makalah napi berkat danil

Upload: ikhsan

Post on 31-Oct-2015

109 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

this is paper about leadership actually woman leadership in islamic perspective, major talks about gender, history and leadership

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, setidaknya ia adalah seorang pemimpin bagi dirinya sendiri. Bagus tidaknya seorang pemimpin pasti berimbas kepada siapa yang dipimpin olehnya. Karena itu menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut. Pada umumnya seseorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang dipimpinnya, di mana kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya sifat-sifat yang dimiliki berkaitan dengan kepemimpinannya. Kelebihan sifat ini merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses.

Dalam suatu lingkup suatu organisasi, khususnya suatu negara, pemimpin ataupun pimpinan secara alamiah/ideal haruslah dipatuhi dan disegani oleh para bawahannya. Dalam suatu konteks kenegaraan, pemilihan kepala negara zaman kini sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan dalam ajaran Islam. Di dalam konsep Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Berbeda dengan zaman sekarang, yang hampir setiap negara di dunia menganut sistem demokrasi, yang mana adanya proses pemilihan kepala negara yang berbeda dengan masa kekhalifahan, dan juga adanya pemisahan antara negara dengan agama dalam berbagai aspek, seperti contoh seperti hukum yang berlaku. Indonesia salah satunya, negara dengan prinsip demokrasi yang memisahkan hukum agama dengan hukum negara, walaupun tidak disebutkan secara tegas akan pemisahan kaedah-kaedahnya.

Dalam system ketatanegaraan Indonesia, negara menjamin setiap warga negaranya mempunyai hak-hak yang sama dalam berpolitik dan pemerintahan, baik itu laki-laki mauun perempuan, dan hal itu tercantum dalam kaedah pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945. Dewasa ini berbagai peran perempuan diranah pemerintahan tidak boleh dipandang sebelah mata. Perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki di pemerintahan, salah satunya adalah menjadi seorang pemimpin dalam pemerintahan. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang berkaitan dengan masalah politik, baik itu menjadi wakil rakyat (Legislatif) baik di DPR RI maupun DPRD, maupun pemimpin (ekskutif) menjadi kepala daerah baik itu Bupati, Wali Kota, Gubernur maupun menjadi seorang Presiden.

Sampai saat ini, kepemimpinan perempuan selalu hangat untuk dibicarakan, baik itu yang pro dan kontra. Bagi yang pro mengatakan bahwa perempuan berhak menjadi pemimpin asal mereka mampu. Sedangkan yang kontra kepemimpinan perempuan menilai bahwa dalam ajaran Islam kepemimpinan selalu dipegang oleh laki-laki bukan perempuan. Sama seperti saat Ibu Megawati Soekarno Putri diangkat oleh MPR untuk menjadi Presiden menggantikan Presiden terdahulu. Saat itu banyak sekali yang kontra akan keputusan tersebut, terutama bagi penganut Islam garis keras yang menolak pemimpin perempuan.

Mereka yang menolak memiliki kenyakinan bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, baik pemimpim rumah tangga maupun pemimpim masyarakat. Kaum hawa hanya berhak dipimpin oleh laki-laki dalam berbagai sendi kehidupan dan profesi, baik itu dalam hal rumah tangga, pendidikan, perdagangan, bisnis lebih-lebih dalam masalah hukum dan politik. Terlihat disini Indonesia berpegang teguh pada dasar-dasar Negara yaitu UUD 1945, yang di dalam ketentuannya sangat melindungi setiap hak warga negaranya, termasuk kesamarataan hak dalam pemerintahan dan politik bagi laki-laki dan perempuan. Padahal kita ketahui Indonesia adalah Negara dengan penganut Islam terbanyak di dunia.

Maka dari itu dalam makalah kali ini, kami mencoba untuk membuat makalah yang berjudul Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Islam.1.2. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas maka beberapa permasalahan yang menjadi inti dari pembahasan paper ini adalah :a) Bagaimana pemimpin pemerintahan dalam perspektif Islam ?b) Bagaimana kedudukan wanita dalam perspektif Islam ?

c) Bagaimana kepemimpinan wanita dalam perspektif Islam ?BAB IIPEMIMPIN PEMERINTAHAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM2.1. Definisi Pemimpin Secara UmumNegara tidak dapat bergerak sendiri tanpa adanya seorang pemimpin yang mengarahkan negara tersebut. untuk menelaah lebih jauh mengenai oemimpin wanita dalam islam tentunya kita harus terlebih dahulu mengetahui apakah sebenarnya hakekat dari pemimpin itu tersebut.

Sebuah Negara yang besar terwujud karena adanya seorang pemimpin yang besar pula dibelakangnya. Karena pengaruh pemimpin terhadap Negara yang dipimpinnya sangatlah besar.

Istilah pemimpin, kepemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.

Dalam literatur lainnya pengertian pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan.

Dalam suatu organisasi, kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Robbins kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Ngalim Purwanto kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.

Dari pengertian diatas kepemimpinan mengandung beberapa unsur pokok antara lain :1. kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi tempat pemimpin dan anggotanya berinteraksi ;2. di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi bawahan oleh pemimpin ; dan3. adanya tujuan bersama yang harus dicapai.Kepemimpinan merupakan suatu hubungan antara seorang pemimpin dengan orang yang dipimpinnya dalam hal mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan sebelumnya dalam suatu organisasi tersebut, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi atau pun dengan cara mengkoordinir.

Jadi, seorang pemimpin tidak hanya melaksanakan apa yang menjadi program-program dalam suatu organisasi, tetapi ia juga harus bisa mengayomi seluruh orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Dan mengajak mereka agar terlibat dalam setiap program-program tersebut, sehingga mereka merasa bahwa kemampuan mereka dibutuhkan sebagai bentuk kontribusi yang nyata terhadap organisasi tersebut dan akan timbul suatu hubungan yang harmonis antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Faktor-faktor penting yang terdapat dalam pengertian kepemimpinan :

1. Pendayagunaan Pengaruh ;

2. Hubungan Antar Manusia ;

3. Proses Komunikasi ; dan

4. Pencapaian Suatu Tujuan.

Keempat faktor diatas sangat penting dalam suatu kepemimpinan. Karena tanpa keempat hal diatas suatu kepemimpinan tak akan berjalan dengan baik. Dan masalah demi masalah pasti akan timbul karena tidak adanya koordinasi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Hubungan kepemimpinan lebih cenderung untuk selalu berkoordinasi, jadi jangan samakan mereka yang dipimpin dengan para buruh yang hubungan antara pemimpinnya cenderung bersifat subordinatif. Sehingga menimbulkan hubungan atasan dan bawahan.

Hubungan koordinatif akan menimbulkan hubungan yang harmonis antara pemimpin dengan yang dipimpin. Karena mereka akan bekerja sama dalam mencapai tujuan secara bersama-sama. Dan keduanya saling membutuhkan satu sama lain dalam suatu hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung.

Di dalam masyarakat sering terjadi pencampuran istilah antara pemimpin dengan kepala, yang mana antara kedua istilah itu tidak sama. Kepala adalah seorang yang diangkat menurut peraturan tertentu oleh atasan/instansi yang berwenang untuk mengepalai suatu kantor jawatan dan bertanggungjawab tentang tugas yang dibebankan kepadanya. Kepada bawahan memberikan perintah dan bertindak sebagai penguasa. Anak buah mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh atasan dengan cara dan waktu yang telah ditetapkan. Apabila seorang kepala ingin berhasil harus kerja yang baik, ia harus menyakinkan anak buah agar mau menerima dan mengakuinya. Sedangkan pemimpin adalah sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Kepala dan pemimpin mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah :

1. Kepala dan pemimpin membawahi anak buah ;

2. Kepala dan pemimpin diberi tugas pekerjaan dan mempertanggung-jawabkannya.

Sedangkan perbedaannya adalah :

1. Kepala diangkat oleh kekuasaan/instansi tertentu, pemimpin dipilih oleh anak buahnya ;

2. Kepala kekuasaannya berasal dari kekuatan peraturan dan kekuasaan atasannya, sedangkan pemimpin kekuasaannya menurut peraturan dan berlandaskan kepercayaan anak buah ;

3. Kepala bertanggung jawab kepada atasannya, sedang pemimpin bertanggung jawab terhadap atasan juga bersedia bertanggung jawab kepada anak buah ;

4. Kepala bertindak sebagai penguasa, sedang pemimpin berperan sebagai pencetus ide organisator dan koordinator ;

5. Kepala tidak merupakan merupakan bagian dari anak buah sedangkan pemimpin merupakan bagian dari anak buah.

2.2. Karakteristik Seorang Pemimpin yang Baik Menurut IslamSeorang pemimpin, seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dipundaknya. Setiap manusia dalam Islam, diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini sebagai seorang khalifah. Makna khalifah disini adalah setiap manusia merupakan pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam Islam, sebuah Negara wajib memiliki pemimpin. Pentingnya pemimpin adalah untuk mengajar, mendidik dan memimpin rakyat kepada jalan kebenaran, keadilan, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang hakiki dunia dan akhirat. Dengan kata lain, pemimpin bertanggung jawab untuk membuat rakyat dan Negara aman, makmur dan mendapat keampunan Allah SWT. Baik buruknya seorang pemimpin akan berpengaruh terhadap apa yang dipimpinnya. Oleh karena itu menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.

Di dalam Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat :1. Siddiq artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan2. Fathonah artinya cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesional3. Amanah artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel4. Tabligh artinya senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah

menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.

