2. identifikasi dan analisis data 2.1. landasan teori 2.1

18
10 Universitas Kristen Petra 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Tinjauan tentang Bahasa Isyarat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa memiliki arti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sementara isyarat memiliki arti segala sesuatu yang berkaitan dengan gerak tubuh (gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya) yang dipakai sebagai tanda atau alamat. Maka, bahasa isyarat dapat diartikan sebagai bahasa yang mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir, bukannya suara untuk berkomunikasi. Kaum tuli adalah kelompok utama yang menggunakan bahasa ini, biasanya dengan mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi dan gerak tangan, lengan, dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka. Pada zaman dahulu, anak tunarungu dan anak terbelakang mental (tunamental) sukar dibedakan karena keduanya sukar diajak berbicara. Orang pertama yang mengajar murid tunarungu adalah Pedro Ponce De Leon. Beliau adalah seorang biarawan di St. Benedict (Spanyol 1520 1584 Masehi). Beliau mempelopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu keturunan bangsawan pada abad ke-16. Beliau membuktikan bahwa anak tunarungu dapat diajar untuk berbicara dan menulis. Gambar 2.1 Juan Pablo Bonet Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Pablo_Bonet Bahasa isyarat pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha Juan Pablo Bonet. Beliau membuat sebuah buku berisi pengajaran tentang alfabet manual dengan

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

10 Universitas Kristen Petra

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Tinjauan tentang Bahasa Isyarat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa memiliki arti sistem

lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk

bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sementara isyarat

memiliki arti segala sesuatu yang berkaitan dengan gerak tubuh (gerakan tangan,

anggukan kepala, dan sebagainya) yang dipakai sebagai tanda atau alamat.

Maka, bahasa isyarat dapat diartikan sebagai bahasa yang mengutamakan

komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir, bukannya suara untuk

berkomunikasi. Kaum tuli adalah kelompok utama yang menggunakan bahasa ini,

biasanya dengan mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi dan gerak tangan,

lengan, dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka.

Pada zaman dahulu, anak tunarungu dan anak terbelakang mental

(tunamental) sukar dibedakan karena keduanya sukar diajak berbicara. Orang

pertama yang mengajar murid tunarungu adalah Pedro Ponce De Leon. Beliau

adalah seorang biarawan di St. Benedict (Spanyol 1520 – 1584 Masehi). Beliau

mempelopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu

keturunan bangsawan pada abad ke-16. Beliau membuktikan bahwa anak

tunarungu dapat diajar untuk berbicara dan menulis.

Gambar 2.1 Juan Pablo Bonet

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Pablo_Bonet

Bahasa isyarat pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha Juan Pablo Bonet.

Beliau membuat sebuah buku berisi pengajaran tentang alfabet manual dengan

Page 2: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

11 Universitas Kristen Petra

gerakan isyarat tangan untuk orang tunarungu wicara. Dalam pengajaran Bonet juga

terdapat pelajaran artikulasi seperti apa yang diberikan di Indonesia sekarang ini.

Gambar 2.2 Buku yang diterbitkan Bonet di tahun 1620 yang berjudul: Reducción

de las letras y arte para enseñar a hablar a los mudos.

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Pablo_Bonet

Pada saat yang hampir bersamaan, John Bulwer, seorang dokter dan filsuf,

serta John Wallis, seorang pendeta dan ahli matematika, memulai pendidikan dan

pengajaran anak tunarungu dengan metode isyarat di Inggris, sedangkan di negeri

Belanda, pendidikan untuk anak tunarungu dirintis oleh John Conrade Amman

(1692). Selanjutnya pada abad ke-17, pengajaran tersebut dilanjutkan oleh Jacob

Rodrigues Pereira di Paris, dengan mengembangkan bahasa isyarat menggunakan

tangan. Selain itu juga dikembangkan metode lain yang disebut metode bibir atau

metode oral.

Kemudian pada abad ke-18, munculah seorang paderi di Paris, Abbe

Charles-Michel de l'Épée (1712 – 1789) yang dikenal sebagai “Father of The Deaf”.

