2. landasan teori · 2. landasan teori 2.1 nilai pemanfaatan lahan lahan adalah sumber daya alam...
TRANSCRIPT
2. LANDASAN TEORI
2.1 Nilai Pemanfaatan Lahan
Lahan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam
setiap aktivitas kehidupan manusia baik di bidang ekonomi maupun non ekonomi.
Di bidang ekonomi khususnya produksi, lahan adalah faktor produksi yang sangat
penting selain faktor manusia dan modal (Mubyarto, 1979; Northam, 1975).
Di bidang non ekonomi lahan memiliki makna struktur penguasaan dan pemilikan
lahan. Lahan merupakan tempat dimana te rjadi pelbagai kegiatan dengan pelbagai
manfaat yang akan menentukan tingkat kompetisi dan harga, terutama 1 daerah
perkotaan dimana lahan adalah input lokal yang langka dan apabila terjadi
kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang pemilikannya diberi kan secara hibah
maka dipastikan tidak cukup untuk memperbaiki manajemen sumberdaya
alamnya (Turner, 1993; Husein, 1997). Kompetisi lahan yang terjadi didaerah
perkotaan biasanya sangat kompleks, karena kelangkaan lahan memaksa
penduduk memusatkan banyak kegiatannya dan setiap kegatan yang dilakukan
dengan pelbagai cara yang akan mempengaruhi daerah sekitarnya. Agar nilai
lahan tetap bisa dipertahankan manfaatnya, maka diperlukan perencanaan lahan
yang baik yang disesuaikan dengan nilai fungsional lahan. Pemikiran dan tindakan
untuk menyelamatkan nilai ekonomi lahan dilahirkan pada saat manusia sudah
merusakkan atau merosotkan nilai lahan. Kompetisi pemanfaatan lahan makin
meningkat di suatu kawasan dimana kegiatan penduduk cenderung makin
meningkat pula. Lahan-lahan yang mempunyai nilai lebih seperti: Tingkat
kesuburan yang tinggi, iklim yang menunjang tingkat kesuburan lahan serta lokasi
yang dekat dengan akses pasar dan lokasi akan dipengaruhi oleh "locul external
economics" yang pada umurnnya sangat diminati. Harga lahan merupakan ukuran
utarna bagi tingkat permintaan dan kompetisi untuk memperolehnya. Dengan
tingkat kualitas lahan yang bervariasi, akses-akses yang dimiliki, maka lahan
dikawasan perkotaan menjadi sasaran utama bagi migran untuk berusaha
menempati dan memiliki lahan-lahan perkotaan tersebut, khususnya di kawasan
pesisir yang masih terbuka dan hak kepemilikannya banyak yang belum jelas.
Manusia berusaha sedemikian rupa untuk memanfaatkan lahan secara maksimal
(bukan optimal) sehingga menimbulkan banyak masalah pemanfaatan lahan.
Permasalahan ini diakibatkan oleh sistem monokultur dan penanaman yang tidak
sesuai dengan lahannya. Penderitaan manusia akibat erosi, longsor dan
menurunnya unsur hara, membuat manusia mulai memunculkan suatu gerakan
pelestarian lahan yang kini menjadi contoh terkenal dari suatu rencana pelestarian
yang melibatkan penduduk setempat, universitas negeri, dan pemerintah.
Partisipasi dari pelbagai stukeholder ini sangat diperlukan terlebih di tingkat
pemerintahan lokal.
2.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan
Dalam sejarah dunia tentang pemanfaatan lahan baik yang terjadi di
Amerika, Jepang, Eropa dan Indonesia menunjukkan bahwa nilai lahan makin
tinggi harga sewanya sesuai dengan kebutuhan lahan yang makin meningkat.
Misalnya: lahan industri harga sewanya lebih tinggi, karena nilai hasil
produksinya juga lebih tinggi. Dengan demikian proses urbanisasi dan
industrialisasi inilah yang menjadi faktor penting untuk mendorong kenaikan
sewa dan harga lahan. Dengan berkembangnya penduduk nilai lahan akan tens
menaik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah merupakan satu-satunya
faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia (Mubyarto, 1979).
2.1.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Amerika
Menurut Field (1994), isu pemanfaatan lahan di Amerika Serikat dimulai
dari inisiatif pemerintah federal yang berkaitan dengan preservasi lahan basah di
tingkat lokal. Isu preservasi lahan basah tersebut diakibatkan karena te~jadinya
konversi lahan pertanian secara besar-besaran menjadi lahan untuk industri dan
perumahan. Menurut Jackson (2001) isu yang mudah meledak saat ini adalah
bahwa lahan pertanian sudah banyak yang menjal lahan perumahan terutarna di
Wisconsin. Pembangunan perumahan sudah jelas menjadi isu paling besar dalam
menentukan keputusan pembangunan lahan-lahan pertanian. Data tahun 1959
menunjukkan bahwa di Wisconsin terdapat 130.000 peternakan dimana kira-kira
80% adalah peternak susu sapi. Pada tahun 1997 diperkirakan jumlahnya
mencapai separuhnya dan sepertiganya hanya bergerak sebagai peternak harian.
Wisconsin telah kehllangan 80% dari peternak hariannya dalam kurun waktu
empat puluh tahun terakhir. Kuminoff (2001) mengajukan data-data perubahan
konversi lahan pertanian di California, dimana diperkirakan 497.000 acre lahan
pertanian terkena imbas urbanisasi sejak decade tahun 1988 sampai tahun 1998
atau sekitar 49.700 acre telah mengalami konversi. Dalam kaitan tersebut
diperlukan penanganan kebijakan secara lokal termasuk isu-isu lingkungan
tentang manajemen aliran sisa produksi dan konsumsi. Permasalahannya menjadi
berbeda jika didaratan. Permukaan burni adalah tetap secara kuantitas, dan
manusia menyebar dan sesuai dengan pola insentif yang beragam dan dengan
darnpak yang berbeda. Kunci permasalahannya adalah lahan bagi suatu kegiatan
untuk kepentingan manusia dan pemanfaatannya bagi kegiatan konservasi. Jika
semua eksternalitas lingkungan memiliki dimensi spasial, maka dapat dilakukan
pencegahan dari kerusakan sumberdaya lahan. Menurut Clawson (1968) bahwa
sistem lahan di Amerika serikat dipengaruhi oleh sistem sosial yang berhubungan
erat dengan era kolonisasi, era revolusi dan era kemerdekaan atau federal. Pada
era kolonisasi kelompok kecil penjajah telah menguasai lahan di pesisir dimana
mereka pertama kali mendarat. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pada saat
mereka mendarat lahan pesisir tidak berpenghuni. Para penjajah yang datang di
lahan baru tersebut berasal dari Eropa, kemudian membentuk masyarakat baru
dimana mereka telah meninggalkan masyarakat yang lama yang dianggap sudah
tidak berkenan di hati mereka. Akibat dari kondisi ini, mereka saling berebut
untuk menduduki atau memilila lahan pesisir yang tidak berpenghuni tersebut.
Akibatnya timbul konflik untuk menentukan "ranking" siapa yang terlebih dahulu
harm menempati lahan kosong tersebut. Pada saat itu muncul suatu pandangan
bahwa yang langka bukan hanya lahannya tetapi juga manusianya yang mau
datang ke lahan pesisir. Di sarnping itu terjah juga kelangkaan terhadap kapital
termasuk proporsi antara tenaga kerja dan lahan. Serbuan untuk bertempat tinggal
di barat misalnya dari Ohio ke California menghasilkan beberapa karakteristik
bagi orang-orang Arnerika, dimana kepemilikan pribadi (private property) sangat
kuat mewarnai jenis kepemilikan lahan di kawasan pesisir. Lahan di Amerika
utara diklaim sebagai daerah orang yang berasal dari pelbagai orang Eropa.
Implikasi dari kedatangan pelbagai macam orang Eropa tersebut, maka timbul
senantiasa peperangan diikuti dengan perjanjian yang silih berganti. Hal ini selalu
terjadi di kawasan tersebut. Banyak raja-raja Eropa menarik garis batas yang
dianggap menjadi kawasan mereka dan relatif kawasan tersebut mudah untuk
dikendalikan terutama keterkaitannya dengan penduduk indian. Para raja-raja
Eropa banyak menghadiahkan lahannya ke para permukim dengan pelbagai
macam jalur. Misalnya Massachusetts, Rhode Island dan Connecticut dihlbahkan
kepada perusahaaddeveloper yang akan membangun permukiman. Sedangkan
New York setelah diambil dari Belanda dan Virginia dipertimbangkan sebagai
kawasan koloni para raja-raja Eropa dan hak terhadap lahan pada umumnya
berasal dari tangan pertama yaitu para raja.
Pada era revolusi, para penjajah telah mencapai tingkat kemakrnuran
ekonomi yang cukup tinggi sesuai standard pada masa itu. Namun jumlah
populasinya masih kecil yaitu berkisar tidak lebih dari 3 juta penduduk. Namun
jumlah penduduk semakin meningkat dengan cepat dan dengan cerdas pula
diantisipasi tingkat perkembangannya yaitu pada hari dimana penjajah Inggns
mempunyai lebih banyak penduduk daripada di negara Inggris sendiri. Sensus
pertama pada tahun 1790 tercatat jumlah penduduk 4 juta orang, kemudian sensus
kedua pada tahun 1800 jumlah penduduk sudah mencapai di atas 5 juta.
Diperkirakan 90 persen dari jumlah penduduk adalah petani yang sangat erat
sekali dengan tanah. Pada kawasan pesisir dimana terletak kota-kota yang dinilai
kotanya relatif kecil dan relatif penduduknya tergolong klas yang makmur.
Mereka tergolong para pedagang yang tinggal di rumah-rumah yang permanen
dan bagus dan menikmati minuman anggur impor. Terjadinya spekulasi lahan dan
perdagangan dengan penghasil pertanian merupakan sumber utama kemakmuran
kota. Terjadinya revolusi Qakibatkan adanya kesenjangan kemakrnuran, sehingga
munculnya revolusi yang melibatkan penduduk yang masih loyal dengan penjajah
Inggris dan para pemukim yang ingin merdeka. Pada saat revolusi, para penduduk
yang menginginkan kemerdekaan dibantu oleh penduduk dengan pendapatan
tinggi yang pro dengan revolusi dan menjual tanahnya untuk kepentingan
revolusi. Dengan revolusi tersebut diharapkan terjadi kebebasan dalam
kepemilikan lahan tennasuk hibah kepada para prajurit militer yang ikut dalam
pertempuran.
Pada era kemerdekaan yaitu pada abad ke sembilan belas, pembahasan
mengenai penyelesaian lahan milik negara atau milik pemerintah federal menjadi
fokus pembahasan utama baik secara politik maupun ekonomi. Hal tersebut juga
menjadi elemen dasar dari kebudayaan bangsa. Debat di Konggres dan kampanye
politik sering berfokus kepada issue lahan negara. Pada saat Amerika
dideklarasikan pada tahun 1788, diperkirakan 150 juta are lahan suatu luasan yang
sama dengan besarnya Texas atau Perancis dimililu oleh negara. Pada tahun 1850
luas lahan yang dimiliki oleh pemerintah meningkat menjadi 1.500 juta are. Pada
gambar grafik dibawah ini terlihat perbandingan antara luas total area dan 48
negara federal yang luas wilayahnya mencakup 1.900 juta are. Tiga perempat dari
total luas lahan tersebut adalah lahan milik pemerintah.
2.1.1.2 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Jepang
Sejarah pemanfaatan lahan di Jepang dimulai pada saat dilakukan
penyesuaian kembali lahan yang bersamaan dengan dimulainya proyek
perencanaan kota pada tahun 1873. Penyesuaian pemanfaatan lahan dimulai
secara besar-besaran akibat terjadinya kebakaran kota yang melanda kawasan
Tsukiji, Kiban-cho dan kawasan Ginza Q Tokyo yang terjaQ pada bulan Pebruari
1873 (Dwianto, 2001). Penyebab utama terjadinya penyesuaian pemanfaatan
lahan adalah bahwa Tokyo telah berkembang menjadi kota yang tidak jelas
arahnya sehingga mudah sekali terjadi bencana kebakaran. Untuk itu Tokyo mulai
melakukan pembangunan kembali dengan menggunakan bangunan yang tahan
terhadap bencana seperti api, gempa selama hampir 30 tahun. Biaya yang telah
dikeluarkan diperkirakan mencapai 50 juta yen untuk pembangunan sarana dan
prasarana perkotaan. Undang-undang yang telah ditetapkan untuk mulai
menyesuaikan pemanfaatan lahan dalarn konteks perencanaan kota ditetapkan
pada tanggal 16 Agustus 1889. Selanjutnya Undang-undang tersebut direvisi pada
tahun 191 8 dan pada tahun berikutnya dibuat khusus undang-undang mengenai
perencanaan kota. Undang-undang tersebut kemudian direvisi lagi pada bulan
Desember 1923 disebabkan terjadi bencana gempa bumi "Kanto". Pada bulan
September 1946 undang-undang tersebut direvisi kembali setelah terjadi perang
dunia ke 2. Di samping ada undang-undang penyesuaian lahan yang lmulai sejak
bulan Agustus 1889, disusun pula undang-undang untuk pengelolaan lahan dan
gedung dalam rangka perencanaan Kota Tokyo pada bulan Januari 1890 yang
kemudian disempurnakan melalui undang-undang pembangunan kota pada tahun
1 9 19. Berdasarkan undang-undang tersebut disusun kembali undang-undang
tentang standar bangunan pada bulan Mei 1950. Undang-undang mengenai
perbaikan lahan ditetapkan pada tahun 1898 dan selanjutnya disesuaikan pada
bulan pebruari 190 1 dan kemudian disempurnakan kembali pada bulan April 19 10
yang selanjutnya disesuaikan kembali pada bulan Juni 1949. Gambar 1 di bawah
ini menunjukkan sejarah perundang-undangan dan peraturan penyesuaian
pemanfaatan lahan 1 Jepang (Dwianto,200 1).
Revis~on of the above law
City Planning Law (1919)
Regulation for Management of Land and Building in Tokyo Town Planning
(Januaw 1890)
Former Arable Land Readiustment Law (Februaaw 1910). Later on abolished
Urban Construction Law Arable Land Readjustment Law (April 19 10). Later on abolished
Land Re?djusment I 1 I
I
Special City Planning Law Building Standard Law
Article 12 in City Planning Law +
+ 2 3 e
- .3
Land Adjustment Law (Mav 1954)
(Mav 1950)
(December 1923, for disaster damage reconstruction after Kanto Earthquake. The law was later on abolished) (September 1946, for war damage reconstruction. The law was later on abolished)
Gambar 1 Hukum dan Peraturan Proyek Penyesuaian Ulang Lahan Sumber : Toshi Seibi Kenkyukai (191 1) yang diacu dalam Dwianto (2001)
2.1.1.3 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Eropa
Sejarah pemanfaatan lahan di Eropa akan difokuskan kepada pembahasan
mengenai latar belakang bangsa Anglo-Saxon yaitu Inggris. Bangsa Inggris
menurut Richter (1993) dapat mewakili gambaran pemanfaatan lahan di Eropa
yaitu dengan melihat hubungan antara kepemilikan lahan dengan para raja-raja di
Inggns. Hubungan ini akan ditinjau khusus pada abad ke-9 dan ke-10 yaitu
berkisar antara tahun 10 16 - 1035, karena pada masa itu ada peraturan hukurn
untuk pertama kalinya dibuat oleh raja Edward sebelum invasi bangsa Norman ke
Inggris. Peraturan hukum tersebut mencakup suatu sistem dalam bingkai
feodalisme, dimana pada sistem kepemilikan lahan termasuk kewajiban-
kewajiban yang menyertainya merupakan jawaban atas pertanyaan dimana
sebenarnya kekuasaan yang ada di Inggris sebelum periode penaklukan oleh
bangsa Norman. Dalam kaitan tersebut diperlukan pemahaman mengenai hirarki
sosial di antara struktur kekuasaan di Inggns. Dalarn Garnbar 2 di bawah ini akan
diperlihatkan struktur hubungan antara raja sampai dengan lapisan masyarakat
paling bawah.
r EM 4 P PE 0
r- ROR K P
1 E
- * N 4 1 4 G
B A * R 0 N
T KNI i
Gf ITS N
s
4
I
PEA - SANT - S
L
I
Gambar 2 Struktur Sistem Feodal
Maitland (1921) menyebutkan bahwa sifat feodal bangsa Norman sangat
dominan berpengaruh terhadap kepemilikan lahan bangsa Inggris dengan
mengabaikan kepemilikan oleh masyarakat. Sistem tersebut sangat
memperhatikan kepemilikan lahan oleh para Baron. Pengaruh bangsa Norman ini
kedepan masih diakui dalam sistem Bangsa Angla Saxon. Struktur kepemilikan
lahan tersebut terkait dengan sistem Feodalisme.
Menurut Gabriel (1998) Feodalisme akan mencakup semua kondisi
budaya dan politik dengan sistem ekonomi. Feodalisme Eropa Barat adalah
budaya spesifik dan kondisi politik dimana para kaum bangsawan menempatkan
posisinya sebagai "monopolis". Dengan demiluan feodalisme merupakan satu
sistem politik yang bekerja untuk memelihara strata sosial. Dalam banyak hal,
organisasi politik pada sistem feodalisme dipimpin oleh keluarga besar dengan
sistem loyalitas politik dan aliansi. Sangat menarik hubungan antara negara feodal
dengan pimpinan kerajaan.
Feodalisme adalah satu hubungan kontraktual antara kelas atas yang
dipimpin oleh seorang tuan tanah (land lo r4 kepada orang-orang bawahannya
setelah kembali untuk tugas militer. Feodalisme dicirikan oleh adanya kekuatan
ekonomi dan kekuatan politik lokal yang dipegang oleh tuan tanah dan
pengikutnya dengan berbasis kepada istana atau kerajaan yang masing-masing
dicirikan oleh adanya distrik (wilayah-wilayah). Struktur ini membentuk satu
hirarki piramid. Dengan demikian istilah feodalisme melibatkan suatu pembagian
kekuasaan pemerintah yang meluas meliputi pelbagai wilayah di dalam istana.
