1469-h-2011_kajian konflik di hutan konservasi_halimun salak
TRANSCRIPT
i
KAJIAN KONFLIK DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI:
STUDI KASUS TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2
Program Studi Ketahanan Nasional Konsentrasi Perdamaian dan Resolusi Konflik
Kelompok Bidang Ilmu Sosial
Oleh:
DINA HIDAYANA 09/298711/PMU/06505
Diajukan Kepada PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2011
ii
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan
sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 10 Mei 2011
Yang Menyatakan,
DINA HIDAYANA
iv
KATA PENGANTAR
Karya kecil yang dinamakan ‘Tesis’ ini akan menjadi bagian dari proses
pembelajaran tak kenal lelah yang secara pribadi akan mewarnai babak selanjutnya
dari kehidupan saya sebagai Penulis, khususnya dalam mendorong partisipasi aktif
untuk mewariskan hutan dan lingkungan yang andal bagi generasi penerus. Melalui
topik ‘konflik di kawasan hutan’, Penulis berharap dapat bersama-sama membuka
ruang kesadaran semua pihak (individu masyarakat) akan kewajiban dan tanggung
jawab terhadap keberadaan ‘sang penyangga ekosistem.’ Mengembalikan
proporsionalitas kemanfaatan hutan yang meliputi tiga aspek: ekologi, ekonomi dan
sosial merupakan tugas masing-masing individu yang dapat dilakukan dengan cara
dan kapasitas yang memungkinkan.
Kajian ilmiah di level internasional menyepakati arti penting hutan bagi
kelangsungan hidup manusia. Meskipun dipahami benar bahwa aspek ekologi
sewajarnya menjadi prioritas utama untuk kelestarian hutan, namun dinamika sosial
dan desakan kebutuhan menyebabkan fungsi ekonomi dan sosial hutan menjadi
menonjol. Hal ini yang seringkali menimbulkan konflik di dalam maupun sekitar
kawasan hutan, baik yang bersifat vertikal maupun bercorak horizontal. Penelitian
yang dilakukan Penulis secara khusus mengkaji persoalan di kawasan yang
ditetapkan Pemerintah sebagai Kawasan Konservasi. Sebuah itikad baik yang
seringkali justru menimbulkan konflik berkepanjangan dan masih terus terjadi.
v
Adagium melayu yang menyatakan bahwa ‘kawan meski satu sangat berarti’
sangat tepat untuk memastikan kepada Penulis untuk tidak meremehkan hal kecil
sekalipun, termasuk dalam penggalian data dan informasi terkait penelitian maupun
secara umum terhadap lingkup kehidupan lainnya. Semua pihak dari berbagai
kalangan, dengan perbedaan usia, status maupun tipologi duniawi lainnya sangat
berperan dalam memahamkan suatu persoalan untuk menghasilkan solusi terbaik
yang dapat diterima pihak-pihak terkait khususnya.
Penelitian yang dilakukan Penulis dengan judul ‘Kajian Konflik di Kawasan
Hutan Konservasi dengan studi kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak’ ini
dapat terselesaikan dalam waktu 3 (tiga) bulan tepat sesuai target waktu yang
ditetapkan berkat bantuan dan dorongan banyak pihak. Secara khusus, terima kasih
tak terhingga Penulis sampaikan pada Dr. Eric Hiariej yang telah meluangkan waktu
untuk menjadikan Tesis ini bermakna. Apresiasi setinggi-tingginya atas dedikasi dan
motivasi yang diberikan oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal dan Riza Noer Arfani, M.A dan
tentunya seluruh Pengurus dan Pengajar MPRK angkatan IX/2010, Samsu Rizal
Panggabean, M.S; Dr. Nanang Pamuji Mugasejati; Arifah Rahmawati, M.A; Dr.Zuli
Qodir serta semua pihak yang berperan langsung maupun tidak yang telah banyak
menginspirasi Penulis untuk senantiasa berkarya lebih baik.
Semoga ‘perjuangan’ ini tidak berakhir sia-sia.
Yogyakarta, 10 Mei 2011,
DINA HIDAYANA
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL x
INTISARI xi
ABSTRACT xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Faedah yang Diharapkan 7
D. Tinjauan Pustaka 8
E. Kerangka Teori 13
F. Argumen Utama 17
G. Cara Penelitian 18
1. Bahan atau Materi Penelitian 18
2. Alat yang Dipakai 19
3. Jalan Penelitian 19
4. Analisis 20
H. Sistematika Penulisan 21
vii
BAB II KONTEKS SOSIO-GEOGRAFI TAMAN NASIONAL
GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 23
A. TNGHS Secara Umum 23
1. Sejarah Penetapan TNGHS 23
2. Letak dan Kondisi Geografi 26
3. Potensi Keanekaragaman Hayati 31
4. Potensi Lain 35
5. Kondisi Demografi 36
B. Villa di Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS 40
1. Sekilas Berdirinya Villa 40
2. Data Kependudukan Lokapurna 44
3. Kondisi Terakhir 45
BAB III KONFLIK DI TNGHS 48
A. Mengurai Akar Konflik Secara Umum 48
1. Negaraisasi dalam Realitas Konflik 48
2. Kontroversi Luas Minimal Hutan 30% 51
3. Disharmoni Kebijakan Pusat-Daerah dan Tata Ruang 53
4. Kebijakan PHBM Perum Perhutani dan Perambahan 58
5. Penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 62
B. Konflik Vertikal di Kawasan Hutan 70
BAB IV BERKACA DARI KASUS VILLA ‘LIAR’ 74
A. Kronologi Konflik Villa 74
1. Sumber Konflik 87
2. Manifestasi Konflik 89
3. Eskalasi Konflik 90
4. Deeskalasi 92
5. Terminasi 94
viii
6. Hasil Akhir 94
B. Siklus Konflik Villa 86
C. Identifikasi Aktor dan Isu Utama 95
1. Identifikasi Para Pihak Utama dan Isu Konflik 96
a. Kementerian Kehutanan 96
b. Pemilik Villa 98
2. Para Pihak terkait101
a. BUMN Perum Perhutani 103
b. Departemen Pertahanan 105
c. Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) 107
d. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor 111
e. Akademisi 115
f. Aktivis (LSM) Lingkungan 115
g. Investor 116
h. Pers 116
i. Masyarakat Lokapurna 117
j. DPRD Tk. II Kabupaten Bogor 119
D. Analogi Bawang Bombay dalam Isu Konservasi 125
E. Analisa SPK (Situasi-Perilaku-Konteks) 129
F. Kondisi Terkini 132
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 133
A. Kesimpulan 133
B. Saran 140
DAFTAR PUSTAKA
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Peta TNGHS Sebelum dan Sesudah Perluasan 25
Gambar 2.2. Peta Posisi TNGHS 27
Gambar 2.3. Peta Sebaran Gunung di TNGHS 29
Gambar 2.4. Peta Kondisi Vegetasi TNGHS tahun 2004 32
Gambar 2.5. Peta Posisi Lokapurna 43
Gambar 3.1. Tumpang Sari di Kawasan Hutan 60
Gambar 4.1. Siklus Konflik Kriesberg 86
Gambar 4.2. Peta Dasar Konflik Villa 102
Gambar 4.3. Salah Satu Villa di Lokapurna Gn.Salak Endah 121
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Lokapurna (Survey Dephut 2007) 44
Tabel 4.1. Analogi Bawang Bombay Kasus Villa Lokapurna 125
Tabel 4.2. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks)
dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan
Masyarakat Desa 130
Tabel 4.3. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks)
dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan
Pemilik Villa 130
xi
INTISARI
Tesis yang berjudul ‘Kajian Konflik di Kawasan Hutan Konservasi dengan Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak’ ini dimaksudkan untuk meneliti lebih jauh pengelolaan hutan Negara yang sarat dengan persoalan yang belum tuntas, terutama konflik yang berkisar di dalam kawasan hutan. Penunjukan kawasan konservasi TNGHS melalui SK Menhut No.175/2003, dalam istilah studi konflik telah menyebabkan eskalasi bercorak vertikal, antara Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) dengan Masyarakat. Penelitian ini mengurai akar konflik secara umum yang terjadi di TNGHS dan kasus Villa yang dianggap liar di kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, yang saat ini populer dengan sebutan LokaPurna (Lokasi Purnawirawan).
Penelitian ini memfokuskan pada dua tipologi masyarakat, yakni Masyarakat biasa (masyarakat desa setempat) dan public figure. Tujuannya untuk mengetahui perbedaan pola konflik dan upaya resolusi yang dilakukan Kementerian Kehutanan terhadap dua jenis masyarakat yang berbeda tersebut. Permasalahan ‘perambahan’ (menduduki kawasan hutan) diduga memiliki penanganan yang berbeda bergantung pada ‘pelaku perambahan’
Dengan menggunakan teori Simon Fisher, Penulis menemukan bahwa terdapat beda perlakuan nyata yang ditunjukan Kementerian Kehutanan atas kasus yang diistilahkan sebagai ‘perambahan hutan’ tersebut. Meskipun produk hukum kehutanan secara tegas mengatur ikhwal penegakan hukum non diskriminatif terhadap pelaku pelanggaran, namun kasus ‘villa yang dianggap liar’ menunjukan bahwa figur memiliki peranan yang penting dalam pola konflik dan resolusi.
Berdasarkan metode kualitatif yang digunakan, dihasilkan beberapa kesimpulan yang menguatkan bahwa benang kusut pengelolaan hutan Indonesia tidak terlepas dari ketidakseriusan dan ketidaksiapan aparat dalam menangani persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan persepsi konservasi, batasan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi/lembaga (negara), klaim kepemilikan maupun akses terhadap sumber daya hutan. Belum lagi disparitas akibat otonomi daerah yang semakin menyuburkan egosektoral dan disharmoni Pemerintah Pusat dan Daerah maupun antar instansi Pemerintah. Ditemukan bahwa kelemahan mendasar terletak pada kemampuan komunikasi Pemerintah dalam mensosialisasikan itikad baik konservasi sebagai bagian penting yang menjadi tanggung jawab bersama dan memerlukan dukungan setiap individu masyarakat, khususnya di wilayah di maksud. Diseminasi pengetahuan dan etika lingkungan perlu diwacanakan dan diformulasikan dalam bentuk kesepahaman yang disepakati multistakeholder.
Kata Kunci: Hutan, Konservasi, Konflik, Villa, TNGHS.
xii
ABSTRACT
The following thesis titled “Conflict Analysis in Forest Conservation Area with a Case Study on Gunung Halimun Salak National Park” is aimed at investigating further the management of state forest which is marked by unresolved problems, in particular conflict around the forest areas. The appointment of TNGHS as conservation area through the decree of Forestry Minister number 175/2003, in conventional conflict studies terms, has caused conflict escalation, vertically between the government (which is represented by the Ministry of Forestry) and local society. This research explores the root of conflict in TNGHS in general and the case of “villa liar” in the area of Gunung Salak Endah, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, which is widely known as LokaPurna (Lokasi Purnawirawan).
The research focuses on two types of society, namely the local society (those who live in local villages) and public figures. The goal is to comprehend the differences in conflict patterns and resolution efforts, applied by the Ministry of Forestry on the two different societies. It is argued that treatments toward “perambahan” (those who occupy forest areas) vary according to the types of occupiers.
Based on Simon Fisher’s theory the author finds a clear differences in the way the Ministry approaches and treats the so-called “perambahan hutan”. Even though the existing law on forestry strictly mentions a non-discriminative principle in law enforcement against offences on state forest areas, the case of “villa liar” demonstrates how the presence of public figures in this kind of conflict significantly affects conflict pattern and its type of resolution.
By using qualitative method, the author concludes that the complexity of forest management in Indonesia is largely due to the lack of concern by the related state apparatus who also seems not to be well-prepared in dealing with problems such as different perception on the meaning of conservation, the scope of authority and authority between state institutions, and ownership claim as well as access to forest resources. This is added further by problems such as disparity in authority caused by new law on regional autonomy which has in practical terms cultivated sector egoism and disharmony both between central and regional governments and between various related state agencies. This thesis finds that the basic shortcoming is in the ability of government to communicate and socialize the virtue of conservation, which should be better taken as shared responsibility and be supported by each and every one in the society around the area. Dissemination of knowledge and ethics on environment should be put into public discourse and reformulated into a shared understanding by multi-stakeholders.
Keywords: Forest, conservation, Conflict, Villa, TNGHS.
1
BAB I PENDAHULUAN
Kajian konflik yang terjadi di kawasan hutan konservasi menjadi fokus Penulis
dalam melakukan penelitian yang secara ringkas tersurat di bab Pendahuluan ini. Terdapat uraian latar belakang dan rumusan masalah, faedah yang diharapkan, tinjauan pustaka, kerangka teori, argumentasi penulis, cara penelitian, termasuk
sistematika penulisan yang menggambarkan keseluruhan isi dari Tesis ini. A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia, secara geopolitik dan geostrategis, memiliki posisi
tawar yang baik dengan anugrah hutan tropis terbesar ketiga di Dunia, setelah
Brazil dan Republik Kongo, yang tersebar dalam 13.000 pulau sepanjang
50.000 km yang membentang di garis khatulistiwa dari Timur ke Barat.
