document1

21
Riset akuntansi keprilakuan yang menggunakan teori agensi mendasarkan pemikirannya atas perbedaan informasi antara atasan dan bawahan, antara kantor pusat dan kantor cabang, atau adanya asimetri informasi yang memengaruhi penggunaan sistem akuntansi. Teori ini didasarkan pada teori ekonomi. Dari sudut pandang teori agensi, prinsipal (pemilik atau manajemen puncak) membawahi agen (karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang efisien. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan. Secara umum, teori ini mengasumsikan bahwa prinsipal bersikap netral terhadap risiko sementara agen bersikap menolak usaha dan risiko. Agen dan prinsipal diasumsikan termotivasi oleh kepentingannya sendiri, dan seringkali kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal, kompensasi yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada hasil. Sementara, menurut pandangan agen, dia lebih suka jika sistem kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat hasil tetapi juga tingkat usahanya. Berbagai riset yang berhubungan dengan teori ini memfokuskan perhatian pada bagaimana agar sistem perjanjian kontrak kompensasi bisa mencapai keseimbangan. Alokasi kinerja perusahaan antara prinsipal dan agen didasarkan pada kontrak tersebut, baik tertulis maupun tidak. Sistem kompensasi dalam kkondisi yang ideal (first best) langsung dihubungkan dengan perilaku. Lebih lanjut lagi, karena faktor-faktor lingkungan dan keahlian agenlah yang akan menentukan output, sistem pembayaran insentif berdasarkan output menjadi tidak efisien karena agenlah yang menanggung resiko jika ada faktor lingkungan yang mengakibatkan penurunan output. Jika prinsipal bisa mengawasi usaha agen, suatu kontrak ideal (first best control) yang mendasarkan pembayaran gaji atas usaha yang telah dilakukan ini bisa dibuat. Namun, kondisi ideal tersebut sangat sulit dicapai. Berbagai riset yang terhubung dengan sistem kompensasi biasanya dilakukan dalam konteks tidak adanya kontrak ideal. Hal ini yang lebih banyak terjadi karena agen yang lebih memahami perusahaan sehingga menimbulkan kesenjangan informasi/asimetri informasi (information asymmetry) yang menyebabkan prinsipal tidak mampu menentukan apakah usaha yang dilakukan agen memang benar-benar optimal. Sumber: Lubis, Arfan Ikhsan. 2011. Akuntansi Keperilakuan . Jakarta: Salemba Empat.

Upload: arsykeiway

Post on 14-Apr-2016

222 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

teori agensi

TRANSCRIPT

Riset akuntansi keprilakuan yang menggunakan teori agensi mendasarkan pemikirannya atas perbedaan informasi antara atasan dan bawahan, antara kantor pusat dan kantor cabang, atau adanya asimetri informasi yang memengaruhi penggunaan sistem akuntansi. Teori ini didasarkan pada teori ekonomi. Dari sudut pandang teori agensi, prinsipal (pemilik atau manajemen puncak) membawahi agen (karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang efisien. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan. Secara umum, teori ini mengasumsikan bahwa prinsipal bersikap netral terhadap risiko sementara agen bersikap menolak usaha dan risiko. Agen dan prinsipal diasumsikan termotivasi oleh kepentingannya sendiri, dan seringkali kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal, kompensasi yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada hasil. Sementara, menurut pandangan agen, dia lebih suka jika sistem kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat hasil tetapi juga tingkat usahanya.

Berbagai riset yang berhubungan dengan teori ini memfokuskan perhatian pada bagaimana agar sistem perjanjian kontrak kompensasi bisa mencapai keseimbangan. Alokasi kinerja perusahaan antara prinsipal dan agen didasarkan pada kontrak tersebut, baik tertulis maupun tidak. Sistem kompensasi dalam kkondisi yang ideal (first best) langsung dihubungkan dengan perilaku. Lebih lanjut lagi, karena faktor-faktor lingkungan dan keahlian agenlah yang akan menentukan output, sistem pembayaran insentif berdasarkan output menjadi tidak efisien karena agenlah yang menanggung resiko jika ada faktor lingkungan yang mengakibatkan penurunan output.

