dalam penangangan narapidana kasus terorisme di masa ... · kerusuhan mako brimob kelapa dua depok,...
TRANSCRIPT
POLICY BRIEF 23 APRIL 2020
MEMBACA POTENSI GANGGUAN KEAMANAN & KETERTIBAN
dalam Penangangan Narapidana Kasus Terorisme
di Masa Pandemik Covid-19
Menyebarnya SARS-CoV-2, atau lebih dikenal dengan Covid-19, menimbulkan kekhawatiran mengenai
penularan virus tersebut di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dalam siatuasi pandemi seperti
sekarang, Lapas dapat diibaratkan seperti “aquarium”. Sekali satu orang di dalamnya tertular, maka
penularan terhadap populasi sisanya tidak terhindarkan (Meliala, 2020). Untuk mencegah penularan,
hingga 20 April 2020 Kementerian Hukum dan HAM melalui Permenkumham No. 10 Tahun 2020 telah
mengeluarkan 38.822 narapidana, kecuali yang terkait tindak pidana terorisme dan kejahatan lain yang
diatur dalam PP 99/2012.
77
153
13
26
33
24
15
42
169
Lapas Pasir Putih
Lapas Narkotika Gunung Sindur
Lapas Khusus Gunung Sindur
Lapas Batu
Lapas Besi
Lapas Permisan
Lapas Kembang Kuning
Lapas Karanganyar
18 Lapas lainnya
DATA PERSEBARAN NAPITER
Berdasarkan Sistem
Database Pemasyarakatan,
sebaran jumlah kasus tindak
pidana terorisme per 16 April
2020 terdiri 552 narapidana
terorisme (napiter) di
Indonesia, yang tersebar di
91 Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan di 26
wilayah.
Berdasarkan data Direktorat Binapi Latkerpro,
Ditjen Pas, kondisi Lapas High-Risk Teroris di
tengah pandemi ini cenderung terkendali
(Junaedi, 2020). Diyakini bahwa potensi
penyebaran virus corona sangat rendah,
sehubungan dengan prosedur kerja Lapas High-
Risk yang sudah menerapkan lockdown serta
physical dan social distancing bahkan jauh
sebelum Covid-19 muncul. Namun, bukan berarti
Lapas High-Risk sudah sepenuhnya bebas dari
risiko penyebaran Covid-19
PENDAHULUAN
Selain potensi penularan Covid-19 di Lapas High-
Risk Teroris, Ditjenpas tetap perlu
memperhatikan aspek keamanan dan ketertiban
(kamtib) di Lapas-Lapas non-high-risk yang
memiliki napiter. Oleh sebab itu, dalam kondisi
tidak biasa seperti sekarang pihak Lapas perlu
mempertimbangkan potensi penularan Covid-19
ke dalam Lapas High Risk dan belajar dari kasus-
kasus terdahulu, bahwa narapidana kategori
teroris mampu memicu kerusuhan lewat
eksploitasi berbagai isu, termasuk Covid-19.
(1/6)
1. Potensi Penularan Covid-19 di Lapas High-Risk
Teroris
Peluang penyebaran Covid-19 di Lapas High-Risk
Teroris memang tidak sebesar di Lapas biasa.
Lapas High-Risk Teroris dijalankan dengan sangat
ketat, di mana tidak ada kontak antar-sesama
napiter, kontak yang sangat minim antara napiter
dengan petugas, dan mekanisme kunjungan yang
begitu ketat sehingga pertemuan antara
penjenguk dan napiter tidak seperti Lapas-Lapas
biasa. Di Lapas High-Risk, waktu kunjungan lebih
sedikit dibanding Lapas biasa. Kemudian,
pertemuan antara napiter dan penjenguk
dilakukan tanpa tatap muka. Selain itu,
diberlakukan sistem one man one cell atau tiap
satu sel dihuni oleh satu narapidana. Tujuan
utamanya adalah agar tidak terjadi radikalisasi di
dalam Lapas, memutus komunikasi napiter
dengan jaringannya, dan mencegah perencanaan
aksi teror dari Lapas.
Pada dasarnya, Lapas High-Risk sudah dirancang
seperti sebuah fasilitas karantina (Riveland,
1999). Namun, dalam konteks ini karantina
dilakukan kepada orang yang terpapar ideologi
ekstremisme kekerasan, bukan terpapar virus.
