16680743 fungsi filsafat dalam kurikulum

32
Makalah FUNGSI FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Dosen Pengampu: Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd. oleh: Pepen Permana NIM: 0809734 PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2008 1

Upload: dzakwan09

Post on 18-Jun-2015

1.173 views

Category:

Documents


62 download

TRANSCRIPT

Makalah

FUNGSI FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

diajukan untuk memenuhi salah satu tugasmata kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd.

oleh:Pepen PermanaNIM: 0809734

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUMSEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2008

1

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena atas

kehendak-Nya penyusunan makalah Fungsi Filsafat dalam Pengembangan

Kurikulum ini dapat diselesaikan.

Filsafat sebagai salah satu aspek yang melandasi pengembangan

kurikulum tentu memiliki peran dan fungsi yang nyata dalam kurikulum

yang akan dikupas dalam makalah ini yang diambil dari beberapa literatur.

Makalah ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Di bagian pendahuluan

dipaparkan latar belakang dan maksud tujuan penyusunan makalah ini.

Selanjutnya pada bab II dicoba diulas mengenai fungsi filsafat dalam

kaitannya dengan pengembangan kurikulum, yang kami peroleh dari

berbagai literatur. Bab terakhir adalah uraian singkat tentang apa yang

bisa disimpulkan dari berbagai informasi tentang fungsi filsafat dalam

pengembangan kurikulum.

Penyusunan makalah ini disadari masih jauh dari sempurna, dan masih

terdapat banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu segala macam kritik

dan saran yang bersifat membangun dari berbagai dapat diterima dengan

lapang dada dan tangan terbuka.

Tak lupa juga penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua

pihak yang telah berjasa membantu kami dalam menyelesaikan

penyusunan makalah ini.

Akhir kata makalah ini diharapkan bisa memberikan kontribusi yang

bermanfaat bagi dunia akademis penulis pada khususnya, dan bagi

pengetahuan semua pihak yang membaca pada umumnya.

Bandung, Desember 2008

Penyusun

ii

Daftar Isi

KATA PENGANTAR..................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................... .......... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1

B. Rumusan Masalah...................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan........................................................................ 2

D. Prosedur Pemecahan Masalah................................................... 2

E. Sistematika Uraian..................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Filsafat...................................................................................... 4

1. Pengertian Filsafat.................................................................. 4

2. Filsafat Pendidikan................................................................. 5

3. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan............................................. 8

B. Pengembangan Kurikulum.........................................................10

1. Pengertian Kurikulum.............................................................10

2. Landasan Pengembangan Kurikulum.....................................12

3. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum..............................14

C. Fungsi Filsafat dalam Pengembangan Kurikulum.......................18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................21

B. Saran.........................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................24

3

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup

manusia. Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara

pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi

tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi

tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah

pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi

pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang

membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-

jawaban filosofis.

Kurikulum memiliki kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan,

dengan kata lain kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Kurikulum

mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-

tujuan pendidikan. Pengertian kurikulum mengacu pada kegiatan

pendidikan yang berbentuk interaksi akademik antara peserta didik,

pendidik, sumber dan lingkungan. Interaksi akademik merupakan jiwa dari

pendidikan, dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh

terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum

dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum

tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum

membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-

hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum

yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal

terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan

berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia. Dari

sekian landasan yang dibutuhkan dalam pengembangan kurikulum,

termasuk di dalamnya adalah landasan filosofis.

Filsafat berperan memberikan inspirasi pada pendidikan, yakni

menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah

yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan

pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu

dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang

5

akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek

terkait, agar tidak terjadi salah konsep pada diri peserta didik.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat memberikan inspirasi

bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal, dan

mempunyai peranan yang sangat penting dalam kurikulum dan melandasi

pengembangan kurikulum. Filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu sudah

barang tentu memiliki peran dan fungsi yang jelas dalam pengembangan

kurikulum. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai fungsi

filsafat tersebut dalam pengembangan kurikulum.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapatlah dirumuskan suatu

pokok masalah yaitu ”Fungsi Filsafat dalam Pengembangan Kurikulum”,

yang kemudian disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat?

2. Apakah yang dimaksud dengan pengembangan kurikulum?

3. Apa fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum?

C. TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memeroleh suatu gambaran secara

teoritis tentang fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum.

Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk

mendeskripsikan:

1. Makna filsafat secara umum.

2. Hakekat pengembangan kurikulum.

3. Fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum.

D. PROSEDUR PEMECAHAN MASALAH

Prosedur pemecahan masalah yang digunakan dalam menjawab rumusan

masalah dalam makalah ini adalah dengan menggunakan metode

deskriptif melalui kajian literatur atau artikel yang berkaitan dengan

filsafat dan pengembangan kurikulum.

E. SISTEMATIKA URAIAN

Makalah ini terdiri dari:

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN yang meliputi:

a. Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Penulisan

d. Prosedur Pemecahan Masalah

e. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN yang mencakup:

a. Filsafat

b. Pengembangan Kurikulum

c. Fungsi Filsafat dalam Pengembangan Kurikulum

BAB IIIPENUTUP yang berisi:

a. Kesimpulan

b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

PEMBAHASAN

A. FILSAFAT

1. Pengertian Filsafat

Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat,

namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan

filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara

terminologi.

Secara etimologi, kata filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata

serapan dari bahasa Arab: falsafah, yang juga diambil dari bahasa

Yunani: philosophia. Kata philosophia merupakan gabungan dari dua

kata yaitu philos dan sophia. Philos berarti sahabat, cinta, atau kekasih,

sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan.

Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah “cinta

pengetahuan atau cita kebijaksanaan”. Plato dan Socrates dikenal

sebagai philosophos (filsuf) yakni orang yang mencintai pengetahuan,

pencari kebijaksanaan, dan pencinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.

Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf

merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan

pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato (428 -348 SM)

berpendapat bahwa filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala

yang ada dan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang

asli. Sementara muridnya Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa

filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, di mana

terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,

ekonomi, politik, dan estetika. Lebih lanjut Aristoteles menyebutkan

bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala

benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas

penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan

ilmu.

Menurut Cicero (106 – 43 SM) filsafat adalah sebagai “ibu dari semua

seni “ (the mother of all the arts“, ia juga mendefinisikan filsafat

sebagai ars vitae (seni kehidupan). Sementara Johann Gotlich Fickte

(1762-1814) mendefinisikan filsafat sebagai Wissenschaftslehre, ilmu

dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu

membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat

memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari

kebenaran dari seluruh kenyataan.

Filsafat menurut Paul Nartorp (1854 – 1924) adalah Grundwissenschaft,

yakni ilmu dasar yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan

manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama. Selain itu,

Imanuel Kant (1724 – 1804) mengungkapkan bahwa filsafat adalah

ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala

pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: (1)

Metafisika, yang menjawab pertanyaan “apakah yang dapat kita

kerjakan?” ; (2) Etika, yang menjawab pertanyaan “apakah yang

seharusnya kita kerjakan?” ; (3) Agama, yang menjawab pertanyaan

“sampai dimanakah harapan kita?”; dan (4) Antropologi, yang

menjawab pertanyaan “apakah yang dinamakan manusia?”

Menurut Notonegoro filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya

dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut

hakekat. Sedangkan Sidi Gazalba berpendapat bahwa berfilsafat ialah

mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala

sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan

universal. Lebih lanjut Harold H. Titus menjelaskan bahwa: (1) Filsafat

adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan

alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu

proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang

dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh

suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari

bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep);

Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia

dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.

Dari semua pengertian filsafat secara terminologis yang telah

dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu

pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya

secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga

mencapai hakikat segala situasi tersebut.

2. Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan

(Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-

masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan

yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas,

lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman

maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat

dijangkau oleh sains pendidikan.

Seorang guru atau pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai

pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang

pendidik perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat

pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan

langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun

masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan

perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Pendidik

sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan pendidik sebagai

warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat

pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik

(guru). Dengan demikian hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya

dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu pemahaman

filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-

raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-

masalah pendidikan.

Hubungan filsafat dengan konsep pendidikan bisa ditinjau dari tiga

cabang besar filsafat, yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi.

a. Metafisika

Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah

hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya

hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan

utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia

sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami

tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan

secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang

pendidik seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia

dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya

hakekat anak.

b. Epistemologi

Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para

pendidik adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar?

Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita

mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan

antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah

kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi

satu ke situasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang

paling berharga?

Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut akan

memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan

pengajaran. Pertama pendidik harus menentukan apa yang benar

mengenai muatan yang diajarkan, kemudian pendidik harus

menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi

warga belajar. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya

ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat atau kepentingan

masing-masing pendidik, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas,

wahyu Tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.

Pendidik tidak hanya mengetahui bagaimana warga belajar

memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana warga belajar

mengikuti pembelajaran. Dengan demikian epistemologi

memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan

kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan

bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu

juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

c. Aksiologi

Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan

tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai

akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan

dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak

langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai

merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang

harus dijawab pendidik adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan

pendidik kepada warga belajar untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang

mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi?

Nilai-nilai apa yang benar-benar dipegang orang yang benar-benar

terdidik?

Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa pendidik memiliki

suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh

warga belajar melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang

dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak

dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu

menggunakan pengetahuan untuk kebaikan. Filsafat pendidikan

terdiri dari apa yang diyakini seorang pendidik mengenai

pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing

tindakan profesional pendidik. Setiap pendidik baik mengetahui atau

tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat

keyakinan tentang bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta

apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam

kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga

berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran.

Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para

pendidik dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan

pendidikan.

2. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan

Sejarah perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat

manusia tentang pendidikan telah melahirkan sejumlah filsafat yang

melandasinya. Berdasarkan bagaimana manusia dibentuk, terdapat

tiga aliran paham yang dirasakan masih dominan pengaruhnya hingga

saat ini, yakni: Nativisme atau Naturalisme, Empirisme atau

Environtalisme, dan Konvergensionisme atau Interaksionisme.

Tokoh nativisme atau naturalisme antara lain J.J. Rousseau (1712-1778)

dan Schopenhauer (1788-1860 M). Paham ini berpendirian bahwa

setiap bayi lahir dalam keadaan suci dan dianugerahi dengan potensi

insaniah yang dapat berkembang secara alamiah. Karena itu,

pendidikan pada dasarnya sekedar merupakan suatu proses pemberian

kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya.

Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang

cenderung pesimistik.

Dengan tokohnya antara lain John Locke (1632-1704 M) dan J. Herbart

(1776-1841 M), Empirisme atau Environtalisme berpandangan bahwa

manusia lahir hanya membawa bahan dasar yang masih suci namun

belum berbentuk apapun, bagaikan papan tulis yang masih bersih

belum tertulisi (Tabula Rasa, Locke ) atau sebuah bejana yang masih

kosong (Herbart). Atas dasar itu, pendidikan pada hakikatnya

merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian pribadi peserta

didik ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan

masyarakatnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi

pendidikan yang cenderung optimistik.

Tokoh paham Konvergensionisme atau interaksionisme antara lain

William Stern (1871-1939). Paham ini pada dasarnya merupakan

perpaduan dari kedua pandangan terdahulu. Menurut pandangan ini,

baik pembawaan anak maupun lingkungan merupakan faktor-faktor

yang determinan terhadap perkembangan dan pembentukan pribadi

peserta didik. Oleh karenanya, pendidikan pada hakekatnya

merupakan suatu rangkaian peristiwa interaksi antara pembawaan

dengan lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai

resultante atau hasil interaksi dari kedua faktor determinan tersebut.

Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang

cenderung rasional.

Pembagian Nativisme atau Naturalisme, Empirisme atau

Environtalisme, dan Konvergensionisme atau Interaksionisme yang

telah disebutkan di atas adalah pembagian berdasarkan bagaimana

manusia dibentuk, sedangkan menurut pembagian berdasarkan apa

yang harus diajarkan sebagai muatan pendidikanterdapat: (1)

Konservatif, yang mengajarkan apa yang sudah berlaku di masyarakat;

(2) Idealisme, yang mengajarkan apa yang menjadi ide abadi

sepanjang masa; (3) Liberalisme, yang mengajarkan ilmu sebagai

bekal hidup; (4) Liberasionisme, yang mengajarkan ilmu yang

membebaskan; dan (5) Anarkisme, yang mengajarkan sesuai dengan

kebutuhan lokal

Sementara aliran filsafat yang dirasakan sangat besar pengaruhnya

terhadap pendidikan adalah idealisme, realisme, pragmatisme, dan

rekonstruksionisme.

a. Idealisme

Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa

kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses

introspeksi. Aliran ini juga berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia

adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Tujuan pendidikannya

adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu

mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri,

membentuk karakter manusia, dan memberikan bekal pengalaman

yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan

b. Realisme

Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis,

yakni terdiri dari dunia fisik dan dunia ruhani. Dengan kata lain realitas

dibagi menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan

mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di

luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.