Jika prinsipal bisa mengawasi usaha agen, suatu kontrak ideal (first best control) yang mendasarkan pembayaran gaji atas usaha yang telah dilakukan ini bisa dibuat. Namun, kondisi ideal tersebut sangat sulit dicapai. Berbagai riset yang terhubung dengan sistem kompensasi biasanya dilakukan dalam konteks tidak adanya kontrak ideal. Hal ini yang lebih banyak terjadi karena agen yang lebih memahami perusahaan sehingga menimbulkan kesenjangan informasi/asimetri informasi (information asymmetry) yang menyebabkan prinsipal tidak mampu menentukan apakah usaha yang dilakukan agen memang benar-benar optimal.

Sumber: Lubis, Arfan Ikhsan. 2011. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta: Salemba Empat.

Agency Theory

        

               Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency

Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan

riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan

dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan

hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini

hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan

yang saling bertentangan (Conflict of Interest).

         Pertentangan dan tarik menarik kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan

permasalahan yang dalam Agency Theory dikenal sebagai  Asymmetric Information (AI) yaitu

informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak

sama antara prinsipal dan agen. Ketergantungan pihak eksternal pada angka akuntansi,

kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri dan tingkat AI yang tinggi,

menyebabkan keinginan besar bagi manajer untuk memanipulasi kerja yang dilaporkan untuk

kepentingan diri sendiri.

         Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, sedangkan managemen sebagai agen. Agency

Theory mendasarkan hubungan kontrak agar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana

prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat

kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi

amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk

mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya.

         Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak

dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara

keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme

bagi hasil, baik yang berupa keuntungan,return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh

prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu

manyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan

kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari

prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang

tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan

(Scott, 1997).

         Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:

1)      Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya

mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak

luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang

saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

2)      Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya

diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan

tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara

etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

        Teori Game (GT)

Teori Game muncul akibat asimetri informasi antara lain: penyimpangan perilaku (moral

hazard--MH).

Game Theory adalah teori permainan ekonomi—economic theory of games atau disingkat

dengan game theory:

-        mendasari isu-isu dalam teori akuntansi keuangan.

-        memodelkan interaksi dua atau lebih pemain, interaksi sering terjadi dalam keadaan

ketidakpastian dan asimetri informasi.

-          asumsi: setiap pemain memaksimumkan utilitas harapannya.

-          lebih kompleks daripada teori keputusan dan teori investasi

Ada banyak tipe game, antara lain:

1.      Kooperatif: setiap pihak dapat masuk ke dalam persetujuan berikat (binding agreement), eg:

Kartel.

2.      Non-kooperatif: jika persetujuan tidak mungkin diberdayakan atas setiap anggota, eg: industri

ologopolistik.

Model Game non Kooperatif Konflik

-          Manajer-Investor

Konflik antara konstituen pemakai Laporan Keuangan dapat dimodelkan sebagai suatu game,

selama kebutuhan keputusan dari konstituen berbeda mungkin tidak tumpang tindih (coincide).

-          Game Theory menyediakan kerangka kerja formal bagi studi situasi konflik antar konstituen dan

memprediksi keputusan yg akan dibuat pihak yg berkonflik.

-          Investor: butuh informasi Laporan Keuangan yang relevan & reliabel, untuk menilai harapan &

risiko investasinya.

-          Manajer: pilih menghapus utang tertentu dari neraca, agar memudahkan meraih utang dengan

memudahkan kontrak dengan kreditor; khawatir jika merilis terlalu banyak akan dimanfaatkan

oleh pesaing.

-          Game non kooperatif: memodelkan situasi yang sulit untuk mempertimbangkan persetujuan

berikat antara manajer dan investor tentang informasi khusus apa yang bisa disediakan.

