2. landasan teori dan kajian pustaka 2.1. landasan teori … · sederhana, hingga masa mesolitik...
TRANSCRIPT
Universitas Kristen Petra
11
2. LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Karya Gambar Anak
Secara historis seni sangat terkait dengan menggambar. Hal ini
dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan prasejarah bahwa nenek
moyang manusia, sejak ribuan tahun yang lalu telah menciptakan gambar-gambar
pada bekas tempat huniannya seperti ceruk atau gua untuk maksud yang
bermacam-macam, misalnya pemujaan terhadap nenek moyang, menceritakan
kisah kepahlawanan dalam kelompok mereka, atau sekadar menceritakan dan
mengabadikan bagian-bagian terpenting dari kehidupan mereka seperti cara
berburu dan sebagainya. Gambar pada saat itu dibuat dengan media yang sangat
sederhana seperti arang, darah binatang, atau pewarna dari alam baik tumbuhan
atau binatang (Satria, 2016).
Hasil peninggalan prasejarah berupa gambar tersebut ditemukan di
berbagai belahan dunia seperti benua Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Di
Indonesia juga ditemukan karya masa lampau tersebut di Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua. Gambar-gambar tersebut masih sangat
sederhana, seperti yang banyak ditemukan adalah gambar telapak tangan, diduga
gambar telapak tangan merupakan objek tertua yang tersebar luas di muka bumi
dengan bentuk dan teknik yang serupa. Gambar-gambar peninggalan itu berasal
dari masa Paleotik atau masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana, hingga masa Mesolitik atau masa berburu dan mengelolah hasil buruan
tingkat lanjut (Nasor, 2014).
Universitas Kristen Petra
12
Gambar 2.1. Cap Tangan Gua Tawet, Kalimantan
Sumber: http://www.wacana.co/2015/07/lukisan-gua-prasejarah/
Seiring perkembangan zaman, perkembangan teknologi juga
mempengaruhi bertambahnya alternatif media dalam menggambar yang
menyesuaikan dengan kebutuhan manusia dalam menciptakan sebuah karya.
Manusia selalu menemukan inovasi-inovasi baru dalam memahami sebuah objek
dengan pola pikirnya yang kreatif dan keberagaman media yang dapat
dieksplorasi ini sangat membantu manusia dalam menciptakan karya yang
diinginkannya (Satria, 2016).
Pada dasarnya seni bukan hanya kehendak mencipta namun juga
ekspresi dari penciptanya, maka pada zaman yang semakin berkembang diikuti
dengan kemajuan pengetahuan, seni juga dimanfaatkan dalam kehidupan anak.
Pendidikan anak, terutama anak usia dini adalah proses pembinaan yang sudah
dimulai sejak lahir. Proses pembinaan ini perlu dilakukan secara menyeluruh,
yang mencakup fisik dan non-fisik, memberikan rangsangan bagi perkembangan
jasmani, rohani, moral, spiritual, motorik, intelektual, emosional dan sosial yang
tepat agar anak dapat bertumbuh secara optimal. Anak juga memiliki potensi
kreativitas di mana kreativitas tersebut dapat dikembangkan salah satunya dengan
kegiatan menggambar. Karya gambar anak sangat penting karena jika
diperhatikan, karya gambar anak mampu merefleksikan pertumbuhan anak dalam
Universitas Kristen Petra
13
bidang kreatif. Dan hal yang patut diingat adalah gambar merupakan sarana
berekspresi, penyaluran bukan hanya imajinasi dan fantasi namun juga pemikiran
dan perasaan anak (Hasanah, 2015).
Awalnya seorang anak untuk pertama kali menggenggam alat tulis dan
bergerak putar-putar membentuk spiral, semakin bertambah usia, anak dapat
membuat dan meniru bentuk-bentuk geometris. Kemudian anak mulai menyadari
bahwa gambar bisa mewakili objek dan mereka dapat mengekspresikan hasil
pengamatan mereka terhadap objek di sekitar mereka dalam bentuk gambar
(Fariha, 2011). Kesadaran anak berdasarkan proses pengalamannya dalam
menggunakan alat tulis membuat anak semakin menyadari bahwa ada hasil yang
terjadi berdasarkan kehendaknya, meski dalam hal ini anak belum memiliki
kesadaran untuk menuangkan apa yang menjadi pemikirannya.
Karya gambar yang diciptakan anak-anak tidak lain merupakan hasil
pemikiran, keinginan, gagasan, dan perasaan terhadap lingkungan sekitar sebagai
refleksi sebagai bentuk maupun dorongan emosi terhadap lingkungannya
(Pamadhi, 2008). Dalam merefleksikan apa yang ada dalam dirinya, tidak
disyaratkan adanya kesadaran berupa kesengajaan untuk mengekspresikan segala
yang dirsakannya, namun ekspresi cenderung terjadi secara alamiah di luar hal-hal
sederhana yang ingin dan telah mampu anak gambarkan.
Gambar 2.2. Kegiatan Menggambar di THR
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Universitas Kristen Petra
14
Tejo Sampurno dalam buku Seni, Melukis dan Anak Autis
menyampaikan bahwa karya anak-anak memiliki hal yang terkadang tidak
dimiliki oleh orang dewasa, yaitu kreativitias, orisinalitas dan spontanitas. Dalam
jurnal Estetika dan Tipologi Gambar Anak-Anak Sekolah Dasar, Usep Kustiawan
memiliki konsep yang sama mengenai orisinalitas yaitu bahwa anak-anak
melakukan kegiatan menggambar seperti halnya mereka berkomunikasi. Anak-
anak berkomunikasi secara bebas dan jujur sesuai keinginan dan perasaannya
sehingga kegiatan menggambar yang dilakukan anak-anak merupakan kegiatan
naluriah yang menghasilkan karya yang orisinil.
Gambar 2.3. Gambar Anak Karya Rasya Rizqi Ananda
Sumber: Buku Seni, Melukis dan Anak Autis
Secara umum gambar anak memiliki karakteristik yang sama, yang
pertama yaitu ekspresif dan spontanitas yang kuat yang tercermin pada kejujuran
menggambarkan ide hasil dari pengamatan berdasarkan sudut pandangnya yang
unik. Jika dilihat dari sudut pandang dan kecerdasan orang dewasa, dapat
dikatakan objek-objek yang digambar anak cenderung naif. Yang kedua, dalam
menciptakan karya gambar anak cenderung melebih-lebihkan objek yang mencuri
perhatian dan dianggap penting, misalnya ketika anak melihat pelangi dan pelangi
itu indah, maka dalam gambarannya anak akan membuat pelangi yang besar dan
Universitas Kristen Petra
15
mencolok lebih dari pada aslinya, atau ketika anak menggambarkan taman
bermain, anak akan membuat ayunan yang besar lebih dari pada membuat pagar
yang mengelilingi taman. Ketiga, narasi cerita berkaitan dengan diri dan
lingkungan sekitarnya, karena dalam hal ini anak belum memiliki banyak
pengalaman, terutama pengalaman visual. Anak lebih familiar dengan dirinya
sendiri dan juga hal-hal yang ada dalam kesehariannya, seperti ayah, ibu, maupun
benda-benda dilingkungannya seperti bunga, rumah, pohon, dan lain sebagainya.
Dan yang keempat, gambar mengikuti pola perkembangan atau pola
perkembangan menggambar anak-anak, yaitu variasi objek dan teknik
penggambarannya tidak terlepas dari perkembangan pengalaman mental dan
visual anak dan juga perkembangan motorik anak yang sangat berpengaruh pada
kemampuan mengekspresikan dirinya dalam bentuk gambar (Salam, 2011).
Gambar 2.4. Contoh Gambar Anak Karya Viki
Sumber: https://www.kompasiana.com/indahnoing/gambar-legendaris-anak-
indonesia_54f33de77455139f2b6c6d54
Uraian tersebut menunjukkan bahwa gambar anak merupakan bentuk
representasi, citra dari pengalaman spiritualnya berdasarkan apa yang dilihat,
dirasakan dan diketahuinya. Gambar anak merupakan perwujudan dari dunianya
sesuai dengan masa perkembangannya sehingga setiap anak menghasilkan gambar
yang berbeda, bersifat individual, unik dan ekspresif (Kustiawan, 2012).
Universitas Kristen Petra
16
2.1.2. Dunia Gambar Anak
Dalam buku Ekspresi Seni Orang Miskin yang dijelaskan mengenai
ekspresi seni anak-anak bahwa kelakuan budaya terbentuk dari pola dan
diorganiasikan, dalam arti, kegiatan atau kejadian yang berlangsung berulang-
ulang sebagai suatu kebiasaan merupakan proses pendewasaan anak yang diatur
oleh norma-norma masyarakat sekitarnya.
Aktivitas penanaman kebudayaan ini dialami setiap anak melalui
proses pengkondisian baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Dari
interkasi terkontrol maupun spontan yang terjadi dalam kesehariannya, misalnya
orang tua yang secara sadar dengan segaja menyuruh anaknya merapikan sendiri
mainan-mainannya setelah digunakan agar anak mampu bertanggung jawab
dengan apapun yang dilakukannya, hingga interaksi spontan seperti bagaimana
lingkungan sekitarnya menyapa dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas ini
mengarah pada antara lain pembentukan sikap, nilai-nilai, pengendalian perasaan,
orientasi kognitif, dan cita rasa estetik dalam kehidupan sehari-hari (Cohen,
1971).
Gambar 2.5.
Anak Membersihkan Lingkungan Sekolah Mereka (Proses Pengkondisian)
Sumber: http://sd-kartini-sby.tarakanita.or.id/galeri/2012/11/19/bersihbersih-
lingkungan-sekolah.html
Universitas Kristen Petra
17
Pada perkembangan emosi anak, budaya sangat berperan penting.
Emosi manusia dalam literatur psikologi klasik pada umumnya dipahami melalui
sudut pandang yang bersifat intrapsikis. Sudut pandang ini menekankan pada
pemahaman proses internal yang terjadi pada diri individu serta fungsinya dalam
mengendalikan tindakan individu tersebut. Melalui sudut pandang semacam ini
emosi ditempatkan sebagai objek dalam diri individu, beserta sktruktur dan
fungsinya yang secara keseluruhan membantu individu berhadapan dengan dunia
di luar dari dirinya. Namun di samping itu, kajian psikologi kontemporer
menyatakan bahwa emosi bukan semata sebagai aspek psikis yang hanya berdiam
dalam diri individu yang kemudian diarahkan ke luar, namun emosi individu
dipandang sebagai sesuatu yang berjalin erat dengan konteks sosiokultural di
mana individu tersebut berada, dengan demikian emosi dipandang bukan saja
sebagai objek dari konteks sosial-budaya yang menyejarah dalam suatu
masyarakat dalam kondisi tersebut, melainkan sekaligus pula sebagai subjek yang
memfasilitasi kemenjadian perilaku individu dalam konteks masyarakat berserta
budayanya (Iwan W. Hidayat, 2016).
Dalam pernyataan paragraf sebelumnya, manusia sebagai homo
societus memiliki karakter yang khas dan berbeda dengan makhluk hidup lain
dalam kehidupan sosialnya. Karakteristik khas yang menjadikan manusia berbeda
dengan makhluk lain mengizinkan manusia untuk memproduksi budaya yang
berguna untuk menata dan mengatur alam atau lingkungan sekitarnya sehingga
sesuai dengan tujuan kemanusiaannya. Produk dari budaya ada bermacam-
macam, seperti artefak, peralatan berburu, dan sebagainya yang diturunkan dari
generasi ke generasi sebagai bentuk warisan budaya.
Kelakuan budaya merupakan aspek penting yang bentuk sebuah
kepribadian, di mulai sejak usia yang paling dini dan akan berlanjut hingga
dewasa dengan efek yang selalu mempengaruhi dan memperbarui seiring
bertambahnya pengalaman. Penelitian terhadap orang dewasa menunjukkan
bahwa sebagian besar kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari merupakan
hasil pola-pola yang terwujud dari proses pengkondisian sejak dini. Proses
pengkondisian sejak dini tersebut tidak berhenti pada usia tertentu, namun terus
berlangsung secara teratur dan berkelanjutan seiring anak mengalami berbagai
Universitas Kristen Petra
18
pengalaman dalam hidupnya, terutama dari lingkungan keluarganya, dan akan
berlangsung sampai kapanpun (Hoebel dan Frost, 1976).
Gambar 2.6.
Menunggu Makanan Dibagikan dengan Sabar
(Proses Pengkondisian)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Manusia sebagai makhluk berbudaya merupakan konsekuensi logis
dari hidup yang berkembang dalam kondisi kebudayaan tertentu. Baik orang tua
maupun anak-anak merupakan manusia berbudaya, anak-anak terlatih untuk dapat
berbicara dengan sesamanya menggunakan bahasa tertentu, dengan kepercayaan-
kepercayaan tertentu dan mempuyai pengetahuan tertentu, nilai-nilai tertentu yang
menjadi pedoman dalam menanggapi berbagai hal yang dihadapinya, manusia
yang memiliki cara berpikir sesuai dengan kebudayaan di lingkungannya
(Bachtiar, 1987).
Universitas Kristen Petra
19
Dalam Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini, Iwan
W. Hidayat menyatakan respon lingkungan yang baik merupakan aspek sangat
penting dalam perkembangan emosi anak, sebab perkembangan emosi yang baik
akan memungkinkan anak mengenali aspek-aspek emosi dalam dirinya serta juga
mampu mengekspresikannya secara tepat terhadap orang lain maupun lingkungan
sekitarnya. Dari emosi yang baik proses tumbuh kembang anak sangat terbantu
sebab anak mampu secara optimal mengembangkan kecakapan emosional dan
kecakapan sosial yang penting bagi terbentuknya relasi yang positif dengan orang
lain, kemudian menjadi isyarat bagi perkembangan diri yang positif yang yang
bahkan mampu mengarahkan anak untuk mencapai pembentukan jati diri seiring
berjalannya waktu.
Thompson dan Lagattuta (2006: 317) mengemukakan, bahwa
perkembangan emosional pada awal masa anak-anak memberikan sebuah
gambaran tentang pertumbuhan psikologis dari anak yang bersangkutan. Upaya
seorang anak untuk memahami emosi akan mengungkapkan perkembangan
pengertian mereka terhadap cara kerja pikiran dan terhadap pengaruh emosi pada
kesejahteraan individu, serta hubungan sosial. Ketika mereka melakukan upaya
keras dalam keseharian mereka untuk mengelola berbagai dorongan perasaan
yang kuat, khususnya emosi-emosi negatif, akan mencerminkan kesdaran mereka
terhadap kebutuhan untuk mengatur emosi-emosi yang kuat serta untuk mengikuti
konvensi sosial dan kultural.
Tampilan emosi pada anak bersumber dari kesadaran diri (self-
conscious emotions) seperti rasa bersalah, rasa bangga, maupun rasa malu, hal
tersebut mencerminkan kaitan yang kuat antara kehidupan emosi anak dengan
rasa-diri (self-of-the self) mereka yang sedang berkembang. Masing-masing
capaian konseptual ini sangat berkaitan erat dengan pengalaman dan hubungan
sehari-hari anak pada lingkungan sosialnya, seperti dalam keluarga di mana anak-
anak belajar mengenai emosi, termasuk penyebab dan konsekuensinya.
Tidak dipungkiri, dalam memahami dunia anak diperlukan juga
pemahaman mengenai pengkondisian kebudayaan yang membentuk faktor
psikologisnya. Seperti yang dijabarkan pada paragraf sebelumnya mengenai
emosi, anak memiliki kapasitas dalam mengekspresikan namun bagaimana
Universitas Kristen Petra
20
berekspresi dan juga ekspresi itu sendiri mempersyaratkan adanya kesempatan
yang memacu kapasitas tersebut untuk berkembang, bahwa perkembangan
manusia bukan sekadar pembeberan potensi genetik, tetapi secara lebih mendasar
merupakan suatu kumulasi proses aktif di dalam memanfaatkan lingkungannya.
