68479703-makalah-mitigasi-bencana
TRANSCRIPT
MITIGASI BENCANA ALAM DALAM PENATAAN KAWASAN
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN : UPAYA PENANGGULANGAN
RESIKO BENCANA ALAM
MAKALAH
OLEH:
IMAM INDRATNO
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTAFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG1428 H / 2007 M
MITIGASI BENCANA ALAM DALAM PENATAAN KAWASAN
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN : UPAYA PENANGGULANGAN
RESIKO BENCANA ALAM
MAKALAH
oleh
IMAM INDRATNO
Disampaikan dalam Seminar Intern Jurusan Teknik Perencanan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung
Tanggal 9 Mei 2007
Mengesahkan,
Hj. SRI HIDAYATI DJOEFFAN, Ir., MT.Ketua Program Studi PWK
MITIGASI BENCANA ALAM DALAM PENATAAN KAWASAN PERUMAHAN
DAN PERMUKIMAN : UPAYA PENANGGULANGAN RESIKO BENCANA ALAM
Oleh : IMAM INDRATNO
ABSTRAK
Kesadaran akan kehadiran bencana dalam pengelolan negara telah tercermin dalam berbagai peraturan dan perundangan. Berbagai peraturan dan perundangan tersebut mulai menyinggung berbagai konsep hingga tindakan yang perlu dilakukan dalam menangani bencana. Pelaksanaan pengurangan risiko bencana di Indonesia merupakan bagian dari upaya pengurangan risikobencana di tingkat global dan regional. Beberapa forum internasional telah menghasilkan kesepakatan-kesepatakan yang melandasi upaya pengurangan risiko bencana ditingkat nasional. Penyusunan pedoman penataan kawasan perumahan dan permukiman dalam rangka mitigasi bencana perlu mengadopsi berbagai landasan, kebijakan, dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana agar didapat suatu pedoman yang komprehensif dan holistik dalam pengelolaan bencana khususnya dalam penataan kawasan perumahan dan permukiman.
Key words: bencana, risiko bencana, perumahan, permukiman
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan satu negara kepulauan
dengan laut yang luas, banyak memiliki
gunung berapi, terletak antara 3 (tiga) tiga
lempeng yang selalu bergerak (lempeng
Eurasia, India Australia, Samudra Pasific),
selain itu berada pada pertemuan 3 (tiga)
sistim pegunungan (Alpin Sunda, Circurn
Pacific dan Circum Australia), juga meliputi
lebih dan 500 gunung api dan sejumlah
sungai-sungai besar, serta memIiki dua
musim yaitu musim hujan. dan musim
kemarau.
Sedangkan situasi beberapa tahun terakhir
(1999 — 2006) di Indonesia terjadi bencana
yang beruntun seperti gempa bumi diikuti
tsunami, tanah longsor, banjir, angin kencang,
dan kerusuhan sosial etnis/agama karena
berbagai sebab. Akibatnya, adalah selain
korban jiwa banyak orang yang kehilangan
tempat tinggalnya dan sekitar 3 juta orang
terpaksa rneninggalkan kampung halaman
dan rumahnya, menjadi pengungsi.
Pertanyaan penting yang perlu dipikirkan
adalah apakah kerugian yang disebabkan
oleh kejadian bencana tersebut dapat
dikurangi menjadi sekecil mungkin?
Pertanyaan tersebut tentu dapat dijawab
apabila kita memperhatikan sikius manejemen
penanganan bencana dimana dalam siklus
tersebut salah satu hal yang dapat dilakukan
adalah adanya kegiatan mitigasi bencana.
Oleh karena itu penataan perumahan dan
permukiman perlu sekali memperhitungkan
aspek mitigasi bencana ini.
JENIS BAHAYA ALAM
a. Parameter Kedahsyatan Gempa
Parameter kedahsyatan bahaya gempa bumi
diukur berdasarkan besarannya (magnitude)
maupun tingkat kerusakannya. Kerusakan
yang ditimbulkan gempa sangat bergantung
beberapa faktor, diantaranya:
(a) besar/kecilnya besaran gempa
(b) dalam dangkalnya hiposenter gempa
(c) jauh dekatnya pusat gempa
(d) lama dan banyaknya frekuensi gempa
(e) keadaan tanah/geologi setempat, dan
(f) kekuatan, daktilitas, serta kesatuan
bangunan itu sendiri
Tabel 1. Intensitas Kerusakan Berdasarkan Skala Mmi
SKALA MMI
CIRI-CIRI
I Sangat jarang/hampir tidak ada orang dapat merasakan, tapi tercatata pada alat seismograf.
