2. identifikasi dan analisis data 2.1. landasan teori 2.1
TRANSCRIPT
10 Universitas Kristen Petra
2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Tinjauan tentang Bahasa Isyarat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa memiliki arti sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sementara isyarat
memiliki arti segala sesuatu yang berkaitan dengan gerak tubuh (gerakan tangan,
anggukan kepala, dan sebagainya) yang dipakai sebagai tanda atau alamat.
Maka, bahasa isyarat dapat diartikan sebagai bahasa yang mengutamakan
komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir, bukannya suara untuk
berkomunikasi. Kaum tuli adalah kelompok utama yang menggunakan bahasa ini,
biasanya dengan mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi dan gerak tangan,
lengan, dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka.
Pada zaman dahulu, anak tunarungu dan anak terbelakang mental
(tunamental) sukar dibedakan karena keduanya sukar diajak berbicara. Orang
pertama yang mengajar murid tunarungu adalah Pedro Ponce De Leon. Beliau
adalah seorang biarawan di St. Benedict (Spanyol 1520 – 1584 Masehi). Beliau
mempelopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu
keturunan bangsawan pada abad ke-16. Beliau membuktikan bahwa anak
tunarungu dapat diajar untuk berbicara dan menulis.
Gambar 2.1 Juan Pablo Bonet
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Pablo_Bonet
Bahasa isyarat pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha Juan Pablo Bonet.
Beliau membuat sebuah buku berisi pengajaran tentang alfabet manual dengan
11 Universitas Kristen Petra
gerakan isyarat tangan untuk orang tunarungu wicara. Dalam pengajaran Bonet juga
terdapat pelajaran artikulasi seperti apa yang diberikan di Indonesia sekarang ini.
Gambar 2.2 Buku yang diterbitkan Bonet di tahun 1620 yang berjudul: Reducción
de las letras y arte para enseñar a hablar a los mudos.
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Pablo_Bonet
Pada saat yang hampir bersamaan, John Bulwer, seorang dokter dan filsuf,
serta John Wallis, seorang pendeta dan ahli matematika, memulai pendidikan dan
pengajaran anak tunarungu dengan metode isyarat di Inggris, sedangkan di negeri
Belanda, pendidikan untuk anak tunarungu dirintis oleh John Conrade Amman
(1692). Selanjutnya pada abad ke-17, pengajaran tersebut dilanjutkan oleh Jacob
Rodrigues Pereira di Paris, dengan mengembangkan bahasa isyarat menggunakan
tangan. Selain itu juga dikembangkan metode lain yang disebut metode bibir atau
metode oral.
Kemudian pada abad ke-18, munculah seorang paderi di Paris, Abbe
Charles-Michel de l'Épée (1712 – 1789) yang dikenal sebagai “Father of The Deaf”.
Beliau membuka sekolah pertama untuk orang tuli pada tahun 1775, dan
mendukung penggunaan bahasa isyarat untuk orang tuli karena menurut beliau,
lebih baik mempergunakan banyak waktu untuk memajukan perkembangan
kecerdasan murid-muridnya dengan bahasa isyarat daripada mengajarkan untuk
berbicara lisan yang sukar dicerna oleh para muridnya.
Bersamaan dengan periode tersebut, Samuel Heinicke di Jerman
mengembangkan metode oral untuk mengajarkan orang-orang tuli dalam
berkomunikasi. Dari situlah tercipta aliran oralisme. Metode ini berlatar belakang
dari pandangan bahwa anak tuli memiliki potensi untuk berbicara dan dapat diajak
12 Universitas Kristen Petra
bicara dengan baik serta menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam
dunia normal. Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli untuk:
o Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal.
o Mendapat kesempatan memperoleh pengakuan diri.
o Menyesuaikan diri dalam bersosialisasi.
