77892304-arthritis-rheumatoid-juvenil.docx
TRANSCRIPT
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI SENDI
Sendi merupakan tempat pertemuan dua atau lebih tulang, dimana pertemuan
tersebut memungkinkan terjadinya gerakan pada manusia. Sendi dapat dibagi menjadi
tiga tipe, yaitu: (1) sendi fibrosa dimana tidak terdapat lapisan kartilago, antara tulang
dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa, dan dibagi menjadi dua subtipe yaitu
sutura dan sindemosis; (2) sendi kartilaginosa dimana ujungnya dibungkus oleh
kartilago hialin, disokong oleh ligamen, sedikit pergerakan, dan dibagi menjadi
subtipe yaitu sinkondrosis dan simpisis; dan (3) sendi sinovial.1
Gambar 2.1 Anatomi sendi synovial
Sumber : http://www.orthspec.com/knee_anatomy.htm
Sendi sinovial merupakan sendi yang dapat mengalami pergerakan, memiliki
rongga sendi dan permukaan sendinya dilapisi oleh kartilago hialin. Kapsul sendi
membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi, tidak meluas tetapi terlipat
2
sehingga dapat bergerak penuh. Sinovium menghasilkan cairan sinovial yang
berwarna kekuningan, bening, tidak membeku, dan mengandung lekosit. Asam
hialuronidase bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan disintesis oleh
pembungkus sinovial. Cairan sinovial mempunyai fungsi sebagai sumber nutrisi bagi
rawan sendi. 1,2
Jenis sendi sinovial : (1) Ginglimus : fleksi dan ekstensi, monoaxis ; (2)
Selaris : fleksi dan ekstensi, abd & add, biaxila ; (3) Globoid : fleksi dan ekstensi, abd
& add; rotasi biaxial ; (4) Trochoid : rotasi, mono aksis ; (5) Elipsoid : fleksi,
ekstensi, lateral fleksi, sirkumfleksi, multi axis. Secara fisiologis sendi yang dilumasi
cairan sinovial pada saat bergerak terjadi tekanan yang mengakibatkan cairan
bergeser ke tekanan yang lebih kecil. Sejalan dengan gerakan ke depan, cairan
bergeser mendahului beban ketika tekanan berkurang cairan kembali ke belakang.
3
BAB III
ARTRITIS RHEUMATOID JUVENIL
3.1 DEFINISI
JRA adalah penyakit atau kelompok penyakit yang ditandai dengan
sinovitis kronis dan disertai dengan sejumlah manifestasi ekstra-artikuler.
JRA adalah salah satu penyakit Reumatoid yang paling sering pada anak, dan
merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan kecacatan. Ditandai
dengan kelainan karakteristik yaitu sinovitis idiopatik dari sendi kecil, disertai
dengan pembengkakan dan efusi sendi. 2,3
Gambar 3.1 Gambaran Sendi pada ARJ
Sumber : http://www.ehow.com/about_4613621_who-discovered-rheumatoid-arthritis.html
4
Ada 3 tipe JRA menurut awal penyakitnya yaitu: Oligoartritis
(pauciarticular disease), poliartritis, dan sistemik. Arthritis Rheumatoid
Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur di
bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan
peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6
minggu dengan eksklusi kausa lain.
Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya
dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut Kriteria American
Rheumatism Association (ARA) ARJ merupakan penyakit reumatik yang
termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri dari beberapa
penyakit. Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini.
Istilah ARJ lebih banyak dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang
digunakan untuk menyebut arthritis pada anak usia dibawah 16 tahun yang
tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rematoid
karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga
yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah
arthritis kronik juvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa).4
3.2 EPIDEMIOLOGI 2,3,4
ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak,
insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan
penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis kronik, 20%
dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ
yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi
ARJ dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun.
5
ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak
sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor
suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ, di Amerika, suku Afrika
dibandingkan dengan suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena. Di AS
Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang
lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artritis, dengan RF positif.
