5 ii. tinjauan pustaka sejarah ekonomi politik sda · sejarah pembentukan struktur penguasaan sda...

25
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktor- aktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan Wiradi, 1999). Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman, 1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi (dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan karena kepentingan (mutualistik atau konflik). Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban administrasi oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelangsungan perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan dalam kontrak politik 1 , terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam pembentukkan struktur penguasaan SDA 2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000). Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat 1 Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaitu hak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial. 2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).

Upload: doliem

Post on 05-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

5  

  

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA

Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di

setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktor-

aktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan

Wiradi, 1999).

Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman,

1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi

(dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola

penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan

karena kepentingan (mutualistik atau konflik).

Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami

perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada

masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan

pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk

mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca

kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban

administrasi oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelangsungan

perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan

dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam

pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000).

Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat

                                                            1 Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaitu hak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial. 2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, ‘Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).

Page 2: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

6  

  

sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk

penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan

kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca

Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA)

melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro,

1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan

ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai

pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi,

seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA

sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di

persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut

wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan

Setiawan, 2004).

Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan

pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan

produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal,

keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat

dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus

penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui

sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA.

Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan

strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian

pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan

dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang

berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena

OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi

daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik

yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam

menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar

(developmentalism). Pertentangan antara pusat dan daerah; kewenangan yang

tumpang tindih; kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan penurunan

Page 3: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

7  

  

kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia

(Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar

ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah:

1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak

atas tanah dan SDA lain.

2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif

terhadap SDA.

3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran

bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA

yang dimaksud.

4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun

daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA.

Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi

di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan

pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan

proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari

permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe

(mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan

baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi

di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi

ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan

dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan

investasi US $ 600 juta untuk pertambangan dan US $ 1,1 M untuk infrastruktur5.

Relasi kekuasaan di masa OTDA secara teoritis membuka kesempatan

kepada negara, pasar, dan masyarakat untuk berposisi relatif setara satu sama lain.

Akan tetapi, relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang

muncul justru penguatan watak hubungan mutualistik antara negara dan pasar                                                             3 Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di PTS Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta. 4 Proyek Pertambangan Pasir Besi, PT JM, 2008 5 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10 tahun pertama, dan sebesar 2 % pada periode selanjutnya diberikan untuk Regional Development dan Community Development senilai US $9.6 juta/tahun (dengan asumsi harga pig iron tahun 2007, yaitu US $320/ton). Pembagian keuntungan antara pemerintah Indonesia dengan TNC (investor) ialah 30 % : 70 % (Sumber: Anonim, 2008).

Page 4: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

8  

  

sebagai agen kapitalisme (negara-kapitalis), sejalan dengan marjinalisasi

masyarakat (Gambar 1). Meskipun struktur penguasaan SDA empiris mengarah

pada hegemoni negara-kapitalis (kelompok dominan) kepada rakyat, namun

sesungguhnya kekuasaan tidaklah dimiliki oleh kelompok dominan secara mutlak,

kekuasaan tidak terpusat melainkan tersebar. Hal ini tampak sebagai bentuk-

bentuk perlawanan rakyat pada kebijakan pertambangan pasir besi itu dengan

membentuk organisasi akar rumput (Grass Root Organization, GRO) dengan

agenda politis.

Gambar 1. Struktur Penguasaan SDA Empiris (sumber Sitorus dan Wiradi,

1999) Keterangan:

Hubungan interaksi Negara dengan Pasar yang mutualistik.

Hubungan interaksi Negara-kapitalis dengan Masyarakat

yang bersifat hegemonik, melalui marjinalisasi.

Hubungan produksi Negara-kapitalis dengan SDA yang

berorientasi pasar.

Hubungan produksi Masyarakat dengan SDA yang melemah.

2.2 Teori Desentralisasi

Friedman membatasi desentralisasi6 sebagai pembagian kewenangan;

tanggungjawab; atau fungsi oleh pemerintah di level lebih tinggi (pusat) kepada

                                                            6 Desentralisasi dibedakan dengan devolusi (desentralisasi politik) dan dekonsentrasi (desentralisasi administrasi) dalam hal sifat otonomi dari daerah otonom secara politik dan administrasi. Devolusi menuntut pelimpahan otoritas politik secara penuh, sedangkan dekonsentrasi pelimpahan administrasi tanpa otoritas politik. Desentralisasi di Indonesia berada di antara kedua kutub kepentingan devolusi dan dekonsentrasi, sehingga ada pembatasan otoritas daerah secara politik maupun administrasi (Imawan, 2005: 41-43). Pemilihan bentuk pemerintahan

Negara Pasar

Masyarakat SDA

Page 5: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

9  

  

pemerintah di level lebih rendah (daerah)7 (Imawan, 2005: 40). Definisi serupa

dikemukakan oleh Litvack dan Seddon8 serta Rondinelli dengan penekanan pada

pengalihan kekuasaan politik (transfer of political power), sehingga desentralisasi

bertujuan politik sebagai bagian dari demokratisasi untuk pencapaian efisiensi dan

efektivitas secara administratif (Wasistiono, 2005: 61).

