2.1 kondisi geografis kabupaten kediri -...
TRANSCRIPT
lxii
Pada bab ini akan dijelaskan tentang gambaran umum lokasi penelitian,
yaitu kampung pengemis yang berada di Dusun Duluran, Desa Gedangsewu,
Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. sebelumnya peneliti akan menjelaskan
tentang Kabupaten Kediri, kemudian menguraikan tentang kampung pengemis
dan menjelaskan tentang kondisi pengemis-pengemis yang ada di Kediri.
2.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kediri
Posisi geografi Kabupaten Kediri terletak antara 111o 47' 05" sampai
dengan 112o 18' 20" Bujur Timur dan 7o 36' 12" sampai dengan 8o 0' 32 Lintang
Selatan. Wilayah Kabupaten Kediri diapit oleh 5 Kabupaten, yakni :
- Sebelah Barat : Tulungagung dan Nganjuk
- Sebelah Utara : Nganjuk dan Jombang
- Sebelah Timur : Jombang dan Malang
- Sebelah Selatan : Blitar dan Tulungagung
Kondisi topografi terdiri dari dataran rendah dan pegunungan yang dilalui
aliran sungai Brantas yang membelah dari selatan ke utara. Suhu udara berkisar
antara 23o C sampai dengan 31o C dengan tingkat curah hujan rata-rata sekitar
1652 mm per hari. secara keseluruhan luas wilayah ada sekitar 1.386.05 km2 atau
+ 5%, dari luas wilayah provinsi Jawa Timur
Ditinjau dari jenis tanahnya, Kabupaten Kediri dapat dibagi menjadi 5
(lima) golongan, yaitu:
1. Regosol coklat kekelabuan seluas 77.397 Ha atau 55,84 %, merupakan
jenis tanah yang sebagian besar ada di wilayah kecamatan Kepung,
Puncu, ngancar, Plosoklaten, Wates, Gurah, Pare, kandangan, kandat,
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxiii
Ringinrejo, Kras, papar, Purwoasri, Pagu, Plemahan, Kunjang dan
Gampengrejo
2. Aluvial kelabu coklat seluas 28,178 Ha atau 20,33 %, merupakan jenis
tanah yang dijumpai di Kecamatan Ngadiluwih, Kras, Semen, Mojo,
Grogol, Banyakan, Papar, Tarokan dan Kandangan
3. Andosol coklat kuning, regosol coklat kuning, litosol seluas 4.408 Ha
atau 3,18 %, dijumpai di daerah ketinggian di atas 1.000 dpl seperti
Kecamatan Kandangan, Grogol, Semen dan Mojo.
4. Mediteran coklat merah, grumosol kelabu seluas 13.556 Ha atau 9,78
%, terdapat di Kecamatan Mojo, Semen, Grogol, banyakan, tarokan,
Plemahan, Pare dan Kunjang.
5. Litosol coklat kemerahan seluas 15.066 Ha atau 10.87%, terdapat di
kecamatan Semen, Mojo, Grogol, banyakan, tarokan dan kandangan.
Wilayah Kabupaten kediri diapit oleh dua gunung yang berbeda sifatnya,
yaitu Gunung Kelud di sebelah Timur yang bersifat Vulkanik dan Gunung Wilis
disebelah barat yang bersifat non vulkanik, sedangkan tepat di bagian tengah
wilayah Kabupaten Kediri melintas sungai Brantas yang membelah Wilayah
Kabupaten Kediri menjadi dua bagian, yaitu bagian Barat sungai Brantas:
merupakan perbukitan lereng Gunung Wilis dan Gunung Klotok. dan bagian
timur Sungai Brantas.
Pusat pemerintahan Kabupaten Kediri masih berada di Kediri, meskipun
ada wacana untuk memindahkan pemerintahannya ke Pare telah lama
direncanakan, akan tetapi hal tersebut dibatalkan. Sudah lama wacana
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxiv
mengembangkan Pare menjadi ibukota pemerintahan Kabupaten Kediri yang
secara bertahap dipindahkan dari Kota Kediri, akan tetapi niat tersebut tidak
pernah diseriusi dan ditindak lanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Kediri maupun
para bupati yang menjabat. Wacana tersebut ternyata benar-benar dibatalkan
karena dengan memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Kediri ke Pare akan
mendapatkan protes dari warga kabupaten sendiri yang terdapat daerah selatan
dan barat Kabupaten Kediri yang jarak wilayahnya jauh dari Pare, seperti Kras,
Ngadiluwih, Kandat, dan Ringinrejo. Sedangkan daerah barat seperti Tarokan,
Grogol, Banyakan, Semen, dan Mojo. Sehingga pemerintah mengambil jalan
tengah untuk tetap menempatkan pusat pemerintahannya di wilayah Kecamatan
Ngasem, tepatnya di Desa Sukorejo, yang biasanya terkenal degan sebutan
Katang.
Jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Kediri adalah 26 kecamatan dan
344 desa dan kelurahan. Daftar nama kecamatan yang berada di Kabupaten
Kediri, yaitu Kecamatan Badas, Kecamatan Banyakan, Kecamatan Gampengrejo,
Kecamatan Grogol, Kecamatan Gurah, Kecamatan Kandangan, Kecamatan
Kandat, Kecamatan Kayen Kidul, Kecamatan Kepung, Kecamatan Kras,
Kecamatan Kunjang, Kecamatan Mojo, Kecamatan Ngadiluwih, Kecamatan
Ngancar, Kecamatan Ngasem, Kecamatan Pagu, Kecamatan Papar, Kecamatan
Plemahan, Kecamatan Plosoklaten, Kecamatan Puncu, Kecamatan Purwoasri,
Kecamatan Ringinrejo, Kecamatan Semen, Kecamatan Tarokan, Kecamatan
Wates, dan Kecamatan Pare.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxv
Kecamatan Pare terletak sekitar 25 km dari timur laut Kota Kediri dan 120
km dari barat daya Kota Surabaya. Secara geografis Pare berada pada jalur yang
menghubungkan Kediri-Malang, Tulungagung-Surabaya, Trenggalek-Surabaya,
Jombang-Kediri, Jombang-Blitar, dan Surabaya-Blitar. Dahulu terdapat jalur
kereta api yang menghubungkan Kota Kediri dengan Kota Jombang, akan tetapi
yang tersisa sekarang hanyalah relnya saja. Kota Pare terletak pada ketinggian 125
meter di atas permukaan laut, sehingga mengakibatkan suhu udara yang ada di
wilayah Kota Pare tidak terlalu panas. Berbagai sarana dan prasarana fasilitas
umumnya perkotaan dapat dijumpai dengan mudah, seperti sekolah, hotel, rumah
sakit umum, rumah bersalin, ATM bersama, masjid, dan lain-lain. Pare juga
terkenal di seluruh bagian wilayah di Indonesia dengan kampung inggrisnya. Pare
termasuk kota lama yang dibuktikan dengan keberadaan dua candi yang terletak
tidak jauh dari pusat perkotaan Kota Pare, yaitu Candi Surowono dan Candi
Tegowangi, dan juga adanya patung “Budo” yang berada tepat di pusat kota Pare.
Ketiga penemuan yang ditinggalkan oleh kerajaan membuktikan bahwa Kota Pare
telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Kota Pare sudah lama memunculkan
industri menengah yang bertaraf internasional, seperti industri plywood dan
pengembangan bibit-bibit pertanian. Tempat-tempat rekreasi pun juga sudah ada
sejak tahun 1970-an meskipun tidak terlalu mewah dan dapat dikatakan masih
sangat sederhana pada zamannya, seperti Pemandian “Candra-Bhirawa” Corah
dan alun-alun “Ringin-Budo” dan juga sentra ikan hias di Dusun Surowono, Desa
Canggu.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxvi
Kecamatan Pare memiliki 10 kelurahan yang termasuk dalam
pemerintahan, yakni Kelurahan Pare, Desa Tulungrejo, Desa Pelem, Desa
Gedangsewu, Desa Tertek, Desa Bendo, Desa Sambirejo, Desa Darungan, Desa
Sumberbendo, dan Desa Sidorejo. Penelitian ini mengambil tempat di salah satu
dusun yang berada di sebuah desa yang di Pare, yakni di Dusun Duluran, Desa
Gedangsewu.
2.2 Sejarah Desa Gedangsewu
Desa ini terletak di selatan Kecamatan Pare kota. Kota kecil yang asri,
yang ada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Menurut penuturan Kepala Desa
Gedangsewu, secara turun temurun asal muasal desa ini diperoleh dari cerita
nenek moyang mereka. Pisang berbuah seribu itu telah menjadi salah satu legenda
asal muasal sebuah desa di Kecamatan Pare. Menurut Bapak Suroto, seorang
kamituo di desa tersebut, legenda Desa Gedangsewu itu berasal dari pisang
berbuah/bersisir seribu banyak terdapat di daerah selatan Kecamatan Kota Pare.
Namun tidak diketahui siapa yang pertama menanam pisang tersebut, namun tiba-
tiba saja banyak tumbuh pisang yang buahnya berjumlah seribu dan munculnya
pisang seribu itu telah menjadi banyak perhatian, khususnya oleh orang-orang
yang ada di daerah selatan Kota Pare itu.
Konon, sebelum ditemukannya pisang seribu, tetua desa (dukun desa)
telah mendapatkan mimpi-mimpi aneh tentang pisang yag berbuah tidak seperti
layaknya pisang lain yang sering dijumpai. Pada akhirnya, tetua desa
mengeramatkan pisang seribu tersebut, dan menjadikannya sebuah nama desa di
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxvii
selatan Kota Pare itu. Dan desa tersebut adalah “gedangsewu” yang artinya pisang
seribu.
Seiring perkembangan zaman, desa Gedangsewu menjadi kawasan padat
penduduk dan ramai dengan bermacam latar belakang yang dimiliki. Desa
Gedangsewu ini adalah desa yang cukup kompleks. Sering juga dikenal sebagai
kawasan kriminalitas. Di desa ini juga terdapat lokalisasi yang terletak di depan
pemukiman kampung pengemis. Namun, seiring meredupnya lokalisasi tersebut,
maka para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada di desa tersebut mulai
berkurang satu persatu, akan tetapi kawasan ini juga masih ramai pengunjung.
2.3 Kondisi Fisik Desa Gedangsewu
Desa Gedangsewu adalah desa yang terletak di Kecamatan Pare,
Kabupaten Kediri. Desa ini berjarak sekitar 3 km dari jalan raya utama Kecamatan
Pare dan berjarak sekitar 24 km dari ibu kota kabupaten. Desa Gedangsewu
memiliki luas wilayah 834.705 ha/m2. Tanah-tanah tersebut digunakan untuk
pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, pekarangan, taman, perkantoran,
dan prasarana umum lainnya.
Desa Gedangsewu memiliki jenis tanah sawah dan tanah kering yang
cocok ditanami dengan tanaman tegalan/ladang. Desa Gedangsewu memiliki
tanah yang cukup subur bekas letusan Gunung Kelud dan tidak pernah mengalami
kekeringan yang berkepanjangan. Produk agraria andalan desa adalah bawang
merah, biji mente, pepaya, mangga, pisang, semangka, salak, rambutan, melon,
dan melinjo. Masyarakat di desa Gedangsewu juga menanam tanaman apotik
hidup dan sejenisnya yang kemudian diolah menjadi jamu tradisional, seperti jahe,
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxviii
Gambar II.1 Balai Desa Gedangsewu
kunyit, lengkuas, mengkudu, temu lawak, mahkota dewa, dan daun dewa.
