4 hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id 4... · ikan nila yang mengalami fase pingsan ......
TRANSCRIPT
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Tahap Pertama
Penelitian tahap pertama dilakukan persiapan media uji bahan pemingsan
dan hewan yaitu hati batang pisang dan ikan bawal air tawar. Tahap ini juga
dilakukan pengujian kualitas media air.
4.1.1 Persiapan hewan uji dan bahan pemingsan
Kondisi awal bawal air tawar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
keseimbangan yang baik di dalam air. Hal ini ditandai dengan posisi bawal yang
tegak dan kokoh, aktif, agresif dan responsif di dalam air. Bawal akan
memberikan reaksi kejutan yang sangat tinggi saat suatu benda atau tangan
didekatkan kepada bawal. Bawal menunjukkan pertahanan yang kuat saat
diangkat dari air, ditandai dengan mengepaknya bagian ekor, meronta dan
pergerakan insang yang baik. Jika ikan memiliki kualitas rendah maka tingkat
kematian lebih tinggi pada saat pengangkutan daripada ikan saat kondisi sehat
(Berka 1988)
Hewan uji yang digunakan adalah bawal air tawar dengan berat 180±10,25
gram. Bawal air tawar ini ditampung dalam akuarium dengan air yang telah
disiapkan di laboratorium. Proses adaptasi (aklimatisasi) bawal sebelum proses
pemingsanan dilakukan selama satu minggu. Selama dua hari terakhir sebelum
proses pemingsanan, bawal dipuasakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi sebanyak mungkin kotoran yang ada dalam perut, serta mengurangi
aktivitas metabolisme ikan selama transportasi (Suryaningrum et al. 1993).
Hati batang pisang mengandung bahan-bahan seperti flavonoid dan saponin.
Menurut Priosoeryanto et al (2006), ekstrak hati batang pohon pisang ambon
mengandung tanin, saponin dan flavonoid. Ekstraksi hati hati batang pisang
dilakukan dengan cara hati batang pisang di potong-potong kecil lalu diblender.
Hasil blender hati batang pisang tersebut lalu diperas menggunakan kain blacu.
4.1.2 Kualitas air media pemeliharaan bawal air tawar
Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup bawal air tawar. Air yang digunakan untuk
pemeliharaan bawal air tawar selama penelitian berasal dari air laboratorium yang
15
telah diendapkan dalam tandon selama 1-2 hari. Media air tersebut kemudian
dianalisis kualitasnya dan dibandingkan dengan kualitas air kolam budidaya
bawal air tawar. Parameter yang diamati meliputi suhu, pH, DO, CO2, alkalinitas,
amoniak, nitrat dan nitrit. Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan bawal air
tawar yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan bawal air tawar
Parameter Kolam Budidaya Laboratorium Standar * Satuan
Suhu 26 27 25-30 oC
pH 7,34 7,40 7-8 -
DO 5,37 6,31 ≥5 ppm
CO2 1,85 3,96 Maks 25 ppm
Alkalinitas 154,2 94 50-300 ppm
Amonia 0,03 0,05 Maks 0,1 ppm
Sumber: * Kordi (2011)
Hasil analisis kualitas media air akuarium pemeliharaan bawal air tawar
secara umum menunjukkan kisaran yang tidak terlalu berbeda dengan air kolam
budidaya sebagai habitat awal bawal air tawar. Air laboratorium yang digunakan
sebagai media pemeliharaan memiliki suhu 27 oC; pH 7,40; DO 6,31, CO2 3,96 ,
alkalinitas 94, amoniak 0,05 dan nitrit 0,03 (ppm). Media air akuarium yang
digunakan masih memenuhi persyaratan kualitas air untuk pemeliharaan bawal air
tawar (Kordi 2011). dan kegiatan budidaya air tawar (Boyd 1982). Hal tersebut
menunjukkan bahwa media pemeliharaan yang digunakan tidak mempengaruhi
kondisi fisiologis (kesehatan) bawal air tawar sebelum diberikan perlakuan
pembiusan serta pada saat pembiusan dan pembugaran dilakukan.
4.2 Penelitian tahap kedua
Penelitian tahap kedua dilakukan dengan melihat proses tingkah laku ikan
selama proses pemingsanan, waktu onset pingsan ikan dan tingkat kelulusan
hidup ikan bawal air tawar setelah dilakukan proses anestesi.