Beliau membuka sekolah pertama untuk orang tuli pada tahun 1775, dan

mendukung penggunaan bahasa isyarat untuk orang tuli karena menurut beliau,

lebih baik mempergunakan banyak waktu untuk memajukan perkembangan

kecerdasan murid-muridnya dengan bahasa isyarat daripada mengajarkan untuk

berbicara lisan yang sukar dicerna oleh para muridnya.

Bersamaan dengan periode tersebut, Samuel Heinicke di Jerman

mengembangkan metode oral untuk mengajarkan orang-orang tuli dalam

berkomunikasi. Dari situlah tercipta aliran oralisme. Metode ini berlatar belakang

dari pandangan bahwa anak tuli memiliki potensi untuk berbicara dan dapat diajak

Page 3: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

12 Universitas Kristen Petra

bicara dengan baik serta menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam

dunia normal. Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli untuk:

o Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal.

o Mendapat kesempatan memperoleh pengakuan diri.

o Menyesuaikan diri dalam bersosialisasi.

Kemudian secara bersamaan aliran manualisme dan oralisme berkembang

ke Amerika. Manualisme dikembangkan oleh Gallaudet, sedangkan oralisme

dikembangkan oleh Alexander Graham Bell yang kemudian menemukan telepon,

dengan mengembangkan pemakaian alat bantu dengar (hearing aid) serta pengeras

suara. Dari situ munculah satuan ukuran pendengaran seseorang yang disebut

deciBell (dB). Di Inggris, pendidikan untuk orang tuli dikembangkan oleh Thomas

Braidwood.

Di Indonesia, pendidikan anak tunarungu dimulai di Bandung, Jawa Barat,

sekitar tahun 1930. Beberapa tahun kemudian didirikan Sekolah Luar Biasa B (SLB

bagian B) di Wonosobo, Jawa Tengah dan sekarang telah tersebar di seluruh

Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia, umumya mempergunakan metode

membaca gerakan bibir (lip reading). Namun sejak beberapa tahun lalu di SLB/B

Kota Jakarta khususnya di SLB/B Zinnia dan di Surabaya yaitu SLB/B Karya

Mulya, telah diajari komunikasi total (total communication). Adapun pengertian

komunikasi total menurut Edward Miner Gallaudet (1837 – 1902) dalam buku “A

World Of Language For Deaf Children” adalah kombinasi dari isyarat, ejaan jari

dan bicara.

2.1.2. Tinjauan Mengenai Tunarungu / Tuli dan Tunawicara

Tunarungu adalah istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan

mendengar yang rentangannya mulai dari ringan hingga berat, meliputi tuli dan

susah mendengar. Tuli adalah kondisi seseorang yang menyandang

ketidakmampuan mendengar sehingga menghalangi dalam proses perolehan

informasi bahasa lisan melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu

mendengar (hearing aids). Susah mendengar adalah seseorang yang harus selalu

menggunakan alat bantu mendengar untuk memperoleh informasi bahasa lisan

melalui pendengaran, serta mempunyai sisa pendengaran yang cukup

Page 4: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

13 Universitas Kristen Petra

memungkinkan untuk memproses informasi bahasa lisan. Tunawicara adalah

seseorang yang mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa

maupun suaranya dari bicara normal (normal speech), sehingga menimbulkan

kesulitan dalam berkomunikasi lisan dengan lingkungan.

Moh Amin (1999:1) dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu,

menjelaskan tunarungu wicara adalah:

o Mereka yang sejak lahir demikian kurang pendengaran, sehingga

memustahilkan mereka dapat belajar bahasa dan berbicara dengan cara-cara

normal.

o Mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal, tetapi sebelum

mereka dapat bicara mendapat hambatan taraf berat pendengaran.

o Mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara, tetapi terjangkit

gangguan pendengaran sebelum umur kira-kira 2 tahun, sehingga kesan-

kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah-olah hilang.

