30063609 batuan beku indonesia

Upload: ridho-destawan

Post on 18-Jul-2015

245 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Distribusi Batuan Beku Gunungapi adalah fenomena utama yang

menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini merupakan hasil nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi.

Mengambil konsep kevulkanikan dalam arti luas,

sebagai sebuah proses internal maupun eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama dalam evolusi kerak bumi.

Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi

Sejumlah busur orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen. Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi

batuan beku dari berbagai umur.

Kepulauan di Paparan Sunda. Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang

kurang stabil, dikelilingi oleh sistem busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini pada Palaesoikum Muda Mesosoikum Tua.

Siklus diatrofisma ini berawal di kepulauan

Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton.

Di kepulauan Anambas batuan beku basa (gabro,

gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan ini sebanding dengan batuan

Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat.

Di kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari

batuan beku basal (gabro, diorit, diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi ofiolit radiolaria

yang dapat dikorelasikan dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di bagian utara Kalimantan Barat.

Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan

konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan batuan berumur Trias bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda.

. Batuan ini diintrusi oleh batolit granit

pasca Trias. Pulau Midai yang sangat kecil di barat daya

kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen.

Kepulauan Riau-Lingga Batuan vulkanik dapat disebandingkan dengan

batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur

Permokarbon dan Trias.

Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman

Permokarbon dan Trias Atas. Batolit granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca Trias, atau mungkin Yura. Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias. Cebakan timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep).

Jalur timah ini meluas ke tenggara sampai Bangka

dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar (basement) regional dari batuan plutonik granit.

Karakter kulit bumi paparan Sunda sangat

berhubungan dengan intrusi granit pasca Trias (atau intra Yura), dan pengaruh ikutannya.

Kalimantan Kalimantan Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat

dimulai dengan adanya penurunan geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra Karbon. Kegiatan ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan andesit dari Seri Molengraaffs Pulau Melayu).

Fase awal dari perlipatan Permotrias, diikuti oleh

penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga batolitbatolit tersingkap, terjadi proses transgresi Trias Atas.

Sedimentasi berlanjut di bagian barat jalur ini

sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam.

Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi

diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan

ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen (terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya).

Di bagian Tersier bawah Cekungan Ketunggan

juga merupakan diorit holokristalin seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven (1939).

Pada zaman Kwarter, batuan basal muncul di

seputar andetis horblena Niut, sehingga dapat dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra. Batuan plutonik Schwaner Zona merupakan

bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat.

Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat

sumbu sistem pegunungan Palezoikum muda sampai Mezosoikum tua Kalimantan Barat

Evolusi daerah ini dimulai dari pembentukan

kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian endapan batugamping.

Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang

dimulai dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit.

Setelah batuan plutonik tersingkap,

pengendapan pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies vulkanik Trias Atas yang

ditemukan di Zona Schwaner. Selanjutnya terjadi perlipatan yang diikuti oleh

alterasi hidrotermal epimagmatik.

Pengangkatan berlangsung sampai sekarang

dengan disisipi intrusi selama Tersier . Bagian selatan Zona Schwaner ini terdapat tiga

kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik, batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang.

Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang

teralterasi oleh intrusi batolit granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat

dikorelasikan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks Ketapang berumur Trias Atas.

Batuan non metamorf di komleks tersebut

diasumsikan sebanding dengan endapan Tersier Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya. Di Kalimantan Tenggara terbentang Pegunungan

Meratus berumur Pra Tersier berarah utara selatan.

Di Meratus perkembangan batuan beku

relatif lebih muda dibanding dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini

berumur Mesosoikum akhir.

Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika

proses pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai. Zaman Yura geosinklin terbentuk, berikut

pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino.

Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di

Kalimantan Tenggara sama dengan batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino dan Paniungan dari zona Meratus

diintrusi oleh batuan plutonik.

Intrusi yang pertama ini merupakan variasi

batuan plutonik asam yang sangat beragam (dunit, peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik. Setelah pengangkatan pertama batuan non-

vulkanik ini Zona Meratus mengalami penurunan kembali.

Pada zaman Kapur tengah sampai atas terjadi

pengendapan dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik peridotit dan granit.

Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-

vulkanik. Pada akhir Kapur Zona Meratus mengalami

pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik berlangsung sampai Tersier Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas siklus

orogenesa Zona Meratus.

Zona Meratus merupakan contoh baik untuk

siklus pembentukan pegunungan. Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan

geosinklin yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa.

Penurunan geosinklin ini disertai dengan dua

kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa

batolit granit yang diintrusikan ke pusat geantiklin.

Pengangkatan kedua merupakan aktivitas

vulkanik dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.

Maluku Utara. Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas

magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina.

Filipina Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari

batuan beku, sedang batuan sedimen hanya tipis di bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat

dan tenggara, evolusi orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang diikuti dengan intrusi dan ekstrusi batuan basa dan ultrabasa (ofiolit).

Hanya saja prosesnya terjadi dalam umur yang

lebih muda. Batuan plutonik basa dan ultrabasa merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi granit yang jarang terjadi. Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling

tua, walaupun banyak beberapa argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan.

Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas

magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina. Penurunan geosinklin mulai terjadi pada

Mesosoikum awal.

Transgresi di kelompok Halmahera kemungkinan

terjadi setelah kepulauan Sula dan Obi. Batuan abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi selama penurunan geosinklin.

Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen.

Pada endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam. Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara,

Ternate dan pulau-pulau kecil lainnya.

Sulawesi Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun

pulau ini. Bagian utara dan barat Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali kapur berumur Tersier. Sepanjang pantai barat sampai lengan selatan

dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkalikapur yang melampar luas.

Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan

utara. Di Sulawesi timur dan tenggara peridotit dan

batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada.

Di Sulawesi utara, barat dan tengah hanya

didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di lengan timur.

Maluku Utara dan Busur Banda. Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah

dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan Sistem Pegunungan Circum-Australia.

Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai

dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem Seram) dan selatan (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan busur Banda yang hadir sampai Tersier.

Evolusi busur banda ini secara umum sesuai

dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia. Saat ini Sistem usur Banda mempunyai anomali

isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa pada jalur ini terdapat energi potensial yang diperkirakan merupakan busur inti dan kerak batuan sialik dengan densitas rendah.

Busur ini belum terkonsolidasi dengan kuat,

mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif

yang memberikan gaya vertikal jika kondisi memungkinkan.

Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari

Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis batuan beku dalam sistem ini

(Roevei, 1940).

Batuan tertua di Timor berumur Perm, berupa

kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan vulkanik ini dierupsikan pada awal

pembentukan geosinklin.

Setelah itu Sistem Orogenesa Timor berkembang.

Seri lain berupa komplek ofiolit split, yang berumur Pra Miosen. Batuan ini merupakan bagian dalam dari

geosinklin, yang juga dapat dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda.

Batuan beku ini mempunyai karakter Mediteran

yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat potasik, dierupsikan pada

saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur vulkanik.

Contoh dari batuan ini adalah lava yang

mengandung leusit dari erupsi G. Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur

vulkanik Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit Tersier.

Di Flores terdapat bantuan berumur intra

Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus

aktivitas vulkanik: Neogen Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen.

Dua siklus tertua didorong oleh intrusi batolit

granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah permukaan. Pengangkatan terakhir terjadi pada Plio-Plistosen

disebabkan oleh pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.

Jawa. Jawa merupakan bagian dalam dari busur

vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada zaman Mesosoikum jalur ini berada di

bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara.

Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen

Pra Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo dan Ciletuh, Jawa Barat. Batuan Pra Tersier di Luh Ulo terdiri dari

sepertinit, gabro dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra Tersier di Ciletuh juga mengandung batuan beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit) dengan sekis klorit dan filit.

Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses

pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik. Akhir Tersier merupakan perioda penurunan.

Endapan non-vulkanik berumur Eosen diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra Tersier.

Selanjutnya pada akhir Paleogen magma sampai

permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai, dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari vulkanik Pasifik).

Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong

oleh batolit granit sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas Pasifik.

Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen

akhir, yang diakhiri oleh pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus sejak

Kwarter sampai sekarang.

Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga

vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona Bogor (Jawa Barat)

dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan karakter essexitic.

Pada zaman Kwarter gunungapi yang

menghasilkan leusit hadir di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit)

Sumatra Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara

seperti geantiklin Jawa Selatan. Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian

muka busur dari geantiklin yang berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini.

Endapan di geosinklinal terlipat kuat membetuk

isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan masih terdapat batuan nonvulkanik.

Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan

berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur ini dimulai dari pulau Berhala di selat

Malaka utara, meluas di sepanjang Suligi-Lipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau Singkarak dan Jambi.

Umur granit di bagian utara jalur (pada granit

pembawa timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan berumur Karbon dan

Permokarbon, dan sebagian pasca Trias.

Kemungkinan granit di Lampung yang

mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar tua merupakan bagian dari lipatan ini. Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan

Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma.

pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas

vulkanisma. Siklus pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen. Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam dengan jumlah yang sangat besar.

Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas

vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen. Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba).

Demikian juga tufa asam Lampung di Sumatra

selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung.

Irupsi celah ini terdapat di tepi perisai kontinen

Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan erupsi efusif basal di Midai, Niut Karimun Jawa.

Pulau Barat Sumatra Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda

dari busur luar Sistem Pegunungan Sunda. Selama zaman Tersier jalur ini merupaka palung

busur dari Zona Barisan.

Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa

yang terserpentinitisasi hadir. Pada zaman Kwarter pembentukan busur

geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut sampai saat ini.

Anomali isostatik negatif pada jalur ini

menandakan adanya energi potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini

seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi orogen di Kepulauan Indonesia.

Kepulauan Andaman dan Nikobar Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang

serupa terjadi di kepulauan ini.

Seri Serpentinit representasi dari ofiolit vulkanik

palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi menurut Chiber (1934) lapisan basal Eosen juga bercampur dengan batuan vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di Nias.

New Guinea. Di pulau ini terdapat dua sistem

orogenesa. Rangkaian pegunungan bagian tengah merupakan dari Sistem CircumAustralian, dan bagian utara merupakan bagian dari Sistem Melanisia.

Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di

bagian dalam dan busur non-vulkanik di bagian luar.

Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada

zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh busur luar non-vulkanik dari Sistem Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat

aktifitas diatrofisma Pra Tersier yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku.

Di pegunungan Cyclope utara tersingkat batuan-

batuan ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit). Di Vogelkop intrusi granit mengalami

metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang teralterasi.

Bagian tengah New Guinea mengalami

penurunan geosinklin sejak zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada zaman Oligosen tidak

memunculkan batuan vulkanik.

Aktivitas vulkanik baru hadir selama Miosen,

berikut intrusi batuan plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan lainnya. Akhirnya morfologi saat ini dibentuk akibat

aktivitas vulkanisma selama Kwarter.

Pulau Christmas. Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan

vulkanik bersifat basa dari afinitas Atlantik berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan

aktivitas vulkanik lainnya yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hinidia

Yang membedakan dengan kepulauan Indonesia

adalah kehadiran alkali kapur dari seri Pasifik yang dominan.

Alterantif lain adalah kristalisasi ulang dalam

status sedimental padat, sebagai perubahan kimia fisika yang disempurnakan oleh difusi melalui kenaikan suhu dan statusnya yang padat.

Oleh karena itu pertanyaan pertama yang harus

dipecahkan dan penjadi postulat para magmatis adalah melihat magma sebagai magma sebenarnya yang merupakan cairan silikat.

Karakter plutonik granit bukanlah suatu jaminan

asal magma. Pernyataan bahwa batuan plutonik merupakan

hasil kristalisasi magma adalah suatu hipotesis murni.

Jawaban atas pertanyaan apakah magma? dalam

pandangan kaum ortodok adalah suatu cairan pijar berupa larutan molekular dengan komposisi utama silika, dengan unsur-unsur yang mudah menguap, terutama air, yang mendorongnya bersifat mobile.

Dalam konsepsi modern, magma dipahami

seperti bubur beras (milky rice pudding), campuran kristal dan air. Magma ini tidak terlalu berbeda dengan konsep sekarang.

Menurut konsepsi ortodok, asal granit berasal

dari intrusi magma dan mengalami kristalisasi sebagian; sementara fase berikutnya menyebabkan metamorfosa yang melibatkan batuansamping dan merubah komposisinya. Konsep ini nampaknya tidak cukup.

Konsep ini nampaknya tidak cukup. Setidaknya untuk kasus Indonesia.Secara teoritis terdapat 3 jenis granit.

(1) granit juvenil, yang dibentuk oleh kristalisasi

dan deferensiasi magma, (2) granit palingenetic, yang dibentuk oleh anatexix (peleburan) dari batuan dengan komposisi kimia seperti granit (serpih, geneis, batupasir, granit) atau oleh pencampuran batuan yang berbeda komposisi,

(3) granit metasomatik, yang dibentuk oleh

proses metasomatis dari batuan tua, yang dapat dikenali dengan adanya struktur palimsest.

Ketiganya ada dialam ini, tetapi tidak ada ukuran

yang tepat untuk masing-masing batuan granit tersebut. Pada saat ini batuan plutonik tersingkap dengan berbagai asal kedalaman, dan granit relatif melimpah.

Kita harus mengasumsikan bahwa magma induk

(parental) basa harus berada lebih dalam daripada tingkat denudasi. Kita hanya dapat meneliti batuan plutonik, tersingkap sebagai intrusi pada kerak bumi; itu merupakan hasil interaksi dari magma induk bagian atas.

Kita tidak dapat meneliti magma plutonik. Untuk

menyatakan bahwa batuan plutonik itu berasal dari suatu magma adalah tidak lebih dari sebuah hipotesis yang memerlukan bukti dukungan.

Reinolds (1947) menyatakan bahwa banyak

kejadian yang membuktikan bahwa pembentukan granit dapat berlangsung melalui transformasi bentuk pada pra kondisi batuan.

Alterasi metasomatik progresif memungkinkan

merubah bentuk batuan plutonik menjadi lebih asam dan mempunyai kristal lebih kasar. Menurut Hou dan Harwood (1937) konsentrasi energi untuk magmatisasi secara lengkap oleh pancaran adalah suatu konsekuensi dari beberapa faktor: tingkat energi yang memancar, reaksi eksoterm dengan material yang dikenai, serta temperatur setelah proses.

Sementara Hausas (1944) menafsirkan bahwa

proses magmatisasi dari metasomatisme memerlukan keseimbangan: (1) pancaran yang datang, (2) asal energi, (3) material kerak bumi, dan (4) pancaran lain.

Proses granitisasi selalu disertai dengan proses

basifikasi atas batuan itu. Bahkan kehadiran granit akan lebih sedikit. Ini disebabkan komposisi endapan geosinklinal

lebih banyak mengandung unsur basa dibanding granit.

Proses granitisasi dan basifikasi dikenal pula

sebagai diferensiasi metamorfosa, yang merupakan hasil difusi metamorfosa.