Feodalisme tidak mempengaruhi hubungan sosial ekonomi antara petani dan tuan
tanahnya. Feodalisme di Inggns didorong oleh para bangsawan dimana raja pada
tingkat yang paling atas mengatur semua kekuasaannya.
Sejarah pemanfaatan lahan di masa feodalisme sangat terkait dengan
hubungan antara struktur kekuasaan di atas yaitu raja yang mempunyai variasi
yang berbeda di bangsa-bangsa Eropa. Sebagai contoh di Jerman, struktur
pirarnida berakhir 1 tingkat raja yang paling bawah yaitu putra raja dengan kata
lain raja-raja Jerman tidak pernah dapat mendorong pada tingkat sistem di atas
yang telah dikembangkan di luar kerajaan. Di Eropa Barat (Perancis), raja
menemui beberapa kesulitan dengan menggunakan posisinya untuk menjadi
kekuasaan feodal.
Perluasan sistem feodalisme tidak hams dilebih-lebihkan namun demikian
banyak bagan di Eropa tidak pernah menggunakan sistem feodal. Kelembagaan
feodalisme bervariasi dari wilayah ke wilayah dan secara urnurn bahwa hubungan
antara tuan tanah dengan para petani merupakan suatu sistem proteksi yang
sifatnya timbal balik. Namun pada tahun 1000 SM lahan-lahan dikembalikan
kepemilikannya oleh pemerintah dengan mempunyai yurisdiksi yang jelas.
Pemanfaatan lahan pada sistem feodalisme sangat dipengaruhi oleh raja
dan para bangsawan yang mempunyai otoritas penuh kepada lahan-lahan yang
telah diberikan oleh raja, sehingga pengaruh sistem feodalisme terhadap status
kepemilikan lahan sangat dominan. Feodalisme adalah sistem loyalitas dan
proteksi pada pertengahan abad dlmana pada sistem tersebut dapat digambarkan
sebagai suatu pirarnid. Raja berada pada bagian atas. Setiap orang mempunyai
loyalitas dan melayani raja. Tingkatan di bawah raja ada yang disebut sebagai
bangsawan yang mengontrol hampir semua lahan.
Di bawah bangsawan ada para pembantu yang mempunyai loyalitas tinggi
kepada para bangsawan yang berkuasa. Raja dan bangsawan memberikan lahan
kepada bangsawan yang lebih rendah yang disebut dengan lahan yang dikuasai
kaum feodal setelah kembali dari tugas militer. Budak belian berada pada posisi
paling bawah dari bangunan piramida. Para budak tersebut bekerja pada lahan
yang dimiliki oleh para bangsawan. Para budak ini diperlakukan dengan tidak
baik dan kebebasan mereka sangat terkekang. Jika suatu saat para budak keluar
dari sistem, maka ha1 tersebut disebut dengan pelanggaran perjanjian. Pelanggaran
perjanjian berarti telah terjadi pengngkaran terhadap perjanjian. Pada saat para
petani atau para pembantu gaga1 melaksanakan tugas dari para bangsawan, maka
para bangsawan akan membawa ke pengadilan.
Para bangsawan memiliki sebidang lahan yang diberikan oleh raja. Raja
memberikan lahan kepada bangsawan dengan persyaratan bahwa bangsawan
berjanji untuk menghasilkan para ksatria untuk berperang dan mendukung militer.
Setiap bangsawan mempunyai penggilingan dan mendapatkan pendapatan pada
saat petani membeli kepada bangsawan. Bangsawan mendapatkan uang dari hasil
penggilingan dan sewaktu-waktu bangsawan yang memiliki lahan tersebut akan
mengalihkan kepemilikannya kepada bangsawan lain dengan maksud untuk
proteksi. Semua orang yang tinggal di lahan bangsawan mempunyai layolitas
kepada bangsawan. Bangsawan yang mempunyai kedudukan lebih rendah disebut
pembantu dan bangsawan tersebut sangat kuat, sehingga mereka sangat loyal
kepada bangsawan di atasnya. Baik raja maupun bangsawan memberikan kepada
para pembantu sebidang lahan yang dikembalikan untuk pelayanan militer.
Lahan-lahan tersebut adalah lahan yang dikuasai para bangsawan. Para pembantu
yang kedudukannya di atas budak belian dapat dikatakan tidak begitu kaya. Para
pembantu memberikan kepada para bangsawan ksatria untuk melindungi lahannya
termasuk keselamatan para bangsawan itu sendiri.
Para pembantu bangsawan berhutang kepada bangsawannya di bidang
militer. Para pembantu harus menyediakan sejumlah ksatria setiap tahun. Para
pembantu adalah tuan dari para ksatria. Sewaktu-waktu pembantu bangsawan
memberikan hibah kepada para ksatrianya bagian dari lahannya. Kemudian para
ksatria juga pada akhirnya dapat menjadi pembantu bangsawan. Kejadian ini
disebut sub-sub feodal ("subinfeudation"). Setelah beberapa waktu ada banyak
lapisan feodal yang saling berhubungan dan terpisah dengan para ksatria dan raja.
Di antara lapisan feodal ada banyak perbedaan tingkat bangsawan. Masing-
masing dari pembantu bangsawan mempunyai kedudukan lebih tinggi. Implikasi
dari sistem ini memberikan warna kepada pertumbuhan kota-kota dan industri
yang mengacu kepada sistem feodal.
Para petani bekerja pada lahan-lahan bangsawan dan para petani disebut
dengan budak belian. Para petani tersebut hams mengikuti bangsawannya secara
lengkap dengan tidak ada kebebasan dan hams bekerja mengolah lahannya. Para
budak belian dapat membeli kebebasannya dari majikannya atau mereka
melarikan diri, tetapi pada akhirnya mereka akan tertangkap. Tugas para petani
adalah membajak, memanen, memandikan domba dan mengangkut barang-
barang. Hal-ha1 yang berkenaan dengan pertanian memerlukan banyak tenaga
kerja dan banyak petani hams bekerja kepada lahan bangsawan. Para petani bukan
bagian dari feodalisme. Kehidupan para bangsawan dihitung dari seberapa banyak
petani yang dimiliki, sementara kehidupan para petani tergantung pada
keselamatan yang diberikan oleh majikannya. Bangsawan mengatakan kepada
para petani mengenai apa yang akan dikerjakan untuk setiap harinya. Pada saat
kembali dari pekerjaannya, bangsawan memberikan kepada para petani sebuah
gubuk yang berdekatan dengan lahan bangsawan. Petani menukar tenaganya
untuk perlindungan dari majikannya.
Dengan demikian feodalisme adalah suatu organisasi yang menganut azas
desentralisasi yang timbul pada saat kewenangan yang terpusat tidak dapat
melakukan fungsinya dan tidak dapat mencegah munculnya kekuatan lokal. Pada
saat masa isolasi dan kerusuhan di abad ke-9 dan ke-10, para pemimpin Eropa
tidak lagi berupaya untuk melakukan perbaikan pada institusi romawi, namun
menyesuaikan apapun yang akan dikerjakan. Hasilnya adalah bahwa Eropa
berkembang secara relatif baru dan efektif dengan seperangkat kelembagaan,
menyesuaikan dengan konlsi ekonomi yang sedang menurun, transportasi yang
belurn memadai termasuk fasilitas komunikasinya, pemerintah pusat yang tidak
efektif dan hambatan yang konstan dari penyerangan kaum barbar seperti bangsa
Viking, Magyars dan Saracens. Kelembagaan yang paling terkenal adalah apa
yang disebut dengan "Manorialism" (organisasi para petani), "Monasticism"
(organisasi gerej a) dan feodalisme (institusi aristokrat). Ciri ini akan
mempengaruhi pemanfaatan lahan termasuk penggunaan nilai-nilai lahannya.
Proses sistem feodal ini adalah satu dari banyak cara yang berbeda dari
surplus tenaga kerja yang disediakan dan didistribusikan. Hal tersebut sama
dengan sistem kapitalisme yang pelakunya berasal dari surplus tenaga kerja yang
akan mewujudkan surplus barang dan jasa yang berbeda dengan orang-orang yang
memiliki barang dan jasa. Proses klas feodal ini dibedakan dari proses klas
kapitalis dengan kekurangan terletak pada pemilihan majikan pada waktu yang
lalu.
Pada feodalisme seperti yang sudah dijelaskan di atas mempunyai hak
monopoli atas semua alat produksi yang diperlukan buruh untuk bekerja.
Pengendalian hak monopoli ini memungkinkan raja-raja untuk menarik sewa
secara monopoli dari semua tenaga kerja yang menghasilkan. Sebaliknya pada
sistem kapitalisme para pekerja mempunyai pilihan untuk menentukan siapa yang
menjadi majikannya. Pemilikan lahan pada sistem feodalisme pada bangsa Anglo
Saxon ini dapat dicermati melalui metoda yang digunakan dalam penanganan
lahan di bawah Undang-undang Inggris sebelum penaklukan oleh bangsa Norman.
Pada prinsipnya bahwa pengelolaan semua lahan tergantung kepada raja
yang memiliki semua lahan. Ada 2 (dua) konsep dalam pemilikan lahan ini yaitu
konsep "Laenland' dan konsep "Bookland'. Menurut Abels (1988) bahwa konsep
"Laenland" adalah lahan yang diberikan oleh raja sebagai bantuan kepada para
bangsawan (baron) atau kepada ksatria atau para serdadu militer yang dianggap
mempunyai loyalitas dalam menjaga keselamatan raja. Dengan menghibahkan
lahannya tersebut, Raja berharap dapat memelihara loyalitas bawahannya agar
lebih "powerful/". Sistem kepemilikan lahan ini sangat ditentukan oleh faktor
status perorangan yang telah ditentukan oleh Raja. Pada saat seseorang
memperoleh lahan dari raja, maka raja mengharapkan memperoleh manfaat dari
warga negara dari klas yang paling bawah dan bekerja pada lahan tersebut.
Namun demikian, Raja hanya memperoleh kekuasaan terbatas, karena lahan yang
sudah dimiliki bergeser menjadi hibah. Hal yang sangat menarik dari "Laenland'
ini adalah bahwa lahan tidak dapat dihibahkan secara turun temurun. Pada saat
bawahan raja meninggal maka lahan yang dihibahkan tersebut akan kembali
kepada raja. Namun demikian, kondisi tersebut tergantung kepada proses generasi
yang akan datang. Apakah keturunan bawahan raja tersebut masih setia kepada
raja. Dengan kata lain konsep "Laenland' adalah pemilikan lahan yang didasarkan
semata-mata oleh kesetiaan kepada raja dan hak mewariskan di luar yang tidak
dinegoisasikan.
Jenis kedua dari sistem kepemilikan lahan adalah "bookland' yang
merupakan format awal pada pemegang lahan di Anglo Saxon. Konsep
"bookland" adalah bahwa setiap lahan yang dihibahkan kepada kepemilikan
permanen dengan menggunakan catatan di buku, sebenarnya salah satu perubahan
yang sangat besar dalam praktek pemerintahan Anglo Saxon dapat dilacak melalui
"bookland" untuk mengetahui peningkatan penggunaan lahan yang tertulis.
2.1.1.4 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Indonesia
Anwar (1995) menyatakan bahwa sejarah di Indonesia menunjukkan
pemanfaatan lahan yang dimulai dari sebelum Republik Indonesia lahir, penduduk
asli di daerah-daerah secara lokal dengan cara turun temurun mewarisi hak-hak
@roper& right) untuk memungut atau memanfaatkan sumberdaya alam di sekitar
lokasi tempat tinggalnya (baik sekitar hutan maupun perairan) yang dijamin oleh
hak-hak ulayat (territorial use right) meskipun tidak tertulis, hak-hak tersebut
diakui dan dihormati oleh masyarakatnya termasuk sumberdaya lahan. Mac
Andrews (1986) membagi periode kebijakan lahan di Indonesia menjadi periode
pada masa kolonial, periode paska kemerdekaan yaitu pada tahun 1947 - 1960
dan periode pada saat diundangkannya UUPA tahun 1960. Pada periode
penjajahan yang dimulai pada abad 17, terjadi konsolidasi kekuasaan perusahaan
Kompeni pada abad 17 adalah langkah awal untuk memperkenalkan sistem wajib
pajak dari penguasa lokal ke penguasa asing yang secara tidak langsung
menyebabkan sangat kesulitan menarik pajak kepada petani individual, yang
sering meninggalkan lahan yang sudah ditanami dan berpindah ke tempat lain.
Tekanan untuk mengubah sistem tanam ini pada abad ke delapan belas,
namun sampai kedatangan Raffles pada permulaan tahun abad ke sembilan belas
yang dengan pengalaman sebelumnya dengan masalah-masalah lahan di India
terutama di Madras. Raflles mengambil langkah awal untuk melakukan reformasi
pada sistem tersebut. Raffles pada mulanya menghubungi komisi Mc Kenzie pada
tahun 181 1 untuk menguji latar belakang masalah agraria dan kemuQan
merekomendasikan pemerintah kolonial dengan cara terbaik untuk
memaksimalkan penggunaan lahan. Setelah menemukan hasil pengujiannya
mengenai lahan di Indonesia baik yang dimiliki oleh Pemerintah maupun Raja.
Komisi menentukan lahan-lahan yang dapat dikenakan pajak untuk manfaat
pemerintah kolonial. Hal ini yang mulai diperkenalkan oleh Raffles untuk
mengenakan pajak dua perlima dari produk petani. Pajak tersebut sangat
berpengaruh pada abad ke sembilan belas. Selama periode kolonial pemerintah
sangat tergantung kepada para petani di pulau Jawa. Produksi yang dianggap
potensial oleh pemerintah kolonial tidak hanya mencakup penanaman padi, tetapi
juga tanaman untuk andalan ekspor.
Di samping itu ada kebutuhan yang tetap dari pemerintah kolonial
mengenai buruh tani yang dipergunakan untuk meningkatkan produksi.
kembalinya pemerintah Belanda, organisasi kolonial dari buruh setelah tahun
1830 diorganisasi dibawah sistem pananaman, dimana pada sistem ini disamping
membayar sewa tanah atau pajak, petani diwajibkan juga membayar seperlima
dari hasil lahannya dan petani diharuskan menanam tanaman ekspor.
Sebagai bagian dari penanaman untuk tanaman ekspor yang hams menjadi
kewajiban, mereka juga harus menyediakan tenaga buruh baik untuk kantor,
pekerjaan umum dan buruh untuk mengisi kebutuhan pedesaan. Sistem ini tidak
menguntungkan yang menyebabkan waktu petani sangat sedikit sekali untuk
mengurus pekerjaannya sendiri dan waktu para petani lebih banyak dihabiskan
untuk menanam tanaman kewajiban yang telah ditentukan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan terjadinya kelaparan seperti yang terjadi
di Cirebon pada awal tahun 1840 an. Sistem tersebut membangkrutkan perusahaan
perusahaan yang memiliki lahan yang sangat besar yang masih mengandalkan
kepada kebutuhan buruh.
Kebangkrutan tersebut dilakukan dengan mengklasifikasi kembali lahan
yang statusnya warisan kepada keluarga individu petani kepada masyarakat atau
lahan-lahan desa sehingga ha1 tersebut dibagi kepada sejumlah besar masyarakat.
Hasil penting dari sistem ini dan kebutuhan untuk efisiensi yang lebih besar
dibawah aturan kolonial pada abad sembilan belas adalah membentuk secara
bertahap kampung-kampung Jawa ke dalam suatu entitas masyarakat Jawa yang
lebih baik. Pada era setelah kemerdekaan di Indonesia dicirikan oleh sistem ganda
("dual system") dari undang-undang lahan yang dilaksanakan juga pada masa
kolonial.
Kewarganegaraan pada dasarnya ditentukan oleh sistem undang-undang
lahan yang menguasai kepemilikan dan pengendalian lahan. Untuk warganegara
yang bukan orang Indonesia, lahan bersambung seperti zaman kolonial untuk
disurvey, didaftar dan diberi penamaan didasarkan kepada prosedur undang-
undang sipil barat. Untuk orang indonesia lahan-lahan adat tetap diikuti, sedang
untuk "landholdings" biasanya tidak untuk dilakukan survey, tidak tercatat dan
tidak ada penanaman.
Kepemilikan lahan dan "landholdings" di bawah hukum adat yang
didasarkan kepada pengakuan masyarakat dari penentuan batas-batas lahan baik
secara pengakuan 1 isan maupun tertulis. Sangat sedikit sekali pengakuan tanah
adat yang tertulis, sehingga sangat sedikit sekali bukti-bukti kepemilikan secara
tertulis. Sebaliknya lahan yang di bawah undang-undang barat biasanya tertuang
dalam peta kadastral yang sudah disurvey dan didokumentasikan dan mempunyai
diskripsi legal, khusus dokumentasinya tertulis dan lengkap dengan pencatatan
tennasuk nomor dan dokumen pengendalinya, serta bukti-bukti tertulis untuk
spesifik kepemilikan dan pencatatan setiap parcel lahan. Diperkirakan kurang
lebih 5 persen lahan diseluruh Indonesia telah dilegendakan dengan sistem barat
clan sisanya 95 persen lahan belum terlegendakan, namun diakui oleh kepemilikan
adat dan pengendaliannya. Selanjutnya dengan masih kurangnya penglegendaan
lahan, sangat tidak mungkin untuk menentukan jumlah lahan yang diklaim
kepemilikannya dan ha1 tersebut dapat dikatakan sebagai tanah-tanah negara (state
land).
