554-609-1-pb-1

7

Click here to load reader

Upload: anita-sari-nurdi-atmaji

Post on 11-Aug-2015

23 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 554-609-1-PB-1

Artikel Penelitian

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Perubahan Kualitas Hidup danKapasitas Fungsional Penderita Penyakit

Paru Obstruktif Kronis setelahRehabilitasi Paru

Abstrak: Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami penurunan kapasitas

dan kualitas hidup, peningkatan biaya hidup serta ketidakmampuan fisik. Salah satu program

yang dapat membuat pasien PPOK menjadi lebih baik adalah rehabilitasi paru. Tujuan penelitian

ini untuk menilai manfaat rehabilitasi paru pada pasien PPOK. Penelitian bersifat prospektif

membandingkan kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapat program

rehabilitasi paru selama 8 minggu, fisioterapi dada dan latihan dengan sepeda statis 3 kali

seminggu selama 8 minggu. Pengukuran kualitas hidup dengan St George’s Respiratory Ques-

tionnaire (SGRQ) sedangkan kapasitas fungsional diukur dengan uji jalan 6 menit. Kelompok

perlakuan sebanyak 21 dan kelompok kontrol 22 pasien. Nilai SGRQ total pada kelompok

perlakuan menurun secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol yaitu - 21,8 (9,1)%

berbanding 0,9 (2,7)% (p< 0.005). Uji jalan 6 menit pada kelompok perlakuan meningkat 55

(26,6) m dengan median 47 m dibandingkan pada kelompok kontrol hanya 3,4 (15,2) m dengan

median 9 m secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Disimpulkan program rehabilitasi

paru 3 kali seminggu selama 8 minggu meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional

pasien PPOK

Kata kunci: PPOK, kualitas hidup, kapasitas fungsional, Uji jalan 6 menit, SGRQ

446

*Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan, Jakarta,

**Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi,Surakarta,

***Bagian Rehabilitasi Medik FK UNS /RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

Ikalius,* Faisal Yunus,* Suradi,** Noer Rachma***

Page 2: 554-609-1-PB-1

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

The Changes of Quality of Life and Functional Capacity of COPD

Patients after Pulmonary Rehabilitation Program

Abstract: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients tend to decrease the capacity,

quality of working and increased of life expenses. Pulmonary rehabilitation is a program to make

COPD patients in better condition. The aim of this study is to assess the benefit of pulmonary

rehabilitation to the COPD patients. This is a prospective study, comparing treatment group and

control who underwent 8 weeks administration of pulmonary rehabilitation programs. The pa-

tients in the treatment groups received chest physiotherapy and ergo-cycle exercise 3 times a week

within 8 weeks. The quality of life was assessed by St George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ),

functional capacity was assessed by six minutes walking test (SMWT). Total SGRQ patient in the

treatment group (n=21) compare with control group (n=22) had statistically significant de-

creased {-21,8 (9,1)%; 0,9 (2,7)% respectively, p<0,005}.There are statistically significant im-

proving of six minute walking test (SMWT) in treatment group compare to control group {55

(26,6) m; 3,4 (15,2) m respectively, p<0,005}. The pulmonary rehabilitation programs 3 times a

week within 8 weeks improve the quality of life and functional capacity of COPD patients.

Key words: COPD, quality of life, functional capacity, SGRQ score, SMWT

Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru

Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menjadi salah

satu penyebab gangguan pernapasan yang sering dijumpai

baik di negara maju maupun di negara berkembang. Saat ini

PPOK menduduki peringkat keempat penyebab kematian di

dunia. Tahun 2020 PPOK diperkirakan akan menduduki urutan

ketiga penyebab kematian. Jumlah penderita PPOK di Amerika

Serikat (AS) misalnya, meningkat tajam pada dekade terakhir

dan diperkirakan 14 juta penduduk di AS menderita PPOK.1

Angka pasti jumlah penderita PPOK di Indonesia masih

belum pasti. Data RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2000-

2003 didapatkan 15% dari total kunjungan pasien rawat jalan

(2368 pasien) didiagnosis PPOK. Peningkatannya dari tahun

ke tahun sekitar 10%. 2

Pada penderita PPOK akan terjadi penurunan kapasitas

dan kualitas kerja, peningkatan biaya hidup serta ketidak-

mampuan fisik (disability). Salah satu program yang dapat

membuat pasien lebih baik adalah rehabilitasi paru. Pada

penderita PPOK yang telah menjalani rehabilitasi paru gejala

sesak napasnya akan berkurang dan pernapasannya menjadi

terkontrol. Selain itu kemampuan pernapasan penderita lebih

optimal karena fisioterapi dada dapat memobilisasi sputum

sehingga pernapasan lebih efektif. Kinerja kardiorespirasi

meningkat sehingga penderita lebih percaya diri dan dapat

menerima derajat kesesakan.

Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko dalam

riwayat perjalanan PPOK. Faktor risiko lainnya yaitu polusi

udara, hiperreaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas

bawah berulang dan defisiensi antitripsin alfa-1.3 Sekitar 90%

pasien PPOK adalah perokok tetapi hanya 15-20% perokok

yang menderita PPOK. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya

faktor genetik dan lainnya yang terlibat dalam patogenesis

PPOK.4,5

Menurut sistem international classification of impair-

ment disability and handicap (ICIDH)-WHO, penyakit paru

diklasifikasikan menjadi tiga tingkat yaitu impairment, dis-

ability dan handicap.6 Impairment merupakan keadaan

patologis dan dapat ditentukan dengan pengukuran labo-

ratorium. Pada penyakit saluran napas impairment menun-

jukkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1) dan udara yang terperangkap pada uji faal paru atau

penurunan kekuatan otot quadriceps pada uji fungsi otot.6

Disability, pasien mengalami sesak napas, kapasitas fisik

menurun sehingga terjadi penurunan kemampuan berjalan,

naik tangga dan melakukan aktivitas harian.7 Handicap,

pasien mengalami gangguan tidur, berkurang rasa percaya

447

*Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/

Persahabatan hospital, Jakarta

**Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, FK UNS/RSUD Dr. Moewardi,Surakarta

***Divison of Medical Rehabilitation, FK UNS/RSUD Dr. Moewardi,Surakarta

Ikalius,* Faisal Yunus,* Suradi,** Noer Rachma***

Page 3: 554-609-1-PB-1

Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

diri dan terjadi gangguan aktivitas sosial.7 Handicap adalah

suatu keadaan akibat impairment dan disability sehingga

pasien tidak mampu berperan dalam masyarakat seperti yang

diharapkan.6

Penderita akan jatuh ke dalam keadaan yang kurang

menguntungkan karena berkurangnya aktivitas yang dapat

mempengaruhi sistem muskuloskeletal, respirasi, kardio-

vaskuler dan lainnya. Penderita PPOK akan mengalami

penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan

sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita

PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau

perifer.10 Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot

perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan

malnutrisi kronik.11 Hipoksia menghambat sintesis protein di

mitokondria karena aktivitas enzimnya menurun. Hipoksia

juga dapat menyebabkan stres oksidatif, yang menyebabkan

proteolisis otot skletal.11,12 Hiperkapnia pada penderita PPOK

memicu asidosis intraseluler, yang berakibat terjadinya

proteolisis. Keadaan asidosis intraseluler ada hubungannya

dengan penurunan kadar potasium dan magnesium otot ske-

letal.11

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat

rehabilitasi paru pada pasien PPOK.

Metode

Penelitian dilakukan pada seluruh penderita PPOK stabil

yang berobat jalan di poliklinik paru RSUD Dr Moewardi

Surakarta dari 1 April sampai dengan 1 Juni 2006. Penelitian

ini bersifat prospektif. Penderita PPOK yang dimasukkan

dalam penelitian ini adalah penderita dengan nilai volume

ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dibagi dengan nilai

prediksi kurang dari 70% (berdasarkan GOLD 2003), Penderita

PPOK dengan derajat sangat berat, anggota olahraga atau

senam asma, riwayat asma, kelainan jantung, stroke dan dia-

betes melitus tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.

Penilaian kualitas hidup dengan metode wawancara

memakai kuesioner SGRQ terdiri atas 76 pertanyaan yang

kemudian disesuaikan dengan daerah tertentu menjadi 51

butir pertanyaan terbagi dalam tiga komponen yaitu:15,16

1. Gejala penyakit, berhubungan dengan gejala sesak

napas, frekuensi dan beratnya gejala tersebut.

2. Aktivitas, berhubungan dengan aktivitas yang menye-

babkan sesak atau dihambat oleh sesak.

3. Dampak, meliputi rangkaian aspek yang berhubungan

dengan fungsi sosial dan gangguan psikologis akibat

penyakitnya

Nilai setiap pertanyaan dijumlahkan menjadi 3 kelompok

(gejala, aktivitas dan dampak). Nilai berkisar 1-100 dan nilai

yang semakin rendah menunjukkan kualitas hidup meningkat.

