64309912-makalah-farmakoterapi-hipertensi-kel-5-diskusi.docx
TRANSCRIPT
MAKALAH HIPERTENSI
MATA KULIAH FARMAKOTERAPI FP-5007
SEMESTER II TAHUN 2010/2011
Tanggal Presentasi : 7 April 2011
Tanggal Pengumpulan Makalah : 21 April 2011
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
Pe
rwita Sari 90710053
Rahajeng Nur I.O.P. 90710054
Rahmi Putri 90710055
Ria P. Natalia 90710056
Rifina Yanurita A. 90710057
Rika Febriana 90710058
Rika Febriyanti 90710059
Risetyawati 90710060
Rista Ayu K. 90710061
Riza Wahyuningtyas 90710062
Rusli Ananta 90710063
Ryan Rinaldi 90710064
Salman Muttaqien 90710065
Selvy Rosa 90710066
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
HIPERTENSI
A. DEFINISI
Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang umum yang berarti kenaikan tekanan darah
secara persisten. Pasien hipertensi memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 90 mmHg, atau keduanya. Krisis hipertensi (tekanan darah lebih besar dari
180/120 mmHg) dapat dikategorikan ke dalam hypertensive emergency (kenaikan tekanan
darah yang ekstrim dengan kerusakan organ akut atau progresif) atau hypertensive urgency
(kenaikan tekanan darah yang parah tanpa kerusakan organ akut atau progresif) (Dipiro,
2008). Menurut American Society of Hypertension (ASH), pengertian hipertensi adalah suatu
sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskular yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain
yang kompleks dan saling berhubungan. Berikut tabel klasifikasi tekanan darah (Brunton, et
al., 2006) :
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah
KlasifikasiTekanan Sistolik
(mmHg)Tekanan Diastolik
(mmHg)Normal < 120 Dan < 80Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89Hipertensi tahap 1 140 – 159 Atau 90 – 99Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
B. PREVALENSI
Pada penelitian di Amerika, sekitar 31% dari populasi Amerika mempunyai tekanan darah
yang tinggi (≥140/90 mmHg). Persentase pria dengan hipertensi lebih tinggi dari pada wanita
sebelum usia 45 tahun, tetapi antara usia 45 dan 54 tahun persentase wanita dengan hipertensi
sedikit lebih tinggi dari pria. Setelah usia 55 tahun, persentase wanita dengan hipertensi jauh
lebih tinggi dari pria. Prevalensi tertinggi hipertensi di Amerika berdasarkan ras adalah pada
ras non-hispanik kulit hitam (33,5%) dan diikuti oleh ras non-hispanik kulit putih (20,7%).
2
Semakin bertambahnya usia kemungkinan terkena hipertensi juga menjadi lebih besar, yaitu
sebagai contoh sekitar 50% dari populasi usia 60 - 69 tahun menderita hipertensi, dan pada
usia di atas 70 tahun prevalensinya meningkat (Brunton, et al., 2006).
Menurut hasil riskesdas pada tahun 2007, data prevalensi yang didapatkan adalah sebagai
berikut :
Hipertensi menduduki urutan kedua penyebab kematian terbanyak setelah stroke
(15,4%) yaitu 6,8%, kemudian pada urutan ketiga terdapat penyakit jantung iskemia
dengan persentase 5,1%.
Prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden komplikasi penyakit
kardiovaskular lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan laki-laki (48%).
Prevalensi hipertensi yang tinggi terdapat pada populasi laki-laki maupun
perempuan, baik di perkotaan ataupun di pedesaan.
C. PATOFISIOLOGI
Hipertensi atau penyakit darah tinggi terbagi menjadi hipertensi primer atau esesnsial dan
hipertensi sekunder. Pada hipertensi primer atau essensial, penyebab terjadinya hipertensi
tidak diketahui secara pasti, sedangkan pada hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh
penyebab yang spesifik dan dapat diketahui dengan pasti. Pada kenyataan yang terjadi,
hipertensi essensial memiliki porsi lebih besar dibandingkan hipertensi sekunder, yaitu lebih
dari 90% dari kasus hipertensi yang terjadi.
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur di dinding arteri dan dinyatakan dengan
milimeter merkuri (mmHg). Tekanan yang diukur adalah tekanan darah arteri sistolik dan
diastolik, atau yang biasa disebut dengan istilah Sistolic Blood Pressure (SBP) dan Diastolic
Blood Pressure (DBP). SBP dicapai selama jantung berkontraksi dan merupakan nilai atau
keadaan puncak, sedangkan DBP dicapai setelah bilik jantung berkontraksi dan merupakan
nilai nadir. Rata-rata tekanan arteri (MAP) adalah tekanan rata-rata sepanjang siklus jantung
berkontraksi. Hal ini terkadang digunakan secara klinis untuk mewakili keadaan tekanan
darah arteri secara keseluruhan. Tekanan darah arteri hemodinamik dihasilkan oleh interaksi
antara aliran darah dan resistensi terhadap aliran darah. Ini didefinisikan secara matematis
sebagai produk keluaran jantung atau cardiac output (CO) dan resistensi perifer total atau
3
total peripheral resistance (TPR). CO adalah penentu utama dari SBP, sedangkan TPR
sangat menentukan DBP. Pada gilirannya, CO berperan terhadap volume stroke, denyut
jantung, dan kapasitas vena.
Data epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara tekanan darah dan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular. Risiko stroke, infark miokardial, angina, gagal jantung, gagal
ginjal, atau awal kematian merupakan akibat dari gangguan kardiovaskular yang secara
langsung berhubungan dengan tekanan darah arteri.
Mekanisme pengaturan tekanan darah terdiri dari mekanisme humoral, regulasi neuronal,
komponen autoregulasi perifer, mekanisme endotel vaskular, serta kesetimbangan elektrolit
dan bahan kimia lain.
1. Mekanisme Humoral
Beberapa kelainan humoral terlibat langsung dalam perkembangan hipertensi essensial.
Mekanisme terjadinya hipertensi secara humoral dibagi menjadi 3 bagian meliputi RAAS
(Sistem Renin Angiotensin Aldosteron), hormon pelepas natrium (natriuretic hormone), serta
resistensi insulin dan hiperinsulinemia.
a. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)
Banyak faktor yang menyebabkan kenaikan tekanan darah secara kumulatif dipengaruhi
oleh Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), yang akhirnya berpengaruh terhadap
tekanan darah arteri. Namun obat-obat antihipertensi secara khusus dapat mengontrol
komponen RAAS tersebut secara selektif.
RAAS merupakan sistem endogen yang kompleks yang terlibat dalam regulasi komponen
di dalam tekanan darah arteri, dimana aktivasi paling utama dipengaruhi oleh organ ginjal
yang berfungsi sebagai sistem ekskresi dan regulasi cairan yang ada di dalam tubuh.
RAAS berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan elektrolit baik secara intraselular
maupun ekstraselular, seperti Na, K, dan cairan tubuh lainnya. Oleh karena itu, sistem ini
secara signifikan mempengaruhi aktivitas pembuluh darah dan sistem saraf simpatik serta
dapat mempengaruhi kontributor pengaturan homeostasis di dalam tekanan darah.
4
Gambar 1. Mekanisme RAAS terhadap pengaturan tekanan darah.
Renin merupakan suatu enzim yang tersimpan dalam sel juxtaglomerular, yang terletak di
bagian arteriol aferen pada ginjal. Pelepasan renin dari ginjal dimodulasi oleh beberapa
faktor, diantaranya faktor internal seperti tekanan perfusi renal, katekolamin dan
angiotensin II, serta faktor eksternal berupa komponen cairan tubuh seperti kurangnya
filtrasi Na yang mencapai makula densa yang merupakan tubulus yang mempunyai sel-sel
termodifikasi, ion Cl pada cairan ekstraselular, dan cairan intraselular berupa ion K.
Aparatus sel juxtaglomerular di dalam ginjal berperan sebagai baroreseptor. Ketika terjadi
penurunan aliran darah dan tekanan arteri pada ginjal maka sel juxtaglomerular akan
merasakan rangsangan tersebut dan menstimulasi proses sekresi renin dari ginjal. Selain
itu penurunan jumlah ion Na dan Cl melalui tubulus distal juga akan menstimulasi proses
pelepasan enzim renin dari ginjal. Di dalam cairan intraselular seperti K dan Ca ketika
mengalami penurunan maka akan mempengaruhi sistem homeostasis tubuh dan terdeteksi
5
oleh sel juxtaglomerular yang memicu pelepasan renin. Kemudian adanya rangsangan di
dalam saraf simpatis oleh katekolamin juga dapat mempercepat pelepasan renin.
Enzim renin akan mengkatalisis angiotensinogen menjadi angiotensin I dalam darah,
dimana 4 asam amino dari angiotensinogen akan dipecah sehingga terbentuk angiotensin
I di dalam darah. Kemudian ACE akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II
ketika mengikat reseptor yang lebih spesifik dimana terdapat 2 reseptor spesifik di dalam
tubuh manusia yaitu subtipe AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terletak di bagian otak, ginjal,
miokardium, vaskulatur periferal, dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 bekerja dengan
mempengaruhi respon-respon yang sangat vital bagi fungsi sistem kardiovaskular dan
ginjal. Sedangkan reseptor AT2 terletak di bagian jaringan adrenal medular, rahim, dan
otak. Rangsangan dari reseptor AT2 tidak akan mempengaruhi regulasi pada tekanan
darah. Akan tetapi jika reseptor AT1 yang bekerja maka akan melepaskan 2 asam amino
dari angiotensin I ke angiotensin II, dimana angiotensin II ini menjadi pemicu kenaikan
tekanan darah di dalam tubuh. Angiotensin II dapat menyebabkan vasokontriksi dan dapat
merangsang pelepasan katekolamin dari medula adrenal sehingga terjadi aktivasi dari
saraf simpatik, kemudian angiotensin II juga merangsang korteks adrenal untuk
mensekresi aldosteron akibatnya terjadi penyerapan kembali cairan-cairan yang ada di
dalam tubuh seperti Na dan air sehingga manifestasi dari aldosteron ini yaitu terjadi
peningkatan volume plasma, resistensi periferal total (TPR), dan akhirnya menyebabkan
kenaikan tekanan darah di dalam tubuh.
Jaringan perifer akan menghasilkan angiotensin peptida secara lokal yang dapat
mempengaruhi aktivitas biologis seperti peningkatan resistensi pembuluh darah. Selain
itu angiotensin juga diproduksi oleh jaringan lokal yang dapat menstimulasi regulator
humoral dan pertumbuhan sistem endotelium yang diturunkan untuk menstimulasi
metabolisme dan pertumbuhan otot polos vaskular. Sintesa dari angiotensin peptida dapat
memicu peningkatan resistensi pembuluh darah dalam bentuk renin plasma yang rendah
pada hipertensi essensial. Secara keseluruhan RAAS merupakan faktor penting dalam
regulasi tekanan darah arteri, oleh karena itu pengelolaan terhadap organ ginjal sangat
penting dalam regulasi cairan dan sistem ekskresi untuk menjaga sistem homeostasis
tubuh agar tidak terjadi pelepasan enzim renin, dan angiotensin I di dalam tubuh pun
tidak akan terkonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang merupakan
faktor utama dari penyakit hipertensi, dan aktivitas sistem saraf simpatik pun akan
diimbangi dengan peranan asetilkolin oleh saraf parasimpatis.
6
b. Hormon Natriureti k
Ketika terdapat hormon natriuretik di dalam sistem membran maka akan menghambat Na
dan K ATPase dan melawan gradien transport Na yang melewati seluruh membran sel.
Ketidakmampuan ginjal untuk mengeliminasi Na dapat menyebabkan retensi Na sehingga
terjadi peningkatan volume darah. Selain itu hormon natriuretik juga dapat
mempengaruhi penghambatan transport aktif pengeluaran ion Na yang terletak di bagian
arteriolar sel otot polos sehingga terjadi depolarisasi dimana peningkatan permeabilitas
membran terhadap Na dan konsentrasi Na di dalam cairan intraselular meningkat yang
akhirnya dapat meningkatkan denyut nadi dan peningkatan tekanan darah arteri. Sehingga
diperlukan suatu pengaturan aktivitas Natriuretic Peptide (NP) di dalam tubuh manusia,
dimana aktivasi dari reseptor NPR A dan NPR B akan menyebabkan vasorelaksasi dari
otot vaskular sehingga akan terjadi vasodilatasi.
c. Resistensi Insulin dan Hiperinsulinemia
Bukti terkait resistensi insulin dan hiperinsulinemia dengan hipertensi terkadang disebut
sebagai sindrom metabolik. Peningkatan konsentrasi insulin dapat menyebabkan
hipertensi karena meningkatnya retensi natrium ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem
saraf simpatik. Selain itu, insulin dapat sebagai hormon pertumbuhan seperti tindakan
yang dapat menimbulkan hipertrofi vaskular sel otot halus. Insulin juga dapat mengangkat
tekanan darah arteri dengan meningkatkan intraselular kalsium, yang mengarah ke
peningkatan resistensi pembuluh darah. Mekanisme resistensi insulin dan
hiperinsulinemia terjadi pada hipertensi essensial yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Regulasi Neuronal
Regulasi neuronal melibatkan aktivitas dari sistem saraf pusat dan saraf otonom yang
meliputi saraf simpatis dan saraf parasimpatis, dimana sejumlah reseptor dapat meningkatkan
atau menghambat pelepasan neurotransmiter berupa norepinefrin (NE) yang terletak di
permukaan presinaptik dari batasan simpatik. Adanya rangsangan dari reseptor α presinaptik
(α2) memberikan inhibisi negatif dalam pelepasan neurotransmiter norepinefrin, sedangkan
rangsangan dari reseptor β presinaptik akan memediasi pelepasan lebih lanjut dari aktivitas
neurotransmiter norepinefrin di sistem saraf simpatis.
7
Pada sistem saraf simpatis terdapat bagian preganglion – ganglion – pasca ganglion dimana
pada bagian pasca ganglion terdapat adrenergik yang melepaskan neurotransmiter berupa
norepinefrin (NE) dan epinefrin (Epi) yang dapat berinteraksi dengan sel efektor. Pada
norepinefrin terdapat reseptor α1, α2, β1, β2 dan β3 akan tetapi aktivitas β2 sangat lemah
sehingga peranan reseptor β2 untuk vasorelaksasi dari otot polos tidak terlihat pada
norepinefrin walaupun kemungkinan aktivitas ini sama dengan epinefrin akan tetapi pada
bagian epinefrin aktivitas β2 lebih terlihat. Norepinefrin sering disebut sebagai agen
vasokontriktor karena semua reseptornya dapat memacu peningkatan kontraksi. Oleh karena
itu perlu adanya keseimbangan aktivitas antara saraf simpatik dan saraf parasimpatik untuk
regulasi komponen tekanan darah arteri.
Reseptor β1 terletak dibagian jantung dan sel juxtaglomerular ketika ada aktivasi dapat
meningkatkan sekresi renin, reseptor β2 terletak di otot polos seperti bronkus, pembuluh
darah, saluran cerna, otot rangka, dan hati adanya aktivasi reseptor ini dapat menyebabkan
vasorelaksasi otot polos. Sedangkan reseptor β3 terletak pada jaringan lemak. Untuk reseptor
α1 terletak di otot polos dan α2 di bagian ujung saraf adrenergik ketika ada aktivasi kedua
reseptor tersebut dapat menyebabkan vasokontriksi kecuali pada otot polos di bagian usus
mengalami vasorelaksasi.
3. Komponen Autoregulasi Perifer
Adanya rangsangan abnormalitas pada organ ekskresi ginjal dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan pemicu hipertensi. Ketika terjadi rangsangan yang berlebihan maka akan
menyebabkan kerusakan pada ginjal dalam mengekskresikan garam seperti NaCl, sehingga
terjadi pengulangan dari proses autoregulator jaringan, kemudian terjadi peningkatan volume
cairan dalam ginjal dan hasilnya tekanan darah arteri akan meningkat.
Pada bagian ginjal terdapat nefron yang berfungsi untuk memfiltrasi cairan yang masuk
melalui glomerulus dan memelihara tekanan darah melalui mekanisme adaptasi volume
tekanan, sehingga ketika tekanan darah dalam tubuh menurun maka ginjal akan merespon
dengan cara menaikkan penyimpanan dari cairan berupa air dan garam. Hal ini dimaksudkan
untuk memperbesar volume plasma dan cardiac output (CO) dengan tujuan untuk
memelihara kondisi homeostasis tekanan darah.
Asupan oksigen akan dipelihara oleh proses autoregulatori lokal sehingga oksigen yang
tersimpan pada jaringan cukup terpenuhi ketika ada permintaan di jaringan dalam kondisi
8
normal sampai rendah, akan tetapi arteri lokal relatif mengalami vasokontriksi, kenaikan
permintaan metabolik dapat memicu vasodilatasi arteri dengan mekanisme ketahanan
pembuluh darah perifer yang rendah dan terjadi kenaikan aliran darah dan penghantaran
oksigen melalui proses autoregulasi. Pada mekanisme adaptasi renal, ketika terjadi kerusakan
intrinsik dapat meningkatkan volume plasma dan terjadi kenaikan aliran darah ke jaringan
perifer. Proses ini dapat mengakibatkan kenaikan terhadap ketahanan pembuluh darah perifer
dan jika berlangsung lama elastisitas dinding pembuluh akan menurun dan mengalami
penebalan dinding arteri, sehingga secara patofisiologi penebalan pembuluh darah perifer
merupakan indikasi dari pasien yang mengidap penyakit hipertensi essensial atau primer.
4. Mekanisme E ndotel V askular
Endotel vaskular dan otot polos memegang peranan penting dalam regulasi aliran darah dan
peningkatan tekanan darah. Pengaturan ini dimediasi oleh substansi vasoaktif yang disintesis
oleh sel endotel. Endotelium akan mensekresi endotelin yang merupakan substansi
vasokontriksi, selain itu endotelin juga bisa dihasilkan oleh miosit kardiak pada manusia.
Endotelin terdiri dari tiga tipe, yaitu ET-1, ET-2 dan ET-3, ketiganya berpotensi kuat untuk
menyebabkan vasokonstriksi. ET-1 merupakan bentuk yang paling sering terekspresi di
antara famili endotelin lainnya. Dua subtipe reseptor endotelin yang telah ditemukan pada
miokardial manusia, yaitu tipe A dan B. Reseptor ET(A) menimbulkan vasokonstriksi,
proliferasi sel, hipertrofi patologis, fibrosis dan peningkatan kontraktilitas, sedangkan ET(B)
berperan dalam menghilangkan efek ET-1, pelepasan Nitric Oxide (NO) dan prostasiklin.
Pelepasan ET dari sel endotel dapat ditingkatkan oleh beberapa agen vasoaktif (NE,
angiotensin II, trombin) dan sitokin.
5. Elektrolit dan Bahan Kimia Lain
Penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa diet tinggi natrium berhubungan dengan
prevalensi stroke dan hipertensi. Sebaliknya, diet rendah natrium berhubungan dengan
prevalensi rendah hipertensi. Studi klinis telah menunjukkan secara konsisten bahwa diet
pembatasan natrium menurunkan tekanan darah dalam jumlah banyak (tetapi tidak semua)
terhadap pasien. Mekanisme yang menyebabkan kelebihan natrium pada hipertensi tidak
diketahui. Namun, hal ini mungkin berhubungan dengan peningkatan sirkulasi hormon
natriuretik, yang akan menghambat intraselular transportasi natrium, menyebabkan
peningkatan reaktivitas vaskular dan meningkatnya tekanan darah.