Sedangkan industri menengah sudah lama bermunculan, seperti makanan dan
pengembangan bibit-bibit pertanian. Hasil perkebunan yang berpotensi di desa
Gedangsewu adalah kelapa, kopi, dan yang paling tinggi adalah tebu. Pemasaran
yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan menjual langsung ke konsumen,
menjualnya ke pasar, menjual ke tengkulak dan pengecer.
Jumlah penduduk di desa
Gedangsewu secara keseluruhan
adalah 17.297 orang yang terdiri dari
8.725 orang laki-laki dan 8.572
orang perempuan. Jumlah penduduk
ini yang paling banyak adalah yang
berusia 7-18 tahun.
Sedangkan jumlah kepala
keluarga di Desa Gedangsewu adalah sebanyak 7.124 Kepala Keluarga pada tabel
berikut :
Tabel II.1
Jumlah Kepala Keluarga
Keterangan Jumlah
Kepala Keluarga 7.124
Kepala Keluarga Miskin 1.021
Sumber: Profil Desa Gedangsewu 2010
Batas-batas wilayah Desa Gedangsewu
- Sebelah utara : Kelurahan Pare
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxix
- Sebelah selatan : Desa Sidorejo
- Sebelah timur : Desa Gadungan
- Sebelah barat : Desa Sumberbendo
2.4 Sarana Dan Prasarana Desa Gedangsewu
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Gedangsewu terdiri dari
pendidikan, kesehatan, keagamaan, pendidikan serta sarana dan prasarana yang
lainnya yang mendukung aktivitas sehari-hari masyarakat.
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Gedangsewu adalah SD Negeri,
SMP dan SMA swasta. Sedangkan untuk sarana peribadatan, terdapat musholla,
masjid,dan gereja yang dipergunakan masyarakat desa untuk beribadah sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
2.5 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian ( Dusun Duluran)
Penelitian ini dilakukan di salah satu dusun yang terdapat di Desa
Gedangsewu. Desa Gedangsewu terdiri dari 5 Dusun, yakni Dusun Gedangsewu
Wetan, Dusun Gedangsewu Kulon, Dusun Talun, Dusun Duluran, dan Dusun
Parerejo. Subjek penelitian adalah dengan mengambil tiga RT yakni RT03, RT04,
RT05 dan seluruhnya adalah RW14 yang dikenal sebagai kampung pengemis.
Keseluruhan masyarakat yang merupakan tuna karya, tuna susila dan tuna wisma
yang dulunya terjaring oleh Satpol PP Kabupaten Kediri, sehingga oleh
pemerintah daerah diberikan lahan untuk ditinggali.
Dahulu sebelum tahun 1970-an, setiap desa di Kabupaten Kediri memiliki
tuna wisma dan tuna susila, ini diakibatkan oleh karena pemerintah tidak
membangun sarana dan prasaran yang lebih layak di desa. Masyarakat yang hidup
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxx
di Dusun Duluran seolah adalah masyarakat pinggiran yang terpinggirkan oleh
segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, Masyarakat desa sering ditemui
dalam keadaan yang memprihatinkan, masih banyak keluarga yang tidak mampu
membeli kebutuhan pokoknya, anak-anak yang putus sekolah, serta ketimpangan
sosial lainnya.
Kandungan Sumber Daya Alam yang ada di lingkungan sekitar tidak
mampu menjadi penopang kehidupan masyarakat, hal ini mengingat bahwa bumi
yang gemah ripah dikuasai dalam cengkeraman pemerintah melalui patenisasi
yang tertuang dalam UU pasal 33 ayat 1 “kekayaan alam dikuasai sepenuhnya
oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat”.
Eksploitasi jelas telah dilakukan dengan segala upaya optimalisasi untuk
mendapatkan produk unggulan, yang nantinya produk tersebut akan dipasarkan.
Sementara itu, di sisi lain, para pelaku modal maupun pengelolanya acuh terhadap
kearifan sosial, sehingga yang terjadi adalah ketidakmerataan hak publik. Keadaan
inilah yang menjadikan Indonesia tidak segera bangkit dari keterpurukan.
Keterpurukan mewabah ke seluruh lapisan masyarakat baik secara nasional
maupun lokal. Fenomena itu juga turut meradang di wilayah Kediri, termasuk
pada Kabupaten Kediri.
Seluruh gelandangan dan pengemis yang telah dijaring oleh Satpol PP dan
Dinas Sosial pada tahun 1970-an setelah diberikan pengarahan dan kemudian
mereka dijadikan di satu dusun yang teletak di Dusun Duluran.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxi
Gambar II.2 Kondisi Perkampungan pengemis
Menurut penuturan Bapak Agung, seorang perangkat desa Gedangsewu,
dulunya dusun Buluran adalah dusun yang sengaja dibuatkan oleh pemerintah
untuk para tuna wisma dan tuna susila, pemilihan dusun tersebut karena lokasinya
yang terpinggirkan dari masyarakat yang lainnya dan terletak dekat dengan
makam umum dan makam Cina. Penduduk di dusun ini, secara turun-temurun
memilih untuk mengemis guna
menyambung hidup. Dan
kemudian hidup sebagai
pengemis sebagai sesuatu yang
diabadikan tanpa pernah
melakukan usaha yang
sungguh-sungguh untuk keluar
dari persoalan kemiskinan.
Mengemis akan menjadi suatu budaya yang menyimpang jika hal tersebut
dilakukan berulang kali, karena bekerja akan jauh lebih utama dibandingkan
dengan mengemis.