Penderita PPOK yang mendapat rehabilitasi paru selama 8

minggu dinilai ulang untuk kedua kali dengan kuesioner

SGRQ. Penilaian kapasitas fungsional dilakukan dengan cara

uji jalan 6 menit kemudian dicatat hasilnya dalam meter.

Rehabilitasi paru yang diberikan adalah fisioterapi dada

dan latihan ergometer sepeda.7,9 Cara Fisioterapi dada yaitu

pemberian sinar infra merah di daerah dada selama 7,5 menit

serta punggung selama 7,5 menit (15 menit). Pernapasan

diafragma dilanjutkan dengan pernapasan pursed lip, latihan

elevasi otot-otot bahu, sendi leher, dan sendi lengan atas.

Vibrasi dilakukan saat ekspirasi 5x napas dalam dan latihan

batuk. Latihan dilanjutkan dengan ergometer sepeda. Pada

latihan ergometer tersebut ditentukan target kisaran denyut

jantung dengan rumus Carvonen yaitu target kisaran denyut

jantung submaksimal = 50-85% (denyut jantung maksimal –

denyut jantung istirahat) ditambah denyut jantung istirahat.

Denyut jantung maksimal ditentukan dengan rumus 210- (0,65

x umur dalam tahun). Latihan dilakukan 3 kali seminggu selama

10 menit dalam minggu pertama dan kedua kemudian

dinaikkan 5 menit setiap minggu, minggu keenam sampai

minggu kedelapan 30 menit. Latihan akan dihentikan bila

denyut nadi melebihi target kisaran denyut jantung, kesulitan

berbicara atau frekuensi napas >30 kali /menit, skala Borg 7-

8 dan saturasi O2<90%.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan komputer

(SPSS versi 12). Uji beda dilakukan terhadap kelompok

perlakuan dan kontrol. Data variabel sebaran normal

menggunakan statistik parametrik (uji t tidak berpasangan).

Data variabel dengan sebaran tidak normal dipakai uji Mann-

Whitney. Uji kemaknaan bila p<0,05 adalah bermakna dan

p>0,05 tidak bermakna.

Hasil Penelitian

Subyek penelitian sebanyak 47 orang penderita PPOK

stabil rawat jalan di poliklinik paru RSUD Dr Moewardi

Surakarta. Kelompok perlakuan berjumlah 24 orang dan

kontrol 23 orang. Sebanyak 3 orang dari kelompok perlakuan

dikeluarkan dari penelitian karena 1 orang mengalami nyeri

dada saat latihan, 1 orang menolak meneruskan latihan dan 1

orang terjadi eksaserbasi akut. Kelompok kontrol yang

dikeluarkan dari penelitian 1 orang karena tidak mampu

meneruskan uji jalan 6 menit. Semua subyek penelitian yang

Tabel 1. Karakteristik Subjek PPOK di RSUD Dr. Moewardi,

Surakarta

Karakteristik Perlakuan (%) Kontrol (%) p

Jenis kelamin

- Laki-laki 15 (71,4%) 18 (81,8%)

- Perempuan 6 (28,6%) 4 (18,2%)

Usia (tahun)

- Rerata (SD) 61,9 (8,7) 59,9 (8,3)

- Rentang 46-75 47-74 0,813

Derajat PPOK 0,463

- Ringan 5 (23,8%) 5 (22,7%)

- Sedang 12 (57,1%) 13 (59,1%)

- Berat 4 (19,1%) 4 (18,2%)

Indeks masa tubuh (SD) 20,7 (4) 20 (1,86)

VEP1, ml (SD) 1233,8 (291,3) 1246 (34,9) 0,898

SD = Standar Deviasi

448

Page 4: 554-609-1-PB-1

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru

dapat mengikuti penelitian sampai selesai berjumlah 43

orang yaitu kelompok perlakuan 21 orang dan kelompok

kontrol 22 orang. (Tabel 1) .

Nilai Uji Jalan 6 Menit sebelum Rehabilitasi.

Pelaksanaan uji jalan 6 menit yang dilakukan pada tahap

awal penelitian pada kelompok perlakuan diperoleh jarak

rerata (SD) adalah 342,8 ( 65,7) dan kelompok kontrol rerata

312,7 (62,5). Dari uji t tidak berpasangan tidak didapatkan

perbedaan bermakna (p=0,108) di antara kedua variabel,

seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Jarak Jalan 6 Menit Sebelum Rehabilitasi

Uji jalan 6 menit Perlakuan (meter) Kontrol (meter)

Rerata 342,8 312,7

Median 340 294,5

Rentang 250-464 223-421

Simpang baku (SB) 65,7 62,5

Jumlah 21 22

Uji t tidak berpasangan p=0,108

Uji Beda Jarak Uji Jalan 6 Menit

Penilaian terhadap perbedaa didapatkan dari jarak yang

ditempuh setelah rehabilitasi paru dikurangi dengan nilai

sebelum rehabilitasi paru. Pada Tabel 3, dapat dilihat per-

bedaan jarak jalan 6 menit pada kelompok perlakuan adalah

55 (26,6) meter sedangkan kelompok kontrol 3,4 (15,2) meter.

