1'lnjauan yuridis terhadap pengadilan pajak
TRANSCRIPT
1'lNJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADILAN PAJAK YANG MENIADAKAN UP AY A HUKUM KASASI
Makalah yang tidak dipublikasikan November 2007
Oleh: Maria Emelia Retno K
Telah didokumentasikan, Nomor ................... . Mengetahui, Kepala Pusat Dokumentasi,
................................... )
---------- - --------.~-
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADILAN PAJAK YANG
MENIADAKAN UPA YA HUKUM KASASI
DISUSUN OLEH :
13~l40 ~{/=fi 'd-. 9-. 19-- .
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIKPARAHYANGAN
BANDUNG
No. Klass 3.':\'t .. q: ... ~~ .. ~ .. ' . No. lod"k.I~.19Tol _<i_,'':, _I!'-j i !-l'J.dich!Bt)j ........................... .
Dc.;'! \l-~~ .. "', ............. . . - . .. _ .. --------
----~-.~------~-- -----
, BABI
PENDAHULUAN
Pada tahun 2002 pemerintah telah membentuk sebuah badan peradilan barn di
Indonesia. Pengadilan itu adalah Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak dibentuk dengan
landasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Pengadilan ini dibentuk untuk
menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Fungsi dari pengadilan ini adalah
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang pastinya berurusan dengan masalah
perpajakan. Pembahasan mengenai pengadilan pajak akan diuraikan lebih lengkap pada
bab selanjutnya. Pokok masalah utama dalam pembahasan ini adalah proses beracara
dalam pengadilan pajak.
Masalah perpajakan bukanlah sesuatu yang dianggap sepele. Kerena hal ini
berhubungan erat dengen masa depan negara di bidang keuangan. Selain itu pula pajak
juga dapat mengatur hajat hidup orangbanyak, meskipun dampaknya tidak dapat
dirasakan langsung. Dengan demikian berbagai masalah di bidang perpajakan juga pasti
bermunculan. Oleh sebab itu pemerintah membentuk sebuah lembaga yang bertugas
mengatasi masalah perpajakan. Lembaga itu dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak. Badan ini dibentuk jauh sebelum ada yang namanya Pengadilan Pajak. Perbedaan
antara Bandan Penyelesaian Sengketa Pajak dengan Pengadilan Pajak adalah bahwa
keputusan yang dibuat oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak bersifat final.
Sedangkan dalam Pengadilan Pajak sudah pasti bersifat final. Selain itu, Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak berada di bawah kekuasaan atau pengawasan dari
Departemen Keuangan yang dalam hal ini diatur langsung oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Sedangkan Pengadilan Pajak berada di dalam kekuasaan Mahkamah Agung yang dalam
hal ini termasuk ke dalam ruang lingkup pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan tidak bersifat final keputusan dalam Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,
urusan-urusan dan sengketa-sengketa pajak antara wajib pajak atau penanggung pajak
dengan fiskus menjadi kurang kepastina hukumnya. Sedangkan dalam pengadilan pajak
kepastian hukumnya diharapkan akanjauh lebih baik.
Selain itu Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak terdapat upaya hukum
lanjutan apabila keputusan tidak dapat diterima oleh para pihak yang bersangkutan.
r ! I Dalam Pengadilan Pajak upaya hukum yang dapat ditempuh adalah banding dan
peninjauan kembali.
Muncul pertanyaan bam dari upaya hukum dalam Pengadilan Pajak. Padahal leita
tahu sendiri bahwa semuajenis peradilan di Indonesia menyediakan upaya hukum kasasi.
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan
Pengadilan Niaga yang berada di bawah Peradilan Umum kesemuanya terdapat upaya
hukum kasasi. Hal ini memang banyak yang mempertanyakan karena leita tahu sendiri
kalau pengadilan pajak berada di dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara di
mana di dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat hukum kasasi tetapi pada
pengadilan pajak malah tidak ada. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan leita bahas dalam
bab-bab selanjutnya dari tugas ini.
------_._._--_ ...... _--_.
