20101122185411.brimob

55
Mereformasi Brigade Mobil Polri Evaluasi Pelatihan Hak Asasi Manusia dan Analisis Permasalahan Utama Reformasi Brimob Sidney Jones Irjen Pol (Purn.) Drs. Ronny Lihawa Santiago Villaveces-Izquierdo, PhD. Ignatius Priambodo Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia 2004

Upload: crazyfig

Post on 01-Jan-2016

142 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 20101122185411.Brimob

1

Mereformasi Brigade Mobil Polri

Evaluasi Pelatihan Hak Asasi Manusiadan

Analisis Permasalahan Utama Reformasi Brimob

Sidney JonesIrjen Pol (Purn.) Drs. Ronny LihawaSantiago Villaveces-Izquierdo, PhD.

Ignatius Priambodo

Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia2004

Page 2: 20101122185411.Brimob

2

Page 3: 20101122185411.Brimob

3

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ....................................................................... 5

I.A. Latar Belakang dan Tujuan ........................................................... 5I.B. Kerangka Acuan – Metodologi ..................................................... 7I.C. Ucapan Terima Kasih .................................................................... 8

II. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BRIMOB .................... 11

II.A. Sejarah Brimob: ............................................................................ 111. Pra Kemerdekaan (1912-1945) ..................................................... 112. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1950) ............ 123. Operasi Keamanan Nasional (1950-1965) .................................... 134. Integrasi dengan ABRI (1967-1999) ............................................. 14

II.B. Brimob dan Reformasi Polri (1999-sekarang) .............................. 161. Pemisahan Polri dari TNI ............................................................. 162. Ukuran dan Struktur Brimob ........................................................ 173. Peran dan Fungsi Brimob ............................................................. 194. Peran TNI dalam Menjaga Keamanan .......................................... 19

II.C. Kesimpulan ..................................................................................... 20

III. BRIMOB DAN PELATIHAN HAK ASASI MANUSIA ......... 21

III.A. Pelatihan yang Didukung UNHCR ............................................... 211. Garis Besar Proyek ....................................................................... 212. Pelatihan ....................................................................................... 233. Materi Pelatihan ............................................................................ 244. Penyelesaian Proyek Lebih Dini ................................................... 24

III.B. Evaluasi Pelatihan ......................................................................... 251. Analisis Teknis .............................................................................. 252. Disain Proyek dan Implementasi ................................................... 26

Page 4: 20101122185411.Brimob

4

3. Manajemen Proyek ........................................................................ 284. Dampak ......................................................................................... 295. Contoh: Pelatihan Hak Asasi Manusia di Pusdik Watukosek

(Jawa Timur) ................................................................................. 316. Permasalahan Model Bergulir (Bola Salju) ................................... 32

III.C. Brimob dan Hak Asasi Manusia Internasional .............................. 33

III.D. Konteks yang Lebih Luas ............................................................. 36

III.E. Rekomendasi ................................................................................. 37

IV. PERMASALAHAN UTAMA, PILIHAN KEBIJAKAN DANREKOMENDASI ................................................................................. 39

IV. A. Reformasi Brimob dalam Mendukung Hak Asasi Manusia ......... 39IV. B. Membedakan Peran Polisi dan Militer ......................................... 40IV. C. “Pensipilan” dan Pengubahan Budaya Institusi ............................ 43IV. D. Kondisi Kerja dan Kualitas Hidup ............................................... 45IV. E. Kuantitas vs Kualitas: Masalah Struktural .................................... 47

LAMPIRAN .......................................................................................... 49

Lampiran 1 Struktur Organisasi BRIMOB ............................................ 49Lampiran 2 Jadwal Pelatihan Program UNHCR

Untuk Komponen Brimob .................................................. 50Lampiran 3 Jadwal Kerja Tim Untuk Evaluasi dan Wawancara ............ 51Lampiran 4 Tujuan Evaluasi : Kerangka Acuan .................................... 53

Page 5: 20101122185411.Brimob

5

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang dan Tujuan

Tujuan laporan ini adalah menyediakan dasar untuk diskusi lebih lanjutmengenai reformasi Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Negara RepublikIndonesia. Laporan ini memberikan beberapa saran spesifik mengenai jenispelatihan dan besaran pendukung terkait yang dibutuhkan untukmeningkatkan kinerja Brimob agar sesuai dengan standar Hak Asasi ManusiaInternasional. Laporan ini dipersiapkan oleh sekelompok tim evaluator, daripihak Indonesia dan pihak Internasional, dan didukung oleh Kemitraan BagiPembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Brimob selama ini diketahui memiliki reputasi yang buruk dalam bidangHak Asasi Manusia.1 Setelah pemisahan kepolisian dari militer, secara for-mal pada April 1999, dan efektif diterapkan pada Juli 2000, Brimob menjadifokus dari sebuah proyek yang didisain untuk menggabungkan prinsip-prinsiphak asasi manusia dalam konteks prosedur pelatihan dan operasinya. Proyekini adalah bagian dari Program Reformasi Polisi yang lebih besar, dilakukanatas inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan United Nations HighCommissioner for Refugees (UNHCR). Proyek ini dimulai pada Juni 2001dan berakhir pada Januari 2003.2

Dukungan untuk Brimob bukannya tidak dipermasalahkan di kalangandonor. Sebagai contoh, Kongres Amerika Serikat telah pernah membuatlarangan khusus dalam pemberian bantuan untuk Brimob. Usulan evaluasiini lahir dalam diskusi dengan perwakilan Brimob pada saat Security/PoliceDonor Working Group yang difasilitasi oleh Kemitraan. Interaksi antara pihakBrimob dan komunitas donor salah satunya berupa kunjungan ke markasBrimob.

1 Reputasi HAM Brimob telah didokumentasikan dalam laporan Organisasi Hak Asasi Manusia Indonesia danInternasional. Salah satu contoh adalah siaran pers mengenai situasi di Aceh oleh Komisi Nasional Hak AsasiManusia (KomnasHam), tertanggal 1 November 2003: “TNI & Brimob Melanggar HAM”

2 Brimob juga menerima pelatihan HAM yang disponsori oleh International Committee for the Red Cross (ICRC).Pelatihan ini tidak menjadi pembahasan dalam laporan ini.

Page 6: 20101122185411.Brimob

6

Tujuan utama kegiatan ini adalah melakukan evaluasi dan mempelajaripengalaman dari apa yang dilakukan bersama Brimob dalam konteks proyekyang didukung UNHCR. Dengan demikian, segera menjadi jelas bahwapenting untuk melihat latar belakang proyek ini dengan menggunakanperspektif yang lebih luas guna menganalisa beberapa masalah fundamen-tal, khususnya yang terkait dengan pola perintah dan budaya kelembagaan.Sampai titik tertentu, hal ini sudah terefleksikan dalam kerangka acuan yangdipergunakan oleh penulis. Namun demikian nilai pentingnya ternyatasemakin terlihat selama melakukan evaluasi. Penghormatan atas hak asasimanusia bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat ditransfer melaluibantuan teknis. Namun, membutuhkan juga kondisi lingkungan yangkondusif. Selain itu, dibutuhkan pula metode pengajaran dengan cara yangrelevan dengan konteks politik lokal, sosial dan kultural.

Brimob adalah unit yang terpisah di dalam Polri. Namun demikian, sesuaiperintah yang diterima dalam kenyataannya Brimob seringkali beroperasi diwilayah abu-abu antara polisi dan militer, dua pilar kekuasaan negara yangkoersif. Evaluasi ini segera menemukan betapa hal ini sebenarnya tidakberdasar dan tidak diinginkan. Dengan peranannya yang bertolak-belakangini, Brimob sering kali terlibat dalam operasi bersama dengan Angkatan Darat,menghadapi situasi dimana mereka tidak memiliki alat ataupun bekal latihanyang memadai. Tidaklah mengagetkan ketika kondisi seperti inimengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan mengaburkan perananpolisi maupun militer di mata masyarakat.

Hampir semua pelatihan yang dilakukan oleh UNHCR ditujukan untukmenerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam tugas pengendalianmasyarakat. Kenyataannya, Brimob jarang digunakan untuk menghadapigangguan terhadap ketertiban umum, melainkan untuk terlibat dalam usahamengatasi situasi pemberontakan dan konflik antar etnis atau agama. Selainitu, sekarang Brimob juga diminta berperan dalam kegiatan anti-terorisme.

Laporan ini menyimpulkan adanya kebutuhan penting untuk meng-klarifikasi kapasitas paramiliter apakah yang dibutuhkan oleh Polisi Indone-sia untuk memenuhi fungsi yang sah dari kepolisian, dan tentang pembagiankerja dengan TNI dalam situasi konflik internal. Semua diskusi mengenaireformasi Brimob harus dimulai dengan meninjau kembali mandat ini. Hanyadengan cara itulah kita kemudian dapat melanjutkan ke permasalahan lainyang mempengaruhi kinerja Brimob perihal hak asasi.

Page 7: 20101122185411.Brimob

7

I.B. Kerangka Acuan – Metodologi

Evaluasi ini dilakukan oleh Sidney Jones dari International Crisis Group(ICG), Ronny Lihawa, pensiunan Inspektur Jendral Polisi dan SantiagoVillaveces Izquierdo dari Asia Foundation, dengan dukungan dari IgnatiusPuguh Priambodo (Pupung). Adrianus Meliala dan Peter van Tuijl dariKemitraan menyediakan bantuan tambahan.

Evaluasi ini dimulai pada Februari 2003 dengan pertama-tama melakukanpenelaahan yang menyeluruh terhadap data-data proyek maupun materipelatihan di Pusat Latihan (Puslat) Brimob di Jakarta dan Pusat PendidikanBrimob (Pusdik) di Watukosek, Jawa Timur. Bahan-bahan yang dipelajarilainnya mencakup pula laporan-laporan dan jadwal latihan dari Equity Inter-national (EI), organisasi yang dikontrak untuk melaksanakan proyek tersebut.Data tersebut sebagian besar diperoleh dari kantor UNHCR di Jakarta.

Dari Maret sampai Juni 2003, tim ini melakukan kunjungan ke empatlokasi yang dianggap paling relevan dalam rangka evaluasi: Watukosek (JawaTimur); Medan (Sumatera Utara); Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam- NAD); dan Kelapa Dua, markas Brimob di Jakarta Selatan. Equity Interna-tional telah melakukan sebagian besar pelatihan untuk personil Brimob diKelapa Dua dan juga di beberapa basis unit regional terpilih di Porong, JawaTimur dan Medan. Di Watukosek, tim melakukan observasi terhadap carabagaimana beberapa pelatih yang sebelumnya telah menerima pelatihan dariproyek bantuan UNHCR melakukan pelatihan hak asasi manusia yang serupauntuk taruna Brimob. Sejumlah diskusi kelompok terfokus diadakan dengananggota Brimob, berpangkat Tamtama sampai Perwira, dengan anggota yangmengikuti ataupun tidak mengikuti pelatihan hak asasi manusia, dan denganpersonil “organik” – yaitu yang berbasis-teritorial– maupun personil “non-organik”. Secara keseluruhan, tim telah mewawancarai lebih kurang 130personil Brimob dalam rangka evaluasi ini.

Tim juga mengadakan wawancara individual pada September 2003dengan pihak-pihak yang berperan serta terlibat dalam pelatihan dalam proyekUNHCR. Semua diskusi dan wawancara tersebut sangat menolong tim untukmemahami dan menyesuaikan konteks dengan masalah yang lebih luas yangdialami Brimob.

Draft dari laporan ini telah pernah diberikan kepada beberapa organisasiyang relevan, termasuk UNHCR dan Equity International, dan kelompok

Page 8: 20101122185411.Brimob

8

peninjau lainnya. Berbagai masukan yang diperoleh kemudian menghasilkanbeberapa penyesuaian pada isi laporan ini.

Laporan ini ditujukan bagi pembaca di dalam dan di luar Polri. Dalamkaitan itu, struktur dan bahasa perlu disesuaikan dengan kebutuhan danreferensi pembaca yang beragam tersebut. Bab 2 mencoba memberikankonteks berkaitan dengan diskusi terhadap mandat Brimob saat ini, ukuranmaupun struktur, dan dengan menyediakan gambaran perkembangan sejarahBrimob dari perspektif Polisi Indonesia. Struktur organisasi terbaru Brimobterlampir pada Lampiran 1. Bab 3 menjelaskan gambaran dan evaluasikomponen Brimob di Proyek Pelatihan tentang Undang-Undang Pengungsidan Hak Asasi Manusia untuk Polri. Bab ini juga melihat komponen proyekdari konteks yang lebih luas dan menyertakan beberapa rekomendasi untukpelatihan hak asasi manusia Brimob di masa mendatang. Jadwal pelatihanyang dilakukan dalam rangka proyek tersebut tercantum dalam Lampiran 2.Bab 4 menganalisis isu-isu utama yang perlu diangkat jika masalah hak asasimanusia Brimob ingin diatasi secara efektif. Termasuk dalam bab ini diajukanbeberapa pilihan kebijakan dan rekomendasi.

Jadwal kunjungan, daftar orang-orang yang diwawancarai maupun diskusikelompok terfokus, serta Kerangka Acuan untuk misi ini, terlampir dalamLampiran 3 dan 4.

I.C. Ucapan Terima Kasih

Tim ini sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah bersediamenyediakan waktunya guna diwawancarai atau berdiskusi; demikian pulayang telah sangat menolong dalam mempersiapkan atau mempelajari versiawal dari laporan ini. Brimob, di semua tingkatan institusi, telah menyambutdan mendukung jalannya evaluasi ini. Kerjasama dengan UNHCR dankesediaannya untuk terbuka terhadap evaluasi yang dilakukan pihak luar jugapatut menerima penghargaan dan ucapan terima kasih.

Tim menemukan banyak hal penting guna memikirkan dan men-diskusikan tentang masa depan Brimob. Seperti disimpulkan oleh salah satukelompok peninjau bahwa usaha awal yang dilakukan oleh UNHCR danEquity International setidak-tidaknya telah menolong memasukkan Brimobsebagai salah satu isu guna dikembangkan nantinya. Kami berharap laporanini akan dapat lebih mendorong reformasi Brimob di kemudian hari.

Page 9: 20101122185411.Brimob

9

Pihak Kemitraan mengucapkan terima kasih pada International CrisisGroup dan The Asia Foundation yang telah mengijinkan staf-nya berkontribusidalam pengerjaan laporan ini hingga selesai. Laporan ini tetap menjaditanggungjawab Kemitraan semata.

Page 10: 20101122185411.Brimob

10

Page 11: 20101122185411.Brimob

11

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BRIMOB

II.A. Sejarah Brimob

Brimob memiliki sejarah panjang sebagai suatu kesatuan yang berbedadari polisi reguler. Brimob juga menjadikan dirinya terkenal dalam usahanyamelawan pemberontak di masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia.Kedua faktor ini dapat berarti dua hal: Pertama, reformasi dilakukan untuklebih mengintegrasikan Brimob ke dalam Polri. Kedua, melikuidasi peranlawan insurgensi yang dimiliki Brimob selama ini walaupun bertentangandengan budaya institusional. Bab ini bertujuan mempersiapkan konteks untukkeseluruhan laporan ini dengan pertama-tama menyediakan perspektif sejarahperkembangan Brimob dari sudut pandang Polri.

