64309912-makalah-farmakoterapi-hipertensi-kel-5-diskusi.docx

111
MAKALAH HIPERTENSI MATA KULIAH FARMAKOTERAPI FP-5007 SEMESTER II TAHUN 2010/2011 Tanggal Presentasi : 7 April 2011 Tanggal Pengumpulan Makalah : 21 April 2011 Disusun Oleh : KELOMPOK 5 P erwita Sari 90710053 Rahajeng Nur I.O.P. 90710054 Rahmi Putri 90710055 Ria P. Natalia 90710056 Rifina Yanurita A. 90710057 Rika Febriana 90710058 Rika Febriyanti 90710059 Risetyawati 90710060 Rista Ayu K. 90710061 Riza Wahyuningtyas 90710062 Rusli Ananta 90710063 Ryan Rinaldi 90710064 Salman Muttaqien 90710065 Selvy Rosa 90710066

Upload: adnitama04

Post on 18-Jan-2016

104 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

MAKALAH HIPERTENSI

MATA KULIAH FARMAKOTERAPI FP-5007

SEMESTER II TAHUN 2010/2011

Tanggal Presentasi : 7 April 2011

Tanggal Pengumpulan Makalah : 21 April 2011

Disusun Oleh :

KELOMPOK 5

Pe

rwita Sari 90710053

Rahajeng Nur I.O.P. 90710054

Rahmi Putri 90710055

Ria P. Natalia 90710056

Rifina Yanurita A. 90710057

Rika Febriana 90710058

Rika Febriyanti 90710059

Risetyawati 90710060

Rista Ayu K. 90710061

Riza Wahyuningtyas 90710062

Rusli Ananta 90710063

Ryan Rinaldi 90710064

Salman Muttaqien 90710065

Selvy Rosa 90710066

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

SEKOLAH FARMASI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Page 2: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

2011

HIPERTENSI

A. DEFINISI

Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang umum yang berarti kenaikan tekanan darah

secara persisten. Pasien hipertensi memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan

darah diastolik > 90 mmHg, atau keduanya. Krisis hipertensi (tekanan darah lebih besar dari

180/120 mmHg) dapat dikategorikan ke dalam hypertensive emergency (kenaikan tekanan

darah yang ekstrim dengan kerusakan organ akut atau progresif) atau hypertensive urgency

(kenaikan tekanan darah yang parah tanpa kerusakan organ akut atau progresif) (Dipiro,

2008). Menurut American Society of Hypertension (ASH), pengertian hipertensi adalah suatu

sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskular yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain

yang kompleks dan saling berhubungan. Berikut tabel klasifikasi tekanan darah (Brunton, et

al., 2006) :

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah

KlasifikasiTekanan Sistolik

(mmHg)Tekanan Diastolik

(mmHg)Normal < 120 Dan < 80Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89Hipertensi tahap 1 140 – 159 Atau 90 – 99Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

B. PREVALENSI

Pada penelitian di Amerika, sekitar 31% dari populasi Amerika mempunyai tekanan darah

yang tinggi (≥140/90 mmHg). Persentase pria dengan hipertensi lebih tinggi dari pada wanita

sebelum usia 45 tahun, tetapi antara usia 45 dan 54 tahun persentase wanita dengan hipertensi

sedikit lebih tinggi dari pria. Setelah usia 55 tahun, persentase wanita dengan hipertensi jauh

lebih tinggi dari pria. Prevalensi tertinggi hipertensi di Amerika berdasarkan ras adalah pada

ras non-hispanik kulit hitam (33,5%) dan diikuti oleh ras non-hispanik kulit putih (20,7%).

2

Page 3: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Semakin bertambahnya usia kemungkinan terkena hipertensi juga menjadi lebih besar, yaitu

sebagai contoh sekitar 50% dari populasi usia 60 - 69 tahun menderita hipertensi, dan pada

usia di atas 70 tahun prevalensinya meningkat (Brunton, et al., 2006).

Menurut hasil riskesdas pada tahun 2007, data prevalensi yang didapatkan adalah sebagai

berikut :

Hipertensi menduduki urutan kedua penyebab kematian terbanyak setelah stroke

(15,4%) yaitu 6,8%, kemudian pada urutan ketiga terdapat penyakit jantung iskemia

dengan persentase 5,1%.

Prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden komplikasi penyakit

kardiovaskular lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan laki-laki (48%).

Prevalensi hipertensi yang tinggi terdapat pada populasi laki-laki maupun

perempuan, baik di perkotaan ataupun di pedesaan.

C. PATOFISIOLOGI

Hipertensi atau penyakit darah tinggi terbagi menjadi hipertensi primer atau esesnsial dan

hipertensi sekunder. Pada hipertensi primer atau essensial, penyebab terjadinya hipertensi

tidak diketahui secara pasti, sedangkan pada hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh

penyebab yang spesifik dan dapat diketahui dengan pasti. Pada kenyataan yang terjadi,

hipertensi essensial memiliki porsi lebih besar dibandingkan hipertensi sekunder, yaitu lebih

dari 90% dari kasus hipertensi yang terjadi.

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur di dinding arteri dan dinyatakan dengan

milimeter merkuri (mmHg). Tekanan yang diukur adalah tekanan darah arteri sistolik dan

diastolik, atau yang biasa disebut dengan istilah Sistolic Blood Pressure (SBP) dan Diastolic

Blood Pressure (DBP). SBP dicapai selama jantung berkontraksi dan merupakan nilai atau

keadaan puncak, sedangkan DBP dicapai setelah bilik jantung berkontraksi dan merupakan

nilai nadir. Rata-rata tekanan arteri (MAP) adalah tekanan rata-rata sepanjang siklus jantung

berkontraksi. Hal ini terkadang digunakan secara klinis untuk mewakili keadaan tekanan

darah arteri secara keseluruhan. Tekanan darah arteri hemodinamik dihasilkan oleh interaksi

antara aliran darah dan resistensi terhadap aliran darah. Ini didefinisikan secara matematis

sebagai produk keluaran jantung atau cardiac output (CO) dan resistensi perifer total atau

3

Page 4: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

total peripheral resistance (TPR). CO adalah penentu utama dari SBP, sedangkan TPR

sangat menentukan DBP. Pada gilirannya, CO berperan terhadap volume stroke, denyut

jantung, dan kapasitas vena.

Data epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara tekanan darah dan morbiditas

dan mortalitas kardiovaskular. Risiko stroke, infark miokardial, angina, gagal jantung, gagal

ginjal, atau awal kematian merupakan akibat dari gangguan kardiovaskular yang secara

langsung berhubungan dengan tekanan darah arteri.

Mekanisme pengaturan tekanan darah terdiri dari mekanisme humoral, regulasi neuronal,

komponen autoregulasi perifer, mekanisme endotel vaskular, serta kesetimbangan elektrolit

dan bahan kimia lain.

1. Mekanisme Humoral

Beberapa kelainan humoral terlibat langsung dalam perkembangan hipertensi essensial.

Mekanisme terjadinya hipertensi secara humoral dibagi menjadi 3 bagian meliputi RAAS

(Sistem Renin Angiotensin Aldosteron), hormon pelepas natrium (natriuretic hormone), serta

resistensi insulin dan hiperinsulinemia.

a. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Banyak faktor yang menyebabkan kenaikan tekanan darah secara kumulatif dipengaruhi

oleh Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), yang akhirnya berpengaruh terhadap

tekanan darah arteri. Namun obat-obat antihipertensi secara khusus dapat mengontrol

komponen RAAS tersebut secara selektif.

RAAS merupakan sistem endogen yang kompleks yang terlibat dalam regulasi komponen

di dalam tekanan darah arteri, dimana aktivasi paling utama dipengaruhi oleh organ ginjal

yang berfungsi sebagai sistem ekskresi dan regulasi cairan yang ada di dalam tubuh.

RAAS berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan elektrolit baik secara intraselular

maupun ekstraselular, seperti Na, K, dan cairan tubuh lainnya. Oleh karena itu, sistem ini

secara signifikan mempengaruhi aktivitas pembuluh darah dan sistem saraf simpatik serta

dapat mempengaruhi kontributor pengaturan homeostasis di dalam tekanan darah.

4

Page 5: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Gambar 1. Mekanisme RAAS terhadap pengaturan tekanan darah.

Renin merupakan suatu enzim yang tersimpan dalam sel juxtaglomerular, yang terletak di

bagian arteriol aferen pada ginjal. Pelepasan renin dari ginjal dimodulasi oleh beberapa

faktor, diantaranya faktor internal seperti tekanan perfusi renal, katekolamin dan

angiotensin II, serta faktor eksternal berupa komponen cairan tubuh seperti kurangnya

filtrasi Na yang mencapai makula densa yang merupakan tubulus yang mempunyai sel-sel

termodifikasi, ion Cl pada cairan ekstraselular, dan cairan intraselular berupa ion K.

Aparatus sel juxtaglomerular di dalam ginjal berperan sebagai baroreseptor. Ketika terjadi

penurunan aliran darah dan tekanan arteri pada ginjal maka sel juxtaglomerular akan

merasakan rangsangan tersebut dan menstimulasi proses sekresi renin dari ginjal. Selain

itu penurunan jumlah ion Na dan Cl melalui tubulus distal juga akan menstimulasi proses

pelepasan enzim renin dari ginjal. Di dalam cairan intraselular seperti K dan Ca ketika

mengalami penurunan maka akan mempengaruhi sistem homeostasis tubuh dan terdeteksi

5

Page 6: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

oleh sel juxtaglomerular yang memicu pelepasan renin. Kemudian adanya rangsangan di

dalam saraf simpatis oleh katekolamin juga dapat mempercepat pelepasan renin.

Enzim renin akan mengkatalisis angiotensinogen menjadi angiotensin I dalam darah,

dimana 4 asam amino dari angiotensinogen akan dipecah sehingga terbentuk angiotensin

I di dalam darah. Kemudian ACE akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II

ketika mengikat reseptor yang lebih spesifik dimana terdapat 2 reseptor spesifik di dalam

tubuh manusia yaitu subtipe AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terletak di bagian otak, ginjal,

miokardium, vaskulatur periferal, dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 bekerja dengan

mempengaruhi respon-respon yang sangat vital bagi fungsi sistem kardiovaskular dan

ginjal. Sedangkan reseptor AT2 terletak di bagian jaringan adrenal medular, rahim, dan

otak. Rangsangan dari reseptor AT2 tidak akan mempengaruhi regulasi pada tekanan

darah. Akan tetapi jika reseptor AT1 yang bekerja maka akan melepaskan 2 asam amino

dari angiotensin I ke angiotensin II, dimana angiotensin II ini menjadi pemicu kenaikan

tekanan darah di dalam tubuh. Angiotensin II dapat menyebabkan vasokontriksi dan dapat

merangsang pelepasan katekolamin dari medula adrenal sehingga terjadi aktivasi dari

saraf simpatik, kemudian angiotensin II juga merangsang korteks adrenal untuk

mensekresi aldosteron akibatnya terjadi penyerapan kembali cairan-cairan yang ada di

dalam tubuh seperti Na dan air sehingga manifestasi dari aldosteron ini yaitu terjadi

peningkatan volume plasma, resistensi periferal total (TPR), dan akhirnya menyebabkan

kenaikan tekanan darah di dalam tubuh.

Jaringan perifer akan menghasilkan angiotensin peptida secara lokal yang dapat

mempengaruhi aktivitas biologis seperti peningkatan resistensi pembuluh darah. Selain

itu angiotensin juga diproduksi oleh jaringan lokal yang dapat menstimulasi regulator

humoral dan pertumbuhan sistem endotelium yang diturunkan untuk menstimulasi

metabolisme dan pertumbuhan otot polos vaskular. Sintesa dari angiotensin peptida dapat

memicu peningkatan resistensi pembuluh darah dalam bentuk renin plasma yang rendah

pada hipertensi essensial. Secara keseluruhan RAAS merupakan faktor penting dalam

regulasi tekanan darah arteri, oleh karena itu pengelolaan terhadap organ ginjal sangat

penting dalam regulasi cairan dan sistem ekskresi untuk menjaga sistem homeostasis

tubuh agar tidak terjadi pelepasan enzim renin, dan angiotensin I di dalam tubuh pun

tidak akan terkonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang merupakan

faktor utama dari penyakit hipertensi, dan aktivitas sistem saraf simpatik pun akan

diimbangi dengan peranan asetilkolin oleh saraf parasimpatis.

6

Page 7: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

b. Hormon Natriureti k

Ketika terdapat hormon natriuretik di dalam sistem membran maka akan menghambat Na

dan K ATPase dan melawan gradien transport Na yang melewati seluruh membran sel.

Ketidakmampuan ginjal untuk mengeliminasi Na dapat menyebabkan retensi Na sehingga

terjadi peningkatan volume darah. Selain itu hormon natriuretik juga dapat

mempengaruhi penghambatan transport aktif pengeluaran ion Na yang terletak di bagian

arteriolar sel otot polos sehingga terjadi depolarisasi dimana peningkatan permeabilitas

membran terhadap Na dan konsentrasi Na di dalam cairan intraselular meningkat yang

akhirnya dapat meningkatkan denyut nadi dan peningkatan tekanan darah arteri. Sehingga

diperlukan suatu pengaturan aktivitas Natriuretic Peptide (NP) di dalam tubuh manusia,

dimana aktivasi dari reseptor NPR A dan NPR B akan menyebabkan vasorelaksasi dari

otot vaskular sehingga akan terjadi vasodilatasi.

c. Resistensi Insulin dan Hiperinsulinemia

Bukti terkait resistensi insulin dan hiperinsulinemia dengan hipertensi terkadang disebut

sebagai sindrom metabolik. Peningkatan konsentrasi insulin dapat menyebabkan

hipertensi karena meningkatnya retensi natrium ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem

saraf simpatik. Selain itu, insulin dapat sebagai hormon pertumbuhan seperti tindakan

yang dapat menimbulkan hipertrofi vaskular sel otot halus. Insulin juga dapat mengangkat

tekanan darah arteri dengan meningkatkan intraselular kalsium, yang mengarah ke

peningkatan resistensi pembuluh darah. Mekanisme resistensi insulin dan

hiperinsulinemia terjadi pada hipertensi essensial yang tidak diketahui penyebabnya.

2. Regulasi Neuronal

Regulasi neuronal melibatkan aktivitas dari sistem saraf pusat dan saraf otonom yang

meliputi saraf simpatis dan saraf parasimpatis, dimana sejumlah reseptor dapat meningkatkan

atau menghambat pelepasan neurotransmiter berupa norepinefrin (NE) yang terletak di

permukaan presinaptik dari batasan simpatik. Adanya rangsangan dari reseptor α presinaptik

(α2) memberikan inhibisi negatif dalam pelepasan neurotransmiter norepinefrin, sedangkan

rangsangan dari reseptor β presinaptik akan memediasi pelepasan lebih lanjut dari aktivitas

neurotransmiter norepinefrin di sistem saraf simpatis.

7

Page 8: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Pada sistem saraf simpatis terdapat bagian preganglion – ganglion – pasca ganglion dimana

pada bagian pasca ganglion terdapat adrenergik yang melepaskan neurotransmiter berupa

norepinefrin (NE) dan epinefrin (Epi) yang dapat berinteraksi dengan sel efektor. Pada

norepinefrin terdapat reseptor α1, α2, β1, β2 dan β3 akan tetapi aktivitas β2 sangat lemah

sehingga peranan reseptor β2 untuk vasorelaksasi dari otot polos tidak terlihat pada

norepinefrin walaupun kemungkinan aktivitas ini sama dengan epinefrin akan tetapi pada

bagian epinefrin aktivitas β2 lebih terlihat. Norepinefrin sering disebut sebagai agen

vasokontriktor karena semua reseptornya dapat memacu peningkatan kontraksi. Oleh karena

itu perlu adanya keseimbangan aktivitas antara saraf simpatik dan saraf parasimpatik untuk

regulasi komponen tekanan darah arteri.

Reseptor β1 terletak dibagian jantung dan sel juxtaglomerular ketika ada aktivasi dapat

meningkatkan sekresi renin, reseptor β2 terletak di otot polos seperti bronkus, pembuluh

darah, saluran cerna, otot rangka, dan hati adanya aktivasi reseptor ini dapat menyebabkan

vasorelaksasi otot polos. Sedangkan reseptor β3 terletak pada jaringan lemak. Untuk reseptor

α1 terletak di otot polos dan α2 di bagian ujung saraf adrenergik ketika ada aktivasi kedua

reseptor tersebut dapat menyebabkan vasokontriksi kecuali pada otot polos di bagian usus

mengalami vasorelaksasi.

3. Komponen Autoregulasi Perifer

Adanya rangsangan abnormalitas pada organ ekskresi ginjal dapat menyebabkan kerusakan

jaringan dan pemicu hipertensi. Ketika terjadi rangsangan yang berlebihan maka akan

menyebabkan kerusakan pada ginjal dalam mengekskresikan garam seperti NaCl, sehingga

terjadi pengulangan dari proses autoregulator jaringan, kemudian terjadi peningkatan volume

cairan dalam ginjal dan hasilnya tekanan darah arteri akan meningkat.

Pada bagian ginjal terdapat nefron yang berfungsi untuk memfiltrasi cairan yang masuk

melalui glomerulus dan memelihara tekanan darah melalui mekanisme adaptasi volume

tekanan, sehingga ketika tekanan darah dalam tubuh menurun maka ginjal akan merespon

dengan cara menaikkan penyimpanan dari cairan berupa air dan garam. Hal ini dimaksudkan

untuk memperbesar volume plasma dan cardiac output (CO) dengan tujuan untuk

memelihara kondisi homeostasis tekanan darah.

Asupan oksigen akan dipelihara oleh proses autoregulatori lokal sehingga oksigen yang

tersimpan pada jaringan cukup terpenuhi ketika ada permintaan di jaringan dalam kondisi

8

Page 9: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

normal sampai rendah, akan tetapi arteri lokal relatif mengalami vasokontriksi, kenaikan

permintaan metabolik dapat memicu vasodilatasi arteri dengan mekanisme ketahanan

pembuluh darah perifer yang rendah dan terjadi kenaikan aliran darah dan penghantaran

oksigen melalui proses autoregulasi. Pada mekanisme adaptasi renal, ketika terjadi kerusakan

intrinsik dapat meningkatkan volume plasma dan terjadi kenaikan aliran darah ke jaringan

perifer. Proses ini dapat mengakibatkan kenaikan terhadap ketahanan pembuluh darah perifer

dan jika berlangsung lama elastisitas dinding pembuluh akan menurun dan mengalami

penebalan dinding arteri, sehingga secara patofisiologi penebalan pembuluh darah perifer

merupakan indikasi dari pasien yang mengidap penyakit hipertensi essensial atau primer.

4. Mekanisme E ndotel V askular

Endotel vaskular dan otot polos memegang peranan penting dalam regulasi aliran darah dan

peningkatan tekanan darah. Pengaturan ini dimediasi oleh substansi vasoaktif yang disintesis

oleh sel endotel. Endotelium akan mensekresi endotelin yang merupakan substansi

vasokontriksi, selain itu endotelin juga bisa dihasilkan oleh miosit kardiak pada manusia.

Endotelin terdiri dari tiga tipe, yaitu ET-1, ET-2 dan ET-3, ketiganya berpotensi kuat untuk

menyebabkan vasokonstriksi. ET-1 merupakan bentuk yang paling sering terekspresi di

antara famili endotelin lainnya. Dua subtipe reseptor endotelin yang telah ditemukan pada

miokardial manusia, yaitu tipe A dan B. Reseptor ET(A) menimbulkan vasokonstriksi,

proliferasi sel, hipertrofi patologis, fibrosis dan peningkatan kontraktilitas, sedangkan ET(B)

berperan dalam menghilangkan efek ET-1, pelepasan Nitric Oxide (NO) dan prostasiklin.