Demokratisasi dibatasi sebagai proses perubahan struktur politik otoriter

menjadi struktur politik yang memungkinkan diversifikasi kekuasaan (Imawan,

2005:43). Demokratisasi muncul sebagai reaksi atas kesenjangan kekuasaan

dalam tata negara, yang ditandai dengan penyempitan partisipasi rakyat oleh

pemerintah9. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, bentuk demokratisasi muncul

sebagai gagasan good governance10.

Good governance dipopulerkan secara efektif oleh oleh World Bank dalam

Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth (1989) (Pratikno, 2005).

Governance dibatasi oleh World Bank sebagai cara pemerintah (the act of

government) menggunakan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya dalam

pembangunan11, dan oleh UNDP sebagai penggerakan kewenangan politik,

ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara pada semua level12.

Konsekuensi dari penerimaan gagasan governance ini adalah 1) ruang

pemerintahan tidak didominasi oleh pemerintah, tetapi membuka keterlibatan civil

                                                                                                                                                                   sebagai Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan, bukan Negara Federal, merupakan bukti pemaknaan desentralisasi di Indonesia yang berbeda dengan konsep devolusi dan dekonsentrasi. 7 …a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit that is assumed to have some degree of authority (Freidman dalam Shabbir 1983:35 cit. Imawan, 2005:40). 8 The transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private sector (Litvack dan Seddon, 1992: 2 cit. Wasistiono, 2005:61). 9 Laporan Johannen dan Gomez (Democratic Transition in Asia, 2001) mengenai demokratisasi di Asia, dan Gunther et al. (The Politics of Democratic Consolidation, 1995) mengenai demokratisasi di Eropa Selatan menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi nasional untuk menampung aktor-aktor baru (non pemerintah) dalam politik menjadi awal gelombang demokratisasi (Imawan, 2005: 44). 10 Pemahaman atas good governance dimudahkan oleh Thompson dengan menghadirkan istilah kebalikannya, yaitu bad governance yang dicirikan dengan 1) ketiadaan batas yang tegas antara sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi, 2) ketiadaan aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang kondusif bagi pembangunan,3) regulasi yang berisiko pada ekonomi berbiaya tinggi, 4) ketiadaan prioritas pembangunan yang konsisten, dan 5) ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan (Ibid: 46). 11 The way state power is used in managing economic and social resources for development society (Wasistiono,2005: 54). 12 The exercise of political , economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels (Ibid).

Page 6: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

10  

  

society dan private sector, 2) peran negara tidak lagi regulatif, melainkan

fasilitatif, 3) pembangunan berkelanjutan dilaksanakan atas prasyarat legitimasi

politik dan konsensus, dan 4) perampingan birokrasi. Dengan demikian,

desentralisasi merupakan sistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya

governance menurut definisi World Bank maupun UNDP. Pelibatan sektor swasta

dan masyarakat sipil dibangun atas asumsi bahwa pemerintah merupakan sumber

kegagalan pembangunan, sehingga pemerintahan yang baik (good governance)13

adalah yang less government14 (Praktikno, 2005).

Pemaknaan good governance oleh World Bank sebagai sound development

management dirumusan melalui Washington Consensus15 yang memengaruhi

kebijakan pembangunan Indonesia di akhir 1990an. Good governance versi sound

development management dikatakan oleh Peters (2001:21) cit. Praktino (2005)

sebagai pemerintahan model deregulasi (deregulated government) atau

pemerintahan model pasar (market government). Demokratisasi dijalankan dengan

memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara.

2.3 Teori Penguasaan SDA (Land Tenure)

Jaminan atas hak kepemilikan (property rights) menjadi salah satu butir

dalam good governance. Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral

                                                            13 UNDP mengajukan 9 kriteria good governance sebagai berikut: 1) partisipasi (participation), 2) penegakan hukum (rule of law), 3) transparansi (transparency), 4) daya tanggap (responsiveness), 5) berorientasi pada consensus (consensus orientation), 6) kesetaraan (equity), 7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness and efficiency), 8) akuntabilitas (accountability), dan 9) visi strategis (strategic vision). 14 Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber bagi kepemerintahan yang buruk (bad governance) karena dalam operasionalisasi World Bank tidak representatif dan merupakan sistem non pasar yang tidak efisien (Weiss, 2000:801 cit. Pratikno, 2005: 235). 15 Zhang (2003:127) cit. Pratikno (2005: 238) mengemukakan bahwa Washington Consensus merupakan ideologi neoliberlisme Amerika Serikat yang sejak 1980an mengendalikan kekuatan globalisasi (US-originated ideology of neo-liberalism, which, since 1980s, has been the driving force for globalization). Washington Consensus dihasilkan dari pertemuan tiga lembaga keuangan raksasa (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS) dengan butir-butir good governance sebagai berikut:1) disiplin fiskal, 2) konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), 3) reformasi perpajakan dengan perluasan basis pajak dan tarif pajak moderat, 4) bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, 5) liberalisasi perdagangan, 6) nilai mata uang yang kompetitif, 7) keterbukaan pada intervensi asing, 8) privatisasi perusahaan negara dan daerah, 9) deregulasi , dan 10) jaminan hukum untuk hak kepemilikan (property rights).

