5 kelayakan usaha perikanan tangkap - … v... · 84 . sederhana dan kapal kecil. tabel ukuran...
TRANSCRIPT
5 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP
Kelayakan usaha suatu investasi dapat ditentukan berdasarkan hasil analisis
Benefit Cost Ratio (BCR) terhadap setiap jenis usaha perikanan tangkap yang
terdapat pada desa pesisir di lima kecamatan di Kota Ambon. BCR dapat menjadi
alat analisis kelayakan usaha dengan lebih baik karena mempertimbangkan
perubahan yang dapat terjadi pada suku bunga (Kapp, 1990). Disamping suku
bunga, nilai BCR ini sangat tergantung jumlah biaya investasi yang dibutuhkan
untuk pengembangan usaha perikanan tangkap, kemudian biaya operasional untuk
menjalankan operasi, kondisi penerimaan setiap kali (trip) operasi, serta keuntungan
yang bisa didapatkan setelah dikeluarkan biaya-biaya termasuk biaya tenaga kerja
(ABK) yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam Bab 5 ini akan
dibahas secara berurutan hasil analisis biaya investasi, biaya operasional,
penerimaan, keuntungan, dan terakhir nilai BCR, sehingga ulasan kelayakan usaha
perikanan tangkap di Kota Ambon lebih detail dan komprehensif.
Perhitungan besarnya biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, maupun
keuntungan (laba operasi) usaha perikanan tangkap di Kota Ambon yang menjadi
obyek penelitian ini, menggunakan pendekatan rata-rata per jenis alat tangkap di
setiap desa dalam satu trip penangkapan, kemudian distandarkan menjadi setahun
(disetahunkan), sehingga diperoleh jumlah pendapatan dan biaya operasional serta
keuntungan atau laba operasi per tahun.
5.1 Biaya Investasi Usaha Perikanan Tangkap
Untuk mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap secara
berkelanjutan di desa-desa pesisir Kota Ambon, maka biaya investasi merupakan
komponen penting yang harus diperhatikan dengan baik. Usaha perikanan tangkap
yang dikembangkan di Kota Ambon cukup beragam baik dari jenis maupun skala
usahanya. Usaha perikanan yang dikembangkan oleh nelayan, terbagai dalam 3
kategori skala usaha, yaitu skala kecil, sedang, dan besar, serta tersebar pada desa-
desa pesisir, terutama yang secara kultural telah mengembangkan jenis usaha
perikanan tangkap tertentu. Usaha perikanan tangkap skala kecil membutuhkan
biaya investasi yang tidak begitu besar, karena biasanya dioperasikan pada fishing
ground yang tidak terlalu jauh dan hanya oleh 1-2 orang ABK. Biaya investasi untuk
usaha perikanan tangkap skala kecil ini adalah biaya untuk alat tangkap yang
84
sederhana dan kapal ukuran kecil. Tabel 22-26 menyajikan biaya investasi usaha
perikanan tangkap di setiap desa pesisir pada lima kecamatan di Kota Ambon.
Tabel 22 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Letimur Selatan
No Nama Desa
Biaya Investasi (Rp)
Bagan Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Pole & Line Purse Seine UP Tuna
1 Naku - 6.242.000 - 1.160.000 7.783.000 - - - 2 Kilang - 7.530.000 - 833.333 - - - 19.400.000 3 Hukurilla - 7.599.000 9.694.500 1.044.000 5.642.000 - - - 4 Hutumuri 101.000.000 13.425.000 13.425.000 975.000 22.400.000 88.000.000 - - 5 Rutong - 5.650.000 5.650.000 950.000 4.200.000 - - - 6 Leahari - 14.450.000 6.300.000 841.000 4.904.000 - 164.000.000 -
Pada Tabel 22, biaya investasi usaha perikanan tangkap yang termasuk kecil
pada desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan terjadi pada usaha perikanan
handline, kecuali biaya investasi untuk gillnet hanyut, gillnet dasar, pancing tonda,
dan usaha penangkapan khusus tuna. Hendriwan, et. al (2008) menyatakan bahwa
investasi rendah usaha perikanan tangkap karena skala pengusahaannya rendah dan
umumnya tidak menggunakan mesin dalam operasinya karena lokasi fishing ground
nya cukup dekat.
Hasil analisis lapang juga menunjukkan bahwa biaya investasi handline hanya
untuk pengadaan alat tangkap dan kapal, sedangkan mesin kapal tidak digunakan.
Hal yang sama juga banyak terjadi pada usaha perikanan handline di empat
kecamatan lainnya. Di Kecamatan Teluk Ambon Dalam, penggunaan mesin kapal
untuk usaha perikanan handline terjadi di Desa Hatiwe Besar, sedangkan di desa
pesisir lainnya hampir tidak ada.
Bagan, pole and line dan purse seine merupakan usaha perikanan tangkap
yang dikembangkan dalam skala yang lebih besar daripada gillnet atau handline.
Biaya investasi yang dibutuhkan untuk ketiga usaha perikanan tangkap ini sangat
besar, misalnya bagan di Kecamatan Leitimur Selatan membutuhkan biaya investasi
sekitar Rp 101.000.000, pole and line sekitar Rp 88.000.000, dan purse seine di
Kecamatan Teluk Ambon Dalam sekitar Rp 301.000.000 – Rp 353.800.000. Biaya
investasi tersebut termasuk sangat besar, sehingga usaha perikanan tangkap tersebut
hanya dimiliki oleh nelayan besar (juragan) atau industri yang berbasis perikanan
tangkap. Menurut Hesieh dan Li (2009), informasi skala pengusahaan usaha
perikanan tangkap dapat membantu menentukan jenis upaya pembinaan dan
85
pemberdayaan bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan, namun secara ekonomi hal
ini tidak menjadi jaminan untuk pengembangan bisnis perikanan yang lebih baik.
Tabel 23 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon
No Nama Desa Biaya Investasi (Rp)
Gillnet Hanyut Handline Ketinting Pancing
Tonda Purse Seine
1 Laha 1.964.500 5.338.500 31.486.250 301.000.000 2 Tawiri - 1.293.250 - - - 3 Hatiwe Besar - 4.140.900 - - 353.800.000 4 Wayame - - - 16.492.750 - 5 Rumah Tiga - 2.307.000 - - - 6 Waeheru - 1.490.800 - - - 7 Poka 8.805.300 - - - - 8 Hunut - 1.475.000 - - -
BPS Kota Ambon (2010) menunjukkan bahwa skala usaha perikanan tangkap
yang dikembangkan tidak menunjukkan perbedaan siginifikan antara usaha
perikanan skala besar dengan usaha perikanan skala kecil bagi kontribusi sektor
perikanan di setiap kecamatan. Hal ini karena usaha perikanan skala kecil dapat
dioperasikan leluasa oleh nelayan pemilik termasuk pada kondisi hasil tangkapan
rendah dan perbekalan minim, sedangkan usaha perikanan skala besar hanya dapat
dioperasikan bila semua kebutuhan perbekalan terpenuhi, dan kondisi ini tentu
sedikit menyulitkan bila hasil tangkapan kurang maksimal (nilai BCR bisa turun).
Tabel 24 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala
No Nama Desa Biaya Investasi (Rp)
Bagan Gillnet Hanyut Handline Payang Pole and
Line Redi
1 Nania - - - 13.776.700 - - 2 Negeri Lama - 9.600.000 2.780.000 - - 6.250.000 3 Passo - 9.784.000 - - - - 4 Lateri 110.666.000 8.590,000 1.367.900 - 79.500.150 90.999.000 5 Halong - 9.600.000 2.780.000 - 80.500.000 4.500.000 6 Latta - 7.596.700 5.250.000 - - -
Redi yang dikembangkan di Kecamatan Baguala ada yang berskala besar dan
ada yang sedang (Tabel 24). Di Desa Lateri, usaha perikanan redi dikembangkan
dalam skala besar dengan biaya investasi sekitar Rp 90.999.0000. Biaya investasi
tersebit, sekitar 75% digunakan untuk pengadaan jaring redi ukuran besar (panjang
sekitar 1,5 km). Dibanding dengan desa pesisir lainnya, seperti Negeri Lama dan
Halong, ukuran jaring redi nya termasuk kecil dan diperasikan pada perairan pantai
86
terdekat. Menurut Monintja (2001), ukuran alat tangkap yang dioperasikan sangat
tergantung pada kemampuan permodalan dan kebiasaan nelayan dalam
mengoperasikan suatu jenis alat tangkap. Nelayan dengan modal besar dan
melakukan kegiatan penangkapan ikan secara modern biasanya akan memilih alat
tangkap yang dianggap lebih efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih
banyak. Namun hal ini juga sangat tergantung dari kualitas SDM yang digunakan
serta peralatan pendukung lainnya dalam melaut.
