbaar feit sebagai perbuatan manusia yang
diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, straafwardig (patut atau bernilai
untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten).
Unsur-unsur strafbaar feit menurut van Hamel meliputi:
20
a. Perbuatan: perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas
legalitas);
b. Melawan hukum: bernilai atau patut dipidana sesuai dengan ajaran sifat
melawan hukum materiil yaitu kesengajaan, kelalaian/kealpaan dan
kemampuan bertanggung jawab.
Adapun menurut Moeljatno, istilah peristiwa pidana kurang tepat untuk
digunakan sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya
menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang.
Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang, Hukum Pidana tidak melarang adanya
orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika
matinya orang disebabkan oleh sakit, karena binatang, tertimpa pohon, maka
peristiwa itu tidak peting sama sekali bagi Hukum Pidana. Baru apabila matinya
19 Zainal Abidin Farid, HukumPidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 224
20 Ibid., hlm. 225
Universitas Sumatera Utara
ada hubungannya dengan kelakuan orang lain disitulah peristiwa itu menjadi
penting bagi hukum pidana.21
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan
ancaman pidana terdapat hubungan yang erat, maka antara kejadian dan orang
yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, yang satu tidak
dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang
menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena
kejadian yang kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan
yang erat itu, maka digunakan kata perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang
menunjukkan dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua,
adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
22
Adapun istilah tindak pidana dipakai oleh Prodjodikoro untuk menyebut
strafbaar feit. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa
Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam
Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku
di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti
21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 55
22 Ibid., hlm 54
Universitas Sumatera Utara
27
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini
dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.23
H.A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah juga lebih cenderung
memakai istilah delik yang menurutnya netral dan praktis dan tidak adakritikan.
Demikian juga dengan Sutan Remy Sjahdeini, lebih cenderung memakai istilah
delik atau tindak pidana karena merupakan istilah resmi yang dipergunakan dalam
perundang-undangan.
24
Tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu bentuk tindak pidana yang
timbul seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Perkembangan di dalam masyarakat dipastikan memberikan pengaruh terhadap
perubahan dan perkembangan kualitas tindak pidana. Perserikatan Bangs-Bangsa
dalam Kongres ke-6 tentang Prevention of Crime and The Treatment of offenders
di Caracas tahun 1980 berpendapat bahwa antara pembangunan dan kejahatan
terdapat hubungan yang saling berpengaruh yang melahirkan kriminalisasi
sekaligus dekriminalisasi, oleh karena itu pasal-pasal undang-undang hukum
pidana harus diperluas, mencakup tindakan-tindakan disengaja yang merusak
kekayaan alam dan kesejahteraan nasional, misalnya pelanggaran-pelanggaran
terhadap lingkungan hidup.
25
23 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 58
24 Hasbullah F. Sjawei, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 250
25 Henny Damaryanti, Tesis: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi yang dimaksud adalah suatu proses yang menjadikan suatu
perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur di
dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena perbuatan tersebut dapat
mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan dapat membahayakan
kehidupan manusia, maka dirumuskan di dalam undang-undang Hukum Pidana
dan diancam dengan pidana, sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai
tindak pidana.26
Tindak pidana lingkungan hidup sering disebut dengan istilah delik
lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime), berkaitan erat
dengan dan sering merupakan hasil dari kegiatan di bidang bisnis dan industri,
sehingga dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari “crimes as business” atau
“economic abuses”. Pada hakikatnya tindak pidana lingkungan hidup berkaitan
erat dengan “keseluruhan syarat hidup yang bersifat asasi bagi manusia” (the
totality of mankind’s basic natural living conditions), yang berarti berkaitan erat
dengan keseluruhan kondisi struktur sosial (socio-structural conditions), maka
wajar dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan suatu bentuk
kejahatan struktural (structural criminality).
27
Adanya suatu tindak pidana, bukan berarti sudah pasti akan ada suatu
pertanggungjawaban pidana karena tindak pidana atau perbuatan pidana hanya
menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan suatu
ancaman pidana. Persoalan mengenai apakah orang yang melakukan perbuatan
26 Ibid., hlm. 12 27 Ibid., hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
29
atau tindakan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam
melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Sebab terdapat asas
yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf
zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea).28
Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus
didahului dengan penjelasan tentang perbuatan atau tindak pidana. Seseorang
tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia
melakukan tindak pidana. Adalah dirasa tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus
bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedangkan ia sendiri tidak melakukan
tindakan tersebut.