Namun, berdasarkan sedikit penjabaran di atas
dapat dilihat bahwa terdapat kemiripan antara
karantina penganut ideologi kekerasan yang
dilakukan Lapas High-Risk dengan karantina
pembawa virus. Oleh sebab itu, tidak terlalu
berlebihan bila kemudian pihak Lapas percaya diri
bahwa kondisi Lapas High-Risk Teroris terpantau
aman dari ancaman Covid-19. Pelaksanaan Lapas
yang sudah begitu ketat tidak serta merta
ANALISIS
meniadakan risiko masuknya Covid-19 ke Lapas.
Masih ada satu “pintu” tempat virus dapat
masuk ke Lapas High-Risk Teroris, yakni melalui
petugas. Petugas di Lapas High-Risk Teroris
adalah warga biasa setelah jam kerja berakhir.
Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Di
antara Lapas dan rumah tersebutlah petugas
berisiko terinfeksi Covid-19 dan kemudian
membawanya ke dalam Lapas High-Risk.
Sehingga pada prinsipnya, ancaman Covid-19
terhadap Lapas High-Risk ini serupa dengan
ancaman-ancaman lain, yang seringkali lebih
besar kemungkinannya berasal dari luar
dibandingkan dengan dari dalam Lapas. Oleh
sebab itu, sangatlah penting bagi pihak Lapas
untuk terus-menerus mengingatkan para
petugasnya agar mengikuti prosedur-prosedur
mitigasi Covid-19 yang sudah dikeluarkan
Ditjenpas. Sebab, bila akhirnya ada petugas
yang membawa virus ke Lapas High-Risk, maka
mau tidak mau harus dilakukan pengosongan
total terhadap Lapas. Dan untuk melakukannya
dibutuhkan usaha yang sangat besar.
Lapas High-Risk Nusakambangan (jateng.kemenkumham.go.id)
2. Potensi Gangguan Kamtib di Masa Covid-19
Permenkumham No 10 Tahun 2020
mengecualikan narapidana terkait PP 99 Tahun
2012 dari mekanisme pengeluaran lewat
asimilasi dan PB di masa Covid-19. Sebagian
narapidana di Lapas, seperti narapidana korupsi,
bandar narkotika, dan terorisme, dapat
beranggapan bahwa kebijakan tersebut
diskriminatif. Bahkan beberapa narapidana
bandar narkotika telah mengemukakan
kekecewaan mereka lewat provokasi
kerusuhan. Pada 12 April 2020 lalu, terjadi
kerusuhan di Lapas Tuminting Manado karena
ketidakpuasan beberapa oknum narapidana
atas kebijakan pengeluaran narapidana
Kemenkumham. Dalam kerusuhan tersebut
terjadi pembakaran bangunan Lapas. Hasil
investigasi menemukan bahwa terdapat 19
orang provokator, yang di antaranya terdapat
(2/6)
Kerusuhan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, 8-10 Mei 2018 (Dok Polri)
napi bandar narkotika. Kini, 19 orang provokator
tersebut dipindahkan ke Lapas Karanganyar, yang
berpengamanan super maximum, dan
menerapkan sistem one man one cell (Rosseno,
2020).
Narapidana bandar narkotika memang telah lama
menunjukkan kemampuan untuk mengacaukan
keamanan dan ketertiban Lapas. Ini terlihat dari
kemampuan mereka untuk tetap mengendalikan
jaringan dan peredaran narkotika dari dalam
Lapas. Kerusuhan akibat provokasi narapidana
bandar narkotika juga bukan hal baru. Belum
lama, terjadi kerusuhan di Rutan Kabanjahe
karena petugas menyita sabu-sabu seberat 30
gram milik empat orang napi (Sianturi, 2020).
Selain itu, ada juga kasus kerusuhan di Rutan
Malabero yang masih berhubungan dengan
bandar narkotika. Akibat aksi pembakaran dalam
kerusuhan tersebut, lima orang tahanan
meninggal dunia (Putro, 2016).
Narapidana kategori lain yang memiliki potensi
besar menimbulkan gangguan kamtib, tentunya,
adalah napiter. Narapidana teroris memiliki
riwayat cukup panjang dalam mengganggu
keamanan, ketertiban, dan otoritas Lapas.