, I
I 1 I
BABII
PENGADILAN PAJAK
Ketetapan pajak yang diterbitkan oleh fiskus (pejabat yang berwenang) tidak
selalu dapat diterima atau disetujui oleh wajib pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu,
undang-undang yang berlaku di Indonesia menjamin hak setiap wajib pajak untuk
mengajukan keberatan sampai tingkat banding atas ketetapan pajak yang dikenakan
terhadapnya. Hak bagi wajib pajak mengajukan banding ditetapkan dalam ketentuan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP). Secara tegas dinyatakan bahwa wajib pajak dapat
mengajukan banding hanya kepada badan peradilan pajak, terhadap keputusan mengenai
keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pengadilan Pajak yang ada sekarang ini berbeda dengan Badan Penyelesian
Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk pada era sebelumnya dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1997. BPSP dianggap bukan badan peradilan maupun badan tata usaha
negara, sehingga putusan BPSP sudah dianggap final dan tidak ada jalur hukum yang bisa
ditempuh oleh wajib pajak yang masih tidak setuju dengan putusan BPSP, baik melalui
Mahkamah Agung maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, di dalam Undang
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak),
pengadilan secara tegas dinyatakan berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung dan
mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagairnana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakirnan. Dan secara tegas pula dinyatakan bahwa atas putusan Pengadilan Pajak
masih bisa diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, proses banding di
Pengadilan Pajak akan ditangani oleh majelis, terdiri dari seorang yang ditunjuk sebagai
hakirn ketua dan dua orang hakim anggota, atau cukup ditangani oleh hakim tunggal.
Perlu diketahui juga selain menangani gugatan yang diajukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak atas pelaksanaan penagihan pajak oleh fiskus. Menurut Pasal 43 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tersebut. Gugatan dapat diajukan oleh wajib
pajak atau penanggung pajak dibarengi dengan permohonan agar tindak lanjut
--.-~------.------
f I ,
pelaksanaan penagih pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang beIjalan,
sampai ada keputusan Pengadilan Pajak. Dalam hal ini pengadilan pajak dapat
mengeluarkan putusan sela atas gugatan.
KEKUASAAN PENGADILAN PAJAK
Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak, sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Pengadilan
Pajak.
• Dalam hal banding, Pengadilan Pajak hanya memeriksa dan memutuskan
sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain peraturan perundang
undangan yang berlaku.
• Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya
sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan peraturan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak. Untuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak,
pengadilan pajak dapat mengambil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan
dengan sengketa pajak dari pihak ketiga sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Visi dari Pengadilan Pajak adalah "Untuk mewujudkan administrasi peradilan pajak yang
tertib, efektif, dan efisien dalam rangka mendukung tegaknya keadilan di bidang
perpajakan."
Misi dari Pengadilan Pajak adalah "Memberikan pelayanan administrasi sengketa pajak
secara cepat, murah, dan sederhana demi terciptanya cita peradilan pajak yang bersih dan
berwibawa."
Tugas Pengadilan Pajak: "Memberikan pelayanan di bidang tata usaha, kepegawaian,
keuaangan, rumah tangga, administrasi persiapan berkas banding danlatau gugatan,
----------- -----
administrasi persiapan persidangan, administrasi persidangan, adrninistrasi penyelesaian
putusan, dokumentasi, administrasi peniujauan kembali, administrasi yurisprudensi,
pengolahan data dan pelayanan informasi."
Fungsi Pengadilan Pajak: Penyiapan program keIja dan pelaporan serta pelaksanaan
administrasi di bidang tata usaha kepegawaian, keuangan dan rumah tangga; Pelaksanaan
pelayanan administrasi berkas banding danlatau gugatan; Penghimpunan dan
pengklasifIkasian putusan Pengadilan Pajak dan penyelenggaran perpustakaan; Pelayanan
administrasi peniujauan kembali putusan Pengadilan Pajak; Pelayanan administrasi
yurisprudensi putusan Pengadilan Pajak; Pengolahan data dan pelayanan informasi;
Pelayanan administrasi persiapan persidangan; Pelayanan administrasi persidangan;
Pelayanan adrnistrasi penyelesaian.