Tabel 25 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Sirimau
No Nama Desa Biaya Investasi (Rp)
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pole and
Line Purse Seine
1 Batu Merah 6.083.000 1.500.000 1.350.000 - 10.362.500 2 Pandan Kasturi 5.150.000 - - - - 3 Hatiwe Kecil - - - 209.200.000 - 4 Galala 8.600.000 - - 79.450.000 -
Seperti halnya di tiga kecamatan sebelumnya, gillnet hanyut maupun gillnet
dasar juga diusahakan dalam skala menengah (sedang) di Kecamatan Sirimau dan
Kecamatan Nusaniwe. Hal ini ditunjukkan oleh biaya investasi bagi kedua usaha
perikanan tangkap ini yang tidak terlalu tinggi pada Tabel 25 dan Tabel 26. Di
Kecamatan Sirimau, biaya investasi gillnet hanyut berkisar antara Rp 5.150.000 –
Rp 8.600.000, dan biaya investasi gillnet dasar sekitar Rp 1.500.000. Sedangkan di
Kecamatan Nusaniwe, biaya investasi gillnet hanyut berkisar antara Rp 3.000.000 –
Rp 5.000.0000 dan biaya investasi gillnet dasar berkisar antara Rp 1.850.000 – Rp
3.500.000.
Tabel 26 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe
No Nama Desa Biaya Investasi (Rp)
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Purse Seine
1 Latuhalat - - 2.379.000 28.247.000 52.466.000 2 Seilale 3.000.000 3.350.000 1.350.000 - - 3 Amahusu - - - 5.050.500 - 4 Nusaniwe 4.950.000 - - 16.425.000 - 5 Benteng 3.680.000 1.850.000 1.350.000 - - 6 Urimesing - - - 8.100.000 93.000.000 7 Waihaong 5.000.000 3.500.000 - 26.283.000 98.000.000 8 Silale 3.000.000 - 1.350.000 - 66.850.000
87
Meskipun termasuk sedang, biaya investasi kedua gillnet sedikit variatif
diantara desa pesisir yang disebabkan oleh perbedaan jenis bahan untuk kapal,
ukuran detail alat tangkap, dan teknik pengadaannya. Berdasarkan hasil analisis
lapang, kapal ada yang dibuat di Ambon, Pulau Buruh, dan luar Maluku. Kapal-
kapal yang dioperasikan di Indonesia Timur umumnya mempunyai struktur fisik
yang padat dan terbuat dari kayu pilihan. Buton dan Selayar merupakan daerah yang
memproduksi kapal perikanan dengan berbagai jenis dan ukuran, dan beberapa
diantaranya ada yang digunakan oleh nelayan di Ambon dan sekitarnya. Kapal dari
kedua daerah di Sulawesi ini banyak diminati karena umumnya dibuat dari kayu
pilihan (kayu batu dan damar laut), sehingga lebih layak untuk operasi usaha
perikanan tangkap.
5.2. Biaya Operasional Usaha Perikanan Tangkap
Biaya operasional merupakan komponen penting lainnya dalam menilai
kelayakan suatu usaha perikanan tangkap. Pada kondisi tertentu seperti pada kondisi
hasil tangkapan kurang baik, biaya operasional dapat menjadi komponen paling
penting dalam usaha perikanan tangkap. Biaya operasional usaha perikanan tangkap
masyarakat pesisir di Kota Ambon, yang menjadi obyek penelitian ini, meliputi;
minyak tanah/bensin/solar, pelumas/olie, es balok, dan ransum/bekal. Biaya
operasional ini menjadi komponen utama untuk mempertahankan kontinyuitas usaha
perikanan tangkap. Bila ada kesesuaian dengan hasil yang didapat, maka operasi
penangkapan ikan dapat terus dilakukan, sedangkan bila sebaliknya, operasi
penangkapan bisa dihentikan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pertimbangan
terhadap biaya operasional dalam menilai kelayakan operasi suatu usaha perikanan
tangkap. Tabel 27 menyajikan biaya operasional usaha perikanan tangkap pada desa
pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan.
Tabel 27 Biaya operasional usaha per tahun perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan
No Nama Desa
Biaya Operasional (Rp/tahun)
Bagan Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Pole and
Line Purse Seine UP Tuna
1 Naku - 10.026.000 - 9.180.000 62.508.000 - - 2 Kilang - 87.360.000 - 2.400.000 - - - 150.000.000 3 Hukurila - 15.321.600 1.296.000 4.195.200 20.563.200 - - 4 Hutumury 56.040.000 20.175.000 20.175.000 5.335.200 33.350.400 486.600.000 - 5 Rutong - 2.016.000 2.808.000 1.920.000 24.825.600 - - 6 Leahari - 7.020.000 5.184.000 1.512.000 9.136.800 - 204.960.000
88
Berdasarkan Tabel 27, usaha pole and line, purse seine, dan usaha
penangkapan tuna membutuhkan biaya operasional yang besar untuk penangkapan
ikan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh skala usaha ketiga usaha perikanan
tangkap ini besar (seperti dijelaskan pada Bagian 5.1), dimana tenaga kerja/ABK
yang terlibat, dan BBM serta perbekalan yang harus disiapkan juga banyak. Menurut
Musich, et.al (2008), sumberdaya ikan yang berlimpah dan hasil tangkapan yang
banyak selalu dikejar oleh nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap lainnya
untuk menutupi biaya operasional yang digunakan. Namun upaya untuk
mendapatkan hasil tangkapan yang banyak ini hendaknya memperhatikan
kelestarian stok ikan, sehingga pemanfaatan dapat berkelanjutan. Hal ini perlu
menjadi perhatian bagi pelaku usaha perikanan tangkap, dan pengembangan usaha
perikanan tangkap dengan biaya operasional lebih murah perlu menjadi arahan
pengembangan berikutnya. Secara sepintas, bagan dapat menjadi pilihan karena
dapat dioperasikan secara pasif (tidak mobile), sehingga lebih dapat menghemat
biaya operasional terutama bahan bakar. Meskipun diusahakan dalam skala besar,
biaya operasional penangkapan ikan per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan
rendah.
Tabel 28 Biaya operasional usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Teluk Ambon
No Nama Desa Biaya Operasional (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut Handline Ketinting Pancing
Tonda Purse Seine
1 Laha - 1.680.000 27.806.400 117.642.000 220.584.000 2 Tawiri - 4.110.000 - - - 3 Hatiwe Besar - 33.432.000 - - 286.681.200 4 Wayame - - - 14.400.000 - 5 Rumah Tiga - 5.130.000 - - - 6 Waeheru - 4.560.000 - - - 7 Poka 16.634.400 - - - - 8 Hunut - 21.900.000 - - -
Biaya operasional per tahun yang cukup besar juga terjadi pada usaha
perikanan pancing tonda di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon Dalam (Tabel 28).
Dari jumlah yang dikeluarkan untuk pancing tonda tersebut, sekitar 64,5%
digunakan untuk BBM dan oli. Hal ini menunjukkan bahwa BBM menjadi faktor
penting dalam operasi usaha perikanan pancing tonda di Desa Laha Kecamatan
Teluk Ambon Dalam. Karena itu, pengusahaan pancing tonda ini perlu dilakukan
89
dengan kemandirian modal agar tetap bertahan. Secara sepintas kebutuhan biaya
operasional yang besar itu telah menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap
komponen produksi, dan hal ini menjadi pertimbangan penting bagi penilaian
kelayakan pengusahaan pancing skala besar. Tingkat keseimbangan biaya
operasional ini dengan penerimaan yang dijelaskan pada Bagian 5.3 akan
menentukan nilai pasti dari kelayakan usaha pancing tonda tersebut.
Tabel 29 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala
No Nama Desa Biaya Operasional (Rp/tahun)
Bagan Gillnet Hanyut Handline Payang Pole and
Line Redi
1 Nania - - - 196.705.200 - - 2 Negeri Lama - 18.000.000 - - - 39.168.000 3 Passo - 30.211.200 - - - - 4 Lateri 40.698.000 7.728.000 3.240.000 - 598.080.000 298.350.000 5 Halong - 18.000.000 - - 152.160.000 40.800.000 6 Latta - 3.924.000 66.744.000 - - -
Selanjutnya, bila mengacu kepada Tabel 29, maka handline di Desa Latta
membutuhkan biaya operasional yang tinggi untuk ukuran usaha perikanan tangkap
yang biasa diusahakan skala kecil. Sebaliknya, biaya operasional gillnet hanyut yang
ada, termasuk wajar untuk usaha perikanan tangkap yang biasa diusahakan dengan
skala sedang. Hal cukup wajar juga terjadi pada payang, pole and line, redi yang
biasa diusahakan dengan skala besar. Biaya operasional yang tinggi pada handline di
Desa Latta terjadi karena intensitas operasi penangkapannya lebih sering dan tidak
tergantung pada musim ikan. Hasil survai lapang menunjukkan bahwa kelompok
nelayan yang mengoperasikan 16 unit handline di desa pesisir tersebut sangat
terampil dalam menentukan lokasi penangkapan dan memilih mata pancing yang
digunakan. Nelayan juga menggunakan umpan buatan yang kemudian dimodifikasi
berdasarkan pengalamannya. Pomeroy (1998) menyatakan bahwa ketrampilan lokal
yang diasah terus-menerus dapat menjadi kekuatan penting bagi kemajuan pesisir di
suatu kawasan. Masyarakat nelayan timur Thailand telah menunjukkan hal ini,
dimana mereka tidak menganggap keganasan Laut Cina Selatan sebagai hambatan
untuk melaut, tetapi menjadi pemacu untuk memodifikasi alat tangkap jaring yang
biasa digunakan untuk menangkap ikan yang berimigrasi jauh mengikuti kondisi
iklim perairan.
