repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · bab i pendahuluan a....

40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, jika diamati bersama, kejahatan mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan globalisasi, dimana kejahatan yang terjadi pada masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan yang terjadi pada masyarakat industri. Bahkan jika dipandang dari sudut pelakunya semula pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana hanyalah orang perorangan atau individu, tetapi kini juga korporasi atau badan hukum atau disebut juga rechts person, karena ternyata badan hukum atau korporasi juga dapat melakukan kejahatan yang dapat dipidana. Dampak dari globalisasi salah satunya adalah kemajuan di bidang ekonomi. Kemajuan di bidang ekonomi seperti meningkatnya arus informasi, uang dan perusahaan multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus modal dan penanaman modal dan penanaman modal dari luar negeri disatu sisi membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun disisi lain juga membawa dampak negatif yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi- korporasi yang di dalam menjalankan usahanya secara sadar atau tidak sadar telah melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, disebabkan Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 28-Feb-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, jika diamati bersama, kejahatan mengalami perkembangan

seiring dengan perkembangan globalisasi, dimana kejahatan yang terjadi pada

masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan yang terjadi pada masyarakat

industri. Bahkan jika dipandang dari sudut pelakunya semula pelaku yang dapat

dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana hanyalah orang perorangan atau

individu, tetapi kini juga korporasi atau badan hukum atau disebut juga rechts

person, karena ternyata badan hukum atau korporasi juga dapat melakukan

kejahatan yang dapat dipidana.

Dampak dari globalisasi salah satunya adalah kemajuan di bidang

ekonomi. Kemajuan di bidang ekonomi seperti meningkatnya arus informasi,

uang dan perusahaan multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus

modal dan penanaman modal dan penanaman modal dari luar negeri disatu sisi

membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun disisi lain juga membawa

dampak negatif yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi-

korporasi yang di dalam menjalankan usahanya secara sadar atau tidak sadar telah

melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, disebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

11

banyaknya penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan masyarakat

dalam berbagai bentuk yang berskala luas.1

Sehubungan dengan kejahatan korporasi Soedjono Dirdjosisworo,

sebagaimana yang dikutip oleh Muladi, menyatakan bahwa :

2

Kejahatan-kejahatan korporasi yang menonjol dewasa ini adalah price

fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan

iklan), kejahatan di bidang perbankan: cyber crime, money laundering, illegal

logging, dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime).

kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.

3

1 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Medan: PT Softmedia), 2010, hlm. 1

2 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, (Bandung: Kencana, 2012), hlm. 3

3Ibid., hlm. 5

Salah satu

bentuk kejahatan korporasi yang menjadi perhatian karena perkembangan yang

terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup

(environmental crime). Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dapat

menimbulkan dampak serta korban yang besar dan kompleks yang tidak hanya

menguras sumber daya alam, sumber daya manusia, modal sosial, bahkan modal

kelembagaan yang berkelanjutan.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Sebagai contoh, pada tahun 1984, telah terjadi suatu bencana kimia akibat

kebocoran gas pada pabrik milik Unicorn Carbide India Limited, di Bhopal India.

Kejadian tersebut sebagai akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan

penghematan biaya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dan efeknya akan

dirasakan hingga dua puluh tahun kedepan.

Kasus the Benguet Minning Company di Filipina dimana untuk mencari

emas, Benguet Minning telah membuat lubang yang dalam di bukit-bukit,

mengikis habis pepohonan dan tanah permukaan, dan membuang banyak sekali

bongkahan-bongkahan batu ke dalam sungai-sungai setempat. Dengan

terkurasnya sumber daya tanah dan air, maka orang Igorot yang merupakan

penduduk asli kawasan tersebut merasakan kesulitan dalam menanam padi dan

pisang disana dan harus pergi ke bukit yang satu lagi.4

Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur yang diindikasi sebagai

kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak memenuhi standarisasi (human error)

yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Peristiwa Lumpur Lapindo Brantas

mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan segala harta bendanya

karena terendam lumpur, belum lagi industri-industri yang berada disekitar

semburan lumpur yang mengakibatkan tidak bisa melakukan produksi dan ribuan

orang kehilangan pekerjaannya.

Di Indonesia kasus serupa

terjadi di Teluk Buyat yang dilakukan oleh Newmont.

