1469-h-2011_kajian konflik di hutan konservasi_halimun salak

155
i KAJIAN KONFLIK DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI: STUDI KASUS TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Ketahanan Nasional Konsentrasi Perdamaian dan Resolusi Konflik Kelompok Bidang Ilmu Sosial Oleh: DINA HIDAYANA 09/298711/PMU/06505 Diajukan Kepada PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

Upload: edwardbot

Post on 03-Aug-2015

694 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

i

KAJIAN KONFLIK DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI:

STUDI KASUS TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2

Program Studi Ketahanan Nasional Konsentrasi Perdamaian dan Resolusi Konflik

Kelompok Bidang Ilmu Sosial

Oleh:

DINA HIDAYANA 09/298711/PMU/06505

Diajukan Kepada PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2011

Page 2: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

ii

Page 3: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan

sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 10 Mei 2011

Yang Menyatakan,

DINA HIDAYANA

Page 4: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

iv

KATA PENGANTAR

Karya kecil yang dinamakan ‘Tesis’ ini akan menjadi bagian dari proses

pembelajaran tak kenal lelah yang secara pribadi akan mewarnai babak selanjutnya

dari kehidupan saya sebagai Penulis, khususnya dalam mendorong partisipasi aktif

untuk mewariskan hutan dan lingkungan yang andal bagi generasi penerus. Melalui

topik ‘konflik di kawasan hutan’, Penulis berharap dapat bersama-sama membuka

ruang kesadaran semua pihak (individu masyarakat) akan kewajiban dan tanggung

jawab terhadap keberadaan ‘sang penyangga ekosistem.’ Mengembalikan

proporsionalitas kemanfaatan hutan yang meliputi tiga aspek: ekologi, ekonomi dan

sosial merupakan tugas masing-masing individu yang dapat dilakukan dengan cara

dan kapasitas yang memungkinkan.

Kajian ilmiah di level internasional menyepakati arti penting hutan bagi

kelangsungan hidup manusia. Meskipun dipahami benar bahwa aspek ekologi

sewajarnya menjadi prioritas utama untuk kelestarian hutan, namun dinamika sosial

dan desakan kebutuhan menyebabkan fungsi ekonomi dan sosial hutan menjadi

menonjol. Hal ini yang seringkali menimbulkan konflik di dalam maupun sekitar

kawasan hutan, baik yang bersifat vertikal maupun bercorak horizontal. Penelitian

yang dilakukan Penulis secara khusus mengkaji persoalan di kawasan yang

ditetapkan Pemerintah sebagai Kawasan Konservasi. Sebuah itikad baik yang

seringkali justru menimbulkan konflik berkepanjangan dan masih terus terjadi.

Page 5: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

v

Adagium melayu yang menyatakan bahwa ‘kawan meski satu sangat berarti’

sangat tepat untuk memastikan kepada Penulis untuk tidak meremehkan hal kecil

sekalipun, termasuk dalam penggalian data dan informasi terkait penelitian maupun

secara umum terhadap lingkup kehidupan lainnya. Semua pihak dari berbagai

kalangan, dengan perbedaan usia, status maupun tipologi duniawi lainnya sangat

berperan dalam memahamkan suatu persoalan untuk menghasilkan solusi terbaik

yang dapat diterima pihak-pihak terkait khususnya.

Penelitian yang dilakukan Penulis dengan judul ‘Kajian Konflik di Kawasan

Hutan Konservasi dengan studi kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak’ ini

dapat terselesaikan dalam waktu 3 (tiga) bulan tepat sesuai target waktu yang

ditetapkan berkat bantuan dan dorongan banyak pihak. Secara khusus, terima kasih

tak terhingga Penulis sampaikan pada Dr. Eric Hiariej yang telah meluangkan waktu

untuk menjadikan Tesis ini bermakna. Apresiasi setinggi-tingginya atas dedikasi dan

motivasi yang diberikan oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal dan Riza Noer Arfani, M.A dan

tentunya seluruh Pengurus dan Pengajar MPRK angkatan IX/2010, Samsu Rizal

Panggabean, M.S; Dr. Nanang Pamuji Mugasejati; Arifah Rahmawati, M.A; Dr.Zuli

Qodir serta semua pihak yang berperan langsung maupun tidak yang telah banyak

menginspirasi Penulis untuk senantiasa berkarya lebih baik.

Semoga ‘perjuangan’ ini tidak berakhir sia-sia.

Yogyakarta, 10 Mei 2011,

DINA HIDAYANA

Page 6: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR TABEL x

INTISARI xi

ABSTRACT xii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Faedah yang Diharapkan 7

D. Tinjauan Pustaka 8

E. Kerangka Teori 13

F. Argumen Utama 17

G. Cara Penelitian 18

1. Bahan atau Materi Penelitian 18

2. Alat yang Dipakai 19

3. Jalan Penelitian 19

4. Analisis 20

H. Sistematika Penulisan 21

Page 7: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

vii

BAB II KONTEKS SOSIO-GEOGRAFI TAMAN NASIONAL

GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 23

A. TNGHS Secara Umum 23

1. Sejarah Penetapan TNGHS 23

2. Letak dan Kondisi Geografi 26

3. Potensi Keanekaragaman Hayati 31

4. Potensi Lain 35

5. Kondisi Demografi 36

B. Villa di Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS 40

1. Sekilas Berdirinya Villa 40

2. Data Kependudukan Lokapurna 44

3. Kondisi Terakhir 45

BAB III KONFLIK DI TNGHS 48

A. Mengurai Akar Konflik Secara Umum 48

1. Negaraisasi dalam Realitas Konflik 48

2. Kontroversi Luas Minimal Hutan 30% 51

3. Disharmoni Kebijakan Pusat-Daerah dan Tata Ruang 53

4. Kebijakan PHBM Perum Perhutani dan Perambahan 58

5. Penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 62

B. Konflik Vertikal di Kawasan Hutan 70

BAB IV BERKACA DARI KASUS VILLA ‘LIAR’ 74

A. Kronologi Konflik Villa 74

1. Sumber Konflik 87

2. Manifestasi Konflik 89

3. Eskalasi Konflik 90

4. Deeskalasi 92

5. Terminasi 94

Page 8: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

viii

6. Hasil Akhir 94

B. Siklus Konflik Villa 86

C. Identifikasi Aktor dan Isu Utama 95

1. Identifikasi Para Pihak Utama dan Isu Konflik 96

a. Kementerian Kehutanan 96

b. Pemilik Villa 98

2. Para Pihak terkait101

a. BUMN Perum Perhutani 103

b. Departemen Pertahanan 105

c. Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) 107

d. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor 111

e. Akademisi 115

f. Aktivis (LSM) Lingkungan 115

g. Investor 116

h. Pers 116

i. Masyarakat Lokapurna 117

j. DPRD Tk. II Kabupaten Bogor 119

D. Analogi Bawang Bombay dalam Isu Konservasi 125

E. Analisa SPK (Situasi-Perilaku-Konteks) 129

F. Kondisi Terkini 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 133

A. Kesimpulan 133

B. Saran 140

DAFTAR PUSTAKA

Page 9: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Peta TNGHS Sebelum dan Sesudah Perluasan 25

Gambar 2.2. Peta Posisi TNGHS 27

Gambar 2.3. Peta Sebaran Gunung di TNGHS 29

Gambar 2.4. Peta Kondisi Vegetasi TNGHS tahun 2004 32

Gambar 2.5. Peta Posisi Lokapurna 43

Gambar 3.1. Tumpang Sari di Kawasan Hutan 60

Gambar 4.1. Siklus Konflik Kriesberg 86

Gambar 4.2. Peta Dasar Konflik Villa 102

Gambar 4.3. Salah Satu Villa di Lokapurna Gn.Salak Endah 121

Page 10: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Lokapurna (Survey Dephut 2007) 44

Tabel 4.1. Analogi Bawang Bombay Kasus Villa Lokapurna 125

Tabel 4.2. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks)

dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan

Masyarakat Desa 130

Tabel 4.3. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks)

dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan

Pemilik Villa 130

Page 11: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

xi

INTISARI

Tesis yang berjudul ‘Kajian Konflik di Kawasan Hutan Konservasi dengan Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak’ ini dimaksudkan untuk meneliti lebih jauh pengelolaan hutan Negara yang sarat dengan persoalan yang belum tuntas, terutama konflik yang berkisar di dalam kawasan hutan. Penunjukan kawasan konservasi TNGHS melalui SK Menhut No.175/2003, dalam istilah studi konflik telah menyebabkan eskalasi bercorak vertikal, antara Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) dengan Masyarakat. Penelitian ini mengurai akar konflik secara umum yang terjadi di TNGHS dan kasus Villa yang dianggap liar di kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, yang saat ini populer dengan sebutan LokaPurna (Lokasi Purnawirawan).

Penelitian ini memfokuskan pada dua tipologi masyarakat, yakni Masyarakat biasa (masyarakat desa setempat) dan public figure. Tujuannya untuk mengetahui perbedaan pola konflik dan upaya resolusi yang dilakukan Kementerian Kehutanan terhadap dua jenis masyarakat yang berbeda tersebut. Permasalahan ‘perambahan’ (menduduki kawasan hutan) diduga memiliki penanganan yang berbeda bergantung pada ‘pelaku perambahan’

Dengan menggunakan teori Simon Fisher, Penulis menemukan bahwa terdapat beda perlakuan nyata yang ditunjukan Kementerian Kehutanan atas kasus yang diistilahkan sebagai ‘perambahan hutan’ tersebut. Meskipun produk hukum kehutanan secara tegas mengatur ikhwal penegakan hukum non diskriminatif terhadap pelaku pelanggaran, namun kasus ‘villa yang dianggap liar’ menunjukan bahwa figur memiliki peranan yang penting dalam pola konflik dan resolusi.

Berdasarkan metode kualitatif yang digunakan, dihasilkan beberapa kesimpulan yang menguatkan bahwa benang kusut pengelolaan hutan Indonesia tidak terlepas dari ketidakseriusan dan ketidaksiapan aparat dalam menangani persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan persepsi konservasi, batasan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi/lembaga (negara), klaim kepemilikan maupun akses terhadap sumber daya hutan. Belum lagi disparitas akibat otonomi daerah yang semakin menyuburkan egosektoral dan disharmoni Pemerintah Pusat dan Daerah maupun antar instansi Pemerintah. Ditemukan bahwa kelemahan mendasar terletak pada kemampuan komunikasi Pemerintah dalam mensosialisasikan itikad baik konservasi sebagai bagian penting yang menjadi tanggung jawab bersama dan memerlukan dukungan setiap individu masyarakat, khususnya di wilayah di maksud. Diseminasi pengetahuan dan etika lingkungan perlu diwacanakan dan diformulasikan dalam bentuk kesepahaman yang disepakati multistakeholder.

Kata Kunci: Hutan, Konservasi, Konflik, Villa, TNGHS.

Page 12: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

xii

ABSTRACT

The following thesis titled “Conflict Analysis in Forest Conservation Area with a Case Study on Gunung Halimun Salak National Park” is aimed at investigating further the management of state forest which is marked by unresolved problems, in particular conflict around the forest areas. The appointment of TNGHS as conservation area through the decree of Forestry Minister number 175/2003, in conventional conflict studies terms, has caused conflict escalation, vertically between the government (which is represented by the Ministry of Forestry) and local society. This research explores the root of conflict in TNGHS in general and the case of “villa liar” in the area of Gunung Salak Endah, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, which is widely known as LokaPurna (Lokasi Purnawirawan).

The research focuses on two types of society, namely the local society (those who live in local villages) and public figures. The goal is to comprehend the differences in conflict patterns and resolution efforts, applied by the Ministry of Forestry on the two different societies. It is argued that treatments toward “perambahan” (those who occupy forest areas) vary according to the types of occupiers.

Based on Simon Fisher’s theory the author finds a clear differences in the way the Ministry approaches and treats the so-called “perambahan hutan”. Even though the existing law on forestry strictly mentions a non-discriminative principle in law enforcement against offences on state forest areas, the case of “villa liar” demonstrates how the presence of public figures in this kind of conflict significantly affects conflict pattern and its type of resolution.

By using qualitative method, the author concludes that the complexity of forest management in Indonesia is largely due to the lack of concern by the related state apparatus who also seems not to be well-prepared in dealing with problems such as different perception on the meaning of conservation, the scope of authority and authority between state institutions, and ownership claim as well as access to forest resources. This is added further by problems such as disparity in authority caused by new law on regional autonomy which has in practical terms cultivated sector egoism and disharmony both between central and regional governments and between various related state agencies. This thesis finds that the basic shortcoming is in the ability of government to communicate and socialize the virtue of conservation, which should be better taken as shared responsibility and be supported by each and every one in the society around the area. Dissemination of knowledge and ethics on environment should be put into public discourse and reformulated into a shared understanding by multi-stakeholders.

Keywords: Forest, conservation, Conflict, Villa, TNGHS.

Page 13: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

BAB I PENDAHULUAN

Kajian konflik yang terjadi di kawasan hutan konservasi menjadi fokus Penulis 

dalam melakukan penelitian yang secara ringkas tersurat di bab Pendahuluan ini. Terdapat uraian latar belakang dan rumusan masalah, faedah yang diharapkan, tinjauan pustaka, kerangka teori, argumentasi penulis, cara penelitian, termasuk 

sistematika penulisan yang menggambarkan keseluruhan isi dari Tesis ini.   A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia, secara geopolitik dan geostrategis, memiliki posisi

tawar yang baik dengan anugrah hutan tropis terbesar ketiga di Dunia, setelah

Brazil dan Republik Kongo, yang tersebar dalam 13.000 pulau sepanjang

50.000 km yang membentang di garis khatulistiwa dari Timur ke Barat.

Ironisnya akibat ulah manusia dan alam, memasuki abad 21, kondisi

sumberdaya hutan semakin memburuk. Meskipun belum diperoleh angka

yang pasti, penelitian Handadhari (2009) menyebutkan bahwa deforestasi

pada empat tahun terakhir setidaknya diprediksi mencapai rata-rata tiga juta

hektar per tahun, dua kali lipat angka deforestasi tahunan rata-rata 1985-1997

yang mencapai 1,5-1,6 juta hektar. Hal ini mempengaruhi kebijakan

Pemerintah RI untuk berkompetisi memperkuat sistem pengelolaan hutan

lestari dalam menampik tudingan dan tekanan internasional yang

menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan

terbesar di dunia (menurut Guiness Book of World Records, 2008).

Penetapan Taman Nasional dianggap Pemerintah dalam hal ini

Kementerian Kehutanan sebagai salah satu solusi yang mendekati isu

konservasi menuju Hutan Lestari. Sejak penetapan pertama tahun 1980

Page 14: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

terhadap status Taman Nasional lima kawasan, yakni: TN Gunung Leuser;

TN Ujung Kulon, TN Baluran, TN Komodo, dan TN Gede Pangrango, telah

ditetapkan 41 Taman Nasional dengan total luas +15,049 juta Hektar di

seluruh Indonesia sampai tahun 2003. Hampir seluruh kawasan yang

ditetapkan sebagai Taman Nasional diawali dan masih menyisakan konflik

berkepanjangan, baik yang bersifat vertikal (rakyat versus pemerintah)

maupun yang bercorak horizontal (rakyat dengan rakyat). Kekhawatiran

Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) atas kerusakan kawasan

konservasi akibat ulah manusia, secara sepihak menyebabkan Masyarakat

Desa Hutan seringkali termarginalkan dan diharuskan migrasi, beberapa

disediakan Pemerintah melalui program relokasi. Warga yang sudah tinggal

turun temurun dan menggantungkan hidup dari sumber daya hutan tampak

bereaksi dengan melakukan yang diistilahkan Pemerintah sebagai ‘penjarahan

(kayu dan sumber daya hutan lain)’ atau ‘perambahan (menduduki kawasan

hutan untuk pertanian dan pemukiman)’ serta aksi lain yang terus

menimbulkan konflik yang belum berujung. Berdasarkan catatan WALHI

hingga tahun 2003 telah terjadi banyak pengusiran rakyat dari kawasan

konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Gunung Leuser (Aceh), TN

Komodo (NTT), TN Kerinci Seblat (Sumatera Tengah), TN Lore Lindu

(Palu-Sulteng), TN Kutai (Kaltim), TN Meru Betiri (Jatim), TN Rawa Aopa

Watomohai (Kendari-Sulteng) dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN

Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas

penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim

Page 15: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

sepihak sebagai zona inti Taman Nasional (WALHI, 2010). Ironisnya

perlakuan kekerasan, seperti kasus pengusiran, penembakan, serta

penangkapan nelayan dan ‘penjarah’ atau ‘perambah’ hutan di lokasi yang

ditetapkan sebagai kawasan konservasi dianggap sebagai wujud kewenangan

pemerintah yang bersifat legal.

Dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan RI, No.175/Kpts-II/2003,

tertanggal 10 Juni 2003, tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan

Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung

Salak seluas +113.357 Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten

menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) juga

menimbulkan konflik yang serupa. Dalam kasus ini konflik terjadi antara

pemerintah dan Masyarakat Desa Hutan serta antara pemerintah dan pemilik

villa. Di medio 1990-an, Konflik antara pemilik villa dan Masyarakat Desa

Hutan juga terjadi. Tapi uniknya konflik antara kedua pihak yang disebut

belakangan justru berakhir dengan kolaborasi keduanya dalam menghadapi

pemerintah. Konflik klasik antara Masyarakat Desa Hutan dan pemerintah

yang terjadi di TNGHS (kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor) seperti

halnya di beberapa lokasi Taman Nasional yang lain, muncul karena

Masyarakat Desa Hutan tidak mendapat ruang untuk tetap tinggal dan

mengakses sumber daya yang tersedia dalam wilayah konservasi. Sebagai

contoh, Masyarakat Adat di Kabupaten Sukabumi yang masuk dalam wilayah

penunjukan TNGHS, melalui wadah yang mereka sebut ‘Kesatuan Adat

Page 16: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

banten Kidul’ menuntut adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang

Perlindungan Hak Ulayat. Hak tersebut untuk memastikan tidak ada

perbedaan perhitungan terkait batas hutan yang dapat diolah dan dilindungi

antara kedua pihak, yakni Masyarakat Adat dan Kementerian Kehutanan.

Secara spesifik di Lokapurna (Lokasi Purnawirawan), Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor, kawasan Gunung Salak Endah seluas +256 Ha,

salah satu wilayah yang terkena perluasan TNGHS, terjadi konflik antara

pemerintah dan pemilik villa. Wilayah tersebut sebelumnya dikelola oleh

BUMN Perum Perhutani sebelum diserahterimakan ke Kementerian

Kehutanan tanggal 29 Januari 2009. Eskalasi konflik tampak di ruang publik

setelah Menteri Kehutanan di awal tahun 2010, memerintahkan

pembongkaran villa-villa yang berdiri di atas tanah wilayah Taman Nasional

sebagai implementasi SK Menteri Kehutanan RI No.175/2003 dalam rangka

konservasi. Villa-Villa tersebut berdiri di atas tanah (kawasan hutan) negara

yang dituduhkan Kementerian Kehutanan sebagai ‘Villa Liar’ karena

dianggap tidak memiliki izin dan telah melanggar produk hukum kehutanan,

yakni UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.5 tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Pemilik Villa diasumsikan

Pemerintah telah melakukan penyalahgunaan pemanfaatan lahan konservasi

kawasan hutan. Sebaliknya pemilik villa menganggap bahwa hak mereka atas

villa tersebut patut dipertimbangkan mengingat asal muasal perolehan

dilakukan melalui proses jual beli yang sah dan ditambahkan bahwa

keberadaan villa yang sebagian besar kini telah dikomersilkan tersebut

Page 17: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

diakomodir Pemerintah Daerah dalam menunjang sektor pariwisata. Konflik

ini menjadi menarik karena diketahui bahwa pemilik villa sebagian besar

berasal dari unsur public figure yang dikenal masyarakat luas sebagai pejabat

tinggi, politisi, atau purnawirawan TNI, pengusaha, bahkan pemuka agama

dan artis ternama juga menjadi bagian dari cerita perambahan di kawasan

hutan yang telah dipublikasikan sebagai kawasan wisata nasional alternatif

setelah Puncak Bogor sebagaimana Surat Keputusan Bupati Bogor

No.550.1/057-DIP, tertanggal 25 Februari 19891.

Kasus serupa kepemilikan Villa liar di lokasi lain yang dekat dengan

isu konservasi juga pernah terjadi di kawasan Puncak Bogor, daerah yang

dikenal sebagai jalur hijau-daerah tangkapan air, dalam beberapa hal tampak

ada perilaku konflik dan pola pendekatan yang sama dengan kejadian villa

liar di Lokapurna kawasan Gunung Salak Endah TNGHS, yang akan

diuraikan lebih lanjut oleh penulis pada Bab selanjutnya.

Penulis perlu menegaskan bahwa konflik di wilayah konservasi ini

bukan baru terjadi pada saat SK Menhut dikeluarkan. Konflik yang

menyangkut hak milik atas tanah bahkan sudah ada sejak jaman kolonial.

Dalam hal ini keputusan perluasan Taman Nasional penulis argumentasikan

menimbulkan apa yang dikenal dalam studi konflik dengan eskalasi konflik.

Implementasi SK Menhut tentang perluasan TNGHS dalam wacana

konservasi merupakan studi kasus yang akan diteliti penulis terkait implikasi

                                                            1 http://www.vibizdaily.com/berita _polhukam/DPRD_KabupatenBogor_Merekomendasikan_ 

Penghentian_Penyegelan_dan _Pembongkaran/15April 2010 diakses 5 Februari 2011. 

Page 18: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

kebijakan tersebut terhadap eskalasi konflik sampai pada kemungkinan upaya

resolusi berbasis konservasi.

Diskursus umum atas penguasaan Hutan Negara lebih sering

bercerita mengenai konflik vertikal antara rakyat dan pemerintah. Studi kasus

TNGHS memungkinkan sisi lain konflik di atas Hutan Negara yang

melibatkan aktor-aktor lingkup Negara itu sendiri. Para pemilik Villa yang

menguasai rata-rata 9-10 Ha/orang sebagian besar berasal dari unsur Pejabat

tinggi, mantan Pejabat, Politisi aktif, dan Artis ternama tampaknya

memerlukan Resolusi Konflik yang berbeda yang perlu dipikirkan

Kementerian Kehutanan dibandingkan dengan Resolusi terhadap konflik

yang timbul dengan Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang juga menjadi

bagian klasik dari aktor konflik. Pendekatan melalui Isu konservasi terhadap

kejadian konflik sebagaimana teori Fisher dkk (2000) memungkinkan bahwa

alternatif resolusi justru bisa berasal dari isu konflik itu sendiri dengan

mendorong Isu Konservasi ke arah yang produktif menuju penyelesaian

masalah yang lebih arif dan bisa diterima atau dipahami semua pihak,

khususnya terhadap pihak-pihak yang terkait langsung.

Kajian terhadap permasalahan implementasi kebijakan TNGHS ini

dianggap penting karena setidaknya dalam fungsi ekologi sebagai sumber

tangkapan air (catchment area) TNGHS merupakan Hulu dari 117 Sungai

yang sebagian besar mengalir ke sungai utama menuju JAKARTA (Ibukota

Negara) dan sekitarnya. Konflik yang dibiarkan akan memperparah krisis

ekologi yang berdampak langsung maupun tidak pada masyarakat di Pulau

Page 19: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

Jawa khususnya (70% penduduk Nasional). Masyarakat dan multistakeholder

yang terkena dampak langsung kebijakan perluasan Taman Nasional tersebut

juga sampai hari ini masih terus menunggu kepastian nasib dan

penghidupannya yang memerlukan penanganan segera, bukan saja melalui

pertimbangan sosial budaya tetapi secara khusus melalui pendekatan

ekosistem lestari berbasis local spesific.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, Penulis merumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana konflik dapat terjadi di kawasan hutan konservasi Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan siapa saja aktor-aktor

yang terlibat?

2. Bagaimana intervensi aktor dan isu konservasi dapat menjadi alat Resolusi

Konflik Sektor Kehutanan?

C. Faedah yang Diharapkan

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini,

antara lain adalah:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan (theoritical) dan pembangunan pada

Page 20: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

umumnya (practical), khususnya ilmu konflik dan Resolusi Konflik,

terutama dalam bidang Lingkungan dan atau Kehutanan.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dan atau model dalam

penyelenggaraan pengelolaan kehutanan Indonesia yang minim konflik

dan tepat resolusi serta berbasis ekosistem lestari local spesific.

3. Mendorong upaya Konservasi sebagai itikad baik yang memerlukan

kesepahaman bersama dan atau kesepakatan multistakeholder, termasuk

masyarakat di dalam maupun di luar kawasan (sebagai bagian dari

ekosistem) melalui proses dan implementasi yang arif dan berkeadilan.

4. Merekomendasikan berjalannya sistem pengelolaan ‘berwawasan

lingkungan’ (titik berat Isu Konservasi Hutan) secara komprehensif

dengan melibatkan multistakeholder untuk tujuan Ekosistem Lestari dan

Berdaya Guna

D. Tinjauan Pustaka

Theodore Roosevelt (1902) merupakan orang Amerika Pertama yang

mengemukakan Konsep Konservasi, kata Conservation sendiri berasal dari

bahasa Latin: con (together) yang berarti bersama dan servare (keep/save)

yang berarti menjaga. Pemaknaan Konservasi Umum diartikan sebagai upaya

memelihara (sumber daya alam) apa yang kita punya (keep or save what you

have) secara bijaksana (wise use)2.

                                                            

2 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah‐pengertian‐dan‐definisi.html.  

Page 21: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

Internasional Union for Conservation of Nature and Natural

Resources (IUCN) pada tahun 1968 mendefinisikan Konservasi sebagai

manajemen udara, air, tanah, mineral untuk organisme hidup termasuk

manusia sehingga dapat dicapai peningkatan kualitas kehidupan manusia,

yang didalamnya termasuk kegiatan manajemen berupa survey, penelitian,

administrasi, pengawetan (preservasi), pendidikan, pemanfaatan dan latihan3.

Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam (SDA), Taman Nasional termasuk pada kategori

Kawasan Pelestarian Alam yang dikelola melalui pendekatan ekosistem.

Pasal 30 menegaskan bahwa Kawasan Pelestarian Alam mempunyai fungsi

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman hayati

spesies tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya.

Merujuk batasan deskripsi oleh Internasional Union for

Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 1969)4, Taman

Nasional merupakan: (1) Kawasan yang cukup luas bagi pembangunan satu

atau lebih ekosistem dan jauh dari gangguan manusia, dengan berbagai jenis

satwa, flora dll sebagai habitat yang memiliki nilai ilmiah dan pendidikan; (2)

Kewenangan Pengelolaan pada Pemerintah yang bertugas melestarikan

ekosistem; (3) Dapat dikunjungi dalam kapasitas pendidikan, kajian ilmiah,

dan ekowisata. Konsep Taman Nasional (National Park) ala barat mulai

                                                            3 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah‐pengertian‐dan‐definisi.html. 4 Idem 

Page 22: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

10 

berkembang sejak Yellow Stone di tahun 1872 ditetapkan sebagai Taman

Nasional di Amerika.

Indonesia mulai menerapkan Konsep Taman Nasional sejak tahun

1980, melalui penetapan Menteri Pertanian terhadap Lima Kawasan Suaka

Alam sebagai Taman Nasional, yaitu: Taman Nasional Gunung Leuser, TN

Ujung Kulon, TN Komodo, TN Baluran, dan TN Gunung Gede Pangrangro.

Penetapan Taman Nasional itu menimbulkan konflik baik Horizontal maupun

Vertikal yang sering berujung pada kekerasan. Disebutkan oleh Gray (1991),

seringkali pemerintah menganggap bahwa jalan keluar dari kehancuran hutan

tropis adalah dengan penetapan kawasan-kawasan yang dilindungi dimana

setiap orang dilarang masuk sebagai upaya melindungi spesies yang terancam

punah. Perdebatan mengenai penerapan konsep Taman Nasional versi

Indonesia ini masih ambivalen dengan produk hukum yang sangat ala Barat

dan keinginan untuk adaptasi lokal. Kepentingan peninjauan local specific

menjadi sangat penting mengingat kenyataan Taman Nasional di Indonesia

sangat khas ‘yang berbeda dengan Negara lain’ dengan didalamnya telah

dihuni dan berpenghidupan masyarakat dalam jumlah yang cukup besar dan

membentuk komunitas tersendiri yang tidak bisa atau tidak sewajarnya

terpinggirkan oleh kebijakan.

Berkaitan dengan kasus yang akan diteliti Penulis, terdapat beberapa

tulisan yang membahas konflik di kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS). Penelitian yang dilakukan oleh Galudra (2006)

diantaranya menyimpulkan bahwa berdasarkan catatan sejarah, permasalahan

Page 23: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

11 

sengketa tanah di area Taman Nasional disebabkan oleh ketidakpastian

hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat di

masa kolonial Hindia Belanda. Sengketa tanah ini berawal dari pengakuan

tanah-tanah Belanda. Tiadanya penyelesaian sengketa tanah tersebut berlanjut

hingga kini. Pemerintah saat ini perlu menyelesaikan sengketa tanah ini agar

pengelolaan tanah-tanah huma Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tidak

terganggu dengan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah-tanah

huma mereka. Salah satu kelemahan dari penelitian Galudra ini adalah tidak

memperhatikan faktor penyebab konflik yang bisa ditemukan dalam kondisi

politik dan ekonomi Indonesia kontemporer. Penelitian tersebut, misalnya,

tidak melihat arti penting kebijakan konservasi yang dibuat pemerintah

(dalam hal ini SK Menhut No.175/2003) sebagai salah satu faktor yang

berkaitan dengan konflik. Kebijakan konservasi yang sewajarnya dikeluarkan

dengan itikad baik untuk tujuan pelestarian, justru menimbulkan eskalasi

konflik, sesuatu yang akan diteliti Penulis lebih jauh.