Wiradi dan Makali (1983) menyatakan bahwa kepemilikan lahan di
Indonesia tidak terlepas dari bentuk penguasaan lahan tradisional dan pelapisan
masyarakat desa. Pemilikan lahan terkait erat dengan status sosial, baik bentuk-
bentuk secara tradisional sebelum UUPA 1960, maupun sesudahnya. Disadari
bahwa status sosial seseorang akan turut menentukan tingkah laku politiknya,
tingkah laku budaya dan tingkah laku ekonominya. Ciri kepemilikan tanah
didasarkan kepada hukum formal maupun yang berdasarkan hukum adat. Hal ini
tentu saja akan mempengaruhi konsep-konsep mengenai hak atas tanah menurut
hukum adat dengan konsep-konsep mengenai hak atas tanah menurut hukum
formal barat. Pengertian hak milik mutlak (eigendom, property) tidak dikenal
sebelum adanya Undang-undang Agraria Kolonial 1870. Pada Undang-undang
tersebut dikenal istilah hak perorangan turun tenurun, hak komunal, hak milik dan
hak ulayat. Hak-hak ulayat ini sebenarnya secara lebih jelas telah diakui dan lebih
rinci dalam UU Pokok Agraria tahun 1960. Tetapi kelihatannya, karena kesalahan
interpretasi terhadap UUD 1945, terutama yang menyangkut daerah diambil alih
oleh negara, yang oleh para penguasa pengambil keputusan di departemen-
departemen atau Direktorat Jenderal diterjemahkan serta diartikan sebagai
penguasaan oleh pemerintah pusat, sehingga merekalah yang merasa dan
menganggap untuk mewakili negara.
Kejadian pengambilan hak-hak dari masyarakat komunal daerah oleh
pemerintah pusat sebenarnya bukanlah khas te rjadi di Indonesia, melainkan terjadi
juga di beberapa negara lain seperti di Asia. Sebagai akibatnya, maka hak-hak
masyarakat lokal untuk memungut atau memanfaatkan sumberdaya alam yang
bersangkutan menjadi hilang karena diambil alih oleh para pejabat/penguasa
pusat. Kesalahan interpretasi ini sangat jelas terjadi dengan lahirnya UU Pokok
Kehutanan dan UU Pokok Perikanan yang sangat mengabaikan hak-hak ulayat
(terrltorzul use rlght) dan kepentingan penduduk lokal yang diambil alih oleh
penguasa di pusat. Padahal pihak yang sangat mengetahui cam-cara pengelolaan
sumberdaya alam lokal atau regional termasuk pemanfaatan lahan yang mengarah
kepada sistem yang berkelanjutan adalah penduduk lokal tersebut yang didasarkan
atas pengetahuan mereka yang telah diwarisi oleh nenek moyang mereka beratus-
ratus tahun yang lalu; dan atas kepentingan pemeliharaan sumberdaya yang
bersangkutan, karena sumberdaya tersebut menjadi sumber pendapatan untuk
mendukung kehidupan mereka. Tetapi para penguasa di pusat, sebenarnya lupa
bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan pasal 33 itu, juga
ditujukan : ". . . . . . , untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", termasuk
masyarakat rakyat komunal lokal untuk memungut dan memanfaatkan sumber-
sumberdaya alam di sekitar lokasi tempat tinggalnya. Tetapi ironisnya, setelah
pemerintahan Orde Baru, justru Dirjen Departemen Kehutanan dan Dirjen
Perikanan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, telah menyetujui dan mengesahkan
sebagai undang-undang, dengan lahirnya UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1976
dan UU Pokok Perikanan No. 9 tahun 1985; yang kelihatannya lebih
mengantisipasi kehadiran para investor besar daripada memberikan manfaat
sumberdaya kepada rakyat setempat yang memerlukan sumberdaya alam sebagai
sumber pendapatan dan dukungan kehidupannya.
Sebagai akibat dari tidak dihormatinya hak-hak ulayat masyarakat
komunal tersebut, maka hak-hak mereka menjadi tidak menentu (uncertain
property rlght) yang pada dasarnya akan mengarah kepada terjadinya kerusakan
sumberdaya hutan maupun sumberdaya perairan (laut). Di lain pihak, penguasaan
dan pengelolaan sumberdaya alam yang lokasinya tersebar sangat luas Q wilayah
nusantara ini, sangat sulit untuk melaksanakan pengendalian, karena biaya-biaya
transaksi (biaya pemantauan, enforcement) dari klaim negara atas sumberdaya
alam tersebut sangat mahal, sehingga tidak mungkin dapat diwujudkan. Dengan
demikian, sumberdaya alam tersebut mengalami "akses terbuka" (open access
resources) yang pada akhirnya akan mengalami degradasi, seperti yang
diramalkan oleh Garret Hardin sebagai apa yang disebut "Tragedy of Commons/
Open Access Resources" (Suparmoko, 1 994).
Contoh nilai tanah yang memiliki harga dalam liberalisasi pasar di
Indonesia seperti yang dinyatakan oleh Husein (1997) bahwa dalam memasuki
tahap penentuan harga tanah, bagi panitia pembebas untuk seterusnya,
keberadaannya akan bener-benar diuji, sejauh mana pemihakan-pemihakan pada
suatu kepentingan. Trik-trik penentuan harga tanah, dalam banyak kasus dalam
praktiknya dilakukan setelah ada usulan untuk membebaskan dari si pemohon
atau pengguna tanah. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa
besar nilai tambah dl daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah di pasar
tanah dapat dimonitor per daerah. Penentuan harga tanah yang terburu-buru dan
parsial, per daerah, serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis - misalnya
antara Dinas Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) dengan instansi lain pengatur dan
pengguna seperti BPN, Departemen Pertanian, dan Depdagri - membuat harga
tanah secara real dan potensial belum dapat ditentukan dengan tepat. Salah satu
penyebab utama ketidakmampuan tersebut adalah nilai tanah yang sangat
spekulatif dan subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang
sangat dalam dan sulit dihtung.
Dari penentuan harga tanah ini, selanjutnya akan ditentukan seberapa
besar ganti rugi yang akan diberikan kepada tergusur. Melalui harga tanah ini
maka bentuk dan sifat konflik pertanahan (kepentingan) yang akan timbul relatif
mudah dipetakan, meskipun samar-samar. Harga tanah yang biasanya ditetapkan
panitia pembebas itu hanyalah "nilai tanah dalam lingkup yang sempit, yaitu
hanya harga fisik-ekonomis tanah saat itu, serta benda-benda fisik yang melekat di
atasnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan rumah. Padahal nilai hak atas tanah jauh
lebih luas dari nilai fisik-ekonomis, karena yang dijadikan pertimbangan orang
dalam menguasai tanah adalah sangat banyak dan mungkin sulit dlhitung. Hal ini
dikarenakan adanya aspek-aspek lain yang memancar dari tanah itu yang
dijadikan pertimbangan. Masalahnya adalah keberadaan aspek-aspek dimaksud
sangat sulit dikalkulasikan dan dinilai dengan sejumlah uang.
Lalu bagaimana panitia pembebas menentukan harga hak atas tanah.
Memang secara formal sudah dijelaskan oleh beberapa peraturan mengenai
bagaimana langkah-langkah yang hams dikerjakan. Seperti halnya yang tertuang
dalam Surat Juklak Depdagn Cq. Ditjen Agraria, No. Ba. 8123718172, Tanggal
8 Agustus 1972 mengenai pengumpulan data harga tanah secara berkala dengan
mencatat harga tanah untuk berbagai jenis dan keperluan yang berlaku di masing-
masing daerah. Harga tanah tersebut adalah harga pasaran, dalam arti harga yang
benar-benar terjadi dalam jual beli (rata-rata) selama triwulan sebelumnya.
Kemudian juga secara berkala tiap akhir triwulan melaporkan hasil pencatatannya
kepada BPN setempat.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah penentuan harga-harga tanah
yang selama ini banyak didasarkan pada harga jual tanah yang sempat dipantau
oleh BPN dan Pinas PBB. Caranya dengan meminjam tangan pencatatan pajak
yang dilakukan Dinas PBB dan peralihan tanah yang dicatatkan melalui Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu Camat, yang mendata jual beli tanah yang ada
di wilayahnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar dan
seberapa tinggi akurasi data-data tanah yang diperoleh lewat pencatatan tersebut.
Karena kita hams menengok ke belakang bahwa sebagian besar tanah yang
pendaftaran dan peralihannya dibuatkan akta otentik oleh PPAT, adalah tanah-
tanah yang ada di perkotaan, tanah yang ada di kawasan strategis dan
pengembangan serta tanah-tanah untuk perurnahan yang diperkirakan tidak akan
tergusur. Sementara itu tanah yang menjadi incaran investor adalah tanah-tanah
yang ada di pinggiran kota, di pedesaan, tanah pertanian, tanah-tanah yang belum
ada tanda buktinya berupa sertifikat dan tanah-tanah lain yang kurang jelas
statusnya berdasarkan PP. No. 10 Tahun 1961 dan UU No. 51Prp11960.
Kalaupun harga tanah itu didata melalui jual beli tanah yang ada di kelurahan,
dengan akta di bawah tangan, namun biasanya harga tanahnya sudah
dimanipulasi. Demikian pula kepala desa seringkali tidak melaporkan ha1 itu
kepada instansi di atasnya, apalagi ke BPN. Demikian halnya dengan arsip-arsip
mengenai jual beli itu seringkali jika telah menurnpuk akan dibuang, hilang, atau
tidak diinventarisir.
Jika penentuan harga tanah memakai kriteria obyek pajak. Maka pertama-
tama yang hams dicermati adalah tata cara penentuan harga obyek pajak yang
kurang obyektif, sejalan dengan sifat dan nilai tanah yang subyektif dan
spekulatif. Demikian juga pihak Dinas PBB yang masih belum mempunyai data
akurat tentang harga tanah dan perkembangannya tiap tahun. Terbukti sampai saat
ini Dinas PBB masih belum mampu mengenakan pajak progresif atau regresif atas
sebidang tanah yang seharusnya dikenakan ketentuan itu. Bahkan seringkali
penentuan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) didasarkan pada perhtungan secara
pukul rata, berdasarkan nilai suatu kawasan daerah tertentu. Sehingga seringkali
sangat memberatkan pihak-pihak yang belum mampu mengoptimalkan nilai
tanahnya.
Di sisi lain, tanah-tanah yang terancam digusur dikenakan pajak yang
"kebetulan" sangat rendah, atau jauh di bawah manfaat riil dan potensial yang
diperoleh pemiliknya. Namun kecilnya penentuan pajak tersebut, bukan karena
nilai tanahnya yang rendah, tetapi ada faktor lain yang menentukannya, misalnya
karena sarana dan prasarana pembangunan yang dihasilkan pemerintah belum
benar-benar menyentuh pada daerah atau belum banyak dinikmati oleh mereka.
Sehingga wajar saja bila mereka mendapatkan pajak yang rendah, berbeda dengan
mereka yang menikmati hasil pembangunan secara langsung yang membuat
tanahnya menjadi naik beratus-ratus kali lipat. Atau tanahnya berubah menjadi
basis atau tambang kekayaan yang tidak habis dikeruk. Sehngga terlalu "nalf'
jika ditanyakan mengapa di kawasan atau daerah seperti ini tidak pernah digusur,
bahkan semakin mendapat fasilitas dan kemudahan karena alasan tujuan
penggusuran adalah untuk mengoptimalkan nilai tanah.
Mungkin yang berperan memberikan masukan nilai tanah adalah pihak
aparat desa dan kecamatan, karena mereka ini yang terlibat langsung dan melihat
sehari-hari "arus lalu lintas" tanah itu terjadi. Demikian juga kepada mereka ini
sering dimintai oleh para pihak untuk menguatkan perjanjiannya.
Jadi persoalan sebenarnya adalah bermuara pada penentuan ganti rugi hak
atas tanah dalam arti yang luas. Karena persoalan mengenai ganti rugi dalam arti
sempit yang meliputi tanaman, dan bangunan bagi lembaga yang terkait adalah
relatif lebih mudah menentukan jumlahnya. Berbeda halnya dengan hak-hak dan
kenikmatan yang memancar dari tanah.
Nilai penggunaan lahan yang paling tinggi menurut Northam (1975)
adalah pada lokasi terdekat yang mempunyai aksesibilitas maksimum dan
pengguna lahan berkemampuan untuk membayar rente yang paling besar. Lokasi
tersebut merupakan lokasi yang hams dibayar dengan harga tinggi. Tabel 1
berikut ini adalah tabel yang menunjukkan jenis lokasi yang mempunyai pelbagai
nilai lahan dan penggunaan lahan.
Tabel 1 Hirarki dari Penggunaan Lahan "Central Business Distric" dan Nilai Lahan
Penggunaan Lahan
Kantor multi-sewa pusat Kantor pemilik tunggal utama Retail bergengsi Keuangan Mixed use lainnya Pelayanan Pangan (makanan dan minuman)
Lokasi
Inti (Kantor)
Inti (retail) Retail besar (swalayan) Retail khusus dan gabungan Kantor sewa multi dan tunggal Hotel Hiburan Bank Pelayanan dan pendukung Apartemen mewah
Nilai Lahan (per kaki persegi)
$50-$25
$25-$15
Retail kedua Pusat komersial lain Kantor kedua
Perdagangan umum Apartemen kelas menengah Retail perumahan
2.1.2 Rente Lahan
Menurut Suparmoko (1994), lahan merupakan sumberdaya alam yang
dapat diperbaruhi dalam arti dapat diperbaruhi kesuburannya. Pemanfaatan lahan
untuk pelbagai macam pengunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang
pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat dari penduduk
yang terus bertambah dan ekonomi yang berkembang. Untuk mengejar
pemenuhan alat-alat pemuas kebutuhan manusia yang terus berkembang clan
untuk maksud mengejar perturnbuhan ekonomi yang tinggi, pemanfaatan lahan
seringkali tidak rasional dan kurang bijaksana untuk jangka pendek, sehingga
kurang mempertimbangkan kelestarian sumberdaya lahan tersebut Akibat
pemanfaatan yang tidak rasional tersebut, lahan mengalami penurunan persediaan
dan manusia semakin tergantung pada sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya.
Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang
dilakukan dinegara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilemma
bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk
masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga
penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang hams dibayar
untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola oleh masyarakat
sebagai "common property" dapat disebut dengan "open access". Dalam istilah
ekonomi, lahan tersebut disebut "extensive economic margin" yang artinya bahwa
pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan
jika lahan yang open access tersebut diperluas maka "economic returnm-nya juga
sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972) bahwa balas jasa (return to land)
yang diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai
kedudukan yang paling penting.
Lahan sebagai faktor produksi seperti halnya modal dan tenaga kerja dapat
dibuktikan dengan tinggi rendahnya balas jasa (return to land) yang sesuai dengan
permintaan dan penawaran. Sebagai faktor produksi, lahan mendapat bagian dari
hasil produksi karena jasanya dalam produksi itu. Pembayaran atas jasa produksi
ini disebut sewa tanahllahan (rent). Menurut Suparmoko (1989) bahwa land rent
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu merupakan
kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari
sumberdaya lahan dapat dlihat dari surplus ekonomi karena kesuburan lahannya.
Menurut Blair ( 199 1 ) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan.
Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor
alam dari produksi dan oleh karena itu suplai Iahan tidak dipengaruhi oleh harga.
Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang
meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi bahan bakar,
sinar matahari, hujan clan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para ahli
ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property.
Property terdiri dari lahan dan bangunan. Kent merupakan keuntungan bagi lahan
dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan seperti
pada Gambar 3 di bawah ini.
I
Jumlah Lahan
Gambar 3 Suplay dan demand lahan Sumber : Blair, J.P. (1991)
Meningkatnya harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya
suplay. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai yang tetap, sehingga perubahan
dalam pennintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas dari lahan
tersebut. Suplai untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin dapat
ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti perubahan
zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu akan lebih
mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya.
Perrnintaan akan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap
keuntungan. Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MYi) merupakan output
yang dihasilkan dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses
produksi. Jika suatu pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif,
maka akan menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual.
Pertanian atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan
lahan dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan
tersebut. Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra. Jika
terdapat kompetisi di antara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain
hingga rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik.
Ketika suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk
tidak dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, pennintaan akan lahan
sama dengan nilai dari produk marjinal, V h P . Jika semua input non-lahan tetap
konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali
dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan :
dimana :
VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-i,
Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan
MI', = produk marjinal dari unit lahan ke-i,
Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi
yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan
pada hukum penurunan produktivitas marjinal. Ketika V W lebih besar
dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan
menggunakan lebih lahan yang berakibat pada menurunnya MP dan VMP. VMP
akan menurun hingga sama dengan rental rate.
Jika suatu pabrik memilil kekuatan monopoli di dalam pasar output,
maka V M dari lahan akan menurun lebih cepat dibandingkan dengan kasus
produser yang kompetitif, karena harga produk akan menurun ketika output
meningkat. Penurunan dalam produk marjinal lahan akan menyebabkan
menurunnya VMP. Kemudian VMP lahan akan menurun karena dua alasan
tersebut.
David Ricardo seorang ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dikenal sebagai
salah seorang penulis terkemuka dalam soal sewa tanah dengan teorinya mengenai
land rent deferensial, dimana ditunjukkan bahwa tinggi rendahnya land rent
disebabkan oleh perbedaan kesuburan lahan, makin subur lahannya makin tinggi
land renmya. Adapun land rent itu dapat naik atau turun mempunyai hubungan
langsung dengan harga komoditi yang diproduksi oleh lahan. Meskipun teorinya
dibuat untuk menjelaskan rent dari pertanian yang mengimplikasikan lahan pasar
di perkotaan. Ricardo percaya bahwa keuntungan bagi lahan adalah sisa. Ketika
tenaga kerja dan kapital memiliki suplai yang elastis, mereka dibayar dengan rate
yang kompetitif. Apapun yang terjadi setelah membayar faktor-faktor produksi
yang bergerak adalah sisa dari lahan yang selanjutnya disebut rent. Menurut
Rachbini (2002) bahwa sewa (rent) merupakan bentuk pendapatan yang paling
mudah dibandingkan dengan upah dan laba, karena tidak perlu menghadapi risiko
dan tidak perlu mengerahkan ketrampilan untuk memperolehnya.