KRONOLOGI TIMBULNYA SENGKETA BANDING
Banding diawali dengan adanya sengketa atau ketidaksetujuan Wajib pajak atas
ketetapan pajak yang diterbitkan oleh fIskus. Sebagaimana kita ketahui, ketetapan pajak
terdiri atas hasil pemeriksaan fIskus, baik pemeriksaan lapangan maupun pemeriksaan
kantor yang disertai koreksi fIskal dan umumnya menyebabkan jumlah pajak yang
terutang menurut fIskus menjadi lebih besar dari pada jumlah yang telah dihitung, disetor
dandilaporkan oleh wajib pajak.
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, wajib pajak berhak mengajukan
permohonan keberatan kepada Direktur Ienderal Pajak atas ketetapan pajak yang tidak
disetujuinya. Berdasarkan ketentuan Pasal25 ayat (I) UU KUP, keberatan dapat diajukan
atas ketetapan pajak berupa:
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
• Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dan
• Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ketetapan pajak tersebut di atas bisa dikenakan untuk jenis pajak PPh (pajak
Penghasilan), PPN (pajak Pertambahan Nilai), PPnBM (pajak Penjualan atas Barang
Mewah). PBB (pajak Bumi dan Bangunan), Bea, Cukai, Serta Pajak Daerah, Restribusi
Satu ketetapan pajak dibuat untuk satu jenis pajak tertentu dan tahunlmasa pajak tertentu.
Untuk pengajuan keberatan, Wajib pajak membuat satu surat keberatan untuk satu
ketetapan pajak.
KRONOLOGI PEMERIKSAAN PAJAK SAMPAI PROSES BANDING
PEMERIKSAAN -7 SKP -7 KEBERATAN -7 BANDING
Apabila keputusan keberatan menyatakan menerima seluruh keberatan wajib
pajak, maka sengketa telah terselesaikan pada proses itu. Namun, apabila keputusan
keberatan menyatakan menolak atau menerima sebagian, sangat mungkin wajib pajak
belum menyetujui keputusan tersebut. lika kemudian wajib pajak mengajukan banding
atas keputusan keberatan yang tidak disetujuinya, maka terjadilah sengketa banding.
Ketentuan formal mengenai pelaksanaan banding diatur dalam Pasal 27 Undang
Undang KUP jo.Undang-Undang Pengadilan Pajak, yang bisa diuraikan sebagai berikut:
1. wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Direktur
lenderal Pajak.
2. Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara
3. Pengajuan permohonan BANDING tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak.
4. Syarat formil pengajuan BANDING
A. Banding kepada pengadilan pajak diajukan secara tertulis - dengan surat
banding -7 dalam bahasa Indonesia
B. Banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukunmya.
C. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya
keputusan yang sebanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang
undangan perpajakan.
D. Terhadap 1 keputusan diajukan I surat banding
E. Banding diajukan disertai alasan-alasan yang j elas, dan dicantumkan
tanggal diterirna surat keputusan yang sebanding.
--------~-------------
I
I I I
F. Suratbanding dilampiri salinan surat keputusan yang sebanding.
G. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya diajukan apabila jumlah yang terutang itu telah
dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)
H. Permohonan banding dapat dilengkapi surat bandingnya untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku, sepanjang masih dalarn jangka waktu yang
ditetapkan.
5. Pencabutan banding
Perlu diketahui, bahwa banding yang telah dicabut melalui penetapan atau
putusan tidak dapat diajukan kembali.
PENINJAUAN KEMBALI
Pemeriksaan Peninjauan kembali
I. Peninjauan Kembali
II.
1. Permohonan peninjauan kembali (PK) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali (PK) tidak menanggnhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak
3. Permohonan peninjauan kembali (PK) dapat dicabut sebelum diputus, dan
dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak
dapat diajukan kembali.
Alasan-alasan mengajukan peninjauan kembali (PK):
1. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau .'
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
2. Apabila terdapat bukti tertulis bam yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda;
,.. F"
/
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut, kecuali yang diputus berupa mengabulkan sebagian atau
seluruhnya atau menambah Pajak yang harns dibayar;
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangan sebab-sebabnya; atau
5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesual dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Ill. Jangka waktu Peninjauan Kembali (PK)
I. Pengajuan perunJauan kembali (PK) berdasarkan alasan-alasan
sebagaimana dimaksud angka 1, dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2. Pengajuan peninjauan kembali (PK) berdasarkan alasan-alasan
sebagaimana dimaksud angka 2, dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal
ditemukannya harns dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh
pejabat yang berwenang.