Sementara penelitian lanjutan di Taman Nasional Gunung Halimun

yang dilakukan Pratiwi (2008), menunjukkan ada empat penyebab konflik di

kawasan TNGHS tersebut, mulai dari perbedaan sistem nilai yang

berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga

konflik ketidakpastian akses. Dari penelitian tersebut tampak bahwa konflik

di TNGHS bersifat terbuka dan berfokus pada persoalan hak dan akses.

Berbagai konflik di kawasan TNGHS membuktikan bahwa institusi yang ada

tidak berhasil menyelesaikan konflik. Diindikasikan karena perbedaan

Page 24: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

12 

persepsi kolektif yang menyebabkan para pihak tidak bersinergi. Hal tersebut

membuktikan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan

menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala

pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan,

keterbatasan sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi

juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi. Dibandingkan studi

yang dilakukan oleh Galudra, Pratiwi memperhatikan beberapa hal yang

berkaitan dengan kondisi Indonesia masa kini. Pratiwi juga berusaha melihat

kaitan konflik tersebut dengan keberadaan intitusi yang terkait. Sayangnya,

tidak seperti yang diinginkan Penulis, Pratiwi tidak secara spesifik melihat

arti penting keputusan pemerintah dalam hal perluasan TNGHS.

Robert Siburian (2006) memberikan penjelasan lain. Berdasarkan

kajiannya persoalan konflik yang muncul di seluruh Taman Nasional

berkaitan dengan kebijakan sentralistik sektor kehutanan yang tidak sejalan

dengan semangat Otonomi Daerah melalui Undang-Undang No.32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No.33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Ketidakselarasan ini

menyuburkan tarik menarik kepentingan dan egosektoral antara Kementerian

Kehutanan (sebagai Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Daerah Tingkat I

(Provinsi) maupun Tingkat II (Kota/Kabupaten). Siburian secara spesifik

menekankan arti penting keputusan pemerintah dalam bentuk SK terhadap

konflik di wilayah konservasi. Persoalannya, Siburian lebih tertarik melihat

Page 25: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

13 

konflik kebijakan ketimbang melihat kaitan antar kebijakan dalam bentuk SK

terhadap konflik yang timbul antara pemerintah dan masyarakat setempat.

Singkatnya, Penulis lebih tertarik untuk melihat isu konservasi

sebagai faktor penting dibalik Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh

Kementerian Kehutanan, dalam hal ini SK 175 tahun 2003 tentang

penunjukan kawasan konservasi TNGHS, yang tampaknya memiliki kaitan

dengan eskalasi konflik di wilayah tersebut.

E. Kerangka Teori

Menurut Johan Galtung (1996), konflik adalah Hubungan antara dua

pihak atau lebih (Individu atau kelompok) yang memiliki atau ‘yang merasa’

memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan manifestasi

kekerasan disebutkan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur

atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial atau

LINGKUNGAN dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya

secara penuh.

Konflik salah satunya disebabkan oleh kelangkaan dan terbatasnya

Sumber Daya Alam, yang bertalian erat dengan kebutuhan manusia terhadap

uang, sumber daya seperti TANAH dan minyak, ataupun pekerjaan (Wilmot

dan Hocker, 2001). Meskipun demikian, Fisher dkk (2000) menyatakan

optimisme bahwa Konflik itu sendiri justru bisa menjadi bagian dari solusi

suatu permasalahan, bukan dalam kapasitas menekan konflik tetapi lebih

kepada meresolusi konflik agar produktif. Resolusi konflik dimaksudkan

Page 26: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

14 

sebagai upaya menangani penyebab konflik dan berusaha membangun

hubungan baru yang bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang

bermusuhan atau tidak sejalan.

Untuk mengetahui posisi konflik, penting bagi Penulis untuk

menggunakan siklus konflik Kriesberg (1998), yakni: Sumber konflik,

Manifestasi, Eskalasi, Deeskalasi, Terminasi dan Hasil. Sumber konflik

berasal dari adanya perbedaan kepentingan maupun konteks sosial. Upaya

salah satu atau kedua pihak untuk memastikan terwujudnya kepentingan

masing-masing melalui bentuk pemaksaan, intimidasi dll yang memunculkan

konflik di permukaan merupakan wujud Manifestasi konflik. Sedangkan

Eskalasi Konflik yang disebut Riza Noer Arfani (2011) sebagai bagian

terpenting dari Manajemen Konflik merupakan bentuk nyata perjuangan atau

perlawanan dalam mencapai tujuan. Pada tahap eskalasi ini dimungkinkan

adanya tindakan kekerasan (violence conflict) ketika interaksi keduanya

semakin menguat negatif. Seringkali pada tahap ini masing-masing pihak

berposisi zero-sum gain (salah satu harus menang). Dalam jangka waktu

bervariasi pihak yang berkonflik mengalami Deeskalasi (penurunan

ketegangan konflik) yang bisa ditimbulkan oleh faktor internal maupun

intervensi eksternal. Selanjutnya teori Kriesberg tersebut juga menjelaskan

tahap Terminasi sebagai proses peralihan yang rawan intervensi pihak-pihak

yang berkepentingan menuju Hasil Akhir yang idealnya memuaskan kedua

pihak (Win-Win) atau setidaknya bisa disepakati keduanya.

Page 27: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

15 

Pemetaan konflik (Conflict mapping) yang dijabarkan cukup detil

oleh Simon Fisher dkk (2000) dalam teorinya ‘mengelola konflik,’ juga

sangat membantu Penulis untuk dapat menganalisa konflik sebagai suatu

proses praktis dalam mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari

berbagai sudut pandang. Pemetaan konflik yang dimaksudkan Fisher dkk

menunjukkan peta dasar konflik berupa: Aktor utama dan pihak lain yang

terlibat dalam konflik, hubungan antar pihak yang terlibat, isu-isu pokok yang

berada di antara para pihak, termasuk memposisikan penulis dalam analisa

konflik. Lebih lanjut disebutkan oleh Fisher dkk bahwa penting untuk

menganalisa konflik lebih mendalam agar lebih memahami latar belakang,

sejarah dan perkembangan terbaru; dapat mengidentifikasi semua kelompok

yang terlibat bukan hanya berfokus pada kelompok yang secara kasat mata

menonjol; mampu memahami pandangan semua kelompok dengan

mengetahui hubungan antara pihak-pihak terkait; mengidentifikasi faktor-

faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik; termasuk yang terpenting

bahwa analisa konflik dapat mengajarkan kita untuk berkaca dari kegagalan

dan selanjutnya mampu meraih kesuksesan yang diharapkan.

Ahli Resolusi Konflik lain, John Paul Lederach (2001) lebih

menekankan pentingnya bagi kita untuk mengetahui isu dan aktor-aktor yang

terlibat dalam situasi konflik. Identifikasi secara tepat termasuk didalamnya

kepentingan masing-masing aktor akan mengarahkan kita untuk memahami

akar permasalahan menuju tranformasi konflik yang diharapkan.

Page 28: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

16 

Khususnya dalam kasus Masyarakat Desa Hutan (di dalam kawasan)

dan pemilik Villa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang terimbas

implementasi kebijakan SK No. 175/2003, Kombinasi teori James C.Scott

(1976) dan Samuel L.Popkins (1981), bisa membantu menjelaskan terkait

kemungkinan resolusi yang menjembatani harmonisasi sosial serta orientasi

ekonomi politik dan akumulasi modal menjadi arahan baru dalam upaya

penyelesaian konflik. Gambaran James C.Scott dalam bukunya yang sangat

fenomenal berjudul ‘The Moral Economy of the Peasant’ menunjukkan pola-

pola individual Masyarakat Desa Hutan terhadap kecenderungan untuk

resisten terhadap bentuk perubahan yang dianggap mengganggu

kelangsungan hidup dan penghidupannya. Dengan memanfaatkan konsep ini

diharapkan proses resolusi memperhatikan aspek moral Masyarakat Desa

Hutan setempat. Dalam bagian yang berbeda, ada bagian masyarakat yang

‘dianggap lebih rasional’ dengan kecenderungan yang lebih adaptif terhadap

perubahan seperti dalam teori Samuel L.Popkins ‘The Rational Peasant: The

Political Economy of Rural Society in Vietnam’. Masyarakat yang disebut

‘rasional’ ini memungkinkan diberikan kesempatan atas peluang kerja atau

sektor ekonomi yang baru.

Dalam penelitian ini Penulis juga merasa penting untuk mengacu

pada beberapa teori dan konseptualisasi yang dapat membantu melihat

Konservasi sebagai alat untuk mengupayakan resolusi konflik. Penjelasan

lebih lanjut terkait konflik sosial politik melalui pemaknaan aktor-aktor yang

terlibat konflik, secara khusus perlu memperhatikan faktor komunikasi

Page 29: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

17 

penggunaan bahasa dalam struktur hubungan sosial. Analisis ini yang

kemudian menciptakan segitiga negosiasi kepemimpinan yang banyak

dipakai dalam upaya resolusi konflik (Lederach, 1996).

Disebutkan pula oleh Myers (1982) bahwa seringkali konflik

berpusat pada beberapa penyebab utama, diantaranya: adanya perbedaan

tujuan yang ingin dicapai, alokasi atau distribusi sumber daya, pengambilan

keputusan maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Meskipun konflik tidak

semua berakar dari komunikasi yang buruk tetapi proses komunikasi diyakini

sebagai upaya untuk mempertemukan perbedaan kelompok atau individu

yang bertikai. Komunikasi dalam posisi ambigu dipandang dapat menjadi

penyebab konflik akibat buruk/gagalnya proses penyampaian informasi

namun di satu sisi komunikasi berperan penting dalam mengupayakan

resolusi atau mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Penulis menganggap

isu konservasi menjadi bagian dari materi komunikasi yang akan dibahas

lebih lanjut dalam kajian penelitian.

F. Argumen Utama

Ada keterkaitan antara kebijakan Konservasi dengan terjadinya

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Keterkaitan tersebut

diindikasikan dengan adanya konflik laten sampai konflik massal terbuka

yang terjadi antara warga setempat dan Kementerian Kehutanan. Tapi dalam

kaitan tersebut, Isu Konservasi juga dapat menjadi salah satu alat Resolusi

Konflik sektor kehutanan khususnya, jika terdapat kesepahaman antara

Page 30: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

18 

pemerintah dan masyarakat tentang arti penting konservasi dengan penetapan

luasan yang mendasarkan pada kajian ilmiah berbasis local specific dengan

memperhitungkan aspek sosial budaya berbasis ekosistem lestari.

G. Cara Penelitian

1. Bahan atau Materi Penelitian

a. Data Primer

Berupa Peta Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS), termasuk posisi Masyarakat Desa Hutan, potensi TNGHS,

zonasi pemanfaatan, dan sebaran villa liar. Responden merupakan

Aktor/ para pihak yang terkait Isu Konservasi dan Villa liar di

kawasan TNGHS, meliputi: pihak Kementerian Kehutanan,

Masyarakat Desa Hutan (MDH) dan Pemilik Villa.

b. Data Sekunder

1) Data statistik Departemen Kehutanan RI.

2) Data survey kampung dan data pendukung lain Balai Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).

3) Arsip Kronologi Proyek Pertanian Veteran dan Demobilisasi

Republik Indonesia di Lokapurna, kawasan Gunung Salak Endah,

Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (tahun 1954-2010).

4) Surat Menyurat Kementerian Kehutanan RI dan Kuasa Hukum

Masyarakat Lokapurna (Lokasi Purnawirawan).

Page 31: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

19 

c. Bahan Tersier

Berupa Produk Hukum Kehutanan dan terkait, seperti:

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat

Keputusan Menteri dll; Kamus; Ensiklopedia; Berita/Kliping Media

Massa, website dan sebagainya.

2. Alat yang Dipakai

Berupa data yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun

wawancara langsung (observasi) di lapangan.

3. Jalan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: tahap

persiapan, tahap penelitian dan tahap penyelesaian.

a. Tahap Persiapan

Dimulai dengan pengumpulan bahan atau data terkait dengan

permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini. Kemudian

dilanjutkan dengan penyusunan Usulan Penelitian melalui

konsultasi/penyempurnaan di bawah bimbingan Dosen Pembimbing.

Setelah memperoleh persetujuan dilanjutkan dengan penyusunan

instrument penelitian. Tata waktu ditetapkan bersama dengan Dosen

Pembimbing untuk rencana penyelesaian tiap tahapan yang terukur.

Page 32: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

20 

b. Tahap Penelitian

1) Penelitian Kepustakaan

Dilakukan dengan pengumpulan dan pengkajian data sekunder

dan tersier yang ada kaitannya dengan materi penelitian.

2) Penelitian Lapangan

Dilakukan dengan mengumpulkan data primer melalui

observasi/wawancara ke lapangan guna mengumpulkan data-data

yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan. Data yang

diperoleh adalah tentang segala sesuatu yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang diajukan.

c. Tahap Penyelesaian

Dilakukan dengan menganalisis data-data yang berhasil

dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun penelitian

kepustakaan, dari sumber data primer, sekunder maupun tersier.

Kemudian dilanjutkan dengan Penyusunan dan Penyempurnaan

melalui bimbingan Dosen Pembimbing serta diakhiri dengan laporan

hasil penelitian (Tesis).

4. Analisis

Keseluruhan data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan

kepustakaan, baik data primer, sekunder, maupun tersier akan dianalisis

dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengelompokkan

(mengkategorisasi) dan menyeleksi data primer yang diperoleh dari

Page 33: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

21 

penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Kemudian

dihubungkan dengan data sekunder dan tersier yang diperoleh dari

penelitian kepustakaan, sehingga akan diperoleh jawaban atas

permasalahan yang menjadi topik utama dalam penelitian melalui cara

Deskriptif Analitik.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian berjudul ‘Kajian Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

dengan studi kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)’ ini

disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

1. BAB I Pendahuluan

Terdiri atas: latar belakang masalah, rumusan masalah, faedah

yang diharapkan, tinjauan pustaka, kerangka teori, argumen utama, cara

penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB II Konteks Sosio-Geografi TNGHS

Menjabarkan kondisi TNGHS secara umum dan secara khusus

lokasi villa liar di kawasan Gunung Salak Endah dari aspek sosio-geografi

yang dilengkapi dengan peta dan gambar.

3. BAB III Konflik di TNGHS

Pada Bab ini, penulis menggambarkan akar konflik secara umum

yang terjadi di TNGHS, mulai dari sejarah negaraisasi, kontroversi

penetapan luas kawasan hutan 30%, kenyataan adanya disharmoni

Page 34: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

22 

kebijakan dan tata ruang, keterkaitan BUMN Perum Perhutani dengan

perambahan, dan secara khusus terkait persoalan atas penunjukan TNGHS

sebagai kawasan konservasi serta konflik vertikal di kawasan TNGHS.

Lebih lanjut Bab ini akan menjadi dasar analisa perbedaan perilaku dalam

hal pendekatan dan resolusi konflik dari aktor utama Kementerian

Kehutanan terhadap aktor masyarakat biasa dan public figure.

4. BAB IV Berkaca dari Kasus Villa ‘Liar’

Konflik umum yang terjadi di TNGHS akan dibandingkan dengan

kasus konflik villa yang dianggap liar dengan menguraikan kronologi

kejadian dan tahapan konflik dengan menggunakan siklus kriesberg.

Pemetaan konflik yang menjelaskan siapa saja aktor-aktor yang terlibat

dalam konflik serta isu yang menyertai masing-masing pihak, termasuk

celah intervensi yang memungkinkan aktor dan isu menuju upaya resolusi

terdapat pula dalam Bab ini.

5. BAB V Kesimpulan dan Saran

Berdasar seluruh kajian penelitian dan teori yang digunakan, bab

ini menjadi penutup yang menghasilkan beberapa kesimpulan dan saran

yang diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan pengelolaan

kehutanan Indonesia yang minim konflik dan tepat resolusi.

Page 35: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

23 

BAB II KONTEKS SOSIO-GEOGRAFI

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

Pada bagian ini Penulis mendeskripsikan kondisi sosial demografi, posisi serta potensi geografi dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) secara 

umum5 dan khususnya Kawasan Gunung Salak Endah, lokasi villa yang  dianggap liar berada untuk mengetahui kemungkinan faktor yang mendorong atau 

memperkuat kejadian konflik di lahan konservasi hutan.  

A. TNGHS secara Umum

1. Sejarah Penetapan TNGHS

Konsep Hutan Negara di Indonesia merupakan warisan (dimulai

sejak) masa kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu yang dikenal

sekarang dengan hutan negara adalah kawasan hutan yang ditetapkan

menjadi kewenangan pemerintah (Hindia Belanda), salah satunya di

wilayah Gunung Halimun dan Gunung Salak berdasarkan Goberneur

Besluit (GB) Nomor 26 tertanggal 7 Juli 1927 dan Nomor 4 tertanggal 26

April 1927. Kewenangan atas Hutan Negara dan penetapan batas kawasan

hutan yang dikuasai oleh Negara (domeinverklaring) kemudian diadopsi

Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan.

Melalui keputusan Menteri Pertanian RI No.92/Um/1954

tertanggal 31 Agustus 1954, telah ditetapkan Kawasan Hutan Negara atas

Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak, yang terdiri

atas Gunung Halimun, Gunung Kendeng Kulon, Gunung Sanggabuana,

                                                            5 Sebagian besar Data dan Peta diperoleh dari Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) Kementerian Kehutanan tahun 2011. 

Page 36: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

24 

Gunung Nanggung, Gunung Jasinga I dan Gunung Ciampea, yang

terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Banten, Provinsi Jawa Barat.

Selanjutnya Menteri Pertanian RI melalui Keputusan

No.40/Kpts/Um/3/1979 tertanggal 11 Januari 1979, menunjuk Kelompok

Gunung Halimun seluas ± 40.000 ha sebagai Hutan Suaka Alam dengan

fungsi Cagar Alam (CA Gunung Halimun). Alasan penunjukan merujuk

pada pertimbangan kuantitas konservasi atas keanekaragaman hayati,

berupa Flora dan Fauna, seperti: Rasamala (Altingia excelsa), Puspa

(Schima wallichii), Jamuju (Dacrycarpus imbricartus), Kiputri

(Podocarpus neriifolius), berbagai jenis Anggrek dll, termasuk pula

kekayaan satwa Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata),

Trenggiling (Manis javanica), Macan Tutul (Panthera pardus melas) dll.

Keputusan Menteri Kehutanan No.282/Kpts-II/1992 tertanggal

28 Februari 1992, mengubah fungsi Cagar Alam Gunung Halimun seluas

±40.000 ha menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Baru

pada tanggal 23 Maret 1997, secara resmi TNGH ditetapkan sebagai salah

satu Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan dibawah kendali

Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan

nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun yang dikepalai oleh

seorang Kepala Balai.

Lima tahun berselang, melalui Surat Keputusan Menteri

Kehutanan RI No.175/Kpts-II/2003 tertanggal 10 Juni 2003, lahir

kebijakan untuk memperluas ekosistem Taman Nasional Gunung

Page 37: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

25 

Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Perluasan Kawasan Konservasi Alam dengan fungsi Taman Nasional dari

semula +40.000 Ha menjadi +113.357 Ha, meliputi kawasan TNGH

ditambah dengan Kawasan Hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan

sekitarnya yang semula dalam kewenangan pengelolaan BUMN

Kehutanan Perum Perhutani. Serah terima pengelolaan Hutan Perhutani

yang telah diubah atau dimasukkan dalam kawasan konservasi ke

Departemen Kehutanan secara legal formal baru dilakukan pada tanggal

29 Januari 2009. Penambahan areal TN seluas 113.357 Ha dari Hutan

Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung

(HL) yang sebelumnya dikelola Perum Perhutani secara administrasi telah

diserahterimakan dan tertuang dalam Berita Acara No.06/SJ/Dir/2009

oleh Dirut Perum Perhutani kepada Dirjen PHKA Dephut.

Gambar 2.1 Peta TNGHS Sebelum dan Sesudah Perluasan

Page 38: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

26 

Hal menarik dari penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak ini (seperti halnya penunjukan Taman Nasional atau Hutan Negara

secara umum di seluruh Indonesia) tidak terlepas dari persoalan sosial

dengan kenyataan bahwa di dalam kawasan terdapat masyarakat yang

tinggal dan berpenghidupan dari hutan secara turun temurun, baik itu

masyarakat adat maupun masyarakat non adat (masyarakat lokal maupun

pendatang), yang sering kali terpinggirkan atau terlupakan dari kebijakan

konservasi khususnya. Keinginan Negara yang tampak ingin menjadikan

kawasan hutan Negara sebagai kawasan steril dari manusia menjadi

sumber konflik yang akan terus menerus terjadi apabila tidak ada

keinginan kedua pihak untuk mengedepankan kepentingan yang lebih

besar. Secara khusus penulis akan membahas lebih detil permasalahan

masyarakat di dalam kawasan konservasi ini pada bab III mengenai

Konflik di TNGHS.

2. Letak dan Kondisi Geografi

Secara geografis kawasan TNGHS terletak pada koordinat 106º

12’ 58” BT – 106º 45’ 50” BT dan 6º 32’ 14” LS – 6º 55’ 12” LS.

TNGHS merupakan salah satu rangkaian Gunung Berapi bagian selatan

yang menjadi bagian dari sabuk gunung berapi yang memanjang dari

Pegunungan Bukit Barisan Selatan di Sumatera hingga Gunung Honje

Ujung Kulon dan sangat dipengaruhi oleh kondisi Samudera Hindia.

Berdasarkan sejarah pembentukannya, permukaan pegunungan terdorong

ke atas pada periode Miocene dan Pleostean, sekitar 10-20 juta tahun

Page 39: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

ya

ya

Su

m

R

tu

fo

cu

ya

gu

m

de

ang lalu. Ge

ang runtuh

unda yang

menjadi dua

entetan gera

urun di seb

ormasi tapa

uaca menge

ang luas. S

unung bera

meletus pada

engan nama

erakan ini k

berupa dat

memisahka

a pulau bes

akan tekton

belah selat

al kuda. M

erosi permu

Sedangkan k

api strato t

a tahun 193

a Kawah Ra

Gamba

kemudian m

taran rendah

an Pulau S

sar ini terj

nik ini mem

tan mengh

elalui perja

ukaan bum

kawasan pa

type A, ya

38, dengan

atu.

ar 2.2 Peta P

membentuk

h, yang saa

umatera da

jadi sekitar

mbentuk dind

hadap pegu

alanan seja

i sehingga

ada bagian

ang menuru

kawah yan

Posisi TNG

wilayah B

at ini diken

an Pulau Ja

r 10.000 ta

ding lava d

unungan ya

arah yang p

membentu

Gunung S

ut catatan

ng masih ak

GHS

ayah dan b

nal dengan

awa. Terba

ahun yang

dan wilayah

ang memb

panjang, ko

uk bentang

Salak merup

terakhir p

ktif yang di

agian

Selat

ginya

lalu.

yang

entuk

ondisi

alam

pakan

ernah

ikenal

27 

Page 40: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

28 

Secara administratif TNGHS saat ini berada dalam dua wilayah

provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor dan Sukabumi) dan

Provinsi Banten (Kabupaten Lebak). Kawasan ini terdiri atas 9 kecamatan

di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 9

kecamatan di Kabupaten Lebak dengan total Desa sebanyak 108 Desa

yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam atau berbatasan

langsung dengan kawasan TNGHS. Sebelah barat laut TNGHS

berbatasan dengan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan sebelah Timur

berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang secara

administratif terpisahkan oleh sungai Cicurug dan lembah Cisadane.

TNGHS merupakan kawasan hutan hujan pegunungan (sub

montane) yang tersisa dan terluas di Provinsi Jawa Barat dan Banten

dengan topografi curam dan sangat curam, konfigurasi lembah yang

sempit, dengan sebaran ketinggian antara 500 – 2211 m dpl (Tipe

ekosistem collin, sub montana dan Montana), rata-rata kemiringan 45%,

curah hujan rata-rata 4000-6000 mm (kategori sangat tinggi), kelembaban

5-6%, temperatur 200-300C, dengan tipe iklim A yang selalu basah. Angin

muson yang berubah arah berdasarkan musim seringkali menjadi faktor

penyebab kerusakan hutan atau tumbangnya pohon-pohon, terutama

ketika angin datang dari barat daya dengan kecepatan sangat tinggi.

Komplek pegunungan TNGHS berdasar posisi letak terdiri atas,

bagian Barat, yaitu: Gunung Halimun Utara (1.929 m dpl), Gunung

Sanggabuana (1.920 m dpl), Gunung Botol (1.850 m dpl), Gunung

Page 41: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

29 

Pameungpeuk (1.455 m dpl), Gunung Endut Barat (1.297 m dpl), Gunung

Kencana (1.831 m dpl) dan Gunung Ciawitali (1.530 m dpl). Di sebelah

Timur Laut terdapat Gunung Kendeng Utara (1.575 m dpl) dan di bagian

Tenggara terdapat Gunung Halimun Selatan (1.758 m dpl), Gunung

Kendeng Selatan (1.764 m dpl), Gunung Panenjoan (1.350 m dpl),

Gunung Endut Timur (1.474 m dpl), Gunung Salak 1 (2.211 m dpl) dan

Gunung Salak 2 (2.180 m dpl). Diketahui bahwa puncak gunung tertinggi

di kawasan TNGHS adalah Gunung Salak 1 dengan ketinggian mencapai

2.211 meter di atas permukaan laut.

Gambar 2.3 Peta Sebaran Gunung di TNGHS

Page 42: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

30 

Terbentuknya kubah kawah pertama telah menghasilkan

retakan-retakan tegangan yang mengangkat Bijih Emas dan Perak dalam

jumlah yang besar di kawasan TNGHS, khususnya di daerah sekitar DAS

Ciburial dan Cihara. Ini menyebabkan sampai hari ini banyak

penambang-penambang liar yang beraktifitas di sekitar DAS tersebut.

Sebagian besar wilayah TNGHS sangat bagus untuk aktifitas

pertanian, dengan struktur tanah andosol dan latosol mampu

menghasilkan kesuburan kimiawi yang minim sampai cukup dengan sifat

fisika yang relatif cukup bagus untuk pertumbuhan tanaman. Tekstur

tanah umumnya didominasi partikel seukuran debu yang mudah tercuci

dengan sifat tanah yang menunjukkan sifat vulkanik tua. Kondisi tersebut

menjadikan sebagian besar kawasan TNGHS sebagai daerah yang subur.

Dalam fungsinya sebagai daerah tangkapan air, secara umum

kawasan TNGHS memiliki struktur tanah dan batuan dengan porositas

dan permeabilitas yang optimal. Dalam fungsi hidrologis, banyak sungai

berasal dari kawasan ini yang bermuara ke Laut Jawa sebelah utara

maupun ke Lautan Hindia di sebelah selatan. Air sungai tersebut mengairi

lahan-lahan pertanian di sekitar TNGHS. Sungai-sungai di sekitar

TNGHS selalu berair sepanjang musim. Terdapat lebih dari 117 sungai

dan anak sungai yang berhulu dari dalam kawasan TNGHS. Di bagian

utara Gunung Halimun Salak terdapat 3 DAS penting, yaitu: Ciberang

(Ciujung), Cidurian dan Cikaniki (Cisadane). Di sebelah selatan terdapat

9 (sembilan) DAS penting, yakni: Cisolok, Citepus, Cimadur, Cibareno,

Page 43: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

31 

Cihara, Cisiih, Cimaja, Cikasomayang dan Cimandiri (Citatih/Citarik).

Sungai-sungai ini mengalir melintasi wilayah Jakarta (Ibukota Negara),

Bogor, Tangerang, Banten, Depok, Sukabumi dan daerah penyangga

lainnya. Sungai-sungai ini banyak dimanfaatkan masyarakat setempat

untuk keperluan mengairi lahan pertanian, keperluan rumah tangga (air

minum/mencuci/memasak dsb), pembangkit listrik, termasuk pula untuk

wisata arung jeram yang sedang populer saat ini.

3. Potensi Keanekaragaman Hayati

Kondisi umum TNGHS menjadikannya habitat ideal untuk

tumbuh dan berkembangnya kehidupan tumbuhan, satwa dan jasad renik.

Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi)

banyak terdapat di kawasan ini.

Berdasar tipe ekosistem, di ketinggian 500 m dpl – 1000 m dpl

(zona Collum) tumbuh tanaman Rasamala (Altingia exelsa), Puspa

(Schima Wallichii), Saninten (Castanopsis javanica), Kiriung anak

(Castanopsis acuminatissima) dll. Sedangkan di ketinggian 1000 – 1400

m dpl (Zona Sub Montana) tumbuh Kayu manis (Cinnamomum sp), Buni

(Antidesma bunius), Beringin (Ficus spp), Kimerak (Weimania blumei),

Ganitri (Elaecarpus ganitrus) dll. Di ketinggian sub Montana ini dapat

dijumpai pohon-pohon yang tingginya mencapai 30-40 m dengan

diameter 120 cm. Sedangkan pada ketinggian lebih rendah akan dijumpai

pohon-pohon yang lebih tinggi lagi. Pada zona Montana dengan

ketinggian lebih dari 1500 m dpl tumbuh jenis tanaman Podocarpus,

Page 44: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

32 

yakni: Kibima (Podocarpus blumei), Kiputri (Podocarpus imbricatus),

Jamuju (Dacrycarpus imbricatus), serta lebih dari 75 jenis anggrek langka

tumbuh di zona ini, seperti: Bulbophylum binnendykii, Bulbophylum

angustifolium, Cymbidium ensifolium, Dendrobium macrophyllum dll.