5

4Ibid., hlm. 9 5 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit,. hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

Page 4: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

13

Kejahatan-kejahatan yang dilakukan korporasi tersebut tentu saja tidak

dapat dibiarkan begitu saja, sebab akibat yang ditimbulkannya sangat serius dan

kompleks. Dampak kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di bidang

lingkungan hidup adalah sistemik, dapat merusak satu kesatuan masyarakat

bahkan bisa merusak satu generasi mengingat pentingnya untuk menjaga

keberlangsungan lingkungan. Penting untuk diingat bahwa sebagai manusia,

hidup di dunia juga harus memikirkan penerus kelak, oleh karenanya adalah

kewajiban untuk memelihara lingkungan agar tidak rusak. Apalagi di dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28 H menyatakan

bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang. Sehingga

perlu pengaturan hukum yang tegas dari pemerintah untuk dapat menjatuhkan

hukuman pidana bagi korporasi yang melakukan kejahatan agar terciptanya

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam

sila kelima dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu untuk memajukan

kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru

dan tercantum dalam beberapa peraturan perUndang-undangan dan penegakan

hukumnya juga sangat lambat. Di Indonesia dalam perUndang-undangannya baru

muncul dan dikenal badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana

pada tahun 1951, yaitu dalam Undang-undang Penimbunan Barang-barang dan

mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang

Universitas Sumatera Utara

Page 5: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Tindak Pidana Ekonomi.6

Akan tetapi secara umum, sebagaimana yang tercantum dalam KUHP

(Pasal 59 KUHP), subjek tindak pidana korporasi belum dikenal, dan yang diakui

sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah “orang”. Pasal 59 KUHP

berbunyi:

Selain itu juga terdapat dalam Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga

terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Undang-undang lainnya.

7

Dengan demikian dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak

pidana, menimbulkan permasalahan baru dalam Hukum Pidana di Indonesia,

khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi yaitu apakah

unsur kesalahan tetap dapat diterapkan seperti halnya kepada subjek manusia.

Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dalam Hukum

Pidana, yaitu:

“Dalam hal menetukan hukuman karena pelanggaran terhadap

pengurus, anggota salah satu pengurusatau komisaris, maka hukuman tidak

dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu terjadi

diluar tanggungannya”.

8

1. Sifat melawan hukum (unrecht);

2. Kesalahan (schuld);

3. Pidana (strafe).

6 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 14 7 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Kedelapan, (Bogor: Politea, 1985), hlm. 77 8 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 70

Universitas Sumatera Utara

Page 6: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

15

Sehingga secara dogmatis dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Pidana unsur

kesalahan harus ada sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana si pelaku tindak

pidana.

Terdapat doktrin yang mewarnai Wet Boek van Straftrecht (W.v.S)

Belanda 1889 yakni asas “universalitas delinquere nonpotest” atau “societas

delinquere nonpotest” yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan

tindak pidana. Namun seiring perkembangan zaman, doktrin badan-badan hukum

tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan sehubungan

dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap) karena

peran korporasi dalam kehidupan ekonomi dirasa penting.9 Maka hal ini

menimbulkan permasalahan dalam Hukum Pidana yaitu apakah badan hukum

dapat mempunyai kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan. Sebab

bagaimanapun juga Indonesia masih menganut asas “geen straf zonder schuld”

atau tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:10

9Ibid., hlm. 17 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)

“Tidak

seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya”.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Pada kenyataannya dalam praktik tidaklah mudah untuk menentukan ada

atau tidaknya kesalahan pada korporasi karena korporasi sebagai subjek Hukum

Pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia

alamiah (naturlijk persoon), oleh karenanya dalam perkembangannya mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi, pertanggungjawaban setiap orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya, ada pandangan baru yang agak berlainan,

bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas

kesalahan tidak perlu dibuktikan.

Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya

doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori

identifikasi (identification theory) atau disebut juga teori atau doktrin ”alter ego”

atau “teori organ”. Perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer)

diidentifikasikan sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Doktrin

pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability). Bertolak dari doktrin

“respondeat superior”. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan

adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh atau karyawan dan doktrin

pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang, yaitu dalam hal

korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban atau kondisi atau situasi

tertentu yang ditentukan Undang-undang. Pelanggaran terhadap kewajiban

korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat

menurut Undang-undang atau strict liability, apalagi kalau korporasi tersebut

Universitas Sumatera Utara

Page 8: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

17

menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar

syarat-syarat yang ditentukan dalam izin itu.11

(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Adapun dalam Hukum Pidana Indonesia sendiri terdapat ide untuk

memasukkan asas strict liability dan asas vicarious liability sebagai pengecualian

terhadap unsur kesalahan terhadap tindak pidana tertentu. Hal ini dapat dilihat

dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 38 ayat (1)

dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:

(2) Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.