Kemudian secara bersamaan aliran manualisme dan oralisme berkembang
ke Amerika. Manualisme dikembangkan oleh Gallaudet, sedangkan oralisme
dikembangkan oleh Alexander Graham Bell yang kemudian menemukan telepon,
dengan mengembangkan pemakaian alat bantu dengar (hearing aid) serta pengeras
suara. Dari situ munculah satuan ukuran pendengaran seseorang yang disebut
deciBell (dB). Di Inggris, pendidikan untuk orang tuli dikembangkan oleh Thomas
Braidwood.
Di Indonesia, pendidikan anak tunarungu dimulai di Bandung, Jawa Barat,
sekitar tahun 1930. Beberapa tahun kemudian didirikan Sekolah Luar Biasa B (SLB
bagian B) di Wonosobo, Jawa Tengah dan sekarang telah tersebar di seluruh
Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia, umumya mempergunakan metode
membaca gerakan bibir (lip reading). Namun sejak beberapa tahun lalu di SLB/B
Kota Jakarta khususnya di SLB/B Zinnia dan di Surabaya yaitu SLB/B Karya
Mulya, telah diajari komunikasi total (total communication). Adapun pengertian
komunikasi total menurut Edward Miner Gallaudet (1837 – 1902) dalam buku “A
World Of Language For Deaf Children” adalah kombinasi dari isyarat, ejaan jari
dan bicara.
2.1.2. Tinjauan Mengenai Tunarungu / Tuli dan Tunawicara
Tunarungu adalah istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan
mendengar yang rentangannya mulai dari ringan hingga berat, meliputi tuli dan
susah mendengar. Tuli adalah kondisi seseorang yang menyandang
ketidakmampuan mendengar sehingga menghalangi dalam proses perolehan
informasi bahasa lisan melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu
mendengar (hearing aids). Susah mendengar adalah seseorang yang harus selalu
menggunakan alat bantu mendengar untuk memperoleh informasi bahasa lisan
melalui pendengaran, serta mempunyai sisa pendengaran yang cukup
13 Universitas Kristen Petra
memungkinkan untuk memproses informasi bahasa lisan. Tunawicara adalah
seseorang yang mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa
maupun suaranya dari bicara normal (normal speech), sehingga menimbulkan
kesulitan dalam berkomunikasi lisan dengan lingkungan.
Moh Amin (1999:1) dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu,
menjelaskan tunarungu wicara adalah:
o Mereka yang sejak lahir demikian kurang pendengaran, sehingga
memustahilkan mereka dapat belajar bahasa dan berbicara dengan cara-cara
normal.
o Mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal, tetapi sebelum
mereka dapat bicara mendapat hambatan taraf berat pendengaran.
o Mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara, tetapi terjangkit
gangguan pendengaran sebelum umur kira-kira 2 tahun, sehingga kesan-
kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah-olah hilang.
Menurut Soewito yang dikutip Sardjono (1995:5) dalam buku
Orthopedagogik Anak Tunarungu, tunarungu adalah “Seseorang yang mengalami
kesulitan berat sampai total, yang tidak dapat lagi menangkap tutur kata tanpa
membaca bibir lawan bicaranya”. Menurut pendapat dari Lani Bunawan (1999:1)
dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu, masalah terbesar yang diakibatkan
ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi dengan lingkungan. Bila seorang
anak mengalami ketunarunguan sejak lahir, padanya tidak akan terjadi
proses penguasaan bahasa secara spontan, sehingga dalam hidupnya di masyarakat
yang mendengar, ia akan mengalami berbagai kesukaran dalam perkembangan
sosial, emosi, dan mental.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang
yang tunarungu wicara adalah seseorang yang kurang mampu mendengar suara atau
bunyi yang ada di sekelilingnya, tetapi masih dapat mendengar suara-suara tertentu
sesuai sisa pendengaran yagn dimilikinya. Anak tunarungu wicara adalah seseorang
yang mengalami ketulian ringan sampai berat dimana dampak dari
ketunarunguannya adalah terhambatnnya komunikasi dengan orang sekelilingnya
yang mampu mendengar.