II Terasa oleh sedikit sekali orang, terutama yang ada di gedung tinggi, sebagian orang tidak merasakan.
III Terasa oleh sedikit orang, khususnya yang berada di gedung tinggi. Mobil yang parkir sedikit bergetar, getaran seperti akibat truk yang lewat.
IV Pada siang hari akan terasa oleh banyak orang dalam ruangan, di luar ruangan hanya sedikit yang bisa merasakan. Pada malam hari sebagian orang bisa terbangun. Pring, jendela, pintu, dinding mengeluarkan bunyi retakan, lampu gantung bergoyang.
V Dirasakan hampir oleh semua orang. Pada malam hari sebagian besar orang tidur akan terbangun. Barang di atas meja terjatuh, plesteran tembok retak, barang-barang yang tidak stabil akan roboh, pendulum jam dinding akan berhenti.
VI Dirasakan oleh semua orang. Banyak orang ketakutan/panik, berhamburan ke luar ruangan, banyak perabotan yang berat bergeser, plesteran dinding retak dan terkelupas, cerobong asap pabrik rusak.
VII Semua orang berhamburan ke luar ruangan, kerusakan terjadi pada bangunan yang desain konstruksinya jelek, kerusakan sedikit sampai sedang terjadi pada bangunan dengan desain konstruksi biasa. Bangunan dengan konstruksi yang biak tidak mengalami kerusakan yang berarti.
VIII Kerusakan luas pada bangunan dengan desain yang buruk, kerusakan berarti pada bangunan dengan desain biasa, dan sedikit kerusakan pada bangunan dengan desain yang baik. Dinding panel akan pecah dan lepas dari kerangkanya, cerobong asap pabrik runtuh, perabohan yang berat akan terguling, pengendara mobil terganggu.
IX Kerusakan berarti pada bangunan dengan desain konstruksi yang baik, pipa bawah tanah putus, timbul keretakan pada tanah.
X Sejumlah bangunan kayu dengan desain yang baik rusak, sebagian besar bangunan tembok rusak termasuk fondasinya. Retakan pada tanah akan semakin banyak, tanah longsor pada tebing-tebing sungai dan bukit, air sungai akan melimpas di atas tanggul.
XI Sangat sedikit bangunan tembok yang masih relatif berdiri, jembatan putus, rekahan pada tanah sangat banyak/luas, jaringan pipa bawah tanah hancur dan tidak berfungsi, rel KA bengkok dan bergeser.
XII Kerusakan total, gerakan gempa terlihat bergelombang di atas tanah, benda-benda beterbangan di udara.
b. Daerah Rawan Gempa
Setidaknya terdapat 25 (duapuluh lima)
daerah wilayah rawan gempa bumi Indonesia,
yaitu: Aceh, Sumatera Utara (Simeulue),
Sumatera Barat - Jambi, Bengkulu, Lampung,
Banten Pandeglang, Jawa Barat, Bantar
Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur,
Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Sangir Talaud,
Maluku Utara, Maluku Selatan, Kepala
Burung-Papua Utara, Jayapura, Nabire,
Wamena, dan Kalimantan Timur. Daerah-
daerah tersebut terutama yang berada dekat
dengan jalur pertemuan lempeng dunia.
Gambar 1. Wilayah Rawan Gempabumi di Indonesia
Tingkat risiko dampak kawasan permukiman
akibat gempa bumi semakin meningkat pada:
(a) Kumpulan bangunan yang lemah dengan
tingkat hunian yang tinggi.
(b) Bangunan-bangunan yang didirikan
tanpa perhitungan teknik sipil oleh
pemilik rumah
(c) Bangunan-bangunan dengan atap yang
berat
(d) Bangunan-bangunan tua dengan
kekuatan samping yang kecil
(e) Bangunan-bangunan dengan kualitas
yang rendah atau bangunan-bangunan
dengan konstruksi yang cacat
(f) Bangunan tinggi tanpa konstruksi yang
tepat
(g) Bangunan-bangunan yang ditempatkan
pada lereng-lereng yang lemah
(h) Infrastruktur di atas tanah atau tertanam
di dalam tanah-tanah yang mengalami
perubahan bentuk.
