document1

50
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Judul Penelitian Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng Semarang. 1.2. Bidang Ilmu Ilmu kedokteran khususnya cabang Ilmu Penyakit Dalam bidang Tropik Infeksi. 1.3. Latar Belakang Penelitian Leptospirosis adalah suatu penyakit yang digolongkan sebagai penyakit zoonosis karena dapat menyerang manusia maupun hewan. Penyakit infeksi ini disebabkan oleh kuman leptospira yang bersifat patogen. 1-4 Penyakit ini merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan kelembaban dan curah hujan tinggi. Di negara berkembang, dimana kondisi kesehatan lingkungannya kurang mendapat 1

Upload: umamfazlurrahman

Post on 30-Nov-2015

48 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

file

TRANSCRIPT

Page 1: Document1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Judul Penelitian

Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng Semarang.

1.2. Bidang Ilmu

Ilmu kedokteran khususnya cabang Ilmu Penyakit Dalam bidang Tropik Infeksi.

1.3. Latar Belakang Penelitian

Leptospirosis adalah suatu penyakit yang digolongkan sebagai penyakit zoonosis karena

dapat menyerang manusia maupun hewan. Penyakit infeksi ini disebabkan oleh kuman

leptospira yang bersifat patogen. 1-4

Penyakit ini merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim

tropis dan subtropis, dengan kelembaban dan curah hujan tinggi. Di negara berkembang,

dimana kondisi kesehatan lingkungannya kurang mendapat perhatian terutama mengenai

pembuangan sampah, kuman leptospira mudah berkembang. International Leptospirosis

Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga

di dunia untuk mortalitas. Di Indonesia, leptospirosis tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,

Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan

Timur dan Kalimantan Barat

1

Page 2: Document1

Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah

menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious

diseases. 1

Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, dapat berupa leptospirosis ringan pada

90 % kasus dan leptospirosis yang berat dengan berbagai macam kegagalan fungsi organ

yang dapat menyebabkan kematian. Gambaran klasik leptospirosis berat, disebut Weil’s

disease ditandai dengan ikterik, gagal ginjal akut dan perdarahan. Leptospirosis merupakan

suatu penyakit multisistem, dimana penyakit ini dapat menimbulkan berbagai macam

komplikasi pada organ tubuh. Komplikasi organ tubuh yang dapat ditemukan pada penderita

leptospirosis berat meliputi gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat, gangguan fungsi

jantung, syok sepsis, perdarahan masif, gagal napas. 1,2,5,6

Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna. Pada kasus leptospirosis berat

didapatkan CFR sebesar 5-40 %. Prognosa pada kasus leptospirosis berat ditentukan oleh

berbagai faktor, misalnya virulensi kuman leptospira, kondisi fisik pasien, usia penderita,

adanya ikterik, gagal ginjal, gangguan fungsi hati yang berat. 1

Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas meliputi : usia > 60 tahun, produksi

urin < 600 ml/hari, kadar kreatinin > 10 mg/dl, kadar ureum > 200 mg/dl, kadar albumin

serum < 3 g/dl, kadar bilirubin > 25 mg/dl, trombositopenia < 100.000/mm3, anemia < 12

gr/dl, adanya komplikasi, sesak napas, abnormalitas EKG, infiltrat alveolar pada pencitraan

paru. 1

Berdasarkan penelitian case control yang telah dilakukan oleh Soeharyo (1996)

mendapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang berkaitan dengan mortalitas leptospirosis adalah

variabel komplikasi, albumin < 3 gr %, bilirubin tinggi, produksi urin rendah, titer positif dan

usia > 60 tahun. 7

2

Page 3: Document1

Pada penelitian kohort prospektif oleh Panaphut T, adanya oliguri, hiperkalemia, ronkhi

pada pulmo, hipotensi pada saat penderita masuk rumah sakit merupakan resiko tinggi untuk

kematian. 8

Pada penelitian oleh Bautista secara retrospektif, adanya leukositosis, trombositopenia,

perdarahan, oliguria, lamanya sakit sebelum mendapat perawatan, gangguan fungsi hati

memberikan outcome yang buruk / kematian. 9

Penelitian oleh Esen S secara retrospektif, menunjukkan adanya perubahan tingkat

kesadaran dan hiperkalemia pada saat penderita masuk rumah sakit merupakan faktor risiko

yang tinggi untuk kematian. 10

Penelitian oleh Spichler dengan menggunakan metode case control secara retrospektif

mendapatkan prediktor kematian meliputi : usia > 40 tahun, oliguria, trombosit <

70.000/mmk, kreatinin > 3 mg/dl, gangguan paru.11

Penelitian oleh Covic A secara retrospektif mendapatkan penderita leptospirosis dengan

gagal ginjal akut merupakan kondisi yang berat, dapat menimbulkan gagal multi organ dan

menyebabkan kematian pada 1/3 kasus. 12

Penelitian oleh Nurmilawati secara cross sectional mendapatkan adanya abnormalitas

elektrokardiografi, ronkhi basah, leukositosis, hematemesis, merupakan faktor-faktor risiko

prognosis kematian pada penderita leptospirosis berat dengan prediksi probabilitas kematian

0,93. 13

1.4. Rumusan Masalah Penelitian

Apakah faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng Semarang ?

3

Page 4: Document1

1.5. Tujuan Penelitian

1.5.1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada

penderita leptopsirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng

Semarang.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh umur terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis

berat.

2. Mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat.

3. Mengetahui pengaruh lama sakit sebelum dirawat terhadap kejadian mortalitas pada

penderita leptopsirosis berat.

4. Mengetahui pengaruh terapi antibiotika sebelum dirawat terharap kejadian mortalitas

pada penderita leptospirosis berat.

5. Mengetahui pengaruh gejala klinis terhadap kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat.

6. Mengetahui pengaruh tanda klinis terhadap kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat.

7. Mengetahui pengaruh abnormalitas elektrokardiogram terhadap kejadian mortalitas

pada penderita leptospirosis berat.

8. Mengetahui pengaruh abnormalitas hasil laboratorium (darah rutin, fungsi renal,

fungsi hati) terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat.

9. Mengetahui pengaruh komplikasi organ tubuh terhadap kejadian mortalitas pada

penderita leptospirosis berat.

4

Page 5: Document1

1.6. Manfaat Penelitian

Maanfaat penelitian ini adalah sebagai pengetahuan bagi para klinisi mengenai faktor-faktor

risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat di

rumah sakit.

5

Page 6: Document1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Leptospirosis adalah suatu penyakit infeksi zoonosa yang disebabkan oleh kuman

leptospira yang bersifat patogen, yang menyerang hewan dan manusia. Penyakit ini pertama

kali dilaporkan oleh Adolf Weil pada tahun 1886, dengan gambaran klinis demam,

pembesaran hati dan limpa, ikterus serta adanya tanda-tanda kerusakan pada ginjal. 1-6

2.2 Etiologi

Kuman leptospira termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae, genus

Leptospira. Kuman ini mempunyai bentuk berpilin seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang

10-20 mikron dan tebal 0,1 mikron serta memiliki 2 lapis membran. Kedua ujungnya

memiliki kait berupa flagellum periplasmik dan berputar pada sumbu panjangnya. Kuman

leptospira mempunyai sifat aerob obligat dan tumbuh optimal pada suhu 28-30 ° C, serta

menghasilkan katalase dan oksidase. 1,3 Saat ini, telah diidentifikasi lebih dari 200 serovar

yang dikelompokkan menjadi 24 serogrup. 3

2.3. Epidemiologi

Leptospirosis digolongkan sebagai zoonosis karena penyakit infeksi akut ini dapat

menyerang manusia maupun hewan. Hewan yang terinfeksi kuman leptospira dapat

menularkan penyakit leptospirosis pada manusia. Hewan penjamu kuman leptopsira yang

paling utama adalah roden. Hewan peliharaan yang dapat menjadi hewan penjamu kuman

leptospira adalah kucing, anjing, kambing, lembu, babi serta hewan golongan unggas. Hewan

liar juga dapat menjadi hewan penjamu kuman leptospira misalnya tikus, ular, bajing, dll.

6

Page 7: Document1

Dalam tubuh hewan penjamu, kuman leptospira hidup di dalam ginjal hewan penjamu dan

dikeluarkan melalui urine. 1,3,5

2.4. Patogenesis

Patogenesis penyakit leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira

masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau

mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esophagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk

melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. 1,3,5

Kuman leptospira yang tidak virulen akan gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan

oleh sistem kekebalan tubuh. Kuman leptospira yang virulen mengalami multiplikasi di darah

dan jaringan. Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, dan menimbulkan

vaskulitis yang disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. 1,3

Patogenitas kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel

dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) kuman leptospira memiliki aktivitas

endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu

stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi

trombosit disertai trombositopenia. 1

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal

kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus menyebabkan

nefritis interstitial dan nekrosis tubulus. Hipovolemia yang disebabkan oleh dehidrasi atau

gangguan permeabilitas dapat menimbulkan gagal ginjal. Pada hati, dapat ditemukan nekrosis

sentrilobulus dengan proliferasi sel Kupffer. Gangguan pada paru merupakan akibat adanya

perdarahan. Pada otot rangka, leptospira dapat menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dari

7

Page 8: Document1

miofibrin dan nekrosis fokal. Pada leptospirosis yang berat, vaskulitis dapat mengganggu

mikrosirkulasi, menyebabkan kebocoran plasma dan hipovolemia. 1,3

Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva, selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil, ekstravasasi sel dan perdarahan

Gambar 1. Patogenesis leptospirosis 1

2.5. Manifestasi klinik

Masa inkubasi penyakit leptospirosis berkisar antara 7-12 hari dengan rerata 10 hari.

Manifestasi klinik penyakit ini sangat bervariasi, dapat berupa leptospirosis ringan hingga

leptospirosis berat dengan berbagai macam kegagalan fungsi organ. Beberapa ahli membagi

penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik. 1,5

8

Perubahan patologi di organ/jaringan

Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan

Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai hipertrofi dan

hyperplasia sel Kupffer

Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru

Otot lurik : nekrosis fokal

Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik

Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis

Page 9: Document1

Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya bifasik,

mempunyai 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia dan fase imun, yang

dipisahkan oleh periode asimtomatik. Ada juga yang membagi menjadi 3 fase, dimana fase

fase penyembuhan dianggap sebagai fase tersendiri. 1,5

Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas

atau tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis

serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien

dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat. 1

Gambar 2. Fase leptospiremia dan fase imun pada leptospirosis 5

2.5.a. Leptospirosis anikterik

Leptospirosis anikterik merupakan manifestasi sebagian besar penyakit ini. Gejala

klinis yang dapat dijumpai pada leptospirosis anikterik meliputi : demam ringan atau tinggi

yang bersifat remiten, sakit kepala dapat bersifat ringan atau berat, nyeri retro-orbita disertai