Page 7: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

11  

  

atas hak-hak yang muncul dari pencampuran buruh dan tanah16, sedangkan

pendapat oposannya, Marx17, memandang bahwa kepemilikan adalah pemberian.

Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon (1849)18 dan MacPherson (1978)19

memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim

yang memperoleh legitimasi sosial. Maine (1917) cit. Peluso dan Ribot (2003)

mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a

bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk

memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada

pihak lain. Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights

itu sebagai berikut:

1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah

tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users),

pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik

(owners).

2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil

manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan

penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola

pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu,

berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses

pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini,

berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.

5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan

penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan

                                                            16 …property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156). 17 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157) 18One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155). 19 …a right in the sense of an enforceable and supported by society through law, custom, or convention (Ibid).

Page 8: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

12  

  

merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas

sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

Menurut sifat kepemilikan dan aktornya, FAO (2002) membagi kepemilikan

SDA menjadi empat kategori, yaitu:

1. Kepemilikan privat

Hak atas sesuatu yang melekat pada seseorang, sekelompok orang, atau

badan hukum, pemilik dapat mengambil manfaat sepenuhnya atas apa yang

dimilikinya. Contoh: pekarangan yang dimilki oleh sebuah rumah tangga.

2. Kepemilikan komunal

Hak atas sesuatu melekat pada sekelompok masyarakat tertentu di suatu

kawasan secara bersama-sama, anggota masyarakat lain dapat turut mengambil

menfaat jika diijinkan oleh masyarakat yang terlekati hak tersebut. Contoh: hutan

adat suatu kelompok masyarakat.

3. Kepemilikan negara

Hak atas sesuatu yang melekat pada negara dan pertanggungjawabannya

diserahkan pada aparat negara sektoral. Kewenangan negara dalam mengakses

sesuatu mengatasi kewenangan pribadi atau komunal. Contoh: hutan negara.

4. Open acces

Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat

mengambil manfaat atas sesuatu itu. Contoh: udara.

Ellsworth (2002) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan

(property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)20. Selanjutnya

Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian

tenurial, yaitu:

                                                            20 Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya, property rights menjadi bagian dari tenure.

Page 9: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

13  

  

a. Aliran Property Rights

Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan

yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan

secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah:

1) Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital.

2) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan

hak kepemilikan.

3) Ketimpangan kepemilikan tidak akan terjadi sejauh dilakukan

kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya.

4) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi

atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk

dilakukan.

Aliran pemikiran ini digerakkan oleh ekonomi pasar bebas dan banyak

dianut oleh pakar hukum dan ekonomi di Indonesia.

b. Aliran Agrarian Structure Tradition

Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada

status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta

merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik

pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land

reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No 5

tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini.

c. Aliran Common Property Advocates

Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama

tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan

open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna.

Aliran ini berasumsi bahwa :

1) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan.

2) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada

sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut.

Page 10: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

14  

  

3) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam

mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan

hukum positif.

4) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat

ekonomi.

Pengelolaan secara adat/berbasis masyarakat atas suatu sumberdaya adalah

contoh dari penganutan aliran ini, misalnya sasi.

d. Aliran Institutionalist

Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro

pada rejim-rejim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan

kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran

pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami

bentuk rejim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini,

kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk

menegakkan dan mempertahankan klaim. Rejim Agrarian Structure Tradition dan

Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi,

transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada

ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat

berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rejim penguasaan.

Jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of

rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of

powers) (Peluso dan Ribot, 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim

dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin

tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang

melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan

membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas

sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah

struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik

penguasaan sumberdaya sering berlangsung.

Page 11: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

15  

  

2.4 Teori Konflik

Kekuasaan dan konflik SDA dijelaskan oleh Teori Konflik Dahrendorf yang

menyatakan bahwa konflik bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan

(Vago, 1989). Kekuasaan tidak tercermin pada pemilikan alat produksi semata,

tetapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam kontrol perilaku dan

wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu

akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran (legitimate).

Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan

konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep

konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan,

bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan

demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas

terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Otoritas tidak

bersifat stabil, hal ini karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan

secara imperative (mutlak), masyarakat tampak sebagai asosiasi yang

dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Suatu ketika seseorang berada pada

posisi superordinat, di suatu ketika yang lain ia berada di posisi subordinat.