Terdapat pula jenis flora endemic, yakni Dipterocarpus hasseltii dan

Neesia altisima. Jenis menarik lainnya adalah Hamirung (Vernonia

arborea) yang merupakan satu-satunya anggota suku Asteraceae yang

berbentuk pohon, jenis ini ditandai oleh adanya perbungaan yang

majemuk. Jenis pohon lain yang juga sering dijumpai tetapi

persebarannya agak spesifik diantaranya adalah Kilemo (Litsea cubeba),

yang lebih banyak dijumpai di Gunung Botol; jenis Schefflera rigida dan

Kiramo Giling (Trevesia sundaica) lebih banyak dijumpai pada tempat

yang agak terbuka, maupun tepi jalan. Sedangkan khusus di sekitar

Kawah Ratu, puncak Gunung Salak (2.211 m dpl) juga terdapat jenis-

jenis tumbuhan kawah dan hutan lumut.

Gambar 2.4 Peta Kondisi TNGHS tahun 2004

Page 45: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

33 

Ditinjau dari sebaran jenis vegetasi, TNGHS juga memiliki dua

tipe ekosistem, yaitu: tipe homogen terdiri dari tanaman teh yang

terdapat di dalam enclave kawasan hutan. Enclave terbesar yaitu

perkebunan teh Nirmala dan Cianten. Selain teh juga terdapat hutan

tanaman yang semula dikelola oleh Perum Perhutani. Jenis-jenis yang

ditemui pada hutan tanaman eks Perhutani, antara lain: Rasamala

(Altingia exelca), Damar (Agathis damara), Pinus (Pinus merkusii) dan

Puspa (Schima wallichi). Sedangkan tipe heterogen terdiri dari

perwakilan hutan hujan tropis yang dapat dicermati menurut strata

tumbuhan, terdiri atas: pohon, perdu,herba, liana, efipit, palem, pandan,

dan pisang-pisangan.

Kekayaan Fauna tampak pada beragamnya Jenis Mamalia: Owa

Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Trenggiling (Manis

javanica), Macan Tutul (Panthera pardus melas), Kancil (Tragulus

javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak), Landak dan Anjing hutan (Cuon

alpinus). Terdapat pula lebih dari 204 jenis Burung, dengan 90 jenis

diantaranya menetap dan 35 jenis endemik di Pulau Jawa, contohnya:

Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Dua jenis burung terancam punah, yaitu:

Burung Cica Matahari (Cracias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax

rufifrons). Jenis Reptil, diantaranya: Kodok (Bufo biporcatus), Tokek

(Gekko gecko), dan Cecak terbang (Draco volans). Sedangkan Jenis Ikan

terdapat sekitar 31 jenis dengan 37,5% tergolong pada Ikan Gobiid dan

Page 46: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

34 

Eleotriid yang merupakan ikan komplementer air tawar, diantaranya:

Paray, Belut, Beunteur, Gogo, Bungkreng dll.

Penelitian terakhir Prasetyo dkk (2006) menunjukkan bahwa

luas hutan alam di TNGHS pada periode 1989-2004 mengalami

deforestasi gradual ditunjukkan dengan data penelitiannya yang

menunjukkan angka penurunan luasan tutupan hutan alam secara

berangsur-angsur. Sedangkan hutan tanaman relatif stabil dengan kondisi

fluktuatif yang tidak significant berpengaruh terhadap komposisi ideal. Di

Periode 1998-2004, hutan alam berkurang sekitar 25% atau berkurang

sekitar 22 ribu Ha, yang diikuti dengan peningkatan jumlah semak

belukar, ladang dan lahan tebangan. Masa deforestasi tertinggi terjadi di

tahun 2001-2003. Oleh Prasetyo diargumentasikan bahwa hal tersebut

dimungkinkan karena faktor implementasi otonomi daerah yang

beriringan dengan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut penulis menjadikan

hasil penelitian tersebut yang menyatakan bahwa tarik menarik

kepentingan di era otonomi daerah, khususnya sektor kehutanan sebagai

salah satu aspek kajian analisa konflik di lahan konservasi khususnya

untuk memahami bahwa konservasi menjadi isu parsial yang belum

sejalan dalam tataran implementasi.

Secara spesifik terkait potensi sumber daya hayati, belum ada

penelitian terakhir yang secara jelas mampu memotret kondisi flora,

fauna, jasad renik, plasma nutfah dll yang sejak reformasi banyak

terganggu oleh aktifitas perburuan liar, illegal logging, alih fungsi dan

Page 47: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

35 

sejenisnya. Jika dibiarkan tidak terkendali dikhawatirkan kekayaan

sumber daya hutan di TNGHS akan mengalami degradasi fungsi, kualitas

maupun kuantitas yang berdampak pada sosio-ekologi masyarakat.

Kerisauan akan degradasi dan deforestasi hutan ini akan lebih banyak

diuraikan pada Bab III, Konflik di TNGHS.

4. Potensi Lain

Faktor Keindahan alam, kondisi geografi, kekayaan hayati serta

kehidupan masyarakat adat yang menyiratkan kearifan lokal, dengan

kombinasi daya tarik kehidupan alam liar, air terjun, aliran air sungai

yang jernih telah menjadikan kawasan ini diminati untuk menjadi obyek

wisata, berpetualang (panjat gunung, rafting/ arum jeram dll), pendidikan

maupun tujuan lain yang berkaitan.

Kehidupan masyarakat di dalam kawasan yang cenderung

tradisional, dengan kemampuan memanfaatkan potensi alam seperti:

mengolah lahan tidur menjadi produktif, menghasilkan barang kerajinan

dengan bahan baku bersumber dari alam liar, meracik obat-obatan

tradisional untuk mengatasi berbagai penyakit dan sebagainya merupakan

bagian dari potensi yang dimiliki oleh penduduk desa hutan. Selanjutnya

potensi alamiah ini dapat dikelola oleh Pemerintah untuk kepentingan

bersama, menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Kemampuan alamiah tersebut belum sepenuhnya difasilitasi

untuk dapat lebih produktif dan mempunyai nilai tambah, baik itu dari

aspek ekonomi maupun mendorong kemandirian sosial.

Page 48: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

36 

5. Kondisi Demografi

Berdasar pendataan terakhir yang dilakukan Tim Teknis

Departemen Kehutanan 2009, diketahui Jumlah penduduk di dalam dan

sekitar kawasan TNGHS mencapai lebih dari 247.089 jiwa. Sebagian

besar beridentitas etnis Sunda (98%) dan sisanya dalam jumlah yang

sangat sedikit berasal dari etnis jawa, madura, padang dan batak. Bahasa

yang umum digunakan masyarakat setempat adalah bahasa Sunda dan

mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun beberapa orang masih

menganut kepercayaan animisme (sunda wiwitan).

Secara umum, terdapat pengkategorian (tipologi) masyarakat di

TNGHS6, yaitu: Masyarakat adat (kasepuhan) dan Masyarakat non adat.

Masyarakat adat memiliki karakteristik yang khas dan masih memegang

teguh adat istiadat kebudayaan leluhur yang tampak pada nilai-nilai

tradisional kehidupan sehari-hari, design perkampungan dan rumah,

sistem pertanian, termasuk khususnya dalam hal kemampuan berinteraksi

dengan hutan. Dalam melangsungkan hidup dan berkehidupan

kecenderungan masyarakat ini bergantung pada sistem pertanian

tradisional di areal yang disebut ’kawasan hutan negara’, melalui bentuk:

huma/ladang, sawah, kebun, kebun talun, dan talun. Sawah/sejenisnya

menjadi aset yang sangat penting untuk masyarakat jenis ini. Masyarakat

adat sangat paham dan mengenal manfaat dari masing-masing jenis

tanaman, baik untuk memasak maupun pengobatan.

                                                            6 http://www.wg‐tenure.com diakses 5 Februari 2011 

Page 49: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

37 

Dengan menggunakan konsep moral ekonomi yang

dikembangkan James Scott (1976), bisa dikatakan bahwa masyarakat

adat di kawasan ini cenderung mempertahankan tata cara hidup

tradisional. Tata cara hidup tersebut pada dasarnya bisa digambarkan

sebagai upaya masyarakat bersangkutan mempertahankan pola kerja dan

pola hubungan dengan alam sekitarnya yang secara turun temurun telah

memberikan kepastian dan jaminan keamanan bagi kelangsungan hidup

(survival). Gambaran umum menunjukkan bahwa kecenderungan

masyarakat adat yang lebih tradisional cenderung pada mempertahankan

kehidupan yang oleh James C.Scott (1976) disebut sebagai Moral

Ekonomi Petani. Pengabdian dan penghormatan pada alam merupakan

’kata kunci’ yang mampu mempertahankan kelangsungan hidup mereka.

Sedangkan masyarakat non adat, terdiri atas: masyarakat lokal

yang secara turun temurun telah hidup sejak jaman Belanda dan

Masyarakat Pendatang, baik menetap maupun tidak. Masing-masing

tipologi memiliki karakteristik dan kecenderungan berpenghidupan yang

berbeda. Masyarakat jenis ini secara umum tidak memiliki struktur

budaya masyarakat yang khas. Masyarakat lokal yang secara turun

temurun telah tinggal dan berpenghidupan di dalam kawasan yang

ditetapkan sebagai Hutan Negara memiliki kondisi sosio-budaya yang

bervariasi, baik dari sisi tingkat pendidikan maupun mata pencaharian.

Masih terdapat masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian tetapi

tidak jarang juga yang sudah beralih ke sektor lain, misalnya: sebagai

Page 50: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

38 

pengrajin, pekerja perkayuan, jasa wisata, dan jenis lain yang sangat

mungkin karena terpengaruh atau dipengaruhi oleh kehadiran masyarakat

pendatang. Masyarakat non adat ini, jika menggunakan cara pandang

Samuel L.Popkin (1981), bisa dikategorikan sebagai masyarakat

’Rasional’ (Rational peasant). Penghidupan masyarakat ini tidak selalu

berkaitan dengan upaya mempertahankan kepastian dan keamanan dalam

hubungan dengan alam sekitar dari sudut pandang kepentingan

mempertahankan hidup. Tapi juga bersandar pada pertimbangan

kepentingan ekonomi yang mengandung resiko-resiko kegagalan dan

karenanya cenderung bersifat spekulatif.

Berdasarkan laporan survey kampung yang dilakukan

Departemen Kehutanan pada tahun 2007 diketahui bahwa TNGHS

Wilayah Lebak memiliki komposisi masyarakat yang berimbang antara

Adat dan Non Adat. Terdapat 41% Kampung Adat, 48% Non Adat dan

sisanya tidak teridentifikasi. Mayoritas kampung di lokasi ini berdiri

sejak zaman kolonial Belanda (1935), hanya sekitar 2% kampung baru

yang berdiri pada periode pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango (1992-1997). Hampir seluruh masyarakat di dalam kawasan

Hutan Lebak ini bermata pencaharian sebagai Petani (99%) dengan

dominasi sawah Mina Padi. Kecenderungan kehidupan yang lebih

tradisional menjadikan masyarakat di Lebak ini cenderung memahami

arti penting Hutan bagi kelangsungan hidup dan ekosistem, meskipun

Page 51: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

39 

data terakhir Departemen Kehutanan di tahun yang sama menunjukkan

adanya peningkatan aktivitas illegal logging di kawasan ini.

Di bagian lain yang termasuk kawasan TNGHS, yakni wilayah

Sukabumi justru di dominasi masyarakat Adat yang mencapai sekitar

59% dari total penduduk sebanyak 427.919 jiwa berdasar data BPS

2004/2005 yang tersebar di 77 kampung dan 14 Desa. Merunut

sejarahnya, kampung-kampung di Wilayah TNGHS Sukabumi ini telah

berdiri sejak sebelum tahun 1934. Artinya, kampung dan masyarakat di

wilayah tersebut sudah ada sebelum penetapan Taman Nasional.

Sebagian besar masyarakat mengandalkan hidup dari sektor pertanian

(95%). Pemahaman tentang Hutan sama dengan di Wilayah Lebak,

mereka sangat memahami arti penting dan fungsi hutan hanya saja

menjadi pertanyaan besar ketika justru data illegal logging di daerah ini

(khususnya di Pondok Injuk) meningkat drastis. Dalam kasus tersebut

perlu dilakukan penelitian lain yang khusus mengkaji keterkaitan

masyarakat dengan peningkatan illegal logging untuk memastikan rumor

yang seringkali menyudutkan masyarakat setempat sebagai pelaku dan

menjadi satu-satunya pihak yang bersalah.

Sedangkan di wilayah Bogor terdapat dominasi masyarakat non

adat yang mendiami kawasan hutan sejumlah sekitar 98% dari 660.340

jiwa berdasar data BPS 2004/2005, dengan 31% nya merupakan

kampung lama yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda.. Sebagian

besar bermata pencaharian sebagai Petani (70%) dengan sebagian kecil

Page 52: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

40 

yang lain bekerja di sektor perkebunan (12%), buruh tani (12%), lainnya

(6%). Berdasar survey, masyarakat di daerah Bogor ini memahami fungsi

Hutan dalam wacana kelestarian, tetapi berdasar pengakuan mereka

seringkali benturan kepentingan dan kebutuhan hidup memposisikan

mereka untuk memanfaatkan areal hutan termasuk sumber daya yang ada

didalamnya yang seringkali dianggap sebagai ’aktifitas liar di kawasan

hutan negara’. Perilaku itu yang sering diistilahkan dengan perambahan

atau pencurian atas sumber daya hutan.

B. Villa di Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS

1. Sekilas Berdirinya Villa

Secara khusus penulis meneliti keberadaan Villa-villa yang saat

tulisan ini dibuat masih berdiri kokoh di atas lahan hutan yang semula

berada dalam kewenangan BUMN Kehutanan Perum Perhutani dengan

status hutan produksi. Villa-villa tersebut dianggap liar karena saat ini

berdasar SK Menhut No.175 tahun 2003, wilayah tersebut menjadi bagian

penunjukkan kawasan konservasi yang diperkenalkan ke publik sebagai

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berawal ketika

sejumlah orang yang berasal dari Markas Seksi Legiun Veteran Republik

Indonesia (LVRI) Cibungbulan pada tanggal 1 Juni 1967 mengajukan

surat permohonan menggarap tanah seluas 70 Ha secara tumpang sari

untuk jangka waktu 5 (lima) tahun di Rawalega, Pasirmalang, RPH

Gunung Bunder, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Empat hari

Page 53: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

41 

setelah itu, yakni tanggal 5 Juni 1967, Kepala Perhutani Bogor langsung

memberikan persetujuan atau ijin kepada 75 orang veteran untuk

menggarap tanah kehutanan di lokasi tersebut sesuai permintaan.

Keinginan para veteran untuk beraktivitas di lokasi dimaksud untuk

kegiatan pertanian disetujui pula oleh Menteri Veteran dan Demobilisasi

melalui surat No.72/Kpts/MENVED/1967, tertanggal 4 Oktober 1967,

perihal persetujuan pembukaan proyek pertanian dan demobilisasi

Republik Indonesia di kawasan yang saat ini dikenal dengan Lokapurna

(Lokasi Purnawirawan). Selanjutnya dalam perkembangannya, proyek

pertanian ini berada pada kawasan hutan Perum Perhutani seluas 560,29

Hektar yang meliputi Hutan Produksi seluas 256,77 Ha dan Hutan

Lindung seluas 303,32 Ha. Di tahun 1987, Menteri Kehutanan

menegaskan kembali kepada Menteri Pertahanan melalui surat

No.239/Menhut II/1987 bahwa tanah yang dimohon seluas 256,77 Ha

dapat diperoleh LVRI dengan cara tukar menukar (ruislag) sesuai

peraturan perundangan (minimal 1:1) dan sejumlah 303,32 Ha yang

merupakan hutan lindung harus dikosongkan.

Proyek ini awalnya berjalan sesuai peruntukannya tetapi

kemudian terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, diantaranya

ketidaksesuaian peruntukan lahan dan adanya over alih garapan dan jual

beli tanah illegal. Sampai akhirnya menjelang tahun 1990an, mulai berdiri

Villa-Villa yang sebagian besar dimiliki masyarakat pendatang yang

bukan berasal dari kalangan biasa. Sebagian besar adalah pejabat dan

Page 54: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

42 

pengusaha yang memanfaatkan lahan tersebut ’bukan untuk tempat

tinggal’, tapi lebih dari itu di atas lahan tersebut dibangun villa-villa,

selain dimanfaatkan untuk investasi, berlibur juga disewakan kepada

wisatawan dengan tarif yang cukup tinggi, ada pula yang

memanfaatkannya untuk peternakan skala besar. Secara khusus

pembahasan mengenai villa yang dianggap liar ini akan diuraikan pada

Bab IV Berkaca dari Kasus Villa ’Liar’, yang akan banyak menceritakan

kronologis ’alih fungsi dan status’ di salah satu kawasan hutan negara

yang pada akhirnya menyebabkan eskalasi konflik.

Persoalan ini ditinjau dari aspek legalitas sepenuhnya beralih ke

pihak kementerian Kehutanan setelah terbit surat Keputusan Menteri

kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tertanggal 10 Juni 2003, tentang

Penunjukan Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan

perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Tetap

(HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada Kelompok Hutan Gunung

Salak seluas ±113.357 ha (Seratus Tiga Belas Ribu Tiga Ratus Lima Puluh

Tujuh) Hektar di provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Menjadi Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). SK tersebut menjadikan

Kawasan yang dimohon (dan masih dalam proses ruislag) dengan luas

kesepakatan sekitar 260 Ha menjadi bagian yang termasuk dalam wilayah

penunjukan kawasan konservasi. Terdapat disharmoni kebijakan antara

pusat dan daerah yang sebelumnya menetapkan kawasan tersebut menjadi

kawasan wisata alternatif selain Kawasan Wisata Puncak Bogor sesuai

Page 55: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

43 

Surat Keputusan Bupati Bogor No.550.1/057-DIP tertanggal 25 Februari

1989. Daerah Lokapurna untuk selanjutnya dikenal sebagai Kawasan

Wisata Gunung Salak Endah.

Berdasar Peraturan Pemerintah No.30 tahun 2003, Perum

Perhutani berwenang atas seluruh hutan di Pulau Jawa kecuali Hutan

Konservasi. SK Menhut tersebut akhirnya mengalihkan persoalan Villa

liar kepada Kementerian Kehutanan, yang dalam teknis lapangan menjadi

tanggung jawab Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Berdasarkan administrasi pemerintahan, posisi Lokapurna saat ini

terletak di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor,

Provinsi Jawa Barat, yang termasuk DAS Cisadane dengan koordinat

geografis terletak pada 106º 40’ 8” BT - 106º 41’ 35” BT dan 6º 41’ 7” LS

- 6º 42’ 15” LS.

Gambar 2.5. Peta Posisi Lokapurna

Page 56: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

44 

2. Data Kependudukan LokaPurna

Berdasar survey LVRI Bulan Agustus 2009 diketahui bahwa

masyarakat yang mendiami Kawasan Gunung Salak Endah-Lokapurna

umumnya berasal dari penduduk lokal, kampung sekitar dan sebagian

merupakan pendatang yaitu dari Jawa Barat, dan sebagian kecil dari

Jakarta. Sejumlah 396 KK dengan total penduduk sekitar 1.477 jiwa saat

ini tinggal di rumah permanen, semi, maupun non permanen. Setelah

tahun 2000, Pemekaran wilayah Kawasan Proyek Pertanian Veteran

Lokapurna terbagi kedalam 8 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung

kedalam 2 Rukun Warga (RW). Penyebaran penduduk terbanyak adalah di

RT 02 RW 08 sebanyak 227 jiwa, penyebaran penduduk terkecil berada

pada RT 03 RW 09 sebanyak 70 jiwa.

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Lokapurna (Survey Dephut 2007)

No. Wilayah KK Jumlah Jiwa 1. RW 08 RT 01 50 150 2. RT 02 67 160 3. RT 03 55 152 4. RT 04 53 129 5. RW 09 RT 01 49 142 6. RT 02 39 114 7. RT 03 18 52 8. RT 04 39 113

Total 370 1.382

Jenis transportasi yang biasa digunakan penduduk adalah Sepeda

Motor. Pada hari libur (seminggu sekali) terdapat transportasi umum untuk

mobilitas penduduk maupun wisatawan.

Page 57: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

45 

3. Kondisi Terakhir

Secara keseluruhan, berdasarkan Citra Ikonos 2005 dan hasil

pengamatan di lapangan, secara ekologi, kondisi penutupan kawasan hutan

yang dimohon berupa hutan dengan vegetasi alami terdapat di sekitar

bantaran Sungai Cigamea seluas ± 5,3 % yang didominasi jenis rasamala,

pasang, cerik angin, kareumbi, kirinyuh, pakis andam, tepus, seuseureuhan

dan bambu; Berupa hutan tanaman eks Perum Perhutani KPH Bogor

seluas ± 2,8 % yang didominasi oleh jenis rasamala, pinus, suren dan

tanjung dengan sisanya seluas 91,9% berupa sarana prasarana, semak

belukar, kebun dan sawah.

Secara umum, kawasan Lokapurna menunjukkan kondisi

masyarakat dengan struktur yang mantap dan telah menjadi bagian legal

administrasi pemerintahan setempat, termasuk fasilitas pendukung yang

banyak difasilitasi oleh instansi Pemerintah Daerah. Terdapat Jalan yang

permanen, berupa aspal/hotmix sepanjang 4,5 km dengan lebar bahu jalan

5 (lima) meter, juga terdapat jembatan yang dibangun oleh Pemda

Kabupaten Bogor. Kondisi jalan di beberapa ruas menyempit yang harus

dilewati secara bergantian apabila mobil berpapasan.

Fasilitas Umum berupa Jaringan listrik, jaringan telepon Base

Transmitter XL dan Indosat, serta Bangunan Sekolah (TK dan SD). sistem

jaringan listrik yang ada berupa jaringan percabangan/interkoneksi.

Jaringan ini merupakan jaringan di udara terbuka (overhead line

transmission) dengan menggunakan tiang, sehingga memiliki pemanfaatan

Page 58: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

46 

ganda selain sebagai pendistribusian kepada konsumen juga sebagai

pelengkap penerangan jalan, disamping itu terdapat juga jaringan telepon

dengan sistem jaringan di udara terbuka yang telah merata hampir ke

seluruh kawasan Lokapurna.

Terdapat pula fasilitas Sosial, seperti: Mesjid, Mushola, WC

umum serta Pemakaman Umum, sebagian besar dibangun swadaya oleh

masyarakat setempat dan sebagian yang lain dibangun oleh

Pemda/Pemerintah setempat.

Peranan Pemda dalam menghidupkan lokasi ini sangat tampak

pada bangunan berupa sarana wisata, seperti: Pintu gerbang, Information

center, Pemandian air panas, kolam renang, track jogging dan lokasi

parkir. Fasilitas ini dibangun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor di

awal tahun 1998an. Keinginan Pemerintah Daerah untuk ikut

memanfaatkan hutan negara ini tersurat pada permohonan terhadap

beberapa objek wisata alam di dalam kawasan TNGHS yang diusahakan

oleh Pemda Kabupaten Bogor sejak tahun 1979 untuk kewenangan

pengelolaan secara resmi dan saat ini sedang dalam proses permohonan

Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).

Berdasar data terakhir dari Forum Musyawarah Masyarakat

lokapurna (Fusyaka) tahun 2007 terhadap luas garapan dan bangunan di

Lokapurna terdapat Enam blok garapan, yakni: Pasir Reungit, Cimudal,

Rawa Lega, Rawa Bogo, Rawa Buluh, Ciparay dengan total luas Garapan

293,03 Ha dan total luas bangunan atau villa 4,64 Ha. Villa sejumlah 210

Page 59: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

47 

unit (baik bangunan permanen, semi, maupun non permanen) dimiliki oleh

140 orang (berdasarkan survey LVRI bulan Agustus 2009).

Setelah penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata,

daerah tersebut menjadi sangat ramai dengan kunjungan wisatawan

terutama di hari-hari libur, ini menyebabkan perkembangan fasilitas

perekonomian seperti pasar desa, kios, warung, toko dan sejenisnya

tersebar merata di hampir seluruh penjuru desa.

Diantara pemberitaan media massa terkait ‘kebijakan

pembongkaran villa yang dianggap liar’ di lokasi eks veteran yang sama

yang saat ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi, ternyata telah berdiri

pula Camp Komando Latihan Tempur Resimen Infantri Kodam Jaya (yang

selesai dibangun tahun 2003) seluas ±17 ha. Camp Infanteri ini berada di

dalam kawasan yang sejak tahun 1967 dimohon untuk ruislag tersebut dan

saat ini menjadi bagian dari penunjukan kawasan konservasi. Namun

keberadaan Camp ini tidak menarik perhatian publik atau lebih tepatnya

tidak disinggung Kementerian Kehutanan sebagai kategori ‘bangunan liar’,

setidaknya sampai tulisan ini diselesaikan.

Page 60: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

48 

BAB III KONFLIK DI TNGHS

Pada bab ini, Penulis akan lebih banyak menguraikan akar konflik sektor kehutanan di TNGHS secara umum, seperti: negaraisasi dalam realitas konflik, disharmoni kebijakan pusat‐daerah dan tata ruang, kontroversi penetapan luas kawasan hutan 30%, kebijakan PHBM Perum Perhutani dan Perambahan, serta penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pada sub bab selanjutnya mencuplik sedikit konflik klasik berupa konflik vertikal antara Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) dengan Masyarakat biasa (bukan public figure) 

yang didominasi isu kepemilikan dan akses atas sumber daya hutan untuk selanjutnya mendasari analisa terkait adanya perbedaan perlakuan dalam 

penanganan konflik.  

A. Mengurai Akar Konflik secara Umum

1. Negaraisasi dalam Realitas Konflik

Di kawasan hutan, istilah ‘negaraisasi’ atas tanah-tanah

(garapan/tempat tinggal) rakyat oleh Negara menjadi salah satu diskursus

yang dianggap berkaitan erat dengan kejadian konflik. Penulis

mengistilahkan negaraisasi dalam pemaknaan adanya klaim sepihak oleh

negara atas kepemilikan tanah dan sumber daya yang menyertainya untuk

dikuasai sepenuhnya oleh negara (dalam hal ini Pemerintah). Persoalan

penguasaan tanah dan sumber daya yang menyertainya oleh Negara

dimulai sejak Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1865

menerbitkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura

(Boschordonantie voor Java en Madoerra 1865) dan berlanjut tahun 1870

dengan mengeluarkan Agrarisch Besluit yang melegitimasi Pemerintah

(Hindia Belanda) untuk menyewakan tanah (erfpacht) pada perkebunan

asing yang di dalamnya terdapat peraturan tersendiri yang disebut

Page 61: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

49 

domeinverklaring (Rokhmad, 2009). Hal penting di dalamnya adalah

adanya Penetapan batas kawasan hutan yang ‘mutlak’ dikuasai Negara.

Tidak peduli didalamnya terdapat masyarakat atau rakyat (pribumi) yang

menghuni atau telah tinggal lama, dipaksa melalui regulasi untuk ‘seolah-

olah’ menjadi ‘budak’ di tanah sendiri. Mereka diharuskan pindah dari

kawasan yang ‘secara sepihak’ ditetapkan sebagai hutan Negara atau di

jenis hutan tertentu dimungkinkan tinggal tanpa hak kepemilikan atas tanah

dengan aturan yang sangat ketat.

Untuk selanjutnya proses Nasionalisasi (berdasarkan UU

No.86/1958 dan PP.No.2/1959), yakni nasionalisasi terhadap Perusahaan

milik Belanda perseorangan, badan hukum yang saham seluruh atau

sebagian milik Belanda, Perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dan

Perusahaan-Perusahaan yang dimiliki oleh badan hukum yang domisilinya

di Nederland (Belanda), Secara de yure, serta merta mewariskan kepada

Pemerintah (Indonesia) seluruh tanah dan aset yang semula dikuasai

Belanda, menjadi ‘milik negara’. Salah satu warisan pengelolaan atas

tanah-tanah dan aset yang termasuk dalam Hutan Negara, diantaranya

adalah Hak Negara atas Kawasan Hutan Gunung Halimun dan Gunung

Salak yang sejak tanggal 10 Juni 2003 menjadi bagian dari penunjukan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang menjadi

kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan RI.

Adopsi kebijakan pengelolaan atas tanah-tanah yang berstatus

Hutan Negara dari Pemerintahan Kolonial Belanda ke Pemerintah

Page 62: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

50 

Indonesia, tidak beriringan dengan upaya mengakomodir status hukum dan

kepentingan masyarakat (rakyat Indonesia) yang berada di dalam kawasan

hutan tersebut. Masyarakat di dalam kawasan hutan seringkali dianggap

sebagai bagian yang terpisahkan dari ekosistem hutan, atau lebih parahnya

lagi masyarakat yang sudah tinggal turun temurun di daerah tersebut,

menurut pandangan Penulis, diposisikan sebagai ‘parasit’ hutan Negara

yang dicurigai berpotensi menimbulkan banyak gangguan dalam wacana

konservasi. Kebijakan konservasi seolah-olah mengharuskan kawasan

tersebut steril dari jamahan manusia. Hal ini ditunjukkan dengan

banyaknya kejadian pengusiran masyarakat dari kawasan hutan setelah

penetapan suatu wilayah menjadi bagian konservasi, seperti penelitian

WALHI (2010) yang menemukan setidaknya sampai dengan tahun 2003

telah terjadi banyak pengusiran rakyat yang telah tinggal turun temurun di

kawasan hutan, misalnya di Taman Nasional Meru Betiri (Jawa Timur).