9

Page 10: Document1

fotopobia, menggigil, mual dan muntah, selera makan menurun/anoreksia, nyeri otot/mialgia

terutama di daerah otot betis sehingga pasien sulit berjalan, nyeri otot di punggung dan paha

conjunctival suffusion, kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis. Meskipun jarang, dapat

dijumpai limfadenopati, splenomegali dan ruam makulopapular. Akibat adanya kerusakan

otot, dapat ditemukan peningkatan kreatinin fosfokinase. 1,5

2.5.b. Leptospirosis ikterik

Gagal ginjal akut, ikterus, dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik

khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun

menjadi tidak jelas atau tampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase

imun dipengaruhi oleh jenis serovar, jumlah kuman, status nutrisi dan imunologik pasien,

serta kecepatan memperoleh terapi. 5,14

Leptospirosis berat dapat menimbulkan komplikasi multi organ. Hal ini menunjukkan

bahwa leptospirosis merupakan suatu penyakit multisistem. Walaupun ikterik, penderita

biasanya tidak mengalami kerusakan hepatoseluler, dan fungsi hati akan pulih setelah

penderita sembuh. 14

Gagal ginjal akut merupakan komplikasi yang sering terjadi. Azotemia, oliguria atau

anuria biasanya terjadi dalam minggu ke dua tetapi dapat ditemukan pada hari ke tiga setelah

onset. 14

Keterlibatan paru-paru dapat berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis. Pada kasus yang

berat dapat ditemukan edema paru, perdarahan paru, ARDS. 14

Manifestasi klinik kardiovaskular dapat berupa miokarditis, gagal jantung kongestif,

serta gangguan irama jantung. Kelainan gambaran elektrokardiografi adalah blok

atrioventrikuler derajat I dan fibrilasi atrium. 5,14

10

Page 11: Document1

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik 1

Sindroma, fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium

Leptospirosis anikterik

Fase leptospiremia (3-7 hari)

Fase imun (3-30 hari)

Demam tinggi, nyeri kepala,

mialgia, nyeri perut, mual,

muntah, conjunctival suffusion

Demam ringan, nyeri kepala,

muntah, meningitis aseptik

Darah, cairan serebrospinal

Urin

Leptospirosis ikterik

Fase leptospiremia dan fase

imun (sering menjadi satu atau

tumpang tindih)

Demam, nyeri kepala, mialgia,

ikterik, gagal ginjal, hipotensi,

manifestasi perdarahan,

pneumonitis hemoragik,

leukositosis

Darah, cairan serebrospinal

(mgg I)

Urin (mgg II)

2.6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditemukan pada leptospirosis berat yaitu :

2.6.1. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut merupakan salah satu komplikasi berat leptospirosis berat. Dapat

ditemukan nekrosis tubular akut, yang ditandai dengan kadar natrium urin > 40 mEg/L, rasio

kreatinin urin dan plasma < 20, indeks gagal ginjal > 1. 1

Gagal ginjal akut pada leptospirosis berat dapat berupa tipe oliguria dan tipe non

oliguri. Tipe oliguri mempunyai prognosis lebih jelek, terutama bila fase oliguri berlangsung

lama dan kurang respon terhadap pemberian diuretik, peningkatan rasio ureum urine : darah,

dan menetapnya kadar ureum/kreatinin darah. 1,15,16

11

Page 12: Document1

Azotemia prarenal dan renal lebih sering ditemukan pada leptospirosis ikterik

dibanding yang anikterik. Azotemia, oliguria atau anuria biasanya terjadi dalam minggu ke

dua tetapi dapat juga ditemukan pada hari ke tiga perjalanan penyakit. 1

Gagal ginjal akut, dilaporkan bervariasi antara 16 - 40 % kasus, merupakan faktor

resiko untuk mortalitas. Kadar ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor

prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek prognosa. 1 Gangguan ginjal pada pasien

Weil’s disease ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi nekrosis tubulus akut.

Oliguria terjadi akibat dehidrasi dan hipotensi.

Gagal ginjal akut pada leptospirosis ditandai dengan nefritis tubulo-interstitial dan

disfungsi tubulus. Pada penelitian oleh Yang CW, Wu MS dan Pan MJ mendapatkan bahwa

pemberian ekstrak protein membran luar (outer membrane protein) dari leptospira yang

patogen pada sel tubulus secara in vitro akan mengaktivasi ikatan NFκB dan menstimulasi

iNOS, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α). 17

2.6.2. Perdarahan paru

Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70%. Biasanya ringan berupa

batuk, nyeri dada, hemoptisis. Komplikasi paru yang berat seperti edema paru, perdarahan,

ARDS sering berhubungan dengan gagal ginjal. Hemoptisis, merupakan gejala adanya

perdarahan paru, dapat tidak muncul hingga dilakukan intubasi pada penderita. 5,18

Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru dapat dijumpai pada hari 3

sampai 9 perjalanan penyakit. Abnormalitas yang sering ditemukan adalah patchy alveolar

pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura.