9
D. ETIOLOGI
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan
pasien hipertensi, etiologi patofisiologinya tidak diketahui atau disebut dengan hipertensi
essensial atau hipertensi primer. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikendalikan. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab
yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder
yaitu meliputi penyebab endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat
diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial
(Departemen Kesehatan, 2006).
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu hipertensi primer
(essensial) dan hipertensi sekunder.
1. Hipertensi P rimer ( Essensial )
Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut
juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 90% hingga 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis,
sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular,
dan faktor – faktor yang meningkatkan resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polisitemia (Mansjoer, 2000).
Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah
diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan
darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi
essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi
keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang
merubah ekskresi urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen (Departemen Kesehatan, 2006).
10
2. Hipertensi S ekunder
Kurang dari 10% merupakan penderita hipertensi sekunder dari penyakit komorbid atau
obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus,
disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab
sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan
darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Obat yang Dapat Meningkatkan Tekanan Darah
Penyakit Obat Penyakit ginjal kronis Hiperaldosteronisme
primer Penyakit renovaskular Sindrom Cushing Pheochromocytoma Koarktasi aorta Penyakit tiroid atau
paratiroid
Kortikosteroid, ACTH Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar
estrogen tinggi) NSAID, COX-2 inhibitor Fenilpropanolamin dan analog Cyclosporin dan takrolimus Eritropoetin Sibutramin Antidepresan (terutama venlafaxine)
Keterangan : NSAID : non steroid antiinflammatory drug, ACTH: adrenokortikotropik hormon
Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan
tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Departemen Kesehatan, 2006).
E. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya dapat
ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali
terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Pengukuran tekanan darah dilakukan
dalam keadaan pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran
pembungkus lengan yang sesuai. Tensimeter dengan air raksa masih tetap dianggap alat
pengukur yang terbaik (Mansjoer, 2000).
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkatan hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan
gejala penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung,
11
penyakit serebrovaskular, dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga,
gejala-gejala yang berkaitan dengan penyebab hipertensi, perubahan aktivitas/ kebiasaan
(seperti merokok), konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping
terapi antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga,
pekerjaan, dan sebagainya) (Mansjoer, 2000).
Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan
jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang pada lengan kontralateral. Dikaji perbandingan
berat badan dan tinggi pasien. Kemudian dilakukan pemeriksaan funduskopi untuk
mengetahui adanya retinopati hipertensi, pemeriksaan leher untuk mencari bising karotid,
pembesaran vena dan kelenjar tiroid. Dicari tanda – tanda gangguan irama dan denyut
jantung, pembesaran ukuran, bising, derap, dan bunyi jantung ketiga atau empat. Paru-paru
diperiksa untuk mencari ronki dan bronkospasmus. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk
mencari adanya massa, pembesaran ginjal, dan pulsasi aorta yang abnormal. Pada ekstremitas
dapat ditemukan pulsasi arteri perifer yang menghilang, edema, bising. Dilakukan juga
pemeriksaan neurologi (Mansjoer, 2000).
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih klasifikasi sesuai WHO/ ISH karena
sederhana dan memenuhi kebutuhan, tidak bertentangan dengan strategi terapi, tidak
meragukan karena karena memiliki sebaran luas dan tidak rumit, serta terdapat pula unsur
sistolik yang juga penting dalam penentuan (Mansjoer, 2000).
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan WHO/ISH
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)Normotensi < 140 < 90Hipertensi ringan 140-180 90-105Hipertensi perbatasan 140-160 90-95Hipertensi sedang dan berat >180 >105Hipertensi sistolik terisolasi >140 < 90Hipertensi sistolik perbatasan 140-160 < 90
Hipertensi sistolik terisolasi adalah hipertensi dengan tekanan sistolik sama atau lebih dari
160 mmHg, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg. Keadaan ini berbahaya dan
memiliki peranan sama dengan hipertensi diastolik, sehingga harus diterapi (Mansjoer, 2000).
12
Klasifikasi pengukuran tekanan darah berdasarkan The sixth Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure,
1997 dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC-VI
Kategori Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Rekomendasi
Normal < 130 < 85 Periksa ulang dalam dua tahun.Perbatasan 130-139 85-89 Periksa ulang dalam satu tahun.Hipertensi tingkat 1
140-159 90-99 Konfirmasi dalam satu sampai dua bulan. Anjurkan modifikasi gaya hidup.
Hipertensi tingkat 2
160-179 100-109 Evaluasi atau rujuk dalam satu bulan.
Hipertensi tingkat 3
≥ 180 ≥ 110 Evaluasi atau rujuk segera dalam satu minggu berdasarkan kondisi klinis.
Catatan : pasien tidak sedang sakit atau minum obat antihipertensi. Jika tekanan sistolik dan diastolik berada dalam kategori yang berbeda, masukan kedalam kategori yang lebih tinggi.
Secara garis besar pemeriksaan hipertensi dibagi menjadi 3, yaitu anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnesa
Pada anamnesa pemeriksaan hipertensi, diperiksa mengenai riwayat dan gejala penyakit
seperti jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal, dan serebrovaskular. Kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi makanan berlebihan juga diperiksa. Selain itu dilakukan
pemeriksaan riwayat pemakaian obat oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dimulai dari penampilan secara umum, apakah terdapat obesitas
pada daerah wajah dan obesitas seperti pada Cushing's syndrome. Selain itu diperiksa
apakah terdapat perkembangan dari eksremitas atas yang tidak proporsional dengan
eksremitas bawah yang menunjukkan adanya coarctation dari aorta. Selanjutnya
pemeriksaan tekanan darah pada posisi supine ke posisi berdiri, dimana adanya
peningkatan tekanan diastolik sering menunjukan hipertensi essensial. Pemeriksaan fisik
selain untuk memeriksa tekanan darah juga untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya
tanda-tanda hipertensi sekunder atau komplikasi yang telah terjadi pada organ-organ
tertentu. Minimal pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah tanda-tanda vital yaitu berat
13
badan, tinggi badan, denyut nadi, dan tekanan darah. Pengukuran tekanan darah yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
Pengukuran rutin di kamar periksa
Dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di
lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dua kali dengan
jeda 1-5 menit, dan pengukuran tambahan dilakukan jika terdpat perbedaan hasil yang
signifikan. Untuk usia lanjut, diabetes, dan kondisi lain dimana diperkirakan ada
kondisi ortostatik perlu dilakukan pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.
Pengukuran 24 Jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
Pengukuran ini menggunakan sebuah alat yang diikatkan pada tangan pasien. Untuk
mengukur tekanan darah selama 24 jam.
Pengukuran sendiri oleh pasien
3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dilakukan antara lain analisis urin, analisis
kalium dan natrium plasma, glukosa darah, kreatinin urin, kolesterol serum, dan
elektrokardiogram.
Tanda dan Gejala Hipertensi
Hipertensi disebut pula dengan “silent killer” sebab kebanyakan pasien tidak menemukan
gejala-gejala yang pasti dan yang ada hanyalah kenaikan tekanan darah. Hipertensi tidak
dapat dinyatakan valid jika pemeriksaan tekanan darah hanya dilakukan satu kali, namun
dapat terdeteksi jika dilakukan dua sampai tiga kali pemeriksaan tekanan darah dalam waktu
yang berbeda. Kemudian dirata-rata dan dapat ditetapkan berapa tekanan darah pasien
(Dipiro, 2009).
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi.
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian,
gejala muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala lain yang
sering ditemukan adalah sakit kepala, sering capek dan pegal, lelah, gugup, mati rasa dan
kesemutan pada kaki, sesak nafas/ nafas pendek, batuk dan hidung berdarah (epistaksis),
muka kemerahan, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata
berkunang-kunang, dan pusing. (Mansjoer, 2000).
14
Hipertensi juga dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa organ, diantaranya adalah :
Otak, dapat menyebabkan Stoke, TIA (transient ischemic attack)
Mata dapat menyebabkan Retinopati
Jantung dapat menyebabkan Angina, Infark miokard, gagal jantung
Ginjal dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease / Gagal ginjal
F. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi.
1. Faktor Resiko yang Tidak D apat Dimodifikasi
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka
semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan
meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang
mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang
dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur. Usia
yang meningkat akan mengakibatkan penebalan dan kekakuan pada dinding arteri akibat usia
lanjut. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah
pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya
dan menyebabkan naiknya tekanan (Julianti, 2005).
Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa
muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih
tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause (Departemen
Kesehatan, 2006).
Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi
hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita
memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena
hipertensi (Jhondry, 2010).
15
2. Faktor Resiko yang Dapat Di modifikasi
Garam dapur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang
minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah
jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-
20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan
volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004). Konsumsi garam yang tinggi
selama bertahun-tahun akan meningkatkan tekanan darah karena kadar natrium dalam sel-sel
otot halus pada dinding arteriol juga meningkat. Kadar natrium yang tinggi ini memudahkan
masuknya kalsium ke dalam sel-sel tersebut. Hal ini kemudian menyebabkan arteriol
berkontraksi dan menyempit pada lingkar dalamnya. Masuknya air dalam jumlah besar ke
dalam pembuluh darah menyebabkan volume darah yang ada dalam sistem peredaran darah
bertambah. Akibatnya, tekanan darah meninggi (WebBooks,2007).
Garam mengandung 40% natrium dan 60% klorida. Orang-orang peka natrium akan lebih
mudah meningkatkan konsentrasi natrium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan
tekanan darah (Sheps, 2000).
Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi. Gangguan pembuluh darah
ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan
garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika
asupan garam 5-15 gram per hari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo,
2004).
Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang
diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang
berlebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam
sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi
(Wijayakusuma, 2000).
Merokok merupaka salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan
hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekanan darah karena nikotin akan
diserap pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke
otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk
melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah
dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Selain itu,
16
karbon monoksida dalam asap rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan
mengakibatkan tekanan darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen
yang cukup kedalam organ dan jaringan tubuh (Jhondry, 2010).
Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuat aktivitas
akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung
akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Jhondry, 2010).
Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana
hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan
saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Stress yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum
terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami
kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001)
G. TERAPI HIPERTENSI
Terapi hipertensi secara umum bertujuan untuk menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas
yang ditimbulkan akibat hipertensi. Morbiditas dan mortalitas ini berhubungan dengan
kerusakan organ target seperti gagal jantung dan penyakit ginjal. Penanganan hipertensi dapat
dilakukan secara nonfarmakologi dan farmakologi. Penanganan hipertensi secara
nonfarmakologi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup dan mengendalikan
faktor resiko lain penyebab hipertensi. Untuk penderita prehipertensi penanganan dilakukan
secara nonfarmakologi, sedangkan untuk penderita hipertensi terlebih dahulu ditangani secara
nonfarmakologi, namun bila belum berhasil maka selain dengan terapi nonfarmakologi,
diberikan juga terapi secara farmakologi dengan obat antihipertensi. Pemilihan obat secara
spesifik untuk terapi dipengaruhi secara signifikan oleh gejala penurunan resiko yang terlihat.
17
Gambar 2. Algoritma Terapi Hipertensi
1. Penanganan Non Farmakologi
Edukasi pasien
Edukasi kepada pasien memiliki peranan yang sangat penting. Sebelum melakukan terapi,
sebaiknya pasien diberi informasi mengenai penyakit hipertensi secara umum. Informasi
mengenai prevalensi, faktor resiko, serta terapi hipertensi akan membantu meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi. Dengan pemahaman pasien mengenai hipertensi,
diharapkan dapat menunjang proses terapi sehingga terapi yang dilakukan dapat efektif.
Modifikasi Gaya Hidup
Dasar terapi hipertensi secara nonfarmakologi adalah dengan memodifikasi gaya hidup dan
kontrol faktor resiko lain penyebab hipertensi. Pasien hipertensi harus diberi arahan untuk
memodifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah. Selain untuk menurunkan
tekanan darah pada pasien yang telah diketahui menderita hipertensi, modifikasi gaya hidup
juga dapat menurunkan perkembangan penyakit hipertensi bagi pasien yang didiagnosis
18
menderita prehipertensi. Modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi dilakukan 3 hingga 6
bulan kemudian diamati perkembangan penyakit hipertensi yang diderita. Bila kemajuan
yang terjadi tidak signifikan, maka dapat diberikan terapi secara farmakologi dengan obat
antihipertensi. Selama terapi menggunakan obat antihipertensi modifikasi gaya hidup pasien
harus tetap dijaga.
Modifikasi gaya hidup yang dilakukan untuk menurunkan tekanan darah pasien penderita
hipertensi meliputi penurunan bobot badan pada individu yang kelebihan berat badan atau
obesitas, pengaturan pola makan, pengurangan konsumsi natrium, aktivitas fisik, dan
pengurangan konsumsi alkohol.
Tabel 5. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengatur Hipertensi
Modifikasi RekomendasiRata-rata penurunan SBP (mmHg)
Penurunan bobot badan
Memelihara bobot badan normal (BMI 18,5-24,9 kg/m2).
5-20 per 10 kg berat badan yang hilang.
Pola diet tipe DASH Mengkonsumsi diet kaya buah, sayur, dan produk susu rendah lemak serta pengurangan kandungan lemak total dan lemak jenuh.
8-14
Pengurangan konsumsi natrium
Menurunkan pemasukan natrium harian sebanyak mungkin, idealnya hingga 65 mmol/hari (1,5 g/hari natrium atau 3,8 g/hari natrium klorida)
2-8
Aktivitas fisik Melakukan aktivitas fisik aerobik (minimal 30 menit/hari, hampir setiap hari dalam seminggu)
4-9
Penurunan konsumsi alkohol
Batas konsumsi ≤ 2 gelas (1 oz atau 30 mL etanol, seperti 24 oz bir atau 10 oz wine) / hari pada pria dan ≤ 1 gelas per hari pada wanita dan yang memiliki bobot badan rendah.
2-4
Keterangan :DASH : Dietary Approaches to Stop HypertensionSBP : Sistolic Blood Pressure
A. Penurunan B obot B adan
Kecenderungan hipertensi terjadi dua sampai tiga kali lebih tinggi pada orang dengan
kelebihan bobot badan dibandingkan dengan orang yang kekurangan bobot badan. Lebih
dari 60% pasien dengan hipertensi memiliki bobot badan yang berlebih. Kehilangan
19
bobot ± 5 kg pada pasien yang kelebihan bobot badan dapat menurunkan tekanan darah
secara signifikan.
Bobot badan seseorang memiliki hubungan yang erat dengan tekanan darah. Peningkatan
asupan energi dapat menyebabkan adanya peningkatan insulin yang dapat meningkatkan
reabsorpsi natrium sehingga akan dihasilkan peningkatan tekanan darah.
Salah satu modifikasi gaya hidup yang dapat dilakukan untuk menjaga tekanan darah
adalah dengan cara menjaga bobot badan dalam keadaan ideal. Salah satu parameter
untuk mengetahui status bobot badan seseorang adalah dengan menggunakan sistem Body
Mass Index (BMI). Berdasarkan BMI, bobot badan seseorang dapat dikatakan normal bila
berada pada rentang 18,5 hingga 24,9 kg/m2. Bila BMI seseorang mencapai lebih dari
angka 30 kg/m2 maka sudah merupakan titik batas obesitas dan diperlukan adanya
pemantauan yang teratur.
Pada pasien penderita hipertensi yang mengalami obesitas, harus dilakukan penurunan
bobot badan dengan berbagai cara, seperti pengaturan pola diet rendah kalori dan
aktivitas fisik. Penurunan bobot badan yang signifikan dapat menurunkan tekanan darah
sistolik yaitu sebesar 5 hingga 20 mmHg per 10 kg berat badan yang hilang.
Penurunan bobot badan yang mengakibatkan penurunan tekanan darah pada pasien
hipertensi dapat mendukung terapi hipertensi secara farmakologi dengan obat
antihipertensi. Selain dapat menjaga kestabilan tekanan darah, terjadinya penurunan
tekanan darah yang lebih besar dapat mengurangi jenis dan jumlah obat antihipertensi
yang digunakan. Keuntungan lain dari penurunan bobot badan adalah dapat
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit
diabetes melitus.
B. Pola D iet T ipe DASH
Dietary Approaches to Stop Hypertension atau DASH merupakan pola diet yang
direkomendasikan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute (salah satu bagian dari
Departemen Kesehatan Amerika Serikat) bagi para penderita hipertensi karena cukup
efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pola diet tipe DASH ini adalah dengan cara
mengkonsumsi diet kaya buah, sayur, dan produk susu rendah lemak serta pengurangan
kandungan lemak total dan lemak jenuh. Mekanisme kerja dari tipe diet ini belum
20
diketahui secara jelas, namun diperkirakan ada hubungan antara diet ini dengan
penurunan asupan natrium. Tekanan darah sistolik menurun setelah dua minggu
mengikuti diet tipe DASH dan dari pola diet ini dapat dihasilkan penurunan tekanan
darah sistolik sekitar 8 – 14 mmHg.
C. Pengurangan K onsumsi Natrium
Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh konsumsi natrium berlebih. Adanya ion
natrium dan ion klorida dapat meningkatkan reabsorpsi cairan sehingga tekanan darah
dapat meningkat.
Hampir seluruh orang yang mengurangi konsumsi natrium mengalami penurunan tekanan
darah sistolik. Rekomendasi untuk penderita hipertensi adalah dengan menurunkan
pemasukan natrium harian sebanyak mungkin, idealnya hingga 65 mmol/hari (1,5 g/hari
natrium atau 3,8 g/hari natrium klorida). Pada pasien penderita hipertensi tahap 1,
pengurangan konsumsi garam dapat menormalkan dan menstabilkan tekanan darah.
D. Aktivitas F isik
Aktivitas fisik yang dilakukan oleh penderita hipertensi dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 4 hingga 9 mmHg. Aktivitas fisik yang direkomendasikan adalah melakukan
aerobik atau jalan cepat minimal 30 menit/hari, dan dilakukan hampir setiap hari dalam
satu minggu. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan dan
menstabilkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Aktivitas fisik ini juga berhubungan
dengan proses penurunan bobot badan sehingga bila dilakukan secara bersamaan dengan
pola diet maka dapat menurunkan tekanan darah dengan efektif.
E. Penurunan K onsumsi A lkohol
Konsumsi alkohol memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya peningkatan tekanan
darah. Adanya alkohol di dalam darah diperkirakan akan mempengaruhi suplai oksigen
dan nutrien sehingga jantung harus memompa darah lebih cepat yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan darah. Oleh karena itu dengan menurunkan jumlah
konsumsi alkohol dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah.
Batas konsumsi alkohol yang direkomendasikan adalah kurang dari 2 gelas (1 oz atau 30
mL etanol, seperti 24 oz bir atau 10 oz wine) per hari pada pria dan kurang dari 1 gelas
21
per hari pada wanita dan yang memiliki bobot badan rendah. Penurunan konsumsi
alkohol ini dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2 – 4 mmHg.