4.2.1 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan
Pengamatan terhadap perubahan tingkah laku ikan selama proses
pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run yang
dimulai dari menit ke-0 sampai ikan tidak sadar (pingsan). Deret perlakuan yang
dilakukan adalah ikan bawal diberi bahan anestesi hati pisang tunas , muda dan
tua dengan konsentrasi 5 %, 10 %, dan 15 %. Hasil pengamatan terhadap
16
perubahan tingkah laku ikan pada tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5, 6
dan 7.
Tabel 5 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan perlakuan
tunas
*Rata-rata waktu pingsan ikan
Hasil pengamatan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan tunas
memberikan pengaruh yang lambat terhadap aktivitas ikan uji. Hal ini dapat
terlihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan oleh ikan uji hingga mencapai tahap
pingsan. Perubahan aktivitas ikan uji mulai terlihat pada menit ke-105 hingga
menit ke-120. Pada perlakuan konsentrasi 5 % ikan dimasukkan ke dalam tempat
pemingsanan ikan memasuki masa normal, memasuki menit ke 15-60 ikan mulai
kehilangan keseimbangan dan memasuki tahap pingsan pada menit ke 135, 150
dan 150. Perlakuan konsentrasi 10 % ikan dimasukkan ke dalam wadah dalam
keadaan normal. Ikan mulai kehilangan keseimbangan pada waktu 15-60 menit
dan ikan memasuki tahap pingsan pada menit ke 125, 125, dan 140 , sedangkan
pada perlakuan konsentrasi 15 % ikan dimasukkan ke dalam wadah dalam
keadaan normal. Ikan mulai kehilangan keseimbangan pada menit ke 15-60 dan
ikan memasuki tahap pingsan pada menit ke 110, 115, 125. Kandungan kimia
pada tunas pisang masih dalam tahap pembentukan sehingga kandungan kimia
Waktu
(menit) 5 % 10 % 15 %
0-15 Normal Normal Normal
15-30 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
30-45 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
45-60 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
60-75 Pingsan ringan Pingsan ringan Pingsan ringan
75-90 Pingsan ringan Pingsan ringan Pingsan ringan
90-105 Pingsan ringan Pingsan ringan Pingsan ringan
105-120 Pingsan ringan Pingsan ringan Pingsan (116)*
120-135 Pingsan ringan Pingsan (130)*
135-160 Pingsan (145)*
17
yang bereaksi pada proses anestesi belum terlalu berpengaruh sehingga
menyebabkan waktu pingsan yang lama. Tunas pisang adalah bentuk awal dari
pembentukan hati batang pisang dan kandungan kimia yang terkandung belum
banyak (Maslukhah 2008). Pada perlakuan hati batang pisang muda juga diamati
tingkah laku selama proses pemingsanan. Hasil pengamatan tingkah laku pada
perlakuan ekstrak hati batang pisang muda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan perlakuan hati
batang pisang muda
*Rata-rata waktu pingsan ikan
Hasil pengamatan pada Tabel 6 pada perlakuan hati batang pisang yang
muda menunjukkan mulai memberikan pengaruh terhadap ikan yang diujikan.
Pengaruh yang diberikan tersebut dilihat dari gerakan operkulum yang mulai
melemah, sirip punggung yang meregang, sesekali mulut disembulkan ke
permukaan serta sebagian ikan memasuki fase pingsan ringan dan pingsan berat.
Perubahan aktivitas ikan uji mulai terlihat pada menit ke-60 hingga menit ke-100.
Pada perlakuan konsentrasi 5 % ikan dimasukkan dalam wadah dalam keadaan
normal. Ikan mulai kehilangan keseimbangan pada waktu 15-60 menit dan
memasuki tahap pingsan pada menit ke 125, 145 dan 145. Perlakuan konsentrasi
Waktu
(menit)
5 % 10 % 15 %
0-15 Normal Normal Normal
15-30 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
30-45 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
45-60 Kehilangan
keseimbangan Pingsan ringan Pingsan ringan
60-75 Pingsan ringan Pingsan ringan Pingsan ringan
75-90 Pingsan ringan Pingsan ringan Pingsan ringan
90-105 Pingsan ringan Pingsan (90)* Pingsan (90)*
105-120 Pingsan ringan
120-135 Pingsan ringan
135-150 Pingsan (138)*
18
10 % ikan dimasukkan ke dalam wadah dalam keadaan normal. Ikan mulai
kehilangan keseimbangan pada waktu 15-45 menit dan memasuki tahap pingsan
pada menit ke 90, 95, dan 95, sedangkan pada perlakuan konsentrasi 15 % ikan
dimasukkan ke dalam wadah dalam keadaan normal. Ikan mulai kehilangan
keseimbangan pada waktu 15-45 menit dan ikan memasuki tahap pingsan pada
menit ke 80, 95, dan 95. Proses pingsan ringan yang terjadi ikan mulai mengalami
kehilangan keseimbangan hingga kurangnya reaksi terhadap rangsangan. Menurut
Mckelvey dan Wayne (2003) kesadaran mulai hilang namun refleks masih ada,
pupil membesar (dilatasi) tetapi akan menyempit (konstriksi) ketika ada cahaya
masuk. Tahap kedua atau stadium eksitasi berakhir ketika hewan menunjukkan
tanda-tanda otot relaksasi, respirasi menurun dan refleks juga menurun. Pada
perlakuan hati batang pisang tua juga diamati tingkah laku selama proses
pemingsanan. Hasil pengamatan tingkah laku pada perlakuan ekstrak hati batang
pisang tua dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan perlakuan hati
batang pisang tua
Waktu
(menit)
5 % 10 % 15 %
0-15 Normal Normal Normal
15-30 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
30-45 Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
Kehilangan
keseimbangan
45-60 Kehilangan
keseimbangan
Pingsan ringan Pingsan ringan
60-75 Pingsan ringan Pingsan (75)* Pingsan (66)*
75-90 Pingsan ringan
90-105 Pingsan ringan
105-120 Pingsan ringan
120-135 Pingsan (130)*
*Rata-rata waktu pingsan ikan
Berdasarkan Tabel 7 pada perlakuan hati batang pisang yang tua
menunjukkan mulai memberikan pengaruh terhadap ikan yang diujikann.
Pengaruh yang diberikan tersebut dilihat dari gerakan operkulum yang mulai
19
melemah, sirip punggung yang meregang, sesekali mulut disembulkan ke
permukaan serta sebagian ikan memasuki fase pingsan ringan dan pingsan berat.
Perubahan aktivitas ikan uji mulai terlihat pada menit ke-45 hingga menit ke-60.
Pada perlakuan konsentrasi 5 % memasuki tahap pingsan pada menit ke 130, 130
dan 145. Perlakuan konsentrasi 10 % memasuki tahap pingsan pada menit ke
80,75, dan 75, sedangkan pada perlakuan konsentrasi 15 % ikan memasuki tahap
pingsan pada menit ke 60, 70, dan 70.
Pada Tabel 5, 6 dan 7 tahap-tahap yang dilalui ikan saat dilakukan anestesi
dimulai dari fase normal hinggan fase pingsan. Fase normal yaitu fase ketika ikan
masih reaktif terhadap rangsangan luar, pergerakan operculum dan kontraksi otot
normal selanjutnya ikan memasuki fase kehilangan keseimbangan. Fase ini ikan
mengalami kontraksi otot lemah, berenang tidak teratur memberikan reaksi hanya
terhadap rangsangan getaran dan sentuhan yang sangat kuat dan pergerakan
operculum cepat. Fase pingsan ringan ikan mulai mengalami reaktifitas terhadap
rangsangan luar sedikit menurun, pergerakan operculum melambat, keseimbangan
normal (Tidwel et.al 2004). Ikan memasuki fase pingsan ringan saat tidak
mengalami reaktivitas terhadap rangsangan luar, kecuali dengan tekanan kuat.
Pergerakan operculum lambat, keseimbangan normal. Menurut Pratisari (2010)
ikan nila yang mengalami fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki
tingkat respirasi dan metabolisme yang rendah. Dari saat ikan mengalami pingsan
ringan sampai pingsan, pengaruh konsentrasi pada perlakuan 10 % dan 15 % tidak
menunjukan perbedaan yang nyata secara visual hal ini diduga dosis yang
diberikan sudah cukup untuk mempengaruhi sistem syaraf ikan. Pemberian dosis
yang berlebih akan menyebabkan kerusakan sistem syaraf dan akan berakibat
overdosis atau kematian (Arliansah 2009)
4.2.2 Waktu onset pemingsanan
Waktu onset adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu keadaan
dimana status hewan uji kehilangan kesadaran (Mckelvey dan Wayne 2003).
Pencatatan waktu onset pemingsanan ikan bawal dilakukan mulai dari kondisi
normal sampai kondisi pingsan. Pencatatan ini bertujuan untuk melihat pengaruh
penambahan ekstrak hati hati batang pisang terhadap waktu yang dibutuhkan ikan
20
bawal hingga pingsan. Hasil pengamatan terhadap waktu onset pada penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Grafik pengaruh perlakuan terhadap waktu onset
Gambar 5 menunjukkan bahwa pembedaan pemberian ekstrak hati batang
pisang tunas, muda dan tua serta perbedaan konsentrasi ekstrak hati batang pisang
yang digunakan menyebabkan waktu onset yang berbeda-beda.. Waktu onset
paling cepat ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak hati atang pisang tua dengan
pemberian konsentrasi sebesar 15 %, yaitu selama 66,66 menit. Waktu onset
paling lama ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak hati batang pisang muda dengan
pemberian konsentrasi sebesar 5 %, yaitu selama 145 menit. Perlakuan tunas hati
pisang memberikan hasil beda nyata konsentrasi 5 % dan 10 % dengan
konsentrasi 15 %. Perlakuan ekstrak hati batang pisang muda memberikan hasil
beda nyata konsetrasi 5 % dengan konsentrasi 10 % dan 15 % sedangkan pada
perlakuan hati batang pisang tua konsentrasi 5 % memberikan hasil berbeda nyata
terhadap konsentrasi lainnya.
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa waktu tercepat didapatkan pada
konsetrasi 15 % pada perlakuan ekstrak hati batang pisang tua yang disebabkan
karena pada hati batang pisang tua memiliki kandungan bahan-bahan yang lebih
tinggi daripada hati batang pisang yang tunas dan muda. Menurut Djulkarnain
(1998) hati batang pohon pisang dapat dijadikan penghilang rasa sakit.
Kandungan bahan-bahan kimia antara lain flavonoid dan saponin. Flavonoid
21
merupakan senyawa polifenol yang merupakan satu golongan fenol alam yang
terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air,
etanol, metanol, butanol, aseton, dan sebagainya (Markham 1988). Pengujian
terhadap waktu onset akibat pemberian ekstrak hati batang pisang pada penelitian
ini dapat disimpulkan kurang memuaskan karena waktu onset yang dibutuhkan
ikan hingga pingsan cukup lama. Menurut Gunn (2001), anestesi yang ideal
adalah anestesi yang mampu memingsankan ikan kurang dari tiga menit.
Lamanya waktu yang dibutuhkan ekstrak hati batang pisang untuk memberikan
pengaruh terhadap aktivitas ikan uji diduga karena konsentrasi uji yang diberikan
belum cukup untuk mempengaruhi keseimbangan fungsi saraf dan jaringan otak
ikan uji.
4.2.3 Tingkat kelulusan hidup (survival rate) ikan
Pengujian terhadap tingkat kelulusan hidup atau survival rate (SR) pada
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas dari
penggunaan ekstrak hati hati batang pisang sebagai bahan anestesi dan
mengetahui konsentrasi optimum yang sebaiknya digunakan pada proses
imotilisasi ikan untuk kemudian diterapkan pada sistem transportasi ikan.
Pengujian terhadap tingkat kelulusan hidup juga penting dilakukan untuk
mengetahui konsentrasi uji mana yang menyebabkan tingginya kematian pada
ikan uji. Pengujian terhadap nilai SR dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Grafik tingkat kelulusan hidup ikan bawal air tawar pada waktu
anestesi
22
Gambar 6 menunjukkan bahwa pembedaan pemberian ekstrak hati hati
batang pisang tunas, muda dan tua setelah perbedaan konsentrasi ekstrak hati hati
batang dengan melihat tingkat kelulusan hidup ikan bawal air tawar setelah
diberikan anestesi. Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat kandungan ekstrak hati
batang pisang tua dengan konsentrasi 15 % didapatkan tingkat kelulusan ikan
sebesar 26,67. Konsentrasi 5 % di hati batang tunas dan muda didapatkan
kelulusan hidup ikan sebesar 93,33 %. Pada konsentrasi 10 % pada hati batang
tunas dan muda didapatkan kelulusan hidup ikan sebesar 86,67 %. Perlakuan
tunas hati pisang memberikan hasil berbeda nyata konsentrasi 5 % dan 10 %
dengan konsentrasi 15 %. Perlakuan ekstrak hati batang pisang muda memberikan
hasil beda nyata konsetrasi 5 % dan 10 % dengan konsentrasi 15 % sedangkan
pada perlakuan hati batang pisang tua konsentrasi 5 % memberikan hasil berbeda
nyata terhadap konsentrasi lainnya.
Kelulusan hidup ikan bawal air tawar terkecil didapatkan pada ekstrak hati
batang tua sebesar 15 %. Saat ikan diberikan anestesi ikan menjadi shock karena
perubahan lingkungan sehingga ikan melakukan gerakan yang berlebihan. Pada
proses shock teersebut menyebabkan ikan mengalami kematian karena pada
kondisi tersebut ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam laktat dalam darah
(Pratisari 2010). Pada konsentrasi yang tinggi, kandungan bahan kimia di hati
batang pisang juga tinggi seperti saponin. Saponin juga bersifat bisa
menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat racun bagi
hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan
(Cheek 2005).
4.3 Penelitian tahap ketiga
Penelitian tahap ketiga ini dilakukan setelah mendapatkan hasil dari
penelitian tahap kedua. Pada tahap ini konsentrasi yang digunakan adalah 10 %
dari ekstrak hati batang pisang muda, hal ini dilakukan karena ikan mempunyai
waktu memingsankan lebih cepat dan mempunyai nilai kelulusan hidup yang
tinggi. Pada tahap ini di hitung kualitas air saat perlakuan anestesi, pengujian
kelulusan hidup ikan air tawar dalam simulasi transportasi dan pengujian glukosa
darah ikan setelah di transportasikan.
23
4.3.1 Pengujian kualitas air
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh
mendasar bagi kelangsungan hidup bawal air tawar. Pengujian kualitas air pada
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia fisik air baik
sebelum maupun setelah proses pemingsanan. Pengujian sebelum proses
pemingsanan bertujuan untuk melihat kelayakan kualitas air yang akan digunakan
sebagai media pada proses pemingsanan. Sedangkan, proses pengujian kualitas air
setelah proses pemingsanan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
pemberian berbagai konsentrasi berbeda terhadap karakteristik fisik kimia air
yang telah digunakan setelah proses pemingsanan. Hasil analisis kualitas air
dicantumkan pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil pengukuran kualitas air sebelum dan sesudah proses pemingsanan
Perlakuan Parameter uji
pH DO (ppm) TAN (mg/ℓ)
Sebelum 7,40 6,31 2,17
Sesudah 4,97 1,23 3,28
Berdasarkan tabel 8 hasil pengujian kualitas air pada saat sebelum diberikan
perlakuan bahan anestesi didapatkan pH 7,40 , DO 6,31 dan total amoniak 2,17.
Kualitas air setelah diberi perlakuan didapatkan nilai pH 4,97 , DO 1,23 dan nilai
Total amoniak 3,28. Setelah perlakuan nilai pH dan DO semakin menurun dan
total amoniak menaik. Keasaman air menurut Pudjianto (1984) adalah
kemampuan kuantitatif (banyaknya asam) untuk menetralkan basa kuat sampai
pH yang dikehendaki. Tingginya amoniak didapatkan ikan pada kondisi stress dan
membuang metabolisme yang berlebihan. Pembuangan metabolisme
mengakibatkan tingginya amoniak dalam kualitas air (Wedeyemer 1996)
Kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan faktor pembatas dalam
mendukung optimalisasi organisme perairan. Oksigen dibutuhkan untuk
mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator proses oksidatif kimiawi
(Amanah 2011). Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan akan
stres yang akhirnya menyebabkan kematian. Penurunan oksigen dari kualitas air
tersebut disebabkan peningkatan pemanfaatan oksigen dari ikan bawal air tawar.
24
Nilai oksigen terlarut yang didapatkan 1,23 mg/ℓ. Dari kondisi ini ikan masih bisa
bertahan hidup namun masih kurang mencukupi untuk melakukan kegiatan lain
sehingga ikan akhirnya mengurangi proses metabolismenya. Kadar oksigen dari
1,0-5,0 ikan dapat bertahan hidup tetapi pertumbuhannya terganggu (Swingle
(1969) dalam Boyd (1990))
Menurut Swingle (1969) dalam Boyd (1990), kisaran pH 6,5 – 9,0
merupakan kisaran yang layak bagi ikan untuk reproduksi. Kisaran pH air yang
digunakan pada penelitian ini masih berada pada kisaran tersebut, sehingga bisa
diasumsikan bahwa perubahan pH air akibat pemberian ekstrak hati batang pisang
masih dapat ditolerir oleh ikan bawal air tawar untuk tetap bertahan hidup namun
pH air setelah diberi perlakuan ikan di bawah batas normal. Pengaruh penurunan
pH terhadap jumlah ikan akan berpengaruh terhadap laju resiprasi. Semakin padat
suatu wadah transportasi maka hasil respirasi dan CO₂ bebas akan semakin
meningkat, selain itu waktu transportasi, dan keasaman suatu media air juga dapat
mempengaruhi nilai pH air (Muhamad 2012). Tingkat stress ikan yang banyak
mengeluarkan CO2 mengakibatkan perubahan pH pada kualitas air setelah
perlakuan. Karbondioksida akan mempengaruhi keasaman air sehingga
menurunkan pH air. Tingginya kandungan karbondioksida dibarengi dengan
turunnya pH akan lebih berbahaya terhadap kelangsungan hidup ikan (Kottelat et
al. 1993). Penurunan pH terjadi reaksi kimia antara air dengan ion karbondioksida
yang mengakibatkan pH menjadi turun. Persamaan reaksinya sebagai berikut
CO2+ H2O H2CO3
H2CO3 HCO3 +H-
4.3.2 Pengujian kelulusan hidup ikan bawal dalam simulasi transportasi
kering
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui limit waktu yang bisa ditempuh
oleh ikan air tawar yang dipingsankan dengan ekstrak hati batang pisang dengan
konsentrasi 10 % pada hati batang muda. Hal ini dikarenakan tingkat kelulusan
hidup pada perlakuan hati batang pisang muda yang paling tinggi dan dengan
waktu pingsan yang relatif cepat. Hasil pengamatan nilai SR ikan bawal pingsan
yang disimpan dalam media serbuk gergaji disajikan dalam Gambar 7.
25
Gambar 7 Grafik kelulusan hidup ikan bawal air tawar saat simulasi
transportasi
Berdasarkan data Gambar 7 didapatkan bahwa tingkat kelulusan hidup ikan
bawal air tawar dalam simulasi transportasi kering pada jam ke 1, 2 dan ke 3 nilai
kelulusan hidupnya mencapai 100 %. Tingkat kelulusan hidup ikan bawal air
tawar pada jam ke 4 sebesar 86,67 %, jam ke 5 sebesar 66,67 % dan jam ke 6
sebesar 40 %. Berdasarkan data tersebut tingkat kelulusan hidup bawal air tawar
semakin menurun mulai dari jam ke 4. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama
ikan bawal ditransportasikan maka tingkat kelulusan hidup akan semakin
menurun. Hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi biota perairan hidup
sistem kering antara lain suhu lingkungan, kadar oksigen dan proses metabolisme
(Andasuryani 2003).
Tingkat kelulusan hidup ikan bawal pada jam ke 4, 5, dan 6 semakin
menurun. Hal ini disebabkan perubahan suhu media kemasan yang semakin
meninggi. Suhu yang semakin tinggi menyebabkan ikan sadar dan aktivitas ikan
akan tinggi. Makin tinggi aktivitas ikan maka akan menuntut ketersediaan oksigen
yang tinggi untuk dikonsumsi. Di dalam media kering ketersediaan oksigen
terbatas maka ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian
(Karnila dan Edison 2001). Menurut Nirwansyah (2012), suhu kritis yang tidak
dapat ditoleransi dalam transportasi ikan hidup yaitu diatas 30 oC, karena pada
suhu ini metabolisme ikan yang ditransportasikan dipastikan akan meningkat
26
pesat. Suhu media kemasan yang digunakan juga tidak boleh terlalu dingin atau
kurang dari 12oC. Suhu yang dipakai dalam penelitian ini adalah 12
oC pada saat
pengemasan. Lamanya waktu penyimpanan mengakibatkan perubahan suhu yang
ada di dalam media semakin meningkat. Pada saat transportasi ikan suhu media
pengisi harus disesuaikan karena suhu merupakan salah faktor yang berpengaruh
dalam transportasi sistem kering sehingga suhu harus di pertahankan hingga akhir
transportasi (Pratisari 2010). Simulasi transportasi ini menggunakan suhu 12 0C
pada awal transportasi dan mengalami perubahan setelah dilakukan pengemasan
dari waktu ke waktu dengan suhu terakhir pada jam ke 6 berada pada 16 0C
Perubahan metabolisme pada saat transportasi juga dapat terjadi karena
sadarnya ikan saat ditransportasikan yang mengakibatkan pergerakan ikan pada
saat pengemasan. Hal ini berarti bahwa perombakan adenosin triphosphat (ATP)
menjadi adenosin diphosphat (ADP), adenosin monophosphat (AMP) dan inosin
monophosphat untuk menghasilkan energi juga sangat rendah, sehingga oksigen
yang digunakan untuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat
rendah (Karnila dan Edison 2001).
Tingkat kesehatan ikan saat ditransportasikan juga menjadi salah satu faktor
yang menentukan dalam transportasi sistem kering. Menurut Pratisari (2010)
tingkat kelulusan hidup ikan selain di pengaruhi oleh suhu juga dipengaruhi oleh
kesehatan ikan saat akan ditransportasikan. Kualitas ikan yang diangkut
merupakan krtieria yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses
transportasi ikan hidup (Praseno 1990 diacu dalam Suryanigrum et.al 2008).
Kematian juga disebabkan oleh bahan pengisi yaitu serbuk gergaji. Hal ini
dapat disebabkan oleh adanya kandungan damar dan terpenten pada serbuk
gergaji yang bersifat toksik (Prasetyo 1993). Bahan pengisi yang baik juga dapat
menyerap air dan mempertahankan suhu. Semakin tinggi daya serap air, semakin
tinggi pula nilai kapasitas dingin dari bahan pengisi sehingga suhu lingkungan
dapat dipertahankan lebih lama (Hastarini et al. 2006). Serbuk gergaji merupakan
media pengisi yang bersifat voluminous (padat) dan memiliki sedikit rongga
udara. Hal ini menyebabkan cadangan oksigen yang terkandung di dalamnya juga
sedikit (Sufianto 2008).
27
4.3.3 Kadar glukosa darah
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa darah ikan setelah
simulasi transportasi. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai glukosa
darah dengan menggunakan alat indikator glukosa darah.
Berdasarkan hasil yang didapatkan tingkat glukosa darah mengalami
kenaikan dari 113 ± 28,16 (mg/ℓ) sampai 259 ± 43,71 (mg/ℓ). Kontrol mengalami
kenaikan sampai nilai tidak terdefinisi yaitu di atas 498 mg/ℓ. Perubahan suhu
yang terjadi pada proses transportasi dapat mengakibatkan kenaikan nilai glukosa
darah ikan. Peningkatan glukosa darah dapat dilihat dari perubahan suhu yang
terjadi di lingkungan ikan (Enriquez et.al 2009). Kenaikan glukosa darah ini
diakibatkan tingkat kestressan ikan setelah diberikan perlakuan. Menurut
Subandiyono et.al (2003) peningkatan glukosa darah diakibatkan oleh tingkat
kestressan ikan.
Menurut Enriquez et.al (2009), mekanisme terjadinya perubahan kadar
glukosa darah selama stress dimulai dari diterimanya informasi penyebab faktor
stress oleh organ reseptor. Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak
bagian hipotalamus melalui sistem syaraf. Kemudian hipotalamus memerintahkan
sel kromafin untuk mensekresikan hormon katekolamin dan kortisol melalui
serabut syaraf simpatik. Adanya kortisol ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang
terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen, sehingga kadar glukosa darah
mengalami peningkatan. Peningkatan glukosa darah akibat adanya gerakan tubuh
ikan yang tersadar pada saat ditransportasikan sehingga ikan menjadi stress dan
merespon ke dalam syarafnya.