Abnormalitas pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian bawah. 1,5

12

Page 13: Document1

2.6.3. Gangguan kardiovaskular

Manifestasi gangguan kardiovaskular dapat berupa miokarditis, gagal jantung

kongestif dan gangguan irama jantung. Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 % pasien

leptopsirosis dalam 24 jam pertama perawatan di rumah sakit. Gambaran EKG yang tersering

adalah blok atrioventrikular derajat I dan fibrilasi atrium. 1,5

Pada pasien masuk rumah sakit sering dijumpai adanya hipotensi. Penderita dengan

hipotensi akan mengalami gangguan fungsi ginjal. 1

2.6.4. Gangguan fungsi hepar

Bila tidak ada gejala ikterik, fungsi hati umumnya normal. Ikterik disebabkan karena

bilirubin direk yang meningkat.. Gangguan fungsi hepar ditandai dengan meningkatnya

serum transaminase (SGOT dan SGPT). Peningkatan kadar seum transaminase dapat

mencapai 2-3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus, dimana peningkatan serum

transaminase menunjukkan nilai yang bermakna. Pada leptospirosis berat dapat ditemukan

peningkatan kadar kreatinin fosfokinase yang diakibatkan kerusakan jaringan otot. Pada

hepatitis virus tidak didapatkan peningkatan kadar kreatinin fosfokinase. 1,5

2.6.5. Koagulasi Intravaskular Diseminata 6,19,20,21

Salah satu komplikasi sepsis adalah terjadinya disfungsi multi organ dan perdarahan

yang disebabkan DIC. Gejala klinis DIC ditandai dengan adanya pembentukan trombosis

mikrovaskular yang menyeluruh dan terjadinya perdarahan di berbagai tempat.

Deposit fibrin menyeluruh sebagai akibat aktivasi koagulasi pada sepsis akan

menyebabkan pembentukan trombus di pembuluh darah kecil dan sedang, sehingga terjadi

trombosis mikrovaskular yang mengakibatkan disfungsi multi organ. Proses koagulasi yang

13

Page 14: Document1

berlangsung terus akan menyebabkan terpakainya faktor koagulasi serta trombosit. Konsumsi

faktor koagulasi dan trombosit mengakibatkan defisiensi dan menimbulkan perdarahan.

Sepsis

Aktivasi faktor koagulasi

Deposisi fibrin menyeluruh Konsumsi faktor pembekuan

dan trombosit

Trombosis mikrovaskular Perdarahan

Gambar 3. Patogenesis terjadinya trombosis mikrovaskular dan perdarahan pada sepsis. 19

Mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), Interleukin-1 (IL-1) dan

Interleukin-6 (IL-6), akan mengakibatkan terjadinya aktivasi faktor koagulasi terutama

melalui faktor jaringan, penghambatan jalur antikoagulan alamiah, dan penekanan fibrinolisis

melalui peningkatan penghambat aktivator plasminogen tipe 1 (PAI-1). Hal ini akan

menimbulkan peningkatan pembentukan fibrin dan ketidakmampuan untuk memecah fibrin.

Penelitian menunjukkan bahwa jalur ekstrinsik memegang peran utama dalam

terjadinya aktivasi faktor koagulasi pada sepsis. Proses ini tergantung pada terdapatnya faktor

jaringan (tissue factor). Faktor jaringan akan mengikat faktor VIIa membentuk kompleks

faktor jaringan-faktor VIIa yang kemudian mengubah faktor X menjadi Xa.

14

Page 15: Document1

Sepsis

Mediator inflamasi / sitokin

(TNF, IL-1, IL-6)

Aktivasi koagulasi Penghambatan jalur antikoagulan Penekanan sistem fibrino-

Melalui faktor jaringan alamiah / AT III, Protein C, TFPI lisis. Peningkatan PAI-1

Gambar 4. Skema gangguan koagulasi pada sepsis 19

Gambar 5. Kaskade koagulasi 20

Sistem koagulasi mempunyai beberapa sistem penghambat yang juga mempunyai

peran penting pada sepsis. Pada sepsis dijumpai penurunan aktivitas sistem penghambat atau

antikoagulan. Beberapa antikoagulan tersebut diantaranya antitrombin III (AT III), protein C,

protein S, dan penghambat jalur faktor jaringan (tissue factor pathway inhibitor TFPI).

Antitrombin III bekerja menghambat trombin dan faktor koagulasi lain (IIa, IXa, XIa dan

XIIa) dan juga mempunyai efek anti-infalamasi. Protein C yang diaktifkan oleh kompleks

15

Page 16: Document1

trombin-trombomodulin akan menginaktivasi faktor Va, VIIIa, dan PAI-1 dan diduga

mempunyai peran dalam proses inflamasi. TFPI berperan dalam menginaktivasi faktor Xa

dan kompleks VIIa-faktor jaringan.

Sistem fibrinolitik merupakan proses sekunder aktivasi sistem koagulasi. Mediator

inflamasi sendiri mempunyai kemampuan menekan fibrinolisis pada sel endotel dengan cara

stimulasi dan pelepasan PAI-1. Ketidakseimbangan antara sistem koagulasi dan fibrinolisis

ini memacu pembentukan trrombus, mengakibatkan disfungsi organ sehingga dapat

menyebabkan kematian.

Interaksi Inflamasi dan Koagulasi pada Sepsis

Penelitian menunjukkan terdapat interaksi antara inflamasi dan proses koagulasi pada

penderita dengan sepsis. Beberapa faktor koagulasi mempunyai efek proinflamasi, contoh

faktor Xa dan thrombin dapat meningkatkan produksi mediator atau sitokin proinflamasi

seperti IL-6 dan IL-8. Dan beberapa antikoagulan alamiah misal AT III dan protein C

berperan dalam proses inlflamasi pada sepsis.

