77892304-arthritis-rheumatoid-juvenil.docx

49
BAB II ANATOMI FISIOLOGI SENDI Sendi merupakan tempat pertemuan dua atau lebih tulang, dimana pertemuan tersebut memungkinkan terjadinya gerakan pada manusia. Sendi dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) sendi fibrosa dimana tidak terdapat lapisan kartilago, antara tulang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa, dan dibagi menjadi dua subtipe yaitu sutura dan sindemosis; (2) sendi kartilaginosa dimana ujungnya dibungkus oleh kartilago hialin, disokong oleh ligamen, sedikit pergerakan, dan dibagi menjadi subtipe yaitu sinkondrosis dan simpisis; dan (3) sendi sinovial. 1 2

Upload: rhendy-irono

Post on 31-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB II

ANATOMI FISIOLOGI SENDI

Sendi merupakan tempat pertemuan dua atau lebih tulang, dimana pertemuan

tersebut memungkinkan terjadinya gerakan pada manusia. Sendi dapat dibagi menjadi

tiga tipe, yaitu: (1) sendi fibrosa dimana tidak terdapat lapisan kartilago, antara tulang

dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa, dan dibagi menjadi dua subtipe yaitu

sutura dan sindemosis; (2) sendi kartilaginosa dimana ujungnya dibungkus oleh

kartilago hialin, disokong oleh ligamen, sedikit pergerakan, dan dibagi menjadi

subtipe yaitu sinkondrosis dan simpisis; dan (3) sendi sinovial.1

Gambar 2.1 Anatomi sendi synovial

Sumber : http://www.orthspec.com/knee_anatomy.htm

Sendi sinovial merupakan sendi yang dapat mengalami pergerakan, memiliki

rongga sendi dan permukaan sendinya dilapisi oleh kartilago hialin. Kapsul sendi

membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi, tidak meluas tetapi terlipat

2

sehingga dapat bergerak penuh. Sinovium menghasilkan cairan sinovial yang

berwarna kekuningan, bening, tidak membeku, dan mengandung lekosit. Asam

hialuronidase bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan disintesis oleh

pembungkus sinovial. Cairan sinovial mempunyai fungsi sebagai sumber nutrisi bagi

rawan sendi. 1,2

Jenis sendi sinovial : (1) Ginglimus : fleksi dan ekstensi, monoaxis ; (2)

Selaris : fleksi dan ekstensi, abd & add, biaxila ; (3) Globoid : fleksi dan ekstensi, abd

& add; rotasi biaxial ; (4) Trochoid : rotasi, mono aksis ; (5) Elipsoid : fleksi,

ekstensi, lateral fleksi, sirkumfleksi, multi axis. Secara fisiologis sendi yang dilumasi

cairan sinovial pada saat bergerak terjadi tekanan yang mengakibatkan cairan

bergeser ke tekanan yang lebih kecil. Sejalan dengan gerakan ke depan, cairan

bergeser mendahului beban ketika tekanan berkurang cairan kembali ke belakang.

3

BAB III

ARTRITIS RHEUMATOID JUVENIL

3.1 DEFINISI

JRA adalah penyakit atau kelompok penyakit yang ditandai dengan

sinovitis kronis dan disertai dengan sejumlah manifestasi ekstra-artikuler.

JRA adalah salah satu penyakit Reumatoid yang paling sering pada anak, dan

merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan kecacatan. Ditandai

dengan kelainan karakteristik yaitu sinovitis idiopatik dari sendi kecil, disertai

dengan pembengkakan dan efusi sendi. 2,3

Gambar 3.1 Gambaran Sendi pada ARJ

Sumber : http://www.ehow.com/about_4613621_who-discovered-rheumatoid-arthritis.html

4

Ada 3 tipe JRA menurut awal penyakitnya yaitu: Oligoartritis

(pauciarticular disease), poliartritis, dan sistemik. Arthritis Rheumatoid

Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur di

bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan

peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6

minggu dengan eksklusi kausa lain.

Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya

dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut Kriteria American

Rheumatism Association (ARA) ARJ merupakan penyakit reumatik yang

termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri dari beberapa

penyakit. Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini.

Istilah ARJ lebih banyak dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang

digunakan untuk menyebut arthritis pada anak usia dibawah 16 tahun yang

tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rematoid

karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga

yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah

arthritis kronik juvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa).4

3.2 EPIDEMIOLOGI 2,3,4

ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak,

insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan

penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis kronik, 20%

dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ

yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi

ARJ dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun.

