260110130132 muhammad ismail makalah anti jamur
DESCRIPTION
Anti Jamur Beserta Definisi dan Penggolongan ObatnyaTRANSCRIPT
Makalah Mata Kuliah Farmakologi Kemoterapi
ANTIJAMUR
Disusun oleh :
Muhammad Ismail
260110130132
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
1
a. Definisi
Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk
mengobati dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit
atau selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system
saraf pusat. Infeksi jamur dapat ringan, seperti pada tinea pedis (athlete’s
foot), atau berat, seperti pada paru-paru atau meningitis. Jamur, seperti
Candidia spp. (ragi), merupakan bagian dari flora normal pada mulut, kulit,
usus halus, dan vagina (Kee and Hayes,1993).
b. Patofisologi
Infeksi jamur diawali dengan masuknya spora jamur ke dalam tubuh atau
melekatnya spora tersebut pada kulit. Infeksi sistemik umumnya diawali
dengan terhirupnya spora ke dalam paru-paru, atau pada candidiasis
vulvovaginal infeksi dapat terjadi karena spora masuk melalui lubang vagina
karena kurangnya kebersihan. Sebenarnya tubuh memiliki proses pertahanan
terhadap infeksi jamur, akan tetapi kekuatannya sangat bervariasi antar
individu tergantung tingkat daya tahannya. Pada pasien dengan kondisi
immunocompromised infeksi jamur bahkan yang sifatnya oportunistik sangat
mudah terjadi. Setelah spora masuk dan melewati lini pertahanan tubuh,
dengan kondisi tertentu spora dapat berkembang menjadi jamur dan
membentuk koloni di dalam tubuh atau pada jaringan superfisial. Hal tersebut
akan menimbulkan gejala lokal maupun sistemik. (Neal,2006)
Infeksi superfisial
Infeksi superfisial yang dapat dialami antara lain (Schmitz dan
Hans,2009):
• Gatal pada bagian yang terinfeksi, bertambah gatal saat panas dan
berkeringat
1
• Timbul manifestasi pada kulit berupa kemerahan, keputih-putihan,
agak kuning, dsb. Lesi berupa pulau-pulau.
• Keratolitik (kulit mengelupas)
Infeksi Jamur Sistemik
Infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya serta obatnya antara lain:
a. Arpergilosis
Aspergilosis paru sering terjadi pada penderita penyakit imunosepresi
yang berat dan tidak memberi respon memuaskan terhadap pengobatan dengan
obat jamur. Obat pilihan untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B secara
intravena dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari. (Schmitz dan Hans,
2009)
b. Blastomikosis
Obat jamur terpilih untuk Blastomikosis adalah Ketokonazol per oral 400
mg sehari selama 6-12 bulan. Itrakonazol dengan dosis 200-400 mg sehari
juga efektif pada beberapa kasus. Amfoterisin B sebagai cadangan untuk
penderita yang tidak dapat menerima Ketokonazol. (Schmitz dan Hans, 2009)
c. Kandidiasis
Pengobatan menggunakan Amfoterisin B. Flusitosin diberikan bersama
Amfoterisin B untuk meningitis, endoftalmitis, arthritis, dan kandidia.
Disamping penyebarannya yang lebih baik ke jaringan sakit, Flusitosin diduga
bekerja aditif dengan Amfoterisin B sehingga dosis Amfoterisin B dapat
dikurangi. (Schmitz dan Hans, 2009)
d. Koksidioidomikosis
Adanya kavitis (ruang berongga) tunggal di paru atau adanya infiltrasi
fibrokavvitis yang tidak responsif terhadap kemoterapi merupakan cirri khas
penyakit kronis Koksidioidomikosis. Penyakit ini dapat diobati dengan
1
Amfoterisin B secara intravena, Ketokonazol, dan Itrakonazol. (Schmitz dan
Hans, 2009)
e. Kriptokokosis
Obat terpilih untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B dengan dosis 0,4-0,5
mg/kg BB perhari secara intravena. Penambahan Flusitosin dapat mengurangi
pemakaian Amfoterisin B (0,3 mg/kg BB). Flukonazol bermanfaat untuk
terapi supresi pada penderita AIDS. (Schmitz dan Hans, 2009)
f. Histoplasmosis
Penderita histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan
Ketokonazol 400 mg/hari selamaa 6-12 bulan. Itrakonazol 200-400 mg sekali
sehari juga cukup efektif. Amfoterisin B secara intravena juga dapat diberikan
selama 10 minggu. (Schmitz dan Hans, 2009)
g. Sporotrikosis
Obat terpilih untuk keadaan ini adalah pemberian oral larutan jenuh
Kalium Iodida (1 g/ml) dengan dosis 3 sampai 40 tetes sehari yang dicapuur
dengan sedikit air. Obat Sporotrikosis yang menyerang paru, tulang. (Schmitz
dan Hans, 2009)
c. Penggolongan Obat1. AMFOTERISIN B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces nodosus.