Contoh yang masih cenderung baru adalah
kerusuhan yang dilakukan para napiter di Mako
Brimob, Kelapa Dua, Depok yang menewaskan 6
orang polisi. Kerusuhan tersebut dipicu
ketidakpuasan para napiter atas perlakuan
petugas terhadap salah satu kerabat napiter. Hal
yang mungkin luput dari perhatian orang, ketika
kerusuhan di Mako Brimob terjadi, informasi
mengenai kerusuhan cepat menyebar di kalangan
pendukung ISIS. Merespon adanya kemungkinan
untuk menyerang Mako, pendukung ISIS dari
berbagai daerah berangkat ke Depok untuk
membantu rekan-rekan mereka yang ada di
dalam, meskipun pada akhirnya serangan
tersebut tidak terwujud. Selain kerusuhan di
Mako, ada juga kerusuhan di Tanjung Gusta yang
salah satu provokatornya adalah Fadli Sadama,
seorang napiter dengan riwayat aksi terorisme
cukup panjang. Kerusuhan tersebut
menewaskan 5 orang, yang terdiri dari 2 petugas
dan 3 narapidana. Di samping itu, ratusan
narapidana, termasuk 14 napiter berhasil
melarikan diri.
Dalam kondisi Covid-19 seperti sekarang, pihak
Lapas harus memberi perhatian ekstra kepada
para napiter. Sebab, sangat mungkin mereka
menjadikan pandemi Covid-19 dan kebijakan
pengeluaran narapidana yang diambil
Kemenkumham sebagai bahan untuk
mengeksploitasi kecemasan dan ketidakpuasan
narapidana lainnya, dengan menghubung-
hubungkannya ke berbagai hal, termasuk agama.
Bila kecemasan dan ketidakpuasan memuncak,
maka potensi terjadinya kekerasan kolektif atau
kerusuhan di dalam Lapas akan semakin besar
(Wood & Dunaway, 1997).
Di Amerika, misalnya, pada 1993 terjadi sebuah
kerusuhan Lapas yang menewaskan 10 orang
dalam 11 hari. Semuanya bermula ketika
pengecekan penyakit yang dilakukan oleh
petugas dianggap melanggar keyakinan seorang
narapidana Muslim. Hal sensitif tersebut,
ditambah ketidakmampuan petugas untuk
berkomunikasi dengan baik, membuat keadaan
tidak terkendali (Useem & Clayton, 2019). Belajar
dari kasus tersebut, di masa yang serba tidak
pasti seperti sekarang, kerusuhan adalah
(3/6)
hal yang mutlak harus diredam dan dihindari.
Sebab, kerusuhan dapat dimanfaatkan
narapidana teroris untuk melarikan diri,
sebagaimana yang sudah terjadi di Suriah pada
akhir Maret lalu (McKernan, 2020).
Sangatlah penting bagi pihak Lapas untuk dapat
membaca situasi dan mengetahui napiter mana
yang memiliki potensi provokator. Keberhasilan
hal tersebut sangat bergantung pada
kemampuan petugas dalam intelijen, interaksi
dan komunikasi. Sumber informasi terbaik di
Lapas adalah penghuninya, yang berarti para
narapidana. Petugas harus mengumpulkan
sebanyak mungkin informasi kualitatif, dan
kemudian memilah serta menganalisisnya. Praktik
seperti ini biasa disebut sebagai keamanan
dinamis, yang memuat intelijen Lapas (UNODC,
2015). Intelijen Lapas yang sistematis
menghasilkan informasi berharga yang berguna
untuk mencegah kerusuhan (Victorian Office of
Correction 1990)
Di samping gangguan kamtib dari dalam, perlu
diperhitungkan juga mengenai serangan dari luar
mengingat aksi terorisme tidak beristirahat
sekalipun Covid-19 sudah ditetapkan sebagai
bencana non-alam oleh Presiden Joko Widodo.
Selama sebulan terakhir, beberapa aksi teror dan
penangkapan pelaku terorisme tetap terjadi.