29
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” ini merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”.
Beradasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan
pidana (actus reus) dan sikap batin jahat/tercela (mens rea).
30
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang
28 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 153 29 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 155 30 Ibid., hlm. 157
Universitas Sumatera Utara
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban
pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang
dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan.31
Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum
memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya
syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
32
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami
perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana disamping
manusia. Manakala korporasi juga diakui sebagai subjek hukum disamping
manusia, maka konsep pertanggungjawaban pidana harus diciptakan agar
korporasi juga dapat dijatuhi pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana.
Secara teoritis, terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban pidana pada
subjek hukum korporasi, yaitu teori identifikasi, strict liability dan vicarious
31 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana. 2006), hlm. 68
32 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 156-157
Universitas Sumatera Utara
31
liability. Ketiga teori atau sistem pertanggungjawaban ini, pada hakikatnya
merupakan respon terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai
subjek hukum pidana.33
2. Asas Strict Liability Terhadap Korporasi
Konsep strict liability merupakan konsep yang ada dalam sistem hukum
Common Law. Pada mulanya, sistem pertanggungjawaban tersebut diterapkan
dalam kasus-kasus perdata. Namun dalam perkembangannya, konsep strict
liability juga diterapkan pada kasus-kasus pidana tertentu yang dianggap
membahayakan sosial, seperti narkotika, pelanggaran lalu lintas, makanan dan
lain-lain.34
Asas strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban yang ketat,
artinya seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana
tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara
singkat, strict liability diartikan sebagai “liability without fault”
(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
35
Dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan
dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut
pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi tidak dipersoalkan adanya mens
rea, karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan), sehingga
harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan) bukan mens rea.
36
33 Ibid., hlm. 160 34 Ibid., hlm. 163 35 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 111 36 Mahrus Ali, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Ted Honderich menyatakan bahwa premise (dalil/alasan) yang bisa
dikemukakan untuk pembenaran strict liability dalam hukum pidana adalah:37
a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untu tindak pidana tertentu.
b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk
menghindari adanya bahaya yang sangat luas.
c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.
Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana
Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu
pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum tidak berlaku
terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Termasuk ke dalam kategori
pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas adalah:38
1. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan;
2. Criminal Libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang;
3. Public nuisance atau mengganggu ketertiban masyarakat umum.
Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang
diatur dalam Undang-undang (statutory offence; regulatory offences; mala
prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan
umum (public walefare offences). Termasuk regulatory offences misalnya,
penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan,
penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.39
37 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit.,hlm. 112 38 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1990), hlm. 38 39 Ibid., hlm. 39
Universitas Sumatera Utara
33
Menurut Romli Asmasasmita, pembentuk Undang-undang telah
menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai
berikut:40
1) Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat;
2) Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan;
3) Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perundang-undangan;
4) Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-
hak orang lain;
5) Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak
diperlukan.
Adapun kriteria penerapan strict liability dalam perkara pidana pada
prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua tindak pidana
boleh diterapkan. Akan tetapi yang bercorak khusus, yaitu:
1) Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-
undang sendiri cenderung untuk menuntut strict liability;
2) Penerapannya hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan
khusus atau tertentu.
Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu
dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability,
dapat dikemukakan beberapa patokan antara lain:
40 Romli Asmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
a. Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat
terbatas dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang
membahayakan sosial;
b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan
dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan;
c. Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang karena
dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial
mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik;
d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara
tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.