Ironisnya akibat ulah manusia dan alam, memasuki abad 21, kondisi
sumberdaya hutan semakin memburuk. Meskipun belum diperoleh angka
yang pasti, penelitian Handadhari (2009) menyebutkan bahwa deforestasi
pada empat tahun terakhir setidaknya diprediksi mencapai rata-rata tiga juta
hektar per tahun, dua kali lipat angka deforestasi tahunan rata-rata 1985-1997
yang mencapai 1,5-1,6 juta hektar. Hal ini mempengaruhi kebijakan
Pemerintah RI untuk berkompetisi memperkuat sistem pengelolaan hutan
lestari dalam menampik tudingan dan tekanan internasional yang
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan
terbesar di dunia (menurut Guiness Book of World Records, 2008).
Penetapan Taman Nasional dianggap Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Kehutanan sebagai salah satu solusi yang mendekati isu
konservasi menuju Hutan Lestari. Sejak penetapan pertama tahun 1980
2
terhadap status Taman Nasional lima kawasan, yakni: TN Gunung Leuser;
TN Ujung Kulon, TN Baluran, TN Komodo, dan TN Gede Pangrango, telah
ditetapkan 41 Taman Nasional dengan total luas +15,049 juta Hektar di
seluruh Indonesia sampai tahun 2003. Hampir seluruh kawasan yang
ditetapkan sebagai Taman Nasional diawali dan masih menyisakan konflik
berkepanjangan, baik yang bersifat vertikal (rakyat versus pemerintah)
maupun yang bercorak horizontal (rakyat dengan rakyat). Kekhawatiran
Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) atas kerusakan kawasan
konservasi akibat ulah manusia, secara sepihak menyebabkan Masyarakat
Desa Hutan seringkali termarginalkan dan diharuskan migrasi, beberapa
disediakan Pemerintah melalui program relokasi. Warga yang sudah tinggal
turun temurun dan menggantungkan hidup dari sumber daya hutan tampak
bereaksi dengan melakukan yang diistilahkan Pemerintah sebagai ‘penjarahan
(kayu dan sumber daya hutan lain)’ atau ‘perambahan (menduduki kawasan
hutan untuk pertanian dan pemukiman)’ serta aksi lain yang terus
menimbulkan konflik yang belum berujung. Berdasarkan catatan WALHI
hingga tahun 2003 telah terjadi banyak pengusiran rakyat dari kawasan
konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Gunung Leuser (Aceh), TN
Komodo (NTT), TN Kerinci Seblat (Sumatera Tengah), TN Lore Lindu
(Palu-Sulteng), TN Kutai (Kaltim), TN Meru Betiri (Jatim), TN Rawa Aopa
Watomohai (Kendari-Sulteng) dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN
Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas
penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim
3
sepihak sebagai zona inti Taman Nasional (WALHI, 2010). Ironisnya
perlakuan kekerasan, seperti kasus pengusiran, penembakan, serta
penangkapan nelayan dan ‘penjarah’ atau ‘perambah’ hutan di lokasi yang
ditetapkan sebagai kawasan konservasi dianggap sebagai wujud kewenangan
pemerintah yang bersifat legal.
Dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan RI, No.175/Kpts-II/2003,
tertanggal 10 Juni 2003, tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan
Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung
Salak seluas +113.357 Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten
menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) juga
menimbulkan konflik yang serupa. Dalam kasus ini konflik terjadi antara
pemerintah dan Masyarakat Desa Hutan serta antara pemerintah dan pemilik
villa. Di medio 1990-an, Konflik antara pemilik villa dan Masyarakat Desa
Hutan juga terjadi. Tapi uniknya konflik antara kedua pihak yang disebut
belakangan justru berakhir dengan kolaborasi keduanya dalam menghadapi
pemerintah. Konflik klasik antara Masyarakat Desa Hutan dan pemerintah
yang terjadi di TNGHS (kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor) seperti
halnya di beberapa lokasi Taman Nasional yang lain, muncul karena
Masyarakat Desa Hutan tidak mendapat ruang untuk tetap tinggal dan
mengakses sumber daya yang tersedia dalam wilayah konservasi. Sebagai
contoh, Masyarakat Adat di Kabupaten Sukabumi yang masuk dalam wilayah
penunjukan TNGHS, melalui wadah yang mereka sebut ‘Kesatuan Adat
4
banten Kidul’ menuntut adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang
Perlindungan Hak Ulayat. Hak tersebut untuk memastikan tidak ada
perbedaan perhitungan terkait batas hutan yang dapat diolah dan dilindungi
antara kedua pihak, yakni Masyarakat Adat dan Kementerian Kehutanan.
Secara spesifik di Lokapurna (Lokasi Purnawirawan), Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor, kawasan Gunung Salak Endah seluas +256 Ha,
salah satu wilayah yang terkena perluasan TNGHS, terjadi konflik antara
pemerintah dan pemilik villa. Wilayah tersebut sebelumnya dikelola oleh
BUMN Perum Perhutani sebelum diserahterimakan ke Kementerian
Kehutanan tanggal 29 Januari 2009. Eskalasi konflik tampak di ruang publik
setelah Menteri Kehutanan di awal tahun 2010, memerintahkan
pembongkaran villa-villa yang berdiri di atas tanah wilayah Taman Nasional
sebagai implementasi SK Menteri Kehutanan RI No.175/2003 dalam rangka
konservasi. Villa-Villa tersebut berdiri di atas tanah (kawasan hutan) negara
yang dituduhkan Kementerian Kehutanan sebagai ‘Villa Liar’ karena
dianggap tidak memiliki izin dan telah melanggar produk hukum kehutanan,
yakni UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Pemilik Villa diasumsikan
Pemerintah telah melakukan penyalahgunaan pemanfaatan lahan konservasi
kawasan hutan. Sebaliknya pemilik villa menganggap bahwa hak mereka atas
villa tersebut patut dipertimbangkan mengingat asal muasal perolehan
dilakukan melalui proses jual beli yang sah dan ditambahkan bahwa
keberadaan villa yang sebagian besar kini telah dikomersilkan tersebut
5
diakomodir Pemerintah Daerah dalam menunjang sektor pariwisata. Konflik
ini menjadi menarik karena diketahui bahwa pemilik villa sebagian besar
berasal dari unsur public figure yang dikenal masyarakat luas sebagai pejabat
tinggi, politisi, atau purnawirawan TNI, pengusaha, bahkan pemuka agama
dan artis ternama juga menjadi bagian dari cerita perambahan di kawasan
hutan yang telah dipublikasikan sebagai kawasan wisata nasional alternatif
setelah Puncak Bogor sebagaimana Surat Keputusan Bupati Bogor
No.550.1/057-DIP, tertanggal 25 Februari 19891.
Kasus serupa kepemilikan Villa liar di lokasi lain yang dekat dengan
isu konservasi juga pernah terjadi di kawasan Puncak Bogor, daerah yang
dikenal sebagai jalur hijau-daerah tangkapan air, dalam beberapa hal tampak
ada perilaku konflik dan pola pendekatan yang sama dengan kejadian villa
liar di Lokapurna kawasan Gunung Salak Endah TNGHS, yang akan
diuraikan lebih lanjut oleh penulis pada Bab selanjutnya.
Penulis perlu menegaskan bahwa konflik di wilayah konservasi ini
bukan baru terjadi pada saat SK Menhut dikeluarkan. Konflik yang
menyangkut hak milik atas tanah bahkan sudah ada sejak jaman kolonial.
Dalam hal ini keputusan perluasan Taman Nasional penulis argumentasikan
menimbulkan apa yang dikenal dalam studi konflik dengan eskalasi konflik.
Implementasi SK Menhut tentang perluasan TNGHS dalam wacana
konservasi merupakan studi kasus yang akan diteliti penulis terkait implikasi
1 http://www.vibizdaily.com/berita _polhukam/DPRD_KabupatenBogor_Merekomendasikan_
Penghentian_Penyegelan_dan _Pembongkaran/15April 2010 diakses 5 Februari 2011.
6
kebijakan tersebut terhadap eskalasi konflik sampai pada kemungkinan upaya
resolusi berbasis konservasi.
Diskursus umum atas penguasaan Hutan Negara lebih sering
bercerita mengenai konflik vertikal antara rakyat dan pemerintah. Studi kasus
TNGHS memungkinkan sisi lain konflik di atas Hutan Negara yang
melibatkan aktor-aktor lingkup Negara itu sendiri. Para pemilik Villa yang
menguasai rata-rata 9-10 Ha/orang sebagian besar berasal dari unsur Pejabat
tinggi, mantan Pejabat, Politisi aktif, dan Artis ternama tampaknya
memerlukan Resolusi Konflik yang berbeda yang perlu dipikirkan
Kementerian Kehutanan dibandingkan dengan Resolusi terhadap konflik
yang timbul dengan Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang juga menjadi
bagian klasik dari aktor konflik. Pendekatan melalui Isu konservasi terhadap
kejadian konflik sebagaimana teori Fisher dkk (2000) memungkinkan bahwa
alternatif resolusi justru bisa berasal dari isu konflik itu sendiri dengan
mendorong Isu Konservasi ke arah yang produktif menuju penyelesaian
masalah yang lebih arif dan bisa diterima atau dipahami semua pihak,
khususnya terhadap pihak-pihak yang terkait langsung.
Kajian terhadap permasalahan implementasi kebijakan TNGHS ini
dianggap penting karena setidaknya dalam fungsi ekologi sebagai sumber
tangkapan air (catchment area) TNGHS merupakan Hulu dari 117 Sungai
yang sebagian besar mengalir ke sungai utama menuju JAKARTA (Ibukota
Negara) dan sekitarnya. Konflik yang dibiarkan akan memperparah krisis
ekologi yang berdampak langsung maupun tidak pada masyarakat di Pulau
7
Jawa khususnya (70% penduduk Nasional). Masyarakat dan multistakeholder
yang terkena dampak langsung kebijakan perluasan Taman Nasional tersebut
juga sampai hari ini masih terus menunggu kepastian nasib dan
penghidupannya yang memerlukan penanganan segera, bukan saja melalui
pertimbangan sosial budaya tetapi secara khusus melalui pendekatan
ekosistem lestari berbasis local spesific.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, Penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik dapat terjadi di kawasan hutan konservasi Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan siapa saja aktor-aktor
yang terlibat?
2. Bagaimana intervensi aktor dan isu konservasi dapat menjadi alat Resolusi
Konflik Sektor Kehutanan?
C. Faedah yang Diharapkan
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini,
antara lain adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan (theoritical) dan pembangunan pada
8
umumnya (practical), khususnya ilmu konflik dan Resolusi Konflik,
terutama dalam bidang Lingkungan dan atau Kehutanan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dan atau model dalam
penyelenggaraan pengelolaan kehutanan Indonesia yang minim konflik
dan tepat resolusi serta berbasis ekosistem lestari local spesific.
3. Mendorong upaya Konservasi sebagai itikad baik yang memerlukan
kesepahaman bersama dan atau kesepakatan multistakeholder, termasuk
masyarakat di dalam maupun di luar kawasan (sebagai bagian dari
ekosistem) melalui proses dan implementasi yang arif dan berkeadilan.
4. Merekomendasikan berjalannya sistem pengelolaan ‘berwawasan
lingkungan’ (titik berat Isu Konservasi Hutan) secara komprehensif
dengan melibatkan multistakeholder untuk tujuan Ekosistem Lestari dan
Berdaya Guna
D. Tinjauan Pustaka
Theodore Roosevelt (1902) merupakan orang Amerika Pertama yang
mengemukakan Konsep Konservasi, kata Conservation sendiri berasal dari
bahasa Latin: con (together) yang berarti bersama dan servare (keep/save)
yang berarti menjaga. Pemaknaan Konservasi Umum diartikan sebagai upaya
memelihara (sumber daya alam) apa yang kita punya (keep or save what you
have) secara bijaksana (wise use)2.
2 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah‐pengertian‐dan‐definisi.html.
9
Internasional Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) pada tahun 1968 mendefinisikan Konservasi sebagai
manajemen udara, air, tanah, mineral untuk organisme hidup termasuk
manusia sehingga dapat dicapai peningkatan kualitas kehidupan manusia,
yang didalamnya termasuk kegiatan manajemen berupa survey, penelitian,
administrasi, pengawetan (preservasi), pendidikan, pemanfaatan dan latihan3.
Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam (SDA), Taman Nasional termasuk pada kategori
Kawasan Pelestarian Alam yang dikelola melalui pendekatan ekosistem.
Pasal 30 menegaskan bahwa Kawasan Pelestarian Alam mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman hayati
spesies tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
Merujuk batasan deskripsi oleh Internasional Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 1969)4, Taman
Nasional merupakan: (1) Kawasan yang cukup luas bagi pembangunan satu
atau lebih ekosistem dan jauh dari gangguan manusia, dengan berbagai jenis
satwa, flora dll sebagai habitat yang memiliki nilai ilmiah dan pendidikan; (2)
Kewenangan Pengelolaan pada Pemerintah yang bertugas melestarikan
ekosistem; (3) Dapat dikunjungi dalam kapasitas pendidikan, kajian ilmiah,
dan ekowisata. Konsep Taman Nasional (National Park) ala barat mulai
3 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah‐pengertian‐dan‐definisi.html. 4 Idem
10
berkembang sejak Yellow Stone di tahun 1872 ditetapkan sebagai Taman
Nasional di Amerika.