2.7. Pemeriksaan penunjang 3,14

Pada leptospirosis yang ringan dapat ditemukan proteinuria yang ringan dan adanya

sedimen urin berupa leukosit, eritrosit dan granula hyalin. Pada leptospirosis yang berat dapat

dijumpai gagal ginjal dan azotemia.

Laju endapan darah biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, hitung lekosit

berkisar antara 3000-26.000 dengan pergeseran ke kiri. Pada leptospirosis yang berat,

leukositosis menjadi lebih nyata. Trombositopenia dapat dijumpai pada 50 % penderita dan

hal ini berkaitan dengan gagal ginjal.

16

Page 17: Document1

Berbeda dengan penderita hepatitis akut, penderita dengan leptospirosis mempunyai

peningkatan serum bilirubin dan alkali fosfatase. Waktu protrombin dapat memanjang, tetapi

dapat dikoreksi dengan vitamin K. Peningkatan kreatin fosfokinase dapat untuk membedakan

leptospirosis dengan hepatitis virus.

Bila terjadi reaksi meningen, pada cairan serebrospinal dapat dijumpai dominasi sel

PMN saat awal penyakit dan sel MN pada fase lanjut. Konsentrasi protein pada cairan

serebrospinal dapat meningkat, sedangkan kadar glukosa tetap normal.

Pada leptospirosis berat, gambaran foto toraks dapat berupa bercak-bercak alveolar

yang menandakan adanya perdarahan paru, dengan lokasi pada lobus bawah paru.

Pemeriksaan serologik yang sering digunakan adalah microscopic agglutination test

(MAT), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA) dan immune-fluorescent antibody test.

Pemeriksaan MAT merupakan tes referensi utama, mempunyai sensitivitas yang tinggi dan

digunakan sebagai baku emas dalam mengevaluasi tes diagnostik leptospirosis yang baru. Tes

MAT dapat mendeteksi antibodi pada tingkat serovar. Pemeriksaan MAT dikatakan positif

bila terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih

antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non-endemik leptospirosis

Tes diagnostik yang cepat dan mudah meliputi pemeriksaan dipstick assay, lateral

flow assay, dan latex based agglutination test. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi

Leptospira-specific Imunoglobulin M.

2.8. Penatalaksanaan leptospirosis 3,22

Penatalaksanaan pada leptospirosis meliputi tindakan suportif seperti pemberian

cairan dan nutrisi yang adekuat. Penderita leptospirosis berat dapat memerlukan perawatan di

intensive care unit. Bila terjadi gagal napas, maka perlu ditunjang dengan ventilator.

Penderita dengan gagal ginjal mungkin memerlukan dialisis.

17

Page 18: Document1

Tabel 2. Pemberian antibiotika pada penderita leptospirosis 3

Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg per hari, oral atau

Ampisilin 4 x 500-750 mg per hari, oral atau

Amoksisilin 4 x 500 mg per hari, oral

Leptospirosis berat Penisilin G 4 x 1,5 juta unit per hari, IV atau

Ampisilin 4 x 1 gr per hari, IV atau

Amoksisilin 4 x 1 gr per hari, IV atau

Eritromisin 4 x 500 mg per hari

Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg per minggu oral

Pada kasus leptospirosis yang ringan dapat diberikan antibiotik secara oral sedangkan

pada kasus leptospirosis yang berat pemberian antibiotik sebaiknya secara intavena.

Antibiotika dapat diberikan selama 7 hari. Antibiotik golongan sefalosporin juga dapat

digunakan dalam mengobati kasus leptospirosis. Meskipun jarang terjadi, perlu diwaspadai

terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer yang timbul dalam beberapa jam setelah pemberian

antibiotik dimulai.

18

Page 19: Document1

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Teori

19

Kuman leptospira virulen

Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva, mukosa utuh

Multiplikasi di darah dan jaringan

Sel endotel dan sel monosit

Sepsis

Syok sepsis

Inflamasi

Disfungsi multi organ :Ginjal, kardiovaskular, hepar, paru, dll

Faktor jaringan dan sitokin proinflamasi

Antikoagulan ↓ Fibrinolisis ↓

PAI ↑

Koagulasi ↑

DIC

Usia lanjut

Imunitas ↓

Meninggal

Eliminasi kuman ↓

Jenis kelamin

Lama sakit sebelum dirawat

Antibiotika

Page 20: Document1

3.2 KerangkaKonsep

Variabel bebas Variabel tergantung

3.3 Hipotesis

3.3.1. Mayor :

Umur, jenis kelamin, lama sakit sebelum dirawat, terapi antibiotik sebelum dirawat, gejala

dan tanda klinis, abnormalitas ekg dan laboratorium, komplikasi berpengaruh terhadap

kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah

Sakit Umum Ketileng Semarang

3.3.2. Minor :

1. Bertambahnya umur meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis

berat di rumah sakit.

20

Umur

Jenis kelamin

Lama sakit sebelum dirawat

Gejala klinis

Tanda klinis

Abnormalitas laboratorium

Abnormalitas EKG

Komplikasi

Penderita leptospirosis berat yang meninggal

Penderita leptospirosis berat yang hidup

Terapi antibiotika sebelum dirawat

Page 21: Document1

2. Perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

3. Lama sakit sebelum dirawat meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

4. Terapi antibiotika sebelum dirawat menurunkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

5. Adanya gejala klinis meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis

berat di rumah sakit.