Tujuan pendidikannya yaitu membentuk individu yang mampu

menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung

jawab kepada masyarakat

c. Pragmatisme

Pragmatisme adalah kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh

empirisme, utilitarianisme, dan positivisme, yang berpendapat bahwa

manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pragmatisme

memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi. Pragmatisme

merupakan aliran filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut), tidak

doktriner, tetapi relatif tergantung kepada kemampuan manusia .

Aliran ini mendasari munculnya model konsep kurikulum rekonstruksi

sosial yang menekankan pemecahan problema masyarakat. Esensi

ajaran pragmatisme ialah bahwa hidup bukan untuk mencari

kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan

pendidikannya yaitu menggunakan pengalaman sebagai alat untuk

menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan masyarakat

d. Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran

progresivisme (pragmatisme). Paham ini berpendapat bahwa,

pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi

arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui

asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki

seseorang. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan

sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan

individual seperti pada progresivisme, rekonstruksionisme lebih jauh

menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan

sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis,

memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini

menekankan pada hasil belajar dari pada proses. Tujuan pendidikannya

adalah untuk menghasilkan individu yang memiliki kemampuan

berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.

B. PENGEMBANGAN KURIKULUM

1. Pengertian Kurikulum

Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli

mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik,

lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai kumpulan pelajaran di

suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus

ditempuh di sekolah, itulah yang disebut kurikulum. George A.

Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa “A Curriculum is a written

document which may contain many ingredients, but basically it is a

plan for the education of pupils during their enrollment in given

school”.

Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap

sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam

proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell

(1935) yang mengatakan bahwa kurikulum “… to be composed of all

the experiences children have under the guidance of teachers”.

Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan

bahwa “ …the curriculum has changed from content of courses study

and list of subject and courses to all experiences which are offered to

learners under the auspices or direction of school”.

Sementara Hilda Taba (1962) lebih menekankan kurikulum sebagai

proses perencanaan belajar, “a curriculum is a plan for learning:

therefore, what is known about the learning process and the

development of the individual has bearing on the shaping of a

curriculum”. Dengan demikian dalam konsep ini kurikulum memiliki

dua aspek, yakni sebagai rencana yang harus dijadikan pedoman

pelaksanaan proses belajar mengajar, dan sebagai alat untuk

mencapai tujuan pendidikan.

Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan

(1988) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam

empat dimensi, yaitu:

a. Kurikulum sebagai suatu ide,

adalah kurikulum yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian,

khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.

b. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis,

adalah sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide yang

diwujudkan dalam bentuk dokumen, yang di dalamnya memuat

tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.

c. Kurikulum sebagai suatu kegiatan,

merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana

tertulis, dan dilakukan dalam bentuk praktek pembelajaran.

d. Kurikulum sebagai suatu hasil,

merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan,

dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya

perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta

didik.

Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa kurikulum

merupakan dokumen perencanaan yang mencakup: (1) tujuan yang

harus diraih; (2) isi dan pengalaman belajar yang harus diperoleh

siswa; (3) strategi dan cara yang dapat dikembangkan; (4) evaluasi

yang dirancang untuk mengumpulkan informasi mengenai pencapaian

tujuan; serta (5) penerapan dari isi dokumen yang dirancang dalam

bentuk nyata. Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliputi

penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta evaluasi dokumen

yang telah disusun (Wina Sanjaya, 2008).

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat

dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun

2003 dinyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan

pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum

Seperti telah diungkapkan seblumnya, kurikulum adalah inti dari

bidang pendidikan dan berpengaruh terhadap seluruh kegiatan

pendidikan. Betapa pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan

kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan

begitu saja secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan

landasan-landasan yang kuat, yang yang berasal dari hasil-hasil

pemikiran dan penelitian yang mendalam.