Seiring perkembangan zaman, Dusun Duluran yang awalnya terpinggirkan
dan terisolasi dengan masyarakat lainnya kemudian lama-lama tidak lagi merasa
terpinggirkan dan terisolasi, karena banyaknya orang yang membeli tanah di
sekitar lokasi barak Dinas Sosial Kabupaten Kediri.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxii
Gambar II.3
Kondisi Jalan Utama Menuju Dusun Duluran
Harga tanah di
Dusun Duluran relatif
sangat murah, sehingga
banyak orang yang
kemudian bermukim di
wilayah tersebut.
Kondisi
penampungan/barak Dinas
Sosial, Kabupaten Kediri ini
semakin lama semakin penuh sesak dengan datangnya orang-orang baru yang
berasal dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Hal lainnya yang menyebabkan
pemukiman ini semakin banyak penduduknya adalah ketika ada beberapa orang
pengemis yang sudah mampu membeli rumah sendiri di sekitar penampungan
gelandangan dan pengemis kemudian menjual hak milik bangunan ke pengemis-
pengemis lainnya.
Para gelandangan dan pengemis ini hanya menempati beberapa lokasi ,
yakni yang berada di tiga RT saja dengan jumlah kurang lebih 164 KK. Menurut
penuturan Pak Kasdi, kepala RT03 ini, sekitar tahun 1990-an mulai banyak
pengemis yang datang dan mendirikan bangunan rumah dari bambu dan tidak
mendapat izin dari pihak Dinas Sosial Kabupaten Kediri.
Sarana transportasi menjadi salah satu hal yang sangat penting sebagai alat
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxiii
Gambar II.4
Kondisi Jalan Menuju Perkampungan Pengemis
Gambar II.5 Makam Umum Dusun Duluran
untuk digunakan untuk mobilitas (berpergian) warga masyarakat setempat. Saat
perjalanan untuk menuju perkampungan pengemis, jalan raya yang beraspal
adalah kondisi jalan utama.
Sedangkan ketika mulai akan memasuki perkampungan pengemis, jalanan yang
dilewati masih berupa makadam,
belum beraspal dan masih banyak
bebatuan kecil. Dan ketika
memasuki perkampungan pengemis,
jalan utamanya tidak beraspal,akan
tetapi jalanannya sudah dipaving.
Sarana lain yang ada di Dusun Duluran adalah poskamling, kuburan
umum, dan juga makam Cina. Hanya ada satu poskamling di perkampungan ini,
yang terkesan sudah tidak digunakan untuk ronda malam setiap harinya. Karena
aktivitas masyarakat sendiri yang
terkadang bekerja hingga larut malam,
serta adanya penjagaan di depan lokalisasi
menjadi alasan mereka untuk tidak
melakukan ronda setiap malamnya. Tepat
di sisi kiri di dekat masjid, kita dapat
menemukan makam umum yang
digunakan oleh warga desa.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxiv
Gambar II.7 Masjid di Dusun Duluran
Gambar II.6 Makam Cina yang ada di Dusun Duluran
Makam tersebut sudah ada sebelum perkampungan pengemis terbentuk.
Banyak nisan-nisan yang tidak ada namanya. Dan hanya menggunakan patokan-
patokan dari batu bata saja.
Sedangkan di belakang
pemukiman terdapat makam Cina
yang masih digunakan oleh etnis Cina
hingga sekarang ini. Namun
kondisinya sangat tidak terawat.
Banyak ilalang yang tumbuh di sekitar
makam.
2.6 Agama Warga Dusun Duluran
Agama penduduk di Dusun
Duluran, Desa Gedangsewu,
Kabupaten Kediri sebagian besar
memeluk agama Islam, Kepercayaan
(yang dikenal sebagai Kejawen oleh
masyarakat), Katolik, Kristen, dan
Budha. Kegiatan keagaamaan
dilakukan secara rutin setiap dua minggu sekali adalah pengajian yang secara
pelaksanaannya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, menurut
penuturan pemuka agama di dusun tersebut, pengajian ini jarang dilakukan
kembali karena minat warga yang minim akan agama. Sedangkan pendirian TPA
dan TPQ di dusun tersebut tidak ada, karena kesadaran masyarakat sangat kurang
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxv
Gambar II.8 Gereja di Dusun Duluran
dalam penanaman beragama kepada anak-anak mereka. Menurut penuturan Bapak
Tobing selaku Kepala RT05, dahulu ada les baca tulis AlQur’an yang diawali
dengan Iqro’ untuk anak-anak, akan tetapi lambat laun anak-anak mulai merasa
bahwa jika mereka ikut dalam kegiatan tersebut, maka mereka tidak bisa lagi ikut
orang tua mereka mengemis, karena kegiatan ini dilakukan pada jam 15.00 WIB.
Akan tetapi, meskipun peminatnya sangat minim, para pengajar baca tulis
AlQura’an ini tetap melakukan kegiatan tersebut walaupun tidak sesering dahulu.
Kegiatan tersebut hanya dilakukan dua hingga tiga kali dalam seminggu. Seluruh
kegiatan keagamaan, seperti Sholat Juma’at diadakan di musholla di Dusun
Duluran.
Sarana peribadatan di Dusun
Duluran tidak hanya diperuntukan untuk
masyarakat yang beragama Islam saja.
Karena terdapat sebuah gereja di dekat
pemukiman kampung pengemis.
Kegiatan rutin peribadatan diadakan
pada Hari Sabtu dan Minggu, selain hari
tersebut tidak ada kegiatan di gereja. Hanya saja sering terlihat pesuruh yang
datang setiap pagi dan sore untuk membersihkan pelataran gereja.
