581-759-1-pb

6
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013 347 PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA TETAS DAN HASIL TETAS TELUR ITIK (Anas plathyrinchos) (THE EFFECT OF TEMPERATURE ON HATCHABILITY AND EGG HATCHING YIELD DUCK (Anas platyrinchos)) Maulidya Siella Ningtyas, Ismoyowati, Ibnu Hari Sulistyawan Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap daya tetas, mortalitas dan hasil tetas telur itik. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas tiga perlakuan. Perlakuan pertama penetasan dengan menggunakan temperatur 36-37°C, perlakuan kedua menggunakan temperatur 37-38°C, serta perlakuan ketiga menggunakan temperatur 38-39°C dengan setiap unit perlakuan diulang sebanyak delapan kali ulangan. Hasil analisa variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase daya tetas, hasil tetas dan mortalitas embrio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tetas persentase tertinggi diperoleh pada temperatur 38-39°C yaitu 62±13,6 %. Persentase hasil tetas tertinggi diperoleh pada temperatur 38-39°C yaitu 49,5±10,3%, sedangkan persentase mortalitas embrio tertinggi diperoleh pada termperatur 36- 37ºC yaitu 87,91±7,32%. Hasil penelitian dapat disimpulkan suhu optimum untuk penetasan telur itik berkisar antara 38-39°C. Kata Kunci : Anas plathirinchos, Temperatur, Daya Tetas, Mortalitas Embrio, Hasil Tetas. ABSTRACT This study was aimed to determine the effect of temperature on hatchability, mortalityand hatching outcome of duck eggs. The research usied experimental methods the designused was Completaly Rendomized design (CRD) consistied of three treatments. The first treatment used the first hatching temperatures of 36-37°C, the second treatment used temperature 37-38°C, and the third treatment using temperature of 38-39°C with each repeated treatment unit eight replications. The results of analysis variance showed that there were significant differences (P<0.05) at percentage of hatchability, embryo mortality and hatchability outcome. The highest percentage of hatchability results was obtained at a temperature of 38-39°C, which was 62 ±13.6%. The highest percentage of hatching outcome was obtained at a temperature of 38-39°C, 49.5±10.3%. While the highest percentage of embryo mortality was obtained at temperature of 36-37°C, 87.91±7.32%. The research concluded the optimum temperature for hatching duck eggs ranges between 38-39°C. Keyword : Anas plathirinchos, Hatchability, Embryo Mortality, Hatching Outcome. PENDAHULUAN Itik lokal (Anas plathyrinchos) memiliki sifat aquatik yaitu suka dengan air. Hal ini ditunjang oleh bulu-bulu yang tebal dan berminyak yang berfungsi melindungi tubuh saat berada di air dan juga bentuk kaki dengan jari-jari kaki dihubungkan oleh selaput renang. Itik mempunyai keunggulan yaitu tingkat kematian (mortalitas) umumnya rendah, dan itik lebih tahan terhadap penyakit (Mulatsih dkk, 2010). Itik memiliki daya adaptasinya yang tinggi terhadap lingkungan

Upload: amamangh

Post on 25-Nov-2015

115 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

d

TRANSCRIPT

  • Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013

    347

    PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA TETAS DAN HASIL TETAS TELUR ITIK (Anas plathyrinchos)

    (THE EFFECT OF TEMPERATURE ON HATCHABILITY AND EGG HATCHING YIELD DUCK (Anas platyrinchos))

    Maulidya Siella Ningtyas, Ismoyowati, Ibnu Hari Sulistyawan

    Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto [email protected]

    ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap daya tetas, mortalitas dan hasil tetas telur itik. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas tiga perlakuan. Perlakuan pertama penetasan dengan menggunakan temperatur 36-37C, perlakuan kedua menggunakan temperatur 37-38C, serta perlakuan ketiga menggunakan temperatur 38-39C dengan setiap unit perlakuan diulang sebanyak delapan kali ulangan. Hasil analisa variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P

  • Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013

    348

    baru, selain itu itik dapat mempertahankan produksi telurnya lebih lama daripada ayam niaga

    petelur, itik lokal memiliki sifat mengeram yang sangat rendah, sehingga untuk menetaskan perlu

    dilakukan secara buatan (Haqiqi, 2008).

    Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai menetas.

    Penetasan telur itik dapat dilakukan secara alami atau buatan (Yuwanta, 1993). Penetasan buatan

    lebih praktis dan efisien dibandingkan penetasan alami, dengan kapasitasnya yang lebih besar.

    Penetasan dengan mesin tetas juga dapat meningkatkan daya tetas telur karena temperaturnya

    dapat diatur lebih stabil tetapi memerlukan biaya dan perlakuan lebih tinggi dan intensif

    (Jayasamudera dan Cahyono, 2005).