1. Pra-Kemerdekaan (1912-1945)

Brimob yang ada sekarang ini dapat dianggap sebagai pewaris langsungdari satuan polisi yang ada pada masa kolonial Belanda. Pada 1912,Pemerintah Hindia Belanda membentuk satuan polisi bersenjata yangdinamakan Gewapende Politie dan kemudian digantikan oleh satuan lainbernama Veld Politie yang memiliki tugas yang sama. Tugas-tugas ini antaralain: bertindak sebagai unit reaksi cepat, menjaga ketertiban dan keamananmasyarakat, mempertahankan hukum sipil, menghindarkan munculnyasuasana yang memerlukan bantuan militer, dan konsolidasi atas wilayahyang baru diperoleh.

Selama masa penjajahan Jepang, satuan polisi khusus bernama TokubetsuKeisatsu Tai dibentuk di setiap daerah di pulau Jawa. Peralatan yang dimilikisatuan ini jauh lebih lengkap daripada yang dimiliki oleh Veld Politie. Satuankhusus ini dibentuk sebagai kekuatan penyerang di bawah perintah KepalaPolisi Daerah. Tiap-tiap satuan khusus daerah didukung oleh 60 sampai 150personil polisi khusus. Di beberapa daerah tertentu seperti Surabaya, Priangandan Jakarta, jumlah polisi khusus ini bahkan lebih besar. Persenjataannyatermasuk karabin, senapan mesin dan kendaraan lapis baja. Tugas utama

Page 12: 20101122185411.Brimob

12

unit ini adalah merespon sejumlah ancaman utama terhadap keamanantermasuk demonstrasi, kerusuhan, dan perampokan bersenjata.

Selama periode ini, Polisi sebagai organisasi, dan terutama Polisi khusus,dianggap sebagai kekuatan bersenjata yang sangat teratur.

2. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1950)

Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, pada 22 Agustus 1945, M.Jasin, Komandan Satuan Polisi Khusus Jawa Timur, mendeklarasikan lahirnyaPolisi Nasional Indonesia. Polisi pada hari itu berparade di jalan-jalanSurabaya dan memperoleh dukungan luas dari penduduk lokal. Polisi Khususbertugas mendistribusikan senjata-senjata yang diperoleh dari tentara Jepanguntuk digunakan dalam perang melawan kembalinya tentara Belanda dantentara sekutu. Dalam pertempuran yang terkenal di Surabaya, satuan- satuandari wilayah Madiun, Bondowoso, Malang dan Lamongan datang untukmendukung satuan Surabaya. Di seluruh Jawa, satuan Polisi Khusus terlibatdalam aksi penolakan terhadap Belanda dan pasukan sekutu, yang kemudianmemberikan kepada mereka legitimasi yang kuat dan identitas nasionalis ditahun-tahun berikutnya.

Pada 14 November 1946, Mobile Brigade (Mobrig) dibentuk untukmenggantikan Polisi Khusus. Struktur organisasi diperbaiki dan terdiri atasMobile Brigade Besar di tingkat provinsi dan pusat, serta satuan MobileBrigade Wilayah di tingkat wilayah. Dibawah unit Besar dan Wilayah terdapatbatalyon, kompi, dan peleton. Mobrig juga memiliki unit detasemen lapisbaja yang dilengkapi dengan kendaraan lapis baja pengangkut personil (APC).

Sebagai organisasi baru dan sedang berkembang, Mobrig terlibat secaraaktif dalam melawan agresi Belanda Pertama dan Kedua yang terjadi diYogyakarta dari 1947 sampai 1949. Pertempuran melawan tentara Belandadan Sekutu juga terjadi di beberapa tempat di Sumatera. Pada 1948, Mobrigterlibat dalam pertempuran melawan pemberontakan Partai Komunis diMadiun. Pada 1949-1950, Mobrig mengadakan operasi melawan tentaraKapten “Turk” Westerling yang terkenal, seorang Perwira Angkatan DaratBelanda, di Sulawesi Selatan dan Bandung, Jawa Barat. Westerling dikenalkarena kekejamannya, yakni melakukan eksekusi ribuan orang Indonesia.

Sejak hari pertama kemerdekaan, Satuan Polisi Khusus di Jakarta telahbertugas menjamin keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan keluargamereka. Beberapa usaha untuk membunuh Presiden Soekarno dan

Page 13: 20101122185411.Brimob

13

keluarganya, termasuk peristiwa di Cikini, Jakarta pada November 1957 ketikasekelompok pemberontak daerah melemparkan granat tangan ke arahpresiden, gagal karena keberanian Mobrig.

Setelah Soeharto berkuasa, tugas perlindungan presiden diambil alih olehKesatuan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang personilnya berasal darimiliter.

3. Operasi Keamanan Nasional (1950-1965)

Brigade Mobil terlibat dalam usaha menumpas pemberontakan yangterjadi dalam perode ini, termasuk yang dipimpin Kapten Andi Aziz diSulawesi Selatan dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di JawaBarat yang dipimpin oleh Kartosuwirjo. Di Aceh dipimpin oleh DaudBeureueh, dan di Sulawesi Selatan, dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Mobrigmengirimkan 20 kompi gabungan untuk bergabung dalam perang menumpaspemberontakan di Jawa Barat.

Pada 1 Juli 1950, Mobrig sekali lagi mereorganisasi dirinya. Mobrigberada di bawah perintah langsung markas besar Polisi Nasional. Kepalapolisi di tingkat provinsi dan wilayah tidak lagi memiliki otoritas atas Bri-gade Mobil. Di tingkat pusat dibentuk Inspektorat Mobrig dan di tingkatprovinsi terdapat koordinator Mobrig yang berada di bawah perintah langsungKepala Polisi Nasional. Perubahan ini diikuti dengan pendirian resimenMobrig provinsi besar. Di Jakarta, Korps Mobrig diperkenalkan dan memilikiKomandan Korps di puncak struktur organisasi.

Personil Mobrig dari beberapa kompi di Jawa dan Jakarta dikirim pada1952 sampai 1956 untuk menumpas gerakan yang ingin mendirikan RepublikMaluku Selatan (RMS) dan terpisah dari Indonesia. Dari 1956 sampai 1959,kompi-kompi Mobrig, terutama dari Jawa, dikirimkan sekali lagi untukmenghentikan usaha pemberontakan PRRI dan Permesta di Sumatera,Sulawesi dan Maluku. Operasi ini diadakan dengan bekerja sama denganmiliter, terutama angkatan darat. Tetapi, dua institusi ini memiliki target yangberbeda dan mereka beroperasi secara independen satu dengan yang lain.

Pada 14 November 1961, Presiden Soekarno atas nama pemerintahmenganugerahi Mobrig tanda penghargaan Nugraha Sakanti Yana Utamasebagai pengakuan atas jasa-jasanya mempertahankan kemerdekaan danmenumpas pemberontakan. Pada saat itu, penghargaan tersebut adalahpenghargaan tertinggi yang diterimakan, dan tidak ada satuan angkatan

Page 14: 20101122185411.Brimob

14

bersenjata lain yang menerima penghargaan sejenis. Pada saat yang sama,Presiden Soekarno juga merubah nama Mobrig menjadi Brimob.

Dari 1961 sampai 1962 Brimob mengirimkan pasukannya ke Papua Baratdalam usaha mengamankan wilayah tersebut dalam rangka kedaulatan Indo-nesia. Sekitar 2.400 personil Brimob dikirimkan dan dibagi menjadi empatbatalyon. Satu detasemen Pelopor (lihat di bawah) juga berpartisipasi dalamoperasi tersebut.

Pada 1962-1964, Brimob ambil bagian dalam Operasi Dwikora untukmelakukan sabotase berkaitan dengan pembentukan negara bagian Malay-sia. Mereka memasuki wilayah Malaysia sebanyak empat kali, namun sebagaihasilnya, seluruh peleton Brimob terbunuh. Setelah usaha kudeta pada 1965,Brimob tampil secara aktif di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

4. Integrasi dengan ABRI (1967-1999)

Brimob sangat bangga dengan prestasi mereka dalam usaha mem-pertahankan kemerdekaan (dari tahun 1945-1950) dan dalam menumpaspemberontakan (dari tahun 1950-1965). Sebelum integrasi polisi ke dalamangkatan bersenjata Indonesia, Brimob juga memiliki cukup peralatan dancukup terlatih. Ini didukung sepenuhnya dengan resimen yang kuat di daerah-daerah, Resimen Pelopor, dan unit kendaraan lapis baja mereka.

Pada awalnya, mengintegrasikan polisi ke dalam ABRI adalah bagiandari usaha untuk mengakhiri kompetisi yang mengakibatkan kurangnyakoordinasi dalam mengembangkan dan memperluas angkatan yang berbeda-beda tersebut.

ABRI telah sejak lama difungsikan sebagai elemen pengintegrasi, sepertiyang terlihat dalam kerjasama antar angkatan ini pada saat operasipenumpasan pemberontakan dan berbagai ancaman keamanan internallainnya. Undang-undang Kepolisian tahun 1963 secara eksplisitmengidentifikasi polisi sebagai bagian dari angkatan bersenjata. Namundemikian, baru pada 1967-lah konsep integrasi ABRI diakui ketika keempatangkatan secara resmi berada di bawah kontrol Menteri Pertahanan danKeamanan /Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam/Pangab).

Pada 1969, dilakukan beberapa perubahan nama. “Angkatan Kepolisian”menjadi “Kepolisian Negara RI/Polri”. Istilah “Panglima AngkatanKepolisian” juga dirubah menjadi “Kepala Kepolisian Republik Indonesia”atau “Kapolri”. Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempromosikan

Page 15: 20101122185411.Brimob

15

ide polisi sebagai pelindung keteraturan dan keamanan masyarakat.Sebagai konsekuensi dari integrasi dengan Angkatan Bersenjata, Resimen

Daerah Brimob dibubarkan. Korps Brimob di markas besar kepolisiandiperkecil sampai seukuran dengan satuan polisi lalu lintas dan berada dibawah perintah satuan Sabhara (satuan pemukul/patroli). Wewenang utamaBrimob kemudian berada di bawah kolonel. Satuan Brimob di daerahdikembalikan ke polisi daerah dan dipimpin oleh seorang mayor atau letnankolonel. Dalam statusnya diantara berbagai kesatuan dalam angkatanbersenjata lain, Brimob berada pada titik terendah sepanjang sejarahorganisasinya.

Selama masa jabatannya sebagai panglima angkatan bersenjata, JendralM. Jusuf berusaha untuk memperbaiki kualitas Brimob, memastikan Brimobbenar-benar menjadi kesatuan yang kuat dan berperalatan lengkap (1978-1983). Usaha ini terhenti ketika Jendral L.B. Murdani menggantikan M. Jusuf.Dengan serta merta, TNI kembali menjadi pihak yang dominan dalam menjagaketeraturan masyarakat dan keamanan internal sementara Brimob tidak diberiperanan. Selama Murdani menjabat sebagai panglima (1983-1988), sebuahoperasi anti kejahatan yang dikenal dengan nama petrus (singkatan daripenembakan misterius) diperkenalkan dan selama operasi ini ribuan penjahatdibunuh secara mendadak. Murdani juga bertanggungjawab atas TragediBerdarah Tanjung Priok yang terjadi pada 1984. Angkatan bersenjatamenembakkan senjatanya ke arah demonstran, mengakibatkan banyak korbanmasyarakat sipil.

Ketika Faisal Tanjung mengambil-alih sebagai panglima pada 1993,peranan angkatan bersenjata sebagai penjaga keamanan mulai ditentang olehberbagai kelompok, dari dalam dan luar negeri. Penolakan terhadap peranABRI ini memperkenalkan kembali konsep Polri sebagai institusi utamadalam menangani keamanan internal. Polri diminta untuk memperluas Brimobagar dapat menangani masalah keamanan dan kerusuhan massa.

Namun usaha untuk meningkatkan jumlah personil Brimob tidak disertaidengan usaha yang sama untuk meningkatkan dan memperbaiki berbagaifasilitas seperti barak/perumahan, persenjataan, kendaraan, peralatankomunikasi dan lain-lain. Sekolah Brimob (Pusdik Brimob) tidak dapatmengakomodir jumlah taruna yang bertambah, sehingga banyak yang harusdilatih dengan menggunakan fasilitas militer. Hasilnya, Brimob tidak siapuntuk menjalankan tugas-tugas seperti mengatasi demonstrasi mahasiswayang banyak terjadi pada akhir masa Orde Baru. Personil baru Brimob juga

Page 16: 20101122185411.Brimob

16

kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang konsisten denganprinsip-prinsip pemolisian dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Tujuan semula dari integrasi ABRI adalah mengatur fungsi-fungsi danperanan dari komponen-komponennya, namun ternyata juga memberikankesempatan pada militer untuk ambil bagian dalam pemolisian. Akibatnya,banyak masalah-masalah keamanan yang diselesaikan dengan menggunakanmetode militeristik, seperti kekerasan dalam menyelesaikan masalah konflikperburuhan, perebutan lahan dan lain-lain. Dengan berakhirnya Orde Baru,tanggung jawab untuk keamanan internal dikembalikan lagi ke polisi.

II.B. Brimob dan Reformasi Polri (1999-sekarang)

1. Pemisahan Polri dari TNI

Brimob memasuki era “Reformasi” dalam kondisi yang sangat tidakmenguntungkan. Sebagai sebuah institusi yang telah banyak kehilangankapasitasnya dalam periode integrasi dengan militer, kemudian harusberadaptasi dengan situasi baru dalam waktu singkat namun di saat yangsama mengatasi masalah keamanan internal yang serius. Kerusuhan Mei 1998,demonstrasi mahasiswa, termasuk yang terjadi di universitas Trisakti di Jakartamengakibatkan empat mahasiswa tewas, dan berikutnya insiden yang samaterjadi lagi di bundaran Semanggi pada tahun yang sama. Kasus-kasus ituhanyalah beberapa insiden yang harus dihadapi Brimob.

Pemisahan Polri dari ABRI pada 1999 dan posisi Polri yang beradalangsung di bawah Presiden menandakan awal dimulainya usaha reformasipolisi secara besar-besaran. Peranan TNI (Tentara Nasional Indonesia, namabaru untuk ABRI yang merupakan nama asli militer Indonesia) dan Polrididefinisikan ulang (melalui TAP VI &VII MPR tahun 2000) dimana TNIbertanggung jawab untuk pertahanan eksternal, Polri untuk keamanan inter-nal.