Selain sifat-sifat di atas, di dalam Al Quran juga terdapat beberapa contoh kisah dari pemimpin pada zaman para Nabi terdahulu. Diantara sosok yang disebutkan dalam Al-Quran adalah Musa as. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT berfirman: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)".Dalam ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang bekerja untuk negara. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas, moralitas.Sosok pemimpin lainnya yang disebutkan oleh Al-Quran adalah Yusuf as. Dalam QS Yusuf: 55, Allah SWT mengabadikan perkataan Yusuf as kepada Raja Mesir: Yusuf berkata: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.Dari ayat diatas, kita mengetahui bahwa Yusuf as itu hafiizh (bisa menjaga) dan alim (pintar, pandai). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang bekerja untuk negara. Dua sifat tersebut adalah al-hifzh yang tidak lain berarti integritas, kredibiltas, moralitas, dan al-ilm yang tidak lain merupakan sebentuk kapabilitas, kemampuan, dan kecakapan. Rasulullah SAW bersabda : Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya. Jadi, seorang pemimpin harus memiliki keahlian yang mendukung tugasnya sebagai pemimpin dalam sebuah Negara. Sehingga ia dapat memahami bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin yang baik bagi rakyatnya dan kemudian ia dapat dipercaya oleh rakyatnya sebagai pimpinannya.Seorang pemimpin yang amanah, akan benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam di negaranya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.Seorang pemimpin yang cerdas, tidak akan bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk memajukan rakyatnya.Dari Maqil ra. berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadist yang saya dengar dari Rasulullah saw. Dan saya telah mendengar beliau bersabda: Seseorang yang telah ditugaskan Allah SWT untuk memerintah rakyat (pejabat), kalau ia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga. (HR. Bukhari)Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ada tujuh golongan manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah) :1. Imam/pemimpin yang adil ;

2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah ;

3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid ;

4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun karena Allah ;

5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia menjawab sesungguhnya aku takut kepada Allah ;

6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya ;

7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air matanya.(HR. Bukhari dan Muslim)

Pemimpin harus bisa menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang adil dan penuh rasa tanggung jawab dan yakin bahwa Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Karena Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang menjunjung tinggi keadilan.Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: adakah patut engkau memintakan kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah? Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: Hai para manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu itu rusak atau binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri, mereka berikan kepadanya hukum. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah).Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia kafir, dan tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim. (Mutiara I dr Ali ibn Abi Thalib).Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yang baik menurut Islam adalah amanah (dapat dipercaya), siddiq (benar), fathonah (cerdas atau bijaksana), serta tabligh (berkomunikasi dengan baik dengan rakyatnya) dan menjunjung tinggi nilai keadilan.2.3. Syarat Seorang Pemimpin Menurut Islam

Setelah membahas tentang criteria atau sifat dari seorang pemimpin yang baik menurut Islam, sekarang kita akan membahas tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pemimpin yang baik menurut Islam.Syarat syarat menjadi pemimpin :a. Beragama Islam. Orang yang bukan Islam tidakboleh menjadi pemimpin kepada orang Islam. Hal ini tertuang dalam Al Quran :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir jadi pemimpin, bukan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun b. Baligh. Anak-anak tidak boleh menjadi pemimpin. Artinya adalah sudah dewasa dan sudah dapat melakukan setiap perbuatan hukum menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.

c. Akil yakni berakal cerdik. Orang yang lemah akal atau gila tidak boleh menjadi pemimpin. Sepatutnya ilmunya telah bertaraf mujtahid. Paling tidak ia mempunyai ilmu yang agak luas secara menyeluruh. Yaitu pemikirannya dalam semua aspek ilmu didasarkan pada ilmu wahyu dan sabda Nabi. Karena sebagai pemimpin, ia mesti tahu untuk menjatuhkan hukum halal atau haram, wajib atau sunat, makruh atau mubah dan lain-lain. Pemimpin harus dapat menentukan sikap yang benar menurut Islam, boleh atau tidak, halal atau haram, bahaya atau tidak dan kemungkinan lain. Hal ini sangatlah penting, sebab apabila pemimpin gagal dalam menentukan sikap yang tepat untuk jangka pendek maupun jangka panjang, kemungkinan akan terjadi hal yang tidak baik pada negara dan masyarakat.Rasulullah SAW ketika melepaskan Sayidina Muaz menjadi gubernur di Yaman, beliau bertanya,

"Dengan apa nanti engkau menghukum?""Dengan Kitabullah," jawab Muaz."Kalau tidak ada?""Dengan Sunnah RasulNya.""Jika tidak ada dalam Sunnah?"Muaz menjawab, "Aku akan berijtihad dengan fikiranku."Rasulullah berkata, "Segala puji bagi Allah yang menyelaraskan kefahaman utusan Rasulullah dengan apa yang diredhai Rasulullah."(Riwayat Ahmad, Abu Daud dan At Tarmizi)

Hal ini disebabkan tidak semua hal diatur telah di dalam Al Quran dan Hadist. Sehingga para pemimpin diharuskan dapat menentukan apa yang terbaik bagi rakyatnya sesuai dengan hati nuraninya.d. Merdeka. Hamba sahaya tidak layak menjadi pemimpin.

e. Sempurna anggota tubuhnya. Orang cacat tidak boleh menjadi pemimpin. Sebab cacat itu menghalanginya untuk aktif dalam tugasnya.

Demikianlah persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik menurut Islam. Persyaratan tersebut telah ditentukan sebelumnya agar siapapun yang menjadi pemimpin nantinya diharapkan akan menjadi seorang pemimpin yang bisa memberikan teladan yang baik bagi rakyatnya dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.2.4 Pengaruh Pemimpin terhadap Negara yang Dipimpinnya

Seperti telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya bahwa seorang pemimpin merupakan teladan bagi rakyatnya. Setiap gerak-gerik dan perilaku dari pemimpin pasti diperhatikan oleh rakyatnya. Bagaimana mungkin rakyatnya berperangai baik apabila pemimpinnya tidak memberikan contoh yang baik terhadap rakyatnya.

Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an"Telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu". Sepantasnya seorang pemimpin itu yang terlebih dahulu mentauladani prinsip kepemimpinan Rasulullah SAW. Beliau tidak malu sederhana demi menegakkan syiar Islam dan demi membela umat Islam. Dan sifat yang paling menonjol dari Rasulullah SAW adalah sifat adil dan jujur. Beliau akan menghukum siapa saja yang berbuat kesalahan, termasuk orang terdekatnya bahkan anaknya sendiri, apabila mereka melakukan kesalahan beliau akan menghukumnya. Sifat inipun mendapat pengakuan dari berbagai pihak, termasuk lawannya pun mengakuinya. Oleh karena itu, beliau diberi gelar Al Amin yang berarti dapat dipercaya.Dalam diri Rasulullah SAW, terdapat dua hal yang merupakan gambaran komprehensif akhlak Nabi, yaitu kesederhanaan dan kekuasaan. Beliau mampu membebaskan manusia dari berbagai pandangan jahiliyah yang membelenggu bangsa Arab, dan mengubahnya menjadi masyarakat egalitarian yang tidak lagi didasarkan pada darah, ras dan bangsa.

Berbagai sifat dari Rasulullah SAW yang dapat dijadikan teladan yang baik bagi umat Islam pada masa itu. Dan para pemimpin Negara pun diharapkan dapat meniru teladan dari Rasulullah SAW tersebut. Setelah seseorang dipilih untuk menjadi pemimpin di suatu Negara, ia akan melakukan hubungan dengan rakyatnya dan segala tingkah lakunya pasti akan diperhatikan dan ditiru oleh rakyatnya, baik yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, tingkah laku dari seorang pemimpin harus sangat dijaga agar tidak memberikan pengaruh yang buruk bagi negaranya, sebab pengaruh pemimpin sangatlah besar terhadap Negara yang dipimpinnya. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa orang yang paling tertutup sekalipun akan bisa mempengaruhi sepuluh ribu orang lainnya dalam masa hidupnya walaupun pada kenyataannya kita tidak pernah tahu siapa saja dan seberapa banyak orang orang yang telah bisa kita pengaruhi. Hal terpenting yang harus kita ingat adalah bukan hanya apakah kita bisa mempengaruhi seseorang atau tidak tetapi pengaruh macam apa yang telah kita lakukan terhadap orang tersebut.Menurut Peter F. Drucker, kepemimpinan tak terlepas dari kaitan budaya (kultur) yang disandang oleh masyarakat yang dilayaninya. Kultur itu bahkan tampil sebagai bagian terpadu dalam keseluruhan kepemimpinan itu, menjadi semacam bingkai yang lazim disebut gaya (style). Budaya Indonesia, menurut Ki Hajar Dewantara adalah puncak dari semua kebudayaan daerah, yang kemudian saling berinteraksi dan beradaptasi berangsur larut menjadi satu kepribadian. Gaya kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yaitu di depan harus menjadi teladan, di tengah harus mendukung dan di belakang harus mengikuti, merupakan salah satu gaya kepemimpinan dengan landasan budaya Indonesia. Selain itu, pemimpin juga harus mempunyai sifat angin. Dia harus mampu berkomunikasi dengan baik, mampu memotivasi dan dapat mengisi kekurangan anak buahnya dengan ungkapan kata menyejukkan, bukan sekadar mencela. Pemimpin dengan sifat api, yang dapat bersikap tegas, tanpa pandang bulu menindak yang bersalah tanpa ragu-ragu. Sifat awan yang memiliki kewibawaan kuat, dihormati sekaligus dicintai rakyat. Pemimpin juga harus memiliki sifat samudera dan bumi. Yakni pemimpin harus mampu menampung segala permasalahan, tetap sabar dan tenang dalam memberikan solusi. Dia juga harus teguh dan kuat pendirian tetapi siap pula mendengar masukan dari mana pun untuk dijadikan bahan pertimbangan.Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin adalah :

1. Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untukbekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organjsasi sebaik orang diluar organisasi.2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas):Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas,mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggungjawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses kepemimpinandibatasi sumber, jadi pemimpin hanya dapat menyusun tugas dengan mendahulukanprioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secaraefektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.5. Manajer adalah forcing mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.Menurut Henry Mintzberg, peran pemimpin adalah :1. Peran yang bersifat Interpersonal, dalam peran ini meliputi 3 macam peran yaitu: a. figurehead atau sebagai pemimpin suatu organisasi kadang-kadang harus tampil dalam berbagai upacara resmi dan undangan, b. berperan sebagai leader (penggerak) harus mampu memberikan bimbingan sehingga bawahan dapat dibina dan dikembangkan dalam pelaksanaan tugas, c. berperan sebagai liaison (penghubung) untuk mengembangkan hubungan kerjasama, bukan hanya dengan bawahan melainkan dengan lingkungan kerja iluar satuannya dalam satuannya untuk saling tikar menukar informasi. 2. Peran yang bersifat Informasional yaitu menerima dan menyampaikan informasi yang mana adalhperanan penting bagi setiap manajer, sebab dalam setiap pengambilan keputusan manajer perlu informasi. Ada tiga macam peranan yang bersifat informasional yaitu : a. peranan sebagai pemonitor dalam arti setiap manajer harus selalu mengikuti dan memperoleh segala macam informasi seluruh proses kegiatan di satuan kerjanya, b. peranan sebagai Dissiminator yang diwujudkan dalam peran seorang manajer yang harus selalu memberikan informasi kepada bawahannya tentang setiap hal yang berkaitan dengan satuan kerjanya. Dan c. peranan sebagai juru bicara. 3. Peran pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator.