Dengan demikian berarti terdapat keinginan dari pembuat undang-undang

untuk menerapkan asas strict liability dan asas vicarious liability secara umum

dalam hukum pidana Indonesia baik untuk menjatuhkan pidana kepada manusia

maupun korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Terkait korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup tidak

hanya sebatas penempatan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana tetapi perlu

adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi.

Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus lingkungan hidup diatur dalam

pasal 116 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

11 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, (Medan: PT Softmedia, 2009), hlm. 35

Universitas Sumatera Utara

Page 9: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan pasal 116 ayat (1), yang berbunyi

:12

1. Badan usaha; dan/atau

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :

2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Lebih lanjut dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH mengatur mengenai

pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability dan pertanggungjawaban

yang ketat atau strict liability. Pasal 116 ayat (2) berbunyi:

Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha,

orang yang memberikan perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin, ini

menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup, ada

kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam sektor

usaha dan perbuatan secara konkrit telah dilakukan. Untuk menghindari kesulitan

pembuktian diatas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat

tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran terhadap

kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana strict

liability apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau

12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

Universitas Sumatera Utara

Page 10: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

19

korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam

izin.13

B. Perumusan Masalah

Skripsi ini akan membahas dan menganalisa terkait dengan asas strict

liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak

pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik

untuk menyusun skripsi yang berjudul “ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS

VICARIOUS LIABILITY TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN

TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32

TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP”

Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka terdapat

permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Perumusan

masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban terhadap korporasi yang

melakukan tindak pidana ?

2. Bagaimanakah penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability

terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-

13 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 35

Universitas Sumatera Utara

Page 11: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup ?

C. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan

skripsi yang berjudul “Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Terhadap

Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiudp”

terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang

tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat

tertanggal 16 Oktober 2013 menyatakan ada satu judul yang memiliki sedikit

kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah “Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi Dalam Lingkup Hukum Pidana Indonesia” yang ditulis oleh Ilham P.

Gultom/980200068.

Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

tersebut kemudian menjadi dasar bagi Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H

(ketua Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan penulis,

karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul

diatas.

Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui

media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada

penulis lain yang mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar

Universitas Sumatera Utara

Page 12: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

21

sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi

ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran

penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum

yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh

karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi.

2. Mengertahui penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability

terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara Teoritis

1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum

Pidana dan khususnya masalah asas strict liability dan asas vicarious liability

terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana.

2) Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada

pendidikan ilmu hukum mengenai penerapan asas strict liability dan asas

vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 13: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada

pembuat Undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut

mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi

yang melakukan tindak pidana.

b. Secara Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

penjelasan bagi Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai

asas pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana khususnya

mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability berdasarkan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pidana, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana.

Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah lain, yaitu

hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana

dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari

“straf” dan istilah “dihukum” berasal dari “wordt gestraft” merupakan istilah yang

konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah itu dan menggunakan istilah yang

inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam

Universitas Sumatera Utara

Page 14: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

23

dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraft”. Menurut Moeljatno,

kalau kata “straf” diartikan sebagai “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya

diartikan sebagai hukuman-hukuman.14

Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat

mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak saja hanya sering digunakan

dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,

moral, agama dan sebagainya.

15

Sudarto mengartikan pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan

kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Oleh karena itu, pidana merupakan istilah khusus

sehingga perlu adanya pembatasan pengertian dari pidana.

16

Roeslan Saleh memberi pengertian pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini

berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik

itu. Dalam kamus Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa punishment

adalah:17

14 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 185 15 Ibid. 16 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 109-110 17 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 186

Any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the low and the judgement and sentence of a court, for some crime on offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law. (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum atau vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Berdasarkan pengertian pidana yang telah diuraikan, maka dapat

disimpulkan bahwa pidana memuat unsur-unsur sebagai berikut:18

(1) Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa

atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

(2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh yang berwenang);

(3) Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang

karena telah melanggar hukum;

(4) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana

menurut undang-undang.

Istilah tindak pidana diartikan beberapa sarjana sebagai perbuatan pidana

atau peristiwa pidana, istilah-istilah ini digunakan untuk mengartikan strafbaar

feit. Sarjana-sarjana yang mengartikan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana

adalah Simon, seorang guru besar ilmu hukum pidana Universitas Utrecht, serta

van Hamel guru besar ilmu hukum pidana Universitas Kerajaan di Leiden.

