3 kasus tuntutan hukum

Upload: drg-supriadyr

Post on 15-Oct-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tugas Etika & Hukum kesehatan

[Tugas Etika & Hukum kesehatan]S-2 FKM USU

Kasus tuntutan hukum terhadap pelayanan kesehatan saat ini semakin banyak kita temui, ini dikarenakan kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat, kesadaran tentang hak-hak pasien semakin meningkat, interpretasi yang salah bahwa kegagalan dokter mengobati pasien dianggap malpraktek (kegagalan tindakan medik), ketidak puasan atau terjadi miskomunikasi pasien / keluarganya terhadap pelayanan dokter atau rumah sakit.Tulisan ini dibuat sebagai pemenuhan tugas mata kuliah etika dan hukum kesehatan, dengan mencari 3 kasus yang menyangkut kebijakan kesehatan yang berkorelasi langsung dengan sumpah dokter, sumpah profesi dan kode etik kedokteran. Adapun kasus yang penulis bahas pada tulisan ini adalah salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

KASUS ISeorang dokter gigi mengiklankan diri melakukan praktek kedokteran gigi dan pemberian voucher bagi siapa yang berminat. Seorang perempuan yang akan menikah datang ke dokter gigi tersebut dengan memanfaatkan voucher untuk melakukan pemeriksaan karang gigi (skelling), namun apa yang terjadi selain dilakukan skelling oleh dokter gigi juga mengangkat plak putih (enamel) pada gigi yang tidak melalui informed concern terlebih dahulu. Pihak pasien keberatan atas pengangkatan plak putih tersebut.Permasalahan pada kasus ini :1. Apakah praktek kedokteran seperti ini dapat di iklankan?2. Apakah pemberian voucher dapat dibenarkan dalam praktek kedokteran?3. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap pengawasannya?

Permasalahan iklan kesehatan sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1787 tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan. Pada pasal 3 ayat 1 dijelaskan.Fasiltas pelayanan kesehatan dapat menyelenggarakan iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan melalui mediaAkan tetapi pada kasus diatas dengan pemberian voucher bagi siapa yang berminat, dijelaskan pada pasal 5 point c dan m yaitu :Iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan tidak diperbolehkan apabila bersifat :c. Memuat informasi yang menyiratkan bahwa fasiltas pelayanan kesehatan tersebut dapat memperoleh keuntungan dari pelayanan kesehatan yang tidak didapat dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan lainnya atau menciptakan pengharapan dari pelayanan kesehatan yang diberikan;m. Mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apapun termasuk pemberian potongan harga (diskon), imbalan atas pelayanan kesehatan dan/atau menggunakan metode penjualan multi-level marketing.Mengiklankan pelayanan kesehatan dapat dibolehkan akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan kode etik profesi yang telah ditentukan. Pemberian voucher yang tidak diberikan oleh dokter lain dan potongan harga jelas tidak diperbolehkan.Pada Pasal 5 Kode Etik Kedokteran Gigi di jelaskan bahwa Dokter Gigi di Indonesia tidak diperkenankan menjaring pasien secara pribadi , melalui pasien atau agen. Pemberian voucher dapat juga dianalogikan sebagai penjaringan pasien.Pada kasus tidak dilakukan informed concern pada tindakan mengangkat plak putih bertentangan dengan Undang-undang No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yaitu : Paragraf 2 Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi Pasal 45 yaitu :(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Dalam hal ini yang bertanggung jawab dalam pengawasannya adalah persatuan profesi dimana dokter gigi tersebut bernaung yaitu PDGI setempat dan Dinas Kesehatan setempat dengan prosedur pengawasan yang telah ditentukan.

KASUS IIMelahirkan dalam air (water birth) yang dilakukan rumah sakit. Salah seorang pasien bersalin dengan cara water birth harus rela kehilangan anak pertamanya. Bayi yang dikandung Martini meninggal dalam proses persalinan yang ditangani seorang dokter spesialis kandungan berinisial "OS" di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.Permasalahan pada kasus ini :1. Apakah dapat dibenarkan dan secara yuridis legal?2. Cara melahirkan dalam air ini belum mempunyai standar yang dibuat oleh kolegium (standar profesi)3. Tidak memiliki standar di RS (standar pelayanan dan SOP)4. Tidak dilakukan pengawasan dan siapa yang bertanggung jawab.Teknik melahirkan dalam air (water birth) akhir-akhir ini memang menjadi trend alternative persalinan normal yang ditawarkan baik diluar ataupu didalam negeri. Akan tetapi mengingat banyaknya resiko yang ditimbulkan sehinnga pada Pertemuan llmiah Tahunan (PIT) ke XII di Makassar tanggal 5 - 9 Maret 2011 Pengurus Besar POGI (PB POGI) memutuskan tidak merekomendasikan persalinan dalam air (Waterbirth).Ini berarti secara aspek yuridis legal tidak dibenarkan karena teknik ini belum ditetapkan sebagai standar pertolongan persalinan yang diakui oleh Kolegium (Standar Profesi) sehingga belum ada penetapan standar pelayanannya dan standar operasional prosedurnya.Pengawasan yang telah dilakukan persatuan profesi telah benar dengan memberikan surat edaran untuk tidak merekomendasikan teknik water birth ini, akan tetapi pengawasannya dilapangan menjadi tanggung jawab masing-masing rumah sakit bersama komite mediknya. Dan juga Dinas Kesehatan setempat juga bertanggang jawab sebagai Pembina di wilayah kerjanya masing-masing.

KASUS IIISeorang ibu mengeluh perut terasa keras dan datang ke dokter, diagnosis ovarial cyste dan dianjurkan untuk operasi. Pasien menderita diabetes mellitus. Diadukan karena diduga melanggar disiplin kedokteran.Hasil pemeriksaan di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia : Dokter memutuskan operasi tanpa indikasi medis Tidak ada kista ovarium Anastesi oleh perawat bukan dokter anatesi Melakukan appendiktomi bukan kewenangannya Tidak jujur, mengaku ada perlengketan tetapi tidak ada Tidak ada informed consernt yang ditanda tangani pasien/keluarganya Tidak ada SIP di rumah sakit tersebut Rekam medis ridak lengkapPermasalahan pada kasus ini :1. Kenapa dokter tetap diberi kesempatan operasi walaupun tidak ada SIP di RS tersebut, informed consent, anatesi oleh perawat?2. Siapa saja yang bertanggung jawab?3. Sejauh mana pengawasan terhadap dokter dan RS?Dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 42 yaitu : Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.Yang menjadi permasalahan, terkadang ada beberapa rumah sakit terutama rumah sakit yang sedikit mempunyai pasien dan dokter yang mau bekerja di rumah sakit tersebut, sehingga dengan berbagai upaya pihak rumah sakit untuk menarik pasien dan dokter yang mau berpraktek dirumah sakit tersebut akan tetapi tidak dilengkapi prasyarat yang ada seperti Surat Ijin Praktek dokter tersebut.Pihak rumah sakit harus bertanggung jawab dalam mengupayakan kelengkapan rumah sakit yang ada, seperti harus adanya SIP dokter yang berpraktek dirumah sakitnya, prosedur pengambilan tindakan termasuk pengisian informed consent dan dokter anastesi untuk kegiatan operasi. Pengawasan terhadap dokter yang berpraktek di satu rumah sakit juga menjadi tanggung Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, akan tetapi pelaksanaannya saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Dari ketiga kasus diatas tentunya bila dikaitkan dengan sumpah dokter akan bertentangan dengan point ke 12 yaitu : SAYA AKAN MENAATI DAN MENGAMALKAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIAReferensi1. Dr. Sabir Alwy, SH, MH, Wakil Ketua MKDI, Penegakan Disiplin Kedokteran Oleh MKDKI, 20132. Permenkes No.1787 tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan.3. Surat Keputusan PB PDGI No. 034 tahun 2008 Tentang KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA.4. Undang-undang No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.5. http://www.pogi.or.id/pogi/news/detail/40Supriady. R Nim. 137032172 Kelas AKK2013Page 4