Dalam hal ini, Wina Sanjaya (2008) mengemukakan bahwa dalam

pengembangan kurikulum harus diperhatikan tiga landasan penting,

yakni landasan filosofis, psikologis dan sosiologis-teknologis.

a. Landasan Filosofis

Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum.

Di sini kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti:

perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan

rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa

berpijak pada aliran-aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai

terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan.

Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab

pertanyaan-pertanyaan pokok seperti: (1) Hendak dibawa ke mana

siswa yang dididik itu?; (2) Masyarakat yang bagaimana yang harus

diciptakan melalui usaha pendidikan itu; (3) Apa hakikat pengetahuan

yang harus diketahui dan dikaji siswa?; (4) Norma-norma atau sistem

nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik

sebagai generasi penerus?; dan (5) Bagaimana sebaiknya proses

pendidikan itu berlangsung?.

b. Landasan Psikologis

Nana Syaodih Sukmadinata (2006) mengemukakan bahwa minimal

terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan

kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar.

Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang

perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam

psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan,

pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas

perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan

perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.

Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku

individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang

hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku

individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Tujuan ataupun isi kurikulum harus mempertimbangkan tahap

perkembangan anak. Tanpa pertimbangan tersebut, maka dapat

dipastikan kurikukum yang dikembangkan tidak efektif. Pengembangan

kurikulum pun tidak akan terlepas dari teori belajar, karena pada

dasarnya kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa.

c. Landasan Sosiologis-Teknologis

Kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di

sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Dengan demikian sekolah tidak hanya berfungsi mewariskan nilai

budaya, tapi juga berperan dalam mempersiapkan anak didik dalam

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum bukan hanya berisi

berbagai nilai masyarakat, tapi juga bermuatan segala sesuatu yang

dibutuhkan masyarakatnya. Berdasarkan landasan sosiologis-

teknologis ini perlu dikaji berbagai hal yang menjadi bahan

pertimbangan dalam menyusun dan mengembangan kurikulum sesuai

tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

Masyarakat selalu berkembang dinamis mengalami perubahan-

perubahan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan

dengan perkembangan sosial yang kompleks tersebut seringkali

muncul tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik pendidikan

termasuk dalam proses pengembangan isi kurikulumnya. Oleh sebab

itu, para pengembang kurikulum mesti memerhatikan segala tuntutan

dan tekanan masyarakat masyarakat tersebut. Karenanya penyerapan

berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat merupakan salah satu

langkah penting dakam penyusunan suatu kurikulum.

3. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif,

didalamnya mencakup perencanaan, penerapan dan evaluasi.

Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum

ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan

untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan

peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga

implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum

ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap

akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa

besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program

yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam

pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait

langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya

melibatkan banyak orang, seperti politikus, pengusaha, orang tua

peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang

berkepentingan dengan pendidikan.

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan

kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang

akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum,

dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam

kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip

baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga

pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang

berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan

lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang

digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.

Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (2006) mengetengahkan

prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua

kelompok, yakni (1) prinsip-prinsip umum, yang meliputi relevansi,

fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; dan (2) prinsip-prinsip

khusus, yang meliputi prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan,

prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan

dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan

pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan

pemilihan kegiatan penilaian.

Terkait dengan empat dimensi kurikulum yang telah disebutkan

sebelumnya, yakni kurikulum sebagai ide, sebagai dokumen, sebagai

kegiatan, dan sebagai hasil, maka ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam pengembangan kurikulum ditinjau dari empat

dimensi tersebut, yakni:

a. Pengembangan kurikulum sebagai suatu ide,

Pengembangan ide berkenaan dengan penentuan filosofi

kurikulum, model kurikulum yang digunakan, pendekatan dan

teori belajar yang digunakan, pendekatan/model evaluasi hasil

belajar

Pengembangan kurikulum sebagai ide adalah langkah awal dan

langkah yang sangat menentukan karakteristik kurikulum di

masa mendatang: jenis dan bentuk seperti apakah kurikulum

yang nanti akan dihasilkan. Oleh karena pembahasan dan

keputusan tentang dimensi ide suatu kurikulum sangatlah

kritikal.