Dan lingkungan tersebut juga tergantung pada ketersediaan kesempatan yang
memberi peluang untuk mengembangkan mekanisme potensinya tersebut
(Montagu, 1974).
Gambar 2.7. Dunia Anak Adalah Dunia Bermain
Sumber: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/07/30/paud-harapan-baru-
masa-depan-indonesia
Perkembangan emosi anak yang dipengaruhi oleh lingkungannya
terjadi sebab anak mengalami akulturasi budaya bahkan sejak lahir, atau bahkan
sejak dalam kandungan. Sejalan dengan perkembangan usia yang memajukan
perkembangan bahasa dan kognisinya, anak melakukan internalisasi makna yang
ada dalam lingkup budayanya terutama melalui keluaga. Anak belajar mengenai
emosi dalam iklim keluarga yang berada pada lingkup budaya tertentu. Keluarga
dengan iklim yang menawarkan kondisi yang aman bagi komunikasi, ekspresi,
serta pemahaman emosi dengan mengkompromikan pengetahuan dan
Universitas Kristen Petra
21
keterampilan anak yang sedang berkembang akan berbeda terhadap
perkembangan emosi anak dibandingan dengan keluarga yang lebih menekankan
pada tantangan emosional.
Dalam Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini,
lingkungan hendaknya menyediakan kesempatan untuk anak menjadi pembelajar
yang aktif yang baik untuk perkembangan emosinya dengan merancang
pengkondisian yang kreatif. Dan dengan kesempatan ini, anak-anak akan terbiasa
belajar dan mempelajari berbagai aspek pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan melalui berbagai aktivitas mengamati, mencari, menemukan,
mendiskusikan, menyimpulkan, dan mengemukakan sendiri berbagai hal yang
ditemukannya pada lingkungan sektiarnya yang akan berpengaruh bagi
perkembangan psikologis anak maupun perkembangan kognitif. Proses seperti ini
merupakan wujud pembelajaran yang bertumpu pada aktivitas belajar anak secara
aktif atau yang disebut CBSA (active learning). CBSA adalah bentuk
pembelajaran yang diilhami oleh John Dewey yaitu learning by doing.
Gambar 2.8. Anak sebagai Pembelajar Aktif
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Berdasarkan CBSA, Killpatrik meneruskan ide tersebut menjadi
sebuah proyek yang dapat diaplikasikan pada sistem pembelajaran anak. Proyek
Universitas Kristen Petra
22
tersebut akan dimulai dengan membicarakan suatu kegiatan, pembicaraan ini tidak
hanya akan melibatkan pendamping atau pendidik, namun juga anak itu sendiri
dalam rangka memahami dasar pengetahuan anak dalam perkembangan bidang
tersebut. Kegiatan pada dasarnya dirancang sebagai suatu pemecahan masalah
yang memungkinkan anak melakukan berbagai bentuk kegiatan mempelajari,
menyimpulkan, dan menyampaikan kembali berbagai penemuan yang dilakukan
anak-anak dalam memahami berbagai hal dan pengetahuan baru. Dengan
demikian bentuk pengajaran dilakukan dengan jalan menyajikan suatu bahan
yang memungkinkan anak mengolah sendiri untuk menguasai bahan pengajaran
tersebut. Dalam proses tersebutlah pengkondisian yang kreatif memberikan
kesempatan pada anak untuk secara aktif menemukan berbagai pengetahuan.
Pengkondisian untuk proses pembelajaran anak yang efektif perlu
dirancang secara kreatif dan menyenangkan. Dalam Psikologi Perkembangan dan
Pendidikan Anak Usia Diri, kegiatan yang dilakukan berulang dan menimbulkan
kesenangan atau kepuasan bagi diri seseorang merupakan definisi bermain. Perlu
diketahui kaitannya bahwa pada dasarnya bermain merupakan dunia anak dan
bagi perkembangan anak bermain tidak lain merupakan suatu proses belajar.
Karena bermain merupakan dunia anak, bermain dapat diibaratkan sebagai nama
tengah anak di seluruh dunia (Sampurno, 2015).
Gambar 2.9. Kegiatan Bermain Anak adalah Kegiatan Belajar
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Universitas Kristen Petra
23
Bermain dikatakan sebagai proses belajar karena melalui kegiatan ini,
seperti penjelasan dari proyek CBSA pada paragraf sebelumnya, dapat menjadi
sarana bersosialisasi yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk
bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan, berkreasi secara menyenangkan.
Selain itu, bermain dapat membantu anak mengenal tentang dirinya sendiri,
dengan siapa ia hidup serta lingkungan tempat ia hidup (Parten, 1990). Bermain
merupakan dunia anak yang juga merupakan kebutuhan bagi anak, melalui
bermain anak memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan
dirinya. Bermain merupakan suatu aktivitas yang khas yang sangat berbeda
dengan aktivitas lain seperti belajar dan bekerja yang selalu dilakukan dalam
rangka mencapai suatu hasil tertentu (Fleer, 2000).
Namun, mengutip pernyataan dalam Mayesti (1990:196-197) bahwa
bagi anak, bermain adalah kegiatan yang mereka lakukan sepanjang hari karena
bagi anak bermain adalah hidup dan hidup adalah permainan. Anak-anak tidak
membedakan antara bermain, belajar dan bekerja. Pada umumnya anak-anak akan
sangat menikmati bermain dan akan terus melakukannya di manapun mereka
memiliki kesempatan. Freud juga meyakini bahwa meskipun kegiatan bermain
tidak sama dengan bekerja, namun anak menganggap bermain sebagai sesuatu
yang serius.
Gambar 2.10. Anak-anak Bermain
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Universitas Kristen Petra
24
Vygosty dalam Naughton (2003:46) menyatakan bahwa bermain juga
membantu perkembangan kognitif anak secara langsung, dalam penegasannya
Vygosty menyatakan bahwa bermain simbolik memiliki peranan yang sangat
penting dalam perkembangan berpikir abstrak anak. Sejak anak mulai bermain
berpura-pura, anak jadi mampu berpikir tentang makna-makna objek yang mereka
representasikan secara independen. Dalam bermain, anak berperilaku lebih atau di
atas perilakunya sehari-hari, anak menganggap diri “lebih” dari dirinya sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat dari dua ciri utama bermain, yang pertama yaitu semua
aktivitas bermain anak bersifat representasional dan menciptakan situasi imajiner
yang memungkinkan anak untuk menghadapi keinginan-keinginan yang tidak
dapat dipenuhi atau direalisasikan di dunia nyata. Yang kedua, bermain
representasional memuat aturan-aturan berperilaku yang harus diikuti oleh diri
anak sendiri untuk menjalankan adegan bermain.
Gambar 2.11. Anak Bermain secara Simbolik
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Maka pada saat kegiatan bermain berlangsung, hampir semua aspek
perkembangan anak dapat terstimulasi dan berkembang dengan baik terutama
perkembangan kreativitas.
Universitas Kristen Petra
25
Sejalan dengan pernyataan Carton dan Allen (1999:21) yang mengungkapkan
bahwa kegiatan bermain dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap
semua area perkembangan anak. Anak menemukan kesempatan belajar tentang
dirinya sendiri, orang lain dan juga lingkungannya. Di samping itu, kegiatan
bermain juga memberikan anak kebebasan untuk berimajinasi, bereksplorasi dan
menciptakan bentuk-bentuk kreativitas. Anak-anak memiliki motivasi dalam
dirinya untuk bermain dengan memadukan sesuatu yang baru dengan hal-hal yang
telah anak ketahui sebelumnya.
Gambar 2.12. Anak Menunjukkan Bentuk Pesawat yang Pernah ia Lihat
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak
Melalui bermain, dalam proses pembelajaranya memperoleh
pengetahuan, anak belajar melalui sensorinya. Howard Gardner dalam bukunya
Multiple Intelligences menjelaskan temuan teorinya mengenai kecerdasan
manusia adalah tidak tunggal, tetapi beragam, majemuk. Multiple intelligences
secara umum menyebutkan ada 8 kecerdasan, yaitu linguistik (bahasa),
matematika-logis (angka dan logika), spasial-visual (gambar dan ruang), musikal
(musik), kinestetis (bergerak), interpersonal (bergaul), intrapersonal (diri), dan
naturalis (alam). Oleh karena itu pembelajaran anak perlu mengarahkan anak pada
berbagai kemampuan mengingat teori multiple intelligences yang mengisyaratkan
Universitas Kristen Petra
26
bahwa pada dasarnya manusia memiliki talenta (gift) tersebut dan potensi untuk
menggunakannya.
Meski pada dasarnya tiap manusia dilahirkan dengan potensi-potensi
kecerdasan tersebut, seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, lingkungan
sangat berpengaruh dalam perkembangan anak dan bahkan dapat menjadi
hambatan yaitu menjadikan kesempatan perkembangan kecerdasan tersebut
semakin berkurang dengan memacung kreativitas (Fariha, 2011). Dalam hal ini
lingkungan dikatakan sebagai faktor yang dapat menjadi hambatan dalam
kreativitas karena sering kali tidak adanya kesadaran orang dewasa baik orang tua
maupun pembimbing mengenai dampak respon terhadap anak ketika melakukan
atau menyelesaikan sesuatu.
Kreativitas seringkali diaosiasikan dengan aktivitas artistik, dalam
buku Psikologi Seni menjelaskan bahwa konsep tentang kreativitas memiliki
relevansi yang sangat luas/umum, terutama dalam disiplin ilmu psikologi.
Misalnya, kreativitas seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang artistik, agung,
cerdas, di luar kebiasaan, di luar hal-hal umum, lain dari yang lain, sulit dipahami,
dan lain-lain. Padahal bagaimanapun, kreativitas hadir dalam bentuk-bentuk yang
sangat sederhana seperti misalnya mencari dan menemukan jalan keluar dari suatu
masalah yang manusia hadapi sehari-hari; seperti ketika seseorang kehabisan
bensin di tengah perjalanan, ia harus memikirkan bagaimana agar ia dapat sampai
ke tempat tujuannya, hal ini membutuhkan kreativitas walaupun jika
dibandingkan dengan banyak pandangan umum, hal ini sangat sederhana. Atau
misalnya untuk contoh yang terjadi pada anak-anak, anak-anak tidak ingin
menghabiskan makanannya dan sengaja menjatuhkannya ke lantai agar anak tidak
harus memakannya, atau ketika anak ingin bermain lintangan laser, anak akan
membentangkan benang yang dibentangkan banyak dan rumit lalu berpura-pura
melewati tanpa menyentuh benang-benang tersebut, dan lain sebagainya.
Istilah kreativitas bersumber dari kata dalam bahasa Inggris yaitu to
create yang dapat ditejemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah mencipta,
yang berarti menciptakan atau membuat sesuatu yang berbeda (bentuk, susunan,
gaya, dan sebagainya) dengan yang telah lazim diketahui orang banyak.
Menciptakan dalam hal ini adalah membuat sesuatu yang sekaligus merupakan
Universitas Kristen Petra
27
pembaharuan tanpa atau dengan mengubah fungsi pokok dari sesuatu yang
diciptakan atau dibuat itu. Kerativitas adalah kemampuan mencipta secara efektif,
atau didefinisikan juga sebagai alat utama untuk mengembangkan inovasi (Irma
Damajanti, 2006).
Meskipun anak memiliki kecerdasan majemuk yang cukup tinggi, hal
itu tidak dapat menjamin keberbakatan anak dari kecerdasan tersebut jika
lingkungan mempersempit perkembangan kreativitas anak dalam proses
pertumbuhannya. Hal ini disebabkan karena kreativitas yang merupakan
kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan baru dalam pemecahan masalah
juga termasuk kemampuan mencari dan menemukan hubungan-hubungan atau
unsur-unsur kecerdasan yang sebenarnya ia miliki.
Salah satu cara mengembangkan kreativitas dalam adalah
menggambar, dalam jurnal Estetika dan Tipologi Gambar Anak-Anak Sekolah
Dasar dikatakan bahwa kegiatan menggambar yang dilakukan anak-anak sama
seperti berkomunikasi, bebas dan jujur, bahkan ditegaskan bahwa menggambar
adalah kegiatan naluriah (Kustiawan, 2012). Menggambar bukan hanya
mengembangkan potensi kreatif namun juga sebagai ekspresi, bahkan ekspresi
yang kuat karena merupakan kegiatan naluriah.
Kematangan merupakan pendorong kemampuan manusia. Dalam
proses perkembangan anak, indera anak perlahan dapat difungsikan. Ketika
tangan anak sudah mulai berfungsi, anak mulai memfungsikan tangan tersebut
biasanya dengan memasukan ke dalam mulut apa saja benda yang bisa diraihnya,
kemudian anak juga mengetuk-ngetukan benda yang dipegangnya hanya untuk
mendengarkan suaranya, hal ini menimbulkan kesadaran adanya hubungan antara
gerak tangannya dengan apa yang didengarnya, dan pada tahapan yang lebih
lanjut adalah latihan koordinasi antara pengelihatan dengan gerak otot lengan dan
tangannya ketika anak melakukan kegiatan mencoret-coret (Jajang, 1992).
Schobinger (1987) menyatakan “Tangan, seperti organ-organ suara,
dengan setia menyatakan buah pikiran ..., tidak ada yang menghambat kita untuk
menganggap bahwa bahasa dan keterampilan teknis saling bergantung satu sama
lain sepanjang perkembangan manusia”. Tangan manusia yang semakin terampil
mampu menggambarkan citra dalam imajinasinya sehingga mampu menjelaskan
Universitas Kristen Petra
28
apa saja yang ada di pikirannya, perasaannya, maupun impian-impiannya. Gambar
bukanlah sekadar rekaman kenyataan atau perwakilan kenyataan, ia merupakan
proses pemilihan, pemikiran, perasaan dan penciptaan. Gambar sudah menjadi
tanda, karenanya membawakan suatu pesan atau makna (Suryana, 2009).
Gambar 2.13. Pendidik Mendorong Potensi Kreatif Anak
Sumber: https://www.edunews.id/edunews/pendidikan/pemko-dan-pemkab-
ambil-alih-kewenangan-pendidikan-paud/
Karena menggambar merupakan kegiatan berekspresi yang naluriah
bagi anak, sangat penting bagi lingkungan untuk dapat menciptakan kondisi yang
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan potensi kreatifnya.
Karena ketika anak untuk pertama kali memegang alat gambar, akan muncul
kesadaran bahwa mereka dapat membentuk sesuatu dan mulai menuangkan apa
yang ada dalam diri mereka. Jika lingkungan memberikan apresiasi, misalnya
memajang hasil karya, anak akan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan
merupakan hal yang positif. Sebaliknya, bila yang pertama anak dapatkan adalah
hardikan, pengalaman ini bisa masuk ke alam bawah sadarnya padahal ini
merupakan masa yang sangat kritis pada anak untuk mengembangkan
kemampuannya. Pada mulanya kegiatan menggambar adalah untuk merefleksikan
apa yang ada di dalam pemikiran anak, namun selanjutnya menggambar juga
Universitas Kristen Petra
29
dapat menjadi terapi bagi anak ketika anak mampu mengekspresikan perasaan
cemas, kesihan, kebahagiaan, atau apapun melalui gambar (Fariha, 2011).