Masyarakat adat maupun non adat masih terus menjadi bagian dari

aktor konflik klasik sektor kehutanan khususnya yang menganggap bahwa

pengelolaan hutan oleh negara tidak berpihak pada kepastian hidup dan

kesejahteraan mereka. Penelitian Justianto (2005) menemukan bahwa rumah

tangga kehutanan (masyarakat desa yang tinggal di dalam dan sekitar

kawasan hutan), terutama rumah tangga miskin ternyata tidak banyak

menikmati hasil dari kegiatan-kegiatan sektor kehutanan karena besaran

multiplier effect sektor kehutanan terhadap pendapatan rumah tangga

kehutanan golongan rendah sangat kecil dibandingkan dengan rumah tangga

Page 63: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

51 

lain seperti rumah tangga pertanian, selain kehutanan dan rumah tangga

bukan pertanian. Hal tersebut menunjukkan salah satu kemungkinan konteks

atas kejadian konflik masyarakat di dalam kawasan hutan terhadap negara

(pemerintah) yang dianggap tidak memprioritaskan pengelolaan hutan

berbasis masyarakat setempat.

Negaraisasi yang dipaksakan, meskipun untuk kepentingan

konservasi justru dikuatirkan akan berdampak buruk bagi kelestarian hutan

apabila persoalan mendasar terkait status hukum, level kesejahteraan

masyarakat dan pemahaman etika lingkungan dan wacana konservasi tidak

menjadi bagian dari komitmen bersama.

2. Kontroversi Luas Minimal Hutan 30 Persen

Beberapa upaya dilakukan Pemerintah untuk memastikan

kecukupan luas kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang No.41/1999 pasal 18 (2) yang menyebutkan bahwa luas kawasan

hutan harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas

daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Penunjukan TNGHS di duga merupakan salah satu itikad baik untuk

memenuhi angka 30% tersebut. Terlepas dari isu politis yang menyertai

penetapan angka tersebut, sampai saat ini diskursus terkait asal muasal

angka 30% masih belum menemukan jawaban ilmiah yang bisa diterima

publik. Disebutkan oleh Handadhari (2009), seorang praktisi kehutanan dan

pakar lingkungan yang pernah mengadakan Diskusi Ilmiah untuk mengkaji

Page 64: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

52 

angka 30% dengan melibatkan para petinggi Dephut disimpulkan bahwa

angka tersebut sangat nisbi dan tidak memiliki dasar yang jelas. Angka itu

diduga diperoleh dari riset seorang mahasiswa S-1 asal Belanda yang

meneliti secara parsial hutan di satu wilayah kecil tertentu di Indonesia

yang menghasilkan angka ideal 30% untuk keseimbangan ekosistem daerah

tersebut, namun tidak secara detil digambarkan apakah hasil kajian itu

berlaku universal untuk semua kondisi topografi, sosio-geografi, jenis

vegetasi, keragaman biodiversitas, maupun faktor lain yang mungkin

berpengaruh. Lebih lanjut Penulis mengusulkan untuk mengkaji kembali

angka 30% dengan menggunakan cara dan metode perhitungan yang

memperhatikan beberapa aspek, termasuk tentunya sosio-geografi dan jenis

vegetasi yang berorientasi lokal.

Kajian ilmiah mengenai kebenaran angka 30% menjadi penting

karena diduga angka ini menjadikan kebijakan Kementerian Kehutanan

menjadi sangat tidak realistis. Penetapan angka luasan kawasan hutan

secara nasional yang dilegitimasi produk hukum kehutanan tersebut

memicu ambisi Pemerintah untuk menjadikan suatu kawasan berstatus

hutan Negara dengan keharusan luas tutupan minimal 30%. Angka yang

yang dipaksakan ini seringkali mencederai aspek sosial budaya masyarakat

dan berujung dengan konflik, baik vertikal maupun horizontal. Ambisi 30%

menimbulkan gesekan antar sektor atau instansi pemerintah karena tidak

beriringan dengan persiapan perangkat infrastruktur, operasional dan SDM

yang mumpuni, terutama di masa otonomi daerah saat ini.

Page 65: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

53 

Generalisasi yang tertuang dalam angka normatif dari kondisi

ekosistem yang berbeda-beda, tidak mendorong optimalisasi tiga fungsi

hutan, kecuali dalam kriteria penetapan kawasan mendasarkan pada daya

dukung lingkungan yang dilandasi kajian ilmiah, kondisi sosio geografik

dan aspek sosio historis suatu wilayah serta penajaman isu spesifik daerah

yang memerlukan penanganan khusus. Perlu ada penelitian lain yang

secara khusus mengkaji secara cermat angka 30% terkait fungsi hutan

sebagai penyangga ekosistem.

3. Disharmoni Kebijakan Pusat-Daerah dan Tata Ruang

Persoalan disharmoni kebijakan dan egosektoral di era otonomi

daerah di duga berpotensi memperparah kerusakan Hutan dan menciptakan

konflik baru, seperti misalnya persoalan desentralisasi yang telah

melahirkan insinkronisasi regulasi antara satu dengan lain, khususnya

antara pusat dan daerah. Kewenangan Daerah yang besar sebagaimana

diatur oleh Undang-Undang No.22 tahun 1999, mengenai Otonomi Daerah,

termasuk didalamnya memandatkan urusan kehutanan melalui prinsip

desentralisasi. Eforia otonomi daerah seringkali dimaknai sebagai

eksploitasi hutan dan sumber daya yang menjadi salah satu sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seringkali mengesampingkan aspek

ekologi jangka panjang. Kebijakan dilahirkan secara parsial, masing-

masing daerah dan bahkan institusi yang berbeda merasa memiliki hak

eksklusif atas hutan dan sumber daya, padahal UU No. 5 tentang

Page 66: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

54 

Konservasi Sumber Daya Alam dan UU No.41 tentang Kehutanan secara

eksplisit juga mengandung pemaknaan atas kewajiban pengurusan hutan.

Kewajiban mengandung konsekuensi, yakni menjaga kelestarian hutan agar

dalam jangka panjang dapat proporsional dalam tiga fungsi: Ekologi

(melestarikan ekosistem, melindungi plasma nutfah dan biodiversitas,

menghasilkan udara bersih, mengatur tata air, mencegah erosi dll), Sosial

(membentuk struktur budaya masyarakat), dan Ekonomi (menambah devisa

Negara, menyerap tenaga kerja, menghasilkan kayu bernilai jual tinggi dan

hasil hutan ikutan lainnya seperti: rotan, getah, buah, madu dll). Isu

perubahan iklim (climate change) bahkan sangat menekankan fungsi

ekologi hutan sebagai prioritas.

Seakan-akan menjawab kepentingan otonomi daerah, UU.

No.41/1999 tentang Kehutanan dilahirkan setelah UU. No.22/1999 untuk

memastikan posisi kehutanan atas Pemerintah Daerah. Dalam prosesnya,

terdapat tiga kelompok besar di internal kehutanan sendiri, yakni: pertama,

sepakat otonomi penuh atas urusan kehutanan; kedua, tetap menginginkan

sentralistik pengelolaan atas urusan kehutanan, dan kelompok ketiga yang

tidak memiliki pandangan atas keduanya. Hal tersebut menjadi salah satu

alasan penjelas sifat ambivalen dari UU.41/1999, di satu sisi tampak

mengakomodir otonomi (desentralisasi), namun di sisi yang lain masih

menunjukkan aroma sentralistik.

Secara umum, Undang-Undang No.41/ 1999 tentang Kehutanan

yang disahkan tanggal 30 September 1999 ini tidak mengubah secara

Page 67: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

55 

mendasar pola pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah yang cenderung sentralistik. Meskipun eksplisit pada pasal 66 ayat

1, UU No.41/1999 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan

kehutanan, pemerintah menyerahkan kewenangan kepada pemerintah

daerah, bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam

rangka pengembangan otonomi daerah. Namun ditambahkan dalam ayat 2

bahwa kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan

yang bersifat operasional. Ditegaskan lagi pada ayat 3, pelaksanaan dari

penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah

diatur dengan peraturan pemerintah.

Secara substansi, UU. No. 41/1999 sangat kontradiktif dengan

UU. No.22/1999 pasal 10 ayat 1 (=UU No.32/2004), yang memastikan

kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam,

termasuk didalamnya sumber daya hutan, secara jelas pada ayat 1

disebutkan Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang

tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian

lingkungan sesuai dengan perundang-undangan, tetapi pada pasal 7 UU

no.22/1999 masih terkesan bahwa pengendalian sumber daya alam (dalam

hal ini termasuk sumber daya hutan) masih menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Kontradiktif pasal demi pasal dan dengan produk hukum

lainnya, selain alasan egosektoral, dimungkinkan karena kurang

lengkapnya penjelasan atau tidak adanya kesepakatan yang tegas mengatur

Page 68: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

56 

batasan kewenangan pengurusan hutan antara pemerintah pusat (dalam

hal ini Kementerian Kehutanan) dan pemerintah daerah.

Dalam banyak kasus, pasca kebijakan otonomi daerah-

desentralisasi, Pemerintah Daerah seolah-olah berlomba-lomba

mengeluarkan Perda-Perda atau aturan-aturan penetapan pungutan hasil

hutan, alih kelola hutan maupun alih fungsi lahan tanpa rekomendasi pusat,

dengan serta merta hanya memanfaatkan UU No.22/1999 (UU.

No.32/2004) yang dipandang lebih menguntungkan. Desentralisasi

menyebabkan egosektoral tumbuh tinggi, pemerintah pusat kesulitan

memantau perkembangan dan perubahan yang terjadi di daerah akibat

kecenderungan pihak pemerintah daerah yang enggan memberikan

progress report ke pusat. Semata-mata untuk tujuan ekonomi,

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, seolah-olah meniadakan fungsi

pokok hutan dalam hal kelestarian. Tampaknya tanggung jawab dan

kewajiban tidak melekat dalam semangat desentralisasi.

Penelitian CIFOR (2001) menunjukkan bahwa ketidakjelasan

konsep desentralisasi dalam implementasinya mengakibatkan laju

kerusakan hutan semakin parah, meningkatnya angka kemiskinan

penduduk sekitar hutan, dan menjamurnya mafia kehutanan yang

dilindungi daerah.

Untuk itu, perlu diurai kembali batasan kewenangan, tanggung

jawab dan kewajiban (bukan hanya hak dan wewenang) secara jelas

masing-masing pihak pengelola kehutanan agar tidak ada pertentangan

Page 69: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

57 

antara satu produk hukum dengan lainnya atau turunannya, yang sering

sekali tumpang tindih, tidak sesuai, dan yang lebih fatal lagi saling bertolak

belakang, yang membuka peluang konflik yang pada akhirnya berakibat

merugikan rakyat.

Ketika berita Banjir melanda ibukota Negara atau persoalan

kemiskinan masyarakat sekitar hutan menjadi pembicaraan publik, sektor

kehutanan dianggap pihak yang paling bertanggung jawab. Era otonomi

daerah seharusnya memberi ruang tanggung jawab terhadap kondisi

tersebut, karena persoalan sosial ekonomi masyakarat tidak bisa terlepas

dari peran utama Pemerintah Daerah sebagai pemangku wilayah.

Sewajarnya, desentralisasi juga berfokus pada beban kewajiban terhadap

berbagai permasalahan yang timbul untuk dilakukan Pemerintah Daerah

sinergi dengan Pemerintah Pusat, termasuk berbagai institusi terkait.

Belum ada kesepakatan dan kepastian hukum atas jenis dan status

kawasan di era otonomi daerah ini berdampak pada eforia ‘penunggang

gelap’ yang ingin memanfaatkan kawasan-kawasan yang dianggap ‘tak

bertuan’. Tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah seringkali

menyebabkan ketidakmenentuan kondisi di lapangan. UU No 24/1992 dan

UU No 47/1997 tentang Tata Ruang, secara tegas menetapkan bahwa

pemanfaatan ruang wilayah terbagi atas dua fungsi utama yaitu kawasan

budidaya dan kawasan lindung. Namun dalam implementasi, sangat sulit

mempertemukan antar sektor untuk memastikan status dan fungsi kawasan

Page 70: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

58 

tersebut karena masing-masing memiliki dasar dan metode yang berbeda

dalam penetapannya, terutama karena komitmen yang tidak seragam.

Kasus Villa Lokapurna menunjukkan disharmoni kebijakan antar

pusat dan daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketidakjelasan status

hukum suatu kawasan dan ketidakpastian posisi masyarakat yang ‘dianggap

sebagai korban’. Meskipun Penulis sepakat bahwa pembagian tata ruang

yang menjadi hak PEMDA sewajarnya tidak berarti ikut membagi ‘ruang

kehutanan’ yang sering diistilahkan sebagai ‘kue ulang tahun’ yang semata-

mata berfokus pada nilai ekonomi hutan yang sangat tinggi. Penulis

sebagaimana pandangan konservatif silvikulturist yang mengharapkan

hutan dalam fungsi ekologinya menjadi satu ekosistem yang lebih optimal

dikelola secara integratif (tidak parsial) karena alasan-alasan ilmiah yang

menunjukkan bahwa pengelolaan desentralisasi, terutama dalam kondisi

infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang tidak siap akan

meningkatkan degradasi dan deforestasi. Kondisi akan mencapai ideal

untuk mewujudkan tiga manfaat hutan apabila koordinasi antar sektor, baik

di Pusat maupun Daerah dapat berjalan melalui pola pemanfaatan ruang

yang memperhatikan aspek konservasi dan dipertegas dengan tingginya

komitmen pihak terkait.

4. Kebijakan PHBM Perum Perhutani dan Perambahan

Perum Perhutani (BUMN Kehutanan) mendapat limpahan

kewenangan dari Kementerian Kehutanan atas hutan di seluruh Pulau

Page 71: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

59 

Jawa, kecuali Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan

Kawasan konservasi berdasar Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1972 dan

seterusnya diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah No.30/2003 dengan

esensi kewenangan yang tidak berubah. Penataan batas hutan tetap telah

dilakukan pada tahun 1813 dan itu menjadi dasar penetapan Hutan

Perhutani. Total luas hutan Perhutani di Pulau Jawa 2,5 juta Ha, dengan

1,9 juta Ha berupa Hutan Produksi dan 600 ribu Ha berupa Hutan

Lindung. Sejumlah 70 ribu Ha saat ini termasuk ke dalam wilayah

penunjukan Kawasan Konservasi TNGHS.

Dalam melakukan tugas pembuatan hutan tanaman, Perhutani

terkenal dengan keandalannya, namun dari aspek sosial tampaknya ada

persoalan serius yang belum bisa ditangani, akibat faktor ledakan

penduduk di dalam dan sekitar hutan juga besarnya tekanan sosial terhadap

hutan termasuk dinamika sosial yang berubah sangat cepat. Pada

perkembangannya di tahun 2001, hal-hal tersebut mendorong Perhutani

untuk merubah paradigma yang semula berbasis kayu (Timber

Management) menjadi berbasis Sumber Daya Hutan (Forest Resources

Based Management) dengan sistem pengelolaan yang semula state based

forest management menjadi Community Based Forest Management

(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat=PHBM).

Sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat sebetulnya bukan

merupakan hal yang baru karena sudah sejak tahun 1865 telah

diberlakukan sistem tumpang sari yang membolehkan pesanggem untuk

Page 72: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

60 

menanam di areal hutan di masa awal pertumbuhan tanaman. Mereka

diberi lahan garapan seluas 0,25-0,5 Ha dengan kewajiban menjaga

tanaman pokok. Sistem kontrak diberlakukan untuk jangka waktu 2 tahun

yang dapat diperpanjang kembali. Beberapa kali pergantian manajemen

Perhutani melahirkan sistem pengelolaan baru yang merupakan

penyempurnaan dari sebelumnya.

Gambar 3.1 Tumpang Sari di Kawasan Hutan

Sejak tahun 1972, pertambahan penduduk di dalam dan sekitar

hutan meningkat sejumlah dua kali setiap 25 tahun7. Ketidaksiapan

Perhutani dalam mengatasi persoalan sosial menjadikan ledakan

penduduk, kebutuhan akan lahan dan sumber daya ini potensial bagi

kerawanan hutan. Berbagai program, seperti Prosperity Approach yang

                                                            7 Data Statistik Perum Perhutani, 2005 

Page 73: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

61 

memfokuskan pada pemberian biaya dan sarana tani bagi pesanggem, juga

program Perhutanan Sosial, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan sampai

kepada program PHBM yang memungkinkan adanya sharing hasil hutan

dengan pembagian proporsional ternyata tidak juga mampu menjadikan

kawasan hutan yang mantap.

Program-program baik yang digulirkan ternyata tidak serta merta

mampu memberi pemahaman pada semua pihak terhadap kepentingan

konservasi hutan. Program-program tersebut tampaknya hanya dianggap

sebagai bagian dari kewajiban pemerintah untuk memberi ruang

kesejahteraan bagi rakyat. Ironisnya, program tersebut masih dianggap

gagal dalam mensejahterakan mereka dan menjadikan alasan pembenar

apabila mereka masuk dan ikut mengeksploitasi sumber daya hutan.

Kegiatan itu yang diistilahkan Pemerintah sebagai Perambahan (lahan

hutan) atau Pencurian (kayu dan sumber daya hutan lain). Wacana lain,

masyarakat pada akhirnya menganggap ‘perbuatan’ mereka sah karena

mereka telah menganggap tanah yang mereka tinggali dan hutan yang

berada bersama mereka adalah warisan nenek moyang dimana mereka

merasa pantas memiliki hak atas hutan tersebut.

Data terakhir menunjukkan bahwa permasalahan tata batas

(konflik tenurial), perambahan hutan, pencurian kayu dan sumber daya

hutan lain, kerusakan lingkungan, dan pengalihan fungsi hutan

menunjukkan tingkat yang serius. Kawasan Gunung Salak (yang saat ini

ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak) merupakan

Page 74: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

62 

salah satu bagian dari kawasan hutan yang telah terdegradasi dan

mengalami deforestasi, meskipun apabila dibandingkan dengan laju

kerusakan di luar Pulau Jawa masih relatif rendah laju kerusakannya.

Kondisi hutan di Jawa secara keseluruhan masih cukup baik karena secara

teknis dikelola secara sentralistik oleh Perhutani dengan pengaturan daur

yang terprogram, meskipun era otonomi daerah sedikit menyulitkan

Perhutani dalam menentukan gerak langkahnya. Seperti telah diuraikan

sebelumnya, ada kecenderungan masing-masing Pemerintah Daerah untuk

menikmati eforia otonomi dan tidak menjadikan kepentingan konservasi

yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup generasi mendatang sebagai

prioritas perlakuan.

Seringkali dalam penentuan kebijakan, Perum Perhutani berada di

posisi sulit, ketika berbenturan dengan tarik menarik kewenangan antara

Pusat (Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN) dan Daerah

(Pemerintah Daerah). Jika tidak segera diantisipasi dengan ketegasan

batasan kewenangan dan kewajiban dari desentralisasi, maka persoalan-

persoalan sosial yang ada akan menjadi ‘api dalam sekam’ yang tidak

hanya mengorbankan hutan di pulau jawa tetapi lebih dari itu kerusakan

hutan akan mengancam kestabilan ekosistem.

5. Penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Pemerintah Indonesia, melalui Departemen Kehutanan khususnya

berupaya keras mengeluarkan berbagai kebijakan terkait penyelamatan dan

Page 75: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

63 

pelestarian hutan. Bahkan secara tegas Presiden SBY dalam pertemuan

Copenhagen 2009 yang lalu menyatakan kesiapan Indonesia menurunkan

emisi mencapai 26% pada 2020, dengan 14%nya melalui mekanisme Hutan

Lestari, meskipun angka tersebut dianggap banyak kalangan terlalu

ambisius mengingat banyaknya kelemahan mendasar di sektor kehutanan

khususnya, yang sampai hari ini masih menyimpan banyak persoalan.

Hal tersebut dipahami sebagai salah satu bagian dari upaya

Pemerintah (Pusat) untuk memperbanyak atau meningkatkan keluasan

kawasan konservasi, salah satunya melalui bentuk Taman Nasional,

termasuk di tahun 2003, menggabungkan hutan eks Perhutani menjadi satu

rangkaian perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung

Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Sebagaimana amanah Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pemerintah

(Pusat), dalam hal ini Kementerian Kehutanan, bertanggung jawab

(sepenuhnya) dalam mewujudkan tujuan kegiatan konservasi, yakni melalui

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara bijaksana

untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Menjadikan TNGHS sebagai satu rangkaian ekosistem

merupakan upaya memaksimalkan fungsi konservasi, sebagaimana surat

Dirjen PHKA No.848/DJ-V/KK/2000 tanggal 27 November 2000 kepada

Menteri Kehutanan yang menyarankan untuk memperluas TNGH hingga

Page 76: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

64 

ke Hutan Lindung (yang saat itu dikelola Perhutani). Pertimbangan yang

termaktub dalam surat adalah bahwa TNGH dan Hutan Lindung (HL)

Gunung Salak merupakan kesatuan ekosistem yang terfrakmentasi oleh

Hutan Produksi (Perhutani) yang diasumsikan dapat menghambat aliran

genetik kehidupan liar, sehingga perlu dikelola dalam satu kesatuan

pengelolaan (TNGHS). Tidak dijelaskan secara pasti posisi ilmiah dari

argumentasi ‘aliran genetik’, namun tampaknya kajian akademis yang

dilakukan oleh konsorsium GedePahala bersama JICA yang menyatakan

bahwa kawasan hutan eks Perhutani (Gunung Salak) cukup layak untuk di

ubah fungsi menjadi Taman Nasional karena merupakan habitat berbagai

jenis satwa liar yang dilindungi serta menjadi hulu penting yang mengalir

ke Ibukota Negara, Provinsi Jawa Barat dan banten, telah menguatkan

dasar pertimbangan kebijakan perluasan TNGHS.

Dijelaskan oleh Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa Taman

Nasional masuk ke dalam salah satu kategori Kawasan Pelestarian Alam,

yakni kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi

pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang ditujukan untuk

pelestarian ekosistem, pendidikan serta rekreasi.

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang

meliputi: a. Zona inti; b. Zona rimba dan Zona perlindungan bahari untuk

Page 77: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

65 

wilayah perairan; c. Zona pemanfaatan; d. Zona lain (zona tradisional,

zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus). Lebih

lanjut kriteria penetapan zonasi di dalam taman nasional dijelaskan di

dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 Tentang

Pedoman Zonasi Taman Nasional, yakni: 1. wilayah yang ditetapkan

mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses

ekologis secara alami; 2. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik

baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta

gejala alam yang masih utuh dan alami; 3. satu atau beberapa ekosistem

yang terdapat didalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat

diubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia; 4. memiliki

keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata

alam; 5. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona

pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Terlepas dari kontroversi layak tidaknya kawasan tersebut

menjadi kawasan pelestarian alam Taman nasional, publik perlu

mengetahui bahwa proses penunjukan ini belum final, masih akan

diteruskan menuju tahapan pengukuhan agar mencapai Penetapan yang

berkekuatan hukum mengikat. Dalam rangkaian kegiatan yang akan

dilakukan menuju Penetapan status kawasan tersebut tentunya memerlukan

kajian mendalam terhadap aspek sosial budaya mengingat di dalam lokasi

Taman Nasional tersebut terdapat masyarakat yang telah menghuni dan

Page 78: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

66 

menggarap lahan sejak lama. Lebih lanjut diharapkan bahwa penetapan

kawasan hutan (konservasi) tidak melewati bagian-bagian penting yang

kadang dipahami sebagai pengingkaran terhadap hak rakyat.

Kondisi lapar lahan dan ketidakpastian status hukum hutan perlu

segera diantisipasi melalui prioritas pemantapan kawasan. Untuk

memastikan kawasan hutan Negara agar berkekuatan hukum dilakukan

kegiatan pengukuhan hutan, yang menurut UU No.5 tahun 1967,

dimaksudkan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan hutan

lindung, hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata. Terdapat 3

(tiga) prinsip dalam kegiatan pengukuhan, yakni (1) tahap penunjukan, (2)

tahap kegiatan pengukuhan dan (3) tahap penetapan.

Data Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2011

menyebutkan bahwa dari total kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan

hutan Negara, baru sekitar 11,1% yang berhasil ditetapkan status hutannya.

Ironi bagi sebuah Negara yang memiliki hutan terluas ketiga di dunia,

setelah Brazil dan Republik Kongo, tetapi masih dalam kondisi belum

mantap status hukumnya. Termasuk masih dalam proses penetapan adalah

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No.175 tahun 2003 yang menunjuk kawasan hutan gunung

halimun (TNGH) dan hutan eks Perum Perhutani, menjadi bagian dari

proses pengukuhan kawasan seluas +113.000 Ha sebagai kawasan

konservasi. Penunjukan hutan pada dasarnya merupakan penetapan awal

peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah hutan. Penunjukan ini

Page 79: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

67 

didasari pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) atau Goberneur

Besluit (GB) Pemerintah Hindia Belanda atau atas dasar tukar menukar

kawasan hutan dengan hutan milik, hasil kompensasi terhadap pemakaian

kawasan hutan di daerah yang luasan kawasan hutannya sudah sangat

minimal dan atau karena perbuatan hukum lain.8

Prinsip pengukuhan hutan tersebut tidak banyak diketahui publik,

seolah-olah penunjukan mengandung legitimasi yang kuat atas ketetapan

status kawasan. Diatur oleh Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1970

tentang Perencanaan Hutan dan Keputusan Menteri Kehutanan No.

399/Kpts-II/1990 tentang Pedoman pengukuhan Hutan, bahwa setelah

Penunjukan, Kementerian Kehutanan harus menempuh 8 (delapan)

kegiatan lanjutan menuju Penetapan, yakni: (1) penyusunan rencana kerja

dan pembuatan peta; (2) Penyusunan Konsep Trayek Batas; (3) Rapat

Panitia Tata Batas; (4) Pemancangan Patok Batas; (5) Inventarisasi dan

Penyelesaian Hak-Hak Pihak Ketiga yang berkaitan dengan Trayek Batas;

(6) Pengumuman; (7) Kegiatan Pengukuran, Pemetaan dan Pemasangan Pal

Batas; (8) Membuat dan Menandatangani Berita Acara Tata Batas. Panitia

tata batas dimaksud berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No.400/Kpts-

II/1990 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas, terdiri atas unsur:

Bupati/Walikota sebagai Ketua panitia merangkap Anggota, Kepala

Cabang Dinas Kehutanan/Administratur Perhutani sebagai Sekretaris

merangkap Anggota, Badan Perencana Pembangunan Daerah Tk.II sebagai

                                                            8  Salim, HS. Dasar‐Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika Offset. Jakarta 

Page 80: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

68 

Anggota, Kantor Badan Pertanahan Nasional Tk.II sebagai Anggota, Dinas

Pertanian yang terkait sebagai Anggota, Camat sebagai Anggota, Sub Balai

Inventarisasi dan Perpetaan Hutan sebagai Anggota, Sub Balai/Sub Seksi

Konservasi Sumber Daya Alam sebagai Anggota, dan perwakilan Instansi

lain yang dianggap perlu.

Uraian di atas menunjukan kerumitan Pemerintah (dalam hal ini

Kementerian Kehutanan) untuk memastikan kemantapan status kawasan

hutan. Situasi tersebut, menjadi salah satu akar konflik sektor kehutanan,

yang pada akhirnya dalam beberapa kasus dimanfaatkan segelintir orang

atau yang disebut sebagai ‘penunggang gelap’ untuk mengajukan klaim

atas tanah/yang diakui mereka sebagai atau untuk menjadi Hak Milik

ataupun Hak Adat. Begitu pula yang terjadi di lokasi penunjukan TNGHS.

Tidak lama berselang setelah dikeluarkannya SK 175/2003, berbagai

kelompok masyarakat yang mengatasnamakan perwakilan dari masyarakat

adat ataupun masyarakat setempat menolak keputusan penunjukan kawasan

konservasi di atas lahan yang mereka klaim sebagai hak mereka. Tentu hal

tersebut akan memakan banyak energi dan biaya dalam penyelesaian

sengketa dan tidak menemukan penyelesaian yang win-win apabila masing-

masing pihak ‘lagi-lagi’ tidak mengedepankan itikad baik konservasi

sebagai ‘kepentingan utama’. Secara umum, terdapat ambivalensi

Pemerintah vs Masyarakat, Di satu pihak, Pemerintah menganggap rakyat

tidak mendukung kebijakan konservasi, namun di sisi yang lain-masyarakat

sepertinya menuduh Pemerintah melakukan akal-akalan dalam menetapkan

Page 81: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

69 

kawasan konservasi secara sepihak untuk dapat mengusir mereka dari

lokasi yang ditunjuk dan dicurigai adanya kecenderungan memprioritaskan

investor dalam mengelola hutan.

Kebijakan konservasi di TNGHS khususnya, berimplikasi pada

terjadinya konflik, khususnya menyangkut konflik vertikal antara rakyat

dengan Negara. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang belum

terselesaikan sebelumnya atas penetapan status hutan negara, seperti:

kesejahteraan, status hukum kepemilikan lahan, ketersediaan lapangan

pekerjaan, dan sebagainya dianggap bertambah pelik dengan lahirnya

kebijakan konservasi. Hal ini salah satunya disebabkan karena perbedaan

persepsi mengenai konservasi itu sendiri dan kurangnya sosialisasi atas

itikad baik penunjukan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi.

Beberapa hal tersebut dan uraian akar konflik secara umum dapat

dimaknai sebagai sumber konflik.