90
Tabel 30 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau
No Nama Desa Biaya Operasional (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pole and
Line Purse Seine
1 Batu Merah 2.550.000 1.200.000 3.600.000 - 26.700.000 2 Pandan Kasturi 3.480.000 - - - - 3 Hatiwe Kecil - - - 512.740.000 - 4 Galala 6.732.000 - - 1.313.988.000 -
Bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya, usaha perikanan pole and line
yang dikembangkan di Kecamatan Sirimau (Desa Hatiwe kecil dan Galala) termasuk
lebih besar dan modern. Pole and line tersebut dikelola oleh perusahaan swasta dan
nelayan besar, dimana teknologi penangkapan ikan seperti GPS dan fish finder
menjadi pendukung penting dalam kegiatan melaut yang dilakukan. Intensitas
penangkapan cukup tinggi untuk ukuran usaha perikanan pole and line, yaitu
mencapai rata-rata 8-9 trip per bulan. Kondisi inilah yang menjadi penyebab
tingginya biaya operasional pole and line di kecamatan ini, terutama di Desa Hatiwe
Kecil dan Desa Galala dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hamdan, et.al
(2006) menyatakan bahwa kelengkapan peralatan pendukung sangat mempengaruhi
intensitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan. Namun hal ini, belum tentu
memberikan keuntungan yang lebih baik, karena peralatan yang lebih lengkap
cenderung menambah biaya operasional melaut. Untuk kepentingan ini, maka
pengecekan silang terhadap penerimaan juga perlu, untuk menentukan pola
penangkapan yang lebih baik termasuk dalam pengembangan strategi pengelolaan
perikanan tangkap. Bila penerimaan tidak memperlihatkan peningkatan signfikan
seperti halnya biaya operasioanal, maka kelayakan pengembangan usaha perikanan
tangkap (dinyatakan dengan BCR) ini perlu dipertimbangkan.
Di Kecamatan Nusaniwe, usaha perikanan pancing tonda ada juga yang
dikembangkan cukup besar seeprti halnya di Kecamatan Teluk Ambon, sehingga
membutuhkan biaya operasional besar. Berdasarkan Tabel 31, usaha pancing tonda
di Desa Latuhalat membutuhkan biaya operasional per tahun lebih kecil
dibandingkan dengan di Kelurahan Urimessing. Biaya operasional untuk gillnet,
handline, dan purse seine termasuk cukup wajar untuk setiap jenis usaha perikanan
tangkap tersebut. Menurut Hanley and Spash (1993), kewajaran biaya operasional/
produksi perlu pengecekan silang dengan penerimaan, sehingga dapat diketahui
91
peluang pengembangan kegiatan produksi tersebut. Biaya produksi tidak akan
menjamin keberlanjutan kegiatan produksi selama hasil produksi yang dihasilkan
tidak membaik sesuai standar yang ditetapkan. Karena itu, kelayakan usaha
perikanan tangkap ini, juga tetap perlu melihat kondisi penerimaan yang bisa
diperoleh nelayan dan pelaku perikanan dari usaha perikanan tangkap yang
dikembangkannya.
Tabel 31 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe
No Nama Desa Biaya Operasional (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Purse Seine
1 Latuhalat - - 11.340.000 119.952.000 192.000.000 2 Seilale 3.702.816 2.880.000 2.466.000 - - 3 Amahusu - - 22.464.000 - 4 Nusaniwe 10.800.000 - - 23.220.000 - 5 Benteng 5.760.000 23.904.000 3.600.000 - - 6 Urimesing - - - 174.420.000 180.144.000 7 Waihaong 2.622.828 4.050.000 - 32.130.000 168.300.000 8 Silale 5.760.000 - 3.600.000 - 131.400.000
5.3 Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap
Hanley and Spash (1993) menyatakan bahwa tingkat penerimaan (benefit)
perlu diperhatikan pada semua kegiatan operasi terutama yang melibatkan
masyarakat kecil. Tingkat penerimaan (benefit) merupakan indikasi awal untuk
menggapai keuntungan operasi dan kesejahteraan masyarakat pelakunya. Dalam
penelitian ini, analisis BCR yang dilakukan akan mengukur perimbangan
penerimaan ini dengan biaya yang dikeluarkan untuk suatu operasi perikanan selama
periode tertentu dengan nilai uang/suku bunga bisa berubah-ubah. Hasil analisis
tingkat penerimaan usaha perikanan tangkap yang dilakukan di setiap desa pesisir di
lima kecamatan di Kota Ambon akan disajikan pada Tabel 32 - 36.
92
Tabel 32 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan
No Nama Desa
Penerimaan (Rp/tahun)
Bagan Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Pole and
Line Purse Seine UP Tuna
1 Naku - 63.000.000 - 48.600.000 150.000.000 - - - 2 Kilang - 156.000.000 - 24.000.000 - - - 135.000.000 3 Hukurila - 67.200.000 39.600.000 39.900.000 61.200.000 - - - 4 Hutumuri 360.000.000 75.000.000 75.000.000 34.884.000 547.200.000 1.995.000.000 - 5 Rutong - 36.000.000 37.440.000 19.200.000 67.200.000 - - - 6 Leahari - 162.000.000 54.000.000 37.800.000 75.600.000 - 504.000.000 -
Berdasarkan Tabel 32, usaha perikanan pole and line merupakan usaha
perikanan tangkap dengan penerimaan paling tinggi per tahun di Kecamatan
Leitimur Selatan. Penerimaan usaha perikanan bagan dan purse seine juga cukup
baik sebagai usaha perikanan yang biasa dikelola dalam skala besar. Penerimaan
usaha penangkapan tuna termasuk kecil dan bahkan lebih kecil dari biaya
operasional yang dikeluarkan per tahun. Kondisi ini tentu kurang baik, karena
pelaku usaha perikanan tersebut cenderung merugi setiap tahunnya. Menurut Hou
(1997), usaha ekonomi yang belum menguntungkan perlu melakukan perbaikan
terstruktur pada kegiatan produksi dan pemasarannya. Perbaikan produksi dapat
dilakukan melalui pengendalian biaya produksi, pengaturan pola produksi (trip, hari
operasi melaut,dan jumlah ABK yang berangkat melaut), dan pengawasan kegiatan
produksi. Dan perbaikan pemasaran untuk usaha perikanan tangkap dapat dilakukan
minimal melaut penanganan dan penyediaan produk perikanan kualitas baik yang
disukai pasar.
Penerimaan gillnet dan handline di Kecamatan Leitimur Selatan (Tabel 32)
dan juga di Kecamatan Teluk Ambon (Tabel 33) rata-rata cukup baik dan tidak ada
yang lebih rendah dari biaya operasional yang dikeluarkan, namun demikian tetap
perlu ditingkatkan. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa semangat pengelolaan
usaha perikanan harus diubah menjadi suatu kegiatan industri yang berdaya saing,
melakukan perbaikan kinerja dan inovasi produk yang terus-menerus.
93
Tabel 33 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Teluk Ambon
No Nama Desa Penerimaan (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut Handline Ketinting Pancing
Tonda Purse Seine
1 Laha - 33.600.000 48.600.000 420.000.000 1.185.600.000 2 Tawiri - 32.019.300 - - - 3 Hatiwe Besar - 42.000.000 - - 1.150.092.000 4 Wayame - - - 43.200.000 - 5 Rumah Tiga - 30.000.000 - - - 6 Waeheru - 45.000.000 - - - 7 Poka 104.400.000 - - - - 8 Hunut - 69.000.000 - - -
Untuk pancing tonda (Tabel 33), tingkat penerimaannya termasuk baik dan
lebih dari 2 kali dari biaya operasional yang dikeluarkan. Sekilas hal ini
menunjukkan bahwa pengusahaan pancing tonda tersebut telah dapat dilakukan
dengan baik di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon Dalam. Hermawan (2006)
dalam penelitian disertasinya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap dapat
dikembangkan secara mandiri oleh nelayan menjadi berskala lebih besar dengan
mengalokasikan secara kontinyu sebagian dari perinerimaan yang didapat setelah
dikurangi biaya-biaya produksi. Pelaku usaha perikanan skala kecil seyogianya
dapat melakukan hal itu sebagai upaya memandirikan kegiatan perikanan dan
pereknomian bangsa. Purse seine di Desa Laha dan Desa Hatiwe besar merupakan
usaha perikanan tangkap dengan penerimaan paling besar di Kecamatan Teluk
Ambon Dalam.
