4tulisan utama - rimbawan.com · di asia tenggara 36 profil • indonesia tidak akan memancing di...

60

Upload: others

Post on 10-Sep-2019

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3 Editorial

9 Dialog Utama• Manfaatkan Forum

Perundingan Dagang & Cari Akses Pasar Baru

• Strategi DiversifikasiHarus Mulai Dijalankan

• “Perang Dagang Amerika dan China Perbesar Peluang Produk Industri Kehutanan Indonesia”

• Peluang Pasar Baru bagi Produk Kayu RI

• Pasokan Bahan BakuMasih Jadi Tantangan

• Situasi Ekonomi Global Jadi Tempat Bergantung

• Perang Dagang China & Amerika Serikat, Peluang Bagi Indonesia

• Industri Dalam NegeriHarus Dipetakan

24 Liputan Khusus• Perang Dagang: Tantangan Di

Tengah Peluang

29 Dialog Khusus• “Kompetisi Akan Kian Ketat”• “Fluktuasi Akibat Perang

Dagang Jadi Perhatian”

32 Hukum dan Kebijakan• Revisi PP 6 Tahun2007:

Menghela Kinerja Sektor Usaha Kehutanan

34 Opini• Vietnam, Primadona Baru

Di Asia Tenggara

36 Profil• Indonesia Tidak Akan

Memancing Di Air Keruh38 Teknologi

• Belajar Dari Pengelolaan Hutan Finlandia, Vietnam & China

42 Sosial• Menanti Terbitnya UU

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

• Menuju Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA)

47 Manca• Sistem Verifikasi Legalitas

Kayu: Saat Konservasi Beriringan Dengan Industri

• Peran Penting Hutan Indonesia

55 Riset• Meranti Dapat Tumbuh Subur

Di Jawa• Laporan Food and Agriculture

Organization (FAO) Tahun 2016; Produk Hutan Global,Fakta & Angka

59 Resensi Buku• The State of Indonesia’s Forests

2018 Executive Summary

COVER BELAKANG 1 HAL FC 21x27cm Rp 12.500.000COVER BELAKANG DALAM 1 HAL FC 21x27cm Rp 10.000.000COVER DEPAN DALAM 1 HAL FC 21x27cm Rp 10.000.000HALAMAN DALAM 21x27cm Rp 5.000.000ADVERTORIAL Rp. 7.500.000

TARIF IKLAN MAJALAH HUTAN INDONESIAAlamat Iklan:Gd. Manggala Wanabakti Blok IV Lt.9. Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270.Tlp. (021) 57370236,Fax: (021) 5732564. Kontak: Sari Nawaningsih,+62 811-9695-537

Tulisan Utama4PELUANG DI TENGAH TENSI PANAS AS-CHINA

Kayu dan Produk Kayu

29 Dialog Khusus“Kompetensi Akan Kian Ketat”

Vitto Rafael TaharKoordinator Fungsi Ekonomi Kedutaan Besar RI

di London, Inggris

Perang Dagang AS-China: Peluang atau Tantangan?

Penasihat : Indroyono Soesilo

Pembina : Rahardjo Benyamin, Bambang

Supriyambodo, Iman Santosa, Tjipta Purwita, Erwansyah, Kusnan Rahmin, David, Soewarso,

Endro SiswokoPemimpin Redaksi :

Sugijanto SoewadiWakil Pimpinan Redaksi :

Purwadi Soeprihanto

Redaktur Pelaksana : Trisia Megawati, Tim Outsource

Dewan Redaksi : Agus Awali, Dian Novarina, Nurman,

Sudianto, Budianto TjuatjaIklan dan Kerjasama :

Sari Nawaningsih, Tim OutsourceDesain Grafis dan Layout :

Herry Prayitno, Tim OutsourceRiset dan Dokumentasi :

APHI

Sirkulasi dan Umum : Hesti Mulyandari, Samsudin, Fajarmart S

Alamat Redaksi : Gd. Manggala Wanabakti Blok IV Lt.9,

Jl. Gatot Subroto-Senayan, Jakarta 10270, Telp. (021) 5737036

Pengelola : Divisi Media Service Bisnis Indonesia

Percetakan :Arivco

Sejak Donald Trump dilantik menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS), kebijakan perdagangan pasar terbesar dunia itu kian restriktif. Slogan “America First” yang ‘digadang-gadang’ menyebabkan Paman Sam tak ragu mengibarkan bendera perang dagang terhadap negara lain, termasuk China.

China tentu tak tinggal diam melindungi pasar industrinya. Walhasil, beberapa bulan terakhir, kita disuguhi cara kedua negara saling bersaing menerbitkan safeguards maupun kebijakan dagang lainnya terhadap produk satu sama lain.

Bagi Indonesia, persaingan dua negara ini tentu bisa menjadi peluang, terutama bagi pemasaran kayu dan produk kayu.

Dengan kian ketatnya AS membatasi produk China, secara tidak langsung hal ini menjadi pintu masuk bagi produk Indonesia ke pasar ekspor AS yang selama ini dikuasai oleh kayu dari China.

Maka dari itu, artikel-artikel di Majalah Hutan Indonesia edisi kali ini membahas bagaimana sebenarnya peluang kayu dan produk kayu Indonesia di pasar global, dikaitkan dengan tensi perdagangan antara AS dan China.

Tak lupa, kami sertakan pula tantangan yang masih harus dihadapi pelaku usaha dalam memacu daya saing seperti isu keberlanjutan dan kurang memadainya pasokan bahan baku.

Pembahasan mengenai efektivitas mandatori Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) kita yang sudah pararel dengan FLEGT milik Eropa juga kami sampaikan.

Edisi kali ini juga memberikan gambaran seperti apa situasi pasar di negara-negara tujuan ekspor potensial kayu dan produk kayu asal Indonesia.

Lebih dari itu, sebenarnya situasi pasar kayu & produk kayu dunia saat ini dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk mengupas lebih mendalam soal

strategi bisnis hutan Indonesia dalam jangka panjang supaya kembali ke posisi paling atas dunia.

Untuk itu diperlukan beberapa strategi sekaligus, antara lain strategi pasar nasional dan internasional yang lebih tepat dan sinergis, strategi sustainability bahan baku yang secara otomatis mendorong terwujudnya kelestarian hutannya sendiri, penguatan branding produk-produk kayu Indonesia, kemudian strategi yang mendorong terjadinya diversifikasi usaha di bisnis hutan serta pentingnya model bisnis hutan secara nasional yang dikawal oleh pemerintah.

Hanya sangat disayangkan untuk eksplorasi informasi yang lebih dalam serta untuk mendapatkan narasumber pengamat bisnis hutan yang intens dengan isu global market kayu dan produk kayu Indonesia ini termasuk langka.

Harapan kami, topik yang diangkat pada edisi kali ini dapat membuka wawasan sekaligus memberi inspirasi bagi pembaca terkait dengan peluang sekaligus tantangan bagi kayu dan produk kayu Indonesia di pasar global.

Layout: Nurdiani MaulidaSumber Foto: Digital Image

EDITORIAL

Atas nama Redaksi Majalah Hutan Indonesia,Sugijanto [email protected]

Assalamualaikum Wr. Wb…Salam Rimbawan,

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

3

Majalah H

utan Indonesia

Sejak Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS, kebijakan perdagangan luar negeri Paman Sam

kian mengarah ke proteksionisme, termasuk dengan salah satu mitra dagang utamanya, yakni China. Kayu dan produk kayu merupakan komoditas yang ikut terkena imbas.

Departemen Perdagangan AS (US Department of Commerce) mengumumkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) setelah investigasi yang dilakukan

membuktikan adanya praktik dumping oleh produsen kayu lapis China, yang membuat produsen kayu lapis AS mengalami kerugian.

Berdasarkan putusan Depdag AS, lebih dari 400 unit industri kayu lapis China dikenakan BMAD sebesar 183,3%. Putusan ini mulai berlaku terhitung 4 Januari 2018.

Selain BMAD, pemerintah AS juga mengenakan bea masuk imbalan untuk produk kayu lapis China karena dinilai mendapat subsidi yang mengakibatkan

produsen kayu lapis AS menderita kerugian.

Sebanyak 60 industri kayu di China dikenakan bea masuk imbalan sebesar 194,9%, sementara dua industri lainnya dikenakan 22,9%.

Pada perkembangan terbaru, China tak tinggal diam dengan langkah-langkah restriktif yang diambil AS. Negeri Tirai Bambu itu. Beijing mengumumkan bakal memberlakukan tarif balasan untuk produk impor asal AS yang

KAYU & PRODUK KAYU

PELUANG DI TENGAH TENSI PANAS AS-CHINA

Indonesia perlu mengoptimalkan peluang pasar kayu dan produk kayu yang kian terbuka di tengah tingginya tensi persaingan dagang antara Amerika Serikat dan China. Ketersediaan bahan baku dan peningkatan daya saing menjadi perhatian utama.

4M

ajalah Hutan Indonesia

Tulisan Utama

senilai US$60 miliar jika AS tetap memberikan tarif sebesar 10% untuk produk impor asal China senilai US$200 miliar.

China juga terus berupaya menggairahkan konsumsi domestiknya di tengah-tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat.

Pemerintah China sedang mempertimbangkan untuk memangkas tingkat rata-rata tarif pajak impor dari mitra dagang utamanya. Langkah itu diambil China untuk mengurangi biaya yang dibebankan kepada konsumen.

Pada Juli, Negeri Panda tercatat telah memangkas tarif impor untuk sejumlah produk konsumen yang

jumlahnya mencapai 1.500 produk, yang terdiri dari produk kosmetik hingga perlengkapan rumah tangga.

Adapun, tarif rata-rata most-favored nation (MFN) yang ditetapkan China saat ini berada di level 9,8%. Status tarif MFN tersebut diberlakukan China kepada seluruh negara kecuali jika ada kesepakatan khusus antara China dengan negara tersebut. Oleh karena itu, tarif perdagangan dengan AS juga diatur di dalam status tarif MFN.

PeluangKetegangan dua pasar terbesar

dunia ini merupakan peluang yang bisa dioptimalkan oleh pelaku

usaha Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo optimistis terhadap kinerja ekspor kayu olahan dan kayu bulat dengan kondisi perang dagang antara AS dengan China.

Hal ini secara tidak langsung menjadi pintu masuk ke pasar ekspor AS yang selama ini dikuasai oleh kayu dari China. Produk kayu olahan unggulan ekspor tahun 2018 masih sama dengan tahun 2017 yakni pulp, kertas, dan panel.

“Kami yakin produksi kayu bulat di sektor hulu dan kinerja ekspor di sektor hilir akan terus menunjukkan tren positif sampai akhir tahun 2018, terutama karena perang dagang Amerika Serikat dengan China, yang

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

5

Majalah H

utan Indonesia Tulisan Utama

potensial membuka pasar ekspor ke Amerika Serikat,” jelasnya.

Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto mengatakan, menjelang berakhirnya kuartal I/2018 telah terjadi kenaikan pengiriman kayu olahan hingga 28% menjadi US$3,03 miliar.

Beralihnya para pembeli kayu olahan dari China ke Indonesia diharapkan dapat dipertahankan hingga akhir 2018. Para produsen juga diharapkan lebih ekspansif memasarkan produknya ke pasar yang sedang terbuka itu.

Dia menilai produsen kayu lapis Indonesia memiliki peluang untuk mengisi pasar plywood China di Amerika Serikat asal menerapkan strategi yang tepat seperti meningkatkan pemanfaatan kayu tanaman.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan, pihaknya terus memonitor perkembangan hubungan dagang AS dan China. “Kami perhatikan, kaji, dan pelajari bagaimana dampaknya,” kata Oke.

Peluang mengisi ceruk pasar plywood general purposes sebenarnya sudah mulai ditangkap industri di Indonesia, terlihat dari data awal 2018 yang menunjukkan Indonesia sudah menggantikan posisi China sebagai eksportir plywood terbesar ke Negeri Paman Sam.

Berdasarkan data Departemen Perdagangan AS (US Department of Commerce), Indonesia mengekspor plywood 56.212 m3 selama Januari-Februari, disusul China 36.444 m3 dan Rusia 29.802 m3.

Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, volume pengapalan Indonesia melesat 29%, China jatuh 82%, dan Rusia turun 1%.

Jika melihat data perkembangan itu, China awal tahun lalu masih menempati ranking pertama, diikuti Indonesia dan Rusia di urutan kedua dan ketiga. Dominasi China di AS

menancap karena material plywood China berasal dari hutan tanaman sehingga harganya kompetitif.

Adapun bagi Indonesia, AS adalah pasar plywood terbesar kedua setelah Jepang dengan volume ekspor 48.127,7 ton selama Januari-Februari berdasarkan data BPS. Sebelum 2018, ekspor plywood Indonesia ke AS didominasi produk premium untuk karavan yang masih menggunakan kayu berkualitas tinggi dari hutan alam.

Bahan BakuDi sisi lain, kurangnya

ketersediaan bahan baku berupa kayu sengon menjadi tantangan bagi pengusaha kayu Indonesia.

Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) bidang pemasaran dan hubungan internasional Gunawan Salim menilai Indonesia dapat merebut kue pasar plywood China di Negeri Paman Sam yang sebesar 2 juta m3 per tahun meskipun sulit untuk menguasai seluruhnya.

Pasalnya, beberapa negara menunjukkan ambisi yang sama, seperti Malaysia, Vietnam, dan sebagian Amerika Latin, setelah plywood asal Negeri Tirai Bambu mahal karena tindakan antidumping dan tindakan imbalan AS.

“Indonesia yang bermain di segmen ini beberapa pabrik plywood yang ada di Jawa, yang bahan bakunya sengon itu pabrik yang volume produksinya tidak terlalu besar,” ujar Gunawan.

Menurut dia, pabrik-pabrik plywood skala kecil dan menengah di Jawa kini sedang mengurus sertifikasi standar emisi formaldehida California Air Resources Board (CARB) dan Environmental Protection Agency (EPA) agar dapat masuk ke pasar AS.

Walaupun demikian, Apkindo belum dapat mengestimasi potensi ceruk pasar yang dapat diambil alih Indonesia. Menurut Gunawan,

setidaknya butuh setahun untuk mencermati perubahan.

Sementara itu, pasokan log dari kayu alam juga kurang karena imbas kemarau basah tahun lalu menyulitkan penebangan dan pengangkutan.

“Memang kalau ada kesempatan, harus diambil. Mungkin bisa, tapi enggak mungkin kalau mau gantikan 2 juta m3. Kita mesti tahu juga China diserang produsen lokal AS [dengan tudingan dumping dan subsidi]. Kalau kita bernafsu [mengekspor] 2 juta m3 juga, nanti kita diserang [oleh produsen lain].”

Hal senada diungkapkan oleh Indroyono Soesilo. Dia menilai, kinerja produksi kayu bulat nasional pada kuartal I/2018 masih cukup menjanjikan meski turun dibandingkan dengan tahun lalu akibat faktor cuaca yang masih menjadi kendala.

“Volume produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman [pada kuartal I/2018] mencapai 10,62 juta m3, hanya menurun tipis dibandingkan dengan kuartal I/2017 yang sebesar 10,95 juta m3. Diperkirakan faktor cuaca masih menjadi kendala untuk kegiatan produksi di periode ini,”ujarnya.

Indroyono optimistis kinerja produksi akan membaik mulai kuartal II atau tepatnya April ketika Indonesia memasuki musim kemarau. Selain itu, harga yang kompetitif juga akan ikut menstimulasi peningkatan produktivitas.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK Hilman Nugroho menuturkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi tren kenaikan produksi kayu bulat dari hutan alam maupun hutan tanaman sehingga diprediksikan dengan kondisi normal akan mencapai target produksi hutan alam.

“[Saat ini produksi] sekitar 7,3 juta m3 dari posisi standing stock

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

6M

ajalah Hutan Indonesia

Tulisan Utama

10 Pasar Terbesar Ekspor Kayu Lapis RIJanuari-Februari 2018

67.816,6ton

Sumber: BPS, 2018

8.191ton

48.127,7ton

7.370,5ton

32.545,4ton

6.496,4ton

5.904,5ton

11.294,2ton

6.228,1ton

4.4 20,7ton

sekitar 11 juta m3, masih ada peluang peningkatan produksi kayu bulat hutan alam. Dengan luas areal HTI 10,9 juta ha, maka peluang produksi kayu dari hutan tanaman sekitar 40 juta m3,” katanya.

Namun, menurutnya, terdapat beberapa kemungkinan faktor yang bisa menghambat produksi kayu bulat, yaitu harga kayu dalam negeri lebih rendah dari harga kayu di pasar global. Tren harga kayu yang melemah secara ekonomi membawa dampak pada produksi kayu bulat.

“Para pengusaha lebih memilih wait and see, namun pada saat harga kayu dunia meningkat, [hal itu] akan sebanding dengan naiknya animo pengusaha kayu sehingga produksi cenderung akan meningkat,” katanya.

Daya Saing ProduksiSementara itu, Pusat

Standardisasi Lingkungan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(LHK) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk dapat melalui penerapan sertifikasi Ramah Lingkungan. Para pelaku usaha dihimbau untuk menerapkan sistem ekolabel yang dapat memberikan pengaruh terhadap pola produksi dan konsumsi ke depannya yang bisa dimulai dari bahan baku produksi, serta saat pendistribusian, bahkan juga setelah penggunaan produk yang ada.

Tujuan sistem ini adalah untuk menjelaskan kepada masyarakat mana saja yang termasuk produk ramah lingkungan dengan yang tidak ramah terhadap lingkungan. Dengan diberlakukannya sistem ekolabel maka nantinya produk atau barang yang tergolong dalam memberikan efek terhadap lingkungan akan mendapatkan sertifikat penghargaan yang dapat berguna dalam jangka waktu antara lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Ini juga menjadi salah satu syarat yang perlu dimiliki karena telah banyak negara yang mengimpor

kayu menghendaki sertifikat ramah lingkungan seperti layaknya ekolabel. Perlu memberlakukan sistem ini kepada para pelaku bisnis karena sebagai produsen yang menghasilkan produk atau barang wajib mengetahui produk mana saja yang tergolong ke dalam ramah lingkungan, dengan begitu saat memproduksi jadi lebih mengutamakan lingkungan juga.

Sertifikasi merupakan ciri pertumbuhan sebuah industri, sehingga semua produk (barang dan jasa) dituntut untuk memiliki kualitas. Meningkatkan daya saing sebuah industri diharapkan dapat merubah pola konsumsi dan produksi yang dapat mengarah menjadi pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan (Sustainable Consumption and Production/SCP).

Dari sisi produsen, sertifikasi memberikan informasi kepada konsumen bahwa produsen telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu termasuk

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

7

Majalah H

utan Indonesia Tulisan Utama

upaya pengelolaan lingkungan. Dari sisi konsumen, sertifikasi memberikan rekomendasi pilihan bagi konsumen untuk memilih produk yang lebih bermutu dan ramah lingkungan.

Tingkat kepedulian untuk menghasilkan barang yang sifatnya ramah lingkungan semakin digalakkan oleh Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian LHK dengan mensosialisasikan secara intens kepada para pelaku bisnis untuk menghasilkan produk yang ramah terhadap lingkungan.

Kementerian LHK menyatakan optimistis bahwa ekspor produk kayu nasional pada 2018 akan meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono menyatakan, dalam lima tahun terakhir ekspor produk kayu nasional cenderung mengalami peningkatan, misalnya pada 2012 sebesar US$6 miliar meningkat menjadi US$11 miliar pada 2017. “Memasuki 2018, pada Januari saja ekspor produk kayu telah menghasilkan sebesar US$1

miliar, sampai akhir 2018 bisa mencapai US$12 miliar, minimal,” katanya seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, ekspor produk kayu tersebut dipastikan akan meningkat terus, apalagi angka tersebut belum termasuk dari kayu bulat. Sementara itu, data APHI menyebutkan, kinerja ekspor produk kayu nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang mana pada 2012 sebanyak US$10,02 miliar, naik menjadi US$10,77 miliar pada 2014, kemudian meningkat lagi menjadi US$10,94 miliar pada 2017.

Komoditas produk kayu yang diekspor meliputi kertas, kayu lapis, bubur kertas (pulp), furnitur kayu, kayu olahan, serpih kayu, kerajinan kayu, veneer, bangunan prefeb, partikel board dan produk kayu lainnya.

APHI menyampaikan usulan kepada pemerintah guna memacu investasi dan meningkatkan devisa dari ekspor produk kayu. Beberapa usulan tersebut yakni agar dilakukan percepatan penetapan tata batas wilayah konsesi, Kementerian LHK diminta

mendukung pengembangan pasar ekspor, serta diversifikasi usaha melalui penguatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH).

Kemudian segera dilakukan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup untuk antara lain carbon credit, perhutanan sosial dan lain-lain.