    Temperatur dan kelembaban dalam mesin tetas harus stabil untuk mempertahankan kondisi

    telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus dan Moutney (1998) menyatakan bahwa

    telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur antara 94-104F (36-40C). Embrio tidak

    toleran terhadap perubahan temperatur yang drastis. Kelembaban mesin tetas sebaiknya

    diusahakan tetap pada 70 %.

    Daya tetas telur yaitu banyaknya telur yang menetas dibandingkan dengan banyaknya telur

    yang fertil dan dinyatakan dalam persen. Daya Tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor

    genetik, suhu dan kelembaban, umur induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas

    telur (Sutiyono dan Krismiati, 2006). Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk

    penetasan adalah 37,8C, dengan kisaran 37,2-38,2C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas

    yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan

    embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun

    abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio

    (Wulandari, 2002). Hasil tetas adalah banyaknya jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan

    telur yang dimasukan kedalam mesin tetas dan dinyatakan dalam persen. Hasil tetas telur

    dipengaruhi oleh faktor : peralatan mesin tetas dalam menciptakan kondisi lingkungan

    (kelembaban dan temperatur) yang sesuai sebagai persyaratan menetasnya telur, dan faktor

    lingkungan diluar kemampuan pengelola misalnya terjadi perubahan tegangan listrik maupun

    pemadaman listrik (Prasetyo dan Susanti, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

    pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan mortalitas telur itik, serta mengetahui pengaruh

    temperatur terhadap hasil tetas telur itik.

    METODE

    Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu : Telur itik Mojosari sebanyak 192 butir yang

    dihasilkan dari itik Mojosari betina 42 ekor yang dikawinkan dengan pejantan 8 ekor dengan umur

    9 bulan. Peralatan yang digunakan selama penelitian meliputi kandang 3x4 meter untuk setiap

    petak, alat kebersihan, timbangan digital, mesin tetas 6 buah, alat candling dan pensil. Penelitian

    dilakukan dengan metode eksperimental, Peubah yang diamati adalah daya tetas, mortalitas dan

    hasil tetas. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3

    perlakuan, setiap perlakuan diulang 8 kali. Perlakuan terdiri dari : T1 = temperatur 36-37C, T2 =

    temperatur 37-38C dan T3 = temperature 38-39C. Data dianalisis dengan menggunakan analisis

    variansi. Uji lanjut yang digunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ).

    Penetasan dilakukan dengan mempersiapkan mesin tetas dengan suhu 36-37C, 37-38C, 38-39C,

    membersihkan telur, menimbang bobot telur, memasukkan telur kemesin tetas untuk setiap

  • Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013

    349

    perlakuan, mengontrol suhu mesin tetas, melakukan candling pada hari ke-7 dan 21, dan pada

    akhir penetasan dilakukan penyemprotan agar kelembaban tetap terjaga.

    Rumus perhitungan daya tetas, mortalitas dan hasil tetas adalah sebagai berikut :

    Daya Tetas :

    DT= 100% x ferti l yang telur jumlah

    menetas yang telur jumlah

    Mortalitas Embrio :

    ME = 100% x ferti l yang telur jumlah

    mati yang telur jumlah

    Hasil Tetas :

    HT = 100% x ditetaskan yang telur jumlah

    menetas yang telur jumlah

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan hasil rataan daya tetas, mortalitas embrio

    dan hasil tetas telur itik dapat dilihat pada tabel 1.

    Tabel 1. Hasil rataan penelitian penetasan telur itik.

    Variabel Temperatur Penetasan

    Signifikan 36-37C 37-38C 38-39C

    Daya Tetas (%) 3,097,19a 27,7619,41b 6213.6c P>0,05

    Mortalitas Embrio (%) 87,917,32c 29,8614,93a 43,321,1b P>0,05

    Hasil Tertas (%) 3,097,31a 31,097,08b 49,510,3c P>0,05

    Keterangan : Superskip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata

    Daya Tetas

    Kisaran daya tetas hasil penelitian adalah 3,09% sampai dengan 62,00% dan rataan daya

    tetas dari tiap perlakuan adalah temperatur 36-37C 3,097,19%, temperatur 37-38C

    27,7619,41% dan temperatur 38-39C 6213,6% (Tabel. 1). Hasil tersebut dapat terlihat bahwa

    rataan daya tetas temperatur 38-39C paling tinggi dibandingkan dengan temperatur 36-37C dan

    37-38C, Hal tersebut disebabkan karena temperatur yang diberikan sangat optimum dan hampir

    mendekati suhu pada penetasan alami. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parkush dan

    Mountney (1988) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur

    antara 37-40C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum.