Secara teknis landasan filosofis kurikulum harus disesuaikan

dengan perkembangan sosial. Melalui filsafat ini masyarakat

dijadikan sumber dan juga dijadikan objek dalam belajar.

Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat,

kebutuhan masyarakat, dan keunggulan masyarakat dapat

dijadikan materi pelajaran. Dengan perubahan ini maka

kurikulum tidak menutup dindingnya terhadap masyarakat tetapi

menjadikan masyarakat sebagai dasar untuk mengembangkan

proses belajar dan sebagai sumber belajar. Dengan perubahan

filosofi ini maka sifat kurikulum lebih terbuka terhadap berbagai

perkembangan yang terjadi di masyarakat termasuk perubahan

dan pengembangan kebudayaan.

b. Pengembangan kurikulum sebagai suatu rencana tertulis,

Kurikulum sebagai dokumen tidak akan bermakna tanpa

implementasi dalam bentuk pembelajaran, dan sebaliknya

pembelajaran tidak akan efektif tanpa dokumen kurikulum.

Pengembangan dokumen berkenaan dengan pengembangan

kurikulum sebagai dokumen tertulis yang didasarkan pada ide

yang sudah ditetapkan sebelumnya. Secara teknis

pengembangan kurikulum sebagai dokumen berkenaan dengan

keputusan tentang informasi dan jenis dokumen yang akan

dihasilkan, dan komponen kurikulum yang harus dikembangkan.

Apakah kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen

akan dijadikan satu atau dua dokumen yang terpisah harus pula

ditentukan. Apapun keputusan tentang itu antara

pengembangan kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai

dokumen diperlukan sosialisasi agar terjadi kesinambungan

buah pemikiran para pengambil keputusan kurikulum dengan

para pengembang teknis.

Pengembangan kurikulum sebagai dokumen menyangkut

pengembangan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan,

konten, pengalaman belajar, dan evaluasi. Tujuan adalah

kualitas yang diharapkan dimiliki siswa yang belajar berdasarkan

kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum harus terbuka

pada berbagai pandangan dan pendekatan perumusan tujuan.

Para pengembang kurikulum harus dapat membuka diri bahwa

tidak semua kualitas manusia dapat dinyatakan terukur

berdasarkan kriteria tertentu. Ada tujuan-tujuan yang dapat

diukur dan bersifat dapat dikuasai dalam satu atau dua

pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai

dalam waktu belajar yang lebih panjang. Dengan kata lain,

pemaksaan suatu pendekatan dalam pengembangan tujuan

tidak dapat dipertahankan lagi.

Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan

sebagai sumber konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral,

kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat

diakomodasi sebagai konten kurikulum. Konten kurikulum

haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and cultural-

based, dan open to problems yang hidup dalam masyarakat.

Konten kurikulum haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa

sekolah bukanlah institusi yang tidak berkaitan dengan

masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial yang

hidup dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya, konten

kurikulum harus dapat menunjang tujuan kurikulum dalam

mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik. Selain

agama, kesusateraan, bahasa, olahraga, dan kesenian

merupakan konten yang dapat menunjang pengembangan

kemanusiaan siswa.

Pengembangan komponen proses dalam kurikulum sebagai

dokumen menghendaki pendekatan yang menempatkan siswa

sebagai subjek dalam belajar. Dalam posisi ini maka siswa yang

belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar (termasuk

masyarakat) dan guru bertindak sebagai orang yang memberi

kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, dalam

kurikulum multikultural pendekatan siswa sebagai subjek dalam

belajar memberi arti bahwa metode adalah alat guru dalam

membantu siswa belajar, bukan siswa belajar karena metode

guru. Metode guru ditentukan oleh cara siswa belajar.

c. Pengembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan,

Pengembangan kurikulum sebagai proses atau kegiatan terjadi

pada unit pendidikan atau sekolah. Pengembangan ini haruslah

didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat

mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana pelajaran,

proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip

kurikulum. Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan orang-

orang yang terlibat paling tidak dalam proses pengembangan

kurikulum sebagai dokumen apabila orang yang terlibat dalam

pengembangan ide tidak mungkin secara teknis. Jika terjadi

perluasan tim sosialisasi maka anggota tim yang baru haruslah

yang sepenuhnya paham dengan karakteristik kurikulum

multikultural. Pada fase ini, target utama adalah para guru

paham dan berkeinginan untuk mengembangkan kurikulum

dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggungjawabnya.