Pelepasan ET dari sel endotel dapat ditingkatkan oleh beberapa agen vasoaktif (NE,

angiotensin II, trombin) dan sitokin.

5. Elektrolit dan Bahan Kimia Lain

Penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa diet tinggi natrium berhubungan dengan

prevalensi stroke dan hipertensi. Sebaliknya, diet rendah natrium berhubungan dengan

prevalensi rendah hipertensi. Studi klinis telah menunjukkan secara konsisten bahwa diet

pembatasan natrium menurunkan tekanan darah dalam jumlah banyak (tetapi tidak semua)

terhadap pasien. Mekanisme yang menyebabkan kelebihan natrium pada hipertensi tidak

diketahui. Namun, hal ini mungkin berhubungan dengan peningkatan sirkulasi hormon

natriuretik, yang akan menghambat intraselular transportasi natrium, menyebabkan

peningkatan reaktivitas vaskular dan meningkatnya tekanan darah.

9

Page 10: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

D. ETIOLOGI

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan

pasien hipertensi, etiologi patofisiologinya tidak diketahui atau disebut dengan hipertensi

essensial atau hipertensi primer. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat

dikendalikan. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab

yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder

yaitu meliputi penyebab endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat

diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial

(Departemen Kesehatan, 2006).

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu hipertensi primer

(essensial) dan hipertensi sekunder.

1. Hipertensi P rimer ( Essensial )

Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut

juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 90% hingga 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis,

sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular,

dan faktor – faktor yang meningkatkan resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta

polisitemia (Mansjoer, 2000).

Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah

diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi

primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya

menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis

hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan

darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi

essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi

keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang

merubah ekskresi urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan

angiotensinogen (Departemen Kesehatan, 2006).

10

Page 11: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

2. Hipertensi S ekunder

Kurang dari 10% merupakan penderita hipertensi sekunder dari penyakit komorbid atau

obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus,

disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab

sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,

dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan

darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Obat yang Dapat Meningkatkan Tekanan Darah

Penyakit Obat Penyakit ginjal kronis Hiperaldosteronisme

primer Penyakit renovaskular Sindrom Cushing Pheochromocytoma Koarktasi aorta Penyakit tiroid atau

paratiroid

Kortikosteroid, ACTH Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar

estrogen tinggi) NSAID, COX-2 inhibitor Fenilpropanolamin dan analog Cyclosporin dan takrolimus Eritropoetin Sibutramin Antidepresan (terutama venlafaxine)

Keterangan : NSAID : non steroid antiinflammatory drug, ACTH: adrenokortikotropik hormon

Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang

bersangkutan atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan

tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Departemen Kesehatan, 2006).

E. DIAGNOSIS

Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya dapat

ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali

terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Pengukuran tekanan darah dilakukan

dalam keadaan pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran

pembungkus lengan yang sesuai. Tensimeter dengan air raksa masih tetap dianggap alat

pengukur yang terbaik (Mansjoer, 2000).

Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkatan hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan

gejala penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung,

11

Page 12: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

penyakit serebrovaskular, dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga,

gejala-gejala yang berkaitan dengan penyebab hipertensi, perubahan aktivitas/ kebiasaan

(seperti merokok), konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping

terapi antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga,

pekerjaan, dan sebagainya) (Mansjoer, 2000).

Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan

jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang pada lengan kontralateral. Dikaji perbandingan

berat badan dan tinggi pasien. Kemudian dilakukan pemeriksaan funduskopi untuk

mengetahui adanya retinopati hipertensi, pemeriksaan leher untuk mencari bising karotid,

pembesaran vena dan kelenjar tiroid. Dicari tanda – tanda gangguan irama dan denyut

jantung, pembesaran ukuran, bising, derap, dan bunyi jantung ketiga atau empat. Paru-paru

diperiksa untuk mencari ronki dan bronkospasmus. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk

mencari adanya massa, pembesaran ginjal, dan pulsasi aorta yang abnormal. Pada ekstremitas

dapat ditemukan pulsasi arteri perifer yang menghilang, edema, bising. Dilakukan juga

pemeriksaan neurologi (Mansjoer, 2000).

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih klasifikasi sesuai WHO/ ISH karena

sederhana dan memenuhi kebutuhan, tidak bertentangan dengan strategi terapi, tidak

meragukan karena karena memiliki sebaran luas dan tidak rumit, serta terdapat pula unsur

sistolik yang juga penting dalam penentuan (Mansjoer, 2000).

Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan WHO/ISH

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)Normotensi < 140 < 90Hipertensi ringan 140-180 90-105Hipertensi perbatasan 140-160 90-95Hipertensi sedang dan berat >180 >105Hipertensi sistolik terisolasi >140 < 90Hipertensi sistolik perbatasan 140-160 < 90

Hipertensi sistolik terisolasi adalah hipertensi dengan tekanan sistolik sama atau lebih dari

160 mmHg, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg. Keadaan ini berbahaya dan

memiliki peranan sama dengan hipertensi diastolik, sehingga harus diterapi (Mansjoer, 2000).

12

Page 13: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Klasifikasi pengukuran tekanan darah berdasarkan The sixth Report of the Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure,

1997 dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC-VI

Kategori Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Rekomendasi

Normal < 130 < 85 Periksa ulang dalam dua tahun.Perbatasan 130-139 85-89 Periksa ulang dalam satu tahun.Hipertensi tingkat 1

140-159 90-99 Konfirmasi dalam satu sampai dua bulan. Anjurkan modifikasi gaya hidup.

Hipertensi tingkat 2

160-179 100-109 Evaluasi atau rujuk dalam satu bulan.

Hipertensi tingkat 3

≥ 180 ≥ 110 Evaluasi atau rujuk segera dalam satu minggu berdasarkan kondisi klinis.

Catatan : pasien tidak sedang sakit atau minum obat antihipertensi. Jika tekanan sistolik dan diastolik berada dalam kategori yang berbeda, masukan kedalam kategori yang lebih tinggi.

Secara garis besar pemeriksaan hipertensi dibagi menjadi 3, yaitu anamnesa, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Anamnesa

Pada anamnesa pemeriksaan hipertensi, diperiksa mengenai riwayat dan gejala penyakit

seperti jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal, dan serebrovaskular. Kebiasaan

merokok dan mengkonsumsi makanan berlebihan juga diperiksa. Selain itu dilakukan

pemeriksaan riwayat pemakaian obat oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dimulai dari penampilan secara umum, apakah terdapat obesitas

pada daerah wajah dan obesitas seperti pada Cushing's syndrome. Selain itu diperiksa

apakah terdapat perkembangan dari eksremitas atas yang tidak proporsional dengan

eksremitas bawah yang menunjukkan adanya coarctation dari aorta. Selanjutnya

pemeriksaan tekanan darah pada posisi supine ke posisi berdiri, dimana adanya

peningkatan tekanan diastolik sering menunjukan hipertensi essensial. Pemeriksaan fisik

selain untuk memeriksa tekanan darah juga untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya

tanda-tanda hipertensi sekunder atau komplikasi yang telah terjadi pada organ-organ

tertentu. Minimal pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah tanda-tanda vital yaitu berat

13

Page 14: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

badan, tinggi badan, denyut nadi, dan tekanan darah. Pengukuran tekanan darah yang

dilakukan adalah sebagai berikut :

Pengukuran rutin di kamar periksa

Dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di

lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dua kali dengan

jeda 1-5 menit, dan pengukuran tambahan dilakukan jika terdpat perbedaan hasil yang

signifikan. Untuk usia lanjut, diabetes, dan kondisi lain dimana diperkirakan ada

kondisi ortostatik perlu dilakukan pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.

Pengukuran 24 Jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)

Pengukuran ini menggunakan sebuah alat yang diikatkan pada tangan pasien. Untuk

mengukur tekanan darah selama 24 jam.

Pengukuran sendiri oleh pasien

3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dilakukan antara lain analisis urin, analisis

kalium dan natrium plasma, glukosa darah, kreatinin urin, kolesterol serum, dan

elektrokardiogram.

Tanda dan Gejala Hipertensi

Hipertensi disebut pula dengan “silent killer” sebab kebanyakan pasien tidak menemukan

gejala-gejala yang pasti dan yang ada hanyalah kenaikan tekanan darah. Hipertensi tidak

dapat dinyatakan valid jika pemeriksaan tekanan darah hanya dilakukan satu kali, namun

dapat terdeteksi jika dilakukan dua sampai tiga kali pemeriksaan tekanan darah dalam waktu

yang berbeda. Kemudian dirata-rata dan dapat ditetapkan berapa tekanan darah pasien

(Dipiro, 2009).

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi.

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian,

gejala muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala lain yang

sering ditemukan adalah sakit kepala, sering capek dan pegal, lelah, gugup, mati rasa dan

kesemutan pada kaki, sesak nafas/ nafas pendek, batuk dan hidung berdarah (epistaksis),

muka kemerahan, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata

berkunang-kunang, dan pusing. (Mansjoer, 2000).

14

Page 15: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Hipertensi juga dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa organ, diantaranya adalah :

Otak, dapat menyebabkan Stoke, TIA (transient ischemic attack)

Mata dapat menyebabkan Retinopati

Jantung dapat menyebabkan Angina, Infark miokard, gagal jantung

Ginjal dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease / Gagal ginjal

F. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat

dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi.

1. Faktor Resiko yang Tidak D apat Dimodifikasi

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka

semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan

meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang

mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang

dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur. Usia

yang meningkat akan mengakibatkan penebalan dan kekakuan pada dinding arteri akibat usia

lanjut. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat

mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah

pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya

dan menyebabkan naiknya tekanan (Julianti, 2005).

Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa

muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih

tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause (Departemen

Kesehatan, 2006).

Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi

hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita

memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena

hipertensi (Jhondry, 2010).

15

Page 16: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

2. Faktor Resiko yang Dapat Di modifikasi

Garam dapur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam patogenesis hipertensi.

Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang

minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah

jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-

20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan

volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004). Konsumsi garam yang tinggi

selama bertahun-tahun akan meningkatkan tekanan darah karena kadar natrium dalam sel-sel

otot halus pada dinding arteriol juga meningkat. Kadar natrium yang tinggi ini memudahkan

masuknya kalsium ke dalam sel-sel tersebut. Hal ini kemudian menyebabkan arteriol

berkontraksi dan menyempit pada lingkar dalamnya. Masuknya air dalam jumlah besar ke

dalam pembuluh darah menyebabkan volume darah yang ada dalam sistem peredaran darah

bertambah. Akibatnya, tekanan darah meninggi (WebBooks,2007).

Garam mengandung 40% natrium dan 60% klorida. Orang-orang peka natrium akan lebih

mudah meningkatkan konsentrasi natrium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan

tekanan darah (Sheps, 2000).

Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi. Gangguan pembuluh darah

ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan

garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika

asupan garam 5-15 gram per hari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo,

2004).

Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang

diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang

berlebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam

sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi

(Wijayakusuma, 2000).

Merokok merupaka salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan

hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekanan darah karena nikotin akan

diserap pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke

otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk

melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah

dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Selain itu,

16

Page 17: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

karbon monoksida dalam asap rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan

mengakibatkan tekanan darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen

yang cukup kedalam organ dan jaringan tubuh (Jhondry, 2010).

Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuat aktivitas

akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung

akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung

memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Jhondry, 2010).

Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana

hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan

saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Stress yang

berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum

terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan

dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami

kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001)

G. TERAPI HIPERTENSI

Terapi hipertensi secara umum bertujuan untuk menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas

yang ditimbulkan akibat hipertensi. Morbiditas dan mortalitas ini berhubungan dengan

kerusakan organ target seperti gagal jantung dan penyakit ginjal. Penanganan hipertensi dapat

dilakukan secara nonfarmakologi dan farmakologi. Penanganan hipertensi secara

nonfarmakologi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup dan mengendalikan

faktor resiko lain penyebab hipertensi. Untuk penderita prehipertensi penanganan dilakukan

secara nonfarmakologi, sedangkan untuk penderita hipertensi terlebih dahulu ditangani secara

nonfarmakologi, namun bila belum berhasil maka selain dengan terapi nonfarmakologi,

diberikan juga terapi secara farmakologi dengan obat antihipertensi. Pemilihan obat secara

spesifik untuk terapi dipengaruhi secara signifikan oleh gejala penurunan resiko yang terlihat.

17

Page 18: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Gambar 2. Algoritma Terapi Hipertensi

1. Penanganan Non Farmakologi

Edukasi pasien

Edukasi kepada pasien memiliki peranan yang sangat penting. Sebelum melakukan terapi,

sebaiknya pasien diberi informasi mengenai penyakit hipertensi secara umum. Informasi

mengenai prevalensi, faktor resiko, serta terapi hipertensi akan membantu meningkatkan

kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi. Dengan pemahaman pasien mengenai hipertensi,

diharapkan dapat menunjang proses terapi sehingga terapi yang dilakukan dapat efektif.

Modifikasi Gaya Hidup

Dasar terapi hipertensi secara nonfarmakologi adalah dengan memodifikasi gaya hidup dan

kontrol faktor resiko lain penyebab hipertensi. Pasien hipertensi harus diberi arahan untuk

memodifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah. Selain untuk menurunkan

tekanan darah pada pasien yang telah diketahui menderita hipertensi, modifikasi gaya hidup

juga dapat menurunkan perkembangan penyakit hipertensi bagi pasien yang didiagnosis

18

Page 19: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

menderita prehipertensi. Modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi dilakukan 3 hingga 6

bulan kemudian diamati perkembangan penyakit hipertensi yang diderita. Bila kemajuan

yang terjadi tidak signifikan, maka dapat diberikan terapi secara farmakologi dengan obat

antihipertensi. Selama terapi menggunakan obat antihipertensi modifikasi gaya hidup pasien

harus tetap dijaga.

Modifikasi gaya hidup yang dilakukan untuk menurunkan tekanan darah pasien penderita

hipertensi meliputi penurunan bobot badan pada individu yang kelebihan berat badan atau

obesitas, pengaturan pola makan, pengurangan konsumsi natrium, aktivitas fisik, dan

pengurangan konsumsi alkohol.

Tabel 5. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengatur Hipertensi

Modifikasi RekomendasiRata-rata penurunan SBP (mmHg)

Penurunan bobot badan

Memelihara bobot badan normal (BMI 18,5-24,9 kg/m2).

5-20 per 10 kg berat badan yang hilang.

Pola diet tipe DASH Mengkonsumsi diet kaya buah, sayur, dan produk susu rendah lemak serta pengurangan kandungan lemak total dan lemak jenuh.

8-14

Pengurangan konsumsi natrium

Menurunkan pemasukan natrium harian sebanyak mungkin, idealnya hingga 65 mmol/hari (1,5 g/hari natrium atau 3,8 g/hari natrium klorida)

2-8

Aktivitas fisik Melakukan aktivitas fisik aerobik (minimal 30 menit/hari, hampir setiap hari dalam seminggu)

4-9

Penurunan konsumsi alkohol

Batas konsumsi ≤ 2 gelas (1 oz atau 30 mL etanol, seperti 24 oz bir atau 10 oz wine) / hari pada pria dan ≤ 1 gelas per hari pada wanita dan yang memiliki bobot badan rendah.

2-4

Keterangan :DASH : Dietary Approaches to Stop HypertensionSBP : Sistolic Blood Pressure

A. Penurunan B obot B adan

Kecenderungan hipertensi terjadi dua sampai tiga kali lebih tinggi pada orang dengan

kelebihan bobot badan dibandingkan dengan orang yang kekurangan bobot badan. Lebih

dari 60% pasien dengan hipertensi memiliki bobot badan yang berlebih. Kehilangan

19

Page 20: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

bobot ± 5 kg pada pasien yang kelebihan bobot badan dapat menurunkan tekanan darah

secara signifikan.

Bobot badan seseorang memiliki hubungan yang erat dengan tekanan darah. Peningkatan

asupan energi dapat menyebabkan adanya peningkatan insulin yang dapat meningkatkan

reabsorpsi natrium sehingga akan dihasilkan peningkatan tekanan darah.

Salah satu modifikasi gaya hidup yang dapat dilakukan untuk menjaga tekanan darah

adalah dengan cara menjaga bobot badan dalam keadaan ideal. Salah satu parameter

untuk mengetahui status bobot badan seseorang adalah dengan menggunakan sistem Body

Mass Index (BMI). Berdasarkan BMI, bobot badan seseorang dapat dikatakan normal bila

berada pada rentang 18,5 hingga 24,9 kg/m2. Bila BMI seseorang mencapai lebih dari

angka 30 kg/m2 maka sudah merupakan titik batas obesitas dan diperlukan adanya

pemantauan yang teratur.

Pada pasien penderita hipertensi yang mengalami obesitas, harus dilakukan penurunan

bobot badan dengan berbagai cara, seperti pengaturan pola diet rendah kalori dan

aktivitas fisik. Penurunan bobot badan yang signifikan dapat menurunkan tekanan darah

sistolik yaitu sebesar 5 hingga 20 mmHg per 10 kg berat badan yang hilang.

Penurunan bobot badan yang mengakibatkan penurunan tekanan darah pada pasien

hipertensi dapat mendukung terapi hipertensi secara farmakologi dengan obat

antihipertensi. Selain dapat menjaga kestabilan tekanan darah, terjadinya penurunan

tekanan darah yang lebih besar dapat mengurangi jenis dan jumlah obat antihipertensi

yang digunakan. Keuntungan lain dari penurunan bobot badan adalah dapat

meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit

diabetes melitus.

B. Pola D iet T ipe DASH

Dietary Approaches to Stop Hypertension atau DASH merupakan pola diet yang

direkomendasikan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute (salah satu bagian dari

Departemen Kesehatan Amerika Serikat) bagi para penderita hipertensi karena cukup

efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pola diet tipe DASH ini adalah dengan cara

mengkonsumsi diet kaya buah, sayur, dan produk susu rendah lemak serta pengurangan

kandungan lemak total dan lemak jenuh. Mekanisme kerja dari tipe diet ini belum

20

Page 21: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

diketahui secara jelas, namun diperkirakan ada hubungan antara diet ini dengan

penurunan asupan natrium. Tekanan darah sistolik menurun setelah dua minggu

mengikuti diet tipe DASH dan dari pola diet ini dapat dihasilkan penurunan tekanan

darah sistolik sekitar 8 – 14 mmHg.

C. Pengurangan K onsumsi Natrium

Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh konsumsi natrium berlebih. Adanya ion

natrium dan ion klorida dapat meningkatkan reabsorpsi cairan sehingga tekanan darah

dapat meningkat.

Hampir seluruh orang yang mengurangi konsumsi natrium mengalami penurunan tekanan

darah sistolik. Rekomendasi untuk penderita hipertensi adalah dengan menurunkan

pemasukan natrium harian sebanyak mungkin, idealnya hingga 65 mmol/hari (1,5 g/hari

natrium atau 3,8 g/hari natrium klorida). Pada pasien penderita hipertensi tahap 1,

pengurangan konsumsi garam dapat menormalkan dan menstabilkan tekanan darah.

D. Aktivitas F isik

Aktivitas fisik yang dilakukan oleh penderita hipertensi dapat menurunkan tekanan darah

sistolik 4 hingga 9 mmHg. Aktivitas fisik yang direkomendasikan adalah melakukan

aerobik atau jalan cepat minimal 30 menit/hari, dan dilakukan hampir setiap hari dalam

satu minggu. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan dan

menstabilkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Aktivitas fisik ini juga berhubungan

dengan proses penurunan bobot badan sehingga bila dilakukan secara bersamaan dengan

pola diet maka dapat menurunkan tekanan darah dengan efektif.