Pada 15 April 2020 lalu, terjadi aksi penembakan
oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT)
terhadap polisi yang menjaga Bank Syariah
Mandiri Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Akibat penyerangan tersebut, beberapa orang
masuk DPO dan dua di antaranya tewas ketika
hendak ditangkap (CNN Indonesia, 2020). Selain
itu, ada juga penangkapan atas empat orang
anggota Jama’ah Ansharut Daulah (JAD)
Sulawesi Tenggara yang diduga tengah
mempersiapkan aksi teror karena didapati
keempatnya menyimpan senjata api laras
panjang, pistol, amunisi, dan sangkur (Halim,
2020).
Adanya dua kejadian tersebut harus
dipertimbangkan oleh pihak Lapas untuk
memperkuat penjagaan. Tetap aktifnya jaringan
teroris di tengah Covid-19 menunjukkan bahwa
tetap ada potensi terjadinya serangan dari luar
terhadap Lapas, entah untuk sekadar membuat
kekacauan dan ketakutan atau untuk
membebaskan rekan mereka yang ada di dalam.
KESIMPULAN
Mengingat operasionalisasinya yang sangat ketat, Lapas High-Risk cenderung lebih mampu mengatasi
penyebaran dan penularan Covid-19 dibanding Lapas biasa. Adanya sistem one man one cell dan
pembatasan kontak antara narapidana dengan sesamanya dan narapidana dengan petugas sejak dulu
membuat beberapa prosedur mitigasi Covid-19 sudah dilakukan. Namun, bukan berarti tidak ada sama
sekali peluang masuknya Covid-19 dari luar. Petugas yang setiap hari pulang pergi dari Lapas ke rumah
dan sebaliknya berpotensi menjadi carrier virus corona tanpa disadari. Oleh sebab itu, sangatlah penting
bagi Lapas untuk melakukan pemeriksaan rutin kepada setiap petugas, menyediakan tempat cuci tangan
dan sabun yang memadai, dan mematuhi seluruh prosedur mitigasi Covid-19 tanpa terkecuali.
Adanya pengeluaran narapidana melalui mekanisme asimilasi dan PB yang diatur lewat Permenkumham
No. 10 Tahun 2020 memantik kecemburuan narapidana yang tidak mendapat hak tersebut. Ini sudah
ditunjukkan pada kasus kerusuhan di Lapas Tuminting yang diprovokasi oleh napi bandar narkotika.
Selain napi bandar, pihak Lapas perlu menaruh perhatian besar kepada narapidana teroris, yang juga
memiliki potensi gangguan keamanan dan ketertiban umum sama besarnya. Pihak Lapas harus bisa
meredam seandainya ada upaya napiter untuk menggiring opini penghuni Lapas mengenai kebijakan
pengeluaran dan pandemi Covid-19 yang berlangsung. Di samping itu, pihak Lapas tetap harus
menjalankan fungsi intelijen, tetap menjaga kewaspadaan dan penjagaan di lingkungan sekitar,
mengingat aksi terorisme tidak berhenti selama Covid-19 ini. Peluang terjadinya serangan dari luar tetap
ada, dan mungkin lebih besar dibanding sebelumnya karena perhatian penegak hukum sedang terbagi
kepada hal-hal lain.
(4/6)
Pihak Lapas High-Risk harus terus mematuhi pedoman pelaksanaan yang sudah memuat
prinsip-prinsip lockdown serta physical dan social distancing dengan baik termasuk
kebijakan membatasi kunjungan, mencuci tangan, menggunakn masker dan lain-lain.
REKOMENDASI
Seandainya terjadi penularan di dalam Lapas, maka petugas harus memiliki upaya mitigasi
dan mengambil tindakan sebagaimana tertera pada Penindakan Keracunan Massal dan
Wabah Penyakit yang sudah diatur dalam Pedoman Kerja Lembaga Pemasyarakatan
Khusus Bagi Narapidana Risiko Tinggi Kategori Teroris, dengan menyesuaikannya dengan
protokol-protokol Covid-19.
Guna menekan potensi kerusuhan dalam Lapas akibat hasutan narapidana teroris, pihak
Lapas harus bisa menggunakan intelijen dan memetakan napiter-napiter mana yang
memiliki kemampuan untuk memicu timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban lewat
provokasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan intelijen Lapas
Membuat gentar setiap penghuni Lapas untuk menghasut timbulnya kerusuhan dengan
mengumumkan bahwa hukuman bagi pelaku kerusuhan atau provokator adalah dikirim ke
Lapas High-Risk di Nusakambangan, seperti yang telah dilakukan pada 19 provokator
kerusuhan Lapas Tuminting.