14 Universitas Kristen Petra
Tidak banyak yang tahu, bahwa orang yang tidak dapat mendengar lebih
senang disebut tuli daripada tuna rungu karena tuli dan tuna rungu memiliki arti
yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuli berarti tidak dapat
mendengar. Sedangkan tuna rungu memiliki arti seseorang yang rusak
pendengarannya. Kaum tuli lebih senang disebut tuli karena tunarungu lebih
mengarah kepada suatu kondisi kecacatan fisik yang membutuhkan pertolongan
medis dan bersifat belas kasihan, sementara tuli (dengan ‘T’ besar) lebih mengarah
pada suatu kelompok minoritas yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
isyarat.
2.1.3. Tinjauan tentang Media Informasi
Istilah media berasal dari Bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari
kata “medium’ yang secara harafiah berarti perantara. Secara harafiah kata tersebut
mempunyai arti "perantara" atau "pengantar", yaitu perantara sumber pesan dengan
penerima pesan. Jadi, dalam pengertian yang lain, media adalah alat atau sarana
yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak
(Heinich et.al., 2002: Ibrahim, 1997: Ibrahim et.al., 2001).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, media dapat diartikan sebagai alat
atau sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan
spanduk yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya).
Media terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain:
Media Visual: media visual adalah media yang bisa dilihat, dibaca dan
diraba. Media ini mengandalkan indra penglihatan dan peraba. Berbagai
jenis media ini sangat mudah untuk didapatkan. Contoh: media foto,
gambar, komik, gambar tempel, poster, majalah, buku, miniatur, alat
peraga dan sebagainya.
Media Audio: media audio adalah media yang bisa didengar saja,
menggunakan indra telinga sebagai salurannya. Contohnya: suara, musik
dan lagu, alat musik, siaran radio dan kaset suara atau CD dan sebagainya.
Media Audio Visual: media audio visual adalah media yang bisa didengar
dan dilihat secara bersamaan. Media ini menggerakkan indra pendengaran
dan penglihatan secara bersamaan. Contohnya: media drama, pementasan,
15 Universitas Kristen Petra
film, dan televisi. Internet termasuk dalam bentuk media audio visual,
tetapi lebih sering disebut disebut multimedia karena lebih lengkap dan
menyatukan semua jenis format media.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informasi merupakan
pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu. Maka, media informasi dapat
diartikan sebagai alat atau sarana yang digunakan untuk memberikan pengetahuan
atau berita mengenai sesuatu dari satu pihak ke pihak yang lainnya yang berperan
sebagai audiens atau penerima informasi sehingga menjadi bahan yang bermanfaat
bagi penerima informasi. Adapun penjelasan Sobur (2006), media informasi
merupakan “alat-alat grafis, fotografis atau elektronis untuk menangkap,
memproses, serta menyusun kembali informasi visual”.
Jenis-jenis Media Informasi sebagai alat yang dapat menyampaikan suatu
informasi harus tepat sasaran agar dapat tersampaikan dengan baik pada target
sasaran sehingga bisa bermanfaat bagi pembuat maupun penerima informasi. Media
informasi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Media lini atas, merupakan media yang tidak langsung bersentuhan dengan
target audiens serta jumlahnya terbatas tetapi jangkauan target yang luas,
seperti billboard, iklan televisi, iklan radio, dan masih banyak lagi.
b. Media lini bawah, atau suatu media iklan yang tidak disampaikan atau
disiarkan melalui media massa serta jangkauan target hanya berfokus pada
satu titik atau daerah, seperti brosur, poster, flyer, sign system dan masih
banyak lagi.
c. Media cetak, dapat berupa brosur, koran, majalah, poster, pamflet, spanduk,
dan masih banyak lagi.
d. Media elektronik, media ini dapat disampaikan melalui radio, kaset, kamera,
handphone, dan internet.
Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa pendapat ahli tentang media informasi:
a. Komponen strategi penyampaian yang dapat di muati pesan yang akan
disampaikan kepada pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng,
1989)
b. Media sebagai segala sesuatu yang bisa dipergunakan untuk menyalurkan
pesan dan pengirim pesan kepada penerima pesan, agar dapat merangsang
16 Universitas Kristen Petra
pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian
rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif serta
efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman,dkk., 2002:6)
c. Alat yang secara fisik dipergunakan untuk menyampaikan isi materi, yang
terdiri antara lain yaitu buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video
recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne
dan Briggs dalam Arsyad, 2002)
2.1.4. Tinjauan tentang Media Pembelajaran
Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar.
Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar sehingga dapat mendorong
terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam mencakup
pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan
untuk tujuan pembelajaran atau pelatihan.
Menurut Briggs (1977), media pembelajaran adalah sarana fisik untuk
menyampaikan isi atau materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan
sebagainya. Kemudian menurut National Education Associaton (1969), media
pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-
dengar, termasuk teknologi perangkat keras.
Oleh karena proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan
berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang
cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media,
komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses
komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal. Media pembelajaran
adalah komponen integral dari sistem pembelajaran
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan
kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada
diri peserta didik.
Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan, penggunaan media
pembelajaran seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang
17 Universitas Kristen Petra
membutuhkan media seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh guru dan
“audio-visual”.
Gambar 2.3 Kerucut Pengalaman Edgar Dale
Sumber: Arif (1994:79)
Ada beberapa jenis media pembelajaran, di antaranya:
a. Media Visual: grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, dan sejenisnya.
b. Media Audial: radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya.
c. Projected still media: slide, Over Head Projector (OHP), dan sejenisnya.
d. Projected motion media: film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer
dan sejenisnya.
Pada hakikatnya, bukan media pembelajaran itu sendiri yang menentukan hasil
belajar. Ternyata keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses
pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2)
cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian
dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut.
Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media
pembelajaran, tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Ada beberapa
tujuan menggunakan media pembelajaran, diantaranya yaitu :
a. mempermudah proses belajar-mengajar
b. meningkatkan efisiensi belajar-mengajar
c. menjaga relevansi dengan tujuan belajar
d. membantu konsentrasi mahasiswa
18 Universitas Kristen Petra
e. Menurut Gagne: Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa
untuk belajar
f. Menurut Briggs: Wahana fisik yang mengandung materi instruksional
g. Menurut Schramm: Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional
h. Menurut Y. Miarso: Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar
siswa
2.2. Data Tentang Materi Pembelajaran
2.2.1. Organisasi Tuli di Indonesia
Di Indonesia, organisasi untuk yang diperuntukkan untuk orang-orang tuli
bernama GERKATIN. GERKATIN merupakan singkatan dari Gerakan untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. Organisasi ini dideklarasikan melalui Kongres
Nasional I, pada tanggal 23 Februari 1981 di Jakarta. Sebelumnya sudah ada
beberapa komunitas tuli di Indonesia, antara lain: Sekatubi (Serikat Kaum Tuli Bisu
Indonesia), Pekatur (Persatuan Tunarungu Surabaya), Pertri (Perhimpunan
Tunarungu Indonesia) yang terletak di Yogyakarta, dan Gerkatin (Gerakan Kaum
Tunarungu Indonesia) yang terletak di Bandung. Saat ini GERKATIN telah
mempunyai 28 DPD (Dewan Pengurus Daerah) dan 69 DPC (Dewan Pengurus
Cabang) di Indonesia.
Sementara itu, komunitas di Surabaya yang diperuntukkan untuk orang tuli
bernama Kartu Surabaya. Kartu Surabaya merupakan singkatan dari Komunitas
Arek Tuli Surabaya. Komunitas ini terbentuk sejak tahun 2016 dan sering
mengadakan sosialisasi Bahasa Isyarat Indonesia pada event Car Free Day di Jalan
Raya Darmo setiap hari Minggu. Sosialisasi ini bertujuan agar Bahasa Isyarat
Indonesia lebih dikenal oleh masyarakat awam Surabaya.