Dari uraian tugas dan peran dari seorang pemimpin diatas tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pemimpin merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu organisasi apapun itu. Termasuk sebuah pemerintahan dalam sebuah Negara. Pemerintahan dalam sebuah Negara juga termasuk salah satu organisasi yang pemimpinnya adalah seorang Presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil dan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan parlementer.Dengan demikian, pemimpin sebagai faktor yang sangat penting dalam sebuah Negara pasti akan mempunyai pengaruh sangat besar pula dalam Negaranya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus bisa menjadi suri tauladan bagi rakyatnya dengan melaksanakan tugas dan peranannya sebagai pemimpin sesuai dengan syariat Islam atau ketentuan hukum yang berlaku.BAB III

KEDUDUKAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam suatu masyarakat yang dibina berdasarkan ajaran Islam, kedudukan perempuan ditentukan oleh ajaran Islam. Ajaran Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada perempuan dalam hukum dan masyarakat. Bahwa dalam kenyataan, kedudukan tersebut tidak seperti yang diberikan oleh ajaran Islam dalaha soal yang lain. Hal ini merupakan kebiasaan dan soal budaya masyarakat muslim. Kedudukan seseorang perempuan dalam hukum dan masyarakat, menentukan peranan (hak dan kewajiban) yang mungkin dilakukan. Peranan ini menurut Islam misalnya seperti peranan seorang anak yang belum dewasa, seorang perempuan yang berhak mendapatkan perlindungan dan pengawasan dari orang tua atau walinya, baik jasmani atau rohani, dan berkewajiban mematuhi orang tuanya atau walinya. Setelah dewasa ia mempunyai kewajiban dan hak yang dimiliki oleh setiap orang dewasa, ia berhak memilih jodoh sendiri dan tidak dapat dipaksa untuk kawin dengan orang lain tanpa persetujuannya.

Pada zaman sebelum Islam, nasib kaum wanita tidak seberuntung setelah kedatangan Islam tersebut. Perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak berharga, tidak berguna bagi kehidupan. Dari segi ekonomi tidak bernilai dan tidak menghasilkan bahkan hanya menimbulkan aib, kecuali jika kaum wanita itu berstaus sebagai budak. Dari segi sosial kaum wanita tidak mampu berjuang di medan perang atau pertempuran. Satu-satunya yang diperoleh dari kaum perempuan hanyalah mereka dapat memenuhi kebutuhan biologis kaum laki-laki, itu pun sering diperoleh dengan cara-cara yang tidak adil.

Rasa penindasan terhadap kaum wanita pada masa pra-Islam melanda sebagian besar wilayah di dunia ini, seperti Eropa, Yunani, Romawi, India, dan juga wilayah Arab itu sendiri. Dikarenakan superioritas kaum laki-laki ketika itu, kaum laki-laki merasa malu dan aib mendengan bahwa istri-istri mereka melahirkan anak-anak perempuan.

Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam yang menghapuskan semua kebiasaan buruk bangsa Arab ketika itu. Islam mengharamkan suatu perbudakan, perzinahan, perjudian, juga perlakuan yang tidak adil terhadap kaum wanita. Seperti yang kita ketahui adanya suatu masa iddah yang tidak menentu, pembagian warisan dan kedudukan wanita yang tidak sama dalam kehidupan sosial. Islam memberikan kedudukan yang sama pada laki-laki dan wanita. Baik laki-laki maupun wanita tidaklah ada perbedaan di mata Allah, semua sama-sama sebagai makhluk Allah yang mempunyai kedudukan yang sama, serta masing-masing mempunyai tugas , kewajiban, dan hak.

Ada banyak hal yang mempengaruhi pola pikir dari manusia yang ujungnya merendahkan wanita, salah satunya yaitu Hadist-Hadist misogimi (pandangan yang merendahkan kaum wanita). Salah satu contoh Hadistnya ialah Barangsiapa yang menyerahkan urusan merekan kepada kaum wanita, mereka tidak akan pernah memperoleh kemahsyuran. Berkenaan dengan hadist diatas menurut Fatima Mernissi di riwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Abu Bakra, yang riwayat hidupnya sangat kontroversial. Kemudian Hadist ini juga baru muncul 25 tahun kemudian setelah Rasullah wafat, ketika kondisi Aisyah sangat lemah karena kekalahan dalam perperangan.

Berbicara mengenai kedudukan perempuan menurut Islam adalah berbicara tentang rangkaian tugas, kewajiban dan hak yang diberikan Islam untuk perempuan, karena memang dalam kedudukan itu seseorang akan memainkan perannya. Kedudukan adalah tempat atau posisi seseorang dalam pola tertentu. Kedudukan dan hak wanita menurut ajaran Islam adalah tempat atau posisi yang diberikan oleh Islam terhadap wanita dalam menjalankan kewajibannya dan hak sesuai Islam, sehingga dalam masyarakat yang dibina berdasarkan ajaran Islam, kedudukan wanita di tentukan oleh jaran Islam.

Al-Quran dan Hadist telah berbicara banyak tentang wanita, mengangkat derajat wanita pada kedudukan yang baik dan terhormat. Dalam Al-Quran sendiri terdapat surat yang bernama an-Nisa yang berartikan wanita/perempuan yang merupakan penghargaan Islam terhadap kedudukan Wanita itu sendiri dan hal itu diangap penting. Terdapat berpuluh-puluh Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam hukum dan masyarakat. Nabi Muhammad telah memberikan contoh tauladan dalam hal ini, karena beliau selain sangat menyayangi istri-istrinya, juga meberikan hak-haknya jika para istri menginginkannya.

Walaupun demikian besar ruang gerak yang diberikan oleh Islam kepada wanita, namun kaum wanita pun tidak boleh meninggalkan kodratnya sebagai perempuan dan sifat-sifat yang lemah lembut serta janganlah meniggalkan keelokan dan perhiasan pada badannya. Para perempuan di perkenakan untuk melakukan aktivitas di luar dan di dalam rumah, secara mandiri atau berkelompok pada lembaga pemerintahan ataupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap dirinya dan lingkungan.

Penciptaan Wanita

Islam secara tradisional yang menurut Al-Quran yang merupakan firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan Hadist (sunnah nabi) yang merupakan kumpulan perkatan yang mengandung ilham yang diucapkan oeh Nabi Muhammad dan juga perbuatan yang dilakukan olehnya. Dalam Islam dapat ditemukan beberapa perangkat kepercayaan tentang watak wanita yang menetapkan statusnya dalam tradisi Islam dan mengacu pada penetapan peranannya dalam amsyarakat Islam.

Dalam Quran Surah 49:13, membicarakan tentang asala kejadian manusia dari seorang pria dan wanita, sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia baik itu pria maupun wanita, yang dasar kemuliannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketaqwaan keapada Allah SWT memang secara tegas dapat dikatakan bahwa kaum wanita dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan yag terhormat. Pria dan wanita sama-sam diciptakan Allah, yang menjadikan mereka pasangan yang lengkap dan sama dalam proses keturunan.

Dapat disimpulkan bahwa kedua jenis ini, pria maupun wanita perlu untuk kehidupan dan masing-masing berdiri sama di sisi Allah SWT, seperti Hadist yang berbunyi :

Semua manusia adalah sama, bagaikan gigi-gigi dan sisir. Tidak ada tuntutan kemuliaan seorang Arab atas seseoarang yang bukan Arab, atau seorang pria atas seorang wanita. Hanya ketaqwaan seseoranglah yang menjadi pilihan Allah.

Al-Quran sendiri menolak pandangan yang membeda-bedakan antar pria dan wanita dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama tuhan mengembangbiakkan keturunannya, baik pria maupun wanita. Hal ini terlihat dalam ayat pertama surah an-Nisa yang terjemahannya le bih kurang sebagai berikut:

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah meperekembangbiakan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah telah menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. 4:1)

Al-Quran mengatakan kedua jenis kelamin ini memiliki asal-usul dari satu makhluk hidup yang sama dan karena itu pula memiliki hak yang sama. Al-Quran menyatakan bahwa semua jenis pria dan semua jenis wanita telah diipyakan dari satu nafs (makhluk hidup) dan karena itu, tidak ada unggul dari yang lainnya. Pemahaman agar kita selalu waspada dari perbuatan durhaka terhadap yang memeiharanya. Kebajikan-Nya memberikan kemurahan, nikmat, dan menjanjikan manusia saling berkerabat pada satu nasab yang bersal dari satu, karena keduanya berasal dari seorang ibu dan satu ayah. Kekerabatan banyak memberikan pengakuan yang diberlakukan, diantaranya pengakuan persamaan wanita dengan pria dalam penciptaannya.

Ayat ini diturunkan untuk menghilangkan anggapan yang merata di masa jahiliyah. Dimasa itu wanita tidak dianggap berhak menerima warisan, bahkan wanita dapat diwariskan seperti barang, apabila suamina meninggal. Para wanita yang bernasib malang menjadi budak, bisa dipaksa melacur diri dan dapat diperdagangkan seperti barang dagangan. Dari ayat ini jelas terlihat perempuan dan laki-laki mempunyai status yang sama, akrena diciptakan dari jenis yang sama.

Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari anfs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap wanita, dengan menyatakan bahwa wanita adalah bagian dari pria. Tanpa pria, wanita tidak akan ada, ini terlihat dari pandangan danya pendapat bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, karena itu wanita bersifat auja (bengkok tidak lurus).