5

ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak

sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor

suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ, di Amerika, suku Afrika

dibandingkan dengan suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena. Di AS

Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang

lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artritis, dengan RF positif.

3.3 ETIOLOGI

Penyebab artritis reumatoid dan mekanisme untuk pengekalan radang

sinovial kronis belum diketahui. Ada dua hipotesis yaitu, bahwa penyakit

disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yang tidak dikenali atau bahwa

penyakit tersebut menggambarkan reaksi hipersensitivitas atau autoimun

terhadap rangsangan yang tidak diketahui. Upaya untuk mengkaitkan agen

infeksi seperti virus rubela pada JRA tetap tak tersimpulkan. Infeksi dengan

Borrelia burgdorferi , spirokheta penyakit Lyme, menyebabkan pausiartritis

berulang atau kronis pada beberapa anak tetapi bukan merupakan agen

etiologi dari JRA pausiartikuler. Parvovirus B19 dan mikoplasma juga telah

dihubungkan dengan artritis, pada anak. hubungan faktor reumatoid (antibodi

reaktif dengan IgG) dengan artritis reumatoid yang timbul pada orang dewasa

memberi kesan mekanisme autoimun. Namun, antibodi ini jelas tidak

menimbulkan penyakit, walaupun kompleks imun faktor reumatoid dan

imunoglobulin dapat mengekalkan peradangan sinovia dan menimbulkan

vaskulitis reumatoid yang ditermukan pada penderita artritis reumatoid

seropositif. 3,4

Kadar komplemen yang rendah terdapat pada cairan sinovia beberapa

penderita vaskulitis reumatoid sesuai dengan mekanisme kompleks imun.

6

Namun mekanisme ini gagal menjelaskan sebagian besar keadaan artritis pada

anak, karena sebagian besar anak tidak mempunyai faktor reumatoid klasik.

Upaya untuk mengaitkan faktor reumatoid tersembunyi (antibodi yang reaktif

dengan gammaglobulin yang dideteksi melalui berbagai macam metode)

dengan patogenesis JRA tidak memberikan kesimpulan. Kejadian artritis

kronis pada penderita defisiensi IgA dan hipogammaglobulinemia memberi

kesan bahwa bagaimanapun untuk menderita artritis kronis, namun, pada anak

JRA, tidak ada imunodefisiensi yang dapat dikenali (identifiable) yang dapat

dideteksi. Timbulnya JRA secara klinis dapat menyertai infeksi sistemik akut

atau trauma fisik pada sendi, tetapi kaitan langsung dengan kejadian demikian

tidak terbukti. Eksaserbasi dapat menyertai penyakit atau stres psikis yang

datang diantaranya.

Penyakit pausiartikuler tipe II seringkali disertai riwayat keluarga yang

positif dengan spondilitis ankilosis, sindrom Reiter, iridosiklitis akut, atau

pausiartikuler. Baik JRA pausiartikuler tipe I maupun poliartritis faktor

reumatoid positif kadang kadang terjadi pada satu atau lebih keluarga tingkat

pertama dari anak yang terkena. Setiap subkelompok ini mempunyai

hubungan HLA yang berbeda, menunjukkan beberapa kecenderungan genetik

terhadap penyakit; penyakit pausiartikuler tipe II dengan HLA-B27, penyakit

pausiartikuler tipe I dengan HLA-DR28, -DR5, dan –DR6, dan penyakit

faktor reumatoid-positif dengan HLA-DR4. tidak ada penyakit yang timbul

secara sistemik atau poliartritis seronegatif, yang diketahui mempunyai

hubungan HLA atau kejadian familial.

Dari keseluruhan hipotesa, saat ini ARJ sendiri diduga terjadi karena

respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di

lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi.

7

3.4 PATOFISIOLOGI 3,4,5

Dalam patofisiologi JRA, setidak-tidaknya ada 2 hal yang perlu

diperhitungkan yaitu hipereaktifitas yang berhubungan dengan HLA dan

pencetus lingkungan yang kemungkinannya adalah virus. Penyebab gejala

klinis ARJ antara lain infeksi autoimun, trauma, stres, serta faktor

imunogenetik. Pada ARJ sistem imun tidak bisa membedakan antigen diri.

Antigen pada ARJ adalah sinovia persendian. Hal ini terjadi karena genetik,

kelainan sel T supresor, reaksi silang antigen, atau perubahan struktur antigen

diri. Peranan sel T  dimungkinkan karena adanya HLA tertentu. HLA-DR4

menyebabkan tipe poliartikuler, HLA-DR5 dan HLA-DR8, HLA-B27

menyebabkan pauciartikuler. Virus dianggap sebagai penyebab terjadinya

perubahan struktur antigen diri ini. Tampaknya ada hubungan antara infeksi

virus hepatitis B, virus Eipstein Barr, imunisasi Rubella, dan mikoplasma

dengan ARJ. 

Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi

sinovia. Tahap berikutnya terjadi  sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia

mengisi rongga sendi. Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah

netrofil, setelah itu limfosit, makrofag dan sel plasma. Pada tahap ini sel

plasma memproduksi terutama IgG dan sedikit IgM, yang bertindak sebagai

faktor rheumatoid yaitu IgM anti IgG. Belakangan terbukti bahwa anti IgG ini

jaga bisa dari klas IgG. Reaksi antigen-antibodi menimbulkan kompleks imun

yang mengaktifkan sistem komplemen dengan akibat timbulnya bahan-bahan

biologis aktif yang menimbulkan reaksi  inflamasi. Inflamasi juga ditimbulkan

oleh sitokin, reaksi seluler, yang menimbulkan proliferasi dan kerusakan

sinovia. Sitokin yang paling berperan adalah IL-18, bersama sitokin yang lain

8

IL-12, IL-15 menyebabkan respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya

produksi monokin dan kerusakan karena inflamasi berlanjut.

Gambar 3.2 Respon Inflamasi

Sumber : http://www.ehow.com/about_4613621_who-discovered-rheumatoid-arthritis.html

Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol

disebabkan respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang

rawan ligamen, tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh

produk enzim, pembentukan jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan

sinovia dapat mengeluarkan sitokin, kolagenase, prostaglandin dan

plasminogen yang mengaktifkan sistem kalokrein dan kinin-bradikinin.

Prosraglandin E2 (PGE2) merupakan mediator inflamasi dari derivat asam

arakidonat, menyebabkan nyeri dan kerusakan jaringan. Produk-produk ini

akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut seperti yang terlihat pada Artritis

Reumatoid Kronik.

Seperti yang telah dijabarkan diatas arthritis reumatoid ditandai

dengan peradangan sinovial kronis yang non supuratif. Jaringan sinovial yang

9

terkena edematosa, hiperemis, dan infiltrasi oleh limfosit dan sel plasma.

Bertambahnya sekresi cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari

membran sinovialis yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam

ruang sendi; reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat menyebar dan

melekat pada kartilago artikuler. Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial

yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur sendi lainnya dapat

tererosi dan rusak secara progresif. Lamanya sinovitis sebelum sendi menjadi

rusak secara permanen, bervariasi pada umumnya, kerusakan kartilago

artikuler terakhir dalam perjalanan JRA terjadi lebih belakangan daripada

penyakit yang mulai timbul saat dewasa, dan banyak anak menderita JRA

tidak pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama.

Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan penyakit faktor

reumatoid positif atau penyakit yang timbul atau dimulai secara sistemik. Bila

penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang subkhondral,

penyempitan “ruang sendi” (kehilangan kartilago artikulera), penghancuran

atau fusi tulang, dan deformitas, subluksasio atau ankilosis persendian.

Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis,

perumbuhan epifiseal yang dipercepat, dan penutupan epifiseal yang prematur

dapat terjadi dekat dengan sendi yang terkena.

Nodul reumatoid kurang sering terjadi pada anak daripada orang

dewasa, terutama pada penyakit reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan

fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pleura, perikardium, dan

peritoneum dapat menampakkan serositis fibrinosa nonspesifik; yang jarang

yaitu perikarditis konstriktif kronis, jika pernah terjadi. Ruam reumatoid

secara histologi tampak seperti vaskulitis ringan, dengan sedikit sel radang

yang mengelilingi pembuluh darah kecil pada jaringan subepitel.

10

3.5 KLASIFIKASI 3,6

Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya

dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American

Rheumatism Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan

penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat

yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.

Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi

menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan

telah direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan

tahun 1995. Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi

dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi

selama 6 bulan.

Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai

bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.