Faktor Lain
A. Kalium
Asupan kalium pada seseorang dapat mempengaruhi tekanan darah. Peningkatan jumlah
asupan kalium dapat menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah ini dapat
dikarenakan adanya penurunan resistensi vaskular akibat dilatasi pembuluh darah serta
adanya peningkatan kehilangan air dan natrium dari tubuh hasil aktivitas pompa natrium-
kalium. Asupan kalium idealnya adalah 4,7 g/hari dan dapat diperoleh dari buah dan
sayur yang mengandung kalium tinggi. Makanan kaya kalium antara lain jeruk, kentang,
pisang, alpukat, bayam, labu, brokoli, kacang, buncis, ikan kod, susu, tomat, dan yoghurt.
B. Kalsium
Asupan kalsium tinggi biasanya dianjurkan pada pola diet penderita hipertensi. Asupan
kalsium yang rendah dapat mengganggu kesetimbangan kalsium intraselular dan
ekstraselular, yang akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi kalsium intraselular.
Ketidakseimbangan ini dapat memicu terjadinya peningkatan resistensi vaskular periferal.
Kalsium dapat diperoleh dari produk susu (susu dan keju) serta dari kedelai, bayam,
kacang, rumput laut, dan brokoli.
C. Magnesium
Asupan tinggi magnesium dipercaya dapat membantu menurunkan tekanan darah.
Magnesium bekerja dengan menghambat kontraksi otot polos sehingga dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Magnesium dapat diperoleh dari bayam,
kacang, susu kedelai, pisang, dan brokoli.
D. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Mekanisme peningkatan tekanan darah dari merokok adalah dengan adanya nikotin di
dalam rokok yang akan menstimulasi pelepasan epinefrin yang akan menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi yang berakibat tekanan darah menjadi lebih tinggi (Jhondry,
22
2010). Oleh karena itu pada penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok agar
dapat membantu dalam menurunkan tekanan darah.
2. Penanganan Farmakologi
Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan obat antihipertensi kepada semua pasien
dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang gagal merespon terapi non obat. Terapi
obat antihipertensi diberikan untuk mencapai nilai target tekanan darah. Target terapi adalah
tekanan darah <140/90 mmHg atau 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit diabetes
mellitus dan penyakit ginjal kronis, penyakit arteri koroner yang diketahui (infark miokardial,
angina), penyakit atherosclerosis vascular non koroner (stroke iskemia, penyakit arterial
periferal, dll). Selain itu, pasien dengan penyakit disfungsi ventrikular kiri (gagal jantung)
target tekanan darahnya ialah kurang dari 120/80 mmHg (Dipiro, 2008).
Tekanan arterial merupakan hasil dari kardiak output dan resistensi periveral vaskular. Obat
menurunkan tekanan darah dengan mekanismenya lewat resistensi periferal, kardiak output,
atau keduanya. Obat dapat menurunkan kardiak output dengan menginhibisi kontraktilitas
miokardial atau dengan menurunkan tekanan ventrikular. Obat juga dapat menurunkan
resistensi periferal dengan bekerja pada otot polos yang menyebabkan relaksasi pumbuluh
atau dengan berinterferensi pada aktivitas sistem yang menghasilkan konstriksi pembuluh
(contoh: sistem saraf simpatik).
Obat-obat antihipertensi dapat diklasifikasikan menurut tempat mekanisme kerjanya, yaitu
meliputi :
Agen antihipertensi individual utama
a. Diuretik
1. Thiazida dan agen berhubungan lainnya (hydrochlorothiazide, chlorthalidone)
2. Loop diuretik (furosemid, bumetanid, torsemid, asam etakrinat)
3. Diuretik hemat kalium (amiloride, triamterene, spironolactone)
4. Antagonis aldosteron
b. Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE Inhibitor)
c. Angiotensin Receptor Bloker (ARB)
d. Calcium Channel Bloker (CCB)
e. β-bloker
23
Pilihan Terapi Obat Awal
Dengan compelling indication
Tanpa compelling indication
Obat pilihan sesuai dengan compelling indication dan anti hipertensi lain jika
diperlukan
Tingkat 1(sistol 140-159 atau
diastol 90-99)
Tingkat 2(sistol > 160 atau
diastol >100 mmHg)
Kombinasi 2 macam obat biasanya diuretik
thiazida dan ACE inhibitor/ARB atau β-
bloker atau CCB
Diuretik thiazida dapat pula
dipertimbangkan, ACE inhibitor, ARB,
β-bloker, CCB maupun kombinasi
Agen antihipertensi alternatif
a. α-Bloker
b. Aliskiren
c. Agonis Sentral α-2
d. Reserpin
e. Vasodilator Arterial Langsung
f. Agen-agen lainnya
Gambar 3. Algoritma penanganan hipertensi
Guidelines terapi dari JNC7 merekomendasikan diuretik tipe thiazida sebagai terapi utama
untuk kebanyakan pasien. Hal ini berdasarkan percobaan-percobaan yang telah banyak
24
dilakukan bahwa diuretik thiazida menunjukkan reduksi signifikan pada stroke, MI, penyakit
kardiovaskular lainnya, dan mortalitas.
Penggunaan obat-obat dari kelas yang berbeda merupakan salah satu strategi untuk
mendapatkan kontrol efektif dari tekanan darah sementara meminimalisasikan efek samping
yang berkaitan dengan dosis.
Hampir setiap pasien hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih pengobatan antihipertensi
untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan. Tambahan obat kedua dari kelas yang
berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal pada dosis yang cukup gagal untuk
mencapai tekanan darah yang diinginkan. Ketika tekanan darah lebih dari 120/10 mmHg
diatas tekanan darah yang diinginkan, maka dipertimbangkan untuk diberikan terapi awal
dengan dua obat, baik resep terpisah atau dengan kombinasi tetap. Inisiasi terapi obat dengan
lebih dari dua senyawa aktif dapat meningkatkan kemungkinan mencapai tekanan darah yang
diinginkan, tetapi perhatian diberikan pada kelompok yang berisiko hipotensi ortostatik
seperti pasien dengan diabetes, gangguan sistem otonom, dan lansia. Umumnya obat-obat
yang diberikan untuk tiap individual berbeda karena respon klinik yang diberikan obat untuk
tiap individu berbeda, tergantung pada variasi genetik antar individu. Misalnya, untuk
beberapa obat-obat antihipertensi, pada sekitar 2/3 pasien akan memberikan respon klinik
yang berarti, sedangkan pada 1/3 pasien lainnya tidak memberi respon yang sama pada obat
tersebut (GG, 2005).
Diuretik (terutama tipe thiazida), inhibitor ACE, Angiotensin Reseptor Bloker (ARB), atau
Ca-channel bloker (CCB) merupakan obat-obat antihipertensi yang dianggap sebagai pilihan
utama. Agen-agen ini dapat digunakan untuk kebanyakan pasien hipertensi, hal ini terbukti
dari data yang ada telah menunjukkan keuntungan penurunan resiko kardiovaskular. Untuk
pasien dengan peningkatan tekanan darah yang lebih parah (hipertensi tingkat 2), terapi
kombinasi obat, dengan salah satu agennya diuretik thiazida lebih diutamakan.
Compelling Indication
Laporan JNC7 menyebutkan bahwa terdapat 6 jenis compelling indication yang
mempresentasikan kondisi tidak normal. Dari data uji klinik didapatkan hasil bahwa
penggunaan obat antihipertensi kelas tertentu pada kasus-kasus tersebut dapat digunakan
untuk mengobati hipertensi sekaligus compelling indicationnya.
25
Gambar 4. Terapi Hipertensi Pada Kondisi Compelling Indication
Berikut penjelasan mengenai masing-masing compeling indication serta penggunaan
kombinasi obatnya :
1. Gagal Jantung
Terdapat 5 kelas obat anti hipertensi yang didaftarkan untuk compeling indication gagal
jantung. Rekomendasi kelima kelas tersebut biasanya untuk gagal jantung sistolik dimana
patofisiologi utamanya adalah menurunannya kontraktilitas kardiak. ACE inhibitor
merupakan golongan pilihan pertama dalam kasus ini didasarkan pada serangkaian kasus
dimana terbukti penggunaan ACE inhibitor dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Diuretik juga merupakan obat pilihan pertama dikarenakan efek pereda simptom dalam
bentuk penurunan edema akibat diuresis. Diuretik jerat Henle sering digunakan terutama
untuk pasien dengan gagal jantung sistolik yang parah. ACE inhibitor harus digunakan
dalam dosis yang rendah terlebih dahulu pada pasien dengan kondisi gagal jantung
terutama pasien dengan ekserbasi akut. Kondisi gagal jantung akan menginduksi kondisi
26
Compelling indicationGagal
jantu
ng
Infark miokardia akhir
Risiko
penyakit koroner
tinggi
Diabetes
mellitus
Penyakit
ginjal kroni
s
Pencegahan
stroke kambu
hDiuretik
ACEI-block
erARB/Aldosteroneantago
nist
-block
er
Aldosterone antago
nist
-block
er
CCB,Diure
tik
ACEI/ARB
diuretik-
blocker,
CCB
ACEI/ARB
Diuretik
ACEI atau ARB
= terapi standar
= terapi alternatif
ACEI /ARB
ACEI /ARB
= terapi tambahan
rennin yang tinggi dan penggunaan ACE inhibitor pada kondisi ini akan menyebabkan
efek dosis pertama yang dapat berakibat pada hipotensi ortostatik.
β-bloker dapat digunakan jika obat pilihan pertama tidak berhasil. Data klinik telah
menunjukan kemampuan β-bloker untuk menurunkan mordibilitas dan mortilitas pada
pasien dengan kadar regimen diuretik dan ACE inhibitor standar. Penggunaan β-bloker
harus tepat dosisnya karena kesalahan dosis dapat berpotensi menyebabkan ekserbasi
akut. Dosis dimulai dari dosis yang sangat rendah (dibawah dosis untuk terapi hipertensi)
dan ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga mencapai dosis tinggi yang masih dapat
ditoleransi.
Selain diuretik ACE inhibitor dan β-bloker, agen anti hipertensi lain dapat digunakan
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas serta mengontrol tekanan darah jika
diperlukan. Data-data awal menunjukkan bahwa ARB lebih baik daripada ACE inhibitor
untuk gagal jantung sistolik, namun jika dilakukan pembandingan secara langsung
didapatkan hasil ACE inhibitor lebih baik daripada ARB. Oleh karena itu ARB dapat
digunakan sebagai terapi alternatif bagi pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan
ACE inhibitor ataupun sebagai tambahan dari regimen 3 obat diatas.
Penggunaan antagonis aldosteron dapat pula menurunkan morbiditas dan mortilitas pada
gagal jantung sistolik. Spinololakton telah diuji pada gagal jantung parah dan menunjukan
hasil yang baik dengan kombinasi duiretik dan ACE inhibitor.
2. Sesudah Infark M iokardial
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko untuk infark miokardial sehingga
pengontrolan tekanan darah dilakukan sebagai pencegahan sekunder bagi pasien yang
telah mengalami infark miokardial. β-bloker dan ACE inhibitor merupakan obat yang
dianjurkan oleh AHA. β-bloker akan mengurangi stimulasi androgenik dan telah teruji
dalam uji klinik menurunkan resiko infark miokardial berikutnya dan cardiac sudden
death. ACE inhibitor telah teruji meningkatkan perubahan kardiak, fungsi kardiak dan
mengurangi kejadian vaskular setelah infark miokardial. Kedua kelas obat diatas
merupakan obat kelas pertama dalam kasus sesudah infark miokardial.
3. Resiko Jantung K oroner T inggi
Angina stabil akut, angina tidak stabil, dan infark miokardial adalah bentuk-bentuk
gangguan kardiak. Gagguan-gangguan tersebut merupakan bentuk gangguan patofisologi
27
hipertensi yang berasosiasi dengan organ. Terapi β-bloker telah terbukti memberikan
hasil yang baik pada gangguan-gangguan tersebut. β-bloker merupakan obat pilihan
pertama untuk kasus angina stabil kronik dan memiliki kemampuan untuk menurunkan
tekanan darah, meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung dan menurunkan kebutuhan
oksigennya.
CCB berkerja panjang telah lama digunakan sebagai alternatif untuk kasus angina stabil
kronik. Penelitian INVEST telah membandingkan terapi β-bloker dengan diuretik dan
non-hidropirin CCB dan ACE inhibitor pada populasi yang dengan gangguan angina
kronik stabil. Hasilnya adalah tidak adanya perbedaan signifikan dalam penurunan resiko
kardiovaskular.
Untuk sindrom kardiak akut, obat pilihan pertamanya adalah β-bloker dan ACE inhibitor.
Kombinasi ini akan menurunkan tekanan darah, mengontrol ischemia akut, dan
menurunkan resiko kardiovaskular. Diuretik dapat ditambahkan apabila penurunan
tekanan darah tidak mencapai tekanan darah target setelah penggunaan obat pilihan
pertama.
CCB (terutama non-dihidropiridin diltiazem dan verapamil) dan β-bloker akan
menurunkan tekanan darah dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung pada pasien-
pasien yang memiliki tekanan darah tinggi dan resiko jantung koroner yang tinggi.
Namun penggunaan CCB maupun β-bloker dapat menginduksi stimulasi kardiak akibat
faktor intrinsik, oleh karena itu penggunaan CCB maupun β-bloker menjadi pilihan kedua
dan ketiga dalam terapi pasien-pasien ini.
4. Diabetes Me litus
Pada penderita diabetes melitus target tekanan darah yang ingin dicapai adalah 130/80
mmHg dan untuk mencapai target tersebut 5 agen anti hipertensi telah menunjukkan efek
dalam mengatasi hipertensi pada penderita diabetes mellitus. Semua pasien penderita
diabetes mellitus harus diberikan agen antihipertensi kelas ACE inhibitor atau ARB
karena secara teoritis kedua agen tersebut akan memberikan efek nefroprotektif pada
ginjal. ACE inhibitor memiliki banyak sekali bukti dalam kemampuannya mengatasi
hipertensi pada pasien-pasien dengan gangguan jantung yang disertai diabetes sementara
ARB memiliki banyak bukti dalam mengatasi hipertensi pada pasien dengan gangguan
ginjal yang disertai diabetes. Salah satu dari kedua obat ini sangat direkomendasikan
untuk digunakan pada penderita diabetes. Dikarenakan target tekanan darah sulit dicapai
28
dengan pengobatan tunggal, penggunaan obat hipertensi pendukung sangat dianjurkan,
dalam hal ini biasanya digunakan diuretik thiazida. Pada beberapa penelitian didapatkan
hasil bahwa penggunaan ACE inhibitor dan ARB dapat meningkatkan sensitivitas insulin.
β-bloker telah menunjukan efek penurunan resiko kardiovaskular pada pasien penderita
diabetes. Kemampuan β-bloker untuk mengatasi hipertensi pada pasien diabetes sedikit
lebih buruk daripada ACE inhibitor. β-bloker juga dapat menyembunyikan efek dari
hipoglikemia karena efek-efek seperti tremor, palpitasi diatur oleh sistem saraf simpatik.
β -bloker diindikasikan khusus untuk penderita diabetes yang telah mengalami infark
miokardial atau memiliki resiko tinggi jantung koroner. Meskipun memiliki beberapa
kelemahan β-bloker merupakan salah satu obat yang bermanfaat bagi penderita diabetes
selain ACE inhibitor dan diuretik.
CCB juga dapat digunakan sebagai obat hipertensi pada pasien diabetes. Pada penelitian
yang membandingkan penggunaan ACE inhibitor, CCB dan β-bloker didapatkan hasil
ACE inhibitor memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan CCB. Tetapi bukan
berarti CCB tidak dapat digunakan pada penderita diabetes. Perbedaan hanya pada
efektivitasnya saja. Beberapa jenis CCB (verapamil dan diltiazem) memiliki efek
perlindungan ginjal yang lebih baik dibandingkan dihidropiridin.
Berdasarkan data-data diatas dapat disimpulkan bahwa ACE inhibitor/ARB digunakan
sebagai obat pilihan pertama pada pasien diabetes sedangkan jika diperlukan kombinasi
terapi dapat digunakan diuretik thiazida. CCB dan β-bloker merupakan obat alternatif jika
obat pilihan pertama tidak dapat digunakan.
5. Penyakit G injal K ronik
Penyakit ginjal kronik dimulai dengan mikroalbuminuria (30-299 mg albumin dalam
koleksi urin selama 24 jam) yang dapat berkembang menjadi makroalbuminuria dan
berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Kecepatan kerusakan ginjal akan dipercepat akibat
hipertensi dan diabetes. Saat seorang pasien memiliki nilai GFR (glomerulus filtration
rate) lebih kecil dari 60mL/m2 per menit atau makroalbuminuria, pasien tersebut
dinyatakan berada dalam keadaan penyakit ginjal kronik. Karena itu pasien-pasien ini
diberikan target tekanan darah 130/80 mmHg. Target tekanan darah ini biasanya dicapai
dengan menggunakan dua agen antihipertensi.
29
ACE inhibitor/ARB selain dapat menekan tekanan darah dapat pula mengurangi tekanan
intraglomelurar yang dapat mengurangi laju kerusakan ginjal. ACE inhibitor dan ARB
dapat menurunkan laju kerusakan ginjal pada pasien-pasien diabetes maupun pasien-
pasien yang tidak memiliki diabetes. Salah satu dari kedua kelas antihipertensi diatas
sebaiknya digunakan sebagai obat kelas pertama dalam penganangan hipertensi pada
pasien penyakit ginjal kronik karena dapat menjaga kerusakan ginjal. Dikarenakan
tekanan darah target yang ingin dicapai memerlukan kombinasi agen antihipertensi, agen
tambahan seperti diuretik atau β-bloker atau CCB dapat ditambahkan. Diuretik thiazida
tidak seefektif diuretik jerat Henle untuk pasien-pasien dengan nilai kreatinin clearance
dibawah 30mL/menit.
Pasien dapat mengalami penurunan tekanan darah secara mendadak ataupun kerusakan
ginjal saat terapi dengan ACE inhibitor atau ARB. Potensi kerusakan ginjal akut lebih
tinggi pada pasien-pasien dengan kondisi bilateral renal arteri stenoris. Pasien dengan
kondisi ini biasanya berumur lebih tua atau muncul pada pasien-pasien diabetes atau
perokok. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya obat diberikan dimulai dari dosis kecil
sambil diamati resiko pada ginjal selama 2 hingga 4 minggu untuk mengurangi resiko
terjadinya gagal ginjal.
6. Pencegahan Stroke K embali
Menjaga tekanan darah adalah salah satu faktor penting dalam menjaga pasien tidak
mengalami serangan stroke kembali. Tetapi penurunan tekanan darah hanya dapat
dilakukan pada pasien yang telah stabil dari peristiwa serebrovaskular akut. Dalam satu
uji klinik didapatkan hasil bahwa penggunaan kombinasi ACE inhibitor dan diuretik
thiaziada dapat mengurangi kejadian serangan stroke berulang. Pengurangan serangan
stroke berulang ini terjadi pada pasien-pasien yang memiliki nilai tekanan darah dibawah
140/90 mmHg.