Kepentingan menjadi konsep kunci untuk memahami posisi aktor sosial dan

berikut otoritasnya. Kepentingan dikategorikan oleh Dahrendorf menjadi

kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (kepentingan tersembunyi yang

telah disadari). Berdasarkan kesamaan kepentingannya, Dahrendorf membagi

kelompok menjadi 1) kelompok semu (quasi group), yaitu sejumlah pemegang

posisi dengan kepentingan sama, 2) kelompok kepentingan, yaitu agen riil dari

konflik kelompok, dan 3) kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam

konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Kategorisasi kelompok ini berguna

untuk memetakan aktor berdasarkan kepentingannya, terutama pada konflik di

berbagai aras (multilevel conflict), baik pada ranah material maupun ranah proses

kebijakan.

Dahrendorf mengemukakan bahwa konflik juga menyebabkan perubahan

dan perkembangan, akan tetapi penjelasan yang cukup baik mengenai fungsi

konflik dijelaskan oleh Coser, The Function of Social Conflict (1956). Coser

menyatakan bahwa 1) konflik dapat mempererat kelompok yang semula

Page 12: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

16  

  

terstruktur secara longgar, 2) konflik dapat membantu dalam pembangunan kohesi

sosial melalui aliansi, 3) konflik dapat meningkatkan peran individu yang semula

terisolasi, dan 4) konflik dapat membantu fungsi komunikasi pihak yang

berkonflik demi suatu solusi.

Kelemahan metodologis Teori Konflik Dahrendorf adalah bersifat

makroskopik, sehingga konflik-konflik di tingkat individu atau yang bersifat

internal terabaikan. Randall Collins, dalam Conflict Sociology (1975), mencoba

membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif dengan mengamati

tingkat mikro karena menurutnya stratifikasi dan organisasi didasarkan atas

hubungan timbal balik dari hidup keseharian21. Berdasarkan pemikiran Marx

mengenai keterlibatan kondisi material dalam pencarian nafkah masyarakat

modern, Collins berpendapat bahwa 1) aktor yang mempunyai kontrol atas

sumberdaya akan lebih mampu menafkahi hidupnya secara lebih memuaskan

daripada aktor yang tidak memiliki kontrol sehingga ia menjual tenaganya untuk

dapat mengakses alat produksi, 2) kelas sosial dominan lebih mampu

mengembangkan kelompok sosial ketimbang kelas sosial subordinat, dan 3) kelas

dominan lebih mampu mengembangkan simbol dan sistem ideologi yang

dipaksakan kepada kelas subordinat.

Menilik kembali bagian sebelumnya tentang pembentukan struktur

penguasaan SDA, kekuasaan (otoritas), posisi, dan kepentingan sebagai konsep-

konsep kunci dalam Teori Konflik Dahrendorf digunakan untuk memahami

hubungan interaksi aktor-aktor sosial dalam struktur penguasan sumber-sumber

agraria. Sedangkan dalam perspektif Marxian, hubungan aktor-aktor sosial

(material forces of production: capital, technology, human) dengan sumber

agraria tersebut berupa hubungan produksi (relations of productions) yang dapat

membentuk kerangka kesadaran sosial (superstructures and the ideas). Di dalam

kerangka pemikiran seperti apakah hubungan manusia-alam itu terbentuk berikut

sifatnya, diuraikan lebih lanjut dalam Teori Ekologi Manusia.

                                                            21 Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya (Collins) terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari (Collins, 1990:72 cit. Ritzer dan Goodman, 2003: 160).

Page 13: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

17  

  

2.5 Teori Ekologi Manusia

A. Sejarah Disiplin Ekologi Politik

Ekologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan

(Odum, 1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi komponen-

komponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu

menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya SDA, biologi menyebutnya

lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya

dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik

menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Teori Ekologi

Manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu

sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan

perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu

pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik22.

Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab

krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan

tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi manusia dengan

lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya

pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam mengubah karakteristik suatu

lingkungan (Moran, 2006)23. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi

lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem

sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas,

teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria,

konflik pemanfaatan SDA, gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007).

Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang

merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan

(Dharmawan, 2007), yang menekankan pada ekonomi politik SDA dan hubungan-

                                                            22 Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis lingkungan penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetik, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia. 23 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia karya Clifford Geertz (1983) merupakan karya klasik mengenai antropologi ekologi yang banyak dikenal di Indonesia.

Page 14: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

18  

  

hubungan kekuasaan atas SDA (Blaikie, 1985; Bryant, 1998; Forsyth, 2003; dan

Peluso, 2006). Ginealogi evolusi pengetahuan yang melahirkan ekologi politik

tersaji pada Gambar 2.

Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik

lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan

metodologi24. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan

SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu

menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi

kepastian hukum (Garner, 1999). Perbedaan utama antara ekologi politik (political

ecology) dan politik ekologi (ecological politics/environmental politics) adalah

sebagai berikut:

                                                            24 Environmental politics is a research field within political science that applies traditional political question to environmental matters…political ecology encompasses a wider understanding of politics than is traditionally found in environmental politics. Political ecology assesses the implications of a politicised environment (Bryant and Bailey, 2000:17)

Page 15: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

19  

  

Tabel 1. Perbedaan antara Ekologi Politik dan Politik Ekologi

Pembeda Ekologi

Politik

Politik

Ekologi

Tema sentral Ekologi Politik

Ranah kajian dominan Ilmu

Lingkungan dan

pembangunan,

geografi, sosiologi

Ilmu politik

Fokus Manajemen

kekuasaan atas SDA

Manajemen

SDA

Hasil Kelembagaan

SDA

Kebijakan

SDA

Watak Metodologi Empirik Teoritik

Page 16: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

20  

  

Keterangan: interaksi, hasil, cabang

Gambar 2. Ginealogi Evolusi Pengetahuan Ekologi Politik

Biologi‐Kimia‐Fisika

Antropologi Ekologi 

Antropologi Ekologi Sosiologi 

Sosiologi Lingkungan 

Ekologi Politik 

(Political Ecology) 

Ekonomi Politik 

Politik

Politik Lingkungan 

(Environmental Politics) 

Ekonomi 

Page 17: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

21  

  

B. Definisi Ekologi Politik

Batasan ekologi politik mengacu pada tujuan pengkajian obyek formal.

Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian

ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitikberatkan pada

interaksi antara ekologi dan ekonomi politik25, Russet (1967) memberi batasan

ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan

lingkungan fisik26, Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian

mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan

pencermatan pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya27. Beberapa batasan

ekologi politik berikut tujuannya disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini merujuk

pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu

ekologi politik sebagai pendekatan untuk memahami hubungan-hubungan yang

kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang

cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan

implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan

matapencaharian.

                                                            25 The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ). 26 As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3). 27 Political ecology, like the Marxist-inspired workers’ movement, is based on a critique—and thus an analysis, a theorized understanding, of the “order of things”. More specifically, Marx and the greens focus on a very precise sector of the real world: the humanity-nature relationship, and even more precisely, relations among people that pertain to nature (or what Marxists call the productive forces)(Ibid: 4 ).

Page 18: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

22  

  

Tabel 2. Batasan-batasan Ekologi Politik

Sumber Batasan Tujuan

Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Dharmawan (2007)

Combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy.

Explain environmental change in terms of constrained local and regional production choices within global political economic forces largely within a third world and rural context.

Watts (2000) dalam

Robbins (2004)

An approach to understand the complex relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for environmental health and sustainable livelihoods

Explain environmental conflict especially in terms of struggles over “knowledge, power, and practice” and “politics, justice, and governance”.

Bryant dan Bailey

(1997) dalam Forsyth

(2003)

A debate focuses on interactions between the state, non state aktors, and the physical environment.

Assesses the implications of a politicized environment.

Page 19: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

23  

  

C. Pendekatan-pendekatan Ekologi Politik

Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi

politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang

menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi

sehingga melahirkan rantai penjelasan (Neomarxian)28, 2) fase kedua, yaitu

pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis

dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan29 sehingga melahirkan

jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas SDA (Neoweberian), 3) fase ketiga ialah

pendekatan post-strukturalis30 yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan

kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan

dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan (Foucauldian)31.

Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis.

Lebih lanjut, Bryant menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada

masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan

keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie

                                                            28 Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Blaikie (1985) 29 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Peluso (2006). 30 Post-strukturalisme sebagai bagian dari Postmodernisme memfokuskan diri dalam kerja pewacanaan pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Bahasa atau narasi sebagai pintu masuk sistem pengetahuan, selanjutnya sistem pengetahuan membentuk kesadaran (kerangka pemikiran, paradigma, ideologi). Sistem pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Struktur bahasa tertentu merefleksikan struktur kekuasaan tertentu, misalnya dalam struktur Bahasa Jawa ada hirarki Kromo Inggil, Kromo Madya, dan Ngoko yang digunakan oleh pengguna dari struktur sosial yang berbeda-beda. Kromo Inggil digunakan oleh bawahan kepada majikan, atau kepada orang yang dituakan atau dihormati, Kromo Madya digunakan dalam relasi yang lebih setara, dan Ngoko digunakan oleh majikan kepada bawahan, atau sesama bawahan sebagai ciri bahasa kelas rendah. Kosakata dalam Kromo Inggil tidak menyediakan kata-kata umpatan, sedangkan dalam Ngoko kata-kata itu tersedia, sehingga seorang bawahan tidak dapat melakukan protes secara lugas atau mengemukakan kekecewaannya kepada majikan. Perbedaan Postmodernisme dan Post-strukturalisme adalah Postmodernisme berorientasi pada kritik kebudayaan, sedangkan Post-strukturalisme berkonsentrasi pada metodologi dan epistemologinya, dapat berupa dekonstruksi, penggalian makna dan simbol/narasi, atau analisis wacana (discourse analysis). Post-strukturalisme merupakan kritik sekaligus lanjutan dari Strukturalisme (dalam kerangka menemukan struktur). Strukturalisme membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara oposisi (oposisi biner, seperti: borjuis-proletar, penindas-tertindas, manusia-non manusia, lelaki-perempuan). Kritik utama Post-strukturalisme terhadap Strukturalisme 1) tentang makna adalah bahwa makna tidaklah bersifat stabil, melainkan dalam proses, 2) tentang kebenaran bahwa setiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran yang direproduksi melalui a) wacana yang diterima, b) mekanisme penyalahan, dan c) alat sanksi, dan d) dialektika yang mengukuhkan rezim dengan proses-proses pendisiplinan atau rutinisasi. 31 Whose Knowledge, Whose nature? Biodiversity, Conservation, and The Political Ecology of Social Movements karya Escobar (1998) adalah contoh dari tradisi ini.