Dalam Blair (1991), Ricardo menyatakan bahwa beberapa tempat
menerima rent yang berbeda karena perbedaan produktivitas. Produktivitas lahan
ditandai dengan kesuburan dan kedekatannya dengan pasar (di pasar perkotaan,
kedekatan dengan pasar lebih penting dari pada kesuburan). Lahan yang paling
produktif menerima rent tertinggi karena memiliki sisa yang tertinggi, dan
marjinal lahan dimana nilai tanaman sama dengan biaya sumberdaya non-lahan
yang diperlukan untuk produksi dan transportasi dari output terhadap pasar tidak
memperoleh rent. Ricardo percaya bahwa lahan yang paling produktif hams
dipupuk dulu. Perkembangan ekonomi dan populasi bertambah karena harga dari
hasil pertanian meningkat, yang menyebabkan lahan tambahan digunakan dalam
produksi dan rent pada peningkatan produktivitas lahan. Pada Gambar 4 di bawah
ini terlihat adanya perbedaan kualitas lokasi dari produsen yang menyebabkan
adanya perbedaan dalam "land rent". Hal ini disebabkan rata-rata biaya produksi
per unit sma, harga output yang diterima produsen didaerah pasar proporsional
dengan harga jual output. Sedang pada lokasi 250 Km dari pasar harga yang
diterima produsen lebih rendah. Untuk lokasi 500 Km, harga lahan lebih rendah
lagi disebabkan adanya biaya transpor. Perbedaan harga yang diterima produsen
tersebut, "land rent" tertinggi adalah lokasi dekat pasar dan semakin menurun bila
semakin jauh dari pasar.
Gambar 4 Perbedaan "Land Rent" dari Tiga Luas Lahan yang Berbeda Kualitas Lokasi dan Jarak dari Pasar (Sumber: Suparmoko, 1989)
Menurut Hartwick, et al. (1986) bahwa antara lokasi dan nilai lahan sangat
berkaitan erat. Hal ini berkaitan dengan harga setiap luas per acre lahan. Lahan
bersifat heterogen, karena perbedaan sebidang lahan dipelbagai lokasi, sehingga
mempunyai nilai yang berbeda.
2.2 Wilayah dan Lahan Pesisir
2.2.1 Definisi Wilayah Pesisir
Menurut Bengen (2000) menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah
wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah-
daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti : pasang surut, angin laut dan intrusi
garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-
proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut,
serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan. Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang
sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara
Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten
Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dm batas wilayah
pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung
Karawang di sebelah timur.
Akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus
terhadap garis pantai, sejauh ini belurn ada kesepakatan. Dengan perkataan lain,
batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini dimengerti,
karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan
pemerintahan sendiri (khas).
Pada Gambar 5 di bawah diperlihatkan beberapa alternatif (pilihan) dalam
menentukan batas ke arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir.
batasan ekstrim, suatu wilayah pesisir dapat meliputi suatu kawasan yang sangat
luas mulai dari batas lautan (terluar) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sampai
daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Batasan ekstrim lainnya, suatu
wilayah pesisir hanya meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut dan
daratan yang sangat sempit, yaitu dari garis rata-rata pasang tertinggi sampai
200 m ke arah darat dan ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata
pasang terendah.
. . P r u : n m Wil.lp111 Pes~zir &
.., Progrdnl Pen:elnlaa
Teritlxial Ratas Lurdn dn Tepl buran Pan\ .h\ntlra @ok arh~rrer
l'uridikrsi Prop~ml clrrnpk p n g daim!nllka Zon:l dP Pinpasan [ldn Garls P~sang nwsll, kTng,,,,h Ekonnm~ Iknua ardc Nqara Baaian 'iuN1 K!ds~k I _ &nJuRslll .~Nashrul I terhadap
___) ~ v ~ l a p l i psirir
Gambar 5 Batas program pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang berlaku sekarang dan masa akan datang (Sorensen dan Mc Creary, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 2000).
Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak yang
selalu berubah-ubah dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke
arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurislksi propinsi. Untuk
kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat
ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan
(planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation mne) atau
pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah perencanaan
sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan
manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata
(significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya di pesisir. Oleh karena itu,
batas wilayah pesisir ke arah darat untuk kepentingan perencanaan (planning
zone) dapat sangat jauh ke arah hulu, misalnya Kota Bandung untuk kawasan
pesisir DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan
dua batasan wilayah pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah
pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah
pengaturan.
Dalam pengelolaan wilayah sehari-hari, pemerintah (pihak pengelola)
memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan
pembangunan. Sementara itu, kewenangan semacam ini di luar batas wilayah
pengaturan (regulation zone) sehingga menjadi tanggung jawab bersama antara
instansi pengelolaan wilayah pesisir dapat berubah. Contohnya negara bagian
California yang pada tahun 1972 menetapkan batas ke arah darat wilayah
pesisirnya sejauh 1.000 m dari garis rata-rata pasang tinggi, kemudian sejak tahun
1977 batas tersebut menjadi batas arbitrer yang bergantung pada isu pengelolaan.
Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri (2000), definisi wilayah pesisir
yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke
arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pengertian bahwa
ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan
habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Umumnya kegatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan ekosistem pesisir.
Untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas fisik suatu wilayah
pesisir secara kaku (rigid) kurang begitu penting. Akan lebih berarti, jika
penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang
mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir
dan lautan beserta segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari
pengelolaan itu sendiri.
2.2.2 Karakteristik Wilayah Pesisir
Keunikan wilayah pesisir dan laut serta beragamnya sumberdaya yang ada,
mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara
terpadu bukan secara sektoral. Hal ini dapat dijelaskan minimal dengan alasan
sebagai berikut :
Yertarna, secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan
fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara
kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan
yang te rjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat
akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan
kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemuluman dan lain-lain) di lahan
atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (benvawasan
lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan clan fungsi ekologis
kawasan pesisir dan laut. Fenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan
faktor penyebab utama bagi kegagalan panen tambak udang yang pernah
menimpa kawasan Pantai Utara Jawa. Karena untuk kehidupan dan perturnbuhan
udang secara optimal diperlukan kualitas perairan yang baik.
Kedua, dalam suatu kawasan pesisir (misa1nya:Kalianda - Bandar
Lampung) biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Terdapat
keterkaitan langsung yang sangat kompleks antara proses-proses dan fungsi
lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
Ketigu, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari
satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampiladkeahlian dan
kesenangan @reference) bekerja yang berbeda misalnya sebagai petani, nelayan,
petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan
rumah tangga, dan sebagainya. Padahal sangat sukar atau hampir tidak mungkin
untuk mengubah kesenangan beke rja atau profesi dari sekelompok orang yang
sudah secara tradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
Keempat, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu
kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap
perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.
Contohnya, pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun
1982 mengkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan
lindung) menjadi tambak udang. Sehingga pada akhir 1983 ketika Jepang
menghentikan impor udang Indonesia selama sekitar 3 bulan, karena kematian
kaisarnya (rakyat Jepang berkabung, tidak makan udang), mengakibatkan
penurunan harga udang secara drastis dari rata-rata Rp. 14.000,- per kg menjadi
Rp. 7.000,- per kg, sehingga banyak petani tambak yang merugi dan frustasi.
Kelima, kawasan pesisir pada urnunya merupakan sumberdaya milik
bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang
(open access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip
untuk memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over
eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi
termasuk konflik pemanfaatan lahan di wilayah pesisir.
2.2.3 Lahan Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir dengan pelbagai sumberdayanya memiliki produktivitas
yang tinggi dan mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. Peran
penting ini diwujudkan dalam penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan
Pendapatan Asli Daerah, peningkatan devisa dan perbaikan kesejahteraan
penduduk pesisir (Dahuri, 2001). Potensi sumberdaya pesisir ini memiliki
keunggulan komparatif karena wilayah pesisir khususnya di Indonesia memiliki
kekayaan surnberdaya pesisir dan lautan tropis yang dapat diunggulkan dengan
biaya produksi dan tenaga kerja yang relatif murah, sehingga dapat memperkuat
kapasitas penawaran yang tinggi terhadap permintaan pasar.
Mengingat potensi yang sangat menjanjikan di wilayah pesisir ini, maka
wilayah pesisir ini dipergunakan untuk pelbagai kegiatan antara lain: kawasan
permukiman dan rekreasi, kawasan industri dan perdagangan, perkantoran,
kawasan pembuangan limbah (padat dan cair), kawasan untuk tumbuh dan
berkembang biakan perikanan, sumber energi, kawasan militer dan kawasan untuk
perlindungan alam. Pelbagai kegiatan tersebut memerlukan lahan yang sangat
luas, sehingga sering terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan. Pelanggaran
pemanfaatan lahan berakibat kepada makin menurunnya kualitas lingkungan dan
penurunan ini berdampak kepada kinerja perekonomian wilayah pesisir. Lahan
wilayah pesisir tidak hanya dilihat dari segi pemanfaatannya saja, tetapi juga
terkait dengan semua proses yang terjadi di wilayah pesisir. Perencanaan
pemanfaatan lahan terkait dengan proses alokasi sumberdaya agar dapat
dioptimalkan pemanfaatannya. Namun dalam proses pelaksanaannya lahan dapat
menjaQ ancaman proses pembangunan dan sebaliknya dapat menjadi faktor
pendorong pembangunan. Lahan dapat menjadi ancaman, jika produktivitas lahan
merosot, sehingga untuk memulihkan kepada kondisi awal memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Lahan akan menjadi faktor pendorong, jika memang lahan
dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan fungsinya. Yang menjadi
persoalan adalah jika lahan yang sebenarnya mempunyai nilai produktivitas tinggi
dan dimanfaatkan untuk yang bukan fungsinya. Untuk itu dalam penataan
kawasan pesisir lahan merupakan faktor produksi yang menjadi bagian penting
dan tidak dapat diabaikan dalam proses manajemen.
2.3 Kajian Literatur Tentang Pemanfaatan Lahan
Kajian literatur tentang konflik pemanfaatan lahan khusus di wilayah
pesisir belum pernah penulis ketemukan. Kalaupun ada penulisan pemanfaatan
lahan wilayah pesisir hanya merupakan bagian sebuah paragraf saja dan tidak
mendalam sampai terinci mengenai pembahasan nilai pemanfaatan lahan. Untuk
itu dalam rangka menggali lebih dalam ide pemanfaatan lahan ini akan diberikan
beberapa uraian singkat mengenai pengalaman pemanfaatan lahan di daratan yang
sebenarnya inti persoalannya tidak terlalu jauh dengan pemanfaatan lahan di
wilayah pesisir.
(1) Jackson, D. (1999) mengamati konflik pemanfaatan lahan pertanian dan
merumuskan suatu kebijakan publik yang dapat diimplementasikan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat terrnasuk didalamnya keseimbangan
kepentingan antara swasta dan masyarakat. Pengamatan konflik yang
dilakukannya secara khusus lebih ke arah penjelasan visi tentang bagaimana
lahan pertanian di Wisconsin perlu dipertahankan. Hal ini mengingat hampir
50°h luas lahan pertanian berada di kawasan tersebut. Disamping itu petani di
kawasan ini menghasilkan US $ 4 - 5 milyar penghasilan penjualan kotor
setiap tahunnya. Namun keberadaan lahan pertanian tersebut, terancam oleh
pertumbuhan permukiman yang sangat pesat terutama di daerah pinggiran
Winsconsin. Sehingga Smith menilai bahwa pembangunan permukiman
merupakan issu paling besar yang mengancam keberadaan lahan pertanian.
Jika proses pembangunan kawasan permukiman term berlanjut, maka dapat
diprediksi bahwa 5 sampai 10 tahun ke depan akan terjadi krisis khususnya
produk-produk pertanian. Untuk mengatasi masalah-masalah perubahan
pemanfaatan lahan dan konflik yang terjadi disarankan ada 2 (dua) ha1 pokok
yaitu: (a) Pertama terkait dengan proses atau strategi melibatkan masyarakat
petani dalam sebuah dialog khususnya berkaitan dengan rencana tata guna
lahan. Masyarakat perlu difasilitasi dengan baik agar dapat mengetahui dan
menjabarkan pemikiran-pemikirannya; (b) berkaitan dengan kebijakan khusus
mengenai kebijakan khusus dan perangkat untuk meminimasi konflik,
mengendalikan pembangunan, menghindari "outcome" yang tidak
di kehendalu masyarakat.
(2) Bachriadi, D. (1999) menulis mengenai akar sengketa agraria dan penguasaan
tanah serta sumber-sumber agraria di Indonesia yang terjadi pada saat ini.
Dalam UUPA tahun 1960 hak-hak Rakyat atas tanah di Indonesia telah
dijamin kepemilikannya secara khusus dalam U W A tersebut. Namun dalam
kenyataannya, bahwa banyak sekali tanah dikuasai oleh sekelompok
pengusaha besar dengan cara mudah dan tanpa birokrasi berbelit, sementara
banyak para petani atau para pemukim mengalami penggusuran dari tanah-
tanah pertanian, kawasan permukiman. Hal ini berakibat kepada sebuah drama
sengketa agraria yang sangat hebat, padahal kita mempunyai payung hukum.
Ketimpangan penguasaan tanah terlihat dari adanya kosentrasi penguasaan
tanah oleh perusahaan-perusahaan besar melalui konsesi-konsesi seperti Kuasa
pertambangan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), HGU perkebunan. Pelbagai
macam hak-hak tersebut merupakan bentuk kosentrasi penguasaan lahan di
Indonesia. Bachriadi mencatat data yang berasal dari sensus perkebunan besar
bahwa sampai dengan 1993 diperkirakan sekitar 3,80 juta hektar lahan
perkebunan dikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 2 1 koperasi. Jika diambil rata-
rata maka setiap perusahaan menguasai lebih kurang 3.097 Ha. Konsentrasi
penguasaan lahan juga terjadi lewat transformasi lahan-lahan subur menjadi
kawasan industri. Badan Pertanahan Nasional mencatat bahwa saat ini ada
sejumlah 124 kawasan industri dengan luas areal keseluruhannya meliputi
53.650 Ha.
Hal yang menarik dari proses perturnbuhan kawasan-kawasan industri
selama ini adalah pemanfaatan lahannya mengkonversi lahan-lahan pertanian
yang pada umumnya subur. Bachriadi mengamati bahwa lahan-lahan
pertanian di sepanjang garis pantai yang landai dari pulau besar, seperti pantai
utara Pulau Jawa. Kawasan pantai ini dinilai merupakan daerah paling subur
di Jawa dan sudah memiliki saluran irigasi teknis yang paling baik di seluruh
Indonesia. Namun kawasan pantai utara ini juga memiliki keunggulan
komparatif bagi pengembangan kawasan industri. Hal ini disebabkan karena
konturnya lebih baik serta dekat dengan pantai dan pada kawasan ini terdapat
banyak pelabuhan yang telah siap pakai.
Akses untuk pelbagai fasilitas di kawasan ini mudah diperoleh seperti:
transportasi dan komunikasi. Pada awalnya kawasan ini justru merupakan
lumbung pangan khususnya beras bagi Indonesia. Namun saat ini menuju
kepada kelangkaan kawasan pertanian, sehingga tingkat kehilangan pekerjaan
di sektor pertanian di kawasan ini sangat besar. Proses konversi lahan di
daerah pertanian subur menjadi kawasan industri, kawasan perumahan terus
berjalan. Bachriadi juga mencatat, selain terjadi konversi lahan, banyak juga
lahan yang sudah diijinkan untuk Qpakai kawasan perumahan, kawasan
industri, kawasan wisata dan rekreasi yang perolehannya dengan cara
menggusur, ditelantarkan begitu saja. Banyak sekali lahan tidur di kawasan
Jabodetabek. Menurut Pusat Studi properti Indonesia diperkirakan hingga
bulan Desember tahun 1997 terdapat sekitar 87.500 Ha lahan yang
ditelantarkan. Perkiraan sementara harga nilai lahan tersebut setara dengan
Rp. 65 trilyun rupiah. Bachriadi mencoba menelaah persoalan konversi lahan
secara kualitatif dengan melihat akar-akar ketimpangan penguasaan lahan dan
sengketa lahan dan dirumuskan ada 3 (tiga) corak dan watak sengketa agraria
& Indonesia yang berhubungan erat, yaitu: (1) proses ekspansi dan perluasan
skala akurnulasi modal baik modal domestik maupun modal internasional;
(2) watak otoritarian pemerintahan Orde baru; (3) perubahan strategi dan
orientasi pengembangan sumber-sumber agraria dari strategi agraria yang
populis (membangun masyarakat populis) menjadi strategi agraria yang
kapitalitik (mengintegrasikan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
perkembangan kapitalisme Internasional).
2.4 Konflik Pemanfaatan Lahan
Konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-
sasaran yang tidak sejalan (Fisher, et al., 2000). Untuk memperjelas pemahaman
mengenai konflik, maka menurut Miall (2000) pengertian konflik adalah aspek
intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah
sebuah ekspressi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul
sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul
bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Hal ini berarti bahwa terjadlnya
konflik pemanfaatan lahan disatu kawasan pesisir akan mempunyai nilai konflik
yang berbeda dengan kawasan pesisir lainnya. Sebagai contoh kawasan konflik
dikawasan pesisir di Serang. Hal ini disebabkan karena karakteristik fisik yang
berbeda, termasuk kondisi sosial budayanya, sehingga konfliknya berbeda-beda.
Konflik penggunaan lahan pesisir merupakan bentuk hubungan antara stakeholder
yang memiliki tujuan yang sama yaitu memanfaatkan sumberdaya pesisir secara
pareto optimal untuk meningkatkan pendapatannya yang kadang kala tidak
memperhatikan kepentingan orang lain. Artinya biaya sosial (social cost) yang
ditimbulkan oleh biaya pribadi (przvate cost) tidak diperhatikan sehingga kondisi
ini menyebabkan kegagalan pasar. Konflik juga dapat diartikan sebagai
ketidaksetaraan distribusi akses terhadap sumberdaya dan pelbagai pengguna.