Gambar 2.14. Apresiasi dengan Kegiatan Menceritakan Karya di DCRB
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.15. Dunia Bermain Anak
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Universitas Kristen Petra
30
2.1.3. Anak dengan Kebutuhan Khusus
Menurut Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini,
anak-anak yang dikatakan berkebutuhan khusus ialah mereka yang mengalami
gangguan/hambatan dalam proses perkembangannya, baik dalam aspek kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Beberapa gangguan tersebut diantaranya: retardasi
atau keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan emosi atau perilaku,
gangguan bicara dan bahasa, gangguan pendengaran, gangguan pengelihatan,
gangguan fisik, serta keberbakatan. Adanya gangguan atau hambatan ini membuat
individu yang mengalaminya memiliki berbagai kebutuhan khusus baik dalam
bentuk dukungan sosial, bantual fasilitas, pendidikan dan latihan tertentu untuk
dapat menjalani kehidupannya seperti orang-orang lain yang tidak mengalami
gangguan atau hambatan ini.
Ada banyak istilah untuk mendeskripsikan mengenai gangguan atau
hambatan ini, salah satu istulah yang semakin populer digunakan adalah difable,
yang merupakan kepanjangan dari different able people. Dr. Wiwin Hendriani
(2016) menjelaskan bahwa dalam istilah ini, yang lebih disoroti adalah mengenai
“perbedaan kemampuan” yang dimiliki individu berkebutuhan khsus, mengingat
dengan kemampuan yang berbeda tersebut mereka masih dapat melakukan
berbagai aktivitas dengan cukup baik. Istilah ini memberikan pemaknaan dan
pemahaman bahwa kondisi yang dialami oleh seseorang difabel bukanlah suatu
hambatan atau penghalangan bagi mereka untuk terus berkarya di lingkungannya.
Universitas Kristen Petra
31
Gambar 2.16. Anak Bekebutuhan Khusus
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam buku Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
yang membahas lebih spesifik mengenai Perkembangan dan Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khsus menjabarkan beberapa karakteristik perkembangan anak
berkebutuhan khusus, diantaranya:
Gambar 2.17. Anak Tunanetra
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Tunanetra atau dalam literatur berbahasa Inggris lebih dikenal sebagai
visual impairment, yaitu suatu gangguan atau hambatan atau keterbatasan pada
Universitas Kristen Petra
32
indra pengelihatan, yang meskipun telah dibantu oleh alat-alat tertentu, kelemahan
ini masih membawa pengaruh yang kurang baik dalam proses dan hasil
pendidikan penderitanya. Knoblauch dan Sorenson (dalam Hunt Marshall, 2005)
mengelompokan gangguan ini menjadi dua, yaitu kategori visual impairment yaitu
blindness atau kebutaan, dan juga low vision atau pengelihatan yang rendah atau
sebagian. Tidak semua penderita tunanetra menunjukkan karakteristik psikologis
atau perilaku yang sama, karena perkembangan karakteristik dan psikologis atau
perilaku mereka ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat gangguan
yang dialami dan juga faktor-faktor spesifik yang menyebabkan timbulnya
gangguan yang berlainan bagi masing-masing penderitanya (Hunt & Marshall,
2005). Kay Farrel (dalam Hunt & Marshall, 2005) menambahkan bahwa faktor
yang menyebabkan perbedaan karakteristik antar-penderita tunanetra yaitu
kesempatan belajar yang mereka dapatkan dan ada tidaknya jenis gangguan lain
yang mereka derita dalam waktu bersamaan.
Gambar 2.18. Anak Tunarungu
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Tunarungu merupakan penjelasan bagi seseorang yang menderita
gangguan pendengaran disebabkan oleh kerusakan fungsi dari sebagian atau
seluruh alat-alat pendengarannya yang di mana hal ini mengakibatkan
terhambatnya banyak aspek dalam kehidupan (Sastra Winata, 1977).
Terhambatnya banyak aspek dalam kehidupan yang dialami penderita gangguan
Universitas Kristen Petra
33
pendengaran ini disebabkan oleh munculnya hambatan dalam perkembangan
bahasa, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek
psikologis lain dari individu penderitanya. Meskipun seorang penderita belum
benar-benar mencapai tingkat gangguan yang akut dan masih dalam taraf sulit
mendengar, namun kondisi ini tetap menyebabkan munculnya kesulitan seseorang
yang bersangkutan dalam mengembangkan komponen-komponen yang diperlukan
dalam kemampuan berbahasanya (Hallahan dan Kauffman, 1994).
Gambar 2.19. Anak Tunadaksa
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Tunadaksa adalah seseorang yang menderita gangguan atau kelainan fisik,
atau dalam bahasa Inggris disebut physical disabilities. Menurut The Individuals
with Disabilities Education Act (IDEA), tunadaksa atau yang mereka beri istilah
orthopedically impaired memiliki pengaruh buruh terhadap kinerja proses
perkembangan belajar anak. Sebab istilah ini mencakup kerusakan-kerusakan
yang disebabkan oleh kelainan kongenital (ketiadaan beberapa bagian tubuh, dan
sebagainya), kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai penyakit
(misalnya poliomyelitis, tuberculosis (TBC) tulang, dan lain sebagainya), dan juga
kerusakan kerusakan yang diakibatkan berbagai hal lain (seperti amputasi,
Universitas Kristen Petra
34
terbakar, dan lain-lain) (Heward, 2003). Hallahan dan Kauffman (1988)
menjelaskan beberapa karakteristik psikologis dan perilaku anak dan remaja
dengan gangguan tunadaksa dengan membaginya dalam dua kategori yaitu secara
prestasi akademik dan karakteristik kepribadian. Beberapa anak yang mengalami
gangguan ini tetap berusaha mencapai tingkat yang tertinggi atau high-achieving,
biasanya mereka memiliki kapasitas intelektual yang tinggu, motivasi yang tinggi,
serta guru dan orangtua yang dengan khusus pengupayakan apa pun yang
dimungkinkan bagi perkembangan anak. Secara kepribadian, tidak ada dukungan
riset khusus bahwa terdapat suatu tipe kepribadian tertentu yang berkaitan dengan
ketidakmampuan fisik, anak-anak dengan keterbatasan fisik memiliki karakteristis
psikologis yang bervariasi, sangat beragam sebagaimana anak-anak yang tidak
mengalami gangguan fisik, dan mereka tampak responsif terhadap faktor-faktor
yang sama dengan yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak pada
umumnya. Bagaimana mereka beradaptasi dengan keterbatasan fisik mereka,
bagaimana mereka merespon situasi sosial-interpersonal, sangat bergantung pada
bagaimana orangtua, saudara, guru, teman sebaya, masyarakat dan lingkungan
bereaksi terhadap mereka.
Gambar 2.20. Anak Tunagrahita
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Tunagrahita adalah kondisi di mana seseorang memiliki retardasi atau
keterbelakangan mental. American Association on Mental Deficiency (AAMD)
Universitas Kristen Petra
35
yang merupakan suatu organisasi internasional yang secara spesifik
memperhatikan mengenai persoalan retardasi mental di seluruh dunia
mendefinisikan tunagrahita atau keterbelakangan mental sebagai suatu kondisi
yang dialami seseorang dengan fungsi intelektual umum yang secara signifikan
berada di bawah rata-rata, dan hal ini berkaitan dengan terjadinya gangguan
perilaku selama periode perkembangan. Penderita tunagrahita diklasifikasikan
dalam beberapa kategori berdasarkan kapasitas intelektualnya berdasarkan IQ
(Hardman, dkk., 2002). Dalam banyak hal, karakteristik penderita
keterbelakangan mental muncul sebagai manifestasi dari berbagai permasalahan
kognitif yang dialami, mengingat keterbelakangan mental juga didefinisikan
sebagai suatu kondisi di mana individu memiliki tingkat kemampuan kognitif
yang rendah (Hunt & Marshall, 2005). Aktivitas kognitif terdiri dari berbagai
proses yang demikian kompkes, proses ini terjadi pada tiap orang pada tiap
tingkatan usia, di tiap tempat, tiap saat dan hampir tidak pernah berhenti. Sebelum
seseorang berpikir mengenai sesuatu, baik belajar, mengingat, maupun berusaha
memecahkan permasalahan yang dihadapi, seseorang terlebih dahulu pasti akan
memperlihatkan setiap stimulus yang terkait fokus pilihannya. Dalam hal ini,
seseorang yang tidak mengalami ketebelakangan mental akan dapat memfokuskan
perhatian pada hal-hal tertentu yang relevan dengan masalah yang sedang
dipikirkan, melakukan seleksi agar untuk sementara materi-materi tertentu yang
relevan dengan masalah-masalah yang sedang mereka pikirkan, lalu melakukan
seleksi agar untuk sementara materi-materi yang tidak berkaitan tidak
mengganggu dan memecah konsentrasinya. Namun bagi penderita
keterbelakangan mental, memfokuskan perhatian pada suatu hal tertentu bukanlah
hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam proses memfokuskan terhadap pencarian
makna terhadap stimulus yang diterima, namun seringkali mereka tidak mampu
memahami arti dari hal yang diperhatikannya, maka kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap ingatannya mengenai berbagai hal yang ditemui di
lingkungan. Karena sulitnya atensi dalam pencarian makna, maka proses belajar
individu dengan keterbelakangan mental tidak dapat dilakukan seorang diri.
Mereka membutuhkan bantuan dari orang lain untuk mengarahkan langkah-
langkah yang harus mereka lakukan tahap demi tahap, satu persatu. Keberhasilan
Universitas Kristen Petra
36
mereka dalam mengingat pun tergantung pada metode yang digunakan orang lain
pada saat mendampinginya belajar atau pada cara menyampaikan sesuatu
padanya. Hal ini disebabkan karena penderita keterbelakangan mental tidak dapat
menemukan cara sendiri untuk dapat mengingat sesuatu dengan baik.
Gambar 2.21. Anak Tunalaras
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Tunalaras adalah definisi untuk menjelaskan seseorang yang menderita
gangguan emosi dan perilaku. Gangguan emosi dan perilaku dikenal dengan
istilah Emotional and Behavioral Disorder (EBD). Menurut Dr. Wiwin Hendriani
(2016), gangguan ini menyebabkan anak-anak yang seharusnya menjalani masa
kecil dengan menghabiskan waktu bersama teman dan mempelajari banyak hal
baru di lingkungan menjadi terhambat. Istilah gangguan emosi dan perilaku tidak
terlepas dari konstruk sosial, beberapa anak penderitanya menunjukkan reaksi
yang tidak terkontrol, agresif, bahkan selalu berusaha untuk menyerang orang
lain. Sebagian yang lain menunjukkan sikap yang sangat pemalu, menarik diri
dari lingkungannya, dan tampak hidup dalam dunianya sendiri.
Universitas Kristen Petra
37
Gambar 2.22. Pendampingan Belajar Anak Berkebutuhan Khusus
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
2.1.4. Anak dengan Gangguan Emosi (Tunalaras)
Kesehatan jiwa merupakan satu hal yang tidak kalah penting dari
kesehatan fisik dan sangat berpengaruh pada kehidupan kemasayarakatan baik
pada masa kini maupun juga pada masa yang akan datang. Di saat yang
bersamaan, zaman yang terus berkembang diiringi kemajuan ilmu pengetahuan
dan permasalahan yang semkain rumit turut membuat interpretasi dalam
memaknai segala hal yang mampu terindrai dalam keseharian menjadi kian
kompleks.
Persoalan memaknai kehidupan, seiring bertambahanya usia dan
kecerdasan akan selalu berkembang pada tiap tahapan kehidupan. Dimulai dari
tahap usia yang paling dini bahkan sejak lahir, secara sederhana anak-anak telah
memulai berusaha menemukan arti alam raya pada satu tahap, dan langkah demi
langkah pertanyaan-pertanyaan baru tentang makna mulai muncul. Mereka akan
terus mempertanyakan nilai-nilai yang mereka anut, memandang berbagai
Universitas Kristen Petra
38
ketidakkonsistenan dalam dunianya sendiri dan mencari kesimpulan dari nilai-
nilai penghayatannya sendiri (Corey, 2009).
Dengan semakin kompleksnya permasalahan kehidupan dan
pemaknaan tersebut turut menyebabkan kondisi kesehatan jiwa manusia berada
dalam posisi “rentan” ketika menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan emosi
dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh banyak faktor (Tridjata, 2014).
Tidak terkecuali anak, sebab anak telah mengalami proses penginderaan dan
pemaknaan sejak menghadapi berbagai pengalaman dalam hidupnya.
Sebagai makhluk sosial, seorang anak tidak terlepas dari
lingkungannya. Interaksi dengan keluarga, teman sebaya, guru, masyarakat turut
menjadi porsi yang harus dilewati seorang anak. Monks (2006) menjelaskan
bahwa memang secara teoristis, perkembangan seorang anak tidak hanya
dipengaruhi oleh aspek genetik, tetapi aspek lingkungan juga memiliki perananan
yang sangat besar. Dalam proses perkembangan sosial, semakin bertambah usia
anak memiliki lingkaran sosial yang semakin luas, perkembangan sosial mulai
jelas, setelah keluarga, anak terlihat mulai aktif berinteraksi dengan teman
sebayanya, dan seterusnya.
Gambar 2.23. Anak Bermain dengan Teman Sebaya
Sumber: Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Universitas Kristen Petra
39
Dalan Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
dijelaskan, poin dari perkembangan sosial adalah tercapainya kematangan dalam
hubungan sosial, atau dapat diartikan sebagai proses belajar anak dalam
menyesuaikan diri terhadap norma-norma, moral, maupun tradisi yang ada di
lingkungan sosialnya. Perkembangan sosial ini sangat dipengaruhi oleh proses
perlakuan atau bimbingan orangtua terhadap anaknya dalam mengenalkan
berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma dalam kehidupan
bermasyarakat.
Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri sosial
anak prasekolah (3-6 tahun) yaitu yang pertama, pada umumnya anak pada
tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat. Pada umumnya mereka dapat cepat
menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat
yang dipilih biasanya yang sesama jenis kelamin, lalu berkembang menjadi
memilih sahabat dengan jenis kelamin yang berbeda. Yang kedua, kelompok
bermain cenderung kecil dan tidak teroganisasi secara baik oleh karena itu
kelompok tersebut akan cepat berganti-ganti. Yang ketiga, anak lebih mudah
bermain dengan anak yang lebih besar.
Adapun menurut Hurlock (1980), ciri-ciri perilaku sosial anak
prasekolah dikategorikan menjadi dua, yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku
anti sosial. Pola perilaku sosial meliputi meniru dengan tujuan untuk menjadi
sama dengan kelompok, atau menjadi sama seperti sikap atau perilaku orang yang
mereka kagumi, juga pola perilaku persaingan yaitu keinginan untuk mengungguli
dan mengalahkan orang-orang lain. Berikutnya ada bekerjasama, simpati, empati,
inginnya mendapat dukungan sosial, berbagi, dan perilaku akrab. Sedangkan
perilaku anti sosial meliputi negativisme yaitu melawan otoritas orang yang lebih
dewasa, agresif yaitu menunjukkan peningkatan perilaku agerasif seiring
bertambahnya usia. Perilaku berkuasa atau ingin merajai, perilaku memikirkan
diri sendiri, memikirkan diri sendiri, merusak, pertentangan seks, dan prasangka.
Dalam jurnal Muatan Terapeutik dalam Ragam Gaya Ekspresi Seni
Lukis Penyandang Psikosis, Yasraf menjelaskan bahwa perubahan emosi yang
terjadi merupakan efek dari berbagai faktor tekanan mental bagi sebagian individu
Universitas Kristen Petra
40
yang tidak dapat beradapatasi dalam mengatasi tekanan mental tersebut, yang
kemudian menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan emosi. Pada
umumnya mereka yang mengalami gangguan emosi baik dalam taraf ringan
hingga berat akan menimbulkan efek dalam kehidupannya, baik kecil maupun
besar.
Jurnal Pendidikan Khusus (JPK) Aini Mahabbati menuliskan bahwa
anak dengan gangguan emosi memiliki karakteristik yang kompleks. Ciri-ciri
perilakunya seringkali tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain yang sebaya
dengannya, seperti sangat aktif atau banyak bergerak, menganggu teman
sepermainan, melawan bila diberitahu, dan ada kalanya menjadi penyendiri.