-          Nash equilibrium: pasangan strategi (investor & manajer) yang merupakan pilihan strategi yang

diberikan pemain lain, hasil prediksian game.

Model Teori Game Kooperatif

-          Banyak persetujuan kontrak yg berimplikasi pada akuntansi, dua tipe kontrak penting yaitu :

1.       Hubungan kerja (employment): antar perusahaan dan manajer puncak, atau pemilik

dengan     agen_GT=AT

Terbaik pertama: pemilik mendapat utilitas maksimum , dan manajer memperoleh utilitas

cadangan.

2.      Peminjaman (lending): antar manajer dan kreditor, secara aktual, AT memiliki karakteristik

game kooperatif dan non kooperatif.

         Teori Agensi: Kontrak hubungan kerja antara pemilik dan manajer.

-          Kemanfaatan Informasi Manajer

Keuntungan (payoff) tidak observabel oleh pemilik atau manajer hingga periode

mendatang.

-          Laba bersih yang sekarang observabel oleh kedua pihak dipandang sebagai pesan rancu (noisy)

tak bias tentang keuntungan mendatang.

-          Ketiadaan manajemen laba, dapat meningkatkan efisiensi pengontrakan dengan menurunkan

keraguan melalui pengukuran yang ditingkatkan.

-          Prediksi PAT: manajer sering menyusun Laporan Keuangan dalam manajemen laba yaitu

memungkinkan pemahaman lebih baik tentang peran laba neto sebagai ukuran kinerja.

-          Berbagai macam bentuk manajer dapat mengambil manfaat informasi:

1.      Informasi Pra-kontrak: manajemen tahu keuntungan yang akan terjadi.

Inforamsi Pra-keptusan: setelah kontrak tapi sebelum bertindak.

2.      Informasi Pasca-keputusan: manajemen mempelajari laba (yang unmanaged) sebelum

dilaporkan. Untuk mengontrol manajemen laba adalah GAAP.

           Dlm kontrak utang: kreditor sebagai principal dan manajer sebagai agen.

Ada problema moral hazard antara kreditor dan manajer:

-          Manajemen bertindak bertentangan dengan kepentingan terbaik kreditor.

-          Kreditor rasional akan mengantisipasi perilaku manajemen tersebut, dan memunculkan tingkat

bunga yang mereka minta untuk dana yang dipinjamkannya.

-          Manajemen memiliki insentif untuk tidak bertindak dalam bentuk yang melawan kepentingan

kreditor.

-          Problema ini bisa diatasi dengan menyisipkan perjanjian ke dalam persetujuan utang, sehingga

manajemen setuju untuk membatasi dividen atau pinjaman tambahan sementara loan beredar.

-          Akibatnya perusahaan dapat meminjam pada tingkat bunga yang lebih rendah.

         Rekonsiliasi Teori Pasar Efisien dengan EC

-          Perusahaan mampu mensejajarkan kepentingan manajer dan pemilik, konsisten dengan versi

pengontrakan efisien PAT:

1.      AT menunjukkan bahwa kontrak kompensasi yg terbaik dapat dicapai biasanya berbasis

kompensasi manajer atas satu atau lebih ukuran kinerja, sehingga manajer memiliki insentif

untuk memaksimumkan kinerja.

2.      Selama kinerja lebih tinggi menyebabkan pembayaran harapan lebih tinggi, hal ini juga

diharapkan oleh pemilik.

3.      Sehingga dapat dipahami mengapa kebijakan akuntansi memiliki EC, meskipun berbeda dengan

implikasi teori pasar efisien.

-          Di bawah EMH: hanya kebijakan akuntansi yang mempengaruhi arus kas harapan yang

menciptakan EC.