Selain itu, melakukan deregulasi beragam kebijakan sektor yang tumpang tindih dan kadaluarsa, salah satunya pembayaran Dana Reboisasi (DR) ke dalam rupiah.

Pelaku usaha perkayuan bersiap menghadapi ancaman perang dagang yang didengungkan Amerika Serikat (AS) di bawah kendali Presiden Donald Trump. Untuk itu, upaya memperkuat jalur perdagangan yang sudah terbangun akan dilakukan. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan daya saing pun sangat diharapkan.

Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional, Gunawan Salim menyatakan, pelaku usaha

Produksi Kayu Bulat 2013-2017 (juta m3)

Sumber: APHI, 2018

Tahun HutanTanaman Industri

Hak Pengelolaan Hutan

2013 27,4 4,97

2014 25,3 4,57

2015 32,2 5,84

2016 32,6 5,38

2017 38,8 5,34

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

8M

ajalah Hutan Indonesia

Tulisan UtamaTulisan Utama

harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan diambil oleh AS di bawah kepemimpinan Presiden Trump. “Terus terang, AS dengan Presiden Trump saat ini sulit ditebak langkahnya. Kalau [neraca perdagangan] mengalami defisit banyak, langsung tambah bea masuk,” kata dia ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (14/7/2018).

AS memang termasuk salah satu pasar utama produk kayu Indonesia. Mengacu data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), AS berada di posisi ketiga negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia pada tahun 2017 lalu, dengan nilai perdagangan mencapai US$1,13 miliar. Sementara total nilai ekspor produk kayu Indonesia tercatat US$10,7 miliar. Salah satu produk yang penguasaan pasarnya cukup besar di AS adalah panel kayu.

Berdasarkan data Departemen Pertanian AS (USDA), AS melakukan impor produk kayu lapis dari Indonesia sebanyak 372.051 m3 dengan nilai mencapai US$224,9 juta pada tahun 2017. Catatan itu

menempatkan Indonesia di posisi kedua di bawah China.

Negeri tirai bambu itu menguasai 48% impor AS untuk produk kayu lapis dengan rekor 1,3 juta m3 senilai US$809 juta. Yang pasti, AS sudah mengenakan bea masuk besar hingga ratusan persen untuk produk-produk kayu lapis China sebagai bagian dari kampanye perang dagang Presiden Trump.

“Untuk kayu lapis Indonesia saat ini belum ada [tambahan bea masuk oleh Pemerintah AS]. Tapi muncul kekhawatiran [akan dikenakan tambahan bea masuk] seperti yang sudah terjadi pada produk besi dan alumunium,” kata Gunawan Salim.

Kekhawatiran itu seiring dengan proses review daftar produk Generelized System Preferences (GSP) oleh pemerintah AS. GSP adalah fasilitas pengurangan bea masuk atau pajak sebuah produk yang diberikan Pemerintah AS. Sejauh ini, ada produk kayu Indonesia masuk dalam daftar produk yang sejatinya bisa dipertimbangkan memperoleh fasilitas GSP.  

Salah satunya adalah kayu lapis dengan ketebalan maksimum 6 mm yang terbuat dari kayu tropis (HS 4412.31.41). Pada tahun 2017, ekspor kayu lapis HS 4412.31.41 dari Indonesia sebesar US$176,3 juta, dengan penguasaan pasar mencapai 80,1%. Selain produk tersebut, ada juga produk plywood dan flooring yang terbuat dari bambu.

Produk-produk kayu lapis sudah lama tak pernah masuk dalam daftar produk yang bisa menerima fasilitas GSP dan selalu dikenakan bea masuk normal oleh Pemerintah AS, yaitu sekitar 8%.

Pelaku usaha kayu lapis, ungkap Gunawan Salim, sudah mengajukan petisi untuk memperoleh fasilitas GSP melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag). “Tapi kami enggak yakin juga [dikabulkan], karena market share yang besar,” jelasnya.

Alih-alih mendapat pengurangan, bukan tak mungkin jika produk kayu Indonesia malah mendapat tambahan bea masuk karena kebijakan Presiden Trump

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

9

Majalah H

utan Indonesia Tulisan Utama

yang tak pandang bulu. Untuk mengantisipasinya, pelaku usaha perkayuan akan bergabung dengan misi dagang yang difasilitasi pemerintah cq. Kemendag.

Menurut Gunawan, Kemendag berharap, melalui forum bisnis itu eksportir dan importir Indonesia bisa memperkuat jejaring dengan mencari dukungan dari klien di AS untuk mencegah pengenaan tambahan bea masuk oleh pemerintah AS. “Kami akan menjelaskan bahwa plywood Indonesia bukan ancaman bagi AS,” kata Gunawan.

Pasalnya, produk kayu lapis yang diproduksi Indonesia bukanlah produk sejenis yang juga bisa diproduksi oleh AS. Jadi, dipastikan tidak ada persaingan. Selain itu, produk kayu lapis Indonesia sesungguhnya juga menjadi salah satu bahan baku untuk industri pengolahan lanjutan di AS, seperti industri pembuatan karavan mobil.

Pengaruhi kinerjaSementara itu, Ketua Asosiasi

Industri Kayu Olahan dan Kayu Gergajian Indonesia (ISWA) Soewarni menyatakan, kampanye perang dagang yang dikibarkan Presiden AS Donald Trumps akan berpengaruh pada kinerja ekspor produk kayu Indonesia. “Sedikit banyak, pasti ada pengaruhnya,” ujar dia.

Untuk mengantisipasinya, Soewarni berharap pemerintah bisa memberi bantuan agar produk kayu di Indonesia mengalami peningkatan daya saing. Caranya dengan bersunguh-sungguh menghapus ekonomi biaya tinggi.

Menurut Soewarni, komitmen untuk membuat iklim usaha yang kondusif sejatinya sudah ada di pemerintah pusat di bawah kendali Presiden Joko Widodo. Sayangnya, komitmen itu seringkali mentok di level pemerintah daerah.

Contoh saja, kebijakan untuk

menghapus persyaratan izin gangguan (HO) dan SIUP dalam pengurusan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Namun, kenyataanya di daerah, hal itu tidak dilaksanakan karena adanya peraturan daerah yang tetap mewajibkannya. “Presiden memang pangkas perizinan, tapi di bawah kurang jalan,” ujar Soewarni.

Soewarni juga berharap pemerintah bisa mengundang investor lebih banyak ke tanah air, sehingga pengolahan bahan baku kayu menjadi produk akhir bisa

dilakukan sepenuhnya di tanah air. Untuk itu, proses perizinan harus dibuat sederhana dan tak berbelit-belit.

Dia menyatakan, sudah ada langkah bagus dari pemerintah dengan menerbitkan kebijakan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Eleketronik (Online Single Submission/OSS). Namun, praktiknya tentu masih butuh pembuktian. “Kita tahu ada perizinan satu pintu. Memang satu pintu, tapi mejanya banyak,” jelasnya. (bca/tri)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

10M

ajalah Hutan Indonesia

Tulisan UtamaTulisan Utama

Manfaatkan Forum Perundingan Dagang & Cari Akses Pasar Baru

Oke Nurwan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke

Nurwan mengemukakan, pihaknya terus memonitor perkembangan hubungan dagang AS dan China. “Kami perhatikan, kaji, dan pelajari bagaimana dampaknya,” kata Oke. Menurutnya, masih terlalu dini untuk diprediksi secara akurat keuntungan yang bakal diraih Indonesia melalui perang dagang ini.

Pemerintah memilih untuk memanfaatkan forum dan perjanjian yang ada sembari terus mencari akses pasar baru. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, selama ini pemerintah telah tergabung dalam Forum Konsultasi Bilateral dengan AmerikaSerikat. Sedangkan dengan China, RI sudah terikat menjadi

bagian dari Asean – China Free Trade Agreement.

“Terlalu dini untuk memprediksi secara akurat dengan angka-angka. Lebih baik jangan raise expectation nanti sulit mengelolanya karena ini bukan perhitungan matematik atau mekanik,” kata Iman Pambagyo. Selama ini, Forum Konsultasi

Bilateral yang dijalankan antara RI – AS lebih banyak membicarakan tentang isu-isu perdagangan kekinian dan peluang investasi.

Meski begitu sejak empat tahun terakhir mulai kurang efektif. Tahun ini saat pertemuan Trade and Investment Framework Arragement (TIFA) di Indonesia pada April

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

11

Majalah H

utan Indonesia

Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China diyakini akan member keuntungan terhadap industri dalam negeri. Meski demikian, pemerintah belum berencana memperdalam perundingan dengan kedua negara tersebut.

Dialog Utama

atau Mei nanti, pemerintah akan membuatnya lebih konstruktif.

Forum antara RI dengan AS dinilai menjadi salah satu wadah untuk mengangkat isu-isu yang sedang difokuskan pemerintah atau beberapa kebijakan AS yang mengganggu atau berpotensi mengganggu ekspor RI ke Negeri Paman Sam. “Di sana juga bisa membahas tentang program-program kerja sama peningkatan kapasitas Indonesia,” kata Iman.

Menurutnya, pemerintah lebih baik menjadikan kondisi perang dagang antarkedua Negara raksasa

tapi juga negara mitra lain seperti Indonesia. Hal ini Nampak dari rencana AS untuk meninjau ulang pemberian generalized system of preference (GSP) terhadap sejumlah produk yang diimpor dari Indonesia.

Pemerintah RI pun tak tinggal diam, dan segera mengirim tim negosiasi. Negosiasi RI untuk mempertahankan GSP berlangsung di Washington pada 23—27 Juli melalui pertemuan dengan United States Trade Representative (USTR), Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross, dan Kamar Dagang AS.

Pertemuan itu dipimpin oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, yang memboyong perwakilan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI), dan Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI).

Selain itu juga; Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), produsen ban mobil, minyak sawit, boga bahari, baja, aluminium, dan makanan minuman (mamin).

Kabarnya, pemerintah RI menawarkan untuk membuka pintu lebih lebar bagi produk agrikultur AS untuk masuk ke Indonesia. Oke Nurwan tidak menampik strategi tersebut. Menurutnya, kebijakan itu sudah diperhitungkan agar sesuai dengan kebutuhan produk agrikultur yang harus dicukupi dari AS.

“Bisa saja [hambatan impor dikurangi dan impor produk agrikultur dari AS ditambah]. Kita memang butuh selama ini dari AS, [jadi kebijakan itu] bukan masalah,” ujarnya. Adapun, hasil review dari GSP ini sendiri baru bisa diketahui pada akhir tahun. (rayful)

tersebut dengan memperkuat pengamanan perdagangan termasuk anti-dumping, dan upaya safeguard.

Catatan Kemendag, perdagangan AS dan China menghasilkan defisit bagi AS sekitar US$395,8 miliar pada 2017. Ekspor China menguasai sekitar 21% pasar impor AS atau mencapai US$526,2 miliar. Sementara bagi China, ekspor ke AS berkontribusi sebesar 18% dari total ekspornya.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri, pemerintah akan melakukan pendekatan bilateral kepada kedua negara yang dijadikan sebagai antisipasi dampak perang dagang dan membanjirnya produk impor. Di samping itu, pemerintah juga masih melakukan penjajakan untuk membuka pasar baru non tradisional tujuan ekspor serta pemanfaatan trade remedies. “Pemanfaatan trade remedies untuk antisipasi kemungkinan adanya lonjakan barang impor dari China yang terhambat di pasar AS,” paparnya.

Dalam menjaga neraca perdagangannya, AS rupanya tak hanya restriktif terhadap China,

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

12M

ajalah Hutan Indonesia

Dialog Utama

Center for International Forestry Research (Cifor) mendorong dikucurkannya investasi untuk

pengembangan industri produk hasil olahan kayu, seperti furnitur, di luar Jawa demi memacu ekspor sembari menjaga kelestarian hutan. Peneliti Cifor Herry Purnomo menyebutkan bahwa saat ini industri pengolahan hasil hutan, di luar kertas, belum banyak berkembang di luar Pulau Jawa. Padahal, industri ini bisa membantu peningkatan ekonomi masyarakat melalui kerja sama antara industri dengan masyarakat pengelola perhutanan sosial.

“Saya ingin juga untuk di luar Jawa, perusahaan besar bisa berinvestasi untuk social forestry. Industrinya kan tidak banyak tumbuh kalau di luar Jawa. Makanya, perlu bisnis model yang jelas dan untuk menjalankan bisnis model itu perlu investasi dari perusahaan maupun green investor,” katanya, belum lama ini.

Salah satu industri yang bisa dikembangkan di luar Jawa adalah industri furnitur dengan sasaran pasar ekspor. Hal ini juga sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo agar nilai ekspor meubel

dan kerajinan Indonesia, baik yang berbahan kayu dan rotan bisa mencapai US$5 miliar.

Menurut Herry, ekspor furnitur Indonesia saat ini memang cukup besar. Dari catatan Hutan Indonesia, ekspor meubel Indonesia sepanjang 2018 ditargetkan mencapai US$2 miliar atau sekitar Rp29 triliun (kurs Rp14.500/US$). Namun, pertumbuhan bisnis furnitur ini dinilai tertinggal jauh dari Vietnam. Indonesia dan Vietnam, katanya, sekitar 10-15 tahun lalu, membukukan nilai ekspor yang sama, yakni di kisaran angka US$1,5 miliar.

Namun, perkembangannya, angka US$2 miliar masih menjadi target yang harus dicapai Indonesia pada tahun ini, sementara Vietnam telah membukukan nilai ekspor yang mencapai US$8 miliar. Salah satu faktor yang membuat Indonesia ketinggalan, menurut Herry, adalah kurang terbukanya negara ini kepada para investor untuk sektor ini.

“Vietnam itu gampang saja ambil investor, seperti [dari] China. Perusahan China banyak beroperasi di Vietnam memakai lokal resources dan mereka menangkan kompetisi global,” ungkapnya.

Dia tidak memungkiri bahwa ada tantangan yang harus dihadapi ketika pemerintah mengizinkan investor besar masuk ke sektor ini. Salah satunya adalah perlindungan usaha kecil menengah di sektor yang sama.

Hal lain yang membuat industri meubel dalam negeri ketinggalan adalah penggunaan teknologi yang belum ‘mumpuni’.

EkowisataDi sisi lain, ekowisata menjadi

produk hutan lain yang bisa dikembangkan sembari mengajak masyarakat di sekitar area, juga para pengunjung untuk bisa berpartisipasi menjaga keberlangsungan hutan dan kekayaan di dalamnya. “Sebenarnya yang paling gampang itu ekosistem servisnya, termasuk ekowisata, Itu kan juga produk hutan dan bisa ada jika hutannya bagus. Cuma memang market-nya harus digalakkan,” jelas Herry.

Adapun, tantangan yang kerap muncul dalam mengembangkan ekowisata ini, menurut Herry, adalah upaya untuk melibatkan masyarakat agar bisa turut berpartisipasi. (jer)

Strategi Diversifikasi Harus Mulai Dijalankan

Herry PurnomoPeneliti Center for International Forestry Research (Cifor)

Pelaku industri kehutanan harus sudah berancang-ancang untuk melakukan diversifikasi, baik dari segi produk yang akan dijual maupun lokasi pengolahan yang selama ini masih berpusat di Pulau Jawa.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

13

Majalah H

utan Indonesia Dialog Utama

Maka dari itu, pemerintah Indonesia gencar mempromosikan produk kayu yang

sudah mengantongi sertifikat ketertelusuran dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hilman Nugroho mengatakan promosi SVLK adalah salah satu upaya khusus yang dilakukan pemerintah dalam

menggenjot ekspor kayu ke luar negeri. “Strategi khusus untuk mendorong ekspor produk hasil hutan Indonesia yaitu dengan mempromosikan produk hutan ber-SVLK. Terbukti, dengan SVLK, ekspor produk kayu Indonesia

“Perang Dagang Amerika dan China Perbesar Peluang Produk Industri Kehutanan Indonesia”

Sertifikat ketertelusuran menjadi kunci utama bagi produk-produk Indonesia untuk dapat bersaing di pasar global, tak terkecuali bagi kayu dan produk kayu.

Hilman Nugroho Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

14M

ajalah Hutan Indonesia

Dialog Utama

meningkat secara signifikan,” katanya.

Berdasarkan statistik ekspor produk industri kehutanan, Ditjen PHPL, ekspor kayu pada 2017 meningkat dibandingkan dengan 2016. Pada 2017, total ekspor kayu Indonesia senilai US$10,9 juta sedangkan pada 2016 senilai US$9,2 juta.

Hilman mengatakan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China membuat peluang produk industri kehutanan dalam negeri semakin besar. Hilman optimistis Indonesia memiliki kecukupan bahan baku dan industri yang kompetitif yaitu SVLK.

Hilman menambahkan, peningkatan ekspor produk

kayu akan tetap tetap menjaga kelestarian hutan karena pemerintah akan tegas dalam menerapkan SVLK. “SVLK adalah sistem yang berlaku secara mandatori untuk memastikan bahwa produk hasil hutan yang berasal dari kawasan hutan yang dikelola secara legal dan lestari. SVLK dibangun untuk menjamin kelestarian hutan dan merupakan bentuk komitmen untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia dan sebagai upaya pemberantasan illegal logging dan illegal trading,” paparnya.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30 Tahun 2016 tentang Penilaian Kinerja PHPL

dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan, dan Hutan Hak, bahwa seluruh pelaku usaha kehutanan dan industri pengolahan produk hasil hutan, baik industri kecil, menengah maupun besar, wajib memiliki SVLK. Pemberian SVLK kepada pelaku usaha didasarkan kepada hasil penilaian oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP dan VI) yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional.

Dalam melakukan penilaian terhadap pelaku usaha, LP dan VI menggunakan standar internasional yang terdiri atas empat kriteria dan indikator kelestarian hutan yaitu prasyarat, produksi, ekologi, dan sosial. (pandu)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

15

Majalah H

utan Indonesia Dialog Utama

Dialog Utama

Indroyono SoesiloKetua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)

Peluang Pasar Baru Bagi Produk Kayu RI

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono

Soesilo. Menurutnya, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China secara tidak langsung bisa mendongkrak kinerja ekspor kayu olahan dan kayu bulat Indonesia.

“Kami yakin produksi kayu bulat di sektor hulu dan kinerja ekspor di sektor hilir akan terus menunjukkan tren positif sampai dengan akhir tahun 2018, terutama karena perang dagang Amerika Serikat dengan China, yang potensial membuka pasar ekspor ke Amerika Serikat,” jelasnya. Dia menambahkan, produk kayu olahan unggulan ekspor tahun 2018 masih sama dengan tahun 2017 yakni pulp, kertas, dan panel.

Indroyono memaparkan bahwa kayu olahan asal Indonesia pada Januari-April pun menunjukkan kinerja yang positif. Nilai ekspor kayu olahan pada periode Januari-April mencatatkan nilai US$4,6 miliar. “Di sektor hilir, ekspor kayu olahan Indonesia bulan Januari sampai dengan April 2018 juga menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Shipment dokumen V legal, nilai ekspornya sudah mencapai US$4,6 miliar atau naik 14 % dibandingkan dengan rerata bulan Januari-April 2017 yang hanya sebesar US$3,6

miliar,” tuturnya.Sebagaimana diketahui,

Departemen Perdagangan AS memutuskan untuk mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 183,3% terhadap industri kayu lapis China terhitung sejak 4 Januari 2018. Lebih dari 400 unit industri kayu lapis China dikenakan BMAD oleh Departemen Perdagangan AS.

Selain itu, pemerintah AS juga mengenakan bea masuk imbalan (counterveiling duty) untuk produk kayu lapis China karena dinilai mendapat subsidi yang mengakibatkan produsen kayu lapis AS menderita kerugian. Sebanyak 60 industri kayu di China dikenakan bea masuk imbalan sebesar 194,9%.

Berdasarkan catatan 2017, kebutuhan impor kayu lapis AS sebesar 2,9 juta meter kubik (m3) dipenuhi dengan importasi sebesar 1,3 juta m3 yang berasal dari China dengan nilai US$809 juta. Indonesia berada di urutan kedua dengan pangsa pasar tahun sebesar 372.051 m3 atau setara dengan US$224,9 juta. Artinya dengan perang dagang yang dilancarkan oleh AS terhadap China, Indonesia berpeluang mengisi kebutuhan akan kayu yang diperlukan oleh AS.

Di sisi lain, kinerja produksi kayu bulat nasional dianggap masih cukup menjanjikan meskipun volume

produksi kuartal I/2018 menurun 330.000 m3 dibandingkan dengan volume produksi kuartal I/2017. Pada kuartal I/2018, volume produksi kayu bulat nasional mencapai 10,62 juta m3 menurun dibandingkan dengan rerata kuartal I/2017 sebesar 10,95 juta m3. “Diperkirakan faktor cuaca masih menjadi kendala untuk kegiatan produksi di periode ini,” ujar Indroyono.