Sebagai konsekuensi dari pemisahan ini, Brimob menjadi kekuatan polisiyang utama dalam operasi-operasi melawan gerakan separatisme bersenjata,kekerasan etnik dan agama, dan situasi konflik lainnya. Dalam beberapa kasusterkait, polisi sebenarnya telah membutuhkan dukungan militer, tetapipemerintah tidak melakukan apapun terhadap permintaan bantuan tersebut.

Page 17: 20101122185411.Brimob

17

2. Ukuran dan Struktur Brimob

Karena polisi diminta menangani jumlah konflik yang terus meningkatdi berbagai daerah, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri),dalam keputusannya pada Oktober 2002, memutuskan untuk memperbesarBrimob. Jumlah personil pada markas Brimob ditetapkan mencapai 8.650polisi dan 540 pegawai sipil (pegawai negeri); di daerah-daerah jumlahnyajuga meningkat secara signifikan.

Personil Brimob dikirimkan ke seluruh Indonesia yakni di satuan-satuandaerah yang berlokasi di setiap kesatuan tingkat propinsi (polisi daerah ataupolda). Walaupun satuan Brimob daerah secara operasional berada di bawahKepala Kepolisian Daerah (Kapolda) setempat, namun mereka tetap secaralangsung berada di bawah perintah Komandan Brimob di Jakarta. SatuanBrimob di daerah bertugas sebagai satuan pendukung untuk kepolisian daerah.

Satuan cadangan Brimob atau satuan resimen berbasis di markas komandoutama Brimob di Kelapa Dua, di Jakarta Selatan. Satuan resimen bertugassebagai pendukung satuan daerah dan dikirimkan sebagai satuan Brimob“non-organik”. Biasanya satuan ini disebut sebagai BKO – Bawah KomandoOperasi. Sampai saat ini terdapat 24.600 personil yang berada pada satuan-satuan daerah dan 8.650 personil BKO di markas Brimob.

Markas Brimob berfungsi sebagai pusat koordinasi untuk semua aktivitasBrimob di seluruh daerah, termasuk satuan-satuan wilayah dan resimen. Pucukpimpinan markas Brimob adalah komandan Brimob dan wakilnya.

Staf dan asisten yang terdapat dalam organisasi Brimob dibagi dalambeberapa bagian sebagai berikut:

a. Bagian Perencanaanb. Bagian Intelijenc. Bagian Pelaksanad. Bagian Personile. Bagian LogistikSelain itu terdapat staf pelayanan dan pendukung, yang terdiri dari seksi

komunikasi dan elektronik; seksi kesehatan dan kesamaptaan; seksi propam(yang menangani masalah akuntabilitas profesi serta pengamanan internal)dan seksi administrasi.

Perwira senior yang terdapat di markas besar termasuk seorang jendralbintang dua, seorang jendral bintang satu, delapan kolonel, dan 19 letnankolonel.

Page 18: 20101122185411.Brimob

18

Unsur Pelaksana Utama di Brimob adalah sebagai berikut:a. Unit I – Geganab. Unit II – Peloporc. Unit III – Pelopord. Pusat Pelatihan (Puslat)Unsur pelaksana utama adalah kekuatan utama di balik aktivitas Brimob

di seluruh Indonesia. Mereka adalah personil yang diterjunkan di lapangan,untuk melakukan penjagaan ketika terjadi demonstrasi di jalan-jalan diberbagai kota di Indonesia ataupun untuk memerangi gerakan separatismedi hutan.

Unit Gegana terdiri dari empat detasemen yang masing-masingnya terdiridari 13 sub-detasemen. Keempat detasemen Gegana ini terbagi lagi dalamtugas-tugas tertentu:

a. Detasemen A/Satuan Intelijen- Reserse Mobilb. Detasemen B/Satuan Bom-Bahan Peledakc. Detasemen C/Satuan Anti-Terord. Detasemen D/Satuan Tugas KhususBagian dari personil Brimob, tim anti-bom Gegana, ditempatkan di semua

markas tingkat provinsi di bawah perintah Kepala Polisi Daerah (Kapolda).Dengan adanya kepentingan untuk mencegah serangan teroris, disarankanpersonil Gegana juga ditempatkan sampai ke tingkat kabupaten atau Polres.

Selanjutnya, terdapat pula dua satuan Pelopor yang masing-masing terdiridari empat detasemen. Detasemen ini terdiri dari 40 kompi (setiap kompiterdiri dari kurang lebih 100 personil) dengan kualifikasi pelopor/ranger.

Korps Brimob, terdiri dari satuan resimental dan wilayah, dipimpin olehjendral polisi berbintang dua. Sementara pasukan khusus lainnya, sepertiKopassus (Angkatan Darat), Marinir (Angkatan Laut) dan Paskhas (Angkatan

3 Hal ini merefleksikan bagaimana Brimob diperlakukan selama masa integrasinya dengan ABRI. Polri selaludipertimbangkan sebagai ‘anak bawang’ dan bahkan Brimob, pasukan elitnya, juga menderita perlakuan yangsama. Polisi telah mencoba dua kali untuk menvalidasi Brimob menjadi organisasi yang lebih besar sebagaijustifikasi guna memiliki komandan dengan pangkat perwira tinggi.

4 Pasal 18 (2), Surat Keputusan mengenai Brimob.5 Pasa1 9 (2), Surat Keputusan mengenai Brimob6 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) baru mengenai bantuan TNI kepada Polisi, yang dipersiapkan sebagai

bagian dari implementasi peraturan dari undang-undang kepolisian yang baru, ditolak oleh TNI pada akhir2002. Bahkan, rancangan undang-undang baru dipersiapkan mengenai Bantuan Teknis dari Tentara NasionalIndonesia dalam bentuk operasi selain perang (RUU Tugas Perbantuan TNI). Rancangan ini sementara dihentikanprosesnya. Situasi terakhirnya adalah TNI diharapkan mempersiapkan rancangan undang-undang baru mengenaibantuan militer untuk polisi, sementara polisi diharapkan untuk mempersiapkan rancangan undang-undangbaru mengenai bantuan polisi untuk militer. Sampai titik ini, kemungkinannya sangat kecil parlemen akanmendiskusikan RUU apapun sebelum Pemilu 2004.

Page 19: 20101122185411.Brimob

19

Udara), hampir semuanya berada di bawah perintah jendral bintang dua (atausetara). Brimob, sampai dengan tahap awal Reformasi, hanya dipimpin olehseorang kolonel.3

3. Peran dan Fungsi Brimob

Menurut pasal 2 Surat Keputusan Kepala Polri (Skep Kapolri) No. Pol.KEP/53/X/2002 mengenai Brimob: “Korps Brimob ditugaskan untuk menjagakeamanan, terutama yang berhubungan dengan penanganan ancaman denganintensitas tinggi, dalam usahanya untuk mendukung keamanan dalam negeri.”Tugas dan fungsi utama dijelaskan lebih lanjut dalam pasal-pasal di dalamSurat Keputusan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan Unsur PelaksanaUtama, dan lebih spesifik yakni pada satuan Gegana dan Pelopor.

Gegana, berdasarkan perintah dari Komandan Brimob, dapat bertindakdalam menghadapi pelanggaran keamanan berat, terutama kejahatanterorganisir yang menggunakan senjata api dan bahan peledak ataupun yangmelakukan serangan teror berskala nasional ataupun internasional.4 Pelopor,berdasarkan perintah dari Komandan Brimob, bertanggung jawab untukpengendalian ketertiban publik dan perlawanan insurgensi, dalam mendukungkeamanan dalam negeri.5

4. Peran TNI dalam Menjaga Keamanan

Faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi kinerja personilBrimob di lapangan. Polri pada umumnya. Dan Brimob khususnya,mengalami keterbatasan sumber daya, dalam bentuk personil, peralatan danalokasi anggaran.

Oleh karena itu bila pada suatu waktu terdapat peranan yang diberikankepada TNI dalam mendukung pemerintahan sipil, maka harus dipertimbang-kan agar TNI dapat benar-benar dapat memahami konteks dimana Brimobsering beroperasi. Dasar yang menyatakan bahwa militer dapat menolongkeamanan internal di dalam suatu keadaan khusus terdapat pada Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Polisi; Undang-Undang Nomor 3/2002tentang Pertahanan; dan Undang-Undang Nomor 23/1959 serta PeraturanPemerintah Nomor 16/1960 tentang Bantuan militer Dari Angkatan Lain.6

Peraturan-peraturan tersebut menjelaskan prosedur dan peranan militerdalam mendukung pemerintahan sipil berkaitan dengan terjadinya situasi

Page 20: 20101122185411.Brimob

20

yang melebihi kapasitas polisi. Peraturan ini jelas-jelas mengakui perananTNI dalam menjaga keamanan. Dengan keterbatasan sumber daya yangdialami Brimob, peran Brimob sebagai tenaga pendukung polisi reguler dapatdialihkan ke militer. Daerah komando militer teritorial juga dapat menjadipendukung Brimob bila ditempatkan di bawah perintah polisi tingkat daerah.

Jika ini diterapkan, Brimob dapat terfokus pada upaya membangunpasukan yang efisien, efektif dan modern serta didukung sepenuhnya olehperalatan dan fasilitas yang memadai. Namun demikian, pertanyaan mengenaipembagian peran yang sebaiknya terlihat antara TNI dan Brimob dalammenjalankan tugasnya sebagai pasukan pendukung polisi reguler, tidak hanyamengenai masalah sumber daya, namun juga mengangkat isu fundamentaldi kepolisian – yakni pengelompokan militer; hal mana akan lebih dibahaspada Bab IV dari laporan ini.

II.C. Kesimpulan

Brimob memiliki sejarah yang terkenal dan berperan besar di masa laludalam rangka mempertahankan kemerdekaan serta memerangi insurgensi danpemberontakan. Namun demikian, peranan Brimob diturunkan secarabertahap ketika terjadi integrasi Polri dan TNI dalam ABRI. Sejak pemisahanPolri dari TNI, polisi telah memperoleh kembali tanggung jawab kemananinternal. Sebagai konsekuensinya, terdapat kebutuhan untuk membangunkembali dan memperluas peran Brimob.

Page 21: 20101122185411.Brimob

21

BAB III

BRIMOB DAN PELATIHAN HAK ASASI MANUSIA

III.A. Pelatihan Yang Didukung UNHCR

1. Garis Besar Proyek

Proyek Pelatihan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Pengungsibagi Kepolisian Republik Indonesia adalah insiatif bersama antara PemerintahIndonesia dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)dan didukung oleh Pemerintah Belanda. Equity International (EI), yangberlokasi di Jenewa, telah di sub-kontrak oleh UNHCR untuk menerapkanaspek-aspek tertentu dari proyek yang sesuai dengan rincian perjanjian.7 Padadasarnya, EI harus mengadakan satu seri program pelatihan yang mencakuptiga proyek:

n Pelatihan tentang hak asasi manusia dan undang-undang pengungsibagi Polri secara umum.

n Pelatihan tentang pemolisian masyarakat di Papua, Aceh, dan SulawesiSelatan.

n Pelatihan mengenai hak asasi manusia dan undang-undang tentangpengungsi untuk Brimob.

EI mulai melakukan proyek ini pada Juni 2001 sebagai tahap persiapanselama tiga bulan, termasuk membuat penilaian komprehensif; mengiden-tifikasi konsultan yang berpengalaman dan memenuhi kualifikasi;mengadakan briefing pra-penempatan di Jenewa; dan termasuk mengirimkankonsultan proyek ke Indonesia.

Pelatihan untuk Brimob bertujuan mengintegrasikan prinsip-prinsip hakasasi manusia dan hukum humaniter ke dalam prosedur latihan dan fungsioperasional. Pada awalnya pelatihan dipersiapkan untuk melatih satu satuantingkat batalyon Markas Komando Brimob di Kelapa Dua.

7 Equity International (EI) adalah Organisasi Nirlaba resmi berlokasi di Belanda dan Swiss. Tujuan EI adalah:“mempromosikan penghargaan atas hak asasi manusia dalam penegakkan hukum melalui pengadaan pelatihanteoritis dan praktis mengenai hak asasi manusia dan memberikan dukungan kepada polisi dan pasukan keamanan“. Informasi lebih lanjut tentang Equity International dapat diperoleh dari: http://www.equityinternational.org

Page 22: 20101122185411.Brimob

22

EI dalam kolaborasinya dengan UNHCR Jakarta mengadakan penilaiankebutuhan pelatihan dari 6 sampai 17 Juni 2001 yang bertujuan untukmemperoleh informasi perihal berbagai hal yang diperlukan dalam rangkamempersiapkan proyek yang telah disebutkan di atas, termasuk mengadakanpelatihan untuk Brimob. Mereka mengunjungi fasilitas latihan Brimob danmengidentifikasi tujuan dari latihan yang direncanakan sebagai berikut:

n Pelatihan untuk Pelatihn Pelatihan untuk Komandan/Kompin Integrasi Peraturan tentang Hak Asasi Manusia/Pengungsi dalam

pelatihan dasar Brimob di WatukosekKomponen pelatihan Brimob pada awalnya diberikan oleh pelatih/tenaga

ahli dari luar negeri. Tenaga ahli asing ini pertama-tama melatih enam perwiraBrimob yang kemudian menjadi “Pelatih Ahli”. Para perwira ini kemudianharus menyampaikan pengetahuan mereka, dengan bantuan dari para tenagaahli asing, kepada pelatih Brimob yang berada di Pusat Latihan di KelapaDua dan instruktur dari sekolah Brimob di Watukosek. Setelah pelatih lokaldiobservasi dan didampingi selama proses pelatihan, kemudian merekabekerja bersama-sama dengan pelatih asing untuk melatih kompi Brimob.Tujuan yang direncanakan adalah untuk menghasilkan pelatih lokal yangmenguasai program ini sehingga mereka dapat melaksanakan sesi pelatihanmereka sendiri, sambil secara perlahan dan progresif menurunkan kebutuhanakan bantuan dan arahan dari tenaga ahli asing.

Proyek ini diadakan atas kesepakatan antara Polri, KementerianKehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan UNHCR. Tim manajemen, yangterdiri dari perwakilan ketiga pihak, pada awalnya dibentuk untuk membuatkebijakan dan memberikan arahan bagi berjalannya program ini dan bertindaksebagai penghubung antara berbagai pihak-pihak yang berbeda. Equity In-ternational beroperasi sebagai sub-kontraktor dan bertanggungjawab hanyakepada UNHCR. Kantor Eksekutif Proyek berlokasi di departemen, bertugasmenerapkan kebijakan dan arahan dari Tim Manajemen dan menyediakanumpan balik, berdasarkan evaluasi berkala program ini. Staf kantor diperolehdari Kepolisian dan Kementerian Kehakiman dan HAM RI. Untuk pelatihanBrimob, kantor pendukung operasional kemudian didirikan di markas Brimob.