Menurut Soewito yang dikutip Sardjono (1995:5) dalam buku

Orthopedagogik Anak Tunarungu, tunarungu adalah “Seseorang yang mengalami

kesulitan berat sampai total, yang tidak dapat lagi menangkap tutur kata tanpa

membaca bibir lawan bicaranya”. Menurut pendapat dari Lani Bunawan (1999:1)

dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu, masalah terbesar yang diakibatkan

ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi dengan lingkungan. Bila seorang

anak mengalami ketunarunguan sejak lahir, padanya tidak akan terjadi

proses penguasaan bahasa secara spontan, sehingga dalam hidupnya di masyarakat

yang mendengar, ia akan mengalami berbagai kesukaran dalam perkembangan

sosial, emosi, dan mental.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang

yang tunarungu wicara adalah seseorang yang kurang mampu mendengar suara atau

bunyi yang ada di sekelilingnya, tetapi masih dapat mendengar suara-suara tertentu

sesuai sisa pendengaran yagn dimilikinya. Anak tunarungu wicara adalah seseorang

yang mengalami ketulian ringan sampai berat dimana dampak dari

ketunarunguannya adalah terhambatnnya komunikasi dengan orang sekelilingnya

yang mampu mendengar.

Page 5: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

14 Universitas Kristen Petra

Tidak banyak yang tahu, bahwa orang yang tidak dapat mendengar lebih

senang disebut tuli daripada tuna rungu karena tuli dan tuna rungu memiliki arti

yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuli berarti tidak dapat

mendengar. Sedangkan tuna rungu memiliki arti seseorang yang rusak

pendengarannya. Kaum tuli lebih senang disebut tuli karena tunarungu lebih

mengarah kepada suatu kondisi kecacatan fisik yang membutuhkan pertolongan

medis dan bersifat belas kasihan, sementara tuli (dengan ‘T’ besar) lebih mengarah

pada suatu kelompok minoritas yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa

isyarat.

2.1.3. Tinjauan tentang Media Informasi

Istilah media berasal dari Bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari

kata “medium’ yang secara harafiah berarti perantara. Secara harafiah kata tersebut

mempunyai arti "perantara" atau "pengantar", yaitu perantara sumber pesan dengan

penerima pesan. Jadi, dalam pengertian yang lain, media adalah alat atau sarana

yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak

(Heinich et.al., 2002: Ibrahim, 1997: Ibrahim et.al., 2001).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, media dapat diartikan sebagai alat

atau sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan

spanduk yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya).

Media terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain:

Media Visual: media visual adalah media yang bisa dilihat, dibaca dan

diraba. Media ini mengandalkan indra penglihatan dan peraba. Berbagai

jenis media ini sangat mudah untuk didapatkan. Contoh: media foto,

gambar, komik, gambar tempel, poster, majalah, buku, miniatur, alat

peraga dan sebagainya.

Media Audio: media audio adalah media yang bisa didengar saja,

menggunakan indra telinga sebagai salurannya. Contohnya: suara, musik

dan lagu, alat musik, siaran radio dan kaset suara atau CD dan sebagainya.

Media Audio Visual: media audio visual adalah media yang bisa didengar

dan dilihat secara bersamaan. Media ini menggerakkan indra pendengaran

dan penglihatan secara bersamaan. Contohnya: media drama, pementasan,

Page 6: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

15 Universitas Kristen Petra

film, dan televisi. Internet termasuk dalam bentuk media audio visual,

tetapi lebih sering disebut disebut multimedia karena lebih lengkap dan

menyatukan semua jenis format media.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informasi merupakan

pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu. Maka, media informasi dapat

diartikan sebagai alat atau sarana yang digunakan untuk memberikan pengetahuan

atau berita mengenai sesuatu dari satu pihak ke pihak yang lainnya yang berperan

sebagai audiens atau penerima informasi sehingga menjadi bahan yang bermanfaat

bagi penerima informasi. Adapun penjelasan Sobur (2006), media informasi

merupakan “alat-alat grafis, fotografis atau elektronis untuk menangkap,

memproses, serta menyusun kembali informasi visual”.