Terminologi konflik mengandung pengertian adanya perbedaan persepsi tentang
kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak.
Menurut Anwar (2000) dan Fisher (2000) bahwa konflik pada urnumnya
disebabkan oleh karena akar pennasalahan yang bersifat ganda dan biasanya
merupakan kombinasi dari masalah dalam hubungan antara pihak-pihak yang
bertikai yang mengarah kepada konflik tersembunyi, konflik semi terbuka dan
konfl i k terbuka. Konflik dapat dikelompokkan dan dianalisis dengan
menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut:
(1 ) Konflik Data terjadi jika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak
sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi
dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena ha1 ini disebabkan
karena kurangnya komunikasi diantara 2 orang atau lebih yang konflik.
(2) Konflik Kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau secara nyata memang tidak bersesuaian dengan yang dinginkan. Terjadi
ketika satu atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya,
pihak-pihak lain hams berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini
terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumberdaya, fisik, waktu), atau
menyangkut masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau
masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya diri, mempertahankan keadilan,
rasa hormat).
(3) Konflik Hubungan Antar Manusia te rjadi karena adanya emosi-emosi negatif
yang kuat, salah persepsi (stereo~pe), salah komunikasi atau tingkah laku
negatif yang berulang (repetit~j). Masalah ini sering menghasilkan konflik
yang realistik atau mungkin tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan
ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik seperti terbatasnya
sumberdaya manusia atau tujuan bersama yang ekslusif, tidak ada. Masalah
hubungan antar manusia seperti yang tersebut di atas, seringkali memicu
terjadinya pertikaian dan menjurus kepada lingkaran-spiral dari suatu konflik
destruktif yang tidak perlu.
(4) Konflik Nilai disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, mungkin ha1 itu hanya dirasakan atau memang sesungguhnya
ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada
hidupnya, menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang adil dan tidak adil. Perbedaan nilai
sebenarnya tidak harus menjadi penyebab terjadinya konflik. Oleh karena itu
manusia dapat hidup saling berdampingan dan harmonis dengan sedikit
perbedaan nilai.
(5) Konflik struktural terjadi ketika kepentingan untuk melakukan akses dan
kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang
formal untuk menetapkan kebijakan urnum, biasanya lebih memiliki peluang
untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di
sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu sering kali dijadikan
alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan hanya
menguntungkan satu pihak tertentu.
Menurut Mubyarto (2000) bahwa manusia tidak hanya bersemangat untuk
"bersaing" tetapi juga "bekerjasama", sehingga bukan hanya pengertian
"competitive advantage", tetapi juga perlu dianggap penting konsep "cooperative
advantage" untuk mencapai efisiensi ekonomi.
Konflik pemanfaatan lahan kawasan pesisir ini akan ditinjau dari beberapa
aspek yaitu aspek ekonomi, aspek ruang, aspek sosial, aspek Geopolitik untuk
memberikan wacana bahwa konflik pemanfaatan lahan kawasan pesisir itu sangat
kompleks dan bersifat menyeluruh.
2.4.1 Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Ekonomi
Deininger (2000) menyatakan bahwa konflik lahan yang berpengaruh
terhadap aspek ekonomi meliputi issue tentang efisiensi, dan distribusi.
Pengalaman di Nicaragua menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki lahan
kemudian mereka bertempat tinggal disuatu kawasan yang dianggap tidak
berpenghuni, padahal kawasan tersebut lahannya dimiliki oleh para tuan tanah,
maka konflik yang timbul adalah pasar yang tidak efisien dan akan berbahaya
terhadap pendapatan kedua stakeholder termasuk issue mengenai equity.
Pemanfaatan lahan pada wilayah pesisir menunjukkan pemanfaatan yang
berbeda-beda. Menurut Blair (1991) bahwa tipologi pemanfaatan lahan untuk
kawasan perkotaan adalah 10% untuk manufaktur, 5% untuk kegiatan
perdagangan dan 35% digunakan untuk pelbagai pemanfaatan seperti gedung
pemerintahan dan lahan kosong, sedang 30% hanya digunakan untuk pemukiman.
Pemanfaatan lahan yang berbeda-beda tersebut ditinjau dari segi ekonomi akan
menimbulkan pengaruh, mengingat terjadinya perubahan lahan ke arah yang tidak
fungsional seperti lahan pertanian berubah menjadi lahan untuk industri atau
untuk pemukiman. Cheshire (1995) dalam papernya yang berjudul The Welfare
t.Jconomics of Land Use Regulation menyebutkan bahwa perubahan penggunaan
lahan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan keseimbangan struktur
pasar lahan didalam kota. Pendapatan yang eqivalen dengan biaya dari
pembatasan penggunaan lahan berpengaruh terhadap peningkatan harga lahan dan
rumah. Dengan demikian pengaruh pemanfaatan lahan dikawasan pesisir yang
ditelaah dari aspek ekonomi meliputi : (a) efisiensi pemanfaatan lahan dan
(b) alokasi dan distribusi.
2.4.1.1 Efisiensi
Menurut McEachern (2000) bahwa yang dimaksud dengan effisiensi
adalah suatu keadaan bila sumberdaya tidak dapat direalokasikan untuk
meningkatkan produksi suatu barang tanpa menurunkan produksi barang yang
lain. Effesiensi adalah kriteria utama untuk mengevaluasi perubahan. Effisiesi
mengacu kepada kemampuan menggunakan sumberdaya untuk menghasilkan
sesuatu nilai. Kalau sumberdaya digunakan untuk menghasilkan banyak barang
dan pelayanan dengan menggunakan tingkat input yang sama maka karakteristik
ekonomi akan lebih efisien.
Efisiensi pemanfaatan lahan tergantung kepada sampai seberapa besar
ongkos produksi yang dikeluarkan oleh pengguna lahan dalam meningkatkan
produksinya. Makin sedikit biaya produksi yang dikeluarkan dan makin besar
produktivitas yang dihasilkan maka akan terjadi efisiensi pemanfaatan lahan.
Namun efisiensi ini dapat ditelaah dari pelbagai macam aspek. Salah satu yang
dinyatakan oleh David Ricardo bahwa salah satu aspek yang perlu dianalisis
adalah "rente lahan". Ricardo meyakini bahwa manfaat lahan dihitung dari rente
yang dihasilkan dari hasil produksi lahan dikurangi dengan pengeluaran kemudian
beberapa komponen pengeluaran untuk pemulihan dan pemeliharaan produktivitas
lahan. Hal ini mengingat aspek produktivitas tenaga kerja dan buruh merupakan
suplai yang "elastis", dimana variabel-variabel tersebut hams dibayar dengan
harga yang kompetitif. Ricardo yakin bahwa lahan yang paling produktif adalah
yang pertama kali dipupuk. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk
menyebabkan harga pertanian meningkat dan ha1 ini menyebabkan penambahan
lahan menyebabkan produksi dan rente pada lahan meningkat. Hal inilah yang
menyebabkan berpengaruh pada efisiensi. Menurut Suparmoko (1989) bahwa
efisiensi ekonomi sering disebut juga sebagai pareto optimal yaitu suatu kriteria
yang sangat banyak digunakan untuk menilai kebijakan pemerintah hsamping
dari segi distribusi. Efisiensi dikatakan ada apabila kebijakan pemerintah itu
memberikan pengaruh ekonomi yang lebih baik dalam bentuk kesejahteraan
masyarakat yang lebih tinggi. Selanjutnya kebijakan itu dikatakan sudah efisien
atau mencapai pareto optimum apabila dalam perekonomian itu tidak mungkin
lagi untuk mengadakan alokasi faktor produksi yang menyebabkan disatu pihak
ada yang dibuat lebih sejahtera, sedangkan dilain pihak ada yang menjadi lebih
menderita.
2.4.1.2 Alokasi dan Distribusi
Alokasi berhubungan dengan kegiatan dari fungsi pemerintah dalam
menyediakan barang (Blair, 1991). Alokasi yang berhubungan dengan bagaimana
lahan dapat ditingkatkan produksinya. Hoover, et al. (1985) menyebutkan bahwa
alokasi suatu lahan didasarkan secara murni oleh maksimalisasi keuntungan
(profit) individu, bahkan kalau kompetisi bekerja lebih efisien daripada
sebelumnya, maka ha1 tersebut tidak dapat menghasilkan pola sosial yang
optimum dari penggunaan lahan, bahkan bukan dalam rangka maksimasi produk
nasional bruto untuk dkaitkan dengan lcnteria kesejahteraan yang lebih
komprehensif. Hak kepemilikan swasta merupakan kepentingan nyata bagaimana
setiap individu menggunakan lahan seoptimal mungkin diserahkan dengan
kebutuhan pasar. Hal inilah yang menjadi konflik kepentingan antara pemilik
lahan yang sudah jelas kepemilikannya dengan pengguna lahan yang tidak jelas
batas kepemilikannya. Hal ini menjadi makin jelas dengan penjelasan dari
Chistaller yang dikutip oleh Northam (1975) bahwa proses aglomerasi akan
mempengaruhi pola pemanfaatan lahan, dimana tingkat lokasi atau penyebaran
sumberdaya dimana pusat kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pemanfaatan lahan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada bentuk
perbedaan te rjadinya sumberdaya lahan sebagai hasil dari distribusi lahan yang
berbeda atau konsentrasi keruangan dari lahan yang dapat menyebabkan distorsi
dari lahan yang selanjutnya berakibat pada distorsi pola pemukiman kota yang
disebabkan karena lokalisasi sumberdaya lahan.
Pada urnumnya untuk menilai apakah suatu kegiatan itu layak atau tidak,
disamping dilihat dari sudut efisiensi juga dilihat dari sudut distribusi atau equity
(keadilan) dari kenaikan hasil produksi. Masalah dstribusi dapat dpandang dalam
kaitannya dengan distribusi antar anggota masyarakat pada saat ini dan yang akan
datang. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir yang perlu
dipahami adalah bahwa persoalan pemanfaatan lahan oleh masyarakat saat ini
tentu saja akan berpengaruh dengan generasi yang akan datang. Tingkat bunga
yang positif akan dipunyai pula tingkat diskonto yang positif pula. Dalam kaitan
tersebut program pemanfaatan lahan yang dipandang efisien oleh generasi saat ini
akan berakibat berpengaruh kepada pemanfaatan lahan bagi generasi yang akan
datang.
Untuk itu maka pola pemanfaatan lahan khususnya di kawasan pesisir
hams direncanakan sedemikian rupa agar lstribusinya dapat berorientasi kepada
kesinambungan pemanfaatan lahan yang akan datang. Hal ini mengingat
pemanfaatan lahan yang menyangkut kepada penyebarannya yang dalam
implementasinya tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini beralubat pada
terjadinya kerusakan tanah. Menurut Budianto (1999), tanah kntis ditandai dengan
kerusakan tanah yang terjadi karena penggunaan tanah (lahan tertutup) yang tidak
sesuai dengan peruntukannya. Soemanvoto (1975) yang diacu dalarn Budianto
(1999) menyatakan bahwa masalah kritis, erosi dan banjir merupakan masalah
demografi yang luas. Berdasarkan sudut pandang ekologi, pertambahan penduduk
telah melampaui daya dukung lingkungan. Pengaruh distribusi ini akan
berpengaruh kepada inefiensi, ketimpangan pendapatan, dan kesenjangan
pertumbuhan antara daerah.
2.4.2 Konflik Pemanfaatan Lahan yang Berpengaruh Terhadap Aspek Ruang (Spasial)
Budiharsono (2001) menyatakan bahwa aspek ruang merupakan ha1 yang
sangat penting dalam pembangunan wilayah pesisir, dimana di dalamnya terdapat
wilayah homogen, wilayah modal, wilayah administrasi dan wilayah perencanaan.
Disebut wilayah homogen karena wilayah pesisir merupakan wilayah yang
memproduksi ikan atau dapat disebut sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan
penduduknya yang tergolong dibawah garis kemiskinan. Wilayah nodal
merupakan wilayah pesisir yang seringkali sebagai wilayah belakang, dan daerah
perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai
halaman belakang yang merupakan tempat membuang segala macam limbah.
Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir merupakan penyedia input bagi inti dan
merupakan pasar bagi barang jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administrasi,
wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu
kecamatan atau desa namun juga dapat berupa kabupatenfkota. Sebagai wilayah
perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Hal
ini disebabkan batasan kriteria ekologis tersebut sering melewati batas-batas
satuan wilayah administratif.
Pengaruh konflik pemanfaatan lahan terhadap aspek ruang (spasial) dapat
meliputi :
(1) Pengaruh pada keberadaan kawasan konservasi yang makin lama makin
berkurang luasannya. Hal ini disebabkan sudah banyak terjadi perubahan
fungsional lahan yang sebelumnya lahan untuk pertanian dijadikan industri
atau untuk pusat perdagangan dan jasa-jasa.
(2) Kawasan terbangun makin lama malun bertambah luas, sedang kawasan tidak
terbangun makin lama makin sempit sehingga akan mengurangi resapan
sehingga volume aliran air permukaan menjadi bertambah besar yang pada
akhirnya menjadi banj ir.
(3) Terjadinya pengelompokan pemukiman pada penduduk yang berpendapatan
rendah (low income group} akan meningkatkan pencemaran laut maupun
pencemaran air permukaan dan air tanah akibat makin meningkatnya buangan
domestik. Perencanaan ini akan mengakibatkan penurunan produktivitas
perairan laut.
(4) Terjadinya kawasan industri yang menempati lahan-lahan pesisir dapat
menyebabkan meningkatnya beban daya dukung lingkungan akibat buangan
limbah industri yang tidak menggunakan "wastewater treatment" menjadi
surnber pencemaran bagi biota laut.
Menurut Sugiarti dkk. (2000) bahwa berdasarkan arahan Rencana Induk
Kota (RIK) dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Pasuruan, serta hukum
dan peraturan dan perundang-undangan yang ada dikaitkan dengan kondisi nyata
di lapangan, maka permasalahan utama yang terjadi dalam pemanfaatan ruang
adalah konflik penggunaan lahanlpemanfaatan lahan dan alih fungsi (konservasi)
lahan, penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang dan pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pengaruh konflik pemanfaatan ruang terhadap aspek spasial dari studi
Sugiarti, et al. (2000) adalah :
a) Persepsi yang berbeda antar stakeholder yang memanfaatkan lahan
- Pemerintah dan swasta beranggapan bahwa prioritas penggunaan lahan
wilayah pesisir di Kelurahan Gudugrejo dan Desa Trajeng Kabupaten
Pasuruan adalah industri dengan pertumbuhan aspek ekonomi.
- Masyarakat lebih dominan untuk kegiatan tambak dengan perkembangan
aspek sosial, karena pengusahaan tambak merupakan tralsi dan kebiasaan
turun temurun.
b) Rencana Tata Ruang yang dibuat tahun 1994 sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi dan perkembangan wilayah, sehingga perlu dilakukan revisi rencana
tata ruang.
c) Penentuan prioritas kegiatan penggunaan lahan untuk industri, tambak dan
permukiman ditentukan berdasarkan evaluasi kesesuaian peruntukannya dan
sesuai arahan rencana tata ruang.
d) Aspek ekonomi lebih dominan dalam penentuan prioritas kegiatan
penggunaan lahan dibandingkan aspek lingkungan , sosial dan teknologi.
2.4.3 Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Sosial
Pemanfaatan lahan yang mempengaruhi aspek sosial sering berhubungan
dengan tingkat kemudahan (akses) untuk mencapai pusat-pusat kegiatan. Ada
kecenderungan masyarakat yang tidak memiliki lahan menempati lahan-lahan
yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah. Sebagai contoh di negara-
negara berkembang masyarakat lebih banyak memilih bertempat tinggal di
bantaran sungai, situ atau badan-badan air yang dekat dengan akses dibatasi oleh
kendala sosial, politik dan geografis.
Menurut Fraiser (1999) dari hasil studi yang dia lakukan di masyarakat
Cabato Manabo di Philipina, menunjukkan bahwa masyarakat tradisional yang
termarginalkan oleh sebuah perusahaan kayu yang meng"c1aim" lahan-lahan milik
perusahaan, bahwa akses oleh masyarakat tradisional tetap diperlukan kepada
lahan yang dianggap masyarakat lokal merupakan lahan warisan melalui sebuah
bentuk persetujuan (agreement). Persetujuan tersebut hams juga memberikan
jaminan untuk mendapatkan keuntungan akibat hadirnya perusahaan kayu
tersebut. Selain faktor jarak para individu berusaha mencari akses ke tempat-
tempat kegiatan lainnya.
Asong, et ul. (2000) menyebutkan bahwa di samping masyarakat pantai
yang tidak mempunyai lahan dan bertempat tinggal di lahan-lahan ilegal, akses
yang dituju oleh mereka di samping sumberdaya perikanan yang ada di sekitar
pantai, mereka ingin meraih akses yang lainnya seperti penjual makanan, buruh
pabrik, guru dan sebagai vendor. Pengaruh pemanfaatan lahan terhadap aspek
sosial lain yang sangat berpengaruh meliputi: struktur geografis, umur, jenis
kelarnin dan tingkat pendidikan akan mempengaruhi prospek pembangunan
ekonomi. Namun banyak para ahli memperkirakan bahwa pada suatu periode akan
terjadi kekurangan tenaga kerja yang diakibatkan oleh tingkat perturnbuhan
angkatan kerja yang semakin menurun. Selanjutnya umur bayi akan meningkatkan
produktivitas. Untuk faktor demografi, pendapatan diperkirakan standar biaya
hidup tinggi dapat diprediksi.
Beberapa aspek sosial yang akan terkena pengaruh dari pemanfaatan lahan
adalah sebagai berikut :
(1) Terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat mengenai aspek-
aspek infrastruktur sosial seperti : puskesmas, pendidikan, tempat olah raga
akibat jumlah lahan yang terbatas, sementara kebutuhan akan infrastruktur
sosial tersebut makin meningkat.