2.7 Karakteristik Kepala Keluarga Kampung Pengemis
Karakteristik kepala keluarga pengemis dikelompokkan berdasarkan ciri-
ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud berupa sosial, demografis dan ekonomi. Ciri
demografis seperti umur, jumlah anggota rumah tangga, dan jenis kelamin. Ciri
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxvi
sosial seperti pendidikan dan status kawin. Ciri ekonomis seperti kegiatan yang
dilakukan, pendapatan, tempat pekerjaan. Karakteristik kepala keluarga pengemis
sangat penting diuraikan karena dapat memberikan gambaran dasar mengenai
keadaan pengemis serta keluarganya. Dalam kaitannya dengan mutu persediaan
sumber daya manusia, karakteristik yang relatif penting untuk diketahui lebih
lanjut adalah karakteristik kegiatan ekonomi. Karakteristik pendidikan erat
kaitannya dengan mutu pekerja dari segi kemampuan dan ketrampilan. Selain itu,
tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan menentukan jenis dan status
pekerjaan yang dimiliki, yang pada gilirannya akan menentukan tingkat upah dan
pendapatannya. Karakteristik ekonomi kepala keluarga pengemis akan dapat
menggambarkan tingkat pendapatan dan produktivitas pada berbagai kegiatan
ekonomi yang dilakukan.
2.8 Tingkat Pendidikan Warga Dusun Duluran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebagian besar penduduk di
lokasi penelitian, yakni RT03 RW14, RT04 RW14, RT05 RW14 tidak pernah
mengenyam pendidikan, sedangkan yang berpendidikan hingga SD hanya
beberapa saja dan sisanya adalah tidak tamat SD. Secara keseluruhan
memperlihatkan sangat rendahnya kualitas mutu modal manusia dilihat dari
tingkat pendidikan. Bagi mereka pendidikan bukanlah suatu hal yang penting.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxvii
Tabel II.2
Tingkat Pendidikan
Pendidikan Jumlah
Belum Sekolah 2.834 orang
Usia 7-45 Tidak Pernah Sekolah 1.781 orang
Tamat SD/Sederajat 390 orang
SMP/Sederajat 211 orang
SMA/Sederajat 127 orang
Diploma 4 orang
Sarjana 2 orang
Sumber: Profil Desa Gedangsewu 2010
Tabel di atas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Desa
Gedangsewu masih sangat rendah dengan jumlah penduduk yang belum sekolah
atau dapat dikatakan buta huruf adalah 2.834 orang, tidak pernah sekolah
sebanyak 1781, tamat SD atau sederajat sebanyak 390, tamat SMP atau sederajat
sebanyak 211, tamat SMA atau sederajat sebanyak 127, diploma sebanyak 4, dan
jumlah penduduk yang menempuh tingkat sarjana adalah sebanyak 2. Tabel di
atas menunjukkan bahwa suatu fenomena yang menarik yaitu semakin tinggi
tingkat pendidikan, maka semakin sedikit pula orang-orang yang dapat
menjangkaunya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya suatu pendidikan. Anak-anak setelah tamat SD, mereka diharuskan
untuk bekerja membantu perekonomian keluarga. Dari jumlah tingkat pendidikan
terendah, yaitu belum sekolah dan tidak sekolah, mayoritas adalah dari
masyarakat Dusun Duluran. Dari tingkat pendidikan tersebutlah kita dapat
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxviii
mengetahui bahwa masyarakat Dusun Duluran tidak mementingkan sekolah tinggi
bagi anak-anaknya, yang lebih dipentingkan oleh masyarakat Dusun Duluran
adalah bertahan hidup dan mendapatkan penghasilan.
2.9 Asal Mula Pengemis
Suatu hal fenomenal yang ada dalam hidup ini, memiliki akar yang
menjadi awal mula terbentuknya suatu hal yang tampak. Demikian dengan
pengemis, yang tidak terlahir semata-mata dengan sendirinya melainkan adanya
asal muasal dan pengemis sendiri memiliki akar sejarah yang unik. Menurut Djodi
Ismanto, ia menyatakan bahwa pada saat penguasa Kerajaan Surakarta
Hadiningrat dipimpin oleh seorang Raja bernama Paku Buwono X, menjelang
hari Jum’at khususnya pada hari Kamis sore beliau membagi-bagikan sedekah
untuk kaum papa yang tak berpunya. Pada hari Kamis tersebut Raja Paku Buwono
keluar dari Istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju
Masjid Agung, perjalanan dari gerbang Istana menuju Masjid Agung tersebut
ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor (alun-alun
utara), sambil berjalan kaki tentunya diiringi para pengawal sang raja. Rupanya di
sepanjang jalan sudah dielu-elukan oleh rakyatnya sambil berjejer rapi di kanan-
kiri jalan dan sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada
sang pemimpinnya. Pada saat itulah sang raja tidak menyia-nyiakan kesempatan
untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang tanpa
ada satupun yang terlewatkan dengan kebiasaan berbagi-bagi berkah tersebut
mungkin juga warisan para penguasa sebelumnya (sebelum Paku Buwono X).
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxix
Ternyata kebiasaan tersebut berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa
jawa adalah Kemis), maka lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah di
hari Kemis yang diistilahkan dengan sebutan “ngemis” (kata ganti untuk sebutan
pengguna atau pengharap berkah dihari Kemis) dan pelaku-pelakunyapun biasa
disebut Pengemis (Pengharap berkah pada hari Kemis).
