document2

16
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PENGUKURAN 2.1.1. Penetapan Titik Dasar Pemetaan dan Desain Jaringan Titik Kontrol a. Titik acuan, merupakan titik yang digunakan sebagai titik ikat dan kontrol dari pengukuran. Titik acuan ini umumnya telah mempunyai nilai koordinat yang sudah pasti. Titik acuan ini dapat berupa titik triangulasi, patok-patok BM (Bench Mark) yang diukur dengan GPS atau patok-patok lain yang nilai koordinatnya sudah diakui kebenarannya. b. Bentuk jaringan titik kontrol sebagai kerangka pengukuran disusun berdasarkan peta dasar dan titik acuan yang telah didapat / ditentukan maka dibuat kerangka pengukuran / poligon. Bentuk jaringan adalah poligon tertutup, sehingga poligon ini dapat berfungsi sebagai batas areal pengukuran dan pengikatan serta kontrol pengukuran detil. Pada pengukuran poligon digunakan alat dengan ketelitian yang lebih tinggi daripada alat untuk pengukuran detil karena jaringan titik-titik poligon sebagai referensi bagi titik-titik detil pengukuran. Pembuatan jaringan titik kontrol ini menggunakan metode poligon yang menghubungkan antar titik-titik kontrol (BM). Poligon yang yang menghubungkan antar titik BM ini disebut 3 | Page

Upload: helmi-mukti-wijaya

Post on 26-Oct-2015

49 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Document2

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. PENGUKURAN

2.1.1. Penetapan Titik Dasar Pemetaan dan Desain Jaringan Titik Kontrol

a. Titik acuan, merupakan titik yang digunakan sebagai titik ikat dan kontrol dari

pengukuran. Titik acuan ini umumnya telah mempunyai nilai koordinat yang

sudah pasti. Titik acuan ini dapat berupa titik triangulasi, patok-patok BM (Bench

Mark) yang diukur dengan GPS atau patok-patok lain yang nilai koordinatnya

sudah diakui kebenarannya.

b. Bentuk jaringan titik kontrol sebagai kerangka pengukuran disusun berdasarkan

peta dasar dan titik acuan yang telah didapat / ditentukan maka dibuat kerangka

pengukuran / poligon. Bentuk jaringan adalah poligon tertutup, sehingga poligon

ini dapat berfungsi sebagai batas areal pengukuran dan pengikatan serta kontrol

pengukuran detil. Pada pengukuran poligon digunakan alat dengan ketelitian yang

lebih tinggi daripada alat untuk pengukuran detil karena jaringan titik-titik poligon

sebagai referensi bagi titik-titik detil pengukuran.

Pembuatan jaringan titik kontrol ini menggunakan metode poligon yang

menghubungkan antar titik-titik kontrol (BM). Poligon yang yang menghubungkan antar

titik BM ini disebut sebagai Poligon Utama. Poligon Utama ini digunakan sebagai

Kerangka Kontrol Horizontal dan Kerangka Kontrol Vertikal.

2.1.2. Pengukuran Kontrol Horisontal

Metode pengukuran kontrol horisontal menggunakan metode poligon, yang

diikatkan pada titik referensi (BM). Jalur pengukuran berupa poligon terikat sempurna,

sehingga bisa untuk mengetahui ketelitian pengukuran.

Sudut horisontal Poligon Utama diamat dengan Total Station ketelitian 5”, dan setiap sudut

dilakukan 2 kali pengamatan, sudut untuk hitungan hasil rata-rata pengamatan. Jarak

diukur secara bersamaan dengan alat ukur jarak elektronis (Jarak Optis) dan setiap jarak

diamat 2 kali (biasa – luar biasa). Pada pekerjaan ini menggunakan alat ukur Total Station

Toleransi pengukuran poligon :

3 | P a g e

Page 2: Document2

a. Kesalahan penutup sudut maksimum 10”N, dimana N = banyak sudut yang

diukur.

b. Kesalahan linier jarak minimum 1 : 2.500

c. Pengukuran sudut dengan Total Station ketelitian 5”.

d. Pengukuran poligon merupakan jaring-jaring tertutup atau terikat pada BM yang

terdekat atau titik-titik lain yang diketahui dengan pasti koordinat dan elevasinya

dalam sistem Koordinat UTM / Lokal

e. Pengukuran jarak dengan alat ukur jarak elektronis (Jarak Optis).

f. Metode perhitungan poligon yang digunakan adalah metode Bowdicth.

g. Proses perhitungan dan pengolahan data dengan menggunakan program komputer.

