sejarah politik islam
DESCRIPTION
Oleh Novi Hendra, S.IPTRANSCRIPT
Pendahuluan
Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk
dipisahkan. Mungkin keimpulan seperti itulah yang muncul ketika penulis membaca
buku seorang kristenArab, Jamil Shaliba yang berjudul al-Falsafah al-Arabiyyah. Pilar-
pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika
hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang
berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India.
Berangkat dari tesis itu, penulis sepakat untuk mengatakan bahwa kebudayaan Yunani
telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik. Agar
uraian tulisan ini tidak melebar terlalu jauh, penulis akan mengerucutkan wilayah
peradaban Islam pada bidang filsafat. Filsafat sebagai khazanah Islam telah
membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian
menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik
pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani,
Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh pengaruh yang sangat besar
bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi
bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.
Lantas bagaimanakah proses penyebaran dan pembentukan filsafat dalam dunia Islam?
Filsafat yang berasal dari kata Yunani, Philosophia, berarti cinta kebijaksanaan. Kata ini
kemudian diserap ke dalam bahasaArab menjadi al-falsafah, sementara orang yang
menggeluti bidang ini disebut al-falasifah (para filsuf). Filsafat Islam dalam hal ini adalah
sebuah produk dari proses pemikiran yang dihasilkan oleh para sarjana muslim klasik
setelah mengalami persinggungan dengan kebudayaan Yunani. Karena, seperti yang
sudah penulis sampaikan, kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani mulai dikenal
oleh umat Islam setelah membaca buku-buku pemikir dari Yunani. Orang Islam pertama
yang dikenal sebagai filsuf Islam pertama adalah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (Wafat
sekitar 257 H/ 870 M).
Uraian tentang transmisi kebudayaan Yunani dalam peradaban Islam ini akan penulis
mulai dengan perkenalan umat Islam akan kebudayaan-kebudayaan besar pra-Islam yang
ada di beberapa wilayah kekuasaan umat Islam yang sedang meluas saat itu. Perkenalan
yang didasari atas semangat Islam yang menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan
dari siapa pun berlanjut pada proses penerjemahan besar-besaran selama kurang lebih dua
abad, dari awal abad ketujuh hingga akhir abad kedelapan. Proses penerjemahan ini
meliputi dari berbagai kebudayaan, khususnya dari Yunani kemudian Persia dan India.
Selama kurang dari dua abad ini, yang terjadi adalah sebuah proses penerjemahan yang
melibatkan banyak intelektual Kristen Nestorian yang kebetulan mahir dalam beberapa
bahasa penting saat itu, Yunani, Suryani danArab. Baru setelah banyak buku-buku dari
kebudayaan non-Islam diterjemahkan ke dalam bahasaArab, mulailah bermunculan
produk-produk pemikiran yang disebut filsafat Islam.
Pertautan Dengan Kebudayaan Pra-Islam
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat pada 632 M, para shahabat berkumpul di Majlis
Bani Tsaqifah untuk memilih seorang khalifah (pengganti Nabi). Melalui sebuah proses
konsensus yang cukup panas dan menegangkan akhirnya muncul Abu Bakar al-Siddiq
sebagai khalifah pertama umat Islam. Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh
Umar ibn Khattab. Pada masa Umar terjadi gelombang ekspansi untuk pertama kalinya.
Tahun 635 M, kota Damaskus jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tahun 641, Aleksandria
menyerah pada tentara Islam di bawah pimpinan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Singkat kata, dengan
terjadinya gelombang ekspansi pertama ini, semenanjungArab, Palestina, Suria, Irak,
Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Paska Umar,
kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan, mantu Nabi Muhammad Saw. Namun
karena terjadi kecemburuan kekuasaan akibat dari sikap nepotisme Utsman,
kekuasaannya diakhiri dengan pembunuhan terhadap dirinya. Kekhalifahan umat Islam
saat itu betul-betul mengalami ujian berat. Kemudian tampil Ali sebagai pengganti
Utsman. Namun kepemimpinan Ali telah membuat kecewa kubu Utsman karena tidak
berhasil mengusut kematian Utsman hingga tuntas. Kepemimpinan Ali ini menjadi
puncak dari sistem kekhalifahan dalam sejarah Islam yang kemudian akhirnya digantikan
dengan sistem dinasti.