Page 20: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

24  

  

dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial

menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial.

Penelitian ini secara metodologis lebih dekat pada tradisi dari fase ketiga,

dengan menekankan pada bentuk-bentuk hegemoni yang berangkat dari

penggalian makna dan narasi (tidak sampai pada analisis wacana dan

dekonstruksi). Hegemoni menurut Gramsci adalah penguasaan moral dan

intelektual kelompok dominan terhadap kelompok subordinat secara konsensual,

muara hegemoni adalah kontrol ideologi (Patria dan Arif, 1999; Roger, 1999; dan

Sugiono, 1999). Relasi pengetahuan dan kekuasaan dijelaskan oleh Foucault

sebagai dua sisi yang saling melengkapi32 keduanya (pengetahuan dan

kekuasaan) pada akhirnya direproduksi dalam rangka menciptakan hegemoni

namun dalam konteks post-struktural. Hegemoni dengan pendekatan Gramsci

mempunyai keterbatasan untuk diterapkan pada kekuasaan yang tersebar,

sementara gagasan knowledge/power Foucault terlampau jauh untuk mewadahi

praktik-praktik yang mengarah pada hegemoni.

Transisi metodologi dari hegemoni struktural Gramsci menuju relasi

kekuasaan post-struktural Foucault diperlukan. Alur tersebut akan dibangun

melalui Teori Kelas Dahrendorf, Teori Akses Peluso, hingga kemunculan

gagasan Governmentality33.

                                                            32 Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault. Discipline and Punishment, London, Tavistock, 1977, p27.) 33 Governmentality berbeda konsep dengan Government, Governance, dan Governability. Government (pemerintah) adalah aktor penyelenggara pemerintahan. Governance (kepemerintahan) adalah tata laksana penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah, lebih mengacu pada tatakelola. Governability (the capacity of government to govern) adalah kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan. Government, Governance, dan Governability merupakan istilah-istilah dalam administrasi publik dan ilmu kepemerintahan yang berkaitan dengan bagaimana suatu pengelolaan institusi bernama negaradiselenggarakan oleh aktornya (lihat Praktikno, 2005; Wasistiono, 2005; dan Imawan, 2005). Governmentality adalah konsep yang diturunkan dari filsafat kekuasaan Foucault menyangkut ‘conduct of conduct’, dapat dipahami sebagai (www.wikipedia.org):

Page 21: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

25  

  

Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup

memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan

sebagai pembeda kelas sosial dan sumber konflik34, teori konflik Dahrendorf

memungkinkan perluasan kajian menuju relasi-relasi kekuasaan dibandingkan

dengan teori konflik Marx yang membatasi pada penguasaan alat produksi.

Kelembagaan SDA merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut

perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum

mengenai hak-hak atas SDA. Hak atas SDA di Indonesia mengacu pada teori

kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang

atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan

permasalahan utama konflik sumberdaya bukanlah hak, melainkan akses yang

menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan

(a bundle of powers)35. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak

muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang

                                                                                                                                                                   1) The way governments try to produce the citizen best suited to fulfill those governments'

policies, 2) The organized practices (mentalities, rationalities, and techniques) through which

subjects are governed 3) The "art of government" (Burchell 78), 4) "Governmental Rationality" (Gordon 1991: 1), 5) A ‘guideline’ for the analysis [Foucault] offers by way of historical reconstructions

embracing a period starting from Ancient Greece (sic) through to modern neoliberalism”(Lemke 2) 

6) “The Techniques and strategies by which a society is rendered governable” (Jones 174) 