Al-Quran tidak menyetujui pandangan yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok dan, karena itu memiliki status yang lebih rendah. Demikian terlihat bahwa al-Quran mendudukan wanita pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru dengan kedudukan dan asal kejadian. Karena wanita adalah pasangan untuk pria dan begitupun sebaliknya, sama derajatnya walupun berbeda tugas dan perlengkapan jasmaniahnya untuk memudahkan menjalankan tugas masing-masing.

Adanya pendapat yang menyakini bahwa wanita dibuat dari tulang rusuk, yang sebenarnya bahan bakunya bukan dari tulang rusuk melainkan wanita itu mempunyai sifat seperti itu.

Peliharalah perempuan dengan cara yang baik. Sesungguhnya perempuan diciptakan dengan sifat seperti tulang rusuk yang bengkok, dan yang paling bengkok diantara tulang rusuk adalah yang paling atas. Bila kamu coba-coba meluruskannya, dapat memecahkannya, dan bila dibiarkan, akan tetap bengkok. Karenanya, peliharalah perempuan dengan baik. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi bukan wanita itu terbuta dari tulang rusuk nelainkan sebagai peringatan agar dalam mendidik wanita haruslah berhati-hati. Dia wajib diluruskan, tetapi hendaklah berhati-hati, jagan sampai patah, sebab sifatnya seperti tulang rusuk.

Mengamalkan ajaran Islam akan membawa keselamatan bagi individu dan masyarakat. Apabila semua manusia, baik pria maupun wanita, mau berpikir tentang Tuhannya, maka tidak seorangpun di antara mereka yang tertinggal dari barisan orang-orang Mukmin. Lalu timbullah keinginan untuk mengikuti ajaran-ajaran Allah, yang tidak disertai penyimpangan dan kesesatan di dalamnya. Maka Allah berfirman kepada Adam dan istrinya, yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut.

Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka, jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka (Q.S. 20:123)

Kedudukan Wanita dalam Islam

Wanita memang berbeda dengan pria dari segi nama, anatomi, sifat, pembawaan, dan macam lainnya. Kalau wanita sama dengan pria maka tidaklah dia dinamakan dengan sebutan WANITA atau PEREMPUAN yang penuh dengan cinta, rasa, kata dan cita-cita. Tidak ada wanita tanpa rasa halus, mulus, dan tulus. Cintanya adalah rahasia yang menjadikan dunia penuh dengan manusia. Rasanya menjadikan segala sesuatu yang hidup dengan keinginan dan perasaan. Kata-katanya kadangkala menghancurkan dunia dengan dalihkasih sayang dan demikian pula manusia terpesona dengan kerlingannya.

Wanita/perempuan Islam bukan rupa dan muka, bukan tangan dan lengan, bukan tubuh dan badan, bukan rambut dan perut, bukanlah raga yang diperagakan, bukan senyum yang boleh dicium, dan bukan umpan untuk dimakan. Wanita Islam ialah jiwa yang dilamar, mata yang ditawar, kata yang dikejar, suara yang menawan, juga manusia yang benar. Wanita Islam dijaga oleh rasa dan jiwa, dilindungi oleh iman yang dipelihara oleh kepercayaan kepada Allah.

Pria dan wanita memiliki kemapuan fisik yang berbeda. Pria memiliki fisik yang lebih kuat, lebih memungkinkan baginya untuk mengerjakan pekerjaan yang mebutuhkan banyak tenaga, dan pikiran, sedangkan wanita memiliki fisik yang lembut, lebih memungkinkan baginya pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Jiwa pria lebih mudah bergejolak, lebih kasar dan membutuhkan penyaluran bag ketegangan jiwanya, sedang jiwa wanita lebih tenang, lebih halus dan membutuhkan pengayoman. Dari ketidaksamaan tersebut, terlihat masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, bila ditelaah lebih lanjut, hal ini merupakan sinkronisasi alam yang harmonis bila dipadukan.

Aturan Islam mengenai masalah pria dan wanita didasarkan pada kenyataan-kenyataan itu. Kecenderungan manusia untuk menyimpang dari hukum-hukum alam yang telah ditetapkan, dibatasi geraknyasehingga tidak keluar dari sinkronisasi alam tersebut. Kemudian hukum Islam menggariskan kedudukan, peranan, kewajiban, dan hak-hak berdasarkan jenis kemampuannya itu. Peranan seseorang, baik yang dilakuakn pria maupun wanita, tidaklah mungkin dilaksanakan dengan baik, karena tidak jelas kedudukan orang yang bersagkutan dengan suatu pola kehidupan tertentu. Sebab, kedudukan adalah tempat yang diduduki oleh seseorang dalam pola tertententu itu. Seseorang mungkin saja mempunya berbagai kedudukan, karena ia ikut serta dalam berbagai pola kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa kedudukan menunjukan pada tempat seseorang dalam kerangka masyarakat secara keseluruhan.

Al-Quran membina agar wanita memiliki suatu kepribadian yang bebas, dengan memberi wanita itu hak untuk menuntut ilmu, memiliki kecerdasan akal budi, mengenal halal dan haram, dan mengenal larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban, serta memerintahkan mereka agar menyamai pria dalam hal menjalankan perintah agama. Dengan demikian mereka haruslah shalat sebagaimana pria melakukan shalat, harus puasa sebagaimana pria harus puasa, membayar zakat harta sebagaimana pria, dan harus menunaikan haji sebagaimana pria harus menunaikan haji serta harus bersikap dan bertingkah-laku sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam.

Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sebab sebagaimana mereka berasal dari sebagian yang lain, pria dari wanita dan wanita dari pria. Bahkan al-Quran todak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, sehingga kedudukan dan status wanita lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Quran terhadap ak kaum pria maupun wanita adalah sama. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal esensi alami. Rasulullah saw telah menjelaskan makna ini dalam khutbah haji wadak, yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut :

Wahai manusia, Tuhanmu adalah satu, dan bapakmu juga satu, kamu semua dari Adam, dan Adam dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang-orang Arab atas orangorang bukan Arab. Demikian pula sebaliknya, tidak ada kelebihan orang-orang bukan Arab atas orang-orang Arab. Tidak ada kelebihan yang merah atau yang utih dan yang putih atas yang merah selain karena ketaqwaannya.

Dalam suatu masyarakat yang dibina berdasarkan ajaran Islam, kedudukan wanita ditentukan oleh ajaran Islam. Ajaran Islam memberi kedudukan yang tinggi kepada wanita dalam hukum dan masyarakat. Bahwa kenyataannya, kedudukan tersebut tidak seperti diberikan oleh ajaran Islam adalah soal lain. Hal itu merupakan kebiasaan dan soalnya budaya masyarakat muslim.

Islam menjadikan diri wanita sebagai pendamping bagi kaum pria dalam melaksanakan kewajiban dan memperoleh perlakuan yang sama dalam tatanan hukumnya. Islam menamakan kaum pria dan wanita sebagai mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat, shalihin dan shalihat, qanitin dan qanitat.

Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran Islam memberikan kedudukan tinggi pada wanita dapat dilihat pada banyaknya ayat al-Quran yang berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjukan pentingnya kedudukan wanita, dalam al-Quran terapat surah yang bernama an-Nisa, artinya wanita. Selain al-Quran, terdapat pula berpuluh-puluh Hadist (Sunnah) Nabi Muhammad yang berbicara mengenai kedudukan wanita dalam hukum dan masyarakat.

Bab IV

Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Islam

4.1. Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam

Di penghujung tahun 1998 yang lalu di Indonesia wacana kepemimpinan perempuan mencuat ke permukaan dan dijadikan ajang perdebatan boleh tidaknya sosok perempuan menjadi pemimpin Negara dalam bingkai agama. Isu kepemimpinan perempuan telah memancing polemic antara yang pro maupun yang kontra dan sampai sekarang masih merupakan suatu persoalan yang dapat diperdebatkan.

Sebenarnya doktrin yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah aktualisasi identitas kaum perempuan. Rekonstruksi dan reposisi identitas dilakukan Nabi Muhammad SAW telah melahirkan satu pandangan yang memberikan warna kehidupan perempuan dalam kesetaraan martabat dengan kaum laki-laki.

Selama ini isu-isu mengenai kepemimpinan perempuan cenderung mengikuti garis paralelitas dengan isu politik. Kepemimpinan perempuan dalam Islam seringkali pasang surut dan cenderung mengikuti realitas politik yang berkembang. Pada tahun 1997 Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdatul Ulama (NU) di Lombok memutuskan bahwa perempuan bisa ikut mengambil peran di ruang publik sama seperti laki-laki dengan ukuran kemampuan dan kecakapannya. Hasil Munas dituangkan dalam Keputusan Munas Alim Ulama NU Nomor 004/Munas/11/1997. Dalam implementasinya Keputusan Munas Alim Ulama ini belum sepenuhnya diterima dikalangan para alim ulama khususnya NU sendiri.

Mayoritas ulama tampaknya keberatan atas pemimpin dan kepemimpinan perempuan khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan Negara. Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan kaum perempuan, yaitu:

1. Ayat Ar-rijal qawwamuna alan-nisa (lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan) surah an-Nisa ayat 34.

2. Hadis yang mengatakan bahwa akal perempuan kurang cerdas dibandingkan dengan akal laki-laki.

3. Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imraat (Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan).

Kendala yang seringkali dihadapi kaum perempuan muslimah adalah persoalan kepemimpinan perempuan di pentas publik, kesetaraan yang dibawa Islam telah melahirkan perempuan-perempuan yang mumpuni di bidangnya dan memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan kemaslahatan umat. Namun sampai saat ini opini yang tercipta di masyarakat seolah kepemimpinan hanya layak diperuntukkan bagi laki-laki.Masyarakat kita masih kuat menganut nilai-nilai budaya patriarki yang terkadang tidak kondusif bagi upaya penegakkan hak-hak kaum perempuan. Seringkali agama dijadikan pembenaran terhadap penyimpangan ini. Laki-laki dalam beberapa hal lebih diistimewakan atas perempuan, budaya yang telah mengakar ini terbawa ke berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi dan politik bahkan juga mempengaruhi pemahaman keagamaan.