Bagi orang tua dan guru pada umumnya, perilaku tersebut dianggap
wajar dan tidak berbeda bila diberi label nakal atau pembangkang. Padahal
menurut menurut Ani Siti Anisah dalam jurnal Gangguan Perilaku pada Anak dan
Implikasinya Terhadap Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, gangguan emosi
yang menjadi gangguan perilaku didefinisikan sebagai perilaku berulang atau pola
menetap yang melanggar hak-hak orang lain, atau melanggar norma-norma,
standar-standar sosial yang berlaku dalam lingkungannya dan atau melanggar
aturan dalam masyarakatnya.
Gambar 2.24. Ilustrasi Anak Temper Tantrum
Sumber: http://www.tribunnews.com/internasional/2016/07/19/kesal-dengan-
anak-tantrum-di-kedainya-perempuan-ini-dihujat-netizen
Universitas Kristen Petra
41
Karena ciri-ciri perilaku seringkali tidak jauh berbeda dari anak-anak
sebaya lain, dalam batasan tertentu ciri-ciri perilaku dapat ditolerir sebagai
manifestasi yang wajar berdasarkan usia anak. Hal ini didukung oleh pendapat
Heward (2003) yang mengatakan bahwa membuat definisi mengenai gangguan
emosi dan perilaku ini memang bukanlah hal yang mudah dilakukan, beberapa
alasannya antara lain, pertama karena istilah gangguan emosi dan perilaku pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, dalam arti belum semua
kelompok masyarakat menyepakati apa yang digolongkan sebagai ‘perilaku
bermasalah’ di lingkungan sosialnya. Yang kedua, adanya perbedaan pandangan
dalam berbagai teori yang membahas tentang gangguan emosional, juga karena
antara teori satu dan teori lain belum banyak dilakukan dialog untuk merumuskan
pengertian tersebut menjadi satu pemahaman yang sama. Yang ketiga adalah
karena adanya perbedaan norma sosial dan harapan tentang perilaku masyarakat
pada etnis, dan juga budaya yang berlainan. Dan yang terakhir karena pada
berbagai kasus, gangguan emosi dan perilaku ini muncul bersamaan dengan jenis-
jenis gangguan perkembangan lain, seperti keterbelakangan mental ataupun
kesulitan belajar, sehingga membuat semakin rumitnya untuk memastikan bahwa
perilaku dan reaksi emosional yang tidak tepat dari penderitanya merupakan
akibat atau justru penyebab dari munculnya gangguan lain.
Karena tidak sederhananya membedakan maka perlu sangat
diperhatikan jika ada tingkat emosi dan perilaku yang berbeda. Sebab jika
gangguan emosi dibiarkan, pada akhirnya kesulitan-kesulitan perkembangan yang
dialami oleh anak semakin kompleks dan sulit teridentifikasi, bisa tidak teratasi
dan semakin parah atas dampak berkelanjutan yang menyebabkan kerusakan
signifikan pada fungsi sosial, akademis, bahkan menjadi perilaku menetap ketika
dewasa (Anisah, 2015). Ungkapan tersebut diperkuat dalam jurnal yang ditulis Rr.
Indah Ria Sulistya Rini (2010) yang mengungkapkan bahwa kasus ini lebih
banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dan banyak pemuda dengan gangguan
perilaku sudah dimulai sejak masa anak-anak, namun menimbulkan akibat jangka
panjang pada masa remaja dan dewasa yang biasanya cenderung berat dan
menetap.
Universitas Kristen Petra
42
Menurut Heward (2003), meski banyaknya perdebatan mengenai
pemaknaan dan pendefinisian tersebut, setidaknya definisi yang dikemukakan
oleh Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) dan Council for Children
with Behavioral Disorders (CCBD) dapat menjadi acuan. IDEA mengungkapkan
beberapa kriteria untuk mendeteksi individu yang mengalami gangguan emosi dan
perilaku, yaitu merujuk pada adanya satu atau lebih karakteristik di bawah ini dari
dalam diri individu (penderita gangguan emosi dan perilaku) dalam waktu yang
lama, dan setiap kondisi atau tingkatan yang tampak akan membawa konsekuensi
atau pengaruh terhadap hasil belajar atau performance pendidikan mereka:
1. Ketidakmampuan belajar yang tidak dapat dijelaskan dari faktor intelektual,
kemampuan sensori (indra), maupun kesehatan.
2. Ketidakmampuan untuk membangun dan memelihara hubungan interpersonal
yang memuaskan dengan teman sebaya maupun guru di sekolah.
3. Munculnya tipe-tipe perilaku maupun perasaan yang tidak tepat dalam situasi
lingkungan sosial yang normal.
4. Kondisi mood yang secara umum tampak tidak bahagia atau menunjukkan
tanda-tanda depresi.
5. Adanya kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau
ketakutan yang terkait dengan permasalahan personal maupun problem-
problem sekolah.
Hallahan & Kauffman (1988) menjelaskan subgangguan dari
gangguan emosi dan perilaku secara umum, yaitu:
1. Conduct Disorder
Ciri-ciri individu dalam kategori ini antara lain adalah memunculkan sikap
dan perilaku yang tidak patuh, destruktif, iri atau cemburu yang sangat
berlebihan terhadap sesuatu, dan membuat keributan di berbagai kesempatan.
Sementara karakteristik sejarah hidup individu yang mengalami conduct
disorder adalah adanya kecenderungan untuk tidak menyukai atau menentang
figur-figur otoritas bahkan sejak masa anak-anak, dan adanya perasaan
bersalah yang tidak adekuat.
Universitas Kristen Petra
43
2. Anxiety-Withdrawl
Gangguan ini dicirikan oleh inferioritas yang berlebihan, kebimbangan
terhadap diri sendiri, perasaan cemas yang terus-menerus, menarik diri dari
lingkungan, depresi, dan menampakakkan ekspresi yang tidak bahagia dan
penuh dengan rasa bersalah.
3. Immaturity
Ketidakmatangan yang dialami individu pada umumnya diasosiasikan dengan
rentang perhatian yang terbatas terhadap berbagai objek yang ada di
lingkungannya, sikap yang kikuk atau canggung, pasif, sering melamun, dan
lebih menyukai aktivitas bermain dengan anak-anak yang usianya lebih muda
sehingga interaksi yang terbatas dengan teman sebaya tersebut membuat
perilaku mereka juga cenderung kekanak-kanakan.
4. Socialized Aggression
Individu dengan jenis gangguan ini memiliki ciri-ciri seperti: sikap dan
perilaku yang loyal terhadap berbagai perkumpulan yang bersifat negatif,
aktif dalam kelompok-kelompok anak nakal, mencuri, sering berkelahi dan
melakukan tindakan destruktif yang pada akhirnya melanggar hukum atau
norma yang berlaku di masyarakatnya.
Walker (dalam Heward, 2003) menjelaskan mengenai pola perilaku
yang paling umum muncul pada penderita gangguan emosi dan perilaku adalah
antisosial, atau yang biasanya disebut sebagai externalizing behaviors. Misalnya
ketika anak berada di dalam kelas, anak dengan externalizing behaviors ini antara
lain akan menunjukkan perilaku; sering berdiri dan meninggalkan bangku atau
tempat duduknya ketika pelajaran berlangsung, berbicara keras, berteriak, ataupun
membuat gaduh suasana. Menganggu teman, memukul, berkelahi. Tidak
memperhatikan guru, sering mengutarakan protes, kritik, ataupun ketidaksetujuan
terhadap berbagai hal seperti pada guru, pada teman, dan sebagainya. Banyak
memunculkan argumentasi dengan cara maupun isi yang cenderung bersifat
ekstrim. Mencuri, berbohong, merusak properti kelas. Menunjukkan tanda-tanda
temper tantrum. Tidak terlibat dalam berbagai aktivitas yang banyak dilakukan
oleh teman sebayanya, menyendiri, tidak merespon terhadap koreksi maupun
Universitas Kristen Petra
44
teguran yang diberikan oleh guru atau lingkungannya, tidak melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya dan bertindak sesuatu yang bertentangan dengan tujuan
bersama.
Gambar 2.25. Perilaku Externalizing Behaviors
Sumber: https://www.pendidikan-anak.com/2016/12/mengenal-lebih-dekat-
dengan-institusi.html
Selain externalizing behaviors, ada pula istilah internalizing behaviors
yaitu pola perilaku yang ditandai dengan individu yang menarik diri atau tidak
mau terlibat dengan aktivitas bersama dengan orang lain. Mereka seperti hidup
dalam dunianya sendiri yang sangat berbeda dengan lingkungan di mana
kehidupan nyata mereka berada, termasuk berbeda dengan kebiasaan orang lain
pada umumnya, hal ini menyebabkan sedikitnya interaksi sosial yang dilakukan
oleh penderita. Heward (2003) menuliskan, meskipun tidak menunjukkan perilaku
yang melawan, mengganggu ataupun kecenderungan agresivitas lain yang tampak
pada perilaku externalizing behaviors atau antisosial, namun perilaku penarikan
diri juga menimbulkan hambatan yang serius terhadap perkembangan individu
yang bersangkutan sebab pola perilaku internalizing behaviors mengakibatkan
anak-anak sangat jarang bermain dengan teman-teman sebayanya. Sikapnya yang
Universitas Kristen Petra
45
selalu menarik diri dan menyendiri membuat keterampilan sosial yang dimilikinya
tidak berkembang. Bukan hanya tidak mampu menjalin pertemanan atau tidak
mengerti harus bagaimana ketika berinteraksi atau berada di lingkungan bersama
orang-orang lain, mereka juga terjebak dalam mimpi-mimpi dan fantasinya.
Bahkan tidak sedikit dari anak dengan pola perilaku internalizing behaviors ini
menunjukkan sikap ketakutan yang tidak beralasan terhadap objek-objek tertentu,
mengeluh bahwa mereka sedang disakiti, hingga akhirnya mengalami depresi
yang berkepanjangan.
Gambar 2.26. Perilaku Internalizing Behaviors
Sumber: https://www.kompasiana.com/tautawtau/sisi-lain-para-pendiam-dan-
penyendiri_54f33c39745513982b6c6ce0
Jika dibandingan dengan anak yang tidak mengalami gangguan emosi
dan perilaku, individu yang menderita gangguan ini menunjukkan skor IQ yang
setara dengan anak-anak yang tergolong slow learner atau keterbelakangan mental
kategori ringan. Penelitian yang dilakukan oleh Valdes (Heward, 2003) terhadap
86 siswa yang mengalami gangguan emosi dan perilaku menunjukkan hal
tersebut, yaitu IQ rata-rata yang berada di bawah angka 90, bahkan beberapa
diantaranya berada pada kisaran 70-80. Sejumlah siswa yang mengalami
Universitas Kristen Petra
46
gangguan emosi dan perilaku menunjukkan prestasi akademik yang satu atau
tingkat di bawah rata-rata siswa lain di kelasnya, juga termasuk sebab abhwa
beberapa di antara mereka mengalami gangguan dalam hal membaca dan
kemampuan matematika. Data lain yang mereka peroleh adalah bahwa siswa
dengan gangguan emosi dan perilaku juga mengalami kesulitan belajar dan atau
kelambatan dalam perkembangan bahasa.
Kasus gangguan emosi terjadi akibat berbagai faktor yang kompleks
dan saling berkaitan seperti variabel-variabel psikologis dan biologis yang telah
dihubungkan dengan gangguan ini, meskipun variabel tersebut masih sulit dirinci.
Juga pada banyak kasus, terdapat kaitan antara interaksi genetik atau faktor
neurologis dengan lingkungan yang disfungsional (Kearney, 2003).
Pada umumnya, anak yang mengalami gangguan perilaku pada masa
kecilnya seringkali mengalami gangguan dalam hubungan sosial yang disebabkan
oleh banyak faktor. Holocomb & Kashani (2011) mengatakan bahwa penderita
gangguan emosi cenderung tidak tepat dalam memperhitungkan kemampuannya
sendiri yang terkadang membuat meraka merasa superior, kurang tepat dalam
ekspetasi sosial, cenderung tidak mampu mengornasir pekerjaan sehari-hari dan
kehidupan selanjutnya menjadi sulit diprediksi. Cenderung salah memahami
maksud orang lain juga tidak toleran terhadap perbedaan ataupun kesalahan orang
lain. Suasana hati yang tidak stabil membuat mereka berprilaku tidak menentu.
Kemarahan yang tidak pada kondisinya juga merupakan ciri anak dengan
gangguan emosi, hasil hubungan negatif pada masa kecil yang dapat melekat
sepanjang hidupnya.
Anak-anak dengan gangguan emosi merasakan ketidaknyamanan
dengan situasi keluarga dan pola asuh yang mereka dapatkan sebagai keluarga
yang bagi mereka mengalami kekacauan. Hal dapat ini menyababkan mereka
kurang percaya diri di lingkungan sosial dan teman sebayanya dan cenderung
tidak peduli pada orang lain karena merasa adanya kesenjangan antara apa yang
mereka harapkan tentang diri mereka dan apa kenyataan pada diri mereka
(Holocomb & Kashani, 2011).
Universitas Kristen Petra
47
Gambar 2.27.
Ilustrasi Kekerasan Verbal: Salah Satu Penyebab Gangguan Emosi Anak
Sumber: https://www.cbsnews.com/news/report-child-neglect-makes-up-75-
percent-of-abuse-cases/
Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor biologis berperan dalam
gangguan emosi, namun di samping itu, kondisi keluarga juga merupakan faktor
dominan bagi terbentuknya gangguan ini. Tinjauan mengenai pola antara individu
dan keluarga perlu diperhatikan mengetahui banyaknya orang yang mengalami
gangguan emosi dan perilaku adalah mereka yang dulunya mengalami penolakan,
kekerasan, pelecehan seksual, kemiskinan dan lain sebagainya. Mc. Millen &
Rideout (1996) mengatakan berbagai faktor termasuk kekerasan fisik dan
kemiskinan merupakan masalah yang menetap pada keluarga tertentu dari
generasi ke generasi. Hal yang tersalurkan antar generasi tersebut menimbulkan
trauma yang dapat mengarah ke tindakan bunuh diri, atau indsiden-insiden lain
yang menyebabkan anggota keluarga berada pada kondisi disorganisasi dan
terganggu (Abrams, 1999).
Akibat dari kekerasan yang dirasakan anak, baik kekerasan fisik
maupun kekerasan psikis, dapat menjadi trauma yang berkepanjangan sehingga
anak tidak menikmati masa kecilnya, juga trauma tersebut bisa terbawa hingga
dewasa. Beberapa dampak misalnya adalah melakukan kekerasan, mental
terbentuk menjadi korban, kepercayaan diri yang rendah, perasaan tidak berguna,
bersikap agresif, sulit mengendalikan emosi, sulit berkonsentrasi, gangguan
Universitas Kristen Petra
48
kesehatan dan pertumbuhan, dan kecerdasan sulit berkembang. Dampak dari
kekerasan fisik maupun psikis sama buruknya dalam perkembangan mental anak.
Anak-anak yang mengalami kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang
bermasalah dengan perilakunya, oleh karena itu masalah ini merupakan masalah
yang serius dan tidak bisa dibiarkan begitu saja (Retno, 2017).
2.1.5. Analisis Semiotika dalam Karya Gambar Anak
Tanda-tanda (sign) adalah dasar komunikasi manusia (Littlejohn,
1996). Dengan perantara tanda, manusia berkomunikasi dengan sesamanya.
Dalam buku Semiotika Komunikasi menjelaskan bahwa semiotika merupakan
suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda, atau lebih jelasnya lagi
semiotika merupakan suatu disiplin yang menyelidiki segala bentuk komunikasi
yang menggunakan sarana sign ‘tanda-tanda’ berdasarkan pada sign system (code)
‘sistem tanda’.