Li (2007) menggali makna Governmentality melalui penelusurannya atas asumsi-asumsi Foucault tentang kekuasaan, yaitu:1) Pemerintahan diterapkan pada tubuh sosial (populasi, masyarakat) dengan jalan pendisiplinan berupa pendidikan, penataan kebiasaan; aspirasi; dan kepercayaan, hal ini dikarenakan tidak mungkin mendisiplinkan tubuh sosial dengan alat-alat pendisiplinan bagi tubuh individu (sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara). 2) Tujuan pendisiplinan adalah agar tubuh sosial mengikuti kehendak pengendali dengan cara mengikuti kehendak diri sendiri (yang telah disesuaikan dengan kehendak penguasa). 3) Kehendak untuk memerintah (the will to govern), lebih khusus lagi kehendak untuk merekayasa (the will to improve) bersifat ekspansif. 4) Tujuan dari pemerintahan bukan tunggal dan dogmatis dan diselenggarakan dengan berbagai bentuk taktik yang melahirkan pembenaran (a way of thinking about government as the “right manner of disposing things” in pursuit not of one dogmatics goal , but “a whole series of specific finalties” to be achieved through “multiform tactics” [Foucault, 1991:95] dan 5) Pertanyaan analitis dari governmentality adalah bagaimana kekuasaan dioperasikan sehingga pengendalian berjalan tanpa ada perasaan terkendali pada yang dikendalikan.

34 Lihat Vago (1989:39) 35 Lihat Peluso dan Ribot (2003:153).

Page 22: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

26  

  

mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi, seperangkat pengakuan

sosial ini merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktik-praktik hegemoni

dengan cara-cara represif dan koersif (Peluso, 2006) maupun penundukan-

penundukan secara halus (subtle ways) (Li, 2002).

Li (2003) memperkenalkan kerangka konseptual untuk membedah situasi

konflik melalui pendekatan kekuasaan (a conceptualization of power) dan

penelusuran narasi (a repertoire of terms) proyek; posisi; praktik; dan proses.

Konflik SDA bekerja pada dua situasi yaitu logika kapitalisme dan kekuasaan

(yang oleh Foucault dilabeli sebagai governmental)36. Proyek adalah istilah yang

mengacu pada jenis kegiatan baik yang berupa proyek pemerintah, proyek

ekonomi (Swasta), maupun proyek politis (LSM). Posisi mengacu pada daya

tawar masing-masing aktor dalam suatu proyek, ini terkait dengan bagaimana

setiap aktor memosisikan dirinya di dalam arena konflik terhadap aktor lainnya.

Praktik mengacu pada bentuk konkret bagaimana suatu proyek dijalankan dan

posisi itu bekerja. Proses menekankan pada dampak-dampak tak terencana dari

proyek dan praktik melintasi ruang dan waktu.

Pasca ORBA, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat. Relasi kekuasaan

berbeda dengan relasi dominasi dalam hal distribusi kekuasaan. Relasi dominasi

tidak memberi kesempatan kelompok subordinat untuk membuat pilihan selain

pilihan yang sudah ditentukan oleh kelompok dominan. Sedangkan di dalam relasi

kekuasaan, kemungkinan dan pilihan tindakan setiap kelompok terbuka lebar.

Menurut Foucault, relasi kekuasaan kini semakin dipengaruhi dan dikontrol oleh

negara (governmentalized), inilah alasan Foucault menyebut model relasi

kekuasaan ini dengan governmentality. Governmentality dipahami sebagai

kewenangan yang direkayasa bukan untuk tujuan-tujuan pembangunan, melainkan

untuk mengendalikan populasi dan sumberdaya demi kepentingan kelompok

dominan tertentu (Li, 2007).

                                                            36 Conflict over natural resources are situated rather obviously within the logic of capitalism, …but they are also situated within the field of power Foucault labelled governmental, in which experts in and out of the state machinery attempt to enhance the quality of population, rearranging landscapes, livelihood, and identities according to techno-scientific criteria (Li, 2003:5120).

Page 23: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

27  

  

Perbedaan hegemoni Gramsci dan governmentality Foucault terletak pada

tempat berlangsungnya kekuasaan, governmentality berlangsung dalam setiap

relasi sosial bukan sekadar relasi negara dengan masyarakat seperti dalam

pandangan Marx atau Gramsci.

Konsep governmentality Foucault menggambarkan model relasi kekuasaan

yang berlaku dalam masyarakat modern saat ini yang mana kekuasaan tidak

hanya dijalankan melalui soverign power atau disciplinary power, tetapi justru

cenderung dijalankan dengan cara‐cara yang positif. Substansi governmentality

tidak beda dengan disciplinary power, yakni disiplin tubuh yang hanya dapat

diketahui melalui efek‐efek dari kekuasaan itu. Jika disciplinary power diterapkan

pada tubuh individu, maka governmentality diberlakukan pada tubuh sosial. Jika

bentuk pengetahuan dari disciplinary power berupa rezim kebenaran, maka

bentuk pengetahuan dari governmentality berupa ekonomi politik.