Indonesia mulai menerapkan Konsep Taman Nasional sejak tahun
1980, melalui penetapan Menteri Pertanian terhadap Lima Kawasan Suaka
Alam sebagai Taman Nasional, yaitu: Taman Nasional Gunung Leuser, TN
Ujung Kulon, TN Komodo, TN Baluran, dan TN Gunung Gede Pangrangro.
Penetapan Taman Nasional itu menimbulkan konflik baik Horizontal maupun
Vertikal yang sering berujung pada kekerasan. Disebutkan oleh Gray (1991),
seringkali pemerintah menganggap bahwa jalan keluar dari kehancuran hutan
tropis adalah dengan penetapan kawasan-kawasan yang dilindungi dimana
setiap orang dilarang masuk sebagai upaya melindungi spesies yang terancam
punah. Perdebatan mengenai penerapan konsep Taman Nasional versi
Indonesia ini masih ambivalen dengan produk hukum yang sangat ala Barat
dan keinginan untuk adaptasi lokal. Kepentingan peninjauan local specific
menjadi sangat penting mengingat kenyataan Taman Nasional di Indonesia
sangat khas ‘yang berbeda dengan Negara lain’ dengan didalamnya telah
dihuni dan berpenghidupan masyarakat dalam jumlah yang cukup besar dan
membentuk komunitas tersendiri yang tidak bisa atau tidak sewajarnya
terpinggirkan oleh kebijakan.
Berkaitan dengan kasus yang akan diteliti Penulis, terdapat beberapa
tulisan yang membahas konflik di kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS). Penelitian yang dilakukan oleh Galudra (2006)
diantaranya menyimpulkan bahwa berdasarkan catatan sejarah, permasalahan
11
sengketa tanah di area Taman Nasional disebabkan oleh ketidakpastian
hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat di
masa kolonial Hindia Belanda. Sengketa tanah ini berawal dari pengakuan
tanah-tanah Belanda. Tiadanya penyelesaian sengketa tanah tersebut berlanjut
hingga kini. Pemerintah saat ini perlu menyelesaikan sengketa tanah ini agar
pengelolaan tanah-tanah huma Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tidak
terganggu dengan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah-tanah
huma mereka. Salah satu kelemahan dari penelitian Galudra ini adalah tidak
memperhatikan faktor penyebab konflik yang bisa ditemukan dalam kondisi
politik dan ekonomi Indonesia kontemporer. Penelitian tersebut, misalnya,
tidak melihat arti penting kebijakan konservasi yang dibuat pemerintah
(dalam hal ini SK Menhut No.175/2003) sebagai salah satu faktor yang
berkaitan dengan konflik. Kebijakan konservasi yang sewajarnya dikeluarkan
dengan itikad baik untuk tujuan pelestarian, justru menimbulkan eskalasi
konflik, sesuatu yang akan diteliti Penulis lebih jauh.
Sementara penelitian lanjutan di Taman Nasional Gunung Halimun
yang dilakukan Pratiwi (2008), menunjukkan ada empat penyebab konflik di
kawasan TNGHS tersebut, mulai dari perbedaan sistem nilai yang
berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga
konflik ketidakpastian akses. Dari penelitian tersebut tampak bahwa konflik
di TNGHS bersifat terbuka dan berfokus pada persoalan hak dan akses.
Berbagai konflik di kawasan TNGHS membuktikan bahwa institusi yang ada
tidak berhasil menyelesaikan konflik. Diindikasikan karena perbedaan
12
persepsi kolektif yang menyebabkan para pihak tidak bersinergi. Hal tersebut
membuktikan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan
menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala
pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan,
keterbatasan sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi
juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi. Dibandingkan studi
yang dilakukan oleh Galudra, Pratiwi memperhatikan beberapa hal yang
berkaitan dengan kondisi Indonesia masa kini. Pratiwi juga berusaha melihat
kaitan konflik tersebut dengan keberadaan intitusi yang terkait. Sayangnya,
tidak seperti yang diinginkan Penulis, Pratiwi tidak secara spesifik melihat
arti penting keputusan pemerintah dalam hal perluasan TNGHS.
Robert Siburian (2006) memberikan penjelasan lain. Berdasarkan
kajiannya persoalan konflik yang muncul di seluruh Taman Nasional
berkaitan dengan kebijakan sentralistik sektor kehutanan yang tidak sejalan
dengan semangat Otonomi Daerah melalui Undang-Undang No.32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Ketidakselarasan ini
menyuburkan tarik menarik kepentingan dan egosektoral antara Kementerian
Kehutanan (sebagai Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Daerah Tingkat I
(Provinsi) maupun Tingkat II (Kota/Kabupaten). Siburian secara spesifik
menekankan arti penting keputusan pemerintah dalam bentuk SK terhadap
konflik di wilayah konservasi. Persoalannya, Siburian lebih tertarik melihat
13
konflik kebijakan ketimbang melihat kaitan antar kebijakan dalam bentuk SK
terhadap konflik yang timbul antara pemerintah dan masyarakat setempat.
Singkatnya, Penulis lebih tertarik untuk melihat isu konservasi
sebagai faktor penting dibalik Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan, dalam hal ini SK 175 tahun 2003 tentang
penunjukan kawasan konservasi TNGHS, yang tampaknya memiliki kaitan
dengan eskalasi konflik di wilayah tersebut.
E. Kerangka Teori
Menurut Johan Galtung (1996), konflik adalah Hubungan antara dua
pihak atau lebih (Individu atau kelompok) yang memiliki atau ‘yang merasa’
memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan manifestasi
kekerasan disebutkan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur
atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial atau
LINGKUNGAN dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya
secara penuh.
Konflik salah satunya disebabkan oleh kelangkaan dan terbatasnya
Sumber Daya Alam, yang bertalian erat dengan kebutuhan manusia terhadap
uang, sumber daya seperti TANAH dan minyak, ataupun pekerjaan (Wilmot
dan Hocker, 2001). Meskipun demikian, Fisher dkk (2000) menyatakan
optimisme bahwa Konflik itu sendiri justru bisa menjadi bagian dari solusi
suatu permasalahan, bukan dalam kapasitas menekan konflik tetapi lebih
kepada meresolusi konflik agar produktif. Resolusi konflik dimaksudkan
14
sebagai upaya menangani penyebab konflik dan berusaha membangun
hubungan baru yang bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang
bermusuhan atau tidak sejalan.
Untuk mengetahui posisi konflik, penting bagi Penulis untuk
menggunakan siklus konflik Kriesberg (1998), yakni: Sumber konflik,
Manifestasi, Eskalasi, Deeskalasi, Terminasi dan Hasil. Sumber konflik
berasal dari adanya perbedaan kepentingan maupun konteks sosial. Upaya
salah satu atau kedua pihak untuk memastikan terwujudnya kepentingan
masing-masing melalui bentuk pemaksaan, intimidasi dll yang memunculkan
konflik di permukaan merupakan wujud Manifestasi konflik. Sedangkan
Eskalasi Konflik yang disebut Riza Noer Arfani (2011) sebagai bagian
terpenting dari Manajemen Konflik merupakan bentuk nyata perjuangan atau
perlawanan dalam mencapai tujuan. Pada tahap eskalasi ini dimungkinkan
adanya tindakan kekerasan (violence conflict) ketika interaksi keduanya
semakin menguat negatif. Seringkali pada tahap ini masing-masing pihak
berposisi zero-sum gain (salah satu harus menang). Dalam jangka waktu
bervariasi pihak yang berkonflik mengalami Deeskalasi (penurunan
ketegangan konflik) yang bisa ditimbulkan oleh faktor internal maupun
intervensi eksternal. Selanjutnya teori Kriesberg tersebut juga menjelaskan
tahap Terminasi sebagai proses peralihan yang rawan intervensi pihak-pihak
yang berkepentingan menuju Hasil Akhir yang idealnya memuaskan kedua
pihak (Win-Win) atau setidaknya bisa disepakati keduanya.
15
Pemetaan konflik (Conflict mapping) yang dijabarkan cukup detil
oleh Simon Fisher dkk (2000) dalam teorinya ‘mengelola konflik,’ juga
sangat membantu Penulis untuk dapat menganalisa konflik sebagai suatu
proses praktis dalam mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari
berbagai sudut pandang. Pemetaan konflik yang dimaksudkan Fisher dkk
menunjukkan peta dasar konflik berupa: Aktor utama dan pihak lain yang
terlibat dalam konflik, hubungan antar pihak yang terlibat, isu-isu pokok yang
berada di antara para pihak, termasuk memposisikan penulis dalam analisa
konflik. Lebih lanjut disebutkan oleh Fisher dkk bahwa penting untuk
menganalisa konflik lebih mendalam agar lebih memahami latar belakang,
sejarah dan perkembangan terbaru; dapat mengidentifikasi semua kelompok
yang terlibat bukan hanya berfokus pada kelompok yang secara kasat mata
menonjol; mampu memahami pandangan semua kelompok dengan
mengetahui hubungan antara pihak-pihak terkait; mengidentifikasi faktor-
faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik; termasuk yang terpenting
bahwa analisa konflik dapat mengajarkan kita untuk berkaca dari kegagalan
dan selanjutnya mampu meraih kesuksesan yang diharapkan.
Ahli Resolusi Konflik lain, John Paul Lederach (2001) lebih
menekankan pentingnya bagi kita untuk mengetahui isu dan aktor-aktor yang
terlibat dalam situasi konflik. Identifikasi secara tepat termasuk didalamnya
kepentingan masing-masing aktor akan mengarahkan kita untuk memahami
akar permasalahan menuju tranformasi konflik yang diharapkan.
16
Khususnya dalam kasus Masyarakat Desa Hutan (di dalam kawasan)
dan pemilik Villa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang terimbas
implementasi kebijakan SK No. 175/2003, Kombinasi teori James C.Scott
(1976) dan Samuel L.Popkins (1981), bisa membantu menjelaskan terkait
kemungkinan resolusi yang menjembatani harmonisasi sosial serta orientasi
ekonomi politik dan akumulasi modal menjadi arahan baru dalam upaya
penyelesaian konflik. Gambaran James C.Scott dalam bukunya yang sangat
fenomenal berjudul ‘The Moral Economy of the Peasant’ menunjukkan pola-
pola individual Masyarakat Desa Hutan terhadap kecenderungan untuk
resisten terhadap bentuk perubahan yang dianggap mengganggu
kelangsungan hidup dan penghidupannya. Dengan memanfaatkan konsep ini
diharapkan proses resolusi memperhatikan aspek moral Masyarakat Desa
Hutan setempat. Dalam bagian yang berbeda, ada bagian masyarakat yang
‘dianggap lebih rasional’ dengan kecenderungan yang lebih adaptif terhadap
perubahan seperti dalam teori Samuel L.Popkins ‘The Rational Peasant: The
Political Economy of Rural Society in Vietnam’. Masyarakat yang disebut
‘rasional’ ini memungkinkan diberikan kesempatan atas peluang kerja atau
sektor ekonomi yang baru.
Dalam penelitian ini Penulis juga merasa penting untuk mengacu
pada beberapa teori dan konseptualisasi yang dapat membantu melihat
Konservasi sebagai alat untuk mengupayakan resolusi konflik. Penjelasan
lebih lanjut terkait konflik sosial politik melalui pemaknaan aktor-aktor yang
terlibat konflik, secara khusus perlu memperhatikan faktor komunikasi
17
penggunaan bahasa dalam struktur hubungan sosial. Analisis ini yang
kemudian menciptakan segitiga negosiasi kepemimpinan yang banyak
dipakai dalam upaya resolusi konflik (Lederach, 1996).
Disebutkan pula oleh Myers (1982) bahwa seringkali konflik
berpusat pada beberapa penyebab utama, diantaranya: adanya perbedaan
tujuan yang ingin dicapai, alokasi atau distribusi sumber daya, pengambilan
keputusan maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Meskipun konflik tidak
semua berakar dari komunikasi yang buruk tetapi proses komunikasi diyakini
sebagai upaya untuk mempertemukan perbedaan kelompok atau individu
yang bertikai. Komunikasi dalam posisi ambigu dipandang dapat menjadi
penyebab konflik akibat buruk/gagalnya proses penyampaian informasi
namun di satu sisi komunikasi berperan penting dalam mengupayakan
resolusi atau mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Penulis menganggap
isu konservasi menjadi bagian dari materi komunikasi yang akan dibahas
lebih lanjut dalam kajian penelitian.
F. Argumen Utama
Ada keterkaitan antara kebijakan Konservasi dengan terjadinya
Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Keterkaitan tersebut
diindikasikan dengan adanya konflik laten sampai konflik massal terbuka
yang terjadi antara warga setempat dan Kementerian Kehutanan. Tapi dalam
kaitan tersebut, Isu Konservasi juga dapat menjadi salah satu alat Resolusi
Konflik sektor kehutanan khususnya, jika terdapat kesepahaman antara
18
pemerintah dan masyarakat tentang arti penting konservasi dengan penetapan
luasan yang mendasarkan pada kajian ilmiah berbasis local specific dengan
memperhitungkan aspek sosial budaya berbasis ekosistem lestari.
G. Cara Penelitian
1. Bahan atau Materi Penelitian
a. Data Primer
Berupa Peta Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS), termasuk posisi Masyarakat Desa Hutan, potensi TNGHS,
zonasi pemanfaatan, dan sebaran villa liar. Responden merupakan
Aktor/ para pihak yang terkait Isu Konservasi dan Villa liar di
kawasan TNGHS, meliputi: pihak Kementerian Kehutanan,
Masyarakat Desa Hutan (MDH) dan Pemilik Villa.
b. Data Sekunder
1) Data statistik Departemen Kehutanan RI.