Tabel 3. Perbedaan Jarak Uji Jalan 6 Menit

Uji jalan 6 menit Perlakuan Kontrol

Perbedaan jarak Perbedaan jarak

(m) (m)

Rerata 55 3,4

Median 47 9

Rentang 31-140 -5-18

Standar Deviasi (SD) 26,64 15,2

Jumlah 21 22

Uji mann-whitney p=0,000

Hasil uji normalitas shapiro-wilk p<0,005 maka data

termasuk sebaran tidak normal sehingga uji statistik adalah

uji nonparametrik (uji mann-whitney). Hasil uji jarak jalan 6

menit antara kelompok perlakuan dan kontrol berbeda

bermakna (p=0,000)

Nilai VO2 Maks sebelum Rehabilitasi

Pada Tabel 4 dapat dilihat nilai rata-rata VO2 maks

sebelum rehabilitasi kelompok perlakuan adalah 14,1 (1,3)

dan kontrol 13,5 (1,2). Secara uji homogenitas menunjukkan

tidak berbeda bermakna (p=0,143) sehingga kelompok

perlakuan dan kontrol adalah homogen.

Tabel 4. Nilai VO2

maks Sebelum Rehabilitasi

Nilai VO2

maks Perlakuan Kontrol

Rerata 14,1 13,5

Median 14 13,2

Rentang 12,3-16,5 11,8-15,7

Standar Deviasi (SD) 1,3 1,2

Jumlah 21 22

Uji t tidak berpasangan p=0,143

Perbedaan VO2 maks

Nilai ini merupakan selisih antara VO2 maks pasien

sebelum dan sesudah rehabilitasi. Pada Tabel 5 nilai rerata

VO2 maks kelompok perlakuan adalah 1,08 dan kelompok

kontrol 0,04. Hasil uji normalitas antara kelompok perlakuan

dan kontrol p=0,000 maka sebaran data tidak normal. Terdapat

perbedaan bermakna perubahan VO2 maks pada subjek yang

mendapat perlakuan dan kontrol (p=0,000).

Tabel 5. Perbedaan VO2 maks

Perbedaan nilai VO2 maks Perlakuan Kontrol

Rerata 1,08 0,04

Median 0,9 0,1

Rentang 0,6-2,7 1- 0,30

Standar Deviasi (SD) 0,51 0,28

Jumlah 21 22

Uji mann-whitney p=0,000

Nilai SGRQ Sebelum Rehabilitasi

Pada Tabel 6. dapat dilihat nilai SGRQ gejala, aktivitas,

dampak dan total. Semakin tinggi nilai SGRQ, penilaian kualitas

hidup penderita PPOK semakin baik. Pada kelompok

perlakuan nilai SGRQ terendah adalah 24,1 sedangkan

tertinggi 85,5. Rerata nilai SGRQ gejala kelompok perlakuan

55,1 dan kontrol 53,8 secara uji homogenitas menunjukkan

perbedaan tidak bermakna (p=0,798) berarti kedua kelompok

homogen. Pada kelompok control, nilai SGRQ terendah yaitu

13,2 sedangkan nilai tertinggi 80,5. Rerata nilai SGRQ aktivitas

kelompok perlakuan 48,4 dan kontrol 48,8 secara uji

homogenitas tidak berbeda bermakna (p=0,935) sehingga

kedua kelompok homogen. Rerata nilai SGRQ dampak pada

perlakuan 41,9 dan kontrol 39,5 secara uji homogenitas

menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p=0,585) maka data

antara kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Rerata

SGRQ total pada kelompok perlakuan 45,8 dan kontrol 43,3

secara uji homogenitas tidak terdapat perbedaan bermakna

(p=0,771) berarti kedua kelompok terhadap SGRQ total

homogen.