3. Pengajuan permohonan peuinjauan kembali (PK) berdasarkan alasan
angka 3, 4 dan 5 dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak putusan dikirim.
IV. Proses peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung
1. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan pernnJauan
kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil keputusan,
dalam hal pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan
acara biasa;
2. dalam jangka 1 (satu) bulan sejak perrnohonan pernnJauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal
Pengadilan Paj ak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
V. Hal-hak yang perlu diketahui:
BAB III
KASASI
Kita bersama-sama telah melihat bagaimana proses beracara dalam pengadilan
pajak, tetapi kita sama sekali belum menyentuh pada pokok permasalahan utama dari
makalah ini yaitu pengadilan pajak yang meniadakan upaya hukum Kasasi. Sebelum kita
menelusuri lebih dalam mengenai hal tersebut ada baiknya kita melihat terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan kasasi.
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis. Kata asalnya ialah casser yang
artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi mencapai kesatuan peradilan.
Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Counseil du Roi. Setelah
revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan khusus yang
tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang
menjembatani pembuat undang-undang dengan kekuasaan kehakiman.
Pada tanggal 21 Agustrus 1790 dibentuklah Ie tribunal de casation dan pada tahun
1810 de cour de sessation telah terorganisasi dengan baik.
Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri Belanda yang pada
gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan
bahwa telah teljadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Tokoh
yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simons yang mengatakan jika hakim memutus
suatu perkara padahal hakim tidak memiliki wewenang menurut keknasaan kehakiman.
Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama
telah membebaskan.
Tujuam kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam
menerapkan hukum.
Kemudian dalam perundang-undangan Belanda terdapat tiga alasan untuk
melakukan kasasi, yaitu:
1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim)
2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya.
3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang
ditentukan undang-undang.
Dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal23 ayat
(I) dikatakan " Segala putusan pengadilan selain hams memuat alasan-alasan dan dasar
dasar putusan itu, juga hrus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili."
Disinilah diletakan dasar hukum bahwa suatu putusan hakim itu hams memuat
alasan-alasan dasar-dasar putusan itu. Dalam tahun 1947 dan 1974 Hoge Raad
membatalkan putusan hakim yang lebih rendah karena alasan-alasan yang kurang cukup
dan kelihatan disitu bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan
alasan yang dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 Pasal 51 menyebutkan bahwa
dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan penetapan dari
pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya
yang berjudul Acara Perdata Di Indonesia, cetakan keempat, 1962, halaman 105
mengemukakan bahwa kasasi adalah salah satu tindakan mahkamah agung sebagai
pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain.
Prof. Dr. Supomo S.H. dalam bukunya yang berjudul Acara Perdata Pengadilan
Negeri, Penerbit Fasco, 1958, pada halaman 168 mengemukakakn, bahwa kasasi adalah
tindakan Mahkamah Agung untuk menegakan dan membetulkan hukum jika hukum
ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi.
Profesor R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Acara Perdata, BPHN, Penerbit
Bina Cipta, cetakan pertama, 1977, mengemukakan bahwa tugas pengadilan kasasi
adalah menguji (meneliti) putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat
atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang
duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Dasar
daripada pembatalan suatu putusan adalah "pelanggaran hukum" yang dilakukan oleh
pengadilan yang bersangkutan.
Dari hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas ini, dapatJah disimpulkan
bahwa kasasi dalam hukum acara perdata adalah pembatalan atas putusan pengadilan
tingkat tertinggi dan penetapan serta perbuatan para hakim yang bertentangan dengan
hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Dalam bukunya yang telah disebut di atas, yaitu dalam Bab X tentang putusan
hakim Profesor R. Subekti S.H. mengemukakan " Pemeriksaan! pemutusan suatu perkara
oleh pengadilan selalu dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap pemeriksaan tentang
dududk perkara dan tahap penelitian tentang penerapan hukumnya atas fakta-fakta yang
telah dianggap terbukti.