2) Data survey kampung dan data pendukung lain Balai Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).
3) Arsip Kronologi Proyek Pertanian Veteran dan Demobilisasi
Republik Indonesia di Lokapurna, kawasan Gunung Salak Endah,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (tahun 1954-2010).
4) Surat Menyurat Kementerian Kehutanan RI dan Kuasa Hukum
Masyarakat Lokapurna (Lokasi Purnawirawan).
19
c. Bahan Tersier
Berupa Produk Hukum Kehutanan dan terkait, seperti:
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat
Keputusan Menteri dll; Kamus; Ensiklopedia; Berita/Kliping Media
Massa, website dan sebagainya.
2. Alat yang Dipakai
Berupa data yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun
wawancara langsung (observasi) di lapangan.
3. Jalan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: tahap
persiapan, tahap penelitian dan tahap penyelesaian.
a. Tahap Persiapan
Dimulai dengan pengumpulan bahan atau data terkait dengan
permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini. Kemudian
dilanjutkan dengan penyusunan Usulan Penelitian melalui
konsultasi/penyempurnaan di bawah bimbingan Dosen Pembimbing.
Setelah memperoleh persetujuan dilanjutkan dengan penyusunan
instrument penelitian. Tata waktu ditetapkan bersama dengan Dosen
Pembimbing untuk rencana penyelesaian tiap tahapan yang terukur.
20
b. Tahap Penelitian
1) Penelitian Kepustakaan
Dilakukan dengan pengumpulan dan pengkajian data sekunder
dan tersier yang ada kaitannya dengan materi penelitian.
2) Penelitian Lapangan
Dilakukan dengan mengumpulkan data primer melalui
observasi/wawancara ke lapangan guna mengumpulkan data-data
yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan. Data yang
diperoleh adalah tentang segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang diajukan.
c. Tahap Penyelesaian
Dilakukan dengan menganalisis data-data yang berhasil
dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun penelitian
kepustakaan, dari sumber data primer, sekunder maupun tersier.
Kemudian dilanjutkan dengan Penyusunan dan Penyempurnaan
melalui bimbingan Dosen Pembimbing serta diakhiri dengan laporan
hasil penelitian (Tesis).
4. Analisis
Keseluruhan data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan
kepustakaan, baik data primer, sekunder, maupun tersier akan dianalisis
dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengelompokkan
(mengkategorisasi) dan menyeleksi data primer yang diperoleh dari
21
penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Kemudian
dihubungkan dengan data sekunder dan tersier yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan, sehingga akan diperoleh jawaban atas
permasalahan yang menjadi topik utama dalam penelitian melalui cara
Deskriptif Analitik.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian berjudul ‘Kajian Konflik di Kawasan Hutan Konservasi
dengan studi kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)’ ini
disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
1. BAB I Pendahuluan
Terdiri atas: latar belakang masalah, rumusan masalah, faedah
yang diharapkan, tinjauan pustaka, kerangka teori, argumen utama, cara
penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II Konteks Sosio-Geografi TNGHS
Menjabarkan kondisi TNGHS secara umum dan secara khusus
lokasi villa liar di kawasan Gunung Salak Endah dari aspek sosio-geografi
yang dilengkapi dengan peta dan gambar.
3. BAB III Konflik di TNGHS
Pada Bab ini, penulis menggambarkan akar konflik secara umum
yang terjadi di TNGHS, mulai dari sejarah negaraisasi, kontroversi
penetapan luas kawasan hutan 30%, kenyataan adanya disharmoni
22
kebijakan dan tata ruang, keterkaitan BUMN Perum Perhutani dengan
perambahan, dan secara khusus terkait persoalan atas penunjukan TNGHS
sebagai kawasan konservasi serta konflik vertikal di kawasan TNGHS.
Lebih lanjut Bab ini akan menjadi dasar analisa perbedaan perilaku dalam
hal pendekatan dan resolusi konflik dari aktor utama Kementerian
Kehutanan terhadap aktor masyarakat biasa dan public figure.
4. BAB IV Berkaca dari Kasus Villa ‘Liar’
Konflik umum yang terjadi di TNGHS akan dibandingkan dengan
kasus konflik villa yang dianggap liar dengan menguraikan kronologi
kejadian dan tahapan konflik dengan menggunakan siklus kriesberg.
Pemetaan konflik yang menjelaskan siapa saja aktor-aktor yang terlibat
dalam konflik serta isu yang menyertai masing-masing pihak, termasuk
celah intervensi yang memungkinkan aktor dan isu menuju upaya resolusi
terdapat pula dalam Bab ini.
5. BAB V Kesimpulan dan Saran
Berdasar seluruh kajian penelitian dan teori yang digunakan, bab
ini menjadi penutup yang menghasilkan beberapa kesimpulan dan saran
yang diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan pengelolaan
kehutanan Indonesia yang minim konflik dan tepat resolusi.
23
BAB II KONTEKS SOSIO-GEOGRAFI
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Pada bagian ini Penulis mendeskripsikan kondisi sosial demografi, posisi serta potensi geografi dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) secara
umum5 dan khususnya Kawasan Gunung Salak Endah, lokasi villa yang dianggap liar berada untuk mengetahui kemungkinan faktor yang mendorong atau
memperkuat kejadian konflik di lahan konservasi hutan.
A. TNGHS secara Umum
1. Sejarah Penetapan TNGHS
Konsep Hutan Negara di Indonesia merupakan warisan (dimulai
sejak) masa kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu yang dikenal
sekarang dengan hutan negara adalah kawasan hutan yang ditetapkan
menjadi kewenangan pemerintah (Hindia Belanda), salah satunya di
wilayah Gunung Halimun dan Gunung Salak berdasarkan Goberneur
Besluit (GB) Nomor 26 tertanggal 7 Juli 1927 dan Nomor 4 tertanggal 26
April 1927. Kewenangan atas Hutan Negara dan penetapan batas kawasan
hutan yang dikuasai oleh Negara (domeinverklaring) kemudian diadopsi
Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan.
Melalui keputusan Menteri Pertanian RI No.92/Um/1954
tertanggal 31 Agustus 1954, telah ditetapkan Kawasan Hutan Negara atas
Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak, yang terdiri
atas Gunung Halimun, Gunung Kendeng Kulon, Gunung Sanggabuana,
5 Sebagian besar Data dan Peta diperoleh dari Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) Kementerian Kehutanan tahun 2011.
24
Gunung Nanggung, Gunung Jasinga I dan Gunung Ciampea, yang
terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Banten, Provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya Menteri Pertanian RI melalui Keputusan
No.40/Kpts/Um/3/1979 tertanggal 11 Januari 1979, menunjuk Kelompok
Gunung Halimun seluas ± 40.000 ha sebagai Hutan Suaka Alam dengan
fungsi Cagar Alam (CA Gunung Halimun). Alasan penunjukan merujuk
pada pertimbangan kuantitas konservasi atas keanekaragaman hayati,
berupa Flora dan Fauna, seperti: Rasamala (Altingia excelsa), Puspa
(Schima wallichii), Jamuju (Dacrycarpus imbricartus), Kiputri
(Podocarpus neriifolius), berbagai jenis Anggrek dll, termasuk pula
kekayaan satwa Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata),
Trenggiling (Manis javanica), Macan Tutul (Panthera pardus melas) dll.
Keputusan Menteri Kehutanan No.282/Kpts-II/1992 tertanggal
28 Februari 1992, mengubah fungsi Cagar Alam Gunung Halimun seluas
±40.000 ha menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Baru
pada tanggal 23 Maret 1997, secara resmi TNGH ditetapkan sebagai salah
satu Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan dibawah kendali
Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan
nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun yang dikepalai oleh
seorang Kepala Balai.
Lima tahun berselang, melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan RI No.175/Kpts-II/2003 tertanggal 10 Juni 2003, lahir
kebijakan untuk memperluas ekosistem Taman Nasional Gunung
25
Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Perluasan Kawasan Konservasi Alam dengan fungsi Taman Nasional dari
semula +40.000 Ha menjadi +113.357 Ha, meliputi kawasan TNGH
ditambah dengan Kawasan Hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan
sekitarnya yang semula dalam kewenangan pengelolaan BUMN
Kehutanan Perum Perhutani. Serah terima pengelolaan Hutan Perhutani
yang telah diubah atau dimasukkan dalam kawasan konservasi ke
Departemen Kehutanan secara legal formal baru dilakukan pada tanggal
29 Januari 2009. Penambahan areal TN seluas 113.357 Ha dari Hutan
Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung
(HL) yang sebelumnya dikelola Perum Perhutani secara administrasi telah
diserahterimakan dan tertuang dalam Berita Acara No.06/SJ/Dir/2009
oleh Dirut Perum Perhutani kepada Dirjen PHKA Dephut.
Gambar 2.1 Peta TNGHS Sebelum dan Sesudah Perluasan
26
Hal menarik dari penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak ini (seperti halnya penunjukan Taman Nasional atau Hutan Negara
secara umum di seluruh Indonesia) tidak terlepas dari persoalan sosial
dengan kenyataan bahwa di dalam kawasan terdapat masyarakat yang
tinggal dan berpenghidupan dari hutan secara turun temurun, baik itu
masyarakat adat maupun masyarakat non adat (masyarakat lokal maupun
pendatang), yang sering kali terpinggirkan atau terlupakan dari kebijakan
konservasi khususnya. Keinginan Negara yang tampak ingin menjadikan
kawasan hutan Negara sebagai kawasan steril dari manusia menjadi
sumber konflik yang akan terus menerus terjadi apabila tidak ada
keinginan kedua pihak untuk mengedepankan kepentingan yang lebih
besar. Secara khusus penulis akan membahas lebih detil permasalahan
masyarakat di dalam kawasan konservasi ini pada bab III mengenai
Konflik di TNGHS.
2. Letak dan Kondisi Geografi
Secara geografis kawasan TNGHS terletak pada koordinat 106º
12’ 58” BT – 106º 45’ 50” BT dan 6º 32’ 14” LS – 6º 55’ 12” LS.
TNGHS merupakan salah satu rangkaian Gunung Berapi bagian selatan
yang menjadi bagian dari sabuk gunung berapi yang memanjang dari
Pegunungan Bukit Barisan Selatan di Sumatera hingga Gunung Honje
Ujung Kulon dan sangat dipengaruhi oleh kondisi Samudera Hindia.
Berdasarkan sejarah pembentukannya, permukaan pegunungan terdorong
ke atas pada periode Miocene dan Pleostean, sekitar 10-20 juta tahun
ya
ya
Su
m
R
tu
fo
cu
ya
gu
m
de
ang lalu. Ge
ang runtuh
unda yang
menjadi dua
entetan gera
urun di seb
ormasi tapa
uaca menge
ang luas. S
unung bera
meletus pada
engan nama
erakan ini k
berupa dat
memisahka
a pulau bes
akan tekton
belah selat
al kuda. M
erosi permu
Sedangkan k
api strato t
a tahun 193
a Kawah Ra
Gamba
kemudian m
taran rendah
an Pulau S
sar ini terj
nik ini mem
tan mengh
elalui perja
ukaan bum
kawasan pa
type A, ya
38, dengan
atu.
ar 2.2 Peta P
membentuk
h, yang saa
umatera da
jadi sekitar
mbentuk dind
hadap pegu
alanan seja
i sehingga
ada bagian
ang menuru
kawah yan
Posisi TNG
wilayah B
at ini diken
an Pulau Ja
r 10.000 ta
ding lava d
unungan ya
arah yang p
membentu
Gunung S
ut catatan
ng masih ak
GHS
ayah dan b
nal dengan
awa. Terba
ahun yang
dan wilayah
ang memb
panjang, ko
uk bentang
Salak merup
terakhir p
ktif yang di
agian
Selat
ginya
lalu.
yang
entuk
ondisi
alam
pakan
ernah
ikenal
27
28
Secara administratif TNGHS saat ini berada dalam dua wilayah
provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor dan Sukabumi) dan
Provinsi Banten (Kabupaten Lebak). Kawasan ini terdiri atas 9 kecamatan
di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 9
kecamatan di Kabupaten Lebak dengan total Desa sebanyak 108 Desa
yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam atau berbatasan
langsung dengan kawasan TNGHS. Sebelah barat laut TNGHS
berbatasan dengan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan sebelah Timur
berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang secara
administratif terpisahkan oleh sungai Cicurug dan lembah Cisadane.
TNGHS merupakan kawasan hutan hujan pegunungan (sub
montane) yang tersisa dan terluas di Provinsi Jawa Barat dan Banten
dengan topografi curam dan sangat curam, konfigurasi lembah yang
sempit, dengan sebaran ketinggian antara 500 – 2211 m dpl (Tipe
ekosistem collin, sub montana dan Montana), rata-rata kemiringan 45%,
curah hujan rata-rata 4000-6000 mm (kategori sangat tinggi), kelembaban
5-6%, temperatur 200-300C, dengan tipe iklim A yang selalu basah. Angin
muson yang berubah arah berdasarkan musim seringkali menjadi faktor
penyebab kerusakan hutan atau tumbangnya pohon-pohon, terutama
ketika angin datang dari barat daya dengan kecepatan sangat tinggi.