-          EC dan pasar efisien tidak perlu inkonsisten:

a.       Dapat direkonsiliasi dengan PAT dengan dukungan normatif dari AT yang menunjukkan

mengapa perusahaan masuk ke dalam kontrak kerja dan kontrak utang yang tergantung pada

informasi akuntansi.

b.      Tanpa argumen ini, menyebabkan perhatian manajerial tentang kebijakan akuntansi bertentangan

dengan efisiensi pasar.

         Konklusi atas Analisis Konflik

-          Teori berbasis berbagai konflik memiliki implikasi penting bagi teori akuntansi keuangan:

a.       Teori konflik mampu merekonsiliasikan pasar efisien dan EC.

b.      Implikasi AT: laba bersih memiliki peran memotivasi & memonitor kinerja manajer

-          Laba bersih bersaing dengan ukuran kinerja lain, eg: harga saham.

-          Dalam keadaan ekstrem, manajemen laba memungkinkan manajer lalai, yang berakibat

pembayaran yang rendah kepada pemilik.

-          Oleh karena itu, GT merupakan komponen penting teori akuntansi finansial.

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Keagenan (Agency Theory)

Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.

Agency Theory menunjukkan bahwa perusahaan dapat dilihat sebagai suatu hubungan kontrak (loosely defined) antara pemegang sumber daya. Suatu hubungan agency muncul ketika satu atau lebih individu, yang disebut pelaku (principals), mempekerjakan satu atau lebih individu lain, yang disebut agen, untuk melakukan layanan tertentu dan kemudian mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen. Hubungan utama agency dalam bisnis adalah mereka (antara pemegang saham dan manajer dan) 1 (2) antara debtholders dan pemegang saham. Hubungan ini tidak selalu harmonis, memang, teori keagenan berkaitan dengan konflik agency, atau konflik kepentingan antara agen dan pelaku. Hal ini memiliki implikasi untuk, antara lain, tata kelola perusahaan dan etika bisnis. Ketika agency terjadi cenderung menimbulkan biaya agency, yaitu biaya yang dikeluarkan dalam rangka untuk mempertahankan hubungan agency yang efektif (misalnya, menawarkan bonus kinerja manajemen untuk mendorong manajer bertindak untuk kepentingan pemegang saham). Oleh karena itu, teori keagenan telah muncul sebagai model yang dominan dalam literatur ekonomi keuangan, dan secara luas dibahas dalam konteks etika bisnis.

Agency Theory secara formal berasal pada awal tahun 1970, namun konsep di balik itu memiliki sejarah panjang dan beragam. Di antaranya adalah pengaruh teori properti-hak, ekonomi organisasi, hukum kontrak, dan filsafat politik, termasuk karya Locke dan Hobbes. Sebagian ilmuwan penting terlibat dalam periode formatif teori agensi di tahun 1970-an termasuk Armen Alchian, Harold Demsetz, Michael Jensen, William Meckling, dan S.A. Ross.

KONFLIK ANTARA MANAJER DAN PEMEGANG SAHAM

Agency Theory menimbulkan masalah mendasar dalam organisasi "perilaku mementingkan diri sendiri”. Manajer Sebuah perusahaan mungkin memiliki tujuan-tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemilik pemegang saham. Karena manajer pemegang saham memiliki hak untuk mengelola aset perusahaan, sebuah potensi konflik kepentingan muncul antara dua kelompok.

KEBIASAAN MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI

Agency Theory menunjukkan bahwa, tenaga kerja tidak sempurna dan pasar modal, manajer akan berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka sendiri dengan mengorbankan para pemegang saham perusahaan. Agen memiliki kemampuan untuk beroperasi sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan terbaik dari perusahaan hal ini disebabkan oleh informasi yang bersifat asimetris (misalnya, manajer tahu lebih baik dari pemegang saham apakah mereka mampu memenuhi tujuan

pemegang saham) dan ketidakpastian (misalnya, berbagai faktor memberikan kontribusi pada hasil-hasil akhir, dan mungkin tidak jelas apakah agen langsung menyebabkan hasil yang diberikan, positif atau negatif). Bukti perilaku manajerial mementingkan diri sendiri termasuk konsumsi beberapa sumber daya perusahaan dalam bentuk perquisites dan menghindari risiko posisi yang optimal, dimana manajer menghindari risiko bypass peluang yang menguntungkan di mana pemegang saham perusahaan akan lebih memilih untuk berinvestasi. Di luar investor menyadari bahwa perusahaan akan membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan terbaik mereka. Oleh karena itu, investor memberikan potongan harga dan mereka bersedia membayar perusahaan sekuritas.