(2) Terjadi perpindahan mata pencaharian lahan yang dipakai untuk bercocok
tanam dijadikan tempat yang tidak fungsional seperti kegiatan lain yang
mengarah mendapatkan keuntungan yang seluas-luasnya sehingga terjadi
"perbenturan" kepentingan antara lahan yang dipertahankan karena
mempunyai nilai sosial tinggi dibandingkan dengan upaya mengejar efisiensi.
(3) Terjadi benturan budaya lokal dan pendatang akibat pemiliklpengguna lahan
akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada. Apalagi banyak tanah
negara tidak termanfaatkan secara lebih baik. Adanya kesepakatan antar
pemilik dan non pemilik yang terkategorikan.
(4) Terjadi banyak pelanggaran hukum akibat ketidakjelasan pemanfaatan lahan
yang ada, sehingga banyak sekali munculnya mafia tanah terhadap kaurn
Squatters yang ingin menempati lahan yang bukan miliknya dengan cara
membayar sewa.
Menurut Roger (1971) bahwa pemahaman identitas masyarakat sangat
penting karena ha1 ini menyangkut pemahaman struktur masyarakat. Dimana
dalam struktur masyarakat ini tergambar struktur komunikasi inter-personal.
2.4.4 Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Geo-Politik
Menurut Foundation for Middle East Peace (2002) bahwa persoalan
Palestina menjadi masalah internasional pada akhir perang dunia kedua pada
waktu terjadi disintegrasi kerajaan Ottoman Turki. Palestina merupakan salah satu
dari wilayah kerajaan Ottoman Turki yang diletakkan di bawah adrninistrasi
kerajaan Inggris sebagai mandat dari Liga Bangsa-bangsa telah menjadi negara
merdeka, kecuali Palestina. Hal ini disebabkan karena adanya "Ralfour
Declaration" yang diterbitkan oleh Inggris bahwasanya Inggris mendukung
sepenuhnya negara Palestina untuk orang-orang Yahudi. Pada tahun 1922 sampai
1947 pada waktu tahun-tahun mandat Palestina, imigran Yahudi dalam jumlah
besar yang datang dari luar negeri terutama yang berasal dari Eropa Timur.
Mereka pada tahun 1930-an melarikan diri dari kerajaan Nazi Jerman.
Permohonan rakyat Palestina untuk merdeka dan perlawanannya kepada imigrasi
Yahudi yang menimbulkan pemberontakan pada tahun 1937 diikuti oleh pelbagai
kegiatan kekerasan dari para imigran Yahudi dengan penduduk asli Palestina yang
terus berlangsung sampai perang dunia ke 11.
lnggris mencoba untuk mengimplementasikan pelbagai macam formula
untuk membawa kemerdekaan kepada lahan yang telah rusak dengan kekerasan.
Pada 1947, Inggris sangat frustasi dan akhirnya membawa masalah ini kepada
PBB.
Konflik pemanfaatan lahan di Palestina ini merupakan konflik yang
sampai dengan saat ini belum dapat terselesaikan dan berumur sangat tua yaitu
kurang lebih berumur 85 tahun (1917 - 2002). Sejarah mencatat bahwa pada
awalnya orang-orang Palestina yang menempati lahan di wilayah Palestina,
namun setelah melalui proses sekian lama, orang Israel ingin kembali ke tempat
asalnya yang pada saat ituproperty right-nya dimiliki oleh orang Palestina.
Terjadinya pengakuan sepihak oleh orang-orang Israel dengan menduduki
secara paksa tanah yang sudah diduduki oleh orang-orang Palestina secara turun-
temurun. Pengakuan property rrght secara sepihak inilah yang menjadi
pertempuran secara terus menerus sampai saat ini. Konflik lahan yang ditinjau
dari aspek geopolitik akan berpengaruh pada ketidakjelasan hak-hak kepemilikan
yang sangat sulit diberikan legalitasnya karena menyangkut persoalan sejarah. Hal
ini berakibat kepada konflik terbuka secara turun-temurun dan tidak jelas kapan
berakhirnya. Pengakuan kepemilikan hanya dapat ditegakkan dengan kekuatan
militer, sehingga yang kuat clan unggul di bidang militer akan mempunyai otoritas
menguasai lahan.
2.5 Konflik Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir
Karena lahan pesisir memiliki nilai ekonomi, maka banyak individu,
masyarakat dan pemerintah menggunakan lahan pesisir secara tidak rasional
seperti : wilayah konservasi diserobot untuk permukiman, wilayah reklamasi
menjadi kumuh oleh para "Squatters", wilayah bantaran sungai di hilir pertemuan
dengan laut dipakai untuk permukiman, wilayah rawa digunakan untuk olah raga
air.
Penggunaan lahan pesisir yang tidak rasional tersebut menimbulkan
konflik antar stakeholder dalam wilayah, yaitu konflik antara lahan yang
dipergunakan untuk industri dan lahan untuk konservasi hutan bakau, konflik
lahan wilayah pesisir untuk tambak dan pemukiman, lahan di bantaran hilir sungai
yang menurut aturan tidak boleh untuk permhman, turnbuh subur menjadi
permukiman, lahan rawa yang sudah dijadikan wilayah permukiman penduduk
yang berpendapatan rendah akan dipakai untuk olahraga air oleh pemerintah.
Beberapa kemungkinan akibat konflik lahan yang terjadi di wilayah pesisir
antara lain: (1) Pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir yang distorsif dimana angka
pengangguran semakin tinggi, daya beli masyarakat makin berkurang, daya
produktivitas lahan makin menurun akibat terlalu banyaknya dilakukan kegiatan
yang sangat berkelebihan (over exploited), harga kebutuhan baik primer maupun
sekunder makin tinggi dan distribusi pendapatan yang makin tidak merata;
(2) Meningkatnya angka kemiskinan di wilayah pesisir; (3) Kesenjangan
pendapatan makin tinggi berakibat makin tajamnya golongan masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan berpenghasilan rendah; (4) Biaya yang diperlukan
untuk pemulihan lingkungan yang rusak sangat tinggi. Keseluruhan akibat-akibat
tersebut menyebabkan inefisiensi ekonomi yang pada gilirannya menyebabkan
pendapatan rendah dan kesenjangan tinggi. Hal ini kemudian juga meningkatkan
konflik selanjutnya sehingga konflik semakin tajam.
Beberapa sebab terjadinya konflik di wilayah pesisir, antara lain :
(1) batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (seperti hak milik, hak
guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak membuka tanah clan hak memungut
hasil hutan); (2) terjadi "transfer of ownership"; (3) eksklusivisme penggunaan
lahan karena adanya "power of money"; (4) pemerintah daerah tidak konsisten
menerapkan rencana tata ruang wilayah; dan (5) lemahnya penegakan hukum (law
enforcement).
Konflik penggunaan lahan tersebut mengarah kepada penurunan kualitas
sumberdaya alam wilayah pesisir yang pada akhirnya berujung kepada inefisiensi
ekonomi (harga lebih tinggi daripada biaya marginal), keputusan alokasi lahan
yang tidak efektif terutama untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan
akses bertempat tinggal dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah pesisir,
penurunan distribusi pendapatan bagi pelaku ekonomi (individu, masyarakat dan
pemerintah).
Masalah penggunaan lahan wilayah pesisir Jakarta Utara yang tidak
rasional menyebabkan terjadinya konflik antar stakeholder. Penggunaan lahan
yang tidak rasional tersebut disebabkan karena laju perturnbuhan penduduk sangat
cepat, sehingga memberikan tekanan kepada wilayah pesisir dan menimbulkan
dilema bagi kelestarian sumberdaya alam. Konflik yang terjadi mengakibatkan
penurunan kinerja ekonomi wilayah pesisir Jakarta Utara dan berdampak kepada
inefisiensi ekonomi, misalokasi dan distribusi ekonomi yang tidak merata.
Konflik lahan pesisir yang berakibat kepada penurunan kegiatan ekonomi
wilayah perlu dilakukan kajian untuk dapat mengidentifikasi penyebab konflik,
bentuk konflik, jenis konflik yang menjadi pemicu utama penurunan pertumbuhan
ekonomi wilayah, sehingga dapat diformulasikan resolusi konflik penggunaan
lahan yang optimal.
Pada dasarnya kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam yang terjadi di
kawasan pesisir bersurnber dari :
(I) Terus meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir akibat peningkatan jumlah penduduk danlatau peningkatan kualitas
hidup penduduk;
(2) Praktek-praktek pengelolaan yang tidak berkelanjutan (un.sustainable
management practises).
Atas dasar perilaku manusia (human behavior), kerusakan lingkungan
pesisir bersumber dari :
(1) Ketidaktahuan (rendahnya kesadaran) manusia akan implikasi kerusakan
lingkungan baik terhadap ekosistem pesisir maupun terhadap dirinya sendiri;
(2) Keterpaksaan karena kemiskinan absolut dan tidak ada alternatif mata
pencaharian lain;
Kerusakan lingkungan pesisir dapat juga disebabkan karena 3 jenis
kegagalan yang saling berkaitan :
(1) Kegagalan pasar dan hak kepemilikan (market failure andproperty rights);
(2) Kegagalan kebijakan ('policy failure);
(3) Kegagalan informasi (information failure).
2.6 Resolusi Konflik
Di dalam resolusi konflik akan didekati secara kuantitatif dan kualitatif.
Secara kuantitatif dipergunakan 2 (dua) pendekatan yaitu: dengan Nash-
Equilibrium yang dasar-dasarnya berasal dari Teori permainan. Implementasi dari
Nash-Equilibrium ini diwujudkan dalam persamaan garis-garis regersi liniar untuk
menentukan sebuah kawasan efisien atau tidak efisien pemanfaatan lahannya.
Sedang pendekatan kuantitatif lainnya dengan menggunakan teori Optimasi
melalui GAMS (Genaral Algebraic Model Sistem). Melalui GAMS ini akan
muncul sebuah solusi optimal pemanfaatan lahan yang efisien. Mengingat dalam
GAMS ini optimasinya adalah bebas nilai, maka optimasinya tidak memberikan
solusi dari aspek sosial. Untuk itu maka aspek sosial secara kualitatif dibahas pada
aspek instutusional.
Resolusi konflik yang ditawarkan dalam disertasi ini seperti yang
disebutkan menggunakan "Game Theory". Perhitungan optimasi dengan
menggunakan GAMS dan penyusunan alternatifnya berbasis kepada :
a. Bahwa kebutuhan squatter, pemerintah dan swasta (baik individu maupun
perusahaan) hams diakomodasikan memjuk kepada kompromi dan kolaborasi;
b. Bahwa squatter memerlukan "survival needs" seperti sandang, pangan, papan,
kesehatan dan keamanan yang hams menjadi bahan pemikiran utama dalam
bernegosiasi dengan squatter baik oleh pemerintah maupun swasta;
c. Untuk mewujudkan adanya saling kesepahaman antara squatter yang
memanfaatkan lahan secara illegal dan pemerintah serta swasta sebagai
pemilik lahan hams dapat menyediakan kompensasi (apakah dalam bentuk
uang, penyediaan rumah susun, mencarikan lahan barn) dengan memberikan
pengakuan dan penyelesaian yang tulus oleh pemilik lahan, bahwasanya
squatter tersebut adalah masyarakat Indonesia yahg hams diselesaikan
masalahnya.
2.6.1 Teori Permainan (Game Theory)
Game theory berkaitan dengan aksi dari individu-individu yang khawatir
bahwa kegiatan mereka akan mempengaruhi satu dengan yang lainnya
(Rasmusen, 1989). Game theory tidak berguna ketika keputusan yang dibuat
mengabaikan reaksi yang lainnya atau memperlakukan yang lain sebagai tekanan
pasar.
Menurut King (2001), game theory merupakan suatu pendekatan khusus
dan interdisiplin yang berkaitan dengan studi perilaku manusia. Beberapa disiplin
ilmu yang sering digunakan di dalam game theory adalah matematika, ekonomi
dan ilmu sosial dan tingkah laku. Game theory diciptakan oleh seorang ahli
matematika bernama John van Neumann. Bukunya yang terpenting berjudul "The
Theory of Games and Economic Behavior7', yang berkolaborasi dengan seorang
ahli matematika ekonomi Oskar Morgenstern. Morgenstern membawa ide-ide dari
ekonomi neoklasik, tetapi von Neumann sadar akan ha1 itu dan memberikan
kontribusi lain bagi ekonomi neoklasik.
Game theory telah menjadi suatu metafora ilmiah bagi interaksi manusia
secara luas yang hasilnya tergantung pada strategi interaktif dari dua orang atau
lebih, yang memililu motivasi yang bertentangan atau campuran. Beberapa ha1
yang dibahas di dalam game theory antara lain :
1) Apa artinya memilih sebuah strategi yang rasional ketika hasilnya tergantung
pada strategi yang tidak lengkap informasinya?
2) Di dalam game theory ada pilihan yang memperbolehkan keuntungan timbal
balik atau kerugian timbal balik yang rasional untuk bekerja sama dengan
mencapai keuntungan timbal balik (atau menolak kerugian timbal balik) atau
melakukan tindakan agresif rasional mencari keuntungan individu dengan
mengabaikan keuntungan atau kerugian timbal balik?
3) Jika jawaban No. 2 adalah "kadang-kadang", dalam kondisi seperti apa agresi
bersifat rasional dan dalam kondisi apa terjadl kerjasama yang rasional?
4) Dalam ha1 tertentu, apakah hubungan yang berkelanjutan berbeda dengan
orang lain dalam hubungan ini?
5) Dapatkah aturan moral tentang kerjasama muncul secara spontan dari interaksi
orang-orang egois yang rasional?
6) Bagaimana perilaku manusia sesuai dengan perilaku yang "rasional" dalam
kasus ini?
7) Jika berbeda, pada arah yang bagaimana? Apakah orang-orang lebih
kooperatif dibandingkan yang masuk akal? Lebih agresif? atau keduanya?
Kunci yang menghubungkan antara ekonomi neoklasik dengan game
theory adalah rusionalitas. Ekonomi neoklasik didasarkan atas asumsi bahwa
manusia sangat rasional dalam pilihan ekonominya. Asumsinya adalah bahwa
masing-masing orang memaksimumkan penghargaan-keuntungan, pendapatan
atau keuntungan subyektif - dari kondisi yang dihadapinya. Hipotesis ini
memberikan tuj uan ganda dalam studi alokasi sumberdaya alam. Pertumu,
membatasi kisaran kemungkinan sedikit banyaknya. Perilaku yang sangat rasional
lebih dapat diprediksi dibandingkan dengan perilaku yang tidak rasional. Kedua,
memberikan suatu knteria bagi evaluasi efisiensi dari suatu sistem ekonomi. Jika
suatu sistem mengarah ke arah pengurangan penghargaan terhadap beberapa
orang, tanpa menghasilkan kompensiasi lebih kepada yang lainnya (biaya lebih
besar daripada keuntungan) maka telah terjadi sesuatu yang salah. Polusi,
eksploitasi berlebih pada sektor perikanan, dan sumberdaya yang tidak cukup
dapat dijadikan sebagai salah satu contohnya.
Dalam ekonomi neoklasik, individu yang rasional menghadapi suatu
sistem institusi, termasuk property right, uang dan pasar yang kompetitif. Ini
merupakan satu keadaan dimana seseorang melakukan pertimbangan dalam
memaksimumkan keuntungannya. Implikasinya terhadap property right, suatu
ekonomi uang dan pasar yang kompetitif secara ideal merupakan kebutuhan
individu yang tidak mempertimbangkan interaksinya dengan kebutuhan individu
orang lain. Dia hanya mempertimbangkan keadaannya sendiri dm konQsi pasar.
Tetapi ha1 ini akan mengarah pada dua masalah. Pertama, membatasi cakupan
dari teori. Dimana kompetisi dibatasi (tetapi tidak ada monopoli), atau property
right tidak secara penuh digambarkan, teori ekonomi neoklasik konsensus tidak
dapat digunakan, dan ekonomi neoklasik belurn pernah menghasilkan suatu
perluasan teori yang secara umum dapat menyelesaikan masalah ini. Keputusan
mengambil ekonomi uang dari luar juga menjadi masalah bagi ekonomi neoklasik.
&me theory merupakan pendekatan matematis untuk merumuskan situasi
persaingan dan konflik di antara stakeholder atas pelbagai kepentingan.
Pendekatan ini dipergunakan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan
dari persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih dari suatu
kelompok untuk suatu kepentingan yang semuanya terlibat dalam usaha untuk
memenangkan permainan. Anggapan yang mendasari teori permainan ini adalah
bahwa setiap permainan baik individu maupun kelompok mempunyai kemampuan
untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional. Dengan demikian Game
theory ini dimaksudkan untuk menghadapi suatu masalah yang memberikan suatu
teori tentang perilaku strategis dan ekonomi, manakala orang saling berhubungan
secara langsung, dibandingkan melalui pasar. Dalam game theory, "game"
merupakan suatu kiasan untuk interaksi yang lebih serius dalam masyarakat.
Menurut Anwar (200 1) bahwa bekerjasama (cooperation) diantara anggota
masyarakat digambarkan dalam suatu model sederhana dari satu kali (one-shot)
keadaan yang terjadi pada persoalan yang disebut Dilemma Narapidana (The
Prisoner's Dilemma Game) yang digambarkan oleh keadaan terjadinya interaksi
antara dua agents atau kelompok dimana kedua kelompok masing-masing
sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperoleh manfaatlkeuntungan
(benefit) dari adanya kerjasama yang jujur antara mereka dengan saling
menguntungkan. Namun jika salah satu atau kedua pihak yang berinteraksi
masing-masing secara sendiri-sendiri mencoba untuk berlaku curang kepada pihak
yang lainnya, maka yang terjadi akan merugikan pihak lainnya. Jika ada lembaga
pengendali bagi adanya kecurangan atau ketidakjujuran, maka pertukaran jasa dan
barang antar kelompok akan mempunyai potensi untuk saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak
Pilihan rasional di dalam teori ekonomi neoklasik akan memaksimalkan
penghargaan seseorang. Dari pandangan tersebut, ha1 ini merupakan masalah
matematika: memilih aktivitas yang memaksimalkan penghargaan. Pilihan
ekonomi yang rasional merupakan "solusi" bagi suatu permasalahan matematika.