Peta spatial yang berbeda yang digunakan oleh pusat, daerah dan

antar instansi (misal: Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan

Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum, Bakosurtanal, Badan Pertanahan,

Pemerintah Daerah, dll) menimbulkan konflik batas yang menimbulkan

ketidakjelasan status kawasan. Sebagai contoh: Kementerian Kehutanan

menggunakan peta penunjukkan kawasan hutan Tata Guna Hutan

Kesepakatan-TGHK dengan skala 1: 250.000 sebagai data awal untuk

menentukan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam serta hutan

lindung. Namun skala ini tidak cukup detail untuk digunakan di tingkat

Page 82: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

70 

daerah atau kabupaten, sehingga selisih batasan menimbulkan konflik di

lapangan, belum lagi jika persoalan dihubungkan dengan aspek historis

(masyarakat adat khususnya). Saat ini digunakan Peta Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK) Paduserasi yang dikeluarkan oleh Kementerian

Kehutanan dengan koordinasi berbagai instansi sektor lainnya, utamanya

perwakilan unsur Pemerintah Daerah dan dibuat melalui pendekatan yang

menyesuaikan kepentingan daerah atau mengikuti Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW). Aspek sosio-historis masih belum mendapat ruang

penyelesaian dalam Paduserasi ini, terkait masih tingginya klaim

kepemilikan masyarakat setempat atas lahan yang masuk ke dalam

Paduserasi tersebut.

Penunjukan Perluasan Kawasan Taman Nasional sebagai

Kawasan Konservasi di wilayah TNGHS ini rupanya bukan merupakan

harga mati. Masih ada ruang untuk mengoptimalkan aspek kajian sosial

budaya sebelum Penetapan Status Kawasan Hutan yang berkekuatan

hukum tetap (final).

B. Konflik Vertikal di Kawasan Hutan

Secara umum konflik di TNGHS bersifat vertikal. Konflik ini

melibatkan Negara di satu sisi, yang diwakili oleh Kementerian Kehutanan,

dan masyarakat setempat di sisi lainnya. Sekalipun terdapat nuansa konflik

yang bersifat antar lembaga pemerintah, dalam hal ini misalnya konflik antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tapi bisa dibilang konflik vertikal

Page 83: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

71 

inilah yang mewarnai dan mendominasi sebagian besar perselisihan yang

muncul akibat penunjukan kawasan Gunung Halimun Salak sebagai kawasan

pelestarian alam berupa taman nasional.

Bagi Kementerian Kehutanan, kawasan Gunung Halimun Salak

seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya, bersifat strategis dalam

rangka konservasi. Keberadaan kawasan ini berfungsi penting untuk menjaga

stabilitas biodiversitas sebagai penyangga ekosistem untuk daerah ibukota

Jakarta dan sekitarnya. Lebih dari itu TNGHS juga berfungsi sebagai tempat

penelitian, pengawetan, rekreasi dan berbagai fungsi lain sebagaimana

dimaksudkan dalam UU tentang konservasi sumber daya alam yang di

dalamnya mencantumkan dan menjabarkan fungsi-fungsi Taman Nasional.

Berdasarkan ini semua Kementerian Kehutanan sangat berkepentingan

mempertahankan kawasan Gunung Halimun Salak sebagai sebuah kesatuan

ekosistem yang dikelola secara integratif di bawah kendali Kementerian.

Di atas sudah disebutkan bahwa secara khusus kepentingan untuk

melakukan konservasi sumber daya alam telah dituangkan dalam UU No

5/1990. Persoalannya implementasi UU ini berjalan tidak sesuai dengan yang

diharapkan, yang menurut penulis menjadi sumber utama terjadinya konflik

vertikal. Pertama-tama, sosialisasi UU No.5/1990 tidak dilakukan secara

optimal oleh kementerian. Ketidakoptimalan ini bisa dimengerti menjadi

sumber penting salah persepsi masyarakat terhadap niat baik pemerintah

melakukan pelestarian sumber daya alam. Masyarakat setempat, sebagai

contoh, dengan mudahnya menangkap maksud kebijakan konservasi dari

Page 84: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

72 

Kementerian Kehutanan sebagai upaya Negara mengambil hak atas tanahnya

yang selama bertahun-tahun menjadi sumber penghidupannya.

Situasi ini masih diperparah dengan ketidaksiapan pemerintah

dalam membentuk zonasi dan mensosialisasikannya sesuai dengan yang

diharapkan. Sebetulnya UU tersebut mengatur tentang zonasi kawasan Gunung

Halimun Salak dengan tujuan memaksimalkan tiga fungsi hutan: ekologi,

ekonomi dan sosial. Dengan Zonasi ini masyarakat setempat tidak akan serta

merta direlokasi selama mereka bisa menempati zonasi yang sesuai dan

memenuhi beberapa persyaratan yang memenuhi kaidah konservasi jika ingin

tetap terus berdiam di kawasan tersebut. Kelambatan pemerintah dalam

menentukan dan mensosialisasikan zonasi sesuai termaktub UU No.41/1999

dan UU No.5/1990 justeru dittangkap sepihak sebagai upaya mendorong

relokasi masyarakat setempat. Bisa dimengerti jika sosialisasi ketentuan zonasi

kawasan konservasi yang tidak tepat ini mendapat tentangan dari masyarakat

yang sebetulnya (saat ini) memiliki kemampuan berpikir rasional. Maksudnya,

mereka bisa menerima kebijakan konservasi sumber daya alam di wilayah

huniannya sepanjang kebijakan yang bersangkutan tidak membawa kerugian

ekonomi dan sosial.

Dari sisi masyarakat, kebijakan konservasi sumber daya alam,

apalagi yang menimbulkan konflik, sering dilihat sebagai peluang oleh pihak-

pihak yang diistilahkan Penulis sebagai ‘penunggang gelap’. Kawasan yang

baru dijadikan wilayah konservasi seperti TNGHS kerap diperlakukan sebagai

wilayah tak bertuan yang bisa dipergunakan ‘tanpa aturan’. Kondisi inilah yang

Page 85: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

73 

mendorong masuknya sejumlah perambah hutan yang justru kebanyakan

berasal dari luar atau daerah sekitar taman nasional. Sebagai contoh di kawasan

Lokapurna, terjadi peningkatan pesat jumlah pendatang dalam tujuh tahun

terakhir bahkan setelah penunjukkan TNGHS.

Ketegangan yang muncul antara Kementerian Kehutanan dan

masyarakat di TNGHS dengan mudahnya tersulut menjadi konflik terbuka.

Sementara beberapa kekeliruan dalam tahap implementasi terus terjadi,

ketegangan vertikal ini membuka jalan bagi masuknya beberapa aktor lain

seperti sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Sudah tentu tidak semua LSM

bisa dikategorikan dengan cara yang sama, termasuk diantaranya beberapa

LSM yang memiliki perhatian yang bisa diterima bagi kepentingan konservasi

maupun kepentingan penghidupan masyarakat di wilayah taman nasional.

Namun berdasarkan beberapa temuan yang Penulis peroleh, sebagian besar

LSM, terutama yang lokal, yang terlibat dalam konflik di TNGHS cenderung

memperkeruh suasana. Sebagai contoh, LSM-LSM ini mengetahui peluang

hukum hutan Negara yang bisa diganggu gugat oleh klaim kepemilikan

masyarakat setempat. Sebagian besar LSM lokal mendorong masyarakat untuk

menuntut hak kepemilikan. Tindakan semacam ini bertolak belakang dengan

aktivitas beberapa LSM lain. LSM jenis yang ini melakukan beberapa hal yang

penulis nilai positif bagi proses penyelesaian konflik seperti sosialisasi arti

penting konservasi, menyiapkan masyarakat untuk tidak sepenuhnya

bergantung pada hutan dan peningkatan kapasitas masyarakat agar memiliki

keahlian dan ketrampilan untuk bekerja di sektor-sektor non kehutanan.

Page 86: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

74 

BAB IV BERKACA DARI KASUS VILLA ‘LIAR’

Pada bab ini, selain menguraikan kronologi dan siklus konflik villa yang dianggap liar di kawasan Gunung Salak Endah, juga mengidentifikasi aktor-aktor

yang terlibat konflik dan mengkaitkan kejadian konflik Villa dengan isu-isu pokok yang muncul dalam hubungan-hubungan yang diamati dan pernah diteliti. Dalam kajian digunakan analogi bawang Bombay yang dipopulerkan oleh Simon Fisher dkk (2000) untuk memilah kemungkinan posisi, kepentingan dan kebutuhan

pihak-pihak yang bertikai yang dikaitkan dengan permasalahan kontemporer, seperti misalnya: disharmoni dan egosektoral akibat otonomi daerah dan faktor

lain yang berpengaruh, termasuk kemungkinan resolusinya.

A. Kronologis Konflik Villa

1. Tanggal 31 Agustus 1954, berdasarkan SK Menteri Pertanian

No.92/1954, kelompok hutan Ciampea, KPH Bogor seluas 14.368 Ha

ditunjuk sebagai kawasan hutan berfungsi sebagai Hutan Lindung dan

Hutan Produksi dan telah diadakan pengukuran definitif tahun 1975 serta

rekonstruksi batas tahun 1985.

2. Tanggal 1 Juni 1967, beberapa orang Veteran RI yang tergabung dalam

Markas Seksi LVRI Cibungbulan, melalui surat No.139/1967,

mengajukan Permohonan izin menggarap Lahan, yang ditujukan

kepada Kepala Perum Perhutani KPH Bogor.

3. Kurang dari lima hari, yakni tangal 5 Juni 1967, Permohonan 75 orang

veteran untuk mengggarap tanah di Blok Rawalega, Rawa tempele dan

Pasir Malang (kawasan Hutan Gunung Bunder) seluas +70 Ha disetujui

dengan cara tumpang sari selama jangka waktu 5 (lima) tahun.

Page 87: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

75 

4. Tanggal 10 Agustus 1967, Markas Seksi LVRI Cibungbulan kembali

mengajukan permohonan perihal pembukaan Proyek Pertanian dan

Peternakan Veteran lokal di Gn.Picung yang ditujukan kepada Menteri

Veteran dan Demobilisasi RI.

5. Setelah keputusan Menteri Veteran dan Demobilisasi RI yang menyetujui

Proyek Pertanian tersebut sesuai SK No.72/kpts/MenVed/1972 tertanggal

10 Agustus 1967, Proyek berlangsung tertib dan sesuai peruntukannya

selama 5 tahun sejak tahun 1967-1972.

6. Setelah itu terjadi berbagai penyimpangan oleh pimpinan proyek,

diantaranya melakukan jual beli lahan illegal. Penanganan terhadap

penyimpangan ini dilakukan dengan cara pengangkatan kepengurusan

Pimpinan Proyek yang baru dan koordinasi lintas sektor termasuk usulan

untuk membentuk Tim Terpadu. Tim terpadu ini merupakan gabungan

unsur pihak yang berkonflik, terdiri atas: Perwakilan Dephut,

Dephankam, Perhutani, Pemda, LVRI dan terkait.

7. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1978, ditetapkan

Pendirian Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) Wilayah

Jawa Barat yang secara utuh dilegitimasi menjadi Perum Perhutani

(meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura) berdasar

Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1986.

8. Pada tanggal 8 Agustus 1979, Kepala Kantor Administrasi Veteran dan

Demobilisasi (KANMINDEV) IX mengeluarkan Surat Keputusan No.

Kep/140/III/1979 tentang Penertiban kembali Proyek Pertanian dan

Page 88: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

76 

Peternakan Veteran Lokapurna Gunung Picung. Penertiban dimaksudkan

untuk menanggapi keluhan warga veteran penghuni proyek mengenai

kebijaksanaan yang diambil Ketua Harian Proyek, dengan cara

memberhentikan pengurus lama dan mengangkat Pengurus yang baru.

9. Pada tanggal 22 Februari 1985, Menteri Hankam RI mengeluarkan surat

Persetujuan Pembentukan Tim Terpadu, Nomor B/142/M/25/12/Set

yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI.

10. Menteri Kehutanan saat itu, melalui SK No.140 tanggal 18 Juni 1985

memandang perlunya proses kajian terhadap permasalahan dengan

memerintahkan Pembentukan Tim Peninjauan atau Tim Penelitian yang

bertugas mengadakan peninjauan atau penelitian lapangan atas Kawasan

Hutan Ciampea Kabupaten Bogor yang digunakan untuk Proyek

Pertanian Veteran dan Demobilisasi RI ‘Lokapurna’ termasuk calon

tanah penggantinya (sesuai ketentuan ruislag).

11. Keikutsertaan Departemen Hankam c.q. Dirjen Persmanvet dalam kasus

ini tampak pada surat No.D/48/V/1986 tertanggal 17 Desember 1986

mengenai penunjukan lokasi tanah pengganti (tukar guling Lokapurna)

yang terletak di Desa Antajaya, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor.

Surat ini hanya berhenti di tataran administrasi karena lokasi yang

ditunjuk sebagai calon tanah pengganti sampai hari ini belum dilakukan

proses pembebasan.

Page 89: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

77 

12. Setelah melihat perkembangan situasi dan laporan Tim, Menteri

Kehutanan melalui surat No 239, tertanggal 10 Juni 1987 mengirimkan

surat kepada Menteri Hankam RI, yang diantaranya berisi:

a. Proyek Pertanian Veteran dan Demobilisasi RI Lokapurna yang diketahui

berada pada lahan hutan seluas total +560,29 Ha, terdiri atas seluas

+256,77 Ha di Hutan Produksi disetujui untuk Tukar Guling, dan seluas

+303,52 Ha di Hutan Lindung harus dikosongkan untuk dikembalikan

sesuai Fungsinya.

b. Departemen Pertahanan dan Keamanan C.q. Proyek Pertanian dan

Demobilisasi Veteran RI Lokapurna diperkenankan melakukan kegiatan

lanjutan setelah dapat menyelesaikan Calon Tanah Penukarnya (Ruislag).

Ratio tukar menukar kawasan hutan tersebut ditetapkan 1:1.

13. Ijin Prinsip Menteri Kehutanan No.497/Menhut-II/1994 tanggal 25 April

1994, seluas ±256,77 ha, diberikan kepada Direktur Utama Perum

Perhutani untuk Tukar Menukar Kawasan Hutan Lokapurna Gunung

Sunder Jawa Barat dengan kewajiban memberikan tanah pengganti

dengan rasio 1:1 dalam jangka waktu 1 tahun.

14. Terhitung sejak 1 Januari 1996, Badan Pemeriksa (BARIKSA) LVRI

memutuskan mengangkat Tatang Suwandi sebagai Ketua BALAK LVRI

dengan kuasa dan wewenang penuh untuk membentuk personal dalam

pelaksanaan penertiban lokasi serta menentukan dan memutuskan

langkah-langkah kebijkasanaan untuk suksesnya masalah Proyek

Pertanian Veteran serta pengadaan lahan pengganti dan proses tukar

Page 90: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

78 

menukar. Dalam perkembangannya, kepemimpinan Tatang Suwandi

dianggap gagal karena banyaknya penyelewengan dan penyalahgunaan

wewenang.

15. Penyelesaian yang berlarut-larut oleh pimpinan LVRI, pengurus proyek

bahkan Dephankam c.q. Permansvet mendorong Markas Daerah

(MADA) LVRI Jabar untuk ikut terlibat.

16. Pada tanggal 24 Juli 1996, MADA LVRI Jabar c.q.BALAK LVRI

mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan sesuai surat

No.05/KLP/VII/1996 untuk menginformasikan lahan pengganti di Desa

Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.

17. Departemen Kehutanan c.q. Dirjen Intag merespon dengan mengirimkan

surat No.1315/VII/TGH-PFH tertanggal 16 September 1996 kepada

Dirut Perhutani dan Kakanwil Kehutanan Jawa Barat untuk bersama-

sama melakukan peninjauan lapangan dengan helikopter terhadap calon

tanah pengganti di Kabupaten Sukabumi dimaksud.

18. Pada tanggal 18 September 1986, berdasar perintah Menteri Kehutanan,

Dirjen Intag melakukan peninjauan lokasi calon pengganti di Desa

Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi seluas 256,77 Ha.

19. Melalui surat No.1362/Menhut VII/1996, tertanggal 1 Oktober 1996,

Menhut menyetujui calon tanah pengganti dan meminta agar pimpinan

veteran menyelesaikan proses tersebut sesuai peraturan yang berlaku.

20. Selanjutnya, Dirjen Intag Dephut, pada tanggal 11 Oktober 1996 melalui

surat No.975/A/VII-9/1996 meminta pimpinan proyek veteran lokapurna

Page 91: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

79 

untuk melakukan pengukuran definitif terhadap kawasan hutan yang

akan digunakan sebagai Proyek Demobilisasi dan termasuk calon tanah

pengganti dimaksud dengan pembiayaan sepenuhnya ditanggung oleh

proyek veteran lokapurna. Disarankan agar mekanisme di lapangan

berkoordinasi dengan Pemda setempat, Kanwil Kehutanan Jabar serta

BPN setempat.

21. Tanggal 30 Oktober 1996, MADA LVRI Jabar mengukuhkan

organisasinya sebagai Badan Pelaksana (BALAK) LVRI melalui surat

No. SP.46/MADA/X/1996 dengan argumentasi ketidakmampuan LVRI

Kab. Bogor, LVRI Kec.Cibungbulan dan Dephankam dalam

menyelesaikan proses ruislag selama 30 tahun (1967-1996).

22. Memulai kinerjanya, MADA LVRI Jabar (BALAK LVRI) melalui surat

No.105/BALAK/I/1997 tanggal 1 Januari 1997, kepada Kakanwil BPN

Jabar meminta untuk melakukan pengukuran kawasan hutan Lokapurna

Gn.Picung Kab.Bogor dan calon tanah pengganti di Desa Ciwalat,

Kec.Pabuaran, Kab.Sukabumi.

23. Bupati Sukabumi melalui surat No.590/086.Huk tertanggal 8 Mei 1998,

memberikan persetujuan prinsip atas pembebasan tanah seluas +260 Ha

di Desa Ciwalat tersebut untuk atas nama BALAK LVRI.

24. Tanggal 26 Oktober 1999, BALAK LVRI (MADA JABAR)

mengirimkan surat persetujuan atas calon tanah pengganti kepada

Menteri Kehutanan dan Perkebunan c.q. Kepala BAPLAN dengan

Page 92: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

80 

permohonan dispensasi perpanjangan waktu penyelesaian lahan

pengganti dan pengukurannya.

25. Periode 1999-2001, pengukuran batas luas lokasi Proyek Pertanian

Lokapurna telah selesai dilakukan, sedangkan upaya pembebasan dan

pengukuran batas calon tanah pengganti sedang dalam proses.

26. Atas nama Penghuni dan Penggarap kawasan Proyek Pertanian Veteran

Lokapurna, pada tanggal 1 April 2005 ditetapkan pencabutan kuasa

kepada YVLP terkait pengurusan tanah pengganti karena dianggap gagal

menyelesaikan ruislag selama 7 tahun.

27. Selanjutnya pada tanggal 6 Juni 2005, ketua BALAK LVRI dilaporkan

ke Kapolres Kab.Bogor dan diminta untuk tidak lagi ke lokasi Lokapurna

dan tidak ikut campur urusan Lokapurna.

28. Pada tanggal 28 Juni 2005, diputuskan oleh Pimpinan Daerah LVRI

Provinsi Jabar, untuk mengangkat Pimpinan Cabang/Pincab LVRI

Kab.Bogor (Ateng Surirdjo) selaku Pengawas dan Ketua Maran LVRI

Kec.Cibungbulan dan Pamijahan (Soleh Fajar) selaku pengelola dan

bertugas menyelesaikan tukar guling Lokapurna.

29. Direktur Utama Perum Perhutani pada tanggal 8 Agustus 2005,

mengirimkan surat kepada Sekjen Dephut yang intinya menyatakan

dukungan terhadap pihak LVRI untuk menyelesaikan proses tukar

menukar kawasan hutan Lokapurna yangs empat terhenti serta untuk

lebih proaktif dalam menyelesaikan dan melengkapi kewajiban-

kewajiban sebagaimana dipersyaratkan.

Page 93: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

81 

30. Selanjutnya, persoalan internal Proyek dan ketidakmampuan

menyediakan lahan pengganti sesuai ketentuan terus berlangsung,

termasuk klaim organisasi atau pihak yang sah dalam pengurusan tukar

menukar kawasan Lokapurna. Masing-masing bertindak untuk dan atas

nama penghuni dan penggarap areal proyek pertanian dan demobilisasi

Veteran Lokapurna.

31. Sejak tahun 1980-2000an telah terjadi jual beli tanah/ over kepemilikan

di lokasi proyek eks Veteran, termasuk diantaranya dimiliki oleh Pejabat/

Artis ternama dengan status kepemilikan yang variatif. Di atas tanah-

tanah tersebut didirikan Villa permanen, semi, maupun non permanen

dengan kategori biasa sampai sangat mewah. Beberapa diantaranya

menggunakan tanah tersebut untuk bisnis peternakan atau pertanian.

Villa-villa disewakan kepada umum.

32. Pemerintah Daerah, melalui surat Bupati No.550.1/057-DIP, tertanggal

25 Februari 1989 perihal pengendalian penggunaan lahan di kawasan

pariwisata Gunung Salak Endah, salah satunya menyebutkan bahwa

Kawasan tersebut ditetapkan secara nasional sebagai kawasan pariwisata

alternatif bagi kawasan pariwisata puncak.

33. PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara

(Perum Perhutani) dalam pasal 9 dinyatakan bahwa wilayah kerja Perum

Perhutani meliputi hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Barat,

Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten kecuali kawasan hutan konservasi.

Page 94: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

82 

34. Terdorong isu konservasi dan tekanan internasional, Pemerintah (dalam

hal ini Departemen Kehutanan RI) mengeluarkan SK No.175, tertanggal

10 Juni 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung, Hutan

Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, pada kelompok hutan Gunung

Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas 113.357 Ha di Prov.

Jawa Barat & Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

35. Di luar konteks Ekologi, Lahirnya SK tentang Taman Nasional tersebut,

tidak hanya menyisakan persoalan konflik dengan pihak LVRI tetapi juga

Masyarakat Desa Hutan (MDH) di dalam dan sekitar hutan yang menjadi

obyek perluasan itu sendiri. Masyarakat setempat dan pihak yang terkena

dampak, termasuk tentunya warga eks Proyek Lokapurna (diantaranya

adalah para pemilik Villa) mencoba mempertanyakan dan

mempermasalahkan kebijakan Menteri tersebut.

36. Melalui Badan Pengurus Yayasan Veteran (BP-LVRI) Lokapurna

mengajukan permohonan kepada Badan Planologi (Baplan) Departemen

Kehutanan melalui surat Nomor B/2-7/YVLP/2006 tertanggal 20 Juli

2006, untuk kembali memproses tukar menukar (ruislag).

37. BAPLAN Departemen Kehutanan melalui surat No. No.S.880/VII-

Kp/2006 tertanggal 15 September 2006, melimpahkan kewenangan

penyelesaian tukar menukar kawasan Lokapurna kepada Direktorat

Jenderal PHKA Dephut.

38. Secara khusus persoalan Proyek Pertanian dalam hal Penyelesaian tukar

menukar lahan di Kawasan Hutan Produksi seluas +256,77 Ha belum

Page 95: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

83 

bisa terselesaikan sampai kemudian tanggal 15 Juni 2007 melalui SK

Menhut No.225, dibentuk Tim terpadu Percepatan Penyelesaian Tukar

menukar seluas +256,77 Ha tersebut.

39. Ironisnya, melalui surat No.B/il97/08/38/69/DJKUAT tertanggal 23

November 2007, Dirjen Kekuatan Pertahanan a.n. Menteri Pertahanan

menyampaikan kepada Menteri Kehutanan bahwa Departemen

Pertahanan tidak dalam posisi dapat memutuskan organisasi Veteran

yang paling berhak atas penyelesaian kasus tukar menukar kawasan

hutan Lokapurna, dianjurkan agar Dephut berkoordinasi dengan Ketua

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LVRI.

40. Tanggal 11 Januari 2008, Ketua DPP LVRI menyampaikan surat kepada

Menhut bahwa BALAK LVRI adalah Badan Pelayanan yang

dikendalikan Pimpinan Pusat LVRI untuk menyelesaikan ruislag.

41. Selanjutnya pihak Dephut (Dirjen PHKA) pada tanggal 27 Februari 2008

mengirimkan surat kepada YVLP dan LVRI Kec. Pamijahan yang

memberitahukan bahwa TIM TERPADU percepatan penyelesaian ruislag

selanjutnya akan berkoordinasi dengan BALAK LVRI sesuai surat

Dephan dan DPP LVRI dan berkaitan hal tersebut kedua pihak (YVLP

dan LVRI Kec. Pamijahan) dapat memberikan tanggapan tertulis.

42. Pihak-pihak tersebut selanjutnya memberikan tanggapan tertulis sebagai

pihak/organisasi veteran yang sah dengan menyebutkan bahwa organisasi

BALAK LVRI tidak dikenal sebagai organisasi veteran Departemen

Page 96: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

84 

Pertahanan dan apabila Dephut memberi ijin ruislag pada BALAK LVRI,

maka akan ditempuh jalur hukum.

43. Pada tanggal 11 Maret 2008, DPP LVRI bersurat kepada Dirjen PHKA

menyampaikan ucapan terima kasih atas penetapan BALAK LVRI

sebagai mitra koordinasi/konsultasi dalam penyelesaian ruislag dan

memohon agar Tim Terpadu bersedia menerima BALAK LVRI untuk

mempresentasikan progress dari upaya tukar menukar kawasan.

44. Departemen Kehutanan melalui ketua Tim Terpadu, pada tanggal 26

Maret 2008, melalui surat No.S.105/KK-1/2008, meminta agar DPP

LVRI memfasilitasi ketiga organisasi veteran (YVLP, BALAK LVRI

dan LVRI Maran Kec.Pamijahan) untuk bersama mengadakan pertemuan

dan menyepakati pihak mana yang akan ditunjuk dalam proses tukar

menukar yang selanjutnya secara resmi akan dicatat dalam Berita Acara

Hasil Pertemuan.

45. Undangan rapat DPP LVRI No. UND23/MBLV/IX104/2008 ditujukan

kepada Direktur Kehutanan, BALAK LVRI, LVRI Maran Kec.

Pamijahan, Macla dan Macab LVRI serta 7 orang purnawirawan ABRI

untuk menghadiri pertemuan membahas penyelesaian permasalahan

kawasan Lokapurna Gn.Picung yang akan dilakukan tanggal 8 April

2008 di Ruang Rapat I DPP LVRI.

46. Pada tanggal 16 April 2008, DPP LVRI menyampaikan hasil rapat

kepada Dephut dengan inti bahwa penyelesaian proses ruislag di ambil

Page 97: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

85 

alih sepenuhnya oleh MABES LVRI dan hanya MABES LVRI yang

akan berhubungan dengan Departemen Kehutanan secara sah.

47. Sepanjang tahun 2008, Koordinasi dilakukan Dephut dan MABES LVRI,

termasuk peninjauan lapangan terhadap pengalihan tanah pengganti

seluas +297 Ha dari kab. Sukabumi ke Desa Cintamekar,

kec.Serangpanjang, Desa Jambelaer Kec.Dawuan dan Desa Curug Agung

Kec.Sagalaherang Kab.Subang Provinsi Jawa Barat.

48. Akhir tahun 2009, Publik dikejutkan dengan berita Media Massa

Nasional mengenai ‘adanya bangunan/Villa liar milik pejabat tinggi dan

artis ternama’ yang berdiri di atas local point Taman Nasional dimaksud.

Sebagian besar pemilik mengaku memiliki bukti transaksi yang sah,

bahkan sampai ada beberapa yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).

Menteri Kehutanan memerintahkan membongkar bangunan yang

dianggap liar tersebut.

49. Tahun 2010, atas nama Masyarakat Korban perluasan Taman Nasional

(termasuk Pemilik Villa), melalui Kantor Pengacara Eggi Sudjana &

Partners mengajukan gugatan dan melakukan demo terhadap kebijakan

Menteri Kehutanan saat ini yang menginstruksikan pembongkaran paksa

Bangunan/Villa yang dianggap liar tersebut.

50. Uniknya, di pertengahan tahun yang sama, para pemilik Villa melalui

berita-berita media massa menyampaikan keinginannya untuk secara

‘sukarela’ memberikan Villa mereka kepada Kementerian Kehutanan.

Page 98: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

86 

B. Siklus Konflik Villa Liar

Berdasarkan teori siklus konflik Kriesberg (1998), kejadian konflk

dapat ditelaah salah satunya melalui penahapan konflik. Intensitas konflik yang

berubah-ubah, baik dari sisi aktivitas maupun level kekerasan dapat dipahami

sebagai bagian dari dinamika konflik yang dapat dirunut menjadi satu

rangkaian siklus. Ditambahkan oleh Fisher dkk (2000), tahapan konflik ini

menjadi penting untuk mengetahui posisi kejadian konflik sebagai upaya

mencegah atau mengelola konflik di masa depan yang memiliki pola-pola

peningkatan intensitas yang sama.

Siklus konflik sederhana dalam kasus Villa yang dianggap liar di

Kawasan Gunung Salak Endah-Taman Nasional Gunung Halimun Salak,

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1. Siklus Konflik Kriesberg

Sumber (Konteks)

Manifestasi

Eskalasi

Deeskalasi

Terminasi

Hasil Akhir

Page 99: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

87 

1. Sumber konflik

Ketidakpastian hukum atas status tanah garapan maupun tempat

tinggal yang diwariskan dari kebijakan konservasi oleh Belanda sejak

tahun 1800an, termasuk selanjutnya beberapa generasi pergantian Menteri

Kehutanan tidak juga dapat menyelesaikan problem sosial yang terdapat di

dalam atau sekitar kawasan hutan, terkait kepemilikan lahan dan akses

terhadap sumber daya telah menjadikan hal tersebut sebagai salah satu

konteks yang menyuburkan konflik di kawasan hutan.