Menurut Simons strafbaar feit (terjemahan secara harfiah: peristiwa

pidana) adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan

(schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud

oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan

culpa (alpa atau lalai). Dari rumusan tersebut Simons menyatukan unsur-unsur

perbuatan pidana (meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum) dan

18 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

25

pertanggungjawaban pidana (meliputi kesengajaan, kealpaan, kelalaian dan

kemampuan bertanggung jawab).19

Van Hamel menguraikan strafbaar feit sebagai perbuatan manusia yang

diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, straafwardig (patut atau bernilai

untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten).

Unsur-unsur strafbaar feit menurut van Hamel meliputi:

20

a. Perbuatan: perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas

legalitas);

b. Melawan hukum: bernilai atau patut dipidana sesuai dengan ajaran sifat

melawan hukum materiil yaitu kesengajaan, kelalaian/kealpaan dan

kemampuan bertanggung jawab.

Adapun menurut Moeljatno, istilah peristiwa pidana kurang tepat untuk

digunakan sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya

menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang.

Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang, Hukum Pidana tidak melarang adanya

orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika

matinya orang disebabkan oleh sakit, karena binatang, tertimpa pohon, maka

peristiwa itu tidak peting sama sekali bagi Hukum Pidana. Baru apabila matinya

19 Zainal Abidin Farid, HukumPidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 224

20 Ibid., hlm. 225

Universitas Sumatera Utara

Page 17: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

ada hubungannya dengan kelakuan orang lain disitulah peristiwa itu menjadi

penting bagi hukum pidana.21

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan

ancaman pidana terdapat hubungan yang erat, maka antara kejadian dan orang

yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, yang satu tidak

dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang

menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena

kejadian yang kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan

yang erat itu, maka digunakan kata perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang

menunjukkan dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua,

adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

22

Adapun istilah tindak pidana dipakai oleh Prodjodikoro untuk menyebut

strafbaar feit. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum

Pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa

Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam

Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku

di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti

21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 55

22 Ibid., hlm 54

Universitas Sumatera Utara

Page 18: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

27

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini

dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.23

H.A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah juga lebih cenderung

memakai istilah delik yang menurutnya netral dan praktis dan tidak adakritikan.

Demikian juga dengan Sutan Remy Sjahdeini, lebih cenderung memakai istilah

delik atau tindak pidana karena merupakan istilah resmi yang dipergunakan dalam

perundang-undangan.

24

Tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu bentuk tindak pidana yang

timbul seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.

Perkembangan di dalam masyarakat dipastikan memberikan pengaruh terhadap

perubahan dan perkembangan kualitas tindak pidana. Perserikatan Bangs-Bangsa

dalam Kongres ke-6 tentang Prevention of Crime and The Treatment of offenders

di Caracas tahun 1980 berpendapat bahwa antara pembangunan dan kejahatan

terdapat hubungan yang saling berpengaruh yang melahirkan kriminalisasi

sekaligus dekriminalisasi, oleh karena itu pasal-pasal undang-undang hukum

pidana harus diperluas, mencakup tindakan-tindakan disengaja yang merusak

kekayaan alam dan kesejahteraan nasional, misalnya pelanggaran-pelanggaran

terhadap lingkungan hidup.

25

23 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 58

24 Hasbullah F. Sjawei, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 250

25 Henny Damaryanti, Tesis: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 29

Universitas Sumatera Utara

Page 19: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Kriminalisasi yang dimaksud adalah suatu proses yang menjadikan suatu

perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur di

dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena perbuatan tersebut dapat

mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan dapat membahayakan

kehidupan manusia, maka dirumuskan di dalam undang-undang Hukum Pidana

dan diancam dengan pidana, sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai

tindak pidana.26

Tindak pidana lingkungan hidup sering disebut dengan istilah delik

lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime), berkaitan erat

dengan dan sering merupakan hasil dari kegiatan di bidang bisnis dan industri,

sehingga dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari “crimes as business” atau

“economic abuses”. Pada hakikatnya tindak pidana lingkungan hidup berkaitan

erat dengan “keseluruhan syarat hidup yang bersifat asasi bagi manusia” (the

totality of mankind’s basic natural living conditions), yang berarti berkaitan erat

dengan keseluruhan kondisi struktur sosial (socio-structural conditions), maka

wajar dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan suatu bentuk

kejahatan struktural (structural criminality).

