document2

4
1. Differential diagnosis a. Kejang demam 1) Anamnesis Pada anamnesis kejang demam dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti: - Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat. - Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C. - Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam akomlpeks (Dewanto dkk,2009). 2) Faktor resiko Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4) lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009) 3) Pemeriksaan fisik Gambaran klinis yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah: - Suhu tubuh mencapai 39°C. - Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang. - Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis kejang. - Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. - Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,2009)

Upload: tiara-dwivantari

Post on 14-Jul-2016

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

deskripsi

TRANSCRIPT

Page 1: Document2

1. Differential diagnosis a. Kejang demam

1) Anamnesis Pada anamnesis kejang demam dibutuhkan beberapa informasi yang dapat

mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti: - Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu

sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat. - Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C. - Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam akomlpeks (Dewanto dkk,2009).

2) Faktor resiko Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam

dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4) lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009)

3) Pemeriksaan fisik Gambaran klinis yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:

- Suhu tubuh mencapai 39°C. - Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis kejang. - Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. - Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,2009)- Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi.

4) Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).

b. Meningitis 1) Anamnesis

Anamnesis menunjukkan keluhan utama seperti panas tinggi, nyeri kepala, dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Keluhan meningismus, letargi, malaise, kejang, atau muntah proyektil karena peningkatan tekanan intrakranial tetapi keluhan ini

Page 2: Document2

tidak sama pada satu penderita dengan yang lain (tidak khas). Anak umur kurang dari tiga tahun belum dapat mengatakan nyeri kepala sedang pada bayi akan lebih susah lagi karena hanya datang dengan keluhan demam, rewel, letargi, malas minum dan high-pitched cry. Keluhan lain yang harus digali yaitu riwayat penyakit infeksi sebelumnya misal keluhan diare, batukpilek, rinorrhea, otorrhea sebagai port of entry dari meningitis (Kohrman dkk., 2007).

2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik awal adalah Status present yaitu gangguan kesadaraan

dapat berupa hanya rewel sampai penurunan kesadaran yang dapat diukur sesuai dengan Glasgow Coma Scale (GCS) pediatri . Pemeriksaan lingkar kepala dilakukan untuk menilai apakah ada hidrosefalus atau peningkatan tekanan intra kranial. Anak kurang dari satu tahun sering didapatkan ubun ubun yang membonjol. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan papil edema pada pemeriksaan mata. Strabismus akibat penekanan pada saraf abdusen dan dilatasi pupil yang tidak berespon terhadap cahaya terjadi karena penekanan saraf okulomotorik. Bradikardi dan hipertensi arteri dapat terjadi karena tekanan pada batang otak (Stefan dan Florian, 2000; Saharso dan Hidayati, 1999 ).

Tanda rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II. Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity) dapat dilakukan dengan menekuk leher secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk dikatakan positif bila terdapat tahanan sehinggga dagu tidak dapat menempel pada dada. Tahanan juga terasa apabila leher diposisikan hiperektensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kaku kuduk dapat disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, disebut opistotonus. Tanda Kernig diperiksa pada penderita dalam posisi telentang, dilakukan fleksi tungkai atas tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut (Gambar 2.6). Tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap tungkai atas dalam keadaan normal. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah umur enam bulan (Dewanto, 2009).

Tanda Brudzinski I (Brudzinski's Neck Sign) diperiksa dengan meletakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala penderita dan tangan lainnya di dada penderita untuk mencegah agar badan tidak terangkat. Kemudian kepala penderita difleksikan ke dada secara pasif (tidak dipaksa). Rangsang meningeal dikatakan positif jika kedua tungkai bawah fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. Brudzinski II (Brudzinski's Contralateral Leg Sign) diperiksa dengan cara fleksi tungkai penderita pada sendi panggul secara pasif. Rangsang dikatakan positif bila terjadi fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan tampak lebih jelas bila pada waktu fleksi panggul dan sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi (Griesemer, 2005 ).

3) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis

meningitis bakterial meliputi darah rutin dan kultur darah, juga dilakukan pemeriksaan gula darah dan elektrolit terutama pada penderita dengan kejang untuk menyingkirkan penyebab kejang yang lain ( Dewanto, 2009). Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis meningitis bakterial. Pungsi lumbal dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu penderita diposisikan untuk tindakan , ditentukan lokasi dengan membuat garis imajiner melalui titik tertinggi antara kedua ujung tulang spina iliaca superior anterior (SIAS) melalui

Page 3: Document2

lumbal 4, palpasi garis tengah prosesus spinosus lumbal 3 hingga lumbal 5, menentukan ruang antara lumbal 3 dan lumbal 4 atau antara lumbal 4 dan lumbal 5. Lokasi penusukan pada bayi antara lumbal 2 dan lumbal 3, sedangkan pada anak yang lebih besar di antara lumbal 3 dan lumbal 4 atau lumbal 4 dan lumbal 5 (Michelson, 2006)

Lokasi ditandai oleh operator yang telah menggunakan sarung tangan steril dengan menggoreskan jarum hipodermik atau menekan dengan menggunakan kuku operator selama 15-30 detik selanjutnya dapat dilakukan anestesi menggunakan lidokain 1%, tunggu 3-5 menit, masukkan jarum untuk lumbal pungsi dengan cara pungsi median yaitu jarum ditusukkan di garis tengah dan dirasakan tahanan, yang akan hilang bila jarum telah melalui ligamentum flavum. Perubahan resistensi juga akan terjadi bila jarum melewati duramater. Setelah terasa perubahan resistensi, stylet dikeluarkan dari jarum untuk melihat apakah cairan spinal telah dicapai. Jika tidak didapatkan cairan, jarum diputar 900 ke sisi yang lain untuk menghindari obstruksi oleh jaringan. Jika tetap tidak ditemukan cairan, pasang kembali stylet dan dorong jarum lebih dalam dan evaluasi kembali seperti yang telah dijelaskan (Roos, 2003).

Cairan sudah keluar segera tampung untuk pemeriksaan sitologi dan analisis kimia, serta kultur. Volume cairan serebrospinal maksimal yang boleh diambil pada bayi adalah dua mililiter, sedang pada anak dengan berat lebih dari sepuluh kilogram tanpa penurunan kesadaran adalah sepuluh mililiter. Cairan serebrospinal ditampung dalam dua tabung steril dan setelahnya jarum lumbal pungsi dapat dicabut dengan memasang kembali stylet sebelumnya dan segera tutup tempat tusukan dengan kassa steril yang telah diberi povidone iodine. Penderita diminta berbaring terlentang tanpa bantal selama tiga puluh menit setelah pungsi lumbal (Michelson, 2006).

Meningitis bakterial didiagnosis apabila didapat CSS keruh dengan hasil pemeriksaan analisis Nonne negatif atau positif dan pemeriksaan pandi yang positif. Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis predominan polimofonuklear, protein 100-500 mg/dl, glukosa.