Pada kawasan permukiman, dampak
akibat getaran gempa terutama adalah
roboh/rusaknya bangunan rumah yang pada
gilirannya dapat mengakibatkan korban luka
maupun kehilangan nyawa. Selain itu,
berbagai fasilitas umum maupun utilitas
penting dapat ikut rusak apabila getaran
gempa cukup tinggi, seperti terhambatnya
aksesibilitas akibat rusaknya jaringan jalan,
kekurangan air bersih akibat rusaknya
jaringan air bersih, pemadaman listrik akibat
rusaknya jaringan listrik, dan lain sebagainya.
Beberapa faktor yang mengakibatkan
meningkatkan kerentanan suatu kawasan
permukiman terhadap risiko gempa bumi
diantaranya:
(a) Lokasi hunian yang berada di daerah
seismik, khususnya yang berada di atas
tanah yang memadat, di atas tanah yang
rawan terhadap tanah longsor, atau pada
garis retakan yang panjang.
(b) Struktur bangunan, seperti rumah,
jembatan, gedung, jalan, bendungan,
dan lain sebagainya, yang tidak tahan
terhadap gerakan bumi. Bangunan dari
batu bata yang tidak berkerangka besi
dengan atap yang berat lebih rentan
dibandingkan bangunan yang
berkerangka kayu yang ringan.
(c) Kawasan permukiman dengan
pengelompokkan kepadatan bangunan
yang tinggi juga lebih rentan
dibandingkan kawasan permukiman
dengan kepadatan bangunan yang
rendah.
(d) Kurangnya akses informasi mengenai
risiko-risiko bencana gempa bumi.
(e) Kurangnya kepedulian dan pengetahuan
masyarakat penghuni kawasan
permukiman terhadap risiko bencana
gempa bumi
(f) Dan lain sebagainya
Meskipun upaya mitigasi bencana di
Indonesia masih relatif terbatas, namun di
sejumlah daerah telah dilakukan beberapa
tindakan mitigasi sebagai upaya untuk
mengurangi risiko bencana. Berikut disajikan
2 (dua) contoh tindakan mitigasi yang
dilakukan, yaitu tindakan mitiggasi bencana
gempa bumi di Kota Bandung dan tindakan
mitigasi bencana gempabumi di Kota
Bengkulu.
TINDAKAN MITIGASI GEMPA BUMI DI
BENGKULU
Sebagai contoh upaya mitigasi yang
dilakukan di propinsi Bengkulu adalah upaya
mitigasi yang telah dilakukan di Kota
Bengkulu, diantaranya adalah:
Kajian Risiko untuk
menentukan rencana tindak kota Bengkulu
dalam menghadapi bencana gempabumi.
Dalam kegiatan ini disusun potensi bahaya
gempabumi di Kota Bengkulu, tingkat
kerentanan kota Bengkulu terhadap
bahaya gempabumi untuk kemudian dikaji
tingkat risiko bencana gempabumi di Kota
Bengkulu ini.
Dalam kajian risiko gempabumi di Kota
Bengkulu ini, faktor yang dipergunakan
untuk melakukan kajian risiko adalah
berupa kajian bahaya gempabumi yang
melingkupi 1) pengumpulan data geologi,
kegempaan dan geoteknik; 2)
pengumpulan data topografi; 3) analisis
bahaya gempabumi; 4) pembuatan peta
mikrozonasi, peta klasifikasi tanah, rawan
longsor dan likuifaksi. Kajian kerentanan
gempabumi yang melingkupi 1) data
kepadatan penduduk; 2) data bangunan;
3) data prasarana dan sistem utilitas yang
ada; 3) data lapangan terbang dan
pelabuhan; 4) data aktivitas sosial
ekonomi. Kemudian dilakukan kajian risiko
dengan mengalikan faktor bahaya dengan
kerentanan.