E. Penurunan K onsumsi A lkohol

Konsumsi alkohol memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya peningkatan tekanan

darah. Adanya alkohol di dalam darah diperkirakan akan mempengaruhi suplai oksigen

dan nutrien sehingga jantung harus memompa darah lebih cepat yang menyebabkan

terjadinya peningkatan tekanan darah. Oleh karena itu dengan menurunkan jumlah

konsumsi alkohol dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah.

Batas konsumsi alkohol yang direkomendasikan adalah kurang dari 2 gelas (1 oz atau 30

mL etanol, seperti 24 oz bir atau 10 oz wine) per hari pada pria dan kurang dari 1 gelas

21

Page 22: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

per hari pada wanita dan yang memiliki bobot badan rendah. Penurunan konsumsi

alkohol ini dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2 – 4 mmHg.

Faktor Lain

A. Kalium

Asupan kalium pada seseorang dapat mempengaruhi tekanan darah. Peningkatan jumlah

asupan kalium dapat menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah ini dapat

dikarenakan adanya penurunan resistensi vaskular akibat dilatasi pembuluh darah serta

adanya peningkatan kehilangan air dan natrium dari tubuh hasil aktivitas pompa natrium-

kalium. Asupan kalium idealnya adalah 4,7 g/hari dan dapat diperoleh dari buah dan

sayur yang mengandung kalium tinggi. Makanan kaya kalium antara lain jeruk, kentang,

pisang, alpukat, bayam, labu, brokoli, kacang, buncis, ikan kod, susu, tomat, dan yoghurt.

B. Kalsium

Asupan kalsium tinggi biasanya dianjurkan pada pola diet penderita hipertensi. Asupan

kalsium yang rendah dapat mengganggu kesetimbangan kalsium intraselular dan

ekstraselular, yang akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi kalsium intraselular.

Ketidakseimbangan ini dapat memicu terjadinya peningkatan resistensi vaskular periferal.

Kalsium dapat diperoleh dari produk susu (susu dan keju) serta dari kedelai, bayam,

kacang, rumput laut, dan brokoli.

C. Magnesium

Asupan tinggi magnesium dipercaya dapat membantu menurunkan tekanan darah.

Magnesium bekerja dengan menghambat kontraksi otot polos sehingga dapat

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Magnesium dapat diperoleh dari bayam,

kacang, susu kedelai, pisang, dan brokoli.

D. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah.

Mekanisme peningkatan tekanan darah dari merokok adalah dengan adanya nikotin di

dalam rokok yang akan menstimulasi pelepasan epinefrin yang akan menyebabkan

terjadinya vasokonstriksi yang berakibat tekanan darah menjadi lebih tinggi (Jhondry,

22

Page 23: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

2010). Oleh karena itu pada penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok agar

dapat membantu dalam menurunkan tekanan darah.

2. Penanganan Farmakologi

Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan obat antihipertensi kepada semua pasien

dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang gagal merespon terapi non obat. Terapi

obat antihipertensi diberikan untuk mencapai nilai target tekanan darah. Target terapi adalah

tekanan darah <140/90 mmHg atau 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit diabetes

mellitus dan penyakit ginjal kronis, penyakit arteri koroner yang diketahui (infark miokardial,

angina), penyakit atherosclerosis vascular non koroner (stroke iskemia, penyakit arterial

periferal, dll). Selain itu, pasien dengan penyakit disfungsi ventrikular kiri (gagal jantung)

target tekanan darahnya ialah kurang dari 120/80 mmHg (Dipiro, 2008).

Tekanan arterial merupakan hasil dari kardiak output dan resistensi periveral vaskular. Obat

menurunkan tekanan darah dengan mekanismenya lewat resistensi periferal, kardiak output,

atau keduanya. Obat dapat menurunkan kardiak output dengan menginhibisi kontraktilitas

miokardial atau dengan menurunkan tekanan ventrikular. Obat juga dapat menurunkan

resistensi periferal dengan bekerja pada otot polos yang menyebabkan relaksasi pumbuluh

atau dengan berinterferensi pada aktivitas sistem yang menghasilkan konstriksi pembuluh

(contoh: sistem saraf simpatik).

Obat-obat antihipertensi dapat diklasifikasikan menurut tempat mekanisme kerjanya, yaitu

meliputi :

Agen antihipertensi individual utama

a. Diuretik

1. Thiazida dan agen berhubungan lainnya (hydrochlorothiazide, chlorthalidone)

2. Loop diuretik (furosemid, bumetanid, torsemid, asam etakrinat)

3. Diuretik hemat kalium (amiloride, triamterene, spironolactone)

4. Antagonis aldosteron

b. Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE Inhibitor)

c. Angiotensin Receptor Bloker (ARB)

d. Calcium Channel Bloker (CCB)

e. β-bloker

23

Page 24: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Pilihan Terapi Obat Awal

Dengan compelling indication

Tanpa compelling indication

Obat pilihan sesuai dengan compelling indication dan anti hipertensi lain jika

diperlukan

Tingkat 1(sistol 140-159 atau

diastol 90-99)

Tingkat 2(sistol > 160 atau

diastol >100 mmHg)

Kombinasi 2 macam obat biasanya diuretik

thiazida dan ACE inhibitor/ARB atau β-

bloker atau CCB

Diuretik thiazida dapat pula

dipertimbangkan, ACE inhibitor, ARB,

β-bloker, CCB maupun kombinasi

Agen antihipertensi alternatif

a. α-Bloker

b. Aliskiren

c. Agonis Sentral α-2

d. Reserpin

e. Vasodilator Arterial Langsung

f. Agen-agen lainnya

Gambar 3. Algoritma penanganan hipertensi

Guidelines terapi dari JNC7 merekomendasikan diuretik tipe thiazida sebagai terapi utama

untuk kebanyakan pasien. Hal ini berdasarkan percobaan-percobaan yang telah banyak

24

Page 25: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

dilakukan bahwa diuretik thiazida menunjukkan reduksi signifikan pada stroke, MI, penyakit

kardiovaskular lainnya, dan mortalitas.

Penggunaan obat-obat dari kelas yang berbeda merupakan salah satu strategi untuk

mendapatkan kontrol efektif dari tekanan darah sementara meminimalisasikan efek samping

yang berkaitan dengan dosis.

Hampir setiap pasien hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih pengobatan antihipertensi

untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan. Tambahan obat kedua dari kelas yang

berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal pada dosis yang cukup gagal untuk

mencapai tekanan darah yang diinginkan. Ketika tekanan darah lebih dari 120/10 mmHg

diatas tekanan darah yang diinginkan, maka dipertimbangkan untuk diberikan terapi awal

dengan dua obat, baik resep terpisah atau dengan kombinasi tetap. Inisiasi terapi obat dengan

lebih dari dua senyawa aktif dapat meningkatkan kemungkinan mencapai tekanan darah yang

diinginkan, tetapi perhatian diberikan pada kelompok yang berisiko hipotensi ortostatik

seperti pasien dengan diabetes, gangguan sistem otonom, dan lansia. Umumnya obat-obat

yang diberikan untuk tiap individual berbeda karena respon klinik yang diberikan obat untuk

tiap individu berbeda, tergantung pada variasi genetik antar individu. Misalnya, untuk

beberapa obat-obat antihipertensi, pada sekitar 2/3 pasien akan memberikan respon klinik

yang berarti, sedangkan pada 1/3 pasien lainnya tidak memberi respon yang sama pada obat

tersebut (GG, 2005).

Diuretik (terutama tipe thiazida), inhibitor ACE, Angiotensin Reseptor Bloker (ARB), atau

Ca-channel bloker (CCB) merupakan obat-obat antihipertensi yang dianggap sebagai pilihan

utama. Agen-agen ini dapat digunakan untuk kebanyakan pasien hipertensi, hal ini terbukti

dari data yang ada telah menunjukkan keuntungan penurunan resiko kardiovaskular. Untuk

pasien dengan peningkatan tekanan darah yang lebih parah (hipertensi tingkat 2), terapi

kombinasi obat, dengan salah satu agennya diuretik thiazida lebih diutamakan.

Compelling Indication

Laporan JNC7 menyebutkan bahwa terdapat 6 jenis compelling indication yang

mempresentasikan kondisi tidak normal. Dari data uji klinik didapatkan hasil bahwa

penggunaan obat antihipertensi kelas tertentu pada kasus-kasus tersebut dapat digunakan

untuk mengobati hipertensi sekaligus compelling indicationnya.

25

Page 26: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Gambar 4. Terapi Hipertensi Pada Kondisi Compelling Indication

Berikut penjelasan mengenai masing-masing compeling indication serta penggunaan

kombinasi obatnya :

1. Gagal Jantung

Terdapat 5 kelas obat anti hipertensi yang didaftarkan untuk compeling indication gagal

jantung. Rekomendasi kelima kelas tersebut biasanya untuk gagal jantung sistolik dimana

patofisiologi utamanya adalah menurunannya kontraktilitas kardiak. ACE inhibitor

merupakan golongan pilihan pertama dalam kasus ini didasarkan pada serangkaian kasus

dimana terbukti penggunaan ACE inhibitor dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Diuretik juga merupakan obat pilihan pertama dikarenakan efek pereda simptom dalam

bentuk penurunan edema akibat diuresis. Diuretik jerat Henle sering digunakan terutama

untuk pasien dengan gagal jantung sistolik yang parah. ACE inhibitor harus digunakan

dalam dosis yang rendah terlebih dahulu pada pasien dengan kondisi gagal jantung

terutama pasien dengan ekserbasi akut. Kondisi gagal jantung akan menginduksi kondisi

26

Compelling indicationGagal

jantu

ng

Infark miokardia akhir

Risiko

penyakit koroner

tinggi

Diabetes

mellitus

Penyakit

ginjal kroni

s

Pencegahan

stroke kambu

hDiuretik

ACEI-block

erARB/Aldosteroneantago

nist

-block

er

Aldosterone antago

nist

-block

er

CCB,Diure

tik

ACEI/ARB

diuretik-

blocker,

CCB

ACEI/ARB

Diuretik

ACEI atau ARB

= terapi standar

= terapi alternatif

ACEI /ARB

ACEI /ARB

= terapi tambahan

Page 27: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

rennin yang tinggi dan penggunaan ACE inhibitor pada kondisi ini akan menyebabkan

efek dosis pertama yang dapat berakibat pada hipotensi ortostatik.

β-bloker dapat digunakan jika obat pilihan pertama tidak berhasil. Data klinik telah

menunjukan kemampuan β-bloker untuk menurunkan mordibilitas dan mortilitas pada

pasien dengan kadar regimen diuretik dan ACE inhibitor standar. Penggunaan β-bloker

harus tepat dosisnya karena kesalahan dosis dapat berpotensi menyebabkan ekserbasi

akut. Dosis dimulai dari dosis yang sangat rendah (dibawah dosis untuk terapi hipertensi)

dan ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga mencapai dosis tinggi yang masih dapat

ditoleransi.

Selain diuretik ACE inhibitor dan β-bloker, agen anti hipertensi lain dapat digunakan

untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas serta mengontrol tekanan darah jika

diperlukan. Data-data awal menunjukkan bahwa ARB lebih baik daripada ACE inhibitor

untuk gagal jantung sistolik, namun jika dilakukan pembandingan secara langsung

didapatkan hasil ACE inhibitor lebih baik daripada ARB. Oleh karena itu ARB dapat

digunakan sebagai terapi alternatif bagi pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan

ACE inhibitor ataupun sebagai tambahan dari regimen 3 obat diatas.

Penggunaan antagonis aldosteron dapat pula menurunkan morbiditas dan mortilitas pada

gagal jantung sistolik. Spinololakton telah diuji pada gagal jantung parah dan menunjukan

hasil yang baik dengan kombinasi duiretik dan ACE inhibitor.

2. Sesudah Infark M iokardial

Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko untuk infark miokardial sehingga

pengontrolan tekanan darah dilakukan sebagai pencegahan sekunder bagi pasien yang

telah mengalami infark miokardial. β-bloker dan ACE inhibitor merupakan obat yang

dianjurkan oleh AHA. β-bloker akan mengurangi stimulasi androgenik dan telah teruji

dalam uji klinik menurunkan resiko infark miokardial berikutnya dan cardiac sudden

death. ACE inhibitor telah teruji meningkatkan perubahan kardiak, fungsi kardiak dan

mengurangi kejadian vaskular setelah infark miokardial. Kedua kelas obat diatas

merupakan obat kelas pertama dalam kasus sesudah infark miokardial.

3. Resiko Jantung K oroner T inggi

Angina stabil akut, angina tidak stabil, dan infark miokardial adalah bentuk-bentuk

gangguan kardiak. Gagguan-gangguan tersebut merupakan bentuk gangguan patofisologi

27

Page 28: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

hipertensi yang berasosiasi dengan organ. Terapi β-bloker telah terbukti memberikan

hasil yang baik pada gangguan-gangguan tersebut. β-bloker merupakan obat pilihan

pertama untuk kasus angina stabil kronik dan memiliki kemampuan untuk menurunkan

tekanan darah, meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung dan menurunkan kebutuhan

oksigennya.

CCB berkerja panjang telah lama digunakan sebagai alternatif untuk kasus angina stabil

kronik. Penelitian INVEST telah membandingkan terapi β-bloker dengan diuretik dan

non-hidropirin CCB dan ACE inhibitor pada populasi yang dengan gangguan angina

kronik stabil. Hasilnya adalah tidak adanya perbedaan signifikan dalam penurunan resiko

kardiovaskular.

Untuk sindrom kardiak akut, obat pilihan pertamanya adalah β-bloker dan ACE inhibitor.

Kombinasi ini akan menurunkan tekanan darah, mengontrol ischemia akut, dan

menurunkan resiko kardiovaskular. Diuretik dapat ditambahkan apabila penurunan

tekanan darah tidak mencapai tekanan darah target setelah penggunaan obat pilihan

pertama.

CCB (terutama non-dihidropiridin diltiazem dan verapamil) dan β-bloker akan

menurunkan tekanan darah dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung pada pasien-

pasien yang memiliki tekanan darah tinggi dan resiko jantung koroner yang tinggi.

Namun penggunaan CCB maupun β-bloker dapat menginduksi stimulasi kardiak akibat

faktor intrinsik, oleh karena itu penggunaan CCB maupun β-bloker menjadi pilihan kedua

dan ketiga dalam terapi pasien-pasien ini.

4. Diabetes Me litus

Pada penderita diabetes melitus target tekanan darah yang ingin dicapai adalah 130/80

mmHg dan untuk mencapai target tersebut 5 agen anti hipertensi telah menunjukkan efek

dalam mengatasi hipertensi pada penderita diabetes mellitus. Semua pasien penderita

diabetes mellitus harus diberikan agen antihipertensi kelas ACE inhibitor atau ARB

karena secara teoritis kedua agen tersebut akan memberikan efek nefroprotektif pada

ginjal. ACE inhibitor memiliki banyak sekali bukti dalam kemampuannya mengatasi

hipertensi pada pasien-pasien dengan gangguan jantung yang disertai diabetes sementara

ARB memiliki banyak bukti dalam mengatasi hipertensi pada pasien dengan gangguan

ginjal yang disertai diabetes. Salah satu dari kedua obat ini sangat direkomendasikan

untuk digunakan pada penderita diabetes. Dikarenakan target tekanan darah sulit dicapai

28

Page 29: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

dengan pengobatan tunggal, penggunaan obat hipertensi pendukung sangat dianjurkan,

dalam hal ini biasanya digunakan diuretik thiazida. Pada beberapa penelitian didapatkan

hasil bahwa penggunaan ACE inhibitor dan ARB dapat meningkatkan sensitivitas insulin.

β-bloker telah menunjukan efek penurunan resiko kardiovaskular pada pasien penderita

diabetes. Kemampuan β-bloker untuk mengatasi hipertensi pada pasien diabetes sedikit

lebih buruk daripada ACE inhibitor. β-bloker juga dapat menyembunyikan efek dari

hipoglikemia karena efek-efek seperti tremor, palpitasi diatur oleh sistem saraf simpatik.

β -bloker diindikasikan khusus untuk penderita diabetes yang telah mengalami infark

miokardial atau memiliki resiko tinggi jantung koroner. Meskipun memiliki beberapa

kelemahan β-bloker merupakan salah satu obat yang bermanfaat bagi penderita diabetes

selain ACE inhibitor dan diuretik.

CCB juga dapat digunakan sebagai obat hipertensi pada pasien diabetes. Pada penelitian

yang membandingkan penggunaan ACE inhibitor, CCB dan β-bloker didapatkan hasil

ACE inhibitor memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan CCB. Tetapi bukan

berarti CCB tidak dapat digunakan pada penderita diabetes. Perbedaan hanya pada

efektivitasnya saja. Beberapa jenis CCB (verapamil dan diltiazem) memiliki efek

perlindungan ginjal yang lebih baik dibandingkan dihidropiridin.

Berdasarkan data-data diatas dapat disimpulkan bahwa ACE inhibitor/ARB digunakan

sebagai obat pilihan pertama pada pasien diabetes sedangkan jika diperlukan kombinasi

terapi dapat digunakan diuretik thiazida. CCB dan β-bloker merupakan obat alternatif jika

obat pilihan pertama tidak dapat digunakan.

5. Penyakit G injal K ronik

Penyakit ginjal kronik dimulai dengan mikroalbuminuria (30-299 mg albumin dalam

koleksi urin selama 24 jam) yang dapat berkembang menjadi makroalbuminuria dan

berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Kecepatan kerusakan ginjal akan dipercepat akibat

hipertensi dan diabetes. Saat seorang pasien memiliki nilai GFR (glomerulus filtration

rate) lebih kecil dari 60mL/m2 per menit atau makroalbuminuria, pasien tersebut

dinyatakan berada dalam keadaan penyakit ginjal kronik. Karena itu pasien-pasien ini

diberikan target tekanan darah 130/80 mmHg. Target tekanan darah ini biasanya dicapai

dengan menggunakan dua agen antihipertensi.

29

Page 30: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

ACE inhibitor/ARB selain dapat menekan tekanan darah dapat pula mengurangi tekanan

intraglomelurar yang dapat mengurangi laju kerusakan ginjal. ACE inhibitor dan ARB

dapat menurunkan laju kerusakan ginjal pada pasien-pasien diabetes maupun pasien-

pasien yang tidak memiliki diabetes. Salah satu dari kedua kelas antihipertensi diatas

sebaiknya digunakan sebagai obat kelas pertama dalam penganangan hipertensi pada

pasien penyakit ginjal kronik karena dapat menjaga kerusakan ginjal. Dikarenakan

tekanan darah target yang ingin dicapai memerlukan kombinasi agen antihipertensi, agen

tambahan seperti diuretik atau β-bloker atau CCB dapat ditambahkan. Diuretik thiazida

tidak seefektif diuretik jerat Henle untuk pasien-pasien dengan nilai kreatinin clearance

dibawah 30mL/menit.

Pasien dapat mengalami penurunan tekanan darah secara mendadak ataupun kerusakan

ginjal saat terapi dengan ACE inhibitor atau ARB. Potensi kerusakan ginjal akut lebih

tinggi pada pasien-pasien dengan kondisi bilateral renal arteri stenoris. Pasien dengan

kondisi ini biasanya berumur lebih tua atau muncul pada pasien-pasien diabetes atau

perokok. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya obat diberikan dimulai dari dosis kecil

sambil diamati resiko pada ginjal selama 2 hingga 4 minggu untuk mengurangi resiko

terjadinya gagal ginjal.