Potensi konflik keagenan muncul setiap kali manajer perusahaan memiliki kurang dari 100 persen dari saham biasa perusahaan. Jika suatu perusahaan adalah kepemilikan tunggal yang dikelola oleh pemilik, manager pemilik akan melakukan tindakan untuk memaksimalkan kesejahteraan sendiri. Manajer-pemilik mungkin akan mengukur utilitas oleh kekayaan pribadi, tetapi mungkin memikirkan pertimbangan lainnya, seperti hiburan dan perquisites, terhadap kekayaan pribadi. Jika pemilik-manajer meninggalkan sebagian kepemilikan-nya dengan menjual sebagian saham perusahaan kepada investor luar, maka akan muncul potensi konflik kepentingan, yang disebut konflik keagenan. Sebagai contoh, pemilik-manajer lebih memilih gaya hidup yang lebih santai dan tidak bekerja keras untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham, karena kurangnya kekayaan yang akan ditambahkan ke manajer-pemilik. Selain itu, manajer-pemilik lebih memutuskan untuk mengkonsumsi perquisites, karena beberapa manfaat dari biaya konsumsi akan ditanggung oleh para pemegang saham external.

Pada sebagian besar perusahaan publik bersekala besar, konflik kantor berpotensi cukup signifikan karena para manajer perusahaan sendiri umumnya hanya sebagian kecil dari saham biasa. Oleh karena itu, maksimalisasi kekayaan pemegang saham dapat disubordinasi untuk berbagai macam tujuan manajerial lainnya. Misalnya, manajer mungkin memiliki tujuan yang mendasar untuk memaksimalkan ukuran perusahaan. Dengan membuat sebuah, perusahaan besar cepat berkembang, eksekutif meningkatkan status mereka sendiri, menciptakan lebih banyak kesempatan untuk manajer tingkat rendah sampai menengah dan gaji, dan meningkatkan keamanan kerja mereka karena suatu pengambilalihan cenderung tidak ramah. Akibatnya, manajemen incumbent dapat melakukan diversifikasi dengan mengorbankan para pemegang saham yang dapat dengan mudah mendiversifikasi masing-masing portofolio hanya dengan membeli saham di perusahaan lain.

Manajer dapat didorong untuk melakukan tindakan terbaik demi kepentingan pemegang saham melalui insentif, hambatan, dan hukuman. Bagaimanapun juga metode ini efektif hanya jika pemegang saham dapat mengamati semua tindakan yang diambil oleh manajer. Masalah moral mengambil untung semata, dimana agen mengambil tindakan tidak teramati dalam diri mereka untuk kepentingan-pribadi, yang berasal dari kelayakan bagi pemegang saham untuk memantau semua tindakan manajerial. Untuk mengurangi masalah moral mengambil untung semata, pemegang saham harus menanggung biaya agen.

BIAYA DARI KONFLIK PEMEGANG SAHAM-MANAJEMEN

Biaya Agency didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Gagasan biaya agen mungkin dihubungkan dengan Jurnal pada makalah yang berjudul Journal of Finance pada tahun 1976 oleh Michael Jensen dan William Meckling, yang menyarankan bahwa tingkat utang perusahaan dan tingkat manajemen ekuitas baik dipengaruhi oleh keinginan untuk mengendalikan biaya kantor. Ada tiga jenis utama dari biaya agen: (1) pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit; (2) pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara yang membatasi perilaku manajerial yang tidak diinginkan, seperti menunjuk anggota luar dewan direksi atau restrukturisasi bisnis perusahaan unit dan hirarki manajemen, dan (3) biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika pemegang saham-dikenakan pembatasan, seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahan tertentu, membatasi kemampuan manajer untuk mengambil tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang saham.