Page 23: 20101122185411.Brimob

23

2. Pelatihan

Setelah proyek selesai dipersiapkan, maka sampai bulan Januari 2003,enam tipe pelatihan yang berbeda-beda telah diadakan untuk Brimob:

n Kursus Perwira PertamaIni adalah kursus utama dan terpenting dari tim pelatihan Brimob.Materinya terkait dengan teori dan praktek implementasian prinsip-prinsip pengendalian massa dan penggunaan senjata api berdasarkanprinsip-prinsip hak asasi manusia internasional. Kursus PerwiraPertama diadakan secara bersamaan sebanyak empat kali di tiga lokasiyakni di Polda Sumatera Utara, Polda Jawa Timur dan di markasBrimob di Kelapa Dua, Jakarta Selatan. Tiap pelatihan diikuti oleh 48peserta, terdiri dari komandan regu dan komandan peleton.

n Kursus KomandanKursus ini bertujuan memberikan komandan batalyon berbagaipengetahuan dan keterampilan agar mampu memberikan perintah danmengendalikan anggota Brimob dalam situasi pengendalian massa,mengajarkan teknis dan metode baru yang diperkenalkan oleh EI.Kursus ini diadakan dari 17 sampai 28 September 2001 di markasBrimob, Kelapa Dua. Pesertanya adalah empat komandan batalyondan 14 komandan kompi.

n Kursus KompiKursus ini adalah kelanjutan dari kursus komandan. Tujuannya adalahuntuk memastikan kompi dapat berfungsi sebagai kompi operasionaldalam situasi pengendalian massa. Kursus ini diadakan dalam dua tahapdi Kelapa Dua. Peserta pada masing-masing tahap termasuk satu kepalakompi, empat komandan peleton, 12 komandan regu dan 103 anggota.

n Pelatihan untuk PelatihPelatihan ini khusus diikuti kelompok peserta terpilih yang sudahmenyelesaikan Kursus Dasar Perwira Pertama. Mereka diberikantambahan kursus hak asasi manusia dan juga kursus metodeinstruksional selama tiga minggu.

Page 24: 20101122185411.Brimob

24

n Pelatihan Lanjutan untuk PelatihDiadakan dalam waktu dua minggu dalam kurun waktu 11 – 21Desember 2002, kursus ini bertujuan mengadakan standarisasi lebihlanjut dan memperkuat program pembelajaran yang disarankan. Kursusini terfokus pada pengalihan tanggung jawab pelatihan kepada pelatih-pelatih Brimob, yang kebanyakan telah menyelesaikan kursus Pelatihanuntuk Pelatih.

n Pelatihan Hak Asasi Manusia untuk PelatihDiadakan dalam waktu dua minggu yakni sejak 13 hingga 29 Januari2003, pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan danketerampilan kelompok pelatih Brimob sehingga dapat meningkatkankemampuan mereka dalam rangka mengadakan kursus hak asasimanusia secara mandiri.

3. Materi Pelatihan

Pada dasarnya semua program pelatihan yang telah disebutkan di atasdidukung oleh satu set materi yang diperoleh dari manual Kursus PerwiraPertama, termasuk infomasi mengenai: pemolisian modern; teknik pemolisianyang melibatkan tersangka bersenjata; teknik menjaga ketertiban publik; teoriundang-undang hak asasi manusia dan pengungsi; dan metode komunikasi.Sebagai tambahan dari materi-materi ini, para peserta dalam Pelatihan untukPelatih (ToT) dan juga kursus ToT lanjutan, juga menerima informasimengenai metode mengajar; standarisasi dan verifikasi materi teknis;pembelajaran eksperimental; manajemen pelatihan; prosedur penggunaansenjata api ; hukum serta administrasi birokrasi di Indonesia.

4. Penyelesaian Proyek Lebih Dini

Proyek UNHCR semula direncanakan berakhir pada akhir 2003, dandiikuti dengan proses untuk menentukan apakah dibutuhkan dukungan lebihlanjut atau tidak. Namun demikian, pada Agustus 2002, proyek ini mengalamikemunduran tajam, karena Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menundakomponen proyek Pemolisian Masyarakat (Community Policing) di Acehdan Papua, termasuk meminta para penasihat asing untuk meninggalkan In-donesia karena alasan keamanan. Komponen Pemolisian Masyarakat yang

Page 25: 20101122185411.Brimob

25

masih terdapat di Sulawesi Selatan dan komponen Brimob pada awalnyadiputuskan untuk dilanjutkan sesuai dengan jadwal untuk memastikankelanjutan aktivitas setidak-tidaknya sampai akhir Juni 2003. Namun jadwalini juga terganggu. Pada Desember 2002, keterbatasan dana dari UNHCRmenyebabkan mereka tidak dapat menerima bantuan lebih lanjut dari pihakdonor proyek, dan UNHCR mengumumkan mundurnya mereka dari proyekpada 31 Januari 2003. Ini dengan segera mengakhiri bagian-bagian dari proyekyang tersisa, termasuk komponen Brimob.

III.B. Evaluasi Pelatihan

Penilaian terhadap ukuran dan relevansi suatu proyek membutuhkan dualevel analisa yang berbeda: pertama fokus kepada signifikansi proyek darisudut pandang reformasi institusional, kedua menekankan pada evaluasi teknispada implementasi. Bagian dari laporan ini akan fokus pada level kedua,namun akan tetap menganalisis implikasi lebih luas dari proyek ini, yangakan dibahas lebih lanjut pada Bab berikutnya.

Keterbukaan UNHCR dan Brimob terhadap keterlibatan pihak luar dalamevaluasi seperti ini telah memberikan kesempatan unik untuk mempelajaritentang kompleksitas teknis dan politis sehubungan dengan proyek apapunyang sejenis. Keterbukaan ini juga memungkinkan terjadinya perdebatan yangberguna tentang bagaimana mengimplementasikan suatu proyek dengansukses, di mana pada permukaannya proyek tersebut tampak hanya sekedarproyek keahlian teknis (yakni tentang pelatihan polisi tentang hak asasimanusia). Namun ternyata, dalam realitanya, terkait pula dengan isu-isu fun-damental tentang bagaimana merubah hubungan institusi penegak hukumseperti kepolisian dan kekuasaan di Indonesia.

1. Analisis Teknis

Keterlibatan UNHCR dengan Brimob adalah respon dari permintaan dariKomandan Brimob (ketika itu) Irjen Pol. Drs. Jusuf Manggabarani. Walaupunproyek semula UNHCR direncanakan untuk memberikan pelatihan hak asasimanusia kepada polisi, dengan terkonsentrasi pada pemolisian masyarakat,pihak donor setuju untuk memasukkan Brimob selama terfokus pada pelatihanhak asasi manusia dan keterampilan pemolisian.

Page 26: 20101122185411.Brimob

26

Tujuannya, seperti yang disebutkan dalam proposal proyek UNHCR,adalah untuk “mengintegrasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukumhumanitarian ke dalam fungsi operasional dan prosedur pelatihan Brimob”.8

Proposal tersebut menyatakan bahwa polisi kerusuhan (Brimob) akan dilatihuntuk menerapkan teknik-teknik yang dapat diterima dan efektif dalammanajemen ketertiban publik yang sesuai dengan standar pemolisian danperlindungan hak asasi manusia internasional.

Di bawah kerangka kerja UNHCR ini, melalui Equity International,dimulailah tugas untuk melatih dua kompi Brimob dan komandan mereka diKelapa Dua mengikuti “model bergulir” mengenai pelatihan hak asasi manusiadan teknik manajemen massa yang penting. “Bergulir’ di sini berdasarkanpada prinsip melipatgandakan pengetahuan dan kapasitas oleh kelompok intiyang telah menerima pelatihan, dan yang kemudian telah meneruskankapasitas ini ke lapisan lain dalam organisasi. Program ini, sesuai pemintaanManggabarani, kemudian diperluas dengan memasukkan Pusat LatihanBrimob di Watukosek dan Medan.

2. Disain Proyek dan Implementasi

Disain proyek memiliki tiga kelemahan yang kemudian membawadampak program ini: Pertama, keberlanjutan penggunaan model bergulir (bolasalju) sebagai mekanisme dasar untuk mempromosikan pelatihan hak asasimanusia yang mengindahkan kelemahan struktural sistem manajemenpelatihan Polri;9 Kedua, kegagalan menghasilkan penilaian kebutuhan yangkomprehensif; dan ketiga, kurangnya proses seleksi dan persiapan parainstruktur asing menyangkut yang dibutuhkan selama implementasi proyek,untuk dapat memperoleh manfaat dari keterampilan mereka secara optimal.

Di dalam Polri, Sabhara atau satuan patroli bertanggungjawab langsunguntuk manajemen pengendalian massa. Satuan Brimob dikirimkan hanya jikasatuan Sabhara meminta bantuan. Jika satuan Brimob dikirimkan, biasanyayang dikirim adalah Brimob “organik”, yaitu, satuan yang ditugaskan padakomando di tiap provinsi (Polda) dan bukan satuan yang berada di Kelapa

8 Lihat dokumen proyek UNHCR “Mengurangi ketakutan akan pelanggaran dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan UU pengungsi yang penting ke dalam prosedur, praktek, dan pelatihan satuantertentu dari Polisi Republik Indonesia”.

9 Berbagai penyedia jasa menggunakan model ini secara ekstensif pada program pelatihan hak asasi manusia disleuruh dunia. Kita akan membahas hal ini lebih lanjut pada Bab berikut.

Page 27: 20101122185411.Brimob

27

Dua. Satuan lain, atau disebut dengan Brimob “non-organik” (Brimob BKO)dikirimkan secara bergilir ke daerah-daerah yang berpotensi konflik dimanamereka menghadapi tantangan yang berbeda secara karakteristik dalam halprosedur operasional dibandingkan dengan situasi pengendalian massa “nor-mal”.

Walaupun diharapkan semua petugas kepolisian menguasai teknikpengendalian massa, namun proyek ini ditujukan kepada satuan polisi yangjarang menghadapi situasi tersebut, dan seakan melupakan satuan-satuan yangakan lebih memperoleh manfaat dari pelatihan yang direncanakan, terutamasatuan Sabhara dan satuan Brimob organik.

Keputusan awal untuk fokus pada pelatihan Brimob atas BKO di Jakartadiajukan oleh Komandan Brimob, untuk mengakomodir jadwal paraKomandan Senior yang padat dan menghindari mereka dari perjalanan-perjalanan ke lokasi lain di Indonesia untuk emngikuti pelatihan. Timmanajemen menyetujui proposal ini, dan saran ini diangap penting, terutamapada masa-masa awal pelatihan, untuk memastikan proyek ini diterima dandidukung oleh jajaran petinggi Brimob.

Setelah kursus kompi yang pertama, Komandan Brimob ketika ituberharap proses pelatihan dapat dipercepat, dengan terfokus pada pelatihanbagi Perwira Pertama. Perwira Pertama dianggap sebagai bagian terlemahdalam rantai komando, yang memimpin satuan patroli yang dalam jumlahkecil dan harus mengambil keputusan di tempat dalam situasi sulit, yangseringkali bertugas tanpa dilengkapi peralatan komunikasi untuk berkonsultasidengan atasan mereka. Kemudian, disetujui untuk melatih jumlah pelatihyang lebih sedikit dengan periode yang lebih panjang (3 bulan) danmengirimkan mereka ke tiga lokasi untuk melatih Perwira Pertama. UNHCRmengusulkan untuk mengadakan pelatihan Brimob di lokasi yang samadengan komponen proyek pemolisian masyarakat, namun tidak disetujui,baik Aceh ataupun Papua, karena situasi politik yang sedang berubah. Sepertiyang sudah disebutkan sebelumnya, lokasi pelatihan untuk Brimob akhirnyadisetujui oleh Tim Manajemen di Medan (Sumatera Utara), Watukosek (JawaTimur), dan tambahan di Kelapa Dua Jakarta Selatan.

Evolusi proyek ini secara tidak langsung melanjutkan fokus pada satuanBKO. Tetapi secara keseluruhan arah pelatihan telah berubah dari konsepsemula mengenai pelatihan hak asasi manusia menjadi pelatihan lapanganyang bertujuan untuk meningkatkan tingkat kinerja pleton BKO. Satuan BKOdan komandan pleton pada awalnya dilatih tentang manajemen ketertiban

Page 28: 20101122185411.Brimob

28

publik daripada dilatih tentang bagaimana menghadapi kekerasan etnik,agama, masyarakat, dan gerilyawan– situasi yang biasanya dihadapi olehBKO dalam operasinya dan dimana pelanggaran hak asasi manusia lebihmungkin terjadi.

Tim manajemen proyek adalah penanggung jawab terhadap proses seleksiinstruktur asing. Namun, perwakilan Indonesia dalam program ini nampaknyatidak benar-benar memahami kriteria seleksinya. Sebagai tambahan, pelatihyang dikirimkan tidak memperoleh penjelasan yang seharusnya tentang nilai-nilai budaya, bahasa dan etika negara tuan rumah. Kelemahan seperti inipada akhirnya mengurangi dampak program (lihat di bawah). Walaupunbegitu, dari hari ke hari, personil Brimob menghargai kenyataan adanyapetugas polisi asing yang profesional bersedia datang dari jauh ke Indonesia,untuk bergabung dan membantu mereka serta berbagi keterampilan dan teknikmereka, mengingat selama ini terdapat keengganan pihak asing untukmendukung Brimob.

3. Manajemen Proyek

Proyek UNHCR memiliki struktur manajemen yang kompleks dansebenarnya tidak terlalu berfungsi. Kewenangan formal berada pada timmanajemen tripartit (UNHCR, Polri, Kementerian Kehakiman dan Hak AsasiManusia). Equity International dalam hal ini melaporkan hasil kerjanya kepadatim manajemen, namun juga mengadakan jalur komunikasi yang berbedadengan para konsultannya di lapangan.

Tim manajemen seharusnya bertugas menyediakan panduan kebijakan danoperasional untuk ketiga komponen proyek. Sebagai tambahan, didirikanlahkantor eksekutif, dengan komposisi sumber daya yang kurang lebih samadengan tim manajemen, untuk mengimplementasi dan mengevaluasi pelatihanhak asasi manusia dan peraturan tentang pengungsi, pelatihan Brimob, danPemolisian masyarakat.10 Namun demikian, tim manajemen tidak memilikiwewenang untuk menolak intervensi dari pihak Indonesia, dan juga tidakmemiliki kapasitas teknis untuk mengadakan evaluasi proyek. Pada akhirnya,tim manajemen hanya memiliki peran pendukung dan bukan peran pemimpindalam rangka mengelola proyek tersebut.

