Download - 581-759-1-PB
-
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
347
PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA TETAS DAN HASIL TETAS TELUR ITIK (Anas plathyrinchos)
(THE EFFECT OF TEMPERATURE ON HATCHABILITY AND EGG HATCHING YIELD DUCK (Anas platyrinchos))
Maulidya Siella Ningtyas, Ismoyowati, Ibnu Hari Sulistyawan
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto [email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap daya tetas, mortalitas dan hasil tetas telur itik. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas tiga perlakuan. Perlakuan pertama penetasan dengan menggunakan temperatur 36-37C, perlakuan kedua menggunakan temperatur 37-38C, serta perlakuan ketiga menggunakan temperatur 38-39C dengan setiap unit perlakuan diulang sebanyak delapan kali ulangan. Hasil analisa variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P
-
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
348
baru, selain itu itik dapat mempertahankan produksi telurnya lebih lama daripada ayam niaga
petelur, itik lokal memiliki sifat mengeram yang sangat rendah, sehingga untuk menetaskan perlu
dilakukan secara buatan (Haqiqi, 2008).
Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai menetas.
Penetasan telur itik dapat dilakukan secara alami atau buatan (Yuwanta, 1993). Penetasan buatan
lebih praktis dan efisien dibandingkan penetasan alami, dengan kapasitasnya yang lebih besar.
Penetasan dengan mesin tetas juga dapat meningkatkan daya tetas telur karena temperaturnya
dapat diatur lebih stabil tetapi memerlukan biaya dan perlakuan lebih tinggi dan intensif
(Jayasamudera dan Cahyono, 2005).
Temperatur dan kelembaban dalam mesin tetas harus stabil untuk mempertahankan kondisi
telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus dan Moutney (1998) menyatakan bahwa
telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur antara 94-104F (36-40C). Embrio tidak
toleran terhadap perubahan temperatur yang drastis. Kelembaban mesin tetas sebaiknya
diusahakan tetap pada 70 %.
Daya tetas telur yaitu banyaknya telur yang menetas dibandingkan dengan banyaknya telur
yang fertil dan dinyatakan dalam persen. Daya Tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor
genetik, suhu dan kelembaban, umur induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas
telur (Sutiyono dan Krismiati, 2006). Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk
penetasan adalah 37,8C, dengan kisaran 37,2-38,2C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas
yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan
embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun
abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio
(Wulandari, 2002). Hasil tetas adalah banyaknya jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan
telur yang dimasukan kedalam mesin tetas dan dinyatakan dalam persen. Hasil tetas telur
dipengaruhi oleh faktor : peralatan mesin tetas dalam menciptakan kondisi lingkungan
(kelembaban dan temperatur) yang sesuai sebagai persyaratan menetasnya telur, dan faktor
lingkungan diluar kemampuan pengelola misalnya terjadi perubahan tegangan listrik maupun
pemadaman listrik (Prasetyo dan Susanti, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan mortalitas telur itik, serta mengetahui pengaruh
temperatur terhadap hasil tetas telur itik.
METODE
Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu : Telur itik Mojosari sebanyak 192 butir yang
dihasilkan dari itik Mojosari betina 42 ekor yang dikawinkan dengan pejantan 8 ekor dengan umur
9 bulan. Peralatan yang digunakan selama penelitian meliputi kandang 3x4 meter untuk setiap
petak, alat kebersihan, timbangan digital, mesin tetas 6 buah, alat candling dan pensil. Penelitian
dilakukan dengan metode eksperimental, Peubah yang diamati adalah daya tetas, mortalitas dan
hasil tetas. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan, setiap perlakuan diulang 8 kali. Perlakuan terdiri dari : T1 = temperatur 36-37C, T2 =
temperatur 37-38C dan T3 = temperature 38-39C. Data dianalisis dengan menggunakan analisis
variansi. Uji lanjut yang digunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ).
Penetasan dilakukan dengan mempersiapkan mesin tetas dengan suhu 36-37C, 37-38C, 38-39C,
membersihkan telur, menimbang bobot telur, memasukkan telur kemesin tetas untuk setiap
-
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
349
perlakuan, mengontrol suhu mesin tetas, melakukan candling pada hari ke-7 dan 21, dan pada
akhir penetasan dilakukan penyemprotan agar kelembaban tetap terjaga.
Rumus perhitungan daya tetas, mortalitas dan hasil tetas adalah sebagai berikut :
Daya Tetas :
DT= 100% x ferti l yang telur jumlah
menetas yang telur jumlah
Mortalitas Embrio :
ME = 100% x ferti l yang telur jumlah
mati yang telur jumlah
Hasil Tetas :
HT = 100% x ditetaskan yang telur jumlah
menetas yang telur jumlah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan hasil rataan daya tetas, mortalitas embrio
dan hasil tetas telur itik dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil rataan penelitian penetasan telur itik.