Dengan tidak adanya upaya pemegang saham untuk mengubah perilaku manajerial, biasanya akan ada kehilangan sebagian kekayaan pemegang saham karena tindakan manajerial tidak pantas. Di sisi lain, biaya agen akan berlebihan jika pemegang saham berusaha untuk memastikan bahwa setiap tindakan manajerial sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, jumlah optimal biaya agen yang harus ditanggung oleh pemegang saham ditentukan dalam "konteks biaya biaya-manfaat agen” harus ditingkatkan selama setiap dolar yang dihabiskan meningkatkan hasil setidaknya kenaikan dolar dalam kekayaan pemegang saham.

MEKANISME UNTUK MENGHADAPI KONFLIK ANTARA MANAJER DAN PEMEGANG SAHAM

Ada dua posisi kunci untuk menghadapi konflik-konflik agency pemegang saham dan manager. Pada keadaan ekstrim, manajer perusahaan bertindak sepenuhnya berdasarkan perubahan harga saham. Dalam hal ini, biaya agen akan rendah karena manajer memiliki insentif besar untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham hal tersebut tentu akan sangat sulit, olehkarena itu, dalam keadaan tersebut menyewa manajer berbakat di bawah ikatan kontrak karena pendapatan perusahaan akan dipengaruhi oleh peristiwa ekonomi yang tidak berada di bawah kendali manajerial. Pada keadaan ekstrim lainnya, pemegang saham dapat memonitor setiap tindakan manajerial, tapi ini akan sangat mahal dan tidak efisien. Solusi optimal terletak di antara ekstrim, di mana kompensasi eksekutif terkait dengan kinerja, tetapi beberapa pemantauan juga dilakukan. Selain pemantauan, mekanisme berikut ini mendorong para manajer untuk bertindak dalam

kepentingan pemegang saham : (1) insentif berbasis kinerja rencana, (2) intervensi langsung oleh pemegang saham, (3) ancaman penembakan, dan (4), ancaman pengambilan alihan.

Sebagian besar perusahaan publik kini memberlakukan kinerja saham, dimana saham yang diberikan kepada eksekutif berdasarkan kinerja seperti yang didefinisikan oleh tindakan keuangan seperti laba per saham, imbal hasil aset, imbal hasil ekuitas, dan perubahan harga saham. Jika kinerja perusahaan berada di atas target kinerja, manajer perusahaan mendapatkan lebih banyak saham. Jika kinerja di bawah target, mereka menerima lebih sedikit dari 100 persen saham. rencana kompensasi insentif berbasis kinerja seperti saham, dirancang untuk memenuhi dua tujuan. Pertama, mereka menawarkan insentif eksekutif untuk mengambil tindakan yang akan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham. Kedua, rencana ini membantu perusahaan menarik dan mempertahankan manajer yang memiliki kepercayaan diri untuk risiko masa depan keuangan mereka pada kemampuan mereka sendiri yang harus mengarah pada kinerja yang lebih baik.

Peningkatan persentase saham biasa di perusahaan Amerika dimiliki oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, dan reksadana. Manajer keuangan institusional memiliki pengaruh, jika mereka memilih, untuk menggunakan pengaruh yang cukup besar atas operasi perusahaan. Kelembagaan investor dapat mempengaruhi manajer sebuah perusahaan dalam dua cara utama. Pertama, mereka dapat bertemu dengan manajemen perusahaan dan menawarkan saran-saran mengenai operasi perusahaan. Kedua, pemegang saham institusional dapat mensponsori proposal untuk dipilih di dalam rapat umum pemegang saham tahunan, bahkan jika proposal ini ditentang oleh manajemen. Meskipun proposal pemegang saham yang disponsori tersebut nonbinding dan melibatkan isu-isu di luar operasi sehari-hari, hasil suara ini jelas mempengaruhi pendapat manajemen.

Di masa lalu, kemungkinan manajemen sebuah perusahaan besar digulingkan oleh pemegang saham yang begitu jauh merupakan ancaman kecil. Ini benar karena kepemilikan sebagian besar perusahaan sangat luas, dan kontrol manajemen mengenai mekanisme suara begitu kuat, sehingga hampir tidak mungkin bagi pemegang saham pembangkang untuk mendapatkan suara yang diperlukan untuk menghapus manajer. Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, kepala petugas eksekutif di American Express Co, General Motors Corp, IBM, dan Kmart semua mengundurkan diri di tengah-tengah oposisi institusional dan spekulasi bahwa keberangkatan mereka terkait dengan kinerja operasi perusahaan mereka yang rendah.

Pengambilalihan secara tidak baik, yang terjadi ketika manajemen tidak ingin menjual perusahaan, yang paling mungkin untuk mengembangkan saat saham suatu perusahaan adalah dibawah nilai relatif terhadap potensi karena pengelolaan yang tidak memadai. Dalam pengambilalihan secara tidak baik, para manajer senior dari perusahaan yang diakuisisi biasanya diberhentikan, dan mereka yang ditahan kehilangan

kemerdekaan mereka sebelum terjadi akuisisi. Ancaman dari disiplin pengambilalihan secara tidak baik mengubah perilaku manajerial dan mendorong manajer berusaha untuk memaksimalkan nilai pemegang saham.

MAKALAH AGENCY THEORY ( TEORI KEAGENAN )

I. Pendahuluan.

            Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan (Conflict of Interest).             Pertentangan dan tarik menarik kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan permasalahan yang dalam Agency Theory dikenal sebagai Asymmetric Information (AI) yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Ketergantungan pihak eksternal pada angka akuntansi, kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri dan tingkat AI yang tinggi, menyebabkan keinginan besar bagi manajer untuk memanipulasi kerja yang dilaporkan untuk kepentingan diri sendiri.

     Dengan adanya hal tersebut, dalam praktik pelaporan keuangan sering menimbulkan ketidak transparanan yang dapat menimbulkan konflik principal dan agen. Akibat adanya perilaku manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini akan menjadi penghalang adanya praktik GCG (Good Corporate Governance) pada perusahaan-perusahaan karena salah satu prinsip dasar dari GCG adalah Transparency (keterbukaan).

       Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka menegakan prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya prinsip transparasi dan akuntabilitas,penyajian informasi akuntasi yang berkualitas dan lengkap dalam laporan tahunan sangat diperlukan. Hal ini akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dalam uraian berikut ini akan dibahas tentangAgency Theory sebagai awal timbulnya isu tentang Good Corporate Governance (GCG), kemudian Good Corporate Governance beserta prinsip-prinsip yang melandasi dan peran akuntan dalam menegakkan prinsip GCG di Indonesia. Konsepsi CG dalam bahasan ini didasarkan sudut pandang organisasi perusahaan privat sebagai open system. Burrel dan Morgan (1979)menyatakan

bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan organisme yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan hidup,organisasi tersebut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada (misal budaya masyarakat,pemerintah,aturan dan regulasi lainnya)

II. Bahasan Agency Theory

            Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal,sedangkan managemen sebagai agen.Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak agar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya.

            Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan,return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan(Scott, 1997).Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:

(a) Asumsi tentang sifat manusia            Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).

(b) Asumsi tentang keorganisasian            Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen.

(c) Asumsi tentang informasi.

   Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.         

            Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.

            Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh dan kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi bagi prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat menghambat prisipal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak prinsipal selaku pemilik modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomik (homo economicsus) yang berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya masing-masing.

Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen bisaa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut denganAgency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asimmetric Information.

            Asimmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilanyang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal

kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang dipercakan kepada agen.

            Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permsalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :

(a)     Moral Hazard

                        Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.

(b)    Adverse Selection

                        Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

            Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :

(a)     The monitoring expenditures by the priciple

                        Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction, compensation policies.

(b)    The bonding expeditures by the agent.

                        The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.

(c)     The residual loss

                        Merupakan penurunan tingkat kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.

            Dari penambahan diatas, bila dibuatkan ringkasan tentang asumsi dan penerapan agency theory dalam organisasi akan tampak dalam label 1 dibawah ini :

Tabel 1. Asumsi Dasar dalam Agency Theory

Asumsi Manusia :  Homo Economicus, yang memaksimalkan utilitasnya

Model Perilaku :  Self serving behavior

Fakta Penerapannya :  Prinsipal dan agen cenderung menerapkan tujuan secara kaku (rigid)

Akibat yang timbul :  Conflict of Interest

Konsekuensi :  Timbul agency cost dalam mengawasi kinerja manager / agen

Pemecahan :  Sharing rule antara prinsipal dan agen perlu dibuat

Reward :  Ekstrinsik, yaitu komoditi berwujud dan bisa dipertukarkan dan memiliki nilai pasar yang bisa diukur

Asumsi Informasi :  Sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan

III. Aplikasi Agency Theory pada Pengelolaan Perusahaan.

            Konsep pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham dan pengelolaan (management) para agen atau manger dalam perusahaan telah menjadi kajian sejak tahun 1930-an. Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan sebagaian besar manjemen puncak (top mangement) hanya memiliki saham nominal dalam peerusahaan yang mereka kelola.            Bila dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan kebutuhan GCG, dari perspektif Agency Theory, Tabel 2 berikut ini menunjukan perkembangan akan kebutuhan GCG pada teori korporasi klaasik.modern,dan post-modern.

Tabel 2. Perkembangan Teori Korporasi dan Implikasinya Terhadap

Good Coorperate Governance

TEORI KORPORASI KLASIK

TEORI KORPORASI MODERN TEORI KORPORASI POST-MODERN

KARAKTERISTIK :1.Perusahaan dengan

single majority shreholders.

2.Prinsipal merangkap sebagai agen.

3.Keseimbangan kepentingan antara prinsipal dan agen tidak penting.

KARAKTERISTIK :1.Perusahaan dengan banyak

pemegang saham, namun masih ada kepemilikan mayoritas.

2.Fungsi Prinsipal dan Agen mulai terpisah.

3.Meskipun pemilik mayoritas masih memiliki otoritas yang besaar, kepentingan pemegang saham minoritas sudah diperhatikan.

KARAKTERISTIK :1.Perusahaan dengan banyak

pemegang saham, dan tidak ada kepemilikan mayoritas.

2.Sulit untuk mengidentifikasi the true principal.

3.Prinsipal umumnya tidak atau kurang memahami bisnis.

4.Agen memiliki pengaruh yang besar dalam menjalankan perusahaan.

5.Terjadi ketidakseimbangan kepentingan (conflict of interest).

IMPLIKASI:Aspek Good Corporate Governance tidak diperlukan.

IMPLIKASI :Aspek Good Corporate Governance mulai diperlukan.

IMPLIKASI :Aspek Good Corporate Governance sangat diperlukan.

           

            Dalam uraian diatas tentang Agency Theory diatas disebutkan bahwa adanya perilaku dari manager/agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat terjadi karena manjer mempunyai informasi yang lengkap mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimilki oleh pemilik perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric Information atau AI).            Adanya AI dan Self Serving Behavior pada manager/agen, memungkinkan mereka untuk mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan. Adanya kondisi ini

menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan.Agency Theory menganalisis dan mencari solusi atas dua permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para prinsipal (pemilik/pemegang saham) dan agen (manajemen).