27

Adanya suatu tindak pidana, bukan berarti sudah pasti akan ada suatu

pertanggungjawaban pidana karena tindak pidana atau perbuatan pidana hanya

menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan suatu

ancaman pidana. Persoalan mengenai apakah orang yang melakukan perbuatan

26 Ibid., hlm. 12 27 Ibid., hlm. 30

Universitas Sumatera Utara

Page 20: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

29

atau tindakan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam

melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Sebab terdapat asas

yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf

zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea).28

Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus

didahului dengan penjelasan tentang perbuatan atau tindak pidana. Seseorang

tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia

melakukan tindak pidana. Adalah dirasa tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus

bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedangkan ia sendiri tidak melakukan

tindakan tersebut.

29

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” ini merupakan

konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada

suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “an act

does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”.

Beradasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan

pidana (actus reus) dan sikap batin jahat/tercela (mens rea).

30

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

28 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 153 29 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 155 30 Ibid., hlm. 157

Universitas Sumatera Utara

Page 21: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban

pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang

dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan.31

Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila

orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan

delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum

memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya

syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai

kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

32

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami

perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana disamping

manusia. Manakala korporasi juga diakui sebagai subjek hukum disamping

manusia, maka konsep pertanggungjawaban pidana harus diciptakan agar

korporasi juga dapat dijatuhi pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana.

Secara teoritis, terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban pidana pada

subjek hukum korporasi, yaitu teori identifikasi, strict liability dan vicarious

31 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana. 2006), hlm. 68

32 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 156-157

Universitas Sumatera Utara

Page 22: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

31

liability. Ketiga teori atau sistem pertanggungjawaban ini, pada hakikatnya

merupakan respon terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai

subjek hukum pidana.33

2. Asas Strict Liability Terhadap Korporasi

Konsep strict liability merupakan konsep yang ada dalam sistem hukum

Common Law. Pada mulanya, sistem pertanggungjawaban tersebut diterapkan

dalam kasus-kasus perdata. Namun dalam perkembangannya, konsep strict

liability juga diterapkan pada kasus-kasus pidana tertentu yang dianggap

membahayakan sosial, seperti narkotika, pelanggaran lalu lintas, makanan dan

lain-lain.34

Asas strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban yang ketat,

artinya seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana

tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara

singkat, strict liability diartikan sebagai “liability without fault”

(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).

35

Dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan

dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut

pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi tidak dipersoalkan adanya mens

rea, karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan), sehingga

harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan) bukan mens rea.

36

33 Ibid., hlm. 160 34 Ibid., hlm. 163 35 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 111 36 Mahrus Ali, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Ted Honderich menyatakan bahwa premise (dalil/alasan) yang bisa

dikemukakan untuk pembenaran strict liability dalam hukum pidana adalah:37

a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untu tindak pidana tertentu.

b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk

menghindari adanya bahaya yang sangat luas.

c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.

Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana

Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu

pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum tidak berlaku

terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Termasuk ke dalam kategori

pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas adalah:38

1. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan;

2. Criminal Libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang;

3. Public nuisance atau mengganggu ketertiban masyarakat umum.

Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang

diatur dalam Undang-undang (statutory offence; regulatory offences; mala

prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan

umum (public walefare offences). Termasuk regulatory offences misalnya,

penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan,

penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.39

37 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit.,hlm. 112 38 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1990), hlm. 38 39 Ibid., hlm. 39

Universitas Sumatera Utara

Page 24: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

33

Menurut Romli Asmasasmita, pembentuk Undang-undang telah

menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai

berikut:40

1) Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat;

2) Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan;

3) Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perundang-undangan;

4) Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-

hak orang lain;

5) Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak

diperlukan.

Adapun kriteria penerapan strict liability dalam perkara pidana pada

prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua tindak pidana

boleh diterapkan. Akan tetapi yang bercorak khusus, yaitu:

1) Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-

undang sendiri cenderung untuk menuntut strict liability;

2) Penerapannya hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan

khusus atau tertentu.

Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu

dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability,

dapat dikemukakan beberapa patokan antara lain:

40 Romli Asmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 78

Universitas Sumatera Utara

Page 25: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

a. Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat

terbatas dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang

membahayakan sosial;

b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan

dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan;

c. Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang karena

dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial

mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik;

d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara

tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.