Hasil dari kajian ini biasanya adalah peta-
peta mikrozonasi yang menunjukkan
daerah yang rawan bencana gempabumi,
daerah mana yang termasuk rawan tinggi,
sedang hingga rendah. Berdasarkan peta
hasil kajian tersebut, maka dapat disusun
suatu rencana, termasuk untuk
pembangunan permukiman, di daerah
mana saja yang diperbolehkan dibangun
untuk permukiman dan daerah mana yang
tidak. Dan apabila sudah terlanjur
terbentuk kawasan permukiman di daerah
yang rawan bencana gempabumi tinggi,
maka strategi untuk mitigasi selanjutnya
perlu dipikirkan, misalnya saja dengan
menerapkan building code dalam
membangun rumah-rumah di kawasan
tersebut.
Meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat dalam menghadapi bencana
gempa bumi melalui pelatihan (ToT), yaitu
melatih perwakilan masyarakat dan
diharapkan perwakilan masyarakat ini
nantinya dapat menyebarkan
pengetahuannya kepada masyarakat yang
lebih luas.
RUANG LINGKUP PEDOMAN
MITIGASI GEMPA
Pedoman ini disusun sebagai acuan untuk
penataan kawasan perumahan dan
permukiman berbasiskan mitigasi bencana
alam. Jenis bencana alam yang dikaji
meliputi:
1) Gempabumi
2) Tsunami
3) Letusan gunungapi
4) Tanah Longsor
5) Banjir
Ditinjau dari jenis kawasan perumahan dan
permukimannya, maka pedoman ini meliputi 2
(dua) jenis kawasan perumahan dan
permukiman, yaitu:
1) Kawasan perumahan dan permukiman
baru, sebagai upaya preventif.
2) Kawasan perumahan dan permukiman
yang telah ada, sebagai upaya kuratif.
Tindakan mitigasi bencana pada kawasan
perumahan dan permukiman akan meliputi:
1) Tindakan mitigasi struktural
Tindakan mitigasi struktural terutama pada
upaya rekayasa konstruksi.
2) Tindakan mitigasi non-struktural
Tindakan mitigasi non-struktural meliputi:
a. Tindakan penataan ruang
b. Penyediaan prasarana dan sarana
c. Peningkatan kesiapan masyarakat
d. Sistem peringatan dini
e. Pengendalian pemanfaatan ruang
f. Peran serta masyarakat
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ruang
lingkup pedoman ini meliputi ketentuan
sebagai berikut:
(1) Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat:
a. Definisi dan batasan yang digunakan
dalam pedoman;
b. Tujuan pedoman;
c. Ruang lingkup pedoman; dan
d. Kedudukan pedoman.
(2) Pedoman Umum Penyelenggaraan
Penataan Kawasan Perumahan dan
Permukiman Berbasis Mitigasi Bencana
Alam.
Memuat:
a. Prinsip dasar
b. Konsep dasar mitigasi bencana alam
pada kawasan perumahan dan
permukiman
c. Pendekatan mitigasi bencana
d. Penyelenggaraan penataan kawasan
perumahan dan permukiman berbasis
mitigasi bencana alam
i. Penyelenggaraan penataan
kawasan perumahan dan
permukiman baru
ii. Penyelenggaraan penataan
kawasan perumahan dan
permukiman yang telah ada
e. Kelembagaan
f. Peran serta masyarakat
(3) Tindakan Mitigasi Bencana Alam Pada
Kawasan Perumahan dan Permukiman
Memuat:
a. Tindakan mitigasi bencana
gempabumi pada kawasan
perumahan dan permukiman
b. Tindakan mitigasi bencana tsunami
pada kawasan perumahan dan
permukiman
c. Tindakan mitigasi bencana gunungapi
pada kawasan perumahan dan
permukiman
d. Tindakan mitigasi bencana tanah
longsor pada kawasan perumahan
dan permukiman
e. Tindakan mitigasi bencana banjir
pada kawasan perumahan dan
permukiman
(4) Pengendalian Pemanfaatan Kawasan
Perumahan dan Permukiman, meliputi:
a. Peraturan zonasi
b. Perangkat insentif dan disinsentif
c. Perijinan
d. Sanksi
(5) Aturan Peralihan
(6) Aturan Penutup
KEDUDUKAN PEDOMAN
Gambar 2. Kedudukan pedoman penataan kawasan perumahan dan permukiman dalamrangka mitigasi bencana alam terhadap peraturan perundangan
UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU No.26 Tahun 2007 tentang Penatan Ruang
UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil
PP No.69 Tahun 1996
PP No.47 Tahun 1997 tentang RTRWN
PP tentang Penataan Ruang
PP lainnya yang terkait penataan ruang dan
penanggulangan bencana
Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung
Permen PU No.21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempa Bumi
Permen PU No.22 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan
RawanBencana Longsor
Permenpera Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
Perumahan Kawasan Khusus
Pedoman Penataan Kawasan Perumahan dan Permukiman Dalam
Rangka Mitigasi Bencana Alam
URGENSI PENYUSUNAN PEDOMAN
PENATAAN KAWASAN PERUMAHAN
DAN PERMUKIMAN DALAM RANGKA
MITIGASI BENCANA ALAM
Bencana gempabumi dan tsunami 26
Desember 2006 lalu di Nangroe Aceh
Darussalam dan gempabumi di Pulau Nias,
Simeuleu, dan Banyak pada tanggal 28 Maret
2005 telah menimbulkan gelombang simpati,
bantuan, pelayanan, penadaan dan tenaga
sebagai wujud kepedulian atas nama
kemanusiaan. Bencana tersebut juga telah
membuka mata kita terhadap masalah
kebencanaan dan pentingnya pengelolaan
bencana.