Populasi Khusus
1. Hipertensi pada geriatri
Hipertensi sering muncul sebagai hipertensi sistolik pada geriatrik. Data epidiomiologi
menunjukan bahwa hipertensi terkait pada tekanan darah sistol daripada tekanan darah
diastol pada pasien berusia 50 tahun atau lebih sehingga pasien-pasien ini beresiko terjadi
30
hipertensi yang dapat merusak organ. Pasien geriatrik juga lebih sensitif terhadap
penurunan volume dan inhibisi simpatik dibandingkan pasien dengan usia lebih muda
sehingga penggunaan antihipertensi sentral seperti α-bloker sebaiknya digunakan secara
hati-hati pada pasien geriatrik yang sering mengeluhkan pusing-pusing dan mengalami
postural hipotensi. Diuretik dan ACE inhibitor dapat digunakan pada pasien geriatrik
namun dengan dosis yang lebih kecil dibanding dosis normal. Diuretik thiazida banyak
digunakan sebagai obat pertama untuk geriatrik dengan dosis kecil (contoh: 12,5mg
hidroklorthiazida). Target tekanan darah pada pasien geriatrik adalah dibawah 140/90
mmHg atau 130/80 mmHg untuk pasien geriatrik dengan diabetes/ penyakit ginjal kronis.
JNC7 juga merekomendasikan pengobatan pada pasien geriatrik disesuaikan dengan
compelling indication yang dialami oleh pasien tersebut.
2. Pasien dengan resiko hipotensi ortostatik
Ortostatik hipotensi merupakan kejadian menurunnya tekanan darah secara mendadak
biasanya terjadi penurunan 20 mmHg pada sistol ataupun 10 mmHg pada diastol pada
saat posisi tubuh berubah dari terlentang ke duduk. Pasien-pasien yang memiliki resiko
terkena ortostatik hipotensi antara lain geriatrik, penderita diabetes, dan pasien dengan
terapi vasodilator. Pada tipe pasien ini agen antihipertensi sebaiknya dimulai dari dosis
rendah terutama ACE inhibitor dan diuretik.
3. Hipertensi pada anak-anak
Pengujian hipertensi pada pasien anak-anak memerlukan perhatian khusus pada nilai
tekanan darah dibandingkan dengan pasien berumur. Umumnya kasus hipertensi pada
anak-anak ditemukan pada anak-anak yang memiliki kelebihan berat badan dan memiliki
sejarah keluarga yang memiliki hipertensi. Umumnya hipertensi pada anak-anak adalah
hipertensi sekunder dimana beberapa penyebabnya antara lain penyakit ginjal (kista renal,
renal arteri stenosis, glomerulonefritis).
Terapi utama yang dipilih adalah terapi non-farmakologi dengan target tekanan darah
95% dari hubungan tekanan darah dan usia. Jika diperlukan terapi farmakologi dapat
digunakan diuretik, β-bloker dan ACE inhibitor. Penggunaan ACE inhibitor dan ARB
dikontraindikasikan pada anak perempuan yang sedang berkembang karena dapat
memberikan efek teratogenik.
4. Jenis Kelamin
31
Wanita pada usia dibawah 50 tahun memiliki prevalensi yang lebih rendah dibandingkan
pria, namun setelah mencapai usia 50 tahun hingga 60 tahun akan setara dengan pria dan
pada usia di atas 60 tahun wanita akan memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk
terkena hipertensi. Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral, memiliki sejarah keluarga
hipertensi, memiliki penyakit ginjal, dan obesitas memiliki kemungkinan terjangkit
hipertensi yang lebih besar. Hipertensi pada wanita diduga terkait dengan perubahan
hormonal pada wanita oleh karena itu penggunaan terapi hormonal dapat digunakan.
Wanita dapat menggunakan agen antihipertensi dengan manfaat yang sama dengan pria.
Penggunaan ACE inhibitor dan ARB dikontraindikasikan pada wanita hamil dikarenakan
efek teratogenik. Terapi dengan diuretik thiazida sangat bermanfaat setelah fasa
menopause terutama untuk pasien yang mengalami osteoporosis karena diuretik thizida
mengakibatkan retensi kalsium. Wanita juga memiliki kecenderungan mengalami efek
samping yang lebih besar dibandingkan pria.
5. Kehamilan
Preklampsia dapat terjadi dan membahayakan ibu dan janinnya. Preklampsia ini biasanya
muncul setelah 20 minggu dan biasanya dideteksi dengan melihat nilai tekanan darah
(lebih besar dari 140/90). Terapi untuk pasien preklampsia tidak dapat diubah dan
diindikasi jika terjadi frank eclampsia. Antihipertensi sebaiknya digunakan terutama jika
tekanan darah diastol melebihi 105 atau 110 mmHg dengan target tekanan darah diastol
95 hingga 105 mmHg. Obat yang biasa digunakan adalah hidralazin intravena.
Hipertensi kronik juga dapat terjadi 20 minggu sebelum kehamilan. Metildopa dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi obat dengan β-bloker, labetalol, CCB sebagai
alternatif. ACE inhibitor dan ARB dikontraindikasi untuk wanita hamil karena efek
teratogenik.
Agen Antihipertensi Individual
1. Diuretik
Diuretik, terutama thiazida, merupakan agen utama untuk hipertensi. Terlebih lagi, jika
dibutuhkan terapi kombinasi untuk mengontrol tekanan darah, diuretik direkomendasikan
32
sebagai salah satu agen yang digunakan. Terdapat 4 kelas diuretik yang digunakan untuk
hipertensi: thiazida, loop diuretik, agen hemat kalium dan antagonis aldosteron.
Potasium-sparing diuretik merupakan agen antihipertensi lemah tetapi memberikan efek
aditif saat dikombinasikan dengan thiazida atau loop diuretik. Terlebih agen ini melawan
kehilangan kalium dan magnesium karena diuretik lain dan kemungkinan intoleransi glukosa.
Antagonis aldosteron secara teknis dapat dianggap agen hemat kalium, tetapi dengan efek
antihipertensi yang lebih poten.
Mekanisme aksi hipotensif dari diuretik dapat dilihat dari berbagai segi. Penurunan tekanan
darah terlihat saat diuretik pertama diberikan disebabkan oleh diuresis. Diuresis
menyebabkan penurunan pada plasma dan stroke volume, yang menurunkan kardiak output
dan tekanan darah. Penurunan dalam kardiak output ini menyebabkan peningkatan
kompensasi pada resistensi vaskular periferal.
Diuretik tipe thiazida memiliki aksi tambahan yang menjelaskan lebih lanjut mengenai efek
antihipertensinya. Thiazida memobilisasi sodium dan air dari dinding arteriolar. Efeknya
akan mengurangi jumlah perambahan fisik di lumen pembuluh, yang terbentuk dari
akumulasi berlebih dari cairan intraselular. Saat diameter lumen berelaksasi dan meningkat,
terdapat resistensi yang kurang terhadap aliran darah dan resistensi vaskular periferal
selanjutnya akan turun. Konsumsi garam yang rendah dapat meningkatkan efek tersebut.
Thiazida dipostulasikan menyebabkan relaksasi langsung pada otot polos vaskular.
Thiazida merupakan diuretik yang utama dipilih untuk mengobati hipertensi. Pada pasien
yang membutuhkan diuresis untuk menangani edema, seperti pada gagal jantung, loop
diuretik yang harus dipertimbangkan untuk diberikan. Diuretik lebih baik diberikan pada pagi
hari jika didosiskan sekali dalam sehari, dan pada pagi hari dan sore hari saat didosiskan dua
kali sehari untuk meminimalisasi resiko diuresis nokturnal. Meskipun begitu, dengan
penggunaan kronik, diuretik jarang menyebabkan diuresis.
Perbedaan farmakokinetik utama di antara diuretik tipe thiazida ialah waktu paruhnya di
serum dan durasi efek diuretik. Selebihnya, diuretik menurunkan tekanan darah melalui
mekanisme ekstrarenal. Hidroklorothiazida dan klortalidon merupakan dua agen utama
thiazida yang paling sering digunakan.
Diuretik sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah saat dikombinasikan dengan
kebanyakan agen antihipertensi lainnya. Respon aditif ini disebabkan efek independen
33
farmakodinamik dari agen tersebut. Pertama, saat dua obat menyebabkan efek farmakologi
yang sama secara keseluruhan (penurunan tekanan darah) melewati mekanisme aksi yang
berbeda, kombinasi agen-agen tersebut biasanya menghasilkan efek aditif dan sinergis.
Kedua, peningkatan kompensasi sodium dan retensi cairan dapat terlihat dengan agen-agen
antihipertensi. Masalah tersebut dapat dilawan dengan penggunaan diuretik berbarengan
dengan agen lain.
Efek samping dari diuretik tipe thiazida ialah hipokalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia,
hiperurisemia, hiperglisemia, dislipidemia, dan disfungsi seksual. Pedoman yang ada
merekomendasikan pembatasan dosis hidroklorthiazida atau klorthalidon 12,5 sampai 25
mg/hari, yang ditandai dengan penurunan resiko untuk kebanyakan efek samping. Loop
diuretik dapat menyebabkan efek samping yang sama, meskipun efek pada lipid serum dan
glukosa tidak sama signifikannya dengan thiazida, dan hipokalsemia dapat terjadi.
Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau kram. Meskipun
begitu, kardiak aritmia serius dapat terjadi pada pasien dengan hipokalemia dan
hipomagnesemia parah. Pasien dengan resiko terbesar untuk efek samping tersebut ialah
pasien-pasien yang menderita hipertropi ventrikular kiri, penyakit koronari, post-MI, sejarah
aritmia, atau pasien yang mengkonsumsi digoksin. Terapi dosis rendah jarang menyebabkan
gangguan elektrolit yang signifikan. Harus diberikan usaha lebih untuk menjaga agar kadar
potasium tetap pada wilayah terapeutik dengan monitor yang ketat.
Diuretik penginduksi hiperurisemia dapat mempresipitasi asam urat. Efek samping ini
merupakan masalah utama pada pasien dengan sejarah asam urat. Asam urat akut jarang
terjadi pada pasien yang tidak memiliki sejarah mengidap asam urat. Jika penyakit asam urat
terjadi pada pasien yang membutuhkan terapi diuretik, allopurinol dapat diberikan untuk
mencegah asam urat dan tidak akan mengurangi efek antihipertensi dari diuretik. Dosis yang
tinggi dari tipe thiazida dan loop diuretik dapat meningkatkan kadar glukosa dan nilai
kolesterol serum. Harus dilakukan monitor yang ketat untuk kadar gula darah dan
kemungkinan diabetes tipe 2.
Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menerima perawatan bersamaan
dengan agen lain seperti inhibitor ACE, NSAID, atau suplemen potasium. Hiperkalemia
merupakan masalah utama pada antagonis aldosteron eplerenon yang terbaru. Agen ini
merupakan antagonis aldosteron yang paling selektif, dan memiliki kecenderungan
34
menyebabkan hiperkalemia yang lebih besar daripada dengan agen hemat kalium lainnya,
bahkan dengan spironolakton. Karena meningkatnya resiko hiperkalemia, eplerenon
dikontraindikasikan pada pasien dengan fungsi gagal ginjal atau diabetes tipe 2 dengan
proteinuria. Meskipun spironolakton menyebabkan ginekomastia pada lebih dari 10% pasien,
tetapi jarang terjadi pada eplerenon.
Diuretik dapat digunakan secara aman dengan kebanyakan agen-agen lainnya. Meskipun
begitu, adiministrasi yang bersamaan dengan lithium dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi serum lithium.
2. Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme)
Inhibitor ACE merupakan agen lini pertama untuk hipertensi. ACE memfasilitasi produksi
angiotensin II dimana mempunyai fungsi utama pada regulasi tekanan darah arterial. ACE
didistribusikan di dalam banyak jaringan dan terdapat pada beberapa sel yang berbeda, tetapi
lokasi utamanya ialah dalam sel endotelial. Tempat utama untuk produksi angiotensin II ialah
di dalam pembuluh darah, bukan di ginjal. Inhibitor ACE memblok ACE (disebut juga
bradikinase), juga menginhibisi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor poten yang juga menstimulasi sekresi aldosteron, menyebabkan
peningkatan dalam reabsorbsi natrium dan air bersamaan dengan hilangnya potasium.
Dengan memblok ACE, terjadi vasodilatasi dan penurunan aldosteron. Inhibitor ACE juga
memblok degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis senyawa pemvasodilatasi lainnya
(prostaglandin E2 dan prostasiklin). Menambahnya bradikinin meningkatkan efek penurunan
tekanan darah dari inhibitor ACE, tetapi juga bertanggung jawab pada efek samping seperti
batuk kering. Inhibitor ACE secara efektif mencegah atau meregresi hipertropi ventrikular
kiri dengan cara mereduksi stimulasi langsung oleh angiotensin II pada sel-sel miokardial.
Terdapat banyak penggunaan berdasarkan percobaan untuk inhibitor ACE. Inhibitor ACE
mereduksi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan disfungsi ventrikular
kiri, dan menurunkan peningkatan penyakit ginjal kronik. Agen-agen tersebut haruslah
menjadi terapi utama untuk pasien-pasien tersebut kecuali jika dikontraindikasikan mutlak.
Inhibitor ACE, atau ARB pada beberapa pasien, merupakan terapi utama pada pasien dengan
diabetes dan hipertensi karena keuntungan yang telah didemonstrasikan pada penyakit
kardiovaskular dan ginjal. Pada regimen, inhibitor ACE dengan diuretik tipe thiazida
dianggap lini pertama pada pencegahan kekambuhan stroke. Pada kombinasi dengan terapi β-
35
bloker, bukti menunjukkan bahwa inhibitor ACE mereduksi resiko kardiovaskular dalam
penyakit koronari, dan pada pasien post-MI. Manfaat-manfaat yang didapat dari inhibitor
ACE terjadi pada pasien dengan atherosklerotik vaskular meskipun tidak adanya disfungsi
sistolik ventrikular kiri atau gagal jantung, dan berpotensi untuk menurunkan peningkatan
onset diabetes tipe 2.
Inhibitor ACE ditoleransi dengan baik, tetapi masih memiliki efek samping. Inhibitor ACE
menurunkan aldosteron dan meningkatkan konsentrasi serum kalium. Meskipun
peningkatannya biasanya kecil, dan memberi keuntungan untuk pasien yang diberi thiazida,
tetap ada kemungkinan hiperkalemia. Pasien dengan penyakit ginjal kronik atau mereka yang
menggunakan obat-obat bersamaan dengan obat NSAID, suplemen kalium, atau diuretik
hemat kalium beresiko hiperkalemia. Monitoring terhadap serum kalium dan nilai kreatinin
selama 4 minggu sejak dimulainya atau saat dosis meningkat dari inhibitor ACE dapat
mengidentifikasi abnormalitas yang ada sebelum meningkat menjadi hiperkalemia serius.
Efek samping yang mencemaskan dari inhibitor ACE ialah gagal ginjal akut. Namun, efek
samping yang serius ini jarang terjadi, dan hanya terjadi pada kurang dari 1% pasien.
Penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya meningkatkan resiko dari efek samping tersebut.
Dosis inhibitor ACE yang ditingkatkan pelan-pelan dan fungsi ginjal yang selalu dimonitor
dapat meminimalkan resiko dan memungkinkan deteksi awal dari stenosis renal arteri.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa dapat terjadi penurunan GFR pada pasien yang
diberikan inhibitor ACE. Hal ini terjadi karena inhibisi dari vasokonstriksi angiotensin II
pada arteriol eferen. Penurunan GFR ini sering meningkatkan kreatinin serum. Jika
peningkatan terus terjadi, terapi inhibitor ACE harus dihentikan atau dosisnya diturunkan.
Angioedema merupakan komplikasi potensial yang serius dari terapi inhibitor ACE. Hal
tersebut terjadi pada kurang dari 1% populasi. Gejalanya termasuk pembengkakan pada bibir
dan lidah dan kemungkinan kesulitan bernapas. Obat harus dihentikan jika terjadi efek
samping tersebut.
Batuk kering yang persisten terjadi pada sekitar 20% pasien dan secara farmakologi terjadi
karena inhibisi hancurnya bradikinin. Batuk tersebut tidak menyebabkan penyakit klinis,
tetapi cukup mengganggu pada pasien. Inhibitor ACE, sebagai tambahan terhadap ARB,
dikontraindikasikan secara absolut pada wanita hamil. Serupa dengan diuretik, inhibitor ACE
dapat meningkatkan konsentrasi lithium serum pada pasien yang terapi lithium. Penggunaan
36
inhibitor ACE bersama dengan diuretik hemat kalium (termasuk antagonis aldosteron),
suplemen potasium, atau ARB dapat menyebabkan peningkatan potasium yang tinggi.
Dosis awal inhibitor ACE haruslah rendah, dengan dosis yang lebih rendah pada pasien yang
beresiko hipotensi ortostatik, atau disfungsi renal parah (contoh: pada orang tua, penyakit
ginjal kronik). Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi inhibitor ACE. Pasien yang
volume sodium atau cairannya kurang, gagal jantung, orang tua, atau dalam pengobatan yang
diberikan bersamaan dengan vasodilator atau diuretik memiliki resiko yang tinggi hipotensi.
Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk memulai dengan setengah dari dosis normal inhibitor
ACE untuk pasien-pasien yang memiliki faktor resiko tersebut, dan dengan peningkatan dosis
yang perlahan.
3. ARB
ARB merupakan agen lini pertama untuk hipertensi. Angiotensin II digenerasi oleh 2 jalur
enzimatik: RAAS, yang mengikutsertakan ACE, dan jalur alternatif yang menggunakan
enzim seperti kimase (diketahui juga sebagai jaringan ACE). Inhibitor ACE menginhibisi
hanya efek dari produksi angiotensin II melewati RAAS, dimana ARB menginhibisi
angiotensin II dari semua jalur.
ARB secara langsung memblok reseptor angiotensin II reseptor subtipe I yang memediasi
efek angiotensin II yang diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron,
aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari
glomerulus. Karena agen tersebut tidak memblok reseptor angiotensin II subtipe II, efek
utama dari stimulasi reseptor angiotensin II subtipe II (vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan
inhibisi pertumbuhan sel) tetap ada saat ARB digunakan. Tidak seperti inhibitor ACE, ARB
tidak memblok perusakan bradikinin sehingga beberapa efek menguntungkan dari bradikinin,
seperti vasodilatasi (yang dapat meningkatkan perawatan disfungsi ventrikular kiri), regresi
hipertropi miosit dan fibrosis, dan peningkatan jumlah aktivator plasminogen jaringan, tidak
terjadi pada terapi ARB.
Pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan nefropati, peningkatan nefropatinya terlihat turun
secara signifikan dengan terapi ARB. Data dari penelitian-penelitian yang ada telah
menunjukkan bahwa ARB memiliki kurva respon-dosis yang datar, artinya ialah bahwa
peningkatan dosis ARB tidak akan emberikan penurunan tekanan darah yang besar.
Penambahan dosis rendah diuretik tipe thiazida pada ARB secara signifikan meningkatkan
37
efikasi antihipertensinya. Sama dengan inhibitor ACE, kebanyakan ARB memiliki waktu
paruh yang cukup panjang sehingga dapat didosiskan sekali dalam sehari. Meskipun begitu,
kadesartan, eprosartan, losartan, dan valsartan memiliki waktu paruh yang paling pendek dan
membutuhkan dosis dua kali dalam sehari untuk menjaga penurunan tekanan darah.