Pausiartikular (Oligoartritis) ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤

4 sendi

Poliartikular (Poliartritis) ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5

3.6 DIAGNOSIS

Klinis

Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering

terjadi pada umur 1-3 tahun. Gejala klinis utama yang secara objektif terlihat

adalah artritis. Sendi yang terkena terasa hangat pada palpasi, namun biasanya

tidak terlihat eritema. Secara klinis arthritis ditegakan dengan menemukan

11

salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau dengan

menemukan paling sedikit dua gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi

yang terbatas, nyeri pada pergerakan dan panas. Rasa nyeri atau nyeri pada

pergerakan seperti yang telah dijabarkan diatas, kurang menonjol

dibandingkan kekakuan sendi terutama di pagi hari.3

Gambar 3.3 Gejala Klinis ARJ

Sumber : http://www.netterimages.com/image/2456.htm

Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah

sendi yang terkena pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan

mengidap ARJ awitan – sistemik apabila awitan penyakit disertai oleh demam

tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 39oC) sampai selama 2 minggu dan

(biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak demam tanpa

dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ

pausiartikular atau oligoartritis, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan

pertama, penyakit poliartikular melibatkan lima atau lebih sendi. Masing-

masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat deskriptif, memperlihatkan

perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.

12

ARJ Sistemik (Penyakit Still) 4,5,7

Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding

dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur

dibawah 4 tahun. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan

ARJ, tetapi pasien biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat

perawatan tersier. Subtipe ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan

pada semua kelompok usia, pada orang dewasa penyakit ini disebut sebagai

“penyakit Still awitan-dewasa”. Sementara sebagian anak memang

memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat awitan, pasien

umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai ruam-

ruam yang cepat menghilang.

Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang

tidak diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari

atau dua kali sehari, sering melonjak hingga 49 sampai 41oC pada sore hari;

suhu sering menurun cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam

sering disertai oleh ruam macular berwarna salem yang cepat menghilang,

terutama timbul dibadan dan sebelah dalam paha. Tiap-tiap macula tidak

kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam

sering memperlihatkan fenomena koebner, yaitu kemampuan memicu

timbulnya lesi dengan menggosok kulit secara lembut.

Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup

besar, mereka sering mengeluh artralgia dan mialgia yang parah (Rudolf)

Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali.

Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada tiga per empat

kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya

13

didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung

beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit. Sendi yang

sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-

jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya

menunjukkan leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia

non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar

feritin yang tinggi. Jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan

komplikasi KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan

50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25% dengan gambaran erosi pada

sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan

sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.

Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul

temuan sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan

berkurang secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi

poliartikular. Yang lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi

secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa

dewasa, tetapi diantara serangan mereka mungkin terdapat massa normal.

Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah,

pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk

menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit

dan demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal

penyakit, meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan

untuk waktu yang lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun

pada beberapa anak yang terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa

peringatan sebelumnya, atau setelah infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan

anak dengan ARJ tipe sistemik dapat diobati dengan obat-obatan dalam

14

sebulan hingga setahun, untuk mengontrol perkembangan dari keduanya baik

arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti demam, ruam, anemia, dll.

Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe sistemik, sehingga

mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.

Oligoartritis / Pausi-artikuler

Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan “sedikit

sendi”, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari

anak-anak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu

sisi sendi dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi

sering pada dua, tiga, sampai empat sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering

ditemukan mengenai sendi besar, paling banyak mengenai lutut, pergelangan

kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi kecil, jemari tangan, sendi ibu jari.

Sebanyak 40 – 70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak

perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis

kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok

arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang

adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih

sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.

Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai

dengan arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan.

Sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan.

Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan

artikuler maupun periartikuler dan uveitis kronis. Sejumlah kecil anak yang

menderita penyakit ini (8%) akan mengalami bentuk poliartikular dengan

15

prognosis serupa ARJ poliartikular. Namun sebagian lagi menunjukkan

kinerja yang baik dalam kaitanya dengan fungsi sendi.

Dibagi juga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan

dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai

peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus

di tes ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak

tersebut memiliki resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA

mengindikasikan resiko tinggi terkena peradangan mata. Yang perlu

diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya kerusakan mungkin tidak

nampak pada anak. Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki

diatas 8 tahun. Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi

sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang terdiagnosis

dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil positif ANA dan usianya

dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena uveitis kronis.Mata

mereka harus diperiksa setiap 3 bulan, untuk beberapa tahun. Adapun

penilaian kemungkinan komplikasi uveitis tergambar dalam algoritma berikut.

Poliartritis

Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan,

gambaran artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang

perempuan umur 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan,

RF bisa positif maupun negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih

muda dan lebih responsif terhadap pemberian terapi NSAID konvensional.

Anak dengan ARJ poliartikular mungkin memperlihatkan beberapa gambaran

sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang tampak pada penyakit awitan

sistemik.