Charles Sanders Peirce dalam hal ini mengatakan bahwa semiotika
setara dengan logika, sebab menurutnya jagat raya terdiri dari tanda-tanda dan
tanda-tanda tersebut merupakan unsur komunikasi yang berfungsi untuk
mengaktifkan daya pikir manusia.
Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) dan tidak seperti semiotika
komunikasi, dalam konteks semiotika signifikasi ini, memaknai hal-hal tidak
berarti untuk selalu mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
objek tidak hanya membawa informasi atau dalam hal mana objek itu hendak
berkomunikasi namun juga menyadari sistem terstruktur dari adanya tanda
(Barthes, 1988).
Berbagai definisi yang disimpulkan para ahli adalah mereka melihat
semiotika sebagai ilmu yang berhubungan dengan tanda. Kata “semiotika” sendiri
berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan van
Zoest, 1996) atau seme yang berarti “penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999).
Tanda selalu menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, makna
(meaning) merupakan hubungan antara suatu objek dan tanda (Littlejohn, 1996).
Pines dalam Berger (2000) berkata “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah
Universitas Kristen Petra
49
mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan
‘membawanya pada sebuah kesadaran’”.
Dalam buku Semiotika Komunikasi, Alex Sobur menjelaskan bahwa
sebuah teks, entah surat cinta atau surat resmi negara, entah makalah atau iklan,
puisi atau cerita pendek, juga gambar entah itu kartun atau poster politik, komik
atau logo, segala hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam akivitas
penanda yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda untuk
menghubungkan teks dan interpretasi. Alex Sobur juga merumuskan semiotika
sebagai hubungan antar lima istilah: S ( s, i, e, r, c ). S adalah semiotic relation
(hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk
effect (pengaruh); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau
condition (kondisi). Begitulah jalinan tanda dalam semiotika secara sistematik
menjelaskan esensi, ciri, bentuk, dan proses signifikasi yang menyertainya.
Roland Barthes, seorang pengembang teori semiotika menjabarkan
tentang cara kerja semiotika yaitu melihat pesan sebagai cara penuturan pesan,
bukan sebagai objek pesan. Misalnya mitos tentang pohon, bukan berarti
menjelaskan tentang pohon sebagai objek, namun menjelaskan tentang makna
pohon secara luas baik meliputi psikologi, sakral, pelestarian, atau dengan kata
lain mengadopsi kata pohon untuk suatu jenis makna yang disertai dengan
perangkat literatur yang mendukung, atau gambaran-gambaran tertentu yang
secara tidak langsung telah ditemukan dan digunakan oleh masyarakat.
Dalam teori semiotika Roland Barthes digunakan istilah Denotasi dan
Konotasi. Denotasi merupakan makna yang didasarkan atas penjukan yang lugas,
langsung dan harafiah. Sedangkan Konotasi merupakan makna kultural atau
emosional yang melekat pada suatu subjek tertentu. Seperti pada contoh yang
dijabarkan sebelumnya, pohon merupakan makna konotasi sedangkan sakral
merupakan makna konotasi. Berikut peta tanda Roland Barthes yang digambarkan
buku Introducing Semiotics:
Universitas Kristen Petra
50
Tabel 2.1. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Semiotika Komunikasi
Dari peta tersebut terlihat bahwa tanda denotasi (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2), tetapi pada saat yang bersamaan tanda denotasi juga
merupakan tanda konotasi (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin. Jadi dalam konsep Barthes,
tanda konotasi tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
tanda denotasi yang menandai keberadaannya. Sebagai pengembang teori
semiotika Saussure, inilah penyempurnaan teori sebelumnya yang hanya berhenti
pada tataran denotasi (Cobley dan Jansz, 1999).
Tiap penjelasan tanda selalu memiliki arti (meaning), tetapi arti
tersebut belum tentu dapat diterima langsung, maka untuk bisa dipahami dan
diterima secara masuk akal, arti tersebut memerlukan interpretasi dengan
melakukan proses signifikasi. Dengan demikian proses pemaknaan tersebut
tergolong dalam semiotika (Barthes, 1972). Karya gambar anak, seperti halnya
teks maupun karya visual lain juga berisi tanda-tanda yang tidak terlepas dari
Universitas Kristen Petra
51
pemaknaan. Tanda-tanda dimaknai kaitannya dengan hubungan antara yang
menandai dan ditandai.
Gambar 2.28. Contoh Gambar Anak Penuh Tanda
Sumber: Buku Seni, Melukis dan Anak Autis
Dalam gambaran anak, simbol merupakan elemen yang sangat penting
yang membuat gambaran anak dapat diinterpretasikan dengan baik. Melalui
simbol yang ada pada gambaran anak, akan tampak hubungan yang terbangun
antara gambar anak dengan kepribadiannya.
2.1.6. Seni dalam Konteks Psikologi Anak
Gambaran dapat digunakan sebagai media untuk mengenal
kepribadian anak. Davido (2012) mengatakan bahwa karya gambar bukan hanya
sekadar sebuah permainan anak ataupun sebuah mimpi. Karya gambar anak juga
merupakan kenyataan sekaligus. Menggambar adalah sebuah permainan bagi anak
selama tidak memaksa anak melakukannya. Selain itu juga, menggambar
mengunkgapkan banyak kenyataan dalam kehidupan. Gambaran yang dihasilkan
anak merupakan sebuah mimpi di atas sebuah media, di mana muncul keinginan-
Universitas Kristen Petra
52
keinginan baik yang disadari maupun tidak. Karya gambar dapat dikatakan
sebagai sebuah kenyataan dari pikiran anak yang pada momen tertentu
mendorongnya membuat goresan itu.
Davidu juga mennyatakan bahwa dalam psikologi anak, berdasarkan
penelitian yang berkembang pada saat ini menjelaskan kegiatan menggambar anak
bermanfaat untuk berbagai hal; yang dapat ditinjau dari proses menggambar
maupun hasil karya gambarnya, yaitu yang pertama untuk menguji kematangan
pikiran di mana dari sebuah goresan dan simbol-simbol yang dibuat, tingkat
kecerdasan seorang anak dapat diukur. Yang kedua, sebagai media komunikasi di
mana gambaran tersebut dapat memperbaiki kekurangan yang mungkin ada pada
kemahiran berbahasa anak, dengan lukisan dapat dijelaskan apa yang sedang
dialami, dirasakan atau dipikirkan anak yang mungkin tidak dapat dijelaskan
melalui verbal ataupun tulisan. Yang ketiga, sebagai proses untuk mengeksplorasi
perasaan anak. Yang terakhir adalah untuk pengetahuan tentang tubuh dan
lingkungan sekitarnya. Karya gambar yang diciptakan anak tidak hanya
menunjukkan tingkat kecerdasan namun juga melihat keseimbangan perasaan
anak-anak yang sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka beradaptasi.
2.1.7. Anak dalam Konteks Psikologi Seni
Dalam dunia psikologi dikenal istilah psikoanalisis, yaitu sebuah
metode di mana psikolog terlatih atau psikoterapis mencoba untuk mencari akar
penyebab dari tindakan atau perilaku seorang individu. Pada umumnya kegiatan
menganalisis ini dilakukan dengan melakukan pertemuan dengan pasien di mana
pasien tersebut akan menceritakan kenangan-kenangan tertentu dalam peristiwa
kehidupannya; sebuah proses yang dikenal dengan istilah asosiasi bebas (free
association), dengan proses ini praktisi psikoanalisis berupaya untuk
mendapatkan dan menggunakan informasi-informasi tersebut bersama observasi
lainnya untuk memformulasikan penanganan tertentu bagi penderita gangguan
mental atau neurosis atau ketakutan yang irasional.
Universitas Kristen Petra
53
Gambar 2.29. Sigmun Freud
Sumber: Psikologi Seni
Psikoanalisis untuk pertama kali dikembangkan di Wina pada tahun
1980-an oleh Sigmund Freud di mana dirinya merupakan seorang ahli saraf yang
memiliki ketertarikan untuk menemukan suatu penanganan yang efektif bagi
penderita gejala neurosis. Freud yakin bahwa tindakan dan perilaku individu saat
ini dipicu oleh trauma kejiwaan di masa sebelumnya, maka dari itu Freud
menyimpulkan bahwa pikiran manusia itu lebih rumit daripada anggapan yang
berkembang selama ini, dan kerumitan inilah yang pada akhirnya mendorong
manusia membentuk pemikiran-pemikiran yang tidak dapat diterima secara sosial,
atau bahkan membuat keputusan yang berbahaya.
Pendekatan psikoanalisis dalam seni selalu berkaitan dengan arti
ketidaksadaran (unconsciousness) dalam karya yang diciptakan. Metode ini
melibatkan tidak hanya hasil karya yang diciptakan namun juga pencipta karya itu
sendiri, maupun konteks budaya yang mengikatnya. Meski sejarah seni dan
sejarah psikoanalisis merupakan disiplin ilmu yang berbeda, namun keduanya
memiliki banyak kesamaan di mana dari kesamaan itu, kedua bidang tersebut
mampu memperlihatkan citraan dan makna simbolis dari suatu karya visual.
Psikoanalisis dalam seni merupakan sistem menyeluruh dalam
psikologi yang dikembangkan Freud secara betahap ketika menangani orang-
Universitas Kristen Petra
54
orang dengan masalah mental, dua diantara aspek psikoanalisis yaitu: pertama,
psikoanalisis berupaya menjelaskan bagaimana kepribadian manusia berkembang
dan bekerja, yang kedua yaitu psikoanlisis menyajikan teori mengenai cara
individu berfungsi dalam hubungan personal dan di dalam masyarakat. Dengan
psikoanalisis Freud menganalisis mekanisme ketidaksadaran.
Dalam pandangan Freud proses pembuatan karya seni memang
didorong oleh naluri sekaligus dikontrol dan dibentuk oleh fungsi-fungsi sintetis
ego, dalam memandang hal ini Freud juga menemukan kekuatan pikiran tak sadar,
dan kenyataan bahwa pemikiran sadar hanya merupakan sebuah bagian kecil dari
aktivitas mental manusia.
Sebab prinsip dasar dari psikoanalisis adalah bahwa perilaku manusia
merupakan hasil dari konflik antara kekuatan dorongan naluri (instinctual
drives/ID) bawah-sadar dan pengendalian serta pertahanan yang dihadapkan oleh
Super-ego dan Ego. Dorongan naluri (ID) menurut Freud merupakan naluri
primitif, bagian bawah-sadar dari kepribadian, bekerja dengan apa yang menurut
Freud sebagai “azas kesenangan” atau bekerja secara tidak rasional, bersifat
implusif, tanpa memikirkan akibatnya dan tanpa pertimbangan apakah hal tersebut
cukup realistis atau apakah tindakan tersebut secara moral dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan Superego adalah komponen kepribadian
tempat penyimpanan nilai-nilai luhur yang dimiliki seseorang, termasuk moral
atau sikap-sikap yang ditanamkan melalui proses sosialisasi dan konstruksi sosial
masyarakat. Pada dasarnya ia adalah “wakil masyarakat” atau yang mewakili
aspirasi masyarakat dalam diri seseorang di mana sementara Ego adalah
komponen kepribadian yang berperan sebagai wasit (atributor) atau pengendali
konflik antara ID dan Superego. Pekerjaannya adalah memilih suatu jenis
tindakan dan sekaligus mengendalikan dorongan-dorongan ID tanpa
mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan, dapat dikatakan Ego bersifat
kompromis. Menurut “azas realitas” Freud, Ego yang matang melepaskan
kesenangan sekarang demi terpenuhninya kepuasan pada waktu yang akan datang.
Universitas Kristen Petra
55
Gambar 2.30. Gagasan Freud: Pikiran Sebagai Gunung Es
Sumber: https://pt.wikipedia.org/wiki/Ficheiro:Structural-Iceberg.svg
Keinginan keinginan naluriah yang secara teratur mendesak untuk
keluar tidak selalu dapat dipenuhi secara langsung karena pengaruh pengendalian
yang dihadapkan oleh masyarakat. Dan karena itu, seseorang harus menemukan
alternatif, jalan tidak langsung bagi pemenuhan hasrat terpendam mereka. Jika
kekuatan naluri secara langsung keluar ke dalam saluran-saluran yang dapat
diterima secara sosial, orang tersebut dikatakan relatif sehat. Tapi jika kekuatan
tersebut dihalangi atau berbalik melawan dirinya maka ini merupakan tanda dari
timbulnya neurosis.
Sama seperti halnya dengan kreativitas, neurosis juga berasal dari
tanggapan terhadap konflik antara tekanan kekuatan naluri yang tidak biasa dan
tuntutan masyarakat yang menghalangi pemenuhan hasrat-hasrat naluriah
tersebut. Baik neurosis maupun kreativitas mencoba menyelesaikan konflik
tersebut, sebab penederita neurosis bereaksi terhadap konflik dengan membuat
mekanisme pertahanan yang menekan dan mengubah hasratnya namun hal ini
seringkali menghasilkan kepribadian yang realtif rapuh. Sedangkan seseorang
Universitas Kristen Petra
56
yang kreatif tidakberusaha menekan hasrat naluriah yang secara sosial tidak bisa
diterima; justu malah menghaluskannya. Dalam upaya menghaluskan
(sublimation), kekuatan yang bersifat biologis tidak ditekan melainkan diubah
salurannya untuk mengisi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam hal ini, Freud tidak hanya percaya bahwa dorongan mencipta
ditentukan oleh konflik-konflik bawah-sadar pada masa awal kanak-kanak namun
ia juga merasa bahwa muatan suatu karya seni, sama halnya seperti mimpi, juga
ditentukan oleh hal yang sama. Sebab karya seni muncul dari kreativitas dan
fungsinya adalah sebagai usaha pemenuhan keinginan bawah-sadar masa kanak-
kanak yang tersembunyi. Karya yang diinterpretasikan sebagaimana mestinya
akan menjadi sebuah jendela dari ketidaksadaran, maka dengan menganalisis
muatan seni dan menganalisis makna dari simbol-simbol, kita dapat membuka
bagaimana kepribadian seorang pencipta karya.
2.1.8. Terapi Seni melalui Kegiatan Menggambar Anak
Psikoterapi atau terapi psikologi (jiwa) adalah suatu bentuk
perlakukan (treatment) terhadap permasalahan yang bersifat emosional dengan
tujuan menghilangkan, mengubah, atau mempelambat simtom untuk
menghilangkan pola perilaku tertentu, serta meningkatkan perkembangan pribadi
ke arah yang lebih positif (Frank, 1998).
Dalam buku Art Therapy without Borders dijelaskan bahwa terapi
seni merupakan aplikasi seni visual dan kreatifitas dalam kaitannya dengan
psikoterapi untuk mendukung, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan
psikis, fisik, kognitif maupun spiritual individu. Menciptakan karya seni
merupakan praktik kesehatan yang positif dan berdampak dalam peningkatan
kualitas kehidupan (Malchiodi, 2013).
Universitas Kristen Petra
57
Gambar 2.31. Proses Kegiatan Menggambar Anak
Sumber: http://www.townviewhouse.com/anak-anak-menggambar-di-stasiun-
kereta-api/
Terapi seni adalah proses di mana seni digunakan sebagai media terapi
di mana kegiatan berkesenian tersebut akan membantu seseorang mengungkapkan
apa yang dipikirkan dan dirasakannya, dan karya seni yang dihasilkan juga dapat
menjadi sumber informasi bagi pendamping yang akan mendukung proses terapi
tersebut. Sebenarnya bentuk terapi seni bermacam-macam, namun yang paling
banyak digunakan baik secara umum maupun dalam terapi untuk anak-anak yang
mengalami gangguan emosi adalah seni visual yaitu menggambar atau melukis.