Meski begitu Indroyono tetap optimistis kinerja produksi akan membaik mulai kuartal II atau tepatnya April 2018 ketika Indonesia memasuki musim kemarau. Selain itu harga yang kompetitif juga akan ikut menstimulasi peningkatan produktivitas. “Peningkatan produksi ini juga didorong oleh harga kayu bulat yang mengalami kenaikan cukup signifikan saat ini antara 40% sampai dengan 60%,” ungkapnya. (pandu)

Panasnya tensi persaingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berpeluang membuka pintu lebih lebar bagi produk kayu Indonesia untuk merambah negeri Paman Sam.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

16M

ajalah Hutan Indonesia

Pasokan Bahan Baku Masih Jadi Tantangan

Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) melihat Indonesia dapat merebut kue pasar

plywood China di Negeri Paman Sam yang sebesar 2 juta m3 per tahun meskipun sulit untuk menguasai seluruhnya. Pasalnya, beberapa negara seperti Malaysia, Vietnam, dan sebagian Amerika Latin, menunjukkan gelagat yang sama, setelah plywood asal Negeri Tirai Bambu mahal karena tindakan antidumping dan tindakan imbalan AS.

“Indonesia yang bermain di segmen ini beberapa pabrik plywood yang ada di Jawa, yang bahan bakunya sengon. Itu pabrik yang volume produksinya tidak terlalu besar,” kata Pengurus Apkindo bidang pemasaran dan hubungan internasional Gunawan Salim. Menurut dia, pabrik-pabrik plywood skala kecil dan menengah di Jawa kini sedang mengurus sertifikasi standar emisi formaldehida California Air Resources Board (CARB) dan Environmental Protection Agency (EPA) agar dapat masuk ke pasar AS.

Seperti diketahui, lebih dari 400 unit industri kayu lapis China dikenai bea masuk antidumping (BMAD) 183,3%. Putusan ini berlaku

mulai 4 Januari 2018 meskipun pengenaan BMAD diperhitungan sejak Juni 2017.

Selain BMAD, 60 industri plywood China juga dikenai bea masuk imbalan (countervailing duty) 194,9% dan dua industri lainnya 22,9%. Kebijakan itu berlaku mulai 4 Januari 2018 kendati diperhitungkan sejak April 2017.

Walaupun demikian, Apkindo belum dapat mengestimasi potensi ceruk pasar yang dapat diambil alih Indonesia. Impor plywood AS dari Indonesia tahun lalu sekitar 339.000 m3. Menurut Gunawan, setidaknya butuh setahun untuk mencermati perubahan.

Namun, di tengah kans yang lebar itu, Indonesia menghadapi setidaknya dua tantangan. Pertama, Indonesia selama ini nyaman bermain di segmen premium, yakni plywood untuk recretional vehicle (karavan) dengan ketebalan 2,7-3,4 mm.

Pasar premium ini cukup menggiurkan, mengingat permintaannya yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah pensiunan generasi baby boomers.

Mobil ini dimanfaatkan warga AS untuk wisata keliling menjelajah negerinya. Adapun China selama ini

lihai di pasar plywood tebal untuk general purposes, misalnya untuk konstruksi dan furnitur.

Untuk menggantikan suplai China di AS yang mencapai 2 juta m3, Gunawan memandang tidak mudah bagi Indonesia. Pasalnya, kapasitas produksi nasional hanya 5 juta m3 per tahun. Sebanyak 3 juta m3 di antaranya telah diekspor, sedangkan 2 juta m3 sisanya diserap domestik.

Kedua, industri plywood sedang kesulitan bahan baku, terutama yang berasal dari kayu tanaman, setelah China mengurangi permintaan barecore dari Indonesia demi mengusung kebijakan antipolusi. Akibat kebijakan itu, petani sengon di Indonesia enggan menebang, padahal industri plywood mengandalkan bahan baku yang sama.

Di sisi lain, pasokan log dari kayu alam juga kurang karena imbas kemarau basah tahun lalu menyulitkan penebangan dan pengangkutan. “Memang kalau ada kesempatan, harus diambil. Mungkin bisa, tapi enggak mungkin kalau mau gantikan 2 juta m3. Kita mesti tahu juga China diserang produsen lokal AS [dengan tudingan dumping dan subsidi]. Kalau kita bernafsu [mengekspor] 2 juta m3 juga, nanti kita diserang.” (smi)

Gunawan Salim Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo)

Peluang untuk mengisi pasar Amerika Serikat (AS) terbuka setelah China dikenai bea masuk tambahan di atas 100%. Meski demikian, ketersediaan bahan baku masih menjadi tantangan bagi pelaku industri kayu lapis Indonesia.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

17

Majalah H

utan Indonesia Dialog Utama

Dialog Utama

Dalam beberapa waktu belakangan ini, kondisi perekonomian global tengah tidak stabil,

menyusul panasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China. Kedua negara saling menyerang di sektor perdagangan dan industri dengan pemberlakuan tarif tinggi pada beberapa produk impor kedua negara.

China menerapkan tarif bagi 128 produk AS senilai US$3 miliar. Bahkan, negara tersebut menghentikan impor pesawat Boeing, buah-buahan dan kedelai dari AS.

Tindakan ini dilakukan sebagai aksi balasan terhadap pengenaan 25% tarif impor baja dan 10% tarif impor aluminium yang dilakukan oleh AS pada sejumlah produk China. Sementara AS membalas lewat tarif tambahan sebesar 25% terhadap 1.300 produk asal China meliputi produk industri kedirgantaraan, teknologi informasi dan komunikasi, robotika, serta permesinan. Sebagai balasan, negeri China berencana mengenakan tarif 25% bagi 106 produk asal AS.

Ketua Umum Indonesia Sawmill and Woodworking Association

(ISWA) Soewarni berharap meski kondisi ekonomi dan perdagangan global tengah guncang, pada tahun ini kinerja ekspor bisa naik 10%.

Tahun lalu, volume pengapalan kayu olahan sekitar 4,2 juta m3 dengan nilai US$2,1 miliar (free on board). Barecore menyumbang paling banyak ekspor kayu olahan 2017, yakni sebanyak 1,9 juta m3. Namun dari segi nilai, moulding/unfinish berkontribusi paling jumbo, yakni mencapai US$727,5 juta.

Dilihat dari segi tujuan ekspor, China menyerap paling banyak dengan mengimpor hampir 2 juta m3 senilai US$637,1 juta.

SoewarniKetua Umum Indonesia Sawmill and Woodworking Association (ISWA)

Situasi Ekonomi Global Jadi Tempat Bergantung

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

18M

ajalah Hutan Indonesia

Dialog Utama

Pelaku industri kayu di sisi hilir menggantungkan harapan pada situasi perekonomian global untuk memacu kinerja ekspor tahun ini, termasuk kebijakan di negara tujuan.

Jepang mengekor di belakangnya. Soewarni mengakui, ada tantangan dari permintaan barecore, terutama di China yang selama ini merupakan pasar utama.

Pemerintah setempat sedang menggaungkan kebijakan antipolusi sehingga pabrik-pabrik yang selama ini mengemisi polutan ditutup, termasuk pabrik mebel dan dinding berbahan baku barecore. Akibat pelemahan permintaan dari Negeri Tirai Bambu, harga barecore turun ke kisaran US$230-US$240 per m3dari semula US$275 per m3.

Di sisi lain, petani sengon ingin harga bahan baku tetap tinggi. Saat ini, harga log sengon berdiameter kurang dari 25 cm dan panjang 1,3

m Rp800.000, sedangkan untuk log berdiameter 25 cm ke atas dan panjang 2,6 m lebih dari Rp1,2 juta. “Kekhawatiran saya [akibat penurunan permintaan barecore], rakyat yang tadinya senang menanam [sengon], kalau enggak laku dijual, mereka jadi enggak mau menanam lagi,” kata Soewarni.

Di sisi lain, penurunan produksi kayu bulat awal tahun ini tidak memengaruhi performa industri pengolahan kayu alias woodworking.

Dia mengatakan, performa ekspor kayu olahan awal tahun ini relatif masih sama dengan tahun lalu. Asosiasi itu mencatat volume ekspor woodworking sepanjang kuartal I/2018 sekitar 1 juta m3

senilai US$550,5 juta. “Kalau dikalikan empat, mirip dengan [ekspor] 2017, baik volume maupun devisa. Jadi, enggak ada pengaruh signifikan [dari penurunan produksi kayu bulat],” katanya.

Sebelumnya, produksi kayu bulat nasional sepanjang kuartal I/2018 tercatat hanya 10,6 juta m3 atau turun 300.000 ton dari realisasi periode sama tahun lalu.

Berdasarkan data ISWA, kebutuhan bahan baku kayu bulat industri woodworking pada 2015 mencapai 16,6 juta m3dan menghasilkan ekspor hampir 5 juta m3. Sepanjang Januari-Juni 2016, kebutuhan bahan baku 7,2 juta m3 dan menghasilkan ekspor 2,2 juta m3. (smi)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

19

Majalah H

utan Indonesia

Dialog Utama

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan pajak impor sebesar 25% atas produk baja dan 10% untuk aluminium.

Perang Dagang China & Amerika Serikat, Peluang Bagi Indonesia

Kasan MuhriKepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3)Kementerian Perdagangan

Dalam salah satu tweet-nya, seperti dikutip www.bisnis.com (2/3/2018), Trump menulis, “Ketika

suatu negara (AS) kehilangan miliaran dolar dalam perdagangan dengan hampir seluruh negara, perang dagangan menjadi bagus, dan mudah untuk di menangkan. Misalnya ketika kita kalah US$100 miliar dengan negara tertentu dan mereka genit soal itu, kita tidak perlu lagi berdagang dengan kita akan menang besar. Mudah sekali!”

Pernyataan Trump tersebut langsung mengundang reaksi kemarahan dari negara-negara sekutu AS dan mitra-mitra dagang terbesar mereka, termasuk China. Mereka menjawab akan membalas keputusan tersebut dengan memberlakukan hal yang sama kepada AS.

Masih dari situs tersebut dijelaskan bahwa keputusanTrump untuk mengenakan tarif tertuju secara khusus kepada problem defisit perdagangan, khususnya di sektor baja dan alumunium, dengan para mitra dagang mereka di dunia. Trump mengeluh mengapa perdagangan AS tidak menjadi dominan seperti mungkin ketika 20-30 tahun lalu.

Dengan kondisi tersebut, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia akan mengambil langkah pencarian pasar baru nontradisional mengantisipasi dampak dari perang dagang yang dilakukan Amerika Serikat dengan China.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BP3 Kemendag) Kasan Muhri memperkirakan, perang dagang AS dan China akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia ke kedua negara itu. Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada pengalihan ekspor kedua negara ke Indonesia.

Pasalnya, AS dan China merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. “Ekspor besi baja dan alumunium Indonesia ke AS yang pada 2017 masing-masing US$70 juta dan US$219 juta diperkirakan juga terganggu. Sementara, produk ekspor Indonesia ke China tidak terlalu

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

20M

ajalah Hutan Indonesia

Dialog Utama

memberikan tekanan terhadap Indonesia,” ungkapnya, Jumat (23/3/2018).

Menurutnya, Indonesia dapat menjadi negara pengalihan oleh ekspor seperti China yang akan menyasar pasar lainnya untuk ekspor besi baja dan alumunium. Sedangkan AS akan mencari akses baru untuk ekspor buah-buahan dan kedelai.

Pemerintah akan melakukan berbagai langkah untuk mengantisipasi dampak tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah pendekatan bilateral kepada kedua negara.

Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk mencari pasar baru nontradisional tujuan ekspor. “Pemerintah akan memanfaatkan trade remedies untuk mengantisipasi kemungkinan adanya lonjakan  barang impor dari China yang terhambat di pasar AS,” tutur Kasan.

Untuk diketahui, perdagangan AS dan China menghasilkan defisit bagi AS sekitar US$395,8 miliar pada 2017. Ekspor China menguasai sekitar 21% pasar impor AS atau mencapai US$526,2 miliar. Sementara bagi China, ekspor ke AS berkontribusi sebesar 18% dari total ekspornya.

AS telah mengumumkan pengenaan tarif bea masuk untuk

impor baja sebesar 25% dan untuk impor alumunium sebesar 10%. Kebijakan AS ini akan mengganggu ekspor China ke AS, mengingat China merupakan pemasok utama untuk kedua produk tersebut dengan nilai US$4,2 miliar.

Atas kebijakan AS itu, China menyiapkan serangan balik untuk meresponnya dan akan melakukan tindakan retaliasi terhadap 128 komoditas impor dari AS. Namun, kondisi tersebut bagi Indonesia masih dinilai tak akan mengancam perdagangan di dalam negeri. Bahkan sebaliknya, Indonesia bisa menangkap peluang memasarkan produk di tengah konflik kedua negara ini.

Indonesia harus bisa secepatnya mengolah peluang bagus dari perang tarif ini. Misalnya ketika harga barang kedua negara melambung tinggi akibat perang tarif. Barang buatan Indonesia dapat lebih mudah masuk di dua negara tersebut.

Perang dagang antara AS dan China ini juga membuat peluang produk industri kehutanan dalam negeri semakin besar, karena selama ini tujuan utama produk China hanyalah ke AS. Sementara saat ini, AS menetapkan bea masuk yang tinggi terhadap produk asal China.

Karena hal itu maka terjadi praktik penyelundupan produk kayu dari China ke AS melalui Indonesia karena tarif bea masuk ke negara Paman Sam ini dari Indonesia sangat kecil. Dengan demikian China mencari jalan dari negara-negara yang tarif bea masuknya kecil. Sementara AS terkenal ketat dalam menerima produk (kebijakan Lacey Act), yaitu hanya produk dengan kejelasan asal-usul yang mudah masuk ke AS.

Pemerintah akan mengantisipasi hal tersebut supaya tidak terjadi penyelundupan yang dapat merugikan produk dalam negeri. Apalagi Indonesia telah menjadi buah bibir dunia dengan Sistem Verifikasi an Legalitas Kayu (SVLK), sehingga jangan sampai Indonesia menjadi tempat pencucian produk Tiongkok via Indonesia.

Indonesia memiliki kecukupan bahan baku dan industri yang kompetitif yaitu SVLK. Namun kendalanya, saat ini Indonesia belum bisa ekspor kayu bulat. Oleh sebab itu, Kementerian LHK dan Kementerian lain yang terkait sedang membahas regulasi yang bisa menguntungkan bagi pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri, dan surplus bahan baku kayu bulat dapat dipertimbangkan untuk diekspor, masih dalam kajian. (redaksi) 21

Majalah H

utan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J u n i 2 0 1 8

Dialog Utama

Industri Dalam NegeriHarus Dipetakan

Shinta W. KamdaniWakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.Bidang Hubungan Internasional

Pemetaan sektor industri dalam

negeri yang relevan untuk mengambil

peluang dari persaingan dagang

Amerika Serikat (AS) dan China menjadi kunci

untuk mendorong ekspor Indonesia.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang

Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, komoditi yang dijadikan fokus perang dagang saat ini tidak banyak yang bisa diambil Indonesia. China, lanjutnya, menaikan bea impor untuk kedelai, daging, wiski, mobil, pesawat dan bahan kimia. Negara AS menaikkan bea impor produk elektronik, industri, dan logam.

Meski demikian langkah yang paling relevan dilakukan guna memanfaatkan kondisi saat ini adalah meningkatkan kapasitas industri dalam negeri dan mulai mengembangkan industri-industri teknologi. “Indonesia dihadapkan pada kemampuan industri yang belum mampu bersaing mulai dari sisi harga, kualitas, dan banyaknya jenis. Untuk itu RI perlu mendorong investasi, berpartisipasi lebih aktif pada Trade and Investment Framework Agreement yang selama

ini sudah berjalan dengan AS, dan membuka pasar melalui FTA yang terukur untuk mendorong partisipasi Indonesia di dalam rantai nilai global,” kata Shinta.

Hilangnya pasar AS untuk produk teknologi China membuat negara itu kemungkinan besar akan mengarahkan ke pada pasar baru. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan tingkat penghasilan yang mulai meningkat dapat menjadi pasar pengganti AS.

22M

ajalah Hutan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J u n i 2 0 1 8

Dialog Utama

“Trade diversion ini disatu sisi akan membuat kita lebih cepat dapat dalam menyambut era industri 4.0.Untuk itu, mungkin Indonesia perlu melihat dulu kedepannya akan seperti apa,” jelasnya.

Menurut Shinta, stakeholders dalam negeri harus memastikan terlebih dulu produk mana yang akan dikenakan penaikan bea oleh kedua negara baik AS maupun China. Dari situ, baru diketahui mana saja yang bias disodorkan Indonesia. “Nanti akan dilihat produk apa saja yang dimasukan kedalam kenaikan tarif oleh kedua negara. Apakah Indonesia berkesempatan meningkatkan ekspor ke kedua Negara tersebut. Jadi itu pasti ada peluang untuk Indonesia,” kata Shinta.

Salah satu produk yang dianggap dapat meningkatkan nilai ekspor dalam tensi perang dagang ini ialah industri tekstil. Pasalnya AS tidak dapat memproduksi tekstil di negaranya.

Dia menjelaskan, sektor lain juga dapat mencari celah meraup

untuk untuk pengembangan ekspor dari dalam negeri. Hingga kini, lanjutnya, belum ada dampak yang cukup berarti terhadap perang dagang AS- China.

Pemerintah diharapkan siaga terhadap pengenaan bea masuk yang bakal dihadapi oleh China. Pasalnya barang dari China akan dialihkan kepasar lain termasuk ke Indonesia. “Pemerintah perlu mengawasi perdagangan dengan China, karena Indonesia juga baru mendapatkan peluang investasi ekspor, takutnya produksi dalam negeri malah kalah bersaing dengan China [akibat produk China membanjiri RI],” ungkapnya.

Apindo, Shinta menuturkan, berharap pemerintah melakukan pemetaan produk yang akan dinaikan tarif masuk oleh masing-masing negara.

Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Enny Sri Hartati optimistis perang dagang tersebut bakal berdampak terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia. Selama ini ekspor ke AS tidak

berpengaruh pada kepentingan nasional Negara itu, sehingga RI berkesempatan melakukan negosiasi secara bilateral untuk meningkatkan volume impor dari Indonesia.

Di sisi lain, China selama ini mengimpor dalam bentuk komoditas. Namun Indonesia kemudian mengimpor produk China dalam bentuk barang jadi. Menurut Enny, pemerintah harus dapat memanfaatkan momentum ini untuk menaikan substitusi impor untuk meningkatkan posisi Indonesia. “Percepatan industrialisasi baik industri hulu, sekaligus industri hilir bisa dipercepat, selain untuk promosi ekspor juga subsitusi impor,” kata Enny.

Menurutnya, pemerintah akan mendapat peluang baik dari perang dagang ini. Namun, dia menambahkan, salah satunya dengan industrialisasi produksi dalam negeri. “Justru itu bisa menjadi berkah kalau kita secara kreatif kemanfaatkan peluang itu,” tegasnya. (rayful)

23

Majalah H

utan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J u n i 2 0 1 8

Liputan Khusus

TantanganDi Tengah Peluang

PERANG DAGANG

Sebagai negara yang memiliki hubungan dagang dengan kedua negara tersebut, Indonesia memiliki peluang

untuk mengisi celah akibat aktivitas “perang dagang” ini, seperti pada produk kayu lapis.

AS menaikkan bea masuk antidumping (BMAD) dan bea masuk imbalan (countervailing duty) terhadap produk kayu lapis dari China sehingga sejumlah pemain dari Indonesia dapat mengekspor produknya ke negeri Paman Sam.

Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional Gunawan Salim mengatakan, sejumlah pelaku industri dari Jawa mulai melakukan

ekspor kayu lapis tebal yang berbahan kayu sengon ke Amerika. “Ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor kayu lapis,” katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat nilai ekspor panel kayu asal Indonesia ke Amerika mencapai US$275,633 juta sepanjang Januari hingga Juli 2018. Adapun nilai ekspor panel kayu sepanjang 2017 mencapai US$280,955 juta.

Sementara itu, khusus untuk plywood, Apkindo mencatat volume ekspor Indonesia ke Amerika sepanjang Januari-Juni 2018 untuk semua ketebalan tercatat mencapai 325.342 meter kubik atau sekitar 25% dari total impor Amerika dari semua negara yang mencapai 1,268 juta meter kubik.

Sayangnya, peningkatan ekspor ini juga menuai kekhawatiran mengingat Indonesia sedang mengajukan kayu lapis atau plywood untuk mendapatkan Generalized System of Preference (GSP) dari Amerika Serikat setelah tidak mendapatkan fasilitas ini selama beberapa tahun terakhir.

GSP merupakan bentuk kebijakan pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Program ini telah berlangsung sejak 1976 dan saat ini, pemberlakuannya untuk Indonesia sedang menjalani peninjauan ulang

oleh pemerintah Amerika Serikat.Selama ini, ekspor plywood

didominasi oleh produk kayu lapis tipis yang memiliki pasar khusus dan tidak diproduksi di Amerika. Akibat adanya “perang dagang” dengan China, produk kayu lapis tebal juga mulai mengalir masuk ke Amerika Serikat padahal produk kayu lapis tebal ini tidak dimanfaatkan oleh industri Recreational Vehicle (RV) dan biasanya digunakan untuk keperluan umum lainnya.

Masuknya plywood tebal yang tidak memiliki pasar khusus ini menambah kekhawatiran kemungkinan masuknya produk plywood asal Indonesia ke dalam radar pertimbangan Amerika untuk menaikkan bea masuknya, seperti yang dilakukan kepada produk yang sama asal China, ditengah tidak terprediksinya keputusan-keputusan yang mungkin dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Untuk mendapatkan GSP ada sejumlah ketentuan dari pihak AS, seperti pencabutan GSP apabila impor sebuah produk dari satu negara mencapai ambang batas nilai tertentu yang meningkat senilai US$5 juta per tahun atau volume impornya mencapai atau lebih dari 50% dari total impor sebuah produk ber GSP yang masuk ke Amerika dari sebuah negara.

Namun, Amerika Serikat juga memiliki kebijakan yang

Di tengah peluang, tentu ada tantangan. Upaya restriktif AS terhadap industri domestiknya

dikhawatirkan tidak hanya mengenai produk asal

China, tapi juga merembet ke produk Indonesia.

Instrumen yang digunakan AS antara lain Seneralized

System of Preference (GSP) hingga retaliasi.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

24M

ajalah Hutan Indonesia

Liputan Khusus

menyebutkan bahwa negara penerima fasilitas GSP bisa mengajukan petisi untuk tetap mendapatkan fasilitas tersebut kendati porsi impor Amerika dari negara tersebut melebihi ketentuan Competitive Needs Level (CNL) dengan catatan bahwa komoditas yang diajukan memang sangat berdampak pada industri dalam negeri Paman Sam.

Sekali lagi, plywood tipis asal Indonesia pun memenuhi kriteria ini di mana industri RV Amerika sangat membutuhkan pasokan plywood tipis. Belum lagi, nilai impor dari Indonesia saat ini pun sudah di bawah ambang batas yang diizinkan dari satu negara penerima fasilitas GSP.

Selain itu, hal lain yang juga diharapkan bisa membantu adalah penetapan Harmonized System (HS) untuk produk plywood tipis Indonesia oleh Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat (USITC). Dengan adanya pembedaan ini diharapkan pemerintah Amerika bisa memberi kebijakan berbeda pada produk plywood dari Indonesia, khususnya yang memang benar-benar dibutuhkan oleh Industri dalam negerinya.

“Kita senang karena ini akhirnya dibikin klasifikasi HS Code yang baru khusus untuk yang tipis ini. Jadi, seumpama ada apa-apa HS Code baru yang tipis ini kan bisa dipisahkan. Dari pemerintah mereka

bisa memisahkan mana plywood yang mereka perlu yang tidak menyaingi industri dalam negeri mereka,” tuturnya.

Selain kedua hal di atas, saat ini pelaku industri plywood pun berusaha menjalin komunikasi dengan mitra bisnis mereka di Negeri Paman Sam untuk bisa turut memberi masukan ke asosiasi industri RV yang memang membutuhkan plywood tipis asal Indonesia.

KetertelusuranDi sisi lain, isu ketertelusuran

dan keberlanjutan diyakini masih menjadi salah satu faktor kunci bagi pelaku industri kehutanan untuk mengoptimalkan peluang yang muncul dari perang dagang dua perekonomian terbesar dunia, AS dan China.

Maka dari itu, korporasi berbasis produk kehutanan disarankan untuk melakukan sertifikasi terutama terkait dengan isu ketertelusuran dan keberlanjutan.

Direktur Eksekutif Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) Zulfandi Lubis menyebutkan, di tengah besarnya kecurigaan pasar asing atas produk hasil hutan asal Indonesia terkait pemenuhan standar pengolahan hasil hutan yang baik, sertifikasi menjadi sangat penting.

“Selain karena sifatnya voluntary, perusahaan yang mau mensertifikasi dirinya ini kan bisa

kita asumsikan mereka ingin dan mau untuk memperbaiki diri. Tentunya untuk memperbaiki diri dan menyesuaikan dengan benchmark sebuah perusahaan pengelolaan hutan yang baik,” katanya.

Sertifikasi ini menjadi salah satu alat pembukti yang bisa diterima oleh pasar luar negeri. Kendati demikian, tambahnya, saat ini, kemauan perusahaan pengolahan hasil hutan untuk mengajukan sertifikasi masih minim.

Kebanyakan perusahaan baru akan mengajukan sertifikasi untuk produknya jika diminta oleh pasar atau perusahan yang akan menjadi konsumen.

Menurut Zulfandi, hal ini bisa jadi salah satu alasan mengapa perusahaan enggan melakukan sertifikasi sebelum diminta oleh calon konsumen. Pasalnya, sertifikasi yang diajukan harus sesuai dengan petunjuk calon konsumen.

Di sisi lain, Akademisi Institut Pertanian Bogor Dodik Nurrochmat menyoroti belum bertajinya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di pasar global kendati telah memenuhi kriteria Forest Law, Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa.

“Sebenarnya, dengan adanya perang dagang AS-China, produk barecore dan furniture kita punya

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

25

Majalah H

utan Indonesia

Liputan Khusus

peluang untuk melebarkan pasar. Namun nyatanya, di pasar Uni Eropa, pangsa pasar produk furnitur kita hanya 10%,” kata Dodik.

Dia menambahkan, di pasar UE pasar China lebih besar 10 kali lipat dari produk RI, bahkan Vietnam lebih besar empat kali lipat dari Indonesia.

Menurutnya, pemerintah selain menggenjot SVLK, juga harus aktif bernegosiasi dengan negara konsumen demi memuluskan penetrasi pelaku industri kehutanan di pasar global.

Adapun, nilai ekspor kayu dan produk kayu Indonesia pada 2017, setahun setelah lisensi FLEGT diterbitkan, hanya US$1 miliar. Angka tersebut tidak signifikan dibandingkan dengan realisasi pengapalan 2012, ketika syarat itu masih diujicobakan.

Selain itu, Dodik menilai, pemerintah perlu mengatasi problem defisit bahan baku kayu log yang mencapai 20 juta m3, bebarengan dengan upaya pelaku industri untuk memperbarui teknologi dan peralatan produksinya.

Sementara itu, kendati ada peluang yang bisa dioptimalkan, pelaku usaha perkayuan dinilai harus mewaspadai potensi dampak negatif persaingan

dagang antara AS dan China terhadap kinerja ekspor produk barecore.

Dodik mengatakan secara global, China dan Indonesia menguasai pangsa pasar barecore hingga 60% sebagai produsen. Jika ditilik dari profil ekspor barecore Indonesia, 90% ditujukan ke China. Menariknya, China justru tidak masuk dalam kategori importir terbesar.

“Artinya, apa yang kita ekspor, dire-ekspor [oleh China], tujuannya ke AS dan Eropa. Re-ekspor itu bahkan bisa dengan sekadar menambah label [pada produk barecore],”ujarnya.

Dengan kondisi seperti ini, saat China terlibat perang dagang dengan AS, dan Indonesia gagal memanfaatkan momentum untuk bisa langsung masuk ke pasar Negeri Paman Sam, permintaan barecore dari China justru berpotensi tergerus.

Tahun lalu, volume pengapalan kayu olahan sekitar 4,2 juta m3 dengan nilai US$2,1 miliar (free on board). Volume barecore menyumbang paling banyak ekspor kayu olahan 2017, yakni sebanyak 1,9 juta m3. Namun dari segi nilai, moulding/unfinish berkontribusi paling jumbo, yakni mencapai US$727,5 juta.

Dilihat dari segi tujuan ekspor, China menyerap paling banyak dengan mengimpor hampir 2 juta m3 senilai US$637,1 juta. Jepang mengekor di belakangnya.

Potensi PulpSementara itu, Ketua Asosiasi

Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam mengatakan produsen pulp dan kertas memperkirakan dapat tumbuh 5%-05,5% pada tahun ini. Capaian ini tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan tahun lalu sekitar 5%.

Aryan memperkirakan pabrikan pulp dan kertas di dalam negeri masih harus menghadapi tantangan yang sama setiap tahun, yaitu kebijakan proteksionisme dan tuduhan dumping berbagai negara.

Di samping itu, berbagai negara lain juga mulai memasang bea masuk terhadap kertas asal Indonesia dengan tarif yang beragam, yakni berkisar 20%-70%. Akibatnya, produsen pulp dan kertas mesti mulai mencari pasar ekspor alternatif.

“Ekspor ke AS dan Australia sudah mulai turun drastis sekali sejak mulai dituduh dumping. Pasar yang masih bisa ditingkatkan masih di sekitar Asia Timur, Timur Tengah, dan Afrika,” ujarnya. (bca/jer/anp)

Total Impor plywood Amerika 2017 2.954.482 meter kubik

Impor Dari Indonesia 2017 372.051 meter kubik (12,59%)

Impor plywood Amerika Januari-Juni 2017 1.729.837 meter kubik

Impor dari Indonesia 177.238 meter kubik (10,24%)

Impor plywood Amerika Januari – Juni 2018 1.268.582 meter kubik

Impor dari Indonesia 325.342 meter kubik (25,64%)

Sumber: Apkindo

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

26M

ajalah Hutan Indonesia

“Kompetisi Akan Kian Ketat”Pelaku industri kayu dan produk kayu Indonesia harus menjaga kualitas serta aspek keberlanjutan bagi produk yang dikapalkan seiring dengan

potensi kian ketatnya kompetisi di pasar Inggris atau United Kingdom (UK) di masa mendatang.

Menurut Koordinator Fungsi Ekonomi Kedutaan Besar RI di London, Inggris, Vitto Rafael Tahar, konsumsi

kayu di Inggris didominasi impor dengan persentase sebesar 80% dari total konsumsi. “Angka ini diperkirakan akan meningkat karena makin berkurangnya ketersediaan kayu di Inggris hingga sebesar sekitar 30% di tahun 2030,” katanya melalui keterangan tertulis.

Kebutuhan Inggris yang sangat besar akan kayu ditambah dengan makin berkurangnya kemampuan Inggris untuk menghasilkan kayu dari hutan lokal di masa mendatang, serta potensi keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan meningkatkan persaingan negara eksportir kayu untuk masuk ke pasar kayu Inggris.

Vitto menambahkan, AS dan China merupakan pesaing utama Indonesia di pasar kayu Inggris. Meskipun demikian, terutama jika dibandingkan dengan China, produk kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa diperolehnya lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa.

Dalam kasus persaingan Indonesia dengan China, produk kayu Indonesia dan China yang komplementer dan bersaing langsung di pasar UK saat ini antara lain adalah plywood (HS 4412) dan trunks and cases (HS 4202). Persaingan yang berat diperkirakan akan terjadi di kedua jenis produk ekspor ini di masa mendatang.

Produk kayu glondongan (kayu bulat/log), plywood, dan kertas

dari Indonesia nampaknya akan memiliki potensi untuk bersaing di pasar Inggris. Kayu glondongan punya potensi berkembang karena lisensi FLEGT yang telah dimiliki Indonesia.

Adapun, plywood digemari karena konsumen Inggris cenderung lebih menyukai produk minimalis dibandingkan dengan ukiran-ukiran. Kertas juga merupakan produk turunan yang pasarnya juga masih cukup prospektif di Inggris.

Di sisi lain, setelah lisensi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) telah sepadan atau compatible dengan FLEGT milik Uni Eropa, Vitto memaparkan bahwa stakeholders industri kayu RI tidak bisa serta merta berpangku tangan setidaknya hingga lima tahun mendatang.

Menurutnya, prospek pertumbuhan pasar produk kayu RI di UK hingga 5 tahun mendatang sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain apakah Indonesia dapat mengembangkan kebijakan yang makin mendorong sustainability produk kayu yang diekspor guna makin memperkuat SVLK yang telah diakui dengan lisensi FLEGT, dimana pada gilirannya akan meningkatkan kesesuaian dengan Timber Procurement Agency.

Selain itu, apabila UK benar-benar memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa,

Dialog Khusus

27

Majalah H

utan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J a n u a r i 2 0 1 8

Dialog Khusus

keberadaan kesepakatan bilateral di bidang perdagangan (makro) dan kesepakatan untuk mengimplementasikan keunggulan komparatif lisensi FLEGT kayu Indonesia secara bilateral dengan Inggris, juga dapat turut menentukan prospek pertumbuhan ekspor kayu Indonesia ke Inggris.

“Saat ini Ghana, Vietnam dan kemungkinan RRT merupakan beberapa negara yang tengah berusaha untuk mendapatkan lisensi FLEGT. Meskipun hal ini akan berdampak positif terhadap pengelolaan hutan global, di sisi lain akan meningkatkan ketatnya kompetisi ekspor produk kayu Indonesia,” jelas Vitto.

Maka dari itu, KBRI London bersama Pemerintah Inggris (DEFRA) tengah mengupayakan untuk mengadopsi mekanisme standarisasi SVLK-FLEGT, antara Indonesia dengan Inggris secara bilateral. Apabila terlaksana, ketika Inggris keluar dari Uni Eropa, Indonesia akan memiliki kelebihan sebagai negara eksportir kayu yang telah memiliki kesepakatan FLEGT bilateral dengan Inggris.

Secara rutin, KBRI London juga melakukan advokasi produk-produk ekspor ke pada kalangan usaha di Inggris guna meningkatkan kesadaram konsumen tentang produk kayu Indonesia dan sekaligus mendorong permintaan pasar akan produk kayu Indonesia.

Dengan demikian, jelas Vitto, layaknya umumnya pasar

Vitto Rafael TaharKoordinator Fungsi Ekonomi,KBRI London, Inggris

“Saat ini Ghana, Vietnam dan kemungkinan RRT merupakan beberapa negara yang tengah berusaha untuk mendapatkan lisensi FLEGT. Meskipun hal ini akan berdampak positif terhadap pengelolaan hutan global, di sisi lain akan meningkatkan ketatnya kompetisi ekspor produk kayu Indonesia,”

Jenis Produk Kayu yang Diimpor UK 2017

• 7.6 juta kubik meter sawnwood (meningkat +14% dari tahun 2016)

• 3.8 juta kubik meter panel berbasis kayu (meningkat +12% dari 2016)

• 6.9 juta kubik meter pelet kayu (meningkat +2% dari 2016)

• 6.8 juta ton pulp and paper (turun sekitar -4% dari 2016)

Nilai total impor produk kayu UK sekitar £7.9 miliar

(meningkat +6% dari 2016)

Produksi Produk Kayu UK 2017

• 3.8 juta kubik meter sawnwood (meningkat +3% dari tahun 2016)

• 3.2 juta kubik meter panel berbasis kayu (meningkat +5% dari tahun 2016)

• 3.9 juta ton paper and paperboard (meningkat +5% dari tahun 2016);

• 0.3 juta ton briket dan pelet kayu (turun sekitar -15%).

Sumber: KBRI London.

Eropa yang dalam perdagangan senantiasa makin menekankan aspek sustainability dan legalitas, kemampuan Indonesia untuk mempertahankan sertifikasi FLEGT dan meningkatkan aspek sustainability pada produk-produk kayu Indonesia menjadi salah satu kunci untuk bertahan di pasar Inggris.

Saat ini, telah terjadi pergeseran selera pasar yang dipicu dari perubahan kultur masyarakat yang semakin menyenangi produk minimalis. Salah satu hal penting dalam produk minimalis tersebut adalah adanya standar kualitas tertentu.

“Kemampuan industri di Indonesia untuk mempertahankan standar kualitas tersebut, mengingat mudahnya pesaing untuk meniru produk minimalis ini, juga perlu menjadi perhatian Indonesia,” tuturnya. (bca)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

28M

ajalah Hutan Indonesia

Dialog Khusus

Dilihat lebih jauh, jika ekonomi Jepang memang melemah, permintaan akan produk impor akan

terkoreksi, termasuk untuk kayu dan produk kayu asal Indonesia.

Riva Rovani, Atase Kehutanan Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo, Jepang, mengatakan bahwa secara ringkas pasar produk kayu dan olahan kayu di Jepang pada saat ini cukup baik dan berpotensi untuk ditingkatkan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan positif ekonomi Jepang tahun lalu yang sebesar 0,5% hingga saat ini dan adanya tren positif impor barang barang dan meningkatnya impor produk kayu dan olahan kayu dari berbagai negara.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan Jepang, negeri matahari terbit tercatat

mengimpor produk kehutanan dari seluruh dunia senilai US$23,51 miliar pada 2017. Pada semester I/2018, angka pengapalan impor produk kehutanan Jepang mencapai US$12,51 miliar.

Secara umum, impor semua produk ke Jepang pada semester I/ tahun 2018 mengalami peningkatan sebesar 11,23% dibandingkan dengan periode yang sama Januari-Juni tahun lalu. Tahun 2017 merupakan tahun ekonomi yang cukup baik bagi Jepang ditandai dengan naiknya Impor produk ke Jepang dengan peningkatan impor sebesar 10,56% setelah berturut turut mengalami kelesuan ekonomi dengan penurunan impor sejak 2013-2016.

Ekonomi Jepang pada periode 2016-2017 juga disokong dari kenaikan permintaan domestik menyusul perbaikan infrastruktur dan

pembangunan sarana prasarana yang dilakukan untuk menyambut Olympic and Paralympic Games 2020. “Namun dengan adanya ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang China dan AS, dampaknya akan berpengaruh terhadap melemahnya perekonomian Jepang, dikarenakan kedua negara merupakan negara utama tujuan ekspor Jepang. Hal ini juga selanjutnya akan berpengaruh terhadap permintaan produk kayu dan olahan kayu di dalam negeri Jepang,” jelas Riva.

Untuk 2018, Forestry Agency-MAFF Jepang juga telah memperkirakan tren penggunaan kayu secara umum sama dengan tahun 2017, dengan kecenderungan peningkatan penggunaan kayu domestik dan penurunan kayu impor.

Faktor InternalProspek produk kayu dan olahan

kayu impor juga akan dipengaruhi

Riva RovaniAtase Kehutanan Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo, Jepang

“Fluktuasi Akibat Perang Dagang Jadi Perhatian”

Bagi Jepang, persaingan dagang antara AS-China berpotensi melemahkan perekonomian domestik karena keduanya merupakan pasar utama ekspor negeri matahari terbit itu.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

29

Majalah H

utan Indonesia

Dialog Khusus

oleh faktor-faktor di dalam negeri Jepang, salah satunya Periode Pemanfaatan Hutan Tanaman Jepang. Luas lahan hutan di Jepang adalah 25,08 juta hektare (sekitar 70% dari daratan), dengan sekitar 54% hutan alam dan 41% hutan tanaman jenis konifer. Volume stok hutan di Jepang adalah 4.901 juta meter kubik, di mana 3.042 juta meter kubik berasal dari hutan tanaman.

Saat ini merupakan periode untuk pemanfaatan hutan tanaman dikarenakan banyaknya pohon-pohon telah memasuki masak tebang (berumur 50 tahun-60 tahun). Untuk itu Pemerintah Jepang gencar untuk mempromosikan penggunaan kayu-kayu domestik untuk perumahan, bangunan umum, wood-biomass dan sebagainya.

Selain itu, pada Mei 2016, Pemerintah Jepang memperkenalkan peraturan baru “the Act on the Promotion of Use and Distribution of Legally - Harvested Wood and Wood Products” yang dikenal dengan “Clean Wood Act” sebagai pengganti sistem “Goho Wood” tahun 2006 yang mengatur legalitas kayu impor ke Jepang dengan tingkat uji tuntas/kelayakan (due diligence) yang lebih tinggi.

Pemerintah Jepang juga telah melakukan review terhadap sistem legalitas kayu negara-negara pemasok kayu ke Jepang, salah satunya adalah studi terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia yang dilaksanakan oleh Japan Forest Technology Association (JAFTA).

Faktor berikutnya adalah Pembangunan Sarpras Olympic and Paralympic Games 2020.

Permintaan kayu diperkirakan akan meningkat untuk pembangunan infrastruktur dan

fasilitas Olimpiade dan Paralimpiade 2020 (lebih kurang 10 fasilitas, termasuk New National Stadium, Olympic Aquatic Centre, Ariake Arena, dan Sea Forest Waterway, dan sebagainya).

Kemudian, ketidakstabilan harga kayu impor juga menjadi pertimbangan. Pasalnya, ketidakstabilan dan kecenderungan semakin meningkatnya harga kayu impor, serta sering terjadinya keterlambatan pengapalan di negara-negara eksportir, membuat berbagai konsumen di Jepang mencari altenatif dengan penggunaan kayu kayu domestic.

“Sementara itu, Jepang telah menanamkan investasi besar untuk pembangunan berbagai pabrik pengolahan kayu domestik di dalam negeri. Hal ini akan berdampak pada peningkatan penggunaan kayu (lumber) dan plywood dari sumber kayu domestik dan penurunan impor kayu log,” jelas Riva. Faktor lainya adalah kinerja nilai tukar mata uang Yen. Penurunan nilai tukar mata uang dolar AS terhadap yen telah menyebabkan semakin tingginya biaya yang harus dibayar untuk mengimpor kayu kayu dari luar negeri Jepang.

Terakhir, kondisi iklim dan bencana alam di Jepang juga harus dimasukkan dalam kalkulasi. Pasokan kayu domestik di Jepang akan tergantung kepada keadaan iklim dan cuaca serta bencana alam (longsor, angin topan dan gempa). “Terjadinya hujan deras dan longsor telah mengakibatkan terganggunya aktivitas penebangan kayu domestik. Gempa dan angin topan yang melanda Jepang telah menghancurkan sejumlah bangunan dan meningkatkan permintaaan akan produk kayu impor,” ungkap Riva.

Bagi IndonesiaMenurut Riva, membaiknya

ekonomi Jepang saat ini juga berpengaruh terhadap produk-produk impor dari Indonesia. Pada 2017, Indonesia juga mengalami peningkatan ekspor ke Jepang sebesar 8,94% dengan nilai sebesar US$12,67 miliar.

Pada semester I/2018, impor semua produk dari Indonesia juga

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

30M

ajalah Hutan Indonesia

Dialog Khusus

mengalami peningkatan sebesar 13,75% dibandingkan periode yang sama Januari-Juni tahun 2017. Untuk produk kehutanan, tren impor Indonesia juga masih positif.

“Dalam jangka pendek, Indonesia masih berpeluang untuk meningkatkan nilai ekspor produk kayu dan olahan kayu ke Jepang pada semester kedua Juli-Desember tahun 2018,” kata Riva.

Berdasarkan pengelompokkan produk, pangsa produk kayu dan olahan kayu di Jepang dari Indonesia tertinggi pada Produk HS 48 (kertas dan kertas karton, barang dari pulp kertas) sebesar 12,66% atau senilai Rp5,13 triliun, diikuti oleh HS 44 (kayu dan barang dari kayu) sebesar 8,53% senilai Rp11,80 triliun, selanjutnya HS 47 (pulp kayu) sebesar 4,60% atau senilai Rp855,59 miliar dan HS 94 (mebel/furnitur) sebesar 2,36% dengan nilai Rp2,49 triliun.

Adapun, data statistik tahun 2012 hingga pertengahan 2018 menunjukkan bahwa impor produk kayu dan olahan kayu dari AS dan China cukup besar dalam mempengaruhi impor Jepang. Secara keseluruhan, pangsa pasar impor produk kayu dan olahan kayu Jepang untuk China adalah 32,9%, Amerika sebesar 9,17% dan Indonesia sebesar 6,41%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pasokan produk kayu dan olahan kayu Jepang dari Indonesia akan tergantung kepada pasokan produk kayu dan olahan kayu dari China dan Amerika sebagai eksportir utama.

Pasokan barang impor sejak tahun 2017 hingga pertengahan tahun 2018 untuk berbagai produk kayu dan olahan kayu dari China, AS, Indonesia dan Malaysia-sebagai pesaing utama Indonesia di kawasan Asia Tenggara, khususnya Plywood-menunjukkan bahwa tingkat pasokan masih relatif stabil pada semua produk kayu dan olahan kayu hingga akhir 2017.

Data dan grafik hingga Juli 2018 menunjukkan bahwa pengaruh perang dagang China dan AS yang dimulai awal tahun 2018, belum memberikan dampak yang signifikan terhadap impor produk kayu dan kayu olahan lainnya secara keseluruhan di Jepang dan juga impor dari Indonesia.

“Namun ada kekhawatiran bahwa China akan kekurangan pasokan bahan baku kayu dari Amerika akibat perang dagang sehingga ke depannya akan berpengaruh terhadap fluktuasi permintaan dan pasokan kayu baik di Jepang dan Indonesia,” jelas Riva.

Tren produk kayu dan olahan kayu yang diminati akan tetap sama dengan tahun 2017 atau mengalami sedikit pergeseran permintaan, terutama untuk peningkatan permintaan kayu laminated lumber (kayu laminasi) dan small dimension lumber (kayu-kayu berdimensi kecil) serta laminated board (papan laminasi) dari hutan tanaman.

Namun secara umum, tambah Riva, produk-produk kayu dan olahan kayu akan tetap berpotensi untuk dapat diekspor ke Jepang

sepanjang produk yang ditawarkan tersebut memenuhi kualifikasi sertifikasi kayu legal atau berasal dari sumber yang jelas, dan dapat bersaing dalam hal harga dan kualitas terhadap kayu-kayu domestik Jepang.

Dengan situasi ekonomi global yang terombang-ambing, ditambah sejumlah kebijakan internal Jepang, pelaku usaha produk kehutanan Indonesia dinilai harus mengasah inovasi produknya, memperluas jejaring, serta fokus memenuhi permintaan konsumen akan transparansi rantai pasok produknya melalui sertifikat SVLK maupun sertifikat lain yang diminta oleh konsumen seperti FSC.

Pada saat yang sama, tambah Riva, pemerintah juga tidak akan tinggal diam.

Promosi investasi bidang kehutanan, khususnya investasi kehutanan di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan juga pengelolaan kawasan konservasi dan jasa lingkungan (restorasi ekosistem), serta ekowisata terus dilakukan. “Kami juga melakukan pertemuan-pertemuan bilateral dengan para pemegang kebijakan kehutanan di Jepang, untuk memperkenalkan berbagai kebijakan Indonesia, termasuk Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia [SVLK] sebagai upaya agar SVLK Indonesia dapat diterima oleh pemerintah dan publik Jepang.”

Selain itu, Atase Perdagangan Jepang juga gencar mempromosikan kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan Indonesia kepada publik Jepang dalam upaya promosi produk-produk kehutanan (kayu dan non kayu) dan menghalau black campaign untuk produk-produk kayu dan olahan kayu di Indonesia. (bca)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

31

Majalah H

utan Indonesia

Hukum dan Kebijakan

Perkembangan pengelolaan hutan yang makin dinamis mendorong perlunya perubahan kebijakan yang

lebih responsif. Dari perspektif kegiatan usaha kehutanan, tentu kebijakan pengaturan pengelolaan hutan yang paling relevan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 Jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang menjadi turunan pertama dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Draft revisi PP ini sedang dalam proses pembahasan.

Revisi kebijakan pada tingkat PP tersebut menjadi sangat mendasar dari sisi kekuatan hukum dan relasi substansi antar pokok-pokok pengaturan pengelolaan hutan. Dari sisi kekuatan hukum, terkait dengan isu-isu kebijakan pengelolaan hutan yang belum diatur secara jelas di tingkat PP, atau pengaturan yang ada perlu disesuaikan dengan kondisi terkini. Sementara dari urgensi relasi substansi, perlu perubahan kebijakan atas rangkaian bisnis proses dari perencanaan, pemanfaatan dan pemenuhan kewajiban terhadap negara serta pemasaran dan perdagangan hasil hutan.

Pada tingkat pengelolaan hutan, akan diwarnai dengan penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik di Hutan Produksi maupun Hutan Lindung termasuk pengaturan industrinya. Pengelolaan hutan dikembangkan berbasis landskap. Dalam satu KPH, dapat terdiri dari izin-izin pemanfaatan hutan alam, hutan tanaman, restorasi ekosistem, serta izin berbasis masyarakat seperti hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan adat. KPH akan memfasilitasi kegiatan perencanaan dan pengaturan hasil

REVISI PP 6 TAHUN 2007;

MENGHELA KINERJA SEKTOR USAHA KEHUTANAN

32M

ajalah Hutan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J u n i 2 0 1 8

Hukum dan Kebijakan

hutan, termasuk pemasaran hasil hutan.

Dalam tata kelola hutan skala landskap tersebut, kalangan usaha mengusulkan agar tidak ada pengkategorian perizinan hutan alam dan hutan tanaman, cukup dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman dalam satu izin IUPHHK dibangun dengan pendekatan sistem sillvikultur dan multi usaha. Optimalisasi pemanfaatan areal izin akan berkembang dengan variasi beberapa bentuk usaha melalui agroforestry, silvopastura, dan silvofishery.

Kepastian areal kerja juga menjadi substansi yang diusulkan kalangan usaha. Hal ini dimulai dengan penyederhanaan proses penataan batas areal kerja dan penetapannya. Areal yang telah ditata batas perlu mendapatkan kepastian hukum dari konflik sektoral dengan usaha lainnya seperti sektor pertambangan dan sektor perkebunan. Juga dengan konflik tenurial atas kegiatan-kegiatan perambahan lahan secara illegal. Karena tata batas merupakan tahapan awal dari rangkaian proses pemanfaatan hutan, penyelesaiannya akan memberikan dukungan terhadap bisnis proses selanjutnya.

Gagasan baru muncul dalam penghitungan kewajiban pembayaran Pemenuhan Kewajiban Negara Bukan Pajak (PNBP)

atas produksi hasil hutan kayu. Untuk hutan tanaman non kayu pertukangan penghitungan PNBP akan didasarkan atas luas tebangan. Oleh karena itu, produktivitas lahan menjadi faktor kunci. Pemegang izin yang mampu mengelola hutan tanaman dengan produktivitas tinggi akan memperoleh insentif . Sebaliknya, apabila produktivitasnya rendah, maka harus membayar sesuai dengan luasan yang ditetapkan. Penghitungan PNBP dengan pendekatan luas tersebut tentu perlu data produktivitas yang cukup detail dengan beberapa variabel penentu antara lain jenis tanaman, jenis tanah dan distribusi geografis.

Untuk kayu hutan alam dan kayu hutan tanaman pertukangan, pengenaan PNBP akan didasarkan pada rencana penebangan atau Laporan Hasil Cruising (LHC). Perlu pencermatan atas penerapan metode ini, khususnya dibandingkan dengan metode pengenaan PNBP berbasis Laporan Hasil Produksi (LHP), karena menyangkut pengukuran volume kayu dalam keadaan berdiri, yang berpotensi memunculkan bias, serta pemanfaatan limbah tebangan atau kayu-kayu diameter kecil.

Selanjutnya, masih dalam konteks PNBP, diusulkan agar Dana Reboisasi dikembalikan kepada filosofi semula yaitu sebagai biaya depresiasi hutan, sehingga prioritasnya dikembalikan ke kawasan hutan dimana DR dipungut. Karena itu, pengenaan

DR diarahkan dari kawasan hutan atas kayu alam hasil reboisasi, rehabilitasi hutan/lahan serta tanaman hasil penelitian yang bukan ditanam oleh perusahaan, serta pemanfaatan kayu akibat perubahan peruntukan kawasan hutan dan izin penggunaan kawasan hutan.

Dari sisi investasi, untuk mendorong percepatan penanaman dan peningkatan aset dan investasi di sektor kehutanan, diusulkan agar tanaman yang dikembangkan oleh pemegang izin IUPHHK menjadi aset pemegang izin usaha, dan dapat diagukan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Hal ini sejalan dengan gagasan penyatuan izin hutan alam dan hutan tanaman menjadi satu izin dalam bentuk IUPHHK.

Pada rangkaian ujung bisnis proses pemanfaatan hutan yakni pemasaran dan perdagangan hasil hutan, dipandang perlu untuk memperluas kewenangan dan cakupan dari kementerian yang menangani kehutanan atas perdagangan komoditas hasil hutan kayu dan bukan kayu Dari sini, kontribusi sektor kehutanan terhadap perkenomian –dengan tolok ukur PDB–, dapat ditingkatkan.

Di tengah dinamika dan tuntutan untuk meningkatkan peran dan kontribusi sektor kehutanan, perubahan-perubahan kebijakan yang tertuang dalam revisi PP tersebut diyakini akan menjadi prakondisi untuk peningkatan kinerja sektor kehutanan saat ini. (her/ps)

33

Majalah H

utan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

Opini

Vietnam, Primadona Baru di Asia TenggaraIndonesia kini tak lagi menjadi satu-satunya primadona di pasar Asia Tenggara. Vietnam, negara yang berpenduduk hanya 92 juta jiwa, mulai mengintip.

Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Ibnu Hadi mengingatkan pemerintah terkait

akselerasi perdagangan Vietnam yang sudah mulai mengalahkan Indonesia. “Indonesia harus semakin meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi perdagangan dunia di masa depan, termasuk mencermati gerak langkah Vietnam agar Indonesia tidak tertinggal dari negara tetangga itu,” kata Ibnu Hadi dalam keterangan tertulis.

Dia menuturkan, Vietnam kini sudah semakin maju dalam beberapa bidang perdagangan bahkan telah mengalahkan Indonesia, kecuali dalam komoditas karet.

“Hal itu tentunya tidak akan terjadi apabila Indonesia mampu meningkatkan daya saing dalam menghadapi perdagangan dunia dewasa ini,” jelas Ibnu Hadi. Menurutnya, Vietnam merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling cepat di Asia Tenggara dan telah menetapkan tujuannya untuk menjadi negara maju pada tahun 2020.

Data KBRI Hanoi yang diolah dari General Statistics Office (Vietnam), data Badan Pusat Statistik (BPS)

dan Bank Indonesia menunjukkan perdagangan luar negeri Vietnam pada semester pertama tahun 2018 mencapai US$225,01 miliar atau naik 13,69% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 sebesar US$197,90 miliar.

Nilai ekspor Vietnam mencapai US$114,18 miliar atau naik 16,98% dibandingkan periode yang sama tahun 2017 sebesar US$97,60 miliar, sedangkan nilai impor mencapai US$110,82 miliar atau naik 10,49% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 sebesar US$100,29 miliar.

Komoditas ekspor Vietnam antara lain telepon, telepon selular dan suku cadang, tekstil dan produk tekstil, komputer, peralatan listrik dan komponen, mesin dan peralatan mesin, dan alas kaki.

Sementara itu, komoditas impornya yakni komputer, peralatan

listrik dan komponen, mesin dan peralatan mesin, bahan kain, telepon, telepon selular dan suku cadang, dan besi dan baja. Dengan demikian, perdagangan Vietnam keluar negeri mengalami surplus sebesar US$3,36 miliar, dan dalam periode yang sama tahun 2017 mengalami defisit US$2,69 miliar.

Dalam working paper yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada 2015 dengan tajuk “Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional di Era Masyarakat Ekonomi Asean dan Perdagangan Bebas”, dijabarkan bagaimana Vietnam memulai langkahnya untuk menjadi salah satu ekonomi yang diperhitungkan di Asia Tenggara.

Pada tahun 1986 Vietnam menerapkan kebijakan Doi Moi (renovation) yang bertujuan untuk mereformasi sistem ekonomi Vietnam yang sebelumya berbentuk

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

34M

ajalah Hutan Indonesia

Opini

centrally–planned economy menjadi socialist–oriented market economy. Reformasi tersebut dilakukan untuk mengintegrasikan Vietnam ke dalam perekonomian global.

Untuk mencapai visi tersebut, Vietnam memiliki strategi pembangunan per sepuluh tahun (10-year socio-economic development strategy) yang kemudian dipecah menjadi strategi pembangunan per lima tahun. Vietnam memiliki visi untuk mempercepat proses industrialisasi dan modernisasi serta membangun fondasi untuk menjadikan Vietnam sebagai negara industri pada tahun 2020, sedangkan pada tahun 2025.

Selain itu, Vietnam memiliki visi yang jelas sehingga struktur sektor industri Vietnam telah terbentuk dengan baik. Sektor industri akan menjadi sektor yang kompetitif, memiliki teknologi yang maju, dan berpartisipasi dalam nilai rantai global serta secara fundamental memenuhi persyaratan ekspor.

Tenaga kerja Vietnam akan memiliki kualifikasi yang memenuhi kebutuhan sistem produksi modern. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai 85%–88% dan nilai produk industri hi-tech mencapai 45% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Visi Vietnam pada 2035 adalah sektor industri Vietnam akan terbangun dengan didominasi oleh industri spesialis yang berteknologi tinggi dan produknya memenuhi standar internasional, berpartisipasi secara mendalam di rantai nilai global, dan berkompetisi secara adil dalam integrasi internasional.

Tenaga kerjanya profesional, disiplin, berproduktivitas tinggi, serta aktif dalam riset, desain, dan manufaktur. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai 90% dan nilai produk industri hi–

Statistik Perdagangan Semester I/2018 (US$)

Keterangan Indonesia Vietnam

*) Total Perdagangan ke Luar Negeri 177,06 miliar 225,01 miliar

Perbandingan 27,08%

*) Nilai Ekspor 88,02 miliar 114,18 miliar

Perbandingan 29,72%

*) Nilai Impor 89,04 miliar 110,82 miliar

Perbandingan 24,46%

Diolah dari berbagai sumber

tech mencapai 50% dari PDB.Kebijakan Doi Moi yang

diambil oleh Vietnam memberikan citra positif bagi Vietnam dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 1994 Amerika Serikat mencabut embargonya terhadap Vietnam.

Selain itu, pada tahun 2001 terbentuk perjanjian perdagangan bilateral antara Vietnam dan Amerika Serikat. Vietnam terus membuka diri ke pasar perdagangan internasional dengan bergabung 48 menjadi anggota WTO pada tahun 2007.

Vietnam juga telah menjadi anggota perjanjian perdagangan negara-negara Asia Pasifik (TPP) pada tahun 2013. Penetrasi Vietnam ke pasar internasional semakin dalam dengan rencana Vietnam untuk membentuk free trade agreement antara Eropa dan Vietnam.

Perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi Vietnam, bukan hanya meningkatkan daya saing produk Vietnam dengan menurunnya tarif, melainkan juga meningkatkan daya tarik Vietnam bagi investor asing, khususnya investor-investor dalam Global Value Chain (GVC/Rantai Nilai Global).

Pada tahun 1990-1995 pemerintah Vietnam fokus dalam

menggenjot pertumbuhan industri berat, seperti industri semen dan baja untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam pembangunan usai perang. Selain itu, Vietnam fokus dalam membangun industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan domestik, khususnya industri makanan dan minuman.

Vietnam juga mengedepankan industri-industri yang berbasis pada sumber daya alam, seperti industri pertambangan dan industri migas. Pada periode tahun 1996 hingga tahun 2000, Vietnam mulai bertransformasi ke industri manufaktur yang berorientasi ekspor, seperti industri tekstil, apparel, alas kaki, dan kertas.

Setelah tahun 2001 Vietnam mulai fokus dalam menggenjot sektor industri hi-tech. Untuk menggenjot masuknya foreign direct investment, pemerintah Vietnam menerapkan beberapa insentif bagi investor, antara lain pajak penghasilan perusahaan yang rendah selama periode waktu tertentu, pengurangan atau penghapusan pajak penghasilan perusahaan; pengurangan atau penghapusan pajak impor untuk barang-barang impor yang berupa aset tetap, bahan mentah, suplai, dan suku cadang, serta pengurangan atau penghapusan biaya sewa lahan. (bca)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

35

Majalah H

utan Indonesia

Profil

Djauhari Oratmangun Dubes RI untuk China & Mongolia

Indonesia Tidak Akan Memancing di Air Keruh

Memanasnya tensi hubungan AS-China disebut-sebut menciptakan peluang tersendiri bagi Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah memastikan tidak akan memancing di air keruh dalam situasi ini.

Ketegasan itu disampaikan oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Republik Rakyat

China merangkap Mongolia Djauhari Oratmangun beserta jajarannya. “Kita akan tetap manfaatkan peluang pasar di China, namun bukan menjadi free rider perang dagang,” katanya.

Dilantik sejak Februari 2018, Djauhari sedari awal menegaskan komitmennya untuk meningkatkan kualitas hubungan diplomatik Indonesia-China, termasuk di sektor perekonomian maupun pariwisata. Memangkas defisit neraca perdagangan adalah salah satu target utama.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, desifit neraca perdagangan antara

Indonesia-China sekitar US$12 miliar. Pada 2017, defisit itu turun menjadi US$6 miliar.

Untuk melanjutkan kinerja tersebut, pemerintah akan mengandalkan produk-produk potensial seperti ikan beku dan olahannya, sarang burung walet, kopi dan teh, dan pemanfaatan e-commerce. Produk-produk utama seperti kelapa sawit dan olahan kayu (pulp, kertas, hingga plywood) juga tidak akan ditinggalkan.

Sebagai perwakilan pemerintah RI di China, lanjutnya, pihaknya tetap akan memfasilitasi kepentingan pelaku usaha Indonesia melalui penyelenggaraan pameran, mempertemukan partner dagang, hingga negosiasi mengenai tarif impor untuk produk asal RI.

“Sektor swasta juga harus lebih intensif menggarap pasar di sana. Tugas saya adalah memfasilitasi dan menginformasikan potensi-potensi yang ada.”

Di sisi lain, terkait dengan perang dagang AS-China, dia menegaskan sejatinya produk-produk Indonesia tidak banyak bersinggungan dengan produk AS di pasar China. Dengan demikian, pelaku usaha tinggal memaksimalkan ceruk pasar yang ada dan memacu daya saing.

Khusus untuk produk kayu olahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat China merupakan negara tujuan ekspor utama. Pada 2015, nilai ekspor untuk produk kayu ke China mencapau US$2,18 miliar. Angka itu kemudian sempat

36M

ajalah Hutan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J a n u a r i 2 0 1 8

Profil

terkoreksi menjadi US$2,03 miliar pada 2016 dan kembali membaik jadi US$2,82 miliar pada 2017.

Adapun, AS menduduki ranking ketiga sebagai negara tujuan ekspor produk kayu olahan Indonesia dengan nilai US$1,1 miliar pada 2015, US$836 juta pada 2016, dan US$1,13 miliar pada 2017.

Pasar produk kayu olahan di China pun diyakini terus tumbuh positif. Pasalnya, pemerintah

setempat telah menghapuskan kebijakan satu anak (one child policy) sejak 2016, sehingga laju pertumbuhan penduduk China semakin kencang, setidaknya hingga 10-15 tahun mendatang.

Pada perkembangan selanjutnya, pertumbuhan penduduk itu memacu geliat berbagai sektor, baik untuk properti maupun pendidikan yang ujung-ujungnya akan mendorong

kebutuhan akan produk kayu olahan baik dalam bentuk pulp & paper, furniture, maupun handycraft.

Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi China yang rata-rata selalu ada di atas 6%, dan mencapai 6,7% pada 2017.

Di sisi lain, perusahaan besar asal Indonesia seperti Grup Sinarmas juga telah memiliki pabrik dan jaringan di China sehingga upaya ekspansi pasar seharusnya makin mulus. (bca)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

37

Majalah H

utan Indonesia

Teknologi

Belajar dari Pengelolaan Hutan Finlandia, Vietnam & ChinaPengelolaan hutan harus berkesinambungan untuk mendongkrak perekonomian nasional dan masyarakat di sekitar hutan, demikian ungkapan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam pidato Perayaan Hari Lingkungan Hidup 2017 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh jadi gemas. Pasalnya kontribusi sector kehutanan seharusnya

masih bisa dioptimalkan jika melihat luasnya kawasan hutan yang ada. Tak heran jika Jokowi, menyebut pengelolaan hutan di Indonesia monoton dan miskin terobosan. Presiden meminta kepada Kementerian Lingkungan dan Kehutanan jangan ragu mencontoh Finlandia dan Swedia yang sukses mengelola hutan.

Caranya tidak sulit-sulit, menurut Jokowi, pengelolaan hutan di dua Negara Skandinavia itu bisa di copy dan nanti disesuaikan dengan keadaan hutan di negara Indonesia. Dengan demikian, hutan bisa memberi kontribusi pada aspek lingkungan dan ekonomi.

Presiden juga mendorong teknik agroforestry diterapkan, seperti pengembangan lahan pertanian dan kehutanan secara paralel agar berkelanjutan. Dia mengingatkan, jangan ada lagi program pengelolaan hutan yang berorientasi proyek.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, upaya pembenahan pengelolaan terus dilakukan.

Dibutuhkan proses dalam pelaksanaannya, mengingat berbagai praktik perusakan hutan dan lingkungan telah terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Saat ini, dia menambahkan, rakyat membutuhkan model-model kerja yang baru, yang ingin cepat selesai dan sebagainya. Menurut Siti, kelemahan pengelolaan hutan untuk peningkatan ekonomi terletak pada regulasi dalam undang-undang yang belum sempurna, seperti perbedaan regulasi yang mengatur Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan perkebunan semacam sawit. Padahal, lanjutnya, kedua industri itu sama-sama menggunakan tanah yang berasal dari hutan.

Hutan di Finlandia Lantas, bagaimana sebenranya

pengelolaan hutan di Finlandia? Sektor kehutanan di Finlandia sangatlah penting. Istilah sektor kehutanan berarti industri yang bergerak di bidang produksi dengan bahan baku hasil hutan.

Secara ekonomi, dalam situs www.scribd.com/document/357591220 tentang pengelolaan hutan di Finlandia disebutkan bahwa negara yang

berada di Benua Eropa itu sangat mempertimbangkan sektor kehutanan Finlandia sebagai satu kesatuan, karena hubungan kehutanan dan industrinya sangat erat. Industri kehutanan merupakan kunci keuntungan kehutanan di negara itu.

Sektor kehutanan merupakan salah satu pendukung utama ekonomi Finlandia. Sektor kehutanan dan sektor produksi pangan adalah dua sektor industri dan  produksi yang menggabungkan produksi primer dengan produksi industri.

Pada sektor kehutanan membutuhkan subsidi negara yang substansial Tujuannya adalah untuk menjaga  pertumbuhan dan kesehatan hutan Finlandia secara terus menerus. Sektor kehutanan adalah satu-satunya cabang manufaktur, yang layak, mandiri dan bertahan di pasar dunia di semua wilayah Finlandia.

Masih dalam situs tersebut dijelaskan juga bahwa kepemilikan hutan di finlandia didominasi oleh kelompok-kelompok keluarga (Privat Family Owner), yaitu sekitar 62 %, sisanya 9% dimiliki oleh perusahaan kehutanan, 25% dimiliki oleh negara, dan yang lainya 4%.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

38M

ajalah Hutan Indonesia

Teknologi

Hutan keluarga di Finlandia rata-rata memiliki luas kurang lebih 20 hektare.

Hutan family ini didominasi oleh hutan jenis conniver (berdaun jarum) seperti pinus. Undang-undang di Finlandia mengatur larangan untuk merusak hutan. Dimana setelah dilakukannya penebangan, dalam kurun waktu tertentu dapat dipastikan adanya penanaman kembali pada kawasan hutan yang telah ditebang dalam upaya mempercepat proses regenerasi.

Prinsip penting pengelolaan hutan di Finlandia adalah keberlanjutan dan kedekatan dengan alam. Kehutanan yang berkelanjutan menggabungkan tiga tujuan, yakni Pertama, toleransi ekologi alam tidak boleh dilemahkan, dengan kata lain, lingkungan hanya bisa diubah sejauh alam mampu mengembalikan kondisi semula setelah perubahan.

Kedua, nilai sosial dan budaya hutan juga tidak bisa dilemahkan. Ketiga, kehutanan harus

menguntungkan secara finansial bagi semua mitra yang terlibat.

Hutan negara di Finlandia dikelola oleh Kementerian Pertanian dan Kehutanan. Di Finlandia terdapat Asosiasi Pengelolaan Hutan yang merupakan organisasi milik swasta dengan tujuan untuk mendukung profitabilitas kehutanan dan pencapaian tujuan pengelolaan hutan.

Finlandia merupakan salah satu negara dengan kawasan hutan produktif terbesar di dunia. Pada dasarnya dari segi peradaban kehutanan, Finlandia tidak jauh berbeda dengan Indonesia memiliki kesamaan sejarah sebagai peladang berpindah untuk keperluan pertanian.

Namun di Finlandia, semua persoalan menyangkut kehutanan dan pertanian dapat diatasi melalui kebijakan yang tepat, sehingga kedua sektor berbasis sumber daya alam itu maju dan berkembang. Di Indonesia, peladangan berpindah masih ada hingga sekarang, pertanian tidak berkembang

dengan baik, dan hutan juga makin gundul.

Contoh lain yang terlihat perbedaannya antara Finlandia dan Indonesia adalah dalam menerapkan pungutan-pungutan. Finlandia tidak menerapkan adanya pungutan macam-macam. Begitu kayu keluar dari hutan, maka kayu sudah bebas dari pungutan. Jadi kondisi ini sangat kondusif untuk berusaha.

Berbeda dengan di Indonesia, setiap kayu yang diangkut keluar dari hutan dicegat di sana-sini dan harus membayar berbagai macam pungutan. Kayu pun harus dilengkapi dokumen. Kelengkapan administratif ini yang justru menjadi tempat korupsi atau kolusi antara petugas dan pengusaha hutan. Semakin panjang perjalanan kayu, makin banyak dokumen yang harus disertakan.

Sebagai tindak lanjut dari pembelajaran pengelolaan hutan seperti di Finlandia, dibuat program “Join Working Group” antara Indonesia-Finlandia. Pengelolaan kehutanan Kalimantan Selatan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

39

Majalah H

utan Indonesia

Teknologi

(Kalsel) masuk dalam program tersebut.

Program kerja sama ini, seperti dikutip dari www.antaranews.com, merupakan satu-satunya provinsi yang masuk dalam Program “Join Working Group” Indonesia-Finlandia. Penunjukan Kalsel dalam program tersebut, karena pemerintah fokus perencanaan pengelolaan hutan yang kuat, limbah seminimal mungkin, dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya.

“Join Working Group” ini merupakan forum komunikasi meliputi beberapa stakeholder. Intinya, saling membina dan mentransfer pengetahuan dan komunikasi yang bisa berjalan secara terencana dan hasilnya menghasilkan Sustainable Forest Management di Kalsel.

Hutan di ChinaSementara itu, di China ada

rencana menanam hutan baru pada 2018 sebagai antisipasi adanya perubahan iklim. Tak tanggung-tanggung, menurut informasi situs www.kompas.com, edisi (6/1/2018) tercatat bahwa China berencana menanam hutan baru kira-kira seukuran Irlandia. Proyek ini bertujuan

untuk meningkatkan cakupan hutan China menjadi 23% dari total lahan mereka pada akhir dekade ini.

Penanaman pohon telah menjadi bagian penting dari upaya negeri Tirai Bambu tersebut untuk memperbaiki lingkungan dan mengatasi perubahan iklim. Pemerintah China telah berjanji untuk meningkatkan cakupan hutan dari total 21,7% menjadi 23% selama periode 2016-2020.

Zhang Jianlong, Kepala Administrasi Kehutanan Nasional China menyatakan, negara itu berencana menanam setidaknya 6,66 juta hektare hutan baru tahun ini. Selama lima tahun terakhir, China memang menumbuhkan hutan baru seluas 33,8 juta hektare.

Angka tersebut meningkatkan luas hutan negara menjadi 208 juta hektare. “China berada di posisi teratas dunia dalam kawasan hutan yang baru tumbuh selama lima tahun terakhi. Kami bertujuan untuk menanam 6,66 juta hektare lagi tahun ini,” ujar Zhang yang dikutip dari China Daily, Jumat (5/1/2018).

Dia juga menyebut tiga hutan nasional baru dengan luas total 483.000 hektare akan dibangun di zona pengembangan Xiongan baru di Provinsi Hebei. Dilansir dari

Hutan white poplar di China. Dok. David

40M

ajalah Hutan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

Teknologi

Reuters, Jumat (5/1/2018), Hebei merupakan wilayah dengan tingkat polusi yang besar.

Wilayah yang mengelilingi ibukota Beijing tersebut juga telah berjanji untuk meningkatkan kawasan hutannya menjadi 35% pada akhir 2020. China merupakan negara yang harus menghidupi populasi rakyatnya menggunakan hanya 7% lahan subur dunia.

Negara ini telah lama berjuang untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan industri, memaksimalkan produksi pangan, dan melindungi lingkungannya. Oleh karenanya, Pemerintah China saat ini mempromosikan program “jalur ekologis” yang akan memaksa provinsi dan daerah untuk membatasi ‘pembangunan irasional’, dan mengurangi pembangunan di dekat sungai, hutan, serta taman nasional.

Hutan di VietnamDi Vietnam, sudah lama

mengenal skema pembayaran konservasi hutan. Melalui program nasional Pembayaran Jasa Lingkungan Hutan (PFES), negara menawarkan insentif berupa kompensasi usaha bagi masyarakat yang  mengelola

dan melindungi hutan secara berkelanjutan.

Pada situs forestsnews.cifor.org dijelaskan bahwa skema yang hampir sama dengan PFES, yaitu REDD+ merupakan skema berbasis performa dan bertujuan memberi imbalan dan kompensasi pada masyarakat dan pemerintah untuk melindungi hutan dan menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Saat ini, pejabat Vietnam tengah mempertimbangkan bagaimana dua pendekatan tersebut bisa bersinergi dengan cara mengkaitkan REDD+ pada sistem PFES yang telah berjalan.

Meskipun REDD+ dan PFES searah dalam tujuan melindungi hutan dan menyokong penghidupan lokal, para pakar mengingatkan keduanya belum tentu sama.

Setiap orang berupaya mewujudkan REDD+, khususnya soal distribusi dan manfaatnya. Di Asia, PFES Vietnam merupakan panutan dalam praktik mekanisme pembagian manfaat tingkat nasional. Vietnam kini mengeksaminasi bagaimana pelajaran dari PFES bisa diterapkan pada proyek REDD+. Hal yang juga bisa menguntungkan bagi negara lain. (wu)

41

Majalah H

utan Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

Sosial

Firman SubagyoAnggota Komisi II DPR

Menanti Terbitnya UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Tarik menarik hak pengelolaan yang kerap terjadi antara masyarakat yang tinggal

di kawasan hutan dengan pelaku usaha membuat

peraturan yang sudah ada mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat

Hukum Adat (PPMHA) harus diubah. Untuk merealisasikan Rancangan Undang-Undang

tersebut, saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

masih membahasnya. Berikut penjelasan Firman Subagyo,

Anggota Komisi II DPR.

Pemberian hak pengelolaan hutan oleh pemerintah kepada masyarakat adat patut diacungi jempol

untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum. Namun, pemberian itu mesti dilakukan dengan kualifikasi yang jelas dan tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, pembagian pengeloaan hutan adat tersebut banyak menemui kejanggalan dan persoalan di lapangan.

Firman menceritakan saat dirinya berkunjung ke daerah Riau, dan menemukan persoalan tersebut. Oleh sebab itu, dia berharap agar pemerintah dapat segera merilis RUU PPHMA.

Pasalnya, hampir di setiap kementerian yang bersinggungan degnan lingkungan hidup dan kehutanan memiliki UU adat versi berbeda tentang masyarakat adat. Jika pembahasan RUU PPHMA itu masih mogok, dia khawatir nantinya pengelolaan hutan adat akan diakomodir oleh NGO.

“Ini pasti ada juga yang betul-betul masyarakat adat, tetapi ada juga masyarakat yang adat-adatan, yang ada kepentingan bisnis di dalamnya yang juga dipegang oleh

kepentingan tertentu di dalamnya. Contohnya ketika saya ke Riau, daerah Pelalawan. Ternyata yang pada datang demo itu bukan orang asli situ. Dimobilisasi oleh LSM. Saya tanya ke dia, saya tahu orang yang mengirim dia kesini. Baru dia mengatakan sejujurnya,” ungkapnya.

Kehadiran UU PPHMA menjadi solusi bagi masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah guna meminimalisir konflik yang kerap terjadi di sekitar kawasan hutan. Secara teknis, UU PPHMA memberikan kriteria tertentu yang dapat dikelompokkan sebagai masyarakat adat, sehingga pemberian hak pengelolaan itu tepat sasaran.

Seperti yang kita lihat, kawasan pinggiran hutan, kini telah diisi oleh kategori masyarakat adat, dan pendatang. Tak sedikit dari pendatang ini yang mengakui bahwa tanah di sekitar kawasan hutan itu berasal menjadi harta warisan turun temurun. Untuk itu, pemerintah perlu memverifikasi keterangan tersebut melalui berbagai cara dan tahapan.

“Untuk membuktikan bahwa orang di desa itu sudah tinggal

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

42M

ajalah Hutan Indonesia

Sosial

dari zaman ke zaman, kita lihat makamnya [nenek moyang]. Apakah makamnya lama atau baru. Jika baru, berarti mereka itu pendatang. Sederhana sekali untuk mengukurnya,” tutur Firman.

Optimalisasi pemanfaatan hutan adat, dapat dilakukan dengan mengembangkan pola kemitraan. Masyarakat adat, diperbolehkan bekerja sama dengan perusahaan yang bertujuan saling menguntungkan, tidak menikam dari belakang, memenuhi rasa keadilan dan keseimbangan. Aturan mengenai kerja sama mesti dimuat di dalam RUU PPHMA. Pelaku usaha yang mencoba ‘bermain nakal’ dengan masyarakat adat, harus mendapatkan sanksi yang tegas dari Kementerian LHK.

Dari tahun ke tahun, industri kehutanan mengalami kemunduran. Ini akibat tekanan LSM internasional, yang terus berupaya melakukan intervensi terhadap regulasi pengelolaan hutan. Akibatnya, ragam persyaratan regulasi pemanfaatan hutan dan turunannya menyulitkan perusahaan untuk berkembang.

Disisi lain, Firman mengeluhkan soal pemanfaatan Dana Reboisasi (DR) yang dibebankan kepada perusahaan. Menurut dia, DR yang telah dipenuhi oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga kini pemanfaatannya belum jelas dan transparan. Jadi, dia berharap agar pemerintah dapat membuka informasi mengenai pengumpulan dan implementasi dana yang disetorkan HPH tersebut agar tidak mengendap, seperti yang terjadi saat ini. (raa)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

43

Majalah H

utan Indonesia

Menuju Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengakuan

dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA)

Kementerian Dalam Negeri sudah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA) ke Sekretariat Negara (Setneg). Laporan tersebut diserahkan untuk mempercepat

rancangan undang-undang hukum adat.

Langkah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu disampaikan oleh Sekjen

Kemendagri Hadi Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat pada Senin (16/4). Laporan yang diserahkan ke Setneg itu masih sebatas laporan dan belum berupa keputusan. Namun, Kemendagri memastikan RUU Masyarakat Hukum Adat akan tetap berjalan.

DIM dan pembahasan Kemendagri terkait RUU PPMHA ini tak serta merta jadi keputusan, karena masih dilihat dari aspek hukum, sosiologis, empiris dan yuridisnya. Selain itu, juga mengacu pada sejumlah aturan perundang-undangan lain yang mengatur persoalan masyarakat adat, seperti UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Dalam pembahasan bersama enam kementerian dan lembaga terkait lainnya akan ada kesepakatan bersama setelah pembahasan normatif dan substantif. Keenam kementerian

dan lembaga tersebut adalah Kemendagri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT), serta Kementerian Hukum dan HAM.

Tidak hanya kementerian dan lembaga terkait yang melakukan pembahasan mengenai RUU PPMHA ini, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) juga melakukan upaya usulan terkait RUU tersebut. Adapun substansi usulan itu adalah sebagai berikut:

1. Dalam rangka memperjelas pengakuan negara terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan untuk mempertegas masyarakat mana yang berhak memperoleh pengakuan, maka:

a. Definisi MHA harus berisi substansi, merupakan warga negara Indonesia, memiliki karakteristik khas, mempunyai hukum adat dan pranata sosial yang masih ditaati, memiliki ikatan pada asal usul leluhur

dan memperoleh pengakuan dan penetapan dari pemerintah. Oleh karena itu definisi MHA diusulkan:

“Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adat yang masih berlaku, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, mempunyai sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun menurun serta memperoleh pengakuan dan penetapan oleh pemerintah”.b. Perlu ada penjelasan pasal

yang dimaksud dengan turun menurun sebagai berikut:“Sistem nilai tersebut

merupakan warisan pengetahuan, budaya dan pranata yang masih dijalankan secara berkelanjutan, diperoleh anak cucu dari leluhur yang tinggal dan menetap dalam suatu wilayah tertentu yang dibuktikan dengan silsilah,

Sosial

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

44M

ajalah Hutan Indonesia

sehingga terbentuk hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup wilayah tersebut”.

2. Agar penetapan wilayah adat tidak berdampak menjadi saling klaim antara kelompok adat, maupun antara masyarakat hukum adat dengan negara dan atau hak pihak lain, maka wilayah adat harus mempunya batas-batas tertentu, memenuhi kriteria wilayah adat serta ditetapkan oleh panitia independen yang mempunyai kapabilitas, dengan usulan sebagai berikut:

a. Definisi Wilayah Adat:“Wilayah Adat adalah satu

kesatuan wilayah beserta sumber daya alam yang berada dan/atau terkandung di dalamnya, dengan batas-batas tertentu dan memenuhi kriteria tertentu, serta dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun menurun dan berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat hukum adat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur”b. Panitia MHA:

“Panitia MHA adalah Tim Teknis yang dibentuk pemerintah pusat atau daerah untuk melakukan proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai pengalaman dan kompetensi mengenai MHA dan Wilayah Adat”.

3. Terkait hak atas wilayah adat terhadap sumber daya alam yang berada dan/atau terkandung di dalamnya, pemerintah juga harus mempertimbangkan perizinan yang telah diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan. Untuk memenuhi jaminan kepastian berusaha dan investasi maka diusulkan hal-hal sebagai berikut:

a. Izin pengelolaan/pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintah kepada pemegang IUPHHK masih tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izinnya habis, dengan usulan penambahan ayat baru dalam pengaturan pasal sebagai berikut:

Hak Atas Sumber Daya Alam:• MHA berhak mengelola dan

memanfaatkan sumber daya alam yang berada di Wilayah Adat sesuai dengan kearifan lokal.

• Dalam hal di Wilayah Adat terdapat sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, negara dapat melakukan pengelolaan setelah melalui musyawarah dengan MHA untuk mencapai persetujuan bersama.

• Izin-izin pengelolaan dan/atau usaha yang diberikan oleh pemerintah kepada pemegang izin dan berada di wilayah adat, masih tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izinnya habis dan masyarakat hukum adat wajib melaksanakan kerjasama pengelolaan dengan pemegang izin yang sedang berjalan sampai masa berlaku izinnya habis.

• Terhadap izin pengelolaan yang terbit setelah undang-undang maka atas pengelolaan tersebut, MHA berhak mendapatkan kompensasi, yang dapat diberikan di antaranya dalam bentuk:

1). Uang.2). Tanah pengganti.3). Permukiman kembali.4). Kepemilikan saham.5). Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

b. Apabila sudah ada penetapan Wilayah Adat, maka klaim kompensasi tidak berlaku surut/retroaktif/ex post facto yaitu suatu hukum yang mengubah konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau status hukum, fakta-fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum diberlakukan atau diundangkan, melalui penambahan pengaturan ayat sebagai berikut:

Hak Atas Sumber Daya Alam:• ................ (tetap)• ................ (tetap)• Izin-izin pengelolaan yang

diberikan oleh pemerintah kepada pemegang izin dan berada di wilayah adat, masih tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izinnya habis dan masyarakat hukum adat wajib melaksanakan kerjasama pengelolaan dengan pemegang izin yang sedang berjalan sampai masa berlaku izinnya habis.

• Terhadap izin pengelolaan yang terbit setelah Undang-Undang maka atas pengelolaan tersebut, Masyarakat Hukum Adat berhak mendapatkan kompensasi, yang dapat diberikan ......... (dst).

• “Kompensasi yang diberikan oleh pemegang izin pengelolaan atas pengelolaan Wilayah Adat tidak berlaku surut/retroaktif”.

4. Mempertimbangkan bahwa MHA juga merupakan warga negara Indonesia maka hukum positif tetap berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, oleh karena itu apabila terdapat sengketa di Wilayah Adat maka penyelesaian dilaksanakan dengan Hukum Adat. Namun, apabila tidak terjadi kesepakatan atau

Sosial

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

45

Majalah H

utan Indonesia

sengketa tersebut berimplikasi besar, maka penyelesaian sengketa dilaksanakan melalui hukum negara. Dengan usulan pasal sebagai berikut:Pasal 47 Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Lain:

• Sengketa antara MHA dan pihak lain diselesaikan melalui musyawarah Lembaga Adat untuk mencapai mufakat dengan pihak lain.

• Musyawarah Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan putusan penyelesaian sengketa dan bersifat final.

• Dalam hal terdapat keberatan terhadap putusan Musyawarah Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau implikasi sengketa sangat besar, maka sengketa diselesaikan melalui peradilan negara.

5. Pelaksanaan Identifikasi, Verifikasi dan Validasi MHA agar dilaksanakan oleh Panitia MHA yang dibentuk oleh pemerintah daerah kabupaten/kota/provinsi, sedangkan penetapan MHA oleh menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang urusan dalam negeri. Undang-

Undang 41 Tahun 1999 Pasal 67 ayat (2) menyatakan bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Oleh karena itu dalam Pasal Peralihan perlu ada pengaturan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai atau berkaitan dengan MHA sebelum diundangkannya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. (wu/ps)

Sosial

BECOME A LEADING AND RESPECTED GLOBAL PULP & PAPER COMPANY As one of the world’s largest pulp and paper producers, Asia Pulp and Paper Sinar Mas (APP Sinar Mas) is responsible for delivering quality products to meet the growing global demand for pulp, paper, packaging & tissue. On any given day, our products find their way into the hands of consumers in various branded forms from all over the world.

APP Sinar Mas has developed from a small caustic soda manufacturer in 1972 to a fully integrated group of pulp and paper company. Today, the company runs two main operations across Indonesia and China and markets their products to more than 150 countries across six continents. APP Sinar Mas has several big mills in Indonesia including Tjiwi Kimia, Indah Kiat, Pindo Deli, Lontar Papyrus, Univenus and Ekamas Fortuna.

www.

For more information about our company, visit and follow:

www.asiapulppaper.com

@asiapulppaper

asiapulppaperid

Asia Pulp & Paper

Asia Pulp & Paper

Production Capacity:> 25 million tons

Total Employee:> 150.000 peoples

Total Sales Revenue:$ 13,1 billion

We market to:> 150 countries

Facts:

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

46M

ajalah Hutan Indonesia

Manca

Sebagaimana diketahui, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mensahkan Rencana Strategis Kehutanan

PBB 2017-2030, melalui United Nations Forum on Forests (UNFF) atau Forum Kehutanan PBB pada awal 2017. Rencana Strategis ini meliputi enam tujuan global untuk kelestarian hutan.

Keenam tujuan tersebut seperti mengembalikan hilangnya tutupan hutan di seluruh dunia melalui pengelolaan hutan lestari hingga meningkatkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan berbasis hutan, termasuk dengan memperbaiki mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan.

Sebagai negara dengan hutan tropis terluas ketiga sedunia—

hampir 120,8 juta hektare— tentu peran serta Indonesia sangatlah penting untuk mencapai tujuan tersebut. Maka dari itu,sebagai bentuk nyata dukungan ini, Indonesia menyusun naskah Voluntary National Contributions (VNC) atau Kontribusi Nasional Sukarela.

“Langkah-langkah memenuhi kontribusi nasional tersebut,diharapkan dapat mendorong pembangunan kehutanan Indonesia agar dapat memberikan meningkatkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi bangsa Indonesia,” pesan Menteri Lingkungan Hidup

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

SAAT KONSERVASIBERIRINGAN DENGAN INDUSTRI

Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan

diri untuk terjun lebih dalam upaya mencegah

degradasi hutan, dengan mendukung

pencapaian target peningkatan tutupan

hutan di dunia sebesar 3% di tahun 2030. Legalisasi dan

sertifikasi kayu maupun produk kayu menjadi

senjata utama.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

47

Majalah H

utan Indonesia

Manca

dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.Di sisi lain, industri kehutanan

dan hutan memainkan peran penting yang sangat penting untuk mendukung perkembangan ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia. Namun, dalam dua dekade terakhir, masalah penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal telah menjadi masalah serius, dan merupakan salah satu penyebab utama degradasi hutan.

Oleh karena itu, upaya yang kuat telah dilakukan dan didedikasikan untuk mengatasi masalah itu termasuk perlindungan

hutan, penegakan hukum, dan musyawarah. Jika penegakan hukum menjadi opsi yang cukup “keras” untuk menjaga hutan Indonesia, pemerintah juga menyiapkan langkah “lunak”, yakni melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) Agus Justianto mengatakan bahwa berdasarkan SVLK, kayu dan produk kayu Indonesia dianggap legal ketika asal, produksi, pengolahan, transportasi dan perdagangannya

diverifikasi telah sesuai dengan semua undang-undang dan peraturan yang berlaku.

Skema SVLK memberikan insentif dengan mempromosikan akses pasar untuk produk-produk legal yang diverifikasi dan pemblokiran akses pasar untuk produk ilegal. “Penerapan ekspor kayu legal (FLEGT) ke Uni Eropa melalui SVLK merupakan terobosan langkah pemerintah yang terbukti efektif mengurangi maraknya pembalakan hutan dan perdagangan kayu ilegal,” ungkapnya.

Production Forest56.1 mil Ha (46%)

Conservation Forest22.1 mil Ha (18%)

Protection Forest29.6 mil Ha (25%)

Convertible Forest 13.1 mil Ha (11%)

Forest land 120.9 mil Ha

INDONESIA FORESTLAND

SVLK DEVELOPMENT & FLEGT-VPA PROGRESS

2001Bali FLEG

Declaration

2003-2009SVLK Development

2009Forestry

Regulation on SVLK

2012Trade

Regulation on SVLK

2013SILK online

2011Negotiation Concluded

2013Signing RI-EU FLEGT-VPA

EUTR Take into Force2014

EU Ratification

2014FLEGT-VPA Ratification

Import Regulation

2007 RI-EU FLEGT-VPA

initiated

FLEGT Licensing

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

48M

ajalah Hutan Indonesia

Manca

Pernyataan ini disampaikan pada Diskusi Panel yang digagas Pemerintah RI bertajuk “Achieving SDG 15: Timber Legal Assurance System (SLVK) dan FLEGT Implementation for Sustainable Forest Management”, yang diselenggarakan di sela-sela pertemuan The 13th UN Forum on Forests, pada tanggal 8 Mei 2018. Dalam penyelenggaraannya, Indonesia bekerja sama dengan Ghana, Uni Eropa, dan Australia.

Setelah perjuangan panjang,sejak 2007, Indonesia akhirnya menjadi negara pertama di dunia yang berhak menerbitkan lisensi Forest Law, Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) pada SVLK atau acap disebut dokumen V-Legal.

Tanpa DuediligenceAgus menambahkan, sejak

November 2016, dokumen V-legal sebagai jaminan legalitas untuk produk yang diekspor dari Indonesia juga telah diakui sebagai lisensi FLEGT di bawah Voluntary Partnership Agreements (VPA). Dengan lisensi itu, produk kayu asal Indonesia tidak perlu melewati uji tuntas (due diligence) saat masuk Eropa.

“Ekspor kayu ke UE tidak akan melalui uji tuntas karena dianggap memenuhi semua persyaratan UE tentang impor kayu. Dokumen V-legal juga telah diakui di bawah Undang-undang Larangan Penebangan Ilegal Australia (ILPA),” ungkapnya.

Uni Eropa menyerap 752.710 ton atau hampir 5% dari volume ekspor

kayu dan produk kayu Indonesia tahun lalu. Dengan nilai pembelian US$1 miliar, Benua Biru menjadi pasar terbesar keempat kayu dan produk kayu Indonesia setelah China, Jepang, dan Amerika Serikat.

Adapun, pada 2017, total ekspor produk kayu bersertifikat SVLK mencapai nilai US$10,94 miliar, atau meningkat hampir 80,53% dibandingkan dengan total nilai ekspor sebesar US$ 6,06 miliar pada tahun 2013 ketika penerapan Skema SVLK dimulai.

Sejak Januari 2013 hingga Maret 2018, Indonesia juga telah menerbitkan lebih dari 800.000 dokumen V-Legal ke pasar dunia, termasuk lebih dari 43.000 lisensi FLEGT ke pasar Uni Eropa dengan nilai total hampir US$45,9 miliar. “Penerapan sistem FLEGT diakui telah membantu pengusaha kayu Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke Uni Eropa. Besar harapan pengusaha kayu Indonesia agar lisensi FLEGT juga dapat berlaku untuk pasar di luar wilayah Uni Eropa seperti Jepang, AS, dan Australia,” kata Trisia Megawati, perwakilan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam acara tersebut.

Dia menambahkan, FLEGT-VPA juga telah berperan dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) ke-15 melalui peningkatan tata kelola perusahaan yang baik, penurunan perdagangan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

49

Majalah H

utan Indonesia

Manca

produk kayu ilegal.  Hal ini tentunya berdampak pada pengelolaan hutan produksi lestari yang merupakan faktor krusial dalam menopang Life on Land di SDGs.

“Meskipun demikian, kami masih melihat ada kesenjangan (gap) di market awareness terkait nilai tambah dari FLEGT.  Karenanya promosi yang gencar dan terus-menerus menjadi satu kebutuhan bersama,” paparnya.

Terpisah, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend memandang kebijakan Indonesia untuk memegang lisensi FLEGT untuk verifikasi legalitas kayu sebagai keputusan yang bermanfaat. Pasalnya, selain melestarikan hutan Indonesia, kebijakan itu juga memperluas peluang perdagangan dengan Uni Eropa dan membuka lapangan kerja.

“Industri-industri kayu Indonesia bisa masuk pasar Uni Eropa tanpa hambatan, tanpa kendala,” katanya. Adapun, Inggris menjadi pasar kayu Indonesia terbesar di Zona Euro.

Dalam kurun waktu Maret 2015 dan Februari 2017, pihak berwenang di negara-negara Uni Eropa telah melakukan 2.704 pemeriksaan terhadap operator

yang terkait dengan kayu impor yang menghasilkan 525 pemberitahuan untuk tindakan perbaikan dan 139 denda. Selain itu, terdapat enam kasus pengadilan berhasil diputuskan. “Ini menunjukkan Uni Eropa sangat serius memastikan hanya kayu legal yang dapat memasuki pasar Eropa,” kata Guerend.

Dia pun menuturkan lisensi FLEGT dan reformasi tata kelola yang menopangnya telah memberikan keuntungan,

baik manusia maupun bagi planet Bumi. “Pengelolaan kehutanan secara berkelanjutan merupakan kunci utama untuk memastikan komunitas lokal dan generasi mendatang dapat terus memperoleh manfaat dari hutan. Pertemuan ini juga kembali menunjukkan kiprah Pemri dalam upaya mengidentifikasi solusi untuk mengatasi tantangan pelestarian hutan di dunia”, tutur Duta Besar Dian Triansyah Djani, Wakil Tetap RI untuk PBB di New York. (bca)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

50M

ajalah Hutan Indonesia

Manca

Pesan yang hendak disampaikan dari pidato Menteri LHK adalah hutan memiliki peran penting

dalam pengentasan kemiskinan bila dilakukan pengelolaan secara baik. Bisa dikatakan Indonesia adalah negara yang berhasil mengurangi laju deforestasi, kendati di beberapa kawasan, deforestasi dan degradasi hutan masih terus berlanjut.

Selain itu, hutan di Indonesia pun berisiko terjadinya penebangan ilegal dan tidak berkelanjutan, kebakaran yang tidak dikelola, konversi, polusi, penyakit, hama, spesies asing invasif, fragmentasi dan dampak perubahan iklim. Adapun pertumbuhan penduduk yang cepat dan peningkatan pendapatan per kapita juga ikut mempercepat permintaan global untuk dan

mengonsumsi produk dan jasa hutan maupun tekanan pada hutan.

Namun, kata Siti Nurbaya, meski memiliki tantangan besar untuk dihadapi, dengan kolaborasi dan kemitraan tentunya akan dapat membuat kemajuan yang signifikan. Sebagai informasi, Indonesia negara yang memiliki luas hutan sangat besar sekitar 120 juta hektare, dengan tambahan area konservasi laut 5,3 juta hektare.

Sekitar 71% dari kawasan hutan di Indonesia masih berhutan. Kondisi ini menjadikan hutan Indonesia sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati yang tinggi dan terdiri dari sekitar 19 ekosistem yang berbeda dengan tingkat endemisitas yang tinggi.

Sejak adopsi Suistainable Development Goals (SDGs) pada

September 2015, Indonesia mulai bertindak nyata, termasuk menghubungkan sebagian besar target dan indikator SDG ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN), menindaklanjuti konvergensi yang kuat antara SDGs, sembilan agenda presiden prioritas Nawa Cita dan RJPMN.

Siti Nurbaya menegaskan bahwa komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai SDGs tercermin dari Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pencapaian SDGs, yang terdiri dari pilar-pilar tata kelola ekonomi, sosial, lingkungan dan pemerintahan yang baik.

Mengurangi EmisiDi sektor kehutanan, komitmen

ini tercermin dalam Rencana

PERAN PENTINGHUTAN INDONESIA

“Hutan memiliki peran penting dalam pengentasan kemiskinan, penyediaan

energi, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hutan merupakan

urat nadi kehidupan utamanya dalam penyediaan air bersih, dan membangun ketahanan pangan,”

demikian pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(LHK), Siti Nurbaya Bakar saat mengawali pidatonya pada sesi ke

24 Food and Agriculture Organization (FAO) Committee on Forestry yang

diselenggarakan di Roma, Italia pada Senin, 16 Juli 2018.

Siti Nurbaya BakarMenteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan (LHK)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

51

Majalah H

utan Indonesia

Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019. Bahkan, kementerian ini menyinkronkan Rencana Kerja Tahunan dengan SDG.

“Berkat upaya bersama, Indonesia berhasil mengurangi laju deforestasi dalam 3,5 tahun terakhir menjadi sekitar 0,45 juta hektare per tahun, dibandingkan dengan laju deforestasi rata-rata tahun 1990-2012 yang mencapai 0,92 juta hektare,” kata Siti Nurbaya.

Dalam menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati, pemerintah memperkuat manajemen kawasan lindung dan menggeser pendekatan untuk mengelola daerah agar lebih kolaboratif dan partisipatif.

Lebih lanjut, Indonesia juga telah meratifikasi dan mengambil langkah-langkah konkret untuk sejumlah perjanjian yang terkait dengan Convention on Biological Diversity (CBD). Pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris, dan kemudian memasukkannya ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris ke Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim.

Siti Nurbaya Bakar menegaskan komitmen untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca telah ditegaskan kembali dalam Kontribusi Nasional Indonesia (NDC), di mana target

2030 yang disetujui Indonesia untuk mengurangi emisi adalah 29% melalui upaya satu-satunya, dan hingga 41% tergantung pada tingkat kerja sama internasional.

Pengurangan yang paling signifikan akan dicapai di sektor kehutanan, dengan pengurangannya berkontribusi 17,2% dari 29% negara dalam pengurangan tanpa syarat, dan 23% dari 41% pengurangan bersyarat.

Selanjutnya untuk mendukung pencapaian tujuan kesehatan dan kesejahteraan yang baik, pemerintah melalui Kementerian LHK mampu menyediakan lingkungan yang lebih baik dengan mencegah kebakaran. Upaya untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan mampu menjaga kebakaran di bawah 200.000 hektare, yang mengarah pada penurunan asap lintas batas dan indeks pencemaran udara.

“Kami juga menegakkan hukum kepada perusahaan dan individu yang mengatur kebakaran. Sejak 2015, sanksi administratif diterapkan dalam kasus-kasus di mana pelanggaran diidentifikasi. Selama periode 2015 hingga 2017, sanksi diterapkan pada 159 perusahaan. Sanksi administratif sebagian besar diterapkan pada tahun 2015 dan 2016, selama, dan setelah musim kebakaran 2015 yang tragis,” ujarnya.

Manca

Pengawasan, pemantauan, dan sanksi yang dijatuhkan pada tahun 2016 terbukti efektif bahwa tidak ada sanksi administratif yang dikeluarkan pada tahun 2017, karena pelanggaran hukum terkait dengan kebakaran hutan dan lahan.

“Tentu saja saya dapat terus dan terus menjelaskan bagaimana hutan sangat penting bagi Indonesia dalam mencapai SDG. Bagi kami, hutan penting untuk pengentasan kemiskinan dan mengurangi ketidaksetaraan dengan mempercepat program perhutanan sosial. Kami mengalokasikan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk dikelola melalui perhutanan sosial,” jelas Menteri LHK.

Pergeseran besar terjadi di Indonesia menuju perspektif baru keberlanjutan. Di masa lalu, kebijakan dan tindakan terutama ditujukan untuk mencapai produksi hutan lestari. Kini, perspektifnya bergeser ke arah menyeimbangkan nilai-nilai perkembangan sosial, lingkungan dan ekonomi untuk kepentingan negara dan warga negara.

“Kami telah pindah dari manajemen berorientasi kayu ke pengelolaan lanskap hutan. Kami juga mengambil kebijakan korektif untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Selain itu, kami juga menyelaraskan kebijakan dan peraturan kehutanan dengan visi dan rencana pembangunan nasional dan dengan komitmen internasional seperti SDG, Perjanjian Paris, dan CBD,” tuturnya.

Dengan paradigma pergeseran ini, Indonesia berharap untuk mengambil peran yang lebih proaktif dalam gerakan internasional untuk mempertahankan ekosistem hutan dunia dan untuk mendukung agenda dunia dalam pembangunan berkelanjutan. (wu)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

52M

ajalah Hutan Indonesia

Riset

Siapa yang tidak kenal kayu Meranti, bahkan bagi kalangan pelaku konstruksi bangunan,

kayu khas daerah tropis yang satu ini memiliki keistimewaan. Kayu meranti termasuk kayu keras yang mempunyai bobot ringan hingga berat-sedang.

Kayu ini bisa dikenali dari permukaannya yang berwarna merah muda pucat, merah muda kecokelatan, merah tua, sampai merah tua kecokelatan. Warna tersebut menandakan usia dari kayu Meranti, di mana semakin gelap warnanya berarti usianya semakin tua sehingga mutunya semakin baik.

Saat ini, ketersediaannya sudah mulai berkurang di daerah asalnya

yaitu Kalimantan. Pemanenan Meranti sebagai salah satu jenis Dipterocarpa masih diperoleh dari hutan alam, dan dengan kelangkaan tersebut, pembangunan hutan tanaman Meranti dipandang strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutan alam.

Menyadari hal tersebut, sejak tahun 1997, Pusat Litbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK telah membangun plot uji penanaman meranti di Gunung Dahu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seluas 170 hektare (ha) dan di Perawang, Kabupaten Siak, Provinsi Riau seluas 64 ha. Plot tersebut menggunakan bahan tanaman asal stek dan asal biji, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Kirsfianti L. Ginoga, Kepala Pusat Litbang Hutan di Bogor (22/05).

“Tanaman meranti ini merupakan aplikasi dari teknologi KoFFCo Sistem. Siapa yang menyangka 20 tahun kemudian sudah menjadi hutan meranti yang seperti hutan alam,” ujar Kirsfianti. Menurutnya, penerapan teknik pembibitan KoFFCo (Komatsu-FoRDIA Cooling) ini, pada mulanya

sebagai antisipasi pohon Meranti yang tidak menghasilkan benih setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil pengukuran terakhir oleh Puslitbang Hutan di tahun 2016, produktivitas tegakan meranti pada umur 17 tahun dinilai prospektif, dengan volume tegakan berdiri (standing stock volume) berkisar antara 85 215 m3/ha. 

Sementara itu, Ir. Atok Subiakto, M.Appl, peneliti Puslitbang Hutan sekaligus pionir penanaman Meranti ini, menjelaskan bahwa teknologi koffco digunakan untuk jenis pohon yang bermasalah dalam pengadaan bijinya (perbanyakan generatif ), dan sulit diperbanyak dengan perbanyakan vegetatif konvensional, seperti jenis Dipterocarpa, yang masa berbuahnya dua hingga empat tahun sekali. 

Teknologi ini memungkinkan pengadaan bibit jenis Dipterocarpa secara kontinu, juga untuk perbanyakan klon unggul, termasuk mengembalikan spesies yang sudah ditanyatakan punah, lanjutnya.

Berdasarkan hasil pengamatan plot uji penanaman Meranti di

MERANTI DAPAT TUMBUH SUBUR DI JAWA

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

53

Majalah H

utan Indonesia

Riset

Gunung Dahu, Leuwiliang, Bogor, jenis meranti merah (Shorea leprosula dan Shorea selanica) dapat tumbuh dengan baik, dengan bibit asal benih maupun stek. Begitu pula volume kayu akan semakin tinggi seiring rapatnya penanaman, sedangkan rata-rata diameter tegakan semakin besar seiring melebarnya penanaman.

Jadi, penanaman dengan kerapatan tinggi (2m x 2m) direkomendasikan untuk tujuan produktivitas biomas tegakan, misalnya untuk tujuan perdagangan karbon dan panel kayu. Sedangkan

jarak tanam yang lebar (4m x 4m), Atok menyarankan bahwa direkomendasikan untuk kayu gergajian atau kayu lapis.

Pada hari yang sama, tim Biro Humas berkesempatan melihat secara langsung keberhasilan penanaman pohon Meranti ini, dan menemukan salah satu pohon dengan diameter tersebar 62 cm pada jarak tanam yang luas. Sementara, volume tertinggi dari tegakan meranti dapat mencapai 215.412 m3/ha, pada jarak tanam 3m x 3m, dan jumlah pohon 767, dengan keberhasilan 69%. Pada tingkat keberhasilan 66%,

jumlah pohon terbanyak terdapat pada jarak tanam 2m x 2m yaitu sebanyak 1650 pohon (Puslithutan, 2016).

Plot uji penanaman Meranti merupakan hasil kerjasama BLI KLHK dengan PT Komatsu Marketing Support Indonesia (PT KMSI), sejak tahun 1994. Pada mulanya dilakukan kegiatan perbanyakan jenis pohon Dipterocarpa (meranti, keruing, balau, kapur, giam, resak), dan sebelumnya plot uji penanaman juga pernah dilakukan di Carita, Provinsi Banten dan Haurbentes, Provinsi Jawa Barat. (wu)  

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

54M

ajalah Hutan Indonesia

Riset

Ikhtisar dari 2012–2016

Catatan ini menyajikan sorotan dan tren terkini dalam data untuk setiap kelompok produk utama

dan ringkasan pendek perubahan terbaru atau peningkatan dalam statistik. Beberapa poin utama disorot di bawah ini.

Pemulihan berkelanjutan dari kemerosotan ekonomi pada 2008–2009 jelas terlihat dalam statistik yang dikumpulkan antara 2012 dan 2016. Secara global, produksi semua produk utama (kayu bulat industri, kayu gergajian, panel berbasis kayu, pulp dan kertas) telah menunjukkan pemulihan bertahap dari 2012.

Produksi tahun 2016 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2015 (pada tingkat sebelum krisis tahun 2007) untuk semua kelompok produk (dengan panel pada pertumbuhan 4%, kayu bulat industri dan kayu gergajian 3%, bubur kayu 2%, serta kertas 0,5%). Pertumbuhan tercepat terjadi di Asia-Pasifik, Amerika Utara dan Eropa, kemungkinan karena pertumbuhan ekonomi yang positif di wilayah tersebut.

China telah menjadi penting sebagai produsen dan konsumen hasil hutan, dan baru-baru ini, negara tersebut telah menyusul sejumlah pemain besar lainnya di berbagai kelompok produk (misalnya Kanada dalam produksi kayu gergajian dan Amerika Serikat dalam konsumsi kayu gergajian). Negara ini merupakan produsen dan konsumen terbesar panel dan kertas berbasis kayu.

Ini juga sangat signifikan dalam perdagangan internasional hasil hutan, menjadi pengimpor terbesar di dunia kayu bulat industri, kayu gergajian dan perlengkapan serat (pulp dan kertas bekas), dan pengekspor panel berbasis kayu terbesar. Pada tahun 2016, impor kayu bulat industri China meningkat sebesar 9%, sedangkan kayu gergajian, panel dan kertas produksi dan konsumsi terus tumbuh lebih cepat daripada di belahan dunia lainnya.

Produksi pelet kayu telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena permintaan yang dihasilkan dari target bioenergi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa. Pada tahun 2016, produksi global tumbuh 6% lagi atau mencapai 29

juta ton, dimana lebih dari setengah (17 juta ton) diperdagangkan secara internasional.

Sementara itu, konsumsi dan impor pelet kayu di Asia meningkat 17% pada tahun 2016. Republik Korea menjadi importir pelet kayu terbesar ketiga (keempat pada tahun 2015), mendorong produksi pelet kayu di negara-negara di kawasan ini (terutama Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Thailand). Impor pelet kayu juga meningkat di Jepang dan Cina.

Untuk panel berbasis kayu dan produksi kayu gergajian (gabungan) tumbuh di seluruh lima wilayah di seluruh dunia pada tahun 2016. Produksi global dari kedua panel dan kayu gergajian meningkat sebesar 3%, sedangkan pertumbuhan perdagangan meningkat menjadi 7%, pertumbuhan tercepat sejak 2010. Produksi panel global tercatat tinggi (416 juta m³) dan kayu gergajian terdaftar produksi tertinggi sejak 1989 (468 juta m³).

Kanada melihat pertumbuhan dua digit dalam produksi dan ekspor kayu gergajian dan panel dari 2012 hingga 2016 berkat peningkatan penjualan ke Amerika Serikat (karena pemulihan ekonomi

GLOBAL FOREST PRODUCTS

FACTS AND FIGURES2016

PAPER AND

PAPERBOARD

FIBRE FURNISH

WOOD-BASED

PANELS

SAWNWOOD

INDUSTRIAL

ROUNDWOOD

WOOD FUEL,

CHARCOAL

AND PELLETS

Produk Hutan Global, Fakta & AngkaStatistik hasil hutan FAO menyajikan angka untuk produksi dan perdagangan (kuantitas dan nilai) produk hutan, yang meliputi 55 kategori produk, 21 kelompok produk, dan 245 negara dan wilayah. Berikut data statistik yang dirilis pada akhir tahun.

Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) Tahun 2016

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

55

Majalah H

utan Indonesia

Riset

dan pasar perumahan). Untuk Amerika Selatan terus memperluas produksi pulp kayu dengan semakin banyak pabrik pulp baru yang dibangun di Brasil, Chili, dan Uruguay.

Ketiga negara itu saat ini produksinya mencapai 15% dari produksi pulp kayu dunia dan 33% di ekspor. I. Kayu Bulat Industri

Kayu bulat industri adalah kayu bulat yang digunakan untuk tujuan apa pun selain energi. Ini terdiri dari kayu pulp, gergaji dan log veneer, dan kayu bulat industri lainnya (misalnya kayu bulat yang digunakan untuk tiang pagar dan telepon atau tiang listrik). Kelompok produk ini juga dibagi menjadi kayu bulat dari jenis konifer dan non konifer.

Pada 2016, produksi kayu bulat industri global berjumlah 1.874 juta m³. Ini merupakan peningkatan sebesar 2,6 persen dibandingkan tahun 2015 (1.826 juta m³) dan 5,9% dibandingkan dengan tingkat pada tahun 2012.

Sebagian besar pertumbuhan terjadi di Asia-Pasifik, Eropa dan Amerika Utara, yang pada tahun 2016 secara bersama-sama menghasilkan 7% lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2012. Produksi di Afrika dan Amerika Latin dan Karibia tidak berubah secara signifikan selama periode ini.

Pada 2016, perdagangan global kayu bulat industri mencapai 125 juta m³ (setara dengan sekitar 7% dari jumlah produksi). Tren perdagangan total dan perdagangan bersih selama periode yang diamati menunjukkan peningkatan masing-masing 13% dan 5% pada tahun 2013 dan 2014, penurunan 9% pada tahun 2015 dan peningkatan 3% pada tahun 2016.

II. SawnwoodSawnwood meliputi papan,

balok, papan, lath, dan lainnya. Yang melebihi ketebalan 5 mm. Ini termasuk kayu gergajian yang direncanakan, tidak direncanakan, beralur, dilontarkan dan bermanik-manik. Namun, tidak termasuk

Tabel 1. Produksi Kayu Bulat

lantai kayu. Statistik FAO membagi kategori ini menjadi kayu gergajian konifer dan non konifer.

Pada tahun 2016, produksi kayu gergajian global mencapai 468 juta m³, yang 3,2% lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 (453 juta m³) dan 16% lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 (405 juta m³). Produksi kayu gergajian tumbuh secara konsisten selama periode 2012–2016. Tren ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan produksi di Indonesia Asia dan Pasifik, Eropa dan Amerika Utara.

Sebaliknya, produksi di Afrika dan di Amerika Latin dan Karibia tetap sederhana selama periode yang sama. Angka-angka produksi regional terbaru untuk tahun 2016 adalah sebagai berikut: Eropa 156 juta m³ (34%), Asia dan Pasifik 139 juta m³ (30%), Amerika Utara 128 juta m³ (27%), Amerika Latin dan Karibia 34 juta m³ (7%), dan Afrika 10 juta m³ (2%).

Perdagangan global kayu gergajian berjumlah 144 juta m³ (sama dengan 31% dari jumlah produksi) pada tahun 2016 dan, seperti produksi, telah meningkat sejak tahun 2012.

III. Panel Berbasis KayuKategori produk panel berbasis

kayu terdiri dari lembaran veneer, kayu lapis (termasuk papan blok), papan partikel, Oriented Strand Board (OSB) dan papan serat. Fibreboard juga dibagi dalam statistik FAO ke hardboard, fibreboard kepadatan menengah/tinggi (MDF/HDF) dan papan serat lainnya, berdasarkan kepadatan dan proses pembuatan panel ini.

Pada tahun 2016, produksi panel berbasis kayu global mencapai 416 juta m³, peningkatan 4% dari

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

56M

ajalah Hutan Indonesia

Riset

Tabel 2. Produksi Panel Berbasis Kayu

tahun sebelumnya (399 juta m³) dan peningkatan 24% selama periode yang diamati. Panel berbasis kayu adalah kategori produk yang melihat pertumbuhan tercepat dalam produksi, karena pertumbuhan yang cepat dan konsisten di kawasan Asia-Pasifik.

Produksi melonjak sebesar 33% di kawasan selama 2012-2016 sementara itu tumbuh sebesar 13% di empat wilayah lain selama periode yang sama. Wilayah Asia-Pasifik menyumbang 62% dari produksi global pada tahun 2016 (259 juta m³), diikuti oleh Eropa (86 juta m³, atau 21%), Amerika Utara (48 juta m³, atau 11%), Amerika Latin dan Karibia (20 juta m³, atau 5%) dan Afrika (3 juta m³ atau 1%).

Produksi di kawasan Asia-Pasifik meningkat sebesar 5% pada tahun 2016, tetap tidak berubah di Amerika Latin, sementara di Eropa dan Amerika Utara tumbuh masing-masing 3% dan 4%.

IV. Fiber FurnishDalam statistik produk hutan

FAO, serat yang digunakan untuk

memproduksi kertas dan kertas karton disebut sebagai “serat memberikan”. Ini termasuk kertas yang dipulihkan (kertas bekas), bubur serat lainnya dan ampas kayu yang digunakan untuk membuat kertas. Yang terakhir termasuk pulp kayu mekanis, kimia dan semi-kimia, tetapi tidak melarutkan pulp (yang digunakan untuk tujuan lain).

Pulp kayu kimia juga dibagi-bagi dalam statistik menjadi bubur kayu yang diputihkan atau yang tidak dipipihkan dan sulfit atau sulfat, dan berbagai kombinasi dari berbagai produk ini disajikan sebagai kelompok produk dalam FAOSTAT dan Buku Tahunan.

Produksi serat global pada tahun 2016 berjumlah 415 juta ton, pertumbuhan hanya di bawah 1% dari tahun sebelumnya. Di tingkat global, produksi serat meningkat dari 400 juta ton menjadi 415 juta ton pada tahun 2016.

Penghasil serat utama adalah Amerika Serikat, Cina, Jepang, Brasil, dan Kanada. Bersama-sama, negara-negara ini menghasilkan 240 juta

ton serat di tahun 2016 (59% dari total global). Produksi tetap kurang lebih sama atau sedikit menurun selama periode di AS, Cina, Jepang, dan Kanada.

Hal ini dikarenakan produksi kertas dan konsumsi yang stagnan atau menurun di negara-negara ini, yang sekarang menjadi tren umum di banyak negara karena meningkatnya penggunaan media elektronik. Produksi serat (dan ekspor) meningkat secara konsisten di Brasil, di mana hutan tanaman yang tumbuh cepat memberi negara ini keunggulan kompetitif dalam pembuatan pulp kayu.

V. Kertas dan Kertas KartonKelompok produk kertas dan

kertas karton terdiri dari kertas grafik (kertas cetak, kertas cetak dan tulisan) dan kertas dan kertas karton lainnya. Yang terakhir ini selanjutnya dibagi lagi menjadi kertas pembungkus dan pengemasan, rumah tangga dan kertas sanitasi, dan kertas dan kertas karton lain yang tidak disebutkan di tempat lain (SPN).

Produksi kertas dan kardus meningkat selama periode 2012–2016 dari 399 juta ton menjadi 409 juta ton. Pertumbuhan pada tahun 2016 berada di bawah satu persen. Hampir semua pertumbuhan ini disebabkan oleh peningkatan 6% dalam produksi di kawasan Asia-Pasifik.

VI. Bahan Bakar Kayu, Arang, dan PeletBahan bakar kayu adalah kayu bulat yang digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, pemanasan atau produksi listrik dan itu termasuk kayu yang digunakan untuk membuat arang dan pelet. Ini

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

57

Majalah H

utan Indonesia

Riset

Tabel 3. Produksi Kertas dan Kertas Kartontermasuk kayu yang dipanen dari batang utama, cabang dan bagian lain dari pohon (di mana ini akan digunakan untuk bahan bakar) dan serpihan kayu untuk digunakan sebagai bahan bakar yang dibuat secara langsung (yaitu di hutan) dari kayu bulat.

Wilayah Asia-Pasifik adalah wilayah penghasil bahan bakar kayu terbesar pada tahun 2016, berkontribusi 39% (733 juta m³) dari produksi global. Afrika menempati peringkat kedua, dengan pangsa 36% (673 juta m³), diikuti oleh Amerika Latin dan Karibia (14%), Eropa (8%) dan Amerika Utara (3%). (wu)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

58M

ajalah Hutan Indonesia

Resensi Buku

Buku ini diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia untuk

memberikan informasi kepada komunitas global mengenai keadaan hutan Indonesia dan sumber daya kehutanan.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen yang kuat untuk mencapai demokratisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan dan dalam beberapa tahun terakhir telah mengintensifkan komitmennya dan menerapkan pencegahan deforestasi, serta degradasi hutan dengan beberapa hasil positif baru-baru ini.

Upaya pemerintah lainnya adalah dengan menerapkan sistem untuk sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan juga bertujuan untuk menghentikan pembalakan liar dan menerapkan sistem untuk menyelesaikan konflik terkait hak penguasaan hutan yang melibatkan masyarakat dan daerah sekitarnya, termasuk komunitas Adat.

Buku ini terdiri dari pengantar singkat (Bab 1), deskripsi dan analisis Kawasan Hutan Indonesia (Bab 2), diskusi tentang upaya untuk mengendalikan dan mengurangi deforestasi (Bab 3), dan melihat upaya Indonesia untuk

mengintensifkan inisiatif kehutanan sosialnya (Bab 4).

Selain itu, dalam buku ini dijelaskan tentang pertimbangan arah dan tren baru dalam pengelolaan kawasan konservasi (Bab 5), pemeriksaan isu-isu terkait kontribusi sektor kehutanan terhadap ekonomi nasional (Bab 6), dan juga mengenai beberapa catatan pada Bab Penutup (Bab 7).

Pemerintah berkomitmen untuk menangani peran kehutanan dalam mitigasi perubahan iklim melalui kontribusi yang ditentukan secara nasional dan telah meningkatkan komitmennya untuk menyelesaikan konflik tenurial terkait dengan lahan hutan.

Hal ini telah dicapai melalui perubahan dari pendekatan berorientasi perusahaan ke pendekatan yang lebih berorientasi pada masyarakat yang dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi tingkat masyarakat yang berkelanjutan dengan memastikan akses yang lebih adil ke sumber daya hutan dan lahan, dan dengan demikian mendorong kemakmuran masyarakat.

Secara singkat dijelaskan tentang Indonesia yang sebagai negara besar dengan 120,6 juta hektare atau 63% dari seluruh wilayah daratan negara yang

ditetapkan sebagai Kawasan Hutan.

Sebagian besar wilayah daratan Indonesia yang tersisa terdiri dari lahan publik non hutan, yang dikenal sebagai area untuk keperluan lain (areal penggunaan lain/APL). Kawasan Hutan dikelola sesuai dengan tiga fungsi, yakni fungsi Hutan Produksi (HP) mencakup area seluas 68,8 juta hektare atau 57% dari kawasan hutan.

Fungsi lainnya adalah Hutan Konservasi (Hutan Konservasi) mencakup area seluas 22,1 juta hektare atau 18% (dengan tambahan 5,3 juta hektare kawasan konservasi laut). Fungsi lain juga adalah Hutan Lindung yang memiliki fungsi daerah aliran sungai dan mencakup sisa 29,7 juta hektare (25%).

Kondisi hutan di Indonesia masih ada lebih dari 15 juta hektare lahan adalah gambut, yang berada di empat pulau terluar di Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan gambut ini, bersama dengan 9,14 juta hektare lainnya dalam lanskap terkait, dikelola di bawah area seluas lahan yang secara administratif ditetapkan sebagai Unit Hidrologi Gambut (Kesatuan Hidrologis Gambut/KHG), yang mencakup total area 24,14 juta hektare. (wu)

Judul : The State of Indonesia’s Forests 2018 Executive SummaryHalaman : 196 halaman.Support by : Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO) & Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI).Cetakan : Juli 2018.Diterbitkan oleh : Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan, Republik Indonesia

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | O k t o b e r 2 0 1 8

59

Majalah H

utan Indonesia