449

Page 5: 554-609-1-PB-1

Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Perbedaan nilai SGRQ

Pada Tabel 7 dapat dilihat nilai SGRQ gejala, aktivitas,

dampak dan total. Rerata (SD) perbedaan SGRQ gejala

kelompok perlakuan –18,2 (13,5)% dan kontrol 2,1 (4,9)%

secara uji mann-whitney berbeda bermakna (p=0,000). Rerata

perbedaan SGRQ aktivitas kelompok perlakuan –9,7% kontrol

1,2% secara uji mann- whitney berbeda bermakna (p=0,000).

Rerata perbedaan SGRQ dampak kelompok perlakuan –27,8

(11,9)% kontrol 0,5 (3,3)% secara uji mann-whitney berbeda

bermakna. Rerata nilai SGRQ total kelompok perlakuan –21,8

(9,1)% dan kontrol 0,9 (2,7)% secara uji t tidak berpasangan

berbeda bermakna (p=0,000).

Hasil uji beda tersebut dapat diringkas:

1. Perbedaan rerata jarak jalan 6 menit pada kelompok

perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan

perbedaannya bermakna (p=0,000)

2. Perbedaan rerata VO2 maks pada kelompok perlakuan

lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perbedaannya

bermakna (p=0,000)

3. Perbedaan rerata SGRQ gejala, aktivitas, dampak dan

total kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan

kontrol, dan perbedaannya bermakna (p=0,000)

Diskusi

Karakteristik Subyek Penelitian

Pada kelompok perlakuan laki-laki 15 (71,4%) lebih

banyak dari perempuan 6 (28,6%); pada kelompok kontrol

laki-laki 18 (81,8%) dan perempuan 4 (18,2%). Sesuai

penelitian Yunus18 di RSUP Persahabatan yang mendapatkan

laki-laki (86,2%) lebih banyak dari pada perempuan (13,6%).

Wihastuti19 meneliti hubungan nilai faal paru dengan kualitas

hidup pada PPOK mendapatkan laki-laki 95% dan perempuan

Tabel 6. Nilai Gejala, Aktivitas, Dampak dan Total SGRQ Sebelum Rehabilitasi

SGRQ Perlakuan Kontrol

X (SD) Median Rentang X (SD) Median Rentang Nilai

Gejala 55,1 (16,6) 57,5 24,1-85,5 53,8 (16,1) 54,9 13,2-80,5 p=0,798

Aktivitas 48,4 (16,3) 47,6 17,1-80,3 48,8 (15,1) 47,7 17,1-72,8 p=0,935

Dampak 41,9 (14,7) 39,7 13,9-68,4 39,5 (13,3) 40,1 5-66,5 p=0,585

Total 45,8 (13,7) 41,7 26,6-72,6 44,6 (12,3) 43,3 17,7-70,1 p=0,771

Tabel 7. Perbedaan Nilai SGRQ Gejala, Aktivitas, Dampak dan Total setelah Rehabilitasi

SGRQ Perlakuan Kontrol

X (SD) Median Rentang X (SD) Median Rentang Nilai

Gejala -18,2 (13,5) -14 -55-0,7 2,1 (4,9) 0 -4- -13 p=0,000

Aktivitas -9,7 (12,2) -9 -37,1-29 1,2 (5,3) 0 -6,8- 9,3 p=0,000

Dampak -27,8 (11,9) -24,6 -50,4-11,9 0,5 (3,3) 0 -10,1-5,6 p=0,000

Total -21,8 (9,1) -19,3 -40,6-9,9 0,9 (2,7) 1,1 -3,9-5,7 p=0,000

5 %.19 Pada penelitian Wiyono15 didapatkan jumlah laki-laki

(92,8%) juga lebih banyak dari perempuan (7,2%). Hal

demikian terjadi karena kebiasaan merokok pada laki-laki lebih

sering ditemukan dibandingkan perempuan.

Sebaran subyek menurut rerata umur antara perlakuan

61,9 tahun dan kontrol 59,9 tahun. Riyadi15 mendapatkan rerata

umur 64,3 tahun sedangkan kontrol 67,2 tahun. Wihastuti et

al,19 mendapat rerata umur adalah 65,4 19 Rerata umur pada

penelitian ini lebih rendah dari penelitian Wiyono dan

Wihastuti. Sebaran subyek pada penelitian ini berdasarkan

derajat PPOK, kebanyakan subyek termasuk PPOK derajat

sedang sebanyak 57,1% pada kelompok perlakuan dan

kontrol 59,1%. Riyadi mendapatkan PPOK derajat sedang

pada kelompok perlakuan sebanyak 59,3% dan kelompok

kontrol 65,5%. Penelitian ini kelompok terbanyak adalah

PPOK derajat sedang. Hal tersebut mungkin karena sebagian

penderita PPOK akan mencari pertolongan medis atau mau

memeriksakan kesehatannya apabila gejala pernapasannya

dirasakan sudah lebih berat.