Variabel Temperatur Penetasan
Signifikan 36-37C 37-38C 38-39C
Daya Tetas (%) 3,097,19a 27,7619,41b 6213.6c P>0,05
Mortalitas Embrio (%) 87,917,32c 29,8614,93a 43,321,1b P>0,05
Hasil Tertas (%) 3,097,31a 31,097,08b 49,510,3c P>0,05
Keterangan : Superskip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata
Daya Tetas
Kisaran daya tetas hasil penelitian adalah 3,09% sampai dengan 62,00% dan rataan daya
tetas dari tiap perlakuan adalah temperatur 36-37C 3,097,19%, temperatur 37-38C
27,7619,41% dan temperatur 38-39C 6213,6% (Tabel. 1). Hasil tersebut dapat terlihat bahwa
rataan daya tetas temperatur 38-39C paling tinggi dibandingkan dengan temperatur 36-37C dan
37-38C, Hal tersebut disebabkan karena temperatur yang diberikan sangat optimum dan hampir
mendekati suhu pada penetasan alami. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parkush dan
Mountney (1988) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur
antara 37-40C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum.
Suhu atau temperatur memegang peranan yang sangat penting dalam penetasan telur
karena mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Jika suhu terlalu rendah maka
perkembangan organ-organ embrio tidak berkembang secara proporsional (Susila, 1997). Wiharto
(1988) menyatakan, apabila suhu terlalu rendah umumnya menyebabkan kesulitan menetas dan
pertumbuhan embrio tidak normal karena sumber pemanas yang dibutuhkan tidak mencukupi.
Rakhman (1985) menyatakan, jika suhu didalam mesin tetas dibawah normal maka telur akan
-
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
350
menetas lebih lama dari waktu yang ditentukan dan apabila suhu diatas normal, maka waktu
menetas lebih awal dari waktu yang ditentukan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga DOD yang dihasilkan akan
lemah, akibatnya DOD akan mengalami kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002).
Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya daya tetas yaitu berat telur, lama penyimpanan
telur dan fertilitas. Berat telur yang digunakan pada perlakuan ini berkisar 55-75 gram. Wulandari
(2005) menyatakan bahwa sebaiknya telur yang ditetaskan mempunyai berat 65-75 gr/butir.
Mortalitas Embrio
Berdasarkan hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap mortalitas embrio. Kisaran mortalitas embrio 29,86% sampai dengan 87,91%,
dan rataan persentasi mortalitas embrio tiap perlakuan adalah temperatur 36-37C 87,917,32%,
temperatur 37-38C 29,86714,93%, dan temperatur 38-39C 43,321,1% (Tabel 1).
Hakim, dkk (2008), melaporkan bahwa telur ayam arab umur 7 hari yang ditetaskan
menghasilkan rataan mortalitas 44,2%. Dalam penelitian ini didapat rataan mortalitas sebesar
43,3%. Hasil ini lebih baik dikarenakan telur yang digunakan pada penelitian berumur kurang dari 7
hari, sedangkan telur yang digunakan pada penelitian Hakim berumur 7 hari. Hal ini sesuai dengan
pendapat Iskandar (2003), menyatakan bahwa terjadinya kematian (mortalitas) dalam proses
penetasan dipengaruhi oleh umur telur, semakin lama telur disimpan dapat mengakibatkan
penguraian zat organik.
Telur yang tidak menetas karena kekeringan disebabkan oleh kelembaban mesin tetas yang
terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi pada masa akhir pengeraman. Kelembaban udara
berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika
kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras.
Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan
kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc Daniel (1979), menyatakan
peningkatan suhu penetasan pada saat hari ke-16 akan mengurangi telur fertil yang menetas.
Hodgtts (2000) menyatakan bahwa embrio muda sangat sensitif terhadap perubahan suhu
penetasan. Suhu di ruang inkubasi tidak boleh lebih panas atau lebih dingin 2C dari kisaran suhu
standar. Suhu standar untuk penetasan berkisar antara 36C-39C. Jika terjadi penurunan suhu
terlalu lama biasanya telur akan menetas lebih lambat dari 21 hari dan kalau terjadi kenaikan suhu
melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami dehidrasi dan akan mati (Hamdy, 1991).
Hasil Tetas
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
(P>0,05) terhap hasil tetas. Kisaran hasil tetas 49,5% sampai dengan 3,09%, dan persentase hasil
tetas telur tiap perlakuan adalah temperatur 36-37C 3,097,31%, temperatur 37-38C
31,097,08%, dan temperatur 38-39C 49,510,3% (Tabel 1).