Dan dari visual hasil menggambar tersebut proses berseni itu seringkali
mengkomunikasikan simbol, kepribadian, emosi dan pengalaman yang dialami
(Malchiodi, 2011).
Ketika melakukan seni untuk aktivitas terapi, yang terpenting adalah
mengekspresikan apa yang diinginkan, tidak ada yang salah dan tidak terikat
dengan tuntutan estetika (Pitakasari, 2013). Maka penggunakan aktivitas
menggambar pada anak selain sebagai bentuk komunikasi anak yang memberikan
mereka ruang untuk berkomunikasi dengan bebas dan aman dibandingkan dengan
komunikasi verbal (Malchiodi, 2011), menggambar sebagai komunikasi visual
juga tepat karena sangat membantu ketika anak kurang mampu berkomunikasi
Universitas Kristen Petra
58
secara verbal, juga karakteristik anak ketika menggambar adalah seperti halnya
melakukan kegiatan naluriah, spontan, jujur, dan orisinil.
Gambar 2.32. Anak Menggambar Apapun yang Diinginkannya
Sumber:
http://www.sekolah123.com/articles/view/id/522/page/manfaat_belajar_menggam
bar_bagi_anak
Selain itu, gambar memiliki ribuan makna yang dapat merefleksikan
pembuatnya. Karya gambar anak dapat memberikan informasi mengenai isu-isu
yang relevan tentang anak seperti informasi tentang perkembangan, emosi,
maupun fungsi kognitif. Di samping itu, kegiatan menggambar anak juga dapat
mempercepat ekspresi trauma yang tersembunyi, menyampaikan perasaan
maupun persepsi yang kacau dan kontradiktif. Gambar dapat membantu anak
untuk mengkomunikasikan permasalahannya secara cepat.
Pada masa perkembangan anak yang diiringi dengan berbagai
penglaman yang dialaminya, anak memiliki permasalahan emosi yang berbeda-
beda. Pada anak yang mengalami gangguan emosi, aktivitas menggambar dapat
membantu anak menyalurkan dorongan agresif dengan cara yang lebih dapat
diterima masyarakat lingkungannya, dan yang terpenting, kegiatan menggambar
dapat membantu ego untuk mengintegrasikan dan mengatur perasaan, serta
Universitas Kristen Petra
59
implus-implus yang berkonflik dalam suatu bentuk kreatifitas yang memberikan
kepuasan (Kramer, 1995).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wallin dan Duur (2012)
diketahui bahwa aktivitas menggambar dapat meningkatkan kemampuan sosial
dan emosional pada anak. Selain itu menggambar juga dapat memperbaiki harga
diri yang merupakan kepercayaan diri, yang sebenarnya merupakan isu sentral
semua gangguan fungsional termasuk gangguan emosi (Bettelheim, 1983). Dalam
buku Juul dan Schuler ditambahkan bahwa aktifitas kreatif juga dapat menjadi
sarana pengobatan emosi, meningkatkan kemandirian dan interaksi sosial, serta
memperbaiki cara berpikir dan berkomunikasi. Menggambar juga membuat anak
menjadi lebih matang dan terkendali serta memberikan perasaan kepercayaan diri
akan kemampuannya (Thomas, 2004).
Gambar 2.33.
Anak Mengkomunikasikan Karyanya juga Melatih Kemampuan Sosial dan Rasa
Percaya Dirinya.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Universitas Kristen Petra
60
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
menggambar anak tidak hanya dapat menjadi informasi untuk mengetahui isu-isu
yang relevan pada perkembangan anak, namun juga dapat menjadi perlakuan
(treatment) yang menyembuhkan (healing), sekaligus pengembangan positif diri
anak. Dalam jurnal Efektivitas Art Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan
Sosial pada Anak yang Mengalami Gangguan Perilaku dikatakan bahwa aktifitas
menggambar anak membantu mereka mengendalikan dan menenangkan konflik-
konflik dasar yang dialaminya, mengintegrasikan ego, meyalurkan dorongan
agresif serta memperbaiki harga diri dan kepercayaan dirinya yang kemungkinan
menjadi penyebab utama gangguan emosinya. Selain itu, dengan terciptanya
ruang yang aman dalam proses terapi, maka akan lebih mudah untuk anak
mempelajari keterampilan baru, termasuk keterampilan sosial seperti
pengendalian emosi dan mampu berkomunikasi dengan baik terhadap orang lain.
2.1.9. Unsur-Unsur Visual Gambar Anak
2.1.8.1 Titik
Titik merupakan elemen paling utama dan elemen dasar dalam
gambar, unsur paling kecil yang menjadi dasar dari segala karya gambar, sebuah
konsep abstrak yang tidak mempunyai ukuran, atau tidak mempunyai panjang dan
lebar. Titik hanyalah gagasan abstrak dari pembuatnya, sesuatu yang menempati
tempat, yang untuk menggambarkan titik diperlukan suatu simbol yaitu “.”.
Gambar 2.34. Titik
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Menggambar titik dapat dilakukan dengan menggunakan alat tulis
seperti ujung pensil, krayon, kapur, dan sebagainya hanya dengan
Universitas Kristen Petra
61
menekankan sedikit ujung alat tulis tanpa digores di atas permukaan datar
seperti kertas atau papan tulis.
2.1.8.2 Garis
Garis merupakan elemen dasar yang terbentuk dari titik, atau dengan
kata lain, garis merupakan himpunan titik-titik yang anggotanya lebih dari satu
titik. Garis juga merupakan goresan batas suatu objek seperti bidang, tekstur,
warna, dan sebagainya.
Garis bisa terbentuk dari dua titik yang dihubungkan, juga berguna
sebagai pembatas antar beberapa bentuk. Garis hanya memiliki satu dimensi yaitu
panjang dan panjang tersebut cenderung ke arah tertentu. Garis memiliki beberapa
sifat, diantaranya yaitu panjang, pendek, tipis, tebal, lurus, melengkung, halus,
patah-patah, dan lain sebagainya.
Gambar 2.35. Contoh Macam-Macam Garis
Sumber: https://karyapemuda.com/contoh-seni-rupa/
Menggambar garis dapat dilakukan dengan menggunakan alat tulis
seperti pensil, spidol, kapur, dan sebagainya dengan menggoreskan ujung alat
tulis pada bidang seperti kertas maupun papan tulis.
Universitas Kristen Petra
62
2.1.8.3 Bidang
Bidang merupakan elemen lanjutan yang terbentuk dari garis. Jika
garis terbentuk dari himpunan lebih dari satu titik yang dihubungkan atau
dapat dikatakan pertemuan antara dua titik, atau ujung garis yang saling
bertemu. Bidang merupakan himpunan garis-garis yang anggotanya lebih dari
satu garis atau dapat dikatakan bentuk memiliki panjang dan lebar saja, atau
dalam istilah lainnya pipih, sebab itu belum memiliki volume.
Karena bidang terbentuk dari garis, maka cara membuat bidang
sangat sederhana yaitu dengan mempertemukan dua atau lebih ujung garis
dan menutup.
Bidang terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah bidang
geometris, bidang tak beraturan, bidang bersudut, dan lain-lain. Atau
misalnya beberapa bidang dasar dalam seni rupa yaitu bidang segiempat,
segitiga, lingkaran, oval dan lain sebagainya.
Gambar 2.36. Bidang
Sumber: http://kliping.co/unsur-unsur-seni-rupa/
Bentuk sebuah bidang adalah seperti model sebuah kertas dan
kertas tersebut dapat diperlebar ke segala arah.
Universitas Kristen Petra
63
2.1.8.4 Bentuk
Bentuk mempunyai unsur yang lebih kompleks dibadingkan bidang,
karena bentuk memiliki tiga dimensi yaitu panjang, lebar dan tinggi yang
digabung menjadi satu dan membentuk sebuah volume atau isi.
Bentuk menurut artian bahasa dapat dikatakan sebagai bangun
(shape) atau bentuk plastis (form). Perbedaannya, bangun (shape) merupakan
bentuk benda yang polos, sederhana yang mampu ditangkap oleh mata dan
sekadar mengenali sifatnya saja seperti misalnya kotak, bundar maupun ornamen-
ornamen tak beraturan. Sedangkan bentuk plastis (form) merupakan bentuk benda
yang bukan hanya terlihat, namun bisa dirasakan sebab adanya unsur nilai (value)
dari benda tersebut, misalnya pohon, meja, ranjang, dan lain sebagainya.
Gambar 2.37. Contoh Bentuk
Sumber: https://www.senibudayaku.com/2016/12/unsur-unsur-seni-rupa-dan-
contoh-gambarnya.html
2.1.8.5 Ruang
Ruang atau kedalaman merupakan unsur yang sangat berpengaruh
terhadap penjiwaan suatu karya, sehingga pengamatnya dapat merasakan apakah
karya tersebut terasa nyata atau semu. Ruang atau kedalaman yang nyata dapat
Universitas Kristen Petra
64
kita rasakan dengan indera peraba, misalnya pada karya seni 3 dimensi.
Sedangkan ruang atau kedalaman maya hanya dapat dilihat melalui bidang 2
dimensi saja.
Gambar 2.38. Ruang
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Karena karya 2 dimensi hanya memiliki panjang dan lebar, kesan
penggambaran cenderung pipih, datar, cekung, cembung, dan sebagainya. Namun
untuk menciptakan kesan kedalaman dari karya 2 dimensi, bisa dilakukan dengan
beberapa teknik yaitu misalnya penggambaran perspektif, peralihan warna antara
warna gelap dan warna terang, penggunaan tekstur yang tepat, pergantian ukuran
yang pas, penggambaran objek yang tertindih, pelengkungan atau pembelokan
bidang, penambahan bayangan, pergantian tampak bidang.
2.1.8.6 Tekstur
Pada dasarnya, tekstur merupakan sebuah unsur yang selalu menjadi
sifat sebuah benda. Sifat-sifat tersebut bisa berupa kasar, halus, licin, mengkilap,
kesat, bergelombang, dan sebagainya.
Namun secara garis besar tekstur terbagi menjadi dua, yaitu tekstur
nyata dan tekstur semu. Tekstur nyata merupakan tekstur yang dapat dirasakan
langsung oleh indera peraba, sedangkan tekstur semu hanya dapat dirasakan oleh
Universitas Kristen Petra
65
mata atau melalui visual saja, namun menghasilkan kesan seperti tekstur nyata.
Tekstur semu merupakan teknik yang bisa diaplikasikan dalam karya 2 dimensi
untuk mengekspresikan objek secara lebih nyata dan memiliki kesan sesuai
dengan ide yang ingin dituangkan.
Gambar 2.39. Tesktur Maya
Sumber: https://www.senibudayaku.com/2016/12/unsur-unsur-seni-rupa-dan-
contoh-gambarnya.html
2.1.8.7 Komposisi
Dalam seni rupa, komposisi merupakan usaha untuk mengatur,
menyusun atau menempatkan unsur-unsur visual (titik, garis, bidang, bentuk,
warna, ruang dan tekstur) di permukaan media gambar hingga terkomposisi secara
harmonis (serasi, selaras, seimbang). Beberapa prinsip yang biasa digunakan
dalam komposisi yaitu unity (kesatuan), balance (keseimbangan), harmony
(keselarasan), proportion (kesebandingan), rhytme (irama), center of interest
(pusat perhatian).
Universitas Kristen Petra
66
Gambar 2.40. Komposisi
Sumber: http://mediamakalahpendidikan.blogspot.co.id/2015/02/menggambar-
bentuk-objek-tiga-dimensi.html
Unity (kesatuan) merupakan perpaduan unsur antar satu dengan unsur
lain yang saling menunjukkan adanya hubungan keteritakan, dengan kata lain
berkesinambungan dan tidak terpisah-pisah atau tidak berdiri sendiri. Dalam
kesatuan, karya visual bukan hanya enak dipandang namun juga memiliki fokus
perhatian.
Balance (keseimbangan) merupakan prinsip proporsi visual yang
menunjukkan adanya bobot visual yang seimbang, tidak berat sebelah atau
timpang yang dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman bagi yang
mengamatinya. Dalam prinsip balance, ada dua macam keseimbangan yaitu
keseimbangan simetris dan keseimbangan asimetris. Keseimbangan simetris
adalah di mana penempatan unsur visual memiliki jumlah dan bentuk yang sama,
sedangkan keseimbangan asimetris adalah di mana penempatan unsur visual tidak
sama bentuk maupun jumlahnya, namun memiliki berat atau bobot visual yang
sama.
Universitas Kristen Petra
67
Harmony (keselarasan) merupakan prinsip komposisi yang merupakan
perpaduan unsur visual yang selaras dan tidak bertentangan antara satu bagian dan
bagian lainnya. Keselarasan ini dapat terbentuk karena pemilihan dan penempatan
unsur visual yang memiliki kedekatan atau kemiripan bentuk, perpaduan warna
dan ataupun fungsi atau unsur peran dari visual tersebut.
Proportion (keseimbangan) merupakan prinsip komposisi visual
berdasarkan perbandingan ukuran unsur-unsur visualnya, baik perbandingan antar
bagian maupun perbandingan antar bagian terhadap keseluruhannya. Dalam
sejarahnya, orang-orang Yunani meyakini pendekatan menggunakan proporsi ini
karena dianggap ideal dan memiliki keindahan yang agung, proporsi atau
keseimbangan ini dikenal dengan sebutan golden ratio atau golden selection.
Rhytme (irama) merupakan prinsip dari komposisi visual yang terbentuk
karena adanya sebuah tatanan, pola ataupun pengulangan yang menimbulkan
kesan bergerak pada orang yang mengamatinya. Dalam irama, terdapat beberapa
jenis berdasarkan unsur-unsur penyusunnya diantaranya; irama repetitif, yaitu
kesan bergerak yang muncul akibat dari pengaturan unsur visual yang sama dan
berulang atau dapat dikatakan monoton, baik secara ukuran, warna maupun jarak.
Sedangkan irama alternatif merupakan kesan bergerak yang muncul akibat
pengaturan unsur visual yang berselang-seling baik secara ukuran, bentuk ataupun
warnanya. Dan irama lain adalah irama progresif, yaitu kesan bergerak yang
menunjukkan adanya perubahan dari unsur-unsur visualnya, misalnya dari unsur
visual berukuran kecil menuju ukuran lebih besar, atau tebal menuju tipis, besar
menuju kecil, maupun pergeseran warna dari warna satu ke warna lain.
Center of interest (pusat perhatian) merupakan prinsip komposisi
visual yang terbentuk dari adanya unsur-unsur visual yang mengarahkan perhatian
pada suatu titik lokasi, atau dapat dikatakan sebuah usaha menampilkan bagian
tertentu dari suatu unsur visual sehingga terlihat lebih menonjol karena berbeda
dengan unsur-unsur visual lain di sekitarnya. Center of interest dapat terbentuk
dengan pengaturan posisi, warna, ukuran, dan juga unsur-unsur lainnya.
Universitas Kristen Petra
68
2.1.8.8 Warna
Warna merupakan salah satu unsur penting yang dapat membantu
pencipta menuangkan ide karya agar tampak lebih nyata dalam merepresentasikan
idenya, sebab warna mampu menghidupkan sebuah objek untuk lebih menyerupai
aslinya.
Warna terjadi ketika pantulan tertentu dari cahaya mengenai objek yang
dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat pada permukaan objek tersebut.
Berdasarkan jenisnya, warna dibedakan menjadi dua yaitu spektrum warna dan
pigmen warna.
Spektrum warna terjadi akibat adanya uraian dari cahaya yang
membentuk tujuh warna, yang dalam ilmu fisika sama halnya dengan
terbentuknya pelangi yaitu me-ji-ku-hi-bi-ni-u (merah, jingga, kuning, hijau, biru,
nila, ungu).