Indeks masa tubuh pada penelitian ini sebagian besar

dalam batas normal. Semakin rendah IMT semakin tinggi risiko

mendapat PPOK. Rerata VEP1

penelitian ini kelompok

perlakuan 1233,8 mL dan kontrol 1246 mL. Wiyono15

melaporkan peningkatan nilai faal paru pada perlakuan dan

kontrol tetapi secara uji statistik tidak terdapat perbedaan

bermakna. Wijkstra27 melakukan penelitian rehabilitasi paru

dirumah selama 12 minggu ternyata, kelompok perlakuan tidak

terjadi perubahan nilai VEP1 sedangkan kelompok kontrol

terjadi penurunan VEP1 secara bermakna 200 mL (p<0.05).

Wijkstra27 tidak dapat menerangkan kenapa terjadi penurunan

VEP1 pada kontrol. Penurunan VEP

1 pada kontrol penelitian

Wijkstra27 tersebut sesuai dengan penelitian Yunus, yaitu

faal paru penderita PPOK mengalami penurunan VEP1 sekitar

52 ml/tahun sedangkan orang normal terjadi penurunan

450

Page 6: 554-609-1-PB-1

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru

VEP 1 sekitar 30 ml/tahun.21 Wihastuti et al20 mendapatkan

hubungan faal paru dengan nilai SGRQ secara uji statistik

tidak bermakna.

Perbedaan Kapasitas Fungsional Sesudah Rehabilitasi

Setelah dilakukan rehabilitasi paru penderita PPOK

selama 8 minggu kelompok perlakuan meningkat jarak jalan

pada uji jalan 6 menit sejauh 55 meter dibandingkan kelompok

yang tidak mendapat rehabilitasi paru (kontrol 3,4 meter).

Jarak jalan 6 menit merupakan cara yang mudah untuk

menilai toleransi terhadap latihan untuk menilai status

fungsional penderita PPOK. Finnerty et al,22 mendapatkan

hasil uji jalan 6 menit pada kelompok yang mendapat

rehabilitasi selama 6 minggu, meningkat hingga mencapai

jarak jalan 59 meter.22 Bendstrup et al,23 membandingkan hasil

peningkatan jarak jalan 79,8 meter pada kelompok perlakuan

dan 21,6 meter pada kelompok kontrol (p<0,001).23 Lacase et

al,24 melakukan meta-analisis terhadap penderita PPOK yang

mendapat rehabilitasi; rerata peningkatan jarak jalan 6 menit

sekitar 55,7 meter.24 Penelitian tersebut memperoleh jarak

terpendek yang dicapai mendapatkan perbaikan klinis sebesar

50 meter (minimum clinically important difference=MCID).24

Penelitian Redelmier et al25 mendapatkan jarak terpendek yang

dicapai mendapat perbaikan klinis adalah 54 meter. Quell26

melakukan uji jalan 6 menit terhadap 30 penderita PPOK yang

mendapat latihan dan fisioterapi dada selama 6 bulan di-

bandingkan dengan PPOK tanpa rehabilitasi paru didapatkan

peningkatan jarak jalan 57 meter.26

Hasil penelitian ini jarak jalan 6 menit lebih rendah dari

pada penelitian Finerty, Benstrup dan Lacase, karena cara

rehabilitasi dan lama terapi berbeda. Penelitian ini di-

bandingkan penelitian Lacase, Radelmeir dan BTS (British

Thoracic society) memenuhi minimum clinically important

difference. Penelitian Quell mendapatkan peningkatan jarak

jalan 6 menit sejauh 57 meter tetapi, lama fisioterapi dada

selama 6 bulan. 25,26

Perbedaaan VO2 maks Setelah Rehabilitasi

Setelah dilakukan rehabilitasi paru berupa latihan fisik

terdapat peningkatan VO2 maks kelompok perlakuan sebesar

1,08 (0,51) dan kelompok yang tidak mendapat rehabilitasi

(kontrol) sebesar 0,04 (0,28). Peningkatan VO2 maks biasanya

disertai penurunan kadar asam laktat darah. Penelitian

tersebut dilakukan terhadap penderita PPOK yang mendapat

rehabilitasi paru selama 12 minggu.27 Pada penelitian ini terjadi

peningkatan VO2 maks setelah dilakukan rehabilitasi paru

selama 8 minggu.