Dalam kasus villa liar, permohonan Legiun Veteran Republik

Indonesia (LVRI) di tahun 1967 untuk membuka kawasan hutan Ciampea

Kabupaten Bogor (saat ini dikenal dengan Lokapurna-Lokasi

Purnawirawan) menjadi Proyek Pertanian disetujui Menteri Kehutanan

saat itu dengan ketentuan tukar menukar (ruislag) sesuai peraturan

perundangan yang berlaku. Penyelesaian proses ini terkesan sangat

lamban, bahkan sampai tahun 2008 masih dilakukan pembahasan terkait

ruislag yang masih terganjal persoalan tanah pengganti yang diwajibkan.

Sekitar tahun 1967 - 1972 beberapa keluarga veteran mendiami

lokasi dimaksud sesuai tujuan proyek, yakni bertani. Namun

penyimpangan-penyimpangan di lakukan Pengurus Proyek mulai tahun

1973, diantaranya memperjual belikan tanah yang masih dalam proses

ruislag tersebut dan dalam perkembangannya terus terjadi jual beli tanah

yang berstatus Hak Garap tersebut. Pada masa itu terjadi konflik

horizontal antara keluarga veteran maupun pendatang terhadap pengurus

Page 100: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

88 

proyek maupun di antara mereka terkait tata batas kelola dan luasan yang

diinginkan. Namun tidak menimbulkan masalah berarti ketika sifat

konfliknya masih di level individual dan tidak terorganisir. Baru di sekitar

akhir tahun 1978, sejumlah orang dari kelompok veteran menggugat

kepengurusan proyek melalui Kantor Administrasi Veteran dan

Demobilisasi, yang menghasilkan kepengurusan yang baru.

Ternyata pembentukan kepengurusan baru tidak menyelesaikan

persoalan sengketa lahan di lokasi Proyek Lokapurna, proses jual beli atau

alih garapan terus berlangsung selama beberapa decade. Proses ruislag ini

dibiarkan berlarut-larut yang seolah-olah menciptakan ‘status quo’ atas

tanah negara. Bahkan jual beli/ alih Hak garap terus berlangsung dengan

diketahui aparat setempat, termasuk manajemen Perhutani lapangan.

Sampai kemudian sekitar tahun 1990an, beberapa orang (yang saat ini di

kenal publik sebagai pejabat tinggi, pengusaha, politisi pemuka agama

maupun artis) ikut membeli tanah-tanah yang masih dalam proses ruislag

tersebut. Kepemilikan tanah berkisar antara 1 – 15 Ha/Orang. Tanah

hutan Negara yang semula di tahun 1967 hanya diminta sejumlah 70 Ha

dalam perkembangannya sudah diduduki seluas +560 Ha, yang berada di

lokasi Hutan Produksi dan Hutan Lindung (saat itu merupakan wilayah

kewenangan Perum Perhutani-BUMN Kehutanan sebelum keluar Surat

Keputusan Menteri kehutanan No.175 tahun 2003 tentang Penunjukan

Perluasan Taman Nasional Gunung halimun dan Hutan Eks Perhutani

menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak).

Page 101: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

89 

Tidak ada ketegasan Pemerintah (Kementerian Kehutanan dan

Perum Perhutani) dalam memastikan proses ruislag untuk mengakhiri

sengketa dan mengamankan hutan negara. Jual beli lahan dan pendirian

villa secara nyata diketahui oleh aparat setempat maupun pihak Perhutani

yang saat itu berwenang atas Hutan di wilayah tersebut, namun saat itu

semua tampak berjalan biasa, tidak ada reaksi atas alih fungsi hutan

Negara yang saat ini disebut illegal.

Bahkan Legitimasi atas keberadaan villa tersebut diperkuat

melalui surat Bupati Bogor No.550.1/057-DIP tertanggal 25 februari 1989

perihal pengendalian penggunaan lahan di kawasan pariwisata Gunung

Salak Endah yang secara tegas menyebutkan kawasan pariwisata alternatif

bagi kawasan pariwisata Puncak Bogor9, secara aktif Pemerintah Daerah

menyediakan sarana prasarana pendukung seperti: jalan aspal/hotmix,

pintung gerbang wisata, information center yang diantaranya memuat

daftar villa-villa yang disewakan, kawasan parkir dan sebagainya.

Ketika proses ruislag dibiarkan mengambang maka kondisi

tersebut menciptakan ruang-ruang penyelewengan yang diasumsikan oleh

Penulis sebagai salah satu bagian dari Sumber Konflik.

2. Manifestasi Konflik

Kondisi lapar lahan, desakan investasi, kurangnya pengetahuan,

kepentingan konservasi menyebabkan benih-benih konflik laten mulai

                                                            9http://www.tvonenews.tv/www/berita/36822/pengacara_keberadaan_villa_di_gunung_ halimun_legal.html. 16 April 2010,  diakses tanggal 1 Maret 2011. 

Page 102: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

90 

muncul ke permukaan. Masing-masing pihak dalam kepentingan dan

kebutuhan yang berbeda mulai menunjukkan aktivitas yang cenderung

win-lose. Di sisi Pemerintah, dalam kewenangan yang besar berdasarkan

legitimasi Undang-Undang yang mengatur penguasaan hutan Negara,

muncul kecenderungan arogansi yang termanifestasi dalam bentuk represif

terhadap bentuk-bentuk yang dianggap ‘perlawanan terhadap kekuasaan

negara’. Kementerian Kehutanan mengekspose di media massa terkait

rencana melakukan pembongkaran villa-villa di Lokapurna kawasan

Gunung salak Endah yang dianggap liar yang berdiri di atas tanah Negara

yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Para pemilik mulai mempersiapkan kekuatan dengan

menghimpun ‘seluruh pemilik villa’ dan masyarakat setempat, termasuk

menunjuk kuasa hukum untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

3. Eskalasi Konflik

Eskalasi Konflik yang disebut Riza Noer Arfani (2011) sebagai

bagian terpenting dari Manajemen Konflik merupakan bentuk nyata

perjuangan atau perlawanan dalam mencapai tujuan. Pada tahap eskalasi

ini dimungkinkan adanya tindakan kekerasan (violence conflict) ketika

interaksi keduanya semakin menguat negatif. Seringkali pada tahap ini

masing-masing pihak berposisi zero-sum gain (salah satu harus menang).

Implementasi SK Menhut 175/2003 berimplikasi pada eskalasi konflik

yang ditunjukkan dengan adanya perlawanan dari masyarakat yang terkena

Page 103: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

91 

langsung dampak kebijakan, termasuk khususnya dalam hal ini para

pemilik villa. Kementerian Kehutanan berkeinginan memaksakan

kebijakan pembongkaran villa di kawasan Gunung Salak Endah yang

akibat kebijakan tersebut pemilik villa dipaksa atau diwajibkan untuk

membongkar villanya dan beberapa dilaporkan sebagai tindak pidana

penggunaan lahan hutan tanpa izin apabila tidak segera berinisiatif

membongkar villa mereka sendiri.

Menurut pengakuan para pemilik villa, kebijakan pembongkaran

villa ini dilakukan tanpa proses komunikasi personal terlebih dahulu

terhadap para pemilik villa. Sementara berdasar keterangan dari Balai

Taman Nasional Gunung Halimun Salak, jauh sebelumnya para pemilik

villa telah diberi surat peringatan sebanyak tiga kali untuk membongkar

villanya yang dianggap telah menyalahi peruntukan kawasan hutan.

Pemilik villa melakukan perlawanan dengan menunjukkan bukti-

bukti berupa surat jual beli (over alih garapan), bahkan sejumlah 6 (enam)

orang menunjukkan bukti kepemilikan (SHM) dan Izin Mendirikan

Bangunan (IMB). Sebagian besar menunjukkan bukti setor pembayaran

pajak (PBB) dan restribusi jasa wisata yang ditetapkan oleh PEMDA

melalui Peraturan Daerah.

Pada tanggal 14 April 2010, pemilik villa dan warga setempat

melakukan demo besar-besaran yang melibatkan sejumlah sekitar 700

orang di kantor Bupati Bogor dengan aspirasi menolak pembongkaran

villa dan rumah-rumah penduduk. Sebelumnya, dalam jumlah yang tidak

Page 104: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

92 

banyak, sejumlah orang (mengatasnamakan pemilik villa) juga telah

melakukan Demo di depan kantor Kementerian Kehutanan.

Pada tahap ini, masing-masing pihak masih bertahan dengan

posisi masing-masing dalam mempertahankan kepentingannya.

4. Deeskalasi

Dalam jangka waktu bervariasi pihak yang berkonflik mengalami

Deeskalasi (penurunan ketegangan konflik) yang ditimbulkan oleh faktor

internal maupun intervensi eksternal. Dalam perkembangan kasus

pendirian villa di Lokapurna TNGHS setelah eskalasi, masing-masing

pihak berusaha menahan diri untuk menekan intensitas konflik. Upaya-

upaya mediasi atau negosiasi dilakukan dengan kesadaran kedua pihak.

Kementerian Kehutanan berusaha menggandeng pihak-pihak lain untuk

mengupayakan resolusi. Dibentuk Tim terpadu yang melibatkan kalangan

akademisi, LSM/NGO, dan pihak terkait lain sebagai upaya mendesain

konstruksi sosial menuju penetapan kawasan TNGHS yang berkekuatan

hukum tetap, dengan pengaturan zonasi Taman Nasional, termasuk

diantaranya di duga untuk mengakomodir keberadaan villa-villa dan

masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan.

Sedangkan pihak pemilik villa melakukan beberapa upaya

penyelesaian, melalui pendekatan langsung ataupun tidak, seperti melalui

Menteri Kehutanan ataupun DPRD Kabupaten Bogor baik secara personal

maupun dalam kapasitas institusi. Pada hari penanaman tahun 2010 yang

Page 105: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

93 

lalu, diberitakan media, para pemilik villa di undang Kementerian

Kehutanan untuk secara khusus melakukan simbolis penanaman bersama.

Ini menunjukkan pada publik telah ada upaya rekonsiliasi kedua pihak

yang masih dalam proses penyelesaian, meskipun hasil akhirnya belum

diketahui pasti. Kondisi di lapangan masih sama, villa-villa tetap berdiri

kokoh, sebagian tetap dikomersilkan dan bahkan ada beberapa villa baru

yang sedang dibangun.

Dalam tahapan ini, tampak sekali ada beda perlakuan dari

kementerian terhadap pelaku yang sama-sama disebut ‘perambah’. Dalam

kasus masyarakat biasa, penanganan kasus perambahan cenderung

represif, terutama untuk perambahan yang sifatnya individual. Namun

dalam kasus villa liar, Kementerian tampak sangat hati-hati karena

‘perambah’ yang dihadapi adalah rekan pejabat tinggi dan orang-orang

penting di negeri ini yang memiliki kekuasaan yang besar, uang yang

banyak atau popularitas.

Proses ini menjelaskan teori Jeffrey Winter (2011) mengenai

Oligarki Politik di Indonesia, bahwa di duga kuat Negara dalam

mengambil kebijakan dan menegakkan aturan hukum seringkali

dikalahkan oleh Oligarki (figur). Diskriminasi perlakuan akan berdampak

pada meluasnya kecemburuan masyarakat yang menjadi sangat berbahaya

ketika pada perjalanannya disusupi oleh ‘penunggang gelap’ yang ingin

memanfaatkan situasi.

Page 106: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

94 

5. Terminasi

Tahap Terminasi sebagai proses peralihan yang rawan intervensi

pihak-pihak yang berkepentingan. Mengacu kembali pada Rencana

Pengelolaan TNGHS 2007-2026 yang didalamnya mengatur Zona-Zona

pengelolaan Taman Nasional, masing-masing pihak berusaha menyadari

perlunya mengakomodasi kepentingan pihak lain dengan tetap

mengupayakan win-win.

Pihak Kementerian Kehutanan tampaknya akan menjadikan

kawasan Gunung Salak Endah ke dalam Zona Khusus untuk peruntukan

ekowisata, namun belum ada keterangan pasti apakah kebijakan itu serta

merta mengakomodir kepentingan para pemilik villa.

6. Hasil Akhir

Hasil Akhir idealnya memuaskan kedua pihak (Win-Win) atau

setidaknya bisa disepakati keduanya. Hasil akhir ini disebutkan oleh

Kriesberg dapat menjadi basis dari kemunculan konflik lain.

Dalam kasus kepemilikan villa liar, hasil akhir sementara

menunjukkan kondisi ‘status quo’ atas keberadaan villa tersebut. Sejumlah

kesepakatan (tidak tertulis), diantaranya pihak Kementerian tidak akan

melakukan tindakan penyegelan atau pembongkaran terhadap villa-villa

tersebut, dengan konsekuensi para pemilik villa dilarang mengkomersilkan

villa-villa tersebut. Mereka hanya diizinkan menggunakan villa untuk

kepentingan sendiri sampai keluar keputusan yang lebih mengikat. Dan

Page 107: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

95 

sampai tulisan ini dibuat, Penulis masih bertanya-tanya apakah kasus villa

liar di Lokapurna Kawasan Gunung Salak Endah akan berakhir seperti

Villa Liar di Kawasan Puncak yang ramai diberitakan media sejak 1995,

namun sampai hari ini tidak ada tindak lanjutnya.

C. Identifikasi Aktor dan Isu Utama

Kasus kepemilikan Villa Lokapurna (Lokasi Purnawirawan),

Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS yang dianggap liar menjadi bagian

dari permasalahan perambahan hutan memiliki cerita yang agak berbeda

dengan kasus perambahan biasa yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan.

Meskipun kisaran konflik keduanya sama bercorak vertikal yang melibatkan

dominasi aktor Negara, namun dalam kasus kepemilikan villa yang

dianggap liar ini terdapat kecenderungan pola yang berbeda dalam kejadian

konflik dan pendekatan resolusinya.

Disebutkan oleh Fisher dkk (2000), Pemetaan konflik memudahkan

dalam melihat hubungan antar pihak secara lebih jelas dengan maksud dapat

memahami situasi dengan lebih baik, termasuk mengevaluasi apa yang telah

dilakukan serta kecermatan memulai intervensi. Dari banyak pihak yang

berada di lingkaran konflik, perlu diidentifikasi pihak-pihak utama yang

menjadi aktor konflik atau memiliki hubungan sangat kuat dalam sengketa.

Untuk selanjutnya diketahui pihak-pihak lain yang terkait dan kemungkinan

berafiliasi dengan aktor utama atau berada diantara keduanya untuk

memudahkan dalam memahami alur konflik.

Page 108: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

96 

1. Identifikasi Para Pihak Utama dan Isu Konflik

Pihak Utama yang bertikai dalam kasus kepemilikan Villa adalah:

a. Kementerian Kehutanan

Dalam memenuhi tekanan internasional terkait isu

lingkungan dan perubahan iklim serta di duga kuat dalam rangka

menunjukan pada dunia luar bahwa Indonesia concern terhadap isu

Konservasi, ataupun dengan argumentasi lain yang masuk akal,

Kementerian Kehutanan terus berupaya memperluas kawasan

konservasi, termasuk didalamnya memperbanyak Taman Nasional.

Tahun 2003, di era Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa,

sejumlah lebih dari 35 kawasan hutan ditetapkan sebagai Taman

Nasional, salah satunya Surat Keputusan No. 175 tahun 2003 tentang

Penunjukan Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dan eks

Hutan Perhutani menjadi TNGHS dengan total luas 113.357 Hektar.

Periode Menteri selanjutnya, dalam posisi mengamankan

kebijakan Penunjukan Perluasan TNGHS sesuai SK Menhut No.175

tertanggal 10 Juni 2003, meminta mengosongkan kawasan dari hal-

hal yang tidak sesuai peruntukannya, utamanya perambahan.

Termasuk didalamnya terdapat lokasi Lokapurna tempat berdirinya

Villa yang dianggap liar, Kementerian Kehutanan memerintahkan

pembongkaran atas Villa tersebut yang mengakibatkan kondisi

eskalasi dari rangkaian konflik di lokasi yang sebelumnya masih

dalam proses ruislag (tukar menukar kawasan).

Page 109: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

97 

Beberapa tahun sebelum perintah pembongkaran, tepatnya

tahun 2007 setelah dilakukan serah terima fisik kawasan eks

Perhutani ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kepala

Balai TNGHS telah mengeluarkan 3 (tiga) buah surat yang berisi:

(1) Larangan bagi masyarakat Lokapurna untuk melakukan over alih

garapan dan membangun- surat No.s.884/IV-T.13/Linhut/2007,

tertanggal 27 September 2007; (2) Larangan kepada BPN Bogor

yang akan melakukan pengukuran- surat No.

S.970/IV/T.13/Linhut/2007, tertanggal 19 November 2007; (3)

Menolak permohonan LSM Mitra Patria Indonesia yang meminta

rekomendasi/ijin untuk dapat membayar PBB a.n. Warga RW 08 dan

RW 09 Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten

Bogor. Namun sayang, surat tersebut dikeluarkan di saat villa-villa

tersebut telah berdiri kokoh dan dikomersilkan selama dua

dasawarsa sebelumnya akibat proses ruislag yang berlarut-larut dan

kurangnya pengawasan serta pengamanan di lapangan. Ironisnya,

ditemukan beberapa bangunan villa baru yang dibangun setelah

tahun 2007 dan tetap dibiarkan.

Di masa eskalasi, Kementerian Kehutanan mengeluarkan

perintah pembongkaran secara sukarela oleh pemilik villa atau

dilakukan bongkar paksa oleh pihak Kementerian. Direktorat

Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan bahkan mengeluarkan

ancaman pidana terhadap pemilik villa yang tidak menyerahkan

Page 110: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

98 

villanya secara sukarela. Dari peristiwa ini tampak sekali ada

perbedaan perlakuan antara ‘perambah biasa’ dengan ‘perambah dari

unsur public figure’. Ancaman dan peringatan yang dikeluarkan

terhadap ‘orang-orang berkuasa negeri ini’ rupanya sekedar ‘gertak

sambal’ dan menjadi keprihatinan bersama ketika akhirnya

dipenjarakan 2 (dua) orang penduduk yang menurut pengakuan

keduanya diminta mengaku sebagai sebagai pemilik villa, belum

jelas apakah ini bagian dari kepentingan entertainment, perlu

ditelusuri lebih jauh dalam penelitian yang lain.

Pihak Kementerian memperlakukan pemilik villa sebagai

rekan, mereka diberi ruang untuk bernegosiasi. Bahkan pada acara

Hari Puncak Penanaman Nasional bulan November 2010 yang lalu

di Jatiluhur Purwakarta, yang dihadiri oleh Presiden Republik

Indonesia, para pemilik villa ditempatkan di tempat terhormat

bersama rekan pejabat, petinggi partai, duta besar negara sahabat dan

orang penting lain yang terpilih untuk melakukan simbolik

penanaman. Tentu perlakuan khusus ini tidak pernah kita dengar

ketika Kementerian Kehutanan dihadapkan pada persoalan

perambahan yang berasal dari ‘masyarakat biasa.’

b. Pemilik Villa Liar

Sebagian besar (92%) pemilik Villa liar berasal dari unsur

public figure, baik itu pejabat aktif, politisi, mantan pejabat,

Page 111: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

99 

pengusaha, pemuka agama, purnawirawan TNI, termasuk

diantaranya artis lokal dan nasional. Sejumlah +143 Villa yang

berdiri diatas lahan TNGHS seluas total + 103 Ha dimiliki sejak

tahun 1990 secara individual (bukan kolektif), bertahap mulai dari

penguasaan tanah sampai berdiri Villa-Villa dimaksud, beberapa

diantaranya digunakan untuk peternakan skala besar maupun

kegiatan bisnis lainnya. Villa-villa sebagian besar disewakan kepada

wisatawan. Tarif yang ditawarkan berkisar antara Rp. 500 ribu s.d.

Rp. 5 Juta per Malam. Angka yang cukup fantastik untuk jenis

penginapan di daerah tersebut, namun tampaknya sebanding dengan

nilai investasi yang ditanamkan.

Hampir seluruhnya mengetahui bahwa mereka membeli

tanah dalam kondisi ‘ruislag’, namun ‘merasa sah’ karena tata cara

pembelian diketahui atau melibatkan pejabat/aparat setempat.

Sebagian besar hanya memiliki Bukti kepemilikan berupa Hak garap

(over alih garapan) dengan beberapa telah memiliki Bukti Setoran

Pajak (PBB), namun diketahui ada 6 (enam) orang yang memiliki

status Hak milik atas tanah beserta IMB. Meskipun terkait

keabsahan sertifikat dan IMB ini masih dipertanyakan dan masih

dalam proses penyelidikan pihak Kepolisian.

Secara umum pemilik villa menyadari lemahnya posisi

hukum mereka terkait hak atas tanah, namun kesadaran kolektif

untuk memperjuangkan kepentingan bersama atas nama seluruh

Page 112: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

100 

pemilik Villa memberi ruang bagi penyelesaian yang diharapkan

tidak serta merta merugikan mereka yang telah menanamkan

investasi, diantaranya dalam jumlah yang cukup besar, mencapai

miliaran rupiah. Beberapa alternatif mereka tawarkan untuk

penyelesaian konflik (melalui kuasa hukum Eggy Sudjana &

Partner), diantaranya: mereka tidak akan menuntut status

kepemilikan tanah, hanya menginginkan untuk tetap diizinkan

memanfaatkan villa (hak menghuni villa) tersebut dengan kemauan

menaati peraturan yang berlaku, misal: pajak, restribusi, kewajiban

konservasi (menanam pohon-pohonan/ kegiatan penghijauan) dan

lain-lain sesuai kesepakatan.

Dalam memperjuangkan kepentingannya, selain menunjuk

kuasa hukum khusus atas nama warga Lokapurna, para pemilik villa

juga bersatu dengan masyarakat setempat melalui isu yang sama,

yakni bahwa Kementerian akan membongkar seluruh bangunan liar

yang berdiri di atas TNGHS tanpa kecuali.

Para pemilik villa juga mendesak pihak Pemerintah Daerah

untuk bersama-sama mempertahankan keberadaan villa.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pihak Pemerintah Daerah

dianggap ikut bertanggung jawab dalam hal pendirian villa

sebagaimana tertuang dalam surat keputusan bupati dan Rencana

Tata Ruang dan Wilayah Propinsi (RTRWP), yang menggambarkan

posisi villa-villa sebagai promosi wisata andalan daerah.

Page 113: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

101 

Saat ini para pemilik villa masih menanti kepastian ‘hak

atas villa’, setelah Simbolis Penanaman yang diiringi dengan

deklarasi penyerahan villa yang diorganisir Kementerian Kehutanan

akhir 2010 yang lalu. Acara ini di lansir sejumlah media massa lokal

dan nasional, seakan-akan untuk mengumumkan ke publik bahwa

pemilik villa tidak dalam posisi ‘membangkang’ terhadap kebijakan

Kementerian Kehutanan. Di antara pemilik villa yang diundang

untuk melakukan simbolik saat ini berstatus sebagai Menteri,

Anggota DPR, Pengusaha, Artis maupun pemuka Agama. Untuk

selanjutnya para pemilik villa tetap menunggu penyelesaian yang

arif sebagaimana dijanjikan Kementerian Kehutanan dalam

negosiasi tertutup yang telah dilakukan sebelumnya.

2. Para Pihak Terkait

Terdapat unsur-unsur yang berafiliasi dengan aktor utama,

dalam hal kepentingan atau posisi menguatkan salah satu pihak atas

pihak yang lain, baik secara langsung maupung tidak langsung. Namun

unsur tertentu (contoh: akademisi), meskipun di awal tampat menguat di

pihak Kementerian Kehutanan, namun dalam kerangka resolusi, unsur

tertentu tersebut bisa berposisi di tengah, di antara kedua aktor utama.

Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, misalnya, dalam kasus ini

menunjukkan fakta adanya disharmoni kebijakan Pusat dan Daerah yang

Page 114: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

102 

berdampak pada ketidakpastian nasib masyarakat dan hilang atau

menurunnya potensi sumber daya.

AKADEMISI INVESTOR

KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERS LVRI

LSM PERHUTANI DEPHAN

DPRD PEMDA

PEMILIK VILLA MASYARAKAT SETEMPAT

Keterangan Gambar

Hubungan/Dukungan Aktor Konflik

Aliansi yang Kuat Dukungan tdk Jelas

Konflik Dukungan Jelas

Aliansi yang Retak Tergantung kepentingan

Gambar 4.2. Peta Dasar Konflik Villa

Page 115: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

103 

a. BUMN Perum Perhutani

Perum Perhutani mendapat mandat dari pemerintah

(Kementerian Kehutanan) untuk mengelola hutan di seluruh Jawa,

kecuali DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Hutan Konservasi.

Termasuk dalam kewenangan tersebut adalah Kawasan hutan

Gunung Salak, Gunung Endut dan sekitarnya yang berfungsi sebagai

Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas total +73.375 Ha yang

berada dalam pemangkuan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat,

yang meliputi 3 (tiga) wilayah administratif: Bogor, Banten dan

Sukabumi. Kawasan itu sejak 10 Juni 2003, berdasar SK. 175/2003

diubah fungsinya dan ditunjuk sebagai bagian dari perluasan Taman

Nasional menjadi TNGHS. Di dalam areal perluasan sejumlah

+73.375 Ha tersebut terdapat areal seluas +256,77 Ha yang dimohon

ruislag untuk proyek pertanian veteran dan demobilisasi RI.

Proses ruislag (tukar menukar lahan) tidak pernah tuntas

karena pihak veteran tidak pernah bisa menyediakan lahan pengganti

sesuai ketentuan peraturan perundangan. Lebih dari itu tidak ada

ketegasan dari ‘pemegang kewenangan’ (dalam hal ini Perum

Perhutani dan Kementerian Kehutanan) untuk mengambil langkah-

langkah strategis dan pengamanan di lapangan. Secara administrasi,

ada upaya Kementerian Kehutanan dalam mengatasi persoalan

dengan mengeluarkan surat No. 239/Menhut-II/1987 tertanggal 10

Juli 1987 yang ditujukan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan

Page 116: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

104 

RI, yang salah satu butirnya menyebutkan bahwa Proyek Pertanian

Veteran dan Demobilisasi Republik Indonesia Lokapurna TIDAK

DIPERKENANKAN mengadakan kegiatan sebelum dapat

menyelesaikan calon tanah penukarnya. Namun, dalam praktek di

lapangan, terus terjadi pengingkaran atas ketentuan yang

menunjukan kenyataan adanya jual beli/alih garapan dan pendirian

villa. Pihak Perhutani seakan-akan tidak berdaya dalam menegakkan

fungsi pengawasan dan pengamanan lahan hutan Negara yang secara

operasional masih menjadi tanggung jawabnya. Diketahui beberapa

aparat ‘dari instansi yang menjadi cerita konflik’ bahkan ikut terlibat

dalam transaksi jual beli dan lebih parah lagi ditemukan adanya

kepemilikan villa atas nama salah satu pejabat instansi tersebut.

Pada saat eskalasi konflik (tahun 2009), kewenangan

pengelolaan lokasi eks Perhutani yang telah menjadi bagian TNGHS

sudah sepenuhnya berada di Kementerian Kehutanan sebagaimana

berita acara serah terima (secara administrasi) dari Dirjen PHKA

Dephut ke Direktur Utama Perum Perhutani No. 06/SJ/Dir/2009 dan

No.BA.5/IV/Set/2009 tertanggal 29 Januari 2009 serta serah terima

fisik kawasan eks Perhutani kepada Balai Taman Nasional Gunung

Halimun Salak dengan Berita Acara No. 004/BAST-Hukamas/ III/

2009 dan No. SKB.482/IV/T.13/Kerjasama/2009 tertanggal 28

Agustus 2009.

Page 117: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

105 

Warisan masalah eks tanah Perhutani sepenuhnya menjadi

tanggung jawab Kementerian Kehutanan, meskipun dalam

penyelesaiannya tetap melibatkan Perhutani sebagai salah satu

pelaku sejarah.

b. Departemen Pertahanan

Dalam rangka Pertahanan dan Keamanan rakyat semesta,

Departemen Pertahanan (Dephan) berfungsi dalam pembinaan LVRI

sebagai komponen cadangan Hankam Negara. Di masa Kabinet

Ampera I (periode 25 Juli 1966 – 17 Oktober 1967) urusan veteran

menjadi tanggung jawab Menteri Veteran dan Demobilisasi sebagai

bagian dari anggota kabinet pertahanan dan keamanan. Sesaat

sebelum Kabinet Ampera I berakhir, yakni tanggal 4 Oktober 1967,

Menteri Veteran dan Demobilisasi mengeluarkan Surat No.

72/Kpts/MENVED/1967, mengenai persetujuan membuka proyek

pertanian dan peternakan oleh veteran setempat. Surat tersebut

dimaksudkan untuk menjawab permohonan para veteran terkait izin

menggarap tanah kehtuanan rawalega, Pasirmalang RPH Gunung

Bunder seluas 70 Ha. Untuk selanjutnya pergantian Presiden (1967)

merubah struktur kabinet, yang menempatkan permasalahan ini

menjadi wilayah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephan).

Di lapangan, penggunaan kawasan hutan Perhutani untuk Proyek

Pertanian ini akhirnya meluas mencapai 560 Ha di areal Hutan

Page 118: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

106 

Lindung dan Hutan Produksi, yang tidak hanya dimanfaatkan oleh

anggota veteran tetapi justru sebagian besar adalah pendatang akibat

jual beli illegal oleh pengurus LVRI. Kondisi ini dibiarkan berlarut-

larut oleh pemegang kewenangan.