16

Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia,

uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik

pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang

hanya pada beberapa sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi

poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan

subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda

ditandai dengan erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstraartikuler

jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF negative hanya terdapat

5%.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa ARJ dapat ditegakan secara klinis, beberapa pemeriksaan

imunologis tertentu dapat menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak

ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ARJ.4

Laboratorium3

Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis.

Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid

(RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih

sempurna. Biasanya ditemukan anemia ringan atau sedang dengan

kadar Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.

Hitung trombosit dapat meningkat hebat terdapat pada tipe

poliartritis dan sistemik berat, seringkali dipakai sebagai petanda

reaktifasi atau kekambuhan penyakit. Peningkatan LED dan CRP,

gamma globulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif dan sesuai

dengan peningkatan aktivitas penyakit. Beberapa peneliti

17

mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas

penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ

dan berbeda dengan arthritis rheumatoid pada orang dewasa,

sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar

dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan

pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.

Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada

anak. Bila positif , sering kali pada ARJ tipe poliartritis, anak yang

lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang

buruk. Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada

dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-

anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.

Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ

dan lebih berarti dibanding pada SLE. Kekerapannya lebih tinggi pada

penderita wanita muda terutama pada tipe oligoartritis dengan

komplikasi uveitis. Oleh karena itu, pemeriksaan ANA perlu

dilakukan untuk mengetahui risiko setiap pasien ARJ terhadap

kemungkinan uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa

HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi

spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di

Australia.

Radiologis3

Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui

seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu.

18

Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah

pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi,

osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang

baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun)

dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang

rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan

tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun

dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.

Gambar 3.4 Gambaran Radiografi ARJ

Sumber : http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/msk/teaching-

materials/online-musculoskeletal-radiology-book/skeletal-dysplasias

Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat

berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang

panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan

Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut

mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang

19

memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan

c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian

secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto

Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau

manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen

biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini

melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida

ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan

hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat

pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi

secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk

mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi

yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul

dan bahu.

Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan

menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa

dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan

gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan

sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi

dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen,

pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi

jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat

menilai progresifitas penyakit.

Pemeriksaan MRI danatau ultrasonografi dapat digunakan

dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada

atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang.

20

Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi,

bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya

terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran

ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah

pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya

setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan

penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan

terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat

ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter

tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini

terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan

Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya

fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara

bertahap bergabung ke dalam metafisis.

Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut American College of

Rheumatology (ACR) : 6

1. Usia penderita kurang dari 16 tahun.

2. Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau

terdapat dua atau lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada

pergerakan, suhu daerah sendi naik).

3. Lama sakit lebih dari 6 minggu.

4. Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari :

a. Poliartritis (5 sendi atau lebih)

b. Oligoartritis (4 sendi atau lebih)

c. Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten

5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan

21

Walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang

menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam

reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal,

nodul reumatoid, tenosinovitis.

3.7 PENATALAKSANAAN

Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah

mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas

hidup. Garis besar pengobatan Meliputi 4,5:

1. Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat;

Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan;

Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan

lingkungan;

2. Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan

Naproksen;

3. Obat steroid intra-artikuler;

4. Perawatan Rumah Sakit dan

5. Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan

pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta

rentang gerakan (range of motion), mengatasi komplikasi sistemik,

memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu

pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan

mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan

kerja, pekerja sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.

22

Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.

Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu

mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan

mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah

farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak

kalah penting.

Mengontrol Nyeri

Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat

kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri.

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak

dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik

dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak.

Obat ini menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe

oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap

pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua. Efek samping

yang sering dijumpai antara lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati,

ginjal dan gastrointestinal. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka

dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali.

Macam OAINS yang sering digunakan: (1) Penggunaan aspirin

sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya

peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan

transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus

siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih

dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit,

sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan.

23

Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi

lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang

biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian,

diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis

tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk

anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus

sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang. (2) Tolmetin 25

mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis, (3) Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam

2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa

ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai

dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut. (4)

Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis, (4) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari

terbagi dalam 2 dosis.

DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)

Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut: (1)

Hidroksiklorokuin: 4-6 mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai

imunomodilator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang

sering dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi

retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna, dan

supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 – 75%, (2)

Preparat emas oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat

ditingkatkan 0,75 – 1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-

sum tulang dan ginjal, (3) Obat-obat sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan

efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50mg/Kg/hari sampai.

Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat (MTX):

Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan

24

jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh

karena efek sampingnya lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek

samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal,

supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat

tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol dan

mengurangi obat-obatan hepatotoksik. (4) Glukokortikoid, baik untuk

mengontrol gejala sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang

dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang

berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk arthritis yang tidak terlalu

banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya

diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30

mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan

imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.