Berdasarkan Tabel 34, pole and line merupakan usaha perikanan dengan
tingkat penerimaan per tahun paling tinggi di Kecamatan Teluk Ambon Banguala di
Desa Lateri dan di Desa Halong. Bila dilihat skala pengusahaan dan biaya
operasional yang dikeluarkan, maka penerimaan yang besar adalah wajar. Imron
(2008) menyatakan bahwa usaha perikanan dengan tingkat penerimaan besar belum
tentu bisa dijamin keberlanjutannya bila biaya operasional tidak dikontrol dengan
baik, karena kegiatan penangkapan sangat tergantung pada kondisi alam yang
menganggu kegiatan penangkapan ikan dalam waktu lama.
94
Tabel 34 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Baguala
No Nama Desa Penerimaan (Rp/tahun)
Bagan Gillnet Hanyut Handline Payang Pole and
Line Redi 1 Nania - - - 966.000.000 - - 2 Negeri Lama - 69.000.000 30.000.000 - - 69.000.000 3 Passo - 56.160.000 - - - - 4 Lateri 340.068.000 42.000.000 - - 1.764.000.000 561.600.000 5 Halong - 69.000.000 - - 960.000.000 135.000.000 6 Latta - 17.460.000 140.400.000 - - -
Usaha perikanan handline yang bisanya dioperasikan sendiri oleh nelayan
pemilik, juga memperlihatkan tingkat penerimaan yang baik di Kecamatan Teluk
Ambon Banguala, dan bila dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan
meningkat 2-4 kali. Kondisi ini yang sama juga terjadi pada handline yang
dioperasikan skala kecil di Kecamatan Sirimau (Tabel 35), dimana dengan biaya
operasional yang relatif rendah dapat dihasilkan pemerimaan yang tinggi.
Tabel 35 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Sirimau
No Nama Desa Penerimaan (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pole and
Line Purse Seine
1 Batu Merah 90.000.000 7.200.000 8.550.000 - 246.000.000 2 Pandan Kasturi 24.000.000 - - - - 3 Hatiwe Kecil - - - 1.200.000.000 - 4 Galala 26.400.000 - - 2.964.000.000 -
Bila dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan, gillnet hanyut
dan gillnet dasar juga memberikan penerimaan yang tinggi di Kecamatan Sirimau.
Pole and line dan purse seine, penerimaannya termasuk besar karena biaya
operasional yang dikeluarkan juga tinggi serta ABK yang telibat juga banyak.
Menurut Nurani dan Wisudo (2007), jumlah ABK merupakan komponen
pengeluaran yang besar dalam pengelolaan usaha perikanan skala besar. Karena itu,
komponen biaya ABK harus disisihkan dalam setiap perhitungan keuntungan usaha.
Pancing tonda dan purse seine merupakan usaha perikanan tangkap dengan
penerimaan tertinggi di Kecamatan Nusaniwe. Namun bila dibandingkan dengan
biaya operasional yang dikeluarkan, peningkatannya kurang dari 2 kali, bahkan
penerimaan purse seine di Desa Urimesing lebih rendah dari pengeluaran per
tahunnya. Untuk handline dan gillnet, penerimaan umumnya lebih dari 2 kali biaya
operasional yang dikeluarkan.
95
Tabel 36 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Nusaniwe
No Nama Desa
Penerimaan (Rp/tahun) Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Purse Seine
1 Latuhalat - - 44.100.000 386.568.000 500.040.000 2 Seilale 38.880.000 20.880.000 7.650.000 - - 3 Amahusu - - - 43.200.000 - 4 Nusaniwe 57.600.000 - - 81.000.000 - 5 Benteng 38.880.000 230.400.000 8.550.000 - - 6 Urimesing - - - 338.220.000 144.000.000 7 Waihaong 80.434.140 27.000.000 - 76.500.000 897.600.000 8 Silale 38.880.000 - 8.550.000 - 162.000.000
Dari segi kuantitas, penerimaan handline dan gillnet ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan pancing tonda dan purse seine, namun untuk keberlanjutan
usaha perikanan, handline dan gillnet baik karena lebih mudah memenuhi kebutuhan
operasionalnya terutama pada musim ikan sepi (paceklik). Menurut Wilson (1999),
kondisi produksi yang lesu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan akan lebih
terasa pada usaha perikanan skala besar yang menggunakan banyak faktor produksi
yang berasal dari luar lokasi usaha, terutama BBM (solar, minyak tanah, bensin), oli,
dan es balok.
5.4 Keuntungan Usaha Perikanan Tangkap
Keuntungan menjadi perhatian penting bagi usaha yang dijalankan secara
komersial, termasuk usaha perikanan tangkap di desa-desa pesisir di Kota Ambon.
Keuntungan/laba usaha merupakan ukuran umum untuk menentukan apakah suatu
usaha memberikan manfaat yang layak atau tidak bagi bagi pelakunya. Keuntungan
usaha perikanan tangkap dapat dilihat dari dua sisi, yaitu jumlah uang yang didapat
oleh pelaku baik pemilik dan ABK sebelum dikurangi semua biaya operasi non
personil (sebelum bagian ABK diberikan) dan jumlah uang yang didapat oleh
pemilik setelah semua biaya operasi termasuk bagian dari ABK, selama usaha
perikanan berlangsung dengan menggunakan satu jenis alat tangkap. Bagian untuk
ABK bervariasi untuk setiap alat tangkap dan juga berbeda di setiap desa, tetapi
yang umumnya ialah untuk gillnet dan bagan, pemilik mendapat sepertiga bagian,
dan sisanya dua per tiga bagian dibagi merata antara ABK, termasuk juga jika
pemilik ikut serta dalam operasi penangkapan. Untuk purse seine dan pole and line
serta penangkapan tuna, umumnya pemilik mendapat setengah bagian dan ABK
mendapat setengah bagian. Dengan demikian, keuntungan atau laba dari
96
pengoperasian suatu alat tangkap untuk pemilik atau usaha perikanan tangkap
diperoleh dari penerimaan hasil penjualan dikurangi biaya operasional dan bagian
ABK. Untuk kepentingan pengembangan usaha perikanan tangkap dalam penelitian
ini, keuntungan yang diterima oleh pemilik menjadi fokus pembahasan dalam
perhitungan BCR. Hal ini karena pengembangan usaha perikanan tangkap, seperti
perbaikan kapal, pengadaan alat tangkap baru, dan mesin baru menjadi tanggung
jawab pemilik, sehingga untuk keberlanjutannnya kemampuan pemilik untuk
menyisihkan sebagai dari penerimaan usahanya menjadi sangat penting. Konsep
perhitungan keuntungan yang digunakan dalam penelitian ini, ialah total jumlah
keuntungan atau laba operasi dari tiap atat tangkap selama alat tanggap tersebut
digunakan. Jangka waktu yang digunakan dalam penelitian ini ialah 10 tahun. Tabel
37 - 41 menyajikan hasil analisis keuntungan usaha perikanan tangkap yang dapat
diterima nelayan pemilik usaha di Kota Ambon setiap tahun atau pada tahun 2010.
Tabel 37 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan
No Nama Desa
Bagan Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar
Handline Pancing Tonda
Pole and Line
Purse Seine UP Tuna
1 Naku - 25.488.200 - 35.072.200 45.173.400 - - - 2 Kilang - 33.294.500 - 9.587.170 - - - (13.070.000) 3 Hukurilla - 24.764.450 17.566.300 30.781.920 20.521.620 - - - 4 Hutumuri 140.880.000 34.040.830 25.195.000 24.178.920 373.184.700 127.062.000 - - 5 Rutong - 33.154.000 16.556.000 15.091.000 22.376.670 - - - 6 Leahari - 60.077.000 18.662.400 32.356.700 33.924.110 - 176.626.660 -
Berdasarkan Tabel 37, keuntungan yang didapat oleh nelayan pemilik dari
usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan cukup baik, kecuali untuk
usaha penangkapan tuna. Bila dikalkulasikan, usaha penangkapan tuna di Desa
Kilang mengalami kerugian dalam operasinya. Kerugian tersebut terjadi karena
biaya operasionalnya yang besar dari penerimaannya. Biaya operasional
penangkapan tuna di Kilang disebabkan biaya pengadaan BBM yang mencapai 84%
dari total biaya operasionalnya.
Dutton (1998) menyatakan bahwa usaha perikanan dengan biaya operasional
tinggi perlu dihindari karena dapat menganggu konsentrasi personil pelaku yang
secara jangka panjang dapat memicu konflik pengelolaan di masyarakat nelayan.
Nelayan pemilik perlu dibina dan dibantu untuk mengembangkan usaha perikanan
yang lebih menguntungkan. Dalam skala besar, bagan, pole and line, dan purse seine
dapat menjadi alternatif, sedangkan dalam skala kecil handline sangat menjanjikan.
97
Namun untuk lebih baiknya dapat dipilih yang nilai BCR-nya paling tinggi (Bagian
5.5). Nilai BCR ini menunjukkan tingkat perimbangan penerimaan dengan
pembiayaan, yang mana bila nilai BCR tinggi berarti selisih penerimaan dengan
pembiayaan tinggi.