Jenis-jenis Media Informasi sebagai alat yang dapat menyampaikan suatu

informasi harus tepat sasaran agar dapat tersampaikan dengan baik pada target

sasaran sehingga bisa bermanfaat bagi pembuat maupun penerima informasi. Media

informasi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Media lini atas, merupakan media yang tidak langsung bersentuhan dengan

target audiens serta jumlahnya terbatas tetapi jangkauan target yang luas,

seperti billboard, iklan televisi, iklan radio, dan masih banyak lagi.

b. Media lini bawah, atau suatu media iklan yang tidak disampaikan atau

disiarkan melalui media massa serta jangkauan target hanya berfokus pada

satu titik atau daerah, seperti brosur, poster, flyer, sign system dan masih

banyak lagi.

c. Media cetak, dapat berupa brosur, koran, majalah, poster, pamflet, spanduk,

dan masih banyak lagi.

d. Media elektronik, media ini dapat disampaikan melalui radio, kaset, kamera,

handphone, dan internet.

Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa pendapat ahli tentang media informasi:

a. Komponen strategi penyampaian yang dapat di muati pesan yang akan

disampaikan kepada pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng,

1989)

b. Media sebagai segala sesuatu yang bisa dipergunakan untuk menyalurkan

pesan dan pengirim pesan kepada penerima pesan, agar dapat merangsang

Page 7: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

16 Universitas Kristen Petra

pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian

rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif serta

efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman,dkk., 2002:6)

c. Alat yang secara fisik dipergunakan untuk menyampaikan isi materi, yang

terdiri antara lain yaitu buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video

recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne

dan Briggs dalam Arsyad, 2002)

2.1.4. Tinjauan tentang Media Pembelajaran

Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar.

Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan,

perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar sehingga dapat mendorong

terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam mencakup

pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan

untuk tujuan pembelajaran atau pelatihan.

Menurut Briggs (1977), media pembelajaran adalah sarana fisik untuk

menyampaikan isi atau materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan

sebagainya. Kemudian menurut National Education Associaton (1969), media

pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-

dengar, termasuk teknologi perangkat keras.

Oleh karena proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan

berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang

cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media,

komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses

komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal. Media pembelajaran

adalah komponen integral dari sistem pembelajaran

Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala

sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan

kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada

diri peserta didik.

Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan, penggunaan media

pembelajaran seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang

Page 8: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

17 Universitas Kristen Petra

membutuhkan media seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh guru dan

“audio-visual”.

Gambar 2.3 Kerucut Pengalaman Edgar Dale

Sumber: Arif (1994:79)

Ada beberapa jenis media pembelajaran, di antaranya:

a. Media Visual: grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, dan sejenisnya.

b. Media Audial: radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya.

c. Projected still media: slide, Over Head Projector (OHP), dan sejenisnya.

d. Projected motion media: film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer

dan sejenisnya.

Pada hakikatnya, bukan media pembelajaran itu sendiri yang menentukan hasil

belajar. Ternyata keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses

pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2)

cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian

dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut.

Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media

pembelajaran, tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Ada beberapa

tujuan menggunakan media pembelajaran, diantaranya yaitu :

a. mempermudah proses belajar-mengajar

b. meningkatkan efisiensi belajar-mengajar

c. menjaga relevansi dengan tujuan belajar

d. membantu konsentrasi mahasiswa

Page 9: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

18 Universitas Kristen Petra

e. Menurut Gagne: Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa

untuk belajar

f. Menurut Briggs: Wahana fisik yang mengandung materi instruksional

g. Menurut Schramm: Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional

h. Menurut Y. Miarso: Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar

siswa

2.2. Data Tentang Materi Pembelajaran

2.2.1. Organisasi Tuli di Indonesia

Di Indonesia, organisasi untuk yang diperuntukkan untuk orang-orang tuli

bernama GERKATIN. GERKATIN merupakan singkatan dari Gerakan untuk

Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. Organisasi ini dideklarasikan melalui Kongres

Nasional I, pada tanggal 23 Februari 1981 di Jakarta. Sebelumnya sudah ada

beberapa komunitas tuli di Indonesia, antara lain: Sekatubi (Serikat Kaum Tuli Bisu

Indonesia), Pekatur (Persatuan Tunarungu Surabaya), Pertri (Perhimpunan

Tunarungu Indonesia) yang terletak di Yogyakarta, dan Gerkatin (Gerakan Kaum

Tunarungu Indonesia) yang terletak di Bandung. Saat ini GERKATIN telah

mempunyai 28 DPD (Dewan Pengurus Daerah) dan 69 DPC (Dewan Pengurus

Cabang) di Indonesia.