Sembilan puluh delapan persen campuran ini terdiri dari amfoterisin B yang
mempunyai aktivitas antijamur. Kristal seperti jarum atau prisma berwarna kuning
1
jingga, tidak berbau dan tidak berasa ini merupakan antibiotik polien yang bersifat
basa amfoter lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas
37°C tetapi dapat bertahan sampai berminggu-minggu pada suhu 4°C. (American
Medical Association,1995).
2. FLUSITOSIN
Flusitosin (5-fluorositosin; 5FC) merupakan antijamur sintetik yang berasal dari
fluorinasi pirimidin, dan mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan
floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam air
tapi mudah larut dalam alkohol. (American Medical Association,1995).
3. IMIDAZOL DAN TRIAZOL
KETOKONAZOL
Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik dengan struktur mirip
mikonazol dan klotrimazol. Obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada pH
asam.Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik
efektif terhadap Candida, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H.
capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus dan Sporothrix spp. (American Medical
Association,1995).
4. KASPOFUNGIN
Kaspofungin adalah antijamur sistemik dari suatu kelas baru yang disebut
ekinokandin. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3)-Dglukan,
suatu komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur. (American Medical
Association,1995).
5. TERBINAFIN
Terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip
naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, terutama onikomikosis.
Namun, pada pengobatan kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor, terbinafin
biasanya dikombinasikan dengan golongan imidazol atau triazol karena
1
penggunaannya sebagai monoterapi kurang efektif. (American Medical
Association,1995).
6. GRISEOFLUVIN
Griseofulvin adalah antibiotika yang bersifat fungistatik. Secara in-vitro
griseofulvin dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies dari Microsporum,
Epidermophyton dan Trichophyton. Pada penggunaan per oral griseofulvin
diabsorpsi secara lambat, dengan memperkecil ukuran partikel, absorpsi dapat
ditingkatkan. Griseofulvin ditimbun di sel-sel terbawah dari epidermis, sehingga
keratin yang baru terbentuk akan tetap dilindungi terhadap infeksi jamur (Santoso,
2009).
7. NISTATIN (MIKOSTATIN)
Nistatin adalah antibiotika antifungal yang berasal dari streptomyces noursei.
Aktifitas antifungalnyadiperoleh dengan cara mengikatkan diri pada sterol
membrane sel jamur, sehingga permeabilitas membrane sel tersebut akan
terganggu dan komponen intraseluler dapat hilang (Tjay dan Kirana,2007)
d. Mekanisme kerja1. Amfoterisin B
Amfoterisin B berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat pada membran sel
jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi
kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap
pada sel.Bakteri, virus dan riketsia tidak dipengaruhi oleh antibiotik ini karena
jasad renik ini tidak mempunyai gugus sterol pada membran selnya. Pengikatan
kolesterol pada sel hewan dan manusia oleh antibiotic ini diduga merupakan salah
satu penyebab efek toksiknya. Resistensi terhadap amfoterisin B ini mungkin
disebabkan terjadinya perubahan reseptor sterol pada membran sel. (American
Medical Association,1995)
2. Flusitosin
1
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan
dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi
menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat
penghambatan Iangsung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil. Keadaan ini
tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia flusitosin tidak diubah
menjadi fluorourasil. (American Medical Association,1995)
3. Ketokonazol
Berinteraksi dengan enzim P-450 untuk menghambat demetilasi lanosterol
menjadi ergosterol yang penting untuk membran jamur. (American Medical
Association,1995)
4. Caspofungin
Mempengaruhi integritas dinding sel dengan menghambat enzim1,3 beta-
glucan synthase. (American Medical Association,1995)
5. Terbinafin
Menghambat squalen epoksidase, enzim yang diperlukan untuk
mengkoonversi squalen menjadi squalen epoksid. (American Medical
Association,1995)
6. Griseofluvin
Obat ini masuk ke dalam sel jamur, berinteraksi dengan mikrotubulus dalam
jamur dan merusak serat mitotik dan menghambat mitosis. (American Medical
Association,1995)
7. Nistatin
Berikatan dengan ergosterol pada membran jamur, permeabilitas meningkat,
sel jamur mati. (American Medical Association,1995)
e. Kinetika
1
1. Amfoterisin B
Sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Waktu paruh kira-kira 24-48 jam
pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasi fase kedua dengan waktu paruh kira-
kira 15 hari, sehingga kadar mantapnya akan tercapai setelah beberapa bulan
setelah pemberian. Ekskresi obat ini melalui ginjal berlangsung lambat sekali,
hanya 3 % dari jumlah yang diberikan. (American Medical Association,1995)
2. Flusitosin
Absorbsi : diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna.Pemberian
bersama makanan memperlambat penyerapan tapi jumlah yang diserap tidak
berkurang. Penyerapan juga diperlambat pada pemberian bersama suspensi
alumunium hidroksida/magnesium hidroksida dan dengan neomisin.
Distribusi :didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan dengan volume
distribusi mendekati total cairan tubuh.
Ekskresi : 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi
glomerulu dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200-500µg/ml
(American Medical Association,1995)
3. Ketokonazol
Absorbsi : diserap baik melalui saluran cerna dan menghasilkan kadar
plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapan
melalui saluran cerna akan berkurang pada penderita dengan pH lambung yang
tinggi,pada pemberian bersama antasid.
Distribusi : ketokonazol setelah diserap belum banyak diketahui.
Ekskresi : Diduga ketokonazol diekskresikan bersama cairan empedu
ke lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin,
semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif. (American Medical
Association,1995)
1
4. Griseofluvin
Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian atas
karena obat ini tidak larut dalam air. Penyerapan lebih mudah bila griseofulvin
diberikan bersama makanan berlemak. Obat ini mengalami metabolisme di
hati dan metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin. Waktu paruh obat ini
kira-kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan bersama urin
dalam bentuk metabolit selama 5 hari. (American Medical Association,1995)
5. Terbinafin
Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya
menurun hingga 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama di hati.
Obat ini terikat dengan protein plasma lebih dari 99% dan terakumulasi di
kulit, kuku dan jaringan lemak. Waktu paruh awalnya adalah sekitar 12 jam
dan berkisar antara 200 sampai 400 jam bila telah mencapai kadar mantap.
Obat in masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah
pengobatan yang lama. Terbinafin dimetabolisme di hati menjadi metabolit
yang tidak aktif dan diekskresikan di urin. Terbinafin tidak di indikasikan
untuk pasien azotemia atau gagal hati karena dapat terjadi peningkatan kadar
terbinafin yang sulit diperkirakan. (American Medical Association,1995)
f. Efek Samping1. Amfoterisin
Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu,
anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal, 50%
penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam
dan menggigil, Flebitis menambahkan heparin 1000 unit ke dalam
infus, Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai akibat
1
pemberian kalium, Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila
amfoterisin B diberikan bersama flusitosin. (Evelyn,1996)
2. Flusitosin
Dapat menimbulkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia,
terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang
mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang,
dan penderita dengan riwayat pemakaian obat tersebut, Mual,muntah,
diare dan enterokolitis yang hebat, Terjadi sakit kepala, kebingungan,
pusing, mengantuk dan halusinasi. (Pappas,2004)
3. Ketokonazol
Efek toksik lebih ringan daripada Amfoterisin B, Mual dan muntah
merupakan ESO paling sering dijumpai, ESO jarang : sakit kepala,
vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, parestesia, gusi berdarah, erupsi
kulit, dan trombositopenia. (Pappas,2004)
4. Terbinafin
Sakit kepala, perut kembung, diare, insomnia. (Pappas,2004)
5. Griseofluvin
Leukopenia dan granulositopenia menghilang bila terapi
dilanjutkan, Sakit kepala àkeluhan utama pada kira-kira 15% penderita
yang biasanya hilang sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan,
artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan mengabur, insomnia,
berkurangnya kecakapan, pusing dan sinkop, pada saluran cerna dapat
terjadi rasa kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi, Pada kulit
dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitivitas, eritema multiform,
vesikula dan erupsi menyerupai morbili. (Pappas,2004)
g. Indikasi dan Kontra Indikasi1. Amfoterisin
Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, aspergilosis,
kromoblastomikosis dan kandidosis. Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk
1
blastomikosis.Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik.
(Evelyn,1996)
2. Flusitosin
Infeksi sistemik, karena selain kurang toksik obat ini dapat diberikan per
oral. Penggunaannya sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada
kromoblastomikosis. (Evelyn,1996)
3. Ketokonazol
Ketokonazol terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi dan
jaringan lemak. (Evelyn,1996)
4. Terbinafin
Mengobati infeksi kuku yang biasanya disebabkan oleh jenis jamur tinea.
Juga dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi jamur pada tubuh.
(Evelyn,1996)
5. Griseofluvin
Efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan
oleh jamur Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton. (Evelyn,1996)
1
DAFTAR PUSTAKA
American Medical Association. Drug Evaluation Annual 1995. P.1644-56
Evelyn R, Hayes. 1996. Alih Bahasa: Farmakologi Pendekatan Proses
Perawatan,Jakarta: EGC
Kee, Joyce L., & Evelyn R. Hayes (1993). Farmakologi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. “Obat-Obat Antijamur, Antivirus, dan Antimalaria” hlm. 357-360.
Neal, M. J (2006). Farmakologi Medis Ed. 5. Penerbit Erlangga. “Obat
Antijamur dan Antivirus” hlm. 86-87.
Pappas PG, Rex JH, Sobel JD, et al. Gudelines for the treatment of
candidiasis. Clin Infect Dis 2004;38:161-89.
Schmitz, Gery., Hans Lepper., & Michael Heidrich (2009). Farmakologi
dan Toksikologi Ed. 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. “
Tjay, Tan Hoan., & Kirana Rahardja (2007). Obat-Obat Penting Ed. 6.Jakarta: Elex Media Komputindo
1