6. Pencegahan Stroke K embali

Menjaga tekanan darah adalah salah satu faktor penting dalam menjaga pasien tidak

mengalami serangan stroke kembali. Tetapi penurunan tekanan darah hanya dapat

dilakukan pada pasien yang telah stabil dari peristiwa serebrovaskular akut. Dalam satu

uji klinik didapatkan hasil bahwa penggunaan kombinasi ACE inhibitor dan diuretik

thiaziada dapat mengurangi kejadian serangan stroke berulang. Pengurangan serangan

stroke berulang ini terjadi pada pasien-pasien yang memiliki nilai tekanan darah dibawah

140/90 mmHg.

Populasi Khusus

1. Hipertensi pada geriatri

Hipertensi sering muncul sebagai hipertensi sistolik pada geriatrik. Data epidiomiologi

menunjukan bahwa hipertensi terkait pada tekanan darah sistol daripada tekanan darah

diastol pada pasien berusia 50 tahun atau lebih sehingga pasien-pasien ini beresiko terjadi

30

Page 31: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

hipertensi yang dapat merusak organ. Pasien geriatrik juga lebih sensitif terhadap

penurunan volume dan inhibisi simpatik dibandingkan pasien dengan usia lebih muda

sehingga penggunaan antihipertensi sentral seperti α-bloker sebaiknya digunakan secara

hati-hati pada pasien geriatrik yang sering mengeluhkan pusing-pusing dan mengalami

postural hipotensi. Diuretik dan ACE inhibitor dapat digunakan pada pasien geriatrik

namun dengan dosis yang lebih kecil dibanding dosis normal. Diuretik thiazida banyak

digunakan sebagai obat pertama untuk geriatrik dengan dosis kecil (contoh: 12,5mg

hidroklorthiazida). Target tekanan darah pada pasien geriatrik adalah dibawah 140/90

mmHg atau 130/80 mmHg untuk pasien geriatrik dengan diabetes/ penyakit ginjal kronis.

JNC7 juga merekomendasikan pengobatan pada pasien geriatrik disesuaikan dengan

compelling indication yang dialami oleh pasien tersebut.

2. Pasien dengan resiko hipotensi ortostatik

Ortostatik hipotensi merupakan kejadian menurunnya tekanan darah secara mendadak

biasanya terjadi penurunan 20 mmHg pada sistol ataupun 10 mmHg pada diastol pada

saat posisi tubuh berubah dari terlentang ke duduk. Pasien-pasien yang memiliki resiko

terkena ortostatik hipotensi antara lain geriatrik, penderita diabetes, dan pasien dengan

terapi vasodilator. Pada tipe pasien ini agen antihipertensi sebaiknya dimulai dari dosis

rendah terutama ACE inhibitor dan diuretik.

3. Hipertensi pada anak-anak

Pengujian hipertensi pada pasien anak-anak memerlukan perhatian khusus pada nilai

tekanan darah dibandingkan dengan pasien berumur. Umumnya kasus hipertensi pada

anak-anak ditemukan pada anak-anak yang memiliki kelebihan berat badan dan memiliki

sejarah keluarga yang memiliki hipertensi. Umumnya hipertensi pada anak-anak adalah

hipertensi sekunder dimana beberapa penyebabnya antara lain penyakit ginjal (kista renal,

renal arteri stenosis, glomerulonefritis).

Terapi utama yang dipilih adalah terapi non-farmakologi dengan target tekanan darah

95% dari hubungan tekanan darah dan usia. Jika diperlukan terapi farmakologi dapat

digunakan diuretik, β-bloker dan ACE inhibitor. Penggunaan ACE inhibitor dan ARB

dikontraindikasikan pada anak perempuan yang sedang berkembang karena dapat

memberikan efek teratogenik.

4. Jenis Kelamin

31

Page 32: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Wanita pada usia dibawah 50 tahun memiliki prevalensi yang lebih rendah dibandingkan

pria, namun setelah mencapai usia 50 tahun hingga 60 tahun akan setara dengan pria dan

pada usia di atas 60 tahun wanita akan memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk

terkena hipertensi. Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral, memiliki sejarah keluarga

hipertensi, memiliki penyakit ginjal, dan obesitas memiliki kemungkinan terjangkit

hipertensi yang lebih besar. Hipertensi pada wanita diduga terkait dengan perubahan

hormonal pada wanita oleh karena itu penggunaan terapi hormonal dapat digunakan.

Wanita dapat menggunakan agen antihipertensi dengan manfaat yang sama dengan pria.

Penggunaan ACE inhibitor dan ARB dikontraindikasikan pada wanita hamil dikarenakan

efek teratogenik. Terapi dengan diuretik thiazida sangat bermanfaat setelah fasa

menopause terutama untuk pasien yang mengalami osteoporosis karena diuretik thizida

mengakibatkan retensi kalsium. Wanita juga memiliki kecenderungan mengalami efek

samping yang lebih besar dibandingkan pria.

5. Kehamilan

Preklampsia dapat terjadi dan membahayakan ibu dan janinnya. Preklampsia ini biasanya

muncul setelah 20 minggu dan biasanya dideteksi dengan melihat nilai tekanan darah

(lebih besar dari 140/90). Terapi untuk pasien preklampsia tidak dapat diubah dan

diindikasi jika terjadi frank eclampsia. Antihipertensi sebaiknya digunakan terutama jika

tekanan darah diastol melebihi 105 atau 110 mmHg dengan target tekanan darah diastol

95 hingga 105 mmHg. Obat yang biasa digunakan adalah hidralazin intravena.

Hipertensi kronik juga dapat terjadi 20 minggu sebelum kehamilan. Metildopa dapat

dipertimbangkan sebagai pilihan terapi obat dengan β-bloker, labetalol, CCB sebagai

alternatif. ACE inhibitor dan ARB dikontraindikasi untuk wanita hamil karena efek

teratogenik.

Agen Antihipertensi Individual

1. Diuretik

Diuretik, terutama thiazida, merupakan agen utama untuk hipertensi. Terlebih lagi, jika

dibutuhkan terapi kombinasi untuk mengontrol tekanan darah, diuretik direkomendasikan

32

Page 33: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

sebagai salah satu agen yang digunakan. Terdapat 4 kelas diuretik yang digunakan untuk

hipertensi: thiazida, loop diuretik, agen hemat kalium dan antagonis aldosteron.

Potasium-sparing diuretik merupakan agen antihipertensi lemah tetapi memberikan efek

aditif saat dikombinasikan dengan thiazida atau loop diuretik. Terlebih agen ini melawan

kehilangan kalium dan magnesium karena diuretik lain dan kemungkinan intoleransi glukosa.

Antagonis aldosteron secara teknis dapat dianggap agen hemat kalium, tetapi dengan efek

antihipertensi yang lebih poten.

Mekanisme aksi hipotensif dari diuretik dapat dilihat dari berbagai segi. Penurunan tekanan

darah terlihat saat diuretik pertama diberikan disebabkan oleh diuresis. Diuresis

menyebabkan penurunan pada plasma dan stroke volume, yang menurunkan kardiak output

dan tekanan darah. Penurunan dalam kardiak output ini menyebabkan peningkatan

kompensasi pada resistensi vaskular periferal.

Diuretik tipe thiazida memiliki aksi tambahan yang menjelaskan lebih lanjut mengenai efek

antihipertensinya. Thiazida memobilisasi sodium dan air dari dinding arteriolar. Efeknya

akan mengurangi jumlah perambahan fisik di lumen pembuluh, yang terbentuk dari

akumulasi berlebih dari cairan intraselular. Saat diameter lumen berelaksasi dan meningkat,

terdapat resistensi yang kurang terhadap aliran darah dan resistensi vaskular periferal

selanjutnya akan turun. Konsumsi garam yang rendah dapat meningkatkan efek tersebut.

Thiazida dipostulasikan menyebabkan relaksasi langsung pada otot polos vaskular.

Thiazida merupakan diuretik yang utama dipilih untuk mengobati hipertensi. Pada pasien

yang membutuhkan diuresis untuk menangani edema, seperti pada gagal jantung, loop

diuretik yang harus dipertimbangkan untuk diberikan. Diuretik lebih baik diberikan pada pagi

hari jika didosiskan sekali dalam sehari, dan pada pagi hari dan sore hari saat didosiskan dua

kali sehari untuk meminimalisasi resiko diuresis nokturnal. Meskipun begitu, dengan

penggunaan kronik, diuretik jarang menyebabkan diuresis.

Perbedaan farmakokinetik utama di antara diuretik tipe thiazida ialah waktu paruhnya di

serum dan durasi efek diuretik. Selebihnya, diuretik menurunkan tekanan darah melalui

mekanisme ekstrarenal. Hidroklorothiazida dan klortalidon merupakan dua agen utama

thiazida yang paling sering digunakan.

Diuretik sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah saat dikombinasikan dengan

kebanyakan agen antihipertensi lainnya. Respon aditif ini disebabkan efek independen

33

Page 34: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

farmakodinamik dari agen tersebut. Pertama, saat dua obat menyebabkan efek farmakologi

yang sama secara keseluruhan (penurunan tekanan darah) melewati mekanisme aksi yang

berbeda, kombinasi agen-agen tersebut biasanya menghasilkan efek aditif dan sinergis.

Kedua, peningkatan kompensasi sodium dan retensi cairan dapat terlihat dengan agen-agen

antihipertensi. Masalah tersebut dapat dilawan dengan penggunaan diuretik berbarengan

dengan agen lain.

Efek samping dari diuretik tipe thiazida ialah hipokalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia,

hiperurisemia, hiperglisemia, dislipidemia, dan disfungsi seksual. Pedoman yang ada

merekomendasikan pembatasan dosis hidroklorthiazida atau klorthalidon 12,5 sampai 25

mg/hari, yang ditandai dengan penurunan resiko untuk kebanyakan efek samping. Loop

diuretik dapat menyebabkan efek samping yang sama, meskipun efek pada lipid serum dan

glukosa tidak sama signifikannya dengan thiazida, dan hipokalsemia dapat terjadi.

Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau kram. Meskipun

begitu, kardiak aritmia serius dapat terjadi pada pasien dengan hipokalemia dan

hipomagnesemia parah. Pasien dengan resiko terbesar untuk efek samping tersebut ialah

pasien-pasien yang menderita hipertropi ventrikular kiri, penyakit koronari, post-MI, sejarah

aritmia, atau pasien yang mengkonsumsi digoksin. Terapi dosis rendah jarang menyebabkan

gangguan elektrolit yang signifikan. Harus diberikan usaha lebih untuk menjaga agar kadar

potasium tetap pada wilayah terapeutik dengan monitor yang ketat.

Diuretik penginduksi hiperurisemia dapat mempresipitasi asam urat. Efek samping ini

merupakan masalah utama pada pasien dengan sejarah asam urat. Asam urat akut jarang

terjadi pada pasien yang tidak memiliki sejarah mengidap asam urat. Jika penyakit asam urat

terjadi pada pasien yang membutuhkan terapi diuretik, allopurinol dapat diberikan untuk

mencegah asam urat dan tidak akan mengurangi efek antihipertensi dari diuretik. Dosis yang

tinggi dari tipe thiazida dan loop diuretik dapat meningkatkan kadar glukosa dan nilai

kolesterol serum. Harus dilakukan monitor yang ketat untuk kadar gula darah dan

kemungkinan diabetes tipe 2.

Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan

penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menerima perawatan bersamaan

dengan agen lain seperti inhibitor ACE, NSAID, atau suplemen potasium. Hiperkalemia

merupakan masalah utama pada antagonis aldosteron eplerenon yang terbaru. Agen ini

merupakan antagonis aldosteron yang paling selektif, dan memiliki kecenderungan

34

Page 35: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

menyebabkan hiperkalemia yang lebih besar daripada dengan agen hemat kalium lainnya,

bahkan dengan spironolakton. Karena meningkatnya resiko hiperkalemia, eplerenon

dikontraindikasikan pada pasien dengan fungsi gagal ginjal atau diabetes tipe 2 dengan

proteinuria. Meskipun spironolakton menyebabkan ginekomastia pada lebih dari 10% pasien,

tetapi jarang terjadi pada eplerenon.

Diuretik dapat digunakan secara aman dengan kebanyakan agen-agen lainnya. Meskipun

begitu, adiministrasi yang bersamaan dengan lithium dapat menyebabkan peningkatan

konsentrasi serum lithium.

2. Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme)

Inhibitor ACE merupakan agen lini pertama untuk hipertensi. ACE memfasilitasi produksi

angiotensin II dimana mempunyai fungsi utama pada regulasi tekanan darah arterial. ACE

didistribusikan di dalam banyak jaringan dan terdapat pada beberapa sel yang berbeda, tetapi

lokasi utamanya ialah dalam sel endotelial. Tempat utama untuk produksi angiotensin II ialah

di dalam pembuluh darah, bukan di ginjal. Inhibitor ACE memblok ACE (disebut juga

bradikinase), juga menginhibisi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II

merupakan vasokonstriktor poten yang juga menstimulasi sekresi aldosteron, menyebabkan

peningkatan dalam reabsorbsi natrium dan air bersamaan dengan hilangnya potasium.

Dengan memblok ACE, terjadi vasodilatasi dan penurunan aldosteron. Inhibitor ACE juga

memblok degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis senyawa pemvasodilatasi lainnya

(prostaglandin E2 dan prostasiklin). Menambahnya bradikinin meningkatkan efek penurunan

tekanan darah dari inhibitor ACE, tetapi juga bertanggung jawab pada efek samping seperti

batuk kering. Inhibitor ACE secara efektif mencegah atau meregresi hipertropi ventrikular

kiri dengan cara mereduksi stimulasi langsung oleh angiotensin II pada sel-sel miokardial.

Terdapat banyak penggunaan berdasarkan percobaan untuk inhibitor ACE. Inhibitor ACE

mereduksi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan disfungsi ventrikular

kiri, dan menurunkan peningkatan penyakit ginjal kronik. Agen-agen tersebut haruslah

menjadi terapi utama untuk pasien-pasien tersebut kecuali jika dikontraindikasikan mutlak.

Inhibitor ACE, atau ARB pada beberapa pasien, merupakan terapi utama pada pasien dengan

diabetes dan hipertensi karena keuntungan yang telah didemonstrasikan pada penyakit

kardiovaskular dan ginjal. Pada regimen, inhibitor ACE dengan diuretik tipe thiazida

dianggap lini pertama pada pencegahan kekambuhan stroke. Pada kombinasi dengan terapi β-

35

Page 36: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

bloker, bukti menunjukkan bahwa inhibitor ACE mereduksi resiko kardiovaskular dalam

penyakit koronari, dan pada pasien post-MI. Manfaat-manfaat yang didapat dari inhibitor

ACE terjadi pada pasien dengan atherosklerotik vaskular meskipun tidak adanya disfungsi

sistolik ventrikular kiri atau gagal jantung, dan berpotensi untuk menurunkan peningkatan

onset diabetes tipe 2.

Inhibitor ACE ditoleransi dengan baik, tetapi masih memiliki efek samping. Inhibitor ACE

menurunkan aldosteron dan meningkatkan konsentrasi serum kalium. Meskipun

peningkatannya biasanya kecil, dan memberi keuntungan untuk pasien yang diberi thiazida,

tetap ada kemungkinan hiperkalemia. Pasien dengan penyakit ginjal kronik atau mereka yang

menggunakan obat-obat bersamaan dengan obat NSAID, suplemen kalium, atau diuretik

hemat kalium beresiko hiperkalemia. Monitoring terhadap serum kalium dan nilai kreatinin

selama 4 minggu sejak dimulainya atau saat dosis meningkat dari inhibitor ACE dapat

mengidentifikasi abnormalitas yang ada sebelum meningkat menjadi hiperkalemia serius.

Efek samping yang mencemaskan dari inhibitor ACE ialah gagal ginjal akut. Namun, efek

samping yang serius ini jarang terjadi, dan hanya terjadi pada kurang dari 1% pasien.

Penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya meningkatkan resiko dari efek samping tersebut.

Dosis inhibitor ACE yang ditingkatkan pelan-pelan dan fungsi ginjal yang selalu dimonitor

dapat meminimalkan resiko dan memungkinkan deteksi awal dari stenosis renal arteri.

Sangat penting untuk diperhatikan bahwa dapat terjadi penurunan GFR pada pasien yang

diberikan inhibitor ACE. Hal ini terjadi karena inhibisi dari vasokonstriksi angiotensin II

pada arteriol eferen. Penurunan GFR ini sering meningkatkan kreatinin serum. Jika

peningkatan terus terjadi, terapi inhibitor ACE harus dihentikan atau dosisnya diturunkan.

Angioedema merupakan komplikasi potensial yang serius dari terapi inhibitor ACE. Hal

tersebut terjadi pada kurang dari 1% populasi. Gejalanya termasuk pembengkakan pada bibir

dan lidah dan kemungkinan kesulitan bernapas. Obat harus dihentikan jika terjadi efek

samping tersebut.

Batuk kering yang persisten terjadi pada sekitar 20% pasien dan secara farmakologi terjadi

karena inhibisi hancurnya bradikinin. Batuk tersebut tidak menyebabkan penyakit klinis,

tetapi cukup mengganggu pada pasien. Inhibitor ACE, sebagai tambahan terhadap ARB,

dikontraindikasikan secara absolut pada wanita hamil. Serupa dengan diuretik, inhibitor ACE

dapat meningkatkan konsentrasi lithium serum pada pasien yang terapi lithium. Penggunaan

36

Page 37: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

inhibitor ACE bersama dengan diuretik hemat kalium (termasuk antagonis aldosteron),

suplemen potasium, atau ARB dapat menyebabkan peningkatan potasium yang tinggi.

Dosis awal inhibitor ACE haruslah rendah, dengan dosis yang lebih rendah pada pasien yang

beresiko hipotensi ortostatik, atau disfungsi renal parah (contoh: pada orang tua, penyakit

ginjal kronik). Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi inhibitor ACE. Pasien yang

volume sodium atau cairannya kurang, gagal jantung, orang tua, atau dalam pengobatan yang

diberikan bersamaan dengan vasodilator atau diuretik memiliki resiko yang tinggi hipotensi.

Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk memulai dengan setengah dari dosis normal inhibitor

ACE untuk pasien-pasien yang memiliki faktor resiko tersebut, dan dengan peningkatan dosis

yang perlahan.

3. ARB

ARB merupakan agen lini pertama untuk hipertensi. Angiotensin II digenerasi oleh 2 jalur

enzimatik: RAAS, yang mengikutsertakan ACE, dan jalur alternatif yang menggunakan

enzim seperti kimase (diketahui juga sebagai jaringan ACE). Inhibitor ACE menginhibisi

hanya efek dari produksi angiotensin II melewati RAAS, dimana ARB menginhibisi

angiotensin II dari semua jalur.

ARB secara langsung memblok reseptor angiotensin II reseptor subtipe I yang memediasi

efek angiotensin II yang diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron,

aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari

glomerulus. Karena agen tersebut tidak memblok reseptor angiotensin II subtipe II, efek

utama dari stimulasi reseptor angiotensin II subtipe II (vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan

inhibisi pertumbuhan sel) tetap ada saat ARB digunakan. Tidak seperti inhibitor ACE, ARB

tidak memblok perusakan bradikinin sehingga beberapa efek menguntungkan dari bradikinin,

seperti vasodilatasi (yang dapat meningkatkan perawatan disfungsi ventrikular kiri), regresi

hipertropi miosit dan fibrosis, dan peningkatan jumlah aktivator plasminogen jaringan, tidak

terjadi pada terapi ARB.

Pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan nefropati, peningkatan nefropatinya terlihat turun

secara signifikan dengan terapi ARB. Data dari penelitian-penelitian yang ada telah

menunjukkan bahwa ARB memiliki kurva respon-dosis yang datar, artinya ialah bahwa

peningkatan dosis ARB tidak akan emberikan penurunan tekanan darah yang besar.

Penambahan dosis rendah diuretik tipe thiazida pada ARB secara signifikan meningkatkan

37

Page 38: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

efikasi antihipertensinya. Sama dengan inhibitor ACE, kebanyakan ARB memiliki waktu

paruh yang cukup panjang sehingga dapat didosiskan sekali dalam sehari. Meskipun begitu,

kadesartan, eprosartan, losartan, dan valsartan memiliki waktu paruh yang paling pendek dan

membutuhkan dosis dua kali dalam sehari untuk menjaga penurunan tekanan darah.

ARB memiliki efek samping yang paling kecil dibandingkan dengan agen antihipertensi

lainnya. Karena agen tersebut tidak mempengaruhi bradikinin, maka mereka tidak memiliki

potensi untuk menyebabkan batuk kering seperti inhibitor ACE.

Seperti inhbitor ACE, ARB dapat menyebabkan insufisiensi renal, hiperkalemia, dan

hipotensi ortostatik. Perhatian yang sama seperti inhibitor ACE untuk pasien-pasien yang

memiliki stenosis renal bilateral, konsumsi obat-obat yang dapat meningkatkan potasium, dan

obat yang meningkatkan resiko hipotensi jika digunakan bersama dengan ARB. ARB dapat

digunakan dengan perhatian lebih lanjut pada pasien edema. ARB hanya dapat digunakan

pada pasien dengan sejarah edema terinduksi inhibitor ACE saat ada compelling indication

untuk ARB dengan monitoring yang seksama terhadap kambuhnya angioedema. ARB tidak

dapat digunakan pada wanita hamil.

4. Calsium Channel Bloker (CCB)

CCB, baik dihidropiridin dan nondihidropiridin, merupakan agen terapi lini pertama untuk

hipertensi. Agen tersebut memiliki compelling indication pada penyakit koroner dan diabetes.

Dengan compelling indication tersebut, agen tersebut secara essensial dapat digunakan

sebagai tambahan atau untuk menggantikan agen-agen antihipertensi lainnya.

Data-data yang ada menunjukkan bahwa dihidropiridin CCB tidak memberikan proteksi yang

sama besar melawan kardiovaskular saat dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik

dan β-bloker) atau inhibitor ACE pada hipertensi biasa.

Kontraksi dari kardiak dan sel otot polos membutuhkan peningkatan konsentrasi kalsium

intraselular bebas dari cairan ekstraselular. Saat otot kardiak atau otot polos vaskular

distimulasi, saluran sensitif dalam membran sel akan terbuka, melewatkan kalsium memasuki

sel. Influks dari ekstraselular kalsium ke dalam sel melepaskan kalsium yang disimpan dari

retikulum sarkoplasma. Saat konsentrasi kalsium intraselular bebas meningkat, lalu mengikat

protein, kalmodulin, yang lalu mengaktivasi miosin kinase memungkinkan miosin untuk

38

Page 39: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

berinteraksi dengan aktin untuk menginduksi kontraksi. CCB bekerja dengan menginhibisi

influks kalsium melewati membran sel.

Kedua subkelas dari CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridin secara farmakologi memiliki

efek yang berbeda. Efektivitas antihipertensinya sama, tetapi berbeda dalam efek

farmakodinamiknya. Nondihidropiridin menurunkan laju jantung dan memperlambat

konduksi nodus atrioventrikular. Dihidropiridin dapat menyebabkan refleks takikardia yang

dimediasi baroreseptor karena efek vasodilatasi periferalnya yang poten.

5. β-Bloker

β-bloker telah digunakan di dalam banyak uji untuk hipertensi. Dalam kebanyakan uji,

diuretik tipe thiazida merupakan agen utama dengan β-bloker ditambahkan untuk

peningkatan penurunan tekanan darah. β -bloker akhir-akhir ini digunakan sebagai agen lini

pertama untuk terapi hipertensi untuk compelling indication spesifik (post MI, penyakit

koroner). Juga adanya terapi tambahan untuk indikasi lainnya (gagal jantung dan diabetes).

Untuk pasien dengan hipertensi tetapi tanpa compelling indication, agen utama lainnya

(diuretik tipe thiazida, inhibitor ACE, ARB, dan CCB) harus digunakan sebagai agen utama

sebelum digunakan β -bloker.

Beberapa mekanisme kerja telah diteorikan, tetapi tidak ada satupun di antaranya yang secara

konsisten berhubungan dengan reduksi tekanan darah arterial. β -bloker memiliki efek

kronotropik dan inotropik negatif yang menurunkan kardiak output dan menjelaskan

beberapa efek antihipertensinya. Walaupun begitu, kardiak output turun secara sama pada

pasien yang dirawat dengan β -bloker tanpa memperhatikan penurunan tekanan darahnya.

β-Adrenoseptor terlokasi di permukaan membran sel jukstaglomerular, dan β-bloker

menginhibisi reseptor-reseptor tersebut dan melepaskan renin. Meskipun begitu, terdapat

hubungan yang lemah antara renin plasma dan efikasi antihipertensi terapi β-bloker.

Beberapa pasien dengan konsentrasi renin plasma yang rendah memberi respon terhadap β-

bloker. Sehingga, mekanisme tambahan harus diperhitungkan terhadap efek antihipertensi

dari β-bloker. Kemampuan β-bloker untuk mereduksi renin plasma dan juga konsentrasi

angiotensin II memainkan peranan penting dalam kemampuannya untuk menurunkan resiko

kardiovaskular.

39

Page 40: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

β-bloker yang memiliki afinitas lebih besar terhadap reseptor β1 dibanding reseptor β2 disebut

sebagai kardioselektif. Β1 dan β2 adrenoseptor terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi

terkonsentrasi secara berbeda pada beberapa organ dan jaringan. Reseptor β1 terdapat di

jantung dan ginjal bekerja menstimulasi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas, dan

pelepasan renin. Sedangakan reseptor β2 di paru-paru, hari, pankreas dan otot polos arteriolar

yang menyebabkan bronkodilasi dan vasodilatasi. β-bloker kardioselektif tidak menyebabkan

bronkospasma dan vasokonstriksi. Sekresi insulin dan glikogenolisis dimediasi oleh reseptor

β2. Dengan menghambat reseptor β2 dapat menurunkan proses tersebut dan menyebabkan

hiperglikemia.

β-bloker kardioselektif memiliki keuntungan klinis yang signifikan dibanding β-bloker

nonselektif, dan secara umum lebih aman untuk menangani hipertensi. Agen kardioselektif

lebih aman dibanding nonselektif pada pasien asma dan diabetes.

β-bloker, terutama yang memiliki sifat lipofilik yang tinggi, dapat mempenetrasi sistem saraf

pusat dan menyebabkan efek-efek lainnya. Sifat lipofilik tersebut dapat menyediakan efek

yang lebih baik untuk kondisi non kardiovaskular seperti migrain, tremor, dan tirotoksikosis.

Kebanyakan efek samping dari β-bloker merupakan hasil dari kemampuannya mengantagonis

β-adrenoseptor. Penghambatan β pada miokardium berhubungan dengan bradikardi,

abnormalitas konduksi atrioventrikular, dan pengembangan gagal jantung akut.

Penghambatan reseptor β2 di otot polos arteriolar dapat menyebabkan kedinginan ekstrim dan

meningkatkan penyakit arteri periferal atau fenomena Raynaud sebagai hasil dari penurunan

aliran darah periferal.

Penghentian pemakaian β-bloker secara tiba-tiba dapat menghasilkan angina tidak stabil, MI,

atau bahkan kematian pada pasien dengan penyakit koroner. Selain itu dapat juga

menyebabkan rebound hypertension (peningkatan tekanan darah tiba-tiba melewati nilai

sebelum ditangani). Untuk menghindari hal tersebut, β-bloker harus selalu diturunkan

perlahan 1 sampai 2 minggu sebelum benar-benar berhenti menggunakan obat.

Tabel 6. Agen Antihipertensi Utama

Kelas ObatRentang dosis

lazim(mg/hari)

Frekuensi Harian

Diuretik thiazida ChlorothiazideChlorthalidone

125-50012,5-25

1-21

40

Page 41: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

HydrochlorothiazidePolythiazideIndapamideMetolazone

12,5-502-41,25-2,51,5-1,02,5-5

11111

Loop diuretik Bumetanide FurosemideTorsemide

0,5-220-802,5-10

221

Diuretik hemat Kalium AmilorideTriamterene

5-1050-100

1-21-2

Aldosterone reseptor bloker

EplerenoneSpironolactone

50-10025-50

11

BBs (β- Bloker) AtenololBetaxololBisoprololMetoprolol NadololPropranolol Propranolol long-actingTimolol

25-1005-202,5-1050-10040-12040-16060-18020-40

1111-21212

BBs (Beta Bloker) dengan aktivitas simpatomimetik instrinsik

AcebutololPenbutololPindolol

200-80010-4010-40

212

Kombinasi α- dan β-bloker

Carvedilol Labetalol

12,5-50200-800

22

ACEIs (Angiotensin Converting Enzim Inhibitor)

BenazeprilCaptoprilEnalaprilFosinoprilLisinoprilMoexiprilPerindoprilQuinaprilRamiprilTrandolapril

10-4025-1005-4010-4010-407,5-304-810-802,5-201-4

121-21111111

Angiotensin II antagonis CandesartanEprosartanIrbesartanLosartanOlmesartanTelmisartanValsartan

8-32400-800150-30025-10020-4020-8080-320

11-211-2111-2

CCBs (Calcium Channel Bloker) nondihidropiridin

Diltiazem extended releaseVerapamil immediate releaseVerapamil long actingVerapamil

180-420120-54080-320

120-480120-360

112

1-21

CCBs (Calcium Channel Amlodipine 2,5-10 1

41

Page 42: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Bloker) - dihidropiridin FelodipineIsradipineNicardipine sustained releaseNifedipine long-actingNisoldipine

2,5-202,5-1060-120

30-6010-40

122

11

α-1 bloker DoxazosinPrazosinTerazosin

1-162-201-20

12-31-2

α-2 agonis pusat dan obat yang bekerja di pusat lainnya

ClonidineClonidine patchMethyldopaReserpineGuanfacine

0,1-0,80,1-0,3250-10000,1-0,250,5-2

21 mingguan211

Vasodilator langsung HydralazinMinoxidil

25-1002,5-80

21-2

Agen Antihipertensi A lternatif

Tujuan utama agen antihipertensi alternatif ialah untuk menyediakan penurunan tekanan

darah tambahan pada pasien yang telah diterapi dengan agen dari kelas obat yang telah

terbukti untuk menurunkan CV events (diuretik, inhibitor ACE, ARB, CCB, atau pun β-

bloker).

1. α-bloker

Prazosin, terazosin, dan doxasozin merupakan bloker reseptor α selektif. Agen tersebut

bekerja pada vaskulatur periferal dan menginhibisi pengambilan katekolamin di sel otot polos

yang menghasilkan vasodilasi dan penurunan tekanan darah. α-bloker ini merupakan agen

alternatif yang harus dikombinasikan dengan agen antihipertensi utama.

Efek samping potensial yang berbahaya dari α-bloker ialah fenomena dosis awal yang

dikarakterisasikan dengan pusing sementara atau lelah, palpitasi, dan bahkan pingsan dalam

1-3 jam dari dosis awal. Efek samping ini dapat juga terjadi setelah dosis ditingkatkan.

Episode ini pun terjadi diikuti dengan hipotensi ortostatik dan dapat dihindari dengan

memakai dosis awal dan peningkatan dosis saat waktu tidur. Karena hipotensi ortostatik dan

pusing dapat terus berlangsung pada administrasi kronik, agen tersebut haruslah digunakan

secara hati-hati pada orang tua. Obat ini pun dapat menembus sawar darah otak sehingga

dapat menimbulkan efek samping pada sistem saraf pusat. Retensi sodium dan air dapat

42

Page 43: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

terjadi pada administrasi kronik. Agen ini paling efektif jika dikombinasikan dengan diuretik

untuk menjaga efikasi antihipertensi dan meminimalisasi edema.

2. Aliskiren

Aliskiren merupakan agen oral pertama di antara kelas baru obat antihipertensi yang secara

langsung menghambat renin. Obat ini memblok RAAS pada aktivasi poin, yang

menghasilkan penurunan aktivitas renin plasma dan penurunan tekanan darah.

Mekanismenya dalam menurunkan tekanan darah tidak diketahui. Aliskiren diakui sebagai

agen monoterapi atau pun kombinasi terapi. Namun, karena kurangnya penelitian jangka

panjang mengenai penurunan CV event maka obat ini lebih banyak digunakan sebagai terapi

alternatif untuk hipertensi.

Efek samping dari obat ini sama dengan efek samping yang ditemukan pada inhibitor ACE

dan ARB. Aliskiren tidak boleh digunakan pada wanita hamil karena efek teratogenik yang

diketahui untuk obat-obat yang menghambat sistem RAAS. Angioedema pun dilaporkan

terjadi pada pasien yang dirawat dengan aliskiren. Peningkatan pada nilai kreatinin dan

potasium serum telah diteliti. Sehingga pada saat penggunaan obat ini, disarankan untuk

selalu memonitor kadar kreatinin dan potasiumnya dalam darah. Terutama untuk pasien yang

diberikan kombinasi aliskiren dan inhibitor ACE atau dengan ARB yang memiliki resiko

lebih tinggi terhadap hiperkalemia (contoh: penyakit ginjal kronik).

3. Agonis α-2 sentral

Klonidin, guanabenz, guanfacine dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan

menstimulasi reseptor α-2 adrenergik di otak. Stimulasi ini menurunkan aliran simpatetik dari

pusat vasomotor di otak dan meningkatkan vagal tone. Diyakini juga bahwa stimulasi

periferal dari reseptor α-2 presinaps dapat lebih lanjut menurunkan simpatetik tone.

Penurunan aktivitas simpatetik bersamaan dengan peningkatan aktivitas parasimpatetik dapat

menurunkan detak jantung, kardiak output, resistensi periferal total, aktivitas renin plasma,

dan refleks baroreseptor. Klonidin sering digunakan pada hipertensi resisten, dan metildopa

merupakan agen lini utama untuk hipertensi yang diinduksi kehamilan.

43

Page 44: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Penggunaan kronis agonist α-2 sentral menghasilkan retensi air dan sodium. Sama dengan

antihipertensi lainnya yang bekerja secara sentral, depresi dapat terjadi, terutama dengan

dosis yang tinggi. Kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik dan pusing sangat tinggi,

sehingga harus diberikan dengan hati-hati untuk pasien lanjut usia. Yang terakhir, klonidin

memiliki efek samping seperti efek samping antikolinergik (sedasi, mulut kering, konstipasi,

retensi urinari, dan pandangan kabur). Sehingga obat ini tidak dapat digunakan untuk terapi

kronik pada pasien lanjut usia.

Penghentian penggunaan agen ini secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension.

Juga terjadi peningkatan kompensasi pada pelepasan norepinefrin. Sebagai tambahan, efek

lainnya seperti kegugupan, agitasi, sakit kepala, dan tremor juga dapat terjadi, yang dapat

diperburuk dengan penggunaan yang bersamaan dengan β-bloker. Untuk pasien yang

menerima terapi bersamaan dengan β-bloker, β-bloker harus secara bertahap dihentikan

selama beberapa hari sebelum penghentian bertahap dari klonidin.

Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, meski pun jarang terjadi.

Metildopa harus segera dihentikan jika peningkatan yang persisten pada transaminasi serum

hepatik atau alkalin fosfatase terjadi, karena hal tersebut mengindikasikan onset hepatitis.

4. Reserpin

Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mendeplesi norepinefrin dari ujung saraf

simpatetik dan menghambat transport norepinefrin terhadap tempat penyimpanan granulnya.

Pelepasan norepinefrin ke sinaps diikuti stimulasi saraf berkurang dan menghasilkan

penurunan simpatetik tone, resistensi periferal vaskular, dan tekanan darah. Reserpin juga

mendeplesi katekolamin di otak dan miokardium.

Reserpin memiliki aksi yang lambat dan waktu paruh yang panjang sehingga dosisnya hanya

sekali dalam sehari. Meskipun begitu, dibutuhkan 2-6 minggu sebelum didapat efek

antihipertensi maksimal. Karena reserpin dapat menyebabkan retensi air dan sodium,

sehingga agen tersebut harus dikombinasikan dengan diuretik (diutamakan thiazida). Inhibisi

yang kuat dari reserpin terhadap aktivitas simpatetik menghasilkan peningkatan aktivitas

parasimpatetik. Sehingga efek sampingnya pun seperti hidung tersumbat, peningkatan sekresi

asam gastrik, diare, dan bradikardi dapat terjadi. Depresi pun dapat terjadi yang merupakan

konsekuensi dari deplesi katekolamin dan serotonin dari sistem saraf pusat.

44

Page 45: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

5. Vasodilator arterial langsung

Hidralazin dan minoksidil secara langsung merelaksasi otot polos arterial menghasilkan

vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Kedua agen tersebut menyebabkan reduksi poten

pada tekanan perfusi yang mengaktivasi refleks baroreseptor. Aktivasi baroreseptor

menyebabkan peningkatan kompensatori pada aliran simpatetik, yang menghasilkan

peningkatan laju jantung, kardiak output, dan pelepasan renin. Konsekuensinya, takifilaksis

dapat terjadi sebagai hasil dari hilangnya efek hipotensi pada penggunaan yang kontinyu.

Respon baroreseptor tersebut dapat dilawan dengan penggunaan secara bersamaan dengan β-

bloker.

Pasien yang menerima hidralazin atau minoksidil secara lama untuk hipertensi harus

menerima baik diuretik dan β-bloker. Vasodilator arterial langsung dapat mempresipitasi

angina pada pasien dengan penyakit koronari kecuali mekanisme refleks baroreseptor

dihambat seluruhnya oleh β-bloker. Nondihidropiridin CCB dapat digunakan sebagai

alternatif β-bloker pada pasien tersebut, tetapi β-bloker lebih dipilih. Efek samping pada

retensi air dan sodium signifikan dengan obat-obat tersebut, dan diminimalisasi dengan

menggunakan diuretik secara bersamaan.

Efek samping yang unik dari hidralazin tergantung dosis yang menginduksi sindrom seperti

lupus. Hidralazin dieliminasi oleh N-asetiltransferase hepatik. Obat penginduksi lupus dapat

dihindari dengan menggunakan dosis kurang dari 200 mg per hari. Efek samping lainnya dari

hidralazin termasuk dermatitis, demam obat, periferal neuropati, hepatitis, dan sakit kepala

vaskular. Karena alasan tersebut, penggunaan hidralazin untuk hipertensi dibatasi. Meskipun

begitu, agen ini khusus digunakan untuk pasien hipertensi dengan penyakit ginjal kronik dan

gagal ginjal.

Karena minoksidil merupakan vasodilator yang lebih poten dibandingkan hidralazin,

peningkatan kompensatori pada laju jantung, kardiak output, pelepasan renin, dan retensi

sodiumnya lebih besar. Retensi air dan sodium dapat menjadi sangat parah dengan minoksidil

sehingga gagal jantung dapat dipresipitasi. Hal ini akan lebih penting untuk diberikan

bersama dengan β-bloker dan diuretik. Loop diuretik lebih efektif dibanding thiazida pada

pasien yang diberikan minoksidil. Efek samping yang berbahaya pada minoksidil adalah

hipertrikosis (hirsutism), dimana terjadi peningkatan pertumbuhan rambut di wajah, lengan,

punggung dan dada. Hal ini biasanya akan berkurang jika penggunaan obat dihentikan.