ARB memiliki efek samping yang paling kecil dibandingkan dengan agen antihipertensi
lainnya. Karena agen tersebut tidak mempengaruhi bradikinin, maka mereka tidak memiliki
potensi untuk menyebabkan batuk kering seperti inhibitor ACE.
Seperti inhbitor ACE, ARB dapat menyebabkan insufisiensi renal, hiperkalemia, dan
hipotensi ortostatik. Perhatian yang sama seperti inhibitor ACE untuk pasien-pasien yang
memiliki stenosis renal bilateral, konsumsi obat-obat yang dapat meningkatkan potasium, dan
obat yang meningkatkan resiko hipotensi jika digunakan bersama dengan ARB. ARB dapat
digunakan dengan perhatian lebih lanjut pada pasien edema. ARB hanya dapat digunakan
pada pasien dengan sejarah edema terinduksi inhibitor ACE saat ada compelling indication
untuk ARB dengan monitoring yang seksama terhadap kambuhnya angioedema. ARB tidak
dapat digunakan pada wanita hamil.
4. Calsium Channel Bloker (CCB)
CCB, baik dihidropiridin dan nondihidropiridin, merupakan agen terapi lini pertama untuk
hipertensi. Agen tersebut memiliki compelling indication pada penyakit koroner dan diabetes.
Dengan compelling indication tersebut, agen tersebut secara essensial dapat digunakan
sebagai tambahan atau untuk menggantikan agen-agen antihipertensi lainnya.
Data-data yang ada menunjukkan bahwa dihidropiridin CCB tidak memberikan proteksi yang
sama besar melawan kardiovaskular saat dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik
dan β-bloker) atau inhibitor ACE pada hipertensi biasa.
Kontraksi dari kardiak dan sel otot polos membutuhkan peningkatan konsentrasi kalsium
intraselular bebas dari cairan ekstraselular. Saat otot kardiak atau otot polos vaskular
distimulasi, saluran sensitif dalam membran sel akan terbuka, melewatkan kalsium memasuki
sel. Influks dari ekstraselular kalsium ke dalam sel melepaskan kalsium yang disimpan dari
retikulum sarkoplasma. Saat konsentrasi kalsium intraselular bebas meningkat, lalu mengikat
protein, kalmodulin, yang lalu mengaktivasi miosin kinase memungkinkan miosin untuk
38
berinteraksi dengan aktin untuk menginduksi kontraksi. CCB bekerja dengan menginhibisi
influks kalsium melewati membran sel.
Kedua subkelas dari CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridin secara farmakologi memiliki
efek yang berbeda. Efektivitas antihipertensinya sama, tetapi berbeda dalam efek
farmakodinamiknya. Nondihidropiridin menurunkan laju jantung dan memperlambat
konduksi nodus atrioventrikular. Dihidropiridin dapat menyebabkan refleks takikardia yang
dimediasi baroreseptor karena efek vasodilatasi periferalnya yang poten.
5. β-Bloker
β-bloker telah digunakan di dalam banyak uji untuk hipertensi. Dalam kebanyakan uji,
diuretik tipe thiazida merupakan agen utama dengan β-bloker ditambahkan untuk
peningkatan penurunan tekanan darah. β -bloker akhir-akhir ini digunakan sebagai agen lini
pertama untuk terapi hipertensi untuk compelling indication spesifik (post MI, penyakit
koroner). Juga adanya terapi tambahan untuk indikasi lainnya (gagal jantung dan diabetes).
Untuk pasien dengan hipertensi tetapi tanpa compelling indication, agen utama lainnya
(diuretik tipe thiazida, inhibitor ACE, ARB, dan CCB) harus digunakan sebagai agen utama
sebelum digunakan β -bloker.
Beberapa mekanisme kerja telah diteorikan, tetapi tidak ada satupun di antaranya yang secara
konsisten berhubungan dengan reduksi tekanan darah arterial. β -bloker memiliki efek
kronotropik dan inotropik negatif yang menurunkan kardiak output dan menjelaskan
beberapa efek antihipertensinya. Walaupun begitu, kardiak output turun secara sama pada
pasien yang dirawat dengan β -bloker tanpa memperhatikan penurunan tekanan darahnya.
β-Adrenoseptor terlokasi di permukaan membran sel jukstaglomerular, dan β-bloker
menginhibisi reseptor-reseptor tersebut dan melepaskan renin. Meskipun begitu, terdapat
hubungan yang lemah antara renin plasma dan efikasi antihipertensi terapi β-bloker.
Beberapa pasien dengan konsentrasi renin plasma yang rendah memberi respon terhadap β-
bloker. Sehingga, mekanisme tambahan harus diperhitungkan terhadap efek antihipertensi
dari β-bloker. Kemampuan β-bloker untuk mereduksi renin plasma dan juga konsentrasi
angiotensin II memainkan peranan penting dalam kemampuannya untuk menurunkan resiko
kardiovaskular.
39
β-bloker yang memiliki afinitas lebih besar terhadap reseptor β1 dibanding reseptor β2 disebut
sebagai kardioselektif. Β1 dan β2 adrenoseptor terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi
terkonsentrasi secara berbeda pada beberapa organ dan jaringan. Reseptor β1 terdapat di
jantung dan ginjal bekerja menstimulasi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas, dan
pelepasan renin. Sedangakan reseptor β2 di paru-paru, hari, pankreas dan otot polos arteriolar
yang menyebabkan bronkodilasi dan vasodilatasi. β-bloker kardioselektif tidak menyebabkan
bronkospasma dan vasokonstriksi. Sekresi insulin dan glikogenolisis dimediasi oleh reseptor
β2. Dengan menghambat reseptor β2 dapat menurunkan proses tersebut dan menyebabkan
hiperglikemia.
β-bloker kardioselektif memiliki keuntungan klinis yang signifikan dibanding β-bloker
nonselektif, dan secara umum lebih aman untuk menangani hipertensi. Agen kardioselektif
lebih aman dibanding nonselektif pada pasien asma dan diabetes.
β-bloker, terutama yang memiliki sifat lipofilik yang tinggi, dapat mempenetrasi sistem saraf
pusat dan menyebabkan efek-efek lainnya. Sifat lipofilik tersebut dapat menyediakan efek
yang lebih baik untuk kondisi non kardiovaskular seperti migrain, tremor, dan tirotoksikosis.
Kebanyakan efek samping dari β-bloker merupakan hasil dari kemampuannya mengantagonis
β-adrenoseptor. Penghambatan β pada miokardium berhubungan dengan bradikardi,
abnormalitas konduksi atrioventrikular, dan pengembangan gagal jantung akut.
Penghambatan reseptor β2 di otot polos arteriolar dapat menyebabkan kedinginan ekstrim dan
meningkatkan penyakit arteri periferal atau fenomena Raynaud sebagai hasil dari penurunan
aliran darah periferal.
Penghentian pemakaian β-bloker secara tiba-tiba dapat menghasilkan angina tidak stabil, MI,
atau bahkan kematian pada pasien dengan penyakit koroner. Selain itu dapat juga
menyebabkan rebound hypertension (peningkatan tekanan darah tiba-tiba melewati nilai
sebelum ditangani). Untuk menghindari hal tersebut, β-bloker harus selalu diturunkan
perlahan 1 sampai 2 minggu sebelum benar-benar berhenti menggunakan obat.
Tabel 6. Agen Antihipertensi Utama
Kelas ObatRentang dosis
lazim(mg/hari)
Frekuensi Harian
Diuretik thiazida ChlorothiazideChlorthalidone
125-50012,5-25
1-21
40
HydrochlorothiazidePolythiazideIndapamideMetolazone
12,5-502-41,25-2,51,5-1,02,5-5
11111
Loop diuretik Bumetanide FurosemideTorsemide
0,5-220-802,5-10
221
Diuretik hemat Kalium AmilorideTriamterene
5-1050-100
1-21-2
Aldosterone reseptor bloker
EplerenoneSpironolactone
50-10025-50
11
BBs (β- Bloker) AtenololBetaxololBisoprololMetoprolol NadololPropranolol Propranolol long-actingTimolol
25-1005-202,5-1050-10040-12040-16060-18020-40
1111-21212
BBs (Beta Bloker) dengan aktivitas simpatomimetik instrinsik
AcebutololPenbutololPindolol
200-80010-4010-40
212
Kombinasi α- dan β-bloker
Carvedilol Labetalol
12,5-50200-800
22
ACEIs (Angiotensin Converting Enzim Inhibitor)
BenazeprilCaptoprilEnalaprilFosinoprilLisinoprilMoexiprilPerindoprilQuinaprilRamiprilTrandolapril
10-4025-1005-4010-4010-407,5-304-810-802,5-201-4
121-21111111
Angiotensin II antagonis CandesartanEprosartanIrbesartanLosartanOlmesartanTelmisartanValsartan
8-32400-800150-30025-10020-4020-8080-320
11-211-2111-2
CCBs (Calcium Channel Bloker) nondihidropiridin
Diltiazem extended releaseVerapamil immediate releaseVerapamil long actingVerapamil
180-420120-54080-320
120-480120-360
112
1-21
CCBs (Calcium Channel Amlodipine 2,5-10 1
41
Bloker) - dihidropiridin FelodipineIsradipineNicardipine sustained releaseNifedipine long-actingNisoldipine
2,5-202,5-1060-120
30-6010-40
122
11
α-1 bloker DoxazosinPrazosinTerazosin
1-162-201-20
12-31-2
α-2 agonis pusat dan obat yang bekerja di pusat lainnya
ClonidineClonidine patchMethyldopaReserpineGuanfacine
0,1-0,80,1-0,3250-10000,1-0,250,5-2
21 mingguan211
Vasodilator langsung HydralazinMinoxidil
25-1002,5-80
21-2
Agen Antihipertensi A lternatif
Tujuan utama agen antihipertensi alternatif ialah untuk menyediakan penurunan tekanan
darah tambahan pada pasien yang telah diterapi dengan agen dari kelas obat yang telah
terbukti untuk menurunkan CV events (diuretik, inhibitor ACE, ARB, CCB, atau pun β-
bloker).
1. α-bloker
Prazosin, terazosin, dan doxasozin merupakan bloker reseptor α selektif. Agen tersebut
bekerja pada vaskulatur periferal dan menginhibisi pengambilan katekolamin di sel otot polos
yang menghasilkan vasodilasi dan penurunan tekanan darah. α-bloker ini merupakan agen
alternatif yang harus dikombinasikan dengan agen antihipertensi utama.
Efek samping potensial yang berbahaya dari α-bloker ialah fenomena dosis awal yang
dikarakterisasikan dengan pusing sementara atau lelah, palpitasi, dan bahkan pingsan dalam
1-3 jam dari dosis awal. Efek samping ini dapat juga terjadi setelah dosis ditingkatkan.
Episode ini pun terjadi diikuti dengan hipotensi ortostatik dan dapat dihindari dengan
memakai dosis awal dan peningkatan dosis saat waktu tidur. Karena hipotensi ortostatik dan
pusing dapat terus berlangsung pada administrasi kronik, agen tersebut haruslah digunakan
secara hati-hati pada orang tua. Obat ini pun dapat menembus sawar darah otak sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada sistem saraf pusat. Retensi sodium dan air dapat
42
terjadi pada administrasi kronik. Agen ini paling efektif jika dikombinasikan dengan diuretik
untuk menjaga efikasi antihipertensi dan meminimalisasi edema.
2. Aliskiren
Aliskiren merupakan agen oral pertama di antara kelas baru obat antihipertensi yang secara
langsung menghambat renin. Obat ini memblok RAAS pada aktivasi poin, yang
menghasilkan penurunan aktivitas renin plasma dan penurunan tekanan darah.
Mekanismenya dalam menurunkan tekanan darah tidak diketahui. Aliskiren diakui sebagai
agen monoterapi atau pun kombinasi terapi. Namun, karena kurangnya penelitian jangka
panjang mengenai penurunan CV event maka obat ini lebih banyak digunakan sebagai terapi
alternatif untuk hipertensi.
Efek samping dari obat ini sama dengan efek samping yang ditemukan pada inhibitor ACE
dan ARB. Aliskiren tidak boleh digunakan pada wanita hamil karena efek teratogenik yang
diketahui untuk obat-obat yang menghambat sistem RAAS. Angioedema pun dilaporkan
terjadi pada pasien yang dirawat dengan aliskiren. Peningkatan pada nilai kreatinin dan
potasium serum telah diteliti. Sehingga pada saat penggunaan obat ini, disarankan untuk
selalu memonitor kadar kreatinin dan potasiumnya dalam darah. Terutama untuk pasien yang
diberikan kombinasi aliskiren dan inhibitor ACE atau dengan ARB yang memiliki resiko
lebih tinggi terhadap hiperkalemia (contoh: penyakit ginjal kronik).
3. Agonis α-2 sentral
Klonidin, guanabenz, guanfacine dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan
menstimulasi reseptor α-2 adrenergik di otak. Stimulasi ini menurunkan aliran simpatetik dari
pusat vasomotor di otak dan meningkatkan vagal tone. Diyakini juga bahwa stimulasi
periferal dari reseptor α-2 presinaps dapat lebih lanjut menurunkan simpatetik tone.
Penurunan aktivitas simpatetik bersamaan dengan peningkatan aktivitas parasimpatetik dapat
menurunkan detak jantung, kardiak output, resistensi periferal total, aktivitas renin plasma,
dan refleks baroreseptor. Klonidin sering digunakan pada hipertensi resisten, dan metildopa
merupakan agen lini utama untuk hipertensi yang diinduksi kehamilan.
43
Penggunaan kronis agonist α-2 sentral menghasilkan retensi air dan sodium. Sama dengan
antihipertensi lainnya yang bekerja secara sentral, depresi dapat terjadi, terutama dengan
dosis yang tinggi. Kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik dan pusing sangat tinggi,
sehingga harus diberikan dengan hati-hati untuk pasien lanjut usia. Yang terakhir, klonidin
memiliki efek samping seperti efek samping antikolinergik (sedasi, mulut kering, konstipasi,
retensi urinari, dan pandangan kabur). Sehingga obat ini tidak dapat digunakan untuk terapi
kronik pada pasien lanjut usia.
Penghentian penggunaan agen ini secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension.
Juga terjadi peningkatan kompensasi pada pelepasan norepinefrin. Sebagai tambahan, efek
lainnya seperti kegugupan, agitasi, sakit kepala, dan tremor juga dapat terjadi, yang dapat
diperburuk dengan penggunaan yang bersamaan dengan β-bloker. Untuk pasien yang
menerima terapi bersamaan dengan β-bloker, β-bloker harus secara bertahap dihentikan
selama beberapa hari sebelum penghentian bertahap dari klonidin.
Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, meski pun jarang terjadi.
Metildopa harus segera dihentikan jika peningkatan yang persisten pada transaminasi serum
hepatik atau alkalin fosfatase terjadi, karena hal tersebut mengindikasikan onset hepatitis.
4. Reserpin
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mendeplesi norepinefrin dari ujung saraf
simpatetik dan menghambat transport norepinefrin terhadap tempat penyimpanan granulnya.
Pelepasan norepinefrin ke sinaps diikuti stimulasi saraf berkurang dan menghasilkan
penurunan simpatetik tone, resistensi periferal vaskular, dan tekanan darah. Reserpin juga
mendeplesi katekolamin di otak dan miokardium.
Reserpin memiliki aksi yang lambat dan waktu paruh yang panjang sehingga dosisnya hanya
sekali dalam sehari. Meskipun begitu, dibutuhkan 2-6 minggu sebelum didapat efek
antihipertensi maksimal. Karena reserpin dapat menyebabkan retensi air dan sodium,
sehingga agen tersebut harus dikombinasikan dengan diuretik (diutamakan thiazida). Inhibisi
yang kuat dari reserpin terhadap aktivitas simpatetik menghasilkan peningkatan aktivitas
parasimpatetik. Sehingga efek sampingnya pun seperti hidung tersumbat, peningkatan sekresi
asam gastrik, diare, dan bradikardi dapat terjadi. Depresi pun dapat terjadi yang merupakan
konsekuensi dari deplesi katekolamin dan serotonin dari sistem saraf pusat.
44
5. Vasodilator arterial langsung
Hidralazin dan minoksidil secara langsung merelaksasi otot polos arterial menghasilkan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Kedua agen tersebut menyebabkan reduksi poten
pada tekanan perfusi yang mengaktivasi refleks baroreseptor. Aktivasi baroreseptor
menyebabkan peningkatan kompensatori pada aliran simpatetik, yang menghasilkan
peningkatan laju jantung, kardiak output, dan pelepasan renin. Konsekuensinya, takifilaksis
dapat terjadi sebagai hasil dari hilangnya efek hipotensi pada penggunaan yang kontinyu.
Respon baroreseptor tersebut dapat dilawan dengan penggunaan secara bersamaan dengan β-
bloker.
Pasien yang menerima hidralazin atau minoksidil secara lama untuk hipertensi harus
menerima baik diuretik dan β-bloker. Vasodilator arterial langsung dapat mempresipitasi
angina pada pasien dengan penyakit koronari kecuali mekanisme refleks baroreseptor
dihambat seluruhnya oleh β-bloker. Nondihidropiridin CCB dapat digunakan sebagai
alternatif β-bloker pada pasien tersebut, tetapi β-bloker lebih dipilih. Efek samping pada
retensi air dan sodium signifikan dengan obat-obat tersebut, dan diminimalisasi dengan
menggunakan diuretik secara bersamaan.
Efek samping yang unik dari hidralazin tergantung dosis yang menginduksi sindrom seperti
lupus. Hidralazin dieliminasi oleh N-asetiltransferase hepatik. Obat penginduksi lupus dapat
dihindari dengan menggunakan dosis kurang dari 200 mg per hari. Efek samping lainnya dari
hidralazin termasuk dermatitis, demam obat, periferal neuropati, hepatitis, dan sakit kepala
vaskular. Karena alasan tersebut, penggunaan hidralazin untuk hipertensi dibatasi. Meskipun
begitu, agen ini khusus digunakan untuk pasien hipertensi dengan penyakit ginjal kronik dan
gagal ginjal.
Karena minoksidil merupakan vasodilator yang lebih poten dibandingkan hidralazin,
peningkatan kompensatori pada laju jantung, kardiak output, pelepasan renin, dan retensi
sodiumnya lebih besar. Retensi air dan sodium dapat menjadi sangat parah dengan minoksidil
sehingga gagal jantung dapat dipresipitasi. Hal ini akan lebih penting untuk diberikan
bersama dengan β-bloker dan diuretik. Loop diuretik lebih efektif dibanding thiazida pada
pasien yang diberikan minoksidil. Efek samping yang berbahaya pada minoksidil adalah
hipertrikosis (hirsutism), dimana terjadi peningkatan pertumbuhan rambut di wajah, lengan,
punggung dan dada. Hal ini biasanya akan berkurang jika penggunaan obat dihentikan.
45
Minoksidil disediakan untuk hipertensi yang sangat sulit dikontrol dan pada pasien yang
membutuhkan hidralazin yang mengalami lupus diinduksi obat.