3.3 ETIOLOGI
Penyebab artritis reumatoid dan mekanisme untuk pengekalan radang
sinovial kronis belum diketahui. Ada dua hipotesis yaitu, bahwa penyakit
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yang tidak dikenali atau bahwa
penyakit tersebut menggambarkan reaksi hipersensitivitas atau autoimun
terhadap rangsangan yang tidak diketahui. Upaya untuk mengkaitkan agen
infeksi seperti virus rubela pada JRA tetap tak tersimpulkan. Infeksi dengan
Borrelia burgdorferi , spirokheta penyakit Lyme, menyebabkan pausiartritis
berulang atau kronis pada beberapa anak tetapi bukan merupakan agen
etiologi dari JRA pausiartikuler. Parvovirus B19 dan mikoplasma juga telah
dihubungkan dengan artritis, pada anak. hubungan faktor reumatoid (antibodi
reaktif dengan IgG) dengan artritis reumatoid yang timbul pada orang dewasa
memberi kesan mekanisme autoimun. Namun, antibodi ini jelas tidak
menimbulkan penyakit, walaupun kompleks imun faktor reumatoid dan
imunoglobulin dapat mengekalkan peradangan sinovia dan menimbulkan
vaskulitis reumatoid yang ditermukan pada penderita artritis reumatoid
seropositif. 3,4
Kadar komplemen yang rendah terdapat pada cairan sinovia beberapa
penderita vaskulitis reumatoid sesuai dengan mekanisme kompleks imun.
6
Namun mekanisme ini gagal menjelaskan sebagian besar keadaan artritis pada
anak, karena sebagian besar anak tidak mempunyai faktor reumatoid klasik.
Upaya untuk mengaitkan faktor reumatoid tersembunyi (antibodi yang reaktif
dengan gammaglobulin yang dideteksi melalui berbagai macam metode)
dengan patogenesis JRA tidak memberikan kesimpulan. Kejadian artritis
kronis pada penderita defisiensi IgA dan hipogammaglobulinemia memberi
kesan bahwa bagaimanapun untuk menderita artritis kronis, namun, pada anak
JRA, tidak ada imunodefisiensi yang dapat dikenali (identifiable) yang dapat
dideteksi. Timbulnya JRA secara klinis dapat menyertai infeksi sistemik akut
atau trauma fisik pada sendi, tetapi kaitan langsung dengan kejadian demikian
tidak terbukti. Eksaserbasi dapat menyertai penyakit atau stres psikis yang
datang diantaranya.
Penyakit pausiartikuler tipe II seringkali disertai riwayat keluarga yang
positif dengan spondilitis ankilosis, sindrom Reiter, iridosiklitis akut, atau
pausiartikuler. Baik JRA pausiartikuler tipe I maupun poliartritis faktor
reumatoid positif kadang kadang terjadi pada satu atau lebih keluarga tingkat
pertama dari anak yang terkena. Setiap subkelompok ini mempunyai
hubungan HLA yang berbeda, menunjukkan beberapa kecenderungan genetik
terhadap penyakit; penyakit pausiartikuler tipe II dengan HLA-B27, penyakit
pausiartikuler tipe I dengan HLA-DR28, -DR5, dan –DR6, dan penyakit
faktor reumatoid-positif dengan HLA-DR4. tidak ada penyakit yang timbul
secara sistemik atau poliartritis seronegatif, yang diketahui mempunyai
hubungan HLA atau kejadian familial.
Dari keseluruhan hipotesa, saat ini ARJ sendiri diduga terjadi karena
respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di
lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi.
7
3.4 PATOFISIOLOGI 3,4,5
Dalam patofisiologi JRA, setidak-tidaknya ada 2 hal yang perlu
diperhitungkan yaitu hipereaktifitas yang berhubungan dengan HLA dan
pencetus lingkungan yang kemungkinannya adalah virus. Penyebab gejala
klinis ARJ antara lain infeksi autoimun, trauma, stres, serta faktor
imunogenetik. Pada ARJ sistem imun tidak bisa membedakan antigen diri.
Antigen pada ARJ adalah sinovia persendian. Hal ini terjadi karena genetik,
kelainan sel T supresor, reaksi silang antigen, atau perubahan struktur antigen
diri. Peranan sel T dimungkinkan karena adanya HLA tertentu. HLA-DR4
menyebabkan tipe poliartikuler, HLA-DR5 dan HLA-DR8, HLA-B27
menyebabkan pauciartikuler. Virus dianggap sebagai penyebab terjadinya
perubahan struktur antigen diri ini. Tampaknya ada hubungan antara infeksi
virus hepatitis B, virus Eipstein Barr, imunisasi Rubella, dan mikoplasma
dengan ARJ.
Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi
sinovia. Tahap berikutnya terjadi sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia
mengisi rongga sendi. Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah
netrofil, setelah itu limfosit, makrofag dan sel plasma. Pada tahap ini sel
plasma memproduksi terutama IgG dan sedikit IgM, yang bertindak sebagai
faktor rheumatoid yaitu IgM anti IgG. Belakangan terbukti bahwa anti IgG ini
jaga bisa dari klas IgG. Reaksi antigen-antibodi menimbulkan kompleks imun
yang mengaktifkan sistem komplemen dengan akibat timbulnya bahan-bahan
biologis aktif yang menimbulkan reaksi inflamasi. Inflamasi juga ditimbulkan
oleh sitokin, reaksi seluler, yang menimbulkan proliferasi dan kerusakan
sinovia. Sitokin yang paling berperan adalah IL-18, bersama sitokin yang lain
8
IL-12, IL-15 menyebabkan respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya
produksi monokin dan kerusakan karena inflamasi berlanjut.
Gambar 3.2 Respon Inflamasi
Sumber : http://www.ehow.com/about_4613621_who-discovered-rheumatoid-arthritis.html
Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol
disebabkan respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang
rawan ligamen, tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh
produk enzim, pembentukan jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan
sinovia dapat mengeluarkan sitokin, kolagenase, prostaglandin dan
plasminogen yang mengaktifkan sistem kalokrein dan kinin-bradikinin.
Prosraglandin E2 (PGE2) merupakan mediator inflamasi dari derivat asam
arakidonat, menyebabkan nyeri dan kerusakan jaringan. Produk-produk ini
akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut seperti yang terlihat pada Artritis
Reumatoid Kronik.
Seperti yang telah dijabarkan diatas arthritis reumatoid ditandai
dengan peradangan sinovial kronis yang non supuratif. Jaringan sinovial yang
9
terkena edematosa, hiperemis, dan infiltrasi oleh limfosit dan sel plasma.
Bertambahnya sekresi cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari
membran sinovialis yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam
ruang sendi; reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat menyebar dan
melekat pada kartilago artikuler. Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial
yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur sendi lainnya dapat
tererosi dan rusak secara progresif. Lamanya sinovitis sebelum sendi menjadi
rusak secara permanen, bervariasi pada umumnya, kerusakan kartilago
artikuler terakhir dalam perjalanan JRA terjadi lebih belakangan daripada
penyakit yang mulai timbul saat dewasa, dan banyak anak menderita JRA
tidak pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama.
Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan penyakit faktor
reumatoid positif atau penyakit yang timbul atau dimulai secara sistemik. Bila
penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang subkhondral,
penyempitan “ruang sendi” (kehilangan kartilago artikulera), penghancuran
atau fusi tulang, dan deformitas, subluksasio atau ankilosis persendian.
Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis,
perumbuhan epifiseal yang dipercepat, dan penutupan epifiseal yang prematur
dapat terjadi dekat dengan sendi yang terkena.
Nodul reumatoid kurang sering terjadi pada anak daripada orang
dewasa, terutama pada penyakit reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan
fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pleura, perikardium, dan
peritoneum dapat menampakkan serositis fibrinosa nonspesifik; yang jarang
yaitu perikarditis konstriktif kronis, jika pernah terjadi. Ruam reumatoid
secara histologi tampak seperti vaskulitis ringan, dengan sedikit sel radang
yang mengelilingi pembuluh darah kecil pada jaringan subepitel.
10
3.5 KLASIFIKASI 3,6
Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya
dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American
Rheumatism Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan
penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat
yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.
Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi
menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan
telah direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan
tahun 1995. Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi
dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi
selama 6 bulan.
Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai
bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.
Pausiartikular (Oligoartritis) ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤
4 sendi
Poliartikular (Poliartritis) ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5
3.6 DIAGNOSIS
Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering
terjadi pada umur 1-3 tahun. Gejala klinis utama yang secara objektif terlihat
adalah artritis. Sendi yang terkena terasa hangat pada palpasi, namun biasanya
tidak terlihat eritema. Secara klinis arthritis ditegakan dengan menemukan
11
salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau dengan
menemukan paling sedikit dua gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi
yang terbatas, nyeri pada pergerakan dan panas. Rasa nyeri atau nyeri pada
pergerakan seperti yang telah dijabarkan diatas, kurang menonjol
dibandingkan kekakuan sendi terutama di pagi hari.3
Gambar 3.3 Gejala Klinis ARJ
Sumber : http://www.netterimages.com/image/2456.htm
Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah
sendi yang terkena pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan
mengidap ARJ awitan – sistemik apabila awitan penyakit disertai oleh demam
tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 39oC) sampai selama 2 minggu dan
(biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak demam tanpa
dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ
pausiartikular atau oligoartritis, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan
pertama, penyakit poliartikular melibatkan lima atau lebih sendi. Masing-
masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat deskriptif, memperlihatkan
perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.