Setelah terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah yang menjadi gubernur
Damaskus saat itu, konflik kekuasaan di tubuh kekhalifahan memuncak hingga akhirnya
Ali pun dibunuh oleh kelompok yang berasal dari kubunya sendiri karena telah menerima
tahkim (arbitrase) dari pihak Mu’awiyah. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti
Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang
sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak
mengurusi masalah internal.
Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan
kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih sembilanpuluh tahun
dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah (keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-
Muttallib – Paman Nabi). Bani Abbasiyah diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Suriah, SemenanjungArabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil,
Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan
itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India.
Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada
pengembangan pengetahuan.
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa
kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak
813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara
besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan
besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian
menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus
sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para
penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah
bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani,
Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan
dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya. Dan
perlu dikui bahwa di antara banyak pengetahuan dan kebudayaan yang ditejemahkan ke
dalam bahasaArab, karya-karya klasik Yunani adalah yang paling banyak menyita
perhatian. Khususnya karya-karya filsuf besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles.
Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah
astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama. Seperti karya Al-Biruni
(w. 1048), sejarahwan dan astronom muslim terkemuka, Tahqiq ma li Al-Hind min
Maqulah (Kebenaran Ihwal Kepercayaan Rakyat India). Dalam tulisannya itu ia
menguraikan kepercayaan fundamental orang-otang Hindu dan menyejajarkannya dengan
filsafat Yunani. Atau terjemahan Ibn Al-Muqaffa’ (w. 759) yang berjudul Kalilah wa
Dimnah (Fabel-fabel Tentang Guru) diterjemahkan dari bahasa Sanskerta yang
merupakan penegetahuan sastra Persia.
Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, Al-falsafah Al-‘arabiyah,
terbentuknya filsafat Islam terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan
kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan
maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islam yang mengambil jalur metode filsafat
Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga Ibnu Khaldun. Menurut Fazlur
Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus
dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah
adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang
bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa
filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau
HelenismeSementara Shaliba yang kurang lebih sependapat dengan pendapat Rahman, ia
mengatakan bahwa salah satu perbedaan filsafat Islam dengan Yunani ada pada maksud
dan tujuannya. Menurutnya, tujuan dari filsafat Yunani adalah lebih dilatarbelakangi nilai
estetis sementara dalam filsafat Islam karena dorongan ajaran agama (Islam).
Penerjemah dan Buku-buku Yang Diterjemahkan
Perpustakaan Bait al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Ma’mun berisi para
penerjemah yang terdiri dari orang Yahudi, Kristen dan para penyembah Bintang. Di
antara para penerjemah yang cukup terkenal dengan produk terjemahannya itu adalah
Yahya ibn al-Bitriq (wafat 200 H/ 815 M) yang banyak menerjemahkan buku-buku
kedokteran pemikir Yunani, seperti Kitab al-hayawan (buku tentang makhluk hidup) dan
Timaeus karya Plato. Al-Hajjaj ibn Mathar yang hidup pada masa pemerintahan al-
Ma’mun dan telah menerjemahkan buku Euklids ke dalam bahasaArab serta menafsirkan
buku al-Majisti karya Ptolemaeus. Abd al-Masih ibn Na’imah al-Himsi (wafat 220 H/
835 M) yang menerjemahkan buku Sophistica karya Aristoteles. Yuhana ibn Masawaih
seorang dokter pandai dari Jundisapur (Wafat 242 H/ 857 M) yang kemudian diangkat
oleh khalifah al-Ma’mun sebagai kepala perpustakaan bait al-hikmah, banyak
menerjemahkan buku-buku kedokteran klasik.