6. Agen-agen lainnya
Guanethidine dan guanadrel merupakan inhibitor postganglionik simpatetik. Karena
komplikasi yang signifikan, obat-obat ini memiliki sedikit peran dalam pengobatan
hipertensi. Agen tersebut mendeplesi norepinefrin dari saraf terminal simpatetik
nonganglionik dan menginhibisi pelepasan norepinefrin sebagai respon terhadap stimulasi
saraf simpatetik, menghasilkan penurunan kardiak output dan resistensi periferal vaskular.
Hipotensi ortostatik merupakan hal biasa karena vasokonstriksi yang dimediasi refleks
dihambat. Deplesi norepinefrin jangka panjang memimpin kepada supersensitivitas reseptor
postsinaptik. Konsekuensinya, penggunaan bersamaan dari simpatomimetik atau antidepresan
trisiklik dapat menyebakan krisis hipertensif. Disfungsi ereksi, diare, dan peningkatan bobot
tubuh juga biasa terjadi.
Tabel 7. Obat Antihipertensi Alternatif
Kelas ObatDosis
lazim
Frekuensi
harianKeterangan
1-bloker Doxazosin
Prazosin
Terazosin
1-8
2-20
1-20
1
2 atau 3
1 atau 2
Dosis pertama sebaiknya diberikan saat
akan tidur; berikan konseling kepada
pasien untuk bangun dengan duduk atau
berbaring untuk meminimalkkan risiko
hipotensi ortostatik; memiliki manfaat
tambahan bagi pria dengan hiperplasia
prostatik parah
2-agonis
sentral
Clonidin
Clonidine
patch
Metildopa
0,1-0,8
0,1-0,3
250-
1000
2
1
seminggu
2
Penghentian tiba-tiba dapat
menyebabkan hipertensi kambuh; lebih
efektif jika digunakan dengan diuretik
untuk mengurangi retensi cairan;
clonidine patch diganti sekali per
minggu
antagonis
adrenergik
Reserpin 0,05- Senyawa yang digunakan dalam uji
klinik mayor; sebaiknya digunakan
46
periferal 0,25 dengan diuretik untuk mengurangi
rentensi cairan
Vasodilator
arteri-
langsung
Minoxidil
hydralazin
10-40
20-100
1 atau 2
2 atau 4
Sebaiknya digunakan dengan diuretik
dan beta-bloker untuk menguangi retensi
cairan dan refleks takikardia
Tabel 8. Kombinasi Agen Antihipertensi
Tipe Kombinasi Kombinasi Dosis Tetap (mg)ACEIs dan CCBs Amlodipine-benazepril hydrochloride (2,5/10; 5/10; 5/20; 10/20;)
Enalapril-felodipine (5/5)Trandolapril-verapamil (2/180; 1/240; 2/240; 4/240)
ACEIs dan diuretik Benazepril-hidroklorthiazida (5/6,25; 10/12,5; 20/12,5; 20/25)Captopril- hidroklorthiazida (25/15; 25/25; 50/15; 50/25)Enalapril- hidroklorthiazida (5/12,5; 10/25)Fosinopril- hidroklorthiazida (10/12,5; 20/12,5)Lisinopril- hidroklorthiazida (10/12,5; 20/12,5; 20/25)Moexipril- hidroklorthiazida (7,5/12,5; 15/25)Quinapril- hidroklorthiazida (10/12,5; 20/12,5; 20/25)
ARBs dan diuretik Candesartan- hidroklorthiazida (16/12,5; 32/12,5)Eprosartan- hidroklorthiazida (600/12,5; 600/25) Irbesartan- hidroklorthiazida (150/12,5; 300/12,5) Losartan- hidroklorthiazida (50/12,5; 100/25) Olmesartan medoxomil- hidroklorthiazida (20/12,5; 40/12,5; 40/25) Telmisartan- hidroklorthiazida (40/12,5; 80/12,5) Valsartan- hidroklorthiazida (80/12,5; 160/12,5; 160/25)
BBs dan diuretik Atenolol-klorthalidone (50/25; 100/25) Bisoprolol- hidroklorthiazida (2,5/6,25; 5/6,25; 10/6,25) Metoprolol- hidroklorthiazida (50/25; 100/25) Nadolol-bendroflumethiazida (40/5; 80/5) Propranolol LA- hidroklorthiazida (40/25; 80/25) Timolol- hidroklorthiazida (10/25)
Obat yang bekerja sentral dan diuretik
Metildopa- hidroklorthiazida (250/15; 250/25; 500/30; 500/50) Reserpine-klothalidone (0,125/25; 0,25/50) Reserpine-klorothiazida (0,125/250, 0.25/500) Reserpine- hidroklorthiazida (0.125/25, 0.125/50)
Diuretik dan diuretik
Amiloride- hidroklorthiazida (5/50) Spironolacton- hidroklorthiazida (25/25, 50/50) Triamteren- hidroklorthiazida (37.5/25, 75/50)
H. INTERAKSI OBAT
47
Tabel 9. Interaksi Obat-Obat Antihipertensi
KELAS OBAT
↑ EFEK ANTIHIPERTENSI
↓ EFEK ANTIHIPERTENSI
EFEK LAIN
Diuretik loop
ACEIs, antipsikotik, β-bloker, CCBs, etanol, antiadrenergik
Aspirin/NSAIDs, antikonvulsan, resin asam empedu, simpatomimetik
- ACEIs ↑ insufisiensi ginjal
- Kortikosteroid ↓ K- ↑ toksisitas
digoksin akibat hipokalemia
- Asam fibrat ↓ ikatan dengan albumin
Diuretik tiazid
ACEIs, antipsikotik, β-bloker, CCBs, etanol, antiadrenergik
Aspirin/NSAIDs, resin asam empedu, simpatomimetik
- Carbenoxolone ↓ K- ↑ toksisitas
digoksin akibat hipokalemia
- ↑ toksisitas litium β-bloker α-bloker, antipsikotik,
CCBs, etanol, obat antiadrenergik, H2 bloker, SSRIs, antiaritmia, kuinolon (↑ β bloker)
- Aspirin/NSAIDs, antasid, simpatomimetik
- ↓ level β-bloker:Barbiturat, carbamazepin, rifampin, rifabutin, sulfasalazin
- α1 bloker dan agonis α2 ↑ rebound hypertension
- ↓ metabolisme diazepam
- Alkaloid ergot : ↑ vasokonstriksi
- Simpatomimetik : ↑ tekanan darah, ↑ level terbutalin dan teofilin
Calcium bloker
- Antipsikotik, β-bloker, diuretik, etanol.
- ↓ level calcium bloker : α1 bloker , simetidin, eritromisin, PPI, kuinidin, asam valproat
- Aspirin/NSAIDs, simpatomimetik
- ↓ level calcium bloker : carbamazepine, barbiturat, rifampin dan rifabutin
- Verapamil atau diltiazem ↑ level carbamazepine
- ↑ level siklosporin - ↑ neurotoksisitas
litium - ↑ level TCAs - Nifedipin ↑ level
kuinidin dan fenitoin
ACEIs dan ARBs
Antipsikotik, β-bloker, diuretik, alkaloid ergot
Aspirin/NSADIs, simpatomimetik, antasid (captopril)
Diuretik hemat kalium ↑ level litium, hiperkalemia
α1 bloker ACEIs, antipsikotik, β-bloker, calsium bloker, diuretik, etanol
Aspirin/NSADIs, simpatomimetik
Diuretik ↑ orthostatic hypotension
Agonis α2 Antipsikotik, diuretik, etanol, nitrat
Aspirin/NSAIDs, MAOIs, TCAs,
- klonidin ↑ level siklosporin
48
trazodone, fenotiazin, simpatomimetik
- Klonidin ↓ gejala hipoglikemia
- β-bloker ↑ bradikardi dan rebound hypertension
- semua depresan CNS ↑ efek depresinya
Diuretik hemat kalium
Antipsikotik, etanol, nitrat Aspirin/NSADIs, simpatomimetik
- Triamteren ↑ level amantadin
- Spironolakton ↑ level digoksin
- Indometasin dan triamteren menyebabkan kerusakan ginjal akut
- ACEIs/ARB ↑ hiperkalemia
Vasodilator Antipsikotik, β-bloker, diuretik, etanol
Aspirin/NSADIs, simpatomimetik
Adrenergik periferal- bloker
Diuretik, etanol Aspirin/NSADIs, antipsikotik, simpatomimetik, MAOIs
I. STUDI KASUS
Kasus 1
Tuan A mengunjungi dokternya untuk melakukan pemeriksaan rutin. Tuan A adalah pria
berumur 56 tahun dengan hipertensi. Beliau mendapatkan pengobatan Atenolol 100 mg dan
Bendroflumethiazida 2,5 mg sehari dan telah menjalani pengobatan selama 8 tahun. Tekanan
darahnya 138/84 mmHg namun kerap merasa mudah lelah dan sedang menunggu hasil uji
toleransi glukosa. Ternyata terdapat peningkatan dalam kadar gula darah puasa pada Tuan A.
Dalam keluarganya terdapat sejarah diabetes dan BMI-nya 34. Apakah kombinasi obat
hipertensinya masih tepat untuk digunakan?
Jawab
49
Atenolol adalah antihipertensi golongan beta-bloker yang menurunkan tekanan darah melalui
penurunan curah jantung. β bloker bersifat kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat
baik pada reseptor β1 daripada β2. Penurunan terapi dengan β-bloker yang cepat dapat
menyebabkan angina yang tidak stabil, infark miokardia, atau kematian pada penderita
predisposisi miokardial. Pada penderita tanpa penyakit arteri koroner, penghentian secara
tiba-tiba terapi β-bloker berhubungan dengan sinus takikardia, meningkatnya sekresi
keringat, dan depresi. Karena alasan ini, dosis ditingkatkan secara bertahap 1 hingga 2
minggu sebelum penghentian.Kelemahan β bloker adalah efek samping yang sering terjadi
yaitu tangan dingin dan kelelahan.
Bendroflumethiazida adalah antihipertensi golongan diuretik thiazida. Thiazida menurunkan
tekanan darah dengan cara memobiliasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan
dalam penurunan resistensi vaskular perifer. Efek samping thiazida yang sering terjadi adalah
efek metabolik seperti hipokalemia, hiperurisemia, hiperglikemia dan hiperlipidemia.
Hipokalemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau kejang. Thiazida menyebabkan
hiperglikemia karena menganggu toleransi glukosa sehingga thiazida dikontraindikasikan
pada pasien dengan diabetes tidak tergantung insulin.
Kombinasi Atenolol dan Bendroflumethiazida bukanlah kombinasi yang tepat bagi pasien
dengan diabetes ataupun dengan resiko diabetes.Hal ini karena kombinasi ini dapat memicu
peningkatan insidensi dari diabetes.
Bagi pasien hipertensi dengan diabetes, terapi lini pertama adalah inhibitor ACE atau
antagonis reseptor angiotensi II (ARB). Kedua kelompok ini menyebabkan nefroproteksi dan
mengurangi resiko kardiovaskular. Tekanan darah yang diharapkan adalah kurang dari
130/80 mmHg. Jika dibutuhkan obat kedua, dapat digunakan diuretik thiazid. Untuk
penderita diabetes yang pernah mengalami infark miokardial atau resiko tinggi terhadap
penyakit koroner, dapat digunakan β bloker karena dapat mengurangi resiko kardiovaskular.
Sehingga β bloker bermanfaat bagi pasien hipertensi dengan diabetes setelah inhibitor ACE,
ARB, dan diuretik.
Berdasarkan data yang diberikan, langkah yang dapat diambil oleh seorang apoteker adalah :
1. Berdiskusi dengan Tuan A mengenai rasa lelah yang dideritanya. Apakah rasa lelah itu
timbul akibat penggunaan obat, karena terapi yang telah dilakukan selama 8 tahun.
50
Apoteker harus memastikan apakah rasa lelah timbul akibat penggunaan obat
antihipertesi, yaitu β bloker atau akibat diabetes yang diderita oleh Tuan A.
2. Dilihat dari hasil uji toleransi glukosa, riwayat diabetes pada keluarga Tuan A dan
BMI-nya dapat disimpulkan bahwa pasien menderita diabetes. Oleh karena itu,
pengobatan atenolol dan bendroflumethiazida sebaiknya diganti karena tidak sesuai
dengan terapi untuk pasien hipertensi dengan diabetes. Pilihan terbaik adalah dengan
menggunakan obat golongan ACE inhibitor (captopril, lisinopril, benazepril, enalapril
maleat, dll) untuk mengganti β bloker Atenolol. Namun jika pasien tidak dapat
mentoleransi batuk kering yang timbul akibat penggunaan inhibitor ACE, dapat diganti
dengan menggunakan ARB seperti losartan atau valsartan.
Dosis awal inhibitor ACE sebaiknya dosis rendah kemudian ditambahkan perlahan
sesuai dengan respon yang diterima. Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi
inhibitor ACE terutama pada penderita yang kekurangan natrium atau volum, gagal
jantung, orang lanjut usia, penggunaan bersama dengan vasodilator atau diuretik.
Penderita dengan faktor resiko tersebut dosisnya diawali setengah dosis normal
kemudian diikuti dengan penambahan dosis dengan interval waktu 6 minggu.
Penggunaan β bloker tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba karena dapat menyebabkan
angina tidak stabil, infark miokardial, atau bahkan kematian pada penderita predisposisi
miokardial. Karena itulah, dosis ditingkatkan secara bertahap 1 hingga 2 minggu
sebelum penghentian.
3. Dilakukan juga pengukuran fungsi ginjal secara teratur karena salah satu efek samping
yang lebih berat dari ACE inhibitor adalah bahaya kegagalan ginjal yang akut.
Kemudian dapat juga ditambahkan diuretik dan beta bloker untuk membantu
mengontrol tekanan darah.
Kasus 2
Seorang wanita berusia 50 tahun terlihat di bagian gawat darurat mengeluh sakit kepala yang
hebat, sesak napas, dan edema pada pergelangan kakinya. Pandangannya kabur dan setelah
diperiksa tekanan darahnya adalah 200/140 mmHg. Tes darah menunjukkan azotemia dan
proteinuria. Pada pemeriksaan Chestradiograph terlihat bahwa jantung pasien membesar.
Apakah ini merupakan keadaan darurat hipertensi? Bila iya, perawatan farmakologi apa
yang dapat dilakukan?
51
Jawab
Dilihat dari tekanan darah pada saat datang ke bagian gawat darurat, pasien ini berada dalam
keadaan darurat hipertensi atau krisis hipertensi. Krisis hipertensi adalah suatu keadaan
dimana terjadi kenaikan mendadak yang besar dari tekanan sistol dan diastol dari keadaan
normal atau agak tinggi serta pada komplikasi hipertensi kronis, misalnya pada pendarahan
otak atau insufisiensi jantung kiri akut dengan udem paru-paru. Pasien juga memperlihatkan
tanda-tanda gagal jantung kongestif. Azotemia dan proteinuria merupakan tanda adanya
penyakit ginjal dan sering kali menandakan terjadinya penurunan fungsi ginjal. Jantung yang
membesar dan edema pergelangan kaki juga merupakan tanda gagal jantung, seperti sesak
napas. Tekanan darah yang sangat tinggi harus diperlakukan sebagai keadaan darurat.
Dengan keadaaan seperti ini pasien harus dirawat dan menerima terapi obat untuk
menurunkan tekanan darahnya. Untuk mengontrol tekanan darah secara cepat, sebaiknya
digunakan pemberian obat secara intravena.
Kesalahan umum dalam penanganan krisis hipertensi adalah terlalu agresif dalam
menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah yang terlalu drastis memberikan resiko
cerebrovascular accident, infark miokardial, dan gagal ginjal akut. Hipertensi krisis idealnya
ditangani dengan cara terapi pemeliharaan melalui penambahan antihipertensi baru dan/atau
meningkatkan dosis pengobatan. Ini merupakan pendekatan yang dipilih bagi pasien karena
tekanan darah diturunkan secara bertahap. Semua pasien yang mengalami hipertensi krisis
harus di evaluasi kembali dalam waktu kurang dari 7 hari (lebih disarankan setelah 1-3 hari).
Pada pasien hipertensi krisis, penurunan tekanan darah langsung bertujuan untuk membatasi
kerusakan organ. Tujuan terapi hipertensi krisis bukan untuk menurunkan tekanan darah
menjadi kurang dari 140/90 mmHg, melainkan untuk menurunkan tekanan arteri rata-rata
(MAP) diatas 25% dalam beberapa menit atau jam. Jika tekanan darah telah stabil, tekanan
darah kemudian dapat diturunkan menjadi 160/100-110 mmHg dalam 2-6 jam berikutnya.
Jika penurunan tekanan darah ini dapat ditoleransi dengan baik, penurunan tekanan darah
dapat dilanjutkan secara bertahap setelah 24-48 jam.
Pilihan antihipertensi dalam keadaaan krisis hipertensi :
1. Natrium nitroprusida
Merupakan antihipertensi yang digunakan secara luas dalam kebanyakan kasus hipertensi
krisis. Namun dapat menimbulkan masalah bagi pasien dengan gangguan ginjal kronis.
Natrium nitroprusida merupakan vasodilator langsung yang dapat menurunkan resistensi
52
vaskular perifer, tapi tidak meningkatkan output jantung kecuali jika terdapat kegagalan
ventrikel kiri. Dosis natrium nitroprusida adalah 0,25-10 mcg/kg/menit diberikan secara
infus intravena. Onset hipotensi langsung terjadi dengan durasi 1-2 menit. Efek samping
dari natrium nitroprusida adalah mual, muntah, berkeringat, dan resiko toksisitas tiosianat
dan sianida. Resiko toksisitas tiosianat akan meningkat pada pasien dengan kerusakan
fungsi ginjal. Oleh karena itu, kadar serum tiosianat harus dimonitor apabila infus
diberikan lebih dari 72 jam. Bila kadar serum lebih dari 12 mg/dL, maka nitroprusida
harus dihentikan. Pemberian nitroprusida juga membutuhkan pengawasan tekanan intra-
arteri stabil (konstan).
2. Fenoldopam
Merupakan agonis dopamin-1 yang paling sering dipakai sebagai alternatif nitroprusida.
Obat ini digunakan pada hipertensi perioperatif. Sama seperti nitroprusida, fenoldopam
memiliki onset yang sangat cepat dan dapat dititrasi dengan mengatur laju infus.
Fenoldopam juga dapat meningkatkan aliran darah ginjal sehingga obat ini berguna pada
pasien dengan insufisiensi ginjal. Dosis fenoldopam 0,1-0,3 mcg/kg/menit secara infus
intravena. Onset kurang dari 5 menit dan durasi 30 menit. Efek sampingnya adalah
takikardia, sakit kepala, kemerahan dan mual.
3. Nitrogliserin intravena
Dapat mendilatasi arteri dan vena dengan demikian menurunkan afterload dan preload
jantung sehingga menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung. Hal inilah yang
menyebabkan nitrogliserin digunakan dalam penanganan hipertensi krisis yang disertai
dengan iskemia miokardial. Dosis nitrogliserin adalah 5-100 mcg/menit dengan infus
intravena. Onsetnya 2-5 menit dengan durasi 5-10 menit. Efek samping yang mungkin
timbul adalah sakit kepala, muntah dan toleransi bila digunakan dalam waktu yang lama
(24-48 jam).