10 Lihat dokumen proyek UNHCR, op cit.

Page 29: 20101122185411.Brimob

29

Tentu saja setelah penundaan komponen pemolisian masyarakat di Acehdan Papua, tim manajemen dapat dikatakan tidak lagi beroperasi. EquityInternational melaporkan bahwa mereka tidak dapat bertemu secara formal,mencari dukungan, atau berkonsultasi dengan rekanan proyek lain selainUNHCR, setelah Februari 2002.11

Selain fokusnya pada pelatihan, program Brimob UNHCR ini sebenarnyatidak pernah melibatkan secara penuh Lembaga Pendidikan dan Latihan Polriyang bertanggungjawab, diantaranya, atas pelatihan Brimob. WalaupunKepala Lemdiklat menandatangani kesepakatan pertama tentang proyekUNHCR, atas nama Polri, usaha untuk melibatkan perwakilan Lemdiklatyang ditugaskan ke tim manajemen tidak produktif. Dengan demikian, tanpaketerlibatan efektif dari Lemdiklat, kecil kemungkinan proyek tersebut mampumenghasilkan perubahan atas kurikulum pelatihan dan metodologi yangnyatanya masih digunakan hingga sekarang. Terdapat upaya baru untukmengusulkan perubahan atas kurikulum pelatihan Brimob yang dijadwalkanpada tahun 2003. Tetapi hal itu tidak menjadi kenyataan, karena lebih duluterjadi penutupan penyelesaian proyek secara lebih dini.

4. Dampak

Hasil wawancara kami menunjukkan bahwa pelatihan ini secara umumdisambut dengan baik, karena memberikan infomasi kepada peserta tentangteknik-teknik yang lebih tepat berkaitan dengan manajemen massa, danmengenai prosedur pemolisian yang diterima secara internasional. Tapi,personil Brimob yang kami ajak bicara juga menunjukkan dua kelemahanutama.

Pertama, pelatihan ini boleh dikatakan hampir seluruhnya tidak meresponpada kebutuhan pelatihan hak asasi manusia yang paling penting untukBrimob. Seperti yang sudah disebutkan, pelatihan tersebut memiliki kegunaanyang terbatas untuk satuan Brimob non-organik yang pada kenyataannyasering menghadapi situasi kekerasan dimana teknik pengendalian massa nor-mal tidak dapat diterapkan.

Masalah kedua adalah, adanya fakta bahwa para instruktur internasionaltersebut tampak tidak terlalu memperoleh penjelasan tentang nilai-nilaikultural Indonesia. Sebagai contoh, mereka mengajarkan polisi di daerah

11 Laporan Interim Equity International, September 2002

Page 30: 20101122185411.Brimob

30

bagaimana menjalankan penggeledahan fisik terhadap tersangka perempuan,sesuatu yang tidak dapat diterima di Indonesia.12 Mereka berasumsi gayamengajar para pelatih terlalu santai untuk standar Indonesia tatkala merekamenyampaikan pelatihannya dalam bahasa Inggris. Penerjemahan sudahdimasukkan dalam perencanaan proyek, namun sering kali tidak memadaiatau bahkan terkadang tidak ada sama sekali. Secara umum, para pesertapelatihan tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai untukmemahami pelatihan tanpa penerjemahan yang jelas.

Para pelatih juga kerap berasumsi telah tersedianya semua peralatan (alatkomunikasi personal, borgol, meriam air, dll) dimana sering kali ini tidakterjadi. Proyek ini tidak menyediakan alat bantu apapun dan Polri awalnyatelah setuju untuk menyediakan peralatan yang diminta oleh UNHCR. Namunternyata, peralatan ini tidak selalu tersedia dan harus dilakukan usaha-usahauntuk memastikan sesi pelatihan dapat terus berjalan sesuai rencana.

Proyek ini juga tidak terlalu menghargai kondisi aktual yang seringdialami oleh kebanyakan polisi Indonesia dalam operasi yang berdampakpada implementasinya. Ini berarti, pelatihan akan lebih relevan jika kondisiaktualnya dijadikan bahan pertimbangan.

Akhirnya, harapan bahwa instruktur Indonesia dapat memahami pesanmendasar dengan benar dan dapat menyampaikannya pada peserta yang lebihbanyak, tampak sebagai harapan yang terlalu optimis dan kurang menyikapimasalah sistem manajemen pelatihan yang ada.

Salah satu akibat dari cara mengajarkan hak asasi manusia (berupa diskusiabstrak mengenai konvensi dan protokol internasional dilanjutkan denganpermainan peran berdasarkan skenario kasus yang tidak, atau hanya sedikit,sesuai dengan kondisi realitas Indonesia), pelatih-pelatih Indonesia, kecualiada pengecualian, tidak terlihat memiliki dasar konsep hak asasi manusia iniataupun pemahaman bagaimana menerapkan prinsip ini dalam situasi nyata,yang dibutuhkan dalam pengajaran yang efektif. Ketidakmampuan EquityInternational untuk mempersiapkan manual pengendalian massa yang sudah“diIndonesiakan” atau silabus kursus pelatihan, karena proyek ini berakhirlebih dini, mengurangi usaha-usaha untuk mengikuti atau mempertahankanpelatihan sejenis setelah kepergian konsultan internasional. Kami akanmemberikan beberapa contoh sehubungan dengan ini dari hasil observasikami pada bab berikut.

12 Contoh yang secara spontan disebutkan dalam banyak wawancara

Page 31: 20101122185411.Brimob

31

Kurangnya koordinasi dengan Lemdiklat juga mempengaruhi prospekpengintegrasian materi program dan metode pengajaran dalam kurikulumpolisi yang ada. Sebagai tambahan, dalam Brimob sendiri, sedikit sekalitampak usaha yang dilakukan untuk memastikan peningkatan standar proseduroperasi yang memenuhi standar internasional pemolisian dan perlindunganhak asasi manusia, selain usaha-usaha untuk mengangkat isu tim manajemenini dan oleh Equity International dalam diskusi sehubungan dengan proyekterkait. Usaha yang dimaksud adalah ketika komandan Brimob sekarang,Sylvanus Wenas, baru-baru ini memutuskan untuk menghapuskan prosedurpermanen yang mengijinkan personil Brimob untuk secara bertahapmeningkatkan penggunaan senjata yang mematikan dalam menghadapimasalah keamanan. Hal ini di masa lalu biasanya mengakibatkan penggunaankekuatan yang berlebihan.13 Diskusi mengenai kemungkinan mengirimkansatuan Brimob yang tidak bersenjata ke lapangan dewasa ini sedangberlangsung, namun belum ada keputusan yang diambil pada saat laporanini dibuat.

5. Contoh: Pelatihan Hak Asasi Manusia di Pusdik Brimob, Watukosek(Jawa Timur)

Kelas yang kami observasi di Watukosek memperlihatkan dengan jelasmasalah dalam usaha menyampaikan materi dari kursus Pelatihan untukPelatih kepada penerima terakhir. Instrukturnya sendiri telah dilatih olehpelatih Brimob yang mengikuti kursus TOT dan menggunakan fotokopimanual yang diadaptasi dari materi EI. Bagian yang sedang ia jelaskantampaknya berhubungan dengan sejarah perkembangan peraturan hak asasimanusia dan daftar konvensi-konvensi utama hak asasi manusia, digabungkandengan teori perilaku polisi. Materi ini tampak jelas tidak bermakna apapunbagi si instruktur dan apalagi bagi siswanya. Dalam waktu kurang lebih 40menit kami mengobservasi kelas tersebut, instruktur tersebut telahmenjelaskan semuanya, dari tiga prinsip perilaku polisi (legalitas, kebutuhan,dan proporsionalitas), sampai ke hak memperoleh pengadilan yang adil, tanpaada penjelasan ataupun diskusi. Ia langsung melanjutkan dari prinsip-prinsipyang diperoleh dari Peraturan Pelaksanaan bagi Petugas Penegak Hukum keelemen-elemen Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,

13 Prosedur Tetap (“Protap”) no 02/V/1997 dihapuskan oleh Jendral Wenas.

Page 32: 20101122185411.Brimob

32

tanpa ada usaha untuk memberikan contoh atau kaitannya antara materidengan situasi yang akan dihadapi oleh siswa dalam pekerjaan mereka dimasa depan.

Satu-satunya pengecualian adalah, ketika ia menjelaskan satu kalimatdari bukunya mengenai praduga tidak bersalah dan pemaksaan pengakuan,ia dengan semangat memberikan ilustrasi mengenai menangkap tersangkamaling ayam dan memaksa si tersangka untuk mengaku ia telah mencuriayam. Ia terus menjelaskan sambil mendemonstrasikan bagaimana memukultersangka dan memperingatkan siswa untuk tidak meletakkan kaki meja diatas kaki tersangka dan duduk di atas mejanya untuk mendapatkan informasi.Tetapi tidak ada usaha untuk menjelaskan pada siswa mengapa tindakantersebut salah, atau menjelaskan situasi yang lebih sulit, contohnya, dimanatersangka diyakini memiliki informasi yang penting dalam mencegah ledakanbom.

Instruktur tersebut membaca kata-kata yang terdapat di kertas, danmengulangi setiap kalimat empat atau lima kali. Tidak ada usaha untukmelakukan sesuatu lebih dari sekedar membaca buku tersebut. Setelahmenyelesaikan satu paragraf, ia lalu membentak, “Jelas?” dan para siswaakan menjawab serentak, “Jelas!” Ketika kelas berakhir, seorang siswa dimintauntuk mengatur rekan-rekannya, kemudian mereka semua berdiri, balik kanan,dan berbaris seperti prajurit ke luar kelas. Hal ini umum terlihat dalam kegiatanpelatihan polisi.

Pendekatan yang digunakan untuk pelatihan hak asasi manusia inimengakibatkan dua masalah utama: kelemahan dari penggunaan modelbergulir (bola salju) dalam pelatihan hak asasi manusia; Pelatihan untukPelatih (ToT) dilanjutkan dengan Pelatihan untuk Peserta (ToP). Dankelemahan lainnya adalah, program pelatihan hak asasi manusia untuk polisiyang tidak berakar pada situasi nyata.

6. Masalah Dalam Model Bergulir (Bola Salju)

Pada dasarnya model bergulir (bola salju) ini adalah suatu metodologidimana sekelompok personil dari suatu organisasi menerima pelatihan khususdari guru-guru yang berpengalaman. Setelah pelatihan tersebut berakhir,kelompok yang baru selesai dilatih ini harus menyebarkan materi pelatihanserupa ke personil-personil yang lain dalam institusinya. Metodologi ini umumdigunakan dalam organisasi kepolisian. Metode ini secara khusus telah

Page 33: 20101122185411.Brimob

33

diadopsi sebagai pendekatan utama dalam hal pelatihan hak asasi manusia.Metode skenario kasus dan metode permainan peran secara luas digunakandalam mengimplementasikan modul pelatihan sejenis.14 Instrukturinternasional menyediakan pelatihan untuk sekelompok pelatih nasionalterpilih yang lalu diharapkan dapat menggulirkan modul tersebut di tingkatregional dan lokal.

Dalam lingkungan yang kondusif, model bergulir memiliki manfaat dankelebihan dalam menyebarkan teknik-teknik dan berbagai informasi penting.Khususnya dalam pelatihan hak asasi manusia, efektifitas atau tidaknya modelini membutuhkan setidak-tidaknya tiga kondisi mendasar: Pertama, hak asasimanusia harus dipahami oleh institusi Brimob sebagai topik yang mendasarisemua kegiatan pemolisian, dan bukan hanya dilihat sebagai sekadar topiktertentu yang secara sporadis diberikan sebagai materi pelatihan. Kedua,sistem manajemen pelatihan yang memadai harus diterapkan untuk menjaminkeberlangsungan dan kualitas pelatihan. Terakhir, skenario kasus danpermainan peran harus sesuai dengan realita yang dihadapi polisi di lapangan.

Pihak asing yang membantu Indonesia memiliki resiko salah mengartikankondisi struktural polisi Indonesia yang tidak stabil, sehingga berpotensimenciptakan pelatihan hak asasi manusia yang kompromistis. Pelanggaranpolisi dapat tetap berlangsung walaupun ada usaha pelatihan, karenapenerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia di lapangan tidak diajarkandengan cara yang berorientasi pada pengguna. Sangat mungkin, petugas yangberada di ujung proses bergulir ini (para bintara dan perwira pertama) hanyamenerima pelajaran membosankan, yang mengajarkan ide perlindungan hakasasi manusia secara abstrak tanpa ada hubungannya dengan kegiatan merekasehari-hari, atau hanya akan menjadi tambahan beban yang membatasi kinerjamereka sebagai “polisi yang baik”.

III C. Brimob dan Hak Asasi Manusia Internasional

Secara umum, Tim menemukan banyak kebingungan diantara personilBrimob mengenai hak asasi manusia internasional dan standar hukum hu-manitarian serta aplikasinya di lapangan. Dari banyak personil yang

14 Selain kenyataan bahwa permainan peran dan skenario kasus dikembangkan dalam model ini, situasi nyatayang dihadapi oleh polisi lokal jarang digunakan, karena menyerahkan rencana skenario kasus pada imaginasiinstruktur internasional yang tidak benar-benar mengetahui detil, kompleksitas, dan situasi yang dihadapi polisilokal dalam rutinitas harian mereka.

Page 34: 20101122185411.Brimob

34

diwawancara, mereka mengaku tidak terlalu jelas memahami apakah ketikamembunuh seorang tersangka pemberontak akan dianggap sebagai kejahatan,sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sebagai tindakan pembelaan diri yangsah, atau sebagai penggunaan kekuatan mematikan yang berlebihan. Beberapataruna muda yang kami ajak bicara tentang perbedaan antara kejahatan denganpelanggaran hak asasi manusia, menganggap perbedaannya ada pada derajatkejahatan: mencuri ayam adalah kejahatan, membunuh adalah pelanggaranhak asasi manusia. Sementara yang lain percaya jika mereka diserang musuhlebih dahulu, maka bentuk respons apapun dapat dianggap sah. Tetap sajaada pendapat lain yang percaya pelanggaran hak asasi manusia hanya dapatterjadi ketika diperintahkan oleh seorang yang berwenang; dalam bentuktindakan “oknum” atau pelaku individual yang bertindak di luar standarprosedur operasi tidak dipertimbangkan.

Sementara banyak personil Brimob yang telah diperkenalkan denganinformasi dasar tentang berbagai instrumen hak asasi manusia internasional,seperti Peraturan Pelaksanaan bagi Petugas Penegak Hukum, KonvensiJenewa, dan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,ternyata mereka hanya sedikit memahami maksud dari semua instrumen inidi lapangan. Prinsip dasar undang-undang hak asasi manusia, diantaranyaaparat negara memiliki tanggung jawab utama untuk mempertahankan danmelindungi hak-hak fundamental, atau peraturan humanitarian internasional,bahwa masyarakat sipil dan non-militer harus dilindungi sebisa mungkin daripeperangan, tidak benar-benar dipahami.

Kebingungan tentang penyebab pelanggaran hak asasi manusiadiperburuk dengan Undang-Undang Indonesia nomor 26/2000 yangmengartikan jenis-jenis kejahatan yang dapat diajukan ke pengadilan hakasasi manusia. Dalam undang-undang tersebut didefinisikan “pelanggaranhak asasi manusia berat” adalah jenis kejahatan yang tercakup dalam StatutaRoma tentang Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), atau lebih tepatnyakejahatan yang setara dengan kejahatan kemanusiaan. Banyak orang Indo-nesia yang sekarang ini memahami pelanggaran hak asasi manusia hanyalahyang sesuai dengan jenis pelanggaran seperti itu; tindakan lain yang tidaksekejam itu, seperti eksekusi di luar hukum, tidak dianggap sebagaipelanggaran.