Pengobatan ARJ kadang-kadang memerlukan waktu cukup lama

sehingga menimbulkan keputusasaan dan ketidakpercayaan pada penderita

maupun orang tuanya. DMRAIDs akan memperpendek perjalanan penyakit

dan masa rawat inap. Obat-obat ini hanya boleh diberikan pada poliartritis

progresif yang tidak responsif terhadap Asam Asetil Salisilat Tabel 4

menunujukkan DMRAIDs, efek samping dan pemantauannya.

Tabel 2. : Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs

DMRAIDs Efek Samping Pemantauan

Hidroksiklorokuin Retinopati Cek Ophtalmologi

Prednison Gangguan pertumbuhan, penekanan poros

HPA

Kadar Cortisol

Garam emas Supresi sumum tulang Cek Hematologi

25

Penisilamin Lupus Eritematosus medikamentosa,

Sindroma nefrotik

Hematologi

Sufasalazin Nausea vomiting, Hemolitik anemi, supresi

sumsum tulang

Hematologi

Metotreksat Supresi sumsum tulang, hepatotoksik Hematologi, LFT

Siklofosfamid Supresi susum tulang Hematologi

Azatioprin Supresi sumsum tulang, hepatotoksik Hematologi, LFT

 Biologic Response Modifiers

Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen

biologik yang berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF),

sehingga akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses

inflamasi. Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan

efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan

terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data

dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji

tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil

negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB

subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-

96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik AINS atau

metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan

dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam

infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8

minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal

etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau

usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan

26

dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak

dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.

Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset

poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada

sebuah studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak

manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam

dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan

untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga

melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5

mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam. Adapun

pemberian terapi pada ARJ tergambar dalam algoritma berikut.

27

Fisioterapi

Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain:

mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin,

hidroterapi dan TENS. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi

berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna

memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus

dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat

membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna mempertahankan

fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.

Pengelolaan nutrisi

Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi

malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan

menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain

faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan

nafsu makan . Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain

OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya

keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet pada anak sangatlah

kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk

pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena

pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan

kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10

tahun.

28

3.8 KOMPLIKASI 3,7

Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan

perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada

mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat

pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya

berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek

pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus

atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya

pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau

ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi dapat

memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.

Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai

komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis

mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya

yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti

depresi, ansietas dan masalah di sekolah.

Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis

sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal.

Uveitis merupakan penyakit peradangan pada mata,merupakan keadaan serius

dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau lebih dari tiga bagian yang

membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini diperkirakan 10-

15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat mengenai

kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis

adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya

meninggalkan sisa, atau episode pengulangan dari peradangan, ini dapat

29

mengenai jaringan dan kebutaan. Adapun algoritma pemeriksaan komplikasi

uveitis pada ARJ :

Gambar 3.5 Iridosiklitis Sebagai Komplikasi ARJ

Sumber : http://www.netterimages.com/image/7507.htm

30

3.9 PROGNOSIS

Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat

banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe

sistremik arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi,

dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe

poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi sendi.

Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: (1) tipe

sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama, (2) Poliartritis, (3) Perempuan, (4)

Faktor rheumatoid positif, (5) Kaku sendi yang persisten, (6) Tenosinovitis,

(7) Nodul Subkutan, (8) Tes ANA +, (9) Artritis pada jari tangan dan kaki

pada awal penyakit, (10) erosi yang progresif, (11) Pausiartikuler tipe eksten

Prognosis sangat ditentukan dari tipe onset penyakitnya

Tipe Onset Subtipe Klinis Prognosis

Poliartritis RF+

 

 

 

 

 

Wanita

Usia lebih tua

Tangan/pergelangan

Erosi sendi

Nodul

Non remisi

Buruk

 

 

 

 

 

31

ANA+

 

Seronegatif

Wanita

Usia muda

-

Baik

 

Tidak tentu

Oligoartritis ANA+

 

 

RF+

 

 

HLA-B27+

Seronegatif

Wanita

Usia muda

Uveitis

Poliartritis

Erosi

Non Remisi

Laki-laki

-

Sangat baik

 

Kurang baik

Buruk

 

 

Baik

Baik

 

Sekitar 70-90% penderita ARJ sembuh tanpa cacat, 10% menderita

cacat sampai dewasa, sebagaian diantaranya akan berkembang menjadi bentuk

dewasa disertai kecacatan.

 

32

33