    Suhu atau temperatur memegang peranan yang sangat penting dalam penetasan telur

    karena mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Jika suhu terlalu rendah maka

    perkembangan organ-organ embrio tidak berkembang secara proporsional (Susila, 1997). Wiharto

    (1988) menyatakan, apabila suhu terlalu rendah umumnya menyebabkan kesulitan menetas dan

    pertumbuhan embrio tidak normal karena sumber pemanas yang dibutuhkan tidak mencukupi.

    Rakhman (1985) menyatakan, jika suhu didalam mesin tetas dibawah normal maka telur akan

  • Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013

    350

    menetas lebih lama dari waktu yang ditentukan dan apabila suhu diatas normal, maka waktu

    menetas lebih awal dari waktu yang ditentukan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat

    menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga DOD yang dihasilkan akan

    lemah, akibatnya DOD akan mengalami kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002).

    Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya daya tetas yaitu berat telur, lama penyimpanan

    telur dan fertilitas. Berat telur yang digunakan pada perlakuan ini berkisar 55-75 gram. Wulandari

    (2005) menyatakan bahwa sebaiknya telur yang ditetaskan mempunyai berat 65-75 gr/butir.

    Mortalitas Embrio

    Berdasarkan hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata

    (P>0,05) terhadap mortalitas embrio. Kisaran mortalitas embrio 29,86% sampai dengan 87,91%,

    dan rataan persentasi mortalitas embrio tiap perlakuan adalah temperatur 36-37C 87,917,32%,

    temperatur 37-38C 29,86714,93%, dan temperatur 38-39C 43,321,1% (Tabel 1).

    Hakim, dkk (2008), melaporkan bahwa telur ayam arab umur 7 hari yang ditetaskan

    menghasilkan rataan mortalitas 44,2%. Dalam penelitian ini didapat rataan mortalitas sebesar

    43,3%. Hasil ini lebih baik dikarenakan telur yang digunakan pada penelitian berumur kurang dari 7

    hari, sedangkan telur yang digunakan pada penelitian Hakim berumur 7 hari. Hal ini sesuai dengan

    pendapat Iskandar (2003), menyatakan bahwa terjadinya kematian (mortalitas) dalam proses

    penetasan dipengaruhi oleh umur telur, semakin lama telur disimpan dapat mengakibatkan

    penguraian zat organik.

    Telur yang tidak menetas karena kekeringan disebabkan oleh kelembaban mesin tetas yang

    terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi pada masa akhir pengeraman. Kelembaban udara

    berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika

    kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras.

    Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan

    kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc Daniel (1979), menyatakan

    peningkatan suhu penetasan pada saat hari ke-16 akan mengurangi telur fertil yang menetas.

    Hodgtts (2000) menyatakan bahwa embrio muda sangat sensitif terhadap perubahan suhu

    penetasan. Suhu di ruang inkubasi tidak boleh lebih panas atau lebih dingin 2C dari kisaran suhu

    standar. Suhu standar untuk penetasan berkisar antara 36C-39C. Jika terjadi penurunan suhu

    terlalu lama biasanya telur akan menetas lebih lambat dari 21 hari dan kalau terjadi kenaikan suhu

    melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami dehidrasi dan akan mati (Hamdy, 1991).

    Hasil Tetas

    Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan bahwa perlakuan berpengaruh nyata

    (P>0,05) terhap hasil tetas. Kisaran hasil tetas 49,5% sampai dengan 3,09%, dan persentase hasil

    tetas telur tiap perlakuan adalah temperatur 36-37C 3,097,31%, temperatur 37-38C

    31,097,08%, dan temperatur 38-39C 49,510,3% (Tabel 1).

    Rataan hasil tetas tertinggi pada temperatur 38-39C yaitu 49,510,3%. Hal ini disebabkan

    karena suhu tersebut hampir menyerupai dengan keadaan suhu pada penetasan alami yang

    dilakukan oleh induk ketika mengerami telurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartono (2010)

    yang meyatakan bahwa suhu penetasan alami berkisar antara 37C-38C. Yudityo (2003)

  • Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013

    351

    melaporkan dalam penetasan buatan diperlukan peningkatan suhu seiring dengan perkembangan

    metabolisme embrio.

    Faktor lain yang menyebabkan rendahnya hasil tetas pada suhu 36C dikarenakan kematian

    embrio yang tinggi dan pada minggu terakhir penetasan banyak telur yang mengeluarkan busa

    karena busuk, hal tersebut diduga karena pada penelitian kelembaban mesin tetas pada akhir

    masa inkubasi adalah 80%. Kelembaban mesin tetas yang terlalu rendah akan mempercepat

    penguapan air dari telur, sehingga embrio akan kekeringan. Kelembaban udara berfungsi untuk

    mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban

    tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Rusandih (2001)

    menyatakan Kebanyakan embrio yang ditetaskan ditemukan mati antara hari ke-22 sampai ke-27

    selama inkubasi. Hal ini biasa disebut dead-in-shell dan terbagi menjadi tiga kategori. Kategori

    pertama, embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk

    menerobos kerabang. Kategori seperti ini biasanya mati pada hari ke-28. Kategori kedua mati pada

    hari yang sama, tetapi menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur dengan oedema

    serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala. Kejadian tersebut merupakan

    dampak berkelanjutan dari usaha embrio memecah kerabang yang gagal. Kategori ketiga mati

    antara hari ke-22 sampai hari ke-28. Kematian pada kategori ini disebabkan karena kesalahan

    posisi selama berkembang sehingga menghambat embrio tersebut untuk keluar dari kerabang.