Dalam konteks dunia muslim secara umum, munculnya pemikiran feminisme dan gerakan perempuan di Barat memberi inspirasi bagi munculnya gerakan serupa, termasuk juga di tanah air. Harus dicatat bahwa di Indonesia, gerakan feminism mengalami proses adaptasi sesuai dengan konteks sosial budaya dan sistem nilai yang merupakan faktor-faktor penting gerakan tersebut, para penganjur feminisme lebih memberikan penekanan pada upaya dan peran kodrati perempuan dalam rangka memperkuat institusi keluarga. Namun, pada gilirannya ketika Indonesia mengalami transformasi budaya yang sedemikian deras yang salah satunya disebabkan oleh semakin banyak kualitas dan kuantitas kaum terdidik, maka kaum perempuan mengadopsi kacamata feminisme yang lebih kentara sebagai gerakan mereka. Dan perkembangan inilah yang kemudian mendapat respon baik dalam bentuk penerimaan maupun penolakan dari ormas Islam Indonesia.

Munculnya gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu harus ada upaya untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Hanya saja, sebagaimana ide maupun gerakan yang lain feminisme sesungguhnya bukan merupakan pemikiran atau aliran tunggal, melainkan terdiri atas berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang dipakai oleh mereka masing-masing.

Perbedaan ini mengakibatkan pula perbedaan dalam menganalisa maupun memberikan kesimpulan diantara kelompok-kelompok tersebut. Dalam memperjuangkan persoalan-persoalan perempuan, biasanya masing-masing kelompok mempunyai warna untuk menggoalkan ambisi dan cita-cita yang diusung sehingga muncul istilah-istilah feminis liberal, feminis marxis, maupun feminis muslim. Persamaan yang menjadi ikatan diantara feminis adalah adanya kepedulian terhadap nasib perempuan.

Kaum feminis Muslim secara umum sepakat bahwa sistem patriarkhal yang sudah begitu mengakar di masyarakat memang dipengaruhi oleh doktrin agama yang mensubordinatkan perempuan dibawah superioritas laki-laki. Pandangan ini memang bisa jadi benar tetapi pada saat yang sama bisa juga salah. Sebab dalam tradisi Islam sendiri, ide egaliterianisme Al-Quran yang menjunjung tinggi persamaan laki-laki dan perempuan seringkali berbentuk sifat ordiner masyarakat Islam yang cenderung patriarkhal.

Secara teoritis, istilah patriarki sebenarnya lebih dekat kepada disiplin sosiologis daripada teologis. Kalangan sosiolog menggunakan istilah patriarki untuk menggambarkan situasi masyarakat yang segala aturan kehidupannya didasarkan pada peraturan dari pihak bapak (laki-laki). Dalam perkembangan istilah keilmuan yang semakin ekspansif, patriarki menjadi istilah yang tidak hanya berada di bidang sosiologi tetapi juga di bidang ilmu lain, tidak terkecuali dalam fiqh dan teologi.

Al-Quran tidak menyandarkan suatu peranan yang spesifik dan stereotip, baik laki-laki maupun perempuan. Peranan perempuan yang disebutkan dalam Al-Quran bisa digolongkan menjadi tiga kategori:

1. Peran yang menggambarkan konteks social, budaya, dan historis dimana sang individu perempuan itu hidup.

2. Peran yang bisa diterima secara universal sebagai fungsi perempuan (misal menyusui dan merawat bayi) perkecualian bisa dibuat dan bahkan telah dibuat dalam Al-Quran.

3. Peran yang tidak berkaitan secara spesifik dengan jenis kelamin, misalnya peran yang menggambarkan usaha manusia di bumi dan disebut di dalam Al-Quran.

Meskipun Al-Quran adalah kitab suci yang sebenarnya abadi penafsirannya tidak bisa dihindari sebagai sesuatu yang relative. Yang tak terbantahkan karena akal manusia terbatas untuk menafsirkan ilmu Allah yang Maha Tidak Terbatas.

Persoalan mengapa fiqh itu menjadi bias laki-laki (patriarkhis) tidak hanya langkahnya ulama perempuan dalam wacana fiqh karena nyatanya bukan tidak ada perempuan yang mengertu tentang hukum pada masa pembentukan wacana fiqh. Pada jaman itu tidak muncul cara pandang sosial, budaya dan politik yang memihak kaum perempuan. Hal ini tentunya membawa dampak pada penafsiran teks-teks keagamaan yang dilakukan kaum laki-laki menjadi subyektif, baik secara eksplisit maupun implisit budaya patriarki turut mewarnai.

Di masa Nabi, hukum Islam terbentuk dengan bimbingan wahyu. Sepeninggal beliau wahyu pun berhenti sementara persoalan bertambah terus. Orang islam generasi berikutnya menciptakan hukum untuk mengatasi persoalan semakin banyak, sementara jumlah nas yang ditinggalkan tidak bertambah. Untungnya sinyal untuk berijtihad bagi generasi sesudahnya dibuat. Karena itu para pemikir Islam siap berijtihad menjawab tantangan jaman, sehingga Islam tetap relevan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Sejarah mencatat bahwa keputusan dan pendapat ulama satu sama lain tidak harus sama, tergantung pada kapasitas berpikir dan kondisi lingkungan. Perbedaan ini tidak dimaksudkan untuk membuka jalan pertikaian umat Islam.

Hikmat diturunkannya Syariat Islam dalam dua bentuk, antara qathiiyyat dan zhanniyat adalah sebagai berikut:

1. Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya, bahwa kalau semua persoalan manusia diatur dengan satu aturan yang pasti dan dalam satu bentuk, baik menyangkut masalah ibadat maupun muamalat, niscaya akan terjadi perbedaan-perbedaan pendapat bukan saja dalam muamalat tetapi tidak mustahil dalam masalah ushuluddin. Karena itu, Allah yang Maha Mengetahui telah mengatur secara pasti masalah-masalah aqidah, ibadah dan prinsip-prinsip muamalat. Sedangkan dalam masalah furuiyah, dia telah menyerahkan pengaturannya kepada manusia sesuai dengan kemaslahatannya, sebagai ummat manusia tidak merasakan kesempitan dan kesulitan dalam hidup ini.

2. Untuk menghindari perbedaan-perbedaan dalam masalah aqidah, Allah memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk mengatur sendiri bidang muamalat dan furuiyah, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Yang seringkali dijadikan rujukan dalam persoalan kepemimpinan perempuan adalah surat An-Nisa yang menyatakan :

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar . (QS. An-Nisa (4):34)

Latar belakang (hasbabun nusul) turunnya surah An-Nisa ayat 34 adalah dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang wanita mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Karena telah ditampar suaminya. Rasullulah SAW bersabda, Dia mesti di qisas (balas). Maka turunlah ayat tersebut sebagai ketentuan dalam mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendenganr penjelasan tersebut, pulanglah ia serta tidak melaksanakan qisas. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang Ansar menghadap Rasullulah SAW bersama istrinya. Istrinya berkata, Ya Rasullulah, ia telah memukul saya hingga berbekas di mukaku. Maka bersabdalah Rasulullah SAW, ia tidak berhak berbuat demikian. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai ketentuan dalam mendidik istri. Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ali.

Sedangkan latar belakang historis timbulnya hadis Rasul (asbabul wurud) tentang hukuman bagi istri yang durhaka, dikarenkan banyak laki-laki mengeluh kepada Rasulullah tentang perlakuan yang tidak senonoh dari istri-istri mereka. Maka Rasulullah mengijinkan mereka memukulnya. Berkelilinglah pada malam itu kaum wanita yang jumlahnya cukup banyak, mereka membicarakan apa yang telah diderita istri-istri kaum Muslimin, akhirnya Rasulullah melarang mereka dipukul. Berkatalah kaum pria, Ya Rasulullah, wanita-wanita itu sudah melebihi kaum pria. Rasulullah bersabda Pukullah mereka dan tidak memukul (istri yang baik) kecuali yang jahat di antaramu. Diriwayatkan oleh Ibnu Saad da;a,Thabaqatnya dari Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As Shidiq secara mursal, dari Abu Hurairah dan lain lain. Al Bazar telah meriwayatkannya pula dari Aisyah secara marfu, demikian kata Al-Munawi.

Ath-Thabari dalam menafsirkan ar-rijalu qawwamuna ala annisa menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi pendidikannya serta kewajiban untuk memenuhi seluruh kewajiban yang ditentukan oleh Allah. Hal ini pula yang menjadi sebab keutamaan laki-laki atas perempuan ditafsirkan karena adanya kewajiban untuk membayar mahar, nafkah, dan kifayah.

Lebih lanjut ath-Thabari menjelaskan tentang keutamaan laki-laki ditinjau dari sudut kekuatan akalnya serta kekuatan fisiknya, sehingga kenabian pun menjadi hak kaum laki-laki. Dengan kekuatan akal dan fisiknya menurut ath-Thabari menyatakan dengan tegas bahwa kepemimpinan dalam bentuk al-imamah al kubra (khalifah) dan al-imamah ash-shugra, seperti imam dalam shalat, kewajiban jihad, azan, itikaf, saksi, hudud, qishas, perwalian dalam nikah, talak, rujuk, dan batasan jumlah istri, semuanya disandarkan kepada laki-laki.

Kepemimpinan laki-laki atas perempuan menurut ar-Rasi keutamaan laki-laki atas perempuan itu didasarkan pada beberapa aspek. Sebagian didasarkan pada sifat-sifat yang hakiki dan sebagian lain berdasarkan hukum syara. Adapun sifat hakiki keutamaan laki-laki atass perempuan terletak pada dua bagian yaitu ilmu dan kekuatan. Tidak diragukan bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih unggul dan kemampuan mereka lebih sempurna. Dari kedua sebab inilah dihasilkan keutamaan laki-laki atas perempuan dalam akalnya, motivasi, kekuatan, kemampuan menulisnya, menunggang kuda, memanah, dan sebagian laki-laki ada yang menjadi nabi dan ulama, dan bagi laki-laki memegang kepemimpinan, baik yang kubra maupun shugra, jihad, azan, khotbah, menjadi saksi dalam hudud, qishas Saksi pernikahan dalam mahzab SyafiI, tambahan warisan, menanggung diyat pembunuhan, sumpah, perwalian dalam nikah, talak, rujuk, batasan jumlah istri dan penentuan nasab. Semua ini menunjukan keutamaan laki-laki atas perempuan.