Komplek pegunungan TNGHS berdasar posisi letak terdiri atas,
bagian Barat, yaitu: Gunung Halimun Utara (1.929 m dpl), Gunung
Sanggabuana (1.920 m dpl), Gunung Botol (1.850 m dpl), Gunung
29
Pameungpeuk (1.455 m dpl), Gunung Endut Barat (1.297 m dpl), Gunung
Kencana (1.831 m dpl) dan Gunung Ciawitali (1.530 m dpl). Di sebelah
Timur Laut terdapat Gunung Kendeng Utara (1.575 m dpl) dan di bagian
Tenggara terdapat Gunung Halimun Selatan (1.758 m dpl), Gunung
Kendeng Selatan (1.764 m dpl), Gunung Panenjoan (1.350 m dpl),
Gunung Endut Timur (1.474 m dpl), Gunung Salak 1 (2.211 m dpl) dan
Gunung Salak 2 (2.180 m dpl). Diketahui bahwa puncak gunung tertinggi
di kawasan TNGHS adalah Gunung Salak 1 dengan ketinggian mencapai
2.211 meter di atas permukaan laut.
Gambar 2.3 Peta Sebaran Gunung di TNGHS
30
Terbentuknya kubah kawah pertama telah menghasilkan
retakan-retakan tegangan yang mengangkat Bijih Emas dan Perak dalam
jumlah yang besar di kawasan TNGHS, khususnya di daerah sekitar DAS
Ciburial dan Cihara. Ini menyebabkan sampai hari ini banyak
penambang-penambang liar yang beraktifitas di sekitar DAS tersebut.
Sebagian besar wilayah TNGHS sangat bagus untuk aktifitas
pertanian, dengan struktur tanah andosol dan latosol mampu
menghasilkan kesuburan kimiawi yang minim sampai cukup dengan sifat
fisika yang relatif cukup bagus untuk pertumbuhan tanaman. Tekstur
tanah umumnya didominasi partikel seukuran debu yang mudah tercuci
dengan sifat tanah yang menunjukkan sifat vulkanik tua. Kondisi tersebut
menjadikan sebagian besar kawasan TNGHS sebagai daerah yang subur.
Dalam fungsinya sebagai daerah tangkapan air, secara umum
kawasan TNGHS memiliki struktur tanah dan batuan dengan porositas
dan permeabilitas yang optimal. Dalam fungsi hidrologis, banyak sungai
berasal dari kawasan ini yang bermuara ke Laut Jawa sebelah utara
maupun ke Lautan Hindia di sebelah selatan. Air sungai tersebut mengairi
lahan-lahan pertanian di sekitar TNGHS. Sungai-sungai di sekitar
TNGHS selalu berair sepanjang musim. Terdapat lebih dari 117 sungai
dan anak sungai yang berhulu dari dalam kawasan TNGHS. Di bagian
utara Gunung Halimun Salak terdapat 3 DAS penting, yaitu: Ciberang
(Ciujung), Cidurian dan Cikaniki (Cisadane). Di sebelah selatan terdapat
9 (sembilan) DAS penting, yakni: Cisolok, Citepus, Cimadur, Cibareno,
31
Cihara, Cisiih, Cimaja, Cikasomayang dan Cimandiri (Citatih/Citarik).
Sungai-sungai ini mengalir melintasi wilayah Jakarta (Ibukota Negara),
Bogor, Tangerang, Banten, Depok, Sukabumi dan daerah penyangga
lainnya. Sungai-sungai ini banyak dimanfaatkan masyarakat setempat
untuk keperluan mengairi lahan pertanian, keperluan rumah tangga (air
minum/mencuci/memasak dsb), pembangkit listrik, termasuk pula untuk
wisata arung jeram yang sedang populer saat ini.
3. Potensi Keanekaragaman Hayati
Kondisi umum TNGHS menjadikannya habitat ideal untuk
tumbuh dan berkembangnya kehidupan tumbuhan, satwa dan jasad renik.
Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi)
banyak terdapat di kawasan ini.
Berdasar tipe ekosistem, di ketinggian 500 m dpl – 1000 m dpl
(zona Collum) tumbuh tanaman Rasamala (Altingia exelsa), Puspa
(Schima Wallichii), Saninten (Castanopsis javanica), Kiriung anak
(Castanopsis acuminatissima) dll. Sedangkan di ketinggian 1000 – 1400
m dpl (Zona Sub Montana) tumbuh Kayu manis (Cinnamomum sp), Buni
(Antidesma bunius), Beringin (Ficus spp), Kimerak (Weimania blumei),
Ganitri (Elaecarpus ganitrus) dll. Di ketinggian sub Montana ini dapat
dijumpai pohon-pohon yang tingginya mencapai 30-40 m dengan
diameter 120 cm. Sedangkan pada ketinggian lebih rendah akan dijumpai
pohon-pohon yang lebih tinggi lagi. Pada zona Montana dengan
ketinggian lebih dari 1500 m dpl tumbuh jenis tanaman Podocarpus,
32
yakni: Kibima (Podocarpus blumei), Kiputri (Podocarpus imbricatus),
Jamuju (Dacrycarpus imbricatus), serta lebih dari 75 jenis anggrek langka
tumbuh di zona ini, seperti: Bulbophylum binnendykii, Bulbophylum
angustifolium, Cymbidium ensifolium, Dendrobium macrophyllum dll.
Terdapat pula jenis flora endemic, yakni Dipterocarpus hasseltii dan
Neesia altisima. Jenis menarik lainnya adalah Hamirung (Vernonia
arborea) yang merupakan satu-satunya anggota suku Asteraceae yang
berbentuk pohon, jenis ini ditandai oleh adanya perbungaan yang
majemuk. Jenis pohon lain yang juga sering dijumpai tetapi
persebarannya agak spesifik diantaranya adalah Kilemo (Litsea cubeba),
yang lebih banyak dijumpai di Gunung Botol; jenis Schefflera rigida dan
Kiramo Giling (Trevesia sundaica) lebih banyak dijumpai pada tempat
yang agak terbuka, maupun tepi jalan. Sedangkan khusus di sekitar
Kawah Ratu, puncak Gunung Salak (2.211 m dpl) juga terdapat jenis-
jenis tumbuhan kawah dan hutan lumut.
Gambar 2.4 Peta Kondisi TNGHS tahun 2004
33
Ditinjau dari sebaran jenis vegetasi, TNGHS juga memiliki dua
tipe ekosistem, yaitu: tipe homogen terdiri dari tanaman teh yang
terdapat di dalam enclave kawasan hutan. Enclave terbesar yaitu
perkebunan teh Nirmala dan Cianten. Selain teh juga terdapat hutan
tanaman yang semula dikelola oleh Perum Perhutani. Jenis-jenis yang
ditemui pada hutan tanaman eks Perhutani, antara lain: Rasamala
(Altingia exelca), Damar (Agathis damara), Pinus (Pinus merkusii) dan
Puspa (Schima wallichi). Sedangkan tipe heterogen terdiri dari
perwakilan hutan hujan tropis yang dapat dicermati menurut strata
tumbuhan, terdiri atas: pohon, perdu,herba, liana, efipit, palem, pandan,
dan pisang-pisangan.
Kekayaan Fauna tampak pada beragamnya Jenis Mamalia: Owa
Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Trenggiling (Manis
javanica), Macan Tutul (Panthera pardus melas), Kancil (Tragulus
javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak), Landak dan Anjing hutan (Cuon
alpinus). Terdapat pula lebih dari 204 jenis Burung, dengan 90 jenis
diantaranya menetap dan 35 jenis endemik di Pulau Jawa, contohnya:
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Dua jenis burung terancam punah, yaitu:
Burung Cica Matahari (Cracias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax
rufifrons). Jenis Reptil, diantaranya: Kodok (Bufo biporcatus), Tokek
(Gekko gecko), dan Cecak terbang (Draco volans). Sedangkan Jenis Ikan
terdapat sekitar 31 jenis dengan 37,5% tergolong pada Ikan Gobiid dan
34
Eleotriid yang merupakan ikan komplementer air tawar, diantaranya:
Paray, Belut, Beunteur, Gogo, Bungkreng dll.
Penelitian terakhir Prasetyo dkk (2006) menunjukkan bahwa
luas hutan alam di TNGHS pada periode 1989-2004 mengalami
deforestasi gradual ditunjukkan dengan data penelitiannya yang
menunjukkan angka penurunan luasan tutupan hutan alam secara
berangsur-angsur. Sedangkan hutan tanaman relatif stabil dengan kondisi
fluktuatif yang tidak significant berpengaruh terhadap komposisi ideal. Di
Periode 1998-2004, hutan alam berkurang sekitar 25% atau berkurang
sekitar 22 ribu Ha, yang diikuti dengan peningkatan jumlah semak
belukar, ladang dan lahan tebangan. Masa deforestasi tertinggi terjadi di
tahun 2001-2003. Oleh Prasetyo diargumentasikan bahwa hal tersebut
dimungkinkan karena faktor implementasi otonomi daerah yang
beriringan dengan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut penulis menjadikan
hasil penelitian tersebut yang menyatakan bahwa tarik menarik
kepentingan di era otonomi daerah, khususnya sektor kehutanan sebagai
salah satu aspek kajian analisa konflik di lahan konservasi khususnya
untuk memahami bahwa konservasi menjadi isu parsial yang belum
sejalan dalam tataran implementasi.
Secara spesifik terkait potensi sumber daya hayati, belum ada
penelitian terakhir yang secara jelas mampu memotret kondisi flora,
fauna, jasad renik, plasma nutfah dll yang sejak reformasi banyak
terganggu oleh aktifitas perburuan liar, illegal logging, alih fungsi dan
35
sejenisnya. Jika dibiarkan tidak terkendali dikhawatirkan kekayaan
sumber daya hutan di TNGHS akan mengalami degradasi fungsi, kualitas
maupun kuantitas yang berdampak pada sosio-ekologi masyarakat.
Kerisauan akan degradasi dan deforestasi hutan ini akan lebih banyak
diuraikan pada Bab III, Konflik di TNGHS.
4. Potensi Lain
Faktor Keindahan alam, kondisi geografi, kekayaan hayati serta
kehidupan masyarakat adat yang menyiratkan kearifan lokal, dengan
kombinasi daya tarik kehidupan alam liar, air terjun, aliran air sungai
yang jernih telah menjadikan kawasan ini diminati untuk menjadi obyek
wisata, berpetualang (panjat gunung, rafting/ arum jeram dll), pendidikan
maupun tujuan lain yang berkaitan.
Kehidupan masyarakat di dalam kawasan yang cenderung
tradisional, dengan kemampuan memanfaatkan potensi alam seperti:
mengolah lahan tidur menjadi produktif, menghasilkan barang kerajinan
dengan bahan baku bersumber dari alam liar, meracik obat-obatan
tradisional untuk mengatasi berbagai penyakit dan sebagainya merupakan
bagian dari potensi yang dimiliki oleh penduduk desa hutan. Selanjutnya
potensi alamiah ini dapat dikelola oleh Pemerintah untuk kepentingan
bersama, menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Kemampuan alamiah tersebut belum sepenuhnya difasilitasi
untuk dapat lebih produktif dan mempunyai nilai tambah, baik itu dari
aspek ekonomi maupun mendorong kemandirian sosial.
36
5. Kondisi Demografi
Berdasar pendataan terakhir yang dilakukan Tim Teknis
Departemen Kehutanan 2009, diketahui Jumlah penduduk di dalam dan
sekitar kawasan TNGHS mencapai lebih dari 247.089 jiwa. Sebagian
besar beridentitas etnis Sunda (98%) dan sisanya dalam jumlah yang
sangat sedikit berasal dari etnis jawa, madura, padang dan batak. Bahasa
yang umum digunakan masyarakat setempat adalah bahasa Sunda dan
mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun beberapa orang masih
menganut kepercayaan animisme (sunda wiwitan).
Secara umum, terdapat pengkategorian (tipologi) masyarakat di
TNGHS6, yaitu: Masyarakat adat (kasepuhan) dan Masyarakat non adat.
Masyarakat adat memiliki karakteristik yang khas dan masih memegang
teguh adat istiadat kebudayaan leluhur yang tampak pada nilai-nilai
tradisional kehidupan sehari-hari, design perkampungan dan rumah,
sistem pertanian, termasuk khususnya dalam hal kemampuan berinteraksi
dengan hutan. Dalam melangsungkan hidup dan berkehidupan
kecenderungan masyarakat ini bergantung pada sistem pertanian
tradisional di areal yang disebut ’kawasan hutan negara’, melalui bentuk:
huma/ladang, sawah, kebun, kebun talun, dan talun. Sawah/sejenisnya
menjadi aset yang sangat penting untuk masyarakat jenis ini. Masyarakat
adat sangat paham dan mengenal manfaat dari masing-masing jenis
tanaman, baik untuk memasak maupun pengobatan.