4. Labetalol
Diberikan pada dosis awal 20 mg secara injeksi intravena perlahan dengan periode 2 menit
diikuti dengan injeksi tambahan 40-80 mg selang waktu 10 menit, hingga dosis total 300
mg. Obat ini juga dapat diberikan secara infus kontinyu dengan laju awal 0,5-2 mg/menit
dan ditambahkan sesuai dengan respon tekanan darah. labetalol dapat menyebabkan
53
hipotensi ortostatik melalui efek bloking alfa. Efek samping lainnya adalah mual, muntah,
berkeringat, sakit kepala, kemerahan, dan pusing.
Berdasarkan pilihan obat yang ada, maka disarankan untuk menggunakan natrium
nitroprusida sebagai pilihan pertama. Pasien menunjukkan gangguan pada ginjal, namun
obat ini masih dapat dipakai dengan pengawasan yang ketat terhadap kadar serum
tiosianat. Setelah tekanan darah stabil, maka natrium nitroprusida dapat diganti dengan
antihipertensi oral untuk menurunkan tekanan darah secara bertahap.Karena pasien
memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung, maka antihipertensi oral yang dipakai sebagai
pilihan utama adalah diuretik dan inhibitor ACE. Diuretik dapat memperbaiki gejala
edema dengan diuresis. Dosis awal ACE inhibitor sebaiknya dimulai dengan dosis rendah
yang kemudian ditambahkan secara perlahan sesuai respon pasien. Hipotensi akut dapat
terjadi pada pada onset terapi inhibitor ACE terutama pada pasien yang kekurangan
natrium atau volum, gagal jantung, orang lanjut usia, penggunaan bersama dengan
vasodilator dan diuretik. Pasien dengan faktor resiko tersebut dosisnya diawali setengah
dosis normal dan kemudian ditingkatkan bertahap.
Kasus 3
Nyonya B berusia 74 tahun, mengalami osteoporosis di bagian pinggul dan lutut. Beliau baru
saja didiagnosis hipertensi dengan BP 162/101 mmHg dan pengobatan dimulai dengan
Bendroflumethiazida 2,5 mg sehari. Beberapa minggu kemudian tekanan darah diperiksa dan
didapat hasil 154/96 mmHg. Kemudian amlodipin 5 mg sehari ditambahkan dalam terapinya.
Beberapa hari kemudian Nyonya B datang kembali dan mengeluh bengkak pada pergelangan
kakinya.
Jawab
Bendroflumethiazida adalah antihipertensi golongan diuretik thiazida. Thiazida menurunkan
tekanan darah dengan cara memobiliasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan
dalam penurunan resistensi vaskular perifer. Efek samping thiazida yang sering terjadi adalah
efek metabolik seperti hipokalemia, hiperurisemia, hiperglikemia dan hiperlipidemia.
Hipokalemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau kejang. Thiazida menyebabkan
hiperglikemia karena menganggu toleransi glukosa sehingga thiazida dikontraindikasikan
pada pasien dengan diabetes tidak tergantung insulin.
54
Amlodipin adalah antihipertensi penghambat saluran kalsium. Obat ini menyebabkan
relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot
polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan
darah.bengkak pada pergelangan kaki Nyonya B merupakan salah satu efek samping dari
antihipertensi penghambat saluran kalsium.
Pengobatan hipertensi pada orang tua sebaiknya diawali dengan diuretik dengan dosis kecil
yang kemudian ditingkatkan secara bertahap. Antihipertensi penghambat saluran kalsium
jarang digunakan pada orang tua dan bukan merupakan kombinasi yang baik dengan diuretik.
Karena efek samping yang timbul dapat menganggu aktivitas Nyonya B, sehingga amlodipin
dapat diganti dengan inhibitor ACE atau beta bloker.
Kasus 4
Seorang wanita kulit putih berusia 49 tahun memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2,
obesitas, hipertensi dan migrain. Ia didiagnosis menderita diabetes mellitus tipe II, 9 tahun
yang lalu saat ia mengalami gejala berupa puliuria dan polidipsia. Tinggi badannya sekitar
160 cm dan berat badan berfluktuasi antara 75-84 kg. Terapi awal untuk pengobatan
diabetesnya terdiri dari sulfonilurea oral diikuti dengan konsumsi metformin dengan segera.
Dengan terapi tersebut diabetesnya dapat terkontrol dengan baik. Ia didiagnosis menderita
hipertensi kurang lebih 5 tahun yang lalu ketika hasil pengukuran tekanan darahnya pada tiga
kesempatan yang berbeda menunjukkan nilai sekitar 160/90 mmHg. Kondisi tersebut
ditangani dengan pemberian lisinopril dengan dosis 10mg/hari kemudian meningkat hingga
menjadi 20 mg/hari. Namun tekanan darahnya masih berfluktuasi. Kurang lebih setahun yang
lalu, ia didiagnosa menderita mikroalbuminuria ketika dari hasil pemeriksaan urin terdeteksi
albumin sebesar 1,943 mg/dL. Ia masih melakukan kontrol rutin untuk pemeriksaan
hipertensi dan diabetesnya. Dari hasil pemeriksaan terakhir didapat tekanan darahnya adalah
sebesar 154/86 mmHg dan denyut nadi 78 denyut per menit.
Jawab :
Wanita tersebut merupakan pasien hipertensi dengan beberapa faktor resiko kardiovaskular
lainnya seperti obesitas, diabetes, serta usia tua, sehingga ia termasuk memiliki resiko terkena
ganggua kardiovaskular (stroke dan infark myokardial) yang sangat tinggi. Asosisasi
Diabetes Amerika atau American Diabetic Association (ADA) merekomendasikan tujuan dari
55
terapi hipertensi pada pasien diabetes seperti yang terjadi pada pasien tersebut ialah
mengupayakan tekanan darah <130/80 mmHg. Upaya penurunan tekanan darah melalui
pendekatan non-farmakologi dan pendekatan farmakologi. Berdasarkan data tinggi badan dan
berat badan dapat dihitung BMI (Body Mass Index) berkisar antara 29,29-32,81 yang jelas
menunjukkan kalau pasien ini mengalami obesitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengaturan asupan makanan seperti meningkatkan jumlah serat serta menurunkan jumlah
asupan karbohidrat, lemak dan garam agar berat badannya turun sehingga diharapkan dapat
menurukan tekanan darah dan resiko terkena serangan kardiovaskular. Selain itu pasien ini
juga sebaiknya sering melakukan latihan atau olahraga. Pendekatan secara nonfarmakologik
tidak dimaksudkan sebagai terapi utama namun sebagai terapi pendamping karena tidak
memungkinkan untuk mencapai target terapi hanya dengan menggunakan terapi
nonfarmakologi.
Terapi farmakologi diberikan sebagai terapi utama untuk mencapai tujuan terapi yakni agar
tekanan darah <130/80 mmHg. Penggunaan lisinopril sebagai first line therapy sudah tepat
karena lisinopril termasuk dalam golongan ACE (Angiotensin Converting Enzym) Inhibitor
yang bersama dengan ARB atau Angiotensin II Reseptor Bloker merupakan obat pilihan
pertama dalam terapi hipertensi pada pasien yang juga menderita diabetes. Pada sejumlah
studi seperti ALLHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart
Attack Trial) menunjukkan bahwa penggunaan ACE inhibitor, ARB atau diuretik
memberikan hasil yang tidak jauh berbeda namun penggunaan ACE Inhibitor atau ARB
memiliki efek lain yakni memperlambat terjadinya nefropati (dengan kata lain bersifat
nefroprotektif) yang dapat terjadi pada penderita diabetes seperti yang dialami oleh pasien
tersebut. Kemampuan nefroprotektif ini terjadi karena baik ACE Inhibitor maupun ARB
menyebabkan vasodilatasi pada arteriole ginjal.
Terapi hipertensi yang dijalani pasien nampak kurang efektif dengan hanya menggunakan
lisinopril karena walaupun nefropati dapat diperlambat dengan penggunaan lisinopril namun
sejauh ini tujuan utama terapi belum tercapai sehingga perlu dilakukan suatu tindakan seperti
peningkatan dosis lisnopril hingga batas maksimal (40 mg perhari) dan atau penggunaan agen
kedua atau jika diperlukan agen antihipertensi ketiga.
Pemberian diuretik seperti golongan thiazida (misal: hidroklorthiazida) dapat membantu
penurunan tekanan darah karena diuretik memiliki efek sinergis ketika diberikan bersamaan
dengan golongan ACE Inhibitor. Kombinasi ini dapat diberikan dengan dosis 10/12,5 mg (10
56
mg lisinopril 12,5 mg hidroklorthiazida) per hari selama 2-4 minggu kemudian ditingkatkan
menjadi 20/12,5 mg per hari.
Migrain yang diderita pasien dapat diredakan dengan menggunakan golongan beta bloker
seperti propanolol. Selain untuk meredakan migrain, propanolol dapat digunakan untuk
membantu menurunkan tekanan darah. Propanolol dapat diberikan 2 kali sehari dengan dosis
awal sebesar 40-80 mg per hari dan ditingkatkan secara bertahap dalam interval mingguan
hingga 160 mg perhari. Selain dengan pemberian propanolol upaya penghilangan migrain
dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup yang dapat memicu migrain seperti istirahat
cukup, olahraga teratur, serta menghindari makanan-makanan yang dapat memicu terjadinya
migrain.
Keadaan mikroalbuminuria menandakan terjadi kerusakan pada ginjal. Nefropati sebagai
akibat komplikasi diabetes mellitus tidak dihentikan oleh lisinopril namun hanya diperlambat
prosesnya. Upaya untuk menjaga agar tidak semakin parah dilakukan dengan melakukan
upaya penurunan tekanan darah dan blokade RAAS (Renin-Angitensine-Aldosterone System).
Blokade RAAS dilakukan dengan pemberian ACE Inhibitor (lisinopril) dan upaya penurunan
tekanan darah selain dengan pemberian lisinopril, juga melalui pemberian hidroklorthiazida
dan propanolol yang digunakan untuk mengatasi indikasi lainnya. Selain itu kondisi ginjal
juga harus terus dipantau.
J. TERMINOLOGI MEDIK
Akut : saat penyakit atau suatu keadaan yang berkembang secara cepat dan dapat
berbahaya.
Aldosteron : hormon steroid dari golongan mineralkortikoid yang disekresi dari
bagian terluar zona glomerulosa pada bagian korteks kelenjar adrenal, yang
berpengaruh terhadap tubulus distal dan collecting ducts dari ginjal sehingga terjadi
peningkatan penyerapan kembali partikel air, ion, garam oleh ginjal dan
sekresi potasium pada saat yang bersamaan. Hal ini menyebabkan peningkatan
volume dan tekanan darah. Aldosteron merupakan bagian dari sistem RAA (renin-
angiotensin-aldosteron). Pengukuran rasio aldosteron dalam plasma darah sering
disebut sebagai plasma aldosterone concentration (pac) yang digunakan sebagai
57
perbandingan terhadap plasma renin activity (pra), yang lebih lanjut disebut rasio
pac/pra.
Aldosteronisme primer adalah keadaan klinis yang diakibatkan oleh produksi
aldosteron (suatu hormon steroid mineralokortikoid korteks adrenal) secara berlebih.
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan
cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien.
Angiotensinogen : Serum alfa-2-globulin yang diskresi di dalam hati, pada hidrolisis
oleh renin menghasilkan angiotensin. Dikenal juga sebagai substrat renin , adalah
asam amino berupa globulin α2 yang diproduksi terus-menerus oleh hati dan
disekresikan ke dalam sirkulasi darah. Angiotensinogen termasuk golongan protein
serpin walaupun bukan merupakan inhibitor seperti serpin yang lain.
Anti-diuretik Hormon (ADH) : Hormon anti diuretik (ADH) yang dihasilkan oleh
kelenjar hipofisis posterior akan mempengaruhi penyerapan air pada bagian tubulus
distal karena meningkatkan permeabilitias sel terhadap air.
Aritmia: merujuk pada denyut jantung yang terlalu cepat, terlalu lambat, tidak
teratur atau terlalu dini.
Atrial Natriuretik Peptida (ANP) : ANP dihasilkan dari sel atrial sebagai respon
meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi natriuresis cepat dan
sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang dalam urin.
Bradikardia : aritmia lambat (denyut jantung lebih lambat dari 60 detak/menit).
Bradikinin : Bradikinin berperan penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah.
Bradikinin akan berikatan dengan reseptor β1 dan β2. Sebagian besar efek bradikinin
diperantarai lewat ikatan dengan reseptor β2. Ikatan dengan reseptor β2 ini akan
menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh
ACE.
Cushing’s syndrome : penyakit yang disebabkan kelebihan hormon kortisol.
Edema : penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam
berbagai rongga tubuh sehingga terlihat bengkak.
58
Endotelin : protein sepanjang 21 AA hasil sekresi endotelium yang bersifat hormon
dengan menyebabkan pengecilan penampang pembuluh darah sehingga
meningkatkan tekanan darah, sebagai mekanisme homeostasis vaskular.
Epinefrin : obat simpatomimetik dengan aksi agonis pada reseptor alfa maupun beta.
Epistaksis adalah keluarnya darah melalui lubang hidung.
Erythropoietin (EPO) : hormon yang dihasilkan oleh ginjal yang memajukan
pembentukan dari sel-sel darah merah oleh sumsum tulang (bone marrow). Sel-sel
ginjal yang membuat eritropoietin adalah khusus sehingga mereka peka pada tingkat-
tingkat oksigen yang rendah didalam darah yang mengalir melalui ginjal. Sel-sel ini
membuat dan melepaskan eritropoietin ketika tingkat oksigen terlalu rendah. Tingkat
oksigen yang rendah mungkin mengindikasikan anemia, suatu jumlah sel-sel darah
merah yang berkurang, atau molekul-molekul hemoglobin yang membawa oksigen
keseluruh tubuh.
Funduskopi : pemeriksaan retina dan saraf mata.
Ginekomastia: pembengkakan jaringan payudara pada laki-laki, yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan hormon estrogen dan testoteron.
Hipertiroidisme : keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara berlebihan
sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah.
Hiperparatiroidisme : suatu keadaan dimana kelenjar-kelenjar paratiroid
memproduksi lebih banyak hormon paratiroid.
Hipertrikosis : pola pertumbuhan rambut berlebih yang non-androgen dependent.
Hipokalemia : kadar kalium yang rendah dalam darah. Suatu keadaan dimana
konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3,8 mEq/L darah.
Hipoksia : kondisi simtoma kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi
akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Pada kasus yang fatal dapat berakibat koma,
bahkan sampai dengan kematian. Namun, bila sudah beberapa waktu, tubuh akan
segera dan berangsur-angsur kondisi tubuh normal kembali.
Hipomagnesemia : gangguan elektrolit dimana kadar magnesium dalam darah
rendah secara tidak normal.
Hipotensi Orthostatik : kejatuhan dalam tekanan darah ketika seseorang berdiri.
59
Hirsutisme : pola pertumbuhan rambut berlebih yang androgen dependent
Iskemia : kekurangan pasokan darah pada bagian tubuh.
Kardiovaskular : segala sesuatu yang berhubungan dengan jantung dan sistem
sirkulasi darah.
Makula Densa : Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-
sel termodifikasi. Makula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan
distimulasi oleh penurunan ion natrium.
Nikotin : suatu alkaloid dengan nama kimia 3-(1-metil-2-pirolidil) piridin yang
merupakan senyawa alkaloid yang sering ditemukan di tanaman tembakau.
Nitric Oxide (NO) : Radikal bebas yang dihasilkan oleh tiga tipe isoform sintase,
yaitu NOS1, NOS2 dan NOS3. NOS1 terdapat di jaringan konduksi jantung, neuron
intrakardiak dan retikulum sarkoplasma miosit jantung, NOS2 terdapat di miokard
yang merespon terhadap sitokin inflamasi, sedangkan yang terakhir terdapat di
endotel koroner, endokard serta sarkolema dan membran tubulus T miosit jantung.
NOS1 dan NOS3 dapat diaktifkan oleh kalsium dan kalmodulin, sedangkan NOS2
tidak perlu kalsium. NO akan mengaktifkan guanylate cyclase, kemudian akan
menghasilkan cGMP. cGMP ini menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler sehingga
terjadi vasodilatasi. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada gagal jantung, fungsinya
menjadi tumpul karena penurunan ekspresi dan aktivitas NOS3.
Nodus Sinoatrial : suatu masa jaringan otot jantung khusus yang terletak di dinding
posterior atrium kanan tepat di bawah pembukaan vena cava superior. Nodus SA
mengatur frekuensi kontraksi irama, sehingga disebut pemacu jantung.
Nokturia : gangguan kesehatan berupa keinginan buang air kecil berulang-ulang
ketika tidur.
Norepinefrin : Katekolamin, yang merupakan neurotransmitter utama neuron
adrenergic pascaganglionik, dengan aktivitas utama α-adrenergik; juga disekresi oleh
medulla adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splangnikus, dilepaskan
terutama sebagai respons terhadap hipotensi. Norepinefrin merupakan vasopresor
yang kuat dan digunakan untuk memulihkan tekanan darah pada keadaan hipotensi.
60
Nucleus Traktus Solitarius (NTS) : NTS pada medula mengintegrasikan stimulus
afferen dan sinyal baroreseptor dengan simpatis efferen yang mempertahankan tonus
vaskular.
Obesitas : kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang
berlebihan.
Pheochromocytoma : suatu tumor yang berasal dari sel-sel kromafin kelenjar
adrenal, menyebabkan pembentukan katekolamin yang berlebihan. Katekolamin
adalah hormon yang menyebabkan tekanan darah tinggi dan gejala lainnya.
Polisitemia : suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah
akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang.
Prevalensi : jumlah kasus suatu penyakit pada satu tempat tertentu dan dalam waktu
tertentu.
Priapism : kondisi medis yang membahayakan dimana ereksi penis atau klitoris
tidak kembali ke keadaan flasid, selama 4 jam.
Renal Arteri Stenosis : penurunan diameter dari arteri renal, menghasilkan restriksi
dari aliran darah ke ginjal yang dapat menghasilkan gagal fungsi ginjal dan tekanan
darah yang tinggi.
Retinopati hipertensif : salah satu komplikasi organ target pada mata atau retina
akibat hipertensi yang sering dijumpai pada pasien hipertensi esensial.
Ronki : suara napas yang terputus-putus, bersifat non-musical, biasanya terdengar
saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran napas.
Serebrovaskuler : kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Stroke bisa berupa iskemik
(sumbatan) maupun perdarahan (hemoragik).
Sistem Renin : sistem pengatur tekanan darah di dalam tubuh. Dia bekerja dengan
melepaskan protein, seperti angiotensin II (Ang II), yang dapat mempengaruhi
volume darah dan kontraksi pembuluh darah. Sistem Renin diaktifkan oleh enzim
renin.
Stroke : penyakit yang terjadi karena pendarahan di otak atau tersumbatnya
pembuluh darah yang dapat mengakibatkan kelumpuhan.