Dari ungkapan diatas menunjukan baij at-Thabari maupun ar-Razi sama-sama menekankan kepemimpinan layak dipegang laki-laki. Baik dalam lingkungan rumah tangga maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan segala kelebihan fisik dan akal yang dimiliki sudah seharusnya kepemimpinan ada dipundak laki-laki.

Muhammad Abduh memahami surat an-Nisa ayat 34 sebagai gambaran tentang kekhususan yang dimiliki laki-laki atas perempuan, jika melihat pada maksud ayat sebelumnya. Allah melarang sebagian laki-laki dan perempuan saling iri dan mengharap anugerah yang diberikan-Nya kepada sebagian yang lain, karena masing-masing mendapatkan anugerahnya sendiri. Jadi ayat tersebut menjelaskan tentang kekhususan laki-laki sebagai wujud kelebihan derajad yang dianugerahkan Allah kepadanya.

Mengenai maksud dari kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang disebutkan dalam ayat di atas, menurut Muhammad Abduh adalah kepemimpinan yang memiliki arti menjaga , melindungi, menguasai, dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai konsekuensi dari kepemimpinan itu adalah bidang warisan, laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada bagian perempuan, karena laki-laki bertanggung jawab terhadap nafkah perempuan. Tanggung jawab memberi nafkah ini tidak dibebankan kepada perempuan tetapi kepada laki-laki, karena laki-laki dikaruniai kekuatan fisik. Adapun perbedaan taklif dan hukum antara laki-laki dan perempuan menurut Muhammad Abduh adalah sebagai akibat dari perbedaan fitrah dan kesiapan individu (potensi), juga sebab yang lain yang sifatnya kasabi, yaitu memberi mahar dan nafkah. Jadi, sudah sewajarnya apabila laki-laki (suami) yang memimpin perempuan (istri) demi tujuan kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Kepemimpinan laki-laki atas perempuan merupakan salah satu derajad keutamaan yang dimiliki laki-laki dibanding perempuan. Menurut Muhammad Abduh derajad laki-laki tersebut sesuai dengan fitrah yang diperoleh dengan pemberian nafkah dan mahar itu, perempuan rela menerima kepemimpinan laki-laki atas dirinya. Namun demikian, secara fitrah juga seseorang perempuan tidak boleh tidak menerima kepemimpinan laki-laki atas dirinya tanpa imbalan (mahar), karena dalam adat kebiasaan sebagian masyarakat terdapat kaum perempuan yang memberikan mahar kepada laki-laki agar dirinya berada di bawah kepemimpinan laki-laki.

Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan adalah salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada laki-laki, dengan kata lain karena anugerah yang Allah berikan kepadanya. Allah melarang laki-laki dan perempuan saling iri hati terhadap anugerah yang diberikan kepada masing-masing. Oleh karena itu, posisi yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin terhadap perempuan tersebut bukan berarti menunjukan bahwa derajad perempuan di bawah laki-laki. Akan tetapi, hal itu menunjukan suatu bentuk kerja sama yang baik. Ibarat sebuah tubuh, laki-laki adalah ibarat kepala dan perempuan ibarat tangan. Tidak ada kelebihan satu anggota tubuh terhadap tubuh yang lain, karena semua anggota tubuh bertugas membentuk satu kesatuan yang saling melengkapi demi kebaikan bersama. Masing-masing tidak boleh saling iri hati terhadap tugas yang diemban oleh yang lain.

Muhammad Abduh tidak mengartikan kebebasan bagi perempuan (istri) sebagaimana yang dipahami Barat. Muhammad Abduh memahami kebiasaan perempuan dalam batas-batas tertentu yang diajarkan oleh Al-Quran, yaitu kebebasan yang terkendali dengan adanya kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga. Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, melainkan sebaliknya sebagai bentuk penghormatan Islam terhadap status perempuan sebagai istri yang harus dilindungi. Pemahaman Muhammad Abduh ini tidak lepas dari salah satu visi tafsirnya yang mencoba menjembatani ajaran agama Islam dengan budaya Barat sekaligus menolak pemahaman semebtara orang Islam yang terbaratkan.

Menurut Asghar Ali Engineer, surat an-Nisa ayat 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Menurut dia, struktur sosial pada jaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang yang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini, tetapi harus menggunakan pandangan sosio-tologis. Bahkan Al-Quran itu sendiri terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normative. Tidak ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali.

Suatu agama yang memasuki jaman yang situasi sosialnya dan kulturnya berbeda dengan situasi tempat berdiri dan turunnya niscaya akan menghadapi problema-problema baru. Jika agama itu akan mempertahankan kemurnian (otensitas) sesua dengan aslinya, sebagaimana dulu dibawa oleh pendirinya, sepanjang jaman dari masa ke masa dalam pagar-pagar kepranataan yang tidak tertembus oleh pengaruh pemikiran baru, maka charisma agama itu tidak akan tersentuh dan tidak akan berkembang, akibat selanjutnya ialah agama itu akan seperti kehilangan daya tariknya, karena tidak sanggup menyajikan kekayaannya kepada manusia menurut selera jamannya.

Dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak diatur atau disebut secara eksplisit oleh Nash, para ulama telah menciptakan beberapa metode yang secara keseluruhan selain Al-Quran dan al-Hadits, dapat dirangkum di bawah satu istilah, yaitu Ijtihad atau upaya yang sungguh-sungguh dalam berpikir. Secara terminologis Ijtihad berarti pengerahan segala kemampuan (daya upaya) oleh seorang ahli Hukum Islam untuk merumuskan suatu ketentuan Hukum bagi perbuatan manusia.

Penutupan pintu ijtihad sebenarnya berlawanan dengan maksud Hukum Islam sendiri, di samping menempatkan umat Islam dalam kebekuan dan eksklusifitas terhadap keberlakuan hukum-hukum perkembangan. Penutupan pintu ijtihad memaksa mereka berkeyakinan bahwa kodisi yang ada kini adalah sama dengan kondisi pada masa ahli-ahli Hukum Islam terdahulu, dan mengikuti pola-pola yang diterapkan oleh para ahli itu untuk masanya dahulu terhadap permasalahan kaum muslimin sesudahnya sampai kapanpun.

Perubahan-perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak jaman dahulu, namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepatnya sehingga seolah-olah membingungkan manusia yang menghadapinya. Sehingga, di dalam masyarakat dunia ini kita lebih sering terjadinya perubahan-perubahan tersebut berjalan secara konstan. Perubahan-perubahan tersebut emang terikat oleh waktu dan tempat, akan tetapi karena sifatnya yang berantai maka keadaan tersebut berlangsung terus, walaupun kadang-kadang diselingi keadaan dimana masyarakat yang bersangkutan mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan tadi.

Definisi lain adalah Selo Soemarjan, yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah perubahan-perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat tertentu.

Kondisi saat ini menunjukkan keterlibatan kaum perempuan muslimah di wilayah publik cukup besar, beberapa penyebab timbulnya kenyataan ini tak lepas dari hal-hal berikut:

1. Kemajuan bidang pendidikan, kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dalam menuntut ilmu sehingga menumbuhkan minat dan kemampuan kaum perempuan untuk menggeluti sebagai bidang profesi, yang mungkin dahulu hanya dikerjakan laki-laki.

2. Kaum perempuan dengan situasi kondisi yang mengharuskan menanggung beban hidup sendiri beserta keluarga. Hal ini bisa saja terjadi karena orang yang seharusnya menafkahi mungkin orangtua atau suami tidak berdaya, atau sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai anak terbesar dalam keluarga. Dan adanya faktor utama perempuan memutuskan bekerj di luar rumh adalah kebutuhan finansial yang mendesak untuk membantu perekonomian keluarga, dan lain sebagainya.

Kalau kita menengok sejarah di jaman Nabi sebenarnya banyak kaum perempuan yang ikut aktif terlibat di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam kajian Mernisi menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi sebagai pelaku aktif bahkan pembentuk sejarah realitas muslim awal. Kaum perempuan memainkan peran yang signifikan dalam berbagai momentum penting dalam Islam dan jauh dari sikap pasif dan tunduk terhadap orde patriarki. Hal ini jelas terjadi seperti dalam kisah Khadijah istri Nabi Muhammad sekaligus muallaf pertama ketika Islam lahir.

Begitu pula sejarah kehidupan Aisyah istri Nabi Muhammad berikutnya setelah Khadijah meninggal. Aisyah adalah perempuan kepercayaan Nabi Muhammad dalam perang. Beliau memiliki posisi intelektual penting sebagai penafsir yang kreatif dalam perkembangan hukum Islam. Aisyah dikenal berperan penting dalam momentum-momentum politik sejarah Islam. Aisyah memberi jaminan dalam menentukan ayahnya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah, bukan Ali keponakan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Bahkan pada saat kekhalifaan Ali, Aisyah mengambil peran politik dan mengangkat senjata atas landasan pemikiran yang rasional untuk menuntut pembunuh-pembunuh khalifah Usman secara Hukum. Aisyah menggugat orang-orang yang dianggap terlibat persengkokolan dalam tubuh pemerintahan dan panglima-panglima perang kekhalifahan masa Ali.

Dalam masyarakat muslim sampai saat ini masih ada beberapa konfigurasi pemikiran keagamaan tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Pandangan pertama menyatakan perempuan diharamkan untuk terjun di dunia politik, karena politik merupakan wilayah publik dan wilayah kekuasaan laki-laki . pandangan kedua menyatakan perempuan bisa terlibat dalam dunia politik dan bahkan memimpin Negara dengan alasan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi.

Sejak 14 abad yang silam, Al-Quran telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki. Di antaranya dalam masalah kepemimpinan, Al-Quran memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin, sebagaimana memberikan hak kepada laki-laki. Yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya kriteria untuk menjadi pemimpin. Jadi kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan bahkan bila perempuan itu mampu dan memenuhi kriteria maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (Perdana Menteri atau Kepala Negara).

Ketentuan ini bisa kita temukan dalam surat at-Taubah ayat 71:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan beriman, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maaruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam kata tersebut Allah SWT mempergunakan kata auliya (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai pemimpin, karena menurut Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Manar, bahwa kata auliya mencakup wali dalam arti penolong, solidaritas dan kasih sayang.