45

Page 46: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Minoksidil disediakan untuk hipertensi yang sangat sulit dikontrol dan pada pasien yang

membutuhkan hidralazin yang mengalami lupus diinduksi obat.

6. Agen-agen lainnya

Guanethidine dan guanadrel merupakan inhibitor postganglionik simpatetik. Karena

komplikasi yang signifikan, obat-obat ini memiliki sedikit peran dalam pengobatan

hipertensi. Agen tersebut mendeplesi norepinefrin dari saraf terminal simpatetik

nonganglionik dan menginhibisi pelepasan norepinefrin sebagai respon terhadap stimulasi

saraf simpatetik, menghasilkan penurunan kardiak output dan resistensi periferal vaskular.

Hipotensi ortostatik merupakan hal biasa karena vasokonstriksi yang dimediasi refleks

dihambat. Deplesi norepinefrin jangka panjang memimpin kepada supersensitivitas reseptor

postsinaptik. Konsekuensinya, penggunaan bersamaan dari simpatomimetik atau antidepresan

trisiklik dapat menyebakan krisis hipertensif. Disfungsi ereksi, diare, dan peningkatan bobot

tubuh juga biasa terjadi.

Tabel 7. Obat Antihipertensi Alternatif

Kelas ObatDosis

lazim

Frekuensi

harianKeterangan

1-bloker Doxazosin

Prazosin

Terazosin

1-8

2-20

1-20

1

2 atau 3

1 atau 2

Dosis pertama sebaiknya diberikan saat

akan tidur; berikan konseling kepada

pasien untuk bangun dengan duduk atau

berbaring untuk meminimalkkan risiko

hipotensi ortostatik; memiliki manfaat

tambahan bagi pria dengan hiperplasia

prostatik parah

2-agonis

sentral

Clonidin

Clonidine

patch

Metildopa

0,1-0,8

0,1-0,3

250-

1000

2

1

seminggu

2

Penghentian tiba-tiba dapat

menyebabkan hipertensi kambuh; lebih

efektif jika digunakan dengan diuretik

untuk mengurangi retensi cairan;

clonidine patch diganti sekali per

minggu

antagonis

adrenergik

Reserpin 0,05- Senyawa yang digunakan dalam uji

klinik mayor; sebaiknya digunakan

46

Page 47: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

periferal 0,25 dengan diuretik untuk mengurangi

rentensi cairan

Vasodilator

arteri-

langsung

Minoxidil

hydralazin

10-40

20-100

1 atau 2

2 atau 4

Sebaiknya digunakan dengan diuretik

dan beta-bloker untuk menguangi retensi

cairan dan refleks takikardia

Tabel 8. Kombinasi Agen Antihipertensi

Tipe Kombinasi Kombinasi Dosis Tetap (mg)ACEIs dan CCBs Amlodipine-benazepril hydrochloride (2,5/10; 5/10; 5/20; 10/20;)

Enalapril-felodipine (5/5)Trandolapril-verapamil (2/180; 1/240; 2/240; 4/240)

ACEIs dan diuretik Benazepril-hidroklorthiazida (5/6,25; 10/12,5; 20/12,5; 20/25)Captopril- hidroklorthiazida (25/15; 25/25; 50/15; 50/25)Enalapril- hidroklorthiazida (5/12,5; 10/25)Fosinopril- hidroklorthiazida (10/12,5; 20/12,5)Lisinopril- hidroklorthiazida (10/12,5; 20/12,5; 20/25)Moexipril- hidroklorthiazida (7,5/12,5; 15/25)Quinapril- hidroklorthiazida (10/12,5; 20/12,5; 20/25)

ARBs dan diuretik Candesartan- hidroklorthiazida (16/12,5; 32/12,5)Eprosartan- hidroklorthiazida (600/12,5; 600/25) Irbesartan- hidroklorthiazida (150/12,5; 300/12,5) Losartan- hidroklorthiazida (50/12,5; 100/25) Olmesartan medoxomil- hidroklorthiazida (20/12,5; 40/12,5; 40/25) Telmisartan- hidroklorthiazida (40/12,5; 80/12,5) Valsartan- hidroklorthiazida (80/12,5; 160/12,5; 160/25)

BBs dan diuretik Atenolol-klorthalidone (50/25; 100/25) Bisoprolol- hidroklorthiazida (2,5/6,25; 5/6,25; 10/6,25) Metoprolol- hidroklorthiazida (50/25; 100/25) Nadolol-bendroflumethiazida (40/5; 80/5) Propranolol LA- hidroklorthiazida (40/25; 80/25) Timolol- hidroklorthiazida (10/25)

Obat yang bekerja sentral dan diuretik

Metildopa- hidroklorthiazida (250/15; 250/25; 500/30; 500/50) Reserpine-klothalidone (0,125/25; 0,25/50) Reserpine-klorothiazida (0,125/250, 0.25/500) Reserpine- hidroklorthiazida (0.125/25, 0.125/50)

Diuretik dan diuretik

Amiloride- hidroklorthiazida (5/50) Spironolacton- hidroklorthiazida (25/25, 50/50) Triamteren- hidroklorthiazida (37.5/25, 75/50)

H. INTERAKSI OBAT

47

Page 48: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Tabel 9. Interaksi Obat-Obat Antihipertensi

KELAS OBAT

↑ EFEK ANTIHIPERTENSI

↓ EFEK ANTIHIPERTENSI

EFEK LAIN

Diuretik loop

ACEIs, antipsikotik, β-bloker, CCBs, etanol, antiadrenergik

Aspirin/NSAIDs, antikonvulsan, resin asam empedu, simpatomimetik

- ACEIs ↑ insufisiensi ginjal

- Kortikosteroid ↓ K- ↑ toksisitas

digoksin akibat hipokalemia

- Asam fibrat ↓ ikatan dengan albumin

Diuretik tiazid

ACEIs, antipsikotik, β-bloker, CCBs, etanol, antiadrenergik

Aspirin/NSAIDs, resin asam empedu, simpatomimetik

- Carbenoxolone ↓ K- ↑ toksisitas

digoksin akibat hipokalemia

- ↑ toksisitas litium β-bloker α-bloker, antipsikotik,

CCBs, etanol, obat antiadrenergik, H2 bloker, SSRIs, antiaritmia, kuinolon (↑ β bloker)

- Aspirin/NSAIDs, antasid, simpatomimetik

- ↓ level β-bloker:Barbiturat, carbamazepin, rifampin, rifabutin, sulfasalazin

- α1 bloker dan agonis α2 ↑ rebound hypertension

- ↓ metabolisme diazepam

- Alkaloid ergot : ↑ vasokonstriksi

- Simpatomimetik : ↑ tekanan darah, ↑ level terbutalin dan teofilin

Calcium bloker

- Antipsikotik, β-bloker, diuretik, etanol.

- ↓ level calcium bloker : α1 bloker , simetidin, eritromisin, PPI, kuinidin, asam valproat

- Aspirin/NSAIDs, simpatomimetik

- ↓ level calcium bloker : carbamazepine, barbiturat, rifampin dan rifabutin

- Verapamil atau diltiazem ↑ level carbamazepine

- ↑ level siklosporin - ↑ neurotoksisitas

litium - ↑ level TCAs - Nifedipin ↑ level

kuinidin dan fenitoin

ACEIs dan ARBs

Antipsikotik, β-bloker, diuretik, alkaloid ergot

Aspirin/NSADIs, simpatomimetik, antasid (captopril)

Diuretik hemat kalium ↑ level litium, hiperkalemia

α1 bloker ACEIs, antipsikotik, β-bloker, calsium bloker, diuretik, etanol

Aspirin/NSADIs, simpatomimetik

Diuretik ↑ orthostatic hypotension

Agonis α2 Antipsikotik, diuretik, etanol, nitrat

Aspirin/NSAIDs, MAOIs, TCAs,

- klonidin ↑ level siklosporin

48

Page 49: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

trazodone, fenotiazin, simpatomimetik

- Klonidin ↓ gejala hipoglikemia

- β-bloker ↑ bradikardi dan rebound hypertension

- semua depresan CNS ↑ efek depresinya

Diuretik hemat kalium

Antipsikotik, etanol, nitrat Aspirin/NSADIs, simpatomimetik

- Triamteren ↑ level amantadin

- Spironolakton ↑ level digoksin

- Indometasin dan triamteren menyebabkan kerusakan ginjal akut

- ACEIs/ARB ↑ hiperkalemia

Vasodilator Antipsikotik, β-bloker, diuretik, etanol

Aspirin/NSADIs, simpatomimetik

Adrenergik periferal- bloker

Diuretik, etanol Aspirin/NSADIs, antipsikotik, simpatomimetik, MAOIs

I. STUDI KASUS

Kasus 1

Tuan A mengunjungi dokternya untuk melakukan pemeriksaan rutin. Tuan A adalah pria

berumur 56 tahun dengan hipertensi. Beliau mendapatkan pengobatan Atenolol 100 mg dan

Bendroflumethiazida 2,5 mg sehari dan telah menjalani pengobatan selama 8 tahun. Tekanan

darahnya 138/84 mmHg namun kerap merasa mudah lelah dan sedang menunggu hasil uji

toleransi glukosa. Ternyata terdapat peningkatan dalam kadar gula darah puasa pada Tuan A.

Dalam keluarganya terdapat sejarah diabetes dan BMI-nya 34. Apakah kombinasi obat

hipertensinya masih tepat untuk digunakan?

Jawab

49

Page 50: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Atenolol adalah antihipertensi golongan beta-bloker yang menurunkan tekanan darah melalui

penurunan curah jantung. β bloker bersifat kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat

baik pada reseptor β1 daripada β2. Penurunan terapi dengan β-bloker yang cepat dapat

menyebabkan angina yang tidak stabil, infark miokardia, atau kematian pada penderita

predisposisi miokardial. Pada penderita tanpa penyakit arteri koroner, penghentian secara

tiba-tiba terapi β-bloker berhubungan dengan sinus takikardia, meningkatnya sekresi

keringat, dan depresi. Karena alasan ini, dosis ditingkatkan secara bertahap 1 hingga 2

minggu sebelum penghentian.Kelemahan β bloker adalah efek samping yang sering terjadi

yaitu tangan dingin dan kelelahan.

Bendroflumethiazida adalah antihipertensi golongan diuretik thiazida. Thiazida menurunkan

tekanan darah dengan cara memobiliasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan

dalam penurunan resistensi vaskular perifer. Efek samping thiazida yang sering terjadi adalah

efek metabolik seperti hipokalemia, hiperurisemia, hiperglikemia dan hiperlipidemia.

Hipokalemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau kejang. Thiazida menyebabkan

hiperglikemia karena menganggu toleransi glukosa sehingga thiazida dikontraindikasikan

pada pasien dengan diabetes tidak tergantung insulin.

Kombinasi Atenolol dan Bendroflumethiazida bukanlah kombinasi yang tepat bagi pasien

dengan diabetes ataupun dengan resiko diabetes.Hal ini karena kombinasi ini dapat memicu

peningkatan insidensi dari diabetes.

Bagi pasien hipertensi dengan diabetes, terapi lini pertama adalah inhibitor ACE atau

antagonis reseptor angiotensi II (ARB). Kedua kelompok ini menyebabkan nefroproteksi dan

mengurangi resiko kardiovaskular. Tekanan darah yang diharapkan adalah kurang dari

130/80 mmHg. Jika dibutuhkan obat kedua, dapat digunakan diuretik thiazid. Untuk

penderita diabetes yang pernah mengalami infark miokardial atau resiko tinggi terhadap

penyakit koroner, dapat digunakan β bloker karena dapat mengurangi resiko kardiovaskular.

Sehingga β bloker bermanfaat bagi pasien hipertensi dengan diabetes setelah inhibitor ACE,

ARB, dan diuretik.

Berdasarkan data yang diberikan, langkah yang dapat diambil oleh seorang apoteker adalah :

1. Berdiskusi dengan Tuan A mengenai rasa lelah yang dideritanya. Apakah rasa lelah itu

timbul akibat penggunaan obat, karena terapi yang telah dilakukan selama 8 tahun.

50

Page 51: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Apoteker harus memastikan apakah rasa lelah timbul akibat penggunaan obat

antihipertesi, yaitu β bloker atau akibat diabetes yang diderita oleh Tuan A.

2. Dilihat dari hasil uji toleransi glukosa, riwayat diabetes pada keluarga Tuan A dan

BMI-nya dapat disimpulkan bahwa pasien menderita diabetes. Oleh karena itu,

pengobatan atenolol dan bendroflumethiazida sebaiknya diganti karena tidak sesuai

dengan terapi untuk pasien hipertensi dengan diabetes. Pilihan terbaik adalah dengan

menggunakan obat golongan ACE inhibitor (captopril, lisinopril, benazepril, enalapril

maleat, dll) untuk mengganti β bloker Atenolol. Namun jika pasien tidak dapat

mentoleransi batuk kering yang timbul akibat penggunaan inhibitor ACE, dapat diganti

dengan menggunakan ARB seperti losartan atau valsartan.

Dosis awal inhibitor ACE sebaiknya dosis rendah kemudian ditambahkan perlahan

sesuai dengan respon yang diterima. Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi

inhibitor ACE terutama pada penderita yang kekurangan natrium atau volum, gagal

jantung, orang lanjut usia, penggunaan bersama dengan vasodilator atau diuretik.

Penderita dengan faktor resiko tersebut dosisnya diawali setengah dosis normal

kemudian diikuti dengan penambahan dosis dengan interval waktu 6 minggu.

Penggunaan β bloker tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba karena dapat menyebabkan

angina tidak stabil, infark miokardial, atau bahkan kematian pada penderita predisposisi

miokardial. Karena itulah, dosis ditingkatkan secara bertahap 1 hingga 2 minggu

sebelum penghentian.

3. Dilakukan juga pengukuran fungsi ginjal secara teratur karena salah satu efek samping

yang lebih berat dari ACE inhibitor adalah bahaya kegagalan ginjal yang akut.

Kemudian dapat juga ditambahkan diuretik dan beta bloker untuk membantu

mengontrol tekanan darah.

Kasus 2

Seorang wanita berusia 50 tahun terlihat di bagian gawat darurat mengeluh sakit kepala yang

hebat, sesak napas, dan edema pada pergelangan kakinya. Pandangannya kabur dan setelah

diperiksa tekanan darahnya adalah 200/140 mmHg. Tes darah menunjukkan azotemia dan

proteinuria. Pada pemeriksaan Chestradiograph terlihat bahwa jantung pasien membesar.

Apakah ini merupakan keadaan darurat hipertensi? Bila iya, perawatan farmakologi apa

yang dapat dilakukan?

51

Page 52: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Jawab

Dilihat dari tekanan darah pada saat datang ke bagian gawat darurat, pasien ini berada dalam

keadaan darurat hipertensi atau krisis hipertensi. Krisis hipertensi adalah suatu keadaan

dimana terjadi kenaikan mendadak yang besar dari tekanan sistol dan diastol dari keadaan

normal atau agak tinggi serta pada komplikasi hipertensi kronis, misalnya pada pendarahan

otak atau insufisiensi jantung kiri akut dengan udem paru-paru. Pasien juga memperlihatkan

tanda-tanda gagal jantung kongestif. Azotemia dan proteinuria merupakan tanda adanya

penyakit ginjal dan sering kali menandakan terjadinya penurunan fungsi ginjal. Jantung yang

membesar dan edema pergelangan kaki juga merupakan tanda gagal jantung, seperti sesak

napas. Tekanan darah yang sangat tinggi harus diperlakukan sebagai keadaan darurat.

Dengan keadaaan seperti ini pasien harus dirawat dan menerima terapi obat untuk

menurunkan tekanan darahnya. Untuk mengontrol tekanan darah secara cepat, sebaiknya

digunakan pemberian obat secara intravena.

Kesalahan umum dalam penanganan krisis hipertensi adalah terlalu agresif dalam

menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah yang terlalu drastis memberikan resiko

cerebrovascular accident, infark miokardial, dan gagal ginjal akut. Hipertensi krisis idealnya

ditangani dengan cara terapi pemeliharaan melalui penambahan antihipertensi baru dan/atau

meningkatkan dosis pengobatan. Ini merupakan pendekatan yang dipilih bagi pasien karena

tekanan darah diturunkan secara bertahap. Semua pasien yang mengalami hipertensi krisis

harus di evaluasi kembali dalam waktu kurang dari 7 hari (lebih disarankan setelah 1-3 hari).

Pada pasien hipertensi krisis, penurunan tekanan darah langsung bertujuan untuk membatasi

kerusakan organ. Tujuan terapi hipertensi krisis bukan untuk menurunkan tekanan darah

menjadi kurang dari 140/90 mmHg, melainkan untuk menurunkan tekanan arteri rata-rata

(MAP) diatas 25% dalam beberapa menit atau jam. Jika tekanan darah telah stabil, tekanan

darah kemudian dapat diturunkan menjadi 160/100-110 mmHg dalam 2-6 jam berikutnya.

Jika penurunan tekanan darah ini dapat ditoleransi dengan baik, penurunan tekanan darah

dapat dilanjutkan secara bertahap setelah 24-48 jam.

Pilihan antihipertensi dalam keadaaan krisis hipertensi :

1. Natrium nitroprusida

Merupakan antihipertensi yang digunakan secara luas dalam kebanyakan kasus hipertensi

krisis. Namun dapat menimbulkan masalah bagi pasien dengan gangguan ginjal kronis.

Natrium nitroprusida merupakan vasodilator langsung yang dapat menurunkan resistensi

52

Page 53: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

vaskular perifer, tapi tidak meningkatkan output jantung kecuali jika terdapat kegagalan

ventrikel kiri. Dosis natrium nitroprusida adalah 0,25-10 mcg/kg/menit diberikan secara

infus intravena. Onset hipotensi langsung terjadi dengan durasi 1-2 menit. Efek samping

dari natrium nitroprusida adalah mual, muntah, berkeringat, dan resiko toksisitas tiosianat

dan sianida. Resiko toksisitas tiosianat akan meningkat pada pasien dengan kerusakan

fungsi ginjal. Oleh karena itu, kadar serum tiosianat harus dimonitor apabila infus

diberikan lebih dari 72 jam. Bila kadar serum lebih dari 12 mg/dL, maka nitroprusida

harus dihentikan. Pemberian nitroprusida juga membutuhkan pengawasan tekanan intra-

arteri stabil (konstan).

2. Fenoldopam

Merupakan agonis dopamin-1 yang paling sering dipakai sebagai alternatif nitroprusida.

Obat ini digunakan pada hipertensi perioperatif. Sama seperti nitroprusida, fenoldopam

memiliki onset yang sangat cepat dan dapat dititrasi dengan mengatur laju infus.

Fenoldopam juga dapat meningkatkan aliran darah ginjal sehingga obat ini berguna pada

pasien dengan insufisiensi ginjal. Dosis fenoldopam 0,1-0,3 mcg/kg/menit secara infus

intravena. Onset kurang dari 5 menit dan durasi 30 menit. Efek sampingnya adalah

takikardia, sakit kepala, kemerahan dan mual.

3. Nitrogliserin intravena

Dapat mendilatasi arteri dan vena dengan demikian menurunkan afterload dan preload

jantung sehingga menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung. Hal inilah yang

menyebabkan nitrogliserin digunakan dalam penanganan hipertensi krisis yang disertai

dengan iskemia miokardial. Dosis nitrogliserin adalah 5-100 mcg/menit dengan infus

intravena. Onsetnya 2-5 menit dengan durasi 5-10 menit. Efek samping yang mungkin

timbul adalah sakit kepala, muntah dan toleransi bila digunakan dalam waktu yang lama

(24-48 jam).