Rataan hasil tetas tertinggi pada temperatur 38-39C yaitu 49,510,3%. Hal ini disebabkan
karena suhu tersebut hampir menyerupai dengan keadaan suhu pada penetasan alami yang
dilakukan oleh induk ketika mengerami telurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartono (2010)
yang meyatakan bahwa suhu penetasan alami berkisar antara 37C-38C. Yudityo (2003)
-
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
351
melaporkan dalam penetasan buatan diperlukan peningkatan suhu seiring dengan perkembangan
metabolisme embrio.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya hasil tetas pada suhu 36C dikarenakan kematian
embrio yang tinggi dan pada minggu terakhir penetasan banyak telur yang mengeluarkan busa
karena busuk, hal tersebut diduga karena pada penelitian kelembaban mesin tetas pada akhir
masa inkubasi adalah 80%. Kelembaban mesin tetas yang terlalu rendah akan mempercepat
penguapan air dari telur, sehingga embrio akan kekeringan. Kelembaban udara berfungsi untuk
mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban
tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Rusandih (2001)
menyatakan Kebanyakan embrio yang ditetaskan ditemukan mati antara hari ke-22 sampai ke-27
selama inkubasi. Hal ini biasa disebut dead-in-shell dan terbagi menjadi tiga kategori. Kategori
pertama, embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk
menerobos kerabang. Kategori seperti ini biasanya mati pada hari ke-28. Kategori kedua mati pada
hari yang sama, tetapi menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur dengan oedema
serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala. Kejadian tersebut merupakan
dampak berkelanjutan dari usaha embrio memecah kerabang yang gagal. Kategori ketiga mati
antara hari ke-22 sampai hari ke-28. Kematian pada kategori ini disebabkan karena kesalahan
posisi selama berkembang sehingga menghambat embrio tersebut untuk keluar dari kerabang.
Untuk mempertahankan kelembaban yang stabil, persediaan air didalam bak penampung harus
selalu tersedia dan cukup (Wineland, 2000).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa temperatur optimum untuk
menetaskan telur itik adalah 38-39C yang menghasilkan daya tatas dan hasil tetas tinggi dan
mortalitas embrio yang rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan doa dan
semangatnya, serta kepada ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unsoed
atas dana penelitian Riset Percepatan Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman atas nama Dr.
Ismoyowati, S.Pt, MP, yang telah mengikut sertakan penulis dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, A. D, Aris. dan S, Salim. A. 2008. Pengaruh Umur dan Frekuensi Pemutaran Terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Ayam Arab (Gallus turcicus). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Hamdy, A. M. M., A. M. Henken, W. V. D. Hel, A. G. Galal and A. K. I. Abd. Elmoty. 1991. Effect on Incubation Humidy and Hatching Time on Heat Tolerance of Neonatal Chick : Growth Performance After Heat Expo Sure. Poultry Science 70 : 1507-1515.
Haqiqi, S. H. 2008. Mengenal Beberapa Jenis Itik Petelur Lokal. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Hartono, T dan Isman. 2010. Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. AgroMedia Pustaka. Yogyakarta.
Hodgetts. 2000. Incubation The Psichal Requiments. Abor Acress service Bulletin No 15, August 1.
-
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
352
Iskandar, R. 2003. Pengaruh Lama Penyimpanan Telut dan Frekuensi Pemutaran Telur Terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Telur Puyuh. Skripsi. Fakultas Peternakan Sumatera Utara. Medan.
Jayasamudera, D. J dan B. Cahyono. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mc Daniel, G. R., D. A. Roland and. MA. Coleman. 1979. The Effeck of Eggs Shell Quality on Hatchabillity and Embrionic Mortality. Poultry Science 58 : 10-13.
Mulatsih, S.Sumiati, dan Tjakradijaja. 2010. Intensifikasi Usaha Peternakan Itik Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga. Laporan Akhir Program Iptek Bagi Masyarakat. Institut Pertanan Bogor. Bogor.
Nuryati, L. Sutarto, K. dan Hardjosworo, S. P. 2000. Sukses Menetsakan Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Parkust, C. R and Mountney. 1998. Poultry Meat and Egg Production. Van Nostrand Reinhold. New York.
Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan timbale balik antara itik Alabio dan Mojosari Periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol. 5, No. 4 : 210-213.
Rakman, B. 1985. Pengaruh Bobot Tetas Terhadap Mortalitas, Bobot Akhir, Laju Pertumbuhan Itik Tegal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Rarasati. 2002. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Pada Penetasan Telur Itik Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Rusandih. 2001. Susut Tetas dan Jenis Kelamin Mojosari Berdasarkan Klasifikasi Bobot dan Indeks Telur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Susila, A. B. 1997. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Telur dan Berat Telur Terhadap Fertilitas, Daya Tetas, Mortalitas, dan Berat DOD Itik Tegal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sutiyono, S. Riyadi, dan S. Kismiati. 2006. Fertilitas dan Daya Tetas Telur Dari Ayam Petelur Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Ayam KampungYang Diencerkan Dengan Bahan Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Wiharto. 1988. Petunjuk Pembuatan Mesin Tetas. Lembaga Penerbit. Universitas Brawijaya. Wineland, M. 2000. Maisture Loss In Hatching Eggs. Abor Acres. Service Bulletin No. 14, July 15.
Wulandari, A. 2002. Pengaruh Indeks dan Bobot Telur Itik Tegal Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Wulandari, W. A. 2005. Kajian Karakteristik Itik Cihateup. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Yudityo, M. P. 2003. Persentase Heterosis Fertilitas, Daya Tetas, Kematian Embrio Serta Bobot Telur Hasil Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio Dan Mojosari. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yuwanta. T. 1993. Perencanaan dan Tata Laksana Pembibitan Unggas. Inseminasi Buatan pada Unggas. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.