Kepemimpinan merupakan salah satu sifat orang-orang mukmin, lelaki dan wanita, dan berkaitan dengan kesaksian atas semua manusia, yakni dalam menjalankan agama ini sesuai dengan aturan syariat serta memberikan komitmen kepada keadilan dan keseimbangan. Kepemimpinan merupakan salah satu sifat Allah SWT yang dapat ditiru oleh manusia karena Dia Maha Berdiri Sendiri (al-qayyum). Kalau kepemimpinan pada peringkat umat dianggap sebagai karakteristik umum, tanggung jawab seorang laki-laki di dalam keluarganya dalam kerangka akad nikah merupakan tanggung jawab pada kedua peringkat yang dikaitkan dengan tauhid dan keadilan.

Selanjutnya Hibah Rauf Izzat menjelaskan terdapat dua persoalan penting yang berada di bawah rentetan penggunaan kata qawwam ini yaitu:

1. Kaum lelaki bertanggung jawab untuk menyediakan segala bentuk material dan spiritual wanita dalam bentuk yang memuaskan sesuai dengan kesenangan dan perasaannya sehingga dia merasa tenang dan tenteram.

2. Kaum laki-laki memberikan perlindungan dan penjagaan terhadap anggota keluarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.

Kekuasaan pemimpin rumah tangga tanduk kepada berbagai aturan dan kaitan-kaitan yang memberikan kekuasaan kepada istri dan anak-anaknya di dalam kerangka yang dibenarkan oleh syariat Islam.

Bila dikaitkan dengan perkembangan pemikiran islam tengang wanita, Faisar Ananda memperkenalkan tipologi baru yang agak berbeda dengan tipologi yang ada. Dalam persoalan pandangan tentang posisi kaum perempuan di atas islam baik NU dan Muhammadiyah dapat mempunyai sikap yang sama. Kalau NU memandang dapat mempunyai sikap yang sama. Kalau NU memandang perempuan dengan kacamata fiqh SyafiI maka Muhammadiyah menjadikan Aisyah sebagi contoh panutan wanita Islam Ideal.

Dalam praktiknya dalam interpretasi terhadap doktrin keagamaan ini menimbulkan dua kelompok, yaitu kaum yang dianggap kaum tradisional diwakili NU dan kaum modernis diwakili oleh Muhammadiyah. NU berpegang teguh pada mahzab SyafiI sedangkan Muhammadiyah memberikan kebabasan kepada pengikutnya untuk memilih imam yang empat. Sumber dalil naqlinya adalah Al-Quran dan haids, ditambah dengan ijtihad (dalil aqli) bila menghadapi persolan-persoalan yang belum diatur secara jelas dalam sumber dalil naqli.

Di lain pihak asal muamalah menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam Al-Quran atau As-Sunnah. Jadi sesungguhnya terdapat lapangan yang luas sekali dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram), kemudian menghindarinya. Selain yang haram-haram tersebut kita dapat melakukan apa saja, menambah, menciptakan, mengembangkan, dan lain-lain, harus ada kreativitas atau (ijtihad) dalam bidang muamalah. Kreativitas inilah yang akan terus-menerus mengakomodasi perubahan-perubahan dalam berbagai bidang dalam masyarakat.

Kaidah ushul menetapkan wajibnya memperhitungkan seberapa besar kebutuhan dan kepentingan ketika akan menghindarkan sesuatu yang dapat menimbulkan mudharat atau kerugian. Mengomentari masalah ini Abdul Halim Abu Syuqqah mengutip pendapat Ibnu Talimiyah yang menyatakan :

1. Di samping melihat seberapa besar kerugian yang ditimbulkan sehingga perlu dilarang, maka perlu dipertimbangkan bentuk kebutuhan yang mendesak agar suatu perkara diperbolehkan dianjurkan atau dianggap positif

2. Tidak satu pun dari perkara yang dilarang dengan alasan saddudz dzariah kecuali hal itu dilaksanakan demi kemaslahatan yang lebih besar. Jika sesuatu dilakukan untuk kemaslahatan yang lebih besar, diprediksikan hal itu tidak akan menimbulkan sesuatu yang negatif.

3. Kaidah ushul mengatakan bahwa jike terjadi pertentangan antara kemaslahatan dan kemudharatan, maka yang didahulukan atau dipilih adalah yang lebih kuat diantara keduanya.

Hukum Islam selain mengatur segala dimensi kehidupan juga bersifat fleksibel dalam mengantisipasi dan mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Islam diturunkan untuk umat manusia tanpa mengenal pembatasan ruang dan waktu dan akan selalu mengikuti perubahan yang terjadi.

Perhatian Al-Quran kepada perempuan lebih besar daripada laki-laki. Dua nama surat yang terkait langsung dengan perempuan, yaitu an-Nisa dan al Mujadalah. Dalam pandangan Chairil Anwar ayat-ayat yang terkait dengan perempuan, istri, dan ibu tidak kurang dari 214 ayat. Sementar itu yang terkait dengan lelaki, suami, dan bapak hanya 170 ayat. Lebih tingginya entri perempuan daripada lelaki menunjukan lebih kompleksnya persoalan perempuan daripada laki-laki. Hal ini tampak dari peran perempuan dalam masyarakat. Selain peran utamanya, melahirkan, yang tidak dapat dilakukan laki-laki, hampir tidak ada bidang pekerjaan apapun saat ini yang tidak dapat diisi perempuan. Termasuk, pekerjaan yang dianggap keras yaitu, tentara, sopir, pilot, ataupun kepala pemerintahan sekalipun.

Bagi kalangan Islam modernis, kaidah ini kelihatannya digunakan dengan cara membaliknya atau mengkompromikannya. Yang terlihat dari cara mereka berargumentasi adalah dengan menggunakan kombinasi dari metode alibrat biumum allafz dan alibrat bi khusus alsabab (yang menjadi pegangan adalah lafaz umum dan juga sebab khusus) artinya dengan kaedah ini sebab-sebab turun ayat menjadi alat penentu bagi penafsiran suatu ayat. Yang lebih menarik lagi adalah definisi asbab al-nuzul di kalangan modernis Islam meluas dari sekadar sebab turun dalam pengertian sempit kepada konteks sosial masyarakat ketika ayat tersebu turun.

Berdasarkan argumen ini maka ketika pembicaraan tentang kepemimpinan kaum laki-laki atas perempuan, ayat tersebut diterapkan tidak general, namun secara khusus dalam lingkup rumah tangga, berbeda dengan penafsiran lama yang mengaplikasikan secara general. Hal tersebut berdasarkan pada sebab turun ayat tersebut yakni ketika seorang istri mengadu telah ditampar oleh suaminya lalu Nabi memerintah qisas, namun Tuhan menurunkan ayat ini menganulir keputusan Nabi. Artinya ayat ini dipandang sebagai legitimasi kepemimpinan suami terhadap istri dalam urusan rumah tangga. Sedangkan persoalan kepemimpinan di wilayah publik, hak wanita tidak dapat dibatasi dengan mempergunakan ayat ini.

Begitu juga terhadap hadis Nabi yang menyatakan tidak beruntung suatu kaum yang diperintahkan perempuan yang dipahami sebagai ucapan Nabi khusus terhadap kerajaan Persia. Sebagai ucapan Nabi tersebut merupakan reaksi seketika Nabi ketika diberitakan bahwa kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang wanita, sehingga ucapan Nabi ini bersifat casuistic. Hukum Islam merupakan pancaran kasih sayang Tuhan untuk mengayomi umat manusia. Oleh karena itu, ketetapan hukumnnya selalu menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan mempertinggi rasa kemanusiaan dalam cakupan universal. Sifat ini tampak jelas pada prinsip hukumnya yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban manusia tanpa membedakan pangkat, derajad, etnis, keturunan, dan bangsanya. Demikian pula, hukum Islam selalu mempermudah, memperingan, dialogis, terbuka.

Hukum Islam yang universal dan eternal memiliki sifat dan kadar kekenyalan yang prima. Kekenyalan tersebut direfleksikan pada dua sifat yang menyatu, yaitu sifat tsabat (permanen) dan abadiyah (eternal) berupa teks syari dan hukum qathi (absolut) untuk yang pertama dan sifat murunah dan tathawur (elastis dan fleksibel) berupa hasil penalaran ijtihadiyyah dan hukum zhanni (relatif) untuk sifat yang kedua. Sifat tsabat menjadi pelestari identitas dan menjadi tiang pancang kesatuan Islam, sedang sifat murunah dan tathawwur menjadi daya elastisitas dan fleksibilitas serta dinamisasi hukum Islam. Kekenyalan hukum Islam mampu mengantisipasi keragaman masa dan keanekaan masa sehingga akan terwujud secara legal keragaman hukum dalam kesatuan pada hukum Islam.

Pandangan yang menempatkan perempuan dibawah superioritas laki-laki baik dari segi akal maupun pengetahuan, untuk kondisi sekarang tentunya tidak relevan lagi. Selain bertentangan dengan semangat Al-Quran yang egaliterian juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan Islam. Jaman sudah berubah. Sekarang sudah banyak perempuan yang memiliki potensi dan dapat melakukan peran-peran yang selama ini hanya dan harus menjadi domain laki-laki. Banyak kaum perempuan muslimah diberbagai ruang kehidupan yang mampu tampil dalam peran kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.

Quraish Shihab berkesimpulan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Perbedaan itu muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat serta kecenderungan masing-masing musafir, yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan Hadis-Hadis Nabi Muhammad Saw.

Kepemimipinan perempuan dalam Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan tabu, karena secara jelas dan tegas Al-Quran mencantumkan adanya kepemimpinan perempuan. Sejarah Islam pada zaman Nabi Muhammad menyebutkan kaum perempuan juga terlibat dan di ikutsertakan dalam segala aspek kehidupan.

Tidak ada satu ketentuan yang dianggap sebagai bentuk larangan terhadap keterlibatan perempuan di masyarakat dengan kepemimpinan yang disandangnya. Menurut penulis kepemimpinan laki-laki atas perempuan lebih tepat dalam konteks rumah tangga. Kepemimpinan di masyarakat (public role) adalah bukan sesuatu pemberian tetapi merupakan hasil dari kompetisi yang dilatarbelakangi kualifikasi dan prestasi. Tanpa harus adanya batasan laki-laki dan perempuan, partisipasi perempuan dalam beragam bentuk profesi merupakan sesuatu yang tak bisa dhindari. Mengingat sejak awal penciptaan manusia, Tuhan telah menetapkan segala sesuatunya berpasang-pasangan untuk saling melengkapi dan bekerja sama untuk menciptakan kemaslahatan di muka bumi.