Dalam game theory, dimana suatu kasus menjadi lebih kompleks, hasilnya tidak
tergantung hanya pada "kondisi pasar", tetapi juga secara langsung pada strategi
yang dipilih oleh orang lain, tetapi kita dapat berpilur tentang pilihan strategi yang
rasional sebagai masalah matematika yaitu memaksimalkan penghargaan dari
suatu kelompok pembuat keputusan yang saling berinteraksi.
Tabel 2 Konsekwensi Pahala (PayofJ) dari permainan Pertukaran (jasa)
I Pihak agen B I
Pada Tabel 2 di atas menyatakan tentang hasil-hasil pahala (pay o n yang
diperoleh bagi kedua belah pihak yang bertukar jasaharang (exchange of goods)
dari suatu pertikaran yang dilaksanakan sekali (tunggal) dan hasil payof -nya
tergantung pada kombinasi dari strategi-strategi yang mereka pilih. Dari Tabel 2
di atas dapat dilihat bahwa angka pertama di dalam sel-sel matriks yang tesedia
menunjukkan pahala yang dapat diperoleh bagi pemain A, sedangkan pahala yang
kedua didapat oleh A untuk pilihan jika ia bermain tidak jujur. Jika keduanya
saling bermain jujur, maka keuntungan bersih dari pertukaran (jasa, tenaga kerja
atau barang) secara jujur adalah T , yang dapat dibagi sama rata kepada kedua
Pihak agen A
Jujur
T/2,T/2
a, -P Juj ur
Tidak j uj ur
Tidak jujur
- P, a
-Y, - Y
belah pihak A dan B sebesar Tl2. Tetapi jika salah satu pihak secara tersendiri
mencoba berlaku curang (tidak jujur) kepada yang lainnya, maka dia akan
memperoleh keuntungan pribadi yang diukur sebesar a, > Tl2. Kondisi ini akan
menyebabkan keadaan menjadi rusak yang ditimpakan secara eksternal kepada
pihak lainnya, dengan pahala yang diukur oleh -P < T. Dalam keadaan ini, akan
terjadi kerugian sosial (social loss) yang dapat diukur sebesar T - (a - P) > 0.
masing-masing pemain dalam keadaan ini mempunyai suatu pilihan unuk tidak
bertukaran (tak berinteraksi) atau "no-exchange option" yang akan menghasilkan
pahala yang nilainya masing-masing hanya sebesar 0 yang akan diperoleh kedua
belah pihak. Kemudian jika salah satu pihak berharap bahwa yang lainnya akan
bermain tidak jujur, maka dia akan cenderung untuk tidak bekerjasama (tidak
terjadi pertukaran).
Keadaan inilah yang disebut suatu keadaan yang mencapai keseimbangan
dari Nash (Nash equilibrium). Pada keadaan ini tidak ada insentif (tidak
memberikan manfaat) bagi kedua belah pihak untuk merubah strateginya, apabila
permainan dimainkan hanya dalam satu kali saja (one shot only game) dan
dicirikan mereka dalarn situasi yang terisolasi, karena mereka saling tidak percaya
satu dengan lainnya (mistrusting each other). Tetapi jika kedua belah pihak A dan
B sering bertemu secara berulang-ulang untuk setiap waktu (misalnya setiap
minggu), maka ancaman terhadap penghentian terjadinya pertukaran Cjasaltenaga
atau barang) yang menguntungkan mereka di masa depan bag setiap pihak dapat
dilakukan. Jika didalam setiap peristiwa, dimana pihak lainnya kemungkinan akan
berbuat tidak jujur akan dapat dihindari, sehingga terjadinya tindakan saling
curang mncurangi antara mereka tidak terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan
syarat bahwa mereka tidak mendiskonto (no discounting for the future)
keuntungan dikemudian hari dari kegiatan pertukaran yang nilainya tidak besar
(yaitu mereka dapat bersabar) dan bahwa keuntungan yang diperoleh dari
tindakan C (hanya sekali) berlaku curang itu tidak terlalu besar. Seandainya kita
mengasumsi bahwa pertukaran dalam permainan tersebut dapat diulang-ulang
(repetitive game) dan dilakukan pada setiap minggu dan kedua pemain
mendiskonto satu unit utilitas yang tersedia setelah satu minggu oleh suatu faktor
diskonto (6), dan andaikan juga bahwa masing-masing pihak mengadopsi strategi
berjaga-jaga (contingent strategy): dengan bermain jujur selama pihak lainnya
juga bermain jujur. Namun jika pihak lainnya bermain tidak jujur minggu ini,
maka permainan akan berubah kearah strategi untuk tidak bermain atau tidak
melakukan untuk selamanya.
Agar dapat dilihat profil keadaan apabila strategi semacam itu diambil,
maka ha1 tersebut akan merupakan suatu keseimbangan Nash. Untuk itu perlu kita
telaah dampak dari penyelewengan tidak jujur (curang) secara sepihak dari
strategi ini untuk satu minggu. Misalkan bahwa seorang pemain bermain tidak
jujur, sementara yang lainnya bermain jujur. Keuntungan (net benefit) yang
diperoleh waktu ini untuk yang pertama bermain tidak jujur adalah a - T/2;
sementara dia menderita kerugian dengan memperoleh pahala 0 untuk selamanya,
mulai dari periode berikutnya dan seterusnya sehingga nilai sekarang (present
vulue) dari kecurangan tersebut akan menjadi :
Oleh karena itu jika semua pihak-pihak yang bertukar (agents) cukup
sabar (yaitu dicirkan oleh faktor diskonto 6 yang besar) dan keuntungan satu kali
dari berbuat bohong adalah 6 yang tidak terlalu besar relatif terhadap keuntungan
dari bertukar secara jujur Tl2, sehingga 6 > (a - T/2)la, maka pemain tersebut
tidak akan beruntung dengan cara bermain tidak jujur. Keadaan ini merupakan
suatu keadaan hukuman untuk tidak bertukar jasalbarang (yang sebenarnya
menguntungkan) secara permanen.
Strategi yang diuraikan di atas, tentunya menimbulkan biaya yang sangat
tinggi yaitu setinggi biaya yang diderita oleh pihak yang terhukum yang diderita
oleh para agents yang terhukum karena perbuatannya sendiri, meski jika strategi
tidak jujur dipilih secara tidak sengaja oleh pihak yang bertukar. Andaikan bahwa
pihak pemain yang bermain tidak jujur sekali akan dihukum untuk berminggu-
minggu T selanjutnya oleh mitra bermain yang bermain tidak jujur. Jika pemain
pertama kebetulan bermain jujur dengan saling menguntungkan akan dihidupkan
kembali pada waktu itu. Tetapi jika pada setiap waktu selama fase penghukuman
pernah bermain tidak jujur lagi, maka fase hukurnan berikutnya akan mulai.
Andaikan bahwa seseorang partner pemain bermain dengan pilahan tidak jujur
dalam satu minggu sementara yang lainnya bermain jujur. Jika pihak laninnya
bersikeras untuk melakukan strategi yang dianggap sebagai hukuman, maka
pembohong tidak akan hanya merugi dari pertukaran sebesar Tl2, tetapi dia juga
akan menderita dari biaya hukuman sebesar $ dari periode berikutnya dan
selanjutnya untuk T periode-periode yang lain. Nilai sekarang dari jumlah biaya-
biaya dari penyelewengan adalah S(l - ST)(T/2 + &)/(I- 6). Jika 6 dan T cukup
besar sehingga jumlah ini akan lebih besar dari keuntungan penyelewengan satu
kali, yaitu a-Tl2, maka tidaklah akan menguntungkan untuk pemain dengan
bermain memilih tidak jujur. Sebaliknya untuk nilai T yang lainnya tidak terlalu
besar sehingga menimbulkan insentif yang sebanding bagi penyeleweng untuk
menerima hukuman dengan cara bermain jujur sementara yang lain membalas
terhadap lawannya. Keadaan ini dinyatakan oleh :
- (6+ ...+ ST)$+ (ST+ 1 + S T + 2)T/2>O
Kedua persyaratan ini secara simultan memenuhi beberapa nilai T yang
positif jika 6 > (a - T/2)/a seperti sebelumnya. Sebaliknya jika pemain bermain
strategi tidak jujur, maka respon terbaik dari partner bermainnya akan membalas
untuk minggu-minggu T*, dimana T* merupakan maksimurn nilai T yang
memenuhi persyaratan-persyaratan di atas (dengan menganggap bahwa hanya
strategi-strategi murni yang diperbolehkan dipilih). Apabila pertukaran yang
menguntungkan terjadi pada setiap minggu dalam mekanisme reputasi bilateral,
para pemain akan saling mempercayai satu sama lain bahwa perbuatan berbohong
tidak pernah terjadi, karena akan mengundang pembalasan yang meminta biaya
tinggi oleh mitra lainnya; keadaan ini disebut sebagai saling percaya mempercayai
(personal trust).
Sekarang kita bayangkan bahwa kelompok tertentu dari pihak yang
bertukar mengurnpulkan barang dm jasa yang dipertukarkan pada pasar lokal
yang dibuka setiap minggu. Masing-masing pihak yang bertukar bertemu
berpasangan dengan pihak lainnya setiap minggu dan mereka bermain permainan
pertukaran yang sama, yang menurut Tabel 2 sebagai tahap permainan yang
dispesifikasikan dalarn tabel tersebut. Jika dua pihak yang bertukar bertemu setiap
minggu secara berulang-ulang, maka kepercayaan pribadi masing-masing dari
mereka dapat mendukung kerjasama yang saling menguntungkan. Tetapi
andaikata kedua belah pihak yang bertukar berubah secara random dan mitra
bertukarnya setiap minggu. Andaikata pula bahwa mereka bennain dengan
menggunakan strategi jujur selama pengalaman bertukar mereka telah
memuaskan, tetapi jika suatu kecurangan yang kebetulan terjadi dalam pasar lokal
maka akan tersebar berita secara sangat cepat dan semua pihak yang bertukar akan
berhenti pergi ke pasar lokal untuk selamanya (A tidak terjadi pilihan untuk
bertukar). Kemudian struktur insentif bagi setiap pemain adalah sarna dengan
keadaan solusi yang tidak bertukar secara permanen di dalam permainan bertukar
dua orang yang berulang-ulang. Tetapi solusi ini merupakan sesuatu yang ekstrim
dalam pengertian bahwa setiap penyelewengan dari bertukar jujur yang dilakukan
oleh seseorang yang bertukar, meski jika karena kesalahan, akan mengarah
kepada penutupan sama sekali keseluruhan pasar lokal dan karenanya akan
menderita biaya kerugian yang tinggi pada semua pihak.
Tetapi jika orang-orang yang curang dapat diidentifikasi secara benar dan
diumumkan kepada semua pihak yang bertukar dipasar lokal, kemudian strategi
hukuman terbatas yang telah diuraikan di atas sebelumnya dapat secara selektif
dipakai kepada seseorang yang berbuat curang. Yaitu andaikan bahwa apabila
orang yang bertukar bertemu secara random mereka dapat mengidentifikasi
melalui rumor apakah pihak lainnya berbuat curang, dan apabila memang
demikian, kemudian mereka dapat menolak untuk melakukan pertukaran secara
jujur, dengan mitra tersebut dan meminta bahwa mitranya mau berrnain jujur (jika
pemain lainnya mencoba berbuat curang sementara seseorang pemain dihukum,
maka yang dihukum akan dimaafkan dan hanya pihak yang paling curang
akhirnya dihukum). Hukuman secara selektif ini diperlukan inforrnasi yang tidak
cukup untuk semua orang yang bertukar mengetahui bahwa berbuat curang telah
terjadi tetapi perlu untuk diketahui siapa yang berbuat curang itu. Tetapi
kelebihannya bahwa biayanya jauh berkurang yang dikenakan kepada pihak yang
jujur untuk menghukum pihak-pihak yang curang apabila kecurangan terjadi.
Sementara orang-orang yang curang berpotensi untuk mengalami hukuman yang
tingkatannya sama seperti dibawah mekanisme kepercayaan pribadi.
Dari uraian di atas nash equlibrium yang juga merupakan "Domtmnt
Strategy Equilibrium" dimana setiap pemain memililu pilihan optimal yang sama
yang bebas terhadap pilihan pemain lain, walaupun strategi ini bersifat pareto
inefisien; dalam arti bahwa hasil (outcome) yang terjadi akan tidak memuaskan
(mengecewakan) semua pihak-pihak yang terlibat didalarn permainan. Untuk
mengatasi kekecewaan inilah maka agar mengarah kepada terjadinya
keseimbangan baru yang lebih baik, permainan hams dilakukan berulang-ulang,
(repetitive games). Jika mereka telah melakukan secara berulang-ulang, maka
diharapkan mereka akan mengalami proses "belajar" (learning by doing) ke arah
mana suatu kemantapan pengaturan baru (kelembagaan baru) akan terbentuk lebih
baik dan menguntungkan.
Sumber &in hasil yang tidak memuaskan bagi semua pihak-pihak yang
berkonflik dalam Keseimbangan Nash yang digambarkan pada permainan.
Dilema narapidana merupakan model dimana para agents saling terpisah dan
karenanya mereka tidak saling percaya (mistrust each other). Di samping itu,
masing-masing pihak (dari narapidana) itu terlalu mementingkan diri sendiri
(sewsh), sehingga hasil keseimbangan tidak memuaskan semua pihak. Tetapi, jika
masing-masing dapat mempercayai pihak yang lainnya meraka dapat membuat
keputusan yang lebih baik. Untuk mencapai keadaan ini diperlukan adanya suatu
kepemimpinan (leadershzp) yang piawai dan benvibawa sehingga tindakan-
tindakan pilihannya akan menimbulkan harapan menfaat kepada semua pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang lebih baik ini akan memuaskan
semua pihak yang mengarah kepada terbentuknya keseimbangan kelembagaan
baru yang lebih baik efisien dan berkelanjutan. Dengan demikian, jika permainan
ini dilakukan secara berulang-ulang (Repeated Prisioner's Dilemma Games)
dalam permainan berulang tersebut, masing-masing mengalami pembelajaran
(learnmng process) secara evolutif yang jangka panjang pengalaman dari
keseimbangan stochastic itu ternyata akan mengarah kepada keadaan kestabilan
yang saling menguntungkan bagi semua pihak.
2.6.2 Teori Optimasi
Teori Optimasi berangkat dari perumusan seperangkat parameter yang
diperlukan untuk melakukan optimasi. Amman et al. (2001) merumuskan
seperangkat parameter yang diperlukan dalam menganalisis kebutuhan optimasi.
Untuk itu perlu terlebih dahulu dirumuskan fungsi tujuan untuk masing-masing
pelaku (stakeholder) dengan persamaan fungsi tujuan sebagai berikut:
Dimana "intertemporal revenue" masing-masing pelaku ditentukan berdasarkan
persamaan:
Fungsi "revenue" diatas terdiri dari tiga bagian:
a. Bagian pertama berhubungan dengan revenue yang berasal dari "lund sules".
DS:, adalah jurnlah "land sold" oleh pelaku i ke pelaku j pa& waktu t. Harga
(ps), harga lahan (p) adalah harga tetap.
b. Bagian kedua menunjuk kepada "leuse revenue", dimana dl:, adalah sejurnlah
lahan yang disewa oleh pelaku i ke pelaku j pada waktu t.
c. Bagian ketiga berhubungan dengan perolehan revenue dari kegiatan ekonomi
oleh pelaku i dengan menggunakan sebidang lahannya. Tingkat degradasi
lahan diukur dengan variabel Q I , ~ clan q 1 , menunjuk kepada hasil per hektar
yang dapat dilakukan oleh pelaku i.
Tingkat penggunaan lahan oleh pelaku i di lahan miliknya didefinisikan sebagai:
dU1,t = dOl,t - 2 dl:$ dUIlt 2 0
Kendala lain yang dihadapi adalah jurnlah lahan yang digunakan oleh
pelaku i sama dengan total lahan yang dimiliki dikurangi atau ditambah semua
lahan yang disewa secara berturut-turut. Konsekwensinya, persamaan
keseimbangan dari "land sale" sama dengan
Disini, total lahan yang dijual hams sama dengan nol. Sesuai dengan ha1 tersebut
keseimbangan persamaan lahan yang disewa adalah:
Berdasarkan model teori permainan (game theoretic model) tersebut di
atas, maka dibuat resolusi konflik pemanfaatan lahan di kawasan pesisir dengan
menggunakan konsep pemikiran seperti di atas dan dioperasionalkan dengan
metode GAMS.
2.6.3 Kebijakan Publik Pemanfaatan Lahan
Dalam ekonomi kapitalis klasik, lahan dimiliki sacara pribadi.
Kepentingan akan lahan dilindungi dan merupakan hak yang ada di bawah konsep
hukum sendiri dan property. Para pemilik lahan berhak atas lahan miliknya.
Gangguan pelanggaran hukum dan sebagainya membatasi pilihan dari pemilik
lahan yang mungkin akan mempengaruhi kesejahteraan para pemilik lahan
lainnya, memberikan perlindungan bagi para pemilik lahan terhadap gangguan
yang dialaminya.