Guna mencegah aksi serangan dari luar, pihak Lapas harus menjaga kewaspadaan dan
pengamanannya tetap siaga serta terus berkoordinasi dengan TNI/POLRI. Sebagai dasar
peningkatan kewaspadaan dan pengamanan, intelijen Lapas juga harus digunakan untuk
mengumpulkan informasi dari lingkungan sekitar lapas.
(5/6)
CNN Indonesia. (2020, April 15). Dua Penyerang Polisi di Poso Ditembak Mati. Retrieved from
cnnindonesia.com: www.cnnindonesia.com/ nasional/20200415144007-12-493797/dua-penyerang-
polisi-di-poso-ditembak-mati
Halim, D. (2020, April 14). Polri: 4 Terduga Teroris yang Ditangkap di Muna, Sultra, Anggota JAD.
Retrieved from Kompas.com: nasional.kompas.com/read/2020 /04/14/17505491/polri-4-terduga-
teroris-yang-ditangkap-di-muna-sultra-anggota-jad
Junaedi. (2020). Diskusi Online Mitigasi Covid-19 di Lapas High-Risk.
McKernan, B. (2020, Maret 30). Islamic State Prisoners Escape from Syrian Jail after Militant Riot.
Retrieved from theguardian.com: www.theguardian.com/ world/2020/mar/30/islamic-state-
prisoners-escape-from-syrian-jail-after-militants-riot
Meliala, Adrianus. (2020). Diskusi Online Mitigasi Sub-Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam
Menghadapi Kondisi Covid-19.
Putro, Y. H. (2016, Maret 28). Provokasi Kerusuhan Rutan Malabero, Elvis Jadi Tersangka. Retrieved from
liputan6.com: www.liputan6.com/regional/read/ 2468990/provokasi-kerusuhan-rutan-malabero-
elvis-jadi-tersangka
Rosseno, A. M. (2020, April 13). Napi Provokator Kerusuhan Lapas Manado Dipindah ke Nusakambangan.
Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1330855/napi-provokator-kerusuhan-
lapas-manado-dipindah-ke-nusakambangan
Sianturi, A. H. (2020, Februari 13). Rusuh di Rutan Kabanjahe, Polisi Amankan 10 Napi Provokator.
Retrieved from beritasatu.com: www.beritasatu.com/nasional/600059/rusuh-di-rutan-kabanjahe-
polisi-amankan-10-napi-provokator.
Sistem Database Pemasyarakatan. http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly. Diakses
pada 21 April 2020.
United Nations Office on Drugs and Crime. (2015). Handbook on Dynamic Security and Prison
Intelligence. New York: United Nation.
Useem, B., & Clayton, O. (2009). Radicalization of U.S. Prisoners. Criminology & Public Policy, 8(3)
Victorian Office of Corrections. (1990). Predicting Major Prison Incidents. Victoria: Victorian Office of
Corrections.
Wood, P. B., & Dunaway, R. G. (1997). An Application of Control Balance Theory in Incarcerated Sex
Offenders. Journal of the Oklahoma Criminal Justice Research Consortium, 4, 1-12.
REFERENSI
PROFIL Center for Detention Studies
Center for Detention Studies (CDS) adalah organisasi non-profit yang
telah berdiri sejak 19 Februari 2009 di Jakarta, Indonesia. CDS terdiri
dari kelompok aktivis hak asasi manusia dan akademisi yang bergerak
di bidang reformasi penjara di Indonesia. Melalui program dan
aktifitas, CDS mendorong perubahan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan untuk memperbiki kemampuan institusi dalam
memberikan perlindungan, serta pemenuhan dan penghormatan atas
orang-orang yang dihilangkan kebebasannya. Berbagai penelitian dan
advokasi terkait implementasi dari sistem pemasyarakatan telah
dihasilkan dan menjadi rekomendasi kebijakan.
KONTAK KAMI
Jl. Menteng Raya No. 31, Jakarta Pusat
(021) 31922030
www.cds.or.id
Center for Detention Studies
@CDSIndonesia
Pusat Kajian Penahanan
(6/6)