Sementara itu, komunitas di Surabaya yang diperuntukkan untuk orang tuli

bernama Kartu Surabaya. Kartu Surabaya merupakan singkatan dari Komunitas

Arek Tuli Surabaya. Komunitas ini terbentuk sejak tahun 2016 dan sering

mengadakan sosialisasi Bahasa Isyarat Indonesia pada event Car Free Day di Jalan

Raya Darmo setiap hari Minggu. Sosialisasi ini bertujuan agar Bahasa Isyarat

Indonesia lebih dikenal oleh masyarakat awam Surabaya.

Page 10: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

19 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.4 Logo Komunitas Kartu Surabaya

Sumber: Instagram @kartusurabaya

2.2.2. Bahasa Isyarat di Indonesia

Di Indonesia, ada 2 bahasa isyarat yang digunakan yaitu SIBI (Sistem

Isyarat Bahasa Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). SIBI

diciptakan oleh Alm. Anton Widyatmoko. Beliau merupakan mantan kepala

sekolah SLB/B (sekolah luar biasa khusus penyandang tuna rungu) di Jakarta dan

Surabaya. Kamus Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (kamus SIBI) diterbitkan oleh

pemerintah dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah. Khususnya ke SLB/B

sejak tahun 2001. SIBI diciptakan dengan beberapa alasan, di antaranya untuk

merepresentasikan Bahasa Indonesia pada tangan, untuk mengajarkan Bahasa

Indonesia secara yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan

karena mudah dipelajari oleh orang yang sudah bisa berbahasa Indonesia. Tetapi

amat disayangkan, SIBI yang resmi diakui pemerintah mempunyai sejarah yang

kurang baik. Kemunculan SIBI ini ternyata tidak melewati persetujuan dan

musyawarah dengan Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN).

Ini artinya, SIBI tidak sesuai dengan aspirasi dan nurani para penyandang tuli.

SIBI hanya bisa digunakan sebagai bahasa isyarat di sekolah saja, namun

tidak bisa digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari. Hal ini dikarenakan

kosakata dalam SIBI dibuat hanya dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan

menjadi bahasa isyarat. SIBI memiliki arti yang terlalu baku dengan tata bahasa

kalimat Bahasa Indonesia yang membuat penyandang tuli kesulitan untuk

berkomunikasi. Tidak hanya itu, kosakata bahasa isyarat yang dipakai banyak

mengambil dari Bahasa Isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam SIBI

Page 11: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

20 Universitas Kristen Petra

mengikuti Bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat

untuk kata-kata berhomonim. Kata-kata berhomonim (kata yang memiliki makna

berbeda tetapi lafal atau ejaannya sama) dalam SIBI, diisyaratkan dalam satu

gerakan yang sama. Kata-kata berimbuhan pun diterjemahkan lengkap dengan

imbuhan-imbuhannya.

Gambar 2.5 Contoh gambar panduan SIBI

Sumber: lokernia.wordpress.com

Misalnya, kata ‘pengangguran’ diisyaratkan dengan tiga gerakan. Gerakan

pertama untuk ‘pe’, gerakan kedua untuk kata ‘anggur’, dan gerakan ketiga untuk

‘an’. Padahal, buah anggur tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengangguran.

Sedangkan dalam BISINDO, penggangguran diisyaratkan dengan mengepalkan

satu tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti

tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan.

Contoh lainnya yaitu kata ‘perjalanan’ dalam SIBI akan diterjemahkan

menjadi ‘per-jalan-an’. Satu kata dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan

menjadi kalimat “mobil itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata ‘perjalanan’ ini

tetap menggunakan gerakan dua jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga

banyak orang tuli menangkap bahwa mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan

dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam BISINDO, berjalannya mobil hanya

dengan satu kata disertai ekspresi untuk menunjukkan kejadian yang sedang

Page 12: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

21 Universitas Kristen Petra

berlangsung. Isyarat yang terlalu rumit itu membuat penyandang tuli

kesusahan memakainya dalam percakapan sehari-hari.