2.1.3. Pengukuran Kontrol Vertikal

Jalur pengukuran kontrol vertikal mengikuti jalur kontrol horisontal (poligon),

setiap pengukuran dilakukan dengan metode dua kali pengamatan atau biasa disebut

dengan metode “double stand”.

Perhitungan sementara hasil ukuran dilakukan di lapangan untuk mengetahui tingkat

ketelitiannya, apakah sudah masuk toleransi yang ditetapkan. Apabila hasil pengukuran

ketelitiannya tidak masuk toleransi, maka pengukuran harus dicek/ diulang. Perhitungan

akhir dilakukan dengan metode “last square”.

a. Pengukuran beda tinggi menggunakan Metode Tachimetry.

b. Pengukuran dilakukan pergi pulang dan terikat sempurna

c. Toleransi kesalahan penutup beda tinggi adalah (10En ) mm, dimana En =

jumlah panjang sisi beda tinggi dalam Km.

d. Pengukuran Ketinggian / beda tinggi dilakukan untuk titik poligon (Bench Mark).

2.1.4. Pengukuran Situasi

Pengukuran detail situasi dan jaringan utilitas dilakukan dengan menggunakan alat

ukur Total Station yang mempunyai ketelitian sekitar 10” (10 detik). Semua detail baik itu

detail alam maupun detail buatan manusia dicatat dan dibuat sket lapangan secara jelas.

a. Jenis detil disesuaikan dengan paket pekerjaan yang sedang dilaksanakan.

4 | P a g e

Page 3: Document2

Detil alami yang biasa dibutuhkan dalam pemetaan antara lain : detil sungai, alur,

jalan aspal, jalan tanah, jalan setapak, rumah, rawa, sawah, kebun, konstruksi

seperti jembatan, bendung, kuburan, singkapan batubara.

Pengukuran sudut dengan Total Station atau Theodolit dengan tingkat keteltian

tertentu.

b. Metodologi pengukuran adalah Tachimetry.

c. Posisi detail ditentukan oleh sudut dan jarak.

d. Pengukuran harus diikatkan pada titik poligon.

2.2. Metode Penambangan

Tambang terbuka (open pit mine) adalah bukaan yang dibuat di permukaan tanah,

bertujuan untuk  mengambil bijih dan akan dibiarkan tetap terbuka (tidak ditimbun

kembali) selama pengambilan bijih masih berlangsung.

Untuk mencapai badan bijih yang umumnya terletak di kedalaman, diperlukan

pengupasan tanah/batuan penutup (waste rock) dalam jumlah yang besar. Tujuan utama

dari operasi penambangan adalah menambang dengan biaya serendah mungkin sehingga

dicapai keuntungan yang maksimal.

Pemilihan berbagai parameter desain dan penjadwalan dalam pengambilan bijih

dan pengupasan batuan penutup melibatkan pertimbangan teknik dan ekonomi yang rumit.

Mesti diambil kompromi yang optimal antara memaksimalkan perhitungan ekonomis dan

adanya parameter pembatas karena faktor geologi dan pertimbangan teknik lain.

Dengan berkembangnya teknologi dan teknik pertambangan, cadangan yang

dulunya dinilai tidak ekonomis, sekarang dapat berubah menjadi sumber yang layak

tambang. Hal ini juga didorong oleh meningkatnya permintaan akan bahan tambang seiring

dengan peningkatan konsumsi per kapita.

Secara umum, tambang terbuka dinilai lebih menguntungkan dibanding metode

tambang bawah tanah dalam hal recovery (mineral yang dapat ditambang dibanding

dengan banyak cadangan), grade control (pengendalian kadar), keluwesan operasi,

keselamatan, dan lingkungan kerja.

Namun, dalam situasi dimana deposit terlalu kecil, berbentuk tak teratur, atau

terletak terlalu dalam di bawah tanah, metode tambang bawah tanah akan lebih

menguntungkan.