BAB VKESIMPULAN a) Bagaimana pemimpin pemerintahan dalam perspektif Islam ?Di dalam Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat :1. Siddiq artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan2. Fathonah artinya cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesional3. Amanah artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel4. Tabligh artinya senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah

menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.Seorang pemimpin harus memiliki keahlian yang mendukung tugasnya sebagai pemimpin dalam sebuah Negara. Sehingga ia dapat memahami bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin yang baik bagi rakyatnya dan kemudian ia dapat dipercaya oleh rakyatnya sebagai pimpinannya.Seorang pemimpin yang amanah, akan benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam di negaranya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.Seorang pemimpin yang cerdas, tidak akan bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk memajukan rakyatnya.b) Bagaimana kedudukan wanita dalam perspektif Islam ?Al-Quran dan Hadist telah berbicara banyak tentang wanita, mengangkat derajat wanita pada kedudukan yang baik dan terhormat. Dalam Al-Quran sendiri terdapat surat yang bernama an-Nisa yang berartikan wanita/perempuan yang merupakan penghargaan Islam terhadap kedudukan Wanita itu sendiri dan hal itu diangap penting. Terdapat berpuluh-puluh Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam hukum dan masyarakat. Nabi Muhammad telah memberikan contoh tauladan dalam hal ini, karena beliau selain sangat menyayangi istri-istrinya, juga meberikan hak-haknya jika para istri menginginkannya.

Walaupun demikian besar ruang gerak yang diberikan oleh Islam kepada wanita, namun kaum wanita pun tidak boleh meninggalkan kodratnya sebagai perempuan dan sifat-sifat yang lemah lembut serta janganlah meniggalkan keelokan dan perhiasan pada badannya. Para perempuan di perkenakan untuk melakukan aktivitas di luar dan di dalam rumah, secara mandiri atau berkelompok pada lembaga pemerintahan ataupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap dirinya dan lingkungan.c) Bagaimana kepemimpinan wanita dalam perspektif Islam ?Tidak ada satu ketentuan yang dianggap sebagai bentuk larangan terhadap keterlibatan perempuan di masyarakat dengan kepemimpinan yang disandangnya. Menurut penulis kepemimpinan laki-laki atas perempuan lebih tepat dalam konteks rumah tangga. Kepemimpinan di masyarakat (public role) adalah bukan sesuatu pemberian tetapi merupakan hasil dari kompetisi yang dilatarbelakangi kualifikasi dan prestasi. Tanpa harus adanya batasan laki-laki dan perempuan, partisipasi perempuan dalam beragam bentuk profesi merupakan sesuatu yang tak bisa dhindari. Mengingat sejak awal penciptaan manusia, Tuhan telah menetapkan segala sesuatunya berpasang-pasangan untuk saling melengkapi dan bekerja sama untuk menciptakan kemaslahatan di muka bumi.Tidak ditemukan satu ketentuan agama yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Perbedaan itu muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat serta kecenderungan masing-masing musafir, yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan Hadis-Hadis Nabi Muhammad Saw.

Berdasarkan surat At-Taubah ayat 71:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan beriman, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maaruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam kata tersebut Allah SWT mempergunakan kata auliya (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai pemimpin, karena menurut Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Manar, bahwa kata auliya mencakup wali dalam arti penolong, solidaritas dan kasih sayang.

Kepemimpinan merupakan salah satu sifat orang-orang mukmin, lelaki dan wanita, dan berkaitan dengan kesaksian atas semua manusia, yakni dalam menjalankan agama ini sesuai dengan aturan syariat serta memberikan komitmen kepada keadilan dan keseimbangan. Kepemimpinan merupakan salah satu sifat Allah SWT yang dapat ditiru oleh manusia karena Dia Maha Berdiri Sendiri (al-qayyum). Kalau kepemimpinan pada peringkat umat dianggap sebagai karakteristik umum, tanggung jawab seorang laki-laki di dalam keluarganya dalam kerangka akad nikah merupakan tanggung jawab pada kedua peringkat yang dikaitkan dengan tauhid dan keadilan.Jadi, pada dasarnya kepemimipinan perempuan dalam Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan tabu, karena secara jelas dan tegas Al-Quran mencantumkan adanya kepemimpinan perempuan. Sejarah Islam pada zaman Nabi Muhammad menyebutkan kaum perempuan juga terlibat dan di ikutsertakan dalam segala aspek kehidupan. Namun, dalam hal ini akan lebih baik jika pemimpin adalah seorang laki-laki, hal tersebut didasarkan kepada pendapat Ar-Rasi yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan merupakan suatu keutamaan yang terdapat di berbagai aspek. Sebagian didasarkan pada sifat-sifat yang hakiki dan sebagian lain berdasarkan hukum syara. Adapun sifat keutamaan laki-laki atas perempuan dapat dilihat dari kewajiban laki-laki yang terdapat di dalam Al-Quran sebagaimana telah disebutkan pada bab-bab sebelumnya. Apabila dianalisa kewajiban tersebut mirip dengan kewajiban seorang pemimpin. Dari sebab inilah dihasilkan keutamaan laki-laki atas perempuan dalam menjadi pemimpin pada suatu kaum. DAFTAR PUSTAKAAbdurrahman, K.H.E. Risalah Wanita. Sinar Baru: Jakarta, 1988.

Abu Bakar Al-Asyari, Abu Bakar. Tugas Wanita dalam Islam. Jakarta: Media Dakwah, 1991.

Afif, Abdul. Wahab Pengantar Studi Perbandingan Mahzab. Jakarta: Darul Ulum Press, 1995.

Al Farisi, H.A.A. Dahlan dan M. Zaka. ed., Asbabul Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000.

Arfa, Faisar Ananda. Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Cet. I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafiad. Asbabul Wurud (Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul, Cet. VII. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.Engineer, Ali Asghar. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. LSPPA, 1994.

Fachrudin, Fuad M. Rahasia Wanita Islam. PT. Iqomatun: Jakarta, 1991.

Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Izzat, Hibbah Rauf. Wanita dan Politik Pandangan Islam, penerj. Bahrudin Fannani. Bandung: Remaja Roesdakarya, 1997.

Jafar, M. Anis Qasim. Perempuan dan Kekuasaan; Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam. Zaman, 1998.

Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet.I. Jakarta:Raja Grafindo Press, 2004.

Kararah, Abbas. Berbicara dengan Wanita. Gema Insani Press, 1992.

Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 1994.

M. Al Hamid. Islam Rahmat Bagi Wanita. Risalah Gusti, 1992.

May, Darlene. Wanita dalam Islam, Kemarin dan Hari Ini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Mernissi, Fatima. Wanita di dalam Islam. Bandung: Pustaka, 1994.

Mintzberg, Herry dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.

Purwanto, M. Ngalim. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.

Buwono X, Sri Sultan Hamengku. Bercermin di Kalbu Rakyat. Yogyakarta : Kanisius.

Rachim, H. Abdur. Kajian Tafsir Ayat-Ayat Al-Quran tentang Wanita dalam Hubungannya dengan Laki-laki. Tarjih Muhammadiyah, 1996.

Robbins, Stephen P.. Prinsip-prinsip Perilaku Orgnisasi. Jakarta: Erlangga, 2002.

Salim, Hidayah Sultan. Wanita-Wanita di dalam Al-Quran. PT. Almararif: Jakarta, 1987.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyrakat. Mizan, 1992.

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1996.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Subhan, Arief dkk. Citra Perempuan dalam Islam, Pandangan Ormas Keagamaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Tjiharjadi, Semuil. To Be A Great Leader. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007.

Thoha, Miftah. Kepemimpinan dalam Manajeme. Jakarta: Rajawali Pers, 1983.

Zuhri, Muhammad. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Semuil Tjiharjadi, dkk, To Be A Great Leader, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007). Hal. 30.

Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 1994). Hal. 181.

Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983). Hal. 123.

Stephen P. Robbins, Prinsip-prinsip Perilaku Orgnisasi, (Jakarta: Erlangga, 2002). Hal. 163.

M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991).Hal.26.

HYPERLINK "http://www.aminudin.com/2013/01/apa-itu-pemimpin.html" http://www.aminudin.com/2013/01/apa-itu-pemimpin.html, diunduh tanggal 9 Mei 2013.

HYPERLINK "http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/pengertian-pemimpin-dalam-bahasa.html" http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/pengertian-pemimpin-dalam-bahasa.html, diunduh tanggal 9 Mei 2013.

HYPERLINK "http://eprints.uny.ac.id/2565/5/ARTIKEL_KEPEMIMPINAN.pdf" http://eprints.uny.ac.id/2565/5/ARTIKEL_KEPEMIMPINAN.pdf, diunduh tanggal 9 Mei 2013.

Ibid.,

Ibid.,

Q.S. Al-Baqarah ayat 30.

HYPERLINK "http://media-islam.or.id/2009/06/26/bagaimana-cara-memilih-pemimpin-menurut-islam/" http://media-islam.or.id/2009/06/26/bagaimana-cara-memilih-pemimpin-menurut-islam/, diunduh tanggal 9 Mei 2013.

Q.S.Al-Maidah ayat 51.

Q.S. At Taubah ayat 23.

Q.S. Ali Imran ayat 28.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, Bercermin di Kalbu Rakyat, (Yogyakarta : Kanisius), hlm.33

Peter F. Drucker, People and Performance : The Best of Peter Drucker on Management, (New York: Harper & Row Publisher, 1977) hal. 7 dalam Endang Sulistya Rini, Manajemen Indonesia: Perpaduan Manajemen Barat dan Timur Serta Budaya Tradisional, HYPERLINK "http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1262/1/manajemen-endang2.pdf" http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1262/1/manajemen-endang2.pdf, diunduh tanggal 9 Mei 2013.

James A.F Stonen dalam Tejo Nurseto, Leadership dan Perubahan, Makalah disampaikan dalam pelatihan Leadh