Pemeriksaan yang dilakukan mengenai fakta dan hukum berakhir pada tingkat
banding. Karena banding adalah pemeriksaan ulangan dirnana fakta-fakta yang terdapat
pada pengadilan sebelmrmya kembali diperiksa. Sedangkan pemeriksan dalam tingkat
kasasi oleh Mahkamah Agung bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga, karena dalam tingkat
kasasi, perkara tidak menjadi "mentah" kembali, pemeriksaan mengenai fakta dan hukum
tidak diulang. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanyalah meneliti soal penerapan
hukumnya saja, yang diteliti adalah putusan serta penerpan serta pperbuatan lain dari
pengadilan dan hakim "melanggar hukum" atau "tidak" .
Uraian Prof. R. Subekti S.H. tersebut di atas adalah sangat jelas. Perkataan
"hukum" dalam istilah "melanggar hukum" dipakai baik dalam arti hukum formil,
maupun dalan hukum materiL Secara luas mencakup baik hukum publik maupun hukum
priva!., termasuk di dalanmya hukum tidak tertulis yaitu hukum ada!. Pelanggaran
terhadap hukurn acara merupakan alasan untuk membatalkan putusan pengadilan atau
penetapan hakim. Soal pembuktian yaitu mengenai segi fakta-faktanya dari perkara
tersebut, tidaklah merupakan masalah yang diteliti dalam tingkat kasasi. Juga perkataan
bahwa kasasi adalah pembatalan atas putusan tingkat tertinggi, dapat disimpulkan bahwa
kasasi bukanlah peradilan tingkat ketiga.
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 menyatakan dalam putusan
kasasi mahkamah agung dapat membatalkan putusan penetapan pengadilan-pengadilan
yang lebih rendah:
a. Karena lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang
bersangkutan.
b. Karena melampaui batas wewenangnya.
--_._._-----------------------------------------------------------------_._------------------_._-----_ .. _----_._--------_._----
c. Karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturan-peraturan hukum yang
berlaku.
Dalam Pasal 18 Undang-Undang Ma.1kamah Agung (yang sudah tidak berlaku)
memberi ga!nbaran yang jelas mengenai pengertian "putusan yang berkenaan dengali
hukum" yang adalah:
1. Apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau kesalahan pada
pelaksanaannya
2. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harns diturut
menurut Undang-Undang.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa Mahkamah Agung tidak dapat
membatalkan putusan pengadilan yang menganggap bahwa gngat harns dapat dikabulkan
oleh karena dalil yang menjadi dasar gngat telah terbukti dengan adanya dua orang saksi
atau karena telah diajukan suatu surat otentik untuk membuktikan dalil gngat, oleh karena
hal itu tidak melanggar asas ketentuan hukum pembuktian. Dalam hal pengadilan
menganggap dalil gngatan telah terbukti berdasarkan keterangan seorang saksi saja tanpa
adanya bukti lain, atau apabila pengadilan menganggap da1i1 gngatan telah terbukti
berdasarkan keterangan dua orang saksi yang justru kedua orang saksi tersebut dilarang
untuk didengar keterangannya berdasarkan Pasal 145 HIR, oleh karena dalam kedua
kasus tersebut diatas ini melanggar hukum pembuktian (yang merupakan bagian dari
hukum acara perdata), kedua putusan tersebut adalah "putusan yang bertentangan dengan
hukum" dan oleh karenanya dapat dibatalkan dalam tarafkasasi oleh Mahkamah Agung.
Jadi dapat kita lihat bahwa pada dasamya baik kasasi dalam hukum acara perdata
maupun hukum acara pidana tidaklah terdapat perbedaan yang mencolok. Fungsi kasasi
adalah untuk mencari keadilan dalam penerapan hukumnya. Hal ini juga pasti akan
berlaku pada pengadilan-pengadilan lainnya.