Gambar 2.41. Spekrum Warna
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sedangkan pigmen warna merupakan pembagian jenis warna yang
didasarkan oleh teori Goethe yaitu warna primer, warna sekunder, warna tersier,
warna analog dan warna komplomenter.
Warna primer atau warna dasar yang tidak merupakan dan tidak bisa
diperoleh dari campuran warna-warna lain, warna tersebut adalah merah, biru dan
kuning.
Universitas Kristen Petra
69
Gambar 2.42. Warna Primer
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Warna sekunder merupakan warna hasil pencampuran dari dua warna
primer, misalnya warna jingga sebagai hasil pencampuran warna kuning dan
merah, atau warna ungu sebagai campuran biru dan merah.
Gambar 2.43. Warna Sekunder
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Warna tersier sebagai pencampuran antara warna primer dan skunder
atau pencampuran dari dua atau lebih warna skunder, seperti jingga kekuningan
merupakan campuran dari jingga dan kuning.
Universitas Kristen Petra
70
Gambar 2.44. Warna Tersier
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Warna analog merupakan warna yang berdekatan antara warna satu dan
warna lain dalam sebuah lingkaran warna, misalnya warna hijau pupus yang
terletak di antara warna kuning dan hijau.
Gambar 2.45. Warna Analog
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Warna komplementer merupakan warna yang letaknya bersebrangan
dalam sebuah lingkaran warna, misalnya warna hijau dengan warna merah.
Universitas Kristen Petra
71
Gambar 2.46. Warna Komplomenter
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Seperti unsur lainnya, warna merupakan simbolisasi yang dapat dikaji
maknanya, sebuah elemen penting dalam konteks penafsiran atau pencarian
makna dalam karya gambar, sehingga melalui kajian warna dapat terlihat kondisi
psikologis anak. Setiap warna mampu memberikan kesan atau identitas tertentu,
makna dibalik kesan dan identitas tersebut memiliki artian yang berbeda-beda
tergantung kondisi sosial budaya, lingkungan dan personal (Sampurno, 2015).
Ada banyak teori mengenai warna namun yang perlu diketahui adalah
pembuat teori tersebut didasarkan kepada pengalaman empiris sebagai pengalamat
dan maka belum tentu dapat dikatakan teori yang valid tentang warna. Dalam
bahasan mengenai warna, putih misalnya, sering diasosiasikan dengan religius,
kemurnian, kesucian dan rasa aman. Atau juga menjadi simbol akan kesendirian
dan kelapangan. Sedangkan lawan warna dari putih adalah hitam yang sering
diasosiasikan dengan kegelapan, segnsara, duka, ketiadaan, kematian, kejahatan
dan misteri (Zalenski, 2003). Namun warna hitam jadi mendapatkan asosiasi yang
berbeda ketika warna tersebut digunakan untuk background sebuah lukisan, kesan
yang akan muncul adalah tegas, formal dan elegan.
Abu-abu yang merupakan warna netral dapat merepresentasikan
kebebasan, kritikan, keragu-raguan. Santoyo (2010) dalam bukunya yang berjudul
Nirmana mengatakan warna abu-abu yang terletak di antara hitam dan putih
sering diasosiasikan dengan kesuraman, mendung, ketidakjelasan sebab ketiadaan
Universitas Kristen Petra
72
cahaya secara langsung. Sedangkan warna silver yang memiliki kesamaan dapat
menggambarkan perubahan, feminim, sensitif dan keseimbangan. Emas
menandakan idealisme, harapan, keajaiban, kemenangan, atau keadaan
berkelimpahan (Zalenski, 2003).
Gambar 2.47. Warna Abu-Abu
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.48. Warna Silver
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Universitas Kristen Petra
73
Gambar 2.49. Warna Emas
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Zalenski juga berkata bahwa warna merah api, kuning dan jingga
menimbulkan kesan kehangatan, di mana ungkapan tersebut dibuktikan dengan
penelitian bidang psikologi yang mengindikasikan seseorang ketika berada di
bawah spektrum cahaya berwarna merah, maka tubuh orang tersebut akan
memacu adrenalin yang lebih cepat, tekanan darah dan nafas meningkat, dan
adanya peningkatan suhu tubuh secara perlahan. Merah juga merupakan simbol
dari semangat, hangat, vitalitasm sensualitas, marah, cinta dan bahaya. Selain itu,
dikatakan oleh Klepsch dan Logie (1982) bahwa merah juga memiliki relasi
emosi atau kekerasan di mana merah dapat diasosiasikan terhadap keadaan emosi
yang berlebihan seperti terlalu senang, terlalu marah ataupun emosi personal
lainnya. Sedangkan merah yang dipadukan dengan putih akan menjadi warna
merah muda dan memiliki kesan yang cukup jauh berbeda yaitu lembut, ramah
dan harmonis.
Gambar 2.50. Warna Merah
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Universitas Kristen Petra
74
Gambar 2.51. Warna Merah Muda
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kuning merupakan warna yang diasosiasikan dengan rangsangan
mental yaitu optimis dan rasa senang, karena warna kuning berasosiasi dengan
matahari atau matahari yang menunjukkan ketenangan dan kehangatan (Santoyo,
2010).
Gambar 2.52. Warna Kuning
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Zelanski merepresentasikan warna jingga sebagai kreativitas,
keamanan, kesenangan, rangsangan. Jingga yang merupakan kombinasi dari
energi warna merah dan rasa senang dari warna kuning, maka juga dapat
diasosiasikan dengan semangat, kehangatan dan kesuksesan. Namun jika warna
jingga diberi spektrum yang lebih gelap dan menjadi warna coklat, warna coklat
Universitas Kristen Petra
75
sudah memiliki asosiasi yang cukup berbeda yaitu kedekatan, sopan, bijaksana,
hemat, sederhana dan hormat (Sanyoto, 2010).
Gambar 2.53. Warna Jingga
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.54. Warna Coklat
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Hijau yang sering diasosiasikan dengan tanaman, daun, rumput, dan
keadaan alam yang masih natural seperti hutan dan persawahan. Hijau memiliki
kesan yang segar, hidup, muda, sehat, tumbuh, alami. Warna hijau memiliki
pengaruh emosi yang normal dibandingkan warna lainnya dan karena warna hijau
juga menghadirkan kesan keseimbangan sebagai sumber kehidupan (Santoyo,
2010).
Universitas Kristen Petra
76
Gambar 2.55. Warna Hijau
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sedangkan warna biru menggambarkan kemampuan mengontrol reaksi
atau dapat dikatakan menggambarkan pengendalian diri yang baik. Dalam
penelitian Klepsch dan Logie (1982) dikatakan bahwa baik warna biaru maupun
hijau memiliki kemampuan dalam merepresentasikan mengenai kontrol perilaku
manusia. Karena ketika warna hijau melambangkan keseimbangan alam dan
keharmonisan hubungan natural semesta, warna biru merupakan lambang dari
stabilitas, pengetahuan, keseriusan, kekuatan, pemahaman dan integritas karena
warna biru terasosiasi dengan langit dan laut.
Gambar 2.56. Warna Biru
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Ungu merupakan warna yang hampir menyerupai warna violet namun
memiliki perbedaan yaitu ungu cenderung kemerahan sementara violet cenderung
Universitas Kristen Petra
77
kebiruan. Ungu memiliki kesan angkuh, kebesaran dan kekayaan karena ungu
yang merupakan perpaduan antara merah dan biru di mana merah lebih
mendominasi, sementara violet memiliki kesan yang dingin, diam, religiusitas,
melankolis, kesedihan, magis, misteri, spiritualitas, inspirasi dan intuisi (Klepsch
dan Logie, 1982).
Gambar 2.57. Warna Ungu
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Simbol warna universal merurut Sanyoto (2010), Violet merupakan
lambang kemuliaan atau kebesaran. Nila merupakan lambang ilmu pengetahuan.
Biru merupakan lambang kebenaran. Hijau merupakan lambang penelitian.
Kuning merupakan lambang penciptaan. Jingga merupakan lambang kemajuan
atau pertumbuhan dan merah merupakan lambang puisi.
Menurut buku Seni, Melukis dan Anak Autis, selain warna-warna yang
sudah dijabarkan diatas, masih ada warna-warna yang masih sering disimbolkan
oleh masyarakat luas bahkan secara universal, di mana warna-warna tersebut
seakan sudah merupakan simbol yang ditetapkan dan disepakati bersama untuk
mengungkapkan hal-hal tertentu.
Melalui pembahasan mengenai makna, Tejo Sampurno (2015)
menambahkan bahwa dalam mempelajari mengenai nama warna dalam kaitannya
dengan mengamati karya gambar anak-anak, perlu dipahami juga bahwa beberapa
anak memiliki keunikannya tersendiri di mana mereka memiliki nama warna yang
berbeda dari biasanya. Misalnya mengenai warna hijau, anak mungkin tidak
mengenal nama warna hijau namun mereka mengatakan itu adalah warna daun.
Universitas Kristen Petra
78
Atau misalnya merah, anak mungkin tidak mengenal warna nama merah namun
mengenal nama warna strawberry. Biasanya anak-anak seperti ini cenderung
memiliki kreativitas yang lebih tinggi.
2.1.10. Gambar Anak Sebagai Sebuah Diagnosa
Mengenai goresan anak yang dilakukan ketika berkarya, dalam hal ini
jika ditinjau secara psikologis, anak yang hidupnya senang akan menarik garis
kuat dan cenderung menghabiskan hampir semua bagian kertas. Berbeda dengan
anak yang tidak bahagia dan rapuh, mereka cenderung sering menjatuhkan atau
bahkan membuang pensilnya. Marthe Bernson yang dikutip oleh Davido (2012)
menyatakan anak yang menghabiskan satu halaman penuh dengan coretannya
adalah anak yang hatinya sedang bersemangat meluap-luap. Karya gambar anak
lebih menjelaskan seni psikologis anak daripada segi fisiknya, sebab segi fisik
lebih menunjukkan kreasi imajinatif daripada penggambaran sebenarnya. Hal
tersebut muncul bersumberkan dari jiwa kekanak-kanakan dan sering sekali diingi
dengan perasaan, maka dalam hasil karya gambar anak banyak khayalan yang
muncul.
Kekuatan dalam menggoreskan garis, misalnya, dapat menggolongkan
pembuatnya. Anak yang tidak percaya diri, pemalu, penakut, dan terkekang akan
menarik garis halus atau bahkan hampir tidak terlihat (Davido, 2012), anak terus
berusaha menebalkan garis yang dibuatnya. Berbeda dengan anak yang menarik
atau menggores garis dengan tegas, kuat, bahkan terkadang sampai melubangi
medianya hinggga dapat terlihat anak yang cenderung agresif.
Mengenai kebersihan media dalam karya gambarnya, pada umumnya
anak yang membuat gambar mereka kotor, membingungkan dan berantakan juga
adalah anak-anak yang memiliki kesulitan dalam menulis, dalam artian kesulitan
dalam gerakan grafisnya. Adanya pengulangan atau koreksi pada goresan yang
telah dibuat sebelumnya juga memperlihatkan kurangnya percaya diri atau bisa
juga merupakan sebuah cara untuk menghilangkan apa yang ingin diungkapkan.
Seni, Melukis dan Anak Autis menerangkan bahwa ketika anak
berkarya, seringkali anak berbicara dan menceritakan sebuah cerita yang berkaitan
dengan karya gambarnya secara bersamaan, termasuk juga terkadang perlahan
Universitas Kristen Petra
79
cerita yang disampaikan tersebut menggambarkan tokoh-tokoh yang dibuat dalam
karya gambarnya tersebut. Hal tersebut dapat menjadi acuan terhadap ketertarikan
atau keacuhan anak berdasarkan cerita dari karya yang dibuatnya.
Dalam geometri lukisan, Davido (2012) menjelaskan, jika media
dibagi menjadi dua zona vertikal, sisi kanan menggambarkan masa depan, sifa
ekstrover dan terkadang otoritas, dan menurut Max Pulver dalam Mengenal Anak
Melalui Gambar, bagian atas media merupakan cerminan dari area kecerdasan dan
spiritual, dan sebaliknya, di bagian tengah menunjukkan hubungan dengan
lingkungan sekitarnya yang juga menunjukkan ke’aku’an sebagai subjek,
kesadaran yang hidup, dan perasaan-perasaannya. Bagian bawah menunjukkan
mengenai alam bawah sadar, naluri, dan kehidupan seksual. Misalnya, anak
menggambarkan figur dirinya di bagian tengah, maka interpretasi yang mungkin
dapat dianalisis menjadi diagnosa adalah mengenai sifat egosentrisme anak, atau
gambar tersebut memiliki makna yaitu anak ingin melakukan sesuatu hal. Contoh
lainnya, ketika anak menggambarkan figur dirinya dan meletakannya di posisi
tepi media berkaryanya, kemungkinannya adalah anak merasa terpinggirkan
dalam suatu hal, atau kemungkinan lainnya adalah anak telah mengalami kejadian
yang membuatnya terpinggirkan, atau merasa tidak memiliki kepercayaan diri
terhadap lingkungannya.
Dalam mendiagnosis gambar anak, simbol merupakan elemen yang
sangat penting dan dapat membuat karya gambar anak diinterpretasi dengan lebih
matang. Sebab melalui simbol-simbol yang diciptakan anak pada karya
gambarnya, akan tampak hubungan yang dapat dibangun antara karya gambar
anak dengan kepribadiannya.
2.1.11. Periodisasi Perkembangan Anak
Hasil sebuah karya gambar sangat ditentukan oleh penciptanya sendiri,
sama halnya karya gambar anak. Karya gambar anak yang bersifat ekspresif
merupakan ungkapan komunikasi yang jujur, kuat, yang berangkat dari
permikiran dan perasaannya sendiri. Kekhasan dan keunikan karya masing-
masing anak atau dapat dikatakan perkembangan karakteristik karyanya terjadi
seiring masa perkembangan anak. Masa-masa prasekolah merupakan waktu yang
Universitas Kristen Petra
80
penting dalam berkesenian sebab dalam masa ini anak-anak melakukan kegiatan
seni berdasarkan esensi seni itu sendiri, yaitu mengekspresikan apa yang ada di
dalam dirinya. Karena itu, mempelajari karya mereka dapat dimanfaatkan untuk
memahami apa yang digambarkan anak dan dapat mengidentifikasi secara benar,
tidak dengan perspektif seni orang dewasa (Sampurno, 2015).
Untuk memahami apa yang diciptakan anak tidak bisa luput dari
analisis akan perkembangan karakteristik karya anak. Dalam buku Creative and
Mental Growth dikatakan untuk menganalisis perekembangan karakteristik karya
anak tidak mungkin terlepas dari perkembangan anak itu sendiri, seperti waktu
(periodisasi usia) dan tahap perkembangan sosial intelektual mereka. Sama seperti
kemampuan pada umunya, kemampuan menggambar anak sudah berkembang
sejak masa batita. Gambar yang dihasilkan oleh setiap anak dalam periodenya
anak khas, unik dan berbeda-beda.
Gambar 2.58. Periode Mencoret Anak
Sumber: http://style.tribunnews.com/2017/08/02/anak-ini-dikecam-karena-
menggambar-menstruasi-ibunya-tapi-sebuah-fakta-mulia-terungkap
Dalam teorinya, Viktor Lowenfeld (1982) yang merupakan tokoh
penting dalam perkembangan seni anak menyatakan adanya hubungan antara seni
dan kebutuhan psikologis anak dan juga perkembangan artistik anak. Lowenfeld
mengatakan gambar anak awal dimulai dengan masa mencoret atau masa cakar
ayam. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan goresan pada anak-anak yang
dalam beberapa pandangan terlihat belum berbentuk, acak dan tidak beraturan.
Universitas Kristen Petra
81
Setelah masa mencoret, perkembangan seni anak masuk pada tahap pra-bagan di
mana anak mulai mampu menggambar secara sadar dengan simbol atau bentuk-
bentuk yang diantaranya mulai dapat diidentifikasi orang dewasa.