Setelah bencana besar yang melanda Aceh
dan Nias tersebut, bencana alam yang cukup
besar terjadi lagi di sejumlah daerah, seperti
gempabumi di Yogyakarta pada bulan Mei
2006, tsunami di Pangandaran, dan
gempabumi di Sumatera Barat pada Maret
2007. Hal tersebut semakin meningkatkan
kesadaran kita terhadap pentingnya
pengelolaan bencana, terutama terkait
dengan pengurangan risiko bencana dalam
rangka mengurangi dampak kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana alam.
Kawasan perumahan dan permukiman
sebagai tempat tinggal masyarakat
merupakan kawasan yang termasuk dalam
kawasan yang mengalami kerugian terbesar,
terutama akibat hilangnya jiwa, korban luka-
luka, serta kerugian material. Hal ini
disebabkan konsentrasi penduduk dan aset
masyarakat berada di kawasan perumahan
dan permukiman.
Berdasarkan hal tersebut, kesadaran untuk
melakukkan tindakan mengurangi dampak
yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana
pada kawasan perumahan dan permukiman
semakin disadari kepentingannya. Hal ini
diperlukan untuk mengurangi timbulkan
korban jiwa maupun kerugian material yang
ditimbulkan jika terjadi bencana.
Kesadaran untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana pada dasarnya
sudah selaras dengan kebijakan pada tingkat
global maupun perubahan paradigma
pengelolaan bencana yang saat ini terjadi.
Pada dasarnya saat ini telah terjadi
perubahan paradigma dalam pengelolaan
bencana, yaitu:
1. Dari pengelolaan tanggap darurat ke arah
pengelolaan risiko bencana, yaitu upaya-
upaya untuk mengurangi risiko bencana
yang dilakukan pada tahapan pra-bencana
2. Dari pengelolaan yang semula hanya
dilakukan oleh pemerintah ke arah
pelibatan peran serta masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan bencana
Dalam kerangka kebijakan global
(internasional), seperti resolusi PBB, strategi
Yokohama, dan kerangka Hyogo telah
mengamanatkan pentingnya tindakan
pengurangan bencana. Pedoman penataan
kawasan perumahan dan permukiman dalam
rangka mitigasi bencana alam dengan
demikian menjadi bagian dari dukungan dan
keselarasan dengan kerangka kebijakan
global tersebut. Dalam siklus pengelolaan
bencana yang diadopsi dari Carter (1991),
tindakan mitigasi bencana pada dasarnya
merupakan bagian dari pengelolaan risiko
bencana yang merupakan tindakan yang
dilakukan pada tahap sebelum bencana
terjadi.
Peraturan perundangan di Indonesia juga
telah mengamanatkan pentingnya tindakan
mitigasi yang merupakan bagian dari upaya
pengurangan risiko. Undang-undang tersebut
diantaranya adalah UU Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, serta UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wiayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
KONTEKS KEBENCANAAN
INDONESIA
Aspek Geografis dan Klimatologis
Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia, terletak di antara dua
benua, yaitu benua Asia dan benua
Australia dengan dua samudera, yaitu
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
dan terletak di atas dua lempeng bumi.