Pengembangan kurikulum sebagai proses sangat ditentukan oleh

guru. Baik dalam konteks sentralisasi maupun dalam konteks

otonomi, peran guru tersebut tetap sama, mereka adalah

pengembang kurikulum pada tataran empirik yang langsung

berkaitan dengan siswa. Oleh karena itu, jika kurikulum yang

dikembangkan tidak sesuai dengan apa yang sudah ditentukan

dalam kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen,

maka kurikulum sebagai kegiatan bukan lagi kelanjutan dari

keduanya. Dalam konteks yang lebih ekstrim, kurikulum sebagai

proses dapat merupakan kurikulum yang berbeda sama sekali

dengan keduanya. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta

kemauan guru terhadap kurikulum multikultural akan sangat

menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum sebagai

proses.

Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam

mengembangkan kurikulum sebagai proses, yaitu: (1) posisi

siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara belajar siswa yang

ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan

budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry

behavior kultural siswa, (4) lingkungan budaya siswa adalah

sumber belajar.

d. Pengembangan kurikulum sebagai suatu hasil

Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial,

budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman

tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru

dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam

menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam

berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi

sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.

Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki

kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum

baik sebagai proses maupun kirikulum sebagai hasil.

Semua rencana hasil belajar yang merupakan tanggungjawab

sekolah adalah kurikulum. Dengan demikian kurikulum sebagai

hasil belajar merupakan serangkaian pengorganisasian cara-cara

sistematis untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan.

C. FUNGSI FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, filsafat sebagai landasan

pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok

seperti: (1) Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu?; (2)

Masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui usaha

pendidikan itu; (3) Apa hakikat pengetahuan yang harus diketahui dan

dikaji siswa?; (4) Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang

harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus?; dan (5)

Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung?.

Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota

masyarakat yang dapat mempertahan, mengembangkan dan dapat

hidup dalam sistem nilai masyarakatnya itu sendiri, oleh sebab itu

proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai

masyarakat.

Berikut diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat,

kaitannya dengan pengembangan kurikulum.

a. Perenialisme

lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan

keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu.

Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan

kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini

menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang

tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke

masa lalu.

b. Essensialisme

menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian

pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat

menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan

mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi

kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya

dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada

masa lalu.

c. Eksistensialisme

menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang

hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti

memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan: bagaimana

saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?

d. Progresivisme

menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual,

berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses.

Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar

peserta didik aktif.

e. Rekonstruktivisme

merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada

rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat

ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual

seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh

menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan

sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis,

memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini

menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan

aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model

Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme

memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan

Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam

pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Dari uraian di atas maka bisa diringkaskan bahwa sedikitnya terdapat

empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum, yakni:

a. Menentukan arah dan tujuan pendidikan.

Filsafat sebagai suatu pandangan hidup atau sistem nilai dapat

menentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.

b. Menentukan isi atau materi.

Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, filsafat

berfungsi dalam menentukan isi atau materi yang harus diterima

anak didik.

c. Menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan.

Sebagai sistem nilai, filsafat dapat dijadikan pedoman dalam

merancang kegiatan pembelajaran.

d. Menentukan tolak ukur keberhasilan.

Melalui filsafat dapat ditentukan indikator-indikator berhasilnya

suatu proses pendidikan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik

dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut

terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut

berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik

dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi

pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang

membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-

jawaban filosofis.

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang cukup

sentral dalm seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses

pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat kurikulum memiliki peran

penting dalam pendidikan dan perkembangan kehidupan manusia, maka

penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang

didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.

Salah satu dari sekian aspek penting yang melandasi pengembangan

kurikulum adalah landasan filosofis.

Filsafat secara harfiah berarti cinta yang mendalam akan kearifan. Secara

populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu

masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Dengan demikian setiap

individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki

pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang

dianggapnya baik.

Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi landasan dalam menentukan

tujuan pendidikan. Dengan kata lain, pandangan hidup atau sistem nilai

yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan

pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang kita harapkan

sebagai akhir dari proses pendidikan? Akan dibawa ke mana anak didik

itu? Apa yang harus dikuasai oleh mereka? Merupakan pertanyaan-

pertanyaan yang erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.

Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota

masyarakat yang dapat mempertahan, mengembangkan dan dapat hidup

dalam sistem nilai masyarakatnya itu sendiri, oleh sebab itu proses

pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.

Filsafat memegang peran yang esensial dalam pengembangan kurikulum.

Sama halnya dengan filsafat pendidikan, kita mengenal beberapa aliran

dalam filsafat. Dalam pengembangan pun senantiasa berpijak pada aliran-

aliran filsafat tersebut yang nantinya akan mewarnai konsep dan

implementasi kurikulum yang dikembangkan. Terdapat beberapa

perbedaan mengenai filsafat, Wina Sanjaya (2008) mengungkapkan bahwa

ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme,

pragmatisme, dan eksistensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang

cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi

(hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap aliran memiliki

pandangan yang berbeda-beda mengenai cabang-cabang filsafat itu.

Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa dalam pengembangan

kurikulum tidak dapat terlepas dari azas atau landasan filosofis, yang

didalamnya terdapat sumber nilai, makna kehidupan, aturan hidup, tujuan

pendidikan serta pandangan terhadap peserta didik.

B. SARAN

Filsafat sangat penting dipertimbangkan dalam mengambil keputusan

tentang setiap aspek kurikulum. Maka sudah selayaknya seorang pendidik

dalam berperilaku di dalam kelas atau di luar kelas harus didasarkan apa

yang dipercayai, yang diyakini sebagai baik dan benar. Pendidik yang baik

patut memahami apa itu hakikat manusia, khususnya hakikat siswa

beserta sifat-sifatnya; apa itu sumber kebenaran dan nilai-nilai yang

dijadikan pegangan hidup; tentang apa yang baik; tentang apa itu hidup

yang baik; apakah peranan sekolah dalam masyarakat; apa peran guru

dalam proses belajar; dan sebagainya. Untuk dapat menjawab pertanyaan-

pertanyaan tersebut, tentu saja seorang pendidik disarankan untuk

memahami dan mendalami filsafat.

Dari sekian banyaknya aliran filsafat beserta turunannya, hendaknya hal

tersebut tidak memojokkan kita untuk fanatik terhadap salah satu aliran

saja. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan

keunggulan tersendiri, dan hal tersebut perlu disikapi dengan bijak oleh

para pendidik atau juga pengembang kurikulum, yakni bahwa masing-

masing aliran filsafat bisa saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena

itu, dalam praktek pengembangan kurikulum ataupun dalam

pembelajaran, alangkah lebih baik jika penerapan aliran filsafat cenderung

dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan

mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan

pendidikan.

Dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum haruslah

memiliki dasar yang kuat. Filsafat adalah cara berpikir sedalam-dalamnya

sampai pada akarnya tentang hakekat sesuatu. Maka dari itu, sebagai

suatu landasan fundamental, filsafat memiliki peran yang sangat penting

dalam pengembangan kurikulum. Para pengembang kurikulum harus

mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.

32

DAFTAR PUSTAKA

____________. (2006). Filsafat. [online]. Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat. [20 November 2008]

Kneller, F. George. (1971). Introduction to the Philosophy of Education, New York: John Wiley & Sons, Inc.

Nasution, S. (2006). Asas-asas Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina, Dr., M.Pd. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana.

Sudrajat, Akhmad. (2008). Aliran Filsafat Pendidikan. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/2008/05/01 /aliranfilsafatpendidikan/. [20 Oktober 2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Komponen-komponen Kurikulum. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum/. [20 Oktober 2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Landasan Kurikulum. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/landasan-kurikulum/. [20 Oktober 2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Pengertian Filsafat. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com//kumpulan-makalah-2/2008/02/08/pengertian-filsafat/. [20 Oktober 2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Pengertian Kurikulum. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/pengertian-kurikulum/. [20 Oktober 2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Teori Pendidikan dan Kurikulum. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/teori-pendidikan-dan-kurikulum/. [20 Oktober 2008]

Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., (2006). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.