12
ARJ Sistemik (Penyakit Still) 4,5,7
Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding
dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur
dibawah 4 tahun. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan
ARJ, tetapi pasien biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat
perawatan tersier. Subtipe ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan
pada semua kelompok usia, pada orang dewasa penyakit ini disebut sebagai
“penyakit Still awitan-dewasa”. Sementara sebagian anak memang
memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat awitan, pasien
umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai ruam-
ruam yang cepat menghilang.
Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang
tidak diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari
atau dua kali sehari, sering melonjak hingga 49 sampai 41oC pada sore hari;
suhu sering menurun cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam
sering disertai oleh ruam macular berwarna salem yang cepat menghilang,
terutama timbul dibadan dan sebelah dalam paha. Tiap-tiap macula tidak
kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam
sering memperlihatkan fenomena koebner, yaitu kemampuan memicu
timbulnya lesi dengan menggosok kulit secara lembut.
Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup
besar, mereka sering mengeluh artralgia dan mialgia yang parah (Rudolf)
Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali.
Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada tiga per empat
kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya
13
didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung
beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit. Sendi yang
sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-
jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya
menunjukkan leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia
non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar
feritin yang tinggi. Jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan
komplikasi KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan
50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25% dengan gambaran erosi pada
sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan
sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.
Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul
temuan sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan
berkurang secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi
poliartikular. Yang lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi
secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa
dewasa, tetapi diantara serangan mereka mungkin terdapat massa normal.
Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah,
pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk
menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit
dan demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal
penyakit, meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan
untuk waktu yang lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun
pada beberapa anak yang terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa
peringatan sebelumnya, atau setelah infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan
anak dengan ARJ tipe sistemik dapat diobati dengan obat-obatan dalam
14
sebulan hingga setahun, untuk mengontrol perkembangan dari keduanya baik
arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti demam, ruam, anemia, dll.
Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe sistemik, sehingga
mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.
Oligoartritis / Pausi-artikuler
Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan “sedikit
sendi”, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari
anak-anak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu
sisi sendi dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi
sering pada dua, tiga, sampai empat sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering
ditemukan mengenai sendi besar, paling banyak mengenai lutut, pergelangan
kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi kecil, jemari tangan, sendi ibu jari.
Sebanyak 40 – 70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak
perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis
kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok
arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang
adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih
sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.
Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai
dengan arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan.
Sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan.
Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan
artikuler maupun periartikuler dan uveitis kronis. Sejumlah kecil anak yang
menderita penyakit ini (8%) akan mengalami bentuk poliartikular dengan
15
prognosis serupa ARJ poliartikular. Namun sebagian lagi menunjukkan
kinerja yang baik dalam kaitanya dengan fungsi sendi.
Dibagi juga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan
dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai
peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus
di tes ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak
tersebut memiliki resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA
mengindikasikan resiko tinggi terkena peradangan mata. Yang perlu
diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya kerusakan mungkin tidak
nampak pada anak. Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki
diatas 8 tahun. Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi
sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang terdiagnosis
dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil positif ANA dan usianya
dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena uveitis kronis.Mata
mereka harus diperiksa setiap 3 bulan, untuk beberapa tahun. Adapun
penilaian kemungkinan komplikasi uveitis tergambar dalam algoritma berikut.
Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan,
gambaran artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang
perempuan umur 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan,
RF bisa positif maupun negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih
muda dan lebih responsif terhadap pemberian terapi NSAID konvensional.
Anak dengan ARJ poliartikular mungkin memperlihatkan beberapa gambaran
sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang tampak pada penyakit awitan
sistemik.
16
Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia,
uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik
pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang
hanya pada beberapa sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi
poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan
subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda
ditandai dengan erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstraartikuler
jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF negative hanya terdapat
5%.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa ARJ dapat ditegakan secara klinis, beberapa pemeriksaan
imunologis tertentu dapat menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak
ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ARJ.4
Laboratorium3
Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis.
Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid
(RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih
sempurna. Biasanya ditemukan anemia ringan atau sedang dengan
kadar Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.
Hitung trombosit dapat meningkat hebat terdapat pada tipe
poliartritis dan sistemik berat, seringkali dipakai sebagai petanda
reaktifasi atau kekambuhan penyakit. Peningkatan LED dan CRP,
gamma globulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif dan sesuai
dengan peningkatan aktivitas penyakit. Beberapa peneliti
17
mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas
penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ
dan berbeda dengan arthritis rheumatoid pada orang dewasa,
sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar
dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan
pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada
anak. Bila positif , sering kali pada ARJ tipe poliartritis, anak yang
lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang
buruk. Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada
dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-
anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.
Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ
dan lebih berarti dibanding pada SLE. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda terutama pada tipe oligoartritis dengan
komplikasi uveitis. Oleh karena itu, pemeriksaan ANA perlu
dilakukan untuk mengetahui risiko setiap pasien ARJ terhadap
kemungkinan uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa
HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi
spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di
Australia.
Radiologis3
Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui
seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu.
18
Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah
pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi,
osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang
baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun)
dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang
rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan
tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun
dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.
Gambar 3.4 Gambaran Radiografi ARJ
Sumber : http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/msk/teaching-
materials/online-musculoskeletal-radiology-book/skeletal-dysplasias
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat
berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang
panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan
Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut
mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang
19
memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan
c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian
secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto
Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau
manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen
biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini
melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida
ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan
hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat
pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi
secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk
mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi
yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul
dan bahu.
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan
menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa
dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan
gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan
sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi
dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen,
pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi
jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat
menilai progresifitas penyakit.
Pemeriksaan MRI danatau ultrasonografi dapat digunakan
dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada
atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang.
20
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi,
bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya
terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran
ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah
pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya
setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan
penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan
terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat
ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter
tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini
terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan
Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya
fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara
bertahap bergabung ke dalam metafisis.
Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut American College of
Rheumatology (ACR) : 6
1. Usia penderita kurang dari 16 tahun.
2. Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau
terdapat dua atau lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada
pergerakan, suhu daerah sendi naik).
3. Lama sakit lebih dari 6 minggu.
4. Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari :
a. Poliartritis (5 sendi atau lebih)
b. Oligoartritis (4 sendi atau lebih)
c. Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten
5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan
21
Walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang
menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam
reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal,
nodul reumatoid, tenosinovitis.
3.7 PENATALAKSANAAN
Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah
mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas
hidup. Garis besar pengobatan Meliputi 4,5:
1. Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat;
Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan;
Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan
lingkungan;
2. Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan
Naproksen;
3. Obat steroid intra-artikuler;
4. Perawatan Rumah Sakit dan
5. Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.
Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan
pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta
rentang gerakan (range of motion), mengatasi komplikasi sistemik,
memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu
pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan
mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan
kerja, pekerja sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.
22
Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.
Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu
mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan
mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah
farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak
kalah penting.
Mengontrol Nyeri
Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat
kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri.
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak
dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik
dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak.
Obat ini menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe
oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap
pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua. Efek samping
yang sering dijumpai antara lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati,
ginjal dan gastrointestinal. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka
dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali.
Macam OAINS yang sering digunakan: (1) Penggunaan aspirin
sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya
peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan
transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus
siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih
dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit,
sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan.
23
Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi
lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang
biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian,
diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis
tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk
anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus
sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang. (2) Tolmetin 25
mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis, (3) Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam
2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa
ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai
dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut. (4)
Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis, (4) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari
terbagi dalam 2 dosis.
DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)
Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut: (1)
Hidroksiklorokuin: 4-6 mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai
imunomodilator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi
retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna, dan
supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 – 75%, (2)
Preparat emas oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat
ditingkatkan 0,75 – 1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-
sum tulang dan ginjal, (3) Obat-obat sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan
efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50mg/Kg/hari sampai.
Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat (MTX):
Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan
24
jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh
karena efek sampingnya lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek
samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal,
supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat
tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol dan
mengurangi obat-obatan hepatotoksik. (4) Glukokortikoid, baik untuk
mengontrol gejala sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang
dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang
berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk arthritis yang tidak terlalu
banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya
diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30
mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan
imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.