6 http://www.wg‐tenure.com diakses 5 Februari 2011
37
Dengan menggunakan konsep moral ekonomi yang
dikembangkan James Scott (1976), bisa dikatakan bahwa masyarakat
adat di kawasan ini cenderung mempertahankan tata cara hidup
tradisional. Tata cara hidup tersebut pada dasarnya bisa digambarkan
sebagai upaya masyarakat bersangkutan mempertahankan pola kerja dan
pola hubungan dengan alam sekitarnya yang secara turun temurun telah
memberikan kepastian dan jaminan keamanan bagi kelangsungan hidup
(survival). Gambaran umum menunjukkan bahwa kecenderungan
masyarakat adat yang lebih tradisional cenderung pada mempertahankan
kehidupan yang oleh James C.Scott (1976) disebut sebagai Moral
Ekonomi Petani. Pengabdian dan penghormatan pada alam merupakan
’kata kunci’ yang mampu mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Sedangkan masyarakat non adat, terdiri atas: masyarakat lokal
yang secara turun temurun telah hidup sejak jaman Belanda dan
Masyarakat Pendatang, baik menetap maupun tidak. Masing-masing
tipologi memiliki karakteristik dan kecenderungan berpenghidupan yang
berbeda. Masyarakat jenis ini secara umum tidak memiliki struktur
budaya masyarakat yang khas. Masyarakat lokal yang secara turun
temurun telah tinggal dan berpenghidupan di dalam kawasan yang
ditetapkan sebagai Hutan Negara memiliki kondisi sosio-budaya yang
bervariasi, baik dari sisi tingkat pendidikan maupun mata pencaharian.
Masih terdapat masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian tetapi
tidak jarang juga yang sudah beralih ke sektor lain, misalnya: sebagai
38
pengrajin, pekerja perkayuan, jasa wisata, dan jenis lain yang sangat
mungkin karena terpengaruh atau dipengaruhi oleh kehadiran masyarakat
pendatang. Masyarakat non adat ini, jika menggunakan cara pandang
Samuel L.Popkin (1981), bisa dikategorikan sebagai masyarakat
’Rasional’ (Rational peasant). Penghidupan masyarakat ini tidak selalu
berkaitan dengan upaya mempertahankan kepastian dan keamanan dalam
hubungan dengan alam sekitar dari sudut pandang kepentingan
mempertahankan hidup. Tapi juga bersandar pada pertimbangan
kepentingan ekonomi yang mengandung resiko-resiko kegagalan dan
karenanya cenderung bersifat spekulatif.
Berdasarkan laporan survey kampung yang dilakukan
Departemen Kehutanan pada tahun 2007 diketahui bahwa TNGHS
Wilayah Lebak memiliki komposisi masyarakat yang berimbang antara
Adat dan Non Adat. Terdapat 41% Kampung Adat, 48% Non Adat dan
sisanya tidak teridentifikasi. Mayoritas kampung di lokasi ini berdiri
sejak zaman kolonial Belanda (1935), hanya sekitar 2% kampung baru
yang berdiri pada periode pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (1992-1997). Hampir seluruh masyarakat di dalam kawasan
Hutan Lebak ini bermata pencaharian sebagai Petani (99%) dengan
dominasi sawah Mina Padi. Kecenderungan kehidupan yang lebih
tradisional menjadikan masyarakat di Lebak ini cenderung memahami
arti penting Hutan bagi kelangsungan hidup dan ekosistem, meskipun
39
data terakhir Departemen Kehutanan di tahun yang sama menunjukkan
adanya peningkatan aktivitas illegal logging di kawasan ini.
Di bagian lain yang termasuk kawasan TNGHS, yakni wilayah
Sukabumi justru di dominasi masyarakat Adat yang mencapai sekitar
59% dari total penduduk sebanyak 427.919 jiwa berdasar data BPS
2004/2005 yang tersebar di 77 kampung dan 14 Desa. Merunut
sejarahnya, kampung-kampung di Wilayah TNGHS Sukabumi ini telah
berdiri sejak sebelum tahun 1934. Artinya, kampung dan masyarakat di
wilayah tersebut sudah ada sebelum penetapan Taman Nasional.
Sebagian besar masyarakat mengandalkan hidup dari sektor pertanian
(95%). Pemahaman tentang Hutan sama dengan di Wilayah Lebak,
mereka sangat memahami arti penting dan fungsi hutan hanya saja
menjadi pertanyaan besar ketika justru data illegal logging di daerah ini
(khususnya di Pondok Injuk) meningkat drastis. Dalam kasus tersebut
perlu dilakukan penelitian lain yang khusus mengkaji keterkaitan
masyarakat dengan peningkatan illegal logging untuk memastikan rumor
yang seringkali menyudutkan masyarakat setempat sebagai pelaku dan
menjadi satu-satunya pihak yang bersalah.
Sedangkan di wilayah Bogor terdapat dominasi masyarakat non
adat yang mendiami kawasan hutan sejumlah sekitar 98% dari 660.340
jiwa berdasar data BPS 2004/2005, dengan 31% nya merupakan
kampung lama yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda.. Sebagian
besar bermata pencaharian sebagai Petani (70%) dengan sebagian kecil
40
yang lain bekerja di sektor perkebunan (12%), buruh tani (12%), lainnya
(6%). Berdasar survey, masyarakat di daerah Bogor ini memahami fungsi
Hutan dalam wacana kelestarian, tetapi berdasar pengakuan mereka
seringkali benturan kepentingan dan kebutuhan hidup memposisikan
mereka untuk memanfaatkan areal hutan termasuk sumber daya yang ada
didalamnya yang seringkali dianggap sebagai ’aktifitas liar di kawasan
hutan negara’. Perilaku itu yang sering diistilahkan dengan perambahan
atau pencurian atas sumber daya hutan.
B. Villa di Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS
1. Sekilas Berdirinya Villa
Secara khusus penulis meneliti keberadaan Villa-villa yang saat
tulisan ini dibuat masih berdiri kokoh di atas lahan hutan yang semula
berada dalam kewenangan BUMN Kehutanan Perum Perhutani dengan
status hutan produksi. Villa-villa tersebut dianggap liar karena saat ini
berdasar SK Menhut No.175 tahun 2003, wilayah tersebut menjadi bagian
penunjukkan kawasan konservasi yang diperkenalkan ke publik sebagai
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berawal ketika
sejumlah orang yang berasal dari Markas Seksi Legiun Veteran Republik
Indonesia (LVRI) Cibungbulan pada tanggal 1 Juni 1967 mengajukan
surat permohonan menggarap tanah seluas 70 Ha secara tumpang sari
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun di Rawalega, Pasirmalang, RPH
Gunung Bunder, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Empat hari
41
setelah itu, yakni tanggal 5 Juni 1967, Kepala Perhutani Bogor langsung
memberikan persetujuan atau ijin kepada 75 orang veteran untuk
menggarap tanah kehutanan di lokasi tersebut sesuai permintaan.
Keinginan para veteran untuk beraktivitas di lokasi dimaksud untuk
kegiatan pertanian disetujui pula oleh Menteri Veteran dan Demobilisasi
melalui surat No.72/Kpts/MENVED/1967, tertanggal 4 Oktober 1967,
perihal persetujuan pembukaan proyek pertanian dan demobilisasi
Republik Indonesia di kawasan yang saat ini dikenal dengan Lokapurna
(Lokasi Purnawirawan). Selanjutnya dalam perkembangannya, proyek
pertanian ini berada pada kawasan hutan Perum Perhutani seluas 560,29
Hektar yang meliputi Hutan Produksi seluas 256,77 Ha dan Hutan
Lindung seluas 303,32 Ha. Di tahun 1987, Menteri Kehutanan
menegaskan kembali kepada Menteri Pertahanan melalui surat
No.239/Menhut II/1987 bahwa tanah yang dimohon seluas 256,77 Ha
dapat diperoleh LVRI dengan cara tukar menukar (ruislag) sesuai
peraturan perundangan (minimal 1:1) dan sejumlah 303,32 Ha yang
merupakan hutan lindung harus dikosongkan.
Proyek ini awalnya berjalan sesuai peruntukannya tetapi
kemudian terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, diantaranya
ketidaksesuaian peruntukan lahan dan adanya over alih garapan dan jual
beli tanah illegal. Sampai akhirnya menjelang tahun 1990an, mulai berdiri
Villa-Villa yang sebagian besar dimiliki masyarakat pendatang yang
bukan berasal dari kalangan biasa. Sebagian besar adalah pejabat dan
42
pengusaha yang memanfaatkan lahan tersebut ’bukan untuk tempat
tinggal’, tapi lebih dari itu di atas lahan tersebut dibangun villa-villa,
selain dimanfaatkan untuk investasi, berlibur juga disewakan kepada
wisatawan dengan tarif yang cukup tinggi, ada pula yang
memanfaatkannya untuk peternakan skala besar. Secara khusus
pembahasan mengenai villa yang dianggap liar ini akan diuraikan pada
Bab IV Berkaca dari Kasus Villa ’Liar’, yang akan banyak menceritakan
kronologis ’alih fungsi dan status’ di salah satu kawasan hutan negara
yang pada akhirnya menyebabkan eskalasi konflik.
Persoalan ini ditinjau dari aspek legalitas sepenuhnya beralih ke
pihak kementerian Kehutanan setelah terbit surat Keputusan Menteri
kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tertanggal 10 Juni 2003, tentang
Penunjukan Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan
perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Tetap
(HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada Kelompok Hutan Gunung
Salak seluas ±113.357 ha (Seratus Tiga Belas Ribu Tiga Ratus Lima Puluh
Tujuh) Hektar di provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Menjadi Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). SK tersebut menjadikan
Kawasan yang dimohon (dan masih dalam proses ruislag) dengan luas
kesepakatan sekitar 260 Ha menjadi bagian yang termasuk dalam wilayah
penunjukan kawasan konservasi. Terdapat disharmoni kebijakan antara
pusat dan daerah yang sebelumnya menetapkan kawasan tersebut menjadi
kawasan wisata alternatif selain Kawasan Wisata Puncak Bogor sesuai
43
Surat Keputusan Bupati Bogor No.550.1/057-DIP tertanggal 25 Februari
1989. Daerah Lokapurna untuk selanjutnya dikenal sebagai Kawasan
Wisata Gunung Salak Endah.
Berdasar Peraturan Pemerintah No.30 tahun 2003, Perum
Perhutani berwenang atas seluruh hutan di Pulau Jawa kecuali Hutan
Konservasi. SK Menhut tersebut akhirnya mengalihkan persoalan Villa
liar kepada Kementerian Kehutanan, yang dalam teknis lapangan menjadi
tanggung jawab Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Berdasarkan administrasi pemerintahan, posisi Lokapurna saat ini
terletak di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat, yang termasuk DAS Cisadane dengan koordinat
geografis terletak pada 106º 40’ 8” BT - 106º 41’ 35” BT dan 6º 41’ 7” LS
- 6º 42’ 15” LS.
Gambar 2.5. Peta Posisi Lokapurna
44
2. Data Kependudukan LokaPurna
Berdasar survey LVRI Bulan Agustus 2009 diketahui bahwa
masyarakat yang mendiami Kawasan Gunung Salak Endah-Lokapurna
umumnya berasal dari penduduk lokal, kampung sekitar dan sebagian
merupakan pendatang yaitu dari Jawa Barat, dan sebagian kecil dari
Jakarta. Sejumlah 396 KK dengan total penduduk sekitar 1.477 jiwa saat
ini tinggal di rumah permanen, semi, maupun non permanen. Setelah
tahun 2000, Pemekaran wilayah Kawasan Proyek Pertanian Veteran
Lokapurna terbagi kedalam 8 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung
kedalam 2 Rukun Warga (RW). Penyebaran penduduk terbanyak adalah di
RT 02 RW 08 sebanyak 227 jiwa, penyebaran penduduk terkecil berada
pada RT 03 RW 09 sebanyak 70 jiwa.
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Lokapurna (Survey Dephut 2007)
No. Wilayah KK Jumlah Jiwa 1. RW 08 RT 01 50 150 2. RT 02 67 160 3. RT 03 55 152 4. RT 04 53 129 5. RW 09 RT 01 49 142 6. RT 02 39 114 7. RT 03 18 52 8. RT 04 39 113
Total 370 1.382
Jenis transportasi yang biasa digunakan penduduk adalah Sepeda
Motor. Pada hari libur (seminggu sekali) terdapat transportasi umum untuk
mobilitas penduduk maupun wisatawan.
45
3. Kondisi Terakhir
Secara keseluruhan, berdasarkan Citra Ikonos 2005 dan hasil
pengamatan di lapangan, secara ekologi, kondisi penutupan kawasan hutan
yang dimohon berupa hutan dengan vegetasi alami terdapat di sekitar
bantaran Sungai Cigamea seluas ± 5,3 % yang didominasi jenis rasamala,
pasang, cerik angin, kareumbi, kirinyuh, pakis andam, tepus, seuseureuhan
dan bambu; Berupa hutan tanaman eks Perum Perhutani KPH Bogor
seluas ± 2,8 % yang didominasi oleh jenis rasamala, pinus, suren dan
tanjung dengan sisanya seluas 91,9% berupa sarana prasarana, semak
belukar, kebun dan sawah.
Secara umum, kawasan Lokapurna menunjukkan kondisi
masyarakat dengan struktur yang mantap dan telah menjadi bagian legal
administrasi pemerintahan setempat, termasuk fasilitas pendukung yang
banyak difasilitasi oleh instansi Pemerintah Daerah. Terdapat Jalan yang
permanen, berupa aspal/hotmix sepanjang 4,5 km dengan lebar bahu jalan
5 (lima) meter, juga terdapat jembatan yang dibangun oleh Pemda
Kabupaten Bogor. Kondisi jalan di beberapa ruas menyempit yang harus
dilewati secara bergantian apabila mobil berpapasan.
