document32

49
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (PERHATI, 2006). Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus 1

Upload: awiradireja

Post on 30-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

thirtytwo

TRANSCRIPT

Page 1: Document32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di

dunia1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung

dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau

sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera

Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama

dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung

dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-

Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut

adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (PERHATI, 2006).

Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga

sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit

inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat

prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang

berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk

memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis

dari penyakit rhinosinusitis ini. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus,

diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah

sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke

orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat

atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan

dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic

1

Page 2: Document32

2

diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau

terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi

(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,

etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,

penatalaksanaan, dan komplikasi dari sinusitis.

Page 3: Document32

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam

kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan

sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena

alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).

Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di

pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi)

dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan

mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid,

sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus

disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis

(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).

2.2. Anatomi

Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk

sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki

muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat

buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai

berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan

posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sphenoid

kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan

Page 4: Document32

4

mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui

ostium masing-masing (Pletcher&Golderg, 2003).

Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus

frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir

sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8

tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus

sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-

superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum

pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan

dipisahkan oleh sekat di garis tengah (Damayanti&Endang, 2002).

Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna

serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis

posterior dan a. sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang

diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior

dan sinus sphenoid. Fungsi sinus paranasal adalah (Pletcher&Golderg, 2003):

a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara

sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan

tulang akan terdesak.

b. Sebagai pengatur udara (air conditioning).

c. Peringan cranium.

d. Resonansi suara.

e. Membantu produksi mukus.

Page 5: Document32

5

(medical-dictionary.thefreedictionary.com)Gambar 2.1

Sinus paranasalis tampak depan dan samping

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus

maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis (Shyamal,1996).

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000):

a. Grup Anterior :

· Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior

· Ostia di meatus medius

· Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring

b. Grup Posterior :

· Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis

· Ostia di meatus superior

· Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring

2.2.1.      Sinus Maksilaris

a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus

maksilaris arcus I.

Page 6: Document32

6

b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang

apexnya pada pars zygomaticus maxillae.

c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang

dewasa.

d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):

1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis)

sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.

2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.

3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.

e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi

mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.

2.2.2      Sinus Frontalis

a. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-

sel resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat

terbentuk atau tidak.

b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan

dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus

berlekuk-lekuk. Tidak simetris kanan dan kiri, terletak di os frontalis.

c. Volume pada orang dewasa ± 7cc.

d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).

e. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003) :

1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.

2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.

3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.

Page 7: Document32

7

f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear

yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari

arteri carotis inernal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital

dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus

trigeminus

2.2.3      Sinus Ethmoid

a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.

b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari

7-15 cellulae, dindingnya tipis.

c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara

hidung dan mata

d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):

1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina

cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke

daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).

2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan

operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk

ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.

3) Nervus Optikus.

4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi

mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus

2.2.4      Sinus Sphenoidal

a. Terbentuk pada fetus usia bulan III

Page 8: Document32

8

b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.

c. Volume pada orang dewasa ± 7 cc.

d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):

1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.

2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum.

3) Tranctus olfactorius.

4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)

e. Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi

mukosa berasal dari nervus trigeminus.

Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan

konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris

yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.

2.3. Etiologi

Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)

maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).

Penyebab sinusitis akut:

a. Virus

Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran

pernafasan bagian atas (misalnya pilek).

b. Bakteri

Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam

keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh

Page 9: Document32

9

menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus

lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang

biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.

c. Jamur

Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus

merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita

gangguan system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur

merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung.

Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula

halnya pada penderita rinitis vasomotor.

e. Penyakit tertentu.

Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem

kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

Penyebab sinusitis kronis:

a. Asma

b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan

lendir.

Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti (Tadjudin

OA,1992) :

a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.

b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,

polusi udara, atau karena panas dan kering.

Page 10: Document32

10

c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :

a) Atresia atau stenosis koana

b) Deviasi septum

c) Hipertroti konka media

d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik

e) Tumor atau neoplasma

f) Hipertroti adenoid

g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi

h) Benda asing

d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek

e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan

imunosupresi oleh obat.

2.4. Klasifikasi

Secara klinis sinusitis dibagi atas (Wikipedia,2011) :

a. Sinusitis akut

b. Sinusitis subakut

c. Sinusitis Kronis

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2

(Wikipedia,2011):

a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu

yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis

Page 11: Document32

11

b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering

menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan

molar)

2.5. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).

Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang

berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernafasan (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga

mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak

dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan

tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi

atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya

cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh

tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini

akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret

akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang

membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa

berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.

Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,

polipoid atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Page 12: Document32

12

(http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)

Gambar 2.2Patofisiologi Sinusitis

2.6.Diagnosis

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:

Kriteria Mayor Kriteria Minor

a. Sekret nasal yang purulen

b. Drainase faring yang purulen

c. Purulent Post Nasaldrip

d. Batuk

e. Foto rontgen (Water’sradiograph

atau air fluid level) : Penebalan

lebih 50% dari antrum

f. Coronal CT Scan : Penebalan atau

opaksifikasi dari mukosa sinus

a. Edem periorbital

b. Sakit kepala

c. Nyeri di wajah

d. Sakit gigi

e. Nyeri telinga

f. Sakit tenggorok

g. Nafas berbau

h. Bersin-bersin bertambah sering

i. Demam

j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil

dan bakteri

k. Ultrasound

(Pletcher&Golderg, 2003)

Page 13: Document32

13

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor

dan ≥ 2 kriteria minor.

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis

sinusitis akut

2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi

harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan

intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang

tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis

(Pletcher&Golderg, 2003).

b. Imaging

1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa

sinusitis dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan

perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen

gigi untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat

dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :

a) Posisi Caldwell

Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja

sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan

kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna)

tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15° kraniokaudal

dengan titik keluarnya nasion.

Page 14: Document32

14

(Alford,2008)

Gambar 2.3

Posisi Caldwell

b) Posisi Waters

Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini

adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah

antrum maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien

sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang

melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37°

dengan film proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan

pandangan terhadap semua sinus paranasal.

(Putz&Pabst, 2000) Gambar 2.4.Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut

terbuka

Page 15: Document32

15

(Alford, 2008)

Gambar 2.5 Posisi Waters

c) Posisi lateral

Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

(Alford, 2008) Gambar 2.6 Posisi lateral

2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,

menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi

pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini

dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis

3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang

menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis

sinusitis akut (Pletcher SD, 2003) .

Page 16: Document32

16

Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya

adalah sebagai berikut (Arif et all, 2001) :

a. Sinusitis Akut

1. Gejala Subyektif

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas

(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu,

serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan

mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat

pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke

tempat lain.

a) Sinusitis Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang

sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)

letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari

sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila

adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat

menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus

medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat

(Mangunkusumo&Soetjipto, 2002).

Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai

dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak

mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan

di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).

Page 17: Document32

17

Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala

mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri

pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari

hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada

(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).

b) Sinusitis Ethmoidalis

Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali

bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis

(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering

menimbulkan selulitis orbita.

Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta

dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.

Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,

kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata

digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et all,

2001).

c) Sinusitis Frontalis

Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus

etmoidalis anterior.

Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas

alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,

kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.

Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan

mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.

Page 18: Document32

18

d) Sinusitis Sphenoidalis

Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di

belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim

menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan

gejala infeksi sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

2. Gejala Obyektif

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid

anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang

ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada

penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan,

2002).

Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata

bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis

ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada

sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus

atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan

sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut

tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka

kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan,

2002).

Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Page 19: Document32

19

Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang

lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung,

pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan

menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar

pus dari hidung (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram

atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang

sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.

Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air

fluid level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius

atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang

merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,

streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin

juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

b. Sinusitis Subakut

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang

akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang

Mangunkusumo,2002).

Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.

Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan

Page 20: Document32

20

transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

c. Sinusitis Kronis

Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,

umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus

dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan

mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan

defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi

menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.

1. Gejala Subjektif

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca

nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya

sedikit tersumbat.

b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan

tuba eustachius.

d) Ada nyeri atau sakit kepala.

e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa

bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.

g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

2. Gejala Objektif

Page 21: Document32

21

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat

pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret

kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan

polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret

purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan

etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.

Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.

3. Pemeriksaan Mikrobiologi

Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti

kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto

streptococcus dan fuso bakterium.

4. Diagnosis Sinusitis Kronis

Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :

a) Anamnesis yang cermat

b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni

pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis

(sinus penuh dengan cairan)

d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters,

PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk

memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum

Page 22: Document32

22

maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian

rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk

melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi

Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai

sinus frontal, sphenoid dan ethmoid.

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:

1) Penebalan mukosa,

2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang

dapat dilihat pada foto waters.

e) Pungsi sinus maksilaris

f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam

sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista

dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada

sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup

sehingga drenase menjadi terganggu.

g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu

dilakukan sinoskopi.

h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan

naso- endoskopi.

i) Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan

sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada

sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan

Page 23: Document32

23

homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,

penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).

Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada

pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar

membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama

makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.

b) Polip yang mengisi ruang sinus

c) Polip antrokoanal

d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus

e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh

massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT

Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang

pengapuran perifer.

f) Tumor

2.7.Penatalaksanaan

2.7.1 Sinusitis Akut

a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus

pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi

medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang

diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi

tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk

memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.

Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika

Page 24: Document32

24

ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi

10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II

selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam,

cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada

perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.

b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan

atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan

maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan

evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari

fungsi sinus.

c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila

telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang

hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

2.7.2 Sinusitis Subakut

a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan

tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.

b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang

sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-

obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan

analgetika, anti histamin dan mukolitik.

c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra

Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk

memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan

pencucian sinus.

Page 25: Document32

25

d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis

ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat

dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

2.7.3 Sinusitis Kronis

a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang

sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian

antibiotik mencukupi 10-14 hari.

b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode

akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya

perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada

perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada

perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,

sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks

osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah

konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.

c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis

ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

e. Pembedahan

Radikal

− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.

− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.

Page 26: Document32

26

Non Radikal

− bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan

membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

2.8 Komplikasi

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan

derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan

ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.

a. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang

tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,

namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat

menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat

infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan

pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus

ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.

2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif

menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata

Page 27: Document32

27

yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses

orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri

melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

a) Oftalmoplegia.

b) Kemosis konjungtiva.

c) Gangguan penglihatan yang berat.

d) Kelemahan pasien.

e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan

dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

b. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam

sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut

sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat

membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat

bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat

menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan

diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan

mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.

Page 28: Document32

28

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat

semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi

sinus.

c. Komplikasi Intra Kranial

1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara ethmoidalis.

2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu

menimbulkan tekanan intra kranial.

3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka

dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi

komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara

bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran

infeksi.

d. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang

frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.

Page 29: Document32

29

Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Page 30: Document32

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007.

Hal 150-3

2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-

6

3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston.

Diakses dari www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html

4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku

Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI,

Jakarta 2002, 115 – 119.

5. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis

6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In

advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

7. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,

Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106

8. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,

editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,

Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 – 125

1. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck

Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8

2. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung &

Tenggorok.

Page 31: Document32

31

Jakarta: EGC; 2000. 26-48

3. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.

Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 November 2008]

4. Blogsome. About Sinusitis. 2008.

Http://www.mixingblogging.blogspot.com

[diakses tanggal 30 November 2008]

5. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa

Aksara; 1997. 2-9

6. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.

Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 12 Desember 2008]

7. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher,

Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000.

94

8. (medical-dictionary.thefreedictionary.com)

9.

10. (http://the-best-1.com/wp-content/uploads/2010/12/sinus-graphic.gif)

11. Gambar 2: sinus maksilaris

Page 32: Document32

32

12.

13. (edoctoronline.com)

(http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)