Untuk menjawab pokok bahasan dari tulisan ini ada baiknya terlebih dulu kita
baca cuplikan artikel di bawah ini :
MK Tolak Uji Materi UU Pengadilan Pajak - Tiga Hakim Konstitusi "Dissenting
Opinion"
--Kompas -14-Dec-2004--
JAKARTA-KOMPAS - Mahkamah Konstitusi menolak judicial review (uiji materi)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang diajukan Cornelio
Moningka Vega, Direktur PT. Apota Wibawa Pratama. MK menyatakan, meskipun UU
Pengadilan Pajak meniadakan upaya kasasi pada pengadilan pajak, namun MK menilai
hal itu tidak berarti pengadilan pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung.
Putusan MK ini dibacakan dalam sidang hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua MK
Jimly Asshiddiqie, Senin (13112). Hadir dalam sidang itu Direktur Jenderal Pajak Hadi
Poemomo. MK menyatakan, meski UU itu meniadakan upaya hukum biasa seperti
banding dan kasasi, namun peradilan pajak tetap berpuncak ke Mahkamah Agung.
Artinya, tidak ada yang perlu dipersoalkan dari UU itu.
Namun, dalam sidang itu tiga hakim, yaitu Laica Marzuki, Mukhtie fadjar dan Maruarar
Siahaan, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ketiganya justm menilai
UU Pengadilan Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
• Ketiga hakim itu berpendapat , UU Nomor 14 Tahun 2002 diundangkan 12 April 2002,
artinya diundangkan setelah berlakunya Perubahan Ketiga UUD 1945 pada 9 November
2001 dimana terdapat perubahan kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 24 UUD 1945
tersebut, kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung - dan badan peradilan di
bawalmya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan rniliter,
peradilan tata usaha negara, dan MK
Ketiga hakim ini menilai UU pengadilan pajak tidak jelas kedudukannya di lingkunagn
peradilan mana, seperti diundangkan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menyatakan di
lingkunag PTUN dapat diadakan pengkhususan adalah diferensiasi, misalnya pengadilan
pajak.
Karena termasuk dalam lingkunagn PTUN, maka peradilan pajak hams tunduk pada
jenjang pengawasan teknis yuridis dalam bentuk upaya hukum biasa, seperti banding dan
kasasi, serta administrasi berada dalam pengawasan berjenjang dari pengadilan yang
lebih tinggi di bawab Mabkamab Agung, yaitu Pengadilan Tata Usaba Negara dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaba Usaba Negara. Artinya, UU Nomor 14 Tabun 2002 yang
hanya menyediakan upaya hukum peninjauan kembali dianggap tidak punya kekuatan
hukum(VIN)
Apa yang bisa kita simpulkan dari artikel di atas? J awabannya hanyalab satu yaitu babwa
upaya hukum kasasi memang tidak diperlukan dalam pengadilan pajak. Mengapa dapat
ditarik ICesimpulan yang demikian? Pertama-tama kita lihat babwa dalam artikel di atas
Mabkamab Konstitusi telab menolak untuk kedua kalinya judicial riview (uji materi)
Undang-Undang Nomor 14 Tabun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Hal ini menunjukan
kalau sebenarnya tidak ada salalmya dalam undang-undang tersebut dengan tidak
mencantumkan kasasi sebagai salab satu upaya hukum, yang ada hanyalab peninjauan
kembali.
Hal kedua yang menjadi baban pertimbangan mengapa pengadilan pajak tidak
memerlukan upaya hukum kasasi adalab babwa telab dibabas dalam bab sebelumnya
tentang kasasi, kalau fungsi dari kasasi adalab untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang
atau keliru dalam menerapkan hukum. Sedangkan dalam pengadilan pajak hanya
mengurus mengenai sengketa pajak, sehingga upaya hukum kasasi tidak menjadi sesuatu
yang penting dalam pengadilan pajak.
DAFTARPUSTAKA
• Ny.Retnowulan Sutanto S.H (1989) Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan
Praktek. Penerbit Mandar Maju. Bandung
• Dr. Andi Harnzah S.H.(i996) Hukum Acara Pidana Indonesia. Penerbit CV Sapta
Artha J aya. Jakarta.
• Tim SmarTaxes (2004). Studi kasus Banding Pengadilan Pajak. BuJru saW.
Penerbit Semar Publishing.
• http://www.setpp.depkeu.go.idlind.boardlprofile.asp
• http://www.KCM.com