Fasilitas Umum berupa Jaringan listrik, jaringan telepon Base
Transmitter XL dan Indosat, serta Bangunan Sekolah (TK dan SD). sistem
jaringan listrik yang ada berupa jaringan percabangan/interkoneksi.
Jaringan ini merupakan jaringan di udara terbuka (overhead line
transmission) dengan menggunakan tiang, sehingga memiliki pemanfaatan
46
ganda selain sebagai pendistribusian kepada konsumen juga sebagai
pelengkap penerangan jalan, disamping itu terdapat juga jaringan telepon
dengan sistem jaringan di udara terbuka yang telah merata hampir ke
seluruh kawasan Lokapurna.
Terdapat pula fasilitas Sosial, seperti: Mesjid, Mushola, WC
umum serta Pemakaman Umum, sebagian besar dibangun swadaya oleh
masyarakat setempat dan sebagian yang lain dibangun oleh
Pemda/Pemerintah setempat.
Peranan Pemda dalam menghidupkan lokasi ini sangat tampak
pada bangunan berupa sarana wisata, seperti: Pintu gerbang, Information
center, Pemandian air panas, kolam renang, track jogging dan lokasi
parkir. Fasilitas ini dibangun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor di
awal tahun 1998an. Keinginan Pemerintah Daerah untuk ikut
memanfaatkan hutan negara ini tersurat pada permohonan terhadap
beberapa objek wisata alam di dalam kawasan TNGHS yang diusahakan
oleh Pemda Kabupaten Bogor sejak tahun 1979 untuk kewenangan
pengelolaan secara resmi dan saat ini sedang dalam proses permohonan
Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).
Berdasar data terakhir dari Forum Musyawarah Masyarakat
lokapurna (Fusyaka) tahun 2007 terhadap luas garapan dan bangunan di
Lokapurna terdapat Enam blok garapan, yakni: Pasir Reungit, Cimudal,
Rawa Lega, Rawa Bogo, Rawa Buluh, Ciparay dengan total luas Garapan
293,03 Ha dan total luas bangunan atau villa 4,64 Ha. Villa sejumlah 210
47
unit (baik bangunan permanen, semi, maupun non permanen) dimiliki oleh
140 orang (berdasarkan survey LVRI bulan Agustus 2009).
Setelah penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata,
daerah tersebut menjadi sangat ramai dengan kunjungan wisatawan
terutama di hari-hari libur, ini menyebabkan perkembangan fasilitas
perekonomian seperti pasar desa, kios, warung, toko dan sejenisnya
tersebar merata di hampir seluruh penjuru desa.
Diantara pemberitaan media massa terkait ‘kebijakan
pembongkaran villa yang dianggap liar’ di lokasi eks veteran yang sama
yang saat ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi, ternyata telah berdiri
pula Camp Komando Latihan Tempur Resimen Infantri Kodam Jaya (yang
selesai dibangun tahun 2003) seluas ±17 ha. Camp Infanteri ini berada di
dalam kawasan yang sejak tahun 1967 dimohon untuk ruislag tersebut dan
saat ini menjadi bagian dari penunjukan kawasan konservasi. Namun
keberadaan Camp ini tidak menarik perhatian publik atau lebih tepatnya
tidak disinggung Kementerian Kehutanan sebagai kategori ‘bangunan liar’,
setidaknya sampai tulisan ini diselesaikan.
48
BAB III KONFLIK DI TNGHS
Pada bab ini, Penulis akan lebih banyak menguraikan akar konflik sektor kehutanan di TNGHS secara umum, seperti: negaraisasi dalam realitas konflik, disharmoni kebijakan pusat‐daerah dan tata ruang, kontroversi penetapan luas kawasan hutan 30%, kebijakan PHBM Perum Perhutani dan Perambahan, serta penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pada sub bab selanjutnya mencuplik sedikit konflik klasik berupa konflik vertikal antara Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) dengan Masyarakat biasa (bukan public figure)
yang didominasi isu kepemilikan dan akses atas sumber daya hutan untuk selanjutnya mendasari analisa terkait adanya perbedaan perlakuan dalam
penanganan konflik.
A. Mengurai Akar Konflik secara Umum
1. Negaraisasi dalam Realitas Konflik
Di kawasan hutan, istilah ‘negaraisasi’ atas tanah-tanah
(garapan/tempat tinggal) rakyat oleh Negara menjadi salah satu diskursus
yang dianggap berkaitan erat dengan kejadian konflik. Penulis
mengistilahkan negaraisasi dalam pemaknaan adanya klaim sepihak oleh
negara atas kepemilikan tanah dan sumber daya yang menyertainya untuk
dikuasai sepenuhnya oleh negara (dalam hal ini Pemerintah). Persoalan
penguasaan tanah dan sumber daya yang menyertainya oleh Negara
dimulai sejak Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1865
menerbitkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura
(Boschordonantie voor Java en Madoerra 1865) dan berlanjut tahun 1870
dengan mengeluarkan Agrarisch Besluit yang melegitimasi Pemerintah
(Hindia Belanda) untuk menyewakan tanah (erfpacht) pada perkebunan
asing yang di dalamnya terdapat peraturan tersendiri yang disebut
49
domeinverklaring (Rokhmad, 2009). Hal penting di dalamnya adalah
adanya Penetapan batas kawasan hutan yang ‘mutlak’ dikuasai Negara.
Tidak peduli didalamnya terdapat masyarakat atau rakyat (pribumi) yang
menghuni atau telah tinggal lama, dipaksa melalui regulasi untuk ‘seolah-
olah’ menjadi ‘budak’ di tanah sendiri. Mereka diharuskan pindah dari
kawasan yang ‘secara sepihak’ ditetapkan sebagai hutan Negara atau di
jenis hutan tertentu dimungkinkan tinggal tanpa hak kepemilikan atas tanah
dengan aturan yang sangat ketat.
Untuk selanjutnya proses Nasionalisasi (berdasarkan UU
No.86/1958 dan PP.No.2/1959), yakni nasionalisasi terhadap Perusahaan
milik Belanda perseorangan, badan hukum yang saham seluruh atau
sebagian milik Belanda, Perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dan
Perusahaan-Perusahaan yang dimiliki oleh badan hukum yang domisilinya
di Nederland (Belanda), Secara de yure, serta merta mewariskan kepada
Pemerintah (Indonesia) seluruh tanah dan aset yang semula dikuasai
Belanda, menjadi ‘milik negara’. Salah satu warisan pengelolaan atas
tanah-tanah dan aset yang termasuk dalam Hutan Negara, diantaranya
adalah Hak Negara atas Kawasan Hutan Gunung Halimun dan Gunung
Salak yang sejak tanggal 10 Juni 2003 menjadi bagian dari penunjukan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang menjadi
kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan RI.
Adopsi kebijakan pengelolaan atas tanah-tanah yang berstatus
Hutan Negara dari Pemerintahan Kolonial Belanda ke Pemerintah
50
Indonesia, tidak beriringan dengan upaya mengakomodir status hukum dan
kepentingan masyarakat (rakyat Indonesia) yang berada di dalam kawasan
hutan tersebut. Masyarakat di dalam kawasan hutan seringkali dianggap
sebagai bagian yang terpisahkan dari ekosistem hutan, atau lebih parahnya
lagi masyarakat yang sudah tinggal turun temurun di daerah tersebut,
menurut pandangan Penulis, diposisikan sebagai ‘parasit’ hutan Negara
yang dicurigai berpotensi menimbulkan banyak gangguan dalam wacana
konservasi. Kebijakan konservasi seolah-olah mengharuskan kawasan
tersebut steril dari jamahan manusia. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya kejadian pengusiran masyarakat dari kawasan hutan setelah
penetapan suatu wilayah menjadi bagian konservasi, seperti penelitian
WALHI (2010) yang menemukan setidaknya sampai dengan tahun 2003
telah terjadi banyak pengusiran rakyat yang telah tinggal turun temurun di
kawasan hutan, misalnya di Taman Nasional Meru Betiri (Jawa Timur).
Masyarakat adat maupun non adat masih terus menjadi bagian dari
aktor konflik klasik sektor kehutanan khususnya yang menganggap bahwa
pengelolaan hutan oleh negara tidak berpihak pada kepastian hidup dan
kesejahteraan mereka. Penelitian Justianto (2005) menemukan bahwa rumah
tangga kehutanan (masyarakat desa yang tinggal di dalam dan sekitar
kawasan hutan), terutama rumah tangga miskin ternyata tidak banyak
menikmati hasil dari kegiatan-kegiatan sektor kehutanan karena besaran
multiplier effect sektor kehutanan terhadap pendapatan rumah tangga
kehutanan golongan rendah sangat kecil dibandingkan dengan rumah tangga
51
lain seperti rumah tangga pertanian, selain kehutanan dan rumah tangga
bukan pertanian. Hal tersebut menunjukkan salah satu kemungkinan konteks
atas kejadian konflik masyarakat di dalam kawasan hutan terhadap negara
(pemerintah) yang dianggap tidak memprioritaskan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat setempat.
Negaraisasi yang dipaksakan, meskipun untuk kepentingan
konservasi justru dikuatirkan akan berdampak buruk bagi kelestarian hutan
apabila persoalan mendasar terkait status hukum, level kesejahteraan
masyarakat dan pemahaman etika lingkungan dan wacana konservasi tidak
menjadi bagian dari komitmen bersama.
2. Kontroversi Luas Minimal Hutan 30 Persen
Beberapa upaya dilakukan Pemerintah untuk memastikan
kecukupan luas kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang No.41/1999 pasal 18 (2) yang menyebutkan bahwa luas kawasan
hutan harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas
daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Penunjukan TNGHS di duga merupakan salah satu itikad baik untuk
memenuhi angka 30% tersebut. Terlepas dari isu politis yang menyertai
penetapan angka tersebut, sampai saat ini diskursus terkait asal muasal
angka 30% masih belum menemukan jawaban ilmiah yang bisa diterima
publik. Disebutkan oleh Handadhari (2009), seorang praktisi kehutanan dan
pakar lingkungan yang pernah mengadakan Diskusi Ilmiah untuk mengkaji
52
angka 30% dengan melibatkan para petinggi Dephut disimpulkan bahwa
angka tersebut sangat nisbi dan tidak memiliki dasar yang jelas. Angka itu
diduga diperoleh dari riset seorang mahasiswa S-1 asal Belanda yang
meneliti secara parsial hutan di satu wilayah kecil tertentu di Indonesia
yang menghasilkan angka ideal 30% untuk keseimbangan ekosistem daerah
tersebut, namun tidak secara detil digambarkan apakah hasil kajian itu
berlaku universal untuk semua kondisi topografi, sosio-geografi, jenis
vegetasi, keragaman biodiversitas, maupun faktor lain yang mungkin
berpengaruh. Lebih lanjut Penulis mengusulkan untuk mengkaji kembali
angka 30% dengan menggunakan cara dan metode perhitungan yang
memperhatikan beberapa aspek, termasuk tentunya sosio-geografi dan jenis
vegetasi yang berorientasi lokal.
Kajian ilmiah mengenai kebenaran angka 30% menjadi penting
karena diduga angka ini menjadikan kebijakan Kementerian Kehutanan
menjadi sangat tidak realistis. Penetapan angka luasan kawasan hutan
secara nasional yang dilegitimasi produk hukum kehutanan tersebut
memicu ambisi Pemerintah untuk menjadikan suatu kawasan berstatus
hutan Negara dengan keharusan luas tutupan minimal 30%. Angka yang
yang dipaksakan ini seringkali mencederai aspek sosial budaya masyarakat
dan berujung dengan konflik, baik vertikal maupun horizontal. Ambisi 30%
menimbulkan gesekan antar sektor atau instansi pemerintah karena tidak
beriringan dengan persiapan perangkat infrastruktur, operasional dan SDM
yang mumpuni, terutama di masa otonomi daerah saat ini.
53
Generalisasi yang tertuang dalam angka normatif dari kondisi
ekosistem yang berbeda-beda, tidak mendorong optimalisasi tiga fungsi
hutan, kecuali dalam kriteria penetapan kawasan mendasarkan pada daya
dukung lingkungan yang dilandasi kajian ilmiah, kondisi sosio geografik
dan aspek sosio historis suatu wilayah serta penajaman isu spesifik daerah
yang memerlukan penanganan khusus. Perlu ada penelitian lain yang
secara khusus mengkaji secara cermat angka 30% terkait fungsi hutan
sebagai penyangga ekosistem.
3. Disharmoni Kebijakan Pusat-Daerah dan Tata Ruang
Persoalan disharmoni kebijakan dan egosektoral di era otonomi
daerah di duga berpotensi memperparah kerusakan Hutan dan menciptakan
konflik baru, seperti misalnya persoalan desentralisasi yang telah
melahirkan insinkronisasi regulasi antara satu dengan lain, khususnya
antara pusat dan daerah. Kewenangan Daerah yang besar sebagaimana
diatur oleh Undang-Undang No.22 tahun 1999, mengenai Otonomi Daerah,
termasuk didalamnya memandatkan urusan kehutanan melalui prinsip
desentralisasi. Eforia otonomi daerah seringkali dimaknai sebagai
eksploitasi hutan dan sumber daya yang menjadi salah satu sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seringkali mengesampingkan aspek
ekologi jangka panjang. Kebijakan dilahirkan secara parsial, masing-
masing daerah dan bahkan institusi yang berbeda merasa memiliki hak
eksklusif atas hutan dan sumber daya, padahal UU No. 5 tentang
54
Konservasi Sumber Daya Alam dan UU No.41 tentang Kehutanan secara
eksplisit juga mengandung pemaknaan atas kewajiban pengurusan hutan.