Untuk Kecamatan Teluk Ambon Dalam, semua usaha perikanan yang
dikembangkan di desa-desa pesisir memperoleh keuntungan. Purse seine dan
pancing tonda mempunyai keuntungan paling besar, karena pengusahaannya
dilakukan dalam skala besar. Usaha perikanan purse seine di Desa Laha dan Desa
Hative Besar mencatat keuntungan tertinggi. Ruddle, et. al (1992) menyatakan
bahwa usaha perikanan dengan skala besar akan dapat memberikan keuntungan
dalam jumlah besar bila dikelola dengan baik, namun untuk kepentingan
pengembangan, jumlah keuntungan tersebut perlu dibandingkan dengan besarnya
investasinya. Keuntungan yang relatif besar namun tidak dapat memenuhi
kebutuhan untuk kelanjutan investasi dan operasional biasanya tidak akan bertahan
lama di suatu kawasan. Perimbangan penerimaan dan biaya operasional yang
dianalisis pada Bagian 5.5 akan memperjelas hal ini.
Tabel 38 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Teluk Ambon
No Nama Desa Gillnet Hanyut
Handline Ketinting Pancing Tonda
Purse Seine
1 Laha - 28.143.770 19.037.240 242.078.630 440.808.000 2 Tawiri - 24.536.390 - - - 3 Hatiwe Besar - 6.914.910 - - 390.225.400 4 Wayame - - - 21.204.250 - 5 Rumah Tiga - 21.447.600 - - - 6 Waeheru - 36.210.920 - - - 7 Poka 56.959.750 - - - - 8 Hunut - 41.732.500 - - -
Gillnet hanyut mempunyai keuntungan yang sedikit lebih rendah selama
periode operasinya, namun termasuk cukup baik karena skala pengusahaannya
hanya menengah ke bawah. Handline yang biasa diusahakan dalam skala kecil
(biasanya dilakukan sendiri oleh nelayan pemilik), mempunyai keuntungan cukup
baik dalam operasinya. Bila dihubungkan dengan kepentingan pengembangan, maka
handline ini lebih dapat menjamin karena dari pemantauan lapang, operasi
penangkapan ikan untuk handline ini menggunakan kapal (perahu) kecil, tanpa
98
mesin, dan alat tangkap pancing tangan sederhana. Karena itu, akan lebih baik jika
nelayan perorangan mengusahakan alat tangkap ini meskipun keuntungan usaha
tidak terlalu besar.
Untuk Kecamatan Teluk Ambon Baguala, usaha perikanan pole and line,
bagan dan payang merupakan usaha perikanan tangkap yang memberi keuntungan
besar bagi nelayan pemilik di desa-desa pesisir di Kota Ambon. Berdasarkan Tabel
39, usaha perikanan pole and line mendatangkan keuntungan yang tinggi dalam
pengoperasiannya, demikian juga untuk bagan dan payang.
Tabel 39 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Baguala
No Nama Desa Bagan Gillnet Hanyut Handline Payang Pole and Line Redi
1 Nania - - - 769.294.800 - - 2 Negeri Lama - 32.573.330 - - - 10.314.200 3 Passo - 22.811.200 - - - - 4 Lateri 133.412.250 32.529.700 23.934.010 - 945.480.380 114.275.300 5 Halong - 32.573.330 - - 673.769.000 46.350.000 6 Latta - 5.216.590 65.405.100 - - -
Bila dibandingkan usaha perikanan lainnya, usaha perikanan pole and line
termasuk yang paling tinggi keuntungannya. Kondisi ini tidak hanya terjadi di
Kecamatan Leitimur Selatan (Tabel 37), tetapi juga pada Kecamatan Teluk Ambon
Baguala (Tabel 39) dan di Kecamatan Sirimau (Tabel 40). Karena itu, pole and line
ini dapat menjadi acuan atau referensi bagi pengembangan usaha perikanan tangkap
skala menengah dan besar. Nelayan dengan modal berlebih dapat menjadi pole and
line ini sebagai tujuan bisnis di bidang perikanan.
Tabel 40 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Sirimau
No Nama Desa Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pole and
Line Purse Seine
1 Batu Merah 57.258.360 5.450.000 4.610.000 - 42.696.250
2 Pandan Kasturi 12.535.000 - - - -
3 Hatiwe Kecil - - - 574.307.500 - 4 Galala 11.722.000 - - 138.976.270 -
Namun demikian, hal ini perlu pengecekan silang juga terkait dengan
perimbangan penerimaan dengan pembiayaan yang dikeluarkan selama menjalankan
usaha perikanan tangkap ini. Analisis BCR pada Bagian 5.5 akan memberi arahan
terkait hal ini, sehingga usaha perikanan tangkap tersebut tidak putus ditengah jalan.
Menurut Evelyn (1989), usaha perikanan terutama yang skala besar perlu menjalin
99
kerjasama dengan pemilik modal, sehingga tidak mengalami kesulitan baik terkait
operasional usaha maupun kemungkinan pengembangan usaha. Keuntungan usaha
yang didapat biasanya sulit untuk membantu pengembangan, disamping karena
biaya yang dibutuhkan besar,juga karena modal usaha tidak tersedia/disimpan cash
dalam jumlah besar. Dari segi pembiayaan, gillnet hanyut merupakan usaha ideal
yang bisa dikembangkan di Kecamatan Sirimau, karena keuntungannya juga cukup
baik (Tabel 40), sementara biaya investasi dan operasional tidak sebesar pole and
line. Namun demikian, kondisi ini sangat tergantung dari kelayakan usaha tersebut
dalam realisasinya di lapangan, dan Bagian 5.5 akan menjelas hal ini.
Tabel 41 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Nusaniwe
No Nama Desa
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Purse Seine
1 Latuhalat - - 28.760.640 142.026.610 145.773.400 2 Seilale 22.618.120 16.270.000 - - 3 Amahusu - - - 9.521.500 - 4 Nusaniwe 30.471.660 - - 29.776.500 - 5 Benteng 15.792.000 143.952.700 4.227.600 - - 6 Urimesing - - - 87.880.000 (28.622.000) 7 Waihaong 50.992.200 14.725.000 - 21.251501. 352.800.000 8 Silale 3.222.000 - 4.560.000 - 7.015.000
Sebagaimana di kecamatan lainnya, usaha perikanan tangkap di Kecamatan
Nusaniwe (Tabel 41), juga mempunyai keuntungan yang baik, dan kerugian hanya
terjadi pada usaha perikanan purse seine di Desa Urimesing. Hasil survai lapang
menunjukkan hal ini lebih disebabkan oleh manajemen operasional yang kurang
baik pada usaha perikanan tangkap ini, dimana SDM yang terlibat tidak cukup
terampil, sedangkan pemiliknya tidak menangani sendiri usahanya tetapi diserahkan
kepada orang lain yang kurang berpengalaman. Hasil pengamatan lapang, mencatat
bahwa ABK yang terlibat pada usaha perikanan skala besar di Kota Ambon
umumnya berasal dari keluarga nelayan miskin dan rendah tingkat pendidikannya.
Untuk memperbaiki kinerja mereka, maka perlu diberi pembinaan lebih misalnya
melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi terkait di Kota Ambon,
mengadakan pertemuan rutin ABK, dan lainnya. Bila dilihat dari skala
pengusahaannya, maka usaha perikanan gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline
juga mempunyai keuntungan cukup baik di Kecamatan Nusaniwe. Namun untuk
mengetahui dukungan dalam rangka keberlanjutan pengembangannya di masa
datang sangat tergantung pada kelayakan usaha tersebut secara finansial. Bagian 5.5
100
akan menjelaskan hal ini yang didasarkan pada hasil analisis BCR sebagai parameter
utama penelitian ini yang membandingkan tingkat penerimaan dan pengeluaran
usaha perikanan tangkap termasuk pada kondisi suku bunga yang berubah-ubah.
5.5 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap di Kota Ambon
Hasil analisis terkait biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, dan
keuntungan pada bagian sebelumnya memasukan penting bagi analisis kelayakan
menggunakan General/Temporal Benefit Cost Ratio (BCR) terhadap setiap jenis
usaha perikanan tangkap (armada perikanan) yang terdapat pada desa pesisir di Kota
Ambon. Menurut Arrow et. al (1996), BCR merupakan paramater untuk mengetahui
tingkat perbandingan antara NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai
negatif pada kondisi suku bunga berbeda pada periode yang berbeda. Terkait dengan
dengan ini, maka dalam analisis BCR usaha perikanan tangkap dalam penelitian ini,
perubahan suku bunga tersebut menjadi faktor pengoreksi dari penerimaan kini
(present benefit) dan pengeluaran kini (present cost) yang dilakukan oleh usaha
perikanan tangkap selama masa tahun pengoperasiannya.
5.5.1 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Leitimur Selatan
Desa Naku, Desa Kilang, Desa Hukurila, Desa Hutumuri, Desa Rutong, dan
Desa Leahari merupakan desa-desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Leitimur
Selatan. Seperti disebutukan sebelumnya, usaha perikanan tangkap yang
berkembang di antara desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan cukup beragam.