Satu-satunya cara agar pelatihan hak asasi manusia untuk Brimob dapatbermanfaat adalah dengan memulainya berdasarkan situasi yang dihadapikesatuan mereka di lapangan – yang memang tidak sepenuhnya dapat

Page 35: 20101122185411.Brimob

35

dipahami oleh kalangan diluar Brimob. Sebagai contoh, beberapa anggotaBrimob memberikan contoh pada kami tentang dilema yang mereka hadapi,dan oleh karena itu mereka membutuhkan panduan:

“Kami mendapat pelatihan tentang bagaimana melindungi hak-hakpengungsi internal (Internally Displaced People), tetapi apa yang dapatkami lakukan ketika kami mencoba menjaga keamanan pemberianbantuan kemanusiaan ke tenda-tenda pengungsi dan kami ditembakidari dalam tenda?”

“Kami sedang patroli pada suatu malam di wilayah yang dikenalsebagai kantong GAM (pemberontak Aceh), dan kami mendengarsuara sehingga kami harus menembak atau ditembaki. Jadi kami punmenembak, dan ternyata kami menembak seorang petani. Apakah inipelanggaran hak asasi manusia?”

“Kami ditembaki dari dalam sebuah sekolah dimana terdapat tigaanggota GAM dengan satu senjata. Kami menembak balik,menewaskan salah satu dari tiga orang itu. Dua lainnya melarikandiri, membawa senjatanya, dan setelah tembak menembak berakhir,ditemukan satu anak muda di sekolah itu tanpa senjata. Kemudianberita segera tersebar menyebutkan Brimob telah membunuh orangsipil yang tidak bersenjata. Bagaimana cara kami merespon?”

“Ketika GAM sengaja menggunakan orang sipil sebagai tameng,apakah berarti kita tidak dapat menyerang mereka?”“Kami berada di tengah-tengah konflik etnik dan kami mau datanguntuk menolong korban. Namun jika kami datang, kami akan diserangoleh pihak yang lain. Jika kami tidak menolong, kami dituduh tidakmelakukan apapun. Apa yang kami lakukan?”

Nilai pelatihan akan sangat terbatas, kecuali jika pelatihan hak asasimanusia dapat secara langsung mengatasi dilema ini.

Di saat yang sama, perwira Brimob dengan sukarela memberikanbeberapa contoh atas apa yang menurut mereka sebagai “berlebihan”, baikatas apa yang mereka saksikan atau pada saat mereka sendiri terlibat didalamnya. Mereka secara naluri tahu bahwa tindakan mereka salah, namunmereka ragu-ragu menerima keadaan bahwa hukuman yang diterima pelakuadalah akibat yang sesuai berdasarkan keadaan yang terjadi. Tindakan yang“berlebihan” diantaranya termasuk hal-hal berikut:

Page 36: 20101122185411.Brimob

36

n Untuk membalas serangan GAM ke sebuah pos Brimob, dimana salahsatu anggota Brimob tewas, rekan-rekan orang yang tewas tersebutpergi ke kampung yang diduga tempat tersangka bersembunyi danmembakar rumah-rumah.

n Tersangka anggota GAM ditangkap dan dipukuli sampai ia mem-berikan informasi yang berguna.

n Pejuang GAM ditangkap, Brimob tahu bahwa ia anggota GAM, namunpenduduk desa tidak mau bicara. Karena tidak ada saksi dan tidak adacukup bukti untuk menangkapnya, kemudian tersangka itu ditembak.

Idealnya, pelatihan hak asasi manusia tidak hanya menolong polisi untukmenentukan standar internasional apa yang dilanggar pada tiap-tiap kasus diatas, namun seharusnya juga dapat mendorong diadakannya diskusi tentangkonsekuensi apa yang mungkin terjadi jika tindakan sejenis secara tidaklangsung dibiarkan, atau alternatif lain, dihukum.

III.D. Konteks yang Lebih Luas

Tiga karakteristik utama Brimob penting untuk digarisbawahi karenamengangkat tantangan kritis dalam insiatif pelatihan hak asasi manusia untukmendukung institusi.

Pertama, pemisahan Brimob dari polisi reguler, bagian dari warisanhistorisnya, memiliki tantangan tambahan bagi personil Brimob untuk melihatdiri mereka sebagai petugas penegakkan hukum sipil dan bukan pasukanmiliter yang berbeda. Pelatihan terpisah dan struktur komando memperjelasperbedaan ini.15 Hal ini juga membuat usaha Brimob semakin sulit dalammenghadapi cara pandang konfrontatif yang bersumber dari pendekatan “kitaversus mereka”.

Kedua, satuan organik Brimob, terdapat di bawah Polda, mengembangkanpemahaman tentang kondisi lokal dan rasa memiliki atas masyarakat lokal.Satuan BKO, sebaliknya, dikirim dari luar hanya untuk penugasan sesaat.Hal ini meningkatkan kemungkinan BKO akan diasingkan dari masyarakat.Detasemen seperti ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaanmengingat tidak adanya rasa memiliki dan keterikatan dengan perilaku sosialdan budaya lokal.

15 Selain situasi yang berbeda-beda yang dihadapi Brimob, peraturan pelaksanaan Brimob diarahkan oleh“kerangka kerja musuh”, yang tidak selalu menjadi cara yang paling kondusif dan efektif untuk menyelesaikankonflik, dan tentunya bukanlah cara yang paling sesuai untuk berhadapan dengan warga negara/masyarakat.

Page 37: 20101122185411.Brimob

37

Ketiga, satuan-satuan Brimob, organik dan BKO, menghadapi bermacam-macam tipe konflik, dan masing-masing menyebabkan masalah yang berbedauntuk perlindungan hak asasi manusia di lapangan. Operasi melawaninsurgensi menghadapi tantangan yang paling kritis, terutama dalammenetapkan peraturan pelaksanaan yang jelas yang dapat melindungimasyarakat sipil dan menjamin semua usaha telah dilakukan untukmembedakan musuh dan bukan musuh. Situasi konflik agama dan etnikmemberikan tantangan pada Brimob untuk dapat terlibat dengan cara yangtidak dilihat secara bias oleh satu pihak atau pihak yang lain. Tantanganuntuk mempertahankan netralitas cukup sulit dipenuhi ketika pihak lokaldapat dengan mudahnya menduga Brimob tidak netral karena afiliasi agamadari salah satu anggota Brimob. Baik konflik agama maupun etnik,membutuhkan Brimob yang memiliki jalur komunikasi memadai antara keduapihak yang bertikai, terutama ketika pecahnya kerusuhan sangat mungkinterjadi.

Situasi gangguan keamanan publik dapat dilihat dari intensitas dan potensikekerasan. Situasi ini sangat kontekstual dan sering kali sangat responsifterhadap tingkat penggunaan kekuatan yang digunakan untuk menanganinya.Tantangan utama dalam situasi seperti ini adalah, memastikan penggunaankekuatan secukupnya dan proporsional dengan peraturan penggunaan yangjelas dan pemahaman bahwa hasil akhir yang diinginkan adalah de-eskalasi.

Pelatihan hak asasi manusia yang dibutuhkan oleh satuan polisi sepertiBrimob, untuk mengatasi kekerasan pemberontakan, konflik agama dan etnik,gangguan ketentraman publik, dan pemolisian rutin, tentunya akan sangatberbeda.

III.E. Rekomendasi

Suksesnya pelatihan hak asasi manusia tergantung pada tiga faktor:karakter institusi tempat pelatihan diadakan dan yang direncanakan akanmembawa pengaruh; prosedur pelatihan dan rekrutmen yang ada; dan kualitasinfrastruktur pendukung. Merubah dan memperbaiki semua ini untuk Brimobakan memakan waktu, namun sementara itu pelatihan hak asasi manusia harusterus berlanjut, walaupun dalam beberapa aspek terdapat kelemahanstruktural. Berdasarkan pemikiran seperti ini, kami menyarankan agarpendekatan baru dan lebih komprehensif untuk pelatihan hak asasi manusiaBrimob setidak-tidaknya mencakup:

Page 38: 20101122185411.Brimob

38

1. Analisis kebutuhan komprehensif yang menekankan pada situasi dandilema yang paling umum yang dihadapi oleh Brimob di lapangan.Penilaian seperti ini harus menjadi dasar untuk mengumpulkanskenario kasus-kasus spesifik Indonesia pada tiap-tiap situasi berikut:gangguan ketentraman publik; konflik etnik, antar-desa, dan agama;dan operasi melawan insurgensi.

2. Strategi baru (berdasarkan analisis kebutuhan) dan bahan-bahanpelatihan, dikembangkan dengan berkonsultasi dengan Lemdiklat,untuk merespon permintaan-permintaan spesifik perwira dan tarunaBrimob. Disaat yang sama Brimob perlu memilih dan melatihinstruktur yang dapat memenuhi permintaan tersebut.

3. Keterlibatan dan komitmen aktif dari satuan-satuan terkait dan relevandalam Polri maupun Brimob diperlukan untuk memastikan pelatihanyang sebelumnya telah direncanakan dengan baik akan dapatmenghasilkan perubahan yang lebih permanen dalam kurikulumstandar, didukung dengan adanya sistem manajemen pelatihan efektifyang mengangkat hak asasi manusia sebagai prinsip utama pemolisian.

4. Sebagai tambahan, pelatihan hak asasi manusia seyogyanya jugamelibatkan partisipasi aktif tidak hanya dari petugas kepolisian namunjuga sektor-sektor masyarakat yang berbeda (pemimpin agama, aktivishak asasi manusia dan hak-hak sipil, universitas), sebagai cara untukmenjamin adanya pendekatan yang komprehensif, inklusif dankontekstual.

Page 39: 20101122185411.Brimob

39

BAB IV

PERMASALAHAN UTAMA, PILIHAN KEBIJAKANDAN REKOMENDASI

IV.A. Reformasi Brimob dalam Mendukung Hak Asasi Manusia

Masalah keamanan yang dihadapi Indonesia – pemberontakanseparatisme, konflik masyarakat, tindak kekerasan dan terorisme – dapatmerusak kapasitas polisi walau telah mengikuti latihan terbaik sekalipun didunia. Polisi Indonesia memiliki tugas yang sulit, yakni bagaimanamenyesuaikan diri dengan peran penegakkan hukum sipil setelah lebih daritiga dekade berada dalam posisi sebagai unsur ABRI yang paling tidakbergengsi dan paling kurang sumber dayanya.

Dalam angkatan bersenjata di masa Soeharto, Angkatan Darat memilikitanggung jawab besar dalam keamanan internal. Hanya setelah terjadi pe-misahan polisi dari militer pada 1999, polisi mengambil-alih fungsi utamaini.

Tiga puluh tiga tahun menjadi bagian dari militer membuat polisi Indo-nesia menghadapi beberapa masalah serius untuk diatasi. Pertama adalahbagaimana untuk “mensipilkan” angkatan melalui berbagai bentuk pelatihan,budaya institusional, dan pendekatan umum atas keamanan. Kedua adalahbagaimana menentukan pembagian kerja dengan militer yang dapat diterimakedua belah pihak, tidak hanya secara legal, namun juga dalam bentuk responpraktis atas masalah keamanan serius. Ketiga adalah, bagaimana dapatmemperbaiki kapasitas polisi dengan cepat untuk menjalankan peranannyadi bidang keamanan ketika disadari kita kekurangan personil polisi yangterlatih dengan baik. Masalah terakhir, sangat terkait dengan masalah yangpertama, yakni bagaimana meningkatkan hubungan dengan masyarakat lokal,terutama dengan masyarakat memiliki persepsi negatif tentang polisi.

Keamanan internal adalah tanggung jawab seluruh elemen dalamkepolisian, tidak hanya Brimob, namun tetap saja Brimob adalah pihak yangpertama kali diturunkan di garis depan ketika terjadi kekerasan dan Brimob,dalam tradisinya, memang selalu menghadapi tugas-tugas Polri yang paling

Page 40: 20101122185411.Brimob

40

berbahaya dan sulit. Dalam menjalankan tugas-tugas seperti ini, yangseringkali tanpa dilengkapi dengan persiapan dan peralatan yang memadai,pelanggaran hak asasi manusia dengan mudah dapat terjadi.

Analisis mengenai program pelatihan hak asasi manusia yang diinginkanuntuk Brimob hanya dapat dilakukan dalam konteks reformasi polisi padaumumnya. Oleh karena itu, ada empat pertanyaan penting yang harus dijawab:

n Bagaimana mempertegas perbedaan antara polisi dan militer, dan jikaada peran untuk satuan paramiliter di dalam kepolisian, peran apakahitu, dan kapasitas apakah yang selalu dibutuhkan oleh satuan tersebut?

n Bagaimana cara terbaik guna mencapai “pensipilan” polisi?n Bagaimana memperbaiki kondisi kerja dan kualitas hidup polisi?n Bagaimana menyeimbangkan kualitas dan kuantitas dalam proses

reformasi?

IV.B. Membedakan Peran Polisi dan Militer

Seperti telah disebutkan, sejak 1999, polisi telah mengambil langkahbesar dalam mendefinisikan peran keamanan internal mereka danmembedakan diri mereka dari militer. Namun tekanan tetap ada, danperbedaan ini menjadi kabur terutama di daerah konflik yang aktif.16 Beberapaperwira Brimob mengatakan tentang masalah “wilayah abu-abu”, yang sangattidak aman untuk operasi bagi polisi biasa tetapi bukan daerah yang berkonflikpenuh atau “wilayah hitam” yang membutuhkan kehadiran militer. Namunhanya dengan menugaskan pasukan paramiliter di “wilayah abu-abu” ini dapatmengurangi kemungkinan penegakkan hukum murni serta memperkuatanggapan bahwa Brimob dan polisi biasa adalah dua kelompok yang berbedadan bukan berasal dari satu institusi dengan mandat bersama.

Selama Brimob memiliki peran melawan insurgensi, “pensipilan” penuhpolisi tidak akan menjadi kenyataan. Kami percaya bahwa dalam jangkapanjang, Polri pada umumnya, dan Brimob khususnya, akan dapat melayanimasyarakat dengan lebih baik jika peran melawan insurgensinya dihapuskan.Mengapa?

16 Di Aceh, media dan kebanyakan masyarakat menggunakan istilah “TNI/Polri” untuk mengacu pada kekuatankeamanan seakan-akan mereka berasal dari badan yang sama.

