balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020....

47
balitklimat.litbang.pertanian.go.id

Upload: others

Post on 28-Sep-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 2: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 3: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

2

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Haryono, Suciantini, Adang Ham-

dani, Woro estiningtyas, Istiqlal Amien, Setyono Hari Adi, dan Fadhlullah Ramad-hani

Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,

Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia

Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909

PRAKATA

Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumberda-ya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun pen-yajiannya. Pada edisi ini terdapat enam makalah, yang disajikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris.

Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.

Redaksi mengucapkan terimakasih kepa-da semua pihak yang telahmembantumemperlan-car proses penerbitan. Semoga media ini berman-faat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR

Erni Susanti, Suciantini, Fadhlullah Ramadhani, dan Anindito. 2014. Informasi Wilayah Rawan Banjir Dan Kekeringan Lahan Sawah Pada Katam Terpadu Musim Hujan 2014/2015, hal 3-9. Bule-

tin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Vol. 11. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumber-daya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

Informasi Wilayah Rawan Banjir Dan Kekeringan Lahan Sawah Pada Katam Terpadu Musim Hujan 2014/2015. ERNI SUSANTI, SUCIANTINI, FADHLULLAH RAMADHANI, dan ANINDITO ………….

Delineasi Daerah Aliran Sungai di Pulau Jawa Berbasis Sistem Informasi Geografis dengan Menggunakan SRTM. MUCHAMAD WAHYU TRINUGROHO dan SETYONO HARI ADI .……………...

Peningkatan Indeks Pertanaman Melalui Dam Parit: Studi Kasus Sungai Mokupa, Kecamtan Lambandia, Kabupaten Ko-laka, Sulawesi Tenggara. NANI HERY-ANI, NURWINDAH PUJILESTARI, dan BUDI KARTIWA ……………………….…

C r o p M o d e l i n g u s i n g A P S I M Comparison of Several Soybean Varieties and Planting Date in Two Location as affected by ENSO (El Nino Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) in West Java. YAYAN APRIYANA..............................................

Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim. WORO ESTININGTYAS……….....

Penelitian Key Area Keragaman Iklim Indonesia : Konsep dan Ide Awal. WORO ESTININGTYAS, ARIS PRA-M U D I A , d a n Y A Y A N A P R I -YANA...…………..………………..……....

3

10

14

24

33

41

@ 2014, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 11, 2014

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 4: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

3

INFORMASI WILAYAH RAWAN BANJIR DAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH PADA KATAM TERPADU

MUSIM HUJAN 2014/2015

Erni Susanti, Suciantini, Fadhlullah Ramadhani, dan Anindito

DASAR PEMIKIRAN

Indonesia termasuk wilayah beriklim tropis karena Indonesia terletak antara 0° – 23,5° LU/LS, dengan ciri utama suhu udara rata-rata berkisar antara 20-30 oC. Suhu udara hampir merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca yang paling bervariasi menurut ruang dan waktu. Keadaan curah hujan semakin tidak menentu dengan terjadinya perubahan iklim. Pola curah hujan di Indonesia bergeser dan kejadian iklim ekstrim semakin meningkat. Untuk itu prediksi awal musim hujan/kemarau atau sifat curah hujan menjadi penting untuk perencanaan pertanian.

Awal musim hujan (MH) ditandai apabila suatu wilayah mempunyai curah hujan lebih besar dari 50 mm/dasarian selama tiga dasarian berturut-turut. Musim hujan hanya dikenal di wilayah dengan iklim tropis, umumnya terjadi pada periode bulan Oktober sampai Maret. Musim hujan di Indonesia disebabkan oleh hembusan Angin Muson Barat yang bertiup dari Benua Asia yang bertekanan maksimum ke Benua Australia yang bertekanan minimum. Angin Muson Barat ini banyak membawa uap air, sehingga di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim hujan.

Pola yang sudah teratur ini akan mengalami gangguan ketika terjadi anomaly dan perubahan iklim. Perubahan pola dan besaran curah hujan akan mengganggu jadwal tanam. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan akan mengurangi luas tanam dan luas panen yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi pangan di lahan sawah yang sangat tergantung dengan ketersediaan air. Oleh karena itu diperlukan upaya meminimalkan risiko tersebut dengan memanfaatkan informasi melalui Kalender Tanam (KATAM) Terpadu.

Katam Terpadu memanfaatkan prediksi sifat hujan BMKG dalam menganalisis potensi waktu tanam dan wilayah rawan bencana (banjir, kekeringan dan serangan organisma pengganggu tumbuhan/OPT). Menurut data dari Katam Terpadu, potensi luas tanam padi terbesar adalah pada musim hujan. Pada MH 2014/2015 potensi tanam padi sawah adalah 13.786.349 ha (Katam terpadu versi 2.0). Sedangkan informasi potensi wilayah rawan banjir dan kekeringan pada MH 2014/2015 akan disampaikan pada tulisan ini. Informasi wilayah rawan banjir dan kekeringan diharapkan dapat menjadi informasi awal dalam perencanaan usaha tani untuk melakukan adaptasi, sehingga dapat menekan kehilangan hasil akibat banjir dan kekeringan.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 5: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

4

PENDEKATAN Data pengamatan kejadian banjir dan kekeringan diperoleh dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, yang merupakan data existing kabupaten di seluruh Indonesia dengan periode 1989-2012. Untuk penentuan wilayah rawan banjir dan kekeringan data tersebut diolah dan dipadukan dengan prediksi sifat hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

BMKG setiap tahun melaunching dua kali prakiraan musim, yang di dalamnya dijelaskan mengenai awal musim hujan, sifat hujan, dan pergeseran musim untuk MH dan musim kemarau (MK). Informasi sifat hujan digunakan dalam penentuan tingkat rawan banjir dan kekeringan di suatu wilayah. Informasi sifat hujan digabungkan dengan data banjir/kekeringan dan data anomali suhu muka laut untuk mendapatkan gambaran kondisi banjir pada kondisi sifat hujan normal, di atas normal atau di bawah normal. Diagram alir tahapan klasifikasi bencana banjir dan kekeringan disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penyusunan tingkat rawan banjir/kekeringan pada KATAM TERPADU

Setelah diketahui periode data yang masuk tahun normal, di atas normal, atau di bawah normal kemudian dihitung indeks bencana (banjir), untuk kemudian dikelaskan tingkat rawan banjirnya. Untuk tanaman padi sawah kriteria indeks bencana banjir yang digunakan adalah sebagai berikut : (1). Aman : luas sawah yang rusak/indeks bencana (x) = 0 ha, (2). Agak rawan : 0 < x < 20 ha, (3). Moderate rawan : 20 < x <490 ha, (4).

Rawan : 490< x <1259 ha dan (4). Sangat Rawan: >1259 ha. Sedangkan kriteria untuk kekeringan adalah sebagai berikut : (1). Aman : luas sawah yang rusak/indeks bencana (x) = 0 ha, (2). Agak rawan :0 <x < 16 ha, (3). Moderate rawan :16< x <525 ha, (4). Rawan :525< x <1455 ha dan (5). Sangat Rawan: >1455 ha.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 6: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

5

Sifat hujan selama MH 2014/2015 di sebagian besar daerah yaitu 230 ZOM (67.4%) diprakirakan Normal (warna kuning) dan 82 ZOM (24%) Bawah Normal (warna coklat) dan Atas Normal yaitu se-banyak 29 ZOM (8.5%) warna hijau. Wilayah dengan curah hujan atas normal diprakirakan akan terjadi di sebagian Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, Kali-mantan Timur dan bagian utara kepala burung Papua. Wilayah di bawah normal terjadi di sebagian Lampung, Jawa Barat bagian Selatan, bagian Tengah Jawa Ten-gah dan bagian Timur Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Halmahera Utara.

WILAYAH RAWAN BANJIR Bulan Oktober sampai Maret sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim penghujan. Dari data historis (Gambar 3) menunjukkan perkembangan luas terkena banjir pada lahan sawah di Indonesia dari tahun 1989-2013. Lahan sawah yang terkena banjir pada periode setelah tahun 2000 meningkat dibandingkan periode sebelum tahun 2000. Peningkatan luas terkena banjir setelah tahun 2000 ini seir-ing dengan makin seringnya kejadian hu-jan di atas normal (La-Nina) setelah tahun 2000 (Gambar 4).

SIFAT HUJAN MH 2014/2015 (BMKG) Hasil prakiraan awal MK oleh BMKG diterbitkan sekitar bulan Februari dan prakiraan awal MH diterbitkan bulan Agustus. Prakiraan MH 2014/2015 yang diterbitkan pada Agustus 2014, berisi informasi antara lain :1). Informasi awal MH 2014/2015, 2). Informasi maju dan mundur awal MH dibandingkan dengan rata-rata kejadian selama 30 tahun, dan 3). Infor-masi sifat hujan dibandingkan nilai rata-ratanya (normal (N), di atas normal (AN), atau di bawah normal (BN)) (Gambar 2).

Gambar 2. Informasi sifat hujan musim hujan 2014/2015 (Sumber : BMKG 2014)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 7: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

6

Dibandingkan MK, periode MH merupakan puncak tanam tanaman padi, karena pada MH ini tersedia air yang cu-kup untuk pertumbuhan tanaman padi, namun disisi lain yang menjadi dilema pertanaman padi pada MH adalah sering terkena banjir. Sebagai contoh pada MH 2013/2014 banyak lahan sawah yang terkena banjir diantaranya adalah : 1). Pada Desember 2013, hujan deras yang melanda sejumlah daerah di Jawa Timur menyebabkan sekitar 3.000 ha – 4.900 ha lahan sawah terendam banjir (Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Jawa Timur Achmad Nurfalakhi di Surabaya, Minggu (22/12). (http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/22/6/203010/Banjir-di-Jatim-

Rendam-4.900-Hektare-Sawah); dan 2). Hingga sepekan banjir merendam hampir semua daerah di Kabupaten Indramayu, Jumat (24/1/2014), sedikitnya 60.000 hek-tar areal pertanian masih terendam. Kondisi itu membuat padi membusuk se-hingga harus dilakukan penanaman ulang. ( h t t p : / / w w w . p i k i r a n - r a k y a t . c o m /node/267344 diunduh 23 September 2014). Untuk itu dari data historis diharap-kan dapat memberikan gambaran kejadian banjir pada MH. Salah satu informasi pada Kalender tanam terpadu versi 2.0 adalah informasi wilayah rawan banjir MH 2014/2015 (Gambar 5), yang dianalisis dengan menggunakan informasi prediksi sifat hujan yang diterbitkan BMKG.

Gambar 3. Rata-rata luas terkena dan puso banjir pada lahan sawah di Indonesia pada MH

Gambar 4. Anomali SST di Nino 3-4

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 8: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

7

Wilayah rawan banjir MH 2014/2015 terdapat di Propinsi Aceh, Sumut, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumsel dan Lampung untuk Sumatera. Untuk Pulau Jawa lahan sawah yang rawan dan sangat rawan banjir terdapat di sebagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sedikit di Nusa Tenggara. Di P. Sulawesi terdapat di sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian kecil Sulawesi Utara, sedangkan di P. Kalimantan terdapat di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan.

WILAYAH RAWAN KEKERINGAN Walaupun Bulan Oktober sampai Maret sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim penghujan, dari data historis Gambar 6 menunjukkan bahwa perkembangan luas terkena kekeringan pada lahan sawah di Indonesia dari tahun 1989-2013 lebih tinggi dibandingkan data banjirnya. Lahan sawah yang terkena

kekeringan tinggi pada tahun 2002 (normal), 2004 (normal), 2006 (atas normal) dan 2009 (atas normal). Berdasarkan analisis citra satelit Modis yang dilakukan Dini Danuarti (2012) diketahui bahwa pada tahun 2006 kekeringan tertinggi pada bulan September, jadi kekeringan tinggi pada musim hujan 2006 disebabkan karena lanjutan kekeringan di bulan September. Sebagaimana diketahui bahwa sifat ben-cana banjir dan kekeringan sangat ber-beda. Bencana banjir terjadi pada kondisi curah hujan tinggi/sangat tinggi dan ber-langsung dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kemarau terjadi secara perla-han-lahan dalam jangka waktu cukup lama sehingga seringkali tidak disadari ge-jalanya, begitu terkena kekeringan pada umumnya sudah pada kondisi cukup parah.

Gambar 5. Peta rawan banjir pada lahan sawah pada MH 2014/2015

Gambar 6. Rata-rata luas terkena dan puso kekeringan lahan sawah di Indonesia pada MH

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 9: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

8

Gambar 7. Menunjukan propinsi yang lahan sawahnya terkena kekeringan pada musim hujan (periode Oktober – November). Berikut adalah provinsi yang harus diwaspadai sawahnya terkena kekeringan pada musim hujan, yaitu Provinsi Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta.

Gambar 7. Rata-rata luas terkena kekeringan lahan sawah per propinsi di Indonesia pada MH

Gambar 8 adalah sebaran lahan sawah yang rawan kekeringan pada MH 2014/2015 dari informasi Katam Terpadu MH 2014/2015.