Guru SLB/B di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang mengajar

dengan menggunakan SIBI dan bahasa bibir atau oral kepada siswanya. Dampak

penggunaan SIBI bagi siswa penyandang tuli adalah tidak maksimalnya mereka

menangkap informasi, bahkan tidak jarang menjadi salah paham dengan informasi

yang disampaikan. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan

anak tuli yang belum pernah mengenal Bahasa Indonesia? Proses menghubungkan

SIBI dengan Bahasa Indonesia tidak berjalan lancar karena anak-anak belum

mengetahui tata Bahasa Indonesia. Di sinilah SIBI gagal sebagai media komunikasi

untuk penyandang tuna rungu. Tetapi sebagai bangsa yang beradab, kita tetap patut

untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Alm. Bapak Anton

Widyatmoko yang telah berusaha memfasilitasi kebutuhan penyandang tuli.

Sesuai dengan Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas

Perserikatan Bangsa Bangsa, negara-negara harus mengambil langkah-langkah

yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat dan pemajuan

identitas linguistik masyarakat tuli. Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia

(GERKATIN) kemudian memperjuangkan bahasa isyarat yang alami serta sesuai

dengan nurani para penyandang tuli di Indonesia. BISINDO diciptakan oleh

penyandang tuli untuk penyandang tuli.

Penyandang tuli lebih nyaman menggunakan BISINDO karena kepraktisan

dan kecepatannya. Para penyandang tuli lebih cepat memahami maksud dari Bahasa

Isyarat Indonesia, meskipun dalam hal tata bahasa, tidak mengikuti aturan Bahasa

Indonesia seperti SIBI. Sejak tahun 1981, GERKATIN sebetulnya telah

memperjuangkan agar BISINDO diakui sebagai bahasa resmi kaum tuli. Namun,

sampai sekarang belum juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Panji

Surya Putra, seorang penyandang tuli menyebut hal ini sebagai perampasan hak-

hak kaum tuli (Herman, 2014).

Akan tetapi kehadiran BISINDO juga mendatangkan hambatan baru.

Dualisme bahasa isyarat yang dianut penyandang tuli di Indonesia menyulitkan

mereka untuk berkomunikasi secara ‘pas’. Para penyandang tuli bingung

menggunakan bahasa isyarat yang akan dipakai untuk berkomunikasi. Namun,

Page 13: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

22 Universitas Kristen Petra

melihat tidak sedikit penyandang tuli yang kesulitan menggunakan SIBI, secara

alami mereka akan menggunakan BISINDO sebagai alat komunikasi sehari-hari.

2.3. Analisis Media Pembelajaran Interaktif (yang telah digunakan)

Selama ini, sudah ada beberapa media yang memuat informasi tentang

BISINDO, misalnya buku, media sosial, brosur, merchandise, dan video. Melalui

hasil observasi yang telah dilakukan, berikut beberapa media yang sudah pernah

digunakan untuk mengenalkan BISINDO kepada masyarakat:

a. Buku “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)”

Gambar 2.6 Buku “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia”

Sumber: www.kompasiana.com/ramadhaniray

Buku “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)” yang

dibuat oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo). Walaupun buku ini

memiliki informasi yang lengkap dan sangat bermanfaat, namun sangat

disayangkan buku ini belum disebarluaskan di toko-toko buku seluruh Indonesia

sehingga masyarakat umum belum dapat mengaksesnya dengan mudah.

b. Aplikasi “I-Sign”

Page 14: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

23 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.7 Aplikasi “I-Sign”

Sumber: https://play.google.com

Aplikasi I-Sign adalah sebuah aplikasi edukasi yang berisi video gerakan

dan cara menyampaikan BISINDO. Aplikasi ini dibuat oleh sebuah tim bernama

Y&Z. Meskipun aplikasi ini sangat bermanfaat, masih belum banyak orang yang

mengetahui aplikasi ini.

c. Aplikasi “BisindoApp”

Gambar 2.8 Tampilan Home BisindoApp

Sumber: siet.ub.ac.id

Aplikasi BisindoApp merupakan aplikasi yang serupa dengan I-Sign.