Page 41: 20101122185411.Brimob

41

n Dengan Brimob memiliki peran melawan insurgensi mengaburkanperbedaan antara polisi dan angkatan darat. Polisi adalah badanpenegak hukum sipil. Sementara militer bertanggung jawab membelanegara. Ketika militer dan Brimob melakukan operasi bersama di Aceh,hanya terdapat perbedaan kecil dalam menjalankan peran mereka; yangada adalah kenyataan bahwa militer memiliki peralatan yang lebihbaik dan lebih terlatih untuk berperang. Polisi tidak boleh menjadibawahan militer dalam bidang tugas yang sama; mereka harus memilikiperanan yang benar-benar berbeda.

n Peran paramiliter Brimob mendorong pasukan Brimob untuk me-mandang orang-orang yang berada di daerah konflik sebagai “musuh”.Pelanggaran hak asasi manusia serius hampir selalu terjadi dalamsituasi perang gerilya, dan kenyataannya semua tuntutan pelanggaranhak asasi manusia yang melibatkan Brimob dilakukan dalamperanannya sebagai paramiliter, dan khususnya melawan insurgensi.Tidak akan ada pelatihan hak asasi manusia yang dapat merubahperilaku Brimob jika personilnya kurang persiapan dan peralatan dalammenghadapi pemberontakan bersenjata. Dan jika pihak Brimob selaluDIBERIKAN pelatihan yang sama dengan angkatan darat, makaperbedaan antara militer dan polisi akan hilang.

n Tanpa peran melawan insurgensi, reputasi Brimob kemungkinan dapatmembaik secara dramatis. Di saat yang sama, Polri perlu men-definisikan dengan jelas fungsi paramiliter manakah yang dapatdilakukan oleh polisi sipil secara sah, seraya memastikan agar polisiyang menjalankan fungsi tersebut juga memiliki nilai-nilai pemolisiansipil yang sama dengan polisi biasa.

Pertanyaan kemudian, siapa yang bertanggung jawab untuk melawaninsurgensi? Dalam hal ini hanya terdapat tiga opsi:

Opsi 1: Mengembalikan Peran Melawan Insurgensi ke Militer

* Argumen pendukung: Selama terdapat definisi yang jelas dan dapatditerima mengenai apa yang termasuk sebagai insurgensi (dengan menggunakanProtokol II Konvensi Jenewa sebagai panduan), batasan insurgensi yangberlawanan dengan gangguan sipil haruslah ketat, dan keseluruhan aktivitasdalam rangka melawan insurgensi untuk daerah tertentu berada di bawahkendali dan diawasi sipil. Kemudian, TNI yang lebih terlatih dan lebih lengkap

Page 42: 20101122185411.Brimob

42

peralatannya daripada polisi bertugas mengatasi pemberontakan bersenjata.Polisi harus melakukan berbagai usaha untuk penegakkan hukum sipil, danseperti yang sudah disebutkan sebelumnya, memberikan polisi peran untukberperang akan menyebabkan semakin sulit membedakan mereka dari militer.

* Argumen anti: Dengan memberikan peran melawan insurgensi secaraeksplisit kepada TNI berarti mensahkan peran keamanan internal TNI. Dengantidak menyetujui hal ini, berarti akan menciptakan fokus yang lebih eksklusifbagi TNI atas pertahanan eksternal. Selain itu, mengembalikan peran melawaninsurgensi ke militer tidak akan membawa dampak apapun dalam konteksmenghormati Hak asasi manusia.

Opsi 2: Transformasi Brimob Menjadi Pasukan Paramiliter Profesional

* Argumen pendukung: Jika yang diinginkan adalah polisi yangmenangani SEMUA masalah keamanan internal, dan militer berperan hanyasebagai pendukung jika diperlukan, maka memberikan pelatihan khusus danintensif kepada Brimob adalah satu-satunya jawaban. Selama semua yangdilatih telah melewati beberapa tahapan pelatihan polisi umum terlebih dahulu,sehingga mereka tetap memiliki nilai-nilai dasar penegakkan hukum sipil,maka tidak ada alasan mengapa pelatihan lanjutan tidak dapat menghasilkanpasukan yang kompeten melawan insurgensi.

* Argumen anti: Peran paramiliter gaya lama mungkin terlalu banyakmenjadi bagian dari budaya institusional Brimob untuk beradaptasi dalammemenuhi permintaan peran yang baru.

Opsi 3: Membentuk Satuan Baru Dalam Polisi untuk MelawanInsurgensi.

* Argumen pendukung: Seseorang dapat menghindari masalah persepsipublik mengenai Brimob, budaya institusional dan catatan masalah hak asasimanusia di masa lalu di wilayah konflik, dengan cara menciptakan satuanbaru, atau menggunakan kesatuan yang sudah dalam proses pembentukan,seperti Detasemen 88, dan memberikan mereka pelatihan tambahan melawaninsurgensi.17

17 Detasemen 88 adalah satuan polisi baru, tugas utamanya menangani anti-terorisme namun memiliki pelatihan-pelatihan lainnya, yang ahlinya disediakan oleh US State Department Diplomatic Security Service. Banyakanggota baru yang berlatar belakang Brimob.

Page 43: 20101122185411.Brimob

43

* Argumen anti: Membuat satuan operasional baru akan memakan waktubertahun-tahun. Detasemen 88 direncanakan sebagai kelompok elit SWATdengan fungsi melawan teror, dan menambahkan fungsi baru dan rumitdidalamnya adalah suatu kesalahan.

Pada akhirnya, Polri dan semua pihak yang terkait lainnya harus memilihmana dari ketiga opsi di atas yang terbaik, Status quo sudah jelas tidak dapatdipertahankan. Langkah-langkah interim, sampai salah satu opsi ini dipilih,dapat berupa pengurangan bertahap, yang bertujuan menghapuskan, semuaoperasi perang bersama dengan angkatan darat; lebih banyak perhatian dariJakarta atas stres yang dihadapi pasukan BKO Brimob di area konflik danpada penyebab utama dari stres tersebut; intensifikasi pelatihan hak asasimanusia, berdasarkan situasi-kenyataan, dan diajarkan oleh instruktur yangberkualitas dan sudah siap, untuk semua personil Brimob, dengan pelajaranyang menghibur yang diberikan sebelum pengiriman ke daerah konflik.

Yang juga penting untuk dicatat adalah, pada akhirnya, solusi untukinsurgensi tidak berada di tangan pasukan keamanan; namun terdapat dalamusaha yang komprehensif guna menangani penyebab-penyebab konflik darisektor sosial, politik dan ekonomi.

IV.C. “Pensipilan” dan Pengubahan Budaya Institusional

Dalam waktu singkat selama lima tahun sejak pemisahan polisi darimiliter, Polri telah membuat sejumlah kemajuan yang signifikan dalammerubah budaya institusionalnya untuk merefleksikan peran penegakkanhukum sipil. Kurikulum Sekolah Polisi Nasional (SPN) dan pusat pelatihanpolisi lainnya telah memperoleh perhatian khusus. Namun Brimob memilikipusat latihan yang berbeda untuk prajuritnya (Tamtama), yang memiliki lebihbanyak unsur-unsur warisan militer daripada sekolah polisi lainnya. Ini dapatmerefleksikan tugas-tugas seperti militer yang diperintahkan kepada Brimobdi wilayah konflik.

Tapi kami percaya bahwa beberapa masalah hak asasi manusia yangdihadapi Brimob sekarang dapat berasal dari cara mereka terpisah sejaksemula dari polisi reguler dan juga pelatihan mereka yang berbeda dan strukturkomando. Sebagai tujuan jangka panjang, akan lebih bermanfaat bagi Brimobdan Polri secara umum, dalam bentuk efisiensi dan “pensipilan”, jika semuapelatihan untuk taruna polisi terintegrasi. Kemudian siswa yang palingmemenuhi kualifikasi dan bermotivasi dapat melanjutkan ke pelatihan khusus,

Page 44: 20101122185411.Brimob

44

seperti Gegana dan tim SWAT. Brimob kemudian dapat benar-benar menjadipasukan khusus seperti yang diinginkannya.18

Beberapa masalah pada saat ini termasuk:

n Taruna polisi paling cemerlang biasanya tidak memilih Brimob. Inibukan berarti Brimob tidak dapat menemukan orang-orang yang bagus;kami terkesan dengan banyaknya Sersan Satu yang masih muda(Briptu) atau Letnan Satu (Iptu) bertugas sebagai Danton yang kamitemui, termasuk diantara BKO di Medan. Namun Brimob secarakeseluruhan dilihat kurang menarik dibandingkan dengan polisi biasauntuk beberapa alasan sebagai berikut.

n Mereka yang berada di Brimob sering kali berada di sana bukan karenapilihan, jadi dari semula sudah terdapat masalah motivasi. Banyaktaruna yang ditempatkan di Brimob setelah gagal dalam tes masukuntuk polisi reguler. Banyak pula yang ingin menjadi polisi lalu lintaskarena diangap memiliki kesempatan untuk menghasilkan uang.Setelah memasuki Brimob, beberapa polisi dapat mengatasi masalahini dan kemudian berkomitmen kepada organisasinya, sementara adajuga yang tidak.

n Semakin banyak kepangkatan tingkat rendah di Brimob (tingkatBharada) semakin memberikan insentif yang kecil untuk kinerjaprofesional.

n “Pensipilan” Brimob tertinggal di belakang polisi tugas umum ataureguler karena terdapatnya struktur pelatihan yang berbeda. Brimoblebih menekankan pada pelatihan seperti militer yang menghasilkankecenderungan melihat orang Indonesia di daerah konflik sebagai“musuh”, dengan cara yang merendahkan penegakkan hukum.

Rekomendasi:

5. Kami merekomendasikan Polri untuk mengubah kebijakan dimanasemua anggota baru polisi menerima pelatihan dasar yang sama,dengan Brimob menjadi korps profesional dimana anggotanyamenerima pelatihan tambahan khusus setelah menyelesaikan kursus

18 Kebutuhan untuk menghilangkan tahapan sekolah Brimob Tamtama yang ada sekarang (tingkat polisi terendah)dan merubahnya menjadi sekolah polisi yang normal (SPN) dijelaskan lebih lanjut dalam laporan oleh Kemitraan.Lihat: Prof. Djaali, Irjen Pol (Purn) Soedarsono dan Commandant de Police Jacques-

Page 45: 20101122185411.Brimob

45

standar. Ini dapat berarti anggota Brimob di masa depan dapat dieksposke tingkat tekanan yang sama dalam penegakkan hukum sipil sepertipolisi lainnya.

6. Sebagai bagian dari proses membuat Brimob benar-benar menjadipasukan khusus, kami merekomendasikan proses rekrutmen dan seleksiyang lebih ketat, dimana persyaratan memasuki Brimob harus lebihketat dibandingkan polisi reguler. Sehingga, akan ada insentif untukmenarik pendaftar terbaik yang memenuhi atau bahkan melebihikualifikasi yang ada, untuk dapat ditempatkan di Brimob. Mereka yangbergabung dengan Brimob haruslah karena keinginan mereka.

IV.D. Kondisi Kerja dan Kualitas Hidup

Pertemuan kami dengan pasukan Brimob yang bertugas di Aceh, Am-bon, Poso, Sampit, dan Timor Timur meninggalkan kesan mendalam padakami. Mereka adalah pemuda-pemuda yang mengorbankan diri mereka danmeninggalkan keluarga untuk dikirim ke daerah konflik, seringkali denganpemberitahuan mendadak, dan seringkali untuk menghadapi situasi yang tidakdapat dipersiapkan oleh latihan apapun dan dimana hidup mereka sendiriada dalam bahaya. Mereka sangat terbuka dengan kami dalam hal mengakui“tindakan berlebihan” yang terkadang timbul. Diantara banyak faktor yangdiangkat dalam diskusi kami adalah sebagai berikut:

n Kurang istirahat yang cukup selama dan antara penugasan, sering kalisatu atau dua minggu tiap enam bulan sekali. “Kami merasa sepertimesin, dan seperti mesin, kami juga bisa rusak. Kami bahkan semakinmembutuhkan istirahat ketika kami punya keluarga yang harusdiperhatikan,” seseorang mengatakan pada kami.

n Penugasan yang terlalu banyak dan sering ke daerah konflik yangberbeda-beda.

n Debriefing (pembubaran) yang tidak memadai sekembalinya daripenugasan dan usaha yang tidak memadai di markas untuk memahamiakibat penugasan di daerah konflik terhadap pasukan ini.

n Berpisah dari keluarga, sering kali terjadi di kalangan keluarga muda,untuk waktu yang cukup lama. Meninggalkan istri yang sedang hamil

Olivier Buczek: Program Strategis dalam Rangka Mendukung Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Polri(termasuk rekomendasi). Kemitraan Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, September 2003.

Page 46: 20101122185411.Brimob

46

cukup sulit, terutama ketika anaknya dilahirkan pada saat ayahnyasedang tidak ada di tempat.

n Gaji yang tidak mencukupi, terutama untuk anggota Brimob yangsudah berkeluarga, ketika biaya sekolah untuk anak-anak ditambahkandalam biaya-biaya dasar lainnya.

n Kurang peralatan yang memadai dalam situasi konflik, seperti rompitahan peluru, helm dan amunisi. Ini dapat mengakibatkan kondisidimana mereka akan lebih cepat menembak daripada ditembak, karenamereka tidak memiliki peralatan pelindung.

n Kurangnya fasilitas komunikasi dan transportasi.n Tingkat kekecewaan yang tinggi diantara perwira muda dengan institusi

Brimob sendiri, karena gaji yang rendah dan perumahan yang buruk,dan juga karena promosi dan kesempatan pendidikan yang terbatas.

n Tidak ada persiapan yang nyata untuk operasi yang disesuaikan dengankondisi di lapangan, demikian pula tidak ada pelatihan yang memadaitentang bagaimana bereaksi dalam situasi konflik. Akibatnya, padasituasi emosi dan kondisi fisik lemah, peran kontrol diri personil bisajadi sangat besar, dimana institusi hanya menyediakan sedikit bantuanuntuk menangani masalah ini.

Rekomendasi:

7. Kami merekomendasikan perhatian khusus diberikan dalam hal de-briefing pasukan yang baru saja kembali dari daerah konflik mengenaipermasalahan yang mereka hadapi di lapangan dan sumber stres yangmereka alami. Pengalaman mereka akan berharga sekali untukmempersiapkan rekan mereka yang lain yang akan ditempatkan ditempat sejenis. Demikian pula hal itu penting dalam rangka alokasisumber daya secara lebih baik dan tepat sasaran. Akan bermanfaatuntuk mempertimbangkan pembuatan peraturan untuk tidakmengirimkan seseorang ke daerah yang sama tanpa setidak-tidaknyaistirahat selama enam bulan terlebih dahulu.

8. Polri mungkin perlu mempertimbangkan spesialisasi lebih lanjut didalam Brimob, sehingga satuan yang berbeda akan dilatih untuk dandikirimkan ke daerah dengan situasi konflik tertentu (etnik, agama,dan, separatisme).

Page 47: 20101122185411.Brimob

47

9. Kami merekomendasikan pemberian tunjangan bagi personil Brimobdinaikkan agar sesuai dengan tingkat kehidupan polisi kota besar.Sumber-sumber tanmbahan untuk Brimob harus diarahkan setidak-tidaknya untuk meningkatkan kualitas hidup personil saat ini daripadamenambah jumlah pasukan. Personil Brimob tidak dapat diharapkanuntuk membayar pendidikan, transportasi, kesehatan dan perumahandari gaji mereka yang kecil.