19 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.4 Logo Komunitas Kartu Surabaya
Sumber: Instagram @kartusurabaya
2.2.2. Bahasa Isyarat di Indonesia
Di Indonesia, ada 2 bahasa isyarat yang digunakan yaitu SIBI (Sistem
Isyarat Bahasa Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). SIBI
diciptakan oleh Alm. Anton Widyatmoko. Beliau merupakan mantan kepala
sekolah SLB/B (sekolah luar biasa khusus penyandang tuna rungu) di Jakarta dan
Surabaya. Kamus Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (kamus SIBI) diterbitkan oleh
pemerintah dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah. Khususnya ke SLB/B
sejak tahun 2001. SIBI diciptakan dengan beberapa alasan, di antaranya untuk
merepresentasikan Bahasa Indonesia pada tangan, untuk mengajarkan Bahasa
Indonesia secara yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan
karena mudah dipelajari oleh orang yang sudah bisa berbahasa Indonesia. Tetapi
amat disayangkan, SIBI yang resmi diakui pemerintah mempunyai sejarah yang
kurang baik. Kemunculan SIBI ini ternyata tidak melewati persetujuan dan
musyawarah dengan Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN).
Ini artinya, SIBI tidak sesuai dengan aspirasi dan nurani para penyandang tuli.
SIBI hanya bisa digunakan sebagai bahasa isyarat di sekolah saja, namun
tidak bisa digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari. Hal ini dikarenakan
kosakata dalam SIBI dibuat hanya dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan
menjadi bahasa isyarat. SIBI memiliki arti yang terlalu baku dengan tata bahasa
kalimat Bahasa Indonesia yang membuat penyandang tuli kesulitan untuk
berkomunikasi. Tidak hanya itu, kosakata bahasa isyarat yang dipakai banyak
mengambil dari Bahasa Isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam SIBI
20 Universitas Kristen Petra
mengikuti Bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat
untuk kata-kata berhomonim. Kata-kata berhomonim (kata yang memiliki makna
berbeda tetapi lafal atau ejaannya sama) dalam SIBI, diisyaratkan dalam satu
gerakan yang sama. Kata-kata berimbuhan pun diterjemahkan lengkap dengan
imbuhan-imbuhannya.
Gambar 2.5 Contoh gambar panduan SIBI
Sumber: lokernia.wordpress.com
Misalnya, kata ‘pengangguran’ diisyaratkan dengan tiga gerakan. Gerakan
pertama untuk ‘pe’, gerakan kedua untuk kata ‘anggur’, dan gerakan ketiga untuk
‘an’. Padahal, buah anggur tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengangguran.
Sedangkan dalam BISINDO, penggangguran diisyaratkan dengan mengepalkan
satu tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti
tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan.
Contoh lainnya yaitu kata ‘perjalanan’ dalam SIBI akan diterjemahkan
menjadi ‘per-jalan-an’. Satu kata dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan
menjadi kalimat “mobil itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata ‘perjalanan’ ini
tetap menggunakan gerakan dua jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga
banyak orang tuli menangkap bahwa mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan
dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam BISINDO, berjalannya mobil hanya
dengan satu kata disertai ekspresi untuk menunjukkan kejadian yang sedang
21 Universitas Kristen Petra
berlangsung. Isyarat yang terlalu rumit itu membuat penyandang tuli
kesusahan memakainya dalam percakapan sehari-hari.
Guru SLB/B di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang mengajar
dengan menggunakan SIBI dan bahasa bibir atau oral kepada siswanya. Dampak
penggunaan SIBI bagi siswa penyandang tuli adalah tidak maksimalnya mereka
menangkap informasi, bahkan tidak jarang menjadi salah paham dengan informasi
yang disampaikan. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan
anak tuli yang belum pernah mengenal Bahasa Indonesia? Proses menghubungkan
SIBI dengan Bahasa Indonesia tidak berjalan lancar karena anak-anak belum
mengetahui tata Bahasa Indonesia. Di sinilah SIBI gagal sebagai media komunikasi
untuk penyandang tuna rungu. Tetapi sebagai bangsa yang beradab, kita tetap patut
untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Alm. Bapak Anton
Widyatmoko yang telah berusaha memfasilitasi kebutuhan penyandang tuli.