Sejak Revolusi Industri, pembangunan cenderung mengurangi efektifitas
hukum dalam menyelesaikan konflik tentang penggunaan lahan. Inovasi industri
dan teknologi telah meningkatkan kapasitas para pemilik lahan menyebabkan
gangguan satu dengan para pemilik lahan yang lain dan dengan bukan para
pemilik lahan. Dalarn usahanya untuk menghindari gangguan dalam kemajuan
industri, interpretasi gangguan dan pelanggaran hukurn dari pengadilan menjadi
dipersempit, sehingga menjadi tidak efektif untuk mengendalikan eksternalitas
dalam masyarakat modem. Pada saat yang sama, bertambahnya kekayaan yang
karena kemajuan teknologi disebabkan oleh meningkatnya permintaan akan
sumberdaya untuk memuaskan konsumen. Tempat tinggal dari suatu keluarga
menjadi biasa dan dengan meningkatnya kesejahteraan, keinginan akan lahan
menjadi bertambah dari waktu ke waktu. Bertambahnya permintaan akan lahan
untuk tujuan rekreasi dan estetik. Suatu konsep modem tentang "the good lfe"
termasuk taman kota, tempat terbuka, lingkungan yang alami dan sungai-sungai.
Karena alasan-alasan di atas, konsep kebijakan penggunaan lahan (land-
use policy), perencanaan penggunaan lahan (land-use planning) dan pengendalian
penggunaan lahan (land-use control) yang akan membatasi konsep kepemilikan
lahan secara pribadi yang menjadi menonjol dalam diskusi publik dan di dalam
kegiatan-kegiatan birokrasi, legislasi dan pengadilan.
Empat (4) ha1 yang dianggap sebagai masalah dalam penggunaan lahan,
antara lain :
(1) Penggunaan yang tidak sesuai
Hal ini terjadi dimana keputusan penggunaan lahan dari para pemilik lahan
akan menyebabkan external diseconomy bagi pemilik lahan yang lain. Banyak
penggunaan lahan menyebabkan external diseconomy terhadap lahan
pemukiman, seperti kebisingan atau pencemaran industri; lahan pertanian
seperti peternakan babi yang menyebabkan kebisingan, bau dan aliran air yang
tercemar; tempat-tempat komersial seperti kedai minum, bioskop dan pompa
bensin, yang menciptakan kebisingan dan kemacetan, dan banyak fasilitas
umum yang kotor, seperti bandara udara, penjara dan tempt pembuangan
sampah. Penggunaan lahan untuk pemuluman juga menyebabkan external
diseconomy terhadap tempt pemukiman lainnya; pemukiman rumah yang
kurnuh akan menurunkan nilai perurnahan yang lebih besar; tempat tinggal
yang dihuni lebih dari keluarga akan menambah kerumitan dan masalah
buangan limbah, yang selanjutnya akan mengurangi nilai perurnahan di
dekatnya, mahal, rumah yang dihuni keluarga tunggal, lebih umurn lagi
perumahan manapun yang tidak mampu mengendalikan kebisingan dan
penampakannya dibandingkan tetangga nya.
Terdapat konflik antara penggunaan lahan untuk industri dan perdagangan,
diantara pengguna lahan untuk industri yang berbeda-beda, dan diantara
pengguna lahan untuk perdagangan yang berbeda-beda. Teknologi tinggi,
industri yang "bersih", seperti industri komunikasi dan pengolahan data,
menjauh dari teknologi lama yang terdekat, industri yang "kotor", seperti
pengolahaan baja dan pertambangan minyak.
(2) Masalah keuangan publik di pinggiran kotaldesa
Terdapat suatu kelas layanan yang disuplai kepada konsumen di seltar tempat
tinggalnya. Meliputi gas dan listrik untuk perumahan, buangan kotoran dan air
minum, pengumpulan sampah, transportasi m u m , dan transportasi sekolah
bagi anak-anak. Jenis layanan ini sering disediakan oleh sektor publik, atau
oleh aparat publik. Biaya total untuk menyediakan layanan ini lebih rendah
jika tempat tinggal penduduk padat. Sebaliknya, biaya total akan lebih tinggi
jika penduduk tinggal pada suatu daerah yang luas. Pola yang terakhir disebut
juga "urban sprawl".
Masing-masing customer dikenakan biaya untuk semua layanan tersebut,
pengembang perumahan atau pembeli tidak ada insentif bagi kontribusi
pengembangan penduduk yang padat. Kenyataannya, insentif beke rja pada
arah yang berlawanan. Lahan, yang jauh dengan daerah perkotaan biasanya
tidak mahal. Pengembang bangunan pada suatu lahan dan para pembeli nunah
menikmati keuntungan dari lahan yang murah, setidaknya keuntungan estetik
tempat tinggal yang dikelilingi kegiatan pertanian. Pola "leupJi.og
development" ini disebabkan oleh layanan dengan biaya yang lebih tinggi.
Tarnbahan biaya ini hanya untuk tingkat yang tidak signifikan oleh
pengembang atau pembeli melalui harga biaya rata-rata.
Jenis inefisiensi dalam finansial layanan publik dan sarana ini
disebabkan karena biaya distribusi yang tidak merata, sehingga pemukiman
yang dekat dengan pusat kota terkena dampak urban spruwl dan leapfrog
development di pinggiran kotafdesa. Pola pembangunan yang terjadi dapat
membuat external diseconomy (yaitu penurunan kualitas estetik daerah
pinggiran, atau oleh dampak buangan yang menyebabkan masalah polusi dan
banjir) dan mengubah pertanian di pinggiran desalkota, yang disebabkan oleh
pengubahan lahan dari penggunaan pertanian.
(3) Perusakan estetika lingkungan
Beberapa jenis lahan dengan penggunaan yang berbeda, akan
menimbulkan eksternalitas ekonomi, seperti timbulnya ketidaknyarnanan bagi
orang lain yang ingin menikmati keindahan alam atau ingin mencari suasana
yang menyegarkan. Sedangkan pemilik lahan berorientasi untuk
memanfaatkan sebesar-besarnya lahan bagi kesejahteraannya. Konflik
kepentingan ini terjadi antara pemilik lahan dan pengguna lahan yang
menginginkan estetika. Penggunan lahan yang bukan pemilik lahan menuntut
"public interest" terhadap pemilik lahan. Perubahan pemanfaatan lahan akan
memunculkan keinginan publik untuk mempertahankan lahan tertentu untuk
penggunaan estetik. Contoh yang jelas adalah pada keinginan masyarakat
untuk mempertahan bangunan bersejarah, atau kawasan bersejarah yang
memiliki arsitektur yang unik. Muncul tekanan untuk mempertahankan lahan
yang alami dan lahan-lahan bantaran sungai yang mempunyai fenomena untuk
diubah menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk perdagangan, industri atau
bahkan pertanian intensif. Lebih banyak yang ingin menjaga lahan untuk
pertanian, sebagai contoh : daerah pertanian Pennsylvania Dutch yang berada
di daerah Pennsylvania Selatan yang padat penduduknya, dan peternakan kuda
di sekitar Lexington, Kentucky. Di banyak daerah perkotaan, ada keinginan
untuk menjaga lahan pertanian yang berada di sekeliling kota, karena alasan
lahan pertanian dan peternakan mencerminkan daya tarik budaya estetika bagi
perumahan di kota. Namun karena kepentingan ekonomi lahan-lahan irigasi
dikeringkan untuk dialihfungsikan menjadi lahan perdagangan.
(4) Degradasi produktivitas biologi lahan
Penduduk desa dan praktisi pertanian, termasuk petani, merasa bahwa
fenomena urban sprawl merupakan bentuk pemborosan pemanfaatan lahan.
Mereka berpendapat bahwa pada saat seseorang menyesali terjadinya konversi
lahan primer menjadi perkotaan, maka dia akan masuk dalam sistem
pemanfaatan lahan yang tidak dapat diperbaruhi (unrenewable resources).
Dengan meningkatnya permintaaan akan makanan dan serat, maka nilai lahan
primer untuk pertanian dan hutan akan meningkat dengan cepat. Ketika terjad
konversi lahan pertanian clan hutan menjadi perkotaan, maka diperlukan
kearifan dan tinjauan ke masa depan akan kota yang padat dan perumahan
untuk mempertahankan produktivitas biologi dari lahan sebaik mungkin.
Proses alam yang sedianya berjalan sebagaimana mustinya telah diintervensi
oleh manusia sedemikian rupa, sehingga alam dipaksa untuk berproduksi
diluar kemampuannya. Banyak lahan yang dimanfaatkan secara berkelebihan
tanpa mengindahkan kaidah-kaidah (norma) yang berlaku dialam sendiri.
Pendapat lain menyatakan bahwa manusia hendaknya jangan terlalu
memaksa memanfaatkan lahan secara berkelebihan. Mereka berpendapat
bahwa penggunaan lahan untuk pemukiman adalah logis dalam masalah
ekonomi, seperti penggunaan lahan untuk pertanian, dimana keberadaan pasar
telah membuktikan bahwa lahan menyediakan utilitas bagi masyarakat di
perurnahan tersebut. Beberapa orang yang menentang gagasan penggunaan
lahan jangka pendek untuk produksi makanan dan serat. Sebagai contoh,
menurut Sterling Brubaker, pada tahun 1973 seluruh lahan untuk perkotaan
dan transportasi diperkirakan hanya 2,3 % dari seluruh lahan di Amerika. Pada
periode 1967-1975, tiga juta are tanah dialihkan setiap tahun menjadi kota,
transportasi dan waduk. Dari tiga juta are tanah ini, seperempatnya merupakan
lahan tanaman. Lahan untuk tanarnan beberapa kali lebih besar dibandingkan
konversi lahan tanaman menjadi kota dan penggunaan lainnya, tetapi sebagian
diimbangi kira-kira 1,3 juta are lahan menjadi lahan tanarnan setiap tahunnya.
Brubaker berharap laju perubahan lahan menjadi kota akan berkurang di masa
depan sebagai urbanisasi yang lengkap, pertumbuhan populasi yang lambat
dan meningkatnya harga untuk energi akan memadatkan penduduk di pusat
kota.
Berdasarkan statistik di atas, menunjukkan bahwa Amerika tidak segera
mengalami krrsis yang ditandai dengan konversi lahan tanaman menjadi kota dan
penggunaan lainnya. Meskipun demikian, terdapat pola pengalihan lahan tanaman
seperti yang lsebutkan l atas. Hal yang tidak diharapkan adalah jika seluruh
lahan pertanian dan hutan utama dikoversi menjadi perkotaan. Hal itu merupakan
sesuatu yang beralasan bagi para ahli ekonomi bahwa ha1 tersebut memiliki harga
relatif, sesuai dengan perubahan yang terjadi, yang akan memberikan insentif
yang besar.
Selain pertanian tradisional dan industri kayu hutan, terdapat beberapa
ha1 yang berkaitan dengan pemeliharaan produktivitas biologi lahan. Setelah
berabad-abad terjadinya perkembangan industri dan pertanian, maka eksistensi
habitat daratan, perairan dan kelautan menjadi barang langka. Untuk
mempertahankan keanekaragaman ekologi, sangat penting untuk mempertahankan
habitat yang khas tersebut. Daratan basah memiliki peranan yang penting dalam
drainase permukaan dan siklus air. Perairan estuari sangat penting untuk
penyediaan produksi sumber makanan laut, namun menjad tertekan karena
konversi lahan tersebut menjadi perkotaan, kawasan wisata (resort) dan
pembangunan tempat rekreasi. Pemeliharaan lahan ini menjadi prioritas yang
penting.
Beberapa jenis lahan yang status lahannya merupakan milik umum.
Menjumpai kendala terutama dalam rangka melindungi lahan tersebut, baik
karena tekanan pembangunan maupun pemeliharaan. Beberapa dari lahan tersebut
masih menjadi milik perseoranganlpribadi. Pemeliharaannya akan menyebabkan
eksternalitas ekonomi. Jika tidak ada cara untuk menginternalisasi eksternalitas
ekonomi tersebut, akan menyebabkan timbulnya opportunity cost yang penuh dari
pemilik lahan tersebut.
Dalam kaitan tersebut resolusi konflik yang ditawarkan adalah
bagaimana meningkatkan kinerja ekonomi wilayah agar penduduk lokal dapat
menikmati akses yang telah diberikan insentif oleh pemerintah yaitu dengan
memperluas kesempatan kerja, pasar berjalan normal, meningkatkan kinerja
kelembagaan baik pemerintah dan non pemerintah. Insentif tersebut dimaksudkan
agar fungsi dapat berjalan sesuai mekanisme pasar. Untuk itu perhatian kepada
aspek ruang termasuk kesesuaiannya, kemampuan masyarakat untuk membayar,
estetika lingkungan dan peningkatan produktivitas lahan secara efisien dapat
diwujudkan termasuk alokasi dan distribusinya.
2.6.3.1 Redistribusi Lahan
Kepemilikan lahan baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta
mulai dipertimbangkan untuk direstribusi dalarn kaitannya dengan distribusi
manfaat dan peningkatan produksi pangan. Hal ini untuk menghindari terjadinya
konflik pemanfaatan lahan yang tidak rasional.
Menurut Todaro (1984) bahwa redistribusi hak-hak kepemilikan dan atau
penggunaan lahan dapat dilakukan dengan pelbagai rnacam cara yaitu pemindahan
kepemilikan (transfer of ownership) kepenyewa lahan (seperti di Cuba,Ethiopia,
Jepang dan Taiwan), pemindahan lahan, (transfer of land) dari sebidang lahan
yang luas yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang kepada para petani
kecil (seperti di Mexico), sumbangan sebidang lahan yang luas kepada pemukim
baru (seperti di Kenya) dan perbaikan infrastruktur clan irigasi dan pembangunan
yang akan datang dari kepemilikan lahan milik swasta atau negara kepada
koperasi petani (seperti di China dan Tanzania).
Schrnid (1996) menyatakan bahwa redistribusi lahan akan lebih berdaya
guna dan berhasil apabila mempunyai hak-hak kepemilikan (property right). Hak
kepemilikan dapat diartikan sebagai himpunan dari kehendak atau keinginan di
antara orang-orang yang mendefinisikan kesempatan, keterbukaan terhadap
aktivitas tertentu, hak-hak dan tanggung jawab mereka. Hak kepemilikan juga
dapat berarti hak yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya - hak untuk
akses ke sumberdaya dan hak untuk mendapatkan manfaat dari penggunaan dan
kewajiban membayar segala bentuk biaya penggunan sumberdaya (Kula, 1995).
Hak kepemilikan ini dapat dtmiliki oleh perorangan (private property righl),
maupun dimiliki oleh publik (public common property righf). Menurut Anwar
(1995) bahwa penegasan hak-hak akses atau kepemilikan (property right)
merupakan aspek fundamental dalam sistem ekonomi khususnya dalam ekonomi
pertukaran (exchange economy). Hak-hak tersebut memberikan makna bahwa
akses dalam bentuk hak-hak pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok orang terhadap sumberdaya (uccess to resource) menjadi sangat
penting. Hal ini berbeda dengan sifat barang-barang dan jasa swasta (private
goads) yang pada urnumnya dapat dipilah-pilah dan transaksi pertukarannya dapat
dilakukan dalarn suatu ekonomi pasar yang bersaing. Dengan demikian komoditas
dan jasa sumberdaya alam seiring memperlihatkan sifat tidak terpilahkan dimana
konsumsi sumberdaya alam yang dilakukan oleh seseorang tidak mengurangi
konsumsi oleh orang-orang lainnya. Sifat khusus sumberdaya alam ini sering
menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure).
2.6.3.2 Institusi Ekonomi
Resolusi konflik yang berkenaan dengan institusional mencakup
bagaimana pentingnya peran pemerintah dalam mengatur hak kepemilikan umum
secara rasional. Suatu pertanyaan sentral untuk pengelolaan dan pemanfaatan
lahan di wilayah pesisir adalah bagaimana pemerintah melakukan
pengorganisasian dan pengimplementasian program kepada masyarakat dan
bagaimana interaksinya dengan perusahaan swasta dan masyarakat yang lebih luas
(Kay and Alder, 1999). Isu pokok dalam mengorganisasi kelembagaan pemerintah
secara lebih efektif dan efisien adalah menyampaikan program pemanfaatan lahan
yang berfokus kepada kegiatan dari pelbagai sektor pemerintah secara lebih
terpadu dengan merujuk kepada acuan Rencana Tata Ruang Wilayah atau kepada
yang lebih terinci seperti Rencana Rinci Tata Ruang. Persoalan institusi yang
paling besar dalam kelembagaan pemerintah adalah sangat banyaknya pembagian
tugas pokok dan fungsi masing-masing kelembagaan yang ada dengan pelbagai
macam tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Konsep pembedaan (dzferentiutzon) adalah salah satu elemen pokok
tentang bagaimana pelayanan sektor publik diorganisasi. Sebagai contoh
pemerintah Indonesia tidak mempunyai organisasi yang mandiri dan bertanggung
jawab terhadap pengelolaan pantai tetapi menggunakan kombinasi garis
kelembagaan, mengkoordinasikan kelembagaan dan non-kelembagaan (LSM).
Kelembagaan struktural mempunyai tanggung jawab secara legislasi untuk
mengelola pelbagai macam sektor sumberdaya pantai atau sektor. Field (1994)
menyatakan bahwa masyarakat membuat keputusan produksi, konsumsi dalam
seperangkat kelembagaan ekonomi dan sosial tertentu. Struktur insentif
kelembagaan ini menyebabkan masyarakat membuat keputusan dalam satu arah.
Dalam pengorganisasian lembaga pemerintahan dan pengimplementasian
managemen pemanfaatan lahan, issu yang berkembang adalah bukan bagaimana
institusi dipersiapkan, tetapi apa yang akan dicapai melalui penyiapan
kelembagaan yang memadai. Fokus perhatian ini adalah dari hasil kinerja
(outcome) bahwa tidak ada cara yang terbaik untuk mengorganisasi pemerintahan
dalam rangka mengelola lahan. Secara praktek, penyebaran perbedaan budaya,
sosial, politik dan faktor administratif mengkonfirmasikan bahwa tentu saja tidak
ada cara yang terbaik jika hanya melihat dalam satu aspek saja. Para perencana
dalam mempersiapkan aspek administratif mengambil keuntungan dari aspek
budaya, sosial dan faktor politik dalam batas-batas kewenangannya.