Selain itu, asal mula pengemis juga tidak terlepas dari santri di dalam
pesantren. Sepanjang sejarahnya, terutama dalam masa penjajahan, pesantren
sebagai tempat belajar para santri adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang
terjangkau oleh semua orang karena sifatnya yang gratis. Santri tidak dikenakan
biaya untuk belajar di pesantren dan kyai tidak menerima gaji untuk mengajar dan
juga tidak mematok tarif kepada santri-santrinya. Santri yang mengejar ilmu di
dalam pondok pesantren hanya perlu mengurus keperluan dirinya sendiri, mulai
dari makanan, pakaian, peralatan belajar, bahkan terkadang tempat tinggal. Bagi
santri yang berasal dari keluarga yang cukup, seperti keluarga kyai, mereka tidak
akan mendapatkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam
pesantren. Berbeda halnya jika santri yang berasal dari keluarga yang tidak
mampu, bagi mereka yang dari keluarga biasa dan miskin, yang merupakan
mayoritas santri pada saat itu, tidak jarang harus bekerja untuk dapat
menyambung hidup. Ada yang kerja dengan para petani, menggarap sawahnya,
membantu pedagang berjualan, atau ikut “ngenger” di rumah kyai dan
keluarganya, membantu menyelesaikan tugas sehari-hari. Hal itu terus menerus
dilakukan pada Kamis Malam. Selain itu, ada pula yang menyambung hidup
dengan cara meminta sedekah dari masyarakat sekitar. Tampaknya mereka yang
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxx
meminta sedekah ini lebih suka melakukannya pada hari Kamis sore atau petang
karena itu berarti sudah hari Jum’at dan Jum’at adalah hari yang mulia dalam
Islam. Umat Islam disarankan melakukan lebih banyak amal baik di hari ini.
Dengan meminta sedekah pada Kamis, para santri berharap lebih banyak umat
Islam yang memberi. Aktivitas di hari Kemis inilah yang kemudian dikenal
dengan “ngemis”. Dalam perkembangannya, kata ini tampaknya mengalamai
perluasan makna, yakni untuk semua kegiatan minta-minta, oleh siapapun dan
kapanpun. Kemudian, kata ini juga diserap dalam bahasa Indonesia.
Perubahan zaman dan perbaikan ekonomi telah mengubah pola kehidupan santri.
Saat ini barangkali tidak ada lagi pesantren yang gratis. Tidak ada pula santri yang
“ngemis”, meminta-minta untuk sekedar menyambung hidup. Bahkan santri yang
ikut kerja dengan petani atau pedagang juga tidak ada. Yang masih tersisa adalah
santri yang “ngenger” di rumah kiyai atau keluarganya. Hal itu dilakukan tidak
karena alasan kemiskinan, seperti masa lalu, tapi lebih merupakan keinginan
santri untuk melayani kiyai dan keluarganya, dengan harapan mendapatkan
berkah dari hal itu. Di sisi lain, persepsi masyarakat terhadap aktivitas meminta-
minta juga berubah, menjadi negatif, karena adanya sebagian orang yang
menggantungkan hidupnya dari meminta-minta dan menjadikannya sebagai
profesi tetap. Tidak heran kalau kita mendengar kata “ngemis” dan “pengemis”
maka pikiran kita langsung tertuju pada gelandangan dan kaum papa yang banyak
kita jumpai di jalanan. Tidak terlintas dalam pikiran kita bahwa kata ini awalnya
dipakai untuk menunjukkan salah satu kebiasan sebagian santri pada zaman dulu.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxi
Kebenaran mengenai pengemis ternyata ditopang oleh kenyataan masa
lalu. Dibuktikan dari asal-usul pembentukan kata pengemis itu sendiri, seperti
dapat ditemui dalam buku Khasanah Bahasa dalam Kata per Kata karya Prof.
Gorris Keeraf, Di masa Nusantara, terutama di tanah Jawa masih dipimpin oleh
raja-raja, para penguasa memiliki kebiasaan membagi-bagikan sedekah kepada
yang tak berpunya. Kegiatan ini di Jawa menjadi semacam ritual tersendiri yang
dilaksanakan menjelang datangnya hari Jum’at. Maka setiap hari Kamis Sultan
keluar dari istananya berjalan kaki menuju Masjid Raya, diringi para pengawal,
dielu-elukan rakyat di kedua sisi jalan sambil tertunduk pasrah mengharap berkah
dari sang Raja. Raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa bersedekah
secara langsung kepada rakyatnya. Biasanya ia memberi uang tanpa ada ada satu
orangpun yang terlewat. Kebiasaan yang berlangsung setiap hari Kamis (dalam
bahasa jawanya Kemis), maka dari situ lahirlah sebutan orang yang
mengharapkan berkah Raja di hari Kemis dengan sebutan ngemis. Jadi kata
pengemis bukanlah kata yang mendapat sisipan em. Kata benda ini adalah unsur
serapan yang berdiri sendiri.
2.10 Fenomena Pengemis Di Indonesia
Mengemis sudah bukan lagi hal yang asing untuk kita. Sejauh mata kita
memandang, seolah tidak akan lepas dari pengemis. Setiap daerah memiliki
kebiasaan mengemis yang berbeda-beda. Begitu pula di Indonesia yang terdiri
dari kepulauan, tentunya kebiasaan mengemis antara satu kota dengan kota
lainnya akan berbeda. Peraturan yang mengatur tentang mengemis poun juga
berbeda di setiap daerah di Indonesia. Seperti di Jakarta dan Makassar yang
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxii
dengan tegas memberlakukan larangan mengemis di muka umum dan memberi
uang kepada pengemis. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, gelandangan,
pengemis dan anak jalanan yang berkeliaran di Malioboro seringkali dibina oleh
pihak Dinas Sosial dan aktivis, akan tetapi hal tersebut tidak pernah menuntaskan
keberadaan pengemis yang berlalu lalang di Malioboro.
Jakarta, adalah sebuah daerah yang multikompleks permasalahannya.