6. Adanya tanda klinis meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis

berat di rumah sakit.

7. Abnormalitas elektrokardiografi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

8. Kadar hemoglobin yang rendah meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

9. Kadar lekosit yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

10. Kadar trombosit yang rendah meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

11. Kadar ureum yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

12. Kadar kreatinin yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

13. Gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida) meningkatkan kejadian

mortalitas pada penderita leptospirosis berat di rumah sakit.

21

Page 22: Document1

14. Kadar bilirubin yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

15. Kadar SGOT yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

16. Kadar SGPT yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

17. Kadar alkali fosfatase yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

18. Kadar albumin yang rendah meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat di rumah sakit.

19. Komplikasi (gagal ginjal akut, sepsis, syok sepsis, ARDS) meningkatkan kejadian

mortalitas pada penderita leptospirosis berat di rumah sakit.

22

Page 23: Document1

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan yang dipergunakan adalah penelitian observasional analitik dengan

pendekatan kohort retrospektif. Pengambilan data berasal dari Case Report Form (CRF)

Leptospirosis pada penelitian SEALS (Semarang Amsterdam Leptospirosis Study)

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat: Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Ketileng

Semarang

Waktu : Januari 2010- Juni 2012

4.3. Estimasi Besar Sampel

n = seluruh pasien dengan diagnosis leptospirosis

4.4. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi bagi penderita yang ikut serta dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Laki-laki / wanita > 14 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan klinis

leptospirosis

Hasil yang positif pada pemeriksaan LeptoTek Dri-Dot dan Micro Aglutinin

Test

4.5. Cara kerja

Penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian sebelumnya dengan prosedur sebagai berikut :

23

Page 24: Document1

1. Penderita yang dirawat inap di rumah sakit di Semarang dan memenuhi kriteria

inklusi, dipilih sebagai calon subyek penelitian

2. Sebelum penelitian dimulai dijelaskan kepada penderita tentang tujuan penelitian,

prosedur pemeriksaan dan manfaat yang akan diperoleh

3. Penderita yang setuju dilakukan penelitian diminta bukti persetujuannya secara

tertulis dengan membubuhkan tanda tangan atau cap jempol

4. Penderita dicatat nama, umur, jenis kelamin, lama menderita sakit, obat yang

diminum sebelum dirawat, alamat, anamnesa yang diperlukan untuk kepentingan

penelitian baik kepada pasien maupun keluarga.

5. Dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda klinis leptospirosis berat yang ada

pada penderita.

6. Pengambilan sampel dilakukan pada hari pertama penderita masuk rumah sakit,

selanjutnya dilakukan centrifuge. Setelah didapatkan serum diambil 10 μ, dilakukan

pemeriksaan Dri-Dot dengan cara meneteskan serum tersebut disamping reagen yang

sudah terfixir pada kertas serta dilakukan pencampuran dengan stik sekali pakai dan

dibaca dalam waktu 10 detik. Bila terjadi aglutinasi maka dinyatakan positif, bila

tidak terjadi aglutinasi maka dinyatakan negatif.

7. Pada hari yang bersamaan dilakukan pemeriksaan EKG dan pengambilan sampel

untuk pemeriksaan laboratorium (hematologi, tes fungsi ginjal, tes fungsi liver) yang

dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RS Dr. Kariadi.

8. Pada hari pertama dan ke 7 juga dilakukan pengambilan serum untuk pemeriksaan

MAT yang dikirim ke Laboratorium Bioteknologi FK Undip untuk disimpan pada

suhu – 80 ° C. Pemeriksaan MAT dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi RS

Dr. Kariadi.

24

Page 25: Document1

9. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti, dibantu oleh dokter dan perawat di

bangsal.

10. Hasil penelitian dicatat pada formulir penelitian dan dilakukan analisis.

4.7. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dibagi dalam 4 kelompok, yairu:

a. Demografi

1) Umur

2) Jenis Kelamin

3) Lokasi, yaitu pedesaan atau perkotaan

b. Gejala

1) Riwayat lama demam sebelumnya

2) Pemberian antibiotik sebelumnya

3) Demam

4) Artralgia

5) Malaise

6) Riwayat lama demam sebelumnya

7) Pemberian antibiotik sebelumnya

8) Demam

9) Artralgia

10) Malaise

11) Nyeri kepala

12) Sesak nafas

13) Batuk

14) Hemoptisis

15) Muntah

16) Nyeri perut

17) Hematemesis

18) Diare

19) Urine kuning

20) Ikterik

21) Epistaksis

22) Nyeri otot gastrocnemius

c. Tanda

1) Perdarahan konjungtiva

2) Hematuri

3) Oligouria

4) Poliuria

5) Tekanan darah sistole kurang dari

8) Suhu

9) Neuro

10) Ronkhi

11) Pembesaran Hepar/ Lien

25

Page 26: Document1

100 mmHg

6) Frekuensi denyut jantung

7) Frekuensi pernafasan

12) Ikterik

13) Hepato Renal

14) Pulmonal

d. Hasil laboratorium

1) Hemoglobin

2) Hematokrit

3) Leukosit

4) Trombosit

5) PT

6) aPTT

7) Fibrinogen

8) Bilirubin total

9) Bilirubin direk

10) SGOT

11) SGPT

12) Alkali fosfatase

13) Gama GT

14) Total protein

15) Albumin

16) Natrium

17) Kalium

18) Klorida

19) Ureum

20) Creatinin

21) IgM leptospirosis

2. Variabel terikat yaitu pasien leptospirosis ringan dan leptospirosis berat

3. Variabel perancu yaitu penyakit penyerta

4.8. Definisi Operasional

1. Umur : dinyatakan dalam tahun, dan didasarkan pada tanda pengenal yang ada.

2. Jenis kelamin : dibedakan laki-laki dan perempuan sesuai tanda pengenal yang ada

3. Lokasi : dibedakan pedesaan dan perkotaan berdasarkan tempat tinggal

4. Riwayat lama demam sebelumnya: dinyatakan dalam hari, dihitung dari mulai muncul

demam hingga hari pemeriksaan

5. Athralgia : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu nyeri pada sendi-sendi tubuh yang

tidak disebabkan oleh penyakit sendi sebelumnya

26

Page 27: Document1

6. Malaise : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perasaan lemah pada tubuh

7. Pemberian antibiotik sebelumnya : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu pemberian

antibiotik jenis apapun kepada pasien, didasarkan pada surat rujukan serta obat

sebelumnya yang ditunjukan pasien

8. Demam : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu suhu tubuh lebih dari 37,50 C per

aksiler

9. Nyeri kepala : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu suatu sensasi nyeri di daerah

kepala

10. Sesak nafas : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perasaan sesak dan kesulitan

dalam bernafas

11. Batuk : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu ekspulsi udara yang tiba-tiba dari paru-

paru sambil mengeluarkan suara

12. Hempotisis : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu keluarnya darah yang bercampur

dengan dahak saat batuk

13. Muntah : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu pengeluaran isi lambung melalui

mulut

14. Nyeri perut : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu nyeri pada daerah perut

15. Hematemesis : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu pengeluaran isi lambung yang

terdapat darah

16. Diare : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu buang air besar lebih dari 3 kali sehari

dan disertai perubahan konsistensi menjadi lembek atau cair

17. Epistaksis : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perdarahan dari rongga hidung

18. Nyeri otot gastroknemius : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perasaan nyeri pada

otot gastroknemius

27

Page 28: Document1

19. Perdarahan konjungtiva : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perdarahan pada

konjungtiva dan tidak disebabkan oleh trauma

20. Hematuri : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu terdapatnya darah dalam urin

sehingga menyebabkan kemerahan pada urin yang dapat dilihat oleh mata.

21. Oligouri : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu suatu kondisi dimana urin yang

keluar dibawah 0,5ml/kgBB atau

22. Pengobatan sebelum dirawat : obat antibiotika yang diminum penderita sebelum

dirawat di rumah sakit

23. Demam : peningkatan suhu tubuh lebih dari 38 ° C yang diukur dengan termometer

secara rektal

24. Conjunctival suffusion : kemerahan pada konjungtiva bulbi disertai pelebaran

pembuluh darah

25. Nyeri otot (mialgia) : nyeri bila dilakukan perabaan atau pemijatan terutama pada otot

betis (m. gastrocnemius)

26. Ikterik : warna kekuningan pada sclera mata

27. Anemia : penurunan kadar Hb < 12 gr % pada perempuan dan Hb < 13 gr % pada

laki-laki

28. Lekositosis : peningkatan hitung lekosit > 10.000 / mm3

29. Trombositopenia : penurunan hitung trombosit < 150.000 / mm3

30. Azotemia : peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah (ureum > 40 mg % dan

kreatinin > 1,8 mg %)

31. Hipoalbuminemia : penurunan kadar albumin < 3 gr %

32. Hiperbilirubinemia : peningkatan kadar bilirubin total > 1 mg %

33. Kenaikan SGOT/SGPT : peningkatan kadar SGOT/SGPT > 2 kali batas atas normal

34. Kenaikan alkali fosfatase : peningkatan alkali fosfatase > 170 IU/L

28

Page 29: Document1

35. Anuria : didapatkan produksi urine < 100 cc / 24 jam

36. Oliguria : didapatkan produksi urine 100 - 400 cc / 24 jam

37. Poliuria : didapatkan produksi urine > 3000 cc / 24 jam

38. Dri-Dot : Dri-Dot positif bila didapatkan gumpalan / aglutinasi pada pemeriksaan

39. Kelainan EKG : gangguan hantaran / irama dari rekaman potensial listrik yang

ditimbulkan sebagai aktivitas listrik.

40. Komplikasi : komplikasi yang didapatkan selama perawatan yang disebabkan oleh

penyakit leptospirosis.

41. Penderita hidup : adalah penderita yang dinyatakan sembuh dari leptospirosis pada

akhir perawatan

42. Penderita meninggal : adalah penderita yang dinyatakan meninggal oleh dokter

selama perawatan di rumah sakit.

4.9. Alur Penelitian

29

Penderita leptospirosis berat yang memenuhi kriteria inklusi

Demografi

Gejala klinis

Tanda klinis

Elektrokardiografi

Laboratorium

Komplikasi

organ tubuh

Hidup atau Mati

Page 30: Document1

4.10. Pengolahan Data

Entry data dilakukan setelah proses cleaning, editing dan coding. Data yang telah

dikumpulkan dilakukan cleaning sebelum pengolahan guna menghindari data yang tidak

diperlukan. Kemudian dilakukan proses editing yang ditujukan untuk meneliti kelengkapan,

kesinambungan dan keseragaman data sehingga validitas data lebih terjamin. Selanjutnya

dilakukan coding untuk memudahkan pengolahan dan pemberian skor

4.11. Analisa Data

1. Analisis univariat

Uji deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan distribusi frekuensi faktor risiko

yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat.

Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

2. Analisis bivariat

Analisa ini bertujuan untuk mengetahui besar hubungan masing-masing variabel

bebas terhadap kejadian mortalitas. Uji bivariat dilakukan dengan menggunakan uji

Chi Square, dengan kriteria bila p value ≤ 0,05 maka terdapat hubungan bermakna

antara kedua variable, dan bila p value > 0,05 maka tidak ada hubungan antara kedua

variabel

3. Analisis multivariat

Menggunakan uji regresi logistik ganda, untuk mengetahui besar pengaruh variabel

bebas yang diduga berhubungan bermakna dengan kejadian mortalitas pada penderita

leptospirosis berat. Pemilihan variabel bebas yang akan digunakan dalam analisa

multivariat berdasarkan hasil uji bivariat yang mempunyai p value < 0,25. Setelah

dilakukan analisa multivariat, variabel bebas dengan hasil p value ≤ 0,05 berarti

variabel bebas tersebut ada pengaruh bermakna terhadap kejadian mortalitas.

30

Page 31: Document1

Sedangkan variabel bebas dengan p value > 0,05 berarti variabel tersebut tidak ada

pengaruh terhadap kejadian mortalitas.

4. Skor prognostik dan probabilitas kematian

Pemilihan variabel bebas yang akan digunakan dalam analisa skor prognostik dan

probabilitas kematian berdasarkan hasil uji multivariat yang mempunyai p value ≤

0,05. Analisa tersebut bertujuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kematian

pada penderita leptospirosis berat. Semakin mendekati nilai 1 maka kemungkinan

terjadinya kematian pada penderita leptospirosis berat semakin besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman tatalaksana kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah

sakit. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. DR. Sulianti Saroso. Direktorat Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen

Kesehatan RI. 2003

2. World Health Organization / International Leptospirosis Society : Human

Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva, World

Health Organization, 2003

3. Speelman P. Leptospirosis. Dalam Fauci AS, editor. Harrison’s Principle of Internal

Medicine. 16 th edition. Volume 1. Mc Graw Hill Companies Inc, New York, 2005 :

988-991

4. Widarso HS, Wilfried P. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan Dalam

Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro M

AU editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan pertama.

Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 1-16

5. Levett PN. Leptospirosis. Clinical Micobiology Review 2001; 14 : 296-326

31

Page 32: Document1

6. Wagenaar JFP. What role do coagulation disorders play in the pathogenesis of

leptospirosis ? Trop Med Int Health 2007; 12 (1) : 111-22

7. Hadisaputro S. Faktor risiko Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro M

AU editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan pertama.

Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 32-45

8. Panaphut T, Domrongkitchairporn S, Thinkamrop B. Prognostic factors of death in

leptospirosis : a prospective cohort study in Khon Kaen, Thailand. Int J Infect Dis

2002;6:52-59

9. Orpilla-Bautista ICL, Panaligan MM. Predictors of mortality among patients with

Leptospirosis admitted at the JRRMMC. Phil J Microbiol Infect Dis 2002;31(4):145-

149

10. Esen S, Sunbul M, Leblebicioglu H, et all. Impact of clinical and laboratory findings

on prognosis in leptospirosis. Swiss Med Wkly 2004;134:347-352

11. Spichler AS, Vilaça PJ, Athanazio DA et all. Predictors of Lethality in Severe

Leptospirosis in Urban Brazil. Am. J. Trop. Med. Hyg 2008;79(6): 911–914

12. Covic A, Goldsmith DJA, Tatomir PG. A retrospective 5-year study in Moldova of

acute renal failure due to leptospirosis: 58 cases and a review of the literature..

Nephrol Dial Transplant 2003;18: 1128–1134

13. Nurmilawati. Faktor-faktor risiko kematian pada penderita Leptospirosis berat di

rumah sakit se-kota Semarang. Karya akhir Bagian Penyakit Dalam FK UNDIP-

RSUP Dr Kariadi Semarang. 2005

14. Gasem MH. Gambaran klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada manusia. Dalam :

Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU editor. Kumpulan Makalah Simposium

Leptospirosis. Cetakan pertama. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro;

2002 : 17-31

32

Page 33: Document1

15. Lestariningsih. Gagal Ginjal Akut pada Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem

MH, Sofro M AU editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan

pertama. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 47-53

16. Daher E, Zanetta DMT, Cavalcante MB, Abdulkader RCRM. Risk factors for death

and changing patterns in leptospirosis acute renal failure. Int J Trop Med Hyg 1999;

61(4):630-634

17. Yang CW, Wu MS, Pan MJ. Leptospirosis renal disease. Nephrol Dial Transplant

2001;16(5):73-77

18. Wagenaar JFP. Leptospirosis with pulmonary hemorrhage, caused by a new strain of

serovar Lai : Langkawi. J Travel Med 2004; 11 (6) : 379-81

19. Konsensus Nasional Tatalaksana Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Sepsis.

Cetakan pertama. Editor : Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, dkk. 2001

20. Van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, et all. Review: Infectious Diseases and

Coagulation Disorders. The Journal of Infectious Diseases 1999;180:176–86

21. Wagenaar JFP. Coagulation disorders in patients with severe leptospirosis are

associated with severe bleeding and mortality. Trop Med Int Health 2010 ; 15 (2) :

152-59

22. Riyanto B. Manajemen Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU

editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan pertama. Semarang :

Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 54-59

33