Sesuai dengan Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
Perserikatan Bangsa Bangsa, negara-negara harus mengambil langkah-langkah
yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat dan pemajuan
identitas linguistik masyarakat tuli. Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
(GERKATIN) kemudian memperjuangkan bahasa isyarat yang alami serta sesuai
dengan nurani para penyandang tuli di Indonesia. BISINDO diciptakan oleh
penyandang tuli untuk penyandang tuli.
Penyandang tuli lebih nyaman menggunakan BISINDO karena kepraktisan
dan kecepatannya. Para penyandang tuli lebih cepat memahami maksud dari Bahasa
Isyarat Indonesia, meskipun dalam hal tata bahasa, tidak mengikuti aturan Bahasa
Indonesia seperti SIBI. Sejak tahun 1981, GERKATIN sebetulnya telah
memperjuangkan agar BISINDO diakui sebagai bahasa resmi kaum tuli. Namun,
sampai sekarang belum juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Panji
Surya Putra, seorang penyandang tuli menyebut hal ini sebagai perampasan hak-
hak kaum tuli (Herman, 2014).
Akan tetapi kehadiran BISINDO juga mendatangkan hambatan baru.
Dualisme bahasa isyarat yang dianut penyandang tuli di Indonesia menyulitkan
mereka untuk berkomunikasi secara ‘pas’. Para penyandang tuli bingung
menggunakan bahasa isyarat yang akan dipakai untuk berkomunikasi. Namun,
22 Universitas Kristen Petra
melihat tidak sedikit penyandang tuli yang kesulitan menggunakan SIBI, secara
alami mereka akan menggunakan BISINDO sebagai alat komunikasi sehari-hari.
2.3. Analisis Media Pembelajaran Interaktif (yang telah digunakan)
Selama ini, sudah ada beberapa media yang memuat informasi tentang
BISINDO, misalnya buku, media sosial, brosur, merchandise, dan video. Melalui
hasil observasi yang telah dilakukan, berikut beberapa media yang sudah pernah
digunakan untuk mengenalkan BISINDO kepada masyarakat:
a. Buku “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)”
Gambar 2.6 Buku “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia”
Sumber: www.kompasiana.com/ramadhaniray
Buku “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)” yang
dibuat oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo). Walaupun buku ini
memiliki informasi yang lengkap dan sangat bermanfaat, namun sangat
disayangkan buku ini belum disebarluaskan di toko-toko buku seluruh Indonesia
sehingga masyarakat umum belum dapat mengaksesnya dengan mudah.
b. Aplikasi “I-Sign”
23 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.7 Aplikasi “I-Sign”
Sumber: https://play.google.com
Aplikasi I-Sign adalah sebuah aplikasi edukasi yang berisi video gerakan
dan cara menyampaikan BISINDO. Aplikasi ini dibuat oleh sebuah tim bernama
Y&Z. Meskipun aplikasi ini sangat bermanfaat, masih belum banyak orang yang
mengetahui aplikasi ini.
c. Aplikasi “BisindoApp”
Gambar 2.8 Tampilan Home BisindoApp
Sumber: siet.ub.ac.id
Aplikasi BisindoApp merupakan aplikasi yang serupa dengan I-Sign.
Aplikasi ini dibuat oleh Bambang Cahyo Soetrisno mahasiswa Informatika
angkatan 2012 Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (FILKOM UB).