Pengobatan ARJ kadang-kadang memerlukan waktu cukup lama
sehingga menimbulkan keputusasaan dan ketidakpercayaan pada penderita
maupun orang tuanya. DMRAIDs akan memperpendek perjalanan penyakit
dan masa rawat inap. Obat-obat ini hanya boleh diberikan pada poliartritis
progresif yang tidak responsif terhadap Asam Asetil Salisilat Tabel 4
menunujukkan DMRAIDs, efek samping dan pemantauannya.
Tabel 2. : Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs
DMRAIDs Efek Samping Pemantauan
Hidroksiklorokuin Retinopati Cek Ophtalmologi
Prednison Gangguan pertumbuhan, penekanan poros
HPA
Kadar Cortisol
Garam emas Supresi sumum tulang Cek Hematologi
25
Penisilamin Lupus Eritematosus medikamentosa,
Sindroma nefrotik
Hematologi
Sufasalazin Nausea vomiting, Hemolitik anemi, supresi
sumsum tulang
Hematologi
Metotreksat Supresi sumsum tulang, hepatotoksik Hematologi, LFT
Siklofosfamid Supresi susum tulang Hematologi
Azatioprin Supresi sumsum tulang, hepatotoksik Hematologi, LFT
Biologic Response Modifiers
Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen
biologik yang berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF),
sehingga akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses
inflamasi. Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan
efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan
terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data
dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji
tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil
negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB
subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-
96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik AINS atau
metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan
dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam
infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8
minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal
etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau
usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan
26
dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak
dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.
Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset
poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada
sebuah studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak
manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam
dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan
untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga
melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam. Adapun
pemberian terapi pada ARJ tergambar dalam algoritma berikut.
27
Fisioterapi
Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain:
mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin,
hidroterapi dan TENS. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi
berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna
memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus
dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat
membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna mempertahankan
fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.
Pengelolaan nutrisi
Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi
malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan
menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain
faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan
nafsu makan . Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain
OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya
keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet pada anak sangatlah
kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena
pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan
kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10
tahun.
28
3.8 KOMPLIKASI 3,7
Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan
perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada
mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat
pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya
berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek
pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus
atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya
pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau
ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi dapat
memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.
Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai
komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis
mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya
yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti
depresi, ansietas dan masalah di sekolah.
Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis
sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal.
Uveitis merupakan penyakit peradangan pada mata,merupakan keadaan serius
dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau lebih dari tiga bagian yang
membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini diperkirakan 10-
15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat mengenai
kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis
adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya
meninggalkan sisa, atau episode pengulangan dari peradangan, ini dapat
29
mengenai jaringan dan kebutaan. Adapun algoritma pemeriksaan komplikasi
uveitis pada ARJ :
Gambar 3.5 Iridosiklitis Sebagai Komplikasi ARJ
Sumber : http://www.netterimages.com/image/7507.htm
30
3.9 PROGNOSIS
Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat
banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe
sistremik arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi,
dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe
poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi sendi.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: (1) tipe
sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama, (2) Poliartritis, (3) Perempuan, (4)
Faktor rheumatoid positif, (5) Kaku sendi yang persisten, (6) Tenosinovitis,
(7) Nodul Subkutan, (8) Tes ANA +, (9) Artritis pada jari tangan dan kaki
pada awal penyakit, (10) erosi yang progresif, (11) Pausiartikuler tipe eksten
Prognosis sangat ditentukan dari tipe onset penyakitnya
Tipe Onset Subtipe Klinis Prognosis
Poliartritis RF+
Wanita
Usia lebih tua
Tangan/pergelangan
Erosi sendi
Nodul
Non remisi
Buruk
31
ANA+
Seronegatif
Wanita
Usia muda
-
Baik
Tidak tentu
Oligoartritis ANA+
RF+
HLA-B27+
Seronegatif
Wanita
Usia muda
Uveitis
Poliartritis
Erosi
Non Remisi
Laki-laki
-
Sangat baik
Kurang baik
Buruk
Baik
Baik
Sekitar 70-90% penderita ARJ sembuh tanpa cacat, 10% menderita
cacat sampai dewasa, sebagaian diantaranya akan berkembang menjadi bentuk
dewasa disertai kecacatan.
32