4. jurnal vol 4 no 1 april 2011.pdf
TRANSCRIPT
GENERASI KAMPUSVOLUME 4, NOMOR 1, APRIL 2011
DITERBITKAN OLEH :PEMBANTU REKTOR BIDANG KEMAHASISWAAN, UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, TAHUN 2011
ISSN 1978-869X
MAJALAH / JURNAL
MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS(CAMPUS GENERATION)
VOLUME 4, NOMOR 1, APRIL 2011 APRIL 2011Terbit Dua kali setahun pada bulan April dan September. Berisi ringkasan hasil penelitian, gagasan kopseptual, kajian teori, aplikasi teori yang dimuat dalam Majalah/jurnal Generasi Kampus .
Pelindung : Rektor Unimed (Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd.)
Pengarah : *Pembantu Rektor 1 Unimed (Prof. Slamat Triono, M.Sc, Ph.D.). *Pembantu Rektor 2 Unimed (Drs. Chairul Azmi, M.Pd). *Pembantu Rektor IV Unimed (Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd)
Penanggung jawab : Pembantu Rektor III Unimed (Dr. Biner ambarita, M.Pd.)
Ketua Penyunting : Hariadi, S.Pd., M.Kes.
Sekretaris Penyunting : Tappil Rambe, S.Pd, M.Si
Penyunting Pelaksana : *Dr. Biner Ambarita, M.Pd *Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd *Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd *Drs. Wanapri Pangaribuan, M.T.* Mangaratua Simanjorang, M.Pd *Lamhot Sihombing, S.Pd, M.Pd. *Miswaruddin Daulay, S.Pd. *Drs. Swardi Rajaguguk. *Drs. Indra Meipita, M.Sc. *Ir. Haikal Rahman, M.Sc. *Syamsul Gutom S.Mas, M.Kes. * PD 3 FIP (Drs. Nasrun M.S), *PD 3 FBS (Dr. Daulat Saragi, M. Hum), *PD 3 FT (Drs. Manintin Banjarnahor, M.Pd), *PD 3 FPMIPA (Drs. Asrin Lubis, M.Pd), *PD 3 FIS (Drs. Liber Siagian, M.Si) *PD 3 FIK (Prof. Dr. Agung Sunarno M.Pd), dan *PD 3 FE (Drs. Bangun Napitupulu, M.Si)
Penyunting Ahli :Prof. Selamat Triono, M.Sc, PhD (Universitas Negeri Medan)Prof. Dr. Hamka (Universitas Negeri Padang)Dr. Herminarta Sofyan (Universitas Negeri Yogyakarta)Prof. Yusuf Sudo Hadi (Institut Pertanian Bogor)Eddy Nur Ilyas, S.H, M.Hum (Universitas Syah Kuala Darussalam B. Aceh)Ir. H.RB. Ainurrasyid, NIS (Universitas Brawijaya)Syarif A. Barmawi, S.H, M.Si (Universitas Pajajaran Bandung)Prof. Dr. H.R. Boenyamin (Universitas Jendral Sudirman)
Kontributor : *Samrah, S.Pd. *Nurhaida, SH, M.Kn. *Surbita, SH. *Dra. Hayati Tamba. *Dra. Susiarni. *Nusawati BA. *Drs. Idrus. *Dra.Nismawarni Harahap. *
Pelaksana Tata Usaha : Bani Ismail; Dewita Rita
Alamat Tata Usaha : Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Medan, Lantai 3. Jln. Williem Iskandar, Pasar V, Medan Estate. Kotak Pos 1589, Medan 20221. Telp : (061) 6613276, 6613365, 6618754. Fax : (061) 6613319.
e-mail : [email protected]
ISSN 1978-869X
Penyunting menerima
sumbangan tulisan
yang belum pernalh
diterbitkan dalam
media cetak lain.
Naskah diketik dengan
spasi 1,5 pada kertas
A4 dengan jumlah
halaman 10-15. (lebih
jelas baca petunjuk
bagi penulis pada
sampul dalam
belakang). Naskah
yang masuk di evaluasi
oleh penyunting ahli.
Penyunting dapat
melakukan perubahan
pada tulisan yang
PETUNJUK BAGI PENULIS
1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi
pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work)
dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu
bulan sebelum bulan penerbitan.
2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian
teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus.
3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul
subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf
besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak
tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal)
4. Artikel hasil penelitian memuat :
a. Judul
b. Nama Penulis
c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil
penelitian : 50 – 80 kata)
d. Kata-kata kunci)
e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan
masalah, dan rangkuman kajian teoritik)
f. Metode penelitian
g. Hasil penelitian
h. Pembahasan
i. Kesimpulan dan saran
j. Daftar pustaka
5. Artikel Non Penelitian memuat :
a. Judul
b. Nama Penulis
c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata)
d. Kata-kata kunci)
e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan
rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas).
f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)
g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)
h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan)
i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran)
j. Daftar pustaka
6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja,
diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut :
Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa.
Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc
ISSN 1978-869X
1Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
RESTRUKTURISASI JURUSAN DAN PROGRAM STUDI BERBASISTAXONOMI ANDERSON UNTUK PEMBELAJARAN YANG BERKUALITAS
MENCAPAI KOMPETENSI STANDAR LULUSAN
Oleh:
Biner Ambarita
Abstrak
Tingginya tuntutan terhadap kualitas dan relevansi lulusan Pendidikan Tinggi, menuntut perumusan kompetensi lulusan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Khusus dalam kompetensi ranah kognitif berpedoman pada Taxonomi Anderson. Taxonomi Anderson menegaskan bahwa ranah kognisi harus mencapai tingkat kreativitas dan daya cipta sesuai dengan tuntutan Standar Kompetensi Lulusan secara nasional. Analisis struktur organisasi Jurusan dan program studi berdasarkan Taxonomi Anderson merumuskan adanya restrukturisasi dalam mana Jurusan harus memiliki unit-unit penjaminan mutu Konowledge, afektif , psikomotorik, dan hubungan eksternal.Kata kunci: Kompetensi lulusan, Taxonomi anderson
PENDAHULUAN
Pendidikan mengembangkan
sumber daya manusia sehingga memiliki
kompetensi-kompetensi dan kemampuan
hidup dan berdaya saing secara nasional
maupun internasional. Harapan tersebut
harus diwujudkan oleh segenap rakyat
Indonesia dan pemerintah dengan
berbagai kemampuan yang ada. Namun
Pemerintah dianggap masih memliki
kemampuan politik (political will) yang
belum memadai untuk memajukan
pendidikan di Indonesia. Indonesia
mengalami penurunan peringkat yang
berkelanjutan ditinjau dari Human
Development Indeks (HDI) jika
disbanding dengan berbagai Negara.
Berdasarkan laporan United Nations
Development Programme (UNDP) pada
Human Development Report 2005
ternyata Indonesia menduduki peringkat
110 dari 177 negara di dunia (Nandika,
2008). Peringkat tersebut menurun dari
tahun sebelumnya. Pada tahun 1997 HDI
Indonesia berada pada peringkat 99 dan
menjadi peringkat 102 pada tahun 2002.
Semakin menurunnya peringkat
HDI menggambarkan banyaknya
masalah pendidikan yang dihadapi,
khususnya masalah kualitas dan
relevansi. Dengung peningkatan kualitas
dan relevansi pendidikan terjadi di
Negara Indonesia, hingga perumusan
kebijakan strategis pembangunan
pendidikan yang merupakan acuan
pembangunan pendidikan salah satunya
adalah peningkatan kualitas dan relevansi
pendidikan. Mengimplementasikan
kebijakan tersebut, Pemerintah
mencanangkan pendidikan 3 M yaitu
mutu, murah dan merata (Nandika,
2008). Namun hingga saat ini
2Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
permasalahan mutu dan relevansi
pendidikan masih menjadi tugas yang
belum selesai dikerjakan, dan harus
dilakukan percepatan penyelesaiannya.
Penyelesaian masalah kualitas
dan relevansi pendidikan ditinjau secara
mikro, menyangkut kualitas
pembelajaran. Kualitas pembelajaran di
satuan pendidikan dan program studi
ataupun jurusan pada Pendidikan Tinggi
masih jauh dari harapan. Permasalahan
kualitas pembelajaran dapat dimulai dari
perencanaan pembelajaran, implementasi
rencana pembelajaran, evaluasi, sarana
dan prasarana, manajemen, lingkungan,
dan lain-lain.
Khususnya dalam perencanaan
pembelajaran masih sering terjadi
pengkajian yang tidak detail sehingga
menjadi perencanaan yang tidak dapat
diimplementasikan. Agar pengkajian
tersebut baik dan berkualitas serta dapat
diimplementasikan, haruslah dilakukan
oleh sejumlah orang yang khusus, multi
disiplin ilmu, dan memiliki komitment
tinggi.
PEMBAHASAN
Kompetensi Lulusan Program Studi
Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 19 tahun 2005,
tentang Standar Nasional Pendidikan,
pasal 26 ayat 4 mengatakan bahwa
standar kompetensi lulusan pada jenjang
pendidikan tinggi bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik untuk
menjadi anggota masyarakat yang
berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemandirian, dan sikap
untuk menemukan, mengembangkan,
serta menerapkan ilmu, teknologi, dan
seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Kompetensi tersebut menyangkut
kompetensi kognisi, afeksi, dan
psikomotorik.
Boyatzis (2008) mengatakan
bahwa kompetensi yang harus dimiliki
lulusan adalah (1) kompetensi kognisi,
seperti sistem berpikir dan pengenalan
pola, (2) kompetensi kercerdasan emosi,
seperti penguasaan diri dan pengendalian
diri, (3) kompetensi kecerdasan sosial,
seperti penguasaan kondisi sosial dan
hubungan sosial yang terlihat dari empati
dan tim kerja. Williams (2008) melihat
bahwa kompetensi kecerdasan
emosional, kecerdasan sosial, dan
kompetensi adaptif terhadap lingkungan
adalah tuntutan abat ke-21. Kompetensi
kognisi haruslah meliputi tingkatan
tertinggi dari Taxonomi Bloom yaitu
tingkat evaluasi (Bloom, 1956).
Taxonomi Bloom dalam ranah kognisi
menyangkut kemampuan mengingat,
memahami, mengaplikasikan,
menganalisis, mengsintesis, dan
mengevaluasi.
3Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
Dalam ranah kognisi, seharusnya
terjadi pergeseran perumusan indikator
berdasarkan Taxonomi Bloom menjadi
Taxonomi Anderson. Taxonomi Bloom
menempatkan tingkat tertinggi pada
evaluasi, namun Taxonomi Anderson
menempatkan tingkat tertinggi pada
kreativitas atau daya cipta. Pada
Taxonomi Bloom, kemampuan
menganalisis dibedakan dengan
kemampuan mensintesa, sedangkan pada
Taxonomi Anderson sintesa menjadi satu
kesatuan dalam analisis. Taxonomi
Anderson dapat memenuhi kompetensi
lulusan dibidang kognisi sebagai mana
tuntutan Peraturan Pemerintah Indonesia
No. 19 tahun 2005, tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Tabel 1. Tingkatan kognisi defenisi dan Kata indikator (Bloom, 1956)
Level of Cognition
Defenition Behavioral Verbs
Knowledge Recognizes and remembers names, ideas, terms
Name, lebel, describe, define, select
Comprehension Explain, summarizes, make simple interpretations
Explain, predict, sort, distinguish between
Apllication Applies rules or procedures to novel situations
Compute, solve, demonstrate
Analysis Identifies component parts, reasons deductively or inductively
Discriminate, infer, diagram, resolve
Synthesis Puts disparate elements together to create a new idea or product
Devise, generate, construct, compose
Evaluation Uses criteria to judge qualities of products or performances
Contrast, discriminate, interpret, judge.
Taxonomi Anderson menyangkut
Remembering, understanding, apllying,
analyzing, evaluating, dan creating.
Untuk rincian taxonomi tersebut
ditampilkan pada tabel 2 berikut
.
Table 2. Defenisi dan kata kerja operasional Taxonomi Anderson (Anderson, 2001)
Definition Verbs
Remembering: can the student recall or remember the information?
Define, duplicate, list, memorize, recall, repeat, reproduce, state
Understanding: can the student explain ideas or concepts?
Classify, describe, discuss, explain, identify, locate, recognize, report, select, translate,
paraphrase
Applying: can the student use the Choose, demonstrate, dramatize, employ,
4Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
Definition Verbs
information in a new way? illustrate, interpret, operate, schedule, sketch, solve, use, write
Analysing: can the student distinguish between the different parts?
Appraise, compare, contrast, criticize, differentiate, discriminate, distinguish,
examine, experiment, question, test
Evaluating: can the student justify a stand or decision?
Appraise, argue, defend, judge, select, support, value, evaluate
Creating: can the student create new product or point of view?
Assemble, construct, create, design, develop, formulate, write
Tingkat tertinggi dari Taxonomi
Anderson adalah kreativitas, yaitu
menciptakan produk baru, hal baru
ataupun ide baru. Indikator kreativitas
tersebut adalah meramu, mengkonstruksi,
mencipta, mendisain, mengembangkan,
merumuskan, dan menulis. Kompetensi
lulusan harus mampu menulis yang
dalam hal ini secara umum mampu
menulis skripsi. Akan tetapi lebih
spesifik, kompetensi menulis tidak hanya
pada penulisan skripsi, akan tetapi
haruslah penulisan makalah pada setiap
mata kuliah bahkan setiap topik
pembelajaran.
Membangun Kreativitas
Membangun kreativitas subjek
didik hanya dapat dilakukan oleh
pendidik yang memiliki kreativitas
tinggi. Sejalan dengan hal itu, maka
ujung tombak pembangunan kreativitas
mahasiswa berada pada dosen. Dosen
terlebih dahulu harus mengembangkan
kreativitasnya, baik dalam metode
pembelajaran maupun materi
pembelajaran. Metode pembelajaran
dibutuhkan untuk menyikapi kekangan
kondisi untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang berkualitas. Materi
pembelajaran merupakan kompetensi
profeional yang harus dimiliki dan harus
mencapai tingkat tertinggi yaitu
kreativitas.
Fadjar (2004) mengatakan bahwa
: “ kreativitas atau berpikir kreatif
sebagai kemampuan untuk melihat
bermacam-macam kemungkinan
penyelesaian terhadap suatu masalah,
yang merupakan bentuk pemikiran yang
sampai saat ini masih kurang mendapat
perhatian dalam pendidikan. Di sekolah
terutama dilatih kepada siswa adalah
penerimaan pengetahuan, ingatan, dan
penalaran (berpikir logis). Kreativitas
yang memungkinkan manusia
meningkatkan kualitas terhadapnya.
Dalam era globalisasi ini kesejahteraan
dan kejayaan masyarakat dan Negara
tergantung pada sumbangan kreatif,
5Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
berupa ide-ide baru, penemuan-
penemuan baru, dan teknologi baru,
pemikiran dan perilaku kreatif, perlu
dipupuk sejak dini”.
Banyak pendapat dan penelitian
yang dialkukan untuk mengembangkan
kreativitas. Hasil penelitian Gordon yang
dilaporkan kembali oleh Timpe (1987)
mengatakan kreativitas adalah hasil
pekerjaan kolaborasi otak kiri dan otak
kanan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
otak kanan melakukan gagasan-gagasan
kreatif yang dikirimkan ke otak kiri, dan
otak kiri melakukan evaluasi terhadap
gagasan tersebut dan dikirimkan kembali
ke otak kanan untuk dilaksanakan. Timpe
(1987) juga mengutip hasil penelitian
Alyce M. Green yang menyimpulkan
bahwa gagasan kreatif muncul beberapa
saat sebelum tidur (dalam kondisi
setengah sadar) dan beberapa saat
sebelum terjaga (bangun tidur pada pagi
hari).
Dari kedua penelitian tersebut
dapat dikaji bahwa dosen dan mahasiswa
akan memunculkan gagasan
kreativitasnya sesaat sebelum tidur dan
sesaat sebelum bangun. Kalau demikian
adanya pemunculan kreativitas, dosen
harus mengkaji metode lain dalam
pemunculan kreativitas tersebut, apakah
ada hukum atau dalil yang berlaku
secara umum ataupun khusus.
Menurut Robert Fromen yang
dikutip Timpe (1987) bahwa hukum-
hukum penalaran kreativitas adalah: (1)
mengumpulkan fakta, (2) penalaran
induktif, (3) penalaran deduktif.
Pernyataan Robert Fromen tersebut di
atas, jika dikaji adalah hanya prasyarat
berpikir kreatif. Johanssons Frans (2004)
mengemukakan inovasi titik temu dalam
menghasilkan produk dan ide kreativitas.
Inovasi titik temu tersebut mempunyai
karakteristik sebagai berikut: (1)
mengejutkan dan memesona, (2)
meloncat kea rah yang baru, (3)
membuka bidang yang barus sama sekali,
(4) menyediakan ruang bagi orang, tim,
atau perusahaan, (5) menghasilkan
pengikut, yang berarti penciptaannya bias
menjadi pemimpin, (6) member sumber
inovasi terarah untuk tahun-tahun
selajutnya, (7) dapat mempengaruhi
dunia dengan cara yang belum pernah
sebelumnya. Anderson menegaskan kate
kerja opreasional untuk kreativitas
seperti Assemble, construct, create,
design, develop, formulate, write.
Pada tabel 3 berikut diperlihatkan
Kategori Kreativitas dari Taxonomi
Anderson, yang menyangkut: kategori,
contoh kalimat pemulaan kreativitas,
aktivitas dan produk potensial yang
menggambarkan nilai-nilai kreativitas.
Tugas dosen selanjutnya adalah
6Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
merumuskan sejumlah indicator-
indikator yang sesuai dengan tabel 3
untuk dirinya sendiri dan untuk
mahasiswa pada setiap pertemuan dalam
proses pembelajaran.. Rumusan aktivitas
atau proses haruslah dapat menggiring
perilaku pembelajar dan pengajar sendiri
ke arah dan pencapaian indikator yang
telah dirumuskan.
Tabel 3. Kategori Kreativitas, Kalimat Pemulaan, dan Aktivitas Potensial
Category Sample sentence starters Potential activities and products
CREATEGeneratingComing up with alternatives or hypotheses based on criteriaSynonyms : HypothesizingPlanningDevising a procedure for accomplishing some task. producingSynonyms : DesigningProducingInventing a product.Synonyms : Constructing
Can you design a...to...?Can you see a possible solution to...?If you had access to all resources, how would you deal with...?Why don't you devise your own way to...?What would happen if ...?How many ways can you...?Can you create new and unusual uses for...?Can you develop a proposal which would...?
Invent a machine to do a specific task.Design a building to house your study.Create a new product. Give it a name and plan a marketing campaign.Write about your feelings in relation to...Write a TV show play, puppet show, role play, song or pantomime about..Design a record, book or magazine cover for...Sell an ideaDevise a way to...
Restrukturisasi Program Studi dan
Jurusan
Program studi di Universitas
negeri Medan, memiliki hanya satu orang
personalia yaitu Ketua Program studi,
dalam mana program studi
bertanggungjawab kepada jurusan.
Fungsi program studi adalah pelaksana
teknis pembelajaran dan fungsi jurusan
sebaiknya pusat pengembangan program
studi secara internal maupun secara
eksternal. Namun demikian masih
diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam hal keorganisasian jurusan
dan program studi.
Robbins (2007) mendefenisikan
struktur organisasi sebagai pengaturan
formalisasi tugas dalam sebuah orginsasi.
Ketika dilakukan restrukturisasi dalam
sebuah organisasi, sesungguhnya
melaksanakan sepesifikasi dan
pengembangan tugas-tugas sehingga
organisasi dapat lebih berkembang.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada
enam elemen kunci dalam perencanaan
struktur oragnisasi, yaitu: (1) spesialisasi
tugas, (2) pengelompokan departemen,
7Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
(3) rantai komando, (4) rentangan
kendali, (5) sentralisasi dan
desentralisasi, (6) formalisasi. Robbins
(2007) juga mengatakan bahwa untuk
dapat membentuk struktur oraganisasi
maka sebaiknya mengikuti langkah
berikut: (1) Uraikan pekerjaan yang lebih
spesifik dan departemen, (2) Uraikan
tugas dari pekerjaan untuk individu
dalam departemen dan oragnisasi, (3)
Buat koordinasi tugas-tugas yang
berbeda dalam organisasi, (4) lakukan
kluster untuk unit-unit kecil, (5) tetapkan
hubungan kerja setiap individu,
kelompok, dan departemen, (6) tetapkan
garis komando dan koordinasi secara
formal sebagai otoritas, (7) alokasikan
dan bagikan sumber daya yang ada
kesetiap komponen struktur.
Lussier (1997) menegaskan ada
sepuluh elemen kunci dalam penetapan
strukur organisasi, yaitu: (1) kesatuan
komando dan arah, (2) rantai komando,
(3) rentangan manajemen (garis
horizontal dan vertical), (4) pembagian
tenaga kerja (spesialisasi), (5) koordinasi,
(6) penyeimbangan penghargaan dan
otoritas, (7) delegasi, (8) flexibelitas, (9)
pembuatan departemen (sub komponen
organisasi), (10) integritas.
Dari kedua pendapat tersebut di
atas, maka untuk restrukturisasi jurusan
dan program studi harus berangkat dari
harapan-harapan, kompetensi-
kompetensi lulusan, visi dan misi
masing-masing jurusan.
Sejalan dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 19
tahun 2005, tentang Standar Nasional
Pendidikan, pasal 26 ayat 4, maka
kompetensi lulusan pendidikan tinggi
harus memiliki komponen: sikap dan
berakhlak mulia, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kemandirian,
mengembangkan dan menerapkan ilmu,
teknologi, dan seni yang bermanfaat bagi
kemanusiaan. Kompetensi-kompetensi
tersebut diuraikan menjadi indikator-
indikator yang sangat rinci dan target
capaian indikator harus ditetapkan secara
hati-hati dan berbasis evaluasi diri.
Dengan demikian, departemen
sikap dan akhlak mengurusi kompetensi
sikap dan akhlak mulia serta sosial;
Departemen pengetahuan kognisi
mengurusi kompetensi standar isi
kognitif, Departemen keterampilan dan
psikomotorik mengeurusi kompetensi
praktikum dan psikomotorik; departemen
penelitian dan pengabdian masyarakat
mengurusi penelitian dan pengabdian
masyarakat; departemen kerja sama,
mengurusi kerja sama eksternal.
Departemen-departemen ini menjadi unit
penjaminan mutu dan relevansi lulusan di
jurusan dan program studi.
8Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
Sejalan dengan hal itu, maka
struktur organisasi jurusan dan program
studi, dapat didisain seperti gambar
model-model berikut.
Gambar 1. Model 1. Struktur Organisasi Jurusan dan Program Studi
Model 1 ini memperlihatkan Unit
Penjaminan Mutu memiliki kekuatan
untuk memberi perintah kepada Ketua
Jurusan, Kaprodi, dosen, dan Laboran
dalam hal mutu dan relevansi. Ketua
Jurusan bertanggung jawab kepada
Dekan, dan Kaprodi bertanggung jawab
kepada Ketua Jurusan, serta dosen dan
laboran bertanggungjawab kepada
Kaprodi. Kaprodi, dosen, dan laboran
bertanggungjawab juga kepada Unit
Penjaminan Mutu. Kaprodi dan Unit
Penjaminan Mutu bertanggungjawab
kepada dekan. Ketua Jurusan dan Unit
Penjaminan Mutu saling
bertanggungjawab satu dengan lainnya.
Model 2 memperlihatkan bahwa
Unit penjaminan mutu menyatu dalam
Jurusan, dalam mana unit penjaminan
mutu bertanggungjawab kepada ketua
jurusan. Hal ini diperlihatkan pada
gambar 2 model 2.
Gambar 2. Model 2 Struktur Organisasi Jurusan dan Prodi
JURUSAN: Ketua dan Sekretaris,
UNIT PENJAMINAN MUTU: departemen-departemen: Knowledge, afektif, psikomotorik, Hubungan eksternal
PRODI:Ketua dan Sekretaris
LABORATORIUM:Kepala Lab. Laboran
DOSEN:kelompok
disiplin ilmu
JURUSAN: Ketua dan Sekretaris
PRODI: Ketua dan Sekretaris
LABORATORIUM:Kepala Lab. Laboran
DOSEN: kelompok
disiplin ilmu
UNIT PENJAMINAN MUTU: departemen-departemen: Knowledge, afektif,
psikomotorik, Hubungan eksternal
9Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
Gambar 3. Struktur Organisasi Jurusan dan Prodi aebelum direstrukturisasi
Dilihat dari kedua model, maka model
yang lebih baik adalah model 2, dalam
mana harapan penjaminan mutu dapat
digapai tanpa terjadi dualism
kepemimpinan.
PENUTUP
Restrukturisasi Jurusan dan prodi
sangat perlu dilaksanakan, hanya saja
perlu pengkajian yang lebih mendalam
melalui analisis pakar maupun
penelitian-penelitian. Restruturisasi
Jurusan dan program studi dalam kajian
dalam makalah ini, adalah sebuah ide
sederhana yang perlu ditindaklanjuti
dalam bentuk penelitian lanjutan. Tujuan
restrukturisasi Jurusan dan Program studi
adalah untuk menjamin ketercapaian
kompetensi lulusan yang bermutu dan
relevan sehingga sesuai dengan harapan
bangsa dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). 2001. A taxonomy for learning, teaching and assessing:
A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman.
Bloom, B. S. (Ed). 1956. Taxonomy of Edocational Objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook 1. Cognitive Domain. New York: Longmans Green.
Boyatzis Richard E. 2008. Competencies in the 21 st century. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.
Fadjar A. Malik. 2004. Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Buku IV, Januari 2004 – Oktober 2004.Jakarta: Depdiknas
Johanssons Frans. 2004. Inovasi Titik Temu. Rahasia Sukses Menemukan Ide Bisnis Cemerlang dan Menguntungkan. Jakarta : Serambi
Lussier Robert N. 1997. Management, Concepts, Applications, Skill Development. Massachusetts: South-Western College Publishing.
Nandika Dodi. 2008. Political Will Pendidikan Menuju Indonesia 2020. Teropong Pendidikan Kita. Ontologi Artikel 2007-2008. Jakarta: Depdiknas.
JURUSAN: Ketua dan Sekretaris,
PRODI: Ketua
LABORATORIUM:Kepala Lab. Laboran
DOSEN: kelompok
disiplin ilmu
10Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed
Nandika Dodi. 2008. Pendidikan 3 M. Opini Pendidikan 2008. Jakarta: Depdiknas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.
Robbins Stephen P., Mary Coulter. 2007. Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Timpe A. Dale. 1987. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia-
Kreativitas. Jakarta: Alex MediaComputindo.
Williams Helen W. 2008. Characteristics that Distinguish Outstanding Urban Principles. Emotional Intelligence, social intelligency, and environmental Adaptation. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.
11Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
APLIKASI GRUP DIHEDRAL D5 DALAM DETEKSI ERROR
Oleh:Pardomuan N. J. M. Sinambela
Abstrak
Mendektesi error dalam suatu permasalahan string alfabet dan digit dapat dilakukan dengan menerapkan aplikasi grup dihedral. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menggunakan grup dihedral D5. Metode ini dapat mendeteksi sekitar 90% dari semua tipe error. D5 merupakan grup dihedral yang dapat digunakan dalam mendeteksi error yang dapat digunakan untuk mendeteksi error pada string alfabet dan digit yang terdiri atas beberapa karakter. Setiap anggota D5 yang berupa transformasi dipasangkan dengan tepat satu karakter. Kata kunci: Grup Dihedral
PENDAHULUAN
Ada berbagai cara menambahkan
cek digit pada suatu nomor identifikasi
untuk dapat mendeteksi error nomor
identifikasi tersebut. Satu diantaranya
adalah metode International Standard
Book Number (ISBN) yang
menggunakan modulo 11. Tetapi dalam
penggunaan metode ini diperlukan
karakter abjad X untuk menggantikan
bilangan 10. Pada akhir tahun 1960-an,
ditemukan cara mendeteksi kesalahan
digit suatu nomor identifikasi tanpa
menambahkan suatu karakter baru.
Metode ini menggunakan grup D5 dan
permutasi σ = (0)(14)(23)(58697).
PEMBAHASAN
Grup Dihedral Berorder 10 (D5)
Grup dihedral berorder 10 yang
dinotasikan dengan D5, disebut juga grup
simetri segilima beraturan. Grup D5
adalah himpunan semua transformasi
yang mengakibatkan segilima beraturan
invarian (berimpit dengan dirinya
sendiri), beserta operasi .
Himpunan D5 terdiri atas 10
transformasi yang meliputi 5 rotasi dan 5
refleksi. Rotasi yang dipergunakan
adalah rotasi berlawanan arah jarum jam
terhadap titik pusat segilima. Kelima
rotasi itu adalah R0, R72, R144, R216, dan
R288. Sedangkan refleksi yang
dipergunakan adalah refleksi terhadap
garis I, II, III, IV, dan V yang masing-
masing dinotasikan sebagai MI, MII, MIII,
MIV, dan MV. Letak garis-garis tersebut
pada segilima beraturan ABCDE
digambarkan sebagai berikut.
12Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Berikut ilustrasi anggota-anggota D5
garis II
garis I
garis III
garis IV
garis V
B
A
ED
C
0 = R0 = rotasi 0
B
C A
B
C A
R0
1 = R72 = rotasi 72
B
C A
A
B E
R72
3 = R216 = rotasi 216
2 = R144 = rotasi 144
B
C A
E
A D
R144
B
C A
D
E C
R216
13Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Pola dari D5 dapat dijumpai pada bintang laut. Gambar-gambar berikut juga
menggunakan pola D5.
4 = R288 = rotasi 288
5 = MI = refleksi terhadap garis I
B
C A
C
D B
R288
6 = MII = refleksi terhadap garis II
7 = MIII = refleksi terhadap garis III
8 = MIV = refleksi terhadap garis IV
9 = MV = refleksi terhadap garis V
B
C A
A
E B
MI
B
C A
E
D A
MII
D
C E
MIII
B
C A
B
C A
C
B D
MIV
B
C A
B
A C
MV
14Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Operasi didefinisikan sebagai
operasi “diikuti oleh”. A B adalah
transformasi A diikuti oleh transformasi
B. Operasi ini tidak komutatif.
Contoh
1. R72 R144 = R216 atau 1 2 = 3
2. R144 MIII = MV atau 2 7 = 9
3. MIII R144 = MI atau 7 2 = 5
Berikut Tabel Cayley untuk D5 dengan operasi
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91 1 2 3 4 0 6 7 8 9 52 2 3 4 0 1 7 8 9 5 63 3 4 0 1 2 8 9 5 6 74 4 0 1 2 3 9 5 6 7 85 5 9 8 7 6 0 4 3 2 16 6 5 9 8 7 1 0 4 3 27 7 6 5 9 8 2 1 0 4 38 8 7 6 5 9 3 2 1 0 49 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
A
B E
D
E C
R144R72
B
C A
B
A C
MIIIR144
B
C A
E
A D
A
E B
R144MIII
D
C E
B
C A
15Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Tabel Cayley dapat dipergunakan
untuk menunjukkan bahwa D5 dengan
operasi memenuhi sifat tertutup,
memiliki unsur identitas yaitu R0 (0), dan
setiap anggota D5 mempunyai invers
yang juga anggota D5. Kesepuluh
transformasi anggota D5 dapat dipandang
sebagai fungsi dari segilima beraturan ke
bidang segilima beraturan itu sendiri, dan
operasi merupakan komposisi fungsi.
Karena komposisi fungsi bersifat
asosiatif, berarti operasi juga bersifat
asosiatif. Dan karena telah ditunjukkan
bahwa operasi tidak komutatif, maka
D5 dengan operasi adalah grup non-
Abelian.
Permutasi σ
Permutasi suatu himpunan A
adalah fungsi bijektif dari himpunan A
ke himpunan A sendiri. Permutasi dapat
disajikan dalam notasi baris atau notasi
siklis (bentuk sikel).
Permutasi yang digunakan dalam
tulisan ini adalah permutasi σ dari
himpunan A = {0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9}. Setiap anggota himpunan A mewakili
tepat satu anggota himpunan D5.
Penyajian permutasi σ dalam notasi baris adalah sebagai berikut
Penyajian permutasi σ dalam
notasi siklis adalah sebagai berikut
Permutasi σ = (0)(14)(23)(58697)
Cek Digit
Metode penambahan cek digit
pada nomor identifikasi yang dibahas
dalam tulisan ini menggunakan D5 dan
permutasi σ.
Untuk menentukan cek digit dari
suatu nomor identifikasi, setiap digit
pada nomor identifikasi diberi bobot
pangkat σ yang terus meningkat, dimulai
dari digit paling kanan. Bilangan-
bilangan yang diperoleh dioperasikan
mengunakan operasi , invers dari hasil
akhir setelah pengoperasian menjadi cek
digit dari nomor identifikasi tersebut.
Berikut contoh penentuan cek digit untuk
nomor identifikasi 793.
1. Setiap digit pada nomor identifikasi
diberi bobot pangkat σ yang terus
meningkat, dimulai dari digit paling
kanan.
σ3 = 2
σ29 = σ(σ9) = σ7 = 5
σ37 = σ(σ(σ7)) = σ(σ5) = σ8 = 6
2. Bilangan-bilangan yang diperoleh
dioperasikan menggunakan operasi
6 5 2 = 3
3. Bilangan hasil operasi diinverskan
3-1 = 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9Permutasi σ =
16Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Invers dari hasil akhir setelah
pengoperasian ini menjadi cek digit
dari nomor identifikasi. Dengan
demikian nomor identifikasi yang
dilengkapi dengan cek digit adalah
7932.
PENUTUP
Berdasarkan cara menentukan cek
digit suatu nomor identifikasi yang telah
diuraikan, maka suatu nomor identifikasi
bebas error lengkap dengan cek digitnya
yang berbentuk anan-1 … a1a0 mempunyai
sifat
σnan σn-1an-1 … σa1 a0 = 0 …()
Jika terjadi single digit error atau
kesalahan penulisan meskipun hanya satu
angka dari nomor identifikasi, maka hasil
operasi tidak akan sama dengan 0. Hal
ini disebabkan setiap faktor dari ruas
kanan persamaan () mempunyai peran
yang unik (khusus) dalam menentukan
hasil operasi.
Jika terjadi transposition error
atau kesalahan berupa pertukaran tempat
digit nomor identifikasi juga akan cepat
terdeteksi, karena untuk 2 digit a dan b
yang berbeda, σa b ≠ σb a
(grup D5 adalah grup non-Abelian),
berarti σi+1a σib ≠ σi+1b σia. Dengan
demikian jika terjadi pertukaran tempat 2
digit yang berdekatan dalam suatu nomor
identifikasi, maka hasil operasi tidak
akan sama dengan 0.
DAFTAR PUSTAKA
Durbin, J.R. (1992). Modern Algebra An Introduction Thrid Edition. New York. John Wiley & Sons, Inc.
Gallian, Joseph A. (1990). Contemporary Abstract Algebra 2nd Edition. Toronto: D.C. Heath and Company.
Raisinghania,M.D & Aggarwal, R.S (1980). Modern Algebra. New Delhi. S. Chand & Company Ltd.
17Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
KENDALI KUALITAS PENDIDIKAN PADA PROGRAM STUDI DENGAN METODE KENDALI KOKOH (ROBUST CONTROL)
Oleh: Drs. Wanapri Pangaribuan, MT
AbstrakKendali internal sesuai dengan karakteristik kendali kokoh (robust control), yang menekankan dan memiliki kekuatan pada perencanaan, pemodelan, standar operasional prosedur, dan pemaksaan terhadap subjek didik untuk selalu berada dalam trackingkendali. Komponen kendali, ketua dan sekretaris jurusan atau prodi, dosen, tenaga administrator, dan laboran harus merumuskan standar kerja dan indikator-indikator capaian serta instrument pengukurannya. Kendali kokoh berbasis evaluasi diri secara internal, dan kokoh pada rencana dan prosedur. Kata kunci : Kendali kokoh, Kualitas
PENDAHULUAN
Tiga pilar pembangunan
pendidikan nasional yang juga menjadi
pilar pembangunan pendidikan di
program studi adalah pemerataan dan
perluasan akses pendidikan, peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan, dan
peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan
pencitraan publik. Pilar peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan di
program studi merupakan pilar
pendukung segala program, kegiatan,
proses belajar dan pembelajaran, serta
pengadaan sarana dan prasarana untuk
tujuan menghasilkan lulusan yang
berdaya saing tinggi dan untuk
keberlangsungan (susteinibility) program
studi tersebut.
Kualitas dan relevansi adalah
menggambarkan kemampuan dan
kompetensi pengetahuan, sikap,
keterampilan kerja yang relevan dengan
kebutuhan kerja, serta keunggulan
kompetitif lulusan ketika bersaing
dengan lulusan-lulusan lainnya, adalah
hal yang harus dipenuhi program studi.
Untuk memenuhi kualitas dan
relevansi yang diharapkan, program studi
pertama sekali harus merumuskan
standar program, kegiatan, proses, sarana
dan prasarana, indikator ketercapaian,
operasional prosedur. Perumusan standar
ini merupakan patokan yang harus
dicapai dan merupakan tujuan dan arah
perjalanan program studi.
Dalam perjalanannya, program
studi melaksanakan segala program dan
kegiatan serta aktivitasnya diarahkan dan
dikendalikan oleh standar. Kendali
terhadap program, kegiatan dan aktivitas
program studi harus mempertimbangkan
deviasi minimal yang diizinkan
dibandingkan dengan standar, serta juga
mempertimbangkan interval waktu
18Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
kendali, model pengendalian, dan
actuator yang mengeksekusi minimalisasi
diviasi (error).
Sejumlah standar dapat dikaji
untuk melengkapi Standar Nasional
Pendidikan, diantaranya Standar Malcon,
Standar Baldrige, Standar Ernest, dan
juga berbagai standar yang dirumuskan
oleh berbagai Perguruan Tinggi.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah
standar-standar tersebut sudah meliputi
indikator kualitas dan relevansi ?;
bagaimana tindakan kendali yang harus
dilakukan untuk memenuhi standar
tersebut; apakah tindakan kendali
tersebut efektif mengendalikan proses
yang efisien?. Jawaban atas pertanyaan
tersebutlah yang merupakan kajian yang
dilakukan dalam makalah ini.
PEMBAHASANStandar Nasional Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan
yang dirumuskan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, menyangkut delapan standar,
yaitu Standar kompetensi lulusan, standar
isi, standar proses, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian.
Standar Nasional pendidikan tersebut
sering sekali menimbulkan permasalahan
di tingkat satuan pendidikan ketika
diimplementasikan. Permasalahan
tersebut timbul karena keharusan
penerapan oleh tingkat satuan pendidikan
akan tetapi pada sisi lain satuan
pendidikan tidak mampu
merealisasikannya, dan pemerintah
kurang mampu juga membantu satuan
pendidikan dalam perealisasian tersebut.
Manajemen pengelolan
pendidikan yang dilaksanakan
pemerintah secara makro harus dikaji
kembali. Standarisasi pendidikan yang
mengacu pada delapan standar nasional
pendidikan, umumnya tidak dapat
direalisasikan oleh stuan pendidikan.
Seharusnya, kedelapan standar nasional
pendidikan tidak serta merta
diaplikasikan sekali gus, akan tetapi
tahap demi tahap.
Gambar 1. Delapan Standar Nasional Pendidikan Mempengaruhi Kualitas, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan
Standar Kompetensi Lulusan
Standar Isi
Standar Proses
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar sarana dan prasarana
Standar Pengelolaan
Standar pembiayaan
Standar penilaian
Kualitas, Relevansi , dan Daya
saing Pendidikan
19Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Standar utama yang harus
dirumuskan adalah standar kompetensi
lulusan dan standar isi, karena kedua
standar ini terkait langsung dengan
kualitas, relevansi dan daya saing
pendidikan. Agar lulusan berdaya saing,
maka dirumuskanlah isi pembelajaran
yang dalam hal ini adalah kurikulum,
kompetensi yang bagai mana yang harus
dimiliki oleh lulusan. Khususnya
program studi di Pendidikan Tinggi harus
betul-betul serta cermat menentukan
standar isi dan kompetensi serta
indikator-indikatornya.
Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 19 tahun 2005,
tentang Standar Nasional Pendidikan,
pasal 26 ayat 4 mengatakan bahwa
standar kompetensi lulusan pada jenjang
pendidikan tinggi bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik untuk
menjadi anggota masyarakat yang
berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemandirian, dan sikap
untuk menemukan, mengembangkan,
serta menerapkan ilmu, teknologi, dan
seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Rincian standar tersebut di atas
diserahkan kepada dan menjadi otoritas
perguruan tinggi. Kendali terhadap
perguruan tinggi oleh pemerintah
dilaksanakan oleh Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BANPT).
Gambar 2. Parameter Kompetensi Lulusan Pendidikan Tinggi
Lulusan Pendidikan Tinggi
disebut memiliki kompetensi jika
menerapkan IPTEKS yang dipelajari,
ditemukan, dan dikembangkannya
kepada kebaikan dan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian
Pengetahuan dan
keterampilan
Sikap dan Ahlak Mulia
Menemukan dan Mengembangkan
Ilmu dan teknologi dan
Menerapkan IPTEKS yang
bermanfaat bagi manusia
Kompetensi Lulusan
Pendidikan Tinggi
20Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
kompetensi lulusan Pendidikan Tinggi
haruslah menyangkut Kompetensi
Profesi, kompetensi Strategi, kompetensi
Sosial, dan Kompetensi kepribadian.
Kompetensi strategi yang dimaksudkan
adalah kemampuan mempelajari,
menemukan, mengembangkan dan
menerapkan IPTEKS dengan berbagai
metode dan kiat yang tepat, efektif, dan
efisien.
Hal menyangkut standar isi yaitu
kurikulum program studi, sebaiknya
disusun dengan cermat dengan mengacu
pada prinsip keterbaruan (up to date),
serta standar isi tersebut seharusnya
dirumuskan secara nasional yang disebut
kurikulum nasional (kurnas). Kurikulum
nasional berlaku secara nasional meliputi
pengetahuan utama yang mendasar
dalam program studi tersebut. Hal
menyangkut kurikulum yang dirumuskan
oleh perguruan tinggi yang sering disebut
kurikulum muatan lokal, disusun
berorientasi pada kesanggupan dan
kebutuhan lokal atau daerah.
Perpaduan kurikulum nasional
dan lokal harus dapat menjawab
pertanyaan “kompetensi apa yang harus
dimiliki oleh lulusan untuk dapat
berkompetisi dan relevan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta seni ?”. Kompetensi
tersebut bersifat prediktif, dan masih
merupakan pendekatan. Boyatzis (2008)
mengatakan bahwa kompetensi yang
harus dimiliki lulusan adalah (1)
kompetensi kognisi, seperti sistem
berpikir dan pengenalan pola, (2)
kompetensi kercerdasan emosi, seperti
penguasaan diri dan pengendalian diri,
(3) kompetensi kecerdasan sosial, seperti
penguasaan kondisi sosial dan hubungan
sosial yang terlihat dari empati dan tim
kerja. Williams (2008) melihat bahwa
kompetensi kecerdasan emosional,
kecerdasan sosial, dan kompetensi
adaptif terhadap lingkungan adalah
tuntutan abat ke-21. Kompetensi kognisi
haruslah meliputi tingkatan tertinggi dari
Taxonomi Bloom yaitu tingkat evaluasi
(Bloom, 1956). Taxonomi Bloom dalam
ranah kognisi menyangkut kemampuan
mengingat, memahami, mengaplikasikan,
menganalisis, mengsintesis, dan
mengevaluasi.
Tabel 1. Tingkatan kognisi defenisi dan Kata indikator (Bloom, 1956)Level of
CognitionDefenition Behavioral Verbs
Knowledge Recognizes and remembers names, ideas, terms
Name, lebel, describe, define, select
Comprehension Explain, summarizes, make simple Explain, predict, sort,
21Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Level of Cognition
Defenition Behavioral Verbs
interpretations distinguish betweenApllication Applies rules or procedures to novel
situationsCompute, solve, demonstrate
Analysis Identifies component parts, reasons deductively or inductively
Discriminate, infer, diagram, resolve
Synthesis Puts disparate elements together to create a new idea or product
Devise, generate, construct, compose
Evaluation Uses criteria to judge qualities of products or performances
Contrast, discriminate, interpret, judge.
Hal yang penting yang harus hati-
hati dalam merumuskan manual instruksi
adalah kelima tingkatan psikomotorik
terlatihkan dalam eksperimen atau
praktikum tersebut. Dengan demikian
indikator-indikator standar harus tegas
dan jelas dirumuskan, dan indikator-
indikator tersebutlah yang menjadi target
capaian. Indikator-indikator
psikomotorik setiap praktikum ataupun
kerja praktek membutuhkan kajian yang
mendalam sesuai dengan karakteristik
eksperimen yang dipraktimumkan.
Peningkatan psikomotorik dapat juga
dilakukan dengan memperbanyak
pelatihan psikomotorik, praktek lapangan
industri.
Perencanaan Standar Capaian Belajar
Standar capaian belajar hanya
dapat diperoleh jika terlebih dahulu
direncanakan dengan baik serta
dilaksanakan proses pencapaian dengan
cermat. Dokumen perencanaan
pembelajaran haruslah memuat berbagai
komponen atau bagian-bagian yang
distandarkan. O’Shea (2005) mengatakan
ada lima langkah perencanaan
pembelajaran yang sukses dalam topic
yang ditentukan yaitu:
Langkah I : Identifikasi standar yang akan dituju (merumuskan tujuan pembelajaran).
Langkah II : Menganalisis dan menyeleksi standard dan rencana kerja.
Langkah III : Merumuskan indikator-indikator capaian setiap standar dalam ketiga
ranah Kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Langkah IV : Pilih dan tentukan urutan pembelajaran dan metode serta seluruh
kelengkapan yang dibutuhkan. Tentukan rencana proses pencapaian
indikator-indikator dengan cermat.
Langkah V : Laksanakan evaluasi terhadap performansi dan produk pembelajaran.
22Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Dari hasil evaluasi akan diperoleh
gambaran performansi dan kompetensi
pembelajar, yang merupakan
pertimbangan untuk langkah selanjutnya
untuk meneruskan topik baru atau
mengadakan pembelajaran remedial.
Berbagai umpan balik dari hasil belajar
dapat member informasi untuk perbaikan
berbagai hal dalam pembelajaran, seperti
persiapan, proses, peralatan dan media
pembelajaran, bahkan instrument
evaluasi.
Kendali Internal dengan Metode Kendali Kokoh
Struktur organisasi program studi
atau jurusan memberi informasi yang
dapat dimanfaatkan sebagai komponen
kendali. Jurusan dan program studi
seharusnya memiliki Ketua, sekretaris,
dosen, pegawai, laboran, dan mahasiswa.
Secara struktur, dosen bertanggungjawab
kepada ketua jurusan dan atau sekretaris
jurusan atau program studi sebagai
pimpinan. Dengan demikian, ketua dan
sekretaris jurusan atau program studi
sebagai pengendali internal jurusan.
Gambar 3. Sistem kendali internal Jurusan atau prodi
Deskripsi tugas komponen kendali:Controller:
Ketua dan sekretaris jurusan atau
prodi bertugas sebagai pengendali,
membangun dan menjaga budaya ilmiah,
budaya sukses, membangun komitment,
memotivasi, membangun iklim kondusif,
membangun kerja sama internal dengan
eksternal, mengadministrasikan
dokumen-dokumen standar, merumuskan
standar kerjanya sendiri, merumuskan
Standar Operasional Prosedur (SOP),
menilai kinerja dosen, administrator,
laboran. Memodelkan actuator sehingga
dapat melakukan kendali pada actuator.
Actuator:Dosen sebagai actuator bertugas
sebagai perumus perencanaan
pembelajaran, pelaksana pembelajaran,
evaluator proses dan hasil belajar, serta
motivator belajar subjek didik, fasilitator
pembelajaran. Seorang dosen harus
merumuskan standar-standar
pembelajaran yang selanjutnya diurai
ε
Keterangan: Controller = Ketua dan sekretaris; Actuator = dosen, laboran, dan administrator; plant = mahasiswa; ε = error (selisih standar dengan fakta.
Controller Actuator Plant
Evaluation
Standar
+–
output
23Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
menjadi indikator-indikator proses dan
capaian pembelajaran. Marshall (2009)
mengatakan bahwa dosen harus
membangun standar kerja dan dokumen
evaluasi diri menyangkut: perencanaan
dan persiapan pembelajaran, manajemen
kelas, perumusan proses pembelajaran,
monitoring, penilaian dan proses
lanjutan, komunikasi dengan orang tua
dan masyarakat, pemerhati pendidikan
dan lembaga professional lainnya. Dosen
harus menuruti dan berjalan sesuai
dengan rencana yang dirumuskannya
dengan kesadaran diri dan komitmen
sendiri. Hal ini dapat terlaksana ketika
budaya ilmiah, etos kerja tinggi telah
terbangun dalam diri dosen. Memodelkan
plant sehingga dapat melakukan aksi
pada plant.
Plant:
Mahasiswa sebagai plant harus
mengembangkan dirinya dengan kerja
keras dan pantang menyerah untuk
mencapai standar-standar kompetensi
yang harus dicapai.
Evaluation:
Instrumen-instrumen penilaian harus
sudah sirumuskan dan distandarisasi.
Output :
Output adalah kompetensi-kompetensi
capaian.
Error:
Error adalah selisih kompetensi standar
dengan kompetensi capaian.
Pemodelan actuator dan plant
jika sangat dinamis akibat dari
banyaknya pengaruh eksternal jurusan
ataupun program studi harus diatasi.
Pangaribuan (2010) memberi solusi
pemodelan yang sangat dinamis dengan
menerapkan fuzzy logic, serta
pengendaliannya juga dengan fuzzy
control. Dalam pemodelan dan
pengendalian seperti itu, berdasarkan
stimulus-respon (input-output), sehingga
controller menjadi kotak hitam (black
Box). Pengaruh eksternal secara otomatis
menyatu dengan respon plant, dan
kendali mengikuti respon tersebut dan
mengarahkannya secara halus pada target
dan standar.
Dalam pengendalian metode
kendali kokoh, actuator memaksa plant
untuk tetap berjalan sesuai dengan track,
walaupun banyak factor eksternal yang
mempengaruhinya. Kekuatan kendali
kokoh berada dalam perencanaan standar
pembelajaran, spesifikasi indikator
capaian, standar operasional prosedur,
pemodelan plant atau sistem. Metode
kendali kokoh (robust control) sesuai
dengan karakteristik kendali internal.
PENUTUPBerdasarkan kajian dapat
disimpulkan bahwa kendali internal
24Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
sesuai dengan karakteristik kendali
kokoh (robust control), yang
menekankan dan memiliki kekuatan pada
perencanaan, pemodelan, standar
operasional prosedur, dan pemaksaan
terhadap subjek didik untuk selalu berada
dalam tracking kendali.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). 2001. A taxonomy for learning, teaching and assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman.
Bloom, B. S. (Ed). 1956. Taxonomy of Edocational Objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook 1. Cognitive Domain. New York: Longmans Green.
Boyatzis Richard E. 2008. Competencies in the 21 st century. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.
Marshall Kim. 2009. Rethinking Teacher Supervision and Evaluation. How to work smart, built
collaboration, and close the achievement gap. San Francisco: John Wiley & Sons, inc.
Nobar P.M., G. McGrath, S, S, tan. Computer Aided Experimentation in Engineering. Int. J.Engng Ed. Vol 8 No. 3. Pp. 192-204, 1992. Printed in Great Britain.
Nolker dan dan E. Schoenfeldt. 1983. Pendidikan Kejuruan: Pembelajaran, Kurikulum, dan Perencanaan. Jakarta: Gramedia
O’Shea Mark R. 2005. From Standards to Success, a guide for school leaders. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD)
Pangaribuan Wanapri. Sistem Pengendalian Pembangunan Pendidikan Berbasis LogikaKabur (Fuzzy Logic). Jurnal Generasi Kampus, Volume 3, Nomor 1, April 2010. Universitas Negeri Medan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan
Williams Helen W. 2008. Characteristics that Distinguish Outstanding Urban Principles. Emotional Intelligence, social intelligency, and environmental Adaptation. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.
25Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI MENUJU SEKOLAH EFEKTIFOleh:
Paningkat Siburian Abstrak
Budaya organisasi meliputi norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi yang disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi. Prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah adalah : (1) berfokus pada visi, misi, dan tujuan sekolah; (2) penciptaan komunikasi formal dan informal; (3) inovatif dan bersedia mengambil resiko; (4) memiliki strategi yang jelas; (5) berorientasi kinerja; (6) sistem evaluasi yang jelas; (7) memiliki komitmen yang kuat; (8) keputusan berdasarkan konsensus; (9) sistem imbalan yang jelas; dan (10) evaluasi diri Selanjutnya, asas-asas pengembangan budaya dan iklim sekolah adalah kerja sama tim, kemampuan, keinginan, kegembiraan, hormat, jujur, disiplin,empati, pengetahuan dan kesopanan.Pengembangan budaya organisasi sekolah bertujuan untuk menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang positif dalam sikap dan perilaku warga sekolah dan pihak pelanggan lainnya dalam rangka meningkatkan keefektifan sekolah. Sekolah yang memiliki budaya organisasi yang baik menjadikan guru memiliki komitmen organisasi, motivasi kerja, dan kinerja yang tinggi; dan peserta didik memiliki komitmen organisasi, motivasi belajar, dan kerajinan belajar yang tinggi. Adanya komitmen organisasi, motivasi kerja, dan kinerja yang tinggi dari guru yang disertai dengan komitmen organisasi, motivasi belajar, dan kerajinan belajar yang tinggi dari peserta didik akan menyebabkan peningkatan prestasi belajar. Jadi, pengembangan budaya organisasi adalah faktor penting yang dapat meningkatkan keefektifan sekolah, sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai.Kata kunci : Budaya organisasi, keefektifan
PENDAHULUAN
Sejalan dengan persaingan global
dalam dunia pendidikan dan dunia kerja,
terjadi akselerasi tuntutan masyarakat
terhadap mutu pendidikan. Untuk
memenuhi tuntutan tersebut muncul
berbagai ide persekolahan modern
dengan nama sekolah percontohan,
sekolah terpadu, sekolah berstandar
nasional, sekolah berstandar
internasional, sekolah efektif atau
sekolah unggul. Sehubungan dengan ide
persekolahan modern, dapat diketahui
bahwa dalam kehidupan modern muncul
berbagai fenomena yang bisa
mengancam kehidupan manusia yang
terdiri dari virus akal budi, krisis
spiritual, tantangan globalisasi, dan
paradoks kehidupan (Belferik
Manullang, 2006: 9 – 18). Virus akal
budi merupakan suatu kekuatan yang
mengganggu pola pikir, sehingga sadar
26Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
atau tidak sadar cenderung menghasilkan
tindakan merusak tatanan hidup manusia.
Selain itu juga terjadi krisis spiritual para
pekerja dan pemimpin organisasi yang
mengutamakan kepentingan pribadi
dengan mengorbankan kepentingan
lembaga.
Fenomena lain yang menjadi
realita dalam kehidupan modern adalah
paradoks kehidupan, yang mana semakin
banyak gedung-gedung yang tinggi ,
semakin sedikit orang yang memiliki
kesabaran yang tinggi, dan semakin
banyak orang yang berpengetahuan,
semakin sedikit orang yang memiliki
kearifan. Gejala tersebut
menggambarkan bahwa lulusan lembaga
pendidikan belum memiliki karakter
yang dibutuhkan organisasi di mana
mereka membangun kemitraan.
Secara rinci dikemukakan bahwa
meskipun telah dilakukan berbagai upaya
dalam dunia pendidikan guna
menghasilkan lulusan yang mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, namun muncul keluhan
pelanggan tersier, yaitu pihak pengguna
lulusan yang mengemukakan bahwa
lulusan lembaga pendidikan kurang
memiliki soft skills, antara lain : kurang
tangguh, kurang jujur, cepat bosan, tidak
bisa bekerja sama, dan minim
kemampuan berkomunikasi (Martua
Manullang, 2009 : 1).
Sehubungan dengan itu dijelaskan
bahwa budaya organisasi yang disebut
sebagai budaya sekolah merupakan
faktor yang paling penting dalam
membentuk peserta didik menjadi
manusia yang penuh optimis, berani
tampil, berperilaku kooperatif, dan
memiliki kecakapan personal dan
akademik (Direktorat Tenaga
Kependidikan 2, 2007 : 2).
Oleh karena itu, dalam rangka
rangka meningkatkan mutu, relevansi,
dan daya saing lulusan lembaga
pendidikan perlu dilakukan kajian
tentang pengembangan budaya organisasi
menuju sekolah unggul.
PEMBAHASAN
Budaya Organisasi Sekolah (Budaya Sekolah)
Secara etimologis dapat diketahui
bahwa budaya (colere) dan organisasi
(organum) berasal dari bahasa Latin,
yang mana colere berarti membajak
tanah, dan organum berarti alat, bagian,
anggota badan.
Budaya adalah keseluruhan nilai-
nilai, norma, filsafat, peraturan, pola
perilaku, benda hasil karya dalam bentuk
artefak atau produk, dan asumsi dasar
yang dibentuk serta diberlakukan oleh
sekelompok manusia.
27Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Budaya organisasi didefinisikan
sebagai ”... the body of solution to
external and internal problems that has
worked consistently for a group and that
is therefore taught to new members as
the correct way to perceive, think about
and feel in relation to those problem …”
(R.G.Owen , 1991 : 135). Berdasarkan
definisi di atas dapat diketahui bahwa
budaya organisasi dinyatakan sebagai
bentuk solusi masalah eksternal dan
internal yang dilakukan secara konsisten
bagi suatu kelompok dan oleh karena itu
diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara yang benar dalam
merasakan, memikirkan dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Budaya organisasi mengacu ke sistem
makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dari organisasi-organisasi
lain (Stephen P.Robbins, and Timothy
A.Judge, 2009 : 585). Sistem makna
bersama dimaksudkan adalah
seperangkat karakteristik utama yang
dihargai oleh organisasi itu. Budaya
organisasi adalah suatu wujud anggapan
yang dimiliki, diterima secara implisit
oleh kelompok dan menentukan
bagaimana kelompok tersebut merasa,
berpikir, dan bereaksi terhadap
lingkungannya yang beraneka ragam
(E.H.Schein, 1996 : 236).
Budaya organisasi merupakan
pengendali sosial dan pengatur jalannya
organisasi atas dasar nilai dan keyakinan
yang dianut bersama, sehingga menjadi
norma kerja kelompok (Nevizond
Chatab, 2007 : 10 – 11). Secara rinci
budaya organisasi didefinisikan sebagai
norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan,
filsafat, kebiasaan organisasi, yang
dikembangkan dalam waktu yang lama
oleh pendiri, pemimpin, dan anggota
organisasi yang disosialisasikan dan
diajarkan kepada anggota baru serta
diterapkan dalam aktivitas organisasi
sehingga memengaruhi pola pikir, sikap,
dan perilaku anggota organisasi dalam
memproduksi produk, melayani para
konsumen, dan mencapai tujuan
organisasi (Wirawan, 2007 : 10).
Berkaitan dengan uraian di atas
dapat dikemukakan bahwa budaya
organisasi meliputi artefak dan produk,
asumsi dasar, serta nilai dan norma yang
dijadikan sebagai pedoman berperilaku
dan pemecahan masalah yang dihadapi.
Dalam lingkup tatanan dan pola
yang menjadi karakteristik sekolah,
budaya organisasi sekolah memiliki
dimensi yang menjadi ciri budaya
sekolah, yaitu: (1) tingkat tanggung
jawab, dan kebebasan personil sekolah
maupun komite sekolah dalam
berinisyatif; (2) tingkat sejauh mana
28Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
personil sekolah dianjurkan dalam
bertindak progresif, inovatif, dan berani
mengambil resiko; (3) tingkat sejauh
mana sekolah menciptakan dengan jelas
visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan
upaya mewujudkannya; (4) tingkat
sejauh mana unit-unit sekolah didorong
untuk bekerja dengan cara yang
terkoordinasi; (5) tingkat sejauh mana
kepala sekolah memberi informasi yang
jelas, bantuan serta dukungan terhadap
personil sekolah; (6) jumlah pengaturan
dan pengawasan langsung yang
digunakan untuk mengawasi dan
mengendalikan perilaku personil sekolah;
(7) tingkat sejauh mana personil sekolah
mengidentifikasi dirinya secara
keseluruhan dengan sekolah ketimbang
kelompok kerja tertentu atau bidang
keahlian profesional; (8) tingkat sejauh
mana alokasi imbalan diberikan
berdasarkan prestasi; (9) tingkat sejauh
mana personil sekolah didorong untuk
mengemukakan kritik secara terbuka;
dan (10) tingkat sejauh mana komunikasi
antar personil sekolah dibatasi oleh
hierarkhi formal (Stephen P.Robbins
dalam Direktorat Tenaga Kependidikan
3, 2007 : 7 – 8).
Berdasarkan uraian di atas dapat
diketahui bahwa budaya organisasi
sekolah meliputi nilai-nilai, kepercayaan,
norma, dan aturan yang diterima serta
dilaksanakan personil sekolah, sehingga
mencerminkan sikap dan perilaku
personil sekolah , baik secara individual,
kelompok, dan organisasi.
Sekolah Efektif
Sekolah adalah suatu organisasi
sosial yang memberikan layanan
pendidikan kepada masyarakat guna
dapat mewujudkan manusia seutuhnya.
Efektivitas sekolah menujuk kepada
derajat pencapaian sekolah terhadap
tujuan yang seyogyanya dicapai.
Sehubungan dengan itu, dijelaskan
bahwa keefektifan organisasi adalah
derajat di mana organisasi mencapai
tujuannya (Amitai Etzioni, 1964 : 187).
Efektivitas organisasi menunjukkan
ketercapaian sasaran/tujuan organisasi
yang telah ditetapkan, kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan, dan
kemampuan bertahan untuk tetap hidup.
Ada dua model pendekatan yang
dapat digunakan untuk untuk
menentukan sekolah yang unggul atau
sekolah efektif, yaitu : (1) model
pendekatan tujuan; dan (2) model
pendekatan proses. Model pendekatan
tujuan memandang bahwa sebuah
sekolah efektif, jika dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yang mana
tingkat pencapaian tersebut ditandai
dengan prestasi lulusan sekolah.
Selanjutnya, model pendekatan proses
29Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
memandang sebuah sekolah efektif, jika
memiliki konsistensi internal, efisiensi
penggunaan sumber daya yang baik, dan
mekanisme kerja yang baik.
Sehubungan dengan itu,
dikemukakan bahwa sekolah efektif
adalah sekolah yang menetapkan
keberhasilan pada input, proses, output,
dan outcome yang ditandai dengan
berkualitasnya komponen-komponen
sistem tersebut (Aan Komariah dan Cepi
Triatna, 2008 : 28). Hasil penelitian
Koster mengidentifikasi variabel sekolah
efektif adalah (1) input dengan
subvariabel karakteristik sekolah,
karakteristik guru, dan karakteristik
peserta didik; (2) proses dengan
subvariabel kepuasan guru, iklim
sekolah, dan partisipasi orang tua; dan
(3) outcome dengan subvariabel hasil
belajar, dan konsep diri peserta didik
(Koster dalam Aan Komariah dan Cepi
Triatna, 2008 : 50-51). Selanjutnya,
dapat dijelaskan bahwa asas terpenting
yang menjadi landasan pengelolaan
pendidikan menuju sekolah efektif
adalah pernyataan bahwa semua anak
dapat belajar. Sekolah yang dapat
membuat semua anak dapat belajar
memiliki perilaku (1) memberdayakan
sumber daya manusia seoptimal
mungkin; (2) memfasilitasi warga
sekolah untuk belajar terus-menerus; (3)
memberikan tanggung jawab kepada
warganya; (4) mendorong adanya tim
kerja sama yang kompak ; (5)
mendorong warganya untuk berpikir
sistem; (6) mendorong kemandirian
setiap warganya; (7) menanggapi dengan
cepat tuntutan pelanggan; (8) mengajak
warganya siap menghadapi perubahan;
(9) mengajak warganya menjadikan
sekolahnya berfokus pada pelanggan;
(10) mengajak warganya memiliki
komitmen yang tinggi terhadap
keunggulan kualitas; (11) mengajak
warganya untuk melakukan perbaikan
secara terus-menerus; (12) melibatkan
semua warganya dalam penyelenggaraan
sekolah. Ciri-ciri sekolah efektif meliputi
(1) tujuan sekolah dinyatakan secara jelas
dan spesifik; (2) pelaksanaan
kepemimpinan yang kuat oleh kepala
sekolah; (3) ekspektasi guru dan staf
tinggi; (4) ada kerja sama kemitraan
antara sekolah, orang tua, dan
masyarakat; (5) adanya iklim yang positif
dan kondusif bagi peserta didik untuk
belajar; (6) kemajuan peserta didik sering
dimonitor; (7) menekankan kepada
keberhasilan peserta didik dalam
mencapai keterampilan aktivitas yang
esensial; dan (8) komitmen yang tinggi
dari sumber daya manusia sekolah
terhadap program pendidikan (Aan
Komariah dan Cepi Triatna, 2008 : 37-
30Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
39). Sekolah efektif menunjuk kepada
lima karakteristik, yakni: (1) harapan
yang tinggi dari keefektifan pengajaran;
(2) kepemimpinan instruksional yang
kuat oleh kepala sekolah; (3) iklim yang
teratur, tenang, dan berorientasi kerja
sekolah; (4) melaksanakan kegiatan
administrasi keuangan dan akademik,
dan (5) pemantauan ats kemajuan belajar
peserta didik (Direktorat Tenaga
Kependidikan 1, 2007 : 96-97).
Karakteristik organisasi sekolah efektif
tersebut didasarkan pada pendekatan
internal , yang mana ukuran keefektifan
berfokus pada proses pengelolaan semua
program sekolah secara efektif dan
efisien. Sehubunga dengan itu,
dikemukakan bahwa karakteristik
organisasi sekolah efektif menurut hasil
penelitian Purkey dan Smith didasarkan
pada 13 ( tiga belas) indikator organisasi
efektif, yakni: (1) fokus manajemen
didasarkan pada kapabilitas sekolah; (2)
kepemimpinan yang kuat; (3) stbilitas
staf; (4) konsensus tujuan; (5)
pengembangan dan pembinaan staf
sekolah; (6) dukungan orangtua; (7) hasil
akademik yang berkualitas; (8)
penggunaan waktu yang efektif; (9) ada
dukungan kuat dari pemerintah daerah;
(10) hubungan kolegial danperencanaan;
(11) komitmen organisasi; (12) tujuan
yang jelas dan harapan yang tinggi di
sekolah; dan (13) aturan yang baik dan
kuat ( Purkey dan Smith dalam
Direktorat Tenaga Kependidikan 1, 2007
: 98). Selanjutnya, dijelaskan bahwa
indikator kepemimpinan sekolah yang
efektif meliputi; (1) penerapan
pendekatan partisipatif dan demokratis;
(2) menyiapkan waktu untuk
berkomunikasi dengan warga sekolah;
(3) menekankan kepada guru dan staf
untuk memenuhi norma pembelajaran;
(4) memantau kemajuan belajar siswa via
guru; (5) aktif melakukan pertemuan
dengan warga sekolah tentang topik
aktual; (6) dana dialokasikan sesuai
prioritas yang ditentukan; (7) melakukan
kunjungan kelas; (8) peka terhadap
kebutuhan guru, staf, peserta didik, dan
warga sekolah; (9) menunjukkan sikap
dan perilaku sebagai model teladan; (10)
mengarahkan inovasi organisasi; (11)
akuntabel, transparan, dan profesional di
bidang keuangan; (12) membangun
kelompok kerja aktif; (13) memiliki
komitmen terhadap penjaminan mutu
sekolah; (14) memberikan ruang
pemberdayaan sekolah (Direktorat
Tenaga Kependidikan 1, 2007 : 102).
Dari indikator kepemimpinan di atas
dapat diketahui bahwa kepemimpinan
yang efektif membuat sekolah efektif,
dan sebaliknya kepemimpinan yang tidak
31Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
efektif membuat sekolah gagal
mewujudkan visi, misi, dan tujuannya.
Secara rinci dijelaskan bahwa
kriteria sekolah efektif adalah : (1)
mempunyai standar kerja yang tinggi dan
jelas bagi peserta didik; (2) mendorong
aktivitas, pemahaman multi budaya,
kesetaraan gender, dan mengembangkan
secara tepat pembelajaran berdasarkan
standar potensi yang dimiliki peserta
didik; (3) menerapkan metode
pembelajaran yang berakar pada
penelitian pendidikan; (4) mendorong
peserta didik bertanggung jawab dalam
belajar dan berbuat; (5) memiliki harapan
yang tinggi kepada semua staf; (6)
mempunyai instrumen evaluasi dan
penilaian prestasi belajar; (7) membuat
keputusan yang demokratis dan
akuntabilitas; (8) mengorganisakan
sekolah untuk mendukung kegiatan
pembelajaran; (9) menciptakan rasa
aman, sifat saling menghargai, dan
mengakomodasi lingkungan secara
efektif; (10) melibatkan keluarga
membantu peserta didik untuk mencapai
sukses; dan (11) bekerja sama dengan
masyarakat dan pihak terkait lainnya
(Danim, 2006 : 62).
Berdasarkan uraian di atas dapat
diketahui bahwa sekolah efektif adalah
sekolah yang melakukan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian semua sumber daya
pendidikan untuk menjamin semua
peserta didik belajar, sehingga tercapai
tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Hubungan Budaya Organisasi dengan
Keefektifan Sekolah
Keefektifan sekolah menunjuk
kepada kesesuaian hasil yang dicapai
dengan tujuan yang ditetapkan.
Sehubungan dengan itu, dijelaskan
bahwa efektivitas adalah melakukan
segala sesuatu yang benar atau
menyelesaikan kegiatan-kegiatan
sehingga sasaran organisasi dapat
tercapai (Stephen P.Robbins and Mary
Coulter, 2007 : 39). Efektivitas sekolah
menunjuk kepada tingkat kesesuaian
antara hasil yang dicapai dengan hasil
yang diharapkan berupa sasaran atau
tujuan yang telah digariskan.
Keefektifan sekolah terkait dengan
jumlah dan kualitas lulusan yang
diharapkan dalam kurun waktu tertentu
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Sekolah yang efektif dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki hard skills dan
soft skills yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pengguna. Untuk menjadikan
sekolah efektif, perlu dilakukan
pengembangan budaya organisasi
sekolah yang mendukung terhadap
pencapaian tujuan sekolah.
32Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Budaya organisasi sekolah
meliputi nilai-nilai, kepercayaan, norma,
dan aturan yang diterima serta
dilaksanakan personil sekolah, sehingga
mencerminkan sikap dan perilaku
personil sekolah , baik secara individual,
kelompok, dan organisasi. Adapun
budaya organisasi sekolah yang
diharapkan tumbuh pada sekolah efektif
adalah budaya yang mampu memberikan
karakteristik utama pada perlakuan
sekolah terhadap peserta didik agar dapat
mencintai pelajaran , sehingga mereka
memiliki motivasi belajar yang tinggi
secara terus-menerus. Untuk
mengembangkan budaya organisasi
sekolah yang kuat, perlu dibina rasa
saling percaya, rasa memiliki sekolah,
dan rasa kebersamaan yang menciptakan
perasaan sebagai satu keluarga yang
memiliki tujuan yang sama.
Pengembangan budaya organisasi
sekolah memiliki manfaat sebagai
berikut: (1) menjamin kualitas kerja yang
lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan
komunikasi, baik secara vertikal maupun
secara horizontal; (3) membuat sekolah
lebih terbuka dan trasparan; (4)
menciptakan kebersamaan dan rasa
memiliki yang tinggi; (5) meningkatkan
solidaritas dan rasa kekeluargaan; (6) jika
menemukan kesalahan akan segera
diperbaiki; (7) dapat beradaptasi dengan
baik terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; (8)
meningkatkan kepuasan kerja; (9)
membuat pergaulan lebih akrab; (10)
meningkatkan disiplin; (11)
meminimalisasi pengawasan fungsional;
(12) memunculkan keinginan berbuat
secara proaktif; (13) meningkatkan
kegiatan belajar dan prestasi; dan (14)
menjadikan keinginan untuk selalu
memberikan yang terbaik bagi sekolah,
keluarga , orang lain, dan diri sendiri
(Direktorat Tenaga Kependidikan 3,
2007 :12-13). Pengembangan budaya
organisasi sekolah dapat dilakukan
melalui tim khusus dengan melibatkan
semua warga sekolah, kemudian
ditetapkan menjadi kebijakan sekolah
sebagai strategi dalam meningkatkan
keefektifan sekolah. . Kebijakan
pengembangan budaya tersebut
disosialisasikan kepada warga sekolah ,
orang tua, dan pihak terkait lainnya
untuk dipahami, disetujui, dan diikuti
sebagai aturan sekolah. Selanjutnya,
diimplementasikan dan dievaluasi untuk
mengetahui kesesuaiannya dengan tujuan
yang diharapkan, kemudian
membicarakannya dengan pihak terkait
guna mendapat masukan dalam rangka
perbaikan sebagai tindak lanjut
pengembangan budaya organisasi
menuju sekolah efektif.
33Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Prinsip-prinsip yang menjadi
acuan dalam pengembangan budaya dan
iklim sekolah adalah sebagai berikut: (1)
berfokus pada visi, misi, dan tujuan
sekolah; (2) penciptaan komunikasi
formal dan informal; (3) inovatif dan
bersedia mengambil resiko; (4) memiliki
strategi yang jelas; (5) berorientasi
kinerja; (6) sistem evaluasi yang jelas;
(7) memiliki komitmen yang kuat; (8)
keputusan berdasarkan konsensus; (9)
sistem imbalan yang jelas; dan (10)
evaluasi diri (Direktorat Tenaga
Kependidikan 3, 2007 : 16-18).
Selanjutnya, asas-asas pengembangan
budaya dan iklim sekolah adalah kerja
sama tim, kemampuan, keinginan,
kegembiraan, hormat, jujur,
disiplin,empati, pengetahuan dan
kesopanan (Direktorat Tenaga
Kependidikan 3, 2007 : 18-21).
Pengembangan budaya organisasi
sekolah sebagai suatu kebijakan
melibatkan semua warga sekolah guna
menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi,
pengambilan keputusannya melalui
kesepakatan yang bersifat demokratis,
dan berdampak pada peningkatan
keefektifan sekolah yang ditandai dengan
kesesuaian mutu lulusan dengan mutu
yang diharapkan.
PENUTUP
Pengembangan budaya organisasi
sekolah bertujuan untuk menciptakan
kebiasaan-kebiasaan yang positif dalam
sikap dan perilaku warga sekolah dan
pihak pelanggan lainnya dalam rangka
meningkatkan keefektifan sekolah.
Sekolah yang memiliki budaya
organisasi yang baik menjadikan guru
memiliki komitmen organisasi, motivasi
kerja, dan kinerja yang tinggi; dan
peserta didik memiliki komitmen
organisasi, motivasi belajar, dan
kerajinan belajar yang tinggi. Adanya
komitmen organisasi, motivasi kerja, dan
kinerja yang tinggi dari guru yang
disertai dengan komitmen organisasi,
motivasi belajar, dan kerajinan belajar
yang tinggi dari peserta didik akan
menyebabkan peningkatan prestasi
belajar. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi
yang baik merupakan faktor penting yang
dapat meningkatkan keefektifan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Aan Komariah dan Cepi Triatna. 2008.Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta : Bumi Aksara
Danim, S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah : Dari Unit Borikrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta : Bumi Aksara.
Direktorat Tenaga Kependidikan 1. 2007. Perubahan dan Pengembangan Sekolah Menengah sebagai
34Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Organisasi Belajar yang Efektif. Jakarta :Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Tenaga Kependidikan 2. 2007. Budaya Mutu Sekolah Dasar. Jakarta :Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Tenaga Kependidikan 3. 2007. Pengembangan Budaya dan IklimPembelajaran di Sekolah. Jakarta : Departemen PendidikanNasional.
Etzioni, Amitai. 1964. Modern Organizational. New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Manullang, Belferik. 2006. Kepemimpinan Pedagogis (Membangun Karakter Sumber Daya Manusia). Medan : Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
Manullang, Martua. 2009. Implementasi Soft Skills dalam Pembelajaran. Medan : Politeknik MBP Medan.
Nevizond Chatab. 2007. Profil Budaya Organisasi. Bandung : Alfabeta.
Owen, Robert G. 1991. Organizational Behavior in Education. Boston : Allyn and Bacon.
Robbins, Stephen P and Mary Coulter. 2007. Management. New Jersey : Pearson Education, Inc.
Robbins, Stephen P and Timothy A.Judge. 2009. Organizational Behavior. New Jersey : Pearson Education, Inc.
Schein, Edgar H. 1996. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco : Jossey Bass Publisher.
Wirawan. 2007. Budaya dan Iklim Organisasi. Teori Aplikasi dan Penelitian.Jakarta : Salemba Empat.
35Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
PENGARUH PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING TIPE TANDUR UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK
DINAMIKA GERAK LURUS DI KELAS XSMA NEGERI 17 MEDAN
Oleh:
Betty M. Turnip
Abstract
The low student learning outcomes for teaching in the school system is still centered on teachers, theoretical, lecture, so that poses a one-sided learning. This study aims to determine the type of teaching quantum impact on the results of graft student learning in subject matter dynamics in the class X straight SMA Negeri 17 Medan TP2006/2007. The population in this study are all students of class X SMA Negeri 17 Medan TP2006/2007, which consists of 9 classes with 360 students total. The sampling technique with random cluster sampling, a total of two classes of quantum learning X6 given teaching graft type (experimental class) and class X2 dieri learning without teaching quantum graft type (control class) instrument was used in the test subject matter dynamics straight as much as 20 about valid and reliable option with 5 answers. Results of data analysis found that the average pretest value learning students who are given teaching quantum of 27.50 and the posttest average value 72.50 while the average value of the pretest students who were given conventional learning at 23.25 and the average value posttest of 60.25. data in the two groups of normal distribution and variance classes both groups of homogeneous samples. Hypothesis testing is based on t test, t = 5.093 obtained prices while prices on dk table = n2 = n1 + - 2 = 40 + 40 - 2 = 78 and standard pricing obtained t table = 1.986 thus obtained t calculation = 5.093> = 1.986 which t table Ha declared acceptable and reject H0, which means there is significant influence of quantum learning teaching graft type on student learning outcomes on the dynamics of the subject matter straight in the class X SMA Negeri 17 Medan TP2006/2007Key words:, teaching quantum, type of graft, learning outcomes,dynamics matter straight
PENDAHULUAN
Rendahnya hasil belajar siswa
karena sistem pembelajaran di sekolah
masih berpusat pada guru, teoritis,
ceramah sehingga proses pembelajaran
cenderung sepihak , seperti pendapat dari
Gunawan (2004 : 86). Guru mengajar
menggunakan media papan tulis (visual)
mengerjakan mencatat (visual)
mengerjakan tugas tertulis (visual). Hal
ini dapat kita lihat dari hasil evaluasi
setia akhir semesternya dengan
mengevaluasi nilai pelajaran fisika dari
nilai US (ujian sekolah) SMA Negeri 17
Medan T.P.2005/2006 dan menurut
kepala sekolah tersebut yaitu bapak
Drs.Karbin Tarigan, M.pd diketahui nilai
rata-rata fisika 6,36 sedangkan nilai rata-
rata matematika, biologi, kimia, bahasa
inggris 8,21. dilihat dari komunikasi
yang satu arah, dalam hal ini sangatlah
diperlukan model pembelajaran yang
lebih tepat dan salah satunya dengan
menggunakan pembelajaran quantum
36Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
teaching. Karena kuantum teaching
mempunyai banyak bagian maka menjadi
batasannya, cukup menggunakan tipe
tandur. Belajar dari segala defenisinya
adalah full-contact ( kegiatan yang saling
memberi umpan balik). Tindakan
memimpin ,menuntun, akan
memudahkan menuju kesadaran dan ilmu
pengetahuan yang lebih luas. Belajar
melibatkan semua aspek kepribadian
semua manusia ,pikiran,perasaan dan
bahasa tubuh, disamping pengetahuan
sikap dan keyakinan serta mengajar
adalah hak yang harus diraih dan
diberikan oleh siswa. Quantum teaching
adalah pembelajaran strategi
menciptakan lingkungan yang efektif ,
merancang kurikulum, menyampaikan isi
dan memudahkan belajar sehingga
menjadi menyenangkan. Tandur
merupakan singkatan dari kata
Tumbuhkan , Alami , Namai ,
Demonstrasikan , Ulangi dan Rayakan.
Model pembelajaran ini memastikan
siswa mengalami pembelajaran, berlatih
menjadikan isi pelajaran nyata bagi
siswa. Bobbi (2000:88) menyatakan
bahwa : ”apapun mata pelajaran, tingkat
kelas atau pendengar , kerangka ini
menjamin siswa menjadi tertarik dan
berminat pada setiap pelajaran” . Metode
pembelajaran quantum teaching ini juga
pernah dilakukan Sugiarto (2006:30)
yang diterapkan dikelas X semester
1(satu) SMA Istiqlal Deli Tua T.A
2005/2006 Dengan Materi Pokok Tata
Surya. Besarnya peningkatan hasil
belajar siswa menggunakan pembelajaran
quantum teaching diperoleh sebesar 15
%, hal ini dapat dilihat dari rata-rata
postes siswa kelas eksperimen sebesar 69
dan kelas kelas kontrol sebesar 60 atau
selisih sebesar 9 ini disebabkan
kurangnya penguasaan rancangan
quantum teaching. Berdasarkan uraian
diatas maka penulis terdorong untuk
melakukan penelitian dengan judul
”Pengaruh Pembelajaran Quantum
Teaching Tipe Tandur Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada
Materi Pokok Dinamika Gerak Lurus di
Kelas X SMA Negeri 17 T.P.2006/2007”
Identifikasi Masalah
Proses belajar mengajar berpusat
pada guru dan teoritis, kurang tepatnya
metode pembelajaran yang digunakan
oleh guru, kurangnya motivasi siswa
dalam mengikuti pelajaran dikelas dan
rendahnya hasil belajar siswa.
Batasan masalah
Mengorkestrasi Suasana Yang
Terpendam , Mengorkestrasi Landasan
Yang Kukuh, Mengorkestrasi
perancangan pengajaran yang dinamis
(tandur), Mengorkestrasi Prestasi Prima,
Mengorkestrasi Fasilitas Yang Luwes,
37Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Mengorkestrasi keterampilan belajar
untuk belajar, Mengorkestrasi
Keterampilan Hidup, Mengorkestrasi
Kesuksesan Melalui Praktik,pada pokok
bahasan dinamika gerak lurus.
Rumusan masalah
Bagaimana hasil belajar siswa
pada materi pokok dinamika gerak lurus
sebelum dan sesudah pembelajaran
dengan menggunakan pembelajaran
quantum teaching tipe tandur di kelas X
SMA Negeri 17 Medan T.P.2006/2007?
Adakah pengaruh yang signifikan akibat
pembelajaran quantum teaching type
tandur terhadap hasil belajar siswa di
kelas X SMA Negeri 17 Medan
T.P.2006/2007?
Tujuan
untuk mengetahui hasil belajar
siswa pada materi pokok dinamika gerak
lurus sebelum dan sesudah pembelajaran
dengan menggunakan pembelajaran
quantum teaching tipe tandur di kelas X
SMA Negeri 17 Medan T.P.2006/2007?
Mengetahui pengaruh pembelajaran
quantum teaching type tandur terhadap
hasil belajar siswa di kelas X SMA
Negeri 17 Medan T.P.2006/2007?
Manfaat penelitian
Sebagai informasi bagi guru
fisika dan salah satu alternatif model
pembelajaran yang dapat dipilih dalam
pembelajaran
Anggapan Dasar
Pembelajaran quantum teaching
tipe tundur dilakukan nilai hasil belajar
siswa di kelas X SMA Negeri 17 Medan
T.P.2006/2007 bervariasi.
METODE PENELITIAN.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan
(dilaksanakan) di SMA Negeri 17 Medan
dan waktu penelitiannya T.P.2006/2007
semester satu di kelas X.
Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
X SMA Negeri 17 Medan sebanyak 9
kelas,dimana setiap kelas terdiri dari 40
orang siswa sehingga populasi
seluruhnya berjumlah 360
orang.sedangkan sampel terdiri dari 80
orang dari kelas X6 dan X2. Pada sampel
X6 yang diberi pembelajaran quantum
teaching tipe tandur (kelas eksperimen)
dan X2 sebagai kelas kontrol ,teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan
cara cluster random sampling.
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini
adalah ada dua jenis yaitu variabel bebas
dan variabel terikat.Sebagai varibel bebas
adalah pembelajaran kuantum teaching
tipe tandur, sebagai variabel terikatnya
38Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
adalah hasil belajar pada Materi Pokok
Dinamika Gerak Lurus.
Desain Penelitian
Adapun desain penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Tabel 1.Desain penelitian(two group-pretes-postes design)
SAMPEL PRETES PERLAKUAN POSTESKELAS EKSPERIMEN T.1 X T.2KELAS KONTROL T.1 O T.2
Keterangan : X = Pembelajaran quantum teaching tipe tandur
O = Pembelajaran tanpa quantum teaching tipe tandur
T.1 = Pretes
T.2 = Postes
Instrument Penelitian
Alat pengumpulan data pada
penelitian ini adalah tes obyektif yang
berjumlah 20 (dua puluh) soal dan
dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu:
pretes(tes awal) dan postes (tes akhir).
Validitas Isi
Valaditas yang digunakan adalah
valaditas isi (content validity) yang
berdasarkan kurikulum , buku pegangan
guru dan siswa dan dituangkan dalam
bentuk table spesifikasi.yng dapat diuji
menggunakan rumus yang dikemukakan
oleh Arikanto (1999:72) yaitu :
}2222 )(}{)({
))((
YYNXXN
YXXYNrxy
Keterangan :
rxy = koefisien korelasi antara variable
X dan variable Y , dua variable
yang dikorelasikan
X = skor nomor item
Y = skor total
N = jumlah subjek
Reliabilitas Tes
Untuk menguji reliabilitas dapat
menggunakan rumus varian yaitu :
)1(
)( 22
NN
XiXiNSD
Keterangan :
S = varians
X2 = jumlah kuadrat X
X = skor nomor item
N = jumlah subjek
39Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Tingkat Kesukaran (TK) dan Daya Pembeda (DP)
Rumus untuk menghitung taraf kesukaran yaitu :
JS
BP
dengan : P = indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang
menjawab soal dengan betul
JS = jumlah seluruh siswa
peserta tes
Menurut Arikunto, ketentuan
yang sering diikuti, indeks kesukaran
sering diklasifikasikan sebagai berikut
soal dengan P 0,00 sampai 0,30 adalah
soal sukar, soal dengan P 0,30 sampai
0,70 adalah soal sedang, soal dengan P
0,70 sampai 1,00 adalah soal mudah.
Soal yang dianggap baik, yaitu soal yang
sedang adalah soal – soal yang
mempunyai indeks kesukaran 0,30
sampai 0,70. Sedangkan untuk mencari
tarif daya pembeda digunakan rumus
sebagai berikut :
PBPAJB
BB
JA
BAD
Keterangan :
BA = banyaknya kelompok atas yang
menjawab item dengan benar
BB = banyaknya kelompok bawah yang
menjawab item dengan benar
JB = jumlah peserta kelompok bawah
JA = jumlah peserta kelompok atas
D = indeks daya pembeda
PA = proporsi peserta kelompok atas
yang menjawab benar
PB = proporsi peserta kelompok bawah
yang menjawab benar
Butir-butir soal yang baik adalah
butir-butir soal yang mempunyai indeks
diskriminasi 0,4 sampai 0,7. Klasifikasi
daya pembeda :
D : 0,00 – 0,20 = jelek
D : 0.21 – 0,40 = cukup
D : 0,41 – 0,70 = baik
D : 0,71 – 1,00 = sangat baik
Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini dikategorikan
dalam penelitian eksperimen. Jenis
desain penelitian ini adalah desain yang
menggunakan pre tes dan pos tes.
Diagram dari desain tersebut adalah :
Tabel 2.Rancangan Penelitian
Kelas Pre Test Perlakuan Post TestEksperiment P1 X1 P2Kontrol P 1 X2 P2
40Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Keterangan :
P1 = Pre Tes X1 =
Pembelajaran kooperatif tipe TPS
P2 = Pos Tes X2 =
Pembelajaran dengan pendekatan
konvensional
Prosedur Penelitian.
Untuk melaksanakan penelitian
ini ditempuh langka-langkah sebagai
berikut : Tahap Persiapan : menyusun
jadwal penelitian, membuat RP dan LKS,
menyiapkan tes, Tahap Pelaksanaan :
menentukan kelompok eksperiment dan
kelompok pembanding (kontrol) ,
memberikan pre tes kepada kedua
kelompok untuk mengetahui kondisi
awal sampel , mengajarkan materi ,
memberikan pos tes kepada kedua
kelompok, Tahap Pengolahan Data :
langkah-langkah yang dilakukan peneliti
yaitu mentabulasi data , menghitung nilai
rata-rata dan standart deviasi , uji
normalitas , uji homogenitas , dan uji
hipotesis.
Teknik Analisa Data
- Menghitung jumlah skor untuk tiap
kelompok
Untuk menghitung rata – rata
skor dapat menggunakan rumus yaitu :
N
XX i
Keterangan : X = rata – rata skor
∑ Xi = jumlah skor
N = jumlah sample
- Menghitung standar deviasi
Dapat menggunakan rumus
berikut :
)1(
)( 22
NN
XiXiNSD
- Menguji Normalitas Data
Untuk menguji kenormalan data
digunakan uji liliefors dengan langkah –
langkah sebagai berikut :
- mencari bilangan baku dengan rumus :
S
XXiZi
- untuk setiap bilangan baku dengan
menggunakan daftar distribusi normal
baku, kemudian dihitung peluang F(Zi)
= P(Z≤Zi)
- menghitung proporsi
Z1,Z2,……………,Zn yang lebih kecil
atau sama dengan Z4.
N
ZniyangbanyaknyaZZiS
)(
- Menghitung selisih F(Z4)-S(Z4)
kemudian menetapkan harga
mutlaknya.
- Mengambil harga mutlak yang paling
besar diantara harga mutlak selisih
tersebut, harga terbesar ini disebut Lo
atau Lhitung. Membandingkan Lo
dengan harga Ltable (α = 0,05).
- Menguji Homogenitas
41Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Uji homogenitas bertujuan untuk
melihat kedua kelompok yang diuji
memiliki kemampuan dasar yang sama
apakah data mempunyai kesamaan
variansnya dan menggunakan
kesamaan uji statistic F dengan rumus:
dimana : S12 = varians dari kelompok
eksperimen, S22 = varians dari
kelompok kontrol
22
21
S
SF
- Menguji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis digunakan
rumus uji t yaitu :
21
2
r
Nrt
Dengan
}2222 )(}{)({
))((
YYNXXN
YXXYNrxy
dimana :
r = koefisien antara variable X dan
variable Y, dua variable yang
dikorelasikan.
N = jumlah sampel kelas eksperiment
X = nilai rata – rata kerja kelompok
Y = nilai pos tes
Hasil dan Pembahasan
Setelah dilakukan uji coba tes
hasil belajar yang akan digunakan
sebagai instrument penelitian, sebanyak
20 butir soal yang seluruhnya dinyatakan
valid. Dengan demikian sebanyak 20
butir soal dipakai sebagai alat
pengumpulan data hasil belajar fisika
siswa pada materi pokok dinamika gerak
lurus dan mempunyai realiabilitas yang
tinggi. Data tes awal kedua kelompok
dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 3. Data Pretes Kelas Eksperimen Dan Kelas Kontrol
KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROL
Nilai pretes
F Rata rata Nilai pretes F Rata-rata
15202530354050
4 7 9 10 7 2
1
27,50
10152025303540
16
1410
52
2
23,25
JUMLAH 40 JUMLAH 40
42Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Berdasarkan tabel diatas dapat
dilihat bahwa rata-rata tes awal siswa
kelas eksperimen sebesar 27,50 dengan
nilai tertinggi 50 dan terendah 15,
sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh
kelas rata-rata sebesar 23,25 dengan nilai
tertinggi 40 dan terendah 10. Setelah
pembelajaran diberikan kepada kedua
kelompok siswa dimana kelompok
eksperimen diberi pembelajaran quantum
teaching tipe tandur sedangkan kelompok
kontrol diberi pembelajaran tanpa
quantum teaching tipe tandur,
selanjutnya dilakukan tes akhir (postes)
pada akhir pertemuan , data tes akhir dari
kedua kelompo dapat di lihat pada tabel
dibawah ini.
TABEL 4. Perbandingan kelas kontrol dan kelas eksperimen
KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROLNilai pretes F Rata-rata Nilai pretes F Rata-rata
505560657075808590
2 2 2 7 5 7
8
6 1
72,50
35404550556065707580
12
26
48
4751
60,25
JUMLAH 40 JUMLAH 40
Berdasarkan tabel diatas
diperoleh rata-rata nilai postes siswa
untuk kelas eksperimen sebesar 72,50
dengan nilai terendah 50 dan tertinggi 90,
sedangkan rata-rata pestes siswa kelas
kontrol sebesar 60,25 dengan nilai
terendah 35 dan tertinggi 80. sebelum
pengujian homogenitas data dan
normalitas data harus memenuhi
beberapa persyaratan, dimana pengujian
homogenitas itu dilakukan untuk
mengetahui apakah sampel yang
digunakan dalam penelitian homogen apa
tidak, artinya aakah sampel yang
digunakan dalam penelitian dapat
mewakili seluruh populasi yang ada.
Pengujian homogenitas dilakukan dengan
uji F. Sedangkan pengujian normalitas
dilakukan dengan uji liliefors untuk kelas
ekserimen diperoleh harga L0 = 0,1364.
pada taraf signifikasi 05,0 dan n=40
diperoleh harga Ltabel = 0,1401 . dengan
demikian diperoleh L0 < Ltabel yang
43Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
artinya data dari dua kelompok dapat
mewakili seluruh populasi yang ada.
Beardasarkan data yang telah diperoleh
dapat dipastikan bahwa Ha diterima
sehingga diperoleh kesimpulan bahwa
ada pengaruh yang signifikan
pemelajaran quantum teaching tipe
tandur terhadap hasil belajar fisika siswa
pada materi pokok dinamika gerak lurus
di kelas X semester 1 SMA Negeri 17
Medan Tahun Pembelajaran 2006/2007.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian
sebelum diberikan pembelajaran kepada
kedua kelompok sampel diperoleh tes
awal siswa kelas eksperimen 27,50 dan
kelas kontrol 23,25. setelah diberikan
pembelajaran yang berbedadimana kelas
eksperimen diberi pembelajaran quantum
teaching tipe tandur dan kelas kontrol
pembelajaran tanpa quantum teaching
tipe tandur diperoleh rata-rata tes akhir
untuk kelas eksperimen sebesar 72,50
dan kelas kontrol sebesar 60,25. adanya
perlakuan tersebut dikarenakan
pembelajaran quantum teaching tipe
tandur yang memberikan kebebasan
kepada siswa untuk berekspresi sehingga
pemahaman yang didapat khususnya
tentang materi pelajaran fisika akan lebih
terdalam dan terkesan, karena pada
pembelajaran quantum teaching tipe
tandur guru dapat memotivasi siswa
untuk meningkatkan pengetahuan siswa.
Dengan menerapkan TANDUR
maka siswa akan lebih tertarik terhadap
mata pelajaran yang diajarkan,
membangkitkan kembali pengalaman
siswa dan mampu mengasah otak siswa,
siswa tertarik karena simbol, gambar dan
informasi yang diberikan oleh guru
sehingga menjadikan siswa aktif belajar,
membuat siswa bersemangat dalam
belajar karena ada perayaan dalam proses
pembelajaran. Besar peningkatan hasi
belajar siswa belum sepenuhnya optimal
hal ini dikarenakan masih ada terdapat
kendala-kendala di lapangan pada saat
proses belajar mengajar yaitu dalam
pembelajaran, peneliti kurang
mengekspresikan sebagian kerangka
rancangan pembelajaran quantum
teaching tipe tandur terutama dalam
tumbuhkan dan namai, sedangkan dari
segi siswa kurang serius dalam belajar
hal ini dpat dilihat dari sebagian siswa
yang masi menyontek dalam
mengerjakan tes. Untuk itu diperlukan
kemampuan untuk menarik perhatian
siswa dengan pengalaman guru yang
dituangkan dalam simbol, gambar,
sehingga proses belajar mengajar akan
lebih efektif dan menyenangkan. Namun
demikian dari hasil penelitian di
lapangan dari uji normalitas data
44Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan
diperoleh nilai kelas ekspermen 72,50
dan kelas kontrol 60,25 sedangkan
penelitian Bambang Sugiyarto
sebelumnya didapat dari nilai uji
normalitas data yang diperoleh siswa
kelas eksperimen 69,00 dengan selisih
09,00 sehingga hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan akibat pembelajaran quantum
teaching tipe tandur terhadap hasil
belajar fisika siswa dibandingkan dengan
pembelajaran tanpa quantum teaching
tipe tandur pada materi pokok dinamika
garak lurus di kelas X SMA Negeri 17
Medan T.P.2006/2007 sebesar 20,33%
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan peningkatan hasil
belajar siswa menggunakan pembelajaran
quantum teaching tipe tandur diperoleh
persentase peningkatan sebesar 20,23 %.
Saran
Bagi peneliti yang ingin meneliti
topik atau masalah yang sama tentang
pembelajaran quantum teaching
disarankan agar;(1)menguasai kerangka
rancangan pembelajaran quantum
teaching tipe tandur;lebih menguasai hal
tumbuhkan dan namai pada materi
pokok yang lain;(2)memberikan
kebebasan kepada siswa dalam
berinteraksi dengan siswa lain dalam
proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,S.,(1998). Prosedur Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Bobbi, D., (2002) .Quantum Teaching. Terjemahan Oleh Nilandari Ary, Bandung.
Depdikbud, (1991) Kamus Besar Indonesia. Edisi ke- 2 . Balai Pustaka. Jakarta
Depdiknas. (1991). Kurikulum 2004 SMA. Depdiknas. Jakarta
FMIPA. (2007).Buku Pedoman Penulian Skripsi dan Proposal Kependidikan. FMIPA.UMIMED
Foster, B.,(2000). Terpadu Fisika Jilid 1A. Penerbit Erlangga. Jakarta
Gulo,W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Penerbit PT Grasindo. Jakarta
Gunawan,. (2004).Born To Be A Genius. Penerbit PT .Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Nazir, M. (1998).Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.Jakarta
Ruwanto,B.(2002). Asas-asas Fisika 1A Kurikulum Berbasis Kompetensi.Yudhistira. Bogor
Sudjana. (1998). Metode Statistik Edisi V. Bandung. Tarsito
Sugiarto, B.,(2006). Pengaruh Pembelajaran Quantum Teaching Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Tata Surya Di Kelas X Semester 1 Sma Istiqlal Deli Tua Tahun Ajaran 2005/2006. Skripsi. FMIPA UNIMED.MEDAN
UZER, U (1992). Menjadi Guru Profesional. PT. Remaja Ros Dakarya. Bandung
45Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH (PROBLEM BASED INSTRUCTION) YANG MELIBATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL DAN INTERPERSONAL
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH(Penelitian Tindakan pada Matakuliah Sejarah Indonesia I (satu) untuk
Mahasiswa Pendidikan Sejarah FIS Unimed)
Oleh :
Tappil Rambe
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menghasilkan perangkat model pembelajaran, 2) Mendeskripsikan kadar akrivitas mahasiswa dan dosen dalam pembelajaran berdasarkan masalah, 3) Mendeskripsikan persentase penguasaan mahasiswa terhadap materi ajar dalam perkuliahan, 4) Mendeskripsikan tingkat kemampuan dosen mengelola pembelajaran berdasarkan masalah, 5) Mendeskripsikan respons mahasiswa terhadap proses pembelajaran, 6) Mendeskripsikan persentase ketuntasan belajar mahasiswa yang diajar dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal, 7) Membandingkan hasil belajar mahasiswa yang pembelajarannya menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dengan hasil belajar mahasiswa yang pembelajarannya secara konvensional.Berdasarkan hasil uji coba diperoleh bahwa semua butir tes memenuhi karakteristik butir tes yang baik yaitu valid dan reliabel. populasi dalam penelitian ini adalah jurusan pendidikan sejarah. Subjek penelitian adalah seluruh mahasiswa yang mengikuti matakuliah Sejarah Indonesia 1 pada tahun akademik 2010-2011. Metode yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Hasil analisis tingkat kemampuan dosen mengelola pembelajaran pada siklus 1, sampai dengan siklus 3 meningkat dengan rata-rata nilai kategori kemampuan masing-masing adalah 2,81; 3,06; 3,50. menunjukkan kemampuan dosen mengelola pembelajaran dari mulai siklus 1 sampai siklus 3 meningkat. Penerapan model Problem Based Instruction yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dari siklus 1 sampai siklus 3Kata kunci : Problem Based Instruction, kecerdasan intrapersonal dan interpersonal
PENDAHULUAN
Dampak pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di
dalam era globalisasi dapat dipandang
sebagai masalah adaptasi, dengan asumsi
bahwa setiap individu memiliki
kelebihan dan kelemahan serta dalam
kehidupan, kita selalu dihadapkan
dengan masalah, karena masalah adalah
kesenjangan antara harapan dengan
kenyataan. Masalah itulah yang harus
diantisipasi dan diselesaikan secara arif
dan kreatif. Kita akan sukses, jika
mampu secara kreatif mengubah masalah
menjadi peluang. Dengan demikian,
setiap individu diharapkan mampu
beradaptasi dengan keadaan dan
perubahan yang terjadi serta mampu
bekerja sama secara kolaboratif dalam
memecahkan masalah kehidupan.
46Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
Perubahan yang terjadi sebagai
dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi cenderung menimbulkan
pergeseran nilai dan melahirkan makna
ganda dari kebenaran. Pergeseran
pandangan dualistik menuju pandangan
yang pluralistik, dari filosofi pluralistik
menuju konsep yang holistik. Pergeseran
filosofi yang terjadi tergantung pada hasil
budaya baru yang tercipta. Sementara
jarak tidak menjadi kendala utama
mengalirnya arus informasi. Dalam
keadaan demikian ini, sangat terasa
pentingnya peranan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang memiliki
kemampuan komparatif dan adaptif,
inovatif dan kompetitif, dan mampu
berkolaborasi. Sumber daya manusia
yang terdidik ini, akan dapat lebih mudah
menyerap informasi baru lebih efektif,
sehingga mereka mempunyai
kemampuan yang handal dalam
beradaptasi untuk menghadapi perubahan
zaman yang semakin cepat.
Pada abad pengetahuan atau abad
informasi saat ini, mahasiswa dituntut
memiliki kemampuan memecahkan
masalah baru secara inovatif. Para
mahasiswa diharapkan mampu
bekerjasama secara kolaboratif,
berperilaku unik dan mampu berpikir
divergen (Arend et al., 2001; Reigeluth,
1999). Kompetensi tersebut sulit tercapai
secara optimal, karena sampai saat ini
terdapat kecenderungan masih
diterapkannya paradigma pembelajaran
yang bernuansa transmisi, pemecahan
masalah secara linier, tuntutan pola
perilaku yang seragam, dan pembelajaran
yang bernuansa kompetitif dan
persaingan. Jika dosen menerapkan
pendekatan pembelajaran yang sama
(berdasarkan pengalaman mengajar
sebelumnya) pada sistem pembelajaran
sejarah yang telah mengalami perubahan
(pola pembelajaran yang sesuai dengan
kurikulum berbasis komptensi (KBK)
dan kurikulum bermuatan sof skill, maka
dimungkinkan tujuan-tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang
diharapkan dari mahasiswa tidak
tercapai.
Menanggapi rendahnya kualitas
pendidikan kita saat ini dan merespons
tuntutan masa depan, Rektor (pimpinan)
Unimed mengeluarkan kebijakan penting
pada asfek kurikulum antara lain adalah
jati diri mahasiswa berupa motivasi,
traits, konsep diri, kerja keras, kejujuran,
kerjasama, integritas, pengetahuan,
keterampilan, dan kemandirian yang
dikembangkan melalui pembelajaran.
Kebijakan nasional di tingkat perdosenan
tinggi (khususnya yang menghasilkan
dosen) tertuang dalam KPPT-JP IV
(HELTS) 2003-2010. Ide utama
47Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
kebijakan itu antara lain: contributes to
the nation's competitiveness, producing
qualified teachers, access and adapt
global knowledge to local use, to
produce graduates with immense self
learning capacity, shifting from teaching
centered to learning centered
(Brojonegoro, Satryo Soemantri, 2003).
Kedua kebijakan ini masih sebatas
konsep, sehingga diperlukan usaha-usaha
kearah perbaikan kualitas lulusan
pendidikan dosen, membantu dosen
menerapkan paradigma baru
pembelajaran sejarah di kelas. Dosen dan
mahasiswa memerlukan pedoman berupa
model pembelajaran. Untuk
mengembangkan model pembelajaran
yang inovatif dan relevan dengan
pembelajaran sejarah serta sesuai dengan
kondisi daerah dan budaya mahasiswa
kita, dapat ditemukan melalui penelitian.
Juga melalui bandingan model
pembelajaran yang telah teruji di tingkat
internasional.
Kecerdasan interpribadi dan
intrapribadi adalah dua dari delapan
kecerdasan yang dikemukakan oleh
Gardner. Gardner (1999, 2001)
mengemukakan bahwa ada delapan
kecerdasan yang meliputi: kecerdasan
musik, kecerdasan gerak badan,
kecerdasan logika-sejarah, kecerdasan
linguistik, kecerdasan ruang, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
dan kecerdasan naturalistik. Selanjutnya
Gardner juga mengemukakan bahwa
kecerdasan interpribadi dan intrapribadi
belum dipahami sepenuhnya, sulit untuk
dipelajari, tetapi amat penting (Gardner,
1993; Wahl, 1998; Martin, 2000).
Dryden dan Vos (2001) meyakini bahwa
penemuan yang dilakukan oleh Gardner
sangat penting dalam perencanaan
pendidikan masa depan.
Pembelajaran konvensional hanya
berorientasi pada hasil belajar yang dapat
diamati dan diukur hal ini hampir
sepadan dengan pandangan Behavioristik
yaitu mahasiswa bersifat pasif dan dosen
cenderung memberikan/memindahkan
informasi yang sebanyak-banyaknya
kepada mahasiswa maka konsep, prinsip
dan aturan-aturan dalam sejarah saling
terisolasi dan tidak bermakna. Akibatnya
mahasiswa tidak dapat menerapkan
konsep karena tidak memahami
bagaimana terbentuknya konsep tersebut
dan selanjutnya sukar untuk
mengadaptasikan pengetahuannya
terhadap keadaannya.
Salah satu model pembelajaran
dengan paham konstruktivis yang
penekanannya memampukan mahasiswa
memecahkan masalah dan dimungkinkan
mengangkat masalah serta berorientasi
pada pemahaman adalah Model
48Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
(Problem-Based Instruction). Arends
(1997: 160) menyatakan bahwa,
“Pembelajaran berdasarkan masalah berusaha untuk memandirikan mahasiswa. Tuntutan dosen yang berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mahasiswa untuk bertanya dan mencari solusi sendiri masalah nyata, dan mahasiswa menyelesaikan tugas-tugas dengan kebebasan berpikir dan dengan dorongan inkuiri terbuka”.
Dari kutipan ini, penerapan model
pembelajaran berdasarkan masalah
dianggap dapat menanamkan
pemahaman pengertian serta
membimbing mahasiswa agar mampu
memahami konsep, prinsip ilmu sejarah.
Penulis melihat bahwa pembelajaran
berdasarkan masalah dapat dijadikan
salah satu alternatif pembelajaran untuk
membimbing mahasiswa dalam
memahami konsep dan prinsip. Dalam
pembelajaran berdasarkan masalah
mahasiswa mampu mengembangkan
kemampuan berpikir, memecahkan
masalah sehingga mahasiswa itu dengan
sendirinya dapat menemukan bagaimana
konsep itu terbentuk. Ini sesuai dengan
pendapat Ibrahim dan Nur (2000:7)
menyatakan pembelajaran berdasarkan
masalah (Problem-Based Instruction)
utamanya dikembangkan untuk
membantu mahasiswa mengembangkan
kemampuan berpikir, pemecahan
masalah, dan keterampilan intelektual;
belajar berbagai peran orang dewasa
melalui pelibatan mereka dalam
pengalaman nyata atau simulasi; dan
menjadi pebelajar yang otonom dan
mandiri.
Pada proses pembelajaran, dosen
terjebak pada kegiatan pembelajaran
yang lebih menekankan pada
kemampuan intelektual dan mengabaikan
pembelajaran nilai. Hal ini tidak boleh
terjadi, karena tanggung jawab
perdosenan tinggi untuk memajukan
nilai-nilai afektif sejajar dengan
tanggung jawab terhadap peningkatan
ranah kognitif dan psikomotor (Ansyar,
2001). Proses pembelajaran sejarah di
kelas pada umumnya “hanya”
menekankan pemberian informasi yang
sebanyak-banyaknya pada mahasiswa
tanpa mempertimbangkan kebermaknaan
pengetahuan dibenak mahasiswa.
Dengan penekanan pada pemberian
informasi tanpa makna, standar
kompetensi mata pelajaran sejarah tidak
akan dapat tercapai. Untuk mencapai
standar kompetensi tersebut, seharusnya
pembelajaran sejarah mendorong
perkembangan seluruh potensi peserta
didik (Dryden dan Vos, 2001).
Potensi yang dimaksud adalah
kedelapan kecerdasan seperti yang
49Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
dikemukakan Gardner. Kedelapan
kecerdasan itu seringkali disebut sebagai
kecerdasan majemuk. Pelibatan
kecerdasan majemuk pada proses
pembelajaran merupakan proses
pembelajaran yang disarankan oleh
David Lazear (dalam Al-Rawahi, 1996).
Hal ini diperlukan bila para mahasiswa
diinginkan mampu menggunakan seluruh
kecerdasan yang mereka miliki. Dengan
demikian diharapkan pembelajaran yang
dilaksanakan dosen akan menjadi lebih
bermakna dan dapat memberi mahasiswa
berbagai cara untuk mendemonstrasikan
bagaimana mereka dapat mengerti
sejarah (Lappan, Glenda, Fey, Fizgerald,
Friel, dan Phillips 2002b). Pada
penelitian ini yang dilibatkan pada proses
pembelajaran sejarah adalah
kekecerdasan intrapribadi dan
interpribadi, karena dengan kecerdasan
intrapribadi mahasiswa dapat
mendemonstrasikan bagaimana
pengertian mereka terhadap sejarah
Indonesia I dan dengan kecerdasan
interpribadi mahasiswa dapat menerima
perbedaan pendapat yang terjadi selama
proses pembelajaran berlangsung.
(Dalam tulisan ini kata peserta didik dan
mahasiswa keduanya digunakan dalam
arti sama).
Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa dalam proses
pembelajaran di perdosenan tinggi,
kompetensi yang terkait dengan IQ
dirancang dengan baik oleh dosen, tetapi
kompetensi yang terkait dengan EQ tidak
secara sengaja dirancang dalam
pembelajaran. Ketercapaiannya
“digantungkan” sebagai dampak
pengiring yang secara otomatis terbentuk
seiring dengan terkuasainya materi
pelajaran (Tim Broad-Based Education,
2000 b).
Kondisi belajar terbaik dapat
tercapai, bila dosen dapat
mengorkestrasikan lingkungan,
menyiapkan suasana yang kondusif dan
“mencuri” perhatian mahasiswa, serta
membuat aktivitas yang menarik.
Kebanyakan proses pembelajaran
“tradisional” tidak memperhatikan hal-
hal tersebut. Dengan perkataan lain,
dosen perlu menciptakan kondisi belajar
yang menyenangkan. “Pintu” untuk
belajar harus terbuka sebelum proses
pembelajaran terjadi. “Pintu” itu bersifat
emosional (Dryden dan Vos, 2001).
Karena pintu itu bersifat emosional,
maka kecerdasan emosional peserta didik
harus benar-benar dilibatkan dalam
proses pembelajaran. Jadi dengan
melibatkan kecerdasan interpribadi dan
intrapribadi, yang tercakup dalam
kecerdasan emosional, pada proses
pembelajaran, berarti dosen berusaha
50Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
untuk membuka pintu agar proses
pembelajaran yang berlangsung dapat
menyenangkan mahasiswa.
Jika perguruan tinggi ingin benar-
benar mewujudkan tujuan pendidikan,
yaitu menyiapkan peserta didik untuk
menghadapi masa depan mereka dan
menghadapi dunia kerja, maka pelibatan
kecerdasan interpribadi dan intrapribadi
dalam proses pembelajaran tidak dapat
ditangguhkan lagi. Alasan peneliti adalah
semakin banyak pencari tenaga kerja
yang mensyaratkan kedua kecerdasan
tersebut dimiliki oleh calon pegawainya.
Hal ini dapat dilihat dari syarat yang
harus dipenuhi pencari kerja, antara lain:
having good interpersonal; able to work
under pressure; have a wide social
contact; good leadership; team
motivator; have good integrity and
commitment; highly motivated, high
integrity, and plenty initiative; self
motivate and can work together within
teamwork; good communication skills;
serta berdedikasi tinggi, loyal, dan jujur
(Kompas, Minggu 19 Januari 2003 dan
Sabtu 6 Juli 2003; Jawa Pos, Sabtu 18
Januari 2003). Persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi oleh pencari tenaga
kerja tersebut terkait dengan kecerdasan
intrapribadi dan interpribadi.
Berdasarkan uraian di atas, maka
fokus penelitian ini adalah mengukur
keefekktivan model pembelajaran
masalah (problem-based instruction)
yang melibatkan kecerdasan
interpersonal dan intrapersonal
mahasiswa dalam pembelajaran sejarah
Indonesia I.
METODE PENELITIAN
Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
jurusan Pendidikan Sejarah FIS Unimed.
Sedangkan subjek penelitian adalah
seluruh mahasiswa yang mengikuti
matakuliah Sejarah Indoensia I pada
tahun akademik 2010-2011.
Faktor yang Diselidiki
Untuk memberikan pemecahan
yang tepat terhadap permasalahan
penelitian yang dikemukakan, maka ada
beberapa faktor yang akan diselidiki,
yaitu:
a. Faktor Mahasiswa: yaitu dengan
melihat apakah tindakan yang
diberikan oleh peneliti (dosen) dapat
meningkatkan kemampuan strategi
kognitif mahasiswa dalam memahami
materi dan memecahkan masalah
melalui aktivitas problem based
instruction pada matakuliah Sejarah
Indonesia I.
b. Faktor Peneliti (Dosen): yaitu dengan
melihat bagaimana dosen
menyiapkan materi perkuliahan
51Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
apakah sudah mencerminkan
tindakan-tindakan yang ingin
diterapkan atau belum. Selian itu,
juga diamati apakah proses
perkuliahan sudah berjalan sesuai
dengan rencana atau belum.
c. Faktor Sumber Belajar: yaitu apakah
sumber belajar yang dipergunakan
oleh dosen dapat menunjang
tindakan-tindakan yang akan
diterapkan atau apakah sudah sesuai
dengan tujuan penelitian atau tidak.
Sesuai dengan Rencana Tindakan
Penelitian tindakan ini
dilaksanakan selama 3 (tiga) siklus, yaitu
siklus I, II, dan III. Sebelum penerapan
tindakan pada siklus pertama, terlebih
dahulu diadakan tes diagnostik dan
observasi awal tentang kemampuan
strategi kognitif mahasiswa (perkuliahan
I-II). Model dan format tindakan yang
akan diberikan pada siklus I disesuaikan
dengan hasil observasi awal mahasiswa,
sedangkan tindakan yang diterapkan
pada siklus II adalah ditentukan
berdasarkan hasil refleksi pada siklus I.
Demikian juga tindakan untuk siklus III
ditentukan berdasarkan hasil refleksi
pada silkus II.
Hakekat penelitian tindakan
kelas, maka prosedur pelaksanaan
penelitian untuk masing-masing siklus
melalui tahap-tahap (a) perencanaan
(planning), (b) pelaksanaan tindakan
(action), (c) observasi dan evaluasi
(observation & evaluation), dan (d)
refleksi (reflection).
Prosedur pelaksanaan penelitian
secara terperinci adalah sebagai berikut:
Siklus pertama (Perkuliahan III
sampai VI)
a) Perencanaan: Adapun kegiatan yang
dilakukan pada tahap ini
adalah:
Mengidentifikasi startegi problem
based instruction yang akan diajarkan
dan dilatihkan kepada mahasiswa.
Mengidenitifkasi strategi dalam
problem based instruction yang cocok
untuk masing-masing topik dalam
matakuliah Sejarah Indonesia I.
Membuat skenario perkuliahan yang
menggunakan metode dan aktivitas
problem based instruction dalam
perkuliahan matakuliah Sejarah
Indonesia I
Membuat lembar observasi untuk
mengamati proses pembelajaran
selama penerapan tindakan.
Menyusun tes diagnostik untuk
mendiagnostik kemampuan problem
based instruction yang telah dimiliki
oleh mahasiswa.
Menyusun tes untuk mengukur
kemampuan mahasiswa dalam
52Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
memahami materi matakuliah Sejarah
Indonesia I.
Menyusun rubrik penilaian penelitian
yang dilakukan secara kelompok
Menyusun kuesioner untuk
memperoleh tanggapan mahasiswa
terhadap pelaksanaan tindakan dan
pelaksanaan perkuliahan secara umum.
b) Pelaksanaan Tindakan:
Kegiatan yang dilaksanakan pada
tahap ini adalah melaksanakan
perkuliahan sesuai dengan skenario
perkuliahan yang telah disusun. Sekali
lagi, skenario perkuliahan harus
menonjolkan tindakan yang ingin
diterapkan, yaitu problem based
instruction dalam perkuliahan Sejarah
Indonesia I.
c) Observasi dan Evaluasi: Kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini adalah:
Melaksanakan observasi terhadap
pelaksanaan tindakan secara khusus
dan proses perkuliahan secara umum
dan kesungguhan pelaksanaan
problem based instruction dengan
menggunakan lembar observasi yang
telah disiapkan. Observasi
dilaksanakan selama proses
perkuliahan dan penelitian
berlangsung.
Melaksanakan evaluasi untuk
mengukur kemampauan mahasiswa
dalam memahami materi Sejarah
Indonesia I yang sudah diajarkan
dengan menggunakan instrumen yang
telah disusun.
Menjaring tanggapan mahasiswa
tentang pelaksanaan tindakan dengan
menggunakan kuesioner yang telah
disiapkan. Evaluasi dan penjaringan
tanggapan dilakukan pada akhir
siklus.
d) R e f l e k s i
Refleksi dilakukan berdasarkan
hasil analisis data, baik data hasil
observasi maupun data hasil evaluasi
belajar. Refleksi ini dilakukan dengan
tujuan untuk menilai apakah problem
based instruction dalam perkuliahan
sudah berjalan secara optimal dan apakah
betul tindakan tersebut dapat
meningkatkan kualitas belajar dan
kemandirian mahasiswa dalam
perkuliahan matakuliah Sejarah
Indonesia I. Selain itu, refleksi juga
mempelajari kelemahan-kelemahan dan
kendala yang dihadapi serta
kemungkinan pengembangannya pada
siklus berikutnya. Hasil refleksi dan
analisis data pada tahap ini selanjutnya
dipergunakan untuk merencanakan
tindakan pada siklus berikutnya.
Siklus II (Perkuliahan VIII-XI) dan
Siklus III (Perkuliahan XII-XV)
Siklus II dimulai pada
perkuliahan VIII karena pada
53Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
perkuliahan VII dialokasikan untuk
mengadakan ujian mid semester,
sedangkan ujian akhir semester dapat
dilakukan pada perkuliahan ke XVI.
Secara garis besar kegiatan-
kegiatan yang dilakukan pada setiap
tahap dalam siklus II dan III adalah sama
dengan kegiatan-kegiatan pada siklus I.
Perubahan yang mendasar adalah pada
jenis tindakan yang diberikan.
Sebagaimana sudah dikemukakan
sebelumnya, bahwa rencana tindakan
pada siklus II disusun berdasarkan hasil
refleksi dan analisis data pada siklus I.
Demikian juga rencana tindakan pada
siklus III disusun berdasarkan hasil
refleksi dan analisis data pada siklus II.
Data dan Cara Pengambilan Data
Sumber data: Sumber data adalah
personil penelitian yang terdiri dari
peneliti (dosen) dan mahasiswa.
Jenis data: Jenis data yang diperoleh
adalah data kuantitatif
dan data kualitatif
Cara pengambilan data:
Data kuantitatif diperoleh dari hasil tes
diagnostik untuk menyelidiki
kemampuan problem based instruction
mahasiswa, tes kemampaun
memahami materi Sejarah Indonesia I
dan hasil pelaksanaan pada akhir
setiap siklus, sedangkan data kualitatif
diperoleh dari hasil tes diagnostik,
hasil observasi dan pengisian
kuesioner tanggapan oleh mahasiswa.
Analisis Data
Sesuai dengan jenis data yang
akan dikumpulkan, maka analisis data
penelitian dilakukan dalam dua macam
yaitu analisis kualitatif dan analisis
kuantitaif. Analisis kualitatif
diberlakukan pada data hasil tes
diagnostik, data hasil observasi, dan data
pengisian keusioner tanggapan
mahasiswa. Sedangkan analisis
kuantitatif diberlakukan pada data hasil
tes kemampuan awal dan data hasil tes
kemampuan pemahaman materi Sejarah
Indonesia I dan produk pembelajaran
untuk masing-masing siklus.
INDIKATOR KINERJA
Untuk menilai adanya
peningkatan kualitas belajar mahasiswa
dipergunakan indikator peningkatan
pemahaman mahasiswa terhadap materi
Sejarah Indonesia I yang diajarkan,
sedangkan peningkatan kemandirian
mahasiswa diukur dari kualitas tugas
yang dikerjakan. Kualitas proses
pelaksanaan perkuliahan secara umum
juga dapat dilihat dari hasil tanggapan
umum mahasiswa dan hasil pengamatan
langsung selama perkulihan berlangsung
tentang minat, motivasi, dan keaktifan
mahasiswa. Dengan demikian indikator
keberhasilan penelitian ini adalah:
54Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
a. Tersedia model pembelajaran Sejarah
Indonesia I yang dapat meningkatkan
kualitas belajar dan kemampuan
mahasiswa dalam memecahkan
berbagai masalah.
b. Tersedianya instrumen penilaian
kemampuan mahasiswa memecahkan
masalah.
c. Tersedia modul pembelajaran Sejarah
Indonesia I yang disusun berdasarkan
hasil kajian mendalam tentang PBI
yang dilakukan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian,
sebelum diberi tindakan nilai rata-rata
pre tes adalah 5,73% dengan persentase
ketuntasan belajar klasikal 0%. Setelah
diberi tindakan 1 menggunakan model
pembelajaran berdasarkan masalah (PBI)
yang melibatkan kecerdasan
intrapersonal dan interpersonal, skor rata-
rata menjadi 40,66 dengan nilai 61,61
dengan presentase ketuntasan belajar
klasikal adalah 54,55%. Kemudian
setelah pemberian tindakan II, dengan
menggunakan model pembelajaran yang
sama diperoleh skor rata-rata post tes
adalah 41,39 dengan nilai 62,71 dengan
presentase ketuntasan belajar adalah
61,36%. Selanjutnya setelah diberi
perlakuan tindakan III, dengan
menggunakan model pembelajaran yang
sama diperoleh skor rata-rata post tes
43,55 dengan nilai 65,98 dengan
presentase ketuntasan belajar adalah
75%. Hal ini berarti telah mencapai
ketuntasan belajar klasikal yaitu 65%.
Dengan demikian penerapan
model pembelajaran berdasarkan
masalah (PBI) yang melibatkan
kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal mampu meningkatkan hasil
belajar mahasiswa pada mata kuliah
Sejarah Indonesia 1. Penerapan model
pembelajaran berdasarkan masalah yang
melibatkan kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal memampukan mahasiswa
menemukan makna dari materi
perkuliahan yang diberikan sehingga
membuat mahasiswa belajar mandiri dan
terarah sehingga hasil belajar mahasiswa
meningkat.
Jika dibandingkan kelas yang
dikenai perlakuan model pembelajaran
berdasarkan masalah (PBI) yang
melibatkan kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal dengan kelas yang dikenai
perlakuan model konvensional maka
model konvensional hanya mampu
memperoleh rata-rata skor sebesar 33,09
dengan nilai 50,10. Ketuntasan belajar
secara klasikal pada kelas kontrol yang
dikenai perlakuan model konvensional
hanya sebesar 41,46% maka dapat
disimpulkan bahwa kelas yang dikenai
perlakuan penerapan model pembelajaran
55Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
berdasarkan masalah (PBI) yang
melibatkan kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal lebih baik dari pada kelas
yang dikenai perlakuan model
konvensional.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Penerapan model pembelajaran
berdasarkan masalah (PBI) yang
melibatkan kecerdasan intrapersonal
dan interpersonal mampu
meningkatkan hasil belajar
mahasiswa pada mata kuliah Sejarah
Indonesia 1. Yang dilakukan dalam 3
siklus.
2. Model pembelajaran berdasarkan
masalah (PBI) yang melibatkan
kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal efektif dalam
pembelajaran mata kuliah Sejarah 1.
Hal ini ditunjukkan dengan
kemampuan dosen dalam mengelola
pembelajaran berada pada kategori
baik, aktivitas siswa tertumpu pada
bagaimana menyelesaikan
permasalahan yang diberikan, respon
mahasiswa terhadap pembelajaran
positip, dan presentase ketuntasan
belajar secara klasikal terpenuhi.
3. Hasil belajar mahasiswa yang dikenai
perlakuan model pembelajaran
berdasarkan masalah (PBI) yang
melibatkan kecerdasan intrapersonal
dan interpersonal lebih baik
dibandingkan dengan model
konvensional.
Saran
1. Kepada dosen jurusan sejarah
khususnya, hendaknya selalu
berupaya meningkatkan hasil belajar
mahasiswa dan mempertimbangkan
model pembelajaran berdasarkan
masalah (PBI) yang melibatkan
kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal sebagai alternatif model
pembelajaran yang dilaksanakan
dalam pembelajaran.
2. Kepada mahasiswa, diharapkan untuk
mau lebih aktif selama pembelajaran
dan berlatih menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang
kompleks agar hasil belajar lebih
meningkat.
3. Kepada peneliti yang berminat
melakukan penelitian dengan objek
yang sama dengan penelitian ini,
disarankan untuk mengembangkan
penelitian ini dengan memvariasikan
dengan metode, teknik, strategi, gaya
pembelajaran yang lain dan berupaya
merangsang dan memotivasi
mahasiswa untuk lebih berani
memberikan tanggapan dan
pertanyaan terkait dengan mata
kuliah yang diberikan.
56Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, Lewis. (1997). Psychological Testing and Assessment. Ed.9, USA, Allyn and Bacon
Arikunto, (1999). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi), Bandung, Bumi Aksara
Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York, Mc Graw-Hill Companies, Inc.
---------------------- (2001). Instruction to Teach. Fifth Edition. New York: McGraw Hill Companies
Arends, R. I., Wenitzky, N.E., & Tannenboum, M. D. (2001). Exploring Teaching: An Introduction to Education. New York, McGraw-Hill Companies, Inc.
---------------------------- (2003) Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional
Borich, Gary D. (1990). Observation for Effective Teaching. Englewood Cliffs, Merrill Publishers.
Eggen, Paul D & Kauchak (1988). Strategies for Teacher Teaching Content and Thinking Skills. New Jersey, Prentice Hall.
Ferguson, George A. (1989). Statistical Analisys in Psychology and Education. Sixth Edition, Singapore, Mc Graw-Hill International Book Co.
Gardner, H. (1983). Frames of Mind-The Theory of Multiple Intelligences. New York, Basic Books.
Grinnell, Jr, Richard M. (1988). Social Work Research and Evaluation, Third Edition. Illionis, F.E Peacock Publishers, Inc.
57Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA MATERI POKOK BESARAN DAN PENGUKURAN
DI MTs SWASTA PAB I HELVETIA MEDANOleh :
Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra RitongaAbstrak
Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan alat penyajian lembar observasi aktivitas siswa dan penyajian soal tes dalam bentuk pilihan berganda yang uji persyaratan instrumen tes hasil belajarnya telah terpenuhi. Pada penelitian ini dilakukan dua siklus, keduanya menggunakan pendekatan kontekstual, namun metode yang digunakan bervariasi. Adapun pada siklus I digunakan kombinasi metode mengajar (demontrasi, eksperimen, diskusi, tanya jawab, ceramah, dan pemberian tugas), sedangkan pada siklus II menggunakan metode eksperimen, tanya jawab, dan pemberian tugas. Terlebih dahulu diadakan tes awal. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh tentang materi pokok besaran dan pengukuran pada tes awal sebesar 31. Pada siklus I tingkat pencapaian hasil belajar siswa meningkat menjadi 51,8. Pada siklus II, hasil belajar siswa menjadi 82,2. hasil menunjukkan peningkatan yang terjadi signifikan dan seluruh siswa telah mencapai ketuntasanKata kunci: Penelitian tindakan kelas, Pendekatan kontekstual
PENDAHULUAN
Upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan kualitas
manusia seutuhnya adalah misi
pendidikan yang menjadi tanggung
jawab setiap guru. Pendidikan IPA
khususnya fisika merupakan salah satu
pendidikan di sekolah yang menentukan
keberhasilan mutu pendidikan.
Kenyataannya, masih banyak siswa yang
takut dan sulit untuk mempelajari fisika,
sehingga siswa memproleh hasil belajar
fisika yang rendah.
Berdasarkan data TIMSS ( Third
Matemathics and Science Study )
lembaga yang mengukur hasil
pendidikan di dunia, melaporkan
kemampuan IPA anak SMP di Indonesia
berada pada urutan 32 dari 38 negara di
dunia ( Nurhadi, 2004: 6 ). Hasil belajar
siswa yang rendah tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya:
kurangnya pemahaman siswa dan
penguasaan materi pelajaran, kesalahan
konsepsi siswa pada materi pokok,
perbedaan intelegensi masing-masing
siswa, kurangnya motivasi siswa
terhadap pelajaran fisika, dan pendekatan
pembelajaran yang kurang tepat.
Diantara faktor-faktor tersebut yang
menyebabkan rendahnya hasil belajar
fisika siswa yang paling dominan adalah
pendekatan pembelajaran yang kurang
tepat, kurang tepatnya pendekatan
pembelajaran yang digunakan berdampak
58Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
pada kurangnya pemahaman siswa,
penguasaan materi dalam jangka panjang
sehingga hasil belajar siswa rendah.
Pendekatan Pembelajaran selama
ini berorentasi pada target penguasaan
materi terbukti berhasil dalam kompetisi
mengingat jangka pendek, tetapi gagal
dalam membekali anak memecahkan
persoalan dalam kehidupan jangka
panjang sehingga life skill pada bidang
fisika tidak tercapai. Selain itu sulitnya
keterampilan proses sains, penguasaan
konsep dan semangat berkreatifitas tanpa
mengikutsertakan siswa agar bekerja
lebih aktif dan kreatif.
Selama ini fisika terasa sangat
sulit dan memusingkan siswa, karena
cara pengajaranya yang kurang
menyenangkan, dan kurang tepatnya
metode pembelajaran. Terlalu banyak
teori dan menghapal rumus membuat
siswa semakin pusing. Andaikan fisika
diajarkan dengan eksperimen dan
pemahaman maka fisika akan terasa
mudah bagi siswa.
Menurut Basar (2004) “jika
ditanyakan kepada siswa sekolah
menengah tentang pelajaran apa yang
dianggap paling sulit umumnya sebagian
besar menjawab fisika, penyebabnya
adalah proses pembelajaran fisika kurang
memberikan perhatian dalam kehidupan
sehari-hari dan selalu membahas hal
yang abstrak”
(http://id.ppi.Jepang.org/article php id-
45/, 2005 ). Oleh karena itu agar kegiatan
belajar mengajar berhasil, guru sebagai
pengajar harus mampu merancang teknik
pengajaran yang sesuai dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran
yang sesuai dan metode yang bervariasi
sehingga dapat membangkitkan minat,
motivasi, dan ketertarikan belajar fisika.
Salah satu pendekatan yang
melibatkan siswa lebih aktif dan dapat
membangkikkan minat, motivasi belajar
fisika adalah pembelajaran pendekatan
kontekstual atau Contextual Teaching
and Learning (CTL). Pendekatan ini
menjadikan siswa terlibat aktif dalam
kegiatan yang bermakna, yang
diharapkan dapat membuat siswa untuk
dapat mengkonstruksikan pengetahuan
dibenak mereka sendiri dan dapat
menghubungkan pengetahuan yang
diperoleh dengan konteks situasi dunia
nyata.
Pembelajaran kontekstual
berdasarkan hasil penelitian Dewey
(dalam Toharuddin, 2005) bahwa siswa
akan belajar dengan baik jika apa yang
dipelajari terkait dengan apa yang telah
diketahui dan kegiatan yang terjadi di
sekelilingnya. Pembelajaran ini
menekankan pada daya pikir yang tinggi,
transfer ilmu pengetahuan,
59Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
mengumpulkan data, menganalisis data,
dan memecahkan masalah-masalah
tertentu baik secara individu maupun
kelompok.
Berdasarkan batasan masalah,
maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah 1) Apakah penerapan
pembelajaran pendekatan kontekstual
dapat meningkatkan hasil belajar fisika
siswa pada materi pokok besaran dan
pengukuran; 2) Apakah penerapan
pembelajaran pendekatan kontekstual
dapat meningkatkan aktivitas siswa pada
materi pokok besaran dan pengukuran.
Sedangkan Tujuan Penelitian antara lain
1) Untuk mengetahui peningkatan hasil
belajar siswa melalui penerapan
pembelajaran pendekatan kontekstual
pada materi pokok besaran dan
pengukuran; 2) Untuk mengetahui
peningkatan aktivitas belajar siswa
melalui penerapan pembelajaran
pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan aktivitas siswa pada
materi pokok besaran dan pengukuran.
Pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching Learning) adalah
konsep belajar dimana guru
menghadirkan dunia nyata ke dalam
kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari, sementara
siswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilan dari konteks yang terbatas,
sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal
untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya sebagai anggota
masyarakat (Nurhadi, 2003 : 13).
Menurut Sanjaya (2005: 109)
CTL adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menekankan kepada
proses keterlibatan siswa secara penuh
untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan
mereka.
Dari defenisi di atas, CTL
hakikatnya adalah suatu pendekatan
pembelajaran dan pengajaran yang
mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Penerapan pendekatan CTL
bertujuan untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa melalui peningkatan
pemahaman makna materi pelajaran yang
dipelajari dikaitkan dengan dunia nyata
siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai tujuan tersebut sejumlah
60Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
hasil yang diharapkan dari penerapan
pendekatan CTL adalah :
Guru yang berwawasan CTL.
Wawasan tersebut dapat diperoleh
melalui pelatihan pemagangan, studi
banding, dan pemenuhan bacaan CTL
yang lengkap.
Materi pembelajaran yang dijiwai
oleh konteks perlu disusun agar lebih
bermakna bagi siswa.
Strategi, metode dan teknik belajar
dan mengajar dapat mengaktifkan
semangat siswa dan menggunakan
realita dan lebih nyata.
Media pendidikan bernuansa CTL,
seperti misalnya situasi alamiah,
benda nyata, alat peraga, film nyata
dan VCD perlu di rancang
sedemikian rupa agar belajar lebih
bermakna.
Fasilitas pendukung CTL seperti
peralatan dan perlengkapan,
laboratorium alamiah dan buatan
dalam tempat-tempat praktek.
Dalam proses kegiatan belajar
mengajar, guru mampu memotivasi
siswa agar berprilaku semangat
belajar, keseriusan perhatian,
keaktifan dan keingintahuan.
Penilaian/ evaluasi autentik,
sebaiknya menyangkut banyak segi
pandang, baik dari segi kognitif,
efektif, psikomotorik dan dalam
bentuk yang bermacam-macam,
mulai dari tes tertulis, hasil pekerjaan
rumah, proyek, kuis, karya tulis
siswa, laporan, jurnal portofolio,
observasi, praktek dan tanya jawab di
kelas.
Suasana iklim sekolah yang
bernuansa CTL lebih baik dipilih
sesuai dengan kehidupan nyata siswa,
tidak hanya di ruang kelas tetapi juga
dapat dilakukan di alam terbuka,
rumah, masyarakat dan tempat
tinggal siswa.
Sebuah pebelajaran di kelas
dikatakan menggunakan pendekatan CTL
apabila telah menerapkan tujuh
komponen di bawah ini, yaitu:
1) Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan
landasan berfikir (Filosofi).
Pembelajaran kontekstual yaitu
pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas.
Dalam proses pembelajaran siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka
melalui keterlibatan aktif dalam proses
KBM, berdasarkan pengalaman nyata.
Siswa menjadi pusat kegiatan bukan
guru.
2) Menemukan (Inquiry)
61Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
Inkuiri adalah inti dari kegiatan
pembelajaran CTL, mengenai
pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa bukan hasil mengingat
praktek-praktek, tetapi hasil menemukan
sendiri.
3) Bertanya (Questioning)
Dalam proses pembelajaran CTL,
guru tidak menyampaikan informasi
begitu saja, akan tetapi memancing agar
siswa dapat menemukan sendiri melalui
pertanyaan-pertanyaan guru dapat
membimbing dan mengarahkan siswa
untuk menemukan setiap materi yang
dipelajarinya.
4) Masyarakat belajar (Learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky,
seorang psikolog Rusia menyatakan
bahwa pengetahuan dan pemahaman
anak banyak ditopang oleh komunikasi
dengan orang lain melalui kerja sama
orang lain untuk memudahkan suatu
permasalahan.
Pembentukan masyarakat belajar
ini, siswa dibagi dalam kelompok-
kelompok yang heterogen 5-6 orang
berkelompok.
5) Pemodelan (modeling)
Dalam pembelajaran CTL, dapat
menghadirkan model sebagai contoh
pembelajaran, pada CTL guru bukan
satu-satunya model, model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa atau
dapat didatangkan dari luar, model
biasanya berupa benda, cara kerja atau
yang lain yang bisa ditiru oleh siswa.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir
tentang apa yang baru dipelajari agar
siswa dapat secara apa yang baru
dipelajari agar siswa dapat secara bebas
menafsirkan pengalamannya sendiri,
sehingga ia dapat menyimpulkan tentang
pengalaman belajarnya.
7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)
Penilaian yang sebenarnya adalah
proses pengumpulan berbagai data yang
bisa memberikan gambaran belajar
siswa. Penilaian autentik diupayakan
karena CTL menuntut pengukuran hasil
belajar dengan cara yang tepat dan
variatif merupakan kombinasi dari cara
penilaian (tes tertulis, PR, kuis, karya
tulis, laporan, jurnal, fortopolio, praktek
dan tanya jawab di kelas).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di MTs
Swasta PAB I Helvetia Medan. Populasi
adalah Seluruh siswa kelas VII semester
1 MTs Swasta PAB 1 Helvetia pada
Tahun Ajaran 2007/2008. Sedangkan
sampel penelitian diambil satu kelas
62Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
secara Cluster Random Sampling dari 3
kelas siswa kelas VII MTs Swasta PAB 1
Helvetia pada Tahun Ajaran 2007/ 2008
yang berjumlah 52 orang.
Penelitian ini dilakukan dalam
bentuk PTK ( Action Research ).
Prosedur Penelitian adalah tahap-tahap
kegiatan yang dilakukan dalam proses
penelitian sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Ciri khas PTK adlah
dilakukan siklus dalam proses penelitian.
Secara sederhana, proses/tahapan pada
satu siklus penelitian tindakan kelas
adalah sbb:
Perencanaan
Perencanaan adalah tahap
persiapan dalam melakukan penelitian.
Dalam penelitian ini, kegiatan awal yang
dilakukan peneliti adalah
mengidentifikasi masalah hasil belajar
fisika yang rendah, melalui data angket
siswa, observasi kegiatan belajar
mengajar, dan wawancara dengan guru
fisika di MTs Swasta PAB I Medan,
yang kemudian peneliti menyusun suatu
skenario/ rancangan pembelajaran.
Identifikasi kesulitan siswa juga
dilakukan dengan tanya jawab kepada
siswa pada awal pembelajaran.
Pelaksanaan
Tahapan ini adalah pelaksanaan
pembelajaran yang sudah direncanakan
dalam tahap perencanaan. Dalam tahapan
ini, peneliti melaksanakan pembelajaran
di kelas dengan pendekatan kontekstual.
Pengamatan
Pengamatan pada penelitian ini
dilakukan oleh observer. Observasi
bertujuan untuk melihat seluruh aktivitas
siswa dalam pelaksanaan pembelajaran.
Instrumen untuk melihat aktifitas siswa
dirancang pada saat perencanaan.
Refleksi
Dalam tahapan ini dilakukan
evaluasi pelaksanaan pembelajaran.
Evaluasi berupa tes untuk melihat hasil
belajar siswa dan analisis terhadap hasil
observasi untuk melihat aktivitas siswa.
Setelah di evaluasi, kemudian dianalisis
hasil pembelajaran untuk perbaikan
dalam pembelajaran berikutnya.
Secara umum, penelitian tindakan
kelas memiliki alur sebagai berikut:
63Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
Refleksi dan analisis evaluasi dan dapat juga dipergunakan jurnal yang dibuat oleh guru dan merencanakan apa yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya
Identifikasi masalah hasil belajar fisika rendah, melalui angket siswa, wawancara dengan guru dan observasi
Pelaksanaan skenario pembelajaran untuk menemukan kesulitan pada materi pokok besaran dan Pengukuran
Perencanaan skenario pembelajaran
Evaluasi hasil pembelajaran 1 dengan cara: pengamatan prilaku/ respon siswa, pemberian tes hasil belajar, dan observasi kegiatan siswa
Refleksi dan analisis hasil evaluasi tahap II
Evaluasi dengan melakukan tes hasil belajar
Identifikasi masalah baru, yang baru muncul
Perencanaan penyusunan skenario pembelajaran berdasarkan identifikasi II untuk meningkatkan hasil belajar
Pelaksanaan skenario yang direvisi berdasarkan data yang diperoleh dalam implementasi I
SIKLUS II
SIKLUS I
SIKLUS n
Gambar. 3.1. Desain siklus penelitian tindakan kelas( Kemmis dan Mc Taggart )
Dalam penelitian ini instrumen
yang digunakan peneliti ada 2 yaitu
pertama test hasil belajar siswa yakni
sebanyak 25 item dengan 4 option,
sebelum digunakan lebih dahulu diuji
validitas soal test. Validitas yang
digunakan adalah validitas isi ( content
validity ) yang berdasarkan kurikulum,
buku pegangan guru dan siswa.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANHasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalami 2
siklus pembelajaran. Selain itu untuk
meihat hasil belajar, penelitian ini juga
bertujuan untuk melihat aktivitas siswa
dalam pembelajaran. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan,
diperoleh data hasil belajar siswa sebagai
berikut:
Tabel 1. Rata-rata hasil belajar siswaNo Jenis Nilai Rata-Rata
Nilai1 Hasil Tes Awal
(pre tes)31
2 Hasil Post Tes Siklus I
58
3 Hasil Post Tes Siklus II
82,8
64Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
Sesuai dengan rencana penelitian,
penelitian ini juga bertujuan untuk
meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Hasil penelitian diperoleh dengan
melakukan penilaian terhadap aktivitas
siswa dalam kelas. Adapun hasil
observasi penelitian adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Peningkatan aktivitas Siswa Pada Setiap Pertemuan
No Aspek yang dialamiJumlah %
P. I P. II P. III P. I P. II P.III1 Menyajikan pertanyaan 11 30 30 21.2 57.7 57.72 Memberi kritik pada guru dan teman 8 10 28 15.4 19.2 53.93 Memberikan tanggapan 30 34 50 57.7 65.4 96.2
4Memberikan jawaban yang tepat dari suatu masalah 5 20 39 9.6 38.5 75.00
5 Berani dan bebas mengeluarkan ide 30 36 39 57.7 69.2 75.006 Mengerjakan sendiri tugas – tugas 15 40 48 28.9 76.9 92.37 Bekerja dengan menggunakan alat 14 20 47 26.9 38.5 90.4
8Mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru 35 40 49 67.3 76.9 94.2
Ket: P : Pertemuan
Gambar 1. Grafik Peningkatan Aktivitas Siswa Pada Setiap Pertemuan
Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian diperoleh
bahwa hasil tes awal siswa sebesar 31
atau berada di bawah 65. ini artinya
kemampuan awal siswa terhadap mata
pelajaran fisika masih rendah.
Setelah dilakukan tes awal, maka
selanjutnya dilakukan pembelajaran
dengan menerapkan pembelajaran
pendekatan kontekstual. Setelah
pembelajaran, maka dilakukan pos-tes
untuk mengetahui hasil belajar siswa
setelah diberi pembelajaran, diperoleh
nilai rata rata pos-tes masih di bawah 65
yaitu rata-rata sebesar 58,5.
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8
Pertemuan 1
Pertemuan 2
Pertemuan 3
JUMLAH
SISWA
AKTIVITAS SISWA
65Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
Untuk mencapai hasil yang
diinginkan, kembali melaksanakan
perbaikan pembelajaran (siklus II) yang
masih menerapkan pendekatan
pembelajaran kontekstual dan dilakukan
beberapa penyempurnaan. Metode
mengajar yang digunakan adalah dengan
eksperimen, tanya jawab, dan pemberian
tugas melalui latihan soal. Setelah selesai
dilakukan pembelajaran maka dilakukan
pos-tes untuk mengetahui hasil belajar
siswa setelah diberikan pembelajaran
pada siklus II, diperoleh persentase
semua item soal di atas 65, yaitu
persentase rata-rata 82,8. Hal ini
menunjukkan dengan penerapan
pembelajaran pendekatan kontekstual
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dan juga sekaligus menandakan bahwa
tidak perlu lagi dilaksanakan perbaikan
pembelajaran karena kemampuan rata-
rata belajar siswa untuk tiap soal sudah
mencapai diatas nilai standart ketuntasan.
Hasil observasi tentang aktivitas
siswa dari tabel 2 di atas dapat dilihat
bahwa aktivitas siswa dari semua aspek
pada pertemuan 1 yang dialami masih
tergolong kurang atau berada < 49 %,
kecuali memberikan tanggapan, berani
dan bebas mengeluarkan ide, dan
mendengarkan dan memperhatikan
penjelasan guru, masing-masing
memiliki persentase sebesar 57,7%, 57,7
%, dan 67,3 %.
Pada pertemuan ke 2, aktivitas
siswa masih tergolong bervariasi, yaitu
memberi kritik pada guru dan siswa,
memberikan jawaban yang tepat dari
suatu masalah, bekerja dengan
menggunakan alat, masing-masing 19,2
%, 38,5 %, 38,5% yang masih
dikategorikan kurang, sementara yang
masih dikategorikan cukup yaitu,
memberikan tanggapan dan berani dan
bebas mengeluarkan ide, masing- masing
persentasenya 65,4 %, 65,4%, dan 69,2
%. Sedangkan yang termasuk kategori
baik yaitu mengerjakan tugas sendiri dan
mendengarkan dan memperhatikan
penjelasan guru, dengan persentase
masing-masing sama yaitu sebesar 76,9
%.
Aktivitas siswa pada pertemuan
ketiga menunjukkan hasil yang lebih
baik, namun aspek tentang siswa
memberikan kritik pada guru dan teman
serta menyajikan pertanyaan tergolong
cukup, yang masing-masing mempunyai
persentase 19,2 % dan 57,7 %.
Perkembangan aktivitas belajar
siswa dapat dilihat dari grafik di atas.
Secara umum terjadi peningkatan
aktivitas siswa dari pertemuan I hingga
pertemuan III. Diantara kedelapan
aktivitas, yang paling menonjol
66Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
peningkatannya terdapat tiga aktivitas
siswa, ditunjukkan pada aktivitas
diantaranya, urutan pertama nilai yang
tertinggi ditunjukkan pada aktivitas ke -
empat yaitu memberikan jawaban yang
tepat dari suatu masalah, yang berada
pada urutan ke – dua peningkatan
tertinggi ditunjukkan pada aktivitas ke-
enam, yaitu mengerjakan sendiri tugas-
tugas, sedangkan yang berada pada
urutan ke-tiga peningkatan tertinggi
ditunjukkan pada aktivitas ke-tujuh, yaitu
bekerja dengan menggunakan alat.
Aktivitas yang menunjukkan jumlah
aktivitas yang banyak diikuti siswa pada
aktivitas ke- tiga, yaitu memberi
tanggapan. Namun aktivitas yang kurang
diikuti siswa ditunjukkan pada aktivitas
ke- dua, yaitu memberi kritik pada guru
dan teman.
Dari tiga aktivitas yang paling
besar peningkatannya dilakukan siswa,
hal tersebut mengindikasikan bahwa
keaktifan siswa, minat, motivasi, dan
ketertarikan untuk belajar fisika semakin
meningkat. Hal tersebut dikarenakan
pendekatan pembelajaran yang
digunakan lebih menekankan pada proses
keterlibatan siswa secara penuh, untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari
dengan menghubungkan dengan situasi
dunia nyata siswa sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari, dalam artian
pendekatan yang digunakan dapat
membawa siswa kedunia nyata yaitu
dengan adanya penggunaan media
sehingga siswa aktif dan bekerja
menggunakan alat, dengan demikian
pembelajaran yang dilakukan
berdasarkan pengalaman nyata, siswa
menjadi pusat kegiatan, serta penggunaan
metode yang bervariasi dalam kegiatan
belajar mengajar, sehingga hasil belajar
siswa juga dapat meningkat. Dengan
demikian penerapan pembelajaran
pendekatan kontekstual yang digunakan
pada pembelajaran dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar fisika MTs
Swasta PAB I Helvetia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah dilakukan pengamatan
dan analisis data diperoleh beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Terdapat peningkatan yang
signifikan hasil belajar siswa pada
materi pokok besaran dan
pengukuran setelah diterapkannya
pembelajaran pendekatan
kontekstual. Hal ini terlihat dari rata-
rata persentase siklus I untuk pos-tes
I sebesar 58, 5 % dan meningkat
menjadi 82,8 % pada siklus II (pos-
tes II) atau sudah mencapai rata-rata
di atas 65 % tiap soal. Total
peningkatan hasil belajar siswa dari
67Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan
pre-tes hingga pos-tes sebesar 51,8
%.
2. Aktivitas belajar siswa selama
proses pembelajaran pendekatan
kontekstual dari siklus I
dikategorikan cukup menjadi baik
pada siklus II yaitu adanya
peningkatan keaktivan siswa, minat,
motivasi, dan ketertarikan untuk
belajar fisika semakin meningkat
dan kondisi suasana kelas menjadi
lebih baik.
Berdasarkan kesimpulan di atas,
maka penulis memberikan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Bagi guru khususnya guru fisika
sebaiknya menggunakan PTK dalam
pembelajaran melalui pendekatan
kontekstual dengan metode yang
bervariasi dalam upaya meningkatkan
hasil belajar para siswa.
2. Bagi peneliti lanjut diharapkan untuk
lebih memperhatikan jumlah siswa,
media serta kelengkapan alat-alat
praktikum dalam pelajaran fisika
karena hal tersebut dapat
mempengaruhi kondisi belajar siswa
dan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Z., (2006), Penelitian Tindakan Kelas, Yrama Widya, Bandung.
Arikunto, S., (1997), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.
Basar, K., (2004), Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menegah (SMP dan SMA): http://id.ppi.Jepang.org/article php id-45/2005.
Dimiati dan Mudjono, (2002), Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta.
Jatmiko, B., (2003), Penelitian Tindakan Kelas, Depdiknas, Jakarta.
Nurhadi, (2004), Kurikulum 2004,: PT. Gramedia Widia Sarana, Jakarta.
Nurhadi, dan Senduk, A. G,. (2003), Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching an Learning (CTL) dan penerapannya dalam KBK, Universitas Negeri Malang, Malang.
Rustana, C. E., (2002), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,: Departemen Pendidikan Nasiona, Jakarta.
Sanjaya, W., (2005), Pembelajaran dan Implementasi kurikulum berbasis Kompetensi, Kencana Penada Media Group, Jakarta.
Toharudin, UUS., (2005), Kompetensi Guru Dalam Strategi Ajar: http://www.Pikiran Rakyat.com/cetak/2005/1005/24]/0803.html.
68Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DENGAN SETTING KOOPERATIF
Oleh:Humuntal Banjarnahor
Abstrak
Pembelajaran yang selama ini mendominasi kelas-kelas matematika di Indonesia umumnya berbasis pada behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan latihan. Guru mendominasi kelas dan berfungsi sebagai sumber belajar utama. Guru menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyelesaikan soal-soal sejenis yang diberikan guru. Penggunaan kelompok belajar heterogen dalam pembelajaran merupakan salah satu pembelajaran yang mendukung terjadinya aktivitas aktif siswa yang dapat merangsang kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah yang merupakan tujuan dari pembelajaran matematika. Salah satu pembelajaran yang menggunakan kelompok belajar heterogen dan memperhatikan interaksi sosial sesama siswa adalahpembelajaran kooperatif. Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dibentuk suatu pembelajaran kooperatif sebagai setting untuk PMR(Pembelajaran Matematika Realistik). PMR dengan setting kooperatif yang dimaksud adalah pembelajaran menggunakan sintaks (langkah-langkah) pembelajaran kooperatif yang memasukkan prinsip dan karakteristik PMR.Kata kunci: Pembelajaran Matematika Realistik, Pembelajaran kooperatif
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Peranan pembelajaran
matematika di sekolah cukup besar
dalam memberikan berbagai kemampuan
kepada siswa untuk keperluan penataan
kemampuan berpikir dan kemampuan
memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan tujuan
pendidikan matematika. Menurut
Soedjadi (2000: 45), pendidikan
matematika seharusnya memperhatikan
dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang bersifat
formal, menekankan pada penataan nalar
serta pembentukan kepribadian, dan (2)
tujuan yang bersifat material,
menekankan pada penerapan matematika
dan keterampilan matematika.
Kurikulum di Indonesia secara
jelas menguraikan tujuan pembelajaran
matematika, yaitu:
1. Melatih cara berpikir dan bernalar
dalam menarik kesimpulan, misalnya
melalui kegiatan penyelidikan,
eksplorasi, eksperimen, menunjukkan
persamaan, perbedaan, konsistensi
dan inkonsistensi.
2. Mengembangkan aktivitas kreatif
yang melibatkan imajinasi, intuisi,
dan penemuan dengan
mengembangkan pemikiran divergen,
orisinil, rasa ingin tahu, membuat
prediksi dan dugaan, serta mencoba-
69Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
coba.
3. Mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah.
4. Mengembangkan kemampuan
menyampaikan informasi atau
mengko-munikasikan gagasan antara
lain melalui pembicaraan lisan,
catatan, grafik, peta, diagram, dalam
menjelaskan gagasan.
Kenyataan saat ini menunjukkan
bahwa pencapaian tujuan pembelajaran
matematika seperti diuraikan di atas
masih belum memenuhi harapan. Hal ini
diindikasikan dengan rendahnya mutu
hasil belajar siswa. Baik hasil ujian akhir
nasional maupun hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa penguasaan siswa
terhadap bahan ajar matematika masih
relatif rendah. Kenyataan ini mungkin
disebabkan sifat abstrak yang terdapat
pada matematika. Mungkin pula karena
selama ini siswa hanya cenderung diajar
untuk menghafal konsep atau prinsip
matematika, tanpa disertai pemahaman
yang baik.
Kondisi hasil belajar siswa yang
memprihatinkan tersebut harus terus
diupayakan untuk diperbaiki. Upaya
tersebut dapat dilakukan di antaranya
melalui perbaikan kegiatan mengajar
belajar. Kegiatan mengajar belajar
merupakan faktor penting yang perlu
mendapat perhatian. Kegiatan mengajar
belajar yang berpusat pada guru sudah
saatnya diganti menjadi berpusat pada
siswa. Soedjadi (2000:201) mengatakan
bahwa proses mengajar belajar
matematika perlu lebih menekankan pada
keterlibatan secara optimal para peserta
didik secara sadar.
Peran aktif siswa dalam
membangun pengetahuannya
sebagaimana yang dikehendaki oleh
kurikulum bersesuaian dengan
konstruktivisme. Menurut Soedjadi
(2000:156) pada dasarnya penerapan
konstruktivisme dalam belajar adalah
bahwa siswa haruslah secara individual
menemukan dan mentransformasikan
informasi yang kompleks, memeriksa
informasi yang baru dan aturan yang ada
serta merevisinya bila perlu.
Konstruktivisme menempatkan
siswa pada peranan utama dalam proses
belajar (student centered). Peranan guru
lebih bersifat fasilitator dan memiliki
kewajiban dalam upaya peningkatan
kualitas pembelajaran. Oleh karena itu
guru dituntut untuk selalu berinovasi
dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Inovasi guru tersebut
misalnya dalam hal pemilihan
pendekatan pembelajaran.
Di Indonesia mulai diperkenalkan
suatu pendekatan baru dalam
pembelajaran matematika yang disebut
70Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
Realistic Mathematics Education (RME),
yang dalam bahasa Indonesia berarti
Pendidikan Matematikan Realistik.
Secara operasional biasa disebut
Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR). PMR adalah suatu pembelajaran
yang didasarkan pada prinsip
konstruktivis dan merupakan pendekatan
pembelajaran yang berfokus pada
aktivitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan. Pendekatan ini menuntut
keaktifan siswa dalam proses belajar.
Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide
dan konsep-konsep matematika melalui
permasalahan kontekstual yang berkaitan
dengan lingkungan siswa tersebut. Hal
ini sejalan dengan Kurikulum 2004
(Depdiknas, 2003: 12) yang menekankan
penggunaan masalah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem) dalam
memulai kegiatan pembelajaran
matematika. Selanjutnya, secara bertahap
siswa dibimbing untuk menguasai
konsep-konsep matematika.
Menurut Slavin (1997: 273),
Constructivist approaches to teaching typically make extensive use of cooperative learning, on the theory that students will more easily discover and comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the problems.
Kutipan tersebut menjelaskan
bahwa pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivis umumnya banyak
menggunakan pembelajaran kooperatif,
yang didasarkan pada teori bahwa siswa
lebih mudah menemukan dan memahami
suatu konsep jika mereka saling
mendiskusikan masah tersebut dengan
temanya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Piaget dan Vigotsky (dalam Slavin,
1997: 270) yang menekankan adanya
hakikat sosial dalam belajar. Keduanya
menyarankan untuk menggunakan
kelompok beajar yang anggotanya
berkemampuan berbeda. Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh Freudenthal
(dalam Terwel, 1990) “I believe in the
social learning process, and on the
strength of this belief I advocate the
heterogeneous learning group.”
Pendapat-pendapat di atas
merekomendasikan penggunaan
kelompok belajar heterogen dalam
pembelajaran. Salah satu pembelajaran
yang menggunakan kelompok belajar
heterogen dan memperhatikan interaksi
sosial sesama siswa adalah pembelajaran
kooperatif. Berdasarkan pemikiran
tersebut, penulis memilih pembelajaran
kooperatif sebagai setting untuk PMR.
PMR dengan setting kooperatif yang
penulis maksud adalah pembelajaran
menggunakan sintaks pembelajaran
71Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
kooperatif yang memasukkan prinsip dan
karakteristik PMR.
Berdasarkan uraian di atas,
diharapkan PMR dengan setting
kooperatif dapat menjadi alternatif
pembelajaran yang baik.
PEMBAHASAN
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pendidik sebagai salah satu
pelaku utama dalam pengajaran harus
memahami teori-teori belajar, metode-
metode mengajar dan lain-lain.
Penerapan teori belajar merupakan suatu
tuntutan yang harus dilaksanakan dan
disesuaikan dengan topik-topik tertentu
untuk dipraktekkan di lapangan. Dalam
buku Petunjuk Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar Kurikulum 1994
disebutkan bahwa proses mengajar
belajar tidak hanya berlandaskan pada
teori pembelajaran perilaku, tetapi juga
menekankan pada pembentukan
keterampilan mendapatkan pengetahuan
sendiri. Dengan menerapkan metode
pembelajaran tertentu siswa dituntut
untuk menemukan sendiri jawaban
terhadap permasalahan yang diberikan
atau dihadapi.
Menurut Sukahar (1992: 3),
belajar matematika pada hakekatnya
adalah belajar yang berkenaan dengan
ide-ide, struktur-struktur yang diatur
menurut urutan logis. Belajar matematika
tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan
saja. Belajar matematika baru bermakna
bila dimengerti.
Pembelajaran secara bermakna
(meaningful learning) terjadi bila pelajar
mencoba menghubungkan fenomena
baru ke dalam struktur pengetahuan
mereka. Ini terjadi melalui belajar
konsep, dan perubahan konsep yang telah
ada, yang mengakibatkan pertumbuhan
dan perubahan struktur konsep yang
dimiliki si pelajar (Ausubel dalam
Suparno, 2001: 54). Dengan belajar
bermakna, diharapkan siswa dapat
memahami setiap kegiatan yang
dilaksanaan. Siswa menyadari tentang
mengapa, bagaimana dan untuk apa ia
melakukan sesuatu dalam kegiatan
belajar. Dengan begitu akan timbul
suasana pembelajaran yang harmonis,
penuh gairah, riang gembira, komunikasi
guru dengan siswa dan antar sesama
siswa dapat berjalan lancar.
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Pendekatan dalam pembelajaran
adalah suatu jalan, cara atau
kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru
atau siswa dalam pencapaian tujuan
pembelajaran dilihat dari sudut
bagaimana proses pembelajaran atau
materi pembelajaran itu, umum atau
72Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
khusus, dikelola (Ruseffendi dalam
Fauzi, 2002:13).
Soedjadi (2000:102-103) membedakan
pendekatan menjadi dua, yaitu:
1. pendekatan materi (material
approach) yaitu proses menjelaskan
topik matematika tertentu
menggunakan materi matematika
lain, misalnya menjelaskan topik
“kongruensi dua segitiga”
menggunakan “transformasi”; dan
2. pendekatan pembelajaran (teaching
approach) yaitu proses penyampaian
atau penyajian topik matematika
tertentu agar mempermudah siswa
memahaminya. Misalnya
mengajarkan tentang banyaknya
diagonal suatu segi-n beraturan
dengan menggunakan “penemuan”.
Trefers (1991:32),
mengelompokkan pendekatan
pembelajaran dalam pendidikan
matematika ke dalam empat macam
pendekatan, yaitu: meknistik,
strukturalistik, empiristik, dan realistik.
Pengelompokan ini didasarkan pada
komponen proses matematisasinya, yakni
matematisasi horisontal dan matematisasi
vertikal. Matematisasi adalah kegiatan
pengorganisasian yang dapat berupa
realitas-realitas yang perlu diorganisir
secara matematis dan juga ide-ide
matematika yang perlu diorganisir dalam
konteks yang lebih luas.
Pada proses matematisasi
horisontal, dengan pengetahuan atau
pengalam-an yang dimilikinya, siswa
dapat mengorganisasikan dan
memecahkan masalah nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Proses
matematisasi horisontal bergerak dari
dunia nyata ke dunia simbol. Proses ini
meliputi proses informal yang dilakukan
siswa dalam menyelesaikan suatu soal.
Contohnya adalah proses yang dilalui
siswa untuk membuat model, membuat
skema dan menemukan hubungan-
hubungan.
Proses matematisasi vertikal,
merupakan proses pengorganisasian
kembali dengan menggunakan
matematika. Proses ini antara lain
meliputi proses menyatakan suatu
hubungan dengan suatu formula,
membuat berbagai model, merumuskan
konsep/prinsip dan melakukan
generalisasi (Yuwono, 2001: 4).
Perbedaan keempat pendekatan
pembelajaran dalam pendidikan
matematika ini menekankan pada sejauh
mana pendekatan tersebut memuat atau
menggunakan kedua komponen
matematisasi tersebut. Tabel 1 di bawah
ini menunjukkan perbedaan tersebut
(tanda “+” berarti lebih banyak
73Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
menekankan pada jenis matematisasi itu
dan tanda “–“ berati kurang/sedikit atau
tidak memperhatikan pada jenis
matematisasi tersebut).
Tabel 1. Pendekatan Pembelajaran dalam Matematika
NoJenis pendekatan
pembelajaran
Komponen matematisasi
Horisontal Vertikal
1. Mekanistik – –
2. Empiristik + –
3. Strukturalistik – +
4. Realistik + +
Sumber: (de Lange, 1987: 101)
Dari pendapat-pendapat di atas,
pendekatan yang dimaksud pendekatan
pembelajaran matematika yang
merupakan suatu cara/prosedur dalam
penyampaian bahan pelajaran
matematika untuk mencapai tujuan
pembelajaran, agar siswa mudah
memahaminya. Dalam hal ini,
pendekatan yang dipilih adalah
pendekatan realistik.
Pendekatan Pembelajaran
Matematika Realistik
Pendekatan pembelajaran
matematika realistik (PMR) merupakan
suatu pendekatan pendidikan matematika
yang telah dikembangkan di Nederlands
sejak tahun 1970 dengan nama asli
Realistic Mathematics Education (RME).
Kata “realistic” diambil dari klasifikasi
yang dikemukakan oleh Treffers (1987),
yang membedakan empat pendekatan
dalam pendidikan matematika seperti
yang telah disebutkan, yaitu mekanistik,
empiristik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan ini mengacu pada pendapat
Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994)
yang mengatakan bahwa matematika
harus dikaitkan dengan realita dan
matematika merupakan aktivitas
manusia. Ini berarti matematika harus
dekat dengan anak dan relevan dengan
situasi anak sehari-hari. Anak harus
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
menemukan kembali ide atau konsep
matematika.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
dijelaskan bahwa pembelajaran
matematika realistik bertolak dari
masalah-masalah yang sesuai dengan
pengalaman siswa. Dalam hal ini, siswa
aktif, guru berperan sebagai fasilitator,
siswa bebas mengemukakan dan
mengkomunikasikan ide-idenya satu
sama lain. Guru hanya membantu siswa
secara terbatas untuk membandingkan
74Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
ide-ide itu dan membimbing mereka
mengambil kesimpulan tentang ide mana
yang benar, efisien, dan mudah dipahami
mereka. Dalam kaitannya dengan
matematika sebagai kegiatan manusia,
siswa harus diberi kesempatan seluas-
luasnya untuk menemukan kembali ide
atau konsep matematika secara mandiri
sebagai akibat dari pengalaman siswa
dalam berinteraksi dengan realitas.
Setelah menemukan dan terbentuk
konsep-konsep matematika, siswa
menggunakannya untuk menyelesaikan
masalah kontekstual selanjutnya sebagai
aplikasi untuk memperkuat konsep. de
Lange (1987: 72), mengatakan bahwa
proses tersebut merupakan proses
matematisasi konseptual (conseptual
mathematizing), yang dapat digambarkan
seperti pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Matematisasi Konseptual
Agar pembelajaran bermakna
bagi siswa, maka pembelajaran
seyogyanya dimulai dari masalah
kontekstual. Selanjutnya, siswa diberi
kesempatan seluas-seluasnya untuk
menyelesaikan masalah itu dengan
caranya sendiri-sendiri. Artinya siswa
diberi kesempatan melakuakan refleksi,
interpretasi dan mencari strategi yang
sesuai. Keaktifan siswa dalam
pembelajaran matematika haruslah
dipahami sebagai keaktifan melakukan
matematisasi, baik horizontal maupun
vertikal, yang memuat kegiatan refleksi,
interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi
terjadi bila siswa dalam aktivitasnya
melakukan refleksi, interpretasi dan
abstraksi. Rekonstruksi itu dimungkinkan
terjadi dengan probabilitas yang lebih
besar melalui diskusi, baik dalam
kelompok kecil maupun diskusi kelas
atau berbagai bentuk interaksi dan
negosiasi. Secara perlahan siswa dilatih
untuk melakukan rekonstruksi atau
reinvention. Mula-mula matematisasi
berlangsung secara horisontal dan
dengan bimbingan guru secara terbatas
siswa melakuakan matematisasi vertikal.
Matematisasi horisontal meliputi antara
lain proses informal yang dilakukan
siswa dalam menyelesaikan masalah
Dunia nyata
Matematisasi dalam aplikasi Matematisasi dan refleksi
Anstraksi dan formalisasi
75Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
kontekstual , membuat model, membuat
skema, dan menemukan jawaban.
Menurut Seodjadi (2001b:3) pada
matematisasi horisontal memungkinkan
siswa dapat melakukan kegiatan yang
mengarah pembentukan “konsep antara”
(misalnya konsep antara ke-1). Setelah
konsep antara ke-1 diperoleh, mungkin
diperlukan konsep antara ke-2 yang
dibangun sejalan dengan konsep antara
ke-1. Pencapaian konsep antara ke-1 dan
sebagainya memungkinkan dilakukan
dengan berbagai cara berbeda oleh siswa
melalui kegiatan informal membangun
konsep utama yang menjadi tujuan utama
pembelajaran. Jika siswa sudah sampai
ke konsep utama, aktivitas pembelajaran
dilanjutkan dengan matematisasi vertikal
melalui kegiatan formal matematika
meliputi antara lain proses menyatakan
suatu hubungan dengan suatu formula
(rumus), membuat berbagai model,
merumuskan konsep baru dan melakukan
generalisasi (de Lange, 1987). Artinya
matematisasi konseptual de Lange ini
tidak diterapkan pada setiap proses
belajar mengajar. Jika siswa sudah
sampai ke konsep utama dilanjutkan
dengan kegiatan formal matematika,
tidak kembali ke proses informal
matematika.
Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut Gravemeijer (1994:90),
ada tiga prinsip kunci dalam mendesain
pembelajaran matematika realistik, yaitu:
a. Guided reinvention dan progressive mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan
kembali secara terbimbing dan
matematisasi secara progresif. Melalui
topik-topik yang disajikan, siswa harus
diberi kesempatan untuk mengalami
proses yang sama membangun dan
menemukan kembali tentang ide-ide dan
konsep-konsep secara matematika.
Maksud dari mengalami proses yang
sama dalam hal ini adalah masing-
masing siswa diberi kesempatan yang
sama merasakan situai dan jenis masalah
kontekstual yang mempunyai berbagai
kemungkinan solusi. Dilanjutkan dengan
matematisasi prosedur pemecahan
masalah yang sama, serta perancangan
rute belajar sedemikian rupa, sehingga
siswa menemukan sendiri konsep-konsep
atau hasil (Fauzan, 2000: 4). Prinsip ini
sejalan dengan paham konstruktivis yang
menyatakan bahwa pengetahuan tidak
dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru,
tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh
siswa itu sendiri.
b. Didactical phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena
yang bersifat mendidik. Dalam hal ini
76Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
fenomena pembelajaran menekankan
pentingnya masalah kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika
kepada siswa. Topik-topik ini dipilih
dengan pertimbangan: (1) aspek
kecocokan aplikasi yang harus
diantisipasi dalam pengajaran; dan (2)
kecocokan dampak dalam proses re-
invention, artinya prosedur, aturan dan
model matematika yang harus dipelajari
oleh siswa tidaklah disediakan dan
diajarkan oleh guru, tetapi siswa harus
berusaha menemukannya dari masalah
kontekstual tersebut.
Jika kita lihat secara histories,
matematika berkembang dari
penyelesaian masalah praktis, karenanya
beralasan jika diharapkan dapat
ditemukan masalah yang memunculkan
proses tersebut dalam penerapan pada
saat sekarang ini. Selanjutnya, kita dapat
membayangkan bahwa matematika
formal berasal dari generalisasi dan
formalisasi prosedur penyelesaian
masalah untuk situasi khusus dan konsep
dari berbagai situasi. Oleh karena itu,
tujuan dari investigasi fenomenologi
adalah menemukan situasi masalah
sehingga pendekatan situasi khusus dapat
digeneralisasi, dan menemukan situasi
yang dapat menimbulkan prosedur
penyelesaian yang dapat dijadikan dasar
untuk matematisasi vertikal.
c. Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah
pengembangan model sendiri. Prinsip ini
berfungsi menjembatani jurang antara
pengetahuan informal dengan
matematika formal. Siswa
mengembangkan model sendiri sewaktu
memecahkan soal-soal kontekstual.
Sebagai konsekuensi dari kebebasan
yang diberikan kepada siswa untuk
memecahkan masalah, sangat mungkin
muncul berbagai model hasil pemikiran
siswa, yang mungkin masih mirip atau
jelas terkait dengan masalah kontekstual.
Melalui proses generalisasi dan
formalisasi, model tersebut diarahkan
untuk menuju model matematika formal.
Pada awalnya siswa akan
membangun model dari situasi nyata
(soal kontekstual), setelah terjadi
interaksi dan diskusi kelas, siswa
menyusun model matematika untuk
menyelesaikaan soal hingga
mendapatkan pengetahuan formal
matematika. Soedjadi (2001d: 4)
mengatakan bahwa model yang
dikembangkan siswa tersebut diharapkan
akan berubah dan mengarah kepada
bentuk yang lebih baik, akan efisien
menuju ke arah pengetahuan matematika
formal, sehingga diharapkan terjadi
urutan pembelajaran seperti “situasi
nyata” “model dari situasi itu”
77Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
“model ke arah formal” “pengetahuan
formal”.
Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
PMR memiliki lima karakteristik
yang merupakan operasionalisasi dari
prinsip PMR (Fauzi, 2002: 19;
Gravemeijer,1994:114-115, 145).
Karakteristik tersebut sebagai berikut.
a. Menggunakan masalah konstekstual (the use of context)
Pembelajaran diawali dengan
menggunakan masalah kontekstual, tidak
dimulai dari sistem formal. Masalah
kontekstual yang diangkat sebagai topik
awal pembelajaran harus merupakan
masalah sederhana yang dikenali oleh
siswa.
b. Menggunakan model (use of models, bridging by vertical instruments)
Istilah “model” berkaitan dengan
model yang dikembangkan sendiri oleh
siswa dari situasi yang sebenarnya.
Model tersebut diharapkan menjadi
jembatan antara level pemahaman yang
satu ke level pemahaman yang lain.
c. Menggunakan kontribusi siswa (students contribution)
Kontribusi yang besar pada
proses mengajar belajar datang dari
siswa, artinya semua pikiran (konstruksi
dan produksi) siswa diperhatikan.
Kontribusi dapat berupa aneka jawab,
aneka cara, atau aneka pendapat dari
siswa. Misalnya pada pengertian skala,
pada awalnya siswa diberi kebebasan
penuh untuk mendefinisikan pengertian
skala dengan kalimat mereka sendiri,
kemudian dari beragam jawaban siswa
dikompromikan dan dipakai salah satu
pendapat yang benar. Jika tidak ada yang
benar, guru hanya membimbing ke arah
pengertian yang benar.
d. Interaktivitas ( interactivity)
Mengoptimalkan proses mengajar
belajar melalui interaksi siswa dengan
siswa, siswa dengan guru dan siswa
dengan sarana prasarana merupakan hal
yang penting dalam pembelajaran
matematika realistik. Interaksi terus
dioptimalkan sampai konstruksi yang
diinginkan diperoleh, sehingga interaksi
tersebut bermanfaat.
e. Terkait dengan topik lainnya (intertwining )
Struktur dan konsep matematika
saling berkaitan. Oleh karena itu,
keterkaitan dan keterintegrasian antar
topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi
untuk mendukung terjadinya proses
mengajar belajar yang lebih bermakna.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Pembelajaran kooperatif
merupakan ide lama (Johnson dan
Johnson, 2004). Talmud, seorang filosof,
berpendapat bahwa untuk dapat belajar
seseorang harus memiliki teman. Pada
78Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
awal abad pertama, Quintillion
berargumen bahwa siswa mendapatkan
manfaat dari saling mengajar satu sama
lain. Seorang filosof Romawi, Seneca,
mengatakan bahwa when you teach, you
learn twice. Dari sinilih ide pembelajaran
kooperatif dikembangkan (Ibrahim, dkk,
2000: 12). Menurut Arends (2001: 316)
ide tentang pembelajaran kooperatif
dapat ditelusuri kembali dari zaman
Yunani kuno. Namun demikian,
perkembangannya pada masa kini dapat
dilacak dari karya para ahli psikologi
pendidikan dan teori belajar pada awal
abad ke-20. Para ahli tersebut di
antaranya adalah John Dewey (1916) dan
Herbert Thelan (1954, 1969).
John Dewey dan Herbert Thelan
(dalam Arends, 1997, 114; 2000: 316)
berpendapat bahwa pendidikan dalam
masyarakat yang demokratis seyogyanya
mengajarkan proses demokrasi secara
langsung. Kelas seharusnya dipandang
sebagai cermin masyarakat yang lebih
besar. Tingkah laku kooperatif dipandang
oleh Dewey dan Thelan sebagai dasar
demokrasi, dan sekolah dipandang
sebagai laboratorium untuk
mengembangkan tingkah laku
demokrasi.
Sekarang, pembelajaran
kooperatif terus dikembangkan. Jacobs
dan Hannah (2004) mendefinisikan
cooperative learning, also known as
collaborative learning, is a body of
concepts and techniques for helping to
maximize the benefits of cooperation
among students (pembelajaran
kooperatif, yang juga dikenal sebagai
pembelajaran kolaboratif, adalah sebuah
konsep dan teknik untuk membantu
memaksimalkan manfaat dari kerjasama
antar siswa). Menurut Kauchak dan
Eggen (Ratumanan, 2002: 107), belajar
kooperatif merupakan suatu kumpulan
strategi mengajar (belajar-pen) yang
digunakan siswa untuk membantu satu
dengan yang lain dalam mempelajari
sesuatu.
Cooper, dkk (2002) menyatakan
cooperative learning is a structured,
systematic instructional strategy in which
small groups of students work together
toward a common goal (pembelajaran
kooperatif adalah sebuah strategi
pembelajaran yang sistematik dan
terstruktur dimana siswa bekerja dalam
kelompok kecil untuk mencapai tujuan
bersama). Hal serupa diungkapkan
Thompson dan Smith (Ratumanan, 2002:
107-108), bahwa dalam pembelajaran
kooperatif siswa bekerjasama dalam
kelompok-kelompok kecil untuk
mempelajari materi akademik dan
keterampilan antar pribadi. Anggota-
anggota kelompok bertanggung jawab
79Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
atas ketuntasan tugas-tugas kelompok
dan untuk mempelajari materi itu sendiri.
Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Menurut Johnson dan Johnson
(2001), terdapat lima unsur penting
dalam belajar kooperatif, yaitu seperti
berikut ini.
a. Saling ketergantungan secara positif (positiv interdependence)
Dalam belajar kooperatif siswa
merasa bahwa mereka sedang bekerja
sama untuk mencapai satu tujuan dan
terikat satu sama lain. Seorang siswa
tidak akan sukses kecuali semua anggota
kelompoknya juga sukses. Siswa akan
merasa bahwa dirinya merupakan bagian
dari kelompok yang juga mempunyai
andil terhadap suksesnya kelompok.
b. Interaksi antar siswa yang semakin meningkat (face to face promotive Interaction)
Belajar kooperatif akan
meningkatkan interaksi antara siswa. Hal
ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan
membantu siswa lain untuk sukses
sebagai anggota kelompok. Saling
memberikan bantuan ini akan
berlangsung secara alamiah karena
kegagalan seseorang dalam kelompok
mempengaruhi suksesnya kelompok.
Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang
membutuhkan bantuan akan
mendapatkan dari teman sekelompoknya.
Interaksi yang terjadi dalam belajar
kooperatif adalah dalam hal tukar
menukar ide mengenai masalah yang
sedang dipelajari bersama.
c. Tanggung jawab individual (induvidual accountability/personal responsibility)
Tanggung jawab individual dalam
belajar kelompok dapat berupa tanggung
jawab siswa dalam hal: (1) membantu
siswa yang membutuhkan bantuan dan
(2) siswa tidak dapat hanya sekedar
“membonceng” pada hasil kerja teman
sekelompoknya.
d. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil (interpesonal and small group skill)
Dalam belajar kooperatif, selain
dituntut untuk mempelajari materi yang
diberikan seorang siswa dituntut untuk
belajar bagaimana berinteraksi dengan
siswa lain dalam kelompoknya.
Bagaimana siswa bersikap sebagai
anggota kelompok dan menyampaikan
ide dalam kelompok akan menuntut
keterampilan khusus.
e. Proses kelompok (group procesing)
Belajar kooperatif tidak akan
berlangsung tanpa proses kelompok.
Proses kelompok terjadi jika anggota
kelompok mendiskusikan bagaimana
mereka akan mencapai tujuan dengan
baik dan membuat hubungan kerja yang
baik.
80Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
Lima unsur dasar di atas harus
dipenuhi dalam pembelajaran kooperatif
untuk mencapai hasil maksimal. Oleh
karena itu dalam pelaksanaannya kelima
unsur itu harus dapat dilaksanakan
dengan baik. Selain itu, kelima unsur di
atas sekaligus menjadi pembeda
pembelajaran kooperatif dengan
pembelajaran kelompok tradisional /
konvensional.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Arends (1997: 111) menyatakan
bahwa the cooperative learning model
was developed to achieve at least three
important instructional goals: academic
achievement, acceptance of diversity,
and social skill development, yang
maksudnya adalah bahwa model
pembelajaran kooperatif dikembangkan
untuk mencapai setidaknya tiga tujuan
pembelajaran penting, yaitu hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap
perbedaan individu, dan pengembangan
keterampilan sosial.
Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif
memberikan keuntungan baik pada siswa
kelompok atas maupun kelompok bawah
yang bekerja bersama menyelesaikan
tugas-tugas akademik. Siswa kelompok
atas akan menjadi tutor bagi siswa
kelompok bawah. Jadi, siswa kelompok
bawah memperoleh bantuan dari teman
sebaya yang memiliki orientasi dan
bahasa yang sama. Siswa kelompok atas
akan meningkat kemampuan
akademiknya, karena memberikan
pelayanan sebagai tutor membutuhkan
pemikiran yang mendalam tentang
hubungan ide-ide yang terdapat pada
materi tertentu.
Penerimaan terhadap perbedaan individu
Pembelajaran kooperatif
menyajikan peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi,
untuk bekerja dan saling bergantung satu
sama lain atas tugas-tugas bersama
Pengembangan keterampilan sosial
Pembelajaran kooperatif
mengajarkan kepada siswa keterampilan
kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan
ini sangat penting untuk dimiliki di
dalam masyarakat.
Keterampilan-keterampilan
khusus dalam pembelajaran kooperatif,
disebut keterampilan kooperatif dan
berfungsi untuk melancarkan hubungan
kerja dan tugas. Lundgren (1994: 22-26)
merinci keterampilan-keterampilan
kooperatif tersebut sebagai berikut.
1. Keterampilan kooperatif tingkat awal
meliputi: menggunakan kesepakatan,
menghargai kontribusi, mengambil
giliran dan berbagi tugas, berada
81Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
dalam kelompok, berada dalam tugas,
mendorong partisipasi,
menyelesaikan tugas pada waktunya,
dan mengundang orang untuk
berbicara, menyebut nama dan
memandang pembicara, mengatasi
gangguan, menolong tanpa
memberikan jawaban, dan
menghormati perbedaan individu.
2. Keterampilan kooperatif tingkat
menengah meliputi: menunjukkan
penghargaan dan simpati,
mengungkapkan ketidaksetujuan
dengan cara yang dapat diterima,
mendengarkan dengan aktif,
bertanya, membuat ringkasan,
mengatur dan mengorganisir,
memeriksa ketepatan, menerima
tanggung jawab, menggunakan
kesabaran, dan tenang/mengurangi
ketegangan.
3. Keterampilan kooperatif tingkat
mahir meliputi: mengelaborasi,
memeriksa dengan cermat,
menyatakan suatu justifikasi,
menganjurkan suatu posisi,
menetapkan tujuan, berkompromi,
dan mampu menghadapi masalah
khusus.
Semua keterampilan kooperatif
tersebut, tidak langsung keseluruhan
dilatihkan guru dalam kegiatan
pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit
demi sedikit yang dianggap sesuai
dengan kepentingan hingga mencapai
harapan dan seluruh keterampilan
kooperatif.
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Terdapat 6 fase atau langkah
utama pembelajaran kooperatif,
pembelajaran diawali dengan guru
menyampaikan tujuan pembelajaran
disertai dengan memotivasi siswa untuk
belajar dengan sungguh-sungguh. Fase
ini diikuti dengan penyampaian
informasi dengan lisan atau dalam bentuk
bacaan. Selanjutnya siswa
dikelompokkan ke dalam kelompok-
kelompok belajarnya. Tahap ini diikuti
bimbingan guru pada saat siswa bekerja
bersama untuk menyelesaikan tugas
secara berkelompok. Tahap terakhir
pembelajaran kooperatif meliputi
presentasi hasil akhir kerja kelompok,
atau evaluasi tentang materi yang telah
dipelajari dan memberikan penghargaan
terhadap usaha-usaha kelompok maupun
individu.
Keenam langkah pembelajaran
kooperatif oleh Arends (2001: 332)
disajikan dalam bentuk tabel berikut ini.
82Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
Tabel. 2. Langkah-langkah Pembelajaran KooperatifFase Kegiatan Guru
Fase-1Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Fase-2Menyajikan informasi
Fase-3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.
Fase-4Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Fase-5Evaluasi
Fase-6
Memberikan penghargaan
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa baik dengan peragaan atau teks.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan efisien.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasekan hasil kerjanya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Sumber: Arends (2001: 332)
Pembelajaran Matematika Realistik dengan Setting Kooperatif
Pembelajaran matematika
realistik (PMR) adalah suatu
pembelajaran yang didasarkan pada
prinsip konstruktivis. Menurut Slavin
(1997: 273),
Constructivist approaches to teaching typically make extensive use of cooperative learning, on the theory that students will more easily discover and comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the
problems. (Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis umumnya banyak menggunakan pembelajaran kooperatif, yang didasarkan pada teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masah tersebut dengan temanya).
Hal ini sejalan dengan pendapat
Piaget dan Vigotsky (dalam Slavin,
1997: 270) yang menekankan adanya
hakikat sosial dalam belajar. Keduanya
menyarankan untuk menggunakan
83Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
kelompok belajar yang anggotanya
berkemampuan berbeda. Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh Freudenthal
(dalam Terwel, 1990) “I believe in the
social learning process, and on the
strength of this belief I advocate the
heterogeneous learning group.”
Pendapat-pendapat di atas
merekomendasikan penggunaan
kelompok belajar heterogen dalam
pembelajaran. Salah satu pembelajaran
yang menggunakan kelompok belajar
heterogen dan memperhatikan interaksi
sosial sesama siswa adalah pembelajaran
kooperatif. Berdasarkan pemikiran
tersebut, dapat dibentuk suatu
pembelajaran kooperatif sebagai setting
untuk PMR. PMR dengan setting
kooperatif yang dimaksud adalah
pembelajaran menggunakan sintaks
(langkah-langkah) pembelajaran
kooperatif yang memasukkan prinsip dan
karakteristik PMR.
Memperhatikan langkah-langkah
pembelajaran kooperatif serta prinsip dan
karakteristik PMR yang telah diuraikan
sebelumnya, langkah-langkah PMR
dengan setting kooperatif dirancang
sebagai berikut.
Tabel 3. Langkah-langkah PMR dengan setting kooperatif
Fase-fase pembelajaranPrinsip dan Karakteristik
PMR yang relevan
1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa2. Menyajikan informasi3. Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar
a. Meminta siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan
b. Meminta siswa menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan
5. Evaluasia. Meminta siswa membandingkan dan
mendiskusikan jawaban (presentasi hasil kerja kelompok)
b. Mengarahkan siswa untuk mengambil kesimpulan tentang konsep atau prinsip yang dipelajari
c. Memberikan tes individual (kuis)6. Memberikan penghargaan
-
-
-
P2, K1, K4, K5
P1, P2, P3, K1, K2, K4, K5
P2, P3, K2, K3, K4
P1, P2, K3, K4
--
Keterangan:
Hurup P menyimbolkan prinsip dan
huruf K menyimbolkan karakteristik.
P1: Guided reinvention dan progressive
mathematizing
P2: Didactical phenomenology
84Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
P3: Self developed models
K1: Menggunakan masalah konstekstual
K2: Menggunakan model
K3: Menggunakan kontribusi siswa
K4: Interaktivitas
K5: Terkait dengan topik lainnya
PENUTUP
PMR menekankan bagaimana
siswa menemukan kembali (reinvention)
konsep-konsep atau prosedur-prosedur
dalam matematika melalui masalah-
masalah kontekstual. Pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik
pada dasarnya adalah pemanfaatan realita
dan lingkungan yang dipahami peserta
didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika sehingga
mencapai tujuan pendidikan matematika
yang lebih baik daripada masa yang telah
lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan
yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-
hal yang nyata atau konkret yang dapat
diamati atau dipahami peserta didik lewat
membayangkan, sedangkan yang
dimaksud dengan lingkungan adalah
lingkungan tempat peserta didik berada
baik lingkungan sekolah, keluarga
maupun masyarakat yang dapat dipahami
peserta didik. Lingkungan ini disebut
lingkungan sehari-hari.
Beberapa karakteristik dari
pembelajaran kooperatif, antara lain:
a. siswa bekerja dalam kelompok secara
kooperatif untuk menuntaskan materi
belajarnya;
b. kelompok dibentuk dari siswa dengan
kemampuan tinggi, sedang, rendah;
c. jika mungkin, anggota kelompok
berasal dari ras, budaya, suku, dan
jenis kelamin berbeda.
d. penghargaan lebih berorientasi pada
kelompok daripada individu.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc.
-----------, 2001. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc.
Cooper, J. L., P. Robinson, dan M. McKinney. 2002. Cooperative Learning in the Classroom. http://www.csudh.edu/SOE/cl_network/WhatisCL.html.
de Lange, J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Ultrecht: OW&OC.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Depdiknas.
Fauzan, A., 2001. Pengembangan Dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat Pembelajaran Geometri Untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan RME. Makalah disampaikan pada seminar Nasional di
85Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan
FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari 2001.
Fauzi, K.M.S. 2002. Pembelajaran Matematika Realistik pada Pokok Bahasan Pembagian di SD. Tesis magister Pendidikan. Universitas Negeri Surabaya.
Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education.Utrecht : Freudenthal Institute.
Ibrahim, Muslimin.2000. Pembelajaran Kooperatif. Pusat Sains dan Matematika Sekolah. Unesa: Surabaya.
Johnson, R. dan D. Jhonson. 2001. An Overview of Cooperative Learning. http:/www.cooplearn.org/pages/overviewpaper.html.
Lundgren, L.. 1994. Cooperative Learning In The Science Classroom. New New York: Glencou/Mc Graw-Hill.
Ratumanan, T. G. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: University Press.
----------, 1997. Cooperative Learning: Theory & Practice. Second Edition. Massachusetts: Allyn & Bacon.
----------, 2000. Educational Psychology Theory Into Practice. Edisi 6.Boston: Allyn & Bacon.
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, (konstatasi keadaan masa kinimenuju harapan masa depan). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
-----------, 2001a. Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan Pembudayaan penalaran, Media Pendidikan Matematika. Surabaya; IKIP Surabaya.
-----------, 2001b. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari2001.
Sukahar. 1992. Diagnosis Kemampuan Menguasai Konsep dan Melakukan Operasi Hitung Mahasiswa FPMIPA IKIP Surabaya Angkatan 1991/1992.Surabaya: FPMIPA IKIP Surabaya.
Terwel, J. 1990. Real Maths in Cooperative Groups in Secondary Education. Dalam Cooperative Learning in Mathematics. Neil Davidson (Ed). New York: Addison-Wisley Publishing Company.
Treffers. A. 1991. “Didactical Background of a Mathematics Programs for Primary Education” dalam L. Streefland (Editor): Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute – Utrecht University
Yuwono, I.. 2000. Model Pembelajaran Matematika Secara Membumi.Proposal Disertasi Program S3
Pendidikan Matematika Pasca Sarjana. Unesa. UNESA Surabaya.
86Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKANTERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN
DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKANKABUPATEN/KOTA
Oleh :
Lamhot Basani Sihombing
Abstrak
Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut.
Kata kunci: otonomi, desentralisasi, paradigma baru pendidikan, perencanaan partisipatif, kebijakan pendidikan, model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi
PENDAHULUAN
Era reformasi telah membawa
perubahan-perubahan mendasar dalam
berbagai kehidupan termasuk kehidupan
pendidikan. Salah satu perubahan
mendasar adalah manajemen Negara,
yaitu dari manajemen berbasis pusat
menjadi manajemen berbasis daerah.
Secara resmi, perubahan manajemen ini
telah diwujudkan dalam bentuk Undang-
Undang Republik Indonesia No. 22
Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan
disempurnakan menjadi Undang-Undang
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun
telah dibuat melalui Peraturan
87Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Pemerintah Republik Indonesia No. 25
tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi
logis dari Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah tersebut adalah bahwa
manajemen pendidikan harus
disesuaikan dengan jiwa dan semangat
otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan
semangat otonomi itu, antara lain
terwujud dalam bentuk perubahan arah
paradigma pendidikan, dari paradigma
lama ke paradigma baru, yang tentu juga
berdampak pada paradigma perencanaan
pendidikannya. Secara ideal, paradigma
baru pendidikan tersebut mestinya
mewarnai kebijakan pendidikan baik
kebijakan pendidikan yang bersifat
substantif maupun implementatif. Seperti
yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra
(2002: xii) bahwa dengan era otonomi
daerah :
”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan”
Agar dampak positif dapat benar-
benar terwujud, kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik di daerah sangatlah
diperlukan. Dengan kemampuan
perencanaan pendidikan yang baik
diharapkan dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya permasalahan
yang serius. Fiske (1996) menyatakan
bahwa berdasarkan pengalaman berbagai
negara sedang berkembang yang
menerapkan otonomi di bidang
pendidikan, otonomi berpotensi
memunculkan masalah: perbenturan
kepentingan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, menurunnya mutu pendidikan,
inefisiensi dalam pengelolaan
pendidikan, ketimpangan dalam
pemerataan pendidikan, terbatasnya
gerak dan ruang partisipasi masyarakat
dalam pendidikan, serta berkurangnya
tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh
pemerintah serta meningkatnya
akuntabilitas pendidikan oleh
masyarakat.
Selain itu, dengan perencanaan
yang baik, konon, merupakan separoh
dari kesuksesan dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan yang telah
diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata
Abdul Madjid dalam tulisannya
”Pendidikan Tanpa Planning”
(Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa
rendahnya mutu pendidikan kita
88Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
disebabkan oleh belum komprehensifnya
pendekatan perencanaan yang digunakan.
Perencanaan pendidikan, katanya, hanya
dijadikan faktor pelengkap atau dokumen
”tanpa makna” sehingga sering terjadi
tujuan yang ditetapkan tidak tercapai
secara optimal. Dapat juga terjadi, seperti
dinyatakan H. Noeng Muhadjir
(2003:89), bahwa ”pembuatan
implementasi kebijakan berupa
perencanaan, mungkin saja dilakukan
oleh para eksekutif tanpa penelitian lebih
dahulu. Kemungkinan resikonya
beragam, misalnya membuat kesalahan
yang sama dengan eksekutif terdahulu,
tidak realistis, tidak menjawab masalah
yang dihadapi masyarakat, sampai ke
dugaan manipulatif-koruptif ”.
Era otonomi daerah telah
mengakibatkan terjadinya pergeseran
arah paradigma pendidikan, dari
paradigma lama ke paradigma baru,
meliputi berbagai aspek mendasar yang
saling berkaitan, yaitu (1) dari
sentralistik menjadi desentralistik, (2)
dari kebijakan yang top down ke
kebijakan yang bottom up, (3) dari
orientasi pengembangan parsial menjadi
orientasi pengembangan holistik, (4) dari
peran pemerintah sangat dominan ke
meningkatnya peranserta masyarakat
secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5)
dari lemahnya peran institusi non sekolah
ke pemberdayaan institusi masyarakat,
baik keluarga, LSM, pesantren, maupun
dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).
Agak berbeda dengan hal
tersebut, dalam buku Depdiknas
(2002:10) tentang Materi Pelatihan
Terpadu untuk Kepala Dinas
Kabupaten/Kota, selain perubahan
paradigma dari “sentralistik ke
desentralistik” dan orientasi pendekatan
“dari atas ke bawah” (top down
approach) ke pendekatan “dari bawah ke
atas” (bottom up approach) sebagaimana
yang sudah disebut dalam buku Fasli
Jalal, juga disebutkan tiga paradigma
baru pendidikan lainnya, yaitu dari
“birokrasi berlebihan” ke
“debirokratisasi”, dari “Manajemen
Tertutup” (Closed Management) ke
“Manajemen Terbuka” (Open
Management), dan pengembangan
pendidikan, termasuk biayanya,
“terbesar menjadi tanggung jawab
pemerintah” berubah ke “sebagian besar
menjadi tanggung jawab orang tua siswa
dan masyarakat (stakeholders).
Dengan terjadinya perubahan
paradigma baru pendidikan, maka sistem
perencanaan pendidikan dalam iklim
pemerintahan yang sentralistik, sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
perencanaan pendidikan pada era
otonomi daerah, sehingga diperlukan
89Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
paradigma baru perencanaan pendidikan.
Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2),
perubahan paradigma dalam sistem
perencanaan pendidikan di daerah
setidak-tidaknya akan menyentuh lima
aspek, yaitu sifat, pendekatan,
kewenangan pengambilan keputusan,
produk serta pola perencanaan
anggaran.
Dari segi sifat perencanaan
pendidikan, maka perencanaan
pendidikan pada tingkat daerah sebagai
kegiatan awal dari proses pengelolaan
pendidikan termasuk kegiatan yang wajib
dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu,
Pemerintah Pusat berkewajiban
merumuskan kebijakan tentang
perencanaan nasional, yang dalam
pelaksanaannya telah dituangkan dalam
bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan
Nasional. Pada tingkat Departemen,
Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke
dalam dokumen Rencana Strategis
(Renstra) yang memuat strategi umum
untuk mencapai tujuan program
pembangunan di bidang masing-masing
dan dituangkan dalam Keputusan
Menteri. Berdasarkan Renstra itu,
Pemerintah Pusat menyusun Program
pembangunan tahunan yang disingkat
Propeta yang dituangkan dalam
Keputusan Menteri, sesuai dengan
lingkup tugas dan kewenangan masing-
masing.
Selain itu, pada era otonomi
daerah diharapkan akan lebih tumbuh
kreativitas dan prakarsa, serta mendorong
peran serta masyarakat sesuai dengan
potensi dan kemampuan masing-masing
daerah. Ini berarti bahwa dalam
membangun pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan
perencanaan pendidikan tingkat daerah
yang baik dan distinktif, tidak hanya
bertumpu kepada perencanaan nasional
yang makro, tetapi juga dapat
mempertimbangkan keunikan,
kemampuan, dan budaya daerah masing-
masing sehingga mampu menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas daerah.
Perencanaan program pendidikan di
daerah bukan lagi merupakan bagian
atau fotokopi dari perencanaan program
tingkat nasional maupun propinsi, tetapi
merupakan perencanaan pendidikan yang
unik dan mandiri sehingga beragam,
walaupun disusun atas dasar rambu-
rambu kebijakan perencanaan nasional.
Dari segi pendekatan
perencanaan pendidikan, era otonomi
telah merubah paradigma dalam
pendekatan perencanaan pendidikan di
daerah dari pendekatan diskrit sektoral
menjadi integrated dengan sektor
lainnya di daerah. Sebelum otonomi,
90Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
sistem alokasi anggaran pendidikan di
daerah diperoleh dari APBN pusat secara
sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda
dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah
otonomi diperoleh dari APBD yang
berasal dari berbagai sumber sebagai
bagian dari dana Daerah untuk seluruh
sektor yang menjadi tanggung jawab
daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana
bagi hasil, dana alokasi umum, dana
dekonsentrasi, dana perbantuan,
pendapatan asli daerah, dan bantuan
masyarakat. Dengan demikian, telah
terjadi perubahan sumber anggaran yang
semula bersifat tunggal-hierarkhi-
sektoral sekarang menjadi jamak-
fungsional-regional, tetapi dalam
persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan
pengambilan keputusan, sistem
perencanaan pendidikan yang sentralistik
telah menutup kewenangan Daerah
dalam pengambilan keputusan di bidang
pendidikan baik pada tataran kebijakan,
skala prioritas, jenis program, jenis
kegiatan, bahkan dalam hal rincian
alokasi anggaran. Namun, dalam era
otonomi Daerah dapat dan harus
menetapkan kebijakan, program, skala
prioritas, jenis kegiatan sampai dengan
alokasi anggarannya sesuai dengan
kemampuan Daerah, sepanjang tidak
bertentangan dengan kebijakan nasional
yang antara lain dalam bentuk Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan.
Sementara dari segi produk
perencanaan pendidikan, pada era
desentralisasi produk perencanaan
pendidikan diharapkan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perencanaan
pembangunan Daerah secara lintas
sektoral. Oleh karena itu, produk
perencanaan pendidikan yang dihasilkan
harus mencakup seluruh komponen
perencanaan pendidikan yang meliputi:
kebijakan, rencana strategis, skala
prioritas, program, sasaran dan kegiatan,
serta alokasi anggarannya dalam konteks
perencanaan pembangunan Daerah
secara terpadu. Semua komponen itu
perlu dikembangkan secara spesifik
sesuai dengan kemampuan dan
kharakteristik Daerah, sejauh tidak
bertentangan dengan kebijakan umum,
prioritas nasional, dan program-program
strategis yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Dampak dari pergeseran
paradigma dari keempat aspek tersebut di
atas juga membawa dampak pada
perubahan pola perencanaan
anggarannya. Pola perencanaan anggaran
menggunakan pendekatan integratif,
sehingga pola dalam merencanakan
91Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
anggaran selain mengacu pada sifat
prosedural juga menggunakan prinsip
efisiensi dengan berorientasi outcomes
karena tingkat keberhasilan pendidikan
dikontraskan dengan tingkat keberhasilan
sektor lain. Pola manajemen anggaran
yang tepat adalah manajemen strategik
anggaran yang lebih berorientasi kepada
pencapaian program dan upaya
pengembangan.
PEMBAHASAN
Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan
pendidikan di atas, tentu saja
berimplikasi pada proses perencanaan
pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era
otonomi daerah, Sistem Perencanaan
Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK)
adalah bagian integral dari sistem
Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah
UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional,
terjadi perubahan paradigma perencanaan
pembangunan daerah, yaitu mendasarkan
pada perencanaan partisipatif, di mana
perencanaan dibuat dengan
memperhatikan dinamika, prakarsa dan
kebutuhan masyarakat setempat. Oleh
karenanya, dalam penyusunan
perencanaan pembangunan tersebut
diperlukan koordinasi antar instansi
Pemerintah dan partisipasi seluruh
pelaku pembangunan, melalui suatu
forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) tingkat
kelurahan, tingkat kecamatan, dan
tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah. Setiap perencanaan
pembangunan daerah selanjutnya harus
ditetapkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20
tahun, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun
dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), untuk periode satu tahun.
Saling kait antar hierarkhi
perencanaan pembangunan daerah,
dengan dokumen perencanaan lainnya
sampai tersusunnya RAPBD adalah
sebagai berikut.
92Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Gambar 1. Hubungan Antara Perencanaan Pembangunan di Daerah dengan Dokumen Perencanaan lainnya.
Dari bagan di atas Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) merupakan dokumen
perencanaan daerah yang digunakan
sebagai dasar untuk penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Kemudian Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
digunakan sebagai pedoman untuk
menyusun Rencana Strategis Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD),
serta Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) dengan tetap memperhatikan
RKP dan RKPD Provinsi. RKPD itu
sendiri merupakan dokumen perencanaan
teknis operasional untuk kurun waktu
satu tahun, merupakan penjabaran
RPJMD Kab/Kota. RKPD disusun
berdasarkan tugas pokok dan fungsi
SKPD serta aspirasi masyarakat melalui
penjaringan aspirasi, Musrenbang
kelurahan dan kecamatan, dan forum
SKPD.
Dengan demikian, SPPK sebagai
bagian integral dari perencanaan
pembangunan daerah dan sebagai satu
kesatuan tata cara perencanaan
pendidikan Kabupaten/Kota mesti
menghasilkan dokumen-dokumen
perencanaan pendidikan kabupaten/kota
dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh
unsur penyelenggara pendidikan
kabupaten/kota dan masyarakat (diwakili
oleh Dewan Pendidikan).
RPPK (Rancangan Perencanaan
Pendidikan Kabupaten/Kota) Jangka
Panjang adalah dokumen perencanaan
pendidikan kabupaten/kota untuk periode
20 (dua puluh) tahun; RPPK Jangka
Menengah (Rencana Strategis) adalah
dokumen perencanaan pendidikan
kabupaten/kota untuk periode 5 (lima)
93Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
tahun. Sedangkan RPPK Tahunan adalah
dokumen perencanaan pendidikan
kabupaten/kota untuk periode 1 (satu)
tahun.
Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Dalam upaya perumusan
dokumen-dokumen perencanaan
pendidikan tersebut, Slamet P.H. (2005),
mengemukakan sebuah model proses
perencanaan pendidikan Kabupaten/
Kota sebagai berikut.
Gambar 2. Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Model proses perencanaan
pendidikan di atas sekaligus memberi
gambaran mengenai tahap-tahap
perencanaan pendidikan kabupaten/kota.
Secara singkat, penjelasannya adalah
sebagai berikut.
a. Melakukan analisis lingkungan
strategis. Lingkungan strategis
adalah lingkungan eksternal yang
berpengaruh terhadap perencanaan
pendidikan kabupaten/kota, misalnya:
Propeda, Renstrada, Repetada,
peraturan perundangan (UU, PP,
Kepres, Perda, dsb), tingkat
kemiskinan, lapangan kerja, harapan
masyarakat terhadap pendidikan,
pengalaman-pengalaman praktek
yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan
globalisasi, dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Perubahan lingkungan strategis harus
diinternalisasikan ke dalam
perencanaan pendidikan
kabupaten/kota agar perencanaan
tersebut benar-benar menyatu dengan
perubahan lingkungan strategis.
94Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
b. Melakukan analisis situasi untuk
mengetahui status situasi pendidikan
saat ini (dalam kenyataan) yang
meliputi profil pendidikan
kabupaten/kota (pemerataan, mutu,
efisiensi, dan relevansi), pemetaan
sekolah/ guru/ siswa, kapasitas
manajemen dan sumber daya pada
tingkat kabupaten/kota dan sekolah,
dan best practices pendidikan saat
ini.
c. Memformulasikan pendidikan yang
diharapkan di masa mendatang yang
dituangkan dalam bentuk rumusan
visi, misi, dan tujuan pendidikan,
yang mencakup setidaknya
pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi, dan peningkatan
kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
d. Mencari kesenjangan antara butir (2)
dan butir (3) sebagai bahan masukan
bagi penyusunan rencana pendidikan
keseluruhan yang akan datang (5
tahun) dan rencana jangka pendek (1
tahun). Kesenjangan/tantangan yang
dimaksud mencakup pemerataan
kesempatan, mutu, efisiensi,
relevansi dan pengembangan
kapasitas manajemen pendidikan
pada tingkat kabupaten dan sekolah.
e. Berdasarkan hasil butir (4)
disusunlah rencana kegiatan tahunan
untuk selama 5 tahun (rencana
strategis) dan rencana kegiatan rinci
tahunan (rencana operasional/renop).
f. Melaksanakan rencana
pengembangan pendidikan
kabupaten/kota melalui upaya-upaya
nyata yang dapat meningkatkan
pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi dan kapasitas
manajemen pendidikan pada tingkat
kabupaten/kota dan sekolah.
g. Melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan rencana dan melakukan
evaluasi terhadap hasil rencana
pendidikan. Hasil evaluasi akan
memberitahu apakah hasil pendidikan
sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan memperhatikan substansi
utamanya, model tahap-tahap
perencanaan pendidikan di atas bisa
digambarkan dalam bentuk sebagai
berikut.
95Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Gambar 3. Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Sebagaimana sudah disebut
secara implisit di atas, bahwa pada
hakekatnya sebuah perencanaan dibuat
dalam rangka mengubah ”situasi
pendidikan saat ini” (dalam kenyataan)
menuju ke ”situasi pendidikan yang
diharapkan” di masa mendatang. Untuk
itu, ada tiga kata kunci yang harus
dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan
dan program pendidikan.
Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada
paradigma baru pendidikan. Kebijakan
adalah suatu ucapan atau tulisan yang
memberikan petunjuk umum tentang
penetapan ruang lingkup yang memberi
batas dan arah umum kepada para
manajer untuk bergerak. Kebijakan juga
berarti suatu keputusan yang luas untuk
menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan
manajemen. Keputusan yang dimaksud
telah dipikirkan secara matang dan hati-
hati oleh pengambil keputusan puncak
dan bukan kegiatan-kegiatan yang
berulang dan rutin yang terprogram atau
terkait dengan aturan-aturan keputusan
(Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet
P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah
apa yang dikatakan (diputuskan) dan
dilakukan oleh pemerintah dalam bidang
pendidikan. Dengan demikian, kebijakan
pendidikan berisi keputusan dan tindakan
yang mengalokasikan nilai-nilai.
Menurutnya, kebijakan pendidikan
meliputi lima tipe, yaitu kebijakan
regulatori, kebijakan distributif,
kebijakan redistributif, kebijakan
kapitalisasi dan kebijakan etik.
Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90),
membedakan antara kebijakan substantif
dan kebijakan implementatif. Kebijakan
implementatif adalah penjabaran
96Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
sekaligus operasionalisasi dari kebijakan
substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003)
mengemukakan tiga pengertian kebijakan
(policy) yaitu (1) sebagai pernyataan
lesan atau tertulis pimpinan tentang
organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai
ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan
pedoman, pegangan atau petunjuk bagi
setiap kegiatan, sehingga tercapai
kelancaran dan keterpaduan dalam
mencapai tujuan organisasi, dan (3)
sebagai peta jalan untuk bertindak dalam
mencapai tujuan organisasi. Menurutnya,
kebijakan yang baik harus memenuhi
syarat sebagai berikut.
a. Kebijakan yang dibuat harus
diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
b. Kebijakan yang dibuat harus
berpedoman pada kebijakan yang
lebih tinggi dan memperhatikan
kebijakan yang sederajat yang lain;
c. Kebijakan yang dibuat harus
berorientasi ke masa depan;
d. Kebijakan yang dibuat harus adil;
e. Kebijakan yang dibuat harus berlaku
untuk waktu tertentu;
f. Kebijakan yang dibuat harus
merupakan perbaikan atas kebijakan
yang telah ada;
g. Kebijakan yang dibuat harus mudah
dipahami, diimplementasikan,
dimonitor dan dievaluasi;
h. Kebijakan yang dibuat harus
berdasarkan informasi yang benar
dan up to date;
i. Sebelum kebijakan dijadikan
keputusan formal, maka bila mungkin
diujicobakan terlebih dulu.
Herman, J. dalam Hough, J. R.
(ed) (1984) menjelaskan bahwa “Policy
is sometimes used in a narrow sense to
refer to formal statements of action to be
followed, while others use the word
‘policy’ as a synonym for words such as
‘plan’ or ‘programme’. Many writers too
do not distinguish clearly between
‘policy-making’ and ‘decision-making’”.
Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan
tersebut disamaartikan dengan konsep
lain, yaitu :
a. Goals : desired ends to be achieved.b. Plans or proposals : specified means
for achieving goals.c. Programmes : authorized means,
strategies and details of procedure for achieving goals.
d. Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and evaluate programmes
e. Effects : measurable impact of programmes
f. Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to policies. Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather than random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than
97Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
separate discrete decision; usually policy development and application involves a number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as procedural or administrative policy.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kebijakan pendidikan
adalah upaya perbaikan dalam tataran
konsep pendidikan, perundang-
undangan, peraturan dan pelaksanaan
pendidikan serta menghilangkan praktik-
praktik pendidikan di masa lalu yang
tidak sesuai atau kurang baik sehingga
segala aspek pendidikan di masa
mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan
pendidikan diperlukan agar tujuan
pendidikan nasional dapat dicapai secara
efektif dan efisien.
Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat
dengan mengacu pada kebijakan
pendidikan yang telah ditetapkan.
Perencanaan pendidikan adalah proses
penyusunan gambaran kegiatan
pendidikan di masa depan dalam rangka
untuk mencapai perubahan/tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam
rangka membuat perencanaan pendidikan
tersebut, perencana melakukan proses
identifikasi, mengumpulkan, dan
menganalisis data-data internal dan
eksternal (esensial dan kritis) untuk
memperoleh informasi terkini dan yang
bermanfaat bagi penyiapan dan
pelaksanaan rencana jangka panjang dan
pendek dalam rangka untuk
merealisasikan atau mencapai tujuan
pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting
untuk memberi arah dan bimbingan pada
para pelaku pendidikan dalam rangka
menuju perubahan atau tujuan yang lebih
baik (peningkatan, pengembangan)
dengan resiko yang kecil dan untuk
mengurangi ketidakpastian masa depan.
Tanpa perencanaan pendidikan yang baik
akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan
yang akan dicapai, resiko besar dan
ketidakpastian dalam menyelenggarakan
semua kegiatan pendidikan. Dengan
kemampuan perencanaan pendidikan
yang baik di daerah, oleh karenanya,
diharapkan akan dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya permasalahan
yang serius sebagai dampak dari
diberlakukannya otonomi pendidikan itu
di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat
perencanaan di bidang pendidikan,
98Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
umumnya orang menggunakan teknik
analisis SWOT, dimaksudkan untuk
mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
kesempatan atau peluang dan tantangan
atau ancaman yang dihadapi oleh
organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan
posisi organisasi dalam berbagai aspek
bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu
bisa ditetapkan prioritas strategi dan
program-programnya, serta peta urutan
pelaksanaannya.
Program Pendidikan
Pada intinya, program pendidikan
adalah kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan
strategi dan kebijakan pendidikan yang
telah ditetapkan.
Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
Pemerataan Kesempatan Memperoleh Pendidikan
Sebagaimana diamanatkan dalam
UUD 1945, pada dasarnya pelayanan
pendidikan yang bermutu merupakan hak
bagi seluruh warga negara Indonesia.
Meskipun demikian kenyataan
menunjukkan bahwa saat ini belum
semua warga negara dapat memperoleh
haknya atas pendidikan. Oleh karena itu
pemerintah sebagai penyelenggara
negara wajib berupaya untuk
memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen
Mandikdasmen, disebutkan mengenai
konsep, indikator keberhasilan, dan
sumber daya pendukung untuk kebijakan
pemerataan dan perluasan akses
pendidikan sebagai berikut.
Tabel 1. Kebijakan dan pemerataan Pendidikan
99Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Studi yang secara langsung
diarahkan pada analisis kebijakan dalam
pemerataan pendidikan ialah studi yang
dilakukan oleh James Coleman (Ace
Suryadi dan H. A. R Tilaar, 1994: 29)
yang berjudul Equality of Educational
Opportunity. Coleman membedakan
secara konsepsional antara pemerataan
kesempatan pendidikan secara pasif,
dengan pemerataan pendidikan secara
aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif
lebih menekankan pada kesamaan
memperoleh kesempatan untuk
mendaftar di sekolah, sedangkan
pemerataan aktif ialah kesempatan yang
sama yang diberikan oleh sekolah kepada
murid-murid terdaftar agar memperoleh
hasil belajar setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep
pemerataan pendidikan ini secara lebih
jelas diungkapkan oleh Schiefelbein dan
Farrel (1982). Dalam studinya di Chili,
mereka menggunakan landasan konsep
pemerataan pendidikan yang relatif lebih
komprehensif daripada konsepsi
pemerataan pendidikan yang selama ini
digunakan. Berdasarkan konsep mereka,
pemerataan pendidikan atau equality of
educational opportunity tidak hanya
terbatas pada, apakah murid memiliki
kesempatan yang sama untuk masuk
sekolah (pemerataan kesempatan
pendidikan secara pasif menurut
Coleman), tetapi lebih dari itu, murid
tersebut harus memperoleh perlakuan
yang sama sejak masuk, belajar, lulus,
sampai dengan memperoleh manfaat dari
pendidikan yang mereka ikuti dalam
kehidupan di masyarakat.
Pertama, yaitu pemerataan
kesempatan memasuki sekolah (equality
of access). Konsep ini berkaitan erat
dengan tingkat partisipasi pendidikan
sebagai indikator kemampuan sistem
pendidikan dalam memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi anak
usia sekolah untuk memperoleh
pendidikan. Pemerataan pendidikan ini
dapat dikaji berdasarkan dua konsep
yang berlainan, yaitu pemerataan
kesempatan (equality of access) dan
keadilan (equity) di dalam memperoleh
pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan
untuk bertahan di sekolah (equality of
survival). Konsep ini menitikberatkan
pada kesempatan setiap individu untuk
memperoleh keberhasilan dalam
pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis
ini mencurahkan perhatian pada tingkat
efisiensi internal sistem pendidikan
dilihat dari beberapa indikator yang
dihasilkan dari metode Kohort. Metode
ini mempelajari efisiensi pendidikan
berdasarkan murid-murid yang berhasil
100Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
dibandingkan dengan murid-murid yang
mengulang kelas dan yang putus sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan
untuk memperoleh keberhasilan dalam
belajar (equality of output). Dilihat dari
sudut pandang perseorangan equality of
output ini menggambarkan kemampuan
sistem pendidikan dalam memberikan
kemampuan dan ketrampilan yang tinggi
kepada lulusan tanpa membedakan
variabel suku bangsa, daerah, status
sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep
output pendidikan biasanya diukur
dengan prestasi belajar akademis. Di
pandang dari sudut sistemnya itu sendiri,
konsep ini menggambarkan seberapa
jauh sistem pendidikan itu efisien dalam
memanfaatkan sumber daya yang
terbatas, efektif dalam mengisi
kekurangan tenaga kerja yang
dibutuhkan, dan mampu melakukan
kontrol terhadap kemungkinan kelebihan
tenaga kerja dalam hubungannya dengan
jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan
kerja.
Keempat, yaitu pemerataan
kesempatan dalam menikmati manfaat
pendidikan dalam kehidupan masyarakat
(equality ot outcome). Konsep ini
menggambarkan keberhasilan pendidikan
secara eksternal (exsternal efficiency)
dari suatu sistem pendidikan dan
pelatihan dihubungkan dengan
penghasilan lulusan (individu), jumlah
dan komposisi lulusan disesuaikan
dengan kebutuhan akan tenaga kerja
(masyarakat), dan yang lebih jauh lagi
pertumbuhan ekonomi (masyarakat).
Teknik-teknik analisis yang digunakan
biasanya meliputi analisis rate of return
to education, hubungan pendidikan
dengan kesempatan kerja, fungsi
produksi pendidikan dengan
menggunakan pendekaan ”status
attainment analytical model”, dan
sebagainya.
Kebijakan terhadap pemerataan
kesempatan meliputi aspek persamaan
kesempatan, akses dan keadilan atau
kewajaran. Contoh-contoh pemerataan
kesempatan, misalnya, beasiswa untuk
siswa miskin, pelatihan guru PLB,
pembenahan SMP terbuka, perencanaan
bagi daerah-daerah terpencil atau gender,
peningkatan APK dan APM, peningkatan
angka melanjutkan, pengurangan angka
putus sekolah, dan lain-lain.
Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia relatif
rendah yang menyebabkan sulitnya
bangsa Indonesia bersaing dengan
bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan
sebuah bangsa sangat ditentukan oleh
dua faktor yang mendukung, yaitu
internal dan eksternal (Dodi Nandika,
101Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
2007:16). Faktor internal meliputi jajaran
dunia pendidikan, seperti Depdiknas,
Dinas Pendidikan daerah dan sekolah
yang berada di garis depan, dan faktor
eksternal yaitu masyarakat pada
umumnya. Dua faktor ini haruslah saling
menunjang dalam upaya peningkatan
kualitas tersebut. Salah satu implikasi
langsungnya ialah pada perlunya
program-program yang terkait seperti
penyediaan dan rehabilitasi sarana dan
prasarana belajar, guru yang berkualitas,
buku pelajaran bermutu yang terjangkau
masyarakat, alat bantu belajar untuk
meningkatkan kreativitas, dan sarana
penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup
aspek input, proses dan output, dengan
catatan bahwa output sangat ditentukan
oleh proses, dan proses sangat
dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input.
Contoh perencanaan kualitas misalnya,
pengembangan tenaga
pendidik/kependidikan (guru, kepala
sekolah, konselor, pengawas, staf dinas
pendidikan, pengembangan dewan
pendidikan, dan komite sekolah, rasio
(siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang
kelas, siswa/ sekolah), pengembangan
bahan ajar, pengembangan tes standar di
tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan
per siswa, pengembangan model
pembelajaran (pembelajaran tuntas,
pembelajaran dengan melakukan,
pembelajaran kontektual, pembelajaran
kooperatif dan sebagainya).
Efisiensi pendidikan
Efisiensi menunjuk pada hasil
yang maksimal dengan biaya yang wajar.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi
eksternal. Efisiensi internal merujuk
kepada hubungan antara output sekolah
(pencapaian prestasi belajar) dan input
(sumber daya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output
sekolah. Efisiensi eksternal merujuk
kepada hubungan antara biaya yang
digunakan untuk menghasilkan tamatan
dan keuntungan kumulatif (individual,
sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang
didapat setelah kurun waktu yang
panjang di luar sekolah. Contoh-contoh
perencanaan peningkatan efisiensi,
misalnya, peningkatan angka kelulusan,
rasio keluaran/masukan, angka kenaikan
kelas, penurunan angka mengulang,
angka putus sekolah, dan peningkatan
angka kehadiran dan lain-lain.
Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada
kesesuaian hasil pendidikan dengan
kebutuhan (needs), baik kebutuhan
peserta didik, kebutuhan keluarga, dan
kebutuhan pembangunan yang meliputi
berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-
102Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
contoh perencanaan relevansi misalnya,
program ketrampilan kejuruan/
kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-
siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum
muatan lokal, pendidikan kecakapan
hidup dan peningkatan jumlah siswa
yang terserap di dunia kerja.
Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas
adalah kemampuan individu dan
organisasi atau unit organisasi untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara
efektif, efisien, dan berkelanjutan
(UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi
pendidikan sangat ditentukan oleh
tingkat kesiapan kapasitas makro,
kelembagaan, sumber daya dan
kemitraan. Pengembangan kapasitas
tingkat makro meliputi : (1) arahan-
arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan,
pengawasan dan kontrol. Pengembangan
kapasitas kelembagaan mencakup
kemampuan dalam merumuskan visi,
misi, tujuan, kebijakan, dan strategi,
perencanaan pendidikan, manajemen
pada semua aspek pendidikan
(kurikulum, ketenagaan, keuangan,
sarana dan prasarana, dsb), sistem
informasi manajemen pendidikan,
pengembangan pengaturan (regulasi dan
legislasi), pendidikan, pengembangan
sumber daya manusia, pengembangan
organisasi (tugas dan fungsi serta struktur
organisasinya), proses pengambilan
keputusan dalam organisasi, prosedur
dan mekanisme kerja, hubungan dan
jaringan antar organisasi, pengembangan
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
pengembangan kepemimpinan
pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya
mencakup sumber daya manusia
(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana)
dan sumber daya selebihnya (uang,
peralatan, perlengkapan, bahan, dsb).
Sedangkan, pengembangan kapasitas
kemitraan dilandasi oleh kesadaran
bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan
harus dilakukan secara terpadu antara
lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat karena masing-masing
memiliki pengaruh terhadap pendidikan
anak.
Khusus mengenai kebijakan
peningkatan mutu, relevansi dan daya
saing, dalam kebijakan Ditjen
Mandikdasmen, disebutkan mengenai
konsep, indikator keberhasilan, dan
pendukung sebagai berikut.
103Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Dalam arah pengembangan
manajemen Dikdasmen juga
dikemukakan mengenai kebijakan
penguatan tatakelola, akuntabilitas dan
pencitraan publik, yang konsep, indikator
keberhasilan, pendukung dan
programnya sebagai berikut.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai
berikut: 1) Era reformasi telah membawa
perubahan mendasar dalam pendidikan,
salah satunya adalah terjadinya
perubahan arah paradigma pendidikan,
termasuk dalam hal sistem perencanaan
pendidikan di daerah; 2) Dengan
104Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
terjadinya perubahan paradigma baru
pendidikan, maka sistem perencanaan
pendidikan dalam iklim pemerintahan
yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan perencanaan
pendidikan pada era otonomi daerah,
sehingga diperlukan paradigma baru
perencanaan pendidikan; 3) Paradigma
baru perencanaan pendidikan akan
berimplikasi pada proses perencanaan
pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era
otonomi daerah, sistem perencanaan
pendidikan Kabupaten/Kota adalah
bagian integral dari sistem perencanaan
pembangunan daerah Kabupaten/Kota,
yaitu mendasarkan pada perencanaan
partisipatif, di mana perencanaan dibuat
dengan memperhatikan dinamika,
prakarsa dan kebutuhan masyarakat
setempat; 4) Dalam penyusunan
perencanaan pembangunan, termasuk
dalam perencanaan pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi
antar instansi Pemerintah dan partisipasi
seluruh pelaku pembangunan, melalui
suatu forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) tingkat
kelurahan, tingkat kecamatan, dan
tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah; 5) Dalam melakukan
perencanaan pendidikan
Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu
dilakukan analisis lingkungan strategis,
untuk mengetahui lingkungan eksternal
yang berpengaruh terhadap perencanaan
pendidikan kabupaten/kota. Selain itu,
berbagai perubahan lingkungan strategis
harus diakomodasi dan diinternalisasikan
ke dalam perencanaan pendidikan
kabupaten/kota agar perencanaan
tersebut benar-benar menyatu dengan
perubahan lingkungan strategis tersebut.
Kemudian, perlu analisis situasi untuk
mengetahui ”situasi pendidikan saat ini”
dan ”situasi pendidikan yang diharapkan
atau ditargetkan” menyangkut berbagai
kebijakan pendidikan yang ditetapkan,
sehingga kesenjangan dapat diketahui
dan kebijakan substantif dan
implementatif, program serta rencana
kegiatan dapat dipikirkan secara
integrated.
Depdiknas dan para stakeholders
pendidikan lainnya, perlu membuat
pemikiran inovatif-kreatif mengenai
model pembangunan sistem pendidikan
yang terintegrasi, yang dapat meramu
sekaligus mengakomodasi upaya
peningkatan dan pencapaian berbagai
kebijakan pendidikan (pemerataan dan
perluasan akses pendidikan, peningkatan
kualitas pendidikan, relevansi
pendidikan, dan lain-lain yang
ditargetkan) secara bersama-sama, bukan
secara parsial dan berurutan, termasuk
aspek sustainability (keberlanjutan) nya.
105Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Sekedar sebagai contoh, hasil
peningkatan dan pencapaian pemerataan
dan perluasan akses pendidikan, perlu
dibarengi dengan peningkatan kualitas
pendidikan (dengan model peningkatan
kualitas yang massive, misalnya), tapi
juga perlu memperhatikan aspek
relevansi (dengan, misalnya,
mencocokkan kurikulum dengan empirik
yang ada, dengan mengupdate silabus
setiap tahun sekali, meski tanpa merubah
kurikulum formalnya). Aspek
keberlanjutannya perlu juga dipikirkan,
jangan sampai berjalannya sebuah
kebijakan hanya tergantung pada ada
tidaknya subsidi dari pusat, sementara
ketika subsidi ditiadakan atau dicabut,
misalnya, lalu tidak berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Alhumani,A. (11 September 2000).Pembangunan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi. Kompas, p.4.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat
Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana Indonesia.
H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyani A. Nurhadi. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999. Yogyakarta: Seminar Nasional.
Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2000. Kebijakan dan Perencanaan Sosial. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Telaah Cross Discipline. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori
106Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan
Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Slamet P.H. 2005. Kapita SelektaDesentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas.
UU RI No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU RI No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional (Lembaran Negara RI tahun 2004 No.104, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2004 No.4421.
107Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI SUPERVISI KLINIS KEPALA SEKOLAH
Oleh :Sukarman Purba
Abstrak
Supervisi pada hakikatnya dilakukan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor kepada guru agar dapat menghasilkan pembelajaran yang lebih baik. Mengingat beratnya tugas seorang guru dan menjadikan guru sebagai seorang yang profesional dalam bidangnya, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan profesionalisme dalam bidang pekerjaannya. Untuk itu, sudah menjadi suatu keharusan bahwa kepala sekolah haruslah melakukan supervisi klinis kepada guru. Supervisi klinis ialah suatu proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan profesional guru khususnya dalam penampilan mengajar.Dalam melakukan supervisi klinis, kepala sekolah terlebih dahulu mengetahui konsep supervisi klinis dan menerapkan dengan sebaik-baiknya. Terdapat sejumlah langkah supervisi klinis untuk meningkatkan profesionalisme guru dan terdapat sejumlah indikator profesionalisme mengajar guru. Keberhasilan supervisiklinis ditandai dengan terpenuhinya indikator-indikator tersebut.
Kata kunci : Profesionalisme guru dan supervisi klinis
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu
faktor yang sangat fundamental dalam
mengangkat harkat dan martabat suatu
bangsa dan meningkatkan kualitas
kehidupan sehingga merupakan faktor
penentu bagi perkembangan sosial dan
ekonomi ke arah yang lebih baik.
Mengingat begitu pentingnya peran
pendidikan bagi kehidupan masayarakat,
maka pemerintah dewasa ini sangat
memperhatikan segala aspek pendidikan
yang ada untuk dikembangkan, dengan
harapan agar pendidikan di Indonesia
bangkit dari keterpurukan dan menjadi
yang terdepan dalam pembangunan. Saat
ini pemerintah pusat maupun daerah
tengah berkonsentrasi secara penuh
terhadap kemajuan dalam pembangunan
pendidikan, dalam rangka meningkatkan
sumber daya manusia yang diyakini
sebagai faktor penunjang akselerator
kemajuan daerah. Untuk itu, diperlukan
peningkatan kemampuan profesionalisme
guru dalam mengembangkan
pembelajaran yang dapat membawa anak
didik menjadi lulusan yang berkualitas
tinggi dan memiliki jiwa seorang sumber
daya manusia yang kompeten.
Peran guru sebagai ujung tombak
dalam pembelajaran haruslah menjadi
seorang yang profesional dalam
bidangnya, dan untuk mencapainya
diperlukan upaya untuk meningkatkan
profesionalisme guru tersebut.
Peningkatan profesionalisme guru harus
108Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
dilakukan untuk menjawab tantangan
dunia pendidikan yang semakin komplek,
serta untuk lebih mengarahkan sekolah
ke arah pencapaian tujuan pendidikan
nasional secara efisien. Dalam
meningkatkan profesionalisme guru,
maka peran Kepala sekolah sangat
diperlukan dalam memberikan supervisi
terhadap kesulitan-kesuulitan atau
keluhan-keluhan yang dihadapi guru
dalam pembelajaran di Sekolah. Satu di
antara bentuk pengawasan yang
dilakukan kepala sekolah terhadap guru,
disebut supervisi klinis. Kata klinis
tersirat makna cara-cara pelayanan
seorang dokter kepada pasiennya yang
sedang menderita sakit. Seorang dokter
mengadakan pemeriksaan berdasarkan
keluhan-keluhan pasiennya yang sedang
menderita sakit. Dokter tersebut
memeriksa penyakit pasien berdasarkan
keluhan-keluhan tadi, kemudian
diberikan resep obat yang tepat untuk
penyembuhannya. Proses konsultasi
antara pasien dengan dokternya harus
dalam suasana keterbukaan dan kejujuran
si pasien agar dokter dapat memberikan
obat yang tepat.
Seperti diketahui, bahwa kegiatan
utama pendidikan di sekolah adalah
pembelajaran, yang bertujuan untuk
mencapai hasil belajar semaksimal
mungkin. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka perlu didukung oleh
sejumlah komponen sekolah. Satu di
antara komponen yang memegang
peranan penting adalah kepala sekolah.
Dalam konteks pembelajaran, kepala
sekolah memiliki peranan sebagai
supervisor, sehingga kepala sekolah
harus memiliki kompetensi supervisi.
Peranan supervisor dilakukan dengan
mensupervisi pekerjaan yang dilakukan
oleh guru.
Supervisi pada hakikatnya
dilakukan oleh kepala sekolah yang
berperan sebagai supervisor, tetapi dalam
sistem organisasi pendidikan modern
diperlukan supervisor khusus yang
independent, demi terciptanya
objektivitas dalam pembinaan dan
pelaksanaan tugasnya. Namun, jika
supervisi dilakukan oleh kepala sekolah,
maka ia harus mampu melaksanakan
berbagai pengawasan untuk
meningkatkan kinerja guru. Pengawasan
merupakan sarana kontrol agar kegiatan
pendidikan di sekolah terarah pada tujuan
yang telah ditetapkan. Pengawasan juga
merupakan tindakan preventif untuk
mencegah agar para guru tidak
melakukan penyimpangan dan lebih
berhati-hati dalam melaksanakan
pekerjaannya. Neagley & Evans (1999)
lebih menegaskan bahwa supervisi
merupakan pelayanan kepada pendidik
109Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
agar dapat menghasilkan pembelajaran
yang lebih baik lagi. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa peran kepala
sekolah sebagai supervisor mempunyai
tugas, yaitu (1) mengorganisasi-kan
kegiatan belajar mengajar, (2)
menyiapkan staf pendukung, (3)
menyiapkan fasilitas belajar mengajar,
(4) menyiapkan materi ajar, (5) melatih
para pendidikan, (6) memberikan
konsultasi, (7) mengkoordinasikan
layanan kepada siswa, (8) mengadakan
hubungan kepada masyarakat, dan (9)
melakukan penilaian pengajaran.
Menurut Peraturan Menteri
pendidikan Nasional Republik
Pendidikan Nasional Indonesia Nomor
13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah disebutkan salah satu
kompetensi yang harus dimiliki kepala
sekolah adalah kompetensi supervisi
dengan subkompetensi sebagai berikut:
(1) Merencanakan program supervisi
akademik dalam rangka peningkatan
profesionalisme guru, (2) Melaksanakan
supervisi akademik terhadap guru dengan
menggunakan pendekatan dan teknik
supervisi yang tepat, (3) Menindaklanjuti
hasil supervisi akademik terhadap guru
dalam rangka peningkatan
profesionalisme guru.
Menurut Wiles dan Bondi (2003)
bahwa evolusi peranan supervisi ada
delapan, yaitu: (1) Inspeksi dan
penguatan, (2) Supervisi ilmiah, (3)
Supervisi birokratik, (4) Supervisi
kooperatif, (5) Supervisi sebagai
pengembangan kurikulum, (6) Supervisi
klinis, (7) Supervisi sebagai manajemen,
dan (8) Manajemen instruksional. Pada
tulisan ini peranan supervisi dibatasi
hanya pada supervise klinis, karena
supervisi klinis adalah teknik supervisi
yang paling diperlukan oleh kepala
sekolah dan pengawas sekolah.
Menurut Depdiknas (1990)
pengertian supervisi klinis ialah satu dari
sejumlah bentuk bantuan profesional
yang diberikan secara sistematis kepada
guru berdasarkan kebutuhan guru yang
bersangkutan dengan tujuan membina
keterampilan mengajarnya. Dalam kata
klinis tersirat cara-cara pelayanan medis
seorang dokter kepada pasiennya. Di
level sekolah, pelayanan profesional
kepala sekolah diberikan kepada guru.
PEMBAHASAN
Profesionalisme Guru
Yamin (2007) menyatakan istilah
profesional pada umumnya adalah orang
yang mendapat upah atau gaji dari apa
yang dikerjakan, baik dikerjakan secara
sempurna maupun tidak. Menurut
Sanjaya (2008) bahwa pekerjaan
profesional ditunjang oleh suatu ilmu
tertentu secara mendalam yang hanya
110Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
mungkin diperoleh dari lembaga-
lembaga pendidikan yang sesuai
sehingga kinerjanya didasarkan kepada
keilmuan yang dimilikinya dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan demikian, seorang guru perlu
memiliki kemampuan khusus,
kemampuan yang tidak mungkin dimiliki
oleh orang yang bukan guru, seperti yang
dikemukakan Cooper (1990), yaitu: “a
teacher is person sharged with the
responbility of helping orthers to learn
and to behave in new different ways” .
Dengan demikian,
profesionalisme guru adalah kemampuan
guru untuk melakukan tugas pokoknya
sebagai pendidik dan pengajar meliputi
kemampuan merencanakan, melakukan,
dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran. Pada prinsipnya setiap
guru harus disupervisi secara periodik
dalam melaksanakan tugasnya. Jika
jumlah guru cukup banyak, maka kepala
sekolah dapat meminta bantuan wakilnya
atau guru senior untuk melakukan
supervisi. Keberhasilan kepala sekolah
sebagai supervisor antara lain dapat
ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja
guru yang ditandai dengan kesadaran dan
keterampilan melaksanakan tugas secara
bertanggung jawab.
Profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi. Berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 Tentang Guru dan Dosen, bahwa
seorang guru haruslah memiliki empat
kompetensi, yaitu : (1) Kompetensi
pedagogik, yaitu kemampuan
penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalam yang meliputi: (a)
konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang
menaungi/koheren dengan materi ajar;
(b) materi ajar yang ada dalam kurikulum
sekolah; (c) hubungan konsep antar mata
pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-
konsep keilmuan dalam kehidupan
sehari-hari; dan (e) kompetisi secara
profesional dalam konteks global dengan
tetap melestarikan nilai dan budaya
nasional. (2) Kompetensi kepribadian,
yaitu merupakan kemampuan
kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil;
(c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e)
berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g)
menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja
sendiri; dan (i) mengembangkan diri
secara berkelanjutan. (3) Kompetensi
profesional, yaitu merupakan
111Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam
yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan
metoda keilmuan/teknologi/seni yang
menaungi/koheren dengan materi ajar;
(b) materi ajar yang ada dalam kurikulum
sekolah; (c) hubungan konsep antar mata
pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-
konsep keilmuan dalam kehidupan
sehari-hari; dan (e) kompetisi secara
profesional dalam konteks global dengan
tetap melestarikan nilai dan budaya
nasional. (4) Kompetensi sosial, yaitu
merupakan kemampuan pendidik sebagai
bagian dari masyarakat untuk : (a)
berkomunikasi lisan dan tulisan; (b)
menggunakan teknologi komunikasi dan
informasi secara fungsional; (c) bergaul
secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d)
bergaul secara santun dengan masyarakat
sekitar.
Menurut Suparlan (2006) bahwa
guru selalu disebut sebagai salah satu
komponen utama pendidikan yang amat
penting. Sedangkan, guru, siswa, dan
kurikulum merupakan tiga komponen
utama dalam sistem pendidikan nasional.
Ketiga komponen pendidikan itu
merupakan condition sine quanon´ atau
syarat mutlak dalam proses pendidikan di
sekolah. Melalui mediator guru atau
pendidik, siswa dapat memperoleh menu
sajian bahan ajar yang diolah dalam
kurikulum nasional ataupun dalam
kurikulum muatan lokal. Guru memiliki
tugas sebagai fasilitator agar siswa dapat
belajar dan atau mengembangkan potensi
dasar dan kemampuannya secara optimal.
Menurut Suryasubroto (2002) tugas guru
dalam proses pembelajaran dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kegiatan,
yaitu (a) menyusun program pengajaran
seperti program tahunan pelaksanaan
kurikulum, program
semester/caturwulan, program satuan
pengajaran, (b) menyajikan/
melaksanakan pengajaran seperti
menyampaikan materi, menggunakan
metode mengajar, menggunakan media /
sumber, mengelola kelas/mengelola
interaksi belajar mengajar, (c)
melaksanakan evaluasi belajar:
menganalisis hasil evaluasi belajar,
melaporkan hasil evaluasi belajar, dan
melaksanakan program perbaikan dan
pengayaan. Dengan demikian, dalam
pandangan umum pendidik tidak hanya
dikenal sebagai guru, pengajar, pelatih,
dan pembimbing tetapi juga sebagai
“social agent hired by society to help
facilitate member of society who attend
schools” (Cooper, 1986).
Tuntutan terhadap kualitas guru
yang profesional mendapat perioritas dari
112Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
pemerintah saat ini. Menurut Isjoni
(2006) bahwa guru profesional bukan
lagi merupakan sosok yang berfungsi
sebagai robot, tetapi merupakan
dinamisator yang mengantar potensi-
potensi peserta didik ke arah kerativitas.
Tugas seorang guru profesional meliputi
tiga bidang utama, yaitu: (1) dalam
bidang profesi, (2) dalam bidang
kemanusiaan, dan (3) dalam bidang
kemasyarakatan.
Menurut Wardani, Irawan dan
Suparman (1996) bahwa ada delapan
ketrampilanyang harus dikuasai oleh
seorang guru yang profesional yang
dapat digunakan untuk mengetahui
profesionalisme guru dalam mengajar
antara lain adalah sebagai berikut:
(1)Keterampilan Bertanya Dasar,
(2)Keterampilan Bertanya Lanjut,
(3)Keterampilan Memberi Penguatan,
(4)Keterampilan Menjelaskan,
(5)Keterampilan Menggunakan Variasi,
(6)Keterampilan Mengajar,
(7)Keterampilan Membuat Garis-garis
Besar Program Pembelajaran (GBPP),
dan (8) Keterampilan Membuat Satuan
Acara Pembelajaran (SAP)
Supervisi Klinis
Menurut Sergiovani dan Starrat
(1993) pengertian supervisi adalah
“Supervision is a process designed to
help teacher and supervision leam more
about their practice; to better able to use
their knowledge ang skills to better serve
parents and schools; and to make the
school a more effective learning
community”. (Supervisi merupakan suatu
proses yang dirancang secara khusus
untuk membantu para guru dan
supervisor dalam mempelajari tugas
sehari-hari di sekolah; agar dapat
menggunakan pengetahuan dan
kemampuannnya untuk memberikan
layanan yang lebih baik pada orang tua
siswa dan sekolah, serta berupaya
menjadikan sekolah sebagai masyarakat
belajar yang lebih efektif).
Menurut Chung dan Megginson
(2004) bahwa supervisi klinis (clinical
supervision) adalah pendekatan
membimbing guru dengan penekanan
pada tatap muka dengan supervisor dan
terpusat pada perilaku guru di kelas.
Sedangkan, Acheson dan Gall (dalam
Sukirman, 2006) menyatakan bahwa
supervisi klinis ialah proses membina
guru untuk memperkecil ketidaksesuaian
(kesenjangan) antara tingkah laku
mengajar yang nyata dengan tingkah laku
mengajar yang seharusnya. Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan
supervisi klinis ialah suatu proses
pembimbingan dalam pendidikan yang
bertujuan membantu pengembangan
profesional guru khususnya dalam
113Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
penampilan mengajar berdasarkan
observasi dan analisis data secara teliti
dan objektif sebagai pegangan
untukperubahan perilaku mengajar guru.
Supervisi klinis dilakukan secara tatap
muka antara supervisor dengan guru
layaknya bagaikan dokter dengan
pasiennya.
Di sekolah, guru menyampaikan
keluhan-keluhannya atau permintaan-
permintaannya tentang persiapan,
pelaksanaan, dan penilaian proses
pembelajarannya kepada kepala sekolah
secara terbuka dan jujur. Kepala sekolah
sebagai supervisor mengadakan
observasi berdasarkan keluhan-keluhan
atau permintaan-permintaan guru tadi,
kemudian membimbing guru sedemikian
rupa sehingga memungkinkan guru itu
menemukan sendiri cara-cara mengatasi
keluhan-keluhannya atau bersama-sama
guru berusaha menemukan cara-cara
perbaikan bersama berdasarkan data
yang dikumpulkan selama observasi. Hal
inilah yang menjadi esensi supervisi
klinis. Dalam kenyataannya, yang
menjadi masalah di sekolah adalah
adanya kecenderungan guru enggan
meminta mengadukan masalah-
masalahnya kepada kepala sekolah
karena takut dikira tidak mampu dan
tidak mandiri mengatasi masalahnya
sehingga supervisi klinis menjadi kurang
efektif.
Guru sebagai pasien dengan
penuh kesadaran haruslah mendatangi
kepala sekolah sebagai dokter. Guru
mengungkapkan masalah-masalahnya
atau penyakit-penyakitnya untuk
dipecahkan atau disembuhkan kepada
kepala sekolah. Dalam berkonsultasi
tersebut harus ada keterbukaan guru
kepada kepala sekolah. Namun, dalam
praktiknya, justru yang terjadi
sebaliknya. Guru pada saat ini cenderung
tertutup terhadap masalah yang dihadapi
dan enggan berkonsultasi dengan kepala
sekolahnya. Penyebabnya adalah guru
biasanya merasa malu untuk
mengungkapkan masalah-masalahnya
karena kuatir dikira “bodoh” atau takut
dikira tidak mampu mengatasi
masalahnya sendiri. Guru juga kuatir jika
sudah dianggap tidak mampu mengatasi
masalahnya sendiri akan mempengaruhi
nilai butir prakarsa dalam Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pegawai Negeri
Sipil (DP3) yang diberikan oleh kepala
sekolahnya sebagai atasan langsung guru
bersangkutan.
Depdikbud (1996) menjelaskan
adapun tujuan supervisi klinis diberikan
kepada guru adalah untuk menolong para
guru untuk mengerti inovasi dan
mengubah perilaku mereka sehingga
114Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
cocok dengan inovasi pembelajaran.
Supervisi klinis juga bertujuan
memperbaiki perilaku guru-guru agar
mampu menciptakan suasana
Pembelajaran yang Aktif, Kreatif,
Efektif, Menyenangkan, dan Bermakna
(PAKEMB). Aktif, berarti siswanya
yang lebih banyak melakukan kegiatan-
kegiatan pembelajaran sementara
gurunya hanyalah sebagai fasilitator
belaka. Kreatif, artinya pembelajaran
mampu menggali hal-hal baru yang dapat
menginspirasi siswa. Efektif, berarti
tujuan pembelajaran tercapai dengan
hasil yang memuaskan segala pihak.
Menyenangkan, berarti suasana belajar
membuat siswa dan guru merasa betah
dan mengasyikkan. Bermakna, berarti
proses dan hasil pembelajaran
bermanfaat bagi kehidupan dan
penghidupan siswa baik untuk masa kini
maupun masa depan.
Tujuan khusus supervisi klinis
adalah sebagai berikut: (1) Menyediakan
umpan balik yang objektif dan
profesional bagi guru, (2) Mendiagnosa
masalah-masalah pembelajaran, (3)
Memecahkan masalah-masalah
pembelajaran, (4) Membantu guru dalam
mengembangkan keterampilan mengajar,
(5) Membantu guru dalam menggunakan
strategi pembelajaran, (6) Sebagai dasar
menilai guru dalam kemajuan dan
pendidikan promosi jabatan, (7)
Membantu guru dalam mengembangkan
sikap yang positif terhadap
pengembangan diri secara terus menerus
dalam karir dan profesi secara mandiri
(Depdikbud, 1996).
Sedangkan, fungsi Supervisi
klinis yang diperankan oleh kepala
sekolah adalah untuk: (1) menolong guru
dalam mendiagnosa keterampilan
mengajar guru, (2) meningkatkan
profesionalisme mengajar guru, (3)
menolong guru menetapkan target
pembelajaran, (4) menolong guru cara
mencapai target pembelajaran, (5)
memotivasi guru dalam mengajar yang
baik atau memberikan penguatan, (6)
memfasilitasi guru dalam melengkapi
sarana prasarana mengajar yang
dibutuhkan guru, (7) mengobservasi guru
mengajar di kelas, (8) memberikan
masukan-masukan perbaikan mengajar
kepada guru, (9) mengkaji strategi
pembelajaran yang tepat, (10)
menyediakan dan menyimpan
data/laporan kemajuan guru (Depdikbud,
1996).
Berdasarkan fungsi supervisi
klinis ini dapat dikembangkan atau
ditingkatkan subkompetensi-
subkompetensi supervisi klinis untuk
melaksanakan fungsi tersebut. Untuk
menolong guru dalam mendiagnosa
115Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
keterampilan mengajar guru diperlukan
subkompetensi mampu mendiagnosis
keterampilan mengajar guru. Untuk
meningkatkan profesionalisme mengajar
guru diperlukan subkompetensi metode
mengajar guru. Untuk menolong guru
menetapkan target pembelajaran
diperlukan subkompotensi pemecahan
masalah. Untuk menolong guru dalam
mencapai target pembelajaran, maka
diperlukan subkompetensi kemampuan
mengajar. Untuk memotivasi guru dalam
mengajar yang baik atau memberikan
penguatan diperlukan sbukompetensi
memotivasi guru. Untuk memfasilitasi
guru dalam melengkapi sarana prasarana
mengajar yang dibutuhkan guru
diperlukan manajemen sarana dan
prasarana. Untuk mengobservasi guru
mengajar di kelas diperlukan
pengetahuan. Untuk memberikan
masukan-masukan perbaikan mengajar
kepada guru diperlukan subkompetensi
cara mengajar yang profesional. Untuk
mengkaji strategi pembelajaran yang
tepat diperlukan subkompetensi
pengetahuan strategi pembelajaran.
Untuk menyediakan dan menyimpan
data/ laporan kemajuan guru diperlukan
subkompetensi pengarsipan dan teknik
penyusunan laporan.
Supervisi Klinis Kepala Sekolah dalam meningkatkan Profesionalisme Guru
Kepala sekolah sebagai pemberi
supervisi klinis kepada guru dituntut
untuk mengetahui dan menerapkan
prinsip-prinsip supervisi klinis ketika
melaksanakan supervisi klinis terhadap
guru di sekolahnya. Menurut Acheson &
Gall (1980) bahwa prinsip-prinsip
supervisi klinis yang diterapkan oleh
setiap kepala sekolah sebagai supervisor
yang kompeten adalah: (1) interaktif
bukan direktif, artinya lebih
mengutamakan kesetaraan antara
supervisor dengan guru. Tidak ada atasan
dan bawahan, yang ada kemitraan.
Supervisor bersama-sama dengan guru
untuk membantu peningkatan
profesionalisme guru, (2) demokratik
bukan otoritatif, berarti sikap supervisor
yang tidak memaksakan kehendak,
menganggap diri sendiri yang paling
benar, sikap bebas berpendapat tetapi
bertanggung jawab, sikap yang mau
menghargai pendaoat orang lain,
mengahargai pendapat, mengangggap
perbedaan sebagai berkah, sikap untuk
bermusyawarah dan mufakat dalam
setiap diskusi dan mengambil keputusan.
Diskusi dan pengambilan keputusan
berdasarkan rambu-rambu profesional
dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku bukan atas opini atau ambisi
pribadi. dan (3) terpusat pada guru bukan
pada supervisor, artinya mengutamakan
116Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
prakarsa dan tanggung jawab
peningkatan keterampilan mengajar lebih
terpusat pada guru.
Menurut Depdikbud (1996)
secara rinci prinsip-prinsip supervisi
klinis adalah: (1) mengutamakan
prakarsa dan tanggung jawab guru, (2)
hubungan supervisor dan guru kolegial
(sederajat) dan interaktif, (3) demokratik
yaitu kedua belah pihak bebas
mengemukakan pendapat yang
bertanggung jawab tetapi kedua pihak
mengkaji pendapat pihak lain untuk
mencapai kesepakatan, (4) sasaran
supervisi terpusat pada kebutuhan dan
aspirasi guru serta dalam kawasan
penampilan aktual guru di kelas, (5)
umpan balik diberikan dengan segera dan
sesuai dengan kontrak, (6) supervisi
bersifat bantuan dengan tujuan
peningkatan kemampuan mengajar dan
sikap profesional, dan (7) pusat perhatian
hanya pada beberapa keterampilan
mengajar tertentu.
Dengan demikian, prinsip-prinsip
supervisi klinis haruslah menjiwai
seluruh langkah-langkah supervisi klinis.
Sebelum melaksanakan supervisi klinis,
kepala sekolah sebagai supervisor harus
memahami prinsip-prinsip dan
menerapkan prinsip-prinsip tersebut agar
hasil supervisi klinisterlaksana dengan
baik sesuai dengan yang diharapkan.
Pidarta (1999) mengatakaan
supervisi klinis memiliki ciri-ciri
tersendiri yang membedakan dengan
model-model supervisi yang lain, yaitu:
(1) adanya kesepakatan antara supervisor
dengan guru yang akan disupervisi
tentang aspek perilaku yang akan
diperbaiki, (2) yang disupervisi atau
diperbaiki adalah aspek-aspek perilaku
guru dalam proses belajar mengajar yang
spesifik, (3) memperbaiki aspek perilaku
diawali dengan pembuatan hipotesis
bersama tentang bentuk perbaikan
perilaku atau cara mengajar yang baik,
(4) hipotesis di atas diuji dengan data
hasil pengamatan supervisor tentang
aspek perilaku guru yang akan diperbaiki
ketika sedang mengajar, (5) ada unsur
pemberian penguatan terhadap perilaku
guru terutama yang sudah berhasil
diperbaiki, (6) ada prinsip kerja sama
antara supervisor dengan guru yang
saling mempercayai dan sama-sama
bertanggung jawab, dan (7) supervisi
dilakukan secara kontinu, artinya aspek-
aspek perilaku itu satu persatu diperbaiki
sampai guru itu bisa bekerja dengan baik.
Untuk melakukan supervisi klinis
diperlukan langkah-langkah atau
prosedur yang harus dilakukan agar
supervisi klinis dapat terlaksana dengan
baik. Menurut Neagley dan Evans (1999)
bahwa langkah-langkah atau prosedur
117Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
supervisi klinis adalah sebagai berikut:
(1) Menciptakan hubungan baik antara
supervisor dengan guru bersangkutan
agar makna supervisi ini menjadi jelas
bagi guru sehingga kerjasama dan
partisipasinya meningkat, (2)
Merencanakan aspek perilaku yang akan
diperbaiki serta pada subpokok bahasan
apa, (3) Merencanakan strategi observasi,
(4) Mengobservasi guru mengajar, boleh
memakai alat bantu, (5) Menganalisis
proses belajar mengajar oleh supervisor
dan guru secara terpisah, (6)
Merencanakan pertemuan boleh juga
dengan pihak ketiga yang ingin
mengetahui, (7) Melaksanakan
pertemuan, guru diberi kesempatan
menanggapi cara mengajarnya sebelum
dibahas bersama, (8) Membuat rencana
baru bila aspek perilaku itu belum dapat
diperbaiki dan mengulangi langkah awal
sampai akhir.
Secara skematis langkah-langkah
supervisi klinis di atas menurut Neagley
dan Evans (1999) adalah sebagai
berikut.
Gambar 1. Langkah-langkah dan siklus supervisi klinis
Pendapat lain tentang langkah-
langkah supervisi klinis sebagaimana
dinyatakan oleh Sukirman (2006), yaitu:
(1) pembicaraan pra-observasi, (2)
pelaksanaan observasi, (3) analisis hasil
observasi, (4) pembicaraan hasil analisis
observasi dan (5) analisis sesudah
pembicaraan. Bila diperhatikan pendapat
tersebut di atas, maka supervisi klinis
berfokus pada lima hal, yakni melakukan
perencanaan secara mendetail termasuk
membuat hipotesis, melaksanakan
pengamatan secara cermat, dan
menganalisis hasil pengamatan serta
memberikan umpan balik kepada guru
yang bersangkutan. Tetapi untuk
supervisor maupun guru baru, kelima
fokus ini belum cukup memberi bekal
kepada mereka. Menurut Pidarta (1999)
bahwa langkah-langkah dalam
Langkah 1
Langkah 2 & 8
Langkah 3
Langkah 4
Langkah 7
Langkah 6
Langkah 5
118Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
pelaksanaan supervisi klinis adalah
sebagai berikut: (1) Pertemuan Awal atau
Perencanaan, meliputi: (a) menciptakan
hubungan yang baik dengan cara
menjelaskan makna supervisi klinis
sehingga partisipasi guru meningkat, (b)
menemukan aspek-aspek perilaku apa
dalam proses belajar mengajar yang perlu
diperbaiki, (c) membuat prioritas aspek-
aspek perilaku yang akan diperbaiki, dan
(d) membentuk hipotesis sebagai cara
atau bentuk perbaikan pada subtopik
bahan pelajaran tertentu; (2) Persipan
meliputi: (a) bagi guru tentang cara
mengajar yang baru hipotesis; dan (b)
bagi supervisor tentang cara dan alat
observasi seperti tape-recorder, video-
tape recorder, daftar cek, catatan
anecdotal dan sebagainya; (3)
Pelaksanaan meliputi: (a) guru mengajar
dengan tekanan khusus pada aspek
perilaku yang diperbaiki, dan (b)
supervisor mengobservasi; (4)
Menganalisis hasil mengajar secara
terpisah, yaitu pertemuan akhir, bisa juga
dengan orang-orang lain yang ingin tahu,
meliputi: (a) guru memberi
tanggapan/penjelasan/pengakuan, (b)
supervisor memberi tanggapan/ulasan,
(c) menyimpulkan bersama hasil yang
telah dicapai: hipotesa diterima, ditolak,
atau direvisi, dan (d) menentukan
rencana berikutnya, yaitu mengulangi
memperbaiki aspek tadi, dan atau
meneruskan untuk memperbaiki aspek-
aspek yang lain.
Depdikbud (1996) menytakan
alternatif lain dalam langkah-langkah
supervisi klinis adalah sebagai berikut:
1. Prasurvey: (a) mengadakan
perjanjian dengan guru, (b) memberi
bantuan kepada guru dalam
mendisain GBPP dan RPP, dan
memfasilitasi sarana prasarana
pembelajaran.
2. Tahap I. Pertemuan Awal: (a)
menciptakan suasana intim dan
terbuka antara kepala sekolah
sebagai supervisor dengan guru
sebelum maksud sebenarnya
dibicarakan; (b) membicarakan
rencana pelajaran yang telah dibuat
yang mencakup tujuan, bahan,
kegiatan pembelajaran, dan alat
evaluasinya; (c) mengidentifikasi
komponen-komponen keterampilan
mengajar serta indikator-
indikatornya yang akan dicapai guru;
(d) memilih atau mengembangkan
instrumen observasi yang akan
dipakai merekam data penampilan
guru sesuai dengan kesepakatan
keterampilan mengajar dan
indikator-indikatornya; dan (e)
membicarakan bersama instrumen
tersebut sebagai kesepakatan.
119Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
3. Tahap II. Observasi: Dengan
menggunakan instrumen observasi
yang telah disepakati pada
pertemuan awal tadi.
4. Tahap III. Pertemuan Akhir: (a)
memberi penguatan dan menanyakan
perasaan guru secara umum dalam
suasana santai agar guru merasa
tidak diadili; (b) mereviu tujuan
pembelajaran; (c) mereviu target
keterampilan, (d) menanyakan
perasaan guru terhadap jalannya
pelajaran berdasarkan tujuan dan
target yang tealh direviu, pertanyaan
dimulai dengan hal-hal yang
dianggap baik oleh guru kemudian
hal-hal yang dianggap kurang
berhasil oleh guru; (e) menunjukkan
hasil observasi yang telah dianalisis
dan diinterpretasi oleh kepala
sekolah/madrasah sebelum
pertemuan akhir dimulai, kemudian
memberikan waktu kepada guru
untuk menganalisis data dan
menginterpretasikannya, dan
akhirnya hasil observasi tersebut
didiskusikan bersama-sama; (f)
menanyakan kembali perasaan guru
setelah mendiskusikan hasil analisis
dan interpretasi data hasil observasi;
(g) meminta guru menganalisis
proses dan hasil belajar yang telah
dicapai siswanya; (h) menanyakan
perasaan guru terhadap proses dan
hasil belajar tersebut; (i)
menyimpulkan hasil pencapaian dan
membandingkannya dengan kontrak
di atas; dan (j) menentukan bersama-
sama pembelajaran yang akan
datang.
Berdasarkan kedua macam
langkah-langkah supervisi klinis di atas,
maka perbedaan jumlah langkah
supervisi klinis tersebut hanyalah
perbedaan dalam penekanan saja, bukan
dalam perbedaan prinsip. Keduanya
dapat dipakai kepala sekolah dalam
meningkatkan kompetensi supervisi
klinisnya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan
Supervisi klinis merupakan
bantuan yang diberikan oleh kepala
sekolah sebagai supervisor kepada guru
supaya guru dapat melaksanakan tugas
pengajarannya secara profesional dengan
menggunakan langkah-langkah tertentu.
Supervisi klinis sangat tepat untuk
membantu guru dalam meningkatkan
profesionalisme mengajarnya. Dengan
demikian, tujuan supervisi klinis
diberikan kepada guru untuk
meningkatkan profesionalisme guru
terutama dalam proses pembelajaran
sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara optimal. Supervisi klinis
120Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
dinyatakan berhasil jika indikator
profesionalisme mengajar guru telah
tercapai. Untuk meningkatkan
profesionalisme guru supervisi klinis
kepala sekolah diperlukan pelatihan
supervisi klinis.
Rekomendasi
Untuk meningkatkan
profesionalisme guru dalam proses
pembelajaran, maka diperlukan Supervisi
Klinis. Untuk dapat memberikan
supervisi kepada guru, maka kepala
sekolah dituntut memiliki kompetensi di
bidang supervisi. Supervisi hendaknya
diberikan kepala sekolah secara intensif
kepada guru dalam bentuk bimbingan
dengan cara menerapkan langkah-
langkah supervisi klinis yang tepat
sehingga para guru dapat menjalankan
tugasnya dengan sebaik-baiknya dan
secara profesional. Guru haruslah selalu
terus berusaha meningkatkan
profesionalismenya dengan cara bekerja
sama dengan kepala sekolah sehingga
dapat mengurangi kesulitan-kesulitan
guru dalam menjalankan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Acheson, K.A. & M.D. Gall, 1980. Techniques in the Clinical Supervision of Teachers, Preservice and Inservice Application. New York: Longman, Inc.
Chung, K. H., dan L. C. Megginson, 2004. Organizati-onal Behavior
Developing Managerial Skills. New York: Harper & Row, Publishers.
Cooper, J. M. 1990. Classroom Teaching Skills. Lexington. D. C: Heath and Company.
Depdikbud. 1996. Supervisi Klinis.Bahan Akta Mengajar V. Jakarta: Depdikbud.
Isjoni, 2006. Gurukah yang Dipermasalahkan: Menakar Posisi Guru di Tengah Dunia Pendidikan Kita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Neagly, R. L. & Evans, N. D. 1999.
Handbook for Effective Supervision
of Instruction. Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice Hall.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.
Pidarta, Made. 1990. Perencanaan Pendidikan Partisipatori Dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipa.
_________. 1999. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran BerorientasiStandard Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sergiovanni, T. J., & R. J. Starratt. 1993.Supervision: Human Perspectives. New York: McGraw-Hill.
Sukirman, Hartati. 2006. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Suparlan, 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing
Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
121Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Wardani., Prasetya Irawan., dan Atwi Suparman. 1996. Panduan Praktik Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Wiles, J. & J. Bondi, 2003. Supervision A Guide to Practice. Second Edition. London: Charles E. Merrill Publishing Company A Bell & Howell Company.
Yamin, Martinis. 2007. Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP. Jakarta : Gaung Persada Press.
122Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
PERTUMBUHAN GERAK DAN KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK
Oleh:Indra Kasih
AbstrakSebagai mahluk hidup manusia terus mengalami perubahan sepanjang hidupnya. Mulai berada dalam kandungan, lahir, kemudian menjadi dewasa dan terus terjadi perubahan dalam aspek-aspek fisik, gerak, pikiran, emosi dan sosial. Pola perubahan mula-mula bersifat meningkat, kemudian menurun. Peningkatan terjadi akibat proses pertumbuhan, perkembangan dan kematangan; penurunan terjadi dalam proses penuaan. Studi tentang perkembangan gerak mencakup diskripsi dan penjelasan mengenai prilaku perak manusia sepanjang hidup dengan pertumbuhan perkembangan psikososial, kognitif, afektif dan psikomotorik. Perkembangan hidup manusia secara umum terjadi dalam 5 fase perkembangan, yaitu fase-fase sebelum lahir, bayi, anak-anak, adolesensi, dan dewasa. Setiap fase perkembangan terjadi pada batasan usia tertentu. Pembatasan setiap fase didasarkan pada kecendrungan karakteristik perkembangan yang terjadi pada kurun waktu tertentu dalam usianya. Kata kunci: perkembangan, psikososial, kognitif, afektif, psikomotorik
PENDAHULUAN
Prinsip Perubahan Sepanjang Hidup
Manusia adalah mahluk hidup
yang selalu mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Bermula dari proses
perubahan yang terjadi dalam bentuk
menyatu sperma sang ayah dengan sel
telur ibu, terbentuklah serangkaian
organisme yang kemudian tumbuh
menjadi janin. Selama kurang dari
Sembilan bulan 10 hari, janin tumbuh
dan berkembang melengkapi diri dengan
organ-organ dan bagian-bagian sampai
menjadi wujud bentuk manusia kecil
yang akan lahir kedunia fana dengan
sebutan bayi. Setelah lahir, semua
bagian, organ dan fungsi yang ada pada
diri individu terus mengalami
perubahan.Bayi yang lahir dengan
ukuran-ukuran tubuh yang panjang lebih
dari 50 cm dan beratnya kurang dari 3
kg, akan bertambah panjang dan
bertambah berat sedikit demi sedikit
sampai mencapai ukuran panjang atau
tinggi orang dewasa yaitu lebih kurang
175 cm untuk laki-laki dan lebih kurang
160 untuk perempuan; dan berat lebih
kurang 65 kg untuk laki-laki dan lebih
kurang 50 kg untuk perempuan.
Pengkajian secara mendalam
aspek demi aspek yang tampak dalam
perkembangan individu terus dilakukan.
Perkembangan gerak merupakan salah
satu aspek pengkajian perkembangan
individu yang dewasa ini menjadi
semakin berkembangan. Perkembangan
psikiologis sudah lebih awal dikaji secara
123Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
mendalam dibanding pengkajian tentang
gerak. Perkembangan psikologis dikaji
dalam bidang studi yang disebut
“Psikologis Gerak”.Gerakan manusia
selalu berkaitan dengan aspek-aspek
yang lain. Gerakan dipengaruhi oleh fisik
dan proses psikologis yang ada
didalamnya. Misalnya orang yang ukuran
fisiknya pendek-kecil cenderung lebih
lincah dibandingkan orang yang tinggi
dan gemuk. Juga misalnya orang yang
giji makanannya terpenuhi cenderung
lebih besar kapasitas geraknya dibanding
dengan orang yang gizi makannya
kurang.
Periodisasi Perkembangan
Sepanjang hidup manusia, mulai
masih dalam kandungan dilahirkan,
kemudian sampai tua memperoleh
sebutan berganti-ganti. Pergantian
sebutan berdasarkan pada usianya dan
merupakan fase-fase dalam
perkembangan yang dilewati. Secara
garis besar ada 5 paseperkembangan
dalam hidup manusia, yaitu:
1. Fase sebelum lahir (prenatal)
2. Fase bayi (infant)
3. Fase anak-anak (childhood)
4. Fase adolesensi (adolescence)
5. Fase dewasa (adulthood)
Fase sebelum lahir adalah fase
perkembangan selama masih berada
didalam kandungan. Lama kandungan
yang normal adalah 9 bulan 10 hari. Dua
minggu pertama sejak terjadi pembuahan
disebut fase awal (germinal). Antara 2
sampai 8 minggu berada di dalam
kandungan disebut embrio; dan antara 8
minggu sampai sahat kelahiran disebut
janin. (fetus)Fase bayi adalah fase
perkembangan mulai dilahirkan sampai
berumur 1 atau 2 tahun. Mulai saat lahir
sampai umur 4 minggu merupakan fase
kelahiran (neonatal).Fase anak-anak
adalah fase perkembangan mulai umur 1
atau 2 tahun sampai 10 atau 12 tahun.
Fase anak-anak di klasifikasikan menjadi
2 fase ; a) Fase anak kecil (early
childhood), b) Fase anak besar ( later
childhood).
Fase anak kecil adalah antara 1
dan 2 sampai 6 tahun. Fase anak besar
adalah antara 6 sampai 10 atau 12 tahun.
Fase adolesensi antara perempuan
dan laki-laki dimulai dan diakhiri pada
umur yang berbeda. Pada perempuan
mulai pada umur 10 tahun dan berakhir
pada umur 18 tahun. Sedangkan pada
laki-laki mulai umur 12 tahun dan
berakhir 20 tahun. Berarti perempuan
mencapai fase adolesensi 2 tahun lebih
awal dibandingkan laki-laki, dan berakhir
2 tahun lebih awal.
Fase dewasa terbagi menjadi 3 fase,
yaitu:
a. Fase dewasa muda (young adulthood)
124Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
b. Fase dewasa madya ( middle
adulhood)
c. Fase dewasa tua (older adulhood)
Fase dewasa muda adalah antara
18 tahun (perempuan) atau 20 tahun(laki-
laki) sampai 40 tahun. Fase dewasa
madya adalah antara 40 sampai 60 tahun.
Fase dewasa tua adalah mulai umur 60
dan seterusnya.Pembagian fase-fase
perkembangan tersebut dibuat
berdasarkan identifikasi kecendruangan
karakteristik perkembangan pada masa-
masa usia tertentu. Usia tertentu itu yang
menjadi dasar setiap fase
perkembangan.Untuk lebih menjelaskan
mengenai batas setiap fase
perkembangan dapat digambarkan dalam
tabel berikut.
Tabel 1. Periodisasi Perkembangan Berdasarkan UmurNo Fase Perkembangan Umur1 Sebelum lahir Selama 9 bulan 10 hari
- Awal- Embrio- Janin
Saat pembuahan sampai 2 minggu2 sampai 8 minggu8 mingu sampai lahir
2 Bayi Sejak lahir sampai 1 tau 2 tahun- Neonatal Sejak lahir sampai 4 minggu
3 Anak-anak- Anak kecil- Anak besar
1 atau 2 sampai 10 atau 12 tahun1 atau 2 sampai 6 tahun6 sampai 10 atau 12 tahun
4 Adolesensi- Perempuan- Laki-laki
10 sampai 18 tahun12 sampai 20 tahun
5 Dewasa- Muda- Madya - Tua
18 atau 20 tahun sampai 40 tahun40 sampai 60 tahun60 tahun lebih
Karakteristik Perkembangan Anak
Pendapat Piaget dan Vigotsky ini
perlu diakomodasi untuk saling
melengkapi. Rancangan kegiatan perlu
dibagi dimana ada saat anak diberi
kesempatan menemukan dan
membangun pemahamannya (discovery
learning), tetapi guru tetap harus
berperan memperluas dan meningkatkan
efektifitas belajarnya dengan bantuan
arahan yang tepat (scaffolding) sehingga
anak dapat meningkatkan ZPD untuk
menjadi daerah kemampuan aktualnya.
Selain itu perlunya menunggu kesiapan
anak dari Piaget dan pemberian bantuan
dari orang dewasa untuk meningkatkan
kemampuan anak jangan dipandang
sebagai sesuatu yang kontradiktif, tetapi
dipahami sebagai batasan dalam
menetapkan kriteria Developmentally
Appropriate Practice. Pendidik perlu
meneliti sejauh mana kompetensi dasar
125Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
usia tertentu, sekaligus mencoba
meningkatkan kemampuannya dengan
tetap memperhatikan kondisi psikologi
anak dan tanpa mematikan anak untuk
mencintai belajar.
Piget dalam bukunya The moral
judgement of the Child (1923) Piaget
menyatakan bahwa kesadaran moral anak
mengalami perkembangan dari satu tahap
yang lebih tinggi. Pertanyaan yang
melatar belakangi pengamatan Piaget
adalah bagaimana pikiran manusia
menjadi semakin hormat pada peraturan.
Ia mendekati pertanyaan itu dari dua
sudut. Pertama kesadaran akan
peraturan (sejauh mana peraturan
dianggap sebagai pembatasan) dan
kedua, pelaksanaan dari peraturan itu.
Piaget mengamati anak-anak
bermain kelereng, suatu permainan yang
lazim dilakukan oleh anak-anak
diseluruh dunia dan permainan itu jarang
diajarkan secara formal oleh orang
dewasa. Dengan demikian permainan itu
mempunyai peraturan yang jarang atau
malah tidak sama sekali ada campur
tangan orang dewasa. Dan melalui
perkembangan umur maka orientasi
perkembangan itupun berkembang dari
sikap heteronom ( bahwasannya
peraturan itu berasal dari diri orang lain)
menjadi otonom dari dalam diri sendiri.
Pada tahap heteronom anak-anak
menggangap bahwa peraturan yang
diberlakukan dan berasal dari bukan
dirinya merupakan sesuatu yang patut
dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati
oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-
anak beranggapan bahwa perauran-
peraturan merupakan hasil kesepakatan
bersama antara parapemain.
Anak-anak pada usia paling muda
hingga umur 2 tahun melakukan
aktivitas bermain dengan apa adanya,
tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut
untuk mereka patuhi. Mereka adalah
motor activity tanpa dipimpin oleh
pikiran. Pada tahap ini mereka belum
menyadari adanya peraturan yang
koersif, atau bersifat memaksa dan harus
di taati. Dalam pelaksanaannya peraturan
kegiatan anak-anak pada umur
itu merupakan motor activiy.
Anak-anak pada umur antara 2
sampai 6 tahun mereka telah mulai
memperhatikan dan bahkan meniru cara
bermain anak-anak yang lebih besar dari
mereka. Pada tahap ini anak-anak telah
mulai menyadari adanya peraturan dan
ketaatan yang telah dibuat dari luar
dirinya dan harus ditaati dan tidak boleh
diganggu gugat. Pada tahap ini anak-
anak cenderung bersikap egosentris,
mereka akan memandang “sangat salah”
apabila aturan yang telah ada di ubah dan
dilanggar. Dan ia meniru apa yang
126Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
dilihatnya semata-mata demi untuk
dirinya sendiri, tidak tahu bahwa bermain
adalah aktivitas yang dilakukan dengan
anak-anak lainnya. Sehingga meskipun
bermain dilakukan secara bersama sama
namun sebenarnya mereka bermain
secara individu, sendiri-sendiri dengan
melakukan pola dan cara yang mereka
yakini sendiri.
Perkembangan Psycho-Sosial
Menurut ERICK ERICKSON
perkembangan Psycho-sosial atau
perkembangan jiwa manusia yang
dipengaruhi oleh masyarakat dibagi
menjadi 8 tahap:
1. Trust >< Mistrust (usia 0-1 tahun)
Tahap pertama adalah tahap
pengembangan rasa percaya
diri.Fokus terletak pada Panca
Indera,sehinggamerekasangatmemerl
ukansentuhandanpelukan.
2. Otonomi/Mandiri><Malu/Ragu-
ragu(usia2-3tahun) Tahap ini bisa
dikatakan sebagai masa
pemberontakan anak atau masa
'nakal'-nya. sebagai contoh langsung
yang terlihat adalah mereka akan
sering berlari-lari dalam sekolah.
Namun kenakalannya itu tidak bisa
dicegah begitu saja, karena ini adalah
tahap dimana anak sedang
mengembangkan kemampuan
motorik (fisik) dan mental (kognitif),
sehingga yang diperlukan justru
mendorong dan memberikan tempat
untuk mengembangkan motorik dan
mentalnya. Pada saat ini anak sangat
terpengaruh oleh orang-orang penting
disekitarnya(Orangtua-Gurudi
sekolah).
3. Inisiatif><Rasa Bersalah (usia4-
5tahun) Dalam tahap ini anak akan
banyak bertanya dalam segala hal,
sehingga berkesan cerewet. Pada usia
ini juga mereka mengalami
pengembangan inisiatif/ide, sampai
pada hal-hal yang berbau fantasi.
4. Industri/Rajin><Inferioriti(usia6-
11tahun)Anak usia ini sudah
mengerjakan tugas-tugas sekolah -
termotivasi untuk belajar. Namun
masih memiliki kecenderungan untuk
kurang hati-hati dan menuntut
perhatian.Sesuai dengan batasan usia
sekolah pada umumnya, maka empat
tahap berikutnya (Usia diatas 11
tahun) tidak dibahas dalam kolom ini.
Perkembangan Kognitif
Kognitif adalah proses yang
terjadi secara internal di dalam pusat
susunan saraf pada waktu manusia
sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris,
2006).Piaget membagi tahapan
perkembangan kognitif ke dalam empat
periode, yaitu:
127Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
1. 0-2 tahun disebut sebagai periode kepandaian sensori-motorik (sesorimotorik)Periode ini terbagi atas 6 tahapan, antara lain:
Tahap 1. (lahir-1 bulan) penggunaan
refleks-refleks
Anak membangun
(mengkonstruk) skema-skema (skema
adalah struktur tindakan bayi) lewat
aktivitas anak sendiri. Skema pertama
dipengaruhi oleh refleks bawaan. Adapun
contoh refleks bawaan yang sangat jelas
pada bayi yaitu refleks untuk menghisap,
bayi otomatis akan menghisap kapan pun
bibir mereka disentuh. Anisiasi, bayi
mencari puting susu ibu sendiri ketika
baru lahir. Meskipun demikian gerak
refleks tersebut memiliki kepasifan
tertentu sehingga perlu distimulasi.
Namun sekali skema terbentuk maka kita
juga memiliki kebutuhan untuk
membuatnya aktif. Contoh bayi akan
terus menerus melakukan gerakan refleks
menghisap walaupun tidak ada yang
memicu gerak refleks tersebut. Tidak
hanya gerak refleks menghisap putting
susu, tetapi juga menghisap bantal,
pakaian, selimut, jari tangan, dsb. Bayi
mengasimilasi (memasukkan sesuatu)
semua jenis objek menjadi skema
menghisap. Bayi belajar untuk
mengorganisasikan gerakan-gerakan
tubuh agar proses perawatan menjadi
lebih lembut, cepat, dan efisien.
Contohnya, bayi belajar menyesuaikan
gerakan kepala dan bibir untuk
menemukan putting susu. Ciri ini disebut
dengan permulaan akomodasi (membuat
perubahan dalam struktur kita). Ciri lain
adalah bayi tidak memiliki konsepsi
objek apapun di luar dirinya. Misalnya,
jika seseorang/objek meninggalkan
wilayah pandangnya, maka bayi tidak
berusaha mencari, bayi akan mengamati
yang lain yang ada dalam wilayah
pandangnya. Bagi bayi, yang diluar
pandangnya berarti di luar pikirannya.
Tahap 2. (1-4 bulan) reaksi-reaksi sirkuler primer
Ciri tahap ini sama dengan tahap
pertama yaitu bayi tidak memiliki
konsepsi objek apapun diluar dirinya.
Namun pada tahap ini pula bayi
menghadapi suatu pengalaman baru dan
berusaha untuk mengulanginya.
Misalnya, tangan bayi yang secara tidak
sengaja menyentuh mulutnya, ketika
tangan itu jatuh, bayi berusaha untuk
menangkap tangannya agar dapat
melakukan kegiatan yang sama
sebelumnya. Walaupun kadang anak
merasa kesulitan, tangan memukul
wajah, tangan berputar agar menyentuh
mulut, bayi mengejar tangannya namun
tidak dapat karena seluruh tubuhnya
bergerak termasuk kaki dan tangan
kearah yang sama. Bayi pada tahap ini
belajar untuk mengorganisasikan dua
128Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
gerakan tubuh yang sebelumnya terpisah.
Misalnya bayi mengkoordinasikan
pengamatan dan gerakan tangan, anak
perempuan yang berulang-ulang
meletakkan tangan pada wajah dan
menatapnya. Bayi berusaha
mengkoordinasikan gerakan-gerakan
yang terpisah hanya setelah mengalami
banyak kegagalan. Tahapan ini
melibatkan koordinasi bagian-bagian
tubuh bayi sendiri.
Tahap 3. (4-10 bulan) reaksi-reaksi sirkuler sekunder
Tahap ini terjadi ketika bayi
menemukan dan menghasilkan kembali
peristiwa menarik di luar dirinya.
Contoh, bayi yang berusaha untuk
menggapai mainan gantung yang ada
diatasnya. Bayi akan berusaha untuk
menggerakkan mainan tersebut sampai
bergoyang secara berulang-ulang. Jika
telah berhasil maka bayi akan terus
mengulanginya kegiatan tersebut dan
sering tertawa kecil jika mainan tersebut
bergoyang. Pada masa ini bayi tengah
menikmati kekuatannya sendiri yaitu
kemampuan untuk membuat suatu
peristiwa terjadi berulang-ulang,
membuat pemandangan yang menarik
bertahan selamanya. Anak menunjukkan
satu tindakan tunggal untuk mencapai
sebuah hasil. Tahapan ini ditandai
dengan ketertarikan anak akan dunia
eksternal. Bayi mencapai pengertian
yang lebih baik tentang permanensi hal-
hal eksternal. Misalnya, jika benda
dijatuhkan kebawah, bayi berusaha untuk
melihat ketempat dimana benda tersebut
jatuh. Walaupun bayi pada tahap ini
dapat menemukan objek-objek yang
tersembunyi sebagian namun ia tidak
bisa menemukan objek yang
disembunyikan seluruhnya oleh orang
lain.
Tahap 4. (10-12 bulan) koordinasi skema-skema sekunder
Pada tahap ini anak belajar untuk
mengkordinasikan dua skema terpisah
demi mendapatkan hasil. Pencapaian
baru ini terlihat ketika bayi berhadapan
dengan rintangan-rintangan. Misalnya,
bayi yang ingin memeluk mainan, namun
ada penghalang diantara mainan tersebut
sehingga tidak dapat dipeluk. Bayi akan
berusaha untuk mendapatkan mainan
dengan berbagai cara. Pada akhirnya bayi
dapat memeluk mainan ketika bayi
mengibaskan rintangan tersebut.
mengibaskan rintangan adalah satu
skema, memeluk mainan adalah bentuk
skema kedua. Tahapan ini juga ditandai
dengan pengertian sejati permanensi
objek. Pada tahapan ini bayi dapat
menemukan objek-objek yang
tersembunyi seluruhnya, namun belum
bisa mengikuti pengacakan (pergerakan
dari satu tempat persembunyian ke
tempat persembunyian lain).
129Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
Tahap 5. (12-18 bulan) reaksi-reaksi sirkuler tersier
Pada tahap ini anak
bereksperimen dengan tindakan-tindakan
yang berbeda-beda untuk mengamati
hasil yang berbeda-beda. Contohnya,
seorang anak tertarik dengan meja baru
yang dibeli ayahnya. Anak tersebut
memukul meja dengan telapak tangannya
beberapa kali, kadang keras, kadang
lembut. Ini terus dilakukan karena anak
mendengarkan perbedaan bunyi yang
dihasilkan oleh tindakannya itu. Anak-
anak sesungguhnya belajar dari diri
mereka sendiri, tanpa perlu diajari orang
dewasa. Anak mengembangkan skema
semata-mata karena keingintahuan
instrinsik tentang dunia. Anak menjadi
ilmuwan kecil, membuat variasi tindakan
dan mengamati hasil-hasilnya. Semua
penemuan itu terjadi lewat tindakan-
tindakan fisik. Tahap ini pula
menunjukkan anak bisa mengikuti
serangkaian pemindahan, namun selama
mereka melihat kita melakukannya.
Misalnya, anak dapat menemukan bola
yang disembunyikan di tempat A dan B
selama anak melihat proses pemindahan
tersebut.
Tahap 6. (18 bulan-2 tahun) permulaan berpikir
Pada tahap ini anak mulai
memikirkan situasi secara lebih internal,
sebelum bertindak.Jika pada tahap 5 anak
mencoba memecahkan masalah dengan
coba-coba (trial and error) maka pada
tahap ini anak dapat memikirkan sejenak
cara untuk menyelesaikan masalah.
Contoh, anak yang ingin mengeluarkan
bola pada kotak mainan. Pada awalnya
anak mencoba untuk membuka dengan
berbagai cara, karena tidak berhasil,
maka anak diam sejenak untuk
mengamati kotak tersebut. Anak melihat
ada sedikit celah pada kotak, kemudian
tangannya masuk melalui celah tersebut
dan ia memperoleh bola yang diinginkan.
2. 2-7 tahun disebut sebagai periode pikiran operasional (praoperasional konkret)
Ciri periode ini yaitu:
Pikiran anak berkembang cepat ke
sebuah tatanan baru, yaitu simbol-
simbol.
Pikiran anak pada dasarnya tidak
sistematis dan tidak logis.
Anak-anak mulai menggunakan
simbol-simbol ketika menggunakan
sebuah objek atau tindakan untuk
merepresentasikan sesuatu yang tidak
hadir. Simbol-simbol pertama
bersifat motorik, bukan linguistik.
Bahasa mulai berkembang pada
tahapan ini.
Penalaran anak transduktif
(berpindah dari hal-hal khusus ke hal
khusus lainnya) terlihat dari
ketidakmampuan anak untuk
130Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
mengkategorikan secara umum.
Misalnya, aku belum minum susu,
berarti ini belum siang, dan belum
waktunya untuk tidur siang.
Anak-anak gagal untuk
mengkonversi. anak hanya
memusatkan pada satu dimensi.
Misalnya, anak diminta untuk
memilih gelas yang paling banyak
berisi air pada dua tabung yang
berbeda namun memiliki jumlah
volume yang sama.
Anak sebenarnya telah memahami
adanya dua dimensi perceptual
(regulasi intuitif), namun belum bisa
memikirkan keberadaan keduanya
secara serempak sehingga baginya
perubahan pada satu dimensi
membatalkan perubahan pada
dimensi lainnya.
Anak belum mampu mengklasifikasi.
Misalnya ada 10 kancing dari kayu. 8
kancing berwarna coklat dan 2
kancing berwarna putih. Ketika anak
ditanya “lebih banyak mana, kancing
berwarna coklat atau seluruh kancing
kayu yang ada?” Anak menjawab
kancing coklat, tanpa menyadari
bahwa kancing coklat dan kancing
putih adalah bagian dalam kancing
kayu.
Anak berpikir egosentrisme,
menganggap segala sesuatu berasal
dari satu titik pandang saja. Anak
tidak mampu membedakan
perspektifnya sendiri dari perspektif
orang lain.
Anak belum memahami arti
kemenangan. Anak menganggap
kalau aku menang, kamu menang
juga.
Anak beranggapan bahwa benda
tidak hidup, adalah benda hidup juga
(keberjiwaan dunia = world
animistic). Misalnya, ketika anak
ditanya “apakah matahari hidup?”
anak akan menjawab ya karena ia
memberikan cahaya. Dia hidup
karena memberikan cahaya, dan tidak
hidup ketika tidak mampu
memberikan cahaya”.
Anak beranggapan bahwa mimpi itu
nyata dan dapat dilihat oleh orang
lain. Mimpi itu dianggap sebagai
sesuatu yang berasal dari luar (dari
malam atau langit, lewat jendela dari
cahaya-cahaya di luar).
Anak memiliki kepatuhan yang
membuta pada aturan-aturan yang
dipaksakan orang dewasa
(heteronomy moral).
3. 7-11 tahun disebut sebagai periode operasi-operasi berpikir konkret (operasional konkret)
Ciri periode ini, yaitu:
131Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
Anak sudah memahami
pengkonversian zat cair. Anak
mengkonversi menggunakan tiga
argument yaitu argument identitas,
kompensatif, dan inversi. Misalnya,
ketika anak mampu menjawab
dengan benar cairan yang lebih
banyak. Anak menjawab “kita tidak
menambahkan atau mengurangi
apapun, jadi mestinya jumlah cairan
ini tetap sama” ini disebut sebagai
argument identitas. Jika jawaban
anak “gelas ini memang lebih tinggi
dan yang lain lebih lebar, meskipun
begitu jumlah cairannya tetap sama”
ini disebut sebagai argument
kompensatif. Anak menyadari
perbedaan perspektif masing-masing
orang. Anak sudah mampu bekerja
sama. Anak berusaha mengikuti
peraturan-peraturan permainan dan
berusaha menang mengikuti
peraturan tersebut.
Berangsur-angsur anak meninggalkan
label hidup pada objek-objek yang
bergerak, dan melabelkannya pada
tumbuhan dan hewan.
Anak menyadari kalau mimpi bukan
hanya tidak nyata, namun juga tidak
terlihat dari luar, berasal dari dalam.
Anak mampu memahami dua aspek
suatu persoalan secara serempak
membentuk landasan bagi pemikiran
sosial sekaligus pemikiran ilmiah.
Anak mampu berpikir sistematis
berdasarkan tindakan mentalnya
(mengacu pada objek-objek yang bisa
diindera dan aktivitas riil).
Dalam interaksi sosial anak
memahami bukan hanya apa yang
mereka katakana tetapi juga
kebutuhan pendengarnya.
4. 11 tahun sampai dewasa disebut sebagai periode operasi berpikir formal (operasional formal)
Pada tahapan ini remaja mulai
menata pikiran hanya di dalam pikiran
mereka sendiri. Kemampuan untuk
menalar terkait dengan kemungkinan-
kemungkinan hipotesis. Bekerja dengan
sistematis untuk mencoba semua
kemungkinan. Beberapa orang ada yang
mencoba beragam kombinasi/percobaan
namun kemudian mencoba untuk
menulis dahulu kemungkinan-
kemunginan yang ada sebelum bertindak
lebih jauh. Esensi dari penalaran ini
adalah pemikiran sistematis tentang
hipotesis-hipotesis. Pikiran mencapai
derajat kesetimbangan tertinggi. Mulai
memikirkan masalah-masalah yang lebih
jauh jangkauannya. Kekuatan baru
kognitif bisa mengarah pada idealisme,
memegang prinsip-prinsip dan ideal-ideal
yang abstrak. Egosentrisme pada tahap
ini muncul kembali ketika melekatkan
kekuatan tak terbatas pada pikiran
132Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
mereka sendiri. Mimpi tentang masa
depan tanpa mengetesnya pada pikiran
yang realistis. Namun kemudian belajar
batasan-batasan dan resistensi bagi
pikiran-pikiran mereka sendiri. Mereka
belajar bahwa konstruksi teoritis dan
mimpi (visi utopian = tujuan tertentu
yang sulit untuk diwujudkan) akan
bernilai jika terkait dengan bagaimana
keduanya beroperasi dalam realitas.
Perkembangan Afektif
Afektif menurut kamus besar
bahasa indoensia adalah berkenaan
dengan rasa takut atau cinta;
mempengaruhi keadaan perasaan dan
emosi; mempunyai gaya atau makna
yang menunjukkan perasaan (tentang tata
bahasa atau makna).
1. Tahap oral (0-1 tahun)
Pada tahap ini zona utamanya
adalah mulut dan aktivitas inderawi.
Tahapan ini secara umum disebut sebagai
tahap kepercayaan versus
ketidakpercayaan mendasar. Bayi
berusaha untuk menemukan sejumlah
konsistensi, prediksi dan realibilitas
dalam tindakan pengasuhan. Jika orang
tua cukup konsisten dan dapat diandalkan
maka bayi mulai mengembangkan
kepercayaan mendasar kepada orang tua.
Sebaliknya, jika orang tua tidak bisa
diprediksi dan tidak bisa dipercaya
sehingga tidak akan pernah hadir jika
dibutuhkan maka yang berkembang
adalah rasa tidak percaya. Bayi yang bisa
menyeimbangkan rasa percaya dan tidak
percaya ini dengan berhasil maka akan
muncul harapan. Harapan sebagai sebuah
ekspektasi yang sekalipun terdapat rasa
frustasi, marah atau kecewa, hal-hal yang
baik tetap akan terjadi dimasa depan.
Harapan akan memampukan anak
bergerak maju ke dunia luar, menyambut
tantangan baru.
2. Tahap anal (1-3 tahun)
Pada tahap ini anak memperoleh
kontrol atas otot-otot perutnya sehingga
dapat menahan atau menghilangkan
dorongan untuk buang hajat sesuai
kehendak mereka. Bentuk dasar tahapan
ini adalah menahan atau melepaskan.
Tahapan umum pada tahapan ini adalah
otonomu versus rasa malu dan ragu-ragu.
Anak berusaha melatih kemampuan
memilih, melatih kehendak mereka
(otonomi). Penekanan yang kuat terhadap
kata “tidak”, anak menolak semua
kontrol eksternal atas dirinya. Bagi orang
tua anak tidak boleh mengatakan tidak,
karena mereka hidup dalam masyarakat
dan harus menghargai keinginan orang
lain. Otonomi muncul dari dalam sebagai
sebuah pendewasaan biologis yang
mengembangkan kemampuan anak untuk
melakukan segala hal dengan caranya
133Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
sendiri. Sedangkan rasa malu dan ragu-
ragu muncul dari kesadaran akan
ekspektasi dan tekanan sosial, kesadaran
bahwa dirinya tidak begitu berkuasa
sehingga orang tua dapat mengontrol dan
bertindak lebih baik dari dia. Bagi anak
yang mampu menyeimbangkan rasio
otonomi dan rasa malu dan ragu-ragu
maka akan muncul kehendak yang
kokoh. Kehendak sebagai kebulatan
tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk
melatih pilihan bebas dan pengendalian
diri. Kemampuan pengendalian diri yang
percaya bahwa pernting bagi anak untuk
belajar mengontrol impuls mereka
sendiri dan menentukan apa yang tidak
pantas dilakukan. Jadi anak yang harus
berinisiatif demikian bukan kekuatan
eksternal.
3. Tahap falik (3-6 tahun)
Pada tahap ini anak
memfokuskan ketertarikannya pada alat
kelaminnya dan menjadi sangat ingin
tahu organ kelaminnya. Anak juga sudah
mulai membayangkan dirinya dalam
peran orang dewasa, bahkan berani
bersaing dengan salah satu orang tuanya
untuk memperoleh kasih sayang. Bentuk
utama tahap ini adalah intrusi yaitu
keberanian, keingintahuan dan
persaingan dalam diri anak. Tahapan
umum dalam tahap ini yaitu inisiatif
versus rasa bersalah. Inisiatif yang berarti
sama dengan intrusi, berarti pergerakan
kedepan. Lewat inisiatif anak membuat
rencana, menetapkan tujuan, dan
mempunyai semangat untuk
mencapainya, yang pada akhirnya
membentuk ambisi tertentu. Namun
dalam perjalannya anak mendapati
bahwa ambisi tersebut melanggar aturan
sosial yang ada dalam masyarakat
sehingga rasa bersalah itu muncul
pengendalian diri yang baru dimana anak
berusaha untuk mencari cara
menghubungkan ambisi dengan tujuan
sosial.
4. Tahap latensi (6-11 tahun)
Pada tahap ini anak belajar untuk
menguasai kemampuan kognitif dan
sosial yang penting. Tahap umum dalam
tahapan ini adalah industry versus
inferioritas. Anak melupakan harapan
dan keingian masa lalu, yang seringkali
merupakan harapan dan keinginan
keluarganya, dan sangat ingin
mempelajari kemampuan budaya
masyarakat (industri). Anak belajar untuk
bekerja sama dan bermain bersama
teman sebayanya. Keinginan ini
kemudian dibatasi dengan perasaan
berlebih-lebihan karena ketidak tepatan
dan inferioritas. Inferior yang terlalu
mendalam akan berakar dan
menyebabkan anak tidak memperoleh
talentanya. Misalnya, olok-olok dan rasa
134Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
sakit hati pada masa sekolah akan
membentuk anak untuk tidak berhasil
memperoleh dirinya dengan penuh.
5. Tahap genital (11 tahun – dewasa)
Pada tahap ini remaja
membangun pemahaman baru mengenai
dirinya, perasaan tentang dirinya dan apa
tempatnya di tatanan sosial yang lebih
besar. Tahap utama dalam pentahapan ini
adalah identitas versus kebingungan
peran. Remaja mencari identitas dirinya,
merasa bahwa implus-implus tidak dapat
menyatu dengan dirinya, dan
pertumbuhan fisik yang sangat cepat
telah menciptakan rasa kebingungan
identitas. Untuk alasan inilah maka
banyak remaja yang menghabiskan
banyak waktunya didepan kaca dan
memperhatikan penampilannya. Upaya
ini dilakukan untuk menghilangkan
ketakutannya tidak terlihat baik atau
tidak memenuhi harapan orang lain.
Pencarian diri tersebut kemudian
membawa remaja pada komitmen
permanen sehingga keberhasilan pada
tahap ini membentuk kesetiaan yaitu
sebuah kemampuan untuk
mempertahankan loyalitas yang sudah
dinanti sejak dulu.
Perkembangan Psikomotor
Psikomotor secara harfiah berarti
sesuatu yang berkenaan dengan gerak
fisik yang berkaitan dengan proses
mental (kamus besar bahasa
Indonesia).Adapun tahapan
perkembangan motorik adalah sebagai
berikut;
1. Tahap gerakan refleks (0- 1 tahun)
Bentuk gerakan pada tahapan ini
tidak direncanakan, merupakan dasar dari
perkembangan motorik. Melalui gerak
refleks bayi memperoleh informasi
tentang lingkungannya, seperti reaksi
terhadap sentuhan, cahaya, suara.
Gerakan ini berkaitan dengan
meningkatnya pengalaman anak untuk
mengenal dunia pada bulan-bulan
pertama mengenal kehidupan setelah
kelahiran. Oleh karena itu kegiatan
bermain sangat penting untuk menolong
anak belajar teng dirinya dan dunia luar.
Tahapan gerak refleks terbagi atas dua
bentuk yaitu;
1. Refleks sederhana (0-4 bulan)Gerak
ini dikelompokkan sebagai
kumpulan informasi, mencari
makanan, dan respon melindungi.
Mengumpulkan informasi
membutuhkan rangsangan untuk
berkembang. Kemampuan mencari
makanan dan respon melindungi
merupakan bentuk alami yang
dimiliki manusia. contoh geak
135Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
refleks sederhana seperti, bertumbuh
dan menghisap.
2. Refleks tubuh (4 bulan – 1
tahun)Refleks ini berkaitan dengan
saraf motorik untuk keseimbangan,
gerakan berpindah (lokomotor) dan
manipulative (menjalankan) yang
kemudian akan terkontrol. Refleks
langkah dasar dan merangkak terkait
dengan gerakan dasar untuk
berjalan.Perkembangan motorik
pada tahap refleks terdiri pula dalam
dua tingkatan yang saling
bertindihan, yaitu tingkat encoding
(mengumpulkan) informasi dan
decoding (memproses) informasi.
Pembagian ini pada dasarnya sama
dengan gerak refleks sederhana dan
refleks tubuh.
2. Tahap gerakan permulaan (lahir-2 tahun)
Gerak permulaan ini merupakan
bentuk gerak sukarela yang pertama.
Dimulai dari lahir sampai usia 2 tahun.
Gerakan permulaan membutuhkan
kematangan dan berkembang berurutan.
Urutan ini terbentuk alami. Rata-rata
kemampuan ini didapat dari anak ke
anak, meskipun secara biologis, dan
lingkungan sangat berperan. Gerakan ini
ada sebagai kemampuan untuk bertahan
hidup dan merupakan gerakan yang
mempersiapkan anak untuk memasuki
tahap gerakan dasar. Beberapa gerakan
keseimbangan seperti mengontrol kepala,
leher, dan otot badan. Gerakan
manipulative seperti menggapai,
menggenggam, dan melepaskan; dan
gerakan lokomotor seperti, merayap,
merangkak, dan berjalan. Gerakan ini
terbagi atas dua tahapan, yaitu;
1. Tahap refleks tertahan (lahir-1
tahun)Tahap ini dimulai dari lahir.
Peningkatan gerakan bayi ini
dipengaruhi oleh perkembangan
cortex. Pada tahap ini gerakan
sederhana dan gerakan tubuh
digantikan dengan gerakan sukarela,
namun berbeda dan terpadu karena
saraf motorik bayi masih dalam taraf
gerakan permulaan. Jika bayi ingin
menggapai benda, mereka akan
melakukan gerakan menyeluruh
yang dilakukan tangan, lengan, bahu,
dan ketika menggenggam. Proses
bergeraknya tangan dengan
penglihatan terhadap objek,
meskipun sukarela, namun
terkontrol.
2. Tahap prekontrol (1 – 2 tahun)Usia 1
tahun, anak mulai lebih baik
mengontrol gerakannya. Proses ini
menggabungkan antara sensori dan
sistem motorik dan memadukan
persepsi dan informasi motorik
kedalam kegiatan yang lebih
136Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
bermakna. Pada tahap ini, anak
belajar untuk dapat menyokong
equilibriumnya, untuk memanipulasi
objek, dan untuk melakukan gerakan
lokomotor melalui lingkungan untuk
mengontrol perkembangannya.
3. Tahap gerakan dasar (2-7 tahun)
Gerakan ini muncul ketika anak
aktif bereksplorasi dan bereksperimen
dengan potensi gerak yang dimilikinya.
Tahap ini merupakan tahap menemukan
bagaimana menunjukkan berbagai gerak
keseimbangan, lokomotor dan
manipulative, maupun penggabungan
ketiga gerakan tersebut. anak
mengembangkan gerakan dasar ini untuk
belajar bagaimana merespon kontrol
motorik dan kompetensi gerakan dari
berbagai rangsangan. Gerakan dasar ini
juga digunakan sebagai dasar
pengamatan tingkah laku anak. Beberapa
kegiatan lokomotor seperti melempar dan
menangkap, dan kegiatan keseimbangan
seperti berjalan lurus dan keseimbangan
berdiri dengan satu kaki merupakan
gerakan yang dapat dikembangkan
semasa kanak-kanak. Tahap ini terbagi
atas 3 tingkat, yaitu;
1. Tingkat permulaan (2-3
tahun)Tingkatan ini menunjukkan
orientasi tujuan pertama anak pada
kemampuan permulaan. Gerakan ini
dicirikan dengan kesalahan dan
kegagalan bagian gerakan secara
berurutan, kelihatan membatasi atau
berlebihan menggunakan anggota
tubuh, tidak mampu mengikuti ritmk
dan koordinasi. Gerakan
keseimbangan, lokomotor, dan
manipulative benar-benar pada
tingkat permulaan.
2. Tingkat elementary (4-5
tahun)Tingkatan ini menunjukkan
kontrol yang lebih baik dan gerakan
permulaan koordinasi ritmik yang
lebih baik pula. Gerak spasial dan
temporal lebih meningkat, namun
secara umum masih kelihatan
membatasi atau berlebihan,
meskipun koordinasi lebih baik.
Intelegensi dan fungsi fisik anak
semakin meningkat melalui proses
kematangan.
3. Tingkat mature (6-7 tahun)Tingkatan
ini dicirikan oleh efisiensi secara
mekanik, koordinasi dan penampilan
yang terkontrol. Keahlian
manipulative semakin berkembang
dalam mengkoordinasi secara visual
dan motorik, seperti menangkap,
menendang, bermain voli, dsb).
4. Tahap gerakan keahlian (7-14 tahun)
Tahapan ini merupakan tahap
gerakan yang semakin bervariasi dan
kompleks, seperti gerakan sehari-hari,
rekreaasi dan olahraga baru. Periode ini
137Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
merupakan tahap dimana keahlian
keseimbangan dasar, gerak lokomotor
dan manipulative meningkat,
berkombinasi, dan terelaborasi dalam
berbagai situasi. Misalnya gerakan dasar
melompat dan meloncat, dikombinasikan
kedalam kegiatan menari atau lompat-
jongkok-berjalan dalam mngikuti jejak.
Tahapan ini terbagi atas 3 tahap, yaitu;
1. Tahap transisi (7-10 tahun)Tahap ini
indivdu mulai mengkombinasi dan
mengunakan kemampuan dasarnya
dalam kegiatan olahraga. Misalnya,
berjalan mengikuti garis lurus,
lompat tali, bermain bola, dll.
Keahlian pada tahap ini lebih
kompleks dan spesifik.
2. Tahap aplikasi (11-13 tahun)Pada
tahap ini anak memiliki keterbatasn
dalam kemampuan kognitif, afektif
dan pengalaman, dikombinasikan
dengan keaktifan anak secara alami
mempengaruhi semua aktivitasnya.
Peningkatan kognitif dan
pengalaman anak dipengaruhi oleh
kemampuan individu untuk belajar
dan peran anak dalam berbagai jenis
aktifitas, indivudu dan lingkungan.
Keahlian kompleks dibentuk dan
digunakan dalam pertandingan,
kegiatan memimpin dan memilih
olahraga.
3. Tahap lifelong utilisasi (14 tahun
sampai dewasa)Tahapan ini
merupakan puncak proses
perkembangan motorik dan dicirikan
dengan gerakan yang sering
dilakukan sehari-hari. Minat,
kompetensi, dan pilihan
mempengaruhi, selain faktor uang
dan waktu, peralatan dan fasilitas,
fisik dan mental, bakat, kesempatan,
kondisi fisik dan motivasi pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Carbin, Charles B.1980, A Textbook of Motor Development, lowa: Wm. C.Brown Company Publishers.
Cratty, Briyant J.1988, Perceptual and motor Development in Childern, New Jersey: Prentice-Hal.
Deutsch, J.Anthony dan Deutsch, Diana.1973, Psykological Psykologi, lllinois: The Donsey Press.
Espenschale, S. Anna dan Eckent, M. Melen. 1980, Motor Development, Totonto: Charles E. Merril Publishing Company.
Haywood, Katleen M, Life Span Motor Depelopment.1986, Lllinois: Human Kinetices Publishers Inc.
http://martacgristianti.wordpress.com/2009/05/karakteristikkoknitif,afektif dan psikomotorik
http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/teori-perkembangan-anak-%e2%80%93- erickson-dan-gardner/
Munn, Noman L.1974,The Growth of human Behavior. Boston: Houghton Mifflin Company.
138Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan
Papalia, Dlane E. dan Olds, Sally Wendkos. 1975, A Child,s Worid: Infancy Througk Adollescence, New York: Mc. Graw Hill Book Company.
Piaget. 1973, moral judgement of the Child.
Sage, George H. 1977, Introduction to Motor Behavior: A Nueropsycological Approach, Massachusets : Addison Wesley Publishing Company.
139E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA(Studi Kasus di SMA Negeri Parongpong Kabupaten Bandung Barat)
Oleh :E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur
AbstrakStudi ini berupaya menggali dan mengungkap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA. Subyek penelitian adalah siswa kelas X yang diambil dari sebuah SMA negeri di Kabupaten Bandung Barat. Hasil studi memperlihatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih sangat lemah dan jauh untuk dapat dikatakan tuntas meski tingkat kesukaran instrumen berada pada kategori sedang. Secara umum, kemampuan subyek studi ini dalam pemecahan masalah matematis masih di bawah 50%. Melihat hasil ini dan himbauan Depdiknas melalui KTSP seyogianya dan sudah saatnya guru juga menerapkan pembelajaran berbasis masalah, di samping model pembelajaran konvensional, untuk memberikan kesempatan dan pengalaman bagi siswa melihat dan mengalami pemecahan masalah matematis di kelas.
Kata kunci: kemampuan pemecahan masalah
PENDAHULUAN
Pemecahan masalah merupakan
salah satu bentuk belajar terpenting
dalam pembelajaran matematika. Melalui
pemecahan masalah, siswa berusaha
memahami situasi masalah,
memanggildan membuat pengaitan
dengan pengetahuan relevan yang
dimilikinya dan juga mencoba
memanggil dan memanfaatkan
pengalaman menyelesaikan masalah
yang pernah dilakukannya guna
menyelesaikan masalah yang tengah
dihadapinya. Dalam proses
menyelesaikan masalah itu, siswa
memilih dan menerapkan satu atau
beberapa strategi (huristik) termasuk
membuat beragam representasi obyek
matematis sambil menarik simpulan-
simpulan yang akan mengantarnya ke
selesaian akhir masalah tersebut.Dalam
menyelesaikan masalah itu pulalah siswa
berkesempatan membangun sendiri
pengetahuan barunya. Jelaslah
pemecahan masalah melibatkan seluruh
daya matematislain seperti bernalar,
koneksi, representasi, dan
berkomunikasi. Kompleksnya tugas yang
terkandung dalam penyelesaian masalah
inilah tampaknya yang menjadi penyebab
utama kesulitan siswa menghadapinya.
Pentingnya kemampuan
memecahkan masalah matematis
dikemukakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dengan himbauan agar
pembelajaran matematika sedapat
mungkin dilakukan melalui pemecahan
masalah kontekstual (Depdiknas,
2006).SebelumnyaSchoenfeld (1980: 15)
menegaskan proses pemecahan masalah
140E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
adalah salah satu aspek terpenting dari
matematika yang harus mendapat
perhatian dari guru. Dengan lebih
tajamNational Council of Science and
Mathematics (NCSM, 1997 dalam
Wilson, et al., 1997) mengatakan pada
dasarnya tujuan utama belajar
matematika ialah belajar memecahkan
masalah.
Meski disadari pentingnya dan
merupakan tujuan utama belajar
matematika, namun beberapa penelitian
mengungkap siswa SMP Indonesia
sangat lemah dalam menyelesaikan soal-
soal tidak rutin yang berkaitan dengan
pemberian alasan pembenaran
(justification) atau pembuktian dan
pemecahan masalah yang memerlukan
penalaran (Hamzah, 2003; Suryadi,
2005; TIMSS, 2003; Zulkardi, 2001).
Persoalan serupa dilaporkan juga terjadi
di tingkat sekolah dasar (Armanto, 2002;
Darhim, 2004; Fauzan, 2002; TIMSS.
2003). Di jenjang sekolah menengah
atas, kemampuan memecahkan masalah
hanya berada pada tingkat cukup dan
kurang terutama pada kelompok siswa
berkemampuan awal matematis sedang
dan kurang yang berasal dari sekolah
berperingkat menengah dan bawah
(Abdul Ghani, 2007; Wardani 2009).
Untuk mengetahui lebih luas dan
menganalisis lebih dalam dan rinci
tentang kemampuan pemecahan masalah
siswa ini, telah dilakukan sebuah studi
pada siswa kelas X di sebuah sekolah
menengah atas negeri di Kabupaten
Bandung Barat.Pelaksanaan studi
dilakukan di akhir semester genap setelah
siswa menerima seluruh bahan ajar di
kelas X, namun sebelum menjalani
ulangan akhir semester.
KERANGKA KERJA TEORETIS
Pemecahan masalah matematis
tidak diragukan lagi merupakan
jantungnya kegiatan bermatematika dan
pembelajaran matematika. Hal ini
tampak baik pada model pembelajaran
yang berpusat pada guru maupun yang
berpusat pada siswa. Dalam
pembelajaran matematika yang berpusat
pada guru misalnya, seluruh kegiatan
mulai dari pengenalan fakta, penanaman
konsep, penguasaan prosedur algoritmis,
dan pemahaman atas prinsip dan
penerapannya, ditujukan dan bermuara
pada upaya pemecahan masalah baik
dalam matematika sendiri maupun dalam
disiplin lain yang terkait. Refleksi yang
dilakukan guru bersama-sama dengan
siswa atas proses pemecahan masalah
yang baru saja dijalani, pada gilirannya
akan memperkuat pemahaman matematis
siswa dan memperlancar daya alih
pengetahuan siswa tersebut pada situasi
baru dan mungkin lebih rumit.
141E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Sementara itu, dalam
pembelajaran yang berpijak pada paham
konstruktivisme kegiatan bermatematika
dimulai dan dipicu oleh adanya masalah
yang dihadapi dan harus diselesaikan
siswa baik secara perorangan maupun
berkelompok. Dalam menjalani proses
pemecahan masalah tersebut, siswa
dituntut keterampilannya
mengorganisasikan pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya untuk
mengurai, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi masalah dan proses
pemecahannya. Selain terampil
memecahkan masalah, tujuan lain yang
ingin dicapai dalam proses tersebut
adalah kemampuan siswa membangun
sendiri pengetahuannya dan
meningkatkan kemandirian belajar.
Pengetahuan baru yang didapat dari
proses pemecahan masalah itu pada
gilirannya diharapkan dapat digunakan
kembali untuk memecahan masalah
berikutnya.
Dalam pembelajaran berbasis
pemecahan masalah, target utama adalah
pengetahuan konseptual. Sambil
memecahkan masalah diharapkan siswa
juga belajar algoritma dan menguasai
keterampilan dasar manakala mereka
terlibat dalam eksplorasi masalah penting
dan berharga (Cai, 2003). Dengan
mengutip beberapa penelitian, Cai
menegaskan studi secara konsisten
menunjukkan bahwa siswa yang
mendapat pembelajaran berbasis
pemecahan masalah memiliki
pemahaman dan keterampilan
pemecahan masalah lebih tinggi dan
relatif sama dalam hal keterampilan
numerik dengan mereka yang belajar
dengan cara biasa.
Campione, Brown, dan Connell
(dalam Herman, 2006) memberikan tiga
tahap penilaian untuk mengukur
kemajuan kegiatan pemecahan masalah.
Pertama, pemahaman terhadap masalah,
yaitu apakah informasi penting dan
gagasan dalam masalah itu telah
diketahui. Kedua representasi, yaitu
apakah mereka telah dapat membuat
representasi eksternal terhadap masalah
yang memudahkan mereka
menanganinya. Ketiga penyelesaian,
yaitu apakah strategi yang dipilih telah
tepat dan dijalankan dengan benar pula.
Dalam proses ini akan terpantau ada
tidaknya diskusi dan/atau refleksi
terhadap pendekatan yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah.
Teknik lain untuk menilai kinerja
pemecahan masalah adalah penskoran
dari tes tertulis. Dalam hal ini siswa
diberikan masalah untuk diselesaikan
secara tertulis dan yang jadi fokus
penilaian adalah proses penyelesaian
142E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
yang dibuat anak, bukan hanyapada hasil
akhir.Gronlund (2006: 51) mengatakan
tujuan alat penilaian ini ialah untuk
mengarahkan pengamatan langsung pada
unsur-unsur terpenting dari kinerja
siswadan memberikan tempat buat
merekam penskoran.
METODE
1. Disain dan subyek. Studi ini adalah
penelitian deskriprif-kualitatif
dengan mengambil kelas X/B di
sebuah sekolah menengah atas
negeri di Kabupaten Bandung Barat
sebagai subyek.
2. Instrumen. Data pada studi ini
dikumpulkan melalui ujian tulis
pemecahan masalah matematis.
Bahan uji diambil dari materi yang
tertuang dalam pokok bahasan
Aljabar, Trigonometri, dan Geometri
kelas X sebanyak 6 butir soal.Karena
tempat terbatas, laporan ini hanya
menganalisis kinerja siswa terhadap
4 dari 6 butir soal tersebut.Penskoran
didasarkan pada langkah holistik
dalam pemecahan masalah yang
diadopsi dari Arizona Mathematics
Rubric olehArizona Department of
Education.
Sebelum diujikan, terlebih dulu
dimintai pertimbangan dari tiga orang
penimbang ahli atas instrumen yang telah
disusun. Pertimbangan difokuskan untuk
melihat kesahihan isi dan konstruk.
Pengolahan data dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak Micro-soft
Office Excel 2007 dan SPSS versi 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
a. Uji statistik menunjukkan kesahihan
isi dan konstruk tes adalah baik atau
para penimbang telah menimbang
keduanya secara sama atau seragam.
Dari perhitungan SPSS untuk
kesahihan isi didapat nilai
keberartian asimtotik sebesar 0,368
(lebih besar dari 0,05). Untuk
kesahihan konstruk, dari perhitungan
didapat nilai keberartian
asimtotiknya sebesar 0,607 (juga
lebih besar dari 0,05).Oleh sebab itu
disimpulkan para penimbang telah
melakukan pertimbangan konstruk
materi secara sama atau seragam.
b. Dari perhitungan korelasi produk
momen dari Pearson, disimpulkan
ke-enam butir soal yang dicobakan
sahih dengan tingkat keberartian
5%.Berdasarkan perhitungan Excel
didapat nilai Cronbach Alpha
sebesar 0,73. Jika dirujuk ke kriteria
(Ruseffendi, 2005 :160)untuk
kehandalan tes, disimpulkan
kehandalan instrumen masuk
kategori tinggi.
143E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
c. Dari 6 soal, tiga butir memiliki daya
pembeda sangat baik, dua butir
berdaya pembeda cukup baik, dan
satu butir dengan daya pembeda
buruk. Terakhir, semua soal
memiliki tingkat kesukaran kategori
sedang.
d. Kinerja siswa atas empat butir dari
enam soal pemecahan masalah yang
diujikan tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Persentase Perolehan Skor untuk Tiap Butir SoalNomor
SoalFrekuensi Perolehan Skor Skor
Rataan0 %tase 1 %tase 2 %tase 3 %tase 4 %tase1 1 3,1 2 6,3 2 6,3 3 9,3 24 75 3,472 1 3,1 1 3,1 18 56,3 12 37,5 0 0 2,283 19 59,4 4 12,5 1 3,1 0 0 8 25 1,194 8 25 6 18,8 8 25 7 21,9 3 9,3 1,72
Catatan: Skor maksimum tiap butir soal adalah 4
Dari Tabel 1 tampak kinerja
terbaik siswa terjadi pada soal nomor 1.
Sebanyak 84,3 % siswa memperoleh skor
3 atau 4. Sebaliknya, kinerja terburuk
siswa ada pada soal nomor 3. Ada 75 %
dari seluruh siswa yang hanya
memperoleh skor 0 atau 1 atau 2. Untuk
soal nomor 2, mayoritas siswa
memperoleh skor 2 atau 3. Terakhir,
untuk soal nomor 4, ada 68,8% hanya
mendapat skor 0 atau 1 atau 2. Skor
rataan yang diperoleh siswa pada tiap
butir soal mempertegas fakta bahwa
kemampuan pemecahan masalah siswa
masih sangat lemah dan jauh untuk dapat
dikatakan tuntas.
PEMBAHASAN
Sebagaimana telah dijelaskan,
analisis kinerja siswa atas butir soal
pemecahan masalah matematis dilakukan
terhadap empat dari enam butir soal yang
diujikan. Satu dari Bentuk Akar, dua dari
Persamaan Kuadrat, dan satu dari
Perbandingan Trigonometri. Berikut
analisis kinerja siswa atas 4 butir soal
dimaksud. Penomoran ulang butir soal
dilakukan sebagai berikut. Soal nomor 2,
3, 4, dan 5 pada naskah ujian berturut-
turut menjadi soal nomor 1, 2, 3, dan 4
pada tulisan ini.
Soal 1. Perajin di Cibaduyut dapat membuat 3 pasang sepatu dari
bahan kulit sebanyak √
m2.
Berapa pasang yang dapat mereka buat dari bahan sebanyak 5 m2.
Soal ini lebih menuntut penalaran
kesebandingan dan menarik simpulan
atas hasil perhitungan ke dalam konteks
masalah. Bagi siswa kelas X soal ini
mestinya rutin dan mudah
menyelesaikannya lantaran telah sering
menyelesaikan soal kesebandingan sejak
di sekolah menengah pertama dan bentuk
akar pada soal termasuk sederhana.
E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika
Namun demikian, seluruh siswa
melakukan perhitungan secara informal,
tidak ada yang membuat langsung
rumusan formal kesebandingan seperti
√ = misalnya. Selain itu, seluruh
siswa tak melakukan refleksi atas hasil
perhitungan untuk melihat
kebermaknaannya dalam konteks
masalah. Mereka berhenti setelah
melakukan perhitungan dan memperoleh
hasil √ . Tidak seorang pun siswa yang
melanjutkan kerjanya dengan memaknai
berapa sebenarnya nilai bilangan
Gambar 1 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 1
Soal 2. Upah pekerja pada suatu proyek bangunan dihitung berdasarkan rumusan fungsi U( ) = + 6000, dengan adalah banyak pekerja.a. Berapakah upah minimum
proyek tersebut.
E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika
Namun demikian, seluruh siswa
melakukan perhitungan secara informal,
tidak ada yang membuat langsung
rumusan formal kesebandingan seperti
misalnya. Selain itu, seluruh
lakukan refleksi atas hasil
perhitungan untuk melihat
kebermaknaannya dalam konteks
masalah. Mereka berhenti setelah
melakukan perhitungan dan memperoleh
. Tidak seorang pun siswa yang
melanjutkan kerjanya dengan memaknai
ilangan √
untuk konteks pasangan sepatu. Dari
kinerja siswa terhadap soal ini
disimpulkan mereka belum dapat
merumuskan format kesebandingan
secara formal dan belum dapat
mengaitkan atau memeriksa kembali
hasil perhitungan ke dalam konteks
masalah atau dengan kata lain tidak
menjalankan langkah ke
(refleksi)dari tahapan pemecahan
masalah Polya. Contoh cara siswa
menyelesaikan soal nomor 1 disajikan
pada Gambar 1 .
Gambar 1 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 1
. Upah pekerja pada suatu proyek bangunan dihitung berdasarkan
) = 2 - 30adalah banyak
a. Berapakah upah minimum
b. Upah minimum tercapai bila proyek dikerjakan oleh berapa orang?
Seluruh siswa merespon soal ini dengan
langsung menghitung = −menyulihkannya ke fungsi dan
memperoleh angka 5775. Namun hampir
144
untuk konteks pasangan sepatu. Dari
kinerja siswa terhadap soal ini
disimpulkan mereka belum dapat
merumuskan format kesebandingan
secara formal dan belum dapat
mengaitkan atau memeriksa kembali
hasil perhitungan ke dalam konteks
engan kata lain tidak
menjalankan langkah ke-empat
(refleksi)dari tahapan pemecahan
masalah Polya. Contoh cara siswa
menyelesaikan soal nomor 1 disajikan
b. Upah minimum tercapai bila dikerjakan oleh berapa orang?
Seluruh siswa merespon soal ini dengan
= 15 dan
menyulihkannya ke fungsi dan
memperoleh angka 5775. Namun hampir
E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika
semua mereka melakukan ini secara
mekanistik tanpa makna. Hanya 7 dari
mereka yang memaknai 5775 sebagai
upah minimum tetapi gagal memaknai
= 15 sebagai banyaknya pekerja yang
membuat upah tersebut menjadi
minimum. Malah untuk menjawab
pertanyaan (b) semua mereka
menghitung = 385 meski pada soal
Gambar 2 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 2
Soal 3. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara luas (L) dan lebar (w) persegi panjang yang kelilingnya 40 cm.
Luas (L) Lebar (w)75 596 8
Untuk menjawab soal ini, siswa
mesti memusatkan perhatian pada
pengaitan antara rumusan luas dengan
keliling suatu persegi panjang dan
dengan informasi yang diberikan dalam
E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika
semua mereka melakukan ini secara
mekanistik tanpa makna. Hanya 7 dari
g memaknai 5775 sebagai
upah minimum tetapi gagal memaknai
= 15 sebagai banyaknya pekerja yang
membuat upah tersebut menjadi
minimum. Malah untuk menjawab
pertanyaan (b) semua mereka
= 385 meski pada soal
jelas tertulis menyatakan b
pekerja. Kinerja siswa atas soal ini
memperlihatkan kurangnya pemahaman
mereka terhadap masalah,
pengetahuannya hanya sebatas
prosedural, dan sekaligus tak melakukan
refleksi atas proses menyelesaikan
masalah. Gambar 2memperlihatkan
contoh cara siswa menyelesaikan soal
ini.
Gambar 2 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 2
. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara luas (L) dan lebar (w) persegi panjang yang kelilingnya 40 cm.
Buat persamaan yang menyatakan hubungan antara L dengan w.
100 1096 1275 15
Untuk menjawab soal ini, siswa
mesti memusatkan perhatian pada
pengaitan antara rumusan luas dengan
keliling suatu persegi panjang dan
dengan informasi yang diberikan dalam
soal (keliling persegi panjang)
diharapkan dapat membuat persamaan
yang diminta (pemodelan matematika).
Dari 32 siswa, hanya 9 orang yang
membuat pengaitan rumusan luas dan
keliling persegi panjang untuk
145
menyatakan banyak
pekerja. Kinerja siswa atas soal ini
memperlihatkan kurangnya pemahaman
mereka terhadap masalah,
pengetahuannya hanya sebatas
prosedural, dan sekaligus tak melakukan
refleksi atas proses menyelesaikan
masalah. Gambar 2memperlihatkan
a menyelesaikan soal
Buat persamaan yang menyatakan hubungan antara L dengan w.
soal (keliling persegi panjang)
membuat persamaan
yang diminta (pemodelan matematika).
Dari 32 siswa, hanya 9 orang yang
membuat pengaitan rumusan luas dan
keliling persegi panjang untuk
146E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
kemudian merumuskan persamaan yang
diminta. Enam diantaranya mengutak-
atik angka yang terdapat pada tabel
untuk menghitung panjang tanpa pernah
tiba pada apa yang diminta di soal.
Selebihnya tidak merespon. Dari kinerja
siswa atas soal ini disimpulkan sebagian
besar siswa tidak dapat melakukan
pengaitan konsep yang dimilikinya dan
pengalamannya bekerja atas konsep
tersebut ke dalam konteks masalah baru.
Ini menunjukkan rendahnya
kemampuan bernalar dan transfer
pengetahuansiswa. Gambar 3
memperlihatkan contoh cara siswa
menyelesaikan soal nomor 3.
Gambar 3 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 3
Soal 4. Kabayan mendaki jalan sejauh
½ km dengan kemiringan 60
terhadapgaris horisontal,
kemudian mendaki lagi sejauh ¾
km dengan kemiringan 150 juga
terhadap garis horisontal. Coba
bantu Kabayan menghitung
jarak horisontal dan vertikal
yang telah dilaluinya.
Soal ini dapat dijawab lebih
mudah bila menggunakan representasi
masalah dengan menggunakan dua buah
segitiga siku-siku. Kemudian siswa
mesti paham bahwa yang diinginkan
adalah jarak total yang ditempuh baik
arah vertikal maupun horisontal.
Sebanyak 17 orang (53%) dapat
merepresentasikan masalah dan
membuat perbandingan trigonometri
untuk menghitung jarak tempuh arah
vertikal dan arah horisontal. Namun,
hanya dua saja diantaranya yang tuntas
menghitung total jarak yang ditempuh
itu. Dalam hal ini diduga lemahnya
kemampuan bernalar yang membuat
siswa tidak utuh memahami masalah
dan mengakibatkan mereka tidak tuntas
menyelesaikannya. Contoh cara siswa
menyelesaikan soal ini tersaji pada
Gambar 4.
147E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
Gambar 4 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 4
Dari kinerja siswa atas soal ini
disimpulkan hampir separuh dari
seluruh siswa masih kesulitan
menerjemahkan soal cerita ke dalam
sebuah representasi matematis yang
akan membuatnya lebih mudah
memahami masalah. Kesulitan siswa
dalam mengembangkan representasi
untuk masalah yang diberikan
diperkirakan karena pengetahuan yang
dimiliki siswa tentang perbandingan
triogonometri hanya sebatas prosedural,
belum relasional. Selain itu, meski
dapat membuat representasi masalah,
tampak banyak juga diantara mereka
yang mendapat kesulitan menghadapi
masalah yang dalam penyelesaiannya
memerlukan banyak langkah.
Mengomentari kinerja siswanya,
guru reguler di kelas tersebut
mengatakan siswa memang hampir
tidak pernah diberikan pengalaman
menyelesaikan soal-soal sejenis. Dalam
pembelajaran, guru hanya melatih siswa
menyelesaikan soal-soal rutin yang ada
di dalam buku teks baik di kelas
maupun untuk tugas rumah. Terkait
dengan penjelasan guru ini, NCTM
(2000: 21) telah menekankan bahwa
pengalaman belajar yang diberikan
gurulah yang banyak berperan dalam
menentukan keluasan dan kualitas
belajar siswa, termasuk untuk
keterampilan anak bernalar dan
memecahkan masalahmenyangkut
materi Pangkat dan Bentuk Akar,
Persamaan Kuadrat, dan Trigonometri.
SIMPULAN
Uraian di atas mempertegas
bahwa kinerja siswa dalam pemecahan
masalah matematis masih sangat lemah
dan jauh untuk dapat dikatakan tuntas.
Capaian siswa secara umum masih di
bawah 50% meski tingkat kesulitan soal
yang diberikan berkategori sedang.
Hasil ini dan penjelasan guru
148E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan
matematika di kelas tersebut juga makin
menguatkan akan pentingnya siswa
diberi kesempatan dan pengalaman
melihat dan turut terlibat dalam
pemecahan masalah matematis di kelas.
Oleh sebab itu guru seyogiayanya mulai
menerapkan berbagai model
pembelajaran berbasis pemecahan
masalah di samping pembelajaran
konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani, R. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metoda Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Cai, J. (2003). What Research Tell Us about Teaching Mathematics through Problem Solving. In Lester, F. (Ed.) Research and Issues in Teaching Mathematics through Problem Solving. Reston, Va. National Council of Teachers of Mathematics.
Depdiknas, 2006. Permen Diknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta.
Hamzah, (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertma Negeri di Bandung
Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
MoE Singapore, 2007.Secondary Mathematics Syllabuses. Singapore.
NCTM, 2010. Agenda for Action:Problem Solving. Tersedia [email protected].
Reys, R. E., Lindquist, M. M., Lambdin, D. V., Smith, N. L., & Suydam, M. N. (2001). Helping children learn mathematics (6thed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
Wardiani, S. (2009).Pembelajaran Inkuiri Model Silver untuk Mengembangkan Kreativitas dan kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas.Disertasi pada SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Wilson, J.W., et al. (1997). Mathematical Problem Solving[Online]. Tersedia:http://jwilson.coe.uga.edu [10 Desember 2007].
149Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
PENCAPAIAN STANDAR MUTU PENDIDIKAN TINGGIDENGAN MODEL MANAJEMEN HOLISTIK
Oleh: Binahar Siagian
Abstrak
Standar mutu Pendidikan Tinggi mengacu pada Standar Nasional pendidikan. Pencapaian standar tersebut sangat ditentukan model manajemen pengelolaan Pendidikan Tinggi. Model Holistik Management adalah kolaborasi sejumlah model manajemen sesuai dengan karakteristik sub sistem di organisasi Pendidikan Tinggi, adalah model manajemen yang tepat diterapkan untuk percepatan standar mutu Pendidikan Tinggi.Kata kunci : Standar mutu pendidikan tinggi
PENDAHULUAN
Pendidikan tinggi merupakan
salah satu barometer kemajuan
pembangunan, khususnya pembangunan
pendidikan, yang juga merupakan
pembangunan peradaban bangsa
(Fadjar, 2004). Pembangunan
pendidikan harus selalu bertumpu pada
konsep pertumbuhan, pengembangan,
pembaharuan, dan kelangsungannya
sehingga penyelenggaraan pendidikan
harus dikelola secara profesional.
Pembangunan pendidikan
disokong oleh tiga pilar kebijakan
strategis pembangunan pendidikan,
yaitu: (1) Pemerataan dan perluasan
akses pendidikan; (2) Peningkatan
mutu, relevansi, dan daya saing lulusan
pendidikan; (3) Peningkatan tata kelola,
akuntabilitas, dan pencitraan publik
pengelolaan pendidikan.
Ketiga pilar kebijakan tersebut
merupakan acuan perencanaan
pembangunan pendidikan termasuk
pendidikan tinggi. Pemerataan dan
perluasan akses menekankan
memperbesar kesempatan belajar di
perguruan tinggi bagi masyarakat.
Berbagai strategi memungkinkan
dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan
pilar pertama, diantaranya adalah (1)
memperbanyak jumlah
mahasiswa/mahasiswi yang diterima
sebagai subjek didik belajar di
perguruan tinggi; (2) sistem penerimaan
mahasiswa baru yang berorientasi
pemerataan kesempatan belajar dari
berbagai daerah serta berwawasan
gender, seperti PMDK, dan sistem
kuota; (3) pengembangan perguruan
tinggi multi kampus; (4) pemberian
berbagai jenis beasiswa.
150Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Peningkatan mutu, relevansi,
dan daya saing lulusan adalah
merupakan jaminan bagi lulusan dan
stakeholder atas kepastian
kebermanfaatan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni yang dipelajari
dalam kehidupan. Kebermanfaatan
tersebut dimaknai bahwa dengan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang
dimiliki oleh lulusan akan menjamin
mereka dapat menciptakan lowongan
kerja dan atau bekerja pada perusahaan
atau lembaga yang membutuhkannya.
Perguruan tinggi harus selalu
berorientasi mutu dalam
pengelolaannya sehingga dihasilkan
lulusan yang memiliki standar mutu
yang ditetapkan.Standar mutu harus
memungkinkan untuk ditingkatkan
sehingga daya saing lulusan dapat
dipertahankan bahkan diharapkan
unggul.
Salah satu strategi yang pernah
diuji coba diterapkan untuk mencapai
standar mutu pendidikan tinggi adalah
Total Quality Management (TQM).
TQM menggarap keseluruhan
pembangunan pendidikan tinggi, mulai
dari perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengendalian dalam
hal input, proses, dan output. Namun
Srikanthan mengatakan bahwa Total
Quality Managemen kurang tepat
dipergunakan di perguruan tinggi,
karena organisasi perguruan tinggi
adalah unik (Srikanthan, 2001). Lebih
lanjut dikatakannya bahwa model
manajemen Holistik adalah yang paling
tepat dipergunakan.
Menurut Peraturan Pemerintah
RI No. 60 Tahun 1999 tentang
Pendidikan Tinggi, tujuan Pendidikan
Tinggi adalah: (a) Menyiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan
atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan atau
memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian;
(b) Mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan atau kesenian serta
mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional (Ricjardus, 2006).
Dalam upaya tercapainya tujuan
tersebut, Perguruan Tinggi menciptakan
dan mengimplementasikan tiga Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu: Pengajaran,
Penelitian, dan Pengabdian. Pengajaran
merupakan knowledge transfer,
technology transfer, skill transfer, dan
Arts transfer. Penelitian adalah
pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni yang bermanfaat
151Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
bagi manusia. Pengabdian adalah
implementasi ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni yang dipelajari,
dikembangkan di Perguruan Tinggi bagi
masyarakat. Ketiga dharma tersebut
masih dianggap relevan dengan tuntutan
masyarakat terhadap Perguruan Tinggi.
Ciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni yang bermanfaat
bagi manusia melalui penelitian, ajarkan
kepada banyak orang dilembaga formal,
dan aplikasikan dan gunakan kepada
masyarakat seluas-luasnya untuk tujuan
kesejahteraan manusia.
PEMBAHASAN
STANDAR MUTU PERGURUAN TINGGI
Perguruan tinggi memiliki 5
(lima) dimensi, yaitu: (1) dimensi etis;
(2) dimensi keilmuan; (3) dimensi
pendidikan; (4) dimensi social; (5)
dimensi korporasi (Richardus, 2006)
Dimensi etis dimaknai bahwa Perguruan Tinggi sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan untuk kreativitas sendiri atau untuk ilmu itu sendiri akan tetapi demi kesejahteraan manusia. Dengan demikian ilmu pengetahuan, teknologi dan seni tidak boleh menghancurkan hidup dan kehidupan manusia akan tetapi justru untuk mensejahterakan manusia.
Dimensi keilmuan dimaknai
sebagai dunia perguruan tinggi adalah
dunia ilmu pengetahuan. Sejalan dengan
hal itu, tujuan utama perguruan tinggi
adalah mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
tekn ologi serta budaya-budaya kepada
masyarakat.
Dimensi pendidikan dimaknai
bahwa proses pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia yang
dewasa, bertanggungjawab, mandiri,
berilmu tinggi, serta berahlak mulia.
Perguruan Tinggi tidak hanya
melaksanakan pengajaran, akan tetapi
benar-benar melaksanakan pendidikan.
Dimensi sosial dimaknai bahwa
perguruan tinggi yang sering disebut
kampus atau perkampungan masyarakat
ilmiah, terjadi proses social yang indah
dan harmonis di kampus maupun diluar
kampus. Hasil pengembangan ilmu
pengetahuan bermanfaat untuk
peningkatan ekonomi masyarakat,
kesehatan masyarakat.
Dimensi korporasi dimaknai
sebagai bahwa Perguruan Tinggi adalah
sebuah organisasi penawaran jasa.
Perguruan Tinggi memiliki pelanggan
dan mengalami persaingan antara
berbagai perguruan tinggi, sehingga
perencanaan strategis korporasi menjadi
salah satu acuan dalam memenangkan
persaingan.
Standar mutu perguruan tinggi
dilihat dari dimensi tersebut adalah
harus mengarah kepada kepuasan
152Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
pelanggan (stake holder). Kepuasan
pelanggan akan menjami nkeberlanjutan
sebuah Perguruan Tinggi. Meskipun
demikian standar mutu harus dilihat dari
sisi internal dan eksternal. Sisi internal
adalah bagaimana manajemen
perguruan tinggi tersebut dapat menjadi
korporasi yang baik (good Corporate
Governace). Sisi eksternal adalah
bagaimana stake holder memberikan
penilaian terhadap perguruan tinggi
tersebut. Sisi internal dan eksternal
sesungguhnya saling terkait dan tidak
dapat dipisahkan.
Prinsip dan aplikasi good
corporate governance di Perguruan
Tinggi yamng perlu distandarisasi dan
pengaturan sistem operasional prosedur
(SOP):
1. Struktur dan pengaruh kepemilikan:
a. transparansi kepemilikan
b. batas wewenang pemiliki dan pendiri
c. tugas dan wewenang penyelenggara
d. keterpisahan penyelenggara dan
pemilik
e. profesionalisme pengelola
2. Hubungan keuangan
a. tanggung jawab keuangan
b. otorisasi keuangan.
c. sumber keuangan
d. pembuatan anggaran
e. laporan tahunan
f. laporan keuangan
g. kebijakan pengelolaan
3. Transparansi keuangan dan
keterbukaan informasi
a. laporan keuangan
b. transparansi keuangan
c. perincian beban mahasiswa
d. audit keuangan
e. independensi auditor
f. pengumuman laporan keuangan
g. sistem penilaian kinerja
h. kemudahan akses informasi
i. kerahasiaan informasi
j. pencatatan penting
k. keterbukaan rapat
l. sistem imbal jasa
m. peraturan kepegawaian
4. Struktur dan proses pimpinan dan
manajemen
a. Organisasi dan hubungan lini dan
staf
b. unsur dan komposisi pimpinan
c. tugas dan tanggung jawab masing-
masing unsur pimpinan
d. hierarki pimpinan
e. wewenang penunjukan pimpinan
f. wewenang, tugas, dan tanggung
jawab badan lain
g. jangka waktu kepemimpinan
h. uraian tugas
i. persyaratan kerja dan rekrutmen
j. jabatan rangkap
k. etika profesi.
153Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Good corporate governance
tersebut di atas adalah bagian pilar
ketiga dari tiga pilar perencanaan
strategis pembangunan pendidikan
Indonesia. Pemerintah Republik
Indonesia telah menetapkan 8 Standar
Nasional Pendidikan, yaitu: standar isi,
standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana
pendidikan, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan standar
penilaian. Standar-standar ini menjadi
acuan kualitas organisasi pendidikan
termasuk pendidikan tinggi.
STANDAR MUTU PENDIDIKAN TINGGI
Mutu pendidikan tinggi
diperlihatkan lulusannya. Lulusan
adalah produk dari jasa yang telah
dipercayakan oleh pelanggan
(stakeholder) pada perguruan tinggi,
harus ditetapkan standar mutu yang
bagai mana yang diharapkan pelanggan.
Stake holder (orang tua) mempunyai
tuntutan terhadap perguruan tinggi
adalah bahwa anak mereka yang lulusan
dari perguruan tinggi harus memiliki
pekerjaan yang baik dari segi jaminan
kehidupan, dan atau juga dapat
menciptakan lapangan kerja sendiri.
Dari sisi organisasi yang akan
mempekerjakan lulusan, mengharapkan
bahwa lulusan tersebut memiliki ilmu
pengetahuan tinggi, berahlak mulia, dan
memiliki softskill yang baik. Disamping
itu, tentunya lulusan diharapkan mampu
mengembangkan, mengunggulkan, dan
mempertahankan keberlangsungan
(sustainibility) organisasi stake holder.
Namun demikian, harapan pelanggan
terhadap lulusan tergantung pada Visi
dan Misi perguruan Tinggi tersebut.
Sebuah perguruan tinggi dapat
mengarahkan visi dalam bidang
penelitian sehingga menjadi Research
University berkelas dunia, atau
mengarahkan dalam bidang pengajaran
sehingga menjadi Teaching University
berkelas dunia, atau mengarahkan
dalam pembinaan kepemimpinan dan
skill.
PENCAPAIAN STANDAR MUTU PENDIDIKAN TINGGI DENGAN MODEL MANAJEMEN HOLISTIK
Sejumlah model manajemen
diajukan oleh berbagai ahli manajemen.
Dalam makalah Srikantan dikaji
sejumlah model manajemen yang
diusulkan dipergunakan di pendidikan
tinggi sebagai mana diuraikan berikut.
Ada yang menfokuskan manajemen
terhadap proses pembelajaran subjek
didik yang oleh Harvey dan Knight
disebut manajemen berorientasi
pengalaman belajar yang disebutnya
sebagai “Total Transformative Model”.
154Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
Howard dan Conrad mengajukan
Engagement Model yang berfokus pada
pengelolaan sumber daya instrumen
untuk meningkatkan kualitas lulusan.
Bowden dan Marton mengatakan bahwa
kualitas produk perguruan tinggi
tergantung pada kualitas pembelajaran.
Tierney mengatakan bahwa pelayanan
terhadap mahasiswa dalam arti terpusat
kepada mahasiswa segala program
adalah yang menentukan kualitas
lulusan.
Keseluruhan model tersebut
adalah berkolaborasi membentuk satu
model baru yang disebut model
manajemen holistic. Model holistic
mangatakan bahwa tidak mungkin TQM
dapat dipergunakan sepenuhnya pada
manajemen perguruan tinggi. Sebab
dalam pengelolaan sumber daya dosen
adalah manajemen kepemimpinan
transformative, dalam mana dosen
bukanlah dianggap sebagai bawahan
akan tetapi adalah sebagai rekan kerja.
Dalam pengelolaan sumber daya
instrument tidak terlepas pada
kebutuhan mahasiswa dan proses
pembelajarannya. Model Holistik
mengusulkan bahwa pencampuran
berbagai model yang disebut sebagai
kolaborasi berbagai model, sehingga
secara jelas membagi model dalam
ranah komponen perguruan tinggi.
TQM dipergunakan untuk manajemen
administratif dan Total Transformative
Learning model dipergunakan untuk
manajemen sumber daya dosen dan
mahasiswa dalam pembelajaran.
Engagement model untuk pengelolaan
sumber daya instrumentasi.
Perencanaan standar lulusan
Kebutuhanpelanggan
Perencanaan Strategis
Proses Pendidikan
Proses administrasi berbasis pelangganPerbaikan Sumber
daya manusia dan instrument secara
berkelanjutan
Lulusan Yang Bermutu
on the job traing, studi lanjut, up dating and re-engineering
dengan menggunakan transformative managemen
Quality Insurance
Evaluasi dan perbaikan
Pembudayaan kualitas Sumber daya
instrumentasiMenggunakan
Engagement model
Tujuan Pendidikan Nasional
Delapan Standar Nasional Pendidikan
Gambar 2. Blok diagram Model manajemen Holistik
155Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan
G. PENUTUP
Manajemen Holistik adalah
gabungan berbagai model manajemen,
yaitu sebagai sebuah model manajemen
mengarahkan proses administrasi
berorientasi pelanggan, sedangkan
proses pembelajaran, manajemen
sumber daya dosen, dan manajemen
sumber daya instrumentasi merupakan
model Total Transformatif Learning
dan Engagement model..
DAFTAR PUSTAKA
Darmono S D. 2010. President University, Where tomorrow’s leaders come together Prospectus 2010-2011. Jakarta: President University.
Malik A Fadjar. 2004. Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Buku IV. Jakarta: Depdiknas
Richardus Eko Indrajit & Richardus Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Penerbit Andi
Srikanthan Mr G., John Dalrymple. 2001. “A Fresh Approach to a Model for Quality in Higher Education. The Sixth Conference on ISO9000 and Total Quality Management, 17-19 April 2001, Ayr, Scotland, UK.
Srikanthan Mr G., John Dalrymple. 2002. “Developing a Holistik Model for Quality in Higher Education” 71CIT-2002: Developing a Holistic Model for Quality in Higher Education
156Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU DALAM KONTEKS PENJAMINAN MUTU DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN MENGHADAPI
TANTANGAN GLOBALISASI MASA DEPAN
Oleh :
Danny Ivanno Ritonga, S. Pd
Abstrak
Telah kita ketahui dalam abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Karena itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar dapat ikut dalam persaingan, dan jika tidak, maka kita akan ditinggalkan. Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan harus menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini, adalah pertama, bagaimana pendidikan yang dapat menjawab tantangan di atas dapat dirancang?, kedua, dengan adanya persamaan hak dalam mendapatkan pendidikan yang terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yang dapat mengakomodasi berbagai dimensi pembaharuan, sehingga peserta didik mendapatkan kesempatan pendidikan yang berkualitas dalam era global ini? dan ketiga, bagaimanakah profesionalisme guru tersebut disiapkan?
Kata kunci : Penjaminan Mutu Pendidikan, Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan, Profesionalisme Guru
PENDAHULUAN
Pendidikan berwawasan masa
depan diartikan sebagai pendidikan
yang dapat menjawab tantangan masa
depan, yaitu suatu proses yang dapat
melahirkan individu-individu yang
berbekal pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai yang diperlukan untuk
hidup dan berkiprah dalam era
globalisasi.
Komisi Internasional bagi
Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk
oleh UNESCO melaporkan bahwa di
era global ini pendidikan dilaksanakan
dengan bersandar pada empat pilar
pendidikan, yaitu learning to know,
learning to do, learning to be, dan
learning to live together (Delors, 1996).
Dalam learning to know peserta didik
belajar pengetahuan yang penting sesuai
157Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
dengan jenjang pendidikan yang diikuti.
Dalam learning to do peserta didik
mengembangkan keterampilan dengan
memadukan pengetahuan yang dikuasai
dengan latihan (law of practice),
sehingga terbentuk suatu keterampilan
yang memungkinkan peserta didik
memecahkan masalah dan tantangan
kehidupan. Dalam learning to be,
peserta didik belajar menjadi individu
yang utuh, memahami arti hidup dan
tahu apa yang terbaik dan sebaiknya
dilakukan, agar dapat hidup dengan
baik. Dalam learning to live together,
peserta didik dapat memahami arti
hidup dengan orang lain, dengan jalan
saling menghormati, saling menghargai,
serta memahami tentang adanya saling
ketergantungan (interdependency).
Dengan demikian, melalui keempat
pilar pendidikan ini diharapkan peserta
didik tumbuh menjadi individu yang
utuh, yang menyadari segala hak dan
kewajiban, serta menguasai ilmu dan
teknologi untuk bekal hidupnya.
Dalam Jalal dan Supriadi (2001)
disebutkan tiga acuan dasar
pengembangan pendidikan di Indonesia
dalam era reformasi untuk menjawab
tantangan global, yaitu acuan filosofis,
acuan nilai kultural, dan acuan
lingkungan strategis.
Acuan filosofis, didasarkan pada
abstraksi acuan hukum dan kajian
empiris tentang kondisi sekarang serta
idealisasi masa depan. Secara filosofis
pendidikan perlu memiliki karakteristik:
(a) mampu mengembangkan kreativitas,
kebudayaan, dan peradaban; (b)
mendukung diseminasi dan nilai
keunggulan, (c) mengembangkan nilai-
nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan
dan keagamaan; dan (d)
mengembangkan secara berkelanjutan
kinerja kreatif dan produktif yang
koheren dengan nilai-nilai moral.
Kesemua ini tidak terlepas dari cita-cita
pembentukan masyarakat Indonesia
Baru, yakni apa yang disebut dengan
masyarakat madani.
Pendidikan kita harus pula
memiliki acuan nilai kultural dalam
penataan aspek legal. Tata nilai itu
sendiri bersifat kompleks dan
berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal,
nilai instrumental, sampai pada nilai
operasional. Pada tingkat ideal, acuan
pendidikan adalah pemberdayaan untuk
kemandirian dan keunggulan. Pada
tingkat instrumental, nilai-nilai yang
penting perlu dikembangkan melalui
pendidikan adalah otonomi, kecakapan,
kesadaran berdemokrasi, kreativitas,
daya saing, estetika, kearifan, moral,
harkat, martabat dan kebanggaan. Pada
158Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
tingkat operasional, pendidikan harus
menanamkan pentingnya kerja keras,
sportifitas, kesiapan bersaing, dan
sekaligus bekerjasama dan disiplin diri.
Acuan lingkungan strategis
mencakup lingkungan nasional dan
lingkungan global. Lingkungan nasional
ditandai dengan dua hal yang
substansial yaitu: masih berlanjutnya
krisis dimensional yang menerpa bangsa
ini, dan tuntutan reformasi secara total
yang belum berjalan secara baik dan
optimal. Lingkungan nasional meliputi
perubahan demografis termasuk
didalamnya penyebaran penduduk yang
tidak merata dan keberhasilan KB,
pengaruh ekonomi yang tidak merata
sehingga penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan meningkat,
pengaruh sumber kekayaan alam yang
pemanfaatannya membutuhkan
pengelolaan yang baik, pengaruh nilai
sosial budaya di era global ini, dimana
munculnya nilai-nilai baru di
masyarakat seperti kerja keras,
keunggulan, dan ketepatan waktu,
pengaruh politik yang sejak era
reformasi terasa sangat labil, serta
pengaruh ideologi dimana pendidikan
ideologi perlu terkait dengan yang
universal. Lingkungan nasional yang
saat ini masih dalam situasi reformasi,
bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Secara nasional
acuan strategis ini mengandung arti
bahwa pendidikan kita harus dapat
menjawab tantangan reformasi dan
membawa negeri ini keluar dari
berbagai krisis.
Lingkungan global ditandai
antara lain dengan pesatnya
perkembangan teknologi informasi
sehingga kita tidak bisa menjadi warga
lokal dan nasional saja, tetapi juga
warga dunia.Lingkungan strategis
sangat berpengaruh bagaimana
pendidikan masa depan tersebut
hendaknya dirancang.
Sebagai implikasi dari
globalisasi dan reformasi tersebut,
terjadi perubahan pada paradigma
pendidikan. Perubahan tersebut
menyangkut, pertama: paradigma
proses pendidikan yang berorientasi
pada pengajaran dimana guru lebih
menjadi pusat informasi, bergeser pada
proses pendidikan yang berorientasi
pada pembelajaran dimana peserta didik
menjadi sumber (student center).
Dengan banyaknya sumber belajar
alternatif yang bisa menggantikan
fungsi dan peran guru, maka peran guru
berubah menjadi fasilitator. Kedua,
paradigma proses pendidikan tradisional
yang berorientasi pada pendekatan
klasikal dan format di dalam kelas,
159Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
bergeser ke model pembelajaran yang
lebih fleksibel, seperti pendidikan
dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu
pendidikan menjadi prioritas (berarti
kualitas menjadi internasional).
Keempat, semakin populernya
pendidikan seumur hidup dan makin
mencairnya batas antara pendidikan di
sekolah dan di luar sekolah.
Kondisi ini mengharuskan
pendidikan menerapkan berbagai
prinsip yang sangat mendasar seperti
penerapan standar mutu sehingga kita
bisa bersaing dengan dunia global, dan
penggunaan berbagai cara belajar
dengan mendayagunakan sumber
belajar. Bila kita cermati ketiga acuan di
atas merupakan dasar hukum dan
operasional pengembangan pendidikan
masa depan. Dalam pembangunan
pendidikan ke depan ini, ketiga acuan
itu merupakan dasar dalam
mengembangkan cetat biru (blueprint)
pendidikan nasional.
PEMBAHASAN
Kajian Konsepsional Mengenai Penjaminan Mutu Pendidikan
Dalam rangka pembaharuan
sistem pendidikan nasional telah
ditetapkan visi, misi dan strategi
pembangunan pendidikan nasional. Visi
pendidikan tersebut adalah terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara
Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah. Terkait dengan visi
tersebut telah ditetapkan serangkaian
prinsip untuk dijadikan landasan dalam
pelaksanaan reformasi pendidikan.
Salah satu prinsip tersebut
adalah bahwa pendidikan
diselenggarakan sebagai proses
pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat, di mana dalam proses
tersebut harus ada pendidik yang
memberikan keteladanan dan mampu
membangun kemauan, serta
mengembangkan potensi dan kreativitas
peserta didik. Implikasi dari prinsip ini
adalah pergeseran paradigma proses
pendidikan, yaitu dari paradigma
pengajaran ke paradigma pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang
telah berlangsung sejak lama lebih
menitikberatkan peran pendidik dalam
mentransfer pengetahuan kepada
peserta didik. Seperti telah disebutkan
pada pendahuluan , dewasa ini
paradigma tersebut telah bergeser
menuju paradigma pembelajaran yang
memberikan peran lebih banyak kepada
peserta didik untuk mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan bagi
160Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk menyelenggarakan proses
pendidikan yang didasarkan paradigma
baru tersebut, diperlukan acuan dasar
bagi setiap satuan pendidikan yang
meliputi serangkaian kriteria dan
kriteria minimal sebagai pedoman, yang
saat ini dikenal dengan delapan standar
mutu nasional pendidikan.
Tujuan standar mutu pendidikan
ditetapkan adalah untuk menjamin mutu
proses transpormasi, mutu instrumental
dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1)
standar isi, (2) standar proses, (3)
standar kompetensi lulusan, (4) standar
pendidik dan tenaga kependidikan, (5)
standar sarana dan prasarana, (6)
standar pengelolaan, (7) standar
pembiayaan, dan (8) standar penilaian
pendidikan. Konsep tersebut di atas
dapat diwujudkan pada diagram berikut
:
Lingkungan
Gambar 1: Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu
Dalam kaitan dengan itu, Bapak
pendidikan Indonesia, Ki Hajar
Dewantara, sejak tahun 1920an telah
mengumandangkan pemikiran bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah
memanusiakan manusia. Untuk itu
suasana yang dibutuhkan dalam dunia
pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan
hati, empati, cintakasih dan
penghargaan terhadap masing-masing
anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa
dasar cinta kasih. Dengan demikian
pendidikan hendaknya membantu
peserta didik untuk berkepribadian
merdeka, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, serta menjadi anggota
masyarakat yang berguna. Manusia
merdeka adalah seseorang yang mampu
berkembang secara utuh dan selaras dari
segala aspek kemanusiannya dan
mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Metode
pendidikan yang paling tepat adalah
sistem among yaitu metode
pembelajaran yang berdasarkan pada
161Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
asih, asah dan asuh. Sementara itu
prinsip penyelenggaraan pendidikan
perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung
tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut
wuri handayani”.
Mengingat bahwa pendidikan itu
merupakan suatu sistem dengan
komponen-komponen yang saling
berkaitan, maka keseluruhan sistem
harus sesuai dengan ketentuan yang
diharapkan atau standar. Untuk itu
masing-masing komponen dalam sistem
harus pula sesuai dengan standar yang
ditentukan bersama. Hal ini mesti
dilakukan dalam kaitan terjadinya
penjaminan mutu pendidikan itu sendiri,
karena; penjaminan mutu adalah proses
penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan secara konsisten dan
berkelanjutan, sehingga konsumen,
produsen, dan pihak lain yang
berkepentingan memperoleh kepuasan.
Bila dikaitkan dengan pengelolaan
pendidikan, penjaminan mutu yang
dimaksud adalah proses penetapan dan
pemenuhan standar mutu pengelolaan
pendidikan secara konsisten dan
berkelanjutan, sehingga stakeholders
memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam
PP 19/2005 delapan standar tersebut di
atas merupakan aspek-aspek yang harus
memenuhi standar mutu dalam kaitan
dengan penjaminan mutu suatu
lembaga.
Sehubungan dengan kerangka
konsep di atas, pada awal
perkembangan pendidikan,
masyarakatlah yang lebih berperan
dalam menentukan standar mutu
tersebut. Dalam perkembangan
selanjutnya dengan meluasnya
penyelenggaraan pendidikan formal
pemerintah lebih berperan dalam
menentukan standar mutu tersebut.
Dengan demikian, konsep penjaminan
mutu dapat ditinjau dari dua aspek yaitu
: (1) aspek deduktif ; dimana lembaga
pendidikan/sekolah mampu menetapkan
dan mewujudkan visinya melalui
pelaksanaan misinya, dan (2) aspek
induktif; dimana lembaga
pendidikan/sekolah, mampu memenuhi
kebutuhan stakeholders (kebutuhan
kemasyarakat, kebutuhan dunia kerja,
kebutuhan profesional). Konsep di atas
dapat divisualisasi dalam gambar
berikut :
162Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
Gambar 2 : Konsep Penjaminan Mutu
Dalam kaitan dengan
penjaminan mutu seperti diagram di
atas, kualifikasi pendidik merupakan
salah satu Standard yang harus dipenuhi
sesuai dengan PP 19/2005. Dengan
terpenuhinya kualifikasi pendidik
diharapkan pengelolaan proses
pembelajaran dapat berlangsung secara
interaktif, inspiratif, menantang,
memotivasi dan menyenangkan (I2M3).
Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan
Terjadinya pergeseran
pendidikan nasional seperti telah
dikupas di depan, mengakibatkan
adanya berbagai kebijakan pendidikan
yang relevan dengan itu. Beberapa
kebijakan yang menonjol, antara lain
dalam bidang menajeman pendidikan
yaitu desentralisasi pendidikan (melalui
program menajemen pendidikan
berbasis sekolah), dalam bidang
kurikulum yaitu kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang berbasis
kompetensi (KTSP), dalam proses
pembelajaran ada program percepatan
belajar (learning accelleration).
Kebijakan-kebijakan baru ini perlu
mendapat perhatian yang serius sampai
pada tataran guru sebagai ujung tombak.
Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Hasil studi yang dilakukan Bank
Dunia, yang diberi judul Education in
Indonesia: from Crisis to Recovery
(1998) antara lain menghasilkan
simpulan bahwa ada tiga faktor
penyebab ketidakefisienan manajemen
sekolah, yaitu: (1) pada umumnya
kepala sekolah, terutama sekolah negeri
memiliki otonomi yang sangat terbatas
dalam menajemen sekolah dan dalam
memutuskan alokasi sumber-sumber,
(2) banyak kepala sekolah yang
mempunyai keterampilan yang terbatas
dalam menajemen sekolah, (3)
partisipasi masyarakat dalam
menajemen sekolah sangat terbatas, hal
163Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
ini antara lain dapat dilihat dari
ketidakmampuan kepala sekolah dalam
memobilisasi dukungan masyarakat.
Sehubungan dengan itu,
Manajemen Pendidikan Berbasis
Sekolah (MPBS), yang dicanangkan
sejak tahun 2000 merupakan respon
terhadap kebutuhan penyesuaian
terhadap konsep demokrasi dan
otonomi. Inti dari MPBS adalah
pemberdayaan masyarakat sebagai
componen yang penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Jika
sebelumnya sekolah seolah-olah
merupakan milik pemerintah dalam
artian bahwa semua tanggungjawab
penyelenggaraannya menjadi beban
pemerintah, kini masyarakat menjadi
komponen penting dalam tanggung
jawab itu. Dengan pelibatan
masyarakat, diharapkan timbul suatu
kesadaran bahwa keberhasilan
pendidikan merupakan tanggung jawab
semua komponen masyarakat dan
pemerintah. Sharing ini antara lain telah
diwujudkan dalam bentuk Komite
Sekolah, dimana didalamnya terlibat
penyelenggara sekolah, orangtua murid,
maupun komponen masyarakat lainnya.
Dalam perjalanannya sampai saat ini,
Komite Sekolah sudah mulai
menjalankan fungsinya dan diharapkan
berkontribusi yang cukup significan
dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah.
Ke depan, MPBS diharapkan
bukan hanya berbagi dalam fungís
sebagai penyandang dana, namun
pelibatan orangtua dan masyarakat
diharapkan juga terjadi. Di negara-
negara maju seperti AS, MPBS telah
lama dilakukan, kerjasama sekolah
dengan orangtua dan masyarakat juga
dilakukan dalam proses pembelajaran.
Kedatangan orangtua ke sekolah untuk
membantu guru dalam PBM, dokter
yang memberi masukan dalam suatu
proyek dalam pelajaran biologi
misalnya, bukanlah pemandangan yang
aneh.
Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan
Penggunaan Kuríkulum 1994 di
lapangan mengalami berbagai paradoks,
antara lain menyangkut universalisasi
pendidikan disatu pihak, dan tuntutan
akan mutu yang tinggi dipihak lain.
Setelah itu, ada upaya pembaharuan
kurikulum, dan salah satu upaya adalah
pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi. Dengan kurikulum yang
berbasis kompetensi ini, ukuran
terpenting keberhasilan peserta didik
adalah penguasaan mereka terhadap
standar kompetensi. Pendekatan
kurikulum berbasis kompetensi ini (saat
ini terkenal dengan KTSP), dilakukan
164Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
melalui identifikasi dan penentuan
kemampuan dasar lulusan/ Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), yang
dijabarkan menjadi Standar Isi (SI)
yang memuat, Standar Kompetensi
(SK) dan Kompetensi Dasar (KD).
Berdasarkan SI tersebut masing-masing
Satuan Pendidikan menyusun
kurikulumnya dengan menjabarkan
menjadi Materi, Pengalaman Belajar,
Indikator. Terdapat peluang yang sangat
besar sekolah/guru mengembangkan
kurikulumnya sendiri (berorientasi pada
SI yang telah ditetapkan dalam Permen
Diknas, maupun mengembangkan dan
memasukkan keunggulan lokal sesuai
dengan kebutuhan masyarakatnya).
Untuk KTSP ini bisa dibicarakan
tersendiri secara lebih mendalam.
Program Anak Berbakat / Percepatan Belajar
Dalam rangka realisasi
pendidikan yang berwawasan masa
depan, perhatian harus diprioritaskan
pada pengklasifikasian peserta didik
sesuai dengan kemampuan, bakat,
maupun minat mereka. Ini sangat
penting agar pendidikan yang diikuti
benar-benar bermakna. Beberapa
progam telah dilakukan terkait dengan
kondisi peserta didik yang variatif ini,
yaitu melalui sistem akreditasi, sistem
sekolah unggulan, maupun program
umum plus seperti program akselerasi
belajar.
Diketahui bahwa lembaga
pendidikan yang ada adalah pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Pada
jenjang sekolah pendidikan atas,
pendidikan formal dibedakan antara
SMA dan SMK. Pada hakekatnya di
jenjang SMA peserta didik diberikan
pengalaman belajar dalam rangka
penguasaan sains, teknologi, dan
pengalaman belajar yang dapat
membekali mereka melanjutkan
pendidikannya ke PT. Sedangkan pada
jenjang SMK peserta didik diarahkan
pada penguasaan keterampilan baik
yang bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang, sehingga tamatan SMK
diharapkan langsung dapat masuk ke
dunia kerja.
Perkiraan Ward (dalam
Semiawan, 1997) di Indonesia terdapat
1,57 % anak yang berbakat tinggi
(highly gifted), dan 10 % yang berbakat
sedang (moderately gifted). Kedua
kelompok anak ini berbakat akademik
(akademic talented) atau keberbakatan
intelektual. Anak-anak berbakat ini
merupakan aset nasional yang sangat
penting, karena mereka memiliki interes
intelektual dan perspektif masa depan
yang jauh lebih baik dari anak
kebanyakan, baik secara genetis
165Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
maupun dalam kecepatan tindakan.
Dengan kelebihan ini, diharapkan
tenaga dan pikiran mereka dapat
membawa berbagai pembaharuan dalam
bidang keilmuan, maupun perubahan
kearah perbaikan kehidupan
masyarakat, seperti apa yang telah
dilakukan Edison (sang penemu listrik)
yang sangat penting bagi kehidupan
manusia.
Sesuai dengan keberadaan kedua
kelompok ini sebagai kelompok yang
”berbeda” dengan anak normal lainnya,
dan sesuai pula dengan misi pendidikan
untuk memberikan kesempatan
pendidikan yang sebaik-baiknya bagi
mereka, maka kelompok ini perlu
mendapatkan pendidikan yang dapat
mengakomodasi kelebihan mereka.
Program untuk mereka dapat berupa
pendidikan khusus, atau pendidikan
umum untuk anak berbakat (saat ini
dikenal dengan program kelas
percepatan). Berkaitan dengan itu,
beberapa asumsi yang mendasari alasan
kenapa anak berbakat perlu
mendapatkan pendidikan yang berbeda
dengan anak-anak lainnya, adalah : (a)
anak berbakat secara kualitatif berbeda
dengan anak lainnya, (b) pendidikan
khusus bagi mereka sangat
menguntungkan, karena sesuai dengan
kemampuan mereka, (c) suatu program
harus dilaksanakan berdasarkan model
instruksional yang terarah, (d) program
anak berbakat harus lebih menekankan
perkembangan kreativitas dan proses
berpikir tingkat tinggi, (e) metode
pembelajaran bagi anak berbakat lebih
berorientasi pada pendekatan induktif.
Pendidikan anak berbakat harus
diwarnai oleh penekanan pada aktivitas
intelektual, kecepatan dan tingkat
kompleksitas sesuai dengan
kemampuan yang tinggi. Sehubungan
dengan itu, jika anak-anak berbakat
ditangani dengan program akselerasi,
maka ada dua hal penting yang harus
diperhitungkan, yaitu: (a) dalam
program akselerasi, beban belajar yang
oleh anak-anak biasa dapat diselesaikan
dalam tiga tahun, maka oleh anak-anak
berbakat ini hanya dibutuhkan waktu
dua tahun. Ini berarti terjadi proses
percepatan dalam belajar, (b) percepatan
ini juga harus mengandung arti
kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar
mereka ditekankan pada aktivitas
intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan
kenyataan bahwa, dalam perilaku
intelektual, aspek teoretis dan tingkat
abstraksi anak-anak berbakat
menunjukkan karakteristik mental yang
baik dalam melihat hubungan yang
bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi
logis, mudah mengadaptasikan prinsip
166Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
abstrak kesituasi konkret, serta mampu
menggeneralisasikan.
Metode belajar yang relevan
adalah metode penemuan (discovery
learning) seperti yang dikembangkan
oleh Piaget dan Bruner, dan metode
induktif. Dalam discovery learning
aspek kognitif berkembang melalui
penemuan dan pengembangan hipotesis,
bukan dengan cara duduk, diam, dengar,
dan catat. Discovery learning
memberikan tantangan bagi
kemampuan berpikir abstrak yang
tinggi, dan pelibatan secara aktif dalam
menemukan jawaban dan tantangan
tersebut. Dengan cara ini, terjadilah
penanjakan dinamis dari kehidupan
mental yang disebut eskalasi
(Semiawan,1997).
Pembelajaran kognitif induktif
dideskripsikan melalui empat istilah,
yaitu: (a) inquiry, (b) problem solving,
(c) discovery learning, dan (d) scientific
method. Pembelajaran induktif memiliki
rasional yang kuat untuk meningkatkan:
(a) penggunaan inteligensia secara
optimal dengan memanfaatkan fungsi
kedua belahan otak secara penuh, (b)
kemampuan peserta didik untuk
mengarahkan diri dan tanggungjawab
untuk memperoleh kemajuan dalam
mencapai sasaran jangka panjang dan
jangka pendek, (c) kemampuan untuk
mensintesiskan informasi, konsep, dan
membuat generalisasi, dan (d)
kemampuan mentransper belajar dalam
situasi berbeda.
Profesionalisme Guru
Pendidikan merupakan aspek
kehidupan yang pasti dipengaruhi oleh
kuantitas dan kualitas dari aspek
kehidupan yang lain. Pendidikan
merupakan masalah semua orang,
karena melalui sentuhan pendidikan
proses pemanusiaan itu terjadi. Dalam
kaitan dengan itu, pada dasarnya
manusia mempunyai potensi menjadi
baik, seperti halnya juga memiliki
kecenderungan berbuat tidak baik, maka
diperlukan upaya untuk mewujudkan
harkat dan martabat kemanusiaan yang
tertinggi pada masing – masing
individu. Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia. Manusia tidak
dengan sendirinya memanusia, seperti
binatang dengan sendirinya
membinatang. Maka dari itu manusia
harus mendapatkan sentuhan
pendidikan, serta hidup di lingkungan
masyarakat manusia, untuk dia bisa
menjadi manusia. Pendidikan
merupakan upaya sadar yang diarahkan
untuk mencapai perbaikan disegala
aspek kehidupan. Dalam upaya
pendidikan itulah keterlibatan orang tua
(sebagai pendidik pertama, utama dan
167Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
kodrat), orang dewasa lainnya, tokoh
masyarakat serta guru, sangatlah nyata
terlihat.
Guru sebagai pendidik
memangku jabatan profesional, jabatan
tersebut adalah suatu profesi yang
sangat berperan dalam pendidikan
formal. Guru dapat dikatakan
menempati posisi yang sangat strategis
dalam pengelolaan proses belajar pada
pendidikan formal. Guru-lah yang
merancang, mengarahkan dan
mengelola proses belajar mengajar
dalam rangka (untuk) mencapai tujuan
yang telah ditentukan, dan sudah
tentunya untuk kesejahteraan subyek
didik. Dalam konteks itu, guru tidak
hanya membina anak untuk dapat
menguasai ilmu pengetahuan secara
kognitif saja, tapi lebih jauh dari itu
adalah untuk dapat membina nilai
kemanusiaan pada anak. Dengan kata
lain, disamping mencapai instructional
effects, pencapaian nurturant effects
sangat penting diupayakan, sehingga
empat pilar pendidikan yang
dirumuskan oleh UNESCO yaitu :
learning to know, learning to do,
learning to be, dan learning to live
together, bisa diimplementasikan secara
bersamaan dan atau silih berganti. Maka
dari itu kita membutuhkan guru yang
profesional. Dalam hubungan dengan
butir di atas, meskipun dalam kenyataan
menunjukkan perlakuan kita terhadap
guru masih cukup jauh dari yang
diharapkan, tetapi agaknya tidak sulit
untuk menyepakati bahwa tugasnya
adalah teramat penting. Secara makro,
tugas guru berhubungan dengan
pengembangan sumber daya manusia
yang pada akhirnya akan paling
menentukan kelestarian dan kejayaan
kehidupan bangsa. Dalam hubungan ini,
tampaknya memang ada kecenderungan
untuk memandang permasalahan secara
kurang jernih. Kesalahan perhitungan
oleh seorang insinyur bangunan dalam
merancang bangunan atau kesalahan
terapi yang diberikan oleh seorang
dokter segera disadari pentingnya oleh
masyarakat luas berhubung dengan
kedramatisan dampaknya, bangunan
bertingkat ambruk atau pasien
meninggal. Walaupun tidak langsung
terlihat, agaknya juga tidak sulit untuk
menyepakati, bahwa dampak negatif
kesalahan pendidikan juga tidak kalah
seriusnya. Kegawatan tersebut dapat
berupa terbunuhnya bakat yang secara
potensial dapat memberi sumbangan
bagi pembangunan dan kelestarian serta
kejayaan bangsa, sampai dengan
perusakan diri sendiri (karena kebiasaan
hidup yang salah dsb) maupun
168Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
perusakan lingkungan, yang
kesemuanya itu juga tidak terperbaiki.
Bertolak dari keharusan menjaga
keseimbangan antara kedaulatan murid
dan otoritas guru, serta keserasian
antara penumbuhan kemampuan
mempertanyakan dan kesediaan
menerima nilai lingkungan, maka
peranan kunci guru di dalam interaksi
pendidikan adalah melakukan
pengendalian yang pada dasarnya dapat
ditinjau dari tiga segi. Peranan kunci itu
adalah: (a) secara sistematis
mengupayakan pembentukan
kemandirian murid dengan mengatur
pemberian kesempatan untuk
mengambil keputusan sesuai dengan
perkembangan kemampuannya, (b)
pemupukan kemampuan murid dalam
pengambilan keputusan dengan
meningkatkan pengetahuan serta
keterampilan yang relevan, dan (c)
penyediaan sistem dukungan yang
memungkinkan melaksanakan bergabai
alternatif bentuk kegiatan belajar yang
mencerminkan kemandirian dan
kemampuan mengambil keputusan yang
semakin meningkat dengan kata lain,
guru memang harus mengerahkan
segenap kemampuannya untuk
menyediakan kondisi belajar yang
kondusif untuk terjadinya proses
pembelajaran pada murid. Pengendalian
di sini perlu diartikan secara khas, sejak
awal tujuannya adalah pemandirian
murid, bukan penjinakannya. Oleh
karena itu, harus kokoh terpatri dalam
kesadaran guru bahwa segala
kelebihannya apabila dibandingkan
dengan murid adalah bersifat sementara
dan bukan hakiki. Bila dikaji lebih jauh
dari situasi yang telah dikemukakan
pada butir – butir di atas, jelas akan kita
pertanyakan profil guru bagaimana kita
harapkan untuk dapat mengelola proses
pembelajaran dalam rangka antisipasi
generasi muda kita untuk memasuki
gerbang abad ke 21, yang penuh dengan
gejolak kemajuan itu. Bila untuk itu,
seandainya kita menjawab bahwa guru
kita harus profesional (yang dicirikan
pada proses kemampuan pembelajaran
diri ), tetap kita harus pertanyakan
bagaimana ciri umum itu dan dengan
jalan bagaimana kita meningkatkan hal
tersebut.
Bila digambarkan dalam suatu
diagram bagaimana peran guru dalam
proses pembelajaran maupun dalam
kaitan dengan sistem persekolahan
sehingga variabilitas perkembangan
sistem tersebut dapat optimal terjadi
adalah sbb:
169Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
Dalam pembahasan atau analisis
selanjutnya dalam kaitan dengan
globalisasi, satu asumsi yang harus
dipegang bahwa : untuk masa yang akan
datang kita tidak bisa mengatakan apa
yang pasti akan terjadi, tapi kita hanya
bisa mengatakan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi dari
menganalisa apa yang terjadi, dan
kecenderungan-kecenderungan yang
mungkin akan terjadi. Maka dari itu
guru harus disiplin menjalankan tugas
profesinya, dia tidak boleh kehilangan
idealisme profesinya/keguruannya.
Bertolak dari itu tampaknya profil guru
yang kita harapkan adalah :
a) Beriman dan taqwa pada Tuhan
Yang Maha Esa,
b) Memiliki dasar profesional yang
kuat, baik yang menyangkut
kemampuan pedagogik, profesional,
kepribadian dan sosial (yang
ditetapkan sebagai empat
kompetensi guru di Indonesia).
Untuk indikator ini meliputi
keterampilan / keahlian dalam
bidangnya yang diperoleh lewat
pendidikan dan pelatihan yang
intensif dari lembaga tertentu,
c) Memiliki tanggung jawab atas
layanan yang diberikan demi untuk
kemaslahatan orang lain (peserta
didik),
d) Memiliki kemampuan dasar untuk
berperilaku inovatif, kreatif dan
pembelajaran diri. Dengan
dimilikinya tiga kemampuan dasar
ini akan terjadi pengembangan diri
secara berlanjut sehingga dapat
beradaptasi secara berlanjut dengan
perubahan yang terjadi. Memang, di
samping pengembangan diri dapat
dilakukan secara personal dapat
dilakukan pula secara lebih
terencana melalui organisasi profesi.
Dalam kaitan dengan itu, salah
satu variabel yang dianggap dominan
berpengaruh dengan “keterjadian”
profesional guru tersebut, adalah
kedisiplinan seseorang dalam
170Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
melakukan, mempertahankan dan
meningkatkan unjuk kerja
profesionalnya.
Sedangkan profesi dapat
diartikan sebagai suatu pekerjaan atau
jabatan yang menuntut keahlian
(expertise) dari para anggotanya. Ini
berarti pekerjaan atau jabatan itu harus
dikerjakan oleh orang yang sudah
terlatih/disiapkan untuk melakukan
pekerjaan itu. Sedangkan
profesionalisme merupakan suatu
pandangan yang dianut oleh seorang
tentang pekerjaannya atau dalam
melakukan pekerjaannya. Guru
merupakan suatu profesi, yang secara
hukum telah diakui dan secara
“expertise” memang tidak bisa
dikerjakan oleh orang yang tidak
disiapkan untuk itu. Dalam UU tentang
Guru pada Ketentuan Umum dikatakan
bahwa : Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama adalah
mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada jalur
pendidikan formal, pada jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Selanjutnya pada ayat 3
pasal 1 disebutkan bahwa, profesi guru
adalah pekerjaan dan atau jabatan yang
memerlukan kemampuan intelektual
khusus, yang didapatkan melalui
kegiatan belajar dan pelatihan yang
bertujuan untuk menguasai
keterampilan atau keahlian dalam
melayani orang lain dengan
memperoleh upah atau gaji dalam
jumlah tertentu. Pengakuan guru
sebagai tenaga profesional dibuktikan
dengan sertifikat kompetensi.
Kompetensi adalah bersifat personal
dan kompleks serta merupakan suatu
kesatuan utuh yang menggambarkan
potensi yang mencakup pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai, yang
dimiliki seseorang yang terkait dengan
profesi tertentu berkenaan dengan
bagian-bagian yang dapat
diaktualisasikan atau diwujudkan dalam
bentuk tindakan atau kinerja untuk
menjalankan profesi tersebut.
Secara lebih detail dalam UU
Guru telah dicantumkan mengenai :
prinsip profesional guru, kualifikasi dan
kompetensi guru, tugas hak dan
kewajiban, pembinaan dan
pengembangan profesi guru. Bila
disimak secara lebih umum dapat
dikatakan bahwa ciri – ciri suatu
profesi, menyangkut tiga hal itu yaitu :
1) Didasarkan pada keilmuan tertentu
(expertise)
2) Pemberian jasa didasarkan pada
tanggung jawab (responsibility)
171Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
demi untuk kemaslahatan orang
lain/ penerima jasa, dan
3) Keterikatan pada suatu kesejawatan.
Hal tersebut di atas (khususnya
butir 1) diterjemahkan oleh Departemen
(DIKNAS) dengan acuan bahwa guru
yang profesional adalah guru yang
menguasai standar kompetensi yang
terdiri dari empat standar kompetensi
yaitu: standar I : Penguasaan Bidang
Studi, Standar II yaitu: Pemahaman
tentang Peserta Didik, Standar III yaitu:
Penguasaan Pembelajaran yang
Mendidik, dan Standar IV yaitu:
Pengembangan Kepribadian dan
Keprofesional-an.
PENUTUP
Telah dibahas tantangan
pendidikan kita untuk masa depan.
Semua tantangan globalisasi dan krisis
multidimensional yang berkepanjangan
memang telah terjadi di negara kita.
Mau tidak mau dunia pendidikan harus
bahu membahu meningkatkan diri agar
bisa menjawab tantangan tersebut.
Dalam kaitan dengan itu, sesungguhnya
pendidikan kita menghadapi kendala
yang tak kurang seriusnya dibandingkan
dengan tantangan tersebut.
Dalam kaitan dengan itu,
minimal dapat diidentifikasi dua
kendala pokok yaitu: pertama, kesiapan
teknis komponen-komponen yang
terkait dengan upaya perbaikan
pendidikan. Dengan adanya berbagai
upaya perbaikan seperti otonomi
pendidikan memang memberikan angin
segar bagi kebermaknaan pendidikan.
Pengalaman beberapa tahun ini adalah
pengalaman yang sangat berharga bagi
daerah otonom untuk memperbaiki
kinerjanya yang masih kelihatan secara
nyata kedodoran diberbagai aspek yang
terkait dengan inovasi penyelenggaraan
tersebut. Kedua, faktor budaya meminta
petunjuk yang masih kental kelihatan
bagi penyelenggara pendidikan. Malah
diberbagai kesempatan wawancara
dengan guru menggambarkan kondisi
yang mengkhawatirkan, seperti ketidak
berdayaan guru untuk merumuskan
kurikulum yang sesuai dengan tingkat
satuan pendidikannya, bingungnya
menghadapi uji sertifikasi guru dan lain
sebagainya. Hal tersebut tidak boleh
terjadi, lebih-lebih dikalangan guru
sebagai ujung tombak. Idealisme
keguruan, kreativitas, komitmen guru
harus tumbuh dalam rangka
peningkatan profesinya. Guru kita harus
profesional, profesionalisme guru
menyangkut minimal tiga hal, yaitu : (i)
keahlian (expertise), (ii) komitmen dan
tanggungjawab (responsibility), dan (iii)
keterlibatan dalam organisasi profesi
172Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
(involvement in professional
organizations).
Keahlian menyangkut konten
keilmuan yang harus dikuasai guru
sesuai dengan bidang yang didalami;
dan hal ini diperoleh melalui pendidikan
formal. Komitmen dan tanggungjawab
merupakan nilai profesi yang dianut
terkait dengan pelaksanaan tugas (tugas
pokok guru) demi kemaslahatan peserta
didik. Sedangkan keterlibatan dalam
suatu organisasi profesi diperlukan
dalam rangka meningkatkan secara
berkelanjutan keahlian maupun
komitmen guru terhadap profesinya.
Berdasarkan konsep di atas, bila
dirumuskan dalam suatu formula, maka
profesi guru dapat dirumuskan sebagai
fungsi dari keahlian (KA), komitmen
(KM), dan kinerja (KR); sehingga dapat
diformulasi sebagai berikut: Profesi = f
(KA + KM + KR), dan bila
digambarkan secara kuadrantik
terwujud sbb:
Menyimak berbagai uraian di
atas, satu hal yang sangat penting
direnungkan dan
diresapi oleh penyelenggara pendidikan,
adalah kearifan dalam menyikapi
berbagai perubahan dan inovasi
tersebut, sehingga tidak timbul kesan
kaget, bahkan asing terhadap
perubahan-perubahan itu, sebab it’s not
a complete change, but a modification.
DAFTAR BACAAN
Buchori, M., (2000). Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.
Delors, J. et al. (1996). Learning the Treasure Within, Education for
the 21th Century. New York : UNESCO.
Depdiknas R.I (2003). UUSPN RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas R.I (2005) PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
173Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas R.I (2005) UUGD RI No. 14 Tahun 2005. Jakarta: Depdiknas.
Jalal, F. & Supriadi, D., (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.
Semiawan, C.,(1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Syarief, I. & Murtadlo, D., (2002). Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru. 70 Tahun H.A.R.Tilaar. Jakarta : Grasindo.
PETUNJUK BAGI PENULIS
1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work) dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu bulan sebelum bulan penerbitan.
2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus.
3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal)
4. Artikel hasil penelitian memuat :a. Judul b. Nama Penulisc. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil
penelitian : 50 – 80 kata)d. Kata-kata kunci)e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan
masalah, dan rangkuman kajian teoritik)f. Metode penelitiang. Hasil penelitian h. Pembahasan i. Kesimpulan dan saranj. Daftar pustaka
5. Artikel Non Penelitian memuat :a. Judul b. Nama Penulisc. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata)d. Kata-kata kunci)e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan rumusan
tentang hal-hal pokok yang akan dibahas).f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan)i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran)j. Daftar pustaka
6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja, diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut :
Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa.Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for
Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc
ISSN 1978-869X