Desa Hutumuri merupakan desa pesisir yang paling beragam usaha perikanan
tangkapnya, yaitu terdiri dari bagan, gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, pancing
tonda, dan pole and line. Namun keragaman tersebut tidak menjadi jaminan usaha
perikanan tangkap berkembang dengan baik dan memenuhi syarat kelayakan
finansial yang ada. Tabel 42 menyajikan hasil analisis BCR setiap usaha perikanan
tangkap pada setiap desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan.
Berdasarkan Tabel 42, ada dua jenis usaha perikanan tangkap dengan nilai
BCR tinggi (> 2,00) di Desa Hutumuri, yaitu handline (BCR = 4,34) dan pancing
tonda (BCR = 2,62). Nilai BCR > 2,00 memberi indikasi bahwa usaha perikanan
handline dan pancing tonda tidak akan mengalami masalah (terutama pembiayaan)
untuk keberlanjutan usahanya di kemudian hari karena penerimaannya lebih dari dua
kali lipat biaya operasional yang dibutuhkan. Menurut Kapp (1990), nilai BCR
101
tinggi harus diupayakan dalam setiap usaha ekonomi sehingga dapat menutupi setiap
kebutuhannya, dan pada kondisi ini tingkat kelayakan usaha ekonomi termasuk
tinggi. Terkait dengan ini, maka handline dan pancing tonda dapat menjadi usaha
perikanan tangkap unggulan di Desa Hutumuri.
Tabel 42 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan
No Nama Desa Nilai BCR
Bagan Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar
Handline
Pancing Tonda
Pole and Line
Purse Seine UP Tuna
1 Naku - 1,67 - 5,04 1,37 - - - 2 Kilang - 1,27 - 1.,80 - - - 0,91 3 Hukurilla - 1,57 1,77 6,98 1,43 - - - 4 Hutumuri 1,62 1,81 1,49 4,34 2,62 1,95 - - 5 Rutong - 11,77 1,77 7,84 1,43 - - - 6 Leahari - 1,58 1,52 20,24 1,68 - 1,51 -
Untuk Desa Naku dan Desa Kilang, dari tiga usaha perikanan tangkap yang
ada, handline merupakan usaha dengan nilai BCR paling tinggi di setiap desa, yaitu
dengan nilai BCR 5,04 untuk handline di Desa Naku dan nilai BCR 1,80 untuk
handline di Desa Kilang. Terkait dengan ini, maka handline dapat menjadi usaha
perikanan tangkap di kedua desa tersebut. Namun demikian, nilai BCR handline di
Desa Kilang tidak termasuk tinggi (BCR < 2,00), sehingga masih dibina dan
dikembangkan lanjut. Hal ini penting karena usaha perikanan tangkap telah menjadi
andalan masyarakat desa terkait dan bukan tidak mungkin menjadi suplai penting
pemasaran perikanan terutama untuk ekspor minimal di tingkat Asia Tenggara. Hadi
dan Mardianto (2004) dalam penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan ekspor
Indonesia merupakan yang paling tinggi dalam perdagangan di antara negara
anggota ASEAN pada beberapa tahun ini. Salah satu penyebabnya adalah ekspor
produk perikanan yang makin membaik terutama dari kawasan Indonesia Timur.
Handline juga merupakan usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi di Desa
Hukurilla, Desa Rutong dan Desa Desa Leahari. Selain handline, gillnet hanyut juga
mempunyai BCR tingggi di Desa Rutong, yaitu sekitar 11,77. Terkait dengan ini,
maka usaha perikanan tangkap tersebut dapat menjadi unggulan untuk
pengembangan perikanan di setiap desa terkait.
Terlepas dari ini, semua usaha perikanan tangkap yang ada di desa pesisir di
Kecamatan Leitimur Selatan termasuk layak dikembangkan, kecuali usaha
penangkapan tuna di Desa Kilang. Hal ini karena tingkat penerimaannya sudah
102
melebihi pembiayaan yang harus dikeluarkan selama umur teknis pengoperasiannya,
yang ditunjukkan oleh nilai BCR > 1,00. Menurut Arrow et al (1996), perbandingan
nilai penerimaan (benefit) dan nilai pengeluaran (cost) yang cukup siginfikan akan
memudahkan pengambilan keputusan bagi pengembangan usaha ekonomi ke depan,
meskipun pada kondisi suku bunga yang kurang menentu. Hal ini karena penentuan
perimbangan tersebut sudah mempertimbangkan perubahan suku bunga atau nilai
mata uang yang terjadi. Benefit-cost ratio yang tinggi lebih menjamin kelanjutan
usaha ekonomi di kemudian hari, sehingga upaya pengembangan mudah dilakukan.
Usaha perikanan tangkap dengan kelayakan tinggi (BCR) tinggi di setiap desa
sebaiknya dijadikan perhatian pengembangan karena lebih unggul dari memberikan
kontribusi bagi nelayan pelaku dan masyarakat desa pesisir secara umum.
Tabel 42 menunjukan bahwa handline merupakan alat tangkap yang tingkat
kelayakannya lebih tinggi dibanding alat tangkap lainnya hampir di semua desa
pesisir Kecamatan Leitimur Selatan, kecuali di Desa Rutong dimana gillnet hanyut
adalah alat tangkap yang lebih tinggi kelayakannya. Tingginya tingkat kelayakan
handline di hampir seluruh desa di kecamatan ini disebabkan biaya investasi yang
relatif kecil dibanding dengan alat tangkap lainnya, karena relatif sederhana
dibanding alat tangkap lainnya. Handline di Ambon dan Maluku pada umumnya
terdiri dari tali, kail, umpan dan penggulung tali, seperti terlihat pada Gambar 27
dibawah ini.
Gambar 27 Alat tangkap handline
5.5.2 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Teluk
Ambon Dalam Secara umum, usaha perikanan tangkap yang berkembang di desa-desa pesisir
di Kecamatan Teluk Ambon Dalam terdiri dari gillnet hanyut, handline, ketininting,
pancing tonda, dan purse seine. Bila dibandingkan dengan Kecamatan Leitimur
103
Selatan, maka keragaman usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon
Dalam tidak terlalu beragam, meskipun jumlah desa pesisirnya banyak. Tabel 43
menyajikan hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada delapan desa
pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Dalam.
Berdasarkan Tabel 43, semua usaha perikanan tangkap yang dikembangkan
pada delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Dalam
mempunyai BCR di atas 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa semua usaha perikanan
tangkap tersebut layak dikembangkan dimasa yang akan datang secara
berkelanjutan. Nilai BCR >1,00 tersebut memberi indikasi bahwa penerimaan yang
didapat oleh nelayan dan pelaku perikanan lainya di Kecamatan Teluk Ambon
Dalam telah dapat menutupi semua pembiayaan yang dibutuhkan dalam
pengoperasian usaha. Karena itu, usaha perikanan tangkap tersebut perlu terus
dibina sehingga produktivitas usahanya meningkat dan lebih mandiri. Menurut Lin
(1997) usaha ekonomi yang produktivitasnya baik dapat menghembat biaya
produksi yang dikeluarkan sehingga harga produk yang ditawarkan ke pasar lebih
komptetif. Hal ini sangat mungkin karena BCR yang tinggi dan produktivitas yang
meningkat merupakan indikasi dari penerimaan yang semakin lebih baik pada
kondisi biaya operasi yang dikeluarkan sama, sehingga terdapat keleluasaan untuk
memberi harga yang lebih murah dan bersaing.
Tabel 43 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon
No Nama Desa N i l a i BCR
Gillnet Hanyut Handline Ketinting Pancing
Tonda Purse Seine
1 Laha - 14,19 1,63 2,09 1,57 2 Tawiri - 6,70 - - - 3 Hatiwe Besar - 1,22 - - 1,50 4 Wayame - - - 1,76 - 5 Rumah Tiga - 4,85 - - - 6 Waeheru - 9,38 - - - 7 Poka 1,67 - - - - 8 Hunut - 3,04 - - -
Bila dilihat satu persatu untuk setiap desa, maka handline dan pancing tonda
dapat dijadikan usaha perikanan tangkap unggulan di Desa Laha karena mempunyai
nilai BCR yang sangat baik, yaitu masing-masing 14,19 dan 2,09. Untuk Desa
Tawiri, Desa Rumah Tiga, Desa Waeheru, dan Desa Hunut, meskipun hanya
berkembang handline tetapi usaha perikanan tangkap ini mempunyai nilai BCR
104
tinggi (BCR > 2,00), sehingga juga menjadi unggulan bagi keempat desa pesisir
tersebut. Untuk Desa Hatiwe Besar, tidak ada usaha perikanan perikanan tangkap
dengan nilai BCR tinggi meskipun nilai BCR > 1,00, tetapi bila harus dipilih sebagai
unggulan, maka purse seine akan lebih baik.