Aplikasi ini dibuat oleh Bambang Cahyo Soetrisno mahasiswa Informatika

angkatan 2012 Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (FILKOM UB).

Page 15: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

24 Universitas Kristen Petra

2.4. Analisis Kebutuhan Materi Pembelajaran

Melalui bahasa isyarat, penyandang tuli mampu mengembangkan

pikirannya dan belajar berbagai hal. Tanpa dibekali bahasa isyarat yang memadai,

mereka akan mengalami masalah dalam berkomunikasi sehingga mereka akan

terhambat dalam bersosialisasi dan dikucilkan masyarakat. Tentunya di SLB/B di

seluruh Indonesia telah diajarkan bahasa isyarat bagi penyandang tuli agar dapat

berkomunikasi dengan baik. Akan tetapi, muncul masalah baru yaitu adanya

dualisme bahasa isyarat di Indonesia yang menyebabkan kebingungan bagi para

penyandang tuli.

Bahasa isyarat di Indonesia ada dua, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia

(SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). SIBI dibuat oleh pemerintah

tanpa melibatkan orang tuli dan dasar pembuatannya mengacu pada Bahasa

Indonesia lisan. Di sinilah SIBI gagal sebagai sistem untuk merepresentasikan

Bahasa Indonesia.

Guru di Sekolah Luar Biasa di Indonesia masih banyak yang mengajar

dengan menggunakan SIBI dan oral atau bahasa bibir kepada siswa tuli. Dalam

dunia akademis, BISINDO belum dipercaya mampu menjadi bahasa pengantar

yang efektif. Sayangnya dampak penggunaan SIBI kepada siswa tuli membuktikan

bahwa mereka tidak memahami informasi yang disampaikan gurunya secara

maksimal. Tidak sedikit pula yang menjadi salah paham dengan informasinya yang

disampaikan (Solider, 2015). Keberadaan BISINDO belum diakui pemerintah

sebagai bahasa isyarat yang ‘memasyarakat’ di kalangan penyandang tuli selama

kurang lebih 37 tahun sejak BISINDO diperkenalkan. Padahal sudah jelas, dalam

beberapa faktor, SIBI tidak didukung oleh kaum yang memakainya. Seperti tadi

disebutkan di atas, lahirnya SIBI tidak melibatkan penyandang tuli sama sekali.

Maka, masih dibutuhkan banyak sekali usaha untuk mensosialisasikan

BISINDO agar dapat digunakan oleh penyandang tuli dengan bebas untuk

melakukan komunikasi sehari-hari di lingkungan sosialnya masing-masing.

Harapannya, semakin banyak orang yang tahu dan bisa menggunakan Bahasa

Isyarat Indonesia, sehingga BISINDO, yang kemudian menjadi bahasa isyarat

alami Indonesia tidak hilang eksistensinya.

Page 16: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

25 Universitas Kristen Petra

Selain dibutuhkan untuk penyandang tuli, BISINDO juga perlu untuk

dipelajari oleh orang yang bisa mendengar. Selain untuk memenuhi tujuan utama

bahasa sebagai alat berkomunikasi, banyak sekali manfaat yang akan didapatkan

oleh orang yang menguasai bahasa isyarat. Selain dapat mengembangkan

kemampuan otak dalam berpikir, mempelajari bahasa isyarat juga dapat membantu

orang tuli untuk mendapatkan posisi yang lebih layak di masyarakat dan membuat

stigma mengenai bahasa isyarat berubah menjadi bahasa yang bisa digunakan oleh

siapapun, bukan bahasa untuk orang yang memiliki keterbatasan fisik saja.

Misalnya, ada seseorang yang bisa mendengar membutuhkan seorang rekan bisnis

yang memiliki keahlian tertentu, dan kebetulan rekan bisnis yang tepat adalah

seorang penyandang tuli, maka dengan dikuasainya bahasa isyarat tentu akan

memudahkan komunikasi dan kelancaran kerjasama dari kedua pihak. Mempelajari

bahasa isyarat akan memberikan dampak dan manfaat positif bagi kedua pihak, baik

para penyandang tuli maupun orang yang bisa mendengar.

