8 - latar belakang akhir

9
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata merupakan indera pengelihatan yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Dalam keberadaannya, sistem visual memiliki berbagai jenis kelainan refraksi. Kelainan refraksi tersebut antara lain seperti ametropia, miopia, presbiopia, hipermetropia, dan afakia. Kelainan refraksi merupakan gangguan yang banyak terjadi di dunia tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun kelompok etnis (Ilyas, 2008). Dari semua refraksi yang ada, miopia merupakan kelainan mata yang paling banyak di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Selama 30 tahun ini prevalensi miopia meningkat di kalangan anak-anak dan remaja. Pada kelompok umur 6 tahun, sekitar 2% menderita miopia dan meningkat 1

Upload: yogi-arta-suarlin

Post on 14-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mata

TRANSCRIPT

6

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangMata merupakan indera pengelihatan yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Dalam keberadaannya, sistem visual memiliki berbagai jenis kelainan refraksi. Kelainan refraksi tersebut antara lain seperti ametropia, miopia, presbiopia, hipermetropia, dan afakia. Kelainan refraksi merupakan gangguan yang banyak terjadi di dunia tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun kelompok etnis (Ilyas, 2008).Dari semua refraksi yang ada, miopia merupakan kelainan mata yang paling banyak di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Selama 30 tahun ini prevalensi miopia meningkat di kalangan anak-anakdan remaja. Pada kelompok umur 6 tahun, sekitar 2% menderita miopia dan meningkat menjadi 15% pada umur 15 tahun. Miopia terutama terjadi pada daerah Asia seperti Jepang, Singapura, Taiwan dan Hongkong, dimana 44%- 90% menderita miopia. Berdasarkan laporan Institute of Eye Researchsaat ini miopia diperkirakan telah mencapai 1,6 milyar penduduk di seluruh dunia dan akan mencapai 2,5 milyar penduduk pada tahun 2020. Di Indonesia, prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata dan ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa (Yu dkk, 2011).Data WHO pada tahun 2004 menunjukkan angka kejadian 10% dari 66 juta anak usia sekolah menderita kelainan refraksi yaitu miopia. Puncak terjadinya miopia adalah pada usia remaja yaitu pada tingkat SMA dan miopia paling sering banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1 (Supartoto, 2006). Penyebab terjadinya miopia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Dalam perkembangan miopia terdapat perdebatan antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Orang tua dengan miopia akan meningkatkan resiko kemungkinan timbulnya miopia pada keturunan mereka, dibandingkan dengan orang tua yang tidak memiliki miopia. Faktor lingkungan yang paling banyak berperan pada miopia adalah adanya aktivitas pekerjaan dekat yang terus menerus. Frekuensi miopia yang sering muncul pada masa sekolah dan kuliah, serta pada beberapa aktivitas pekerjaan dekat seperti membaca buku yang terus menerus diduga merangsang perkembangan miopia (Ip J.M et al, 2008).Banyak kasus yang dapat digunakan untuk memperlihatkan bahwa kelainan refraksi ditentukan secara genetik. Anak dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia. Hal ini cenderung mengikuti pola dose-dependent pattern. Prevalensi miopia pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, berkurang sampai 18,2% pada anak dengan salah satu orang tua yang miopia dan kurang dari 6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia (Mutti, 2002). Sekarang ini, adanya lokus genetik telah dibuktikan berhubungan dengan miopia patologi (Tsai, 2007). Dari penelitian lain didapatkan bahwa orang yang mempunyai polimorfisme gen PAX6 akan mengalami miopia tinggi (10 D), sedangkan orang yang tidak mempunyai gen ini hanya mengalami miopia tinggi (6-10 D) dengan sampel merupakan mahasiswa kedokteran tahun pertama di Universitas Kedokteran Chung Shan, Taiwan. Penelitian di Australia terhadap anak kembar yang mengalami miopia juga menunjukan 50% faktor genetik mempengaruhi pemanjangan aksis bola mata (Dirani, 2008).Peneliti lain mengungkapkan bahwa prevalensi miopia sekarang ini secara dominan karena perbedaan lingkungan, bukan karena genetik. Peneliti Australia membandingkan gaya hidup 124 anak dari etnis Cina yang tinggal di Sidney, dengan 628 anak dari etnis yang sama di Singapura. Bila dibandingkan antara anak yang mengalami miopia di Singapura (29%), hanya 3,3% anak-anak di Sidney yang menderita miopia. Padahal, anak-anak di Sidney membaca lebih banyak buku tiap minggu dan melakukan aktivitas dalam jarak dekat lebih lama dari pada anak di Singapura. Tetapi, anak-anak di Sidney juga menghabiskan waktu di luar rumah lebih lama (13,75 jam per minggu) dibandingkan dengan anak anak di Singapura (3,05). Hal ini adalah faktor yang paling signifikan berhubungan dengan miopia antara kedua grup (McCredie, 2008).Tingkat pendidikan juga sering digunakan untuk menghubungkan lamanya waktu bekerja dalam jarak dekat dengan miopia. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung lebih banyak mengalami miopia (Wensor, 2009). Penelitian croos sectional di Yunani menunjukan prevalensi miopia yang meningkat pada orang yang memiliki pendidikan tinggi (Konstantopoulos, 2008). Sedangkan penelitian yang dilakukan pada komunitas nelayan Hong Kong menunjukan bahwa miopia lebih sering terjadi pada subjek yang bersekolah, dengan resiko terbesar pada anak-anak yang masuk sekolah pada umur yang lebih muda dan anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya pada membaca dan menulis (Wong, 1992). Peneliti di Singapura mengamati bahwa anak yang menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton TV, bermain video game dan menggunakan komputer lebih banyak mengalami miopia (Guggenheim, 2007).Anak-anak dengan miopia menggunakan waktu yang lebih lama untuk belajar dan membaca serta kurang waktu untuk olahraga daripada anak-anak normal (Donald dkk, 2002). Sekitar 23.7% anak-anak dengan kedua orang tua menderita miopia dan membaca lebih dari dua buku dalam satu minggu mempunyai mata dengan panjang aksial 0.7 mm (miopia berat) berbanding 2.5% anak-anak tanpa kedua orang tua menderita miopia dan membaca dua atau kurang buku dalam satu minggu (Saw dkk, 2002). Selain itu, anak-anak yang banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas luar mempunyai risiko yang rendah terkena miopia (Donald dkk, 2009).Berdasarkan data-data diatas dapat diketahui bahwa pengaruh riwayat miopi di keluarga dengan lamanya aktivitas jarak dekat terhadap miopia belum sepenuhnya dapat dibuktikan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara riwayat miopia di keluarga dan lama aktivitas jarak dekat terhadap penyakit miopia. Untuk melihat hubungan ini penulis melakukan penelitian di SMAN 2 Surabaya dengan sampel siswa SMAN 2 Surabaya.