4. Labetalol

Diberikan pada dosis awal 20 mg secara injeksi intravena perlahan dengan periode 2 menit

diikuti dengan injeksi tambahan 40-80 mg selang waktu 10 menit, hingga dosis total 300

mg. Obat ini juga dapat diberikan secara infus kontinyu dengan laju awal 0,5-2 mg/menit

dan ditambahkan sesuai dengan respon tekanan darah. labetalol dapat menyebabkan

53

Page 54: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

hipotensi ortostatik melalui efek bloking alfa. Efek samping lainnya adalah mual, muntah,

berkeringat, sakit kepala, kemerahan, dan pusing.

Berdasarkan pilihan obat yang ada, maka disarankan untuk menggunakan natrium

nitroprusida sebagai pilihan pertama. Pasien menunjukkan gangguan pada ginjal, namun

obat ini masih dapat dipakai dengan pengawasan yang ketat terhadap kadar serum

tiosianat. Setelah tekanan darah stabil, maka natrium nitroprusida dapat diganti dengan

antihipertensi oral untuk menurunkan tekanan darah secara bertahap.Karena pasien

memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung, maka antihipertensi oral yang dipakai sebagai

pilihan utama adalah diuretik dan inhibitor ACE. Diuretik dapat memperbaiki gejala

edema dengan diuresis. Dosis awal ACE inhibitor sebaiknya dimulai dengan dosis rendah

yang kemudian ditambahkan secara perlahan sesuai respon pasien. Hipotensi akut dapat

terjadi pada pada onset terapi inhibitor ACE terutama pada pasien yang kekurangan

natrium atau volum, gagal jantung, orang lanjut usia, penggunaan bersama dengan

vasodilator dan diuretik. Pasien dengan faktor resiko tersebut dosisnya diawali setengah

dosis normal dan kemudian ditingkatkan bertahap.

Kasus 3

Nyonya B berusia 74 tahun, mengalami osteoporosis di bagian pinggul dan lutut. Beliau baru

saja didiagnosis hipertensi dengan BP 162/101 mmHg dan pengobatan dimulai dengan

Bendroflumethiazida 2,5 mg sehari. Beberapa minggu kemudian tekanan darah diperiksa dan

didapat hasil 154/96 mmHg. Kemudian amlodipin 5 mg sehari ditambahkan dalam terapinya.

Beberapa hari kemudian Nyonya B datang kembali dan mengeluh bengkak pada pergelangan

kakinya.

Jawab

Bendroflumethiazida adalah antihipertensi golongan diuretik thiazida. Thiazida menurunkan

tekanan darah dengan cara memobiliasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan

dalam penurunan resistensi vaskular perifer. Efek samping thiazida yang sering terjadi adalah

efek metabolik seperti hipokalemia, hiperurisemia, hiperglikemia dan hiperlipidemia.

Hipokalemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau kejang. Thiazida menyebabkan

hiperglikemia karena menganggu toleransi glukosa sehingga thiazida dikontraindikasikan

pada pasien dengan diabetes tidak tergantung insulin.

54

Page 55: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Amlodipin adalah antihipertensi penghambat saluran kalsium. Obat ini menyebabkan

relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap

tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot

polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan

darah.bengkak pada pergelangan kaki Nyonya B merupakan salah satu efek samping dari

antihipertensi penghambat saluran kalsium.

Pengobatan hipertensi pada orang tua sebaiknya diawali dengan diuretik dengan dosis kecil

yang kemudian ditingkatkan secara bertahap. Antihipertensi penghambat saluran kalsium

jarang digunakan pada orang tua dan bukan merupakan kombinasi yang baik dengan diuretik.

Karena efek samping yang timbul dapat menganggu aktivitas Nyonya B, sehingga amlodipin

dapat diganti dengan inhibitor ACE atau beta bloker.

Kasus 4

Seorang wanita kulit putih berusia 49 tahun memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2,

obesitas, hipertensi dan migrain. Ia didiagnosis menderita diabetes mellitus tipe II, 9 tahun

yang lalu saat ia mengalami gejala berupa puliuria dan polidipsia. Tinggi badannya sekitar

160 cm dan berat badan berfluktuasi antara 75-84 kg. Terapi awal untuk pengobatan

diabetesnya terdiri dari sulfonilurea oral diikuti dengan konsumsi metformin dengan segera.

Dengan terapi tersebut diabetesnya dapat terkontrol dengan baik. Ia didiagnosis menderita

hipertensi kurang lebih 5 tahun yang lalu ketika hasil pengukuran tekanan darahnya pada tiga

kesempatan yang berbeda menunjukkan nilai sekitar 160/90 mmHg. Kondisi tersebut

ditangani dengan pemberian lisinopril dengan dosis 10mg/hari kemudian meningkat hingga

menjadi 20 mg/hari. Namun tekanan darahnya masih berfluktuasi. Kurang lebih setahun yang

lalu, ia didiagnosa menderita mikroalbuminuria ketika dari hasil pemeriksaan urin terdeteksi

albumin sebesar 1,943 mg/dL. Ia masih melakukan kontrol rutin untuk pemeriksaan

hipertensi dan diabetesnya. Dari hasil pemeriksaan terakhir didapat tekanan darahnya adalah

sebesar 154/86 mmHg dan denyut nadi 78 denyut per menit.

Jawab :

Wanita tersebut merupakan pasien hipertensi dengan beberapa faktor resiko kardiovaskular

lainnya seperti obesitas, diabetes, serta usia tua, sehingga ia termasuk memiliki resiko terkena

ganggua kardiovaskular (stroke dan infark myokardial) yang sangat tinggi. Asosisasi

Diabetes Amerika atau American Diabetic Association (ADA) merekomendasikan tujuan dari

55

Page 56: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

terapi hipertensi pada pasien diabetes seperti yang terjadi pada pasien tersebut ialah

mengupayakan tekanan darah <130/80 mmHg. Upaya penurunan tekanan darah melalui

pendekatan non-farmakologi dan pendekatan farmakologi. Berdasarkan data tinggi badan dan

berat badan dapat dihitung BMI (Body Mass Index) berkisar antara 29,29-32,81 yang jelas

menunjukkan kalau pasien ini mengalami obesitas. Oleh karena itu perlu dilakukan

pengaturan asupan makanan seperti meningkatkan jumlah serat serta menurunkan jumlah

asupan karbohidrat, lemak dan garam agar berat badannya turun sehingga diharapkan dapat

menurukan tekanan darah dan resiko terkena serangan kardiovaskular. Selain itu pasien ini

juga sebaiknya sering melakukan latihan atau olahraga. Pendekatan secara nonfarmakologik

tidak dimaksudkan sebagai terapi utama namun sebagai terapi pendamping karena tidak

memungkinkan untuk mencapai target terapi hanya dengan menggunakan terapi

nonfarmakologi.

Terapi farmakologi diberikan sebagai terapi utama untuk mencapai tujuan terapi yakni agar

tekanan darah <130/80 mmHg. Penggunaan lisinopril sebagai first line therapy sudah tepat

karena lisinopril termasuk dalam golongan ACE (Angiotensin Converting Enzym) Inhibitor

yang bersama dengan ARB atau Angiotensin II Reseptor Bloker merupakan obat pilihan

pertama dalam terapi hipertensi pada pasien yang juga menderita diabetes. Pada sejumlah

studi seperti ALLHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart

Attack Trial) menunjukkan bahwa penggunaan ACE inhibitor, ARB atau diuretik

memberikan hasil yang tidak jauh berbeda namun penggunaan ACE Inhibitor atau ARB

memiliki efek lain yakni memperlambat terjadinya nefropati (dengan kata lain bersifat

nefroprotektif) yang dapat terjadi pada penderita diabetes seperti yang dialami oleh pasien

tersebut. Kemampuan nefroprotektif ini terjadi karena baik ACE Inhibitor maupun ARB

menyebabkan vasodilatasi pada arteriole ginjal.

Terapi hipertensi yang dijalani pasien nampak kurang efektif dengan hanya menggunakan

lisinopril karena walaupun nefropati dapat diperlambat dengan penggunaan lisinopril namun

sejauh ini tujuan utama terapi belum tercapai sehingga perlu dilakukan suatu tindakan seperti

peningkatan dosis lisnopril hingga batas maksimal (40 mg perhari) dan atau penggunaan agen

kedua atau jika diperlukan agen antihipertensi ketiga.

Pemberian diuretik seperti golongan thiazida (misal: hidroklorthiazida) dapat membantu

penurunan tekanan darah karena diuretik memiliki efek sinergis ketika diberikan bersamaan

dengan golongan ACE Inhibitor. Kombinasi ini dapat diberikan dengan dosis 10/12,5 mg (10

56

Page 57: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

mg lisinopril 12,5 mg hidroklorthiazida) per hari selama 2-4 minggu kemudian ditingkatkan

menjadi 20/12,5 mg per hari.

Migrain yang diderita pasien dapat diredakan dengan menggunakan golongan beta bloker

seperti propanolol. Selain untuk meredakan migrain, propanolol dapat digunakan untuk

membantu menurunkan tekanan darah. Propanolol dapat diberikan 2 kali sehari dengan dosis

awal sebesar 40-80 mg per hari dan ditingkatkan secara bertahap dalam interval mingguan

hingga 160 mg perhari. Selain dengan pemberian propanolol upaya penghilangan migrain

dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup yang dapat memicu migrain seperti istirahat

cukup, olahraga teratur, serta menghindari makanan-makanan yang dapat memicu terjadinya

migrain.

Keadaan mikroalbuminuria menandakan terjadi kerusakan pada ginjal. Nefropati sebagai

akibat komplikasi diabetes mellitus tidak dihentikan oleh lisinopril namun hanya diperlambat

prosesnya. Upaya untuk menjaga agar tidak semakin parah dilakukan dengan melakukan

upaya penurunan tekanan darah dan blokade RAAS (Renin-Angitensine-Aldosterone System).

Blokade RAAS dilakukan dengan pemberian ACE Inhibitor (lisinopril) dan upaya penurunan

tekanan darah selain dengan pemberian lisinopril, juga melalui pemberian hidroklorthiazida

dan propanolol yang digunakan untuk mengatasi indikasi lainnya. Selain itu kondisi ginjal

juga harus terus dipantau.

J. TERMINOLOGI MEDIK

Akut : saat penyakit atau suatu keadaan yang berkembang secara cepat dan dapat

berbahaya.

Aldosteron : hormon steroid dari golongan mineralkortikoid yang disekresi dari

bagian terluar zona glomerulosa pada bagian korteks kelenjar adrenal, yang

berpengaruh terhadap tubulus distal dan collecting ducts dari ginjal sehingga terjadi

peningkatan penyerapan kembali partikel air, ion, garam oleh ginjal dan

sekresi potasium pada saat yang bersamaan. Hal ini menyebabkan peningkatan

volume dan tekanan darah. Aldosteron merupakan bagian dari sistem RAA (renin-

angiotensin-aldosteron). Pengukuran rasio aldosteron dalam plasma darah sering

disebut sebagai plasma aldosterone concentration (pac) yang digunakan sebagai

57

Page 58: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

perbandingan terhadap plasma renin activity (pra), yang lebih lanjut disebut rasio

pac/pra.

Aldosteronisme primer adalah keadaan klinis yang diakibatkan oleh produksi

aldosteron (suatu hormon steroid mineralokortikoid korteks adrenal) secara berlebih.

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan

cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau

dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien.

Angiotensinogen : Serum alfa-2-globulin yang diskresi di dalam hati, pada hidrolisis

oleh renin menghasilkan angiotensin. Dikenal juga sebagai substrat renin , adalah

asam amino berupa globulin α2 yang diproduksi terus-menerus oleh hati dan

disekresikan ke dalam sirkulasi darah. Angiotensinogen termasuk golongan protein

serpin walaupun bukan merupakan inhibitor seperti serpin yang lain.

Anti-diuretik Hormon (ADH) : Hormon anti diuretik (ADH) yang dihasilkan oleh

kelenjar hipofisis posterior akan mempengaruhi penyerapan air pada bagian tubulus

distal karena meningkatkan permeabilitias sel terhadap air.

Aritmia: merujuk pada denyut jantung yang terlalu cepat, terlalu lambat, tidak

teratur atau terlalu dini.

Atrial Natriuretik Peptida (ANP) : ANP dihasilkan dari sel atrial sebagai respon

meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi natriuresis cepat dan

sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang dalam urin.

Bradikardia : aritmia lambat (denyut jantung lebih lambat dari 60 detak/menit).

Bradikinin : Bradikinin berperan penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah.

Bradikinin akan berikatan dengan reseptor β1 dan β2. Sebagian besar efek bradikinin

diperantarai lewat ikatan dengan reseptor β2. Ikatan dengan reseptor β2 ini akan

menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh

ACE.

Cushing’s syndrome : penyakit yang disebabkan kelebihan hormon kortisol.

Edema : penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam

berbagai rongga tubuh sehingga terlihat bengkak.

58

Page 59: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Endotelin : protein sepanjang 21 AA hasil sekresi endotelium yang bersifat hormon

dengan menyebabkan pengecilan penampang pembuluh darah sehingga

meningkatkan tekanan darah, sebagai mekanisme homeostasis vaskular.

Epinefrin : obat simpatomimetik dengan aksi agonis pada reseptor alfa maupun beta.

Epistaksis adalah keluarnya darah melalui lubang hidung.

Erythropoietin (EPO) : hormon yang dihasilkan oleh ginjal yang memajukan

pembentukan dari sel-sel darah merah oleh sumsum tulang (bone marrow). Sel-sel

ginjal yang membuat eritropoietin adalah khusus sehingga mereka peka pada tingkat-

tingkat oksigen yang rendah didalam darah yang mengalir melalui ginjal. Sel-sel ini

membuat dan melepaskan eritropoietin ketika tingkat oksigen terlalu rendah. Tingkat

oksigen yang rendah mungkin mengindikasikan anemia, suatu jumlah sel-sel darah

merah yang berkurang, atau molekul-molekul hemoglobin yang membawa oksigen

keseluruh tubuh.

Funduskopi : pemeriksaan retina dan saraf mata.

Ginekomastia: pembengkakan jaringan payudara pada laki-laki, yang disebabkan

oleh ketidakseimbangan hormon estrogen dan testoteron.

Hipertiroidisme : keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara berlebihan

sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah.

Hiperparatiroidisme : suatu keadaan dimana kelenjar-kelenjar paratiroid

memproduksi lebih banyak hormon paratiroid.

Hipertrikosis : pola pertumbuhan rambut berlebih yang non-androgen dependent.

Hipokalemia : kadar kalium yang rendah dalam darah. Suatu keadaan dimana

konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3,8 mEq/L darah.

Hipoksia : kondisi simtoma kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi

akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Pada kasus yang fatal dapat berakibat koma,

bahkan sampai dengan kematian. Namun, bila sudah beberapa waktu, tubuh akan

segera dan berangsur-angsur kondisi tubuh normal kembali.

Hipomagnesemia : gangguan elektrolit dimana kadar magnesium dalam darah

rendah secara tidak normal.

Hipotensi Orthostatik : kejatuhan dalam tekanan darah ketika seseorang berdiri.

59

Page 60: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Hirsutisme : pola pertumbuhan rambut berlebih yang androgen dependent

Iskemia : kekurangan pasokan darah pada bagian tubuh.

Kardiovaskular : segala sesuatu yang berhubungan dengan jantung dan sistem

sirkulasi darah.

Makula Densa : Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-

sel termodifikasi. Makula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan

distimulasi oleh penurunan ion natrium.

Nikotin : suatu alkaloid dengan nama kimia 3-(1-metil-2-pirolidil) piridin yang

merupakan senyawa alkaloid yang sering ditemukan di tanaman tembakau.

Nitric Oxide (NO) : Radikal bebas yang dihasilkan oleh tiga tipe isoform sintase,

yaitu NOS1, NOS2 dan NOS3. NOS1 terdapat di jaringan konduksi jantung, neuron

intrakardiak dan retikulum sarkoplasma miosit jantung, NOS2 terdapat di miokard

yang merespon terhadap sitokin inflamasi, sedangkan yang terakhir terdapat di

endotel koroner, endokard serta sarkolema dan membran tubulus T miosit jantung.

NOS1 dan NOS3 dapat diaktifkan oleh kalsium dan kalmodulin, sedangkan NOS2

tidak perlu kalsium. NO akan mengaktifkan guanylate cyclase, kemudian akan

menghasilkan cGMP. cGMP ini menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler sehingga

terjadi vasodilatasi. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada gagal jantung, fungsinya

menjadi tumpul karena penurunan ekspresi dan aktivitas NOS3.

Nodus Sinoatrial : suatu masa jaringan otot jantung khusus yang terletak di dinding

posterior atrium kanan tepat di bawah pembukaan vena cava superior. Nodus SA

mengatur frekuensi kontraksi irama, sehingga disebut pemacu jantung.

Nokturia : gangguan kesehatan berupa keinginan buang air kecil berulang-ulang

ketika tidur.

Norepinefrin : Katekolamin, yang merupakan neurotransmitter utama neuron

adrenergic pascaganglionik, dengan aktivitas utama α-adrenergik; juga disekresi oleh

medulla adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splangnikus, dilepaskan

terutama sebagai respons terhadap hipotensi. Norepinefrin merupakan vasopresor

yang kuat dan digunakan untuk memulihkan tekanan darah pada keadaan hipotensi.

60

Page 61: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Nucleus Traktus Solitarius (NTS) : NTS pada medula mengintegrasikan stimulus

afferen dan sinyal baroreseptor dengan simpatis efferen yang mempertahankan tonus

vaskular.

Obesitas : kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang

berlebihan.

Pheochromocytoma : suatu tumor yang berasal dari sel-sel kromafin kelenjar

adrenal, menyebabkan pembentukan katekolamin yang berlebihan. Katekolamin

adalah hormon yang menyebabkan tekanan darah tinggi dan gejala lainnya.

Polisitemia : suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah

akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang.

Prevalensi : jumlah kasus suatu penyakit pada satu tempat tertentu dan dalam waktu

tertentu.

Priapism : kondisi medis yang membahayakan dimana ereksi penis atau klitoris

tidak kembali ke keadaan flasid, selama 4 jam.

Renal Arteri Stenosis : penurunan diameter dari arteri renal, menghasilkan restriksi

dari aliran darah ke ginjal yang dapat menghasilkan gagal fungsi ginjal dan tekanan

darah yang tinggi.

Retinopati hipertensif : salah satu komplikasi organ target pada mata atau retina

akibat hipertensi yang sering dijumpai pada pasien hipertensi esensial.

Ronki : suara napas yang terputus-putus, bersifat non-musical, biasanya terdengar

saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran napas.

Serebrovaskuler : kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena

berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Stroke bisa berupa iskemik

(sumbatan) maupun perdarahan (hemoragik).

Sistem Renin : sistem pengatur tekanan darah di dalam tubuh. Dia bekerja dengan

melepaskan protein, seperti angiotensin II (Ang II), yang dapat mempengaruhi

volume darah dan kontraksi pembuluh darah. Sistem Renin diaktifkan oleh enzim

renin.

Stroke : penyakit yang terjadi karena pendarahan di otak atau tersumbatnya

pembuluh darah yang dapat mengakibatkan kelumpuhan.