24 Universitas Kristen Petra
2.4. Analisis Kebutuhan Materi Pembelajaran
Melalui bahasa isyarat, penyandang tuli mampu mengembangkan
pikirannya dan belajar berbagai hal. Tanpa dibekali bahasa isyarat yang memadai,
mereka akan mengalami masalah dalam berkomunikasi sehingga mereka akan
terhambat dalam bersosialisasi dan dikucilkan masyarakat. Tentunya di SLB/B di
seluruh Indonesia telah diajarkan bahasa isyarat bagi penyandang tuli agar dapat
berkomunikasi dengan baik. Akan tetapi, muncul masalah baru yaitu adanya
dualisme bahasa isyarat di Indonesia yang menyebabkan kebingungan bagi para
penyandang tuli.
Bahasa isyarat di Indonesia ada dua, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
(SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). SIBI dibuat oleh pemerintah
tanpa melibatkan orang tuli dan dasar pembuatannya mengacu pada Bahasa
Indonesia lisan. Di sinilah SIBI gagal sebagai sistem untuk merepresentasikan
Bahasa Indonesia.
Guru di Sekolah Luar Biasa di Indonesia masih banyak yang mengajar
dengan menggunakan SIBI dan oral atau bahasa bibir kepada siswa tuli. Dalam
dunia akademis, BISINDO belum dipercaya mampu menjadi bahasa pengantar
yang efektif. Sayangnya dampak penggunaan SIBI kepada siswa tuli membuktikan
bahwa mereka tidak memahami informasi yang disampaikan gurunya secara
maksimal. Tidak sedikit pula yang menjadi salah paham dengan informasinya yang
disampaikan (Solider, 2015). Keberadaan BISINDO belum diakui pemerintah
sebagai bahasa isyarat yang ‘memasyarakat’ di kalangan penyandang tuli selama
kurang lebih 37 tahun sejak BISINDO diperkenalkan. Padahal sudah jelas, dalam
beberapa faktor, SIBI tidak didukung oleh kaum yang memakainya. Seperti tadi
disebutkan di atas, lahirnya SIBI tidak melibatkan penyandang tuli sama sekali.
Maka, masih dibutuhkan banyak sekali usaha untuk mensosialisasikan
BISINDO agar dapat digunakan oleh penyandang tuli dengan bebas untuk
melakukan komunikasi sehari-hari di lingkungan sosialnya masing-masing.
Harapannya, semakin banyak orang yang tahu dan bisa menggunakan Bahasa
Isyarat Indonesia, sehingga BISINDO, yang kemudian menjadi bahasa isyarat
alami Indonesia tidak hilang eksistensinya.
25 Universitas Kristen Petra
Selain dibutuhkan untuk penyandang tuli, BISINDO juga perlu untuk
dipelajari oleh orang yang bisa mendengar. Selain untuk memenuhi tujuan utama
bahasa sebagai alat berkomunikasi, banyak sekali manfaat yang akan didapatkan
oleh orang yang menguasai bahasa isyarat. Selain dapat mengembangkan
kemampuan otak dalam berpikir, mempelajari bahasa isyarat juga dapat membantu
orang tuli untuk mendapatkan posisi yang lebih layak di masyarakat dan membuat
stigma mengenai bahasa isyarat berubah menjadi bahasa yang bisa digunakan oleh
siapapun, bukan bahasa untuk orang yang memiliki keterbatasan fisik saja.
Misalnya, ada seseorang yang bisa mendengar membutuhkan seorang rekan bisnis
yang memiliki keahlian tertentu, dan kebetulan rekan bisnis yang tepat adalah
seorang penyandang tuli, maka dengan dikuasainya bahasa isyarat tentu akan
memudahkan komunikasi dan kelancaran kerjasama dari kedua pihak. Mempelajari
bahasa isyarat akan memberikan dampak dan manfaat positif bagi kedua pihak, baik
para penyandang tuli maupun orang yang bisa mendengar.