B. Rumusan MasalahDari uraian diatas didapati uraian masalah sebagai berikut:1. Adakah hubungan antara riwayat miopia di keluarga terhadap penyakit miopia pada siswa SMAN 2 Surabaya?2. Adakah hubungan antara lamanya aktivitas jarak dekat terhadap penyakit miopia pada siswa SMAN 2 Surabaya?

C. Tujuan Penelitian1. Tujuan umumUntuk mengetahui hubungan riwayat miopia di keluarga dan lamanya aktivitas jarak dekat terhadap penyakit miopia pada siswa SMAN 2 Surabaya.2. Tujuan khususa. Mengetahui hubungan antara riwayat miopia di keluarga terhadap penyakit miopia pada siswa SMAN 2 Surabaya.b. Mengetahui hubungan antara lamanya aktivitas jarak dekat terhadap penyakit miopia pada siswa SMAN 2 Surabaya.

D. Manfaat Hasil Penelitian1. Manfaat untuk Ilmu PengetahuanHasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data penunjang pada penelitian yang sejenis.

2. Manfaat untuk PenelitiPeneliti dapat menerapkan pengetahuan tentang community research program, sehingga dapat menambah kemampuan peneliti untuk melakukan penelitian.3. Manfaat untuk MasyarakatMemberikan informasi tentang hubungan riwayat miopia di keluarga dan lamanya aktivitas jarak dekat terhadap penyakit miopia, sehingga dapat dilakukan pencegahan agar tidak terjadi miopia atau tidak memperburuk kondisi miopia.

1