Jika pengertian strict liability dikaji dari kesalahan normatif, maka
konsekuensinya akan berlainan. Kesalahan normatif pada intinya menyatakan
bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus
diterapkan. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa
pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana. Sebagai suatu
pengertian kesalahan yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang
dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang menjadi patron penilaian
kemudian diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma tersebut. Kesalahn
berarti pembuat (seseorang atau badan hukum), telah berbuat bertentangan dengan
yang diharapkan. Pembuat telah berbuat bertentangan dengan harapan
masyarakat. Hukum sebenarnya mengharapkan kepadanya untuk dapat beerbuat
lain, selain tindak pidana. Dilakukannya tindak pidana pembuatnya dikatakan
bersalah karena telah berbuat berbeda dari yang diharapkan masyarakat. Padahal
Universitas Sumatera Utara
35
pada dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin
melakukan tindak pidana tersebut.41
Oleh karena itu, berdasarkan teori kesalahan normatif konsep strict
liability tidak dianggap sebagai bentuk pengecualian dari konsep tiada pidana
tanpa kesalahan tetapi sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar
kesalahan. Pada strict liability pembuatnya tetap dapat diliputi kesalahan yaitu
kesalahan dalam pengertian normatif.
42
Berkaitan dengan asas strict liability terdapat perbedaan pendapat
dikalangan sarjana mengenai tepat atau tidaknya konsep strict liability tepat
diterapkan untuk kejahatan korporasi. Mahrus Ali, guru besar ilmu hukum pidana
Universitas Islam Indonesia, menyatakan penerapan konsep pertanggungjawaban
strict liability tidak sesuai atau bertolak belakang dengan karakteristik kejahatn
korporasi yang termasuk dalam kategori serious crime, sedangkan konsep
pertanggungjawaban strict liability hanya untuk jenis kejahatan yang bersifat
ringan seperti pelanggaran lalu lintas, penghinaan pengadilan yang sifatnya
berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang dibangun untuk menuntut korporasi atas
konsep pertanggungjawaban strict liability tidak kuat dan tidak beralasan.
43
3. Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi
Asas vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of
41 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 163-164 42 Ibid. 43 Ibid., hlm. 168
Universitas Sumatera Utara
one person for the wrongful acts of another).44 Vicarious liability lazim disebut
sebagai pertanggungjawaban pengganti, yaitu pertanggungjawaban seseorang atas
salah yang dilakukan oleh orang lain.45
Dalam Black’s Law Dictionary, vicarious liability diartikan sebagai
berikut: “The liability of an employer for the acts of an employee, of an principle
for torts and contracts of an agent” (pertanggungjawaban majikan atas tindakan
dari pekerja; atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam
suatu kontrak).
46
Vicarious liability berasal dari ajaran doctrine of respondeat superior
dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa berlaku adagium qui facit per alium facit per se yang
Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup
pekerjaan atau jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang
menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya.
Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang
tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan
dalam arti yang biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan. Rasionalitas
penerapan teori ini adalah ksrens majikan (korporasi) memiliki kontrol dan
kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung
dimiliki oleh majikan (korporasi).
44 Romli Asmasasmita, Op.Cit., hlm. 79 45 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.
118 46 Ibid., hlm. 119
Universitas Sumatera Utara
37
berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan
yang dilakukan oleh ia sendiri.
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana
yang dilakukan orang lain dalam hal-hal sebagai berikut:47
1. Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah bahwa seseorang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious liability untuk tindak
pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Pada prinsipnya, menurut
Common Law, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya
2. Menurut Undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi dalam
hal-hal sebagai berikut:
a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan (the delegation
principle);
b. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara
fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum
perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s
act is the master’s act in law). Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat
materil/fisik (auctor fisicus) dan majikan sebagai pembuat intelektual (auctor
intellectualis).
47 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
Dalam vicarious liability terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi
untuk dapat menerapkan asas vicarious liability terhadap perbuatan pidana,
yaitu:48
1) Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan
dengan pekerja; dan
2) Tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau
masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liability disebut dengan prinsip
delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk
mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha
tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh
kepada seorang manager untuk mengelola usaha tersebut. Jika manager itu
melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi)
bertanggung jawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat
pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab atas tindak pidana
manager tersebut.49
Jika teori vicarious liability dihubungkan dengan kejahatan korporasi, hal
demikian merupakan upaya untuk menjerat korporasi atas tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawainya. Pembebanan pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada atasan (direktur) atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh
bawahan dalam sebuah struktur organisasi korporasi, dikarenakan perbuatan yang
48 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 169-170 49 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Op.Cit., hlm. 119-120
Universitas Sumatera Utara
39
dilakukan oleh bawahan tersebut adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri,
sehingga dengan sendirinya pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada
atasan (direktur) yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama korporasi.
Keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh bawahan
pada dasarnya akan kembali dan merupakan keuntungan dari korporasi. Alangkah
tidak adil jika yang dibebani pertanggungjawaban adalah bawahan atas kesalahan
yang dilakukannya, sedangkan dia sendiri bekerja untuk kepentingan korporasi,
dan keuntungan yang diperoleh tidak dimiliki olehnya tetapi dimiliki oleh
korporasi.50
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) atas
dasar pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk
mencegah atau paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi melalui pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan
penting dalam segala aspek kehidupan, dan tidak jarang korporasi mempunyai
peranan yang sangat besar bagi terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan
korban dan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Dengan adanya
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) yang
merupakan perpanjangan tangan korporasi atas perbuatan pidana yang dilakukan
oleh bawahannya, diharapkan korporasi (melalui pengurus/direktur) dapat lebih
berhati-hati didalam menjalankan aktivitasnya, khusunya yang bersinggungan
langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Didalam menjalankan aktivitasnya
50 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 170
Universitas Sumatera Utara
korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyak, tetapi lebih jauh juga memikirkan atau mengkaji kemungkinan-
kemungkinan negatif yang akan timbul akibat aktivitasnya itu, yang tidak jarang
menimbulkan kerugian yang sangat besar baik di bidang ekonomi, sosial dan lain
sebagainya.51
3. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Subjek tindak pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia (natuurlijk
person). Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku tindak pidana adalah
manusia. Hal ini dapat dilihat dari rumusan delik dalam KUHP yang dimulai
dengan kata-kata “barang siapa”. Kata “barang siapa” menunjukkan pada orang
atau manusia, bukan badan hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia
masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia.
Sedangkan fiksi/badan hukum (rechts person) tidak diakui dalam hukum pidana.52
Namun dalam perkembangannya, ada usaha untuk menjadikan korporasi
sebagai subjek dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang
melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa tidak jarang
korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan
pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang
disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus korporasi. Oleh karenanya tidak adil
kalau korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti manusia.
53
51 Ibid., hlm. 170-171 52 Ibid., hlm. 111 53 Ibid., hlm. 111-112
Universitas Sumatera Utara
41
Barda Nawawi Arief menyatakan, untuk adanya pertanggungjawaban
pidana, harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya
harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana
tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada
umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang
bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai
pertanggungjawaban pidananya.54
Adapaun mengenai penggolongan badan usaha dapat dijumpai dalam
KUH Perdata dan KUH Dagang, diantaranya:
Berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup, korporasi sudah diakui
sebagai subjek tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini bisa dilihat dari pengertian
“setiap orang” dalam Pasal 1 angka (32) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah orang
perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
55
1. Persekutuan (diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1652 KUH Perdata);
2. Perkumpulan (diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1665 KUH Perdata;
54 Muladi dan Dwidja Prayitno. Op.Cit., hlm.82 55 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT Softmedia, 2011), hlm. 55
Universitas Sumatera Utara
3. Firma (diatur dalam Pasal 16 KUH Dagang sampai dengan Pasal 35 KUH
Dagang; dan
4. Komanditer (Pasal 16 KUH Dagang sampai dengan Pasal 35 KUH Dagang).
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum
Pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain,
khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa
Belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal
person atau legal body.56
Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau
usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan
anggota”.
57 A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas
sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan
pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.58
Muladi dan Dwidja Prayitno, dalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, menyatakan bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum,
yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya
hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai
kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka
kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.
59
Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat luas, sehingga tujuan memajukan kesejahteraan
56 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia, 2003), hlm. 2 57 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 17 58 A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 54 59 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
43
umum yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal
33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan guna
meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.
Korporasi dapat melakukan tindak pidana melalui pejabat seniornya yang
memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi.
Pejabat senior tersebut adalah mereka yang mengendalikan korporasi, baik
sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat senior yang lain, yang
mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi. Para
pengendali korporasi dalam pengertian luas terdiri dari para direktur dan manajer.
Sedangkan, para pegawai biasa dan agen yang hanya melaksanakan apa yang
telah diarahkan oleh pejabat senior.
Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tampak
(kelihatan) karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang,
serta pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi
ekonomi. Selanjutnya, tidak tampaknya tindak pidana yang dilakukan korporasi
oleh karena dari tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bahkan dalam
penegakan hukumnya lemah, karena ketentuan hukum positif yang mengaturnya
masih dapat ditafsirkan ganda serta sikat tidak acuh masyarakat atas tindak pidana
yang telah dilakukan oleh korporasi.60
60 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 57
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
(badan usaha), setidak-tidaknya didalamnya terdapat:61
1. Tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan prilaku
kriminal kelas sosial ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan
kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas Hukum Perdata
dan Hukum Administrasi;
2. Baik korporasi (sebagai “subjek hukum perseorangan atau legal person”) dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as a illegal actors),
dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung pada kejahatan
yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan;
3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan hanya bertujuan untuk
keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut
ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur
organisasional.
Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya
sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan sebesar-besarnya) tetapi juga
mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang
digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan
sosial. Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan
dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga
61 Ibid., hlm. 58
Universitas Sumatera Utara
45
merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau
melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentunya lingkungan
hidup perlu mendapat perlindungan hukum. Lingkungan hidup dengan sumber
dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang harus
dijaga untuk kepentingan masyarakat untuk generasi mendatang. Perlindungan
lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan
ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan
melayani kepentingan-kepentingan individu.62
F. Metode Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang
memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam
upaya pengumpulan data yang diperlukan, penulis menerapkan metode
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian
hukum doctrinal atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara
62 Ibid., hlm. 62
Universitas Sumatera Utara
meneliti bahan pustaka dan data sekunder.63
Penelitian asas-asas hukum menurut Scholten, sebagaimana yang dikutip
oleh Amiruddin dan H. Zainal Asikin, merupakan kecendrungan-kecendrungan
dalam memberikan suatu penilaian susila terhadap hukum, artinya memberikan
penilaian yang bersifat etis. Asas-asas hukum tersebut ditarik darimana asalnya
dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.
Metode penelititian hukum normatif
pada penulisan skripsi ini yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum.
64
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif adalah data
sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari
objek penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara menelurusuri bahan-bahan
yang berkaitan dengan masalah penerapan asas strict liability dan asas vicarious
liability terhadap korporasi yaitu:65
a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaidah dasar seperti peraturan
perUndang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti: Rancangan Undang-undang, buku-buku, artikel-
artikel, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli hukum yang berkaitan
dengan skripsi.
63 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 118-119
64 Ibid., hlm. 123 65 Tampil Anshari Siregar, Metodologi penelitian Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press,
2005), hlm. 76
Universitas Sumatera Utara
47
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
terhadap maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
contoh: kamus, ensiklopedia hukum, biografi hukum, direktori pengadilan.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah Library
Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan membaca dan mempelajari
berbagai macam literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan selanjutnya
dilakukan pengolahan data.Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya
akan dilakukan analisa data secara kualitatif untuk diambil suatu kesimpulan,
sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian skripsi ini terjawab.
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan
permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu
sama lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan
keseluruhan ke dalam 4 (empat) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub
bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian
masalah agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan yang benar.
Adapun susunan ini skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Universitas Sumatera Utara
Yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni: Latar Belakang,
Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian
dan Sistematika Penulisan.
BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA
KORPORASI
Menguraikan tentang Pengertian Korporasi, Penempatan
Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana, Bentuk-Bentuk
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Inventarisasi
Peraturan Perundang-Undangan Yang Menempatkan
Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana.
BAB III : ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS VICARIOUS
LIABILITY TERHADAP KORPORASI DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUN
Menguraikan Tentang Perkembangan Asas Strict Liability
dan Asas Vicarious Liability, Tindak Pidana Lingkungan
Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Penerapan Asas Strict Liability dan Asas Vicarious
Liability dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Bidang Lingkungan Hidup.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Universitas Sumatera Utara
49
Bab ini merupakan bab penutup yang didalamnya
dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan
dalam skripsi iniidan diakhiri dengan beberapa sumbang
saran untuk kemajuan pembangunan nasional. Sebagai
pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhir disertakan daftar
kepustakaan.
Universitas Sumatera Utara