Dalam proses ruislag, Dephan berkapasitas menunjuk calon

tanah pengganti, namun pendanaan dibebankan ke Departemen

Keuangan. Depkeu menjawab bahwa persoalan veteran tidak dalam

otoritasnya. Ini berdampak pada berlarut-larut proses karena Dephan

tidak juga bisa menyediakan Tanah pengganti yang clear dan clean.

Ketika akhirnya tiga puluh tahun berselang, muncul

sengketa di tubuh internal organisasi LVRI. Sekelompok orang

mengatasnamakan perwakilan dari YPLP, BALAK LVRI dan LVRI

Markas Ranting (MaRan) Kecamatan Pamijahan. Masing-masing

mengklaim sebagai pihak yang paling berwenang dalam

menindaklanjuti proses ruislag. Dephan menjawab surat

Kementerian Kehutanan yang mempertanyakan organisasi LVRI

mana yang paling berwenang, melalui surat

No.B/il97/08/38/69/DJKUAT tertanggal 23 November 2007,

Dephan menyampaikan bahwa tidak dalam posisi dapat memutuskan

organisasi veteran yang paling berhak atas tukar menukar kawasan

tersebut dan Dephan menyarankan Dephut untuk langsung

berkoordinasi dengan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LVRI.

Page 119: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

107 

c. Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)

Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia atau

disingkat dengan LVRI10 didirikan dan disahkan oleh Kongres

Nasional Pejuang Kemerdekaan Seluruh Indonesia yang diadakan

pada tanggal 22 Desember 1956 sampai dengan 2 Januari 1957 di

Jakarta untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Penetapan sebagai

organisasi yang sah berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 103

tahun 1957 tertanggal 2 Januari 1957 bersamaan dengan pelantikan

Badan Pimpinan Pusat LVRI yang pertama oleh Presiden Soekarno.

Untuk selanjutnya organisasi ini memiliki kedudukan yang istimewa

mengingat pendiriannya melalui Keputusan Presiden RI, termasuk

juga Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta

pengangkatan anggota Pimpinan Pusat dan Dewan Paripurna Pusat

LVRI disahkan melalui Keputusan Presiden.

Legiun Veteran Republik Indonesia11 adalah organisasi

yang merupakan satu-satunya wadah dan sarana perjuangan segenap

Veteran RI, yang dibentuk berdasarkan persamaan kehendak, bidang

kegiatan, profesi dan fungsinya untuk berperan serta dalam;

Pewarisan Nilai Juang 1945, Pembangunan Nasioal dan

Pertahanan dan Keamanan Nasional.  veteran pembela yang

                                                            10 http://lvrijawabarat.blogspot.com 11 www.veteranri.go.id  

Page 120: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

108 

merupakan pensiunan TNI Polisi maupun mereka yang terpanggil

meneruskan perjuangan menjaga NKRI. 

Terbentuknya Legiun Veteran Republik Indonesia dan

berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,

merupakan suatu penghargaan dan penghormatan dari Pemerintah

dan Rakyat Indonesia atas perjuangan para veteran di masa

perjuangan menuju kemerdekaan RI.

Berdasarkan Surat Keputusan Departemen Pertahanan No.

KEP/02/M/1/2003 tanggal 29 Januari 2008 tentang Ruang Lingkup

Pengertian Veteran Republik Indonesia adalah (1). Kesatuan

Bersenjata Resmi atau Kelaskaran yang tercantum dalam Undang-

Undang No. 7 Tahun 1967 mengandung pengertian Kesatuan,

Bersenjata Resmi atau Kelaskaran yang didalamnya mencakup

satuan tempur, satuan bantuan tempur dan satuan bantuan

administrasi; (2) Yang termasuk kedalam satuan bantuan

administrasi adalah antara lain satuan PMI yang melaksanakan

fungsi Kesehatan, Dapur Umum yang melaksanakan fungsi

Perbekalan, Perhubungan/caraka/kurir yang melaksanakan fungsi

komunikasi.

Dalam rangka menjalankan roda organisasi, LVRI12

menjalin kerjasama dengan Departemen Pertahanan dan TNI/POLRI

dalam rangka pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai

                                                            12 http://www.lvrijawabarat.blogspot.com 

Page 121: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

109 

komponen cadangan dan dalam usaha peningkatan daya guna

organisasi dan kesejahteraan anggotanya menjalin kerjasama dengan

Departemen terkait lainnya seperti Departemen Pertahanan, Dalam

Negeri, Luar Negeri, Sosial, Pendidikan Nasional dan Sekretariat

Negara beserta jajaran ke bawahnya dengan mengacu pada BAB III

dan BAB V Pasal 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1967 tentang

Veteran Republik Indonesia. Sedangkan dalam rangka membina

persatuan dan kesatuan bangsa, LVRI menjalin hubungan kemitraan

dengan organisasi kemasyarakatan lainnya yang memiliki cita-cita

dan tujuan sama dengan organisasi LVRI.

Struktur Organisasi LVRI terkini mengacu pada KEPPRES

No. 14 tahun 2007 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia, terdiri dari

DPP LVRI (Dewan Pimpinan Pusat) yang berada di Jakarta, DPD

(Dewan Pimpinan Daerah) LVRI Propinsi, DPR (Dewan Pimpinan

Ranting) tingkat Kecamatan.

Berdasar tipologi, kelompok veteran RI terbagi atas dua,

yaitu : (1) Veteran Pejuang, yakni Mereka yang ikut serta secara

aktif berjuang dan bertempur dalam perang Kemerdekaan dari

tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 dengan

masa bakti minimal 6 bulan; (2) Veteran Pembela, yakni Mereka

yang ikut serta secara aktif berjuang dan bertempur dalam operasi-

operasi militer melawan tentara asing, (a) Operasi Militer Trikora

Page 122: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

110 

dari tanggal 19 Desember 1961 sampai dengan 1 Mei 1963 dengan

masa bakti minimal 3 bulan; (b) Operasi Militerρ Dwikora dari

tanggal 3 Mei 1964 sampai dengan 11 Agustus 1966 dengan masa

bakti minimal 3 bulan; (c) Operasi Militer Timor-Timur, tanggal

21 Mei 1975 sampai dengan 4 Agustus 1976 dengan masa bakti

minimal 3 bulan.

Pada satu atau lebih Propinsi / Daerah Istimewa / Daerah

Khusus dibentuk Dewan Pimpinan Daerah LVRI oleh Musyawarah

Daerah LVRI serta membawahkan sedikitnya tiga Cabang. DPD

LVRI bermarkas di Markas Daerah LVRI. Pada satu atau lebih

Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pimpinan Cabang LVRI oleh

Musyawarah Cabang LVRI serta membawahkan sedikitnya tiga

Ranting. DPC LVRI bermarkas di Markas Cabang LVRI. Pada satu

atau lebih Kecamatan dibentuk Dewan Pimpinan Ranting LVRI oleh

Musyawarah Ranting (MusRan) LVRI serta mempunyai anggota

sedikitnya 45 orang Veteran RI dan setiap 15 orang Veteran RI

membentuk satu kelompok Veteran RI. DPR LVRI bermarkas di

Markas Ranting (MaRan) LVRI.

Hal-hal terkait pembentukan dan organisasi LVRI

menunjukkan bahwa dalam kasus ruislag (tukar menukar kawasan)

menjadi sangat wajar apabila LVRI mendapat kesempatan untuk

memperoleh keistimewaan. Apabila pemanfaatannya sesuai tujuan

dan prosesnya memenuhi ketentuan yang berlaku, LVRI pantas

Page 123: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

111 

untuk mendapat perhatian dari Pemerintah dalam hal peningkatan

kesejahteraan dan jaminan tempat tinggal. Namun sayang, akibat

kepengurusan yang tidak mantap dan banyak penyelewangan

mengakibatkan anggota veteran menjadi terabaikan. Tanah di

Lokapurna yang seyogyanya diperuntukkan untuk memfasilitasi

anggota veteran pada akhirnya diperjualbelikan dalam status masih

ruislag. Di dalam tubuh organisasi LVRI sendiri terdikotomi oleh

kepentingan masing-masing, terdapat tiga kelompok yang

mengatasnamakan LVRI dan mengklaim sebagai organisasi LVRI

yang sah untuk menindaklanjuti proses ruislag, yakni: YPLP, Balak

LVRI dan LVRI Maran Kec.Pamijahan). namun berdasarkan hasil

pembahasan bersama tanggal 1 April 2008 di ruang Kementerian

Kehutanan, akhirnya disepakati bahwa persoalan ruislag akan tetap

diteruskan dan diambil alih langsung oleh MABES LVRI.

d. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor

Dalam banyak cerita konflik lahan dan kebijakan, termasuk

kasus alih fungsi lahan, Pemerintah Daerah hampir selalu berada

pada kisaran utama konflik, utamanya di masa pemberlakuan

otonomi daerah. Pergeseran pendulum sentralisasi ke desentralisasi

yang dilegitimasi UU No.22 dan 25 tahun 1999, disebutkan oleh

Page 124: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

112 

Prof. Ichlasul Amal (2005)13 melalui proses yang sangat tergesa-gesa

untuk memenuhi tuntutan politik. Lebih lanjut disebutkan bahwa

kedua Undang-Undang tersebut dianggap sebagai bagian dari

Demokrasi yang kebablasan.

Mendasarkan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah,

ayat 1 menyebutkan bahwa Daerah berwenang mengelola sumber

daya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab

memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-

undangan. Pasal tersebut menjadi ‘kartu sakti’ Pemda untuk berhak

atas hutan di wilayahnya. Sangat dimaklumi bahwa hutan dan

sumber daya yang ada didalamnya menjadi aset penting yang

dianggap ‘liquid’ sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

yang dalam pelaksanaannya seringkali tidak berkoordinasi dengan

Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah berorientasi pada peningkatan PAD,

sementara sisi lain kepentingan konservasi dan sosial sering menjadi

tidak menarik. Dalam menangani perambah misalnya, para

perambah yang hidup di dalam kawasan hutan dengan kondisi sangat

miskin tidak menjadi perhatian Pemda dalam penanganannya.

Pemda tampak acuh dalam persoalan kemiskinan masyarakat desa

hutan dan menganggap itu sebagai tanggung jawab Kementerian

Kehutanan. Berbagai program digulirkan untuk mengatasi persoalan

                                                            13 Makalah ‘Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI’ disampaikan pada Temu Konsultasi Program legislasi Daerah tanggal 13‐15 September 2005. Inna Putri Bali. Bali. 

Page 125: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

113 

kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang

diinisiasi Kementerian Kehutanan, meskipun dalam pelaksanaannya

melibatkan Pemda sebagai mitra. Sebaliknya, ketika isu beralih ke

eksploitasi dan investasi, Pemda tampil sebagai pihak terdepan

dengan berbekal UU Otonomi Daerah.

Kasus villa yang dianggap liar ini menjadi cerminan

kegagalan para pemangku amanah dalam mensinergikan kebijakan.

Kawasan Lokapurna yang masih dalam hak kelola Perhutani

(sebelum 2003) dengan status Hutan Produksi, secara sepihak

ditetapkan Pemda sebagai Kawasan Wisata nasional. Surat

penetapan sebagai kawasan wisata dan upaya mendorong para

investor untuk berinvestasi di lokasi di maksud untuk mendirikan

villa-villa, hotel, menara dan sebagainya ‘seolah-olah’ mengabaikan

proses ruislag yang sedang berjalan antara pihak LVRI dengan

Kementerian Kehutanan.

Konsekuensi dari penetapan sebagai kawasan wisata adalah

adanya kewajiban retribusi jasa wisata bagi pemilik villa dan

pengunjung yang secara permanen ditetapkan melalui Peraturan

Daerah. Uniknya, pihak Kementerian Kehutanan dan Perum

Perhutani seperti tak berdaya.

Posisi berubah setelah Menteri Kehutanan menunjuk

Lokapurna sebagai bagian dari perluasan TNGHS. UU.No.41 tahun

1999 menyebutkan bahwa Taman Nasional merupakan bentuk

Page 126: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

114 

pelestarian alam untuk tujuan konservasi. Lebih lanjut merujuk pada

UU.22/1999 disebutkan semua kewenangan Pemerintah Pusat untuk

urusan kehutanan diserahkan kepada daerah, kecuali untuk

pengelolaan kawasan Konservasi.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor saat ini menjadi mitra

dalam upaya penyelesaian villa Lokapurna. Dalam keterangan pers,

tanggal 15 April 201014, Kepala Seksi Pengawasan Bangunan dan

Perumahan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor

menyatakan bahwa para pemilik villa jelas-jelas telah melanggar

UU. No.41/1999 tentang Kehutanan dan UU. No.26/2007 pasal 70

ayat 1 dan 2 yang menyebutkan izin pemanfaatan ruang tidak sesuai

peruntukannya bisa terkena hukuman kurungan paling lama tiga

tahun hingga lima tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta

rupiah hingga 1 miliar.

Sebelumnya, Pemda ikut memanfaatkan dan berperan

dalam menghidupkan lokasi Lokapurna, yang dibuktikan dengan

sarana prasarana wisata yang dibangun melalui APBD seperti: jalan

hotmix, berbgai fasilitas umum (mushola, toilet dsb), Pintu gerbang,

Information center, Pemandian air panas, kolam renang, track

jogging, lokasi parkir, termasuk yang disebutkan sebelumnya, yakni

mengundang investor untuk memanfaatkan tanah ruislag tersebut.

                                                            14 www.vibizdaily.com/beritapolhukam/DPRD Kab. Bogor merekomendasikan penghentian, penyegelan, dan pembongkaran villa. 15 April 2010, diakses 1 Maret 2011. 

Page 127: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

115 

e. Akademisi

Reaksi pro kontra setelah ‘penunjukan kawasan TNGHS’

menjadikan posisi akademisi menjadi bagian paling strategis dalam

pengambilan kebijakan. Setidaknya melibatkan dua universitas besar

yang terdekat dengan lokasi TNGHS untuk melakukan kajian teknis

diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah untuk kepentingan

konservasi dan kemungkinan investasi. Design ekowisata yang akan

diterapkan di zona pemanfaatan dan zona lain dari TNGHS sedang

dalam kajian tim terpadu, yang beberapa diantaranya melibatkan

akademisi. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak 2007-2026 merekomendasikan untuk perlu melibatkan

antropolog dan sosiolog dalam mengidentifikasi ruang kelola

masyarakat adat dan non adat.

f. Aktivis (LSM) Lingkungan

Beberapa LSM, seperti: Walhi dan LSM lokal mendesak

Pemerintah untuk segera membongkar Villa-Villa yang dianggap liar

yang berdiri di atas lahan konservasi. Mereka menganggap pendirian

villa adalah wujud pelanggaran hukum dan berpotensi mengganggu

fungsi konservasi hutan.

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dalam kasus villa

yang dianggap liar tidak menunjukan keberpihakan yang jelas, hal

ini dapat dipahami mengingat aktivitas LSM yang didominasi untuk

Page 128: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

116 

mengkritisi kebijakan dan di bagian yang lain juga menunjukkan

ketidaksenangan terhadap pemilik villa yang berasal dari

pejabat/politisi aktif.

g. Investor

Aktor lain yang tampaknya menyambut baik kebijakan

pembongkaran villa adalah para Investor di bidang ekowisata. Salah

satu diantara yang mengincar kawasan Gunung Salak Endah untuk

sasaran investasi adalah PT. Bakrieland Development melalui PT.

Graha Andrasentra Propertindo yang berkeinginan membangun dan

mengelola kawasan ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun

Salak seluas 1000 Ha.

Kawasan Gunung Salak Endah tersebut termasuk ke dalam

master plan pengembangan ekowisata yang akan dikembangkan.

Pengajuan proposal terkait Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)

PT. Bakrieland tersebut saat tulisan ini dibuat, masih dalam proses

kajian Departemen Kehutanan.

h. Pers

Media Massa, baik cetak maupun elektronik dalam hal ini

berperan dalam membentuk opini publik terkait keberadaan Villa

tersebut. Kecenderungan Pers memberitakan sepihak, kepentingan

Departemen Kehutanan dan lingkungan, tampaknya sering tidak

Page 129: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

117 

memperhatikan aspek lain yang dapat lebih mensejajarkan posisi

pihak yang berkonflik.

Pemberitaan media secara umum menempatkan Pemilik

Villa sebagai pihak yang terpojok, tanpa ada penjelasan secara runut

terkait hal-hal strategis atas proses ruislag kawasan hutan dimaksud.

Namun dalam konteks ini, Pers dianggap cukup ampuh untuk

menggiring pendapat awam untuk langsung secara cepat menuding

pihak Pemilik Villa sebagai satu-satunya yang bersalah. Tentu hal ini

tidak terlepas dari nilai jual berita, mengingat para pemilik villa

adalah public figure yang terkondisikan untuk senantiasa taat hukum

dan tidak cedera etika. Pendapat awam menyatakan pendirian villa di

atas tanah Negara dianggap bentuk bentuk pelanggaran hukum dan

norma, terkecuali penjelasan atas ‘kelemahan manajemen kehutanan’

dalam penanganan ruislag dapat menjadi penyeimbang opini.

i. Masyarakat Lokapurna

Sebagian masyarakat Lokapurna telah ada sejak tahun 1967,

sejak pengajuan lokasi hutan dimaksud diperuntukkan menjadi

Proyek Pertanian Veteran dan Demobilisasi RI. Beberapa merupakan

turunan veteran dan bergabung dengan pendatang, baik dari lokasi

sekitar maupun dari daerah yang jauh, seperti dari Jawa Tengah

bahkan Sumatera, tetapi dominasi penduduk (98%) berasal dari etnis

Sunda. Masyarakat di kawasan Gunung Salak endah tersebut hidup

Page 130: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

118 

secara turun temurun dengan mata pencaharian pokok sebagai

petani/peladang.

Sejak berdiri Villa dan ditetapkannya kawasan Gunung

Salak Endah sebagai Kawasan wisata alternatif setelah Puncak

Bogor sesuai Surat Bupati No.550.1/057-DIP, tertanggal 25 Februari

1989, banyak warga masyarakat yang beralih pekerjaan ke sektor

jasa wisata, seperti menjadi Tour Guide, Penunggu Villa,

Pengamanan lokasi, tukang parkir dan lain-lain yang juga berkaitan

dengan kepentingan wisata, misal menjadi tukang ojeg dan supir

angkutan umum.

Data terakhir menunjukkan perkembangan pesat jumlah

penduduk di Lokasi proyek eks veteran tersebut, yakni mencapai 500

KK dengan total penduduk mencapai 1800 orang*).

Kehidupan masyarakat di lokasi ini sudah lebih modern,

ditunjukkan dengan adanya jaringan listrik yang berada di lokasi

tersebut, juga jaringan telekomunikasi dengan rata-rata setiap rumah

memiliki Televisi, Motor, Handphone dan beberapa fasilitas modern

lain termasuk cara berpakaian.

Masyarakat di lokasi ini mengakui bahwa keberadaan Villa-

Villa di perkampungan mereka telah merubah penghidupan dan

kondisi sosial ekonomi wilayah tersebut. Masyarakat ini yang

disebutkan oleh Samuel L.Popkin sebagai Masyarakat rasional yang

memungkinkan diberi kesempatan atas peluang kerja yang baru.

Page 131: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

119 

j. DPRD Tk.II Kabupaten Bogor

Dalam fungsinya sebagai wakil rakyat, DPRD Kabupaten

Bogor menunjukan keberpihakannya kepada pemilik villa dan

masyarakat setempat. Hal ini terlihat pada saat pemilik villa dan

perwakilan masyarakat setempat mengadu ke DPRD terkait rencana

Kementerian Kehutanan membongkar villa-villa dan bangunan liar

yang terdapat di TNGHS. DPRD menyampaikan rekomendasi untuk

menghentikan penyegelan dan pembongkaran15.

Mendasarkan pada kronologis kejadian konflik yang telah diurai di

bab sebelumnya, dalam kasus ini, manajemen BUMN Perum Perhutani bisa

dianggap sebagai pihak yang memiliki peran yang setidaknya setara dengan

Kementerian Kehutanan sebagai induk kewenangan. Status lahan Lokasi

Lokapurna tempat Villa-Villa berdiri semula berada di kawasan hutan

kewenangan BUMN Perum Perhutani yang kemudian mengalami proses

tukar menukar kawasan (ruislag), yang dimungkinkan oleh produk hukum

kehutanan melalui persetujuan Menteri Kehutanan dengan ketentuan-

ketentuan yang ketat. Meskipun setelah proses ruislag, seolah-olah persoalan

Lokapurna menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan, namun dalam

operasional di lapangan dan pengamanan lokasi masih dalam kewenangan

BUMN Perum Perhutani, sebagaimana tercantum dalam PP No.30 tahun

2003 tentang Perum Perhutani jo. PP No.36 tahun 1986 dinyatakan bahwa

                                                            15 www.vibizdaily.com/beritapolhukam/DPRD_Kabupaten_Bogor_Rekomendasikan Penghentian_Penyegelan_dan Pembongkaran. 15 April 2010 diakses 1 Maret 2011. 

Page 132: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

120 

Wilayah Kerja Perusahaan meliputi seluruh Hutan Negara yang terdapat di

Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan

Provinsi Banten, kecuali Kawasan Hutan Konservasi. Ini berarti bahwa

sebelum adanya perubahan kawasan hutan menjadi kawasan Konservasi,

kewenangan sepenuhnya masih di Perum Perhutani. Dikeluarkannya SK

Menteri kehutanan No.175/2003 tentang Penunjukan Kawasan Konservasi

dari sisi legal formal belum berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak serta

merta mengalihkan hak pengelolaan dari Perum Perhutani ke Kementerian

Kehutanan. Terjadi kondisi ‘status quo’ setelah penerbitan SK 175/2003

sampai kemudian dilakukan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Hutan

dari Perum Perhutani kepada Kementerian Kehutanan pada tanggal 29 januari

2009. Serah terima tersebut juga tidak serta merta menyebabkan

tertanganinya berbagai persoalan yang ada, khususnya terkait Villa yang

dianggap liar sampai kemudian di level operasional dilakukan serah terima

pengelolaan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak tertanggal 28 Agustus 2009

yang penandatanganannya dilakukan di Bandung.

Hal tersebut menjelaskan bahwa kegiatan alih fungsi hutan yang

terjadi di lokasi eks Perum Perhutani tersebut bisa diduga dari dua aspek,

yakni terdapat keterlibatan ‘oknum Perum Perhutani’ yang memfasilitasi

terbangunnya Villa yang saat ini Liar atau kemungkinan kedua yang lain

adalah adanya ‘pembiaran’ dari manajemen terhadap jual beli illegal tanah

Negara tersebut. Kondisi status quo menyebabkan perkembangan alih fungsi

Page 133: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

121 

atau over garapan bertambah parah, seperti pengakuan masyarakat setempat

yang menyatakan bahwa setelah tahun 2003, semakin banyak Villa berdiri di

lokasi tersebut yang sebelumnya hanya berkisar sejumlah 80 Villa.

Gambar 4.3 Salah Satu Villa di Lokasi Lokapurna Gn.Salak Endah

Alih kepemilikan yang tidak terkendali dalam ‘status quo’

sebelumnya, akhirnya pada tahap eskalasi menunjukkan bahwa proses alih

garap illegal yang dibiarkan berpuluh-puluh tahun ini menimbulkan dampak

yang merugikan kedua belah pihak. Kementerian Kehutanan sebagai

pemegang amanah atas klaim hutan Negara mendasarkan pada SK.175/2003

merasa berhak untuk membongkar Villa-Villa yang dianggap liar yang berada

di lokasi Lokapurna tersebut, sedangkan di sisi lain, pemilik Villa merasa

kepemilikan mereka dilakukan melalui proses jual beli yang sah, dibuktikan

kuitansi pembelian (yang disaksikan aparat setempat), termasuk ketaatan

mereka dalam membayar pajak (SPPT-PBB) ke Negara setiap tahunnya.

Bahkan Pemilik Villa merasa telah menunaikan kewajiban mereka pada

Pemerintah Daerah setempat yang mewajibkan membayar Restribusi bulanan

serta Pajak Daerah (terdapat bukti NPWD). Hal ini beriringan dengan Surat

Page 134: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

122 

Keputusan Bupati No. 550.1/057-DIP, tertanggal 25 Februari 1989 yang

menetapkan Kawasan Lokapurna sebagai Kawasan Wisata Nasional

Alternatif setelah Puncak Bogor.

Meskipun pada kondisi eskalasi, BUMN Perum Perhutani tampak

tidak muncul di lingkaran konflik namun dalam upaya resolusi, BUMN ini

bermitra dengan Kementerian Kehutanan dalam kapasitasnya sebagai pelaku

sejarah dalam peristiwa ruislag.

Komponen lain, yaitu Departemen Pertahanan dan Yayasan LVRI

berada di pihak Kementerian Kehutanan dalam mendorong pembongkaran

Villa dan penertiban kembali kawasan karena keduanya diasumsikan

memiliki kepentingan untuk menguasai kawasan tersebut sebagaimana

tertuang dalam resume rapat terpadu 8 April 2008 yang melibatkan Markas

Besar LVRI, secara lugas menyampaikan maksud LVRI untuk tetap

memproses tukar menukar kawasan di lokasi yang sama yang saat ini telah

berdiri Villa-Villa tersebut.

Sedangkan akademisi dan aktivis lingkungan, sesuai kepentingan

menyuarakan konservasi dalam hal pengamanan keanekaragaman hayati

memberi argumentasi yang tampak berpihak pada Kementerian Kehutanan.

Meskipun selanjutnya dalam proses deeskalasi, ada kecenderungan untuk

mendorong resolusi yang memposisikan win-win bagi kedua aktor utama

yang berkonflik. Beberapa penelitian akademisi, misalnya Dr. Pratiwi dari

IPB, yang mengambil riset disertasi mengenai ekowisata di TNGHS, serta

kajian tim teknis yang beranggotakan akademisi dan LSM, tampaknya

Page 135: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

123 

menguatkan rekonsiliasi pihak-pihak bertikai untuk mendapatkan

penyelesaian terbaik dalam kasus-kasus yang diistilahkan Pemerintah sebagai

‘perambahan hutan’.

Pers atau media massa dalam hal ini memainkan peranan penting

dalam pencitraan permasalahan. Beberapa kliping media massa terkait

pendirian villa-villa liar terlihat sangat berat sebelah, dengan hanya

memandang sisi Kementerian Kehutanan, meskipun atas nama Kepentingan

Konservasi. Namun pemberitaan sepihak tampak tidak memunculkan aspek

‘ketidakberdayaan pemerintah’ dalam menyelesaikan kasus secara cepat.

Seolah-olah kesalahan sepihak berada di pihak pemilik Villa.

Meskipun Penulis dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan

kegiatan perambahan yang dilakukan ‘bukan sekedar untuk bertahan hidup’,

namun dalam kasus ini jelas terlihat bahwa dalam kondisi eskalasi Pemilik

Villa tersudut dengan pemberitaan yang kurang seimbang.

Pemilik Villa berafiliasi dengan masyarakat setempat dalam

memperjuangkan kepentingannya, tentu hal ini difahami karena kedua unsur

tersebut memiliki kepentingan yang sama dalam hubungan mutualisme.

Keberadaan Villa di lokasi tersebut secara signifikan telah merubah

penghidupan masyarakat setempat yang semula hanya mengandalkan sektor

pertanian dan sejenisnya ke sektor jasa wisata, yang menurut pengakuan

perwakilan masyarakat setempat, sektor yang disebut terakhir tersebut telah

mengangkat tingkat kesejahteraan mereka. Sarana dan prasarana Desa pun

berangsur membaik seiring dengan berdirinya Villa-Villa tersebut. Sebagian

Page 136: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

124 

kecil merupakan swadana masyarakat, namun sebagian besar fasilitas umum

dan sosial berasal dari Pemerintah Daerah setempat, yang dialokasikan dari

APBD dalam kapasitas meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari

sektor pariwisata. Di periode tahun 1990an, dukungan Pemerintah Daerah

terhadap keberadaan Villa-Villa tersebut semakin nyata dengan Penetapan

kawasan tersebut sebagai Kawasan wisata alternatif, sebagaimana SK Bupati

dimaksud, lebih lanjut hal ini menjadi bagian yang menarik untuk diulas lebih

mendalam dalam penelitian yang memfokuskan pada disparitas Pemerintah

Pusat dan Daerah dalam implementasi kebijakan kehutanan khususnya.

Persoalan otonomi daerah (desentralisasi) masih terus menjadi

diskursus yang belum berujung karena tingginya egosektoral antar masing-

masing pihak berkepentingan. Untuk khusus urusan kehutanan, disparitas

kebijakan tidak hanya mengganggu aspek ekonomi daerah atau nasional

namun secara luas dalam jangka panjang dikuatirkan akan berdampak pada

kerusakan hutan yang mengakibatkan terganggunya stabilitas ekosistem.

Kasus villa yang dianggap liar dan TNGHS akan menjadi model

bagi pengelolaan hutan ke depan, mengingat kompleksitas permasalahan

didalamnya mewakili sumber-sumber konflik yang relatif sama dan

memerlukan penanganan segera dengan mendorong komitmen semua pihak

(berkepentingan). Komitmen yang diharapkan tentunya adalah kesepahaman

terhadap itikad baik konservasi, yang secara nyata bertujuan menjaga

stabilitas ekosistem dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. kesadaran

masing-masing pihak sesuai kapasitas dan kemampuan yang memungkinkan

Page 137: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

125 

akan menjadikan isu konservasi bukan hanya sekedar ‘kepentingan

entertainment’ atau sekedar ‘mendatangkan investor’ semata.