    Untuk mempertahankan kelembaban yang stabil, persediaan air didalam bak penampung harus

    selalu tersedia dan cukup (Wineland, 2000).

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa temperatur optimum untuk

    menetaskan telur itik adalah 38-39C yang menghasilkan daya tatas dan hasil tetas tinggi dan

    mortalitas embrio yang rendah.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan doa dan

    semangatnya, serta kepada ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unsoed

    atas dana penelitian Riset Percepatan Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman atas nama Dr.

    Ismoyowati, S.Pt, MP, yang telah mengikut sertakan penulis dalam penelitian ini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hakim, A. D, Aris. dan S, Salim. A. 2008. Pengaruh Umur dan Frekuensi Pemutaran Terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Ayam Arab (Gallus turcicus). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

    Hamdy, A. M. M., A. M. Henken, W. V. D. Hel, A. G. Galal and A. K. I. Abd. Elmoty. 1991. Effect on Incubation Humidy and Hatching Time on Heat Tolerance of Neonatal Chick : Growth Performance After Heat Expo Sure. Poultry Science 70 : 1507-1515.

    Haqiqi, S. H. 2008. Mengenal Beberapa Jenis Itik Petelur Lokal. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

    Hartono, T dan Isman. 2010. Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. AgroMedia Pustaka. Yogyakarta.

    Hodgetts. 2000. Incubation The Psichal Requiments. Abor Acress service Bulletin No 15, August 1.

  • Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013

    352

    Iskandar, R. 2003. Pengaruh Lama Penyimpanan Telut dan Frekuensi Pemutaran Telur Terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Telur Puyuh. Skripsi. Fakultas Peternakan Sumatera Utara. Medan.

    Jayasamudera, D. J dan B. Cahyono. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya. Jakarta.

    Mc Daniel, G. R., D. A. Roland and. MA. Coleman. 1979. The Effeck of Eggs Shell Quality on Hatchabillity and Embrionic Mortality. Poultry Science 58 : 10-13.

    Mulatsih, S.Sumiati, dan Tjakradijaja. 2010. Intensifikasi Usaha Peternakan Itik Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga. Laporan Akhir Program Iptek Bagi Masyarakat. Institut Pertanan Bogor. Bogor.

    Nuryati, L. Sutarto, K. dan Hardjosworo, S. P. 2000. Sukses Menetsakan Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.

    Parkust, C. R and Mountney. 1998. Poultry Meat and Egg Production. Van Nostrand Reinhold. New York.

    Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan timbale balik antara itik Alabio dan Mojosari Periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol. 5, No. 4 : 210-213.

    Rakman, B. 1985. Pengaruh Bobot Tetas Terhadap Mortalitas, Bobot Akhir, Laju Pertumbuhan Itik Tegal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

    Rarasati. 2002. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Pada Penetasan Telur Itik Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

    Rusandih. 2001. Susut Tetas dan Jenis Kelamin Mojosari Berdasarkan Klasifikasi Bobot dan Indeks Telur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Susila, A. B. 1997. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Telur dan Berat Telur Terhadap Fertilitas, Daya Tetas, Mortalitas, dan Berat DOD Itik Tegal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

    Sutiyono, S. Riyadi, dan S. Kismiati. 2006. Fertilitas dan Daya Tetas Telur Dari Ayam Petelur Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Ayam KampungYang Diencerkan Dengan Bahan Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

    Wiharto. 1988. Petunjuk Pembuatan Mesin Tetas. Lembaga Penerbit. Universitas Brawijaya. Wineland, M. 2000. Maisture Loss In Hatching Eggs. Abor Acres. Service Bulletin No. 14, July 15.

    Wulandari, A. 2002. Pengaruh Indeks dan Bobot Telur Itik Tegal Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

    Wulandari, W. A. 2005. Kajian Karakteristik Itik Cihateup. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

    Yudityo, M. P. 2003. Persentase Heterosis Fertilitas, Daya Tetas, Kematian Embrio Serta Bobot Telur Hasil Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio Dan Mojosari. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Yuwanta. T. 1993. Perencanaan dan Tata Laksana Pembibitan Unggas. Inseminasi Buatan pada Unggas. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.