Perbedaan Kualitas Hidup

Kualitas hidup dinilai dengan kuesioner SGRQ. Penilaian

kualitas hidup meningkat apabila nilai SGRQ menurun. Hasil

perubahan SGRQ total setelah dilakukan rehabilitasi paru

pada kelompok perlakuan adalah -21,8% dan kelompok yang

tidak mendapat rehabilitasi paru (kontrol) adalah 0,9%.

Penelitian ini memperoleh penurunan sebesar 21,8%,

sedangkan Wiyono sebesar 15,1%.

British Thoracic society (BTS) menganjurkan memakai

SGRQ karena lebih sensitif untuk menilai perubahan klinis.4

Kuesioner SGRQ dapat juga dipakai mendeteksi respons

terhadap medikamentosa atau nonmedikamentosa seperti

program rehabilitasi paru. Perubahan klinis minimal bermakna

bila penurunan nilai SGRQ sebesar 4%.22 Pada penelitian ini

(21,8%) melebihi perubahan klinis minimal bermakna (mini-

mally clinically significant change) karena lebih dari 4%.

Kuesioner SGRQ yang telah disesuaikan dapat menilai

secara obyektif efek penyakit terhadap kehidupan sehari-

hari. Penilaian kualitas hidup yang diusulkan PW Jones adalah

pengaruh penyakit terhadap kehidupan sehari-hari.16

Kuesioner SGRQ lebih berhubungan dengan kualitas hidup

dari pada nilai faal paru.19 Penderita PPOK karena penyakitnya

progresif sering mengalami gangguan psikis dan sosial.3

Gangguan tersebut berupa depresi, cemas, gelisah, marah,

terancam kematian, kelelahan dan lain-lain.6 Prevalensi

depresi penderita PPOK diperkirakan 42%.28 Gejala lain

depresi seperti rasa sedih, tidak ada motivasi, perasaan lelah

atau tidak bertenaga, keinginan bunuh diri dan kemunduran

psikomotor sering terjadi pada penderita PPOK.28 Faktor

lain yang menyebabkan depresi termasuk gangguan aktivitas

sehari-hari, tidak mampu bekerja seperti teman sebaya karena

penyakitnya progresif.28

Latihan ditambah edukasi selama 6 minggu mendapatkan

perubahan bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol

(p<0.001).22 Wijkstra et al,27 meneliti selama 12 minggu

dirumah dan mendapatkan peningkatan kualitas hidup yang

bermakna antara perlakuan dan kontrol (p<0,001).27 Lacase

et al24 menyimpulkan rehabilitasi paru akan menurunkan

sesak dan meningkatkan kemampuan aktivitas penderita

PPOK sehingga kapasitas fungsional dan kualitas hidup juga

meningkat. Rehabilitasi akan meningkatkan komsumsi

oksigen maksimum dan kapasitas kerja maksimum sehingga

meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup.27

Kesimpulan

Program rehabilitasi paru 3 kali seminggu selama 8

minggu meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fung-

sional pasien PPOK. Perlu dilakukan penelitian dengan jangka

panjang dan sampel yang lebih banyak untuk melihat efek

rehabilitasi paru jangka panjang pada penderita PPOK.

Daftar Pustaka

1. Senior RM, Shapiro Steven D. Chronic obstructive pulmonary

disease: Epidemiology pathophysiology and pathogenesis In:

Fishman AP editors Fishman¢s pulmonary disease and disorder.

New york: Mc Grawhill;1998.p.659-81.

2. Suradi. Peran kadar IL-1b, IL-12, IFN-g dan IL-10 terhadap

kadar elastase MMP-9 di paru suatu pendekatan immunologi

patogenesis emfisema paru [disertasi]. Surabaya:Universitas

Airlangga; 2004.

451

Page 7: 554-609-1-PB-1

Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

3. GOLD.Pocket Guide to COPD diagnosis, management and pre-

vention (Update July,2003). Geneva, World Health Organiza-

tion ;2003.p.1-27.

4. NHLBI/WHO workshop report. Global initiatif for chronic ob-

structive lung. Geneva: WHO;2001.p.6-95.

5. Respine JE, Bast A, Lankhorst I. The oxydative stress study

group. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary dis-

ease. Am J Respir Crit care Med 1997;156:341-57.

6. Donner CF, Carone M, Bertolotig, Zotti AM. Methods of

assesment of quality of life. Eur Respir Rev 1997;7: 42-5.

7. Yunus F. Rehabilitasi penyakit paru obstruksi kronis. J Respir

Indo 2001;21:138-40.

8. West BJ. Obstructive diseases. In: West BJ, (editor).Pulmonary

pathofisiology, the essential. 2nd ed.Philadelpia: Williams &

Wilkins;1982.p.59-61.