Berdasarkan nilai BCR tersebut, maka usaha perikanan tangkap di Desa Laha,
Desa Tawiri, Desa Rumah Tiga, Kelurahan Waeheru, dan Desa Hunut lebih
prospektif untuk dikembangkan. Namun hal ini, sangat tergantung dari dukungan
faktor lainnya, seperti status desa, tingkat kepenilikan usaha, kedekatan dengan jalur
distribusi dan pemasaran. Nilai BCR dan dukungan faktor tersebut akan menentukan
kluster desa terkait pengembangan usaha perikanan tangkap ke depan. Menurut
Dahuri (2001), pengembangan usaha perikanan ke depan sangat tergantung pada
dukungan infrastruktur dan kesiapan masyarakat pesisir dalam mengelola potensi
perikanan yang ada. Jusuf (2005) dalam penelitian disertasinya menyatakan bahwa
kesiapan masyarakat pesisir tercermin dari jumlah kepemilikan usaha perikanan,
tingkat penguasaan teknologi penangkapan, dan pola interaksi serta kultur
mempengaruhi mereka dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Kesiapan
tersebut juga terlihat dari respon masyarakat desa pesisir dalam berbagai kegiatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga lainnya.
Tabel 43 menunjukan bahwa alat tangkap handline adalah alat tangkap yang
tinggi tingkat kelayakannya di kecamatan ini, sama seperti di kecamatan lain.
Namun demikian, khusus di Desa Hative Besar, handline malahan yang terendah
tingkat kelayakannya dibanding dengan alat tangkap lain yang digunakan nelayan di
desa ini. Kajian hasil data lapang menunjukan bahwa penyebab rendahnya tingkat
kelayakan alat tangkap handline di Desa Hative Besar disebabkan rendahnya
intersitas melaut dari nelayan yang menggunakan alat tangkap ini. Walau demikian,
tidak berarti bahwa handline di desa ini tidak menguntungkan, karena dengan BCR
yang lebih besar dari 1, menunjukan bahwa alat tangkap ini tetap menguntungkan
bagi nelayan di desa ini yang menggunakannya.
5.5.3 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Baguala
Usaha perikanan tangkap yang berkembang di desa-desa pesisir di Kecamatan
Teluk Ambon Baguala umumnya terdiri dari bagan, gillnet hanyut, handline,
payang, pole and line, dan redi. Bila dibandingkan dengan Kecamatan Leitimur
105
Selatan, maka keragaman usaha perikanan tangkap di kecamatan juga tidak begitu
tinggi. Namun demikian, kelayakan usaha tersebut bisa sangat berbeda satu sama
lain tergantung pada pola pengelolaan yang dikembangkan di setiap desa pesisir.
Tabel 44 menyajikan hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada
delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Banguala.
Tabel 44 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Baguala
No Nama Desa Nilai BCR
Bagan Gillnet Hanyut Handline Payang Pole and
Line Redi
1 Nania - - - 1,65 - - 2 Negeri Lama - 1,88 - - - 1,21 3 Passo - 1,67 - - - - 4 Lateri 1,61 4,29 8,72 - 1,68 1,26 5 Halong - 1,88 - - 2,15 1,52 6 Latta - 1,39 2,07 - - -
Berdasarkan Tabel 44, semua usaha perikanan tangkap yang dikembangkan
pada delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Baguala
termasuk layak dikembangkan, karena mempunyai nilai BCR > 1,00. Namun bila
dibandingkan dengan Kecamatan Teluk Ambon Dalam, maka nilai BCR usaha
perikanan tangkap tidak ada yang terlalu menonjol, dimana nilai BCR tertinggi
dimiliki oleh handline di Kelurahan Lateri, yaitu sekitar 8,72. Usaha tangkap
handline juga mempunyai nilai BCR yang tinggi di desa Desa Latta (BCR = 2,07),
dan tidak terlalu rendah di Desa Negeri lama dan Halong. Terkait dengan ini, maka
usaha perikanan handline ini dapat menjadi unggulan untuk skala kecamatan
(Kecamatan Teluk Ambon Baguala). Hadi dan Mardianto (2004) menyatakan bahwa
daya saing produk suatu wilayah sangat tergantung pemilihan jenis dan skala usaha
yang dilakukan untuk menghasilkan produk tersebut. Dalam konteks tersebut, bila
handline dijadikan usaha perikanan tangkap unggulan utama untuk menghasilkan
produk perikanan di wilayah kecamatan ini, tentu akan lebih baik karena lebih dapat
menekan biaya operasional yang dikeluarkan.
Bila dilihat satu persatu untuk setiap desa pesisir yang ada, maka jenis usaha
perikanan yang dapat dijadikan unggulan di Desa Lama mencakup handline, di
Kelurahan Lateri mencakup gillnet hanyut dan handline, Desa Halong mencakup
pole and line, dan Desa Latta mencakup handline. Usaha perikanan tangkap ini
merupakan usaha dengan nilai BCR tinggi yang terdapat di desa tersebut. Desa
106
Nania dan Desa Passo masing-masing dapat menjadikan payang, dan gillnet hanyut
sebagai unggulan meskipun dengan nilai BCR yang tidak terlalu baik bila kegiatan
perikanan tersebut dikembangkan. Hal ini karena kebiasaan dan kultur nelayan
setempat telah dapat menerima usaha perikanan tangkap tersebut dengan baik,
namun tetap perlu pembinaan lebih lanjut. Hermawan (2006), usaha perikanan
tangkap yang telah dikembangkan secara turun-temurun di suatu kawasan perlu
dilestarikan, meskipun termasuk sangat tradisional atau kecil. Hal ini karena
masyarakat sekitar telah menguasai dan memiliki keterampilan lebih untuk
mengoperasikannya, dan pembinaan perlu terus dilakukan sehingga produktivitas
usaha perikanannya lebih baik.
Tabel 44 menunjukan bahwa handline masih mendominasi tingginya tingkat
kelayakan alat tangkap di kecamatan ini, walaupun di desa tertentu, seperti Desa
Nania, Desa Passo, dan Desa Halong, alat tangkap lain yang lebih tinggi. Di Desa
Nania, alat tangkap payang yang tertinggi, karena hanya alat tangkap ini yang
digunakan nelayan di desa ini. Di Desa Passo, alat tangkap gillnet hanyut yang
tertinggi tingkat kelayakannya dibanding dengan alat tangkap lain. Sementara itu di
Desa Halong, alat tangkat pole and line adalah yang tertinggi tingkat kelayakannya
dibanding alat tangkap lain. Pole and line di Desa Halong ini sejak lama (dari
generasi ke generasi) telah digunakan, yang dalam istilah lokal disebut huhate,
bahkan desa ini terkenal sebagai salah satu penghasil ikan cakalang (hasil tangkapan
utama pole and line) di Pulau Ambon. Konstruksi Huhate atau pole and line ini
dapat dilihat pada Gambar 28 dibawah ini.
Gambar 28 Alat tangkap huhate atau pole and line Keterangan bagian-bagian huhate : 1) tangke (pole); 2) tali kepala (head line); 3) tali utama (main
line); 4) kawat baja; 5 & 6) mata pancing
1
2
3
4 5
6
107
5.5.4 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Sirimau
Usaha perikanan tangkap yang berkembang di desa-desa pesisir di Kecamatan
Sirimau umumnya terdiri dari gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, pole and line
dan purse seine. Keberdaaan usaha perikanan tangkap tersebut menjadi sangat
penting di Kecamatan Sirimau ini, karena dua dari empat desa/kelurahan pesisir
yang ada berstatus mina mandiri dan dipertimbangkan menjadi lokasi pelaksanaan
program kawasan mina politan yang digagas KKP, yaitu Desa Batu Merah dan
Kelurahan Pandan Kasturi. Penetapan status tersebut (pada Bab 4) sangat tergantung
pola pengelolaan yang terjadi pada usaha perikanan tangkap terutama menyangkut
produktivitas, dukungan infratruktur, interaksi sosial, dan pengembangan teknologi
penangkapan. Terkait dengan ini, maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap yang
ada perlu dipertahankan. Tabel 45 menyajikan hasil analisis BCR sebagai upaya
untuk mengetahui kelayakan setiap usaha perikanan tangkap yang ada di masa yang
akan datang.
Tabel 45 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Sirimau
No Nama Desa Nilai BCR
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pole and
Line Purse Seine
1 Batu Merah 2,73 3,98 2,14 - 1,21 2 Pandan Kasturi 2,06 - - - - 3 Hatiwe Kecil - - - 1,57 - 4 Galala 1,76 - - 1,56 -
Berdasarkan Tabel 45, gilnet hanyut, gillnet dasar, handline, pole and line, dan
purse seine mempunyai nilai BCR > 1,00, sehingga layak untuk dipertahankan dan
dikembangkan lebih lanjut. Dari empat usaha perikanan tangkap yang ada di Desa
Batu Merah, tiga diantaranya mempunyai nilai BCR yang tinggi (>2,00), yaitu
gillnet hanyut (BCR = 2,73), gillnet dasar (BCR = 3,98), dan handline (BCR =
2,14). Ketiga usaha perikanan tangkap ini dapat menjadi unggulan bagi desa pesisir
dengan status mandiri (menuju mina politan) tersebut. Usaha perikanan tangkap dari
Desa Batu Merah memberi kontribusi yang sangat penting bagi sektor perikanan di
Kecamatan Sirimau dengan produk utama berupa ikan tongkol. Sementara ikan
tongkol ini merupakan produk perikanan dengan kontribusi terbesar di kecamatan
tersebut, yaitu 3.420 ton per tahun atau sekitar Rp 6.840.400.000 per tahun (BPS
Kota Ambon).