Seorang penerjemah yang sangat terkenal karena banyak terjemahan yang dilahirkannya
adalah Hunain ibn Ishaq al-Abadi yang merupakan seorang Kristen Nestorian (194-260
H/ 810-873 M). Ia adalah seorang penerjemah yang dikumpulkan oleh Yuhana Ibn
Masawaih dan kemudian belajar ilmu kedokteran darinya. Ia menguasai beberapa bahasa
penting saat itu karena memuat banyak kebudayaan besar, seperti bahasa Persia, Yunani,
Yunani dan bahasaArab. Hasil terjemahan Hunain ini dihargai emas oleh khalifah
setimbang dengan berat buku yang diterjemahkannya. Buku-buku yang besar saat itu ia
ringkas sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh orang yang menggelutinya. Di antara
buku yang ia terjemahkan ke dalam bahasaArab adalah buku Politicus, Timaues karya
Plato dan Etika serta fisika karya Aristoteles. Masih banyak penerjemah yang lain yang
telah menyumbangkan kemahiran dan penguasaan pengetahuan mereka bagi khazanah
perpustakaan Bait al-Hikmah.
Di antara buku-buku filsafat terpenting yang diterjemahkan ke dalam bahasaArab oleh
tim yang terdiri atas Hunain, Hubaisy sepupu Hunain dan Isa ibn Yahya murid Hunain
adalah Analytica posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics karya Galen serta
ringkasan karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus, Republic dan Laws.
Sementara karya-karya Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, Generation and
Corruption, Nichomachean Ethics diarabkan oleh Ishaq ibn Hunain dari bahasa Suryani.
Selain proses penerjemahan, masih cukup banyak juga buku-buku Yunani dan Suryani
yang ditafsirkan atau diringkas oleh para penerjemah yang kebetulan menguasai
pengetahuan tentang isi buku tersebut.
Namun demikian, proses penerjemahan yang terjadi secara besar-besaran ini tidak
semuanya berhasil mancapai hasil yang sukses sebagai sebuah terjemahan yang layak.
Ada beberapa buku terjemahan yang bahkan menyulitkan pembaca untuk memahami isi
buku. Di antara orang yang menderita akibat buruknys mutu sebuah terjemahan adalah
Ibnu Sina. Menurut Jamil Shaliba, Ibnu Sina pernah membaca buku terjemahan
Metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tetapi ia sama sekali tidak dapat
mengerti maksud dari tulisan tersebut. Hal ini setidaknya dikarenakan dua hal, pertama
karena memang sulit dan begitu dalamnya tulisan Aristoteles tentang Metafisika dan
kedua karena kesulitan proses penerjemahannnya ke dalam bahasaArab. Buruknya
beberapa mutu terjemahan juga dikarenakan metode terjemahan yang terlalu harfiah dari
bahasa non-Arab ke dalam bahasaArab. Ibnu Abi Usbu’aih pernah mengkategorikan
tingkat mutu terjemahan ketika itu, yakni tingkat baik seperti terjemahan Hunain ibn
Ishaq dan anaknya Ishaq Ibn Hunain, tingkat sedang ada pada terjemahan Ibnu Na’imah
dan Tsabit ibn Qurrah. Dan tingkat yang ketiga adalah buruk, seperti yang ada pada
terjemahan Ibn al-Bitriq.
Motivasi Gerakan Penerjemahan
Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan yang sudah dimulai
sejak zaman Bani Umayah dan kemudian menemukan puncaknya pada dinasti Bani
‘Abbasiyah. Pertama motovasi praktis dan kedua motivasi kultural. Pada motivasi yang
pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsaArab saat itu untuk mempelajari ilmu-
ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis dapat
membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam
ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh
umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan
falak (astronomi). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan
hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu
Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.
Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada
masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia, Yunani untuk
menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal aqidah yang datang dari luar Islam.
Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum
Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu
bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis
lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk
mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari
luar.
Selain itu ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn al-Nadim tentang motivasi
penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Ia
menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan
seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak, alisnya menyambung dan
mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas singgasana khalifah al-Ma’mun.
Kemudian khalifah al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki itu, “siapa engkau?”. Laki-laki
itu menjawab “aku Aristoteles.” Dalam mimpi itu, khalifah al-Ma’mun merasa sangat
senang karena dapat bertemu dengan filsuf yang menjadi pujaannya. Kemudian al-
Ma’mun bertanya kepada laki-laki yang mengaku sebagai Aristoteles, “wahai sang filsuf,
aku ingin bertanya, apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu menjawab: “baik itu adalah apa yang
baik menurut akal.” “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf ?”, khalifah bertanya lagi. “apa
yang baik menurut syari’at” laki-laki itu menjawab lagi. “Kemudian apa lagi wahai sang
filsuf?” khalifah bertanya lagi. “Apa yang baik menurut kebanyakan (jumhur)” laki-laki
itu menjawab, dan tidak ada setelah itu.
Sepintas lalu mungkin kita akan menyimpulkan bahwa mimpi khalifah al-Ma’mun itu
hanya sekedar bagian dari kembang tidur semata. Namun Ibn al-Nadim, dalam bukunya
al-Fihrist, sangat meyakini bahwa mimpi itu menjadi motivator yang cukup kuat bagi al-
Ma’mun untuk menggerakkan penerjemahan pada masa kekuasaannya. Sampai-sampai ia
mengirim surat kepada raja Romawi untuk meminta izinnya agar buku-buku yang ada di
kerajaan Romawi dapat diterjemahkan oleh para penerjemah yang ada di perpustakaan
Bait al-Hikmah. Namun dalam catatan yang lain, gerakan penerjemahan itu buka semata-
mata karena mimpi yang dialami oleh sang khalifah, melainkan lebih dikarenakan dari
hasil renungan atas mimpi itu bahwa proses penerjemahan yang ia lakukan itu baik dari
perspektif nalar maupun syariat. Selain itu mungkin saja terjadinya mimpi itu juga
dikarenakan oleh kecenderungan sang khalifah pada mazhab mu’tazilah.
Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat Islam
pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang sastra, seperti
karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Di antaranya adalah
karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa sastraArab bersifat self
sufficient, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan buku-buku sastra yang ada
dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak memberikan pengaruh apa pun tehadap
proses penguatan aqidah umat Islam. Namun argumentasi ini tidak terlalu kuat karena
pada sisi yang lain umat Islam cukup gemar menerjemahkan buku-buku sastra yang
berasal dari kebudayaan Persia dan India yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah.
Sehingga muncul alasan yang lain bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk
menerjemahkan karya sastra Yunani lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra
Yunani bagi masyarakatArab bila dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan
India. Sehingga dengan demikian, alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra
Yunani tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja.
Pengaruh Karya-karya Terjemahan
Proses penerjemahan yang berlangsung selama kurang lebih dua abad telah menjadi
berkah yang besar bagi umat Islam saat itu. Hal ini dapat dipahami karena proses
penerjemahan ini menjadi mediator dalam dialog antara kebudayaan pengetahuan pra-
Islam dengan umat Islam yang sedang haus ilmu. Khazanah kebudayaan besar yang
meliputi Yunani, Persia dan India sedang mengalami kesepian di negerinya sendiri, di
dunia Islam, karya-karya tersebut mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa. Sampai-
sampai seorang khalifah mau membayar sebuah buku yang sudah diterjemahkan dengan
nilai emas seberat buku tersebut. Selain itu, motivasi ini juga dilatarbelakangi oleh
keyakinan umat Islam saat itu bahwa peradaban hanya dapat dibangun dengan ilmu
pengetahuan yang kuat. Dan dalam melakukan proses itu, Islam yang baru saja berdiri
tidak dapat melakukan tugas itu sendirian, melainkan harus dibantu dengan khazanah
kebudayaan besar yang ada sebelumnya.
Pengaruh dari proses penerjemahan ini dapat kita lihat pada perkembangan dunia
kedokteran, astronomi, matematika, hukum (qiyas dalam ilmu fiqih), politik dan filsafat
itu sendiri. Dalam kedokteran, kita mengenal Ibnu Sina, politik pada al-Farabi,
matematika pada al-Biruni, astronomi pada Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, sejarah
peradaban pada Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi para sarjana muslim klasik yang
telah menorehkan tinta emasnya bagi peradaban Islam karena bersentuhan dengan karya-
karya kebudayaan pra-Islam yang sudah diterjemahkan. Dalam proses penerjemahan itu
juga terjadi penyerapan bahasa Yunani yang kemudian menjadi bahasaArab. Seperti kata
al-falsafah, al-musiqy, al-kimya, al-jigrafiyah dan lainnya
Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan sebuah
sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan hanya sekedar penjiplakan
pengetahuan sebelumnya yang kemudian diberi label Islam karena telah diterjemahkan ke
dalam bahasaArab. Lebih dari itu, sintesa ini juga meliputi proses reproduksi yang giat
dilakukan oleh para ilmuan muslim. Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa
Yunani tidak berhenti hanya pada hasil terjemahan namun telah merangsang para
intelektual muslim untuk mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas
karya-karya filsuf Yunani itu.
Warna kebudayaan ilmiah pra-Islam yang dominan pada pandangan dunia umat Islam
dapat kita lihat dalam bentuk corak berpikir rasional atau dalam metode historis yang
dikembangkan oleh para periwayat hadits. Dalam teks-teks yang ditulis pada masa itu,
cukup banyak metode atau tradisi filosofis yang tersaji dalam kajian-kajian ilmu alam.
Terutama pada kajian-kajian yang mendasarkan diri pada matematika. Hukum qiyas atau
analogi adalah salah satu pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih.
Pengaruh-pengaruh ini menjadi inheren dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses
sejarah yang panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan
yang dipengaruhi.
Beberapa Aliran Filsafat Dalam Islam
Cukup sulit untuk mengklasifikasikan kecenderungan filsafat Islam dalam satu aliran
yang rigid. Sebagai contoh, paham Neoplatonisme yang berkembang di kalangan filsuf
Islam dianggap sebagai titik temu ajaran Plato dan Aristoteles. Padahal, pada saat ini kita
mengetahui bahwa dua filsuf ini memiliki jalan yang berbeda dengan Neoplatonisme
yang dimaksud. Buku yang dianggap sebagai karya Aristoteles saat itu adalah Theology.
Namun belakangan diketahui bahwa buku tersebut adalah karya tambahan dari Enneads-
nya Plotinus. Karenanya akan lebih aman bila kita mengatakan bahwa ada banyak corak
Neoplatonisme dari pada hanya ada satu corak Neoplatonisme. Hal serupa juga
dinyatakan oleh cak Nur dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, bahwa paham
Neoplatonisme yang sampai dan berkembang di kalangan filsuf Islam sudah tercampur
dengan penafsiran Aristotelianisme. Sementara ajaran Aristoteles yang dipelajari oleh
para filsuf Islam sebenarnya sudah bukan ajaran Aristoteles yang murni melainkan
ajaran-ajaran dari para penafsir Aristoteles. Sehingga dengan demikian bukan Aristoteles
sendiri yang berpengaruh dalam filsafat Islam melainkan Aristotelianisme
Untuk meneropong beberapa kecenderungan aliran dalam filsafat Islam, penulis
menyajikan dua aliran yang menjadi kecenderungan sebagian besar filsuf Islam, yakni
aliran Peripatetik dan aliran Iluminasi. Pada umumnya gaya berfilsafat peripatetik
menjadi kecenderungan para filsuf Islam yang berada di wilayah barat seperti Andalusia.
Sementara pada aliran Iluminasi, mereka yang mencoba memadukan filsafat Yunani
dengan kebijaksanaan timur (oriental wisdom), pada umumnya berdiam di wilayah
bagian timur seperti Persia dan Suriah.
Peripatetisme
Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang
masuk dalam kategori filsuf peripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/
1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M).
Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar-
dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali
Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasaArab dikenal dengan nama al-
Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu
berjalan-jalan dalam mengajar.
Untuk melihat corak filsafat peripatetik, ada baiknya bila kita melihat beberapa filsuf
yang berasal dari wilayah barat ini sekilas. Ibnu Bajjah yang dikenal Avempace dalam
bahasa latin telah menempatkan diri sebagai filsuf yang berdiri pada tradisi Neoplatonik-
Peripatetik yang diperkenalkan oleh al-Farabi. Bagi Ibnu Bajjah, al-Farabi adalah satu-
satunya guru logika, politik dan metafisika yang berasal dari wilayah timur. Tampaknya
Ibnu Bajjah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan filsuf wilayah timur yang satu
ini. Hal ini dapat kita lihat juga pada karya Ibnu Bajjah yang berjudul Tadbir al-
Mutawahhid yang mendasarkan pada pemikiran al-Farabi dengan cukup kental.
Kedekatannya dengan al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua dalam filsafat di mana
guru pertamanya adalah Aristoteles telah memberi warna tersendiri bagi metode filsafat
Ibnu Bajjah.
Salah satu pemikiran Ibnu Bajjah adalah tentang empat tipe mahluk spiritual. Tipe
pertama adalah bentuk-bentuk dari benda-benda langit (forms of the heavenly bodies)
yang sama sekali bersifat imateriil. Ibnu Bajjah menyamakan tipe ini dengan akal-akal
terpisah (separate intelligences) yang dalam kosmologi Aristotelian dan Islam diyakini
sebagai penggerak benda-benda langit. Tipe kedua adalah akal capaian (mustafad) atau
akal aktif yang juga bersifat immateriil. Tipe ketiga adalah bentuk-bentuk materiil yang
diabstraksikan dari materi. Sedangkan tipe yang keempat adalah representasi-representasi
yang tersimpan dalam tiga daya jiwa: sensus communis, imajinasi dan memori. Seperti
bentuk-bentuk materiil, bentuk-bentuk ini juga dinaikkan ke tingkat spiritual melalui
fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah
pemikiran rasional.
Tokoh filsafat perpatetik lainnya adalah Ibnu Tufail yang lahir di Wadi ‘Asy dekat
Granada. Salah satu karya yang cukup terkenal dari Ibnu Tufail adalah sebuah roman
yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Judul karya ini memang sama dengan dengan karya
yang telah dibuat sebelumnya oleh Ibnu Sina. Dalam buku ini, Ibnu Tufail menekankan
kebijaksanaan timur yang dapat diidentifikasikan sebagai tasawuf yang saat itu banyak
ditolak oleh banyak filsuf, termasuk Ibnu Bajjah. Melalui karyanya ini, Ibnu Tufail
mengaku dapat memecahkan pertentangan yang timbul antara filsafat dan agama atau
akal dan iman. Dua hal yang bertentangan ini dapat diumpamakan sebagai kebenaran
internal dan kebenaran eksternal yang pada prinsipnya sama-sama kebenaran. Namun dua
macam kebenaran ini tidak bisa digeneralisasikan untuk siapa saja tanpa melihat
kecerdasan yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Karena kebenaran filsafat hanya dapat
dicapai oleh orang-orang khusus yang memiliki kecerdasan yang tinggi maka ia tidak
bisa diberikan begitu saja kepada orang awam. Sementara kebenaran agama yang melalui
kitab suci Alquran yang menggunakan bahasa inderawi dan makna-makna harfiah akan
dapat dengan mudah difahami oleh orang pada umumnya (awam).
Ibnu Rushd merupakan tokoh puncak dalam aliran filsafat peripatetik. Karena
perkembangan filsafat paska Ibnu Rushd sudah mengambil jalan yang lain, yakni
Iluminasi. Ia lahir pada 1126 M di Kordoba dan mempelajari banyak bidang, mulai
bahasaArab, fikih, kalam hingga kedokteran. Seorang khalifah pernah memerintahkannya
untuk menjelaskan karya-karya Aristoteles karena sangat sulit untuk dipahami. Ibnu
Rushd menulis komentar secara komprenhensif mengenai karya-karya Aristoteles kecuali
politics. Karya Aristoteles, Physics, Metaphysics, De Anima, De Coelo dan Analytica
posteriora dikomentari oleh Ibnu Rushd dalam tiga versi, “komentar lengkap”, “komentar
sedang” dan “komentar singkat.” Karya-karya Ibnu Rushd yang lebih orisinal dapat kita
baca pada polemiknya dengan Imam al-Ghazali tentang kesesatan para filsuf pada
Tahafut al-Tahafut (kerancuan dari buku Tahafut karya al-Ghazali). Atau pada Fashl al-
Maqal dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah yang menyerang teologi al-Asy’ary dan
menjelaskan hubungan filsafat dan agama yang sangat hangat pada saat itu
Dalam perdebantannya dengan para teolog mengenai penciptaan, Ibnu Rushd banyak
diinspirasikan oleh pandangn Aristoteles. Menurut Ibnu Rushd, ‘penciptaan’ merupakan
tindakan menggabungkan materi dengan bentuk atau teraktualisasinya potensi menjadi
aktus. Jadi penciptaan bukanlah sesuatu yang berasal dari ketiadaan (creatio ex nixilo).
Pandangan Ibnu Rushd yang ia petik dari buah pikiran Aristoteles ini berimplikasi pada
proses tergabungnya bentuk dengan materi. Tuhan dalam hal ini menjadi pencipta unsur-
unsur dari gabungan itu sendiri, yang tak lain adalah alam semesta. Pengabungan ini
dapat berlangsung secara terus-menerus atau sekaligus. Bagi Ibnu Rushd, hanya
penciptaan yang terus-menerus (ihdats da’im), seperti yang ia katakan dalam Tahafut al-
Tahafut yang layak bagi penciptaan alam.
Illuminasionisme
Filsafat iluminasi yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hikmat al-Isyraq dapat kita
ikuti jejaknya mulai dari al-Maqtul Syihab al-Din al-Suhrawardi. Ia lahir di Aleppo,
Suriah pada 1154 dan dihukum mati oleh Shaladin pada 1191 atas tuduhan kafir seperti
yang diklaim oleh para teolog dan fuqaha. Dalam banyak risalah, al-Suhrawardi
menyatakan bahwa pendapat-pendapatnya sesuai dengan metode peripatetik
konvensional yang ia sebut sebagai metode diskursif yang baik. Namun metode tersebut
tidak lagi memadai bagi mereka yang berusaha mencari Tuhan atau bagi yang ingin
memadukan metode diskursif dengan pengalaman batin sekaligus. Menurut al-
Suhrawardi, agar dapat melakukan tugas ini, seseorang dapat mengambil jalur filsafat
iluminasi atau Hikmat al-Isyraq.
Inti dari ajaran hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi adalah tentang sifat dan pembiasan
cahaya. Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas
yang paling nyata dan yang menampakkan segala sesuatu. Cahaya ini juga merupakan
substansi yang masuk ke dalam komposisi semua substansi yang lain. Segala sesuatu
selain “Cahaya Murni” adalah zat yang membutuhkan penyangga atau sebagai substansi
gelap. Objek-objek materil yang mampu menerima cahaya dan kegelapan sekaligus
disebut barzakh.
Dalam hubungannya dengan objek-objek yang berada di bawahnya, cahaya memiliki dua
bentuk, yakni cahaya yang terang pada dirinya dan cahaya yang menerangi yang lain.
Cahaya yang terakhir ini merupakan penyebab tampaknya segala sesuatu yang tidak bisa
tidak beremanasi darinya. Di puncak urutan wujud terdapat cahaya-cahaya murni yang
membentuk anak tangga menaik. Pada bagian tertinggi dari urutan anak tangga ini
disebut Cahaya di atas Cahaya yang menjadi sumber eksistensi semua cahaya yang ada di
bawahnya, baik yang bersifat murni maupun campuran. Oleh al-Suhrawardi cahaya ini
juga disebut Cahaya Mandiri, Cahaya Suci atau Wajib al-Wujud.
Filsuf yang juga banyak diinspirasikan oleh Hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi namun
kemudian memodifikasinya ajaran tersebut sedemikian rupa sehinga menjadi ilm al-
huduri (knowledge by presence) adalah Mulla Shadra. Mulla Shadra lahir di Syiraz,
Persia pada tahun 1572 dan belajar pada guru-guru Isyraqi yang pada saat itu sedang
menggejala di dalam tradisi filsafat Persia. Karya yang menjadi magnum opus Mulla
Shadra adalah Hikmat al-Muta’aliyah (hikmat transendental) yang lebih dikenal dengan
al-asfar al-arba’ah (empat perjalanan). Empat perjalanan yang dimaksud oleh Mulla
Shadra dikemukakan dalam al-asfar al-arba’ah sebagai berikut: pertama perjalanan dari
makhluk menuju Tuhan, kedua perjalanan menuju Tuhan melalui bimbingan Tuhan,
ketiga perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui bimbingan Tuhan, dan yang
keempat adalah perjalanan di dalam makhluk melalui bimbingan Tuhan.
Salah satu pemikiran Mulla Shadra yang sampai kini masih fenomenal dalam tradisi
filsafat di Persia (baca: Iran - saat ini) adalah tentang ‘ilm al-huduri atau knowledge by
presence. Ilmu ini biasanya dipertentangkan dengan knowledge by representation (‘ilm
al-husuli). Menurut Mulla Shadra perbedaan antara ‘ilm al-huduri dengan ‘ilm al-Husuli
ada pada hubungan antara subjek penahu dengan objek yang diketahui. Dalam ‘ilm al-
husuli (knowledge by representation), hubungan antara subjek dengan objek jelas
terpisah sehingga ada konsep dualisme di dalamnya. Sementara pada ‘ilm al-huduri
(knowledge by presence) dualisme itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antara subjek
penahu dan objek yang diketahui. Salah seorang pakar ‘ilm al-huduri kontemporer,
Mehdi Ha’iri Yazdi menulis sebuah buku khusus tentang ‘ilm al-huduri dalam The
Prisnciple of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence.
Penutup
Seperti yang telah penulis utarakan di muka, gelombang kebudayaan pra-Islam tidaklah
dapat dipisahkan dari perkembangan peradaban Islam klasik yang banyak disebut oleh
sejarahwan muslim sebagai masa-masa kejayaan Islam atau golden age. Proses
penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India hanya salah satu pintu
dialog antar peradaban, sementara tanpa proses reproduksi, penerjemahan hanya menjadi
tumpukan karya yang sudah dialihbahasakan belaka. Karenanya, dukungan penguasa saat
itu dan dengan gairah keilmuan umat Islam yang luar biasa menjadikan gelombang
kebudayaan ini tidak sia-sia. Segala upaya, baik materil maupun semangat juang yang
telah ditorehkan dalam bentuk maha karya telah menjadi pilar-pilar peradaban Islam yang
sangat menentukan.
Bila peradaban Islam klasik banyak ditopang oleh kebudayaan sebelumnya, hal yang
sama juga dialami oleh bangsa Barat pada abad kelimabelas. Semangat kelahiran kembali
(renaissans) yang dikobarkan oleh masyarakat Eropa Barat tidak bisa dilepaskan dari
peran ilmuwan muslim yang telah menularkan semangat pengetahuan pada masayarakat
Eropa saat itu. Khusus dalam bidang filsafat, Jamil Shaliba pernah memberikan
catatannya atas pengaruh pemikir Islam di dunia Barat (Eropa). Menurutnya pengaruh
peradaban Islam klasik bagi peradaban Barat Modern masih lebih besar dibandingkan
dengan pengaruh peradaban Yunani bagi peradaban Islam klasik. Pada saat ini, setelah
terjadi kebangkitan di dunia Islam, umat kembali harus banyak belajar dari para pemikir
barat yang sudah jauh meninggalkan dunia Islam.
Sejarah Singkat Kaum Syi’ah
Ide tentang hak Ali beserta anak keturunannya atas jabatan Khalifah atau Imam telah ada
sejak saat wafatnya Nabi. Dalam pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, yang berlangsung
begitu Nabi wafat sudah ada usul bahwa yang diinginkan untuk menjadi khalifah atau
imam adalah dari kalangan Ahlul Bait.
Riwayat lain menceritakan, bersamaan waktunya dengan pertemuan di Tsaqifah Bani
Saidah itu berlangsung pula rapat di rumah Fatimah binti Rasulullah yang dipimpin Ali
dan dihadiri oleh seluruh keluarga Bani Hasyim. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan,
Abbas paman Nabi telah mendesak ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan
ditunjuk menjadi pengganti beliau. Ali menolak permintaan Abbas itu, karena beliau
khawatir Nabi menunjuk orang lain, sehingga tertutup kemungkinan baginya untuk
menjadi khalifah. Apalagi Ali sendiri tidak yakin, sakit Nabi itu akan menyebabkan
kewafatannya.
Jadi pada saat wafatnya Nabi, masyarakat muslim Madinah terpecah kepada tiga
kelompok :
1. Bani Hasyim, termasuk Ali yang menghendaki hak legitimasi itu untuk mereka
(ahlul bait).
2. Muhajirin, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar dan menghendaki hak
kekhilafahan itu untuk kelompok Muhajirin.
3. Ansor, yang dipimpin oleh Ubadah ibn Shamit dan menginginkan jabatan
khalifah itu untuk golongan mereka.
Pemikiran ketiga kelompok tersebut dalam masalah kepemimpinan negara akhirnya
dikembangkan oleh tiga golongan, Syi’ah mengembangkan pemikiran kelompok
pertama, Sunni mengembangkan ide kelompok kedua dan ide kelompok ketiga
dikembangkan oleh Khawarij.