2.5. Analisis Kelebihan / Keunggulan Media Pembelajaran (yang akan

dibuat)

Media informasi BISINDO yang akan digunakan berfungsi untuk

memudahkan sosialisasi BISINDO agar lebih menarik, efektif, dan mudah diakses

oleh siapapun. Selama ini, proses sosialisasi BISINDO, terutama di Surabaya hanya

dilakukan di Car Free Day pada hari Minggu dengan media yang terbatas.

Gambar 2.9 Sosialisasi BISINDO

Sumber: Dokumentasi pribadi

Page 17: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

26 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.10 Media yang digunakan untuk sosialisasi

Sumber: Dokumentasi pribadi

Perancangan media informasi yang akan dibuat berupa sebuah media visual

interaktif dengan gaya ilustrasi yang simpel dan kekinian. Informasi mengenai

BISINDO yang diajarkan tidak hanya satu arah, namun orang-orang yang ingin

mempelajari juga dapat berinteraksi sehingga mereka tidak jenuh. Visual yang akan

digunakan juga lebih menarik dan kekinian sehingga orang-orang bisa lebih tertarik

untuk mempelajari BISINDO. Selain itu, media ini juga dikemas dalam bentuk

sebuah kit sehingga mudah untuk dibawa.

2.6. Simpulan

Di Indonesia terdapat dua bahasa isyarat yang digunakan, yaitu SIBI dan

BISINDO. Penggunaan SIBI tidak sesuai dengan hati nurani para penyandang tuli

karena diciptakan tanpa adanya musyawarah dengan para penyandang tuli itu

sendiri. Maka, para penyandang tuli memperjuangkan dan mensosialisasikan

BISINDO yang lebih mudah untuk mereka gunakan dan lebih mencerminkan

budaya tuli. Bahasa isyarat sendiri sesungguhnya memiliki potensi untuk dipelajari

baik oleh para penyandang tuli maupun orang yang bisa mendengar karena bahasa

isyarat adalah sebuah kekayaan budaya yang dimiliki dan berbeda-beda di tiap

negara. Selain itu, pembelajaran bahasa isyarat itu sendiri diperlukan untuk

memenuhi tujuan utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dan akan sangat

berguna ke depannya di dunia kerja.

Page 18: 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Landasan Teori 2.1

27 Universitas Kristen Petra

Berdasarkan data yang didapat, media informasi berguna untuk memberikan

pengetahuan atau berita mengenai sesuatu dari satu pihak ke pihak yang lainnya

yang berperan sebagai audiens atau penerima informasi sehingga menjadi bahan

yang bermanfaat bagi penerima informasi. Media informasi yang baik adalah media

informasi yang bisa efektif, tepat guna, dan tepat sasaran.

Selama ini, sudah banyak media yang diciptakan untuk mensosialisasikan

BISINDO. Namun sayangnya, belum banyak orang yang tertarik dan mengetahui

tentang media yang telah diciptakan tersebut. Media visual interaktif ini diciptakan

agar orang-orang bisa tertarik untuk mempelajari BISINDO dan dapat

mempelajarinya dengan mudah di manapun.

2.7. Usulan Pemecahan Masalah

Usulan pemecahan masalah adalah dengan menggunakan media yang akan

dirancang untuk sosialisasi BISINDO pada acara-acara sosialisasi BISINDO di

Surabaya. Acara sosialisasi BISINDO ini akan bekerjasama dengan komunitas

Kartu Surabaya yang juga memiliki visi untuk menyebarluaskan BISINDO di

seluruh Surabaya. Bila ingin mendapatkannya secara langsung, orang yang hendak

mempelajari BISINDO bisa mengikuti acara-acara sosialisasi BISINDO. Akan

tetapi, dokumen printable dari media ini juga disebarluaskan secara gratis sehingga

bisa diakses oleh siapapun dan dimanapun.

Media pembelajaran akan dibuat menarik dengan gaya ilustrasi sederhana

dan kekinian untuk meningkatkan minat baik para penyandang tuli maupun

masyarakat awam. Selain media interaktif yang dibuat, media sosial juga akan

dikelola agar orang-orang yang tidak dapat menghadiri acara sosialisasi BISINDO

juga dapat mempelajari BISINDO.