9. Rachma N. Rehabilitasi napas pasien PPOK.Prosiding Kongres

Nasional X PDPI. Surakarta;2005.p.323-32.

10. Bernard S, Leblanc P, Whittan F. Peripheral muscle weakness.

Am J Respir Crit Care Med 1998;158:629-34.

11. Jagoe RT, Engelen MKJ. Muscle wasting and changes in muscle

protein metabolism in chronic obstructive pulmonary disease .

Eur Respir J 2003;22:52-63 S.

12. Gosselink R, Troaster T, Decramer M. Peripheral muscle weak-

ness contributes to exercise limitation in COPD. Am J Respir

Crit Care Med 1996;153:976-80.

13. Efthimiou J, Fleming J, Gomes C, Spiro SG. The effect of supple-

mentary oral nutrition in poorly nourished patients with chronic

obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis 1998;137:1075-

82.

14. Jakobson P, Jorfeldt, Brundin A. Skeletal muscle metabolites and

fibertypes in patients with advanced chronic obstructive pulmo-

nary disease (COPD) with and without respiratory failure. Eur

Respir J 1990;3:192-6.

15. Wiyono WH, Riyadi J, Yunus F, Ratnawati A, Prasetyo S. The

benefit of pulmonary rehabilitation against quality of life alter-

ation and functional capacity of chronic obstructive pulmonary

disease (COPD) patient assessed using St George’s respiratory

questionnaire (SGRQ) and 6 minutes walking distance test

(6MWD). Med J Indones 2006;15:165-72.

16. Hyland ME. Assesment of quality of life in chronic lung disease.

In: Morgan M, Sally S, editors. Practical pulmonary rehabilita-

tion. London: Chapman and hal medical;1997.p.47-63.

17. ACSM, Guidelines for exercise testing and prescription, 5rded.

Pennsylvania :ACSM;1995.p.231-45

18. Yunus F.Gambaran PPOK yang dirawat dibagian pulmonologi

FKUI/SMF Paru RSUP Persahabatan Jakarta. J Respir Indo

2000;20:64-8

19. Wihastuti R, Wiweka IBS, Yunus F. Manuhutu EJ. Hubungan

antara nilai faal paru dengan kualitas hidup penderita penyakit

paru kronis. J Respir Indo 2001;21:147-51.

20. Casaburi R. Exercise Training Obstructive Lung Disease.In

:Casaburi R, Petty TL. Principle and practice of pulmonary re-

habilitation. Philadelphia: W.B. Saunder Company;1993.p.351-

63.

21. Yunus F. Masa depan tatalaksana penyakit obstruksi saluran napas

dengan tinjauan faal paru dan kualiti hidup penderita. Pidato

pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang pulmonologi

dan ilmu kedokteran respirasi pada Fakultas Kedokteran Univer-

sitas Indonesia. Jakarta, 24 April 2004.

22. Finnerty JP, Keeping I, Bullough I, Jones J. The effectiveness of

outpatient pulmonary rehabilitation in chronic lung disease. Chest

2001;110:1705-10.

23. Bendstrup KE, Jensen JI, Holm S, Bengtsson B. Outpatient reha-

bilitation improves activities of daily living, quality of life and

exercise tolerance in chronic obstructive pulmonary disease. Eur

Respir J 1977;10:2801-6.

24. Lacase Y, Wong E, Guyat GH, King D, Cook DJ. Goldstein RS.

Meta-analysis of respiratory rehabilitation in chronic obstruc-

tive pulmonary disease. Lancet 1996;348:1115-9.

25. Radelmeier DA, Ahmed M, Bayoumi, Roger S, Goldstein. Inter-

preting small differences in functional status: the six minute walk

test in chronic lung disease patients. Am J Respir Crit Care Med

1997;155:1278-82

26. Guell R casan P, Belda J. Long term effect of outpatients rehabili-

tation of COPD. Chest 2000;117:976-83.

27. Wijkstra PJ, Van de mark TW, Kraan J. Van altena R, Koeter GH,

Postma DS. Effects of home rehabilitation on physical perfor-

mance in patients with chronic obstructive pulmonary disease

(COPD). Chest 2000;117:976-83.

28. Kaplan R, Eakin EG, Ries AL.Psychosocial issues in the rehabili-

tation of patients with chronic obstructive pulmonary disease.

In: Cassabur R, Petty Tled. Principle and practice of pulmonary

rehabilitation. Philadelphia; WB Saunder Company; 1993.p.351-

63.

SS

452