61

Page 62: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Takikardia : aritmia cepat (denyut jantung lebih cepat dari 100 detak/menit)

Tekanan darah diastolik : tekanan darah terendah terhadap pembuluh darah arteri

sewaktu jantung istirahat diantara dua denyut. Tekanan darah yang terjadi saat

diastol (tekanan diastol lebih rendah dari tekanan sistolik); diastol: proses saat

jantung mengembang dan terisi darah.

Tekanan darah sistolik : kekuatan tekanan darah tertinggi terhadap dinding arteri

sewaktu jantung berkontraksi . Tekanan darah mencapai titik yang tinggi dan terjadi

saat sistol (tekanan sistolik lebih tinggi dari tekanan diastolik); sistol: saat jantung

berkontraksi dan memompa darah.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, 2002, Diagnosis dan Pelaksanaan Depresi Pasca Stroke.

Astawan, 2002, Cegah Hipertensi dengan Pola Makan.

Benjamin, E.M., 2004, Case Study : Treating Hypertension in Patients With Diabetes,

Clinical Diabetes, 22:137.

Brunton, L.L., et al., 2006, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of

Therapeutics, Mc Graw-Hill, New York, 845-846.

Chobanian, A. V., 2003, The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7), Hypertension, 1206−1252.

Dipiro, Joseph T, 2005, Pharmacotherapy, 6th edition, Mc Graw-Hill, New York, 185-214;

140-144.

DiPiro, J.T., et al., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th ed., Mc

Graw Hill Medical, New York, 139-140; 147-167.

62

Page 63: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

DiPiro, J.T., et al., 2009, Pharmacotherapy Handbook, 7th ed., New York: Mc Graw-Hill,

111.

Departemen Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi,

Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik ditjen bina kefarmasian dan alat

kesehatan departemen kesehatan.

Departemen Kesehatan, 2007, Hipertensi di Indonesia.

Dunitz, 2001, Treatment of Hypertension in General Practise, Blok Well Sciens Inc.,

Dallas.

Gunawan,L, 2001, Hipertensi : Tekanan darah tinggi, Percetakan Kanisus, Yogyakarta.

Julianti, E.D, Nurjana, dan soetrisno, 2005, Bebas Hipertensi dengan Terapi Jus, Puspa

Suara, Jakarta.

Jhondry, 2010, Perilaku Penderita Hipertensi terhadap Upaya pencegahan Komplikasi

di Wilayah Kerja pukesmas Berastagi tahun 2010, Universitas Sumatra Utara.

Mansjoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Porth, C. M., 2003, Essentials of Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 2nd

Ed., Lippincott Williams & Walkins, Philadelphia, Pennsylvania, 361−376.

Sheps, 2005, Mengatasi tekanan darah tinggi, Intisari Mediatama, Jakarta.

WebBooks (2007) : Hypertension. www.web-books.com

Wijayakusuma, H.M., 2000, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi,

Swadaya, Jakarta.

Wiryowidagdo,S., 2002, Obat Tradisional untuk Penyakit Jantung, Darah Tinggi dan

Kolestrol, Agromedia Pustaka, Jakarta

Wells, B. G., 2003, Pharmacotherapy Handbook, 5th Ed., McGraw Hill, New York, 83.

63

Page 64: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

DISKUSI

1. Apakah penggunaan NSAID seperti aspirin pada pasien hipertensi harus dihindari?

Bagaimana bila pasien tersebut membutuhkannya?

Jawab :

Penggunaan obat-obatan NSAID seperti aspirin dapat meningkatkan tekanan darah.

Mekanisme yang terjadi adalah NSAID dapat menghambat sintesis prostaglandin

sehingga dapat menurunkan suplai darah ke ginjal. Ginjal kemudian terstimulasi untuk

melepaskan renin sehingga terjadilah mekanisme sistem renin-angiotensin-aldosteron

(RAAS) yang dapat meningkatkan tekanan darah. Penggunaan aspirin dengan dosis yang

tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang, yaitu seperti pada pengobatan rheumatoid

arthritis barulah dapat mempengaruhi tekanan darah. Aspirin dengan dosis yang kecil

tidak mempengaruhi tekanan darah secara signifikan, sehingga masih dapat digunakan.

2. Apakah ARB dapat menggantikan ACE inhibitor? Mengapa ACE inhibitor seperti

kaptopril lebih dipilih, padahal dapat menyebabkan efek samping batuk?

Jawab :

64

Page 65: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

Pemilihan obat dalam terapi hipertensi disesuaikan dengan guideline terapi hipertensi.

Untuk pasien dengan prehipertensi tidak langsung diberikan obat antihipertensi,

melainkan hanya diberikan arahan terapi secara nonfarmakologi, yaitu memodifikasi gaya

hidup. Sedangkan pada pasien hipertensi tahap 1, selain terapi nonfarmakologi, diberikan

terapi obat tunggal, yaitu awalnya adalah diuretik thiazida. Pada pasien hipertensi tahap 2

diberikan kombinasi obat antihipertensi, dengan salah satunya adalah thiazida. Pemilihan

obat antihipertensi ini juga disesuaikan dengan compelling indication pada masing-

masing pasien.

Alasan pemilihan ACE inhibitor dibandingkan ARB adalah sesuai dengan guideline

terapi yang ada, yaitu disesuaikan juga dengan compelling indication pada pasien. Selain

itu obat kaptopril (ACE inhibitor) merupakan obat yang lebih dulu ditemukan, sehingga

telah dilakukan banyak penelitian yang menyangkut keamanan dari obat tersebut. Harga

dari kaptopril juga lebih murah dibandingkan dengan obat-obatan ARB. Efek samping

batuk yang terjadi adalah tergantung juga pada masing-masing individu. Bila efek

samping batuk yang terjadi tidak mengganggu pasien, maka obat ACE inhibitor dapat

tetap dilanjutkan, namun bila efek samping batuk pada seorang pasien telah sangat

mengganggu, maka obat ACE inhibitor dapat diganti.

3. Mengapa pasien yang diberi diuretik (seperti thiazida) harus melakukan pemeriksaan

laboratorium?

Jawab :

Kerja obat-obat diuretik menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh. Efek

samping thiazida sendiri misalnya dapat menyebabkan hipokalemia, hipomagnesemia,

hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglikemia, dan dislipidemia. Untuk memantau keadaan

elektrolit serta kadar gula dan kolesterol darah, maka diperlukan pemeriksaan

laboratorium agar kondisi-kondisi yang tidak diinginkan dapat dicegah. Selain itu, jika

diketahui terjadi efek samping tersebut, hal tersebut dapat segera ditangani.

4. Mengapa pada pasien yang menggunakan diuretik, efek samping urinasi berkurang

setelah dua minggu?

Jawab :

Setelah dua minggu, biasanya efek diuresis dari obat diuretik berkurang. Hal ini

dikarenakan adanya penurunan kerja dari obat diuretik. Obat diuretik memiliki efek

antihipertensi yang lemah, sehingga hanya digunakan pada awal pengobatan saja. Bila

65

Page 66: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

kerja dari diuretik ini telah menurun, maka dokter akan mengganti obatnya dengan obat

antihipertensi yang lain.

5. Apakah penyakit hipertensi merupakan penyakit yang persisten (harus minum obat

seumur hidup) atau dapat disembuhkan?

Jawab :

Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan sekunder. Pada hipertensi

sekunder, dimana penyebab hipertensi dapat diketahui, misalnya akibat gangguan atau

kerusakan pada ginjal, pengobatan hipertensi harus terlebih dahulu mengobati akibat dari

hipertensi itu sendiri. Namun untuk kebanyakan kasus hipertensi (diatas 90%), yaitu

hipertensi primer, dimana penyebabnya tidak diketahui secara pasti, pengobatan dapat

saja dihentikan dengan pertimbangan seberapa berat penyakit hipertensi yang diderita.

Pasien hipertensi yang telah menjalami pengobatan selama beberapa waktu dan tekanan

darah telah berada dalam batas normal, maka pengobatan dapat dihentikan. Hasil

pengobatan pada pasien hipertensi tidak dapat dikatakan sembuh, namun hanya

menstabilkan tekanan darah. Bila tekanan darah pasien sudah normal yaitu kurang dari

120/80 mmHg, maka obat antihipertensi boleh dihentikan, dengan syarat tekanan darah

pasien tetap dikontrol rutin dan pasien mengikuti pola gaya hidup yang baik seperti

mengatur asupan natrium dan mengontrol tekanan darah secara rutin. Pengobatan hanya

dapat dilepaskan bila pasien telah mampu mengontrol tekanan darahnya sendiri dengan

mengubah pola hidup. Akan tetapi hal ini bukan berarti pasien telah sembuh total dari

penyakit hipertensi, karena

penghentian pengobatan pada saat tekanan darah telah normal tanpa dibarengi dengan

perubahan pola hidup sehingga sewaktu-waktu tekanan darah dapat naik, harus dicegah.

Karena hal ini tidak akan baik pengaruhnya pada tubuh, dimana terjadi fluktuasi dari

tekanan darah.

6. Diet garam untuk hipertensi sejauh mana? Seharusnya seperti apa diet garam? Ion apa

saja yang dibutuhkan oleh tubuh?

Jawab :

Pada pasien hipertensi perlu dilakukan diet natrium. Diet natrium ini dapat membantu

menurunkan dan menstabilkan tekanan darah pada pasien. Natrium dapat meningkatkan

volume ekstrasel sehingga retensi air akan meningkat. Dengan begitu maka volume darah

akan meningkat, venous return meningkat, stroke volume meningkat, cardiac output

66

Page 67: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

meningkat, sehingga akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Konsumsi natrium

yang dianjurkan untuk pasien hipertensi adalah 1,5 g/hari natrium atau 3,8 g/hari natrium

klorida. Diet yang dilakukan adalah dengan mengurangi asupan natrium, seperti

mengurangi kandungan garam dapur dan penyedap rasa atau monosodium glutamat

(MSG) pada makanan. Selain itu pasien juga sebaiknya mengurangi konsumsi makanan

ringan yang mengandung MSG. Pada diet garam ini, hanya ditujukan untuk mengurangi

natrium saja, sedangkan ion lainnya seperti Ca tidak perlu dikurangi. Ion Ca memang

dapat meningkatkan tekanan darah bila berada di dalam sel (intraselular). Namun bila ion

Ca berada di luar sel, maka tidak akan berpengaruh pada kenaikan tekanan darah. Bila

fungsi Ca-channel masih baik, maka Ca tidak akan masuk ke dalam sel, melainkan akan

masuk ke dalam tulang. Untuk ion-ion lain yang dibutuhkan oleh tubuh dapat diperoleh

dari sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi oleh pasien sesuai dengan pola diet tipe

DASH yang dianjurkan untuk pasien hipertensi.

7. Apakah obat antihipertensi dapat memberikan efek samping berupa hipotensi?

Jawab :

Seluruh obat antihipertensi dapat memberikan efek samping hipotensi. Efek samping

hipotensi ini dapat terjadi bila obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi tekanan

darah pasien. Oleh karena itu sebelum mengkonsumsi obat antihipertensi, tekanan darah

pasien harus diperiksa terlebih dahulu, dan diberikan terapi sesuai dengan guideline yang

dianjurkan agar tidak terjadi efek hipotensi. Selain itu, gejala hipotensi dan hipertensi

hampir sama, sehingga bila merasakan gejala tersebut hendaknya dilakukan pemeriksaan

tekanan darah terlebih dahulu sebelum meminum obat.

8. Bagaimana hubungan penyakit hipertensi dengan diabetes melitus?

Jawab :

Hipertensi yang diikuti oleh diabetes melitus (compelling indication) banyak terjadi.

Akan tetapi, penyakit hipertensi tidak dapat menyebabkan terjadinya penyakit diabetes

mellitus, melainkan karena pasien tersebut memang sudah menderita DM + HT sejak

awal (compelling indication). Terapi pada hipertensi yang diikuti oleh diabetes melitus

harus sesuai dengan guideline terapi dengan compelling indication untuk mencegah

terjadinya perparahan dari penyakit diabetes melitus.

67

Page 68: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

9. Apa yang dimaksud dengan funduskopi?

Jawab :

Funduskopi merupakan suatu jenis pemeriksaan retina dan syaraf mata, untuk mengetahui

apakah pasien menderita retinohipertensi atau tidak. Pemeriksaan funduskopi dapat

dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop, lensa pembesar (78D, 90D) atau dengan

funduskopi indirek (Schepen). Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk melihat apakah

hipertensi sudah sampai menyerang ke organ mata seperti retinopati.

10. Pada pasien hipertensi ada yang diberikan antidemam, mengapa tidak diberi

antihipertensi?

Jawab :

Pada saat terjadinya demam, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga

tekanan darah dapat meningkat. Peningkatan tekanan darah ini harus diperiksa terlebih

dahulu sebelum dilakukan pengobatan. Ketika pasien sedang demam perlu diperiksa

tekanan darahnya dan dibandingkan dengan tekanan darah ketika pasien tidak dalam

keadaan demam. Bila peningkatan tekanan darah hanya terjadi ketika demam, pengobatan

dilakukan hanya dengan menggunakan antidemam. Sedangkan bila diberikan obat

antihipertensi pada pasien tersebut, maka pengobatan akan menjadi tidak rasional.

11. Apakah hubungan antara insulin dan tekanan darah (penyakit hipertensi)? Sejauh mana

hubungan DM dapat menyebabkan hipertensi?

Jawab :

Jika ditinjau dari mekanisme patofisiologi hipertensi secara humoral bahwa peningkatan

konsentrasi insulin dapat menyebabkan hipertensi karena meningkatnya retensi natrium

ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik. Selain itu, insulin dapat berperan

sebagai hormon pertumbuhan seperti aktivitas yang dapat menimbulkan hipertrofi

vaskular sel otot halus. Insulin juga dapat mengangkat tekanan darah arteri dengan

meningkatkan intraselular kalsium, yang mengarah ke peningkatan resistensi pembuluh

darah. Mekanisme resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada hipertensi yang

tidak diketahui penyebabnya. Akan tetapi hal demikian tidak secara langsung

mengindikasikan bahwa kelebihan kadar insulin dalam darah dapat menyebabkan

hipertensi, ada faktor internal dari pasien itu sendiri yang dapat mempengaruhi kondisi

68

Page 69: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

hipertensi, seperti obesitas, merokok, dan pengelolaan terhadap faktor risiko juga

berpengaruh.

Jika kadar insulin di dalam tubuh berkurang maka akan terjadi peningkatan glukosa

darah, kondisi demikian disebut sebagai diabetes melitus. Ketika pengelolaan terhadap

penyakit diabetes tidak benar maka akan muncul berbagai komplikasi, diantaranya

komplikasi kronis berupa mikrovaskular, makrovaskular, serta infeksi. Komplikasi kronis

berupa makrovaskular dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah serta

penyempitan pada pembuluh darah sehingga elastisitas pembuluh darah berkurang dan

sirkulasi darah pun akan terganggu. Sedangkan pada ventrikel kiri terus memompa darah

ke seluruh tubuh sehingga terjadi kenaikan tekanan darah dan cardiac output, hal inilah

yang menjadi pemicu hipertensi pada seseorang.

12. Obat alternatif dalam penanganan hipertensi salah satunya adalah Ca-Channel Bloker

(CCB). Bagaimana mekanisme kerja dari CCB? Apa fungsi Ca dalam tekanan darah?

Jawab :

Kalsium (Ca) berperan pada proses kontraksi otot polos dan otot jantung. Kontraksi dari

sel otot jantung dan sel otot polos membutuhkan peningkatan konsentrasi kalsium

intraselular bebas dari cairan ekstraselular. Saat otot kardiak atau otot polos vaskular

distimulasi, channel sensitif tegangan dalam membran sel akan terbuka, melewatkan

kalsium memasuki sel. Influks dari ekstraselular kalsium ke dalam sel melepaskan

kalsium yang disimpan dari retikulum sarkoplasma. Saat konsentrasi kalsium intraselular

bebas meningkat, dia mengikat protein, kalmodulin, yang lalu mengaktivasi miosin

kinase memungkinkan miosin untuk berinteraksi dengan aktin untuk menginduksi

kontraksi dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Ca-Channel Bloker berperan

dalam menginhibisi atau menghambat influks kalsium melewati membran sel yang akan

mengakibatkan otot tidak berkontraksi sehingga tekanan darah akan menurun. Efek

samping lainnya dari Ca-channel bloker adalah menurunnya resistensi perifer dan

menurunnya denyut jantung.

13. Pada pasien hipertensi terkadang terasa nyeri pada punggung, dan di telinga seperti

berdengung. Bagaimana mekanismenya?

Jawab :

Salah satu penyebab meningkatnya tekanan darah adalah karena adanya penyempitan

pembuluh darah atau vasokonstriksi. Saat terjadi vasokonstriksi suplai oksigen ke

69

Page 70: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

jaringan akan mengalami gangguan. Menurunnya suplai oksigen ke jaringan ini akan

menyebabkan hipoksia pada jaringan sehingga akan terasa pegal. Selain itu

vasokonstriksi juga dapat mempengaruhi membran timpani di dalam telinga. Akan terjadi

konstriksi sehingga membran timpani akan mengeras. Hal inilah yang kemudian akan

dirasakan sebagai ‘dengung’ di telinga oleh pasien hipertensi.

14. Apakah hipertensi itu hanya apabila sistol dan diastol tinggi atau bisa hanya salah satu

yang tinggi? Jika salah satu saja yang tinggi bagaimana pengobatannya?

Jawab :

Seseorang dikatakan memiliki tekanan darah normal bila tekanan darah sistol dibawah

120 mmHg dan diastol dibawah 80 mmHg. Sedangkan seseorang dapat dikatakan

menderita hipertensi ketika memiliki tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan

darah diastol diatas 90 mmHg. Sesuai dengan klasifikasi tekanan darah (Brunton, et al.,

2006), apabila salah satu dari diastol atau sistol tinggi, maka sudah dapat dikatakan

hipertensi.

Tabel Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik Normal < 120 dan < 80Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89Hipertensi tahap 1 140 – 159 atau 90 – 99Hipertensi tahap 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Untuk pengobatannya adalah sama saja dengan yang telah dijelaskan pada saat presentasi,

bahwa apabila salah satu dari diastol atau sistol tinggi, makan digunakan pengobatan

yang menurunkan tekanan darahnya agar mencapai normal.

15. Diet natrium, bisa menyebabkan natrium turun, bagaimana untuk menyeimbangkan

asupan natrium? Menggunakan kapsul garam?

Jawab :

Pada diet natrium, asupan natrium telah diperhitungkan terlebih dahulu, yaitu sesuai yang

dianjurkan untuk pasien hipertensi adalah 1,5 g/hari natrium atau 3,8 g/hari natrium

klorida. Selain itu, natrium juga dapat diperoleh dari asupan sayur dan buah yang

dikonsumsi. Penurunan natrium yang terjadi pada diet natrium tidak akan sampai

70

Page 71: 64309912-Makalah-Farmakoterapi-Hipertensi-Kel-5-Diskusi.docx

menyebabkan pasien menjadi kekurangan natrium sehingga tidak diperlukan untuk

mengkonsumsi kapsul garam.

16. Apakah ada tanaman herbal yang dapat berperan sebagai obat antihipertensi? Berapa

dosisnya?

Jawab :

Tanaman herbal untuk obat antihipertensi misalnya mentimun, belimbing wuluh, bawang

putih, sambiloto, seledri, rumput teki, dan masih banyak yang lainnya. Dosisnya berbeda-

beda, tergantung masing-masing tanaman, dan informasi dosis ini dapat diketahui

misalnya dari hasil pengujian yang sudah banyak dilakukan. Penggunaan obat herbal ini

biasanya hanya ditujukan untuk proses pemeliharaan (maintenance) dari tekanan darah,

bukan sebagai obat utama.

71