2.5. Analisis Kelebihan / Keunggulan Media Pembelajaran (yang akan
dibuat)
Media informasi BISINDO yang akan digunakan berfungsi untuk
memudahkan sosialisasi BISINDO agar lebih menarik, efektif, dan mudah diakses
oleh siapapun. Selama ini, proses sosialisasi BISINDO, terutama di Surabaya hanya
dilakukan di Car Free Day pada hari Minggu dengan media yang terbatas.
Gambar 2.9 Sosialisasi BISINDO
Sumber: Dokumentasi pribadi
26 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.10 Media yang digunakan untuk sosialisasi
Sumber: Dokumentasi pribadi
Perancangan media informasi yang akan dibuat berupa sebuah media visual
interaktif dengan gaya ilustrasi yang simpel dan kekinian. Informasi mengenai
BISINDO yang diajarkan tidak hanya satu arah, namun orang-orang yang ingin
mempelajari juga dapat berinteraksi sehingga mereka tidak jenuh. Visual yang akan
digunakan juga lebih menarik dan kekinian sehingga orang-orang bisa lebih tertarik
untuk mempelajari BISINDO. Selain itu, media ini juga dikemas dalam bentuk
sebuah kit sehingga mudah untuk dibawa.
2.6. Simpulan
Di Indonesia terdapat dua bahasa isyarat yang digunakan, yaitu SIBI dan
BISINDO. Penggunaan SIBI tidak sesuai dengan hati nurani para penyandang tuli
karena diciptakan tanpa adanya musyawarah dengan para penyandang tuli itu
sendiri. Maka, para penyandang tuli memperjuangkan dan mensosialisasikan
BISINDO yang lebih mudah untuk mereka gunakan dan lebih mencerminkan
budaya tuli. Bahasa isyarat sendiri sesungguhnya memiliki potensi untuk dipelajari
baik oleh para penyandang tuli maupun orang yang bisa mendengar karena bahasa
isyarat adalah sebuah kekayaan budaya yang dimiliki dan berbeda-beda di tiap
negara. Selain itu, pembelajaran bahasa isyarat itu sendiri diperlukan untuk
memenuhi tujuan utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dan akan sangat
berguna ke depannya di dunia kerja.
27 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan data yang didapat, media informasi berguna untuk memberikan
pengetahuan atau berita mengenai sesuatu dari satu pihak ke pihak yang lainnya
yang berperan sebagai audiens atau penerima informasi sehingga menjadi bahan
yang bermanfaat bagi penerima informasi. Media informasi yang baik adalah media
informasi yang bisa efektif, tepat guna, dan tepat sasaran.
Selama ini, sudah banyak media yang diciptakan untuk mensosialisasikan
BISINDO. Namun sayangnya, belum banyak orang yang tertarik dan mengetahui
tentang media yang telah diciptakan tersebut. Media visual interaktif ini diciptakan
agar orang-orang bisa tertarik untuk mempelajari BISINDO dan dapat
mempelajarinya dengan mudah di manapun.
2.7. Usulan Pemecahan Masalah
Usulan pemecahan masalah adalah dengan menggunakan media yang akan
dirancang untuk sosialisasi BISINDO pada acara-acara sosialisasi BISINDO di
Surabaya. Acara sosialisasi BISINDO ini akan bekerjasama dengan komunitas
Kartu Surabaya yang juga memiliki visi untuk menyebarluaskan BISINDO di
seluruh Surabaya. Bila ingin mendapatkannya secara langsung, orang yang hendak
mempelajari BISINDO bisa mengikuti acara-acara sosialisasi BISINDO. Akan
tetapi, dokumen printable dari media ini juga disebarluaskan secara gratis sehingga
bisa diakses oleh siapapun dan dimanapun.
Media pembelajaran akan dibuat menarik dengan gaya ilustrasi sederhana
dan kekinian untuk meningkatkan minat baik para penyandang tuli maupun
masyarakat awam. Selain media interaktif yang dibuat, media sosial juga akan
dikelola agar orang-orang yang tidak dapat menghadiri acara sosialisasi BISINDO
juga dapat mempelajari BISINDO.