108
Gillnet hanyut merupakan satu-satu jenis usaha perikanan tangkap yang
dikembangkan di Kelurahan Pandan Kasturi. Gillnet hanyut di kelurahan ini
mempunyai nilai BCR yang tinggi, sekitar 2,06, dan oleh karenanya dapat terus
dipertahankan sebagai usaha perikanan unggulan di lokasi. Meskipun kontribusi
usaha perikanan tangkap asal Pandan Kasturi ini tidak begitu besar dibandingkan
misalnya di Desa Batu Merah, tetapi karena kesiapan infrastrukturnya baik seperti
pelabuhan, pasar, dan berbagai usaha pendukung seperti kios alat tangkap dan
perbekalan, maka Pandan Kasturi mendekati status desa mina politan (hanya butuh 6
skor lagi). Hal ini perlu didukung terus terutama dari usaha perikanan tangkap lokal
dengan basis di Kelurahan Pandan Kasturi.
Desa Hatiwe Kecil dan Desa Galala, tidak mempunyai usaha perikanan
tangkap dengan nilai BCR tinggi (>2,00). Usaha perikanan tangkap yang ada perlu
terus dibina sehingga dapat meningkat produktivitasnya. Namun demikian bila harus
dipilih untuk kepentingan pengembangan, maka gillnet hanyut dapat menjadi
unggulan bagi Desa Galala dan pole and line dapat menjadi unggulan bagi Desa
Hatiwe Kecil. Kanpp (2004) menyatakan bahwa usaha ekonomi yang layak secara
finansial perlu terus dibina dan dikembangkan terutama untuk peningkatan efisiensi
dan perimbangan pengeluaran dan penerimaan yang lebih sehat. Usaha ekonomi
yang dikelola dengan baik akan menjadi cerminan dari pertumbuhan ekonomi
wilayah. Menurut Hesieh dan Li (2009), pertumbuhan ekonomi suatu kawasan akan
ditunjukkan oleh pengembangan usaha dan industri perikanan yang prospektif
dengan menghasilkan produk-produk perikanan yang nyata dan kontinyu secara
jangka panjang.
Tabel 45 memberi petunjuk bahwa tingkat kelayakan gillnet baik drift gillnet
(jaring insang hanyut) maupun bottom gillnet (jaring insang dasar) mendominasi
keempat desa di kecamatan ini. Sementara itu, pole and line yang sesungguhnya
menjadi icon perikanan di Desa Galala dan Desa Hative Kecil, malahan rendah
tingkat kelayakannya, walaupun masih menguntungkan. Pada umumnya jaring
hanyut (drift gillnet) yang digunakan di Ambon untuk menangkap jenis ikan pelagis
yang habitatnya di permukaan perairan, diantaranya ikan kembung, terbang, tongkol,
dan laying. Sementara itu, jaring insang dasar (bottom gillnet) untuk menangkap
jenis demersial, seperti ikan lalosi, salmaneti, samandar, dan jenis ikan dasar
109
lainnya. Contoh jaring insang (gillnet) dan hasil tangkapannya dapat dilihat pada
Gambar 29 dibawah ini.
Gambar 29 Jaring insang dan hasil tangkapannya
5.5.5 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Nusaniwe
Usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di desa pesisir di Kecamatan
Nusaniwe ada lima jenis, yaitu gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, pancing tonda,
dan purse seine. Kelima usaha perikanan tangkap tersebut di delapan desa/kelurahan
pesisir yang ada di kecamatan tersebut. Keberadaan usaha perikanan tangkap
tersebut mencerminkan kontirbusi sektor perikanan Kecamatan Nusaniwe dalam
menggerakan roda ekonomi di Kota Ambon. Menurut BPS (2010), nilai produksi
perikanan di Kecamatan Nusaniwe memperlihatkan kecenderungan yang meningkat
setiap tahunnya. Kenaikan siginifikan terjadi pada tahun 2008, di mana nilai
produksinya mencapai Rp 20.560.760.000 atau naik sekitar 25,12 persen dari tahun
2007.
Tabel 46 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Teluk Nusaniwe
No Nama Desa Nilai BCR
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar Handline Pancing
Tonda Purse Seine
1 Latuhalat - - 3,61 1,50 1,40 2 Seilale 2,37 4,41 2,57 - - 3 Amahusu - - - 1,24 - 4 Nusaniwe 2,11 - - 1,48 - 5 Benteng 1,67 2,66 1,57 - - 6 Urimesing - - - 1,31 0,82 7 Waihaong 2,71 2,18 - 1,32 1,64 8 Silale 5,74 - 2,12 - 1,03
Kontribusi sektor perikanan tersebut, akan dapat dipertahankan bila usaha
perikanan tangkap yang ada tetap layak secara finansial untuk dikembangkan. Hal
ini karena pengembangan usaha perikanan tangkap membutuhkan biaya besar baik
110
untuk investasi, biaya operasional maupun untuk perawatannya. Tabel 46
menyajikan hasil analisis kelayakan finansial (BCR) setiap usaha perikanan tangkap
yang dikembangkan pada desa pesisir di Kecamatan Teluk Nusaniwe, Kota Ambon.
Dari hasil analisis Tabel 46 ini, semua usaha perikanan tangkap kecuali purse
seine di Desa Urimesing layak dikembangkan atau dilanjutkan pengelolaannya.
Purse seine di Desa Urimesing mempunyai nilai BCR 0,82, yang berarti
penerimaannya lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan untuk
pengoperasiannya, dan bila hal ini dibiarkan terus tentu akan membawa kerugian
besar bagi pelakunya dan bahkan dapat membawa dampak sosial yang
berkepanjangan. Dalam penelitiannya, Hendriwan, et al (2008) menyatakan bahwa
konflik sosial yang terjadi di masyarakat nelayan cenderung bermula dari minimnya
hasil tangkapan sehingga tidak dapat menutupi pembiayaan. Kondisi ini
menyebabkan banyak nelayan mengambil jalan dengan menggunakan alat
tangkap/metode penangkapan ikan illegal untuk mendapatkan hasil, seperti
penggunaan bahan peladak, jaring yang destruktif, dan perebutan fishing ground
dengan kelompok nelayan lainnya.
Di Desa Latuhalat, handline mempunyai nilai BCR yang tinggi (3,61),
sedangkan dua lainnya (pancing tonda dan purse seine) mempunyai nilai BCR
rendah. Terkait dengan ini,maka handline dapat menjadi usaha perikanan tangkap
unggulan bagi Desa Latuhalat. Gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline
mempunyai BCR>2,00 di Desa Seilale, sehingga dapat dijadikan unggulan bagi desa
tersebut. Usaha perikanan tangkap yang dapat dijadikan unggulan bagi desa lainnya
adalah gillnet hanyut untuk Nusaniwe, gillnet dasar untuk Kelurahan Benteng,
gillnet hanyut dan gillnet dasar untuk Kelurahan Waihaong, gillnet hanyut dan
handline bagi Desa Silale. Desa Amahusu dan Urimesing sebenarnya tidak
mempunyai usaha perikanan tangkap unggulan untuk dikembangkan lanjut, karena
tidak ada yang mempunyai nilai BCR yang tinggi (>2,00). Menurut Hanley and
Spash (1993), nilai BCR atau perimbangan penerimaan dan pembiayaan perlu
diupayakan lebih besar sehingga usaha ekonomi dapat bertahan pada berbagai
kondisi, terutama terkait dengan kebijakan keuangan yang terkadang menaikkan
atau menurunkan suku bunga bank. Selisih penerimaan yang cukup signifikan
terhadap biaya yang dibutuhkan untuk operasi memungkinkan usaha untuk tetap
111
stabil/bertahan pada kondisi harga bahan baku dan produk yang tidak menentu
(pengaruh suku bunga), kondisi hasil tangkapan di musim paceklik, dan lainnya.
Tabel 46 menunjukan jaring insang mendominasi tingginya tingkat kelayakan
usaha perikanan tangkap di kecamatan ini. Sebaliknya, purse seine merupakan alat
tangkap yang terendah tingkat kelayakannya, bahkan di Desa Urimesing, purse seine
ini malahan tidak menguntungkan, karena BCR nya kurang dari 1, yaitu 0,82. Purse
seine atau pukat cintin ini adalah sejenis jaring yang umunya berbentuk empat
persegi panjang tanpa kantong dengan banyak cincin pemberat di bagian bawah.
Contoh pukat cincin dan hasil tangkapannya dapat dilihat pada Gambar 30 dibawah
ini.
Gambar 30 Pukat cincin dan hasil tangkapan pukat cincin