D. Analogi Bawang Bombay dalam Isu Konservasi

Fisher dkk (2000) menggunakan analogi bawang Bombay untuk

menganalisis perbedaan pandangan terhadap konflik dari pihak-pihak yang

berkonflik. Lebih lanjut disebutkan pada analogi ini penting bagi kita untuk

mampu mencari titik kesamaan di antara individu/kelompok yang berkonflik

untuk selanjutnya dapat menjadi landasan bernegosiasi atau memediasi.

Tabel 4.1. Analogi Bawang Bombay kasus Villa Lokapurna

Kementerian Kehutanan Pemilik Villa

Posisi - Mendorong implementasi SK.

175/2003 tentang penunjukan

TNGHS sebagai kawasan

konservasi.

- Mensterilkan kawasan konservasi

dengan membongkar villa dan

bangunan lain yang dianggap liar.

- Menyatakan bahwa jual beli

tanah sah dan diketahui

oleh aparat setempat.

- Keberadaan villa-villa

diperkuat oleh SK Bupati

Bogor utk pengembangan

wisata daerah.

Kepentingan - Menunjukkan pada dunia

internasional tentang concern

Kemenhut terhadap konservasi.

- Merehabilitasi hutan yang rusak

- Mengamankan kebijakan konservasi

- Pengakuan dan status atas

hak tanah dan villa

- Memanfaatkan villa untuk

berbagai kepentingan,

misalnya: rekreasi

Kebutuhan - Proporsional fungsi Ekologi,

Ekonomi dan Sosial

- Hak memanfaatkan villa

Page 138: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

126 

Analogi bawang Bombay16 yang dipopulerkan oleh Simon Fisher

dkk tersebut diatas menggambarkan perbedaan pandangan dari pihak-pihak

yang berkonflik. Posisi menggambarkan apa yang dapat di lihat dan di dengar

oleh semua orang. Dalam situasi konflik, Kementerian Kehutanan

menunjukkan kepada publik ketegasannya untuk membongkar villa atau

bangunan lain yang dianggap liar yang berdiri di atas tanah yang telah

ditunjuk sebagai kawasan konservasi sebagaimana SK 175/2003. Pihak lain,

yakni para pemilik villa menunjukan reaksi untuk di dengar publik bahwa

mereka berhak mempertahankan villa karena diperoleh dengan transaksi jual

beli yang sah, diantaranya dengan menunjukkan bukti-bukti pembelian atas

tanah yang berstatus ruislag (dalam proses tukar menukar kawasan).

Sedangkan Kepentingan menggambarkan apa yang ingin di capai

oleh pihak-pihak yang berkonflik. Apabila ditilik lebih jauh, banyak sekali

kejadian perambahan bahkan yang berskala luas (terutama banyak terjadi atas

hutan di luar jawa), publik mempertanyakan mengapa Villa Lokapurna

Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS dipilih untuk diekspose atas nama

konservasi dan media sangat antusias merespon isu tersebut. Ada kepentingan

besar dari Kementerian Kehutanan untuk menunjukan pada dunia bahwa

instansi tersebut serius dalam upaya konservasi. Mengangkat isu villa liar

‘sesuai strategi kementerian’ mendapat respon positif dari media karena

sangat ‘bernilai jual’ mengingat aktor konflik melibatkan petinggi Negara

yang berada di lingkaran kekuasaan dan terkondisikan pula dengan

                                                            16 Simon Fisher dkk, 2000. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. Zed Books Ltd. United Kingdom 

Page 139: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

127 

memanasnya situasi politik saat itu. Sedangkan pemilik villa berkepentingan

atas kepastian status dan pengakuan hak untuk melegalkan pemanfaatan atas

villa mereka.

Pada kondisi eskalasi, posisi dan kepentingan masing-masing pihak

berkonflik tampak sangat menonjol, seakan-akan tidak memberi ruang untuk

mendapatkan titik temu. Namun klrasifikasi atas kebutuhan dasar mereka

tersirat dari berbagai pernyataan keduanya yang pada kondisi deeskalasi

terlansir oleh media. Prinsipnya pihak Kementerian Kehutanan menginginkan

hutannya tetap terjaga dan lestari dengan mengoptimalkan tiga kemanfaatan

atas hutan, yakni fungsi Ekologi, Ekonomi dan Sosial. Fokusnya adalah

bahwa konservasi tidak menutup ruang pihak lain untuk berpartisipasi.

Penataan kembali TNGHS melalui sistem zonasi melalui kompromi

multipihak termasuk pemilik villa menjadikan kebutuhan dasar Kementerian

Kehutanan dapat dipertemukan dengan Pemilik villa. Sebagaimana tawaran

solusi yang diberikan pihak pemilik villa untuk tidak mengharap status

kepemilikan atas tanah yang diakui sebagai kawasan hutan Negara, namun

diberi hak memanfaatkan villa dengan konsekuensi beban kewajiban.

Mengupayakan resolusi dengan mengkombinasikan kebutuhan dasar masing-

masing pihak agar saling menguntungkan dapat dilakukan melalui proses

negosiasi maupun mediasi yang lebih substantif.

Selanjutnya bisa dikaji kemungkinan mempertemukan keduanya

dengan menawarkan solusi, misalnya: (1) Status hutan Negara tetap tidak bisa

dimiliki, hanya dapat dibuka kemungkinan untuk dapat memanfaatkan

Page 140: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

128 

dengan aturan-aturan dan pengawasan yang ketat; (2) memasukkan lokasi

villa ke dalam zonasi pemanfaatan atau zonasi lainnya, dengan meninjau

keberadaan villa untuk mengikuti kaidah-kaidah konservasi, seperti: tidak

berada di lahan dengan kemiringan lebih dari 40%; luasan bidang dasar

bangunan maksimal adalah 5% dari total lahan (mengadopsi KEPPRES 79

yang secara khusus mengatur villa di Puncak Bogor); Bangunan villa berupa

rumah panggung (untuk lebih mengoptimalkan konservasi tanah);

membangun sumur resapan; ikut menghijaukan TNGHS; menyumbang

kegiatan konservasi TNGHS dan sebagainya.

Tampaknya mempertemukan kebutuhan dari pemilik villa dan pihak

Kementerian Kehutanan akan jauh lebih mudah karena diasumsikan bahwa

pemilik villa tidak terganjal oleh persoalan ekonomi dengan level

pengetahuan yang lebih baik, sehingga isu konservasi ini lebih mudah

didekatkan melalui negoisasi, meskipun sifat keuntungan akan sangat

personal sekalipun. Pemilik villa bisa jadi akan didudukkan sebagai investor

yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu program Reboisasi dan

upaya konservasi lain, dengan imbalan dapat memanfaatkan villa, namun

tetap dalam koridor pelestarian yang mengindahkan kaidah silvikultur.

Sebagian besar pemilik villa menjadikan villa mereka sebagai sarana

pemenuhan kebutuhan rohani, dengan memanfaatkannya sebagai tempat

berlibur dari kepenatan daerah Ibukota, dan seringkali nilai-nilai seperti ini

sifatnya intangible (tidak terukur). Ruang negosiasi memungkinkan di level

kebutuhan mendasar yang baru saja disebutkan.

Page 141: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

129 

Di luar pembahasan tersebut, persoalan penting yang menyangkut

kredibilitas dari Kementerian yang dipandang perlu untuk diperbaiki citra dan

kinerjanya. Rumor umum yang menyatakan kegagalan Kementerian

Kehutanan dalam mengatasi berbagai persoalan di lingkup kerjanya, perlu

segera dibantahkan dengan memperbaiki kapasitas institusinya, melalui:

peningkatan kualitas, kompetensi dan etika moral aparat; mengkaji beberapa

peraturan terkait dan mensinergikan lintas sektoral; mengkampanyekan

makna penting konservasi dan meningkatkan kesadaran individu melalui

konstruksi sosial yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang.

E. Analisa SPK

Analisa SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) merupakan salah satu alat

bantu untuk mengungkap akar penyebab konflik yang dapat bermanfaat untuk

mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi konflik17. Analisis

SPK dapat digunakan di awal proses untuk memperoleh pemahaman yang

lebih luas tentang motivasi pihak yang berbeda. Dapat pula digunakan di

akhir proses untuk secara jelas dapat mengidentifikasi faktor-faktor apa yang

dapat diatasi dengan suatu intervensi. Pada dasarnya, ketika faktor (Sikap-

Perilaku-Konteks) tersebut saling mempengaruhi sehingga apabila

digambarkan dengan anak panah yang membentuk lingkaran terdapat anak-

anak panah yang memiliki dua sudut.

                                                            17 Simon Fisher dkk, 2000. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. Zed Books Ltd. United Kingdom  

Page 142: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

130 

Tabel 4.2. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan Masyarakat Desa

Kementerian Kehutanan Masyarakat Desa Sikap Represif, Negosiasi atau Mediasi

dimungkinkan apalagi terdapat intervensi atas pihak eksternal yang disegani

Pasrah, Bereaksi ketika ada intervensi yang mampu membangun kekuatan kolektif

Perilaku Relokasi, Pengusiran atau Penangkapan

Merambah hutan dan melakukan illegal logging

Konteks Lahan Konservasi bebas dari Perambah

Menuntut hak atas lahan dan atau akses terhadap sumber daya hutan

Tabel 4.3. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan Pemilik Villa

Kementerian Kehutanan Pemilik Villa Sikap Membuka ruang Negosiasi Menunjukan kekuatan

dalam kapasitas status, kewenangan maupun jaringannya

Perilaku Mengangkat isu konservasi ke ruang publik (melalui Pers)

Pendekatan personal maupun institusi, melalui jalur politik, kekuasaan dll

Konteks Lahan konservasi bebas dari perambah

Menuntut hak atas kepemilikan villa

Dari skema segitiga SPK tersebut, terlihat Sikap berbeda yang

ditunjukkan oleh pihak-pihak yang berkonflik dan Kementerian Kehutanan

sebagai pemegang kewenangan memperlakukan masyarakat bergantung pada

figure yang dihadapi. Ketika berbenturan dengan masyarakat biasa (bukan

public figure) ketegasan atas implementasi kebijakan memiliki

kecenderungan represif yang bahkan tidak bisa di lawan oleh jenis

masyarakat biasa ini (baik masyarakat adat maupun non adat). Namun ketika

Page 143: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

131 

persoalan villa yang dianggap liar terangkat ke ruang publik, tampak nyata

ada beda perlakuan dimana unsur public figure yang menjadi aktor konflik,

mendapat perlakuan ‘yang berbeda’ yang memungkinkan negosiasi yang

benar-benar win-win, bahkan dapat dilakukan secara personal. Sedangkan

masyarakat biasa bisa menjadi ‘berdaya’ ketika ada campur tangan atau

intervensi pihak lain yang bisa mendorong kedudukan yang sejajar dengan

Kementerian Kehutanan dalam negosiasi resolusi konflik.

Kecerdikan Kementerian Kehutanan dalam mengangkat isu Villa

yang dianggap liar meningkatkan posisi tawar Kementerian Kehutanan di

mata dunia terkait itikad baiknya dalam mengupayakan optimalisasi

konservasi di Indonesia. Sehingga dalam perilaku strategi Dephut untuk

memanfaatkan media dalam kasus villa sangatlah tepat dan dapat di duga

untuk selanjutnya memberi kontribusi yang besar dalam rencana investasi

kawasan TNGHS sebagai daerah Ekowisata.

Apabila dilihat dari kontek (sumber konflik), baik pada kasus

pemilik villa maupun masyarakat desa hutan, Kementerian Kehutanan

memiliki fokus yang sama yakni membersihkan kawasan hutan Negara dari

perambahan atau bangunan-bangunan liar. Demikian pula terdapat

keseragaman dari Pemilik villa dan Masyarakat desa hutan yang

mengharapkan memiliki kesempatan atau status terhadap lahan atau akses

sumber daya hutan.

Upaya resolusi dapat dilakukan dengan menjembatani keduanya,

baik di tinjau dari kebutuhan dasar maupun kemungkinan perubahan sikap

Page 144: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

132 

dan perilaku. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan sendirian oleh

Kementerian Kehutanan, tetapi harus melibatkan dan mengundang partisipasi

seluruh pihak, baik Pemda, akademisi, LSM, maupun masyarakat secara luas

karena sebagaimana disebutkan dalam UU. No.41/1999 bahwa setiap

individu bertanggung jawab atas fungsi konservasi.

F. Kondisi Terkini

Departemen Kehutanan, saat ini, bersama konsultan ‘Rimbawan

Bangun’ sedang dalam proses penyusunan masterplan rehabilitasi TNGHS

untuk keanekaragaman hayati (rencananya draft selesai Maret 2011)..

Disampaikan oleh Menteri Kehutanan (Media Indonesia, 29/12/10),

pengaturan kembali TNGHS tersebut dimaksudkan untuk mengatasi laju

degradasi dan deforestasi yang semakin meningkat. Sampai dengan tulisan ini

diselesaikan, penulis belum mendapat informasi mengenai detil masterplan,

sejauhmana pengelolaan TNGHS dapat mengoptimalkan konservasi setara

dengan aspek sosial masyarakat sebagai bagian dari ekosistem.

Untuk kasus Villa yang dianggap liar di Lokapurna, Kawasan

Gunung Salak Endak, Kab. Bogor, dalam Rencana Pengelolaan TNGHS

periode 2007-2026, kawasan ini akan menjadi kawasan wisata yang mampu

menciptakan alternatif pendapatan bagi masyarakat setempat dengan

menjadikan sebagai Zona khusus.

Page 145: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

133 

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hutan sebagai perpaduan sistem ekologi tanah, flora, fauna, air,

udara dan sumber alam non hayati yang berfungsi sebagai penyangga

ekosistem dan paru-paru dunia, sewajarnya menjadi perhatian setiap

individu masyarakat dari berbagai unsur dan kalangan. Berbagai bencana

dan isu perubahan iklim (climate change) telah mendorong kesadaran

internasional untuk memprioritaskan fungsi ekologi hutan, diantaranya

dengan memperbanyak kawasan konservasi sebagai cara mewujudkan

hutan lestari. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dua manfaat hutan

yang lain, yakni: Ekonomi dan Sosial juga berpengaruh dalam menunjang

kelestarian dan keragaman biodiversitas.

Pada perkembangannya, upaya-upaya konservasi hutan

seringkali berbenturan dengan dinamika sosial yang berubah sangat cepat.

Bentuk konservasi lain, misal cagar alam, suaka alam, dan lainnya

dianggap mengebiri peran pihak lain untuk berpartisipasi dalam

pengelolaannya. Pelestarian alam berupa Taman Nasional dianggap

sebagai bentuk konservasi yang bisa mengakomodir tiga fungsi tersebut,

yakni proporsional Ekologi, Ekonomi dan Sosial. Sebagaimana disebutkan

dalam Peraturan Pemerintah No.68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka

Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional memberi ruang

Page 146: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

134 

untuk ‘partisipasi masyarakat’ dalam mewujudkan ekosistem lestari

melalui adanya pembagian zonasi di dalam kawasan Taman Nasional,

yakni: Zona inti, Zona rimba dan Zona pemanfaatan. Zona tersebut

menjadikan hutan bukan kawasan yang sangat steril dari jamahan atau

aktivitas manusia, terkecuali zona inti, di dalam zona lain, masyarakat

(beserta multistakeholder yang berkepentingan) bisa ikut memanfaatkan

areal hutan untuk kepentingan budidaya, penelitian, pariwisata, bahkan

investasi. Namun, kebijakan konservasi seringkali menimbulkan konflik,

utamanya bersifat vertikal, antara Pemerintah dan Rakyat. Ada persoalan

serius di lapangan yang perlu penanganan segera agar permasalahan tidak

melebar yang dikuatirkan berdampak pada disintegrasi bangsa dan

rusaknya hutan Indonesia.

Komponen yang seakan-akan tidak bisa dipertemukan, menurut

kajian Penulis, salah satunya disebabkan karena perbedaan persepsi

terhadap isu konservasi itu sendiri. Pemerintah (dalam hal ini Kementerian

Kehutanan) mengeluarkan kebijakan konservasi yang sifatnya elitis tanpa

melalui konstruksi sosial yang berkesinambungan dan melibatkan semua

pihak yang berdampak pada tingginya angka konflik di tataran

implementasi. Di sisi lain, masyarakat (di dalam kawasan dan sekitar

hutan khususnya) menganggap bahwa kebijakan konservasi telah

memarjinalkan posisi mereka, terutama terkait kepemilikan lahan, akses

terhadap sumber daya, dan pengakuan atas keberadaan mereka.

Page 147: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

135 

Terkait konflik vertikal di Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (TNGHS), terdapat dua kasus konflik vertikal yang diteliti oleh

Penulis yang menunjukkan beda perlakuan yang nyata dalam pola dan

resolusi konfliknya. Aktor (pihak) utama yang terlibat konflik adalah

serupa, yakni: Kementerian Kehutanan dan Masyarakat dengan kasus

perambahan (pendudukan) kawasan hutan Negara. Dalam kasus

perambahan biasa, masyarakat digolongkan sebagai ‘masyarakat biasa’

yang sangat bergantung terhadap hutan dan tempat tinggal mereka.

Sedangkan tinjauan kasus kedua, konflik villa yang dianggap liar, terdapat

jenis masyarakat yang dikategorikan Penulis sebagai ‘public figure’ yang

dengan pendekatan kekuasaan, figur ataupun uang dapat mempengaruhi

kebijakan dan opini publik.

Kecenderungan pihak Kementerian Kehutanan dalam

menghadapi perambah dari golongan ‘masyarakat biasa’ yang sebagian

besar telah hidup dan berpenghidupan secara turun temurun di kawasan

hutan tersebut adalah melalui tindakan represif, berupa: tindakan

intimidatif, pengusiran maupun pengingkaran terhadap hak masyarakat

(termasuk hak untuk didengar). Posisi golongan masyarakat ini sangat

lemah, dari ketiadaan nilai tawar dalam bentuk jaringan, pengetahuan,

uang, apalagi kekuasaan. Level konflik menguat mencapai eskalasi ketika

‘gejolak/keresahan individual’ masyarakat terorganisir secara kolektif

menjadi kekuatan massal yang setidaknya setara dengan Pemerintah.

Konflik vertikal untuk masyarakat biasa yang sifatnya individual sudah

Page 148: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

136 

dapat dipastikan hanya akan berakhir dengan kemenangan ‘penguasa’

yang bisa diistilahkan sebagai arogansi kewenangan.

Berkaca dari kasus villa yang dianggap liar, yang melibatkan

aktor utama: Kementerian Kehutanan dan pemilik villa yang berasal dari

unsur public figure, seperti: Pejabat aktif, politisi, pengusaha,

purnawirawan TNI, pemuka agama, artis ternama menunjukkan perbedaan

perlakuan dalam situasi konflik dan bahkan resolusinya. Dalam kasus ini,

Kementerian Kehutanan memulai konflik dengan mengangkat persoalan

ke media massa. Pernyataan Menteri Kehutanan untuk membongkar villa-

villa yang berdiri di Lokapurna, kawasan Gunung Salak Endah solah-olah

mengisyarakatkan dua hal penting, pertama bahwa Kementerian

Kehutanan concern terhadap isu konservasi yang saat ini menjadi fokus

internasional dan kedua adalah ketegasan Pemerintah dalam mengatasi

perambahan tanpa tebang pilih. Media menangkap konflik villa yang

dianggap liar ini sebagai isu panas yang bernilai jual berita karena

melibatkan menteri, anggota DPR dan orang penting lain di negeri ini.

Tentu hal tersebut sangat menguntungkan Kementerian Kehutanan.

Menjadi menarik untuk diteliti ketika muncul pertanyaan besar, “mengapa

isu villa menjadi penting untuk diangkat oleh Kementerian Kehutanan”.

Sangat berbeda ketika ‘upaya pembersihan kawasan hutan’ dari

masyarakat biasa dilakukan, justru Pemerintah terkesan menghindari

publikasi media atau bisa juga diartikan bahwa ‘isu masyarakat biasa’

tidak lagi menarik kalangan media untuk di ekspose.

Page 149: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

137 

Seperti telah dibahas sebelumnya, masyarakat di dalam kawasan

hutan dianggap parasit yang dicurigai berpotensi mengganggu kepentingan

konservasi karena diasumsikan bahwa masyarakat menganggap hutan

sebagai sumber kesejahteraan semata. Pendudukan atas kawasan hutan dan

pemanfaatan sumber daya didalamnya dianggap sebagai hak atas warisan

nenek moyang. Sedangkan ‘pemilik villa’ diincar sebagai obyek yang

mewakili ‘kampanye kesadaran konservasi’ dan menunjukan bahwa

pemilik villa mewakili lapisan masyarakat yang dapat didekati melalui

sanksi sosial oleh media. Jenis masyarakat ini memungkinkan Pemerintah

untuk memanfaatkan deeskalasi melalui jalur negosiasi, baik personal

maupun kelompok. Penekanannya adalah bahwa dalam kasus villa yang

dianggap liar ini, pemilik villa-secara personal sekalipun-memiliki posisi

yang sejajar dengan pihak Kementerian Kehutanan, bahkan dalam situasi

tertentu bisa jadi pemilik villa memiliki nilai tawar yang lebih baik dari

Kementerian karena kekuatan status sosial, kekuasaan, uang dll. Pemilik

villa dalam kasus ini berperan besar dalam membuka peluang investasi

yang saling menguntungkan, khususnya diarahkan untuk tujuan konservasi

dengan beberapa komitmen yang bisa disepakati.

Konflik Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

menunjukkan salah satu pembuktian teori Simon Fisher dkk bahwa analisa

konflik memungkinkan diketahuinya secara jelas posisi, kepentingan dan

kebutuhan dari masing-masing pihak yang berkonflik. Mengetahui

kebutuhan dasar dari masing-masing pihak memberi ruang bagi analis

Page 150: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

138 

untuk dapat mempertemukan pihak-pihak berkonflik dalam arahan

negosiasi produktif yang menghasilkan posisi win-win dan diterima semua

pihak secara sadar dan besar hati.

Persoalan disharmoni kebijakan dan egosektoral nyata-nyata telah

memperparah kerusakan Hutan dan menimbulkan ketidakpastian dalam

kehidupan sosial masyarakat perlu segera ditindaklanjuti dengan

mensikronkan produk hukum, mulai dari pusat hingga daerah agar tidak

saling tumpang tindih atau bertolak belakang. Era otonomi daerah

diharapkan mendorong peran Pemerintah Daerah untuk bersama-sama

Pemerintah Pusat dan Masyarakat mengkampanyekan kepentingan

konservasi dengan pemahaman yang sama dengan pembatasan-

pembatasan kewenangan dan hak yang jelas.

Perlu ada kesepakatan ulang mengenai posisi Kehutanan dalam

era Otonomi Daerah, untuk dua pilihan: menjadi bagian desentralisasi utuh

atau kembali sentralisasi. Tentunya hal tersebut memerlukan kajian

mendalam dari beberapa aspek dengan melibatkan berbagai unsur dengan

pemikiran yang jernih. Konsekuensi atas salah satu pilihan disepakati

sebagai bagian dari tanggung jawab moral bersama. Kesepakatan ini

meentukan perlu tidaknya revisi UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU

No.22/1999 (= UU No.32/2004) tentang Otonomi Daerah dan UU terkait

lainnya, dengan substansi yang lebih tegas keberpihakannya terhadap

kewenangan, tugas dan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah atas

Page 151: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

139 

‘kesepahaman konservasi’ serta keberpihakan terhadap rakyat tanpa

diskriminasi (tebang pilih).

Berdasarkan temuan dalam penelitian yang penulis

lakukan, UU No. 41/1999 tidak berhasil mengatasi persoalan konflik yang

menguat setelah penunjukkan TNGHS. Sebaliknya UU tersebut menjadi

salah satu sumber konflik yang paling penting. Beberapa faktor berikut ini

penulis anggap sebagai penyebab. Pertama, UU ini tidak cukup jelas

memberikan kewenangan atas wilayah hutan pada umumnya antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kejelasan kewenangan ini perlu

ada agar tanggung jawab dalam hal pengelolaan kelestarian hutan bisa

selalu dibebankan kepada pihak yang tepat dan hutan tidak digunakan

semata-mata untuk kepentingan-kepentingan non-konservasi. Kedua,

Undang-Undang ini tidak bisa menjawab klaim kepemilikan yang selama

beberapa dekade menjadi persoalan klasik konflik vertikal yang tidak

terselesaikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat bukannya

tidak mengapresiasi kebijakan konservasi yang dikeluarkan pemerintah,

persoalannya pada ketidaktahuan tentang adanya kebijakan dan juga

tentang maksud dan tujuan kebijakan konservasi. Dalam hal ini menurut

penulis kelemahan utama UU yang bersangkutan adalah pada aspek

sosialisasi pada multistakeholder yang terkait. Bisa dibayangkan jika

sosialisasi tentang gagasan konservasi berjalan dengan kesalahpahaman

yang menimbulkan ketegangan vertikal antara Kementerian Kehutanan

dan masyarakat setempat bisa dikurangi. Ketiga, berkaitan dengan

Page 152: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

140 

sosialisasi, penelitian ini juga menunjukkan bahwa sosialisasi yang

berhasil sebaiknya didukung dengan diseminasi pengetahuan yang

memadai tentang arti penting konservasi. Diseminasi pengetahuan ini

dimaksudkan untuk membangun konstruksi sosial menuju kesepahaman

pemaknaan konservasi hutan.

B. Saran

1. Perlu kearifan Pemerintah dalam menangani konflik di dalam kawasan

hutan yang menjadikan masyarakat (tanpa diskriminasi) sebagai mitra

sejajar yang aspirasinya perlu didengar dan diperhatikan.

2. Dalam hal penegakan hukum, perlu ketegasan dan ‘kewibawaan’

Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) untuk memastikan

pelaku pelanggaran mendapat sanksi yang sesuai.

3. Prioritas konservasi untuk kelangsungan ekosistem jangka panjang

sewajarnya proporsional dengan fungsi ekonomi dan sosial dari

keberadaan hutan.

4. Perlu peninjauan ulang terhadap Undang-Undang No.41 tahun 1999,

khususnya pasal 18, ayat (1) yang menyebutkan luas kawasan hutan

yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 minimal

30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional

karena tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas dan dapat

dipertanggungjawabkan publik.

Page 153: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

141 

5. Dalam kondisi ketidaksiapan infrastruktur, operasional dan SDM di

daerah, untuk sementara waktu urusan kehutanan sebaiknya dikelola

secara sentralistik (Kementerian Kehutanan) dengan melibatkan

multistakeholder dalam prinsip pengelolaannya, sambil

mempersiapkan perangkat menuju desentralisasi utuh dengan target

waktu yang disepakati bersama.

6. Lebih lanjut perlu dikaji secara ilmiah luas kawasan hutan

sesungguhnya yang dibutuhkan untuk kepentingan daya dukung

lingkungan terkait nilai manfaat riil dari hutan.

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 154: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

142 

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. 2005. Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI. Makalah Temu Konsultasi Program Legislasi Daerah. Disampaikan tanggal 13 September 2005 di Hotel Inna Putri Bali. Bali.

Arfani, Riza Noer. 2011. Siklus dan Tahapan Konflik. Bahan Kuliah Manajemen Konflik I Program Pasca Sarjana MPRK UGM. Disampaikan tanggal 2 Maret 2010. Yogyakarta.

Fisher, Simon., Ludin, Jawed., Williams, Steve., Abdi, Deka I., Smith, dan Williams, Sue. 2000. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action.. Zed Books Ltd. London.

Galudra, Gamma. 2006. Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak Banten. Warta Tenure Nomor 2. Bogor.

Galtung, Johan. 1996. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. Sage Publication. London.

Gray, Andrew. 1991. Between the Spice of Live and the Melting Pot: Biodiversity Conservation and Its Impact on Indigenous Peoples. IWGIA Document 70. Copenhagen.

Handadhari, Transtoto. 2009. Kepedulian yang Terganjal: Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Indonesia. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Justianto, 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflict: From Escalation to Resolution. Rowman and Little Field Pub. New York.

Lederach, John Paul. 1996. Preparing For Peace: Conflict Transformation Across Culture. Syracus University Press. New York.

Lederach, John Paul. 2001. Identifying Key Actor in Conflict Situations, 6 Levels of Leadership. Dalam L. Reychler dan T. Paffenholz, (ed.), Peace Building: A Field Guide. Lynne Rienner Publishers Inc. United Kingdom.

Myers, John G. 1982. Advertising Management. Prentice Hall Inc. New York.

Page 155: 1469-H-2011_kajian Konflik Di Hutan Konservasi_halimun Salak

 

143 

Popkins, Samuel L. 1981. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. University of California Press. USA.

Pratiwi, Sudhiani. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Di akses dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40933/Cover%20%202008spr.pdf?sequence=1 tanggal 25 Januari 2011.

Rokhmad, Abu. 2009. Negara vs Petani: Konflik dan Resolusi Konflik Tanah Hutan Negara Perspektif Sosio legal dan Hukum Islam. Walisongo Press. Semarang

Scott, James C. 1976. The Moral Economy of Peasant: Rebellion and Subsitence in Southeast Asia. Yale University Press. USA

Siburian, Robert. 2006. Antara Komitmen dan Implementasi: Perlakuan di Sekitar Kawasan konservasi. Masyarakat Indonesia-Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia Jilid XXXII No.1. LIPI Jakarta.

WALHI, 2010. Privatisasi Kawasan Konservasi-Wajah Pemerintahan Neolib. http://www.walhi.or.id/id/kampanye-dan-advokasi/tematik/hutan/77. diakses tanggal 25 Januari 2011.

Wilmot, William W dan Hocker, Joyce L. 2001. Interpersonal Conflict. McGraw- Hill. New York.

http://www.dephut.go.id/

http://www.tnhalimun.go.id/