5 | P a g e

Page 4: Document2

Suatu tambang terbuka pada satu titik mungkin saja perlu diubah menjadi tambang

bawah tanah ketika batuan penutup (waste rock) yang perlu dikupas menjadi terlalu besar.

Ini biasanya terjadi jika cadangan bijih berlanjut hingga sangat  dalam.

Faktor teknologi, kondisi pasar, dan kebijakan pemerintah akhirnya juga akan turut

jadi pertimbangan dalam pemilihan metode tambang yang pas.

2.3. Pembuatan Blok Tambang

Dalam kegiatan survei dan pemetaan eksplorasi area tambang biasanya akan kita

mengenal suatu daerah yang mempunyai prospek untuk di lakukan kegiatan eksplorasi

(pencarian dan penelitian) secara lebih mendalam yang biasa di sebut dengan Blok

Tambang. Blok tambang ini secara awal di buat dan di rencanakan oleh Tim Geologi yang

selanjutnya akan dipetakan di lapangan secara langsung oleh Tim Geodesi (Survei dan

Pemetaan).

Secara garis besar pembuatan Blok Tambang ini dapat di jelaskan secara sistematis dalam

diagram di bawah ini :

Gambar 2.3.1. Diagram alir pembuatan Blok Tambang

Dari diagram alur di atas dapat di jelaskan urutan langkah-langkah dari pembuatan Blok

Tambang sebagai berikut :

1. Pembuatan Poligon Utama (Main Polygon)

6 | P a g e

Bench Mark (BM)

Poligon Utama

Poligon Baseline (Blok Tambang)

Poligon Cabang

Titik Bor (Drill Hole)

Page 5: Document2

Poligon Utama (Main Polygon) ini dibuat pertama kali setelah pembuatan titik

kontrol Bench Mark (BM) selesai dilakukan. Poligon ini menghubungkan antar

titik BM sehingga mempunyai ketelitian pengukuran yang paling tinggi karena

digunakan sebagai patokan pengikatan poligon-poligon lainnya.

2. Poligon Baseline / Blok Tambang (Baseline Polygon)

Poligon ini merupakan poligon yang membatasi area prospek tambang atau

Blok Tambang yang diikatkan secara sempurna pada Poligon Utama.

Selanjutnya poligon ini akan digunakan sebagai dasar ikatan poligon

selanjutnya yang mempunyai tingkatan lebih rendah.

3. Poligon Cabang (Branch Polygon)

Poligon Cabang ini harus terikat secara sempurna pada poligon Baseline

sehingga mempunyai ketelitian dan tingkatan yang lebih rendah dibanding

dengan poligon Baseline. Walaupun demikian ketelitian poligon harus tetap

memenuhi ketelitian minimum pengukuran yang ditetapkan karena sangat

berguna untuk menentukan letak titik bor secara tepat di posisinya.

4. Penentuan Letak Titik Bor (Drill Hole)

Pengukuran untuk menentukan letak titik bor ini merupakan langkah terakhir

yang dilakukan Tim Geodesi dalam kegiatan Eksplorasi khususnya dalam

penentuan Proposed Drill Hole. Pengukuran letak Titik Bor ini dilakukan

dengan jalan mengikatkan jalur pengukuran pada Poligon Cabang. Metode

pengukuran yang biasa dilakukan dalam menentukan letak Drill Hole ini adalah

Metode Stake Out. Jadi koordinat rencana Drill Hole yang telah ada di peta kita

cari dan tentukan di lapangan (Stake Out). Pengukuran dengan Metode Stake

Out ini harus diikatkan secara sempurna pada Poligon Cabang untuk mendekati

titik bor tujuan yang kita rencanakan secara optimal.

Contoh pembuatan Blok Tambang dan penentuan Titik Bor ini dapat dilihat pada gambar

di bawah ini :

7 | P a g e

Page 6: Document2

POLIGON UTAMA

POLIGON BASELINE(BIRU)

POLIGON CABANG(HIJAU)

POLIGON ANAKAN(HITAM)

Gambar 2.3.2. Penentuan Blok Tambang dan Titik Bor

Urutan pengukuran poligon sesuai dengan urutan langkah-langkah pembuatan Blok

Tambang dan penentuan titik bor yang telah dijelaskan pada diagram alur sebelumnya.

Pembuatan poligon dimulai dari poligon utama yang merupakan tingkatan poligon

8 | P a g e

BENCH MARK

BENCH MARK

TITIK BOR

Page 7: Document2

10 -15 Meter

Poligon Baseline Blok Tambang

Blok Tambang

Jalur Terluar Line Blok Tambang

tertinggi diakhiri dengan poligon anakan yang merupakan tingkatan poligon terendah

dalam penentuan titik bor.

Khusus untuk pembuatan Poligon Baseline dan Poligon Cabang supaya tetap aman

tempatnya maka pembuatan kedua poligon ini harus diusahakan tidak berada di jalur-jalur

rencana titik bor yaitu jalur 25, 50 dan 100. Lokasi pembuatan Poligon Baseline Blok dan

Poligon Cabang untuk menghindari penggusuran jalur pengukuran dapat kita buat dengan

jalan sebagai berikut :

1. Poligon Baseline Blok :

Poligon Baseline Blok ini kita buat 10 – 15 meter diluar jalur terluar rencana

jalur titik bor atau diluar rencana blok tambang. Pembuatan poligon sengaja

ditempatkan di lokasi tersebut dengan tujuan untuk menghindari penggusuran

jalur akibat penempatan titik bor atau akses jalan ke titik bor yang biasanya

dilakukan oleh alat berat. Sehingga titik-titik poligon Baseline Blok ini

diharapkan tetap utuh dan ada saat kita akan melakukan pengikatan poligon.

Gambar 2.3.3. Poligon Baseline Blok Tambang

9 | P a g e

Page 8: Document2

Blok Tambang

12,5 Meter

25 Meter

12,5 37,5 62,5 87,5

Poligon Cabang

2. Poligon Cabang (Branch Poligon)

Poligon Cabang ini kita buat di jalur meteran ke 12,5 untuk kemudian jalur

berikutnya berjarak 25 meter dari jalur sebelumnya. Sehingga urutan jalurnya

pertama kali dimulai dari jalur 12,5 ; 37,5 ; 62,5 dan seterusnya.

Gambar 2.3.4. Poligon Cabang

2.4. Satuan dalam penghitungan volume & massa

2.4.1. Penghitungan volume

Dalam penghitungan cadangan/resourches nikel dikenal satuan volume

BCM dan LCM. Sedangkan satuan massa digunakan MT (metric Ton).

Istilah BCM dan LCM tidak hanya digunakan dalam pengukuran

volume ,nikel saja, untuk material lain misalkan OB/material tanah pun

menggunakan satuan volume yang sama. Perbedaan mendasar satuan volume LCM

dengan BCM adalah BCM digunakan untuk pengukuran volume pada lokasi insitu,

sedangkan LCM digunakan untuk pengukuran volume exsitu. Penjelasan mengenai

dua istilah ini dijelaskan dalam gambar berikut :

10 | P a g e

Page 9: Document2

Gambar 2.4.1. Kondisi Material

Secara teori, jumlah volume material exsitu dengan insitu akan sama jika

tidak ada penambahan/pengurangan (looses) baik itu karena proses pengangkutan

maupun karena perubahan bentuk & struktur material tersebut , akan tetapi jika kita

melakukan pengukuran pada lokasi insitu dengan lokasi exsitu akan timbul perbedaan

nilai volume pada 2 material tersebut. Padahal kedua material sama, diambil pada

lokasi yang sama, hanya dipindahkan/diangkut menuju lokasi lain. Bagaimana hal

ini bisa terjadi? Disinilah alasan mengapa terdapat 2 satuan pengukuran volume,

BCM dan LCM. Perbedaan satuan ini disebabkan adanya faktor pengembangan

(sweel factor ) yang timbul akibat perubahan bentuk/struktur material dari insitu ke

exsitu. Secara sederhana bisa dilihat bahwa material pada lokasi insitu berupa

material padat, kompak dan teratur, sedangkan pada lokasi insitu terdapat bentuk

tidak taratur, tidak padat, tidak kompak dan terdapat beberapa rongga-rongga

didalamnya. Ini lah yang disebut sebagai sweel factor . Akibatnya jumlah volume

eksitu lebih besar dari pada jumlah volume insitu karena fator tidak padat dan tidak

kompaknya kondisi eksitu. Satuan yang digunakan dalam kondisi exsitu adalah LCM,

sedangkan pada lokasi insitu adalah BCM.

Sehingga selalu berlaku bahwa : LCM > BCM

BCM LCM

(insitu) (eksitu)

Secara teori sweel factor bisa dicari dengan melakukan pengukuran survey secara

berulang-ulang untuk beberapa sampel/timbunan-galian kemudian dirata-rata.

Pertama dilakukan engukuran volume di lokasi insitu, dihitung besaran volume

nya, kemudian dilakukan pengukuran di lokasi eksitunya, dihitung besaran volume

11 | P a g e

material insitu diangkut dan di timbun pada suatu lokasi (exsitu)

Sweel factor

kondisi material insitu kondisi material eksitu

Page 10: Document2

nya. Dari dua nilai volume tersebut bisa dicari nilai sweel factor untuk material tsb

dengan cara ;

Sweel factor =

Besaran sweel factor berbeda untuk tiap-tiap jenis dan macam material. Untuk

batubara besaran sweel factor berkisar 1.1 - 1.2

Contoh :

Dilakukan pengukuran volume batubara pada lokasi inpit stock, didapatkan nilai

volume sebesar 45,200 m3. Berapa volume batubara tersebut dalam satuan BCM?

Sweel factor = 1.176

Jawab :

Pada lokasi in pit stock, batubara berupa material yang sudah tidak padat lagi. In

pit stock adalah lokasi penimbunan/penyimpanan batubara yang diangkut dari

dalam lokasi tambang kemudian diangkut dan di timbun di lokasi ini. Artinya

batubara pada lokasi ini adalah batubara exsitu sehingga besaran 45,200m3

adalah satuan LCM. Sehingga volume dalam BCM adalah:

Vol BCM = Vol LCM / sweel factor

= 45,200 : 1.176 = 38,435 BCM

2.4.2 Penghitungan tonnage/massa

Untuk merubah satuan dari volume ke satuan tonnage maka diperlukan besaran

densitas (dencity). Dencity adalah perbandingan antara massa dan volume pada suatu

zat/material. Pada batubara densitas nya berkisar antara 1.2-1.4. Densitas batubara

dihitung berdasarkan pada kondisi material padat atau BCM. Sehingga jika dilakukan

pengukuran pada kondisi material LCM maka harus dikonvert terlebih dahulu ke

satuan BCM baru kemudian dicari tonnage nya.

12 | P a g e

Page 11: Document2

(x) dencity (x) sweel factor

TONNAGE BCM LCM

1.2 – 1.4 1.1 – 1.2

Contoh :

Dilakukan pengukuran volume batubara pada lokasi inpit stock, didapatkan nilai

volume sebesar 34,400 m3. Berapa tonnage batubara tersebut ketika ditimbang?

Sweel factor 1.176, density 1.3

Jawab :

(x) dencity (x) sweel factor

TONNAGE BCM LCM

(38,026) (29,251) (34,400)

Sehingga tonnage batubara dari pengukuran tersebut adalah 38,026 MT

2.5. AUTOCAD LAND DEVELOMPMENT 2004

Software yang mudah digunakan dan cukup familiar untuk pekerjaan surveying

saat ini adalah Autodesk Land Desktop. Computer Aided Design adalah suatu program

komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian dari suatu produk. Produk yang

ingin digambarkan bisa diwakili oleh garis-garis maupun simbol-simbol yang memiliki

makna tertentu. CAD bisa berupa gambar 2 dimensi dan gambar 3 dimensi.

Berawal dari menggantikan fungsi meja gambar kini perangkat lunak CAD telah

berevolusi dan terintegrasi dengan perangkat lunak CAE (Computer Aided Engineering)

dan CAM (Computer Aided Manufacturing). Integrasi itu dimungkinkan karena perangkat

lunak CAD saat ini kebanyakan merupakan aplikasi gambar 3 dimensi atau biasa disebut

solid modelling. Solid model memungkinkan kita untuk memvisualisasikan komponen dan

rakitan yang kita buat secara realistik. Selain itu model mempunyai properti seperti massa,

volume, pusat gravitasi , luas permukaan dll.

13 | P a g e

Page 12: Document2

14 | P a g e