Kewajiban mengandung konsekuensi, yakni menjaga kelestarian hutan agar
dalam jangka panjang dapat proporsional dalam tiga fungsi: Ekologi
(melestarikan ekosistem, melindungi plasma nutfah dan biodiversitas,
menghasilkan udara bersih, mengatur tata air, mencegah erosi dll), Sosial
(membentuk struktur budaya masyarakat), dan Ekonomi (menambah devisa
Negara, menyerap tenaga kerja, menghasilkan kayu bernilai jual tinggi dan
hasil hutan ikutan lainnya seperti: rotan, getah, buah, madu dll). Isu
perubahan iklim (climate change) bahkan sangat menekankan fungsi
ekologi hutan sebagai prioritas.
Seakan-akan menjawab kepentingan otonomi daerah, UU.
No.41/1999 tentang Kehutanan dilahirkan setelah UU. No.22/1999 untuk
memastikan posisi kehutanan atas Pemerintah Daerah. Dalam prosesnya,
terdapat tiga kelompok besar di internal kehutanan sendiri, yakni: pertama,
sepakat otonomi penuh atas urusan kehutanan; kedua, tetap menginginkan
sentralistik pengelolaan atas urusan kehutanan, dan kelompok ketiga yang
tidak memiliki pandangan atas keduanya. Hal tersebut menjadi salah satu
alasan penjelas sifat ambivalen dari UU.41/1999, di satu sisi tampak
mengakomodir otonomi (desentralisasi), namun di sisi yang lain masih
menunjukkan aroma sentralistik.
Secara umum, Undang-Undang No.41/ 1999 tentang Kehutanan
yang disahkan tanggal 30 September 1999 ini tidak mengubah secara
55
mendasar pola pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah yang cenderung sentralistik. Meskipun eksplisit pada pasal 66 ayat
1, UU No.41/1999 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan
kehutanan, pemerintah menyerahkan kewenangan kepada pemerintah
daerah, bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan otonomi daerah. Namun ditambahkan dalam ayat 2
bahwa kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan
yang bersifat operasional. Ditegaskan lagi pada ayat 3, pelaksanaan dari
penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah
diatur dengan peraturan pemerintah.
Secara substansi, UU. No. 41/1999 sangat kontradiktif dengan
UU. No.22/1999 pasal 10 ayat 1 (=UU No.32/2004), yang memastikan
kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam,
termasuk didalamnya sumber daya hutan, secara jelas pada ayat 1
disebutkan Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang
tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan perundang-undangan, tetapi pada pasal 7 UU
no.22/1999 masih terkesan bahwa pengendalian sumber daya alam (dalam
hal ini termasuk sumber daya hutan) masih menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Kontradiktif pasal demi pasal dan dengan produk hukum
lainnya, selain alasan egosektoral, dimungkinkan karena kurang
lengkapnya penjelasan atau tidak adanya kesepakatan yang tegas mengatur
56
batasan kewenangan pengurusan hutan antara pemerintah pusat (dalam
hal ini Kementerian Kehutanan) dan pemerintah daerah.
Dalam banyak kasus, pasca kebijakan otonomi daerah-
desentralisasi, Pemerintah Daerah seolah-olah berlomba-lomba
mengeluarkan Perda-Perda atau aturan-aturan penetapan pungutan hasil
hutan, alih kelola hutan maupun alih fungsi lahan tanpa rekomendasi pusat,
dengan serta merta hanya memanfaatkan UU No.22/1999 (UU.
No.32/2004) yang dipandang lebih menguntungkan. Desentralisasi
menyebabkan egosektoral tumbuh tinggi, pemerintah pusat kesulitan
memantau perkembangan dan perubahan yang terjadi di daerah akibat
kecenderungan pihak pemerintah daerah yang enggan memberikan
progress report ke pusat. Semata-mata untuk tujuan ekonomi,
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, seolah-olah meniadakan fungsi
pokok hutan dalam hal kelestarian. Tampaknya tanggung jawab dan
kewajiban tidak melekat dalam semangat desentralisasi.
Penelitian CIFOR (2001) menunjukkan bahwa ketidakjelasan
konsep desentralisasi dalam implementasinya mengakibatkan laju
kerusakan hutan semakin parah, meningkatnya angka kemiskinan
penduduk sekitar hutan, dan menjamurnya mafia kehutanan yang
dilindungi daerah.
Untuk itu, perlu diurai kembali batasan kewenangan, tanggung
jawab dan kewajiban (bukan hanya hak dan wewenang) secara jelas
masing-masing pihak pengelola kehutanan agar tidak ada pertentangan
57
antara satu produk hukum dengan lainnya atau turunannya, yang sering
sekali tumpang tindih, tidak sesuai, dan yang lebih fatal lagi saling bertolak
belakang, yang membuka peluang konflik yang pada akhirnya berakibat
merugikan rakyat.
Ketika berita Banjir melanda ibukota Negara atau persoalan
kemiskinan masyarakat sekitar hutan menjadi pembicaraan publik, sektor
kehutanan dianggap pihak yang paling bertanggung jawab. Era otonomi
daerah seharusnya memberi ruang tanggung jawab terhadap kondisi
tersebut, karena persoalan sosial ekonomi masyakarat tidak bisa terlepas
dari peran utama Pemerintah Daerah sebagai pemangku wilayah.
Sewajarnya, desentralisasi juga berfokus pada beban kewajiban terhadap
berbagai permasalahan yang timbul untuk dilakukan Pemerintah Daerah
sinergi dengan Pemerintah Pusat, termasuk berbagai institusi terkait.
Belum ada kesepakatan dan kepastian hukum atas jenis dan status
kawasan di era otonomi daerah ini berdampak pada eforia ‘penunggang
gelap’ yang ingin memanfaatkan kawasan-kawasan yang dianggap ‘tak
bertuan’. Tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah seringkali
menyebabkan ketidakmenentuan kondisi di lapangan. UU No 24/1992 dan
UU No 47/1997 tentang Tata Ruang, secara tegas menetapkan bahwa
pemanfaatan ruang wilayah terbagi atas dua fungsi utama yaitu kawasan
budidaya dan kawasan lindung. Namun dalam implementasi, sangat sulit
mempertemukan antar sektor untuk memastikan status dan fungsi kawasan
58
tersebut karena masing-masing memiliki dasar dan metode yang berbeda
dalam penetapannya, terutama karena komitmen yang tidak seragam.
Kasus Villa Lokapurna menunjukkan disharmoni kebijakan antar
pusat dan daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketidakjelasan status
hukum suatu kawasan dan ketidakpastian posisi masyarakat yang ‘dianggap
sebagai korban’. Meskipun Penulis sepakat bahwa pembagian tata ruang
yang menjadi hak PEMDA sewajarnya tidak berarti ikut membagi ‘ruang
kehutanan’ yang sering diistilahkan sebagai ‘kue ulang tahun’ yang semata-
mata berfokus pada nilai ekonomi hutan yang sangat tinggi. Penulis
sebagaimana pandangan konservatif silvikulturist yang mengharapkan
hutan dalam fungsi ekologinya menjadi satu ekosistem yang lebih optimal
dikelola secara integratif (tidak parsial) karena alasan-alasan ilmiah yang
menunjukkan bahwa pengelolaan desentralisasi, terutama dalam kondisi
infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang tidak siap akan
meningkatkan degradasi dan deforestasi. Kondisi akan mencapai ideal
untuk mewujudkan tiga manfaat hutan apabila koordinasi antar sektor, baik
di Pusat maupun Daerah dapat berjalan melalui pola pemanfaatan ruang
yang memperhatikan aspek konservasi dan dipertegas dengan tingginya
komitmen pihak terkait.
4. Kebijakan PHBM Perum Perhutani dan Perambahan
Perum Perhutani (BUMN Kehutanan) mendapat limpahan
kewenangan dari Kementerian Kehutanan atas hutan di seluruh Pulau
59
Jawa, kecuali Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Kawasan konservasi berdasar Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1972 dan
seterusnya diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah No.30/2003 dengan
esensi kewenangan yang tidak berubah. Penataan batas hutan tetap telah
dilakukan pada tahun 1813 dan itu menjadi dasar penetapan Hutan
Perhutani. Total luas hutan Perhutani di Pulau Jawa 2,5 juta Ha, dengan
1,9 juta Ha berupa Hutan Produksi dan 600 ribu Ha berupa Hutan
Lindung. Sejumlah 70 ribu Ha saat ini termasuk ke dalam wilayah
penunjukan Kawasan Konservasi TNGHS.
Dalam melakukan tugas pembuatan hutan tanaman, Perhutani
terkenal dengan keandalannya, namun dari aspek sosial tampaknya ada
persoalan serius yang belum bisa ditangani, akibat faktor ledakan
penduduk di dalam dan sekitar hutan juga besarnya tekanan sosial terhadap
hutan termasuk dinamika sosial yang berubah sangat cepat. Pada
perkembangannya di tahun 2001, hal-hal tersebut mendorong Perhutani
untuk merubah paradigma yang semula berbasis kayu (Timber
Management) menjadi berbasis Sumber Daya Hutan (Forest Resources
Based Management) dengan sistem pengelolaan yang semula state based
forest management menjadi Community Based Forest Management
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat=PHBM).
Sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat sebetulnya bukan
merupakan hal yang baru karena sudah sejak tahun 1865 telah
diberlakukan sistem tumpang sari yang membolehkan pesanggem untuk
60
menanam di areal hutan di masa awal pertumbuhan tanaman. Mereka
diberi lahan garapan seluas 0,25-0,5 Ha dengan kewajiban menjaga
tanaman pokok. Sistem kontrak diberlakukan untuk jangka waktu 2 tahun
yang dapat diperpanjang kembali. Beberapa kali pergantian manajemen
Perhutani melahirkan sistem pengelolaan baru yang merupakan
penyempurnaan dari sebelumnya.
Gambar 3.1 Tumpang Sari di Kawasan Hutan
Sejak tahun 1972, pertambahan penduduk di dalam dan sekitar
hutan meningkat sejumlah dua kali setiap 25 tahun7. Ketidaksiapan
Perhutani dalam mengatasi persoalan sosial menjadikan ledakan
penduduk, kebutuhan akan lahan dan sumber daya ini potensial bagi
kerawanan hutan. Berbagai program, seperti Prosperity Approach yang
7 Data Statistik Perum Perhutani, 2005
61
memfokuskan pada pemberian biaya dan sarana tani bagi pesanggem, juga
program Perhutanan Sosial, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan sampai
kepada program PHBM yang memungkinkan adanya sharing hasil hutan
dengan pembagian proporsional ternyata tidak juga mampu menjadikan
kawasan hutan yang mantap.
Program-program baik yang digulirkan ternyata tidak serta merta
mampu memberi pemahaman pada semua pihak terhadap kepentingan
konservasi hutan. Program-program tersebut tampaknya hanya dianggap
sebagai bagian dari kewajiban pemerintah untuk memberi ruang
kesejahteraan bagi rakyat. Ironisnya, program tersebut masih dianggap
gagal dalam mensejahterakan mereka dan menjadikan alasan pembenar
apabila mereka masuk dan ikut mengeksploitasi sumber daya hutan.
Kegiatan itu yang diistilahkan Pemerintah sebagai Perambahan (lahan
hutan) atau Pencurian (kayu dan sumber daya hutan lain). Wacana lain,
masyarakat pada akhirnya menganggap ‘perbuatan’ mereka sah karena
mereka telah menganggap tanah yang mereka tinggali dan hutan yang
berada bersama mereka adalah warisan nenek moyang dimana mereka
merasa pantas memiliki hak atas hutan tersebut.
Data terakhir menunjukkan bahwa permasalahan tata batas
(konflik tenurial), perambahan hutan, pencurian kayu dan sumber daya
hutan lain, kerusakan lingkungan, dan pengalihan fungsi hutan
menunjukkan tingkat yang serius. Kawasan Gunung Salak (yang saat ini
ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak) merupakan
62
salah satu bagian dari kawasan hutan yang telah terdegradasi dan
mengalami deforestasi, meskipun apabila dibandingkan dengan laju
kerusakan di luar Pulau Jawa masih relatif rendah laju kerusakannya.
Kondisi hutan di Jawa secara keseluruhan masih cukup baik karena secara
teknis dikelola secara sentralistik oleh Perhutani dengan pengaturan daur
yang terprogram, meskipun era otonomi daerah sedikit menyulitkan
Perhutani dalam menentukan gerak langkahnya. Seperti telah diuraikan
sebelumnya, ada kecenderungan masing-masing Pemerintah Daerah untuk
menikmati eforia otonomi dan tidak menjadikan kepentingan konservasi
yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup generasi mendatang sebagai
prioritas perlakuan.
Seringkali dalam penentuan kebijakan, Perum Perhutani berada di
posisi sulit, ketika berbenturan dengan tarik menarik kewenangan antara
Pusat (Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN) dan Daerah
(Pemerintah Daerah). Jika tidak segera diantisipasi dengan ketegasan
batasan kewenangan dan kewajiban dari desentralisasi, