document32
DESCRIPTION
thirtytwoTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama
dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung
dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (PERHATI, 2006).
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat
prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit rhinosinusitis ini. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus,
diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah
sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke
orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat
atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan
dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic
1
2
diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau
terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
penatalaksanaan, dan komplikasi dari sinusitis.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan
sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di
pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi)
dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan
mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid,
sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus
disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
2.2. Anatomi
Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk
sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki
muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat
buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai
berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sphenoid
kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
4
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing (Pletcher&Golderg, 2003).
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus
frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir
sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8
tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus
sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum
pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan
dipisahkan oleh sekat di garis tengah (Damayanti&Endang, 2002).
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna
serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis
posterior dan a. sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior
dan sinus sphenoid. Fungsi sinus paranasal adalah (Pletcher&Golderg, 2003):
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara
sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan
tulang akan terdesak.
b. Sebagai pengatur udara (air conditioning).
c. Peringan cranium.
d. Resonansi suara.
e. Membantu produksi mukus.
5
(medical-dictionary.thefreedictionary.com)Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping
Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus
maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis (Shyamal,1996).
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000):
a. Grup Anterior :
· Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
· Ostia di meatus medius
· Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
· Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
· Ostia di meatus superior
· Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
2.2.1. Sinus Maksilaris
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus
maksilaris arcus I.
6
b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang
apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang
dewasa.
d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):
1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis)
sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.
3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi
mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.
2.2.2 Sinus Frontalis
a. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-
sel resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat
terbentuk atau tidak.
b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Tidak simetris kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
c. Volume pada orang dewasa ± 7cc.
d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
e. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003) :
1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
7
f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear
yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari
arteri carotis inernal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital
dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus
trigeminus
2.2.3 Sinus Ethmoid
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari
7-15 cellulae, dindingnya tipis.
c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara
hidung dan mata
d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):
1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina
cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke
daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).
2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan
operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk
ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.
3) Nervus Optikus.
4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi
mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus
2.2.4 Sinus Sphenoidal
a. Terbentuk pada fetus usia bulan III
8
b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.
c. Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):
1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
3) Tranctus olfactorius.
4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)
e. Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi
mukosa berasal dari nervus trigeminus.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
2.3. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)
maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh
9
menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus
lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang
biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur
merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula
halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan
lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti (Tadjudin
OA,1992) :
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,
polusi udara, atau karena panas dan kering.
10
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
2.4. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas (Wikipedia,2011) :
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2
(Wikipedia,2011):
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
11
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar)
2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
12
(http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)
Gambar 2.2Patofisiologi Sinusitis
2.6.Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
Kriteria Mayor Kriteria Minor
a. Sekret nasal yang purulen
b. Drainase faring yang purulen
c. Purulent Post Nasaldrip
d. Batuk
e. Foto rontgen (Water’sradiograph
atau air fluid level) : Penebalan
lebih 50% dari antrum
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau
opaksifikasi dari mukosa sinus
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Sakit gigi
e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
g. Nafas berbau
h. Bersin-bersin bertambah sering
i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound
(Pletcher&Golderg, 2003)
13
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor
dan ≥ 2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi
harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan
intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang
tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis
(Pletcher&Golderg, 2003).
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa
sinusitis dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen
gigi untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan
kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna)
tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15° kraniokaudal
dengan titik keluarnya nasion.
14
(Alford,2008)
Gambar 2.3
Posisi Caldwell
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini
adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah
antrum maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien
sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang
melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37°
dengan film proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan
pandangan terhadap semua sinus paranasal.
(Putz&Pabst, 2000) Gambar 2.4.Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut
terbuka
15
(Alford, 2008)
Gambar 2.5 Posisi Waters
c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.
(Alford, 2008) Gambar 2.6 Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,
menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut (Pletcher SD, 2003) .
16
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya
adalah sebagai berikut (Arif et all, 2001) :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu,
serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat
pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke
tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2002).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak
mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan
di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).
17
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada
(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et all,
2001).
c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas
alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
18
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan
gejala infeksi sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada
penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata
bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis
ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
19
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung,
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan
menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar
pus dari hidung (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang
sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang
Mangunkusumo,2002).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
20
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa
bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
21
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan
polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.
Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni
pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis
(sinus penuh dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters,
PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum
22
maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sphenoid dan ethmoid.
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:
1) Penebalan mukosa,
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang
dapat dilihat pada foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista
dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada
sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup
sehingga drenase menjadi terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan
naso- endoskopi.
i) Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada
sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan
23
homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama
makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT
Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang
pengapuran perifer.
f) Tumor
2.7.Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.
Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika
24
ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi
10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II
selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam,
cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada
perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan
atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan
maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan
evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari
fungsi sinus.
c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila
telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
2.7.2 Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-
obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
25
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2.7.3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode
akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
26
Non Radikal
− bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2.8 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
27
yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
28
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi
sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
29
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007.
Hal 150-3
2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-
6
3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston.
Diakses dari www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta 2002, 115 – 119.
5. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
7. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,
Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106
8. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 – 125
1. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8
2. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung &
Tenggorok.
31
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
3. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 November 2008]
4. Blogsome. About Sinusitis. 2008.
Http://www.mixingblogging.blogspot.com
[diakses tanggal 30 November 2008]
5. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
6. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 12 Desember 2008]
7. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher,
Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000.
94
8. (medical-dictionary.thefreedictionary.com)
9.
10. (http://the-best-1.com/wp-content/uploads/2010/12/sinus-graphic.gif)
11. Gambar 2: sinus maksilaris
32
12.
13. (edoctoronline.com)
(http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)