Jika pengertian strict liability dikaji dari kesalahan normatif, maka

konsekuensinya akan berlainan. Kesalahan normatif pada intinya menyatakan

bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus

diterapkan. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa

pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana. Sebagai suatu

pengertian kesalahan yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang

dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang menjadi patron penilaian

kemudian diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma tersebut. Kesalahn

berarti pembuat (seseorang atau badan hukum), telah berbuat bertentangan dengan

yang diharapkan. Pembuat telah berbuat bertentangan dengan harapan

masyarakat. Hukum sebenarnya mengharapkan kepadanya untuk dapat beerbuat

lain, selain tindak pidana. Dilakukannya tindak pidana pembuatnya dikatakan

bersalah karena telah berbuat berbeda dari yang diharapkan masyarakat. Padahal

Universitas Sumatera Utara

Page 26: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

35

pada dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin

melakukan tindak pidana tersebut.41

Oleh karena itu, berdasarkan teori kesalahan normatif konsep strict

liability tidak dianggap sebagai bentuk pengecualian dari konsep tiada pidana

tanpa kesalahan tetapi sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar

kesalahan. Pada strict liability pembuatnya tetap dapat diliputi kesalahan yaitu

kesalahan dalam pengertian normatif.

42

Berkaitan dengan asas strict liability terdapat perbedaan pendapat

dikalangan sarjana mengenai tepat atau tidaknya konsep strict liability tepat

diterapkan untuk kejahatan korporasi. Mahrus Ali, guru besar ilmu hukum pidana

Universitas Islam Indonesia, menyatakan penerapan konsep pertanggungjawaban

strict liability tidak sesuai atau bertolak belakang dengan karakteristik kejahatn

korporasi yang termasuk dalam kategori serious crime, sedangkan konsep

pertanggungjawaban strict liability hanya untuk jenis kejahatan yang bersifat

ringan seperti pelanggaran lalu lintas, penghinaan pengadilan yang sifatnya

berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang dibangun untuk menuntut korporasi atas

konsep pertanggungjawaban strict liability tidak kuat dan tidak beralasan.

43

3. Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi

Asas vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang

dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of

41 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 163-164 42 Ibid. 43 Ibid., hlm. 168

Universitas Sumatera Utara

Page 27: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

one person for the wrongful acts of another).44 Vicarious liability lazim disebut

sebagai pertanggungjawaban pengganti, yaitu pertanggungjawaban seseorang atas

salah yang dilakukan oleh orang lain.45

Dalam Black’s Law Dictionary, vicarious liability diartikan sebagai

berikut: “The liability of an employer for the acts of an employee, of an principle

for torts and contracts of an agent” (pertanggungjawaban majikan atas tindakan

dari pekerja; atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam

suatu kontrak).

46

Vicarious liability berasal dari ajaran doctrine of respondeat superior

dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa

dengan penerima kuasa berlaku adagium qui facit per alium facit per se yang

Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-

perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup

pekerjaan atau jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang

menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya.

Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang

tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan

dalam arti yang biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan. Rasionalitas

penerapan teori ini adalah ksrens majikan (korporasi) memiliki kontrol dan

kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung

dimiliki oleh majikan (korporasi).

44 Romli Asmasasmita, Op.Cit., hlm. 79 45 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.

118 46 Ibid., hlm. 119

Universitas Sumatera Utara

Page 28: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

37

berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan

yang dilakukan oleh ia sendiri.

Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana

yang dilakukan orang lain dalam hal-hal sebagai berikut:47

1. Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah bahwa seseorang

tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious liability untuk tindak

pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Pada prinsipnya, menurut

Common Law, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya

2. Menurut Undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi dalam

hal-hal sebagai berikut:

a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan (the delegation

principle);

b. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara

fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum

perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s

act is the master’s act in law). Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat

materil/fisik (auctor fisicus) dan majikan sebagai pembuat intelektual (auctor

intellectualis).

47 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31

Universitas Sumatera Utara

Page 29: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Dalam vicarious liability terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi

untuk dapat menerapkan asas vicarious liability terhadap perbuatan pidana,

yaitu:48

1) Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan

dengan pekerja; dan

2) Tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau

masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liability disebut dengan prinsip

delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk

mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha

tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh

kepada seorang manager untuk mengelola usaha tersebut. Jika manager itu

melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi)

bertanggung jawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat

pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab atas tindak pidana

manager tersebut.49

Jika teori vicarious liability dihubungkan dengan kejahatan korporasi, hal

demikian merupakan upaya untuk menjerat korporasi atas tindak pidana yang

dilakukan oleh pegawainya. Pembebanan pertanggungjawaban pidana yang

dibebankan kepada atasan (direktur) atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh

bawahan dalam sebuah struktur organisasi korporasi, dikarenakan perbuatan yang

48 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 169-170 49 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Op.Cit., hlm. 119-120

Universitas Sumatera Utara

Page 30: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

39

dilakukan oleh bawahan tersebut adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri,

sehingga dengan sendirinya pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada

atasan (direktur) yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama korporasi.

Keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh bawahan

pada dasarnya akan kembali dan merupakan keuntungan dari korporasi. Alangkah

tidak adil jika yang dibebani pertanggungjawaban adalah bawahan atas kesalahan

yang dilakukannya, sedangkan dia sendiri bekerja untuk kepentingan korporasi,

dan keuntungan yang diperoleh tidak dimiliki olehnya tetapi dimiliki oleh

korporasi.50

Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) atas

dasar pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk

mencegah atau paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi melalui pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan

penting dalam segala aspek kehidupan, dan tidak jarang korporasi mempunyai

peranan yang sangat besar bagi terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan

korban dan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Dengan adanya

pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) yang

merupakan perpanjangan tangan korporasi atas perbuatan pidana yang dilakukan

oleh bawahannya, diharapkan korporasi (melalui pengurus/direktur) dapat lebih

berhati-hati didalam menjalankan aktivitasnya, khusunya yang bersinggungan

langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Didalam menjalankan aktivitasnya

50 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 170

Universitas Sumatera Utara

Page 31: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana memperoleh keuntungan yang

sebanyak-banyak, tetapi lebih jauh juga memikirkan atau mengkaji kemungkinan-

kemungkinan negatif yang akan timbul akibat aktivitasnya itu, yang tidak jarang

menimbulkan kerugian yang sangat besar baik di bidang ekonomi, sosial dan lain

sebagainya.51

3. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Subjek tindak pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia (natuurlijk

person). Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku tindak pidana adalah

manusia. Hal ini dapat dilihat dari rumusan delik dalam KUHP yang dimulai

dengan kata-kata “barang siapa”. Kata “barang siapa” menunjukkan pada orang

atau manusia, bukan badan hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam

ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia

masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia.

Sedangkan fiksi/badan hukum (rechts person) tidak diakui dalam hukum pidana.52

Namun dalam perkembangannya, ada usaha untuk menjadikan korporasi

sebagai subjek dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang

melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa tidak jarang

korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan

pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang

disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus korporasi. Oleh karenanya tidak adil

kalau korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti manusia.

53

51 Ibid., hlm. 170-171 52 Ibid., hlm. 111 53 Ibid., hlm. 111-112

Universitas Sumatera Utara

Page 32: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

41

Barda Nawawi Arief menyatakan, untuk adanya pertanggungjawaban

pidana, harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya

harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana

tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada

umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang

bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai

pertanggungjawaban pidananya.54

Adapaun mengenai penggolongan badan usaha dapat dijumpai dalam

KUH Perdata dan KUH Dagang, diantaranya:

Berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup, korporasi sudah diakui

sebagai subjek tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini bisa dilihat dari pengertian

“setiap orang” dalam Pasal 1 angka (32) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah orang

perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak

berbadan hukum.

55

1. Persekutuan (diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal

1652 KUH Perdata);

2. Perkumpulan (diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata sampai dengan Pasal

1665 KUH Perdata;

54 Muladi dan Dwidja Prayitno. Op.Cit., hlm.82 55 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT Softmedia, 2011), hlm. 55

Universitas Sumatera Utara

Page 33: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

3. Firma (diatur dalam Pasal 16 KUH Dagang sampai dengan Pasal 35 KUH

Dagang; dan

4. Komanditer (Pasal 16 KUH Dagang sampai dengan Pasal 35 KUH Dagang).

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum

Pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain,

khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa

Belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal

person atau legal body.56

Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau

usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan

anggota”.

57 A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas

sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan

pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.58

Muladi dan Dwidja Prayitno, dalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi, menyatakan bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum,

yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya

hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai

kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka

kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.

59

Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat luas, sehingga tujuan memajukan kesejahteraan

56 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia, 2003), hlm. 2 57 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 17 58 A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 54 59 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31

Universitas Sumatera Utara

Page 34: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

43

umum yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal

33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa perekonomian

disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan guna

meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.

Korporasi dapat melakukan tindak pidana melalui pejabat seniornya yang

memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi.

Pejabat senior tersebut adalah mereka yang mengendalikan korporasi, baik

sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat senior yang lain, yang

mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi. Para

pengendali korporasi dalam pengertian luas terdiri dari para direktur dan manajer.

Sedangkan, para pegawai biasa dan agen yang hanya melaksanakan apa yang

telah diarahkan oleh pejabat senior.

Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tampak

(kelihatan) karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang,

serta pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi

ekonomi. Selanjutnya, tidak tampaknya tindak pidana yang dilakukan korporasi

oleh karena dari tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bahkan dalam

penegakan hukumnya lemah, karena ketentuan hukum positif yang mengaturnya

masih dapat ditafsirkan ganda serta sikat tidak acuh masyarakat atas tindak pidana

yang telah dilakukan oleh korporasi.60

60 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 57

Universitas Sumatera Utara

Page 35: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi

(badan usaha), setidak-tidaknya didalamnya terdapat:61

1. Tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan prilaku

kriminal kelas sosial ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.

Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan

kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas Hukum Perdata

dan Hukum Administrasi;

2. Baik korporasi (sebagai “subjek hukum perseorangan atau legal person”) dan

perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as a illegal actors),

dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung pada kejahatan

yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan;

3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan hanya bertujuan untuk

keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian

keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut

ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur

organisasional.

Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya

sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan sebesar-besarnya) tetapi juga

mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang

digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan

sosial. Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan

dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga

61 Ibid., hlm. 58

Universitas Sumatera Utara

Page 36: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

45

merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau

melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terus meningkat sejalan

dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentunya lingkungan

hidup perlu mendapat perlindungan hukum. Lingkungan hidup dengan sumber

dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang harus

dijaga untuk kepentingan masyarakat untuk generasi mendatang. Perlindungan

lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan

ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan

melayani kepentingan-kepentingan individu.62

F. Metode Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang

memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam

upaya pengumpulan data yang diperlukan, penulis menerapkan metode

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian

hukum doctrinal atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara

62 Ibid., hlm. 62

Universitas Sumatera Utara

Page 37: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

meneliti bahan pustaka dan data sekunder.63

Penelitian asas-asas hukum menurut Scholten, sebagaimana yang dikutip

oleh Amiruddin dan H. Zainal Asikin, merupakan kecendrungan-kecendrungan

dalam memberikan suatu penilaian susila terhadap hukum, artinya memberikan

penilaian yang bersifat etis. Asas-asas hukum tersebut ditarik darimana asalnya

dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.

Metode penelititian hukum normatif

pada penulisan skripsi ini yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum.

64

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif adalah data

sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari

objek penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara menelurusuri bahan-bahan

yang berkaitan dengan masalah penerapan asas strict liability dan asas vicarious

liability terhadap korporasi yaitu:65

a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaidah dasar seperti peraturan

perUndang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti: Rancangan Undang-undang, buku-buku, artikel-

artikel, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli hukum yang berkaitan

dengan skripsi.

63 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 118-119

64 Ibid., hlm. 123 65 Tampil Anshari Siregar, Metodologi penelitian Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press,

2005), hlm. 76

Universitas Sumatera Utara

Page 38: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

47

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

terhadap maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

contoh: kamus, ensiklopedia hukum, biografi hukum, direktori pengadilan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah Library

Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan membaca dan mempelajari

berbagai macam literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan selanjutnya

dilakukan pengolahan data.Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya

akan dilakukan analisa data secara kualitatif untuk diambil suatu kesimpulan,

sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian skripsi ini terjawab.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan

permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu

sama lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan

keseluruhan ke dalam 4 (empat) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub

bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian

masalah agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu

kesimpulan yang benar.

Adapun susunan ini skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Universitas Sumatera Utara

Page 39: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

Yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni: Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian

dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA

KORPORASI

Menguraikan tentang Pengertian Korporasi, Penempatan

Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana, Bentuk-Bentuk

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Inventarisasi

Peraturan Perundang-Undangan Yang Menempatkan

Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana.

BAB III : ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS VICARIOUS

LIABILITY TERHADAP KORPORASI DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

TENTANG PERLINDUN

Menguraikan Tentang Perkembangan Asas Strict Liability

dan Asas Vicarious Liability, Tindak Pidana Lingkungan

Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

dan Penerapan Asas Strict Liability dan Asas Vicarious

Liability dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di

Bidang Lingkungan Hidup.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Universitas Sumatera Utara

Page 40: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 49726... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang2015-09-02 · BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang . Dewasa ini, jika

49

Bab ini merupakan bab penutup yang didalamnya

dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan

dalam skripsi iniidan diakhiri dengan beberapa sumbang

saran untuk kemajuan pembangunan nasional. Sebagai

pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhir disertakan daftar

kepustakaan.

Universitas Sumatera Utara