Governmentality dapat menjembatani kesenjangan metodologi struktural dan post-

struktural dalam menelaah relasi kekuasaan.

2.6 Kerangka Konseptual

OTDA merupakan sistem politik yang memungkinkan Pemda di tingkat

kabupaten untuk mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan SDA

dan lingkungan (SDA). Keputusan yang diambil oleh Pemda tersebut dilandasi

oleh kepentingan ekonomi politik dan konsensus-konsensus yang membentuk

rejim penguasaan atas SDA, baik itu berupa produk hukum dalam negeri maupun

luar negeri; agenda-agenda lembaga internasional; dan yang tak kalah penting

adalah pemaknaan terhadap SDA. Perpaduan OTDA dan rejim penguasaan SDA

dimunculkan sebagai kebijakan atas SDA, dalam konteks penelitian ini adalah

pertambangan pasir besi.

Kebijakan atas SDA tertentu menimbulkan konflik SDA, baik itu bersifat

material maupun immaterial. Konflik sebagai akibat dari kebijakan atas SDA

dapat ditelaah dengan Teori Desentralisasi, Teori Property Rights, Teori Konflik,

dan Teori Ekologi manusia sebagai alat analisis konseptual. Konflik tersebut pada

dimensi empirik dianalisis melalui Struktur Penguasaan SDA, Proses Politik

Kebijakan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA.

Page 24: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

28  

  

Dalam penelitian ini, istilah SDA dan agraria digunakan secara bergantian

untuk merujuk pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya alam berbasis tanah.

Istilah SDA dipilih untuk menjaga konsistensi penulisan, kecuali pada hal-hal

yang telah dianggap lazim dipergunakan istilah agraria.

Teori Desentralisasi menjelaskan asumsi dasar, konsep dasar, dan

konsekuensi dari desentralisasi, yang dalam bentuk teknisnya diterjemahkan

sebagai sistem OTDA. Teori Property Rights menjelaskan asumsi dasar, konsep,

dan bentuk-bentuk penguasaan SDA oleh aktor-aktor ekonomi politik, yaitu

negara; masyarakat; dan pasar. Teori Konflik menjelaskan akar konflik, struktur

konflik, arena konflik, dan analisis konflik, dalam konteks penelitian ini adalah

konflik SDA. Teori Ekologi Manusia menjelaskan relasi ekonomi politik dan

sosial budaya antara manusia dengan SDA.

Konsep Governmentality digunakan untuk mencermati relasi-relasi

kekuasaan dalam konflik SDA, baik itu yang bekerja pada tingkat tindakan

maupun kesadaran. Hasil dari proses pencermatan tersebut diharapkan dapat

digunakan untuk menilai arah konflik SDA dan arah perubahan ekosistem yang

disebabkan oleh konflik tersebut. Secara sederhana, arah konflik dapat dinilai

positif jika aktor-aktor yang berkonflik dapat memunculkan konsensus-konsensus

baru yang menjamin kepentingan masing-masing dalam pemanfaatan ruang

bersama. Namun, arah konflik dapat dinilai negatif jika keputusan-keputusan para

aktor yang berkonflik justru mengarah pada krisis-krisis ekologi, sosial, dan

politik. Alternatif kebijakan yang lebih adil bagi kepentingan ekonomi, sosial, dan

lingkungan tetap harus tercipta.

Pemahaman terhadap konsep Governmentality adalah penting karena

memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat permasalahan secara lebih

luas dan mendalam, terutama jantung organisasi kepentingan atas SDA, yaitu:

kekuasaan. Dengan demikian, pengambil kebijakan tidak hanya akan terjebak

pada evaluasi kebijakan yang bersifat teknis, melainkan menemukan kerangka

paradigmatik yang menjadi landasan bagi penyusunan suatu kebijakan. Bermula

dari pemahaman pada Governmentality, pengambil kebijakan dapat memulai

suatu pertanyaan : di dalam kerangka kesadaran dan kekuasaan seperti apakah

suatu kebijakan SDA dilahirkan?

Page 25: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Ekonomi Politik SDA · Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari

29  

  

  

Teori Desentralisasi (Teori Pendukung)

Teori Property Rights

Teori Konflik

Teori Ekologi Manusia

(Teori Pendukung)

KEBIJAKAN Pengelolaan

SDA Struktur Penguasaan

SDA

Proses Politik Kebijakan SDA

Struktur Konflik SDA

Relasi Kekuasaan SDA

OTDA Rejim Penguasaan SDA

KONFLIK-KONFLIK SDA

GOVERNMENTALITY SDA

ARAH KONFLIK DAN

PERUBAHAN EKOSISTEM

Krisis-krisis Sosial-Politik-Ekologi

ALTERNATIF KEBIJAKAN SDA

Konsesus-konsensus

Pengelolaan SDA

Gambar 3 Bagan Alir Kerangka Konseptual