IV.E. Kuantitas vs Kualitas: Masalah Struktural

Brimob memiliki sekitar 33.000 personil, dan sedang direncanakan(sebagian bahkan sedang berlangsung) melakukan ekspansi besar-besaran.Ada pertanyaan serius mengenai apakah sumber dana yang ada lebih baikdialokasikan untuk meningkatkan kualitas daripada kuantitas, terutamamengingat kondisi saat ini dimana lebih banyak pasukan bukanlah jaminanuntuk suatu kinerja yang lebih baik. Sekali lagi, terdapat kebutuhan kritisuntuk menganalisa peran Brimob dalam konteks kepolisian secaramenyeluruh. Jika salah satu tujuan Polri adalah untuk meningkatkankemampuan polisi untuk merespon krisis di tingkat sektor (polsek), makamungkin akan bermanfaat untuk memikirkan bagaimana melakukan lebihbanyak pelatihan polisi tugas umum, atau melakukan upaya-upaya lain dalamrangka desentralisasi satuan yang ada. Hal mana, mungkin saja dilihat sebagaikurang menarik dibanding tujuan meningkatkan jumlah total Brimob.

Di saat yang sama, kami mengakui salah satu penyebab stres adalahkurangnya personil untuk mengatasi berbagai peristiwa kekerasan. Inilahmasalah yang mungkin meningkat menjelang, selama dan setelah Pemilu2004. Sebagai contoh, Brimob dari Kelapa Dua harus mendukung seidealmungkin satuan-satuan Brimob satuan regional di tingkat polda. Namundemikian, karena terdapatnya masalah keamanan yang berbeda-beda diberbagai wilayah, satuan-satuan tingkat resimen dari Kelapa Dua telahmenjalankan tugasnya terus menerus. Bila terjadi kekurangan personil diKelapa Dua menandakan pasukan tengah di-BKO ke berbagai daerah. Halmana, menuntut satuan Brimob di daerah-daerah regional juga harusdimobilisasi dalam rangka BKO ke daerah lain jika dibutuhkan.

Page 48: 20101122185411.Brimob

48

Rekomendasi:

10. Jelas sekali Polri membutuhkan penyesuaian dan penyeimbangankualitas dan kuantitas personil, tetapi beberapa perencanaan organisasiharus dilakukan secara serius untuk memastikan bahwa ekspansi tidakboleh dilakukan hanya sekedar untuk kepentingan ekspansi. Kamimerekomendasikan bahwa jika hal ini tidak jadi dilakukan, Polriseyogyanya hanya menangani suatu daerah berdasarkan analisa daerahdimana kekuatan tambahan sangat dibutuhkan, dan untuk apa.Beberapa perencanaan jangka panjang juga dapat bermanfaat, danterfokus kepada, sebagai contoh, implikasinya terhadap kekuatanpasukan sebagai kelompok jika peran melawan insurgensi yangdimiliki Brimob dihapuskan.

Page 49: 20101122185411.Brimob

49

K

OM

AN

DA

N B

RIM

OB

WA

KIL

KO

MA

ND

AN

DIV

ISI

INT

EL

IJE

N

DIV

ISI

OPE

RA

SI

DIV

ISI

PER

SON

IL

SEK

SI

KE

SEH

AT

AN

D

AN

K

ES

AM

APT

AA

N

SEK

SI M

AS

AL

AH

IN

TE

RN

AL

DA

N

AK

UN

TA

BIL

ITA

S PR

OFE

SIO

NA

L

SEK

SI

AD

MIN

IST

RA

SI

Lam

pira

n 1

Str

uktu

r O

rgan

isas

i BR

IMO

B

DIV

ISI

PER

EN

CA

NA

AN

DIV

ISI L

OG

IST

IK

DE

TASE

ME

NM

AR

KA

SB

RIM

OB

SEK

SIK

OM

UN

IKA

SI-

EL

EK

TR

ON

IK

SAT

UA

N II

PEL

OPO

RSA

TU

AN

IG

EG

AN

ASA

TU

AN

III

PEL

OPO

RPU

SAT

LA

TIH

AN

Page 50: 20101122185411.Brimob

50

Lampiran 2 JADWAL LATIHAN BRIMOB

No Tipe Kursus Target Kelompok Lokasi Tanggal Pelatihan Total Peserta

1 Kursus Komandan Perwira batalyon Kelapa Dua 17-09-2001 to 28-09-2001

24

2 Kursus Kompi Anggota kompi Kelapa Dua 15-10-2001 to 09-11-2001

125

3 Kursus Kompi Anggota kompi Kelapa Dua 21-01-2002 to 15-02-2002

125

4 Pelatihan untuk Pelatih Pelatih Brimob Kelapa Dua 11-03-2002 to 31-05-2002

22

5 Pelatihan untuk Pelatih Pelatih Brimob Kelapa Dua 10-06-2002 to 23-08-2002

12

6 Pelatihan untuk Pelatih Lanjutan

Pelatih Brimob Kelapa Dua 11-12-2002 to 24-01-2002

28

7 Pelatihan Hak Asasi Manusia untuk Pelatih

Pelatih Brimob Kelapa Dua 13-01-2003 to 24-01-2003

34

8 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Kelapa Dua 26-08- 2002 to 20-09-2002

48

9 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Kelapa Dua 30-09-2002 to 25-10-2002

48

10 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Medan 10-06-2002 to 05-07-2002

48

11 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Medan 15-07-2002 to 08-08-2002

48

12 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Medan 26-08-2002 to 20-09-2002

48

13 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Medan 30-09-2002 to 25-10-2002

48

14 Hak Asasi Manusia Komandan peleton dan seksi

Medan 15-07-2002 to 08-08-2002

48

15 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Porong 10-06-2002 to 05-07-2002

48

16 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Porong 15-07-2002 to 08-08-2002

48

17 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Porong 26-08-2002 to 20-09-2002

48

18 Kursus Perwira Pertama

Komandan peleton dan seksi

Porong 30-09-2002 to 25-10-2002

48

19 Hak Asasi Manusia Komandan peleton dan seksi

Porong 15-07-2002 to 08-08-2002

48

20 Seminar untuk Perwira Senior

Perwira Senior batalyon dan kompi

Porong 19-09-2002 28

974

Page 51: 20101122185411.Brimob

51

Lampiran 3 JADWAL KERJA/WAWANCARA TIM EVALUATOR

Kunjungan Lapangan:

a. Watukosek, Jatim (Sekolah Brimob): 17 – 18 Maret 2003* 2 wawancara dengan kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 taruna* wawancara individual dengan 6 instruktur sekolah* observasi pelatihan di ruang kelas

b. Medan, Sumut (Polda): 22 - 23 Mei 2003* wawancara dengan 28 Brimob dari Satuan Polda Sumatera Utara, dibagi

dalam 5 kelompok* wawancara individual dengan 5 komandan BKO dan beberapa bintara

dari Kelapa Dua

c. Banda Aceh, NAD (Polda): 23 – 24 Mei 2003* wawancara dengan 26 Brimob dari Satuan Regional Aceh, dibagi dalam

3 kelompok* wawancara individual dengan 3 komandan Brimob

d. Kelapa Dua, Jabar (Markas Brimob): 20 Juni 2003* 3 Diskusi Kelompok Terfokus, melibatkan 12 instruktur pelatihan

Brimob; 10 danton; 9 tamtama

Wawancara Individual:

* Kombes Pol. Drs. Djunaeni, Ahli Pelatihan Polisi, satu dari 6 InstrukturUtama dalam proyek UNHCR, 21 April 2003

* Brigjen Pol. Drs. Bambang Pranoto, Direktur Latihan, Lemdiklat, 23April 2003

* Irjen Pol. Drs. Made Mangku Pastika, Wakil Kepala Badan ReserseKriminal, sekarang Kapolda Bali, 30 April 2003

* Guy Janssen, mantan konsultan UNHCR, 13 Agustus 2003* Kombes Pol. Dra. Pengasihan Gaut, mantan anggota tim manajemen

proyek UNHCR, sekarang Kepala Bidang Hubungan MasyarakatPolda Bali, 11 September 2003

Page 52: 20101122185411.Brimob

52

* Irjen Pol. Drs. Jusuf Manggabarani, Komandan Brimob (2000-2002),sekarang Kapolda Sulawesi Selatan, 16 September 2003

Selama evaluasi, sejak Februari – Desember 2003, tim evaluasi bertemudalam beberapa kesempatan dengan Komandan Brimob Irjen Pol. Drs.Sylvanus J. Wenas, Wakil Komandan Brigjen Pol. Drs. Johny W. Usman,dan juga pimpinan Brimob lainnya, untuk wawancara serta mendiskusikankemajuan evaluasi. Rancangan laporan evaluasi didiskusikan dengan jajaranpimpinan Brimob pada 12 Desember 2003 di kantor Partnership di Jakarta.

Page 53: 20101122185411.Brimob

53

Lampiran 4

Kerangka Acuan

Proyek Mengenai UU Pengungsi dan Pelatihan HAM(Hak Asasi Manusia)

Untuk Polisi Republik Indonesia

Evaluasi Mengenai Komponen BRIMOB

Tujuan Umum:

Mengintegrasikan prinsip-prinsip penting Hak Asasi Manusia ke dalamprosedur pelatihan dan fungsi operasional BRIMOB.

Komponen Evaluasi:

1. Analisis Hasil/Keluaran:1.1. 2 kompi berjumlah 120 personil BRIMOB dilatih mengenai HAM

dan teknik-teknik yang berkaitan dengan pemeliharaan ketertibanumum, penahanan, penggunaan kekuatan dan senjata api.

1.2. 30 pelatih (trainers) dididik sampai mereka mampu memberikankursus mengenai HAM dan teknik-teknik berkaitan denganpemeliharaan ketertiban umum, penahanan, penggunaan kekuatandan senjata api.

1.3. Pelatih Indonesia mengajar 9 kursus pelatihan bagi perwira pertamadi 3 lokasi berbeda di bawah pengawasan dan dengan arahan dariinstruktur internasional.

1.4. Memasukkan teknik baru ke dalam kurikulum sekolah pelatihanBRIMOB di Watukosek.

2. Analisis Bahan/Muatan:2.1. Menentukan apakah prioritas-prioritas kursus yang ditetapkan sudah

tepat, terutama berkaitan dengan topik dan teknik terkait.

Page 54: 20101122185411.Brimob

54

2.2. Mengkaji bahan atau substansi dari kursus perusahaan dan kursusperwira pertama. Memeriksa apakah semua teknik sesuai denganstandar internasional.

2.3. Menilai aksesibilitas dari bahan kursus.2.4. Menilai metode instruksi dan metode penyampaian.

3. Analisis Dampak: (4 tingkatan) 1) komandan BRIMOB, 2) komandanregu dan satuan, 3) perwira pertama dan 4) bintara3.1. Mencatat respon mengenai kursus dari ke 4 tingkatan.3.2. Menetapkan pemahaman mengenai isi kursus pada ke 4 tingkatan.3.3. Perubahan perilaku operasional hakim yang terkait dengan kursus.3.4. Perubahan perilaku hakim yang berkaitan dengan kursus.3.5. Membandingkan pendekatan terhadap HAM yang dilakukan oleh

unit-unit terlatih dan tidak terlatih.

4. Analisis Strategi:4.1. Mencatat kejadian terkini dan reputasi HAM dari BRIMOB.4.2. Menempatkan BRIMOB sebagai unit di dalam Polri.4.3. Menempatkan peranan BRIMOB dalam pengaturan kelembagaan

dalam menjaga keamanan/ketertiban di Indonesia, khususnyaberkaitan dengan peranan Angkatan Darat Indonesia.

4.4. Menempatkan dan menilai kursus di dalam konteks di atas.4.5. Membandingkan dampak dari program-program pelatihan yang

sebelumnya/lalu bagi BRIMOB (apabila informasi tersedia).4.6. Menilai diskusi mengenai visi dan misi dari ke 4 tingkatan yang

berbeda4.7. Menilai keefektifitasan dari pendekatan bawah-atas (bottom-up) bagi

terciptanya perubahan (yaitu bahwa efektifitas BRIMOB dapatmemberikan pilihan bagi hal-hal yang perlu difokuskan oleh perwirapertama).

4.8. Menilai apakah kursus secara efektif telah merespon permasalahanyang dianggap mendesak oleh BRIMOB.

4.9. Menetapkan apakah perubahan yang tercapai, memiliki struktur,berkelanjutan dan/atau kekal.

5. Usulan ke Depan:Daftar pelajaran (lessons learned) dan saran atau rekomendasi bagi

Page 55: 20101122185411.Brimob

55

kegiatan yang dapat dilakukan untuk lebih lanjut mendukung reformasiBRIMOB, sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dan tata pemerintahanyang baik dan dalam situasi kelembagaan yang luas.

Metodologi:Evaluasi akan menggunakan kombinasi dari:! pemeriksaan file;! kunjungan dan observasi ke lapangan;! wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam proyek dan juga

dengan pihak-pihak terkait;! pertemuan kecil atau diskusi seperti kelompok fokus;! lokakarya besar satu hari untuk membahas rancangan laporan akhir

Tahap 1: dalam periode kurang lebih satu bulan, tim evaluasi akanmenyusun penilaian pertama mengenai isu-isu dalam TOR, jugamempertimbangkan aspek-aspek praktis, seperti kebersediaan danaksesibilitas dari bahan-bahan tertulis untuk mendukung evaluasi. Satukunjungan ke lapangan diluar Jakarta dan wawancara awal dengan pihak-pihak terkait akan dilakukan. Pada akhir tahap 1, tim akan menghasilkanringkasan singkat yang mengusulkan tahap kedua yang lebih terinci, dimanaisu-isu terpilih akan dikaji lebih lanjut dan lebih mendalam.

Tahap 2 (dua bulan): tim akan melaksanakan penilaian yang disepakatidalam evaluasi dan menghasilkan rancangan laporan akhir, yang akan dibahasdalam lokakarya satu-hari dengan kurang lebih 30 peserta (pihak-pihakterkait). Komentar dan usul dari lokakarya ini akan dipertimbangkan dalampersiapan laporan akhir.

Tim Evaluasi:Tim perlu mengikutsertakan satu orang yang memiliki latar belakang

yang kuat mengenai isu-isu HAM di Indonesia dan satu orang dengan latarbelakang yang kuat mengenai isu-isu polisi di Indonesia. Selain itu, akanlebih baik apabila mengikutsertakan juga satu orang yang dapat memberikanpelajaran dari praktek-praktek internasional mengenai polisi huru-hara atauorganisasi tipe para-militer. Masukan ini dapat dibatasi berkaitan denganwaktu yang tersedia. Tim juga akan memerlukan asisten peneliti untukmembantu proses kajian dan pengumpulan informasi dari survei dan/atauwawancara.