Dengan permasalahan yang ada di Jakarta, maka diambil sikap untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya. Urbanisasi yang berlebihan
terjadi di Jakarta menyebabkan munculnya para gelandangan, pengemis, dan juga
anak jalanan yang dapat kita lihat di berbagai media massa yang memberitakan
keadaan ibukota. Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
melarang beredarnya gelandangan dan pengemis di DKI Jakarta. Peraturan daerah
ini berisi kewajiban dan larangan yang dimaksudkan untuk meminimalisir jumlah
pendatang yang akan mengadu nasib di Jakarta. Dalam penerapan Peraturan
Daerah di Kota Jakarta, tidak terlepas dari pro dan kontra. Meski dalam
pemberlakuannya mengalami pro dan kontra, Peraturan Daerah tersebut tetap
diberlakukan.
Sedangkan di Kota Makassar, pihak Dinas Sosial Makassar dan
Pemerintah Makassar menindak tegas keberadaan pengemis dan pekerjaan
mengemis. Selain mengeluarkan Peraturan Daerah, pemerintah juga melakukan
sosialisasi tentang program keluarga harapan untuk masyarakat yang termasuk ke
dalam kategori miskin. Untuk mengurangi angka kemiskinan dan pekerjaan
mengemis, program tersebut sudah dilaksanakan sejak tahun 2007. Asri Repita
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxiii
(2011,9) mengungkapkan bahwa tujuan dari program Keluarga Harapan yaitu
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
terutama pada kelompok masyarakat miskin. Dengan adanya program Keluarga
Harapan, diharapkan mampu untuk mengentaskan kemiskinan yang ada di Kota
Makassar. Melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembinaan
Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen, Pemerintah Makassar
berharap mampu mengurangi jumlah anak-anak yang bekerja sebagai pengemis
dan pengamen di jalanan Kota Makassar.
Di Kota Samarinda, para pengemis baik tua maupun muda menjalankan
aktivitas mengemisnya di tempat-tempat yang ramai dengan pengunjung. Karena
di tempat-tempat tersebutlah, mereka akan memanfaatkan belas kasihan dari
orang lain untuk memberikan uang kepada mereka. Anak-anak yang menjadi
pengemis di Kota Samarinda, rata-rata tidak sekolah. Hal tersebut berarti bahwa
akan menyebabkan pendidikan di Kota Samarinda rendah. Kenyataannya jumlah
pengemis yang berada di Kota Samarinda semakin banyak (Sujiman, 2007:257).
Meskipun sudah dibangun rumah-rumah singgah untuk para gelandangan dan
pengemis, mereka enggan menempati dan ditambah pula dengan kondisi mental
orang tua yang buruk yang membiarkan anak-anaknya mengemis di jalanan
daripada menyuruh untuk sekolah. Di Kota Samarinda tidak ada Peraturan Daerah
yang mengatur keberadaan pengemis dan aturan untuk melarang masyarakat
memberi uang kepada para pengemis.
Di Kota Bandung, yang termasuk ke dalam kota besar di wilayah
Indonesia juga tak luput dari permasalahan gelandangan, pengemis, dan anak
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxiv
jalanan. Jumlah anak jalanan di Kota Bandung cukup besar yakni 4.821 orang,
belum termasuk anak terlantar (6.643), lansia terlantar (2.575), dan gelandangan
pengemis (4.126) (Dinas Sosial kota Bandung, 2010). Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak tersebut sangat
memprihatinkan. Gelandangan dan pengemis yang berada di Bandung, biasanya
berada di Jalan Laswi, Jalan Ahmad Yani, Jalan Jakarta, dan jalan utama lainnya.
Anak jalanan dan para gepeng sangat memprihatinkan kondisinya, dari pakaian
hingga kesehatan. Tak jarang anak-anak jalanan di Kota Bandung pun sering
mengalami kekurangan gizi.
Di Gresik, keberadaan pengemis dapat dengan mudah ditemui di Komplek
Makam Sunan Giri. Pengemis-pengemis yang berada di sekitar makam wali
tersebut mengemis sejak pukul 08.00 hingga matahari terbenam. Aparat desa dan
pihak yang terkait seolah menutupi keberadaan para pengemis yang berasal dari
desa tersebut, yakni Desa Giri. Para pengemis yang berada di makam Sunan Giri
sudah menentukan lokasi-lokasinya untuk mendapatkan penghasilan. Bagi
mereka, tempat yang strategis akan mempengaruhi pendapatan, sehingga para
pengemis pun akan rela datang sepagi mungkin untuk mendapatkan lokasi yang
bagus. Para pengemis mengaku bahwa mengemis sudah menjadi kebudayaan dan
pekerjaan sehari-hari. Keadaan desa yang tidak berpotensi untuk dikembangkan
lebih maju mengakibatkan perhatian Pemerintah tidak berpusat ke wilayahnya,
sehingga masyarakat pun memilih untuk mengemis.3
2.11 Fenomena Pengemis Di Kediri 3 Hasil wawancara dengan Nn (nama samaran) yang sudah lansia dan lama mengemis di Makam Sunan Giri pada Minggu, 14 Oktober 2012.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxv
Gambar II.9 Razia Pengemis Di Sekitar Pasar Pahing, Kediri
Pengemis yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari selalu
muncul dalam penglihatan mata kita. Begitu juga dengan Kediri. Jumlah
pengemis yang semakin meningkat keberadaannya di Kediri, mengakibatkan
Satpol PP dan Dinas Sosial terkait merasa sangat kewalahan untuk menjaring para
pengemis. Pembinaan-pembinaan yang dilakukan seringkali tidak dihiraukan oleh
para pengemis yang terjaring ke dalam razia di Kediri. Mengemis bukanlah suatu
pilihan bagi banyak orang, melainkan sebuah keterpaksaan. Banyak orang dari
daerah datang ke kota besar akhirnya mengemis karena tidak mampu bersaing.
Kediri disinyalir
sebagai tempat untuk
menurunkan para pengemis
dari berbagai kota yang ada
di Jawa Timur. Seperti
Ngajuk, Madiun, Pacitan,
dan kota-kota lainnya.
Secara kasat mata, kita dapat
menemui pengemis-pengemis di jalanan perkotaan, pusat perbelanjaan seperti
Kediri Mall, perempatan jalan utama, bahkan juga di masjid-masjid. Banyaknya
pengemis tua maupun anak-anak mengakibatkan angka kriminalitas di Kediri
meningkat. Satuan Reskrim Polres Kediri Kota berhasil mengungkap praktek
dugaanpenculikan anak untuk dijadikan pengemis. Komplotan itu disinyalir sudah
menculik belasan anak dan saat ini tengah dalam pengejaran. Kasat Reskrim
Polres Kediri Kota AKP Didit Prihantoro membenarkan adanya kejahatan tersebut
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxvi
di wilayahnya. Pihak kepolisian saat ini tengah dalam pendalaman hasil
penyelidikan, untuk selanjutnya melakukan penangkapan.
"Kami sudah laporkan dugaan ini sampai ke Mabes (Polri) dan minggu-minggu ini akan melakukan penangkapan," kata Didit saat ditemui detiksurabaya.com di Mapolres, Senin (1/11/2010).
Terungkapnya dugaan penculikan ini bermula pada dari kecurigaan
maraknya pengemis anak, yang sebagian di antaranya bahkan tidak menandakan
sebagai anak dari keluarga miskin. Dari serangkaian penyelidikan, sebuah
komplotan yang mengorganisir aktivitas penculikan dan menjadikan korbannya
sebagai pengemis berhasil diungkap.
“Mobil yang digunakan jenis station dan nomor kendaraannya sudah kami identifikasi. Biasanya mereka masuk Kota Kediri pada pukul 05.00 WIB dan pulang sore harinya," tutur Didit.
Dari aktifitas mengemis, anak-anak yang menjadi korban penculikan dan
dijadikan sebagai pengemis, hanya diperas dengan dipaksa menyerahkan hasil
dari uang kerjanya kepada komplotan penculiknya. Terkait asal muasal anak-anak
yang dijadikan pengemis, diakui diduga diculik dari sejumlah daerah di Jawa
Timur. Atas dasar tersebut Mapolres Kediri Kota telah melakukan koordinasi
dengan jajaran kepolisian lain di Jawa Timur, termasuk dengan Mapolda Jatim.
Pengemis menjadi sebuah profesi yang menghasilkan banyak keuntungan. Ada
yang sehari bisa mendapatkan uang kotor lebih dari Rp. 50.000,- bahkan
Rp.100.000,-. Memasuki bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri keberadaan
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxvii
Gambar II.10 Razia Pengemis Di Alun-Alun Kediri
pengemis di Kediri juga meningkat dari hari-hari sebelumnya. Seperti yang
dikatakan oleh Djati Utomo, Kasi Trantib Satpol PP Kota Kediri (dalam Didik
Mashudi,2012,http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2012/08/01/kota-
kediri-tempat-pembuangan-pengemis)
“Memang benar, gepeng yang banyak berkeliaran di Kota Kediri kiriman dari Tulungagung dan Nganjuk. Kami akan terus intensif melakukan razia siang dan sore hari,” tandas Djati Utomo, Kasi Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) Satpol PP Kota Kediri usai melakukan razia, Rabu (1/8/2012).
Dari pernyataannya tersebut, dapat diketahui bahwa adanya kesengajaan
untuk mengemis secara bersama-sama di Kediri. Razia-razia yang dilakukan tidak
membuat jera para pengemis. Di Kediri, setelah para pengemis dirazia kemudian
dikumpulkan dalam barak Dinas
Sosial yang ada di Semampir dan
kemudian para pengemis diberikan
siraman-siraman kerohanian, serta
pembinaan mental para pengemis
agar tidak kembali mengemis di
jalanan dan mencari pekerjaan
lainnya. Para pengemis yang sudah
terjaring tidak dilepaskan begitu saja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
para pengemis, gelandangan dan anak jalanan tersebut kabur meninggalkan barak.
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA
lxxxviii
Gambar II.11 Razia Gabungan Satpol PP dan Dinas
Sosial Kediri di Rumah Makan (Depan Ramayana Mall)
Kemajuan Kediri yang semakin pesat menjadi pendorong para pengemis
untuk datang dan mengemis di Kediri. Sementara itu, pemerintah Kediri tidak
menindaklanjuti keberadaan para pengemis dan gelandangan yang jumlahnya
semakin meningkat, selain hanya melakukan razia-razia. Peraturan Daerah yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kediri dalam rangka melarang pekerjaan mengemis
dan pemberi uang kepada pengemis pun higga sekarang ini tidak ada dan juga
tidak ada aturan-aturan (himbauan, iklan, pamflet, ataupun iklan untuk tidak
memberi kepada pengemis) yang diberlakukan oleh Pemerintah Kediri sehingga
mengakibatkan para pengemis sering berdatangan ke Kediri.
Gambar di samping
adalah razia yang digelar oleh
Satpol PP dan jajaran Dinas
Sosial Kediri. banyak
gelandangan, pengemis dan juga
anak jalanan yang terjaring
meronta-ronta dan menangis
tidak ingin ditangkap oleh pihak
terkait yang sedang menertibkan
para gelandangan, pengemis (gepeng), dan anak jalanan (anjal) yang
keberadaannya semakin meresahkan warga masyarakat Kediri. Para gepeng dan
anjal tersebut sering mengganggu kenyamanan masyarakat yang sedang
menggunakan fasilitas umum. Razia-razia gabungan seringkali diadakan di Kediri
dengan menyusuri jalanan utama di Kediri, akan tetapi hal tersebut tidak mampu
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi SOSIALISASI MENGEMIS ... DHITA AYU PRADNYAPASA