Gambar 8. Peta rawan kekeringan lahan sawah pada MH 2014/2015

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 10: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

9

INFORMASI BENCANA SEBAGAI STRATEGI PERINGATAN DINI

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilalui oleh garis katulistiwa serta terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samud-era Pasific). Kondisi tersebut menyebabkan negara kepulauan Indonesia memiliki variabili-tas iklim yang sangat tinggi baik berdasarkan ruang dan waktu. Variabilitas yang tinggi tersebut sering mengakibatkan bencana diantaranya adalah banjir dan kekeringan yang dapat menimbulkan kerugian material dan non-material, serta dapat mengancam produksi tanaman pangan yang merupakan sumber pangan utama sebagian besar penduduk Indo-nesia.

DAFTAR PUSTAKA

Danuarti D. 2012. Pola kekeringan lahan basah (lahan sawah) di Provinsi Jawa Barat. Program Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Magister Ilmu Geografi. Universitas Indonesia.

Sutarja, I.N., Norken, I.N, Dibia, I.N., Prama, I.K.. 2013. Kajian Akademis Master Plan Risiko Bencana Kekeringan. Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013.

Website : Katam.info. (http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/22/6/203010/Banjir-di-Jatim-Rendam-4.900-Hektare-Sawah); (http://www.pikiran-rakyat.com/node/267344 diunduh 23 September 2014).

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 11: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

10

DELINEASI DAERAH ALIRAN SUNGAI DI PULAU JAWA

BERBASIS SYSTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DENGAN MENGGUNAKAN SRTM

Muchamad Wahyu Trinugoho dan Setyono Hari Adi

PENDAHULUAN

Pulau Jawa dengan topografi yang hetero-gen dilalui beberapa sungai besar beserta anak sungai yang mensuplai air dalam suatu sistem daerah aliran sungai (DAS). DAS merupakan batas alami yang diperlu-kan dalam pengelolaan sumber daya alam yang meliputi sumber daya air, iklim, mau-pun tanah, Terutama penggunaan data morfometri.

DAS adalah suatu wilayah da-ratan yang merupakan satu kesatuan den-gan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan secara alami mengalir ke danau atau laut, dimana batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (undang-undang-nomor-7-tahun-2004). Batas DAS dibatasi oleh bentukan to-pografi yang berupa punggung dari suatu perbukitan atau gunung.

Data elevasi diperlukan dalam proses analisis pemodelan DAS Ada be-berapa metode dalam pemodelan DAS dengan berbagai sumber data elevasi, diantaranya dari peta topografi, survey terestris, maupun dari penginderaan jauh. Untuk memperoleh data elevasi dalam skala regional dan mempunyai ketelitian yang tinggi diperlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Saat ini pendeka-tan yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan data dari penginderaan jauh dalam memperoleh data elevasi tersebut. Shuttle Radar Topography Mis-

sion (SRTM) merupakan representasi data elevasi dari teknologi radar yang dapat diunduh secara gratis dengan ketelitian horizontal ± 90 m, dengan akurasi vertikal kesalahan < 16 m.

PRINSIP PEROLEHAN DATA SRTM

Dengan pengukuran beda fase gelombang dari 2 sensor sehingga diperoleh rasio ketinggian untuk pengukuran topografi. Keakuratan yang didapat dari pengukuran jarak basis, orientasi, dan lokasi wahana terbang yang digunakan yang mengacu dalam suatu sistem koordinat, Data ini merupakan data radar yang kita namakan SRTM. Salah satu aplikasi dari SRTM adalah derivasi dalam bentuk Digital Ele-vation Model (DEM), dimana pada saat ini paling banyak digunakan. DEM meru-pakan suatu model dari suatu permukaan yang diperoleh dari data elevasi dengan koordinat tertentu. Dari DEM dapat digunakan sebagai input untuk mende-lineasi batas DAS.

Penggunaan Sistem informasi geografis dalam berbagai bidang, teru-tama dalam kajian yang berhubungan dengan data spasial. Dalam pengolahan DEM, sistem informasi geografis mem-bantu dalam penyelesaian secara mudah dan efektif terutama dalam proses ek-straksi informasi biofisik DAS.kontribusi teknologi GIS telah memudahkan hydrolo-gist dalam penanganan data spasial dalam jumlah besar terutama mengurangi waktu perhitungan, penanganan yang lebih efisien dan dalam hal analisis serta penya-jian suatu model (Jain et al., 2004).

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 12: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

11

Dengan meningkatnya ketersediaan data spasial yang cukup rinci dan kemampuan GIS fleksibel, pemodelan DAS menjadi lebih representative untuk variasi spasial dan temporal seperti parameter tanah, penggunaan lahan dan curah hujan. (Noto dan Loggia, 2007).

METODOLOGI

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi skala 1 : 250.000, Data SRTM versi 4 yang diunduh dari laman website http://srtm.csi.cgiar.org/. Perangkat lunak yang dipakai adalah ARCGIS dan tool archydro. Analisis spasial yang diterapkan melalui tahapan yaitu: Konversi data SRTM ke data DEM kemudian rekondisi data DEM dengan teknik Fill Sink untuk menghilangkan ketidaksempurnaan (small imperfections) pada data DEM, akibat perbedaan elevasi yang sangat mencolok pada cakupan yang sempit. Ke-mudian dilakukan pendefinisian jalur aliran (stream definition ) dari suatu lereng, hasil dari proses ini dapat diperoleh arah aliran air, penentuan orde jalur aliran dengan metode strahler, Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan dan lebih mudah un-tuk diterapkan dibandingkan dengan metode yang lainnya. Tahap akhir adalah mendelinasi batas DAS.

KELUARAN

Keluaran dari proses analisis spasial adalah informasi morfometri DAS di Pulau Jawa meli-puti: (1) batas, luas dan panjang keliling DAS; (2) peta jaringan hidrologi; (3) kerapatan jaringan hidrologi untuk masing-masing DAS; (4) panjang sungai terpanjang; dan (5) orde sungai terbesar. Seperti yang disampaikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Informasi morfometri DAS

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas dengan jejak sungai terpanjang, sedangkan DAS Cisadane merupakan DAS dengan kera-patan jaringan hidrologi terbesar. Selain itu, DAS Ciliwung merupakan DAS terkecil tetapi memiliki kerapatan jaringan hidrologi yang besar. Hasil pendefinisian parameter fisik untuk 7 DAS terpilih disajikan dalam Gambar 1 sampai dengan 7.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 13: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

12

Gambar 1. Peta Das Brantas

Gambar 2. Peta Das Bengawan Solo

Gambar 3. Peta Das Serayu

Gambar 1. Peta Das Brantas Gambar 2. Peta Das Bengawan Solo Gambar 3. Peta Das Serayu

Gambar 6. Peta Das Cisadane Gambar 5. Peta Das Cimanuk Gambar 4. Peta Das Ciliwung

Gambar 7. Peta Das Citarum

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 14: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

13

KESIMPULAN

Penggunaan delineasi dengan memanfaatkan teknologi SIG dan data SRTM relevan dalam aplikasi tersebut. Perhitungan parameter fisik DAS mampu memperkaya informasi yang tersimpan dalam Sistem Informasi Hidrologi Nasional, sehingga akan membantu pengguna dalam mencari data-data yang diperlukan dalam penelitian bidang pengelolaan sumberdaya air.

DAFTAR PUSTAKA

Edsel B. Daniel, Janey V. Camp, Eugene J. LeBoeuf, Jessica R. Penrod,Mark D. Abkowitz, and James P. Dobbin Watershed Modeling Using GIS Technology: A Critical Re-view

Fall .2010. Practical use of SRTM digital elevation dataset in the urban-watershed modeling,

Journal of Spatial HydrologyVol.10, No.2, http://srtm.csi.cgiar.org/ Farr, Tom G., Paul A. dkk, The Shuttle Radar Topography Mission Jain, M. K., Kothyari, U. C., and Ranga-Raju, K. 2004. A GIS based distributed rainfall-

runoff model. Journal of Hydrology, 299(1-2), 107-135. Noto, L. V., and Loggia, G. L. 2007. Derivation of a distributed unit hydrograph integrating

GIS and remote sensing. Journal of Hydrologic Engineering, 12(6), 639-650. Pujilestari, N dkk. 2009. Pengembangan Jaringan Stasiun Hidrologi Nasional Berbasis

Daerah Aliran Sungai, Laporan Akhir, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Susiolo, b dan Pratomo, DG. 2006. Kajian Karakteristik daerah aliran sungai berdsar-

kan analisis morfometri, Pertemuan ilmiah tahunan III-teknik geomatika ITS Undang-undang-nomor-7-tahun-2004-ttg-sumber-daya-air

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 15: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

14

PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN MELALUI DAM PARIT:

STUDI KASUS SUNGAI MOKUPA, KECAMATAN LAMBANDIA,

KABUPATEN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA

Nani Heryani, Nurwindah Pujilestari, dan Budi Kartiwa

ABSTRAK Panen hujan dan aliran permukaan merupakan proses menangkap dan mengumpulkan hujan dan aliran permukaan pada jalur aliran air/parit/sungai dan menyimpan atau menggunakan langsung untuk tanaman atau ditampung dalam reservoir/penampung untuk dipergunakan pada saat diperlukan atau musim kemarau. Selain untuk keperluan irigasi, air yang ditampung dapat dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan ternak. Penelitian dilakukan di daerah aliran sungai Mokupa, kecamatan Lambandia, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada tahun 2006, melalui kegiatan pengembangan dam parit untuk keperluan irigasi. Tujuan penelitian adalah mempelajaripotensi sumber air di dalam dam parit dalam upaya memperpanjang masa tanam sehingga dapat meningkatkan indeks pertanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dam parit dengan kapasitas 126m3 dengan aliran dasar 173 l/detik berpotensi untuk mengairi lahan alang-alang dan kakao masing-masing seluas 30 dan 66,5 ha. Selain dari curah hujan, sumber air irigasi suplementer adalah dari dam parit, sehingga terdapat peningkatan indeks pertanaman dari lahan alang-alang menjadi padi-padi-bera atau padi-padi-kedelai, meskipun pada MK 2 hanya 90% lahan dapat ditanami kedelai.

Kata kunci: dam parit, irigasi suplementer, indeks pertanaman

ABSTRACT

Rainfall and runoff harvesting is the process of interception and concentration of rainfall and runoff at water way/channel/river andits storage either in soil for direct use by plants or in reservoirs for laterapplication when needed or dry season. Besides for irrigation, rainwater harvesting is usefor various purposes such asdomestic and livestock. The research was conducted at Mokupa river, Lambandia sub district, Kolaka district, Southeast Sulawesi on 2006, to developtchannel reservoir. The aim of the research is to study the potency of water resources on channel reservoir to extend planting period and enhance cropping index.Result of the research showed that 126m3capacity of channel reservoir and base flow 173l/sec will be irrigate of cogongrass(Imperata cylindrica) and cocoa area potentially about 30 and 66.5 ha respectively. Besides rainfall, suplementer irrigation comes from channel reservoir, so could increased cropping index fromreed to paddy-paddy-fallowto paddy-paddy-soybean, although in second dry season just 90% of area was transplanted of soybean.

Keyword: channel reservoir, supplement irrigation, cropping index

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 16: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

15

PENDAHULUAN

Secara teoritis sebagian besar lahan kering di Indonesia mempunyai 3 bulan basah (curah hujan di atas 200 mm/bulan), namun ada juga yang memiliki 6 bulan basah. Namun potensi curah hujan yang ada belum dimanfaatkan, indikatornya antara lain: (1) sebagian besar curah hujan ditransfer menjadi aliran permukaan dan diuapkan melalui evapotranspirasi (2) indeks pertanaman yang ada berkisar 100 dengan produksi yang rendah dan risiko pertanian yang tinggi.

Sudah banyak teknologi yang dihasilkan untuk pengembangan lahan kering saat ini, namun sebagian besar pendekatannya pada budidaya dengan penekanan pada aspek tanah dan budidaya tanaman. Pengelolaan sumberdaya air lebih difokuskan untuk mengkonservasi lengas tanah (soil moisture) dan bukan mengkonservasi air dan menambah cadangan air tanah (water storage) (Irianto et al., 2001). Panen hujan dan aliran permukaan selain dapat meningkatkan keberlanjutan sistem usaha tani lahan kering juga dapat menekan laju erosi, sedimentasi, dan bahkan risiko banjir apabila aliran permukaan yang dipanen cukup signifikan (Irianto,G., 2002a). Lebih jauh, hasil panen hujan dan aliran permukaan dalam jumlah yang banyak dapat dimanfaatkan dalam antisipasi anomali iklim El-nino atau untuk memperpanjang masa tanam di akhir musim hujan (Irianto, G., 2002b).

Sistem panen hujan dirancang untuk irigasi tanaman, air yang dipanen dapat ditampung dalam reservoir dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan lain seperti kebutuhan rumah tangga dan konsumsi ternak. Ada 2 jenis teknik panen hujan yaitu sistem panen hujan skala DAS mikro dan DAS besar. Dalam skala mikro teknik yang dilakukan berupa teknik

konservasi tanah dan air in situ seperti penggunaan mulsa, pembuatan guludan, pengolahan tanah dalam (deepploughing), dan pembuatan teras (Lazaro et al,. 1999; Oweiss et al.,1999; Rwehumbizaet al., 1999). Untuk skala makro teknik panen hujan berupaya menampung aliran permukaan dalam skala luas (DAS) dan menyalurkannya ke areal tanam dalam waktu relatif lama, bahkan dapat menampung aliran permukaan dari DAS lain yang berdekatan/transfer air antar DAS (Gowing et al., 1999; Mzirai et al., 2010). Pemanfaatan air dari dam parit sebagai salah satu bentuk panen hujan telah meningkatkan indeks pertanaman di Gunungkidul (Heryani et al., 2002; Pujilestari et al., 2002), DAS Kaligarang (Karama et al., 2003), DAS Ciliwung Hulu (Sutrisno et al., 2003) dan desa Limampoccoe, kecamatan Cenranae, kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Heryani et al., 2012). Tulisan ini menyajikan tentang kemampuan dam parit sebagai sumber irigasi suplementer dalam memperpanjang masa tanam sehingga dapat meningkatkan indeks pertanaman.

BAHAN dan METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2006 sampai dengan Desember 2006 di desa Mokupa, kecamatan Lambandia, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim kering.

Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini yaitu: data iklim harian (curah hujan, suhu udara maksimum, suhu udara minimum, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin), data tanah: sifat fisik (pF 2,54; pF 4,2) dan kedalaman/solum tanah, data tanaman:

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 17: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

16

kedalaman/solum tanah, data tanaman: umur tanaman, umur tanaman pada setiap fase pertumbuhannya, koefisien tanaman (kc) dan koefisien stress (ky) pada setiap fase pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum tanaman, kedalaman dan umur perakaran maksimum. Sedangkan peralatan yang dipergunakan yaitu: GPSGeodetik, theodolit, staff gauge, current meter, meteran, seperangkat komputer dan alat tulis, dan software neraca air tanaman (CWB_Eto).

Metodologi Karakterisasi biofisik wilayah Kegiatan penelitian diawali dengan survey wilayah untuk mengetahui kondisi biofisik wilayah. Data pendukung untuk menunjang pelaksanan penelitian seperti informasi pola dan masa tanam, produktivitas tanaman, dan data iklim dikumpulkan dari beberapa instansi terkait seperti BPTP, Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten, BMG,Dinas Pertanian Propinsi/Kabupaten, Dinas Pengairan, dll.

Penentuan Potensi Masa Tanam Dalam menetapkan potensi masa tanam dan tingkat defisit air dengan menggunakan software Crop Water Balance (CWB_Eto) (Balitklimat, 2002) telah memperperhitungkan beberapa unsur yaitu: unsur iklim, tanah, dan tanaman. Unsur iklim yang diperhitungkan yaitu curah hujan dan evapotranspirasi, sedangkan unsurtanah mencakup jenis tanah serta kandungan air pada kondisi kapasitas lapang dan titik layu permanen. Unsur tanaman yaitu: umur seluruh siklus hidup tanaman, umur tanaman pada setiap fase pertumbuhannya, koefisien tanaman (kc) dan koefisien stress (ky) pada setiap fase pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum tanaman, serta kedalaman dan umur perakaran maksimum.

Potensi masa tanam ditetapkan berdasarkan indeks kecukupan air tanaman (nisbah ETR/ETM) dan potensi kehilangan hasil relatif tanaman. Apabila nisbah ETR/ETM lebih besar atau sama dengan 0,65 dengan kehilangan hasil relatif kurang dari 20%, maka periode tersebut ditetapkan sebagai potensi masa tanam di suatu wilayah. Sedangkan saat tanam terbaik ditetapkan berdasarkan nilai indeks kecukupan air mendekati atau sama dengan satu dengan potensi kehilangan hasilnya mendekati atau sama dengan 0.

Penentuan Kebutuhan Air Tanaman Kebutuhan air tanaman dicerminkan melalui kebutuhan air pada periode defisitnya yang ditandai dengan nisbah ETR/ETM < 0.65 (Baron et al., 1995). Apabila ETR/ETM kurang dari 0.65 berarti tanaman mengalami kekurangan air atau stress airdan akan berakibat terhadap rendahnya produksi (CIRAD dalam Irianto, 2000).Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM) dapat dihitung dengan menggunakandata ETP dan koefisien tanaman. ETP dihitung menggunakan metode Penman-Monteith (Allen et al., 2008), seperti disajikan pada persamaan 1.

ETM = Kc x ETP............................. (1) Kebutuhan air aktual tanaman

(ETR) dapat dihitung dengan menggunakanpersamaan Eagelman yang telah dimodifikasi oleh Forest dan Reyniers dalam CIRAD(1995) seperti disajikan pada persamaan 2.

dengan: A = 0,050 + 0,732/ETP B = 4.97 -0.661.ETP C = -8.57 + 1.56.ETP

D = 4.35 – 0.880.ETP

ETR/ETM = A + B (HR)1+ C (HR)2 + D (HR)3....(2)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 18: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

17

HR = Kelembaban relatif tanah, dihitung dengan menggunakan persamaan 3:

dengan HM=kadar lengas tanah hasil pengukuran di lapangan, HCC=lengas tanahpada kapasitas lapang (pF 2.54) dan HPF=kadar lengas tanah pada titik layupermanen (pF 4.2).

HASIL dan PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Kecamatan Lambandia merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara mencakup luasan sekitar 19376 ha, dengan bentuk wilayah datar sampai berbukit dan memiliki lereng antara 0 - 45%. Wilayah ini terletak pada ketinggian antara 300 – 1200 mdpl. Secara geografis kecamatan ini terletak antara 9537000-9515000 Lintang Selatan dan antara 3710000-388500 Bujur Timur.

Penggunaan lahan didominasi oleh kebun kakao dan hanya sebagian kecil berupa sawah, lahan kosong, dan perkampungan. Kebun kakao tersebar dari daerah datar sampai ke daerah berbukit diseluruh areal penelitian. Penggunaan lahan lainnya berupa padang alang-alang dan perkampungan/pekarangan. Lahan kosong pada saat penelitian ditumbuhi alang-alang, sedangkan perkampungan dan pekarangan pada umumnya ditanami kakao.

Berdasarkan hasil analisis data curah hujan stasiun iklim Mowewe periode 1995 — 2005, daerah penelitian memiliki bulan basah (CH>100 mm) selama 8 bu-lan, dan bulan kering (CH<60 mm) selama 2 bulan. Curah hujan tinggi terjadi pada bulan April, Mei dan Januari, sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan September dan Oktober (Gambar 1).

Analisis curah hujan rata-rata antar tahun menunjukkan variabilitas yang cukup signifikan ditunjukkan oleh nilai simpangan baku yang relatif tinggi mendekati dan bahkan untuk beberapa periode melampaui nilai curah hujan rata-rata, serta tingginya perbedaan antara curah hujan maksimum dengan curah hujan minimum. Curah hujan tinggi berturut-turut terjadi selama April, Mei dan Juni, sedangkan curah hujan sangat rendah terjadi selama Agustus, September dan Oktober. Pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober, selama 11 tahun pengamatan (1995-2005), hanya 1 tahun tidak terjadi hujan, hal ini menunjukan bahwa distribusi curah hujan cukup merata sepanjang tahun. (Tabel 1).

Tabel 1. Rata–rata bulanan curah hujan Stasiun Iklim Mowewe (1995 – 2005)

HR = (HM-HPF)/(HCC-HPF).............. (3)

Gambar 1. Histogram curah hujan rata-rata bulanan Stasiun Iklim Mowewe (1995-2005)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 19: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

18

Potensi Air Permukaan Untuk mengkuantifikasi potensi air permukaan telah dilakukan pengukuran profil sungai (Gambar 2a) dan pengukuran kecepatan aliran sungai menggunakan current meter pada sungai Mokupa (Gambar 2b). Debit sungai Mokupa pada musim kemarau tanggal 17-18 September 2006 sebesar 0,173 m3/detik.

Untuk memberikan gambaran secara umum ketersediaan air sepanjang tahun di DTA Mokupa dilakukan simulasi debit harian menggunakan model prediksi debit harian GR4J Model ini merupakan sebuah model sederhana yang hanya membutuhkan input hujan harian, evapotranspirasi potensial (ETP) harian, luas DAS, serta 4 parameter yang nilainya sudah ditetapkan dalam model. Sebagai input, digunakan data hujan dan ETP harian periode 2002 dari stasiun Iklim Mowewe. Hasil simulasi debit harian periode 2002 disajikan Gambar 3.

Gambar 2. Profil sungai dan potensi aliran permukaan sungai Mokupa, pada saat musim kemarau 2006

Gambar 3. Debit simulasi Sungai Mokupa periode 2002

Berdasarkan hasil simulasi debit periode 2002 menunjukkan debit rata-rata harian 0,54 m3/s, debit maksimum 2,70 m3/s, debit minimum 0,20 m3/s, rasio debit maksimum-minimum 13,3. Untuk menggambarkan debit harian rata-rata selama 11 tahun, telah dilakukan analisis frekuensi terhadap data debit simulasi antara tahun 1995-2005 menggunakan model GR4J. Hasil analisis disajikan pada Gambar 4.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 20: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

19

Gambar 4. Variasi bulanan debit rata- rata har ian sungai Mokupa pada berbagai peluang, berdasarkan a n a l i s i s f r e k u e n s i terhadap data debit simulasi harian periode 1995-2005

Potensi masa tanam dan kebutuhan air tanaman Komoditas yang mendominasi wilayah ini adalah tanaman kakao. Pada lahan yang datar dan mempunyai ketinggian tempat relatif rendah, pada musim hujan tanaman kakao tergenang air, namun pada musim kemarau mengalami kekurangan air sehingga memerlukan irigasi suplemen.Di sekitar sungai Mokupa terdapat lahan alang-alang yang berpotensi untuk ditanami padi jika ketersediaan air terjamin.

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan air tanaman, diketahui bahwa curah hujan hanya dapat menyediakan air untuk 1 kali musim tanam padi, dengan tanggal tanam terbaik untuk tanaman padi adalah tanggal 6 November, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Penentuan masa tanam untuk tanaman padi

Gambar 6. Kebutuhan air irigasi tanaman padi

Jumlah kebutuhan air yang diperlukan untuk pola tanam padi-bera-bera disajikan pada Gambar 6. Pada periode antara tanggal 6 November sampai dengan 10 Pebruari kebutuhan air untuk tanaman padi untuk keperluan penggenangan sebanyak 3.025 m3, dan untuk tanaman padi memerlukan 3.697 m3. Skenario irigasi dari dam parit untuk meningkatkan indeks pertanaman Berdasarkan pengamatan lapang diketahui bahwa tanaman kakao sering mengalami stress air pada musim kemarau, menyebabkan gugur daun, kematian pucuk tanaman, bunga, dan buah muda, serta pemasakan buah kakao yang tidak sempurna. Pada keadaan yang ekstrim kekurangan air menyebabkan kematian cabang dan batang kakao. Pemberian air tambahan bagi tanaman kakao telah dilakukan selama beberapa tahun oleh masyarakat di desa Mokupa yang memanfaatkan air sungai Mokupa dengan cara membendung dengan batu kali dan mengalirkannya ke areal pertanaman kakao. Pembangunan dan penyempurnaan dam parit selain untuk mengairi lahan kakao, juga diarahkan untukmengairi lahan alang-alang seluas kurang lebih 30 ha menjadi lahan yang produktifdan tanaman

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 21: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

20

Gambar 7. Pembuatan dam parit di sungai Mokupa

Gambar 8. Kebutuhan irigasi untuk pola tanam padi-padi-kedelai

kakao seluas 66,5 ha. Dam parit dibuat dengan sistem pasangan batu beton, dengan lebar bentangan 12

m, bangunan pelimpasan selebar 6.5 m, tinggi bendung 1.0 dari permukaan atas pondasi. Dam parit dilengkapi dengan 2 pintu yaitu pintu penguras dan pintu pembagi yang dibuat dari konstruksi gorong-gorong dan papan kayu tebal 5 cm sehingga memiliki tampung adalah sebesar 126 m3. Proses pembangunan dan konstruksi dam parit di sungai Mokupa (a +b) dan pendistribusian air melalui saluran (c) di sekitar tanaman kakao disajikan pada Gambar 7.

Skenario irigasi tambahan bagi tanaman dengan pola tanam padi-padi-palawija digambarkan untuk tanaman padi-padi-kedelai. Kebutuhan air untuk pola tanam tersebut disajikan pada Gambar 8. Pada MT 2, kebutuhan air untuk penggenangan mencapai 3.025 m3 dan untuk kebutuhan tanaman 4.910 m3, sehingga jumlah irigasi yang diperlukan sebesar 7.935 m3. Dengan curah hujan sebesar 2.330 m3 , masih diperlukan tambahan irigasi sebesar 5.605 m3. Pada MT 3, dengan curah hujan hanya sebesar 536 m3 tanaman kedelai masih memerlukan tambahan irigasi sangat besar mencapai sebesar 5.016 m3.

Analisis kecukupan air dam parit sebagai sumber irigasi suplementer Untuk mengevaluasi kemampuan dam parit dengan kapasitas 126 m3 dan aliran dasar sebesar 173 l/dtk dalam mengairi target irigasi berupa lahan kosong (alang-alang) seluas 30 ha dan tanaman kakao 66.5 ha dilakukan analisis kecukupan air yang tersedia dalam dam parit. Lahan kosong tersebut direncanakan untuk budidaya tanaman dengan pola padi-padi-kedelai. Hasil analisis ketersediaan air dalam dam parit dan kebutuhan air tanaman selama satu tahun disajikan pada pada Gambar 9. Pada akhir bulan Agustus terjadi penurunan

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 22: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

21

Gambar 9. Hasil analisis ketersediaan air pada dam parit dan kebutuhan air tanaman

Gambar 10. Hasil analisis kemampuan dam parit dalam menyediakan air untuk daerah target irigasi di MK 2

debit aliran dasar (base flow) sehingga air dalam dam parit tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk seluruh areal target irigasi. Dam parit mampu menyediakan air untuk keperluan irigasi hampir sepanjang tahun kecuali pada MK 2 (Agustus-September).

Dengan adanya skenar io penurunan luas areal target irigasi, diketahui bahwa dam parit di sungai Mokupa mampu mengairi areal tanaman kakao seluas 30 ha dari seluruhnya 66.5 ha dan untuk tanaman kedelai seluas 27.9 ha dari seluruhnya 30 ha (Gambar 10). Dengan demikian maka dam parit memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas lahan alang-alang dari IP 0 menjadi lahan sawah dengan IP 200 atau 300, sehingga terdapat perubahan pola tanam padi-padi-bera atau padi-padi-kedelai.

Peningkatan indeks pertanaman pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian tentang pengembangan teknologi panen hujan-aliran permukaan melalui dam parit (channel reservoir) penelitian tentang pengembangan teknologi panen hujan-aliran permukaan melalui dam parit (channel reservoir) untuk irigasi di lahan kering yang telah dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan (Irianto, G., 2001, 2001a, 2002c; Pujilestari et al., 2002, Karama et al., 2003, Sutrisno et al, 2003, Heryani et al., 2001, 2002 a, 2002 b, 2003, 2010, 2012; Sawijo et al., 2008). Teknologi panen hujan al iran permukaan dapat dipergunakan sebagai sarana irigasi suplemen untuk perluasan areal tanam, m e n e k a n r i s i k o k e k e r i n g a n , memperpanjang masa tanam serta bermanfaat dalam menekan risiko banjir sehingga dapat mendukung upaya konservasi l ingkungan. Dampak peningkatan luas areal tanam dan produktivitas lahan sebagai akibat meningkatnya ketersediaan air menurut ruang dan waktu akan dapat meningkatkan produksi tanaman dan pendapatan petani.

KESIMPULAN

Dam parit yang dibangun di sungai Mokupa dengan kapasitas 126 m3 dan aliran dasar sebesar 173 l/dtk berpotensi untuk mengairi target irigasi berupa lahan kosong (alang-alang) menjadi lahan kedelai yang ditanam pada MK 2 seluas 27.9 ha,serta tanaman kakao seluas 30 ha. Dengan demikian terdapatpeningkatan produktivitas lahan kering dari IP 0 (alang-alang) menjadi sawah dengan IP 200 atau 300 dengan pola tanam padi-padi-bera atau padi-padi-kedelai.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 23: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

22

DAFTAR PUSTAKA

Allen, R.G.. L.S. Pereira. D. Raes. and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration. Guidelines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and drainage paper. 301p.

Balitklimat. 2002. Software Crop Water Balance. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.

Baron, F. P. Perez and Maraux, F. 1995. Module Sarrabil Guide d'Utilization. Unite de Recherche"Gestion de 1'ea". Montpellier.

CIRAD. 1995. La validation du ETR/ETM sur le rendemen du manioc au Cote d‘ivoire. Bulletin CIRAD no 2. 75p.

Gowing, J.W, Mahoo, H.F, Mzirai O.B and N. Hatibu. 1999. Review of water harvestingtechniques and evidence for their use insemi-arid Tanzania. Tanzania Journal ofAgricultural Science 2(2): 171-180.

Heryani, N., H. Sosiawan, S. H. Talaohu, S.H. Adi. 2012. Pengembangan Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Mengurangi Risiko Kekeringan Mendukung Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Penelitian Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kemenristek. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Kementan.

Heryani N, S. H. Talaohu, K. Sudarman, Nasrullah. 2010. Pengembangan Metode Penentuan Kriteria Rancang Bangun Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan Untuk Mengurangi Resiko Banjir dan Kekeringan >30%. Laporan Akhir Penelitian Kemenristek. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Kementan.

Heryani, N., G. Irianto, N. Sutrisno, E. Surmaini. 2003. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Kering di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi dan Direktorat Pemanfaatan Air Irigasi. Laporan Akhir Penelitian

Heryani, N, G. Irianto, N. Pujilestari, 2002a. Upaya peningkatan ketersediaan air untuk menekan resiko kekeringan dan meningkatkan produktivitas lahan. Prosiding Seminar Nasional Agronomi dan Pameran Pertanian 2002. Perhimpunan Agronomi Indonesia, 29-30 Oktober 2002. Bogor.

Heryani, N, G. Irianto, N. Pujilestari, 2002b. Pemanenan Air untuk Menciptakan Sistem Usahatani yang Berkelanjutan (Pengalaman di Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta). Buletin Agronomi. XXX(2):45-52. 2002.

Heryani, N., B. Kartiwa, G. Irianto, dan L. Bruno. 2001. Pemanfaatan sumberdaya air untuk mendukung sistem usahatani lahan kering : Studi kasus di Sub DAS Bunder, DAS Oyo, Gunungkidul, DIY. Dalam Sofyan, A. et al. (eds.). Prosiding Seminar Sehari Peranan Agroklimat dalam Mendukung Pengembangan Usahatani Lahan Kering. Puslibangtanak, Badan Litbang Pertanian.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 24: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

23

Irianto, G. 2002a. Orang Jakarta Tenggelamkan Jakarta. Harian Kompas tanggal 31 Januari 2002. Hal 4.

Irianto, G., J. Duchesne., F. Forest., P. Perez., C. Cudennec., T. Prasetyo and S. Karama. 2001a. Rainfall and Runoff Harvesting for Controlling Erosion and Sustaining Upland Agriculture Development.Proceeding of the 10th International Soil Conservation Organization Conference, 23-28 May 1999, West Lafayette, Indiana USA.

Irianto, G., P. Perez and Duchesne. 2001. Modeling the influence of irrigated terrace on the hydrological response of a small basin. Environmental Modeling and Software 16 (2001). Elsevier Science Ltd. p.31-36.

Irianto, G. 2000. Panen hujan dan aliran permukaan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering DAS Kali Garang. Jurnal Biologi LIPI. Vol. 5, No. 1, April 2000. p.29-39.

Karama, S. 2003. Panen Hujan Dan Aliran Permukaan Untuk Menanggulangi Banjir Dan Kekeringan Serta Mengembangkan Komoditas Unggulan. Laporan RisetUnggulan Terpadu VII Bidang Teknologi Hasil Pertanian.Kementerian Riset dan Teknologi RI dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Lazaro E. A., E.M.M. Senkodo, A. Bakari, S.R. Kishebuka, dan G. J. Kajiru. 1999. A small push goes a long way: participation in rainwater harvesting technology development. Tanzania J. Agric.Sc. 2(2) 219-226.

Mzirai O.B., and S.D. Tumbo. 2010. Macro-catchment rainwater harvesting systems:challenges and opportunities to access runoff. Journal of Animal & Plant Sciences, 7(2): 789- 800.

Oweiss, T, A. Hachum, and J. Kijne. 1999. Waterharvesting and supplementary irrigation ofimproved water use efficiency in dry areas.SWIM paper 7. International WaterManagement Institute, Colombo, SriLanka.

Pujilestari, N. G. Irianto, N. Heryani. 2002. Peningkatan produktivitas lahan kering melalui pembangunan “channel reservoir” bertingkat (studi kasus di sub DAS Bunder, kabupaten Gunungkidul, provinsi DIY). Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Teknis Puslitbangtanak.

Rwehumbiza, F.B.R., N. Hatibu, and M. Machibya. 1999. Land characteristics, run-off and potential for rainwater harvesting in semi-arid Areas of Tanzania. Tanzata J. Agric. Sc. 2 (2): 141 – 149.

Sawiyo, B. Kartiwa, H. Sosiawan, K. Sudarman. 2008. Panen air dengan dam parit dan aplikasi irigasi suplementer untuk peningkatan produktivitas lahan. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian (tidak dipublikasikan).

Sutrisno, N, Sawijo, N. Pujilestari.2003. Pengelolaan Air dan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan untuk Penanggulangan Banjir dan Kekeringan. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi dan Proyek Pembinaan Perencanaan Sumber Air Ciliwung – Cisadane (tidak dipublikasikan).

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 25: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

24

Yayan Apriyana

CROP MODELING USING APSIM COMPARISON OF SEVERAL SOYBEAN VARIETIES AND PLANTING DATE IN TWO LOCATION AS

AFFECTED BY ENSO (El Nino Southern Oscillation) and

IOD (Indian Ocean Dipole) IN WEST JAVA

ABSTRACT

Indonesian temporal climate variability is driven by ENSO in the Pacific Ocean and IOD in the Indian Ocean. At one moment low rainfall resulting in drought and other times high rainfall can cause flooding. Therefore, a proper planting season strat-egy is imperative fora better adaptation of soybean. Developping of soybean planting calendar in Indonesia has become the main concern because of climate uncer-tainty especially due to ENSO and IOD. The crop growth simulation models are able to identify the yield constraints and recommending appropriate management practices to optimize soybea productivity n. The crops model used in this study is APSIM ver 7.5. Daily climate data of 22 years (1900-2012) were analyzed consist of the maximum-minimum temperature, solar radiation and rainfall. To determine the best planting date based on the high-est yield, scenarios are taken in 10 days period on each of the first two months of the growing season for three cropping seasons throughout the year. Daily climate data compiled during 23 years in the form of Excel for the model. Soil data were also compiled consist of soil types , geographi-cal location , soil texture , soil water avail-ability, and soil chemistry. Results showed that the best planting scenario date for soybean in Garut and Indramayu districs is December 1 to January 11 for the rainy season, 1 March to 11 April for the first dry season, and October 21 for the second dry season. However, the yield potential for Indramayu is lower than Garut district.

Key words: APSIM – Soybean - Planting date - ENSO – IOD - West Java

INTRODUCTION

Climate variability and climate change are two phenomena that become serious concern because their impacts on various sectors. Climate variability is fluctuations in climate elements that occur in a certain time frame such as seasonal or annual variations (shifting in the onsetand or dura-tion of wet and dry seasons) as well as extreme climate events, while climate change is a phenomenon of gradual changes in atmospheric composition that will increase climate variability observed in sufficiently long period (Trenberth et al. 1995).

Indonesian climate variability is closely related to ENSO (El Niño Southern Oscillation) in the Pacific Ocean ( Kirono & Khakim 1999; Naylor et al . 2002) and IOD (Indian Ocean Dipole ) in the Indian Ocean (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Ashok et al. 2001; Mulyana 2001). At one moment there is a decrease in rainfall resulting in drought and other times resulting in high rainfall which can cause flooding ( Allan , 2000). The emergence of a strong El Niño phenomenon as much as seven times during the last twenty years is accompanied by the occurrence of a positive IOD phenomenon that occurs almost simultaneously resulting in pro-longed drought. Based on drought events which occurred 43 times since the year 1844 to 1998, only six drought events that are not related to the El Niño phenomenon (Boer and Subbiah , 2005). Just as the

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 26: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

25

drought that occurred between the years 1990 - 1997, during which time there were three times that a great drought in 1991, 1994 and 1997. Similarly, almost simulta-neously Saji et al. (1999) and Webster et al. (1999) stated that in 1997 when there was a strong El Niño, at the same time there is also a strong positive IOD in the Indian Ocean.

In fact indicators of ENSO and IOD climate anomalies have a strong impact on tropical precipitation including rainfall variability in Indonesia (Naylor et al., 2007; Saji et al. 2003). Both phenomena are becoming more frequent with increasingly extreme conditions and the longer the duration can lead to significant reduction in rainfall, especially in the transitional season when the rainy season (IPCC 2007; Koesmaryono 2009). These conditions pose significant impacts on the strategy of agricultural production (IPCC 2001; Porter and Semenov 2005; Betts 2005; Osborne 2005). Especially in tropical regions that have large variations in rainfall ( Slingo et al. 2005). The relative impact of climate change on food security differs between regions (Gutman et al. 2000; FAO 2005) both in the tropics and subtropics. However, the impact in the tropics because they have greater rainfall variability is quite large (Slingo et al. 2005) which in turn result in disruption to the stability of the agriculturalsystem (Koesmaryono et al. 2008).

Climate variability on the one hand can be an opportunity but on the other hand can be a threat to food secu-rity. Increasein fluctuation, frequency and intensity of climate anomaly in the last decade drivenby ENSO and IOD phenom-ena has changed the rainin distriseasonal patterns of the rain, (Las 2000; Boer 2006; Naylor et al. 2007 ; D'Arrigo, 2007). The shifting seasons has serious implica-

tions on food crops production (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001) due to shorter growing period.

National food production is strongly affected by climate vagary (Pendleton & Lawson 1988). The results of the FAO study (2005) showed that climate variability and change affects 11% of agri-cultural land in developing countries result-ing on lower food production and domes-tic food supply eventually decreaing Gross Product (GDP) by 16%. The advesse ef-fects of climate variability and change can decrease production of food crops (cereals) in the region between 2.5% to 7.8% (Fischer et al. 2002). Potential pro-duction loss of of major food crops due to climate change is estimated (20.6%) for rice (13.6%) for corn, and (12.4%) for soy-bean (Handoko et al. 2008).

El Niño and positive IOD have appaling implications for planting time. In 1997/98 these two phenomena have de-layed planting time in the rainy season by 2-3 months (6-9 dekads) which also affect the planting time for the following season (Las 2000). Consequently rice production decreased by 6.5% resulting in increased rice imports of 3 million tons in 1998 (BPS 1998). The growing season was delayed time by 10 to 20 days fromthe normal growing season of the last century (Linderholm 2006). The effect of these phenomena were very pronounced in the cropping pattern changes in both irrigated land and rainfed. Drought that occurred in the second growing season had aggravate the production loss of rice and soybean crops in particular.

Therefore, a proper planting sea-son adaptation strategy is needed for bet-ter adaptation of soybean cultivation. De-velopping of soybean planting calendar in Indonesia has become the main concern because of climate uncertainty. The reduc-

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 27: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

26

tion in grain yield was mainly attributed to lessl nutrients supply to the crops, be-cause of poor quality farmyard ma-nures,erratic distribution of rainfall during soybean‘s growing season and unavail-ability of irrigation water. Therefore, crop growth simulation models are useful in identifying the yield constraints and recom-mending appropriate management prac-tices in optimizing soybean productivity. For that purpose, APSIM model was vali-dated to predict soybean growth in regions under ENSO and IOD Influences.

MATERIALS AND METHODES Study Areas Selection of the study area based on the potential for soybean production in West Java that often affected by climate anom-aly.. Based on previous analysis, In-dramayu district is a region that is fre-quently affected by ENSO anomaly while Garut is a region frequently affected by IOD (Apriyana, 2011) Crops Model The crops model used in this study is APSIM ver 7.5. APSIM is a daily hierarchical dynamic model which combined biophysical and management modules with a central system that simu-lates cropping systems (Robertson et al., 2002) Climate and Soil Variables Daily climate variablesthroughout the 22 years (1900-2012) were analyzed in con-sist of the maximum-minimum tempera-ture, solar radiation and rainfall. For Garut district represented by Tarogong and In-dramayu districts represented by Losarang District . Input of the soil variables in these areas consist of the composition of the soil texture, field capacity conditions and per-manent wilting point and the C / N ratio. Planting Date To determine the best planting date based

on the highest yield, scenarios are taken 10 days period on each of the first two months of the growing season in three cropping seasons throughout the year. Scenario for Planting Season I is first dekad of DecemberI (December I) to third dekad of January (January III), Planting Season II is March I to April III, and III Planting Season III is September I to Octo-ber III. Preparation phases of Model The Model was fed with daily weather data in Excelformat. The data consist of station name , location of climate station (latitude, longitude, altitude ), series of data (daily max - min temperature, radiation and pre-cipitation), average annual temperature during the observation, and the amplitude of monthly temperature every year. The data is then converted into meta.files.

Soil data consist of soil types, geographical location, soil texture, soil water availability, and soil chemistry.

Formulating the parameters for the simulation. Running to fill the climate parameters: .met to determine the date, month and year of the simulation. Running climate parameters yield information in the ‖summary file‖. Constructing "paddoc" with soil and selecting soybean inputs to the next running. Further, enter the manager for the output folder as information analysis, by selecting the desired output in terms of the biomass , yield , and Extracable Soil Water (ESW). Similarly, for the next planting date scenario, each file is composed of planting date and ready to ―run‖ . If no error then the results will be seen in the "output file".

RESULT Garut Distric The scenario of planting season 1 in Garut showed the production of biomass reached over 4500 kg / ha. The biomass yield decreased when planting time late on

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 28: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

27

biomass yield decreased when planting time late on January 21 (Figure 1). Similarly, the grain yield reached over 1.500 kg/ha when the planting on December 1 to January 11, then-will decrease when planted on 21 January (Figure 2).

The scenario of planting season II in Garut the average biomass production was over 3000 kg / ha, but in 2007, the results began to decline with the planting date on 21 April (Figure 3). Similarly, the grain yield was up to 1,200 kg / ha, but decreased when planted on April 21 (Figure 4).

Planting date of season III from September 1 to October 31 in Garut showed that biomass production below 1,700 kg / ha, then began to decline when planting date on Octo-ber 31 (Figure 5). The grain yield reached over 1000 kg / ha whith planting time from Sep-tember 1 to October 11, then yield decreased when planted on October 21 (Figure 6).

Figure 1. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season I in Garut district. 1991-2012

Figure 2. Fluctuations of grain yield at vari-ous scenarios in planting season I in Garut district. 1991-2012

Figure 3. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season II in Garut district. 1991-2012

Figure 4. Fluctuations of grain yield at vari-ous scenarios inof planting sea-son II in Garut district. 1991-2012

Figure 5. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season III in Garut district. 1991-2012

Figure 6. Fluctuations of yield potential at various scenarios in planting sea-son III in Garut district. 1991-2012

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 29: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

28

- Indramayu District Biomass yield in Indramayu district was relatively lower compared to the Garut district. In scenarios of planting season I the biomass production reached over 2500 kg / ha, then declined when planting on January 21 (Figure 7). The grain yield reached over 1,500 kg / ha on December 1 to January 11, while the yield could decrease when planted on 21 January (Figure 8).

biomass production the planting season II in Indramayu district were over 1500 kg /

ha (Figure 9) with. no significant difference among the planting times. Planting time on March 1 until 21 of April could be lower than planting on March 1 (Figure 10).

The analysis showed that biomass production in planting season III in Indramayu

district was below 2500 kg / ha, (Figure 11). could the grain yield were 600-1000 kg / ha (Figure 12). There is no significant difference in thee grain yield. The low yield probably due to water stress. Therefore, irrigation supplement is necessary in the dry season I and II.

Figure 7. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season I in Indramayu district. 1991-2012

Figure 8. Fluctuations of grain yield at vari-ous scenarios in planting season I in Indramayu district. 1991-2012

Figure 9. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season II in Indramayu district.

Figure 10. Fluctuations of yield potential at various scenario scenarios in planting season II in Indramayu district. 1991-2012 balitk

limat.li

tbang.pertanian.go.id

Page 30: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

29

Figure 11. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season IIIin Indramayu district. 1991-2012

Figure 12. Fluctuations of grain yield at vari-ous scenarios in planting season III in Indramayu district. 1991-2012

DISCUSSION

The planting date scenario analysis using APSIM model provides the best planting time based on the plant, site-specific climate and soil variables. In the early stages, the best planting date-setting scenarios applied on two areas is affected by climate anomalies of ENSO (El Nino Suothern Oscillaton) and IOD frequently (Indian Ocean Dipole).

Garut is one soybean production center in West Java which is often disturbed primarily due to changes in climatic anomalies of sea surface temperatures in the Indian Ocean region, is called the IOD (Apriyana, 2011). Although the effect is not as strong climate anomalies of ENSO however is believed to disrupt the stability of the production of crops, especially soybean . Observations during the twenty-two years (years 1991-2012) showed that the appearance of IOD in recent years i.e 1991, 1994, 1997, 2003, and 2007 and 2009 in general decreased yields particularly in the first season / rainy season (Figure 2). However, IOD was not affecting the yields by delaying the planting dates on the first cropping season, The yield of planting date in December is higher than planting in January.

Besides the Garut district, Indramayu district is the center of soybean in West Java. This region is often affected strongly indicated ENSO (Apriyana, 2011). Observations during the twenty-two years (years 1991-2012) showed that the influence of ENSO is mainly due to the emergence of the El-Nino in the past few years, namely 1991, 1994, 1997, 2002, 2004 and 2009 in general may decrease results primarily in the first season / rainy season . The influence of the El-Nino resulting in declining yields and shifting planting dates in general. Planting date is better in early January compared to December (Figure 7).

CONCLUSION

The best planting scenario date for soybean in Garut and Indramayu districs each season is December 1 to January 11 for the rainy season, 1 March to 11 April for the first dry season, and October 21 for the second dry season, However, the yield potential in In-dramayu lower than Garut district.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 31: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

30

REFERENCES

Apriyana, 2011. Penetapan Kalender Tanam Padi Berdasarkan Fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) Di Wilayah Monsunal dan Equatorial. Disertasi. IPB.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis, eds Houghton JT, Ding Y, Griggs DJ, Noguer M, van der Linden PJ, Dai X, Maskell K, Johnson CA (Cambridge Univ Press, Cambridge, UK).

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.

Allan R. 2000. ENSO and climatic variability in the past 150 years, in ENSO: Multiscale Variability and Global and Regional Impacts, Diaz, H. & Markgraf, V. (Eds.), pp. 3-55. Cambridge Univ. Press. Cambridge.

Ashok K, Guan Z, and Yamagata T. 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett., 28, 4499–4502.

Betts R. 2005. Integrated approaches to climate–crop modelling: needs and challenges. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 2049–2065. (doi:10.1098/rstb.2005.1739.)

Boer R, and Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. In V.J. Boken, A.P. Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A global study. Oxford University Press, New York. p:330-344.

Boer R. 2006. Aplikasi Informasi Prakiraan Iklim di Sektor Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dalam Modul Pelatihan Dosen Bidang Pemodelan dan Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bagpro PKSDM Dikti dan Dep. Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor. Cisarua, Bogor, 7 – 20 September 2006.

BPS [Biro Pusat Statistik]. 1998. Kondisi Produksi Beras Tahun 1998 Statistik Pertanian. Jakarta. D'Arrigo R and Wilson R. 2008. El Niño and Indian Ocean Influences on Indonesian Drought: Implications for

Forecasting Rainfall and Crop Productivity. International Journal of Climatology. 28: 611–616. FAO. 2005. ‖Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and Proverty Reduction‖. Special event

background document for the 31st session of the committee on world food security. Rome, 23-26 May 2005.

Fischer G, Shah M, Velthuizen HV. 2002. Climate Change and Agricultural Vulnerability. IIASA. Luxemburg, Austria.

Gutman GI, Csiszar, and Romanov P. 2000. Using NOAA/AVHRR products to monitor El Ni˜no impacts: focus on Indonesia in 1997-98., Bull. Amer. Meteor. Soc., 81, 1189–1205.

Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati, T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J Meteorol Soc Jpn 80:285–310.

Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis. Telaah kebijakan independen bidang perdagangan dan pembangunan oleh Kemitraan/Partnership Indonesia. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Haylock M, and McBride J. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall, J. Climate, 14, 3882-3887.

Kirono DGC, and Khakim N. 1999. ENSO Rainfall Variability and Inpacts on Crop Production in Indonesia.Physical Geography, Vol 20. 6, pp. 508-519.

Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Syahbuddin H, Apriyana Y, Ramadhani F, Trinugroho W. 2008. Laporan Hasil Kegiatan. Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam Padi Terhadap Parameter ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Daerah Monsunal dan Equatorial. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB. (Tidak dipublikasi).

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 32: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

31

Las I. 2000. Peluang Kejadian El Niño dan La Niña Tahun 1900-2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Linderholm HW. 2006. Growing season changes in the last century. Agric. For. Meteor., 137(1-2), 1-14.

Mulyana E. 2001. Interannual Variation of Rainfall over Indonesia and Its Relation to the Atmospheric Circulation, ENSO and Indian Ocean Dipole Mode. Hokaido University. Japan.

Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, and Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, Proc. Nat. Acad. Sci., 104, 7752-7757.

Naylor RL, Falcon W, Wada N, and Rochberg D. 2002. Using El-Niño Southern Oscillation climate data to improve food policy planning in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38, 75-91.

Osborne TM. 2005 Towards an integrated approach to simulating crop–climate inter-actions. Ph.D. thesis, University of Reading.

Pendleton JW, and Lawson TL. 1989. Climatic Variability and Sustainability of Crop yields in the humid tropics. International Symposium on Climatic Varability and Food Security in Developing Countries 5 – 9 Februari 1987. New Delhi. IRRI: 54 – 58.

Porter JR, and Semenov MA. 2005. Crop responses to climatic variation. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 2021-2035. (doi:10.1098/rstb.2005.1752).

Robertson, M. J., Carberry, P. S., Huth, N. I., Turpin, J. E., Probert, M. E., Poulton, P. L., Bell, M., Wright, G. C., Yeates, S. J. and Brinsmead, R.B. 2002. Simulation of growth and development of diverse legume species in APSIM. Aust. J. Agric. Res. 53, 429-446.

Saji NH, and Yamagata T. 2003 : Structure of SST and Surface Wind Variability during Indian Ocean Dipole Mode Events : COADS Observations. Journal of Climate, 16, pp. 2735-2751.

Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran P N, Yamagata T. 1999 : A Dipole in the Tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363.

Slingo JM, Challinor AJ, Hoskins, BJ, and Wheeler TR. 2005. Introduction: food crops in a changing climate. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 1983-1989. (doi:10.1098/rstb.2005.1755).

Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol. 78, No. 12, pp. 2771-2777.

Webster PJ, Moore AM, Loschnigg JP, and Leben RR. 1999. Coupled ocean-Atmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-98, Nature, 401, 356-359. balitk

limat.li

tbang.pertanian.go.id

Page 33: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

32

ANNEXES Tabel annex 1. Sample Input of Climate Data.

Tabel annex 2. Sample Input of Soil Data.

Tabel annex 3. Sample Result from APSIM model.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 34: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

33

ASURANSI PERTANIAN BERBASIS INDEKS IKLIM

Woro Estiningtyas

PENDAHULUAN Padi masih menjadi tanaman utama dan sumberpangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Di Indonesia, kon-sumsi Padi sekitar 109 kg/kapita/tahun (Harahap, A.J et al. 2013). Berbagai upaya dilakukan Pemerintah dalam rangka swa-sembada beras. Di sisi lain, usahatani tanaman pangan khususnya padi sangat rentan terhadap bencana terkait iklim. Banjir, kekeringan, serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan risiko terkait iklim yang hampir selalu ter-jadi di setiap musim. Petani sebagai pelaku utama kegiatan menerima dampak dan risiko yang paling besar akibat bencana terkait iklim. Risiko yang harus ditanggung petani antara lain : risiko produksi, risiko harga, risiko pasar, risiko finansial, risiko teknologi, risiko social, risiko hukum dan risiko manusia. Risiko produksi terjadi karena fluktuasi hasil akibat berbagai faK-tor yang sulit diduga (perubahan iklim, cuaca ekstrim, banjir, kekeringan, dan serangan OPT). Petani menghadapi ber-bagai akibat gagal panen atau produksi rendah yang berpengaruh terhadap pengembalian modal kerja, pengusahaan modal baru, pendapatan rumah tangga, biaya hidup lain, dan sebagainya (Pasaribu 2013). Risiko banjir, kekeringan dan serangan OPT dapat diantisipasi dan dilakukan adaptasi melalui mekanisme asuransi yaitu pengalihan risiko-risiko tersebut kepada perusahaan asuransi, dengan biaya premi yang relatif kecil.

Saat ini sudah banyak berkem-bang beberapa tipe asuransi berdasarkan batasan klaimnya, seperti asuransi ber-basis gagal panen (Failure), hasil (Yield), keuntungan (Revenue) dan yang terbaru adalah berbasis indeks iklim (Weather Index Insurance). Diharapkan asuransi pertanian berbasis indeks iklim dapat men-jadi salah satu opsi adaptasi bagi petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim serta strategi perlindungan dan pem-berdayaan petani.

REGULASI ASURANSI PERTANIAN Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No 19 Tahun 2013 tentang ―Perlindungan dan Pemberdayaan Petani‖. Lahirnya undang-undang ini didasari per-timbangan bahwa kecenderungan mening-katnya perubahan iklim, kerentanan terha-dap bencana alam dan risiko usaha, glob-alisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani, sehingga petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan. Selain itu bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku belum mengatur perlindungan dan pemberdayaan petani secara komprehensif, sistemik, dan ho-listik.

Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi permasalahan kesuli-tan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.

Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan ke-

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 35: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

34

mampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pen-didikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu penge-tahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan.

Dalam Pasal 7 ayat 2 bagian g UU No 19 Tahun 2013 disebutkan bahwa salah satu strategi perlindungan petani dilakukan melalui Asuransi Pertanian. Selain itu juga melalui prasarana dan sarana produksi pertanian, kepstian usaha, harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa serta sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim.

Perlindungan dan pemberdayaan petani (UU P-3) No. 19/2013 Pasal 37 menugaskan Pemerintah (Pusat dan daerah) untuk melindungi petani dari kehi-langan hasil akibat gagal panen dalam bentuk Asuransi Pertanian. Untuk mendu-kung pelaksanaan Asuransi Pertanian, saat ini sedang dipersiapkn juga Peraturan dari Kementaerian Keuangan tentang Asuransi bencana (dalam proses). Ber-dasarkan informasi dari Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas (2014), Asuransi Pertanian telah masuk dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 telah ma-suk melalui ‗Mitigasi Gangguan Terhadap Ketahanan Pangan‘ yang dilakukan teru-tama untuk mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan seran-gan organisme tanaman dan penyakit hewan. Selain itu juga sedang disusun peta jalan (road map) pengembangan asuransi pertanian Indonesia.

ASURANSI PERTANIAN Laporan ketiga kajian IPCC menggarisbawahi tentang pentingnya

asuransi dan komponen jasa keuangan lainnya karena mewakili mekanisme penyebaran risiko melalui biaya yang didistribusikan yang berhubungan dengan kejadian cuaca, antar sektor dan melalui masyarakat. Sektor jasa keuangan juga berperan sentral dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi dan merupakan sumber utama data global dan regional terkait dengan kejadian iklim (IPCC 2007). Menu-rut Hadi (2000), asuransi formal bisa me-rupakan alternatif strategi yang diperlukan bagi petani.

Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skim pendanaan untuk membagi risiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian penting sebagai bentuk proteksi atas kemungkinan kerugian akibat bencana alam (banjir, kekeringan, angin puting beliung) atau kerugian lainnya akibat anomali cuaca dan perubahan iklim (Sanim 2009). Di negara-negara maju, asuransi formal pertanian telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk dari kegagalan panen. Hasil penelitian Ramaswami (1993) dalam Hadi (2000) menunjukkan bahwa asuransi formal pertanian dapat memperkecil risiko turunnya pendapatan petani sehingga kebutuhan konsumsi keluarga tetap terpenuhi secara normal sepanjang waktu. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas petani untuk mendapatkan kredit karena dapat digunakan sebagai kolateral kepada pihak pemberi pinjaman (Lee et al. 1980).

Asuransi pertanian sudah muncul sejak jaman dahulu, baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Asuransi pertanian untuk bencana musim hujan ditemukan tahun 1979 di Jerman. Di Amerika Serikat penerapan asuransi pertanian pertama kali tahun 1880 dan produk yang diasuransikan adalah tembakau. Asuransi pertanian ini berkembang dengan baik di AS, Jepang,

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 36: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

35

Uni Eropa dan Taiwan. Di India, Bangladesh dan Filipina agak lambat berkembang (Sanim 2009). Asuransi Per-tanian adalah perjanjian antara Petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengi-katkan diri dalam pertanggungan risiko usaha tani.

Kementerian Pertanian melalui

Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana

Pertanian sejak tahun 2012 hingga 2014

telah melaksanakan Asuransi Pertanian

berbasis gagal panen di beberapa lokasi

contoh yaitu di Sumatera Selatan, Jawa

Timur dan Jawa Barat. Persentase klaim

bervariasi di setiap daerah dengan kisaran

2-25% (Tabel 1). Pada tahun 2015 Pemer-

intah menargetkan luas areal padi dalam

program Asuransi Pertanian sebesar

1,041 juta ha dengan anggaran sekitar

150 Milyar (Bappenas 2014).

Berdasarkan aplikasi Asuransi Pertanian di beberapa lokasi tersebut menurut Pasaribu (2013) dapat dipelajari bahwa model Asuransi Pertanian yang dikembangkan saat ini masih pada sistem ganti-rugi berdasarkan biaya produksi (Indemnity-based). Berbagai model yang dapat dikembangkan dimasa datang adalah sistem ganti-rugi/indemnitas ber-dasarkan hasil panen dalam jumlah tonase (Yield-based index). Model lain yang di-yakini dapat mengurangi masalah/konflik dalam hal kerusakan/kerugian adalah sistem perhitungan gani-rugi berdasar indeks iklim (Weather-based index) dan berdasar penginderaan satelit (Satellite image-based data). Ada juga bentuk As-uransi yang didasarkan pada keuntungan (Revenue) (Perdinan 2014) dan Hydrologi-cal Insurance (Insurance for Irrigators) (Anonim 2014). Kajian dan pengenalan model-model tersebut dapat dilakukan sejalan dengan keikutsertaan petani dalam

agro-ekosistem di berbagai wilayah dan beragam komoditas.

Tabel 1. Beberapa lokasi percontohan Asuransi Pertanian berbasis gagal panen (Sumber : Bappenas 2014)

ASURANSI INDEKS IKLIM Asuransi Indeks Iklim merupakan alat manajemen risiko iklim yang relatif baru berbasis indeks iklim. Sistem ini memberi-kan pembayaran pada pemegang polis apabila terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks ik-limnya dan bukan tanamannya. Biaya pengelolaan risiko iklim didasarkan pada defisit hujan dari jumlah yang dibutuhkan pada beberapa fase pertumbuhan. Pem-bayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang dias-uransikan. Manuamorn (2010) mensarikan beberapa pernyataan tentang asuransi indeks iklim, diantaranya adalah : (1) kebi-jakan pembayaran indeks asuransi ber-basis pada obyektif bukan pada pengu-kuran dari kehilangan riil, (2) indeks me-merlukan korelasi yang kuat dengan kehi-langan hasil riil yang akan diproteksi, (3)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 37: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

36

Pembayaran dibuat berdasarkan realisasi dari nilai indeks mengikuti skala pem-bayaran yang telah disetujui. Indeks iklim dihitung berdasarkan data iklim runut waktu (time series) pan-jang (minimal 20 tahun). Dari beberapa parameter iklim, curah hujan dianggap sebagai parameter yang mempunyai hubungan erat dengan tanaman. Peneli-tian tentang indeks iklim telah dilakukan oleh Estiningtyas et al. (2013) dengan mengambil lokasi di Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Parameter iklim yang digunakan adalah curah hujan dasar-ian periode 1966-2008 dan data kejadian kekeringan periode 2001-2011. Penghitun-gan indeks iklim dilakukan dengan metode Historical Burn (IRI 2012).

Berdasarkan frekuensi kejadian luasan lahan sawah yang terkena kekeringan selama periode 2001-2011, untuk Kecamatan Sliyeg selama periode 11 tahun terjadi 5 kali kejadian, yaitu tahun 2002, 2003, 2006, 2007 dan 2008. Peluang kejadiannya adalah 0.45 atau 45%. Data dan informasi tentang peluang kejadian kekeringan ini sangat penting untuk menentukan indeks iklim yaitu dalam penetapan batas trigger dan exit.

Untuk menghtung indeks iklim, maka beberapa parameter harus ditentukan, yaitu : 1) periode asuransi (windows), 2) batasan cap untuk menjadi curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall), dan 3) periode ulang/peluang kejadian kekeringan. Dalam analisis ini, periode asuransi ditetapkan berdasarkan hasil survey yaitu periode dimana petani sering mengalami kekeringan. Periode tersebut adalah Mei-Agustus. Untuk selan-jutnya dihitung data curah hujan dasarian pada Bulan Mei-Agustus selama tahun 1966-2009 dengan stasiun pewakil Cikedung (Estiningtyas 2013a). Nilai cap yang digunakan dalam penelitian ini

adalah 50 mm/dasarian dengan asumsi nilai rata-rata ETp di wilayah tropik adalah 5 mm/hari (Allen 1998), sehingga untuk satu dasarian sekitar 50 mm.

Hasil analisis indeks iklim untuk wilayah Sliyeg diperoleh nilai trigger curah hujan sebesar 34.5 mm. Nilai ini diperoleh dari (28+41)/2 mm yaitu nilai ke-5 teren-dah. Penentuan ke-5 karena kejadian kekeringan di Sliyeg adalah 5 kali dalam 11 tahun atau 0.45. Untuk nilai exit adalah 26 mm, nilai exit ini menyatakan batas bawah untuk pembayaran klaim (Tabel 8). Dalam aplikasinya, apabila curah hujan riil pada periode Mei-Agustus (sebagai pe-riode yang diasuransikan dalam contoh analisis ini) kurang dari 26 mm, maka petani berhak mendapat pembayaran penuh sesuai dengan nilai polis yang su-dah disepakati. Jika curah hujan riil se-lama periode asuransi lebih dari 26 mm tetapi kurang dari 34.5 mm, maka petani mendapat ganti rugi secara parsial ber-dasarkan besar kecilnya nilai penurunan curah hujan. Apabila curah hujan riil pada periode asuransi lebih dari 34.5 mm maka petani tidak mendapatkan ganti rugi/klaim. Contoh skema pembayaran dan nilai indeks untuk Sliyeg disajikan dalam Gam-bar 1.

Gambar 1. Skema pembayaran asuransi ber-dasarkan indeks iklim (Sumber : Estiningtyas 2013b)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 38: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

37

Menurut Martirez (2009) untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim diperlukan 4 tahapan, yaitu : 1) Desain produk, 2) Pe-masaran produk, 3) Periode asuransi dan 4) Perhitungan klaim (Gambar 2). Desain produk meliputi wawancara petani dan pemangku kepentingan, pengadaan data, desain indeks serta uji coba polis. Taha-pan desain produk ini merupakan tahap awal yang sangat menentukan langkah berikutnya karena disinilah pemahaman kepda petani diberikan sehingga petani dapat memutuskan sendiri apakah bersedia mengikuti asuransi atau tidak.

Hasil penelitian Osgood et al. (2007) menunjukkan bahwa asuransi formal ini juga telah dikembangkan di negara-negara berkembang/miskin seperti India, Ethiophia, Tanzania, Malawi dan Kenya. Beberapa negara yang telah men-gaplikasikan Asuransi Indeks Iklim antara lain : Malawi dimana digunakan parameter presipitasi untuk mengaplikasikan asuransi bagi petani kacang dan risiko kekeringan pada tanaman tembakau. Di India dikem-bangkan asuransi berdasarkan indeks yang berbasis curah hujan sejak tahun 2003 dan telah berhasil menjual polis cu-

kup besar. Thailand lebih memfokuskan pada risiko kekeringan terhadap tanaman jagung. Kenya menggunakan curah hujan sebagai parameter untuk menyusun indeks asuransi untuk tanaman jagung dan gandum. Kenya menggunakan satelit sebagai dasar menentukan indeks vege-tasi untuk memantau kekeringan pada ternak, khususnya di wilayah bagian utara. Ethiopia melalui proyek HARITA dari IRI Columbia University menggunakan satelit untuk tanaman lokal di Afrika.

STUDI ASURANSI INDEKS IKLIM DI INDONESIA

International Finance Corporation (IFC 2010) dibawah koordinasi Bank Dunia melakukan studi ke-layakan Asuransi Indeks Iklim un-tuk tanaman jagung di Pring-gabaya-Nusa Tenggara Barat, Lamongan-Jawa Timur dan Maros-Sulawesi Selatan. Hasil studi ke-layakan menunjukkan bahwa As-uransi Indeks Iklim sangat menarik dan potensial sebagai nilai tambah dalam rantai pasokan pertanian serta layak untuk dikembangkan.

Selain itu merupakan model bisnis yang relatif mudah untuk diidentifikasi. Adminis-trasi dengan prosedur yang mudah se-hingga mengurangi biaya transaksi.

Center for Climate Risk and Op-portunity Management (CCROM) IPB dan IRI Columbia University telah melakukan kerjasama penelitian tentang Asuransi Indeks Iklim sejak tahun 2011 hingga sekarang. Bentuk kegiatn yng dilkukan antara lain pengembangan sumberdaya manusia terhadap Asuransi Indeks Iklim. Focus Group Discussion (FGD) dan Work-shop juga dilakukan yang melibatkan Pe-merintah Daerah, petani/kelompok tani, penyuluh serta Tim Teknis Iklim. Training of Trainer (TOT) dilakukan untuk menyiap-kan petani/kelompok baik dalam pemaha-

Gambar 2. Tahapan aplikasi Asuransi Indeks Iklim (Sumber : Mar-tirez 2009)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 39: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

38

man tentang iklim, indeks iklim serta aplikasi Asuransi Indeks Iklim. Sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut serta mengetahui tingkat pemahaman petani, maka telah dilakukn juga permainan interaktif tentang Asuransi Indeks Iklim yang disebut dengan ―Game Interactive‖. Dalam kegiatan ini petani sudah berpraktek langsung menggunakan uang yang bearasal dari bantuan IRI Columbia University. Dengan modal ini serta pemahaman yang sudah diberikan kepada petani melalui FGD, Workshop dan lin-lain, selanjutnya Petani diberi pili-han untuk mengambil keputusan sendiri untuk mengelolanya baik melalui Asuransi atau lainnya. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah melakukan penelitian tentang Asuransi Indeks Iklim pada Tahun 2013-2014. Penelitian dilkukan melalui survey dan wawancara untuk mendapatkan data dan informasi tentang kelayakan usahatani padi, teknologi dan adopsinya, respon petani terhadap Asuransi Indeks Iklim serta adopsi teknologi. Salah satu contoh hasil survey dan wawancara adalah tentang respon petani terhadap Asuransi Indeks Iklim. Sekitar 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjanjikan. Lembaga pengelola yang banyak diharap-kan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden sean-dainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%) (Gambar 3). Kesediaan petani untuk membayar (Willingness to Pay) terkait premi dalam asuransi berkisar antara 200-300 ribu rupiah per ha per musim (Gambar 4). Sebagai perbandingan premi Asuransi Pertanian yang berbasis gagal panen yang sedang dilaksanakan saat ini sebesar Rp. 180.000 dengan 80% subsidi Pemerintah dan 20% oleh Petani.

POTENSI DAN TANTANGAN Usahatani padi yang menjadi pekerjaan utama petani di sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi potensi utama pengembangan Asuransi Indeks Iklim. Perhatian petani diharapkan cukup besar terhadap program yang terkait dengan peningkatan usahataninya.

Kebutuhan petani terhadap modal pada setiap awal musim tanam menjadikan asuransi berpeluang

Gambar 3. Respon petani terhadap Asuransi Indeks Iklim (Sumber : Estiningtyas 2012a)

Gambar 4. Persentase kesediaan membayar oleh petani (Sumber : Estin-ingtyas 2012b)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 40: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

39

digunakan untuk meningkatkan produktivitas (melalui koperasi, kelompok tani, gapoktan, dll). Kesediaan membayar premi cukup tinggi (76%) merupakan potensi bagi pengembangan dan aplikasi program ini. Pemahaman dan respon petani yang cukup baik terhadap asuransi indeks iklim memiliki prospek yang baik dan perlu sosialisasi yang lebih intensif. Dukungan Pemerintah baik Pusat dan Daerah serta regulasi menjadi sangat penting ketika program Asuransi ini akan diaplikasikan di lapang.

Tantangan pelaksanaan Asuransi Indeks Iklim adalah kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah perlu disiapkan. Sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif juga perlu dipersiapkan. Sebagai program pemula, pembayaran premi asuransi indeks iklim pada sistim usahatani padi masih terbatas, namun bagaimana program asuransi indeks iklim ini bisa meningkatkan produktifitas petani ini menjadi tantangan yang menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Agricultural Insurance : Experience and knowledge sharing. Ceigram. Bahan tayang disajikan dalam Expert Meeting ―Technological Application and International Experiences‖. Hanoi, 4 November 2014.

Bappenas. 2014. Roadmap Asuransi Pertanian di Indonesia Bahan presentasi disampaikan dalam FGD ―Capacity Development Downscaling Climate Change Projection Agri-culture Insurance‖. Hotel Lor In Sentul, 6 – 7 November 2014.

Estiningtyas, W, R. Boer, I. Las dan A. Buono. 2012a. Analisis Usahatani Padi Untuk Men-dukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Weather Index Insurance) : Studi Kasus di Kabupaten Indramayu. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 15 Nomor 2, Juli 2012. Balai Besar Pengkajian dan Pengemban-gan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kemente-rian Pertanian.

Estiningtyas, W. 2012b. Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Mengahadapi Perubahan Iklim. Disertasi. Program Studi Klimatologi Terapan. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Estiningtyas, W, A. Buono, R. Boer dan I. Las. 2013a. Penggunaan Metode Fuzzy Similarity Dalam Penentuan Cakupan Wilayah Indeks Curah Hujan (Using Fuzzy Similarity Method For Determining Coverage Rainfall Index Areas). Jurnal MG, Volume 14 Nomor 2-2013 ISSN 1411-3082. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.

Estiningtyas, W, A. Pramudia, K.S. Haryati dan F. Ramadhani. 2013b. Penelitian dan Pengembangan Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Laporan Akhir RPTP. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Hadi, P. U, C. Saleh, A.S. Bagyo, R. Hendayana, Y. Marisa dan I. Sadikin. 2000. Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 41: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

40

Harahap, A.J, P. Rejekiningrum dan I. Anas. Strategies For Climate Change Mitigation And Adaptation In The Agricultural Sector In Indonesia. Workshop on Developing Farming Systems for Climate Change Mitigation. Colombo, 26-30 August 2013.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policymakers. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva.

IRI. 2010. Weather Index Insurance Education Tool (WIIET) dalam http://iri.columbia.edu/education/insurancetool.

IRI. 2012. Index Insurance Capacity Building Exercises for Indonesia Release 2.0. IRI, Earth Institute, Columbia University.

Lee, WF., MD. Boehlje, AG. Nelson and WG. Murray. 1980. Agricultural Finance Ch4 (Handling Risk and Uncertainty), Ch13 (Risk Management Strategies), Ch14 (Insurance for Farmers), and Ch22 (Insurance Company Farm Loan). 7th edn., The Iowa State University Press, Ames.

Manuamorn, O. Pomme. 2010. A Feasibility Study on Weather Index Insurance for Agriculture in Indonesia – Weather Index Insurance in the Context of Agricultural Risk Management and Relevant International Experiences. Bahan Presentasi dalam Weather Index Insurance Seminar 2010 ―Finding of the Feasibility Study for Covering Weather Risk on Maize Production. International Finance Corporation, Jakarta 15 April 2010.

Martirez. 2009. Microensure, Helping the poor weather life‘s storm. Bahan Tayangan.

Osgood, D, M. McLaurin, M.Carriquiry, A. Mishra, F. Fiondella, J. Hansen, N. Peterson dan N. Ward. 2007b. Designing Weather Insurance Contracts for Farmers in Malawi, Tanzania and Kenya. Final Report to The Commodity Risk Management Group, ARD, World Bank.

Pasaribu, S.M. 2013. Asuransi Pertanian Untuk Melindungi Petani Dari Risiko Iklim. Maka-lah disampaikan dalam Workshop Sustained Partnerships and Capacity for Cli-mate Risk Management yang diselenggarakan oleh PERHIMPI, CCROM SEAP–IPB, dan Earth Institute, Columbia University. Bogor, 18 Desember 2013.

Perdinan. 2014. Climate Change and Crop Insurance : Application of Crop Model. Work-shop on Capacity Development on Downscaling Climate Change Projection And Index Base Agricultural Insurance. Sentul, 6 November 2014.

Sanim Bunasor. 2009. Dukungan Asuransi Pertanian Terhadap Risiko Anomali dan Perubahan Iklim. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 42: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

41

Woro Estiningtyas, Aris Pramudia, dan Yayan Apriyana

PENELITIAN KEY AREA KERAGAMAN IKLIM INDONESIA : KONSEP DAN IDE AWAL

DASAR PEMIKIRAN

Perubahan iklim telah terjadi dan diindakasikan akan terus terjadi apabila tidak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Dampak perubahan iklim yang menyeluruh baik secara langsung maupun tidak langsung telah membawa kerugian pada berbagai sektor. Dampak yang besar terutama dirasakan oleh wilayah-wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Wilayah Indonesia yang sangat luas dengan posisi diapit dua samudera dan dua benua serta berupa kepulauan dan agroekosistem yang beragam menjadikan iklim Indonesia sangat kompleks dan dinamis. Siklus Walker, Hadley, Dipole Mode Index (DMI) serta Madden Julian Oscillation (MJO) semua turut berperan dalam proses atmosferik terhadap iklim di Indonesia. Ditambah lagi arus laut seperti Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang diduga juga sangat berperan dalam transfer energy (bahang) terkait dengan ketersedian uap air di wilayah Indonesia. Kompleksitas dan kedinamisan proses tersebut menjadikan iklim di Indonesia cukup beragam. Keragaman iklim Indonesia ditambah dengan perubahan iklim yang saat ini semakin nyata dirasakan membawa dampak yang beragam pula di setiap wilayah di Indonesia. Ada wilayah yang sangat sensitif dan ada pula yang tidak sensitif terhadap keragaman dan perubahan iklim. Namun data dan informasi tentang sebaran wilayah tersebut belum tersedia. Oleh karena itu

diperlukan penelitian untuk mengetahui wilayah mana yang bisa dijadikan kunci atau indikator terhadap perubahan iklim. Karakteristik curah hujan, pola dan tren serta korelasinya dengan indikator global seperti Sea Surface Temperature (SST) dan Indian Ocean Dipole (IOD) menjadi pendekatan awal untuk melakukan identifi-kasi Key Area Keragaman Iklim Indonesia.

Key Area ini merupakan wilayah yang dapat dijadikan indikator adanya perubahan iklim maupun fenomena iklim global lainnya. Apabila kondisi iklim di wilayah kunci ini diketahui atau adanya gejala khusus, maka kondisi ini dapat menjadi indikator untuk wilayah lain se-hingga dapat dilakukan peringatan apabila dijumpai kondisi iklim ekstrim yang diprediksi akan terjadi. Indikator bisa diciri-kan melalui pola dan tren curah hujan, deret hari kering, suhu udara dan seba-gainya.

Mengingat pentingnya informasi ini, maka Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi mengambil inisiatif dan ide awal untuk melakukan penelitian Key Area Keragaman Iklim Indonesia. Tujuan utama kegiatan ini adalah menyusun Peta Key Area Keragaman Iklim Indonesia untuk indikator perubahan iklim sebagai masukan kepada para pengambil kebijakan.

HUBUNGAN INDIKATOR IKLIM GLOBAL DENGAN CURAH HUJAN

DI INDONESIA

Posisi Indonesia yang diapit dua Samud-era dan dua benua menciptakan mekan-isme iklim global yang cukup dinamis dan

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 43: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

42

kompleks. Posisinya yang juga dilewati garis katulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh kawasan Lautan Pasifik, men-jadikan Indonesia sebagai daerah perte-muan sirkulasi Meredional (Hadley) dan sirkulasi Zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia (Pramudia et al. 2013). Be-berapa studi telah dilakukan, khususnya tentang variabilitas curah hujan di Indone-sia yang dikaitkan dengan fenomena skala global seperti EL Nino, La Nina dan IOD terhadap curah hujan di Indonesia. Hasil penelitian Las (2003) dengan data hujan dari 239 stasiun di Jawa dan Bali periode pengamatan lebih dari 30 tahun menunjuk-kan bahwa pada tahun La-Nina hampir seluruh stasiun memiliki curah hujan tahu-nan lebih tinggi (112-131% ) dibanding rata-ratanya/tahun normal). Sebaliknya pada tahun El-Nino hampir seluruh stasiun mempunyai curah hujan lebih rendah (79,3-86,2%) dari rata-ratanya/tahun normal. Anomali iklim tidak hanya mempengaruhi jumlah curah hujan, tetapi juga pola dan lamanya periode hujan dan kemarau yang berimplikasi terhadap pergeseran musim tanam.

Pengaruh anomali iklim terhadap curah hujan ini terlihat khas dan berbeda-beda di setiap daerah. Artinya besar kecilnya pengaruh tersebut terkait erat dengan karakteristik dan kondisi lokal di daerah yang bersangkutan. Semakin jelas pola hujan yang terjadi di suatu daerah, maka pengaruh anomali iklim akan terlihat jelas pula dan hal ini akan memberi kemudahan dalam melakukan analisis datanya. Menurut Las (2004) besarnya pengaruh anomali iklim terhadap curah hujan ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : 1) posisi ekuatorial yang terkait dengan peranan angin pasat, 2) pengaruh monsunal dalam kaitannya dengan peranan angin monsun, terutama monsun barat, dan 3) pengaruh lokal terutama

aspek topografi, pegunungan, sistem hidrologi dan lain-lain. Karakterisik umum suatu wilayah yang dapat diamati dengan jelas adalah tipe hujannya.

Indikator dominan yang sering digunakan untuk melihat gejala terjadinya anomali iklim adalah SST, sedangkan parameter iklim yang terlihat jelas perilakunya akibat terjadinya anomali iklim adalah curah hujan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara SST dengan curah hujan. Berdasarkan hasil penelitian Hendon (2003) diketahui bahwa variabilitas SST Nino 3.4 mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia sedangkan variabilitas SST di Laut India 10-15%. Pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1o C sudah menyebabkan curah hujan turun sampai di bawah normal. Dengan data curah hujan Indonesia dan SST Indo Pasifik periode 1951-1997, Aldrian dan Susanto (2003) menyimpulkan bahwa anomali curah hujan pada musim kemarau adalah koheren dan berkorelasi kuat dengan variasi ENSO di Pasifik, sebaliknya pada musim hujan korelasi tersebut lemah. Sejak April 1996 NOAA mendifinisikan daerah kunci ENSO, yaitu Nino 3.4 (5oLU - 5oLS dan 170oBB-120oBB) seperti disajikan dalam Gambar 1.

Penelitian yang lebih intensif untuk mempelajari respon curah hujan terhadap SST, dilakukan oleh Aldrian dan Susanto (2003) dengan mengkorelasikan curah hujan musiman dengan SST lautan Indonesia hingga Nino 3.4.

Gambar 1. Wilayah pengamatan Nino 3.4 (Sumber : NOAA)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 44: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

43

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh SST berbeda-beda untuk setiap musim dan setiap wilayah hujan. Korelasi yang cukup tinggi (0.45-0.7) terjadi pada periode Juni-Nopember pada setiap wilayah hujan (Gambar 2). Artinya korelasi lebih nyata terjadi pada musim kemarau. Kesimpulan yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Las (2004) yang menyatakan bahwa korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Dengan data curah hujan Indonesia dan SST Indo Pasifik periode 1951-1997, Aldrian dan Susanto (2003) menyimpulkan bahwa anomali curah hujan pada musim kemarau adalah koheren dan berkorelasi kuat dengan variasi ENSO di Pasifik, sebaliknya pada musim hujan korelasi tersebut lemah (Haylock-McBride, 2001). Keeratan hubungan ini juga diungkap oleh Hadi (2002) yang menyatakan bahwa El Nino dapat memperparah atau memperpanjang musim kemarau di Indonesia.

Estiningtyas (2005) juga telah melakukan penelitian tentang hubungan curah hujan dengan SST Nino 3.4 yang menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara curah hujan dan SST Nino 3.4 pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan baik di wilayah monsunal maupun ekuatorial. Di wilayah monsunal, koefisien korelasi pada musim hujan sebesar 80,82% dan pada musim kemarau 99,35%, sedangkan pada wilayah ekuato-rial, koefisien korelasi musim hujan 93% dan musim kemarau 98,93%. Menurut Boer, et al (1999) pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1o C akan menyebabkan curah hujan turun sampai di bawah normal. Kesimpulan yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Las (2004) yang menyatakan bahwa korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Untuk tenggang waktu (lag) antara curah hujan dan SST Nino 3.4, cukup bervariasi antara 0-2 bulan. Hasil penelitian Estiningtyas (2007) menunjukkan bahwa lag 2 bulan menghasilkan nilai korelasi yang tertinggi untuk lokasi Jawa Tengah dan nilai ini dapat bervariasi antar wilayah. Oleh karena itu untuk mengaplikasikan skenario time lag ini perlu diperhatikan wilayah atau luasan yang akan dianalisis.

Gambar 2. Korelasi curah hujan dan SST pada wilayah hujan A, B dan C (Sumber : Aldrian dan Susanto, 2003)

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 45: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

44

PENDEKATAN AWAL PENENTUAN KEY AREA

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas serta tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim yang tidak sama pada setiap wilayah, maka diperlukan wilayah kunci (Key Area) sebagai indikator keragaman iklim di Indonesia. Karakteristik curah hujan dan korelasi antara curah hujan dan SST serta IOD dijadikan indikasi awal melakukan pendekatan Key Area. Pendekatan awal dalam studi Key Area ini antara lain : (1) Melakukan analisis korelasi antara stasiun hujan di seluruh Indonesia dengan indikator

iklim global SST Nino 3.4 dan IOD. Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dilakukan klasifikasi sebagai berikut (Tabel 1) (Sarwono:2006) :

Tabel 1. Klasifikasi korelasi (2) Mengapa digunakan Nino 3.4, hal ini didasarkan pada hasil penelitian Hendon (2003)

yang menyebutkan bahwa variabilitas SST Nino 3.4 cukup besar pengaruhnya terhadap curah hujan seluruh Indonesia yaitu sekitar 50%

(3) Melakukan analisis korelasi antara stasiun hujan di seluruh Indonesia dengan indikator iklim global SST Nino 3.4 dan IOD dengan lag time 1, 2 dan 3 bulan

(4) Menentukan korelasi tertinggi antara stasiun hujan di seluruh Indonesia dengan indikator iklim global SST Nino 3.4 dan IOD berdasarkan lag time nya (apakah lag time 1, 2 dan 3 bulan yang menghasilkan korelasi tertinggi)

(5) Menyusun hasil tahap 1 dan 2 dalam bentuk spasial dan menentukan lokasi mana yang memiliki korelasi tinggi (tertinggi) baik positif maupun negatif

(6) Melakukan analisis tren curah hujan untuk seluruh stasiun hujan di Indonesia (7) Mengkaji pola dan tren curah hujan seluruh Indonesia (8) Mengkaji pola dan tren curah hujan pada wilayah dengan korelasi tinggi (tertinggi) (9) Menentukan Key Area berdasarkan korelasi tertinggi serta pola dan tren curah hujan (10) Menyusun peta Key Area keragaman Iklim Indonesia versi1

RENCANA PENGEMBANGAN

Konsep dan ide awal ini telah dituangkan dalam salah satu Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP) di Balitklimat tahun 2014. Karakteristik curah hujan, pola dan tren serta korelasinya dengan indikator iklim global seperti SST dan IOD dipelajari untuk memperoleh indikasi

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 46: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

45

awal sebagai Key Area keragaman iklim di wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Tahun 2014 ini diharapkan dapat menjadi titik acu untuk pengembangan selanjutnya. Pengembangan selanjutnya wilayah key area akan dikelompokkan berdasarkan

dampak perubahan iklim (PI) pada kelas iklim dan tipologi lahannya yaitu : 1) Iklim basah:

lahan kering & lahan basah; 2) iklim kering : lahan kering & lahan basah; 3) lahan rawa

pasang surut; 4) lahan rawa lebak; dan 5) lahan masam.

Pada tahun 2015 penelitian key area masih terus dikembangkan dilanjutkan dengan perakitan teknologi adaptasi PI yang menghasilkan informasi adaptasi teknologi dan kearifan lokal untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim berbasis key area.

Pada tahun 2016 penelitian key area dan perakitan teknologi adaptasi PI masih terus dikembangkan dilanjutkan dengan uji multi lokasi teknologi adaptasi perubahan iklim melalui litkajibangluhrap yang akan dilakukan oleh BPTP.

Pada tahun 2017 dan 2018 perakitan teknologi adaptasi PI dan uji multi lokasi masih terus dikembangkan dilanjutkan dengan penyusunan prototype system delivery informasi teknologi perubahan iklim. Penyusunan prototype, untuk memudahkan mendapatkan informasi teknologi adaptasi PI dan kearifan lokal di setiap wilayah.

Hasil kegiatan selama periode 2014-2018, akan dikemas dan disusun dalam bentuk Handbook Agroclimate Policy pada tahun 2019. Selain itu akan terus dilakukan pengembangan sistem delivery informasi teknologi perubahan iklim, hal ini dilakukan agar teknologi adaptasi PI dapat dimanfaatkan pengguna di setiap wilayah sehingga dampak PI dapat diminimalisasi (Gambar 3).

PENUTUP

Key Area Keragaman Iklim Indonesia masih dalam tahap awal penelitian. Kajian terhadap berbagai pendekatan terus dilakukan untuk memperoleh metodologi yang sahih dan dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiah.

Masukan, saran dan ide-ide pengembangannya diharapkan dapat dikontribusikan agar hasil akhir penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh publik sebagai bentuk pelayanan dalam meningkatkan sumberdaya iklim untuk kemajuan pertanian di Indonesia.

Gambar 3. Road map RPTP Key Area 2014-2019

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id

Page 47: balitklimat.litbang.pertanian.gobalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/... · 2020. 1. 31. · merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

46

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., dan R. D. Susanto, 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature, International Journal Of Climatology, Int. J. Climatol, 23: 1435-1452. Wiley InterScience.

Boer, R. Notodipuro, K.A. and Las, I., 1999, Prediction of daily rainfall characteristic from monthly climate indicate, Paper pesented at the second international conference on science and technology for the Assesment of Global Climate Change and Its impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999.

Estiningtyas, W. 2005. Prediksi Curah Hujan Dengan Metode Filter Kalman Untuk Menyusun Pola Tanam. Tesis. Program studi Sains Atmosfer, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung.

Estiningtyas, W . 2007. Pengaruh Tenggang Waktu (Time Lag) Antara Curah Hujan dengan Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 Terhadap Performa Model Prediksi Hujan Jurnal Meteorologi dan Geofisika, BMKG,

Hendon, H.H, 2003, Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local Air-Sea Interaction, American Meteorology Society.

Hadi, TW, Z.L. Dupe, A. Lubis, 2002, Evolusi El Nino/La Nina di Pasifik dan Dampaknya di Indonesia, Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional 2002.

Haylock, M., and J. L. McBride, 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. Journal of Climate, 14, 3882–3887.

Las, I, E. Surmaini, N. Widiarta, G. Irianto, 2003, Potensi Dampak Anomali Iklim, El-Nino dan La-Nina Terhadap Produksi Pangan dan Kebijakan Penanggulangannya, Makalah Seminar El-Nino dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Pertanian, 6 Maret Bogor.

Las, I., 2004. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Na-sional Pada Era Revolusi Hijau Lestari-Strategi dan Inovasi Teknologi Untuk Antisi-pasi dan Penanggulangan, Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Agrome-teorologi. Badan Litbang Pertanian.

Pramudia, A, W. Estiningtyas, E. Susanti dan Suciantini. 2013. Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. Buku Kalender Tanam Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ke-menterian Pertanian.

balitklim

at.litbang.pertanian.go.id