Aspek Geologis
Indonesia terletak di antara 3 (tiga)
lempeng dunia, yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Indo-Australia, dan lempeng
Pasifik. Tataran tersebut pada satu sisi
sangat menguntungkan terutama dari
keberadaan sumberdaya mineral karena
terdapat jebakan mineral antara minyak
dan gas bumi serta bahan tambang
lainnya. Namun di sisi lain kondisi
tersebut membawa konsekuensi logis
bahwa Indonesia merupakan daerah
yang rawan terhadap berbagai bahaya
beraspek geologis, seperti gempabumii
tektonik, tsunami (terumata yang dipicu
oleh gempabumi tektonik), letusan
gunung api, serta gerakan tanah/longsor.
Akibatnya, Indonesia merupakan salah
satu negara yang memiliki tingkat
kerentanan gempa tertinggi di dunia.
Tingkat kerentanan gempa bumi di
Indonesia lebih dari 10 kali liipat tingkat
kegempaan di Amerika Serikat (Arnold,
1986). Gempa-gempa tersebut sebagian
besar berpusat di dasar Samudera
Hindia dan beberapa dapat memicu
terjadinya gelombang laut yang besar
yang disebut tsunami.
Aspek Demografis
Jumlah penduduk Indonesia sangat
banyak, hingga mencapai lebih kurang
220 juta jiwa dengan beragam etnis,
agama, dan adat istiadat. Di sejumlah
wilayah, terutama di kawasan perkotaan,
konsentrasi penduduk juga
mengakibatkan kepadatan penduduk
yang tinggi.
Kondisi demografis Indonesia dengan
jumlah penduduk yang tinggi, kepadatan
yang tinggi, serta beragamnya budaya,
mengakibatkan kerentanan pada aspek
sosial. Besarnya jumlah penduduk
mengakibatkan jumlah korban jiwa yang
diakibatkan oleh bencana menjadi lebih
besa.r
Selain itu, tindakan manusia juga
memberi kontribusi yang cukup signifikan
terhadap meningkatkan risiko bencana.
Sebagai contoh, penataan ruang yang
tidak memperhatikan aspek lingkungan
dan kerawanan bencana justru akan
mengakibatkan meningkatkan risiko
bencana di kawasan tersebut.
TUJUAN PENYUSUNAN PEDOMAN
PENATAAN KAWASAN PERUMAHAN
DAN PERMUKIMAN DALAM RANGKA
MITIGASI BENCANA ALAM
Peraturan adalah suatu unsur penting dalam
Penataan Kawasan Perumahan dan
Permukiman. Hal ini dapat dijelaskan dengan
beberapa alasan penting, yaitu:
1. Peraturan adalah salah satu wahana yang
efektif untuk secara proaktif mencegah
masyarakat dari melakukan kegiatan atau
tindakan yang pada akhirnya menimbulkan
atau meningkatkan ancaman maupun
risiko bencana. Contoh dari peraturan
semacam ini adalah larangan terhadap
pembangunan perumahan pada daerah
yang memiliki kerawanan bencana sangat
tinggi.
2. Peraturan juga dapat mencegah
masyarakat dari ancaman bencana yang
nyata-nyata atau diperkirakan ada.
Contohnya adalah kewajiban untuk
melakukan pembangunan terasering pada
bukit yang terjal untuk menghindari tanah
longsor, pemasangan tanggul penahan
banjir, dan lain sebagainya.
3. Dari sudut pandang kerentanan, peraturan
juga memfasilitasi atau bahkan memaksa
masyarakat untuk merubah karakteristik,
kebiasaan, dan kegiatannya yang
berpotensi untuk meningkatkan
kemungkinan mereka terpapar pada suatu
ancaman bencana. Misalnya larangan
bertempat tinggi di kawasan rawan
bencana, seperti aliran sungai, tepi pantai
yang rawan tsunami, daerah rawan tanah
longsor, dan lain sebagainya.
4. Khusus mengenai peraturan perundangan,
peraturan ini dapat mendorong atau
mewajibkan pemerintah pusat dan daerah
untuk melakukan investasi-iinvestasi untuk
perlindungan rakyat; melakukan
pengaturan-pengaturan kelembagaan dan
prosedural untuk memastikan pengawasan
pelaksanaan peraturan dan penyiapan
tanggap kedaruratan yang lebih efektif.
Pemerintah juga dapat mengatur dan
memastikan hubungan dan hak kewajiban
antara satu pelaku dengan lainnya dalam
hal penangnanan bencana.
Dengan demikian, maka tujuan penyusunan
pedoman penataan kawasan perumahan dan
permukiman dalam rangka mitigasi bencana
alam adalah menyediakan panduan bagi
perencanaan dan pengembangan kawasan
perumahan dan permukiman berdasarkan
pertimbangan mitigasi bencana alam untuk
menciptakan kawasan permukiman yang
aman terhadap bencana alam.
Secara lebih khusus penyusunan pedoman
penataan kawasan perumahan dan
permukiman dalam rangka mitigasi bencana
alam adalah:
1. Memberikan pengertian dan lingkup
mitigasi bencana alam pada kawasan
perumahan dan permukiman
2. Memberikan tata cara dan prosedur
perencanaan mitigasi bencana alam bagi
kawasan perumahan dan permukiman
3. Memberikan dasar formal untuk alternatif
tindakan mitigasi bencana alam yang
dapat dilakukan untuk kawasan
perumahan dan permukiman
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas
maka:
1. Disarankan penyusunan Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat
tentang Pedoman Penataan Kawasan
Perumahan dan Permukiman dalam
rangka Mitigasi Bencana Alam.
2. Ruang lingkup substansi yang diatur
dalam peraturan menteri ini meliputi:
a) Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat definisi
yang digunakan dalam pedoman
untuk mencegah ambiguitas, ruang
lingkup pedoman, tujuan pedoman,
dan kedudukan pedoman.
Ketentuan umum mengatur batasan
dan berbagai hal yang tercakup
dalam pedoman ini.
b) Pedoman Umum
Bagian ini memuat prinsip dasar
mitigasi bencana pada kawasan
perumahan dan permukiman yang
terutama berbasis pada pemunculan
budaya keselamatan (safe culture).
Pada bagian ini dibahas berbagai
materi seperti, prinsip umum,
penyelenggaraan penataan
kawasan perumahan dan
permukiman secara preventif dan
kuratif, kelembagaan, dan peran
masyarakat.
c) Penyelenggaraan Mitigasi
Bencana Alam Pada Kawasan
Perumahan & Permukiman
Bagian ini menjelaskan berbagai
tindakan mitigasi yang dapat
dilakukan pada berbagai kawasan
sesuai dengan jenis bahaya yang
dihadapinya.
d) Pengendalian Pemanfaatan
Ruang
Bagian ini menjelaskan mengenai
mekanisme pengendalian
pemanfaatan ruang yang dapat
dilakukan pada kawasan rawan
bencana. Berbagai materi yang
tercakup pada bagian ini adalah
peraturan zonasi, perijinan, sanksi,
dan perangkat insentif dan
disinsentif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Komarudin. 1997. Menelusuri
Pembangunan Perumahan Dan
Permukiman. Yayasan Realestat
Indonesia. PT.Rakasindo. Jakarta.
2. Kajian Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi
3. Kerjasama Pemda dengan PVMBG
4. Nasiruddin Mahmud. 1995. Penentuan
Lokasi Perumahan di Kabupaten DT II
Bandung.Jurusan TPL ITB, ,3.
5. Otto Soemarwoto. 1985. Ekologi
Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
6. RUU Penanggulangan Bencana
7. Standar Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Bangunan
Gedung SNI – 1726 - 2002
8. Studi PMB-ITB –Pemkot Bandung
dalam IUDMP-RADIUS tahun 1999
9. Tata Cara Perencanaan Akses
Bangunan Dan Akses Lingkungan
Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
Pada Bangunan Gedung SNI 03-1735-
2000.
10. Thunen Von & Dunn, 1977.
Perencanaan Fisik, ITB. Bandung.
11. Tata Cara Perencanaan Bangunan
Sederhana Tahan Angin SNI 03-2397-
1991
12. UU Nomor 26/2007 tentang Penataan
Ruang
13. UU Nomor 4/1992 tentang
Permukiman
14. UU Nomor 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana