refleksi sejarah dan sosial politik dalam novel …

12
121 Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam PENDAHULUAN Menurut Khakim (2016:15) sejarah pernah menjadi bagian dari sastra. Sampai saat ini sejarah juga dekat dengan sastra, terutama dalam hal penggunaan sumber naskah tertulis. Sejarah kini sudah masuk dikenal masyarakat ke dalam berbagai bentuk. Sejarah pada umum- nya ditulis dalam bentuk buku ilmiah yang sulit dipahami. Seiring dengan perkembangan teknologi, sejarah juga diungkap dalam bentuk buku menjadi bentuk bacaan lain seperti karya sastra sejarah, baik berupa puisi, cerpen, dan novel. REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM Agus Yulianto Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Pos-el: [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan unsur-unsur kesejarahan dan realitas sosial politik yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah seperti apakah unsur-unsur sejarah dan realitas sosial politik yang terdapat dalam novel Para Priyayi yang dijadikan sebagai objek kajian. Metode yang digunakan dalam menganalisis novel adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa novel Para Priyayi banyak sekali merefleksikan unsur-unsur kesejarahan baik di zaman Belanda, Jepang, Indonesia merdeka, zaman revolusi sampai pada pemberontakan G-30-S PKI. Demikian juga realitas sosial politik yang terdapat dalam novel merupakan sebuah refleksi yang pernah terjadi Indonesia. Kata kunci: sejarah, novel, sosial politik Abstract The purpose of this study is to find out the elements of historical and social-political reality in the novel Para Priyayi by Umar Kayam. The problem of this research is how the elements of history and social-political reality found in the novel Para Priyayi look like which serve as the object of this study. The methodology used in analyzing the novel is descriptive qualitative method by using sociology of literature approach. Based on the analysis from The Priyayi Novel, there are a lot of historical elements in Netherland periode, Jepang, Indonesian freedom, revolution periode, until rebellion of G-30-S PKI. Alsososial politics reality that appear in the novel is a reflection tht exist in Indonesia country. Key words: History, novel, social politics Lebih jauh Khakim (2016:15) menyatakan hal yang menarik dari penerbitan dan per- edaran karya sastra berbau sejarah adalah karya sastra ini justru lebih banyak diminati dibandingkan buku sejarah pada umumnya. Masyarakat berbondong-bondong membeli karya sastra sejarah berupa novel dan kum- pulan cerpen di toko buku. Novel berlatar seja- rah terjual yang laris dan memiliki animo tinggi dari masyarakat bahkan diangkat ke layar lebar seperti novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Menurut Ali (2005:35) karya sastra berlatar sejarah perlu disusun berdasarkan

Upload: others

Post on 08-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

121Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

PENDAHULUANMenurut Khakim (2016:15) sejarah pernah

menjadi bagian dari sastra. Sampai saat inisejarah juga dekat dengan sastra, terutamadalam hal penggunaan sumber naskah tertulis.Sejarah kini sudah masuk dikenal masyarakatke dalam berbagai bentuk. Sejarah pada umum-nya ditulis dalam bentuk buku ilmiah yang sulitdipahami. Seiring dengan perkembanganteknologi, sejarah juga diungkap dalam bentukbuku menjadi bentuk bacaan lain seperti karyasastra sejarah, baik berupa puisi, cerpen, dannovel.

REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL PARAPRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Agus YuliantoBalai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan

Pos-el: [email protected]

AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan unsur-unsur kesejarahan dan realitas sosial politikyang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Adapun masalah dalam penelitian iniadalah seperti apakah unsur-unsur sejarah dan realitas sosial politik yang terdapat dalam novelPara Priyayi yang dijadikan sebagai objek kajian. Metode yang digunakan dalam menganalisisnovel adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa novel Para Priyayi banyak sekali merefleksikanunsur-unsur kesejarahan baik di zaman Belanda, Jepang, Indonesia merdeka, zaman revolusi sampaipada pemberontakan G-30-S PKI. Demikian juga realitas sosial politik yang terdapat dalam novelmerupakan sebuah refleksi yang pernah terjadi Indonesia.

Kata kunci: sejarah, novel, sosial politik

AbstractThe purpose of this study is to find out the elements of historical and social-political reality in the novel ParaPriyayi by Umar Kayam. The problem of this research is how the elements of history and social-politicalreality found in the novel Para Priyayi look like which serve as the object of this study. The methodology usedin analyzing the novel is descriptive qualitative method by using sociology of literature approach. Based onthe analysis from The Priyayi Novel, there are a lot of historical elements in Netherland periode, Jepang,Indonesian freedom, revolution periode, until rebellion of G-30-S PKI. Alsososial politics reality that appearin the novel is a reflection tht exist in Indonesia country.

Key words: History, novel, social politics

Lebih jauh Khakim (2016:15) menyatakanhal yang menarik dari penerbitan dan per-edaran karya sastra berbau sejarah adalahkarya sastra ini justru lebih banyak diminatidibandingkan buku sejarah pada umumnya.Masyarakat berbondong-bondong membelikarya sastra sejarah berupa novel dan kum-pulan cerpen di toko buku. Novel berlatar seja-rah terjual yang laris dan memiliki animo tinggidari masyarakat bahkan diangkat ke layarlebar seperti novel Tenggelamnya Kapal van DerWijck. Menurut Ali (2005:35) karya sastraberlatar sejarah perlu disusun berdasarkan

Page 2: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

122 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

kaidah penulisan sejarah. Karya sastra sejarahtidak boleh ditulis hanya bersumber padaimajinasi penulis. Karya sastra sejarah dalambentuk cerita tidak dapat dipisahkan dari pe-nyusunannya, meskipun penyusun harus ber-dasarkan fakta sejarah. Cerita itu tidak akandapat disebut cerita sejarah jika penyusunutama dikuasai oleh pribadi sendiri saja danmengabaikan fakta-fakta sejarah. Karya sastrasejarah harus ditulis dengan penelitian lebihdahulu menggunakan sumber-sumber sejarahyang relevan.

Selanjutnya, Ali (2005:35) juga menyata-kan suatu kejadian peristiwa yang bersifatkemanusiaan dapat dipilih dan ditentukanmenjadi isi cerita sejarah apabila kejadian atauperistiwa itu menggambarkan perjuanganmanusia ke arah kehidupan yang lebih sem-purna; selain itu, juga jika kejadian peristiwa,riwayat hidup seseorang manusia itu merupa-kan bagian penting dari perjuangan suatunegara, kota, daerah, desa, atau lingkungankehidupan kenegaraan.

Salah satu novel yang berlatarbelakangsejarah yang ada di Indonesia adalah novelyang berjudul Para Priyayi karya Umar Kayam.Novel ini mengisahkan tentang perjuanganseorang wong cilik dalam meningkatkan statushidupnya menjadi seorang priyayi serta seluruhdinamika kehidupannya sebagai seorangpriyayi baru.

Priyayi adalah sebutan untuk para bangsa-wan yang ada di Pulau Jawa, khususnya JawaTengah dan Jawa Timur saat ini. Eksistensipriyayi sudah ada sejak zaman kerajaan-ke-rajaan di tanah Jawa sampai di zaman pen-jajahan Belanda, penjajahan Jepang bahkansampai saat ini seperti yang ada di kesultananYogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Novel Para Priyayi ini sangat kaya denganinformasi-informasi kesejarahan dan realitassosial politik mengenai eksistensi priyayi besertadinamika kehidupanannya. Hal itu disebabkanmasa penceritaan novel ini berlatarbelakangsejarah permulaan abad ke-20, yaitu saat

pergerakan politik mulai tumbuh di kalanganpriyayi. Selain itu, masa penceritaan yang meli-puti zaman Belanda, Jepang, Indonesia mer-deka, zaman revolusi sampai pemberontakanG-30-S PKI membuat novel ini sarat denganinformasi kesejarahan. Di sisi yang lain, ke-hidupan sosial politik yang melingkupi Indo-nesia pada saat itu serta serta yang menimpapara priyayi khususnya yang terdapat dalamcerita memberikan gambaran yang cukup jelastentang keterlibatan para priyayi dalam dina-mika sosial politik pada saat itu. Oleh sebab itu,pendekatan sosiologi sastra dapat digunakanuntuk menganalisis dinamika sosial politikdalam cerita sebagai sebuah pendekatan yangcukup relevan untuk memahami latar sosiologisdalam cerita.

Menurut Junus (1984:57) bertolak darikonsep sastra adalah cermin masyarakat ataucermin suatu zaman atau sastra adalah refleksisosial atau refraksi sosial atau juga sastramerefleksikan kehidupan, maka suatu karyasastra akan mengandung unsur sosial yangpenting dari realitas sosial yang dilukiskannya.Dengan kata lain sebuah unsur penting dalamrealitas sosial terlihat dalam karya sastra yangmelukiskan realitas itu. Paling tidak, karya ituakan menolak unsur yang berasal dari rrealitaslain. Demikian juga novel Para Priyayi, relitassejarah dan realitas sosial politik yang terdapatdidalamnya menjadikan novel ini menarikuntuk dianalisis dengan menggunakan pende-katan sosiologi sastra.

Dengan demikian, tujuan penelitian iniadalah untuk mengetahui unsur-unsur kese-jarahan dan realitas sosial politik yang terdapatdalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.Adapun masalah dalam penelitian ini adalahseperti apakah unsur-unsur sejarah dan realitassosial politik yang terdapat dalam novel ParaPriyayi yang dijadikan sebagai objek kajian.

TEORI DAN METODEMenurut Roesmiati (2016:33) hubungan

sastra dan sejarah dapat dikelompokkan men-

Page 3: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

123Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

jadi tiga kategori. 1) Karya sastra yang me-rekonstruksi sejarah berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan bisa dipertang-gungjawabkan. Di sini, sastra sejarah mencapaititik temu, yaitu keduanya adalah naratif baiktokoh maupun latarnya. Meskipun karyasastra pada dasarnya subjektif, novel sejarahdalam kategori ini sedikit banyak bertendensiobjektif dalam arti sejauh mungkin berdasarkanfakta; 2) karya sastra yang merekam sekaligusmenanggapi suatu peristiwa sejarah. Dalambatas tertentu, karya sastra tersebut merupakanbagian dari peristiwa sejarah itu sendiri,misalnya kumpulan puisi Tirani dan Bentengkarya Taufik Ismail yang merekam demonstrasimahasiswa tahun 1966 yang menentangSoekarno; dan 3) Karya sastra yang menafsir-kan dan atau mempertanyakan sejarah (masalalu) demi melihat relevansinya dengan masakini dan masa depan. Bisa juga menyuarakanaspek-aspek sejarah yang—sengaja atau tidak—sejauh ini tidak disuarakan. Karya sastra kate-gori ini menekankan moral sejarah sebagaipilihan aktual.

Menurut Teeuw (2003:247), kenyataanyang ditulis pengarang merupakan kenyataanyang terjadi pada masa lampau, masa kini, danmasa yang akan datang. Pemakaian realitamasa lampau atau sejarah dalam sastra dapatmelahirkan karya sastra sejarah. Tempat ke-jadian, tokoh, peristiwa dalam sejarah dipakaisastrawan menulis karyanya. Dari fakta itu,lahir karya fiksi. Menurut Kuntowijoyo (2008:27), pemakaian fakta dalam sastra memilikitujuan, yaitu :1. Mencoba menerjemahkan peristiwa seja-

rah dalam bahasa imajiner dengan mak-sud untuk memahami peristiwa sejarahmenurut kadar kemampuan pengarang.

2. Karya sastra dapat menjadi sarana bagipengarangnya untuk menyampaikan pi-kiran, perasaan dan tanggapan mengenaisuatu peristiwa sejarah.

3. Seperti juga karya sejarah, karya sastradapat merupakan penciptaan kembali

sebuah peristiwa sesuai dengan penge-tahuan dan daya imajinasi pengarang.

Menurut Mahayana (2005:361), menjelas-kan, jika karya sastra itu lebih banyak meng-angkat fakta sejarah, tidak sedikit pula masya-rakat yang memperlakukannya sebagai karyasejarah. Oleh karena itulah, dalam beberapahal, hakikat sastra sering dianggap tidak jauhberbeda dengan hakikat sejarah atau bahkansama dengan sejarah, betapapun dunia dalamkarya sastra tidak selalu mengangkat peristiwamasa lalu. Tetapi mengingat karya sastra dansejarah, keduanya bersumber dari peristiwaatau pengalaman masa lalu yang sudah terjadi,maka karya sastra dan sejarah menempatkandirinya sebagai karya yang merekam peristiwa.Kemudian menjadi sebuah dokumen ataucatatan tentang seseorang, bangunan, peris-tiwa, atau apapun yang berkaitan denganmasa lalu.

Lebih jauh Mahayana (2005:361) menjelas-kan bahwa sebuah karya sastra adalah ciptaanpengarang yang tidak terlepas dari kreasiimajinatif, maka pandangan bahwa karyasastra sebagai dokumen realitas, mesti dimak-nai sebagai realitas yang telah mengalami pro-ses pengendapan di dalam pemikiran penga-rangnya. Dalam hal ini, pengalaman pengarangyang telah melalui proses pengamatan, pe-renungan, penghayatan dan penilaian itu, ke-mudian dibaluri sedemikian rupa oleh ke-kuatan imajinasi. Hasilnya adalah refleksi rea-litas imajinatif. Masih menurut Mahayana(2005:362-363), secara subyektif, sastrawandapat memaknai dan menafsirkan fakta atauperistiwa sejarah menurut kepentingannya. Iajuga dapat menyampaikan alternatif lain dibalik peristiwa-peristiwa sejarah. Jadi, sastra-wan bisa saja menjadikan fakta dan peristiwasejarah sebagai latar belakang karya kreatifnya,tetapi ia juga dapat memanfaatkan fakta danperistiwa sejarah untuk menyampaikan catat-an kritisnya atau untuk mengungkapkan peris-tiwa yang mungkin terluput dari catatan sejarah.

Page 4: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

124 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

Dunia sastra merupakan tiruan (mimesis)dari dunia nyata sehingga dapat dikatakanperistiwa-peristiwa dalam dunia sastra me-rupakan refleksi dari dunia nyata. Oleh sebabitu, bisa saja karya sastra merupakan dokumenyang mencatat realitas masa lalu menurutpengamatan, pencermatan dan pemikiransubjektif pengarang. Dalam hal ini, sebagai-mana dikatakan Junus (1981:72-75), pengertiankarya sastra sebagai refleksi realitas, tidak se-kadar melaporkan realitas itu sendiri, namunmelaporkan realitas yang telah menjadi pemi-kiran pengarangnya.

Realitas kesejarahan dan realitas sosialpolitik dalam cerita menjadikan penelitian inijuga menggunakan pendekatan sosiologi sas-tra. Pendekatan sosiologi sastra adalah sebuahpendekatan sastra yang mengacu pada caramemahami dan menilai sastra yang memper-timbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial).Perkembangan sosiologi sastra sebenarnyamerupakan perkembangan dari pendekatanmimetik yang memahami karya sastra dalamhubungannya dengan realitas dan aspek sosialkemasyarakatan.

Wellek dan Warren (dalam Budianta, 2001:11) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.1) Sosiologi pengarang, profesi pengarang,

dan istitusi sastra, masalah yang berkaitandi sini adalah dasar ekonomi produksisastra, latar belakang sosial status penga-rang, dan idiologi pengarang yang terlibatdari berbagai kegiatan pengarang di luarkarya sastra;

2) Sosiologi karya sastra yang memasalahkankarya sastra itu sendiri yang menjadi po-kok penelaahannya atau apa yang tersiratdalam karya sastra dan apa yang menjaditujuannya; dan

3) Sosiologi sastra yang memasalahkan pem-baca dan dampak sosial karya sastra,pengarang dipengaruhi dan mempeng-aruhi masyarakat; seni tidak hanya me-niru kehidupan, tetapi juga membentuk-nya.

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalandengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono,2010:3-6) yang membagi hubungan antarasastra dan masyarakat sebagai berikut. 1)Konteks sosial pengarang, dalam hal ini adakaitannya dengan posisi sosial sastrawan da-lam masyarakat, dan kaitannya dengan masya-rakat pembaca termasuk juga faktor-faktorsosial yang dapat mempengaruhi karya sastra-nya; 2) Sastra sebagai cermin masyarakat, mak-sudnya seberapa jauh sastra dapat dianggapcarmin keadaan masyarakat. Pengertian “cer-min” dalam hal ini masih kabur, karena itu,banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan.Yang harus diperhatikan dalam klasifikasisastra sebagai cermin masyarakat adalah (a)sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencer-minkan masyarakat pada waktu ditulis, sebabbanyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalamkarya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktuia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorangpengarang sering mempengaruhi pemilihandan penampilan fakta-fakta sosial dalam karya-nya, (c) genre sastra sering merupakan sikapsosial suatu kelompok tertentu, dan bukansikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yangberusaha untuk menampilkan keadaan masya-rakat secermat-cermatnya mungkin saja tidakdapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidakdimaksudkan untuk menggambarkan masya-rakat mungkin masih dapat digunakan sebagaibahan untuk mendapatkan informasi tentangmasyarakat tertentu. Dengan demikian, pan-dangan sosial pengarang diperhitungkan jikapeneliti karya sastra sebagai cermin masya-rakat; dan 3) Fungsi sosial sastra, maksudnyaseberapa jauh nilai sastra berkaitan dengannilai-nilai sosial.

Menurut Laurenson dan Swingewood(dalam Roemiati, 2016:31) terdapat tiga pers-pektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu:1) penelitian yang memandang karya sastrasebagai dokumen sosial yang di dalamnyamerupakan refleksi situasi pada saat sastra

Page 5: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

125Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

diciptakan; penelitian yang mengungkap sastrasebagai cermin situasi social penulisnya; dan3) penelitian yang menangkap sastra sebagaimanifestasi peristiwa sejarah dan keadaansosial budaya. Dengan demikian penelitian inimenggunakan perspektif yang ketiga karenabertujuan ingin mengetahui aspek-aspekkesejarahan dan realitas sosial politik yangterdapat dalam novel Para Priyayi karya UmarKayam.

Penelitian ini merupakan penelitian kuali-tatif dengan menggunakan metode deskriptifkualitatif. Metode kualitatif adalah metode yangpaling cocok bagi fenomena sastra (Endra-swara, 2011:5). Sesuai dengan pendapat Bogdandan Taylor (dalam Moleong, 2010:4) penelitiankualitatif adalah prosedur penelitian yangmenghasilkan data deskriptif berupa kata-katatertulis atau lisan tentang orang-orang danperilaku yang dapat diamati. Metode deskriptifadalah metode yang dilakukan dengan tidakmenggunakan angka-angka, tetapi mengguna-kan penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris (Semi,2012:23). Selain itu, metode analisis konten jugadigunakan untuk menelaah isi teks untukmengetahui penggambaran karakter positiftokoh utama dalam novel. Analisis kontenadalah strategi untuk menangkap pesan karyasastra (Endraswara, 2011: 161).

Pendekatan yang digunakan adalah pen-dekatan sosiologi sastra untuk mengetahuikandungan sosiopolitik yang terdapat dalamcerita.

Teknik studi pustaka dilakukan untukmencari informasi dari buku-buku yang di-anggap relevan dengan penelitian yang dilaku-kan. Buku tersebut dapat diperoleh dari perpus-takaan atau koleksi pribadi.

Sumber data penelitian adalah novel ParaPriyayi Sebuah Novel terbitan tahun 2008. Ada-pun data penelitian adalah teks-teks dalamcerita yang dapat berupa kata, kalimat atauparagraf yang mengandung unsur-unsur ke-

sejarahan dan sosiopolitik yang terdapat dalamcerita.

HASIL DAN PEMBAHASANNovel Para Priyayi sesungguhnya banyak

sekali memuat informasi kesejarahan yangterjadi di Indonesia. Hal itu disebabkan novelPara Priyayi memiliki latar waktu di tiga za-man, yaitu pada saat Indonesia masih di jajaholeh Belanda kemudian di jajah oleh Jepangsampai pada pasca kemerdekaan. Dengandemikian, Novel Para Priyayi ini sarat denganrefleksi kesejarahan terutama sejarah yangterjadi di Indonesia pada umumnya dan tanahJawa pada khususnya.

Refleksi Sejarah dalam Novel Para Priyayi

Zaman Penjajahan BelandaPada mulanya di dalam masyarakat Jawa

tradisional hanya mengenal dua kelompokmasyarakat, yaitu masyarakat priyayi bangsa-wan dan wong cilik. Menurut Geertz (2016:30)priyayi, atau terutama sekali raja dianggapmempunyai kekuatan spiritual yang “mengalirke luar dan ke bawah dari pancuran kerajaan-nya yang semakin menipis ketika merembesmenembus tiap lapisan dalam birokrasi danakhirnya mengalir lemah ke dalam massapetani.” Oleh sebab itu, semakin jauh kediamanseseorang dari pusat kediaman para bangsa-wan semakin sedikit kekuatan spiritual rajayang dimilikinya dan semakin rendah kedu-dukannya. Kelompok wong cilik ini adalahpetani, pedagang, dan pengrajin sedangkanyang termasuk kelompok priyayi adalah parabangsawan. Dalam kelompok yang terakhir initinggi rendah derajat seseorang ditentukan olehjauh dekatnya hubungan kekerabatannya de-ngan raja sehingga pengertian priyayi secaraetimologis berasal dari kata para yayi yangberarti para adik, maksudnya adik raja.

Apa yang dikemukakan itu merupakanmerupakan struktur sosial tradisional Jawa.Dalam struktur itu orang-orang Jawa mempu-nyai kedudukan yang sudah tetap dan dapat

Page 6: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

126 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

menerima kedudukan itu sebagai sesuatu yangwajar dan benar. Orang yang berasal dari ketu-runan wong cilik akan menempatkan dirinyadalam kelompok wong cilik sedangkan yangberasal dari priyayi menempatkan diri dalamkelompok priyayi. Setiap orang mengetahuidan menerima batas-batas hak dan kewajiban-nya sesuai dengan kelompok yang di dalamnyaia termasuk.

Sejak pertengahan abad ke-17 Belandamasuk dan berkuasa di Jawa. Hubungan antarapemerintahan dengan rakyat dilaksanakandengan sistem hubungan tidak langsung, yaituhubungan mereka dilaksanakan melalui per-antara kaum bangsawan yang menjadi pengu-asa tradisional Jawa. Oleh karena itu, meskipunkedatangan Belanda amat mengganggu keku-asaan para bangsawan, struktur sosial masya-rakat jawa relatif tidak berubah. Belanda masihmempertahan kan sistem priyayi dan wong cilikseperti yang berlaku sebelumnya.

Abad ke-19 merupakan abad yang cukupmengguncangkan bagi struktur masyarakatJawa. Kecenderungan pemerintah Belandauntuk meningkatkan efesiensi dalam birokrasi,untuk memberikan pelayanan kesehatan padamasyarakat pribumi, dan untuk membendung“ledakan Islam” menyebabkan munculnyakebutuhan akan tenaga terampil dalam ber-bagai bidang pekerjaan dan kebutuhan akankelompok pribumi yang seideologi denganmereka. Untuk memenuhi kebutuhan itudidirikanlah oleh pemerintah Belanda berbagaijenis sekolah gaya barat (modern). Pada tahun1851 telah berdiri sekolah guru bantu (kweek-school) dan sekolah dokter Jawa. KemudianBelanda mendirikan HIS (sekolah yang seting-kat dengan sekolah dasar sekarang), MULO(setingkat dengan SMP sekarang), dan AMS(setingkat dengan SMA sekarang.

Pendirian-pendirian sekolah tersebut ter-nyata mendapat sambutan dari kelompok pri-bumi pada waktu itu, terutama dari kelompokpriyayi (bangsawan) rendah dan wong cilik. Halitu disebabkan peranan sekolah itu sendiri yang

dapat meningkatkan status sosial dan ekonomimereka. Posisi-posisi sosial yang dahulu dapatdiraih hanya dengan satu criteria, yaitu ketu-runan atau geneologi (bangsawan/priyayi)dapat mereka raih dengan kriteria lain, yaitukemampuan. Pendidikan merupakan alatmobilitas sosial atau peningkatan status sosialyang melenyapkan batas-batas sosial yang adasebelumnya. Karena kemampuannnya, wongcilik dapat saja menduduki tempat terhormatdengan bekerja di lapangan-lapangan yangsemula hanya diduduki oleh kaum bangsawan.Kelompok yang mengalami perubahan sosialitu sebagai akibat adanya pendidikan adalahkelompok yang disebut priyayi baru atau pri-yayi intelektual. Mereka ini merupakan kelom-pok yang memanfaatkan peluang-peluangyang ada dalam birokrasi atau lapangan kerjapemerintah sebagai alat peningkatan ekonomidan status sosialnya. Oleh sebab itu strukturmasyarakat Jawa yang tadinya hanya terdiridari kelompok priyayi dan wong cilik berubahdengan adanya kelompok baru ini. Kelompokini boleh dikatakan sebagai kelompok yangterletak di tengah-tengah antara dua golongansocial tadi.

Novel Para Priyayi sebagian besar men-ceritakan kehidupan priyayi yang berasal darikelompok wong cilik tersebut. Novel ini dimulaiketika Soedarsono pulang dari Madiun denganmengantongi beslit sebagai guru bantu.Soedarsono merupakan anak petani yang me-rupakan menjadi salah satu perwakilan darimasyarakat Jawa yang memiliki keinginan kuatuntuk dapat memasuki sekolah-sekolah Belanda.Besarnya animo masyarakat Jawa untuk me-masuki sekolah-sekolah Belanda itu disebabkanbesarnya peranan sekolah itu sendiri dalammeningkatkan status sosial serta ekonomimereka di tengah-tengah masyarakat.

Setelah mempunyai anakpun Soedarsonoyang kemudian berganti nama menjadiSastrodarsono karena telah menjadi priyayi,menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Karena dari sekolah-sekolah

Page 7: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

127Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

itulah, anak-anak Sastrodarsono mempunyaikemungkinan lebih besar untuk dapat men-duduki jabatan-jabatan di lingkungan birokrasigupermen.

“Ketiga anaknya itu dimasukkan ke seko-lah HIS, sekolah dasar untuk anak priyayi,karena sekolah itu diadakan untuk menyi-pakan priyayi-priyayi gupermen. Anak-anak yang bersekolah di situ akan diajarbahasa Belanda, bahasa yang sangat pen-ting buat mendapat kedudukan di kantorgupermen dan adapat meneruskan pela-jaran ke sekolah menengah dan sekolahmenengah atas priyayi, seperti MULO,AMS, atau sekolah-sekolah guru mene-ngah seperti Normaal, Kweeksschool dansebagainya (PP:52)

Zaman Penjajahan JepangPada tahun 1942 Jepang datang ke Indo-

nesia dan mengusir penjajah Belanda. MenurutKartodirjo (1993:131) kedatangan Jepang inisangat mempengaruhi kehidupan para priyayi.Bahkan boleh dikatakan priyayi yang meru-pakan satu kelompok birokrat colonial Belandayang mempunyai gaji tetap dan pengembanserta penerus warisan budaya lama mengalamikeruntuhan dan surut. Salah satu hal yangmenyebabkan runtuhnya golongan priyayi iniadalah adanya kemerosotan kehidupan eko-nomi karena inflasi yang terus menanjak se-bagai akibat perang sedang penghasilan nomi-nal sebagai pegawai negeri tidak berubah.

Keadaan tersebut tercermin pada kehidup-an keluarga Noegroho, anak sastradarsono,yang merasa alangkah cepat perubahan yangditimbulkan oleh pendudukan Jepang. Kehi-dupan terasa semakin susah. Dalam waktu se-tahun sudah mulai terasa bagaaimana ekonomiperang mulai menghimpit keluarga.

“Jumlah itu jauh dari cukup. SebelumJepang datang kami cenderung hidup agakmewah. Maklum gaji guru sekolah guper-men yang seratus sepuluh gulden itu me-mang lebih dari cukup unruk menyanggakehidupan kami. Istri saya yang senang

dengan makanan cara Belanda, jadi agakterpukul dengan keadaan yang merosotitu” (PP:178-179).

Para priyayi sebagai kelompok yang secarahistoris dekat dengan Belanda dan bahkanmenjadi alat atau pegawai dalam birokrasipemerintahan Belanda tidak begitu dipercayaioleh Jepang. Oleh sebab itu dengan sendirinyamereka mengalami kemerosotan dalam statusdan ekonominya. Pemerintahan Jepang kala itubahkan menghapuskan atau melarang pelak-sanaan kebiasaan berbahasa Belanda yangpada masa lalu merupakan hal yang sangatdibanggakan oleh priyayi.

Sebaliknya dari kehidupan priyayi yangmengalami penurunan status menurut Pradopo(1986:204) para pemuda desa dan kaum santrimendapatkan kesempatan untuk meningkat-kan derajatnya dalam pandangan masyarakattanpa harus melalui jalur pendidikan barat,melainkan melalui jalur kemiliteran. Hal itudisebabkan pada waktu itu Jepang memerlu-kan sokongan tenaga untuk militer dan ke-amanan sehingga pada masa Jepang ini ber-kembang lembaga-lembaga alat mobilitas sosialbaru seperti Keibodan dan Peta.

Hal ini juga tercermin pada kehidupanNoegroho. Noegroho sebagai priyayi guru yangsedang mengalami penurunan status danekonomi tanpa diduga mendapat panggilanuntuk ikut tentara Peta atau Pembela TanahAir.

“Ia harus segera berangkat ke Bogor untukmenjalani latihan daan saringan sebelumnantinya ditempatkan di salah satu dai-dan-daidan atau batalyon-batalyon diJawa. Sesampai di Bogor, ternyata yangmengalami latihan itu tidak hanya guru-guru seperti saya, tetapi juga para pemukamasyarakat, pemuka agama, dan pemuda-pemuda. Pada waktu latihan selesai, sayamendapat pangkat chundacho atau koman-dan kompi dan kemudian ditempatkan didaidan Jebukan, Bantul” (PP: 179-180).

Page 8: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

128 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

Setelah Noegroho menjadi opsir Peta,dengan sendirinya status sosial dan ekonomi-nya mulai membaik kembali. Hal itu terungkapdari pengalaman Noegroho sendiri.

“Ternyata hidup di daidan lumayan. Kamipara opsir tidak tinggal di asrama yangbekas pabrik gula itu. Kami tinggal dibekas rumah-rumah para pegawai pabrik.Rumah-rumah itu cukup besar dan me-wah. Dan menjadi opsir Peta, dibanding-kan dengan para pegawai sipil seperti gurupada zaman Jepang itu sangat jauh lebihlumayan. Setidaknya pembagian bahanmakanan kami boleh dikatakan lebih daricukup” (PP: 188).

Zaman KemerdekaanMenurut Notosusanto (2009:129) pada

tahun 1945 Jepang kalah dalam perang Asia-Pasifik melawan tentara sekutu. Bangsa Indo-nesia yang mengetahui kekalahan Jepang itusegera mempersiapkan diri untuk mempro-klamasikan kemerdekaannya. Berdasarkankesepakatan bersama, akhirnya pada tanggal17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memprokla-masikan kemerdekaannya melalui pembacaanteks proklamasi oleh Presiden Soekarno. Ka-rena situasi keamanan setelah proklamasi be-lum pulih benar, pemerintah Indonesia padatanggal 23 Agustus 1945 membentuk BKR(Badan Keamanan Rakyat) yang berfungsi seb-agai penjaga umum pada asing-masing da-erah.

Situasi tersebut juga tercermin dalam novelPara Priyayi melalui pengalaman Noegrohosebagai opsir Peta yang menyatakan bahwa:

“Tahu-tahu Jepang telah kalah perang dankami, Peta dibuabarkan dan dilucuti sen-jata kami. Untunglah juga segera sesudahkita memproklamasikan kemerdekaan, kitamulai memikirkan akan pembentukanBadan Keamanan Rakyat di Yogya. Sayasegera bergabung dengan kawan-kawanbekas Peta, Heiho, dan polisi dan para pe-muda untuk menyusun Badan KeamananRakyat di Yogya” (PP:189).

Pengambilalihan kekuasaan dari tanganJepang, rakyat juga berusaha untuk memper-oleh senjata-senjata dari tangan Jepang. Akantetapi, Jepang tidak mau begitu saja menye-rahkan senjata-senjatanya. Oleh sebab itu,terjadilah pertempuran antara pihak republikdengan Jepang.

“Dalam pertempuran yang sengit di Kota-baru, daerah elite Yogya, pertempuran inikacau balau karena barisan kami tidaksepenuhnya terdiri dari bekas Peta, atauHeiho yang sudah mendapat pendidikanilmu perang, justru yang banyak adalahpara pemuda dan rakyat yang tidak punyapengalaman bertempur ikut bergabungingin ikut menunjukkan bahwa merekajuga berani perang melawan Jepang.Kebanyakan pemuda yang masih sangatmuda dan banyak pula pemuda darikampung-kampung di kota yang ber-untung selamat langsung ikut menyerbumasuk asrama Jepang di Kotabaru, dekatstadion Kridosono, mengobrak-abrik apayang ada serta merampas serta membagi-bagi senjata” (PP:189-190).

Zaman RevolusiSetelah Jepang menyerah kalah kepada

pasukan sekutu, tentara Inggris mulai mema-suki Indonesia. Akan tetapi, ternyata pasukanInggris ini diboncengi oleh tentara-tentaraBelanda. Rupanya Belanda berniat untukmenguasai Indonesia kembali. Oleh sebab itu,pecahlah pertempuran dimana-mana. Peristiwaini juga tergambar dalam novel Para Priyayimelalui Nogroho yang telah menjadi tentararepublik.

“Pengalaman berperang yang sesungguh-nya saya rasakan waktu saya ikut ditugas-kan pasukan membendung tentara Inggrisyang diboncengi Belanda yang sudahsampai di Magelang. Kami menggempurmereka dengan kekuatan senjata seadanyadan ilmu strategi perang yang seadanyajuga. Kami pukul mereka dengan gabung-an antara pengetahuan yang kami dapatdi asrama Peta dan akal sehat dan di atas

Page 9: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

129Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

semuanya dengan kenekadan, kekaran-jingan yang disulut revolusi, kami terusmengejar musuh hingga Ambarawa danakhirnya memaksa mereka kembali ber-tahan di Semarang” (PP:190).

Zaman revolusi yang terjadi di Indonesiapasca kemerdekaan digambarkan dalam novelsebagai kepanjangan penderitaan zamanJepang. Bedanya, zaman Jepang adalah pende-ritaan orang karena di jajah sedangkan pende-ritaan zaman revolusi adalah penderitaan se-bagai konsekuensi dari keinginan sebuahbangsa yang ingin merdeka.

Pemberontakan PKIPemberontakan PKI terhadap Negara

Indonesia yang masih sangat muda terjadi duakali, yaitu tahun 1948 di Madiun dan tahun1965. Pemberontakan PKI ini merupakanwujud pengkhianatan yang tiada tara ter-hadap bangsa Indonesia. Hal itu disebabkantatkala Indonesia sedang bergulat mati-matianmelawan kolonialis Belanda, PKI secara licikmenusuk dari belakang. Pemberontakan PKIyang pertama di Madiun yang di pimpin olehseseorang yang bernama Muso. Hal itu tergam-bar dalam novel sebagai berikut.

“Hal yang kemudian mengkhawatirkanadalah perkembangan PKI dan pengaruh-nya dalam tubuh tentara, terutama di Solo.Baik dari sumber penyelidik tentara mau-pun dari cerita-cerita Hardojo, semuamenggambarkan Solo dalam keadaanpanas. Culik-menculik dan penembakangelap terjadi yang kemudian juga disertaidengan stelengan-stelengan pasukan yangtidak mau dirasionalisasi. Kemudianpuncak dari itu semua adalah pembe-rontakan PKI di Madiun. Akhirnyapasukan-pasukan Siliwangi yang ditugas-kan untuk menumpasd pemberontakanitu” (PP:192-192).

Pemberontakan PKI di Madiun ini akhir-nya dapat di padamkan. Akan tetapi, ternyatabukan berarti PKI telah mati di Indonesia.Rupanya mereka tetap hidup. Sejak tahun 1950

mereka muncul kembali dan semakin mem-besar. Puncaknya adalah pemberontakan PKItanggal 30 September 1965, suatu pemberon-takan yang mengambil nyawa beribu-ribuorang. Hal ini terlihat melalui penuturanHarimurti, cucu dari Sastrodarsono, yang ter-libat dengan Lekra yang menuturkan sebagaiberikut.

“Saya mengetahui bahwa ekor dari gerak-an pemberontakan itu telah mengambilnyawa beribu-ribu, berpuluh ribu, mung-kin beratus ribu orang. Alangkah mengeri-kan dan menegakkan bulu roma. Bagai-mana kekejaman itu bisa berkembang men-jadi kekejaman yang lebih besar lagi bagai-kan ombak yang menggulung sampai ke-mana-mana” (PP:288).

Refleksi Kehidupan Sosial Politik dalamNovel Para Priyayi

Novel Para Priyayi sesungguhnya mengem-bil waktu penceritaan sekitar awal abad ke-20,yaitu masa bangkitnya kesadaran nasional dikalangan priyayi. Menurut Kartodirdjo(1993:1171) masalah kesadaran politik di-kalangan priyayi pada umumnya tidaklahterlalu menonjol. Jelas bahwa hal itu kese-muanya timbul dari idiologi yang didasarkanatas status-quo. Ide status-quo itu secara wajartimbul dari lokasi sosio-historis priyayi sebagaitulang punggung dalam sistem birokrasi kolo-nial yang setia, tekun, dan rajin melaksanakantugasnya hidup aman tenteram serta menik-mati kesejahteraan dalam kedudukannya yangterhormat itu.

Suatu perubahan yang akan mencapaitingkat politik, menjadikan golongan priyayibersifat konservatif. Hal itu tidak lain disebab-kan karena golongan ini sebagai pegawaikolonial secara wajar membela status-quo se-hingga perubahannya dianggap sebagai ancam-an terhadap kedudukannya itu.

Sikap hidup tersebut tanpak sejelas-jelas-nya dalam perlakuan politik priyayi dalammenghadapi gerakan-gerakan pembaharuanpada umumnya dan perubahan politik khusus-

Page 10: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

130 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

nya. Hal ini tercermin pada sikap para priyayiteman Sastrodarsono di dalam novel ParaPriyayi ketika dikabarkan tentang perbuatanMartoatmodjo yang terlibat pergerakan karenamembaca surat kabar Medan Priyayi, sebuahKoran terbiatan kaum pergerakan.

“We, lha, nak guru. Jangan mulai main-maain api, lho, berbahaya. Saya tahuMedan Priyayi itu menarik. Tapi, kalaugupermen, sudah melarang itu terbit danmembuang Mas Tito, penerbit Koran itu,kita terus mau apa. Sudahlah jangan carisusah sekarang. Nak guru masih muda,hari depan masih jauh lagi bagus. Janganhanya karena membaca Koran yang sudahtidak terbit kenaikan pangkatmu macet”.Romo Jaksa, Romo Mantri Candu jugasama pendapatnya dengan Romo Dokter.Semua melarang saya untuk menyimpanMedan Priyayi, apalagi ikut-ikutan per-kumpulan Mas Martoatmodjo membahasisi mingguan-mingguan pergerakan itu”(PP:58).

Walaupun demikian, kesadaran politikdisebagian priyayi tetap ada. Saslah satunyaMartoatmodjo dan juga Ndoro Seten Kedung-simo yang menganggap priyayi yang beraniberpolitik pada waktu itu dan berusaha meng-ubah kehidupan bangsanya sebagai priyayimaju. Hal itu terungkap melalui pengakuanNdoro Seten sebagai berikut.

“Sastro, kamu pikir saya tempo hari ngo-tot betul berusaha memasukkan kamu kekursus bantu untuk apa? Juga kawan-kawanmu yang lain dari desa-desa dibawah kekuasaan saya, saya usahakanmasuk dipendidikan ini dan itu? Semuaitu usaha saya bersama pangreh prajamaju lainnya untuk membangun barisanpriyayi maju, bukan priyayi yang dike-mudian hari kepingin jadi raja kecil yangsewenang-wenang terhadap wong cilik. Inimonyet-monyet seperti School Opzienerdan mantri polisi dan entah telik-telik,spiun-spiun picisan yang mana lagidengan upah beberapa gulden jadi tega

melapor-laporkan bangsa sendiri, yangbikin rusak semua usaha kami” (PP:63).

Sastrodarsono sendiri sedikit banyak jugaterlibat dengan politik dengan melakukanperlawanan berupa mendirikan sekolah “liar”atas saran seorang tokoh pergerakan. Sekolahliar tersebut didirikan Sastrodarsono denganmaksud mencetak generasi muda bangsa yangcerdas dan terdidik yang nantinya dapat diha-rapkan dapat memberikan sumbangsih kepadaIndonesia.

Keterlibatan Sastrodarsono dalam peris-tiwa politik tidak hanya di zaman Belanda saja.Pada saat Jepang berkuasa di Indonesia, semuaabdi kekuasaan harus melakukan saikere, yaitumembungkukkan badan ke arah utara untukmenghormati Tenno Heika, sang Dewa Mata-hari. Sastrodarsono pun tidak luput dari ke-wajiban tersebut. Akan tetapi, Sastrodarsonomenolak untuk melakukan saikere. PenolakanSastrodarsono tersebut dapat diartikan sebagaibentuk perlawanan terhadap kekuasaan yangbaru, yaitu Jepang. Akibatnya, Sastrodarsonoditempeleng oleh Tuan Sato, symbol kekuasaanJepang pada waktu itu.

“Tiba-tiba dengan secepat kilat tanganTuan Sato melayang menempeleng kepalaNdoro Guru Kakung. Plak! Plak! NdoroGuru Kakung geloyoran tubuhnya. De-ngan cepat saya tangkap bersama MenirSoetardjo terus kami dudukan di kursigoyang. Sang priyayi tua pucat pasi, lesu,aair matanya berlelehan keluar. Beliaunangis seperti anak kecil” (PP:128-129).

Rasa ketersinggungan Sastrodarsono yangsangat besar itulah yang membuat dia mena-ngis. Sastrodarsono adalah seorang priyayiyang terbiasa dihormati oleh masyarakat.Akhirnya rasa ketersinggungan Sastrodarsonotersebut dapat diatasi dengan cara mendengar-kan tembang bait pertama lagu Pocung dariserta Wedhatama.

Pengalaman dengan kekuasaan yang ke-dua kalinya yang dialami oleh Sastrodarsonoadalah dalam masa pergolakan fisik setelah

Page 11: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

131Refleksi Sejarah dan Sosial Politik dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan.Kini yang dialaminya adalah teror dari anggotaPKI Madiun yang bernama Martokebo.Martokebo seorang blantik kerbau tetanggahendak membersihkan kampung dari parapamong praja dan priyayi-priyayi lainnya. Halitu disebabkan pamong praja dan priyayi-priyayi dianggap sebagai kelas borjuis penindasrakyat yang harus dilenyapkan karena tidaksesuai dengan idiologi komunis yang meniada-kan kelas-kelas sosial.

“Dengan semangat revolusioner Marto-kebo “menaruh ujung kelewang di dadabapak”, priyayi Sastrodarsono. Marto-kebo yang biasa berbahasa kromo haluskini beralih kebahasa ngoko yang geramdan kasar. “Apa Darsono? Kowe tertawa?Iya, tertawa? Sang priyayi tua itu diam,“Keringat dingin mengucur di seluruhbadan” (PP:178).

Untunglah situasi itu dapat diselesaikandengan cara Ndoro Putri, menyapa Martokebodengan bahasa Jawa Krama, bahasa Jawatinggi yang secara unik membuat seluruh jiwarevulusioner Martokebo sirna. Penyapaan ter-sebut membuat Martokebo tidak mampu lagimenahan terus pedang itu tertempel di dadaSastrodarsono walaupun akhirnya dia mema-kan korban lain, yaitu Jaksa dan Haji Mansur.

Keadaan berikutnya yang bernuansa politisadalah ketika gestapu sudah dikalahkan, ketikabukan Dewan Revolusi, tetapi ABRI yang telahmengambuil alih kekuasaan dan mulai melaku-kan pembersihan terhadap semua anggota PKIdan ormas-ormasnya. Salah satu cucu Sastro-darsono yang bernama Hari yang terlibat Lekraakhirnya ditangkap oleh pihak yang berwajib.Mulanya, Hari berniat untuk melarikan diri,tetapi Hari dinasihatkan untuk: “…..sebaiknyakamu jangan lari. Nanti kita cari jalan yangsebaiknya agar kau bisa selamat” (PP:280). Hariakhirnya dijebloskan ke dalam penjara.

Penyelesaian terhadap kasus hari ini di-lakukan dengan menggunakan koneksi pa-mannya sendiri, yaitu Pakde Noegroho yang

telah menjadi seorang kolonel di AngkatanDarat. Noegroho dengan segala jaringan ko-neksi yang dimilikinya akhirnya berhasilmengeluarkan Hari dari penjara dan beraubahstatus menjadi tahanan rumah saja. Nogrohomerasa bangga dengan perbuatannya itu danberucap, “tidak ada yang lebih menyenangkanbagi seorang pakde daripada dapat menolongkemenakannya. Ini kewajiban trah, kewajibankeluarga besar…”(PP:285).

PENUTUPNovel Para Priyayi karya Umar Kayam

adalah sebuah novel yang sangat kaya denganunsur-unsur sejarah yang dimilikinya. Selainitu, realitas sosial politik yang terkandungdalam novel tersebut dapat dikatakan meru-pakan cermin zamannya.

Unsur-unsur sejarah yang terdapat dalamnovel Para Priyayi melingkupi zaman Belanda,Jepang, kemerdekaan, revolusi, dan adanyapemberontakan PKI di Indonesia.

Zaman Belanda melahirkan sebuah kelom-pok baru dalam struktur sosial masyarakatJawa. Struktur sosial masyarakat Jawa tradi-sional pada mulanya hanya terbagi menjadidua, yaitu priyayi dan wong cilik. Akibatkebijakan Belanda yang banyak mendirikansekolah-sekolah karena sedang memerlukanakan tenaga terampil dalam berbagai bidangpekerjaan dan kebutuhan akan kelompokpribumi yang seideologi dengan mereka makalahirlah kelompok priyayi baru di Jawa. Kelom-pok ini boleh dikatakan terletak di tengah-tengah antara kelompok priyayi bangsawandengan wong cilik dalam struktur masyarakatJawa.

Zaman Jepang di lukiskan sebagai zamanyang susah buat para priyayi. Hal itu dise-babkan Jepang tidak percaya dengan kelompokpriyayi. Priyayi dianggap oleh Jepang sebagaikelompok loyalis Belanda yang dengan sen-dirinya tidak begitu diberikan ruang olehpemerintahan Jepang pada waktu itu.

Page 12: REFLEKSI SEJARAH DAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL …

132 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

Zaman kemerdekaan dikisahkan dalamnovel merupakan zaman pembersihan ter-hadap kekuatan Jepang di Indonesia. Pertem-puran untuk merebut senjata Jepang dilakukanoleh satuan BKR (Badan Keamanan Rakyat).

Zaman revolusi merupakan zaman per-tempuran kembali dengan Belanda karenaBelanda rupanya ingin berkuasa kembali diIndonesia dengan secara licik memboncengitentara Inggris.

Pemberontakan PKI di Indonesia dilakukandua kali, yaitu yang pertama di Madiun dankedua geger gestapu pada tahun 1965. Pembe-rontakan PKI ini merupakan sebuah bentukpengkhianatan yang tiada tara terhadap NegaraIndonesia yang baru berdiri.

Realitas sosial politik dalam cerita terlihatmelalui persentuhan dan kejadian yang me-nimpa para tokoh dengan kebijakan politikpada zamannya. Penggambaran tokoh yangbersentuhan dengan realitas politik terjadi dizaman Belanda, Jepang, kemerdekaan, danpada saat pemberontakan PKI di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKAAli, R.M. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia.

Yogyakarta: LkiSDamono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra:

Pengantar Ringkas). Ciputat: Editum.Endraswara, Suwardi.2011. Metodologi Pene-

litian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, danAplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Geertz, Clifford. 2016. Abangan, Santri, Priyayidalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PustakaJaya.

Junus, Umar. 1981. Dasar-Dasar InterpretasiSajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia.

__________. 1984. Kaba dan Sistem SosialMinangkabau Suatu Problema SosiologiSastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Kartodirdjo, Sartono, A. Sadewo, SuhardjoHatmo Suprobo. 1993. PerkembanganPeradaban Priyayi . Yogyakarta: GajahMada Universty Press.

Kayam, Umar. 2008. Para Priyayi Sebuah Novel.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Khakim, Nurfahrul Lukmanul. 2016. TelaahPenulisan Karya sastra Sejarah sebagaiRefleksi Sumber Pembelajaran Sejarah.Jurnal Sejarah dan Budaya 10 (1): 15—30.Malang: Universitas Negeri Malang.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogya-karta: Tiara Wacana

Mahayana, Maman S. 2005. Jawaban SastraIndonesia. Jakarta: Bening.

Moleong, Lexy. J. 2010. Metode PenelitianKualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Notosusanto, Nugroho, dkk. 2009. SejarahNasional Indonesia (Jilid 3). Jakarta: BalaiPustaka

Pradopo, Sri Widati dkk. 1986. PengarangWanita dalam Sastra Jawa Modern. Jakarta:Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa.

Roesmiati, Dian. 2016. Refleksi Sejarah danNilai Sosial-Politik dalam Novel Titik BalikKesunyian Karya Ilham Zoebazary. JurnalBebasan 3 (1): 28—40. Banten: KantorBahasa Banten.

Semi. M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra.Bandung: Angkasa Jaya.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:PT Dunia Pustaka Jaya

Wellek, R. & Waren, A. (2001). Teori kesusastra-an. (Budianta, M., penerjemah). Jakarta:Gramedia. (karya asli terbit pertama tahun1977).