61
Takikardia : aritmia cepat (denyut jantung lebih cepat dari 100 detak/menit)
Tekanan darah diastolik : tekanan darah terendah terhadap pembuluh darah arteri
sewaktu jantung istirahat diantara dua denyut. Tekanan darah yang terjadi saat
diastol (tekanan diastol lebih rendah dari tekanan sistolik); diastol: proses saat
jantung mengembang dan terisi darah.
Tekanan darah sistolik : kekuatan tekanan darah tertinggi terhadap dinding arteri
sewaktu jantung berkontraksi . Tekanan darah mencapai titik yang tinggi dan terjadi
saat sistol (tekanan sistolik lebih tinggi dari tekanan diastolik); sistol: saat jantung
berkontraksi dan memompa darah.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, 2002, Diagnosis dan Pelaksanaan Depresi Pasca Stroke.
Astawan, 2002, Cegah Hipertensi dengan Pola Makan.
Benjamin, E.M., 2004, Case Study : Treating Hypertension in Patients With Diabetes,
Clinical Diabetes, 22:137.
Brunton, L.L., et al., 2006, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics, Mc Graw-Hill, New York, 845-846.
Chobanian, A. V., 2003, The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7), Hypertension, 1206−1252.
Dipiro, Joseph T, 2005, Pharmacotherapy, 6th edition, Mc Graw-Hill, New York, 185-214;
140-144.
DiPiro, J.T., et al., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th ed., Mc
Graw Hill Medical, New York, 139-140; 147-167.
62
DiPiro, J.T., et al., 2009, Pharmacotherapy Handbook, 7th ed., New York: Mc Graw-Hill,
111.
Departemen Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi,
Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik ditjen bina kefarmasian dan alat
kesehatan departemen kesehatan.
Departemen Kesehatan, 2007, Hipertensi di Indonesia.
Dunitz, 2001, Treatment of Hypertension in General Practise, Blok Well Sciens Inc.,
Dallas.
Gunawan,L, 2001, Hipertensi : Tekanan darah tinggi, Percetakan Kanisus, Yogyakarta.
Julianti, E.D, Nurjana, dan soetrisno, 2005, Bebas Hipertensi dengan Terapi Jus, Puspa
Suara, Jakarta.
Jhondry, 2010, Perilaku Penderita Hipertensi terhadap Upaya pencegahan Komplikasi
di Wilayah Kerja pukesmas Berastagi tahun 2010, Universitas Sumatra Utara.
Mansjoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Porth, C. M., 2003, Essentials of Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 2nd
Ed., Lippincott Williams & Walkins, Philadelphia, Pennsylvania, 361−376.
Sheps, 2005, Mengatasi tekanan darah tinggi, Intisari Mediatama, Jakarta.
WebBooks (2007) : Hypertension. www.web-books.com
Wijayakusuma, H.M., 2000, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi,
Swadaya, Jakarta.
Wiryowidagdo,S., 2002, Obat Tradisional untuk Penyakit Jantung, Darah Tinggi dan
Kolestrol, Agromedia Pustaka, Jakarta
Wells, B. G., 2003, Pharmacotherapy Handbook, 5th Ed., McGraw Hill, New York, 83.
63
DISKUSI
1. Apakah penggunaan NSAID seperti aspirin pada pasien hipertensi harus dihindari?
Bagaimana bila pasien tersebut membutuhkannya?
Jawab :
Penggunaan obat-obatan NSAID seperti aspirin dapat meningkatkan tekanan darah.
Mekanisme yang terjadi adalah NSAID dapat menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat menurunkan suplai darah ke ginjal. Ginjal kemudian terstimulasi untuk
melepaskan renin sehingga terjadilah mekanisme sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS) yang dapat meningkatkan tekanan darah. Penggunaan aspirin dengan dosis yang
tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang, yaitu seperti pada pengobatan rheumatoid
arthritis barulah dapat mempengaruhi tekanan darah. Aspirin dengan dosis yang kecil
tidak mempengaruhi tekanan darah secara signifikan, sehingga masih dapat digunakan.
2. Apakah ARB dapat menggantikan ACE inhibitor? Mengapa ACE inhibitor seperti
kaptopril lebih dipilih, padahal dapat menyebabkan efek samping batuk?
Jawab :
64
Pemilihan obat dalam terapi hipertensi disesuaikan dengan guideline terapi hipertensi.
Untuk pasien dengan prehipertensi tidak langsung diberikan obat antihipertensi,
melainkan hanya diberikan arahan terapi secara nonfarmakologi, yaitu memodifikasi gaya
hidup. Sedangkan pada pasien hipertensi tahap 1, selain terapi nonfarmakologi, diberikan
terapi obat tunggal, yaitu awalnya adalah diuretik thiazida. Pada pasien hipertensi tahap 2
diberikan kombinasi obat antihipertensi, dengan salah satunya adalah thiazida. Pemilihan
obat antihipertensi ini juga disesuaikan dengan compelling indication pada masing-
masing pasien.
Alasan pemilihan ACE inhibitor dibandingkan ARB adalah sesuai dengan guideline
terapi yang ada, yaitu disesuaikan juga dengan compelling indication pada pasien. Selain
itu obat kaptopril (ACE inhibitor) merupakan obat yang lebih dulu ditemukan, sehingga
telah dilakukan banyak penelitian yang menyangkut keamanan dari obat tersebut. Harga
dari kaptopril juga lebih murah dibandingkan dengan obat-obatan ARB. Efek samping
batuk yang terjadi adalah tergantung juga pada masing-masing individu. Bila efek
samping batuk yang terjadi tidak mengganggu pasien, maka obat ACE inhibitor dapat
tetap dilanjutkan, namun bila efek samping batuk pada seorang pasien telah sangat
mengganggu, maka obat ACE inhibitor dapat diganti.
3. Mengapa pasien yang diberi diuretik (seperti thiazida) harus melakukan pemeriksaan
laboratorium?
Jawab :
Kerja obat-obat diuretik menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh. Efek
samping thiazida sendiri misalnya dapat menyebabkan hipokalemia, hipomagnesemia,
hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglikemia, dan dislipidemia. Untuk memantau keadaan
elektrolit serta kadar gula dan kolesterol darah, maka diperlukan pemeriksaan
laboratorium agar kondisi-kondisi yang tidak diinginkan dapat dicegah. Selain itu, jika
diketahui terjadi efek samping tersebut, hal tersebut dapat segera ditangani.
4. Mengapa pada pasien yang menggunakan diuretik, efek samping urinasi berkurang
setelah dua minggu?
Jawab :
Setelah dua minggu, biasanya efek diuresis dari obat diuretik berkurang. Hal ini
dikarenakan adanya penurunan kerja dari obat diuretik. Obat diuretik memiliki efek
antihipertensi yang lemah, sehingga hanya digunakan pada awal pengobatan saja. Bila
65
kerja dari diuretik ini telah menurun, maka dokter akan mengganti obatnya dengan obat
antihipertensi yang lain.
5. Apakah penyakit hipertensi merupakan penyakit yang persisten (harus minum obat
seumur hidup) atau dapat disembuhkan?
Jawab :
Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan sekunder. Pada hipertensi
sekunder, dimana penyebab hipertensi dapat diketahui, misalnya akibat gangguan atau
kerusakan pada ginjal, pengobatan hipertensi harus terlebih dahulu mengobati akibat dari
hipertensi itu sendiri. Namun untuk kebanyakan kasus hipertensi (diatas 90%), yaitu
hipertensi primer, dimana penyebabnya tidak diketahui secara pasti, pengobatan dapat
saja dihentikan dengan pertimbangan seberapa berat penyakit hipertensi yang diderita.
Pasien hipertensi yang telah menjalami pengobatan selama beberapa waktu dan tekanan
darah telah berada dalam batas normal, maka pengobatan dapat dihentikan. Hasil
pengobatan pada pasien hipertensi tidak dapat dikatakan sembuh, namun hanya
menstabilkan tekanan darah. Bila tekanan darah pasien sudah normal yaitu kurang dari
120/80 mmHg, maka obat antihipertensi boleh dihentikan, dengan syarat tekanan darah
pasien tetap dikontrol rutin dan pasien mengikuti pola gaya hidup yang baik seperti
mengatur asupan natrium dan mengontrol tekanan darah secara rutin. Pengobatan hanya
dapat dilepaskan bila pasien telah mampu mengontrol tekanan darahnya sendiri dengan
mengubah pola hidup. Akan tetapi hal ini bukan berarti pasien telah sembuh total dari
penyakit hipertensi, karena
penghentian pengobatan pada saat tekanan darah telah normal tanpa dibarengi dengan
perubahan pola hidup sehingga sewaktu-waktu tekanan darah dapat naik, harus dicegah.
Karena hal ini tidak akan baik pengaruhnya pada tubuh, dimana terjadi fluktuasi dari
tekanan darah.
6. Diet garam untuk hipertensi sejauh mana? Seharusnya seperti apa diet garam? Ion apa
saja yang dibutuhkan oleh tubuh?
Jawab :
Pada pasien hipertensi perlu dilakukan diet natrium. Diet natrium ini dapat membantu
menurunkan dan menstabilkan tekanan darah pada pasien. Natrium dapat meningkatkan
volume ekstrasel sehingga retensi air akan meningkat. Dengan begitu maka volume darah
akan meningkat, venous return meningkat, stroke volume meningkat, cardiac output
66
meningkat, sehingga akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Konsumsi natrium
yang dianjurkan untuk pasien hipertensi adalah 1,5 g/hari natrium atau 3,8 g/hari natrium
klorida. Diet yang dilakukan adalah dengan mengurangi asupan natrium, seperti
mengurangi kandungan garam dapur dan penyedap rasa atau monosodium glutamat
(MSG) pada makanan. Selain itu pasien juga sebaiknya mengurangi konsumsi makanan
ringan yang mengandung MSG. Pada diet garam ini, hanya ditujukan untuk mengurangi
natrium saja, sedangkan ion lainnya seperti Ca tidak perlu dikurangi. Ion Ca memang
dapat meningkatkan tekanan darah bila berada di dalam sel (intraselular). Namun bila ion
Ca berada di luar sel, maka tidak akan berpengaruh pada kenaikan tekanan darah. Bila
fungsi Ca-channel masih baik, maka Ca tidak akan masuk ke dalam sel, melainkan akan
masuk ke dalam tulang. Untuk ion-ion lain yang dibutuhkan oleh tubuh dapat diperoleh
dari sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi oleh pasien sesuai dengan pola diet tipe
DASH yang dianjurkan untuk pasien hipertensi.
7. Apakah obat antihipertensi dapat memberikan efek samping berupa hipotensi?
Jawab :
Seluruh obat antihipertensi dapat memberikan efek samping hipotensi. Efek samping
hipotensi ini dapat terjadi bila obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi tekanan
darah pasien. Oleh karena itu sebelum mengkonsumsi obat antihipertensi, tekanan darah
pasien harus diperiksa terlebih dahulu, dan diberikan terapi sesuai dengan guideline yang
dianjurkan agar tidak terjadi efek hipotensi. Selain itu, gejala hipotensi dan hipertensi
hampir sama, sehingga bila merasakan gejala tersebut hendaknya dilakukan pemeriksaan
tekanan darah terlebih dahulu sebelum meminum obat.
8. Bagaimana hubungan penyakit hipertensi dengan diabetes melitus?
Jawab :
Hipertensi yang diikuti oleh diabetes melitus (compelling indication) banyak terjadi.
Akan tetapi, penyakit hipertensi tidak dapat menyebabkan terjadinya penyakit diabetes
mellitus, melainkan karena pasien tersebut memang sudah menderita DM + HT sejak
awal (compelling indication). Terapi pada hipertensi yang diikuti oleh diabetes melitus
harus sesuai dengan guideline terapi dengan compelling indication untuk mencegah
terjadinya perparahan dari penyakit diabetes melitus.
67
9. Apa yang dimaksud dengan funduskopi?
Jawab :
Funduskopi merupakan suatu jenis pemeriksaan retina dan syaraf mata, untuk mengetahui
apakah pasien menderita retinohipertensi atau tidak. Pemeriksaan funduskopi dapat
dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop, lensa pembesar (78D, 90D) atau dengan
funduskopi indirek (Schepen). Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk melihat apakah
hipertensi sudah sampai menyerang ke organ mata seperti retinopati.
10. Pada pasien hipertensi ada yang diberikan antidemam, mengapa tidak diberi
antihipertensi?
Jawab :
Pada saat terjadinya demam, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
tekanan darah dapat meningkat. Peningkatan tekanan darah ini harus diperiksa terlebih
dahulu sebelum dilakukan pengobatan. Ketika pasien sedang demam perlu diperiksa
tekanan darahnya dan dibandingkan dengan tekanan darah ketika pasien tidak dalam
keadaan demam. Bila peningkatan tekanan darah hanya terjadi ketika demam, pengobatan
dilakukan hanya dengan menggunakan antidemam. Sedangkan bila diberikan obat
antihipertensi pada pasien tersebut, maka pengobatan akan menjadi tidak rasional.
11. Apakah hubungan antara insulin dan tekanan darah (penyakit hipertensi)? Sejauh mana
hubungan DM dapat menyebabkan hipertensi?
Jawab :
Jika ditinjau dari mekanisme patofisiologi hipertensi secara humoral bahwa peningkatan
konsentrasi insulin dapat menyebabkan hipertensi karena meningkatnya retensi natrium
ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik. Selain itu, insulin dapat berperan
sebagai hormon pertumbuhan seperti aktivitas yang dapat menimbulkan hipertrofi
vaskular sel otot halus. Insulin juga dapat mengangkat tekanan darah arteri dengan
meningkatkan intraselular kalsium, yang mengarah ke peningkatan resistensi pembuluh
darah. Mekanisme resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya. Akan tetapi hal demikian tidak secara langsung
mengindikasikan bahwa kelebihan kadar insulin dalam darah dapat menyebabkan
hipertensi, ada faktor internal dari pasien itu sendiri yang dapat mempengaruhi kondisi
68
hipertensi, seperti obesitas, merokok, dan pengelolaan terhadap faktor risiko juga
berpengaruh.
Jika kadar insulin di dalam tubuh berkurang maka akan terjadi peningkatan glukosa
darah, kondisi demikian disebut sebagai diabetes melitus. Ketika pengelolaan terhadap
penyakit diabetes tidak benar maka akan muncul berbagai komplikasi, diantaranya
komplikasi kronis berupa mikrovaskular, makrovaskular, serta infeksi. Komplikasi kronis
berupa makrovaskular dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah serta
penyempitan pada pembuluh darah sehingga elastisitas pembuluh darah berkurang dan
sirkulasi darah pun akan terganggu. Sedangkan pada ventrikel kiri terus memompa darah
ke seluruh tubuh sehingga terjadi kenaikan tekanan darah dan cardiac output, hal inilah
yang menjadi pemicu hipertensi pada seseorang.
12. Obat alternatif dalam penanganan hipertensi salah satunya adalah Ca-Channel Bloker
(CCB). Bagaimana mekanisme kerja dari CCB? Apa fungsi Ca dalam tekanan darah?
Jawab :
Kalsium (Ca) berperan pada proses kontraksi otot polos dan otot jantung. Kontraksi dari
sel otot jantung dan sel otot polos membutuhkan peningkatan konsentrasi kalsium
intraselular bebas dari cairan ekstraselular. Saat otot kardiak atau otot polos vaskular
distimulasi, channel sensitif tegangan dalam membran sel akan terbuka, melewatkan
kalsium memasuki sel. Influks dari ekstraselular kalsium ke dalam sel melepaskan
kalsium yang disimpan dari retikulum sarkoplasma. Saat konsentrasi kalsium intraselular
bebas meningkat, dia mengikat protein, kalmodulin, yang lalu mengaktivasi miosin
kinase memungkinkan miosin untuk berinteraksi dengan aktin untuk menginduksi
kontraksi dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Ca-Channel Bloker berperan
dalam menginhibisi atau menghambat influks kalsium melewati membran sel yang akan
mengakibatkan otot tidak berkontraksi sehingga tekanan darah akan menurun. Efek
samping lainnya dari Ca-channel bloker adalah menurunnya resistensi perifer dan
menurunnya denyut jantung.
13. Pada pasien hipertensi terkadang terasa nyeri pada punggung, dan di telinga seperti
berdengung. Bagaimana mekanismenya?
Jawab :
Salah satu penyebab meningkatnya tekanan darah adalah karena adanya penyempitan
pembuluh darah atau vasokonstriksi. Saat terjadi vasokonstriksi suplai oksigen ke
69
jaringan akan mengalami gangguan. Menurunnya suplai oksigen ke jaringan ini akan
menyebabkan hipoksia pada jaringan sehingga akan terasa pegal. Selain itu
vasokonstriksi juga dapat mempengaruhi membran timpani di dalam telinga. Akan terjadi
konstriksi sehingga membran timpani akan mengeras. Hal inilah yang kemudian akan
dirasakan sebagai ‘dengung’ di telinga oleh pasien hipertensi.
14. Apakah hipertensi itu hanya apabila sistol dan diastol tinggi atau bisa hanya salah satu
yang tinggi? Jika salah satu saja yang tinggi bagaimana pengobatannya?
Jawab :
Seseorang dikatakan memiliki tekanan darah normal bila tekanan darah sistol dibawah
120 mmHg dan diastol dibawah 80 mmHg. Sedangkan seseorang dapat dikatakan
menderita hipertensi ketika memiliki tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastol diatas 90 mmHg. Sesuai dengan klasifikasi tekanan darah (Brunton, et al.,
2006), apabila salah satu dari diastol atau sistol tinggi, maka sudah dapat dikatakan
hipertensi.
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik Normal < 120 dan < 80Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89Hipertensi tahap 1 140 – 159 atau 90 – 99Hipertensi tahap 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Untuk pengobatannya adalah sama saja dengan yang telah dijelaskan pada saat presentasi,
bahwa apabila salah satu dari diastol atau sistol tinggi, makan digunakan pengobatan
yang menurunkan tekanan darahnya agar mencapai normal.
15. Diet natrium, bisa menyebabkan natrium turun, bagaimana untuk menyeimbangkan
asupan natrium? Menggunakan kapsul garam?
Jawab :
Pada diet natrium, asupan natrium telah diperhitungkan terlebih dahulu, yaitu sesuai yang
dianjurkan untuk pasien hipertensi adalah 1,5 g/hari natrium atau 3,8 g/hari natrium
klorida. Selain itu, natrium juga dapat diperoleh dari asupan sayur dan buah yang
dikonsumsi. Penurunan natrium yang terjadi pada diet natrium tidak akan sampai
70
menyebabkan pasien menjadi kekurangan natrium sehingga tidak diperlukan untuk
mengkonsumsi kapsul garam.
16. Apakah ada tanaman herbal yang dapat berperan sebagai obat antihipertensi? Berapa
dosisnya?
Jawab :
Tanaman herbal untuk obat antihipertensi misalnya mentimun, belimbing wuluh, bawang
putih, sambiloto, seledri, rumput teki, dan masih banyak yang lainnya. Dosisnya berbeda-
beda, tergantung masing-masing tanaman, dan informasi dosis ini dapat diketahui
misalnya dari hasil pengujian yang sudah banyak dilakukan. Penggunaan obat herbal ini
biasanya hanya ditujukan untuk proses pemeliharaan (maintenance) dari tekanan darah,
bukan sebagai obat utama.
71