Berikut periodisasi perkembangan seni rupa anak menurut Lowenfeld:
1. Periode Mencoret (usia 2 hingga 4 tahun)
Dideskripsikan sebagai masa perkembangan kinestetik. Karya yang
diciptakan didasarkan atas kesenangan untuk bergerak, aktifitas motorik
terwujud dalam goresan tebal tipis dengan arah yang belum terkendali dan
pemilihan warna yang belum penting. Gambar dibuat tanpa makna. Dalam
tahap ini, pada awalnya anak membuat goresan tak menentu hingga pada
tahapan selanjutnya anak menyadari adanya hubungan antara apa yang
dibuatnya dengan gerakan tangannya. Maka dari itu, tahap ini juga
merupakan latihan gerak motorik koordinasi dari gerakan tangan dan mata.
Ketika anak mulai memahami adanya hubungan antara gerak tangannya
dan apa yang dilihatnya, barulah goresannya menjadi panjang, bolak-balik
dan kemudian bulat-bulat. Sebenarnya masa ini terbagi lagi menjadi 3
fase, namun karena jarak antara tiap fase begitu singkat, dapat dianggap
sebagai satu periode. Berikut 3 fase dalam periode mencoret:
1. Goresan tak beraturan
Gambar tanpa makna sebab dalam usia ini anak hanya meniru orang
lain, dan karena hanya merupakan latihan gerak motorik antara mata
dengan gerak tangan maka bentuk goresan akan sembarangan, bahkan
menggores tanpa melihat ke kertas. Goresan yang dibuat sangat acak
dan tidak ada kendali atas goresannya. Fase ini merupakan masa paling
awal dalam tahap perkembangan menggambar anak.
Universitas Kristen Petra
82
Gambar 2.59. Goresan Tak Beraturan
Sumber: Seni, Melukis, dan Anak Autis
2. Goresan terkendali
Terdapat peningkatan goresan anak berupa goresan-goresan tegak,
lengkung, lingkaran dan berulang-ulang. Terdapat variasi karena anak
sudah melakukan eksperimen terhadap goresan yang dibuatnya. Anak
mulai memiliki kendali dalam menggores, koordinasi motorik antara
mata dan gerak tangan semakin berkembang.
Gambar 2.60. Goresan Terkendali
Sumber: Seni, Melukis, dan Anak Autis
Universitas Kristen Petra
83
3. Goresan Bernama
Pengalaman anak membuat goresan semakin lengkap, terjadi sedikit
perubahan dalam goresan anak. Gambar anak mulai terwujud dalam
satu kesatuan, bentuk semakin bervariasi. Meskipun anak belum
memiliki tujuan untuk menggambar sesuatu, anak mulai memberikan
nama pada goresannya yang mengindikasikan bahwa anak sudah mulai
mengenal apa yang dinamakan representasi walaupun secara tidak
sadar.
Gambar 2.61. Goresan Bernama
Sumber: Seni, Melukis, dan Anak Autis
2. Periode Pra-Bagan (usia 4 hingga 7 tahun)
Dideskripsikan sebagai awal pembuatan karya secara sadar.
Sejalan dengan usianya, anak-anak pada fase ini memiliki pengalaman
hidup yang semakin bertambah, lingkup sosial semakin luas dan anak
memiliki lebih banyak kesempatan untuk mencipta, bereksperimen, juga
menjelajah berbagai hal baru yang erat dengan perkembangan jiwanya.
Anak mengenal lingkungan baru, dunia baru bagi anak. Anak mulai
menggambar bentuk berdasarkan hal-hal yang disekitarnya seperti
manusia, rumah, pohon, pelangi, dan sebagainya. Semua karya yang
Universitas Kristen Petra
84
dihasilkan merupakan refleksi dari dini anak, hal-hal dalam kehidupannya
dan orientasinya terhadap sesuatu. Anak sudah mampu
mengkoordinasikan pikiran dan emosi dengan kemampuan motoriknya.
Gambar 2.62. Periode Pra Bagan
Sumber: Seni, Melukis, dan Anak Autis
3. Periode Bagan (usia 7 hingga 9 tahun)
Sejalan dengan tahap usia anak, pada tahap ini akal sudah
mempengaruhi gambar anak. Anak menggambar objek dalam suatu
hubugan yang logis dengan objek lain. Sudah memiliki konsep akan ruang,
gambar mulai menyerupai hubungan-hubugan yang terkait dengan
kenyataan. Bentuk semakin bervariasi karena semakin kaya anak akan
konsep, semakin besar kemungkinannya untuk berekspresi. Ciri-ciri pada
fase ini adalah cenderung menggambar objek yang tegak lurus dengan
garis dasar, meskipun objek nampak terbalik. Ciri lainnya adalah
menggambar tembus pandang, yaitu menggambar objek dalam satu ruang
yang seharusnya tidak kelihatan, misalnya gambar rumah yang terlihat
ruangannya seolah dinding ditutupi kaca bening. Anak mulai memahami
adanya hubungan antara warna dan objek, maka penggunakaan warna
semakin objektif. Ciri lain adalah gambar nampak lebih kaku seiring
bertumbuhnya jiwa kooperatif di lingkungan anak sehingga anak
Universitas Kristen Petra
85
cenderung mencontoh gambar orang lain. Pada fase ini, pengamatan anak
semakin teliti, anak mulai menyadari hubungannya dengan sekitarnya.
Gambar 2.63. Periode Bagan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.64. Periode Bagan
Sumber: http://primbom.blogspot.co.id/2013/03/mengenal-perkembangan-seni-
rupa-anak_9.html
Universitas Kristen Petra
86
2.2. Penelitian Terkait
Penilitan berjudul Muatan Terapeutik dalam Ragam Gaya Ekspresi Seni
Lukis Penyandang Psikosis yang dilakukan oleh Caecilla Tridjata S dan Yasraf A.
Piliang pada tahun 2014 ini menjelaskan keterkaitan antara penyandang gangguan
kejiwaan dengan simbol-simbol yang dihasilkan dalam karya visualnya
dipengaruhi oleh konsep ketidaksadaran. Karya yang dihasilkan juga dipengaruhi
oleh dua faktor lain yaitu tingkat gangguan yang sedang dialami dan juga bakat
seni yang dimiliki. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa ekspresi emosi dalam
karya merupakan wujud pelepasan dan kelegaan emosional sesudah mengalami
ketegangan batin, kecemasan, kesedihan yang mendalam ataupun pengalaman
traumatik di mana efek dari kegiatan pelepasan emosi ini dikenal dengan sebutan
“katarsis”, meski dalam konteks penelitian ini fokus pengkajian bukan pada
proses katarsisnya namun pada proses mengenali representasi visual dari karya
seni penyandang psikosis. Penelitian ini relevan dengan yang sedang peneliti
lakukan yaitu merepresentasikan hasil karya anak-anak yang mengalami
gangguan emosi di mana karya yang dihasilkan anak-anak akan ditunjau dari
simbol-simbol yang anak-anak tersebut ciptakan.
Selain penelitian yang mengkaitkan seni pada penderita psikosis,
penelitian lain yang serupa berjudul Terapi Seni melalui Melukis pada Pasien
Skizofrenia dan Ketergantungan Narkoba, penelitian oleh Anoviyanti ini berfokus
pada bagaimana ilmu seni dan ilmu psikologi digabungkan menjadi terapi seni.
Penelitian membahas juga mengenai bagaimanakah seni dipandang sebagai
sebuah media yang membantu proses kesembuhan pasien. Pada penelitian ini,
Anoviyanti melihat bahwa sebuah simbol atau tanda merupakan sebuah refleksi
dari apa yang dirasakan oleh si penderita, di mana nanti pada penelitian yang
mengkaji hasil karya gambar anak yang akan peneliti lakukan ini juga merupakan
refleksi dari perasaan anak-anak yang mengalami gangguan emosi. Sebab emosi-
emosi yang tak dapat diucapkan secara verbal baik oleh penderita skizofrenia,
seseorang dengan ketergantungan narkoba maupun anak-anak dengan gangguan
emosi akan terekspresikan ke dalam sebuah gambar. Oleh karena itu dalam hasil
karya gambar, si penderita akan menciptakan berbagai macam simbol-simbol
tertentu dan dengan pemilihan warna-warna tertentu yang sesuai dengan keadaan
Universitas Kristen Petra
87
emosinya. Dalam hal ini, gambar disini dapat menjadi sebuah media eksplorasi
jiwa manusia, mencoba mengungkapkan cara pandang mereka, mengetahui
kesedihan dan ketakutan mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Anoviyanti, maka peneliti bisa mengambil kesimpulan bahwa keadaan jiwa
seseorang bisa dibicarakan lewat gambar di mana anak-anak yang akan diteliti
meluapkan segala mood mereka ke dalam sebuah media kertas dan berbentuk
visual. Dari situ peneliti dapat menginterpretasikan gambar anak tersebut dengan
teori semiotika.
Penelitian lain yang relevan dengan konteks ini adalah penelitian yang
berjudul Penerapan Terapi Menggambar sebagai Katarsis Emosi Anak, di mana
penelitian yang berfokus pada anak-anak usia dini ini bertujuan agar melalui
gambar, anak bukan hanya dapat melakukan penyaluran emosi bawah sadarnya
namun juga agar orang tua dan guru dapat lebih memahami pikiran dan perasaan
anak yang bisa diidentifikasi dari hasil karya anak. Muthmainnah selaku peneliti
di sini menyampaikan bahwa memang seiring perkembangan dan pengalaman,
anak mungkin saja mengalami masalah emosi dan tiap anak berbeda. Penelitian
ini menyimpulkan pentingnya orang tua dan guru membantu anak dalam
melakukan katarsis atau pelepasan emosi, salah satunya dengan terapi
menggambar. Alternatif kegiatan katarsis ini disarankan oleh penliti sebab
menggambar merupakan kegiatan yang disenangi anak-anak sekaligus dapat
membantu anak mengekspresikan pemikiran, perasaan dan berkomunikasi tanpa
menggunakan kata-kata yang pada umumnya anak belum memiliki kemampuan
verbal yang cukup baik untuk mengkomunikasikan keinginannya. Sama seperti
Muthmainnah, peneliti juga memilih melakukan eksperimen menggambar dalam
penelitian ini sebab selain anak-anak menyukai menggambar, anak-anak juga
lebih mampu mengkomunikasikan dirinya tanpa perlu berkomunikasi secara
verbal, mengingat kemampuan verbal anak masih terbatas.
Penelitian Seni dalam Konteks Psikologi yang dilakukan oleh Made
Bambang Oka Sudira juga relevan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.
Penelitian Sudira mengemukakan bahwa seni dapat dikaitkan dalam berbagai
macam bidang ilmu lain, tidak terkecuali psikologi. Jurnal yang ditulis oleh
Sudira ini menghubungkan antara seni dan emosi, pengalaman, perilaku, aktifitas
Universitas Kristen Petra
88
dan bagaimana elemen-elemen dalam suatu karya seni itu berisi perasaan, ide, dan
kreativitas. Dalam membuat karya seni, ada tahapan yang akan dilalui. Tahapan
ini yang akan menjadi acuan peneliti untuk melakukan observasi serta wawancara
kepada sampel agar ketika anak menghasilkan sebuah karya seni, peneliti dapat
mengerti apa saja yang selama ini menjadi perhatian mereka, bagaimana
pengamatan mereka, apa yang mereka rasakan dan pikirkan sehingga timbul
gagasan yang membentuk kreativitas dalam mengekspresikannya ke bentuk
visual.
Stephane Rusinek dalam Does the Emotional Context Influence the
Recollection of Color? meneliti bagaimana pengaruh emosi terhadap warna dan
disimpulkan bahwa emosi memang memiliki pengaruh dalam pemilihan warna.
Pembahasan mengenai pemilihan warna ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam
menginterpretasi gambar anak-anak yang mengalami gangguan emosi. Penelitian
ini hanya meneliti hubungan antara emosi dengan pemilihan warna, sedangkan
pada penelitian yang akan peneliti lakukan, emosi tidak hanya dihubungkan
dengan warna, tetapi juga dengan bentuk, garis, komposisi.
Penelitian lain mengenai warna adalah Color and Emotion—A
Psychophysical Analysis of Van Gogh’s Work oleh Bekker, K.G., Ph.D. &
Bekker, A. Y. MD, Ph.D, penelitian yang menganalisis karya lukisan Van Gogh
ini merupakan rujukan relevan sebab penelitian ini menggambarkan bahwa warna
memiliki kaitan yang sangat erat dengan emosi dan pengalaman emosi batin atau
pribadi si pelukis. Penelitian ini menegaskan bahwa sebuah hasil karya lukisan
tidak hanya merepresentasikan pengalaman eksternal dari si pelukis, tetapi juga
merepresentasikan kehidupan pribadi si pelukis. Ada hubungan antara karya seni
dengan mental dan emosi si seniman yang terlukiskan di dalam karya tersebut.
Pada beberapa lukisan terkenal misalnya, ditemukan potensi seorang paranoid
schizophrenia. Bagian yang menarik di dalam warna dan pencahayaan bersifat
teknik dan langsung fokus pada bentuknya, tetapi perubahan dinamis yang
digunakan merefleksikan perubahan pengalaman emosi. Warna disini bisa
menjadi simbol penting di dalam merepresentasikan pengalaman emosi seseorang.
Penelitian ini mengambil dari segi warna, di mana warna bisa mengekspresikan
perasaan emosi si pelukis yang paling dalam sekalipun. Tetapi interpretasi gambar
Universitas Kristen Petra
89
ini yang bisa berbeda-beda didasarkan pada pengalaman si interpretannya. Selain
pengalaman, kondisi sosial budaya juga sangat mempengaruhi dalam penggunaan
warna.
Keterkaitan emosi dan warna juga dijelaskan Rusinek di dalam jurnalnya
yang berjudul “Does the emotional context influence the recollection of
color?” yang diterbitkan oleh PsyArt Journal. Dalam penelitian ini, Rusinek
mengambil empat macam emosi utama yaitu kebahagiaan, kesedihan, kemarahan,
dan ketakutan. Hubungan antara warna dengan emosi dijelaskan oleh Rusinek
dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 2.2. Penelitian Pemilihan Warna Sesuai Emosi
Sumber: PsyArt Journal
Cara membaca tabel ini adalah empat emosi diatas dikaitkan dengan warna
yang ada di bawah menghasilkan nilai-nilai yang sudah dihitung. Hasil nilai yang
semakin rendah artinya warna tersebut yang cocok atau paling sering dipilih
sesuai dengan emosi tersebut. Saat seseorang merasa bahagia, warna yang banyak
Universitas Kristen Petra
90
dipilih adalah biru. Setelah warna biru, pemilihan warna selanjutnya adalah
merah, kuning, dan jingga. Sedangkan warna yang paling jarang dipilih adalah
abu-abu. Jika seseorang sedih, maka warna yang paling sering dipilih adalah
warna merah. Warna selanjutnya yang banyak dipilih adalah warna ungu dan biru.
Dan warna yang paling jarang dipilih adalah warna putih. Saat seseorang
ketakutan, maka warna yang sering dipilih adalah warna merah. Warna berikutnya
yang dipilih ungu dan dua warna yang memilii nilai sama yaitu biru dan hijau.
Warna yang jarang dipilih adalah putih. Dan pada saat seseorang sedang marah,
maka warna yang paling banyak dipilih adalah merah. Warna selanjutnya yang
dipilih adalah kuning dan biru. Dan warna yang paling jarang digunakan adalah
merah muda. Dalam hal ini, penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk
menganalisis makna di balik pemilihan warna pada karya gambar anak-anak yang
mengalami gangguan emosi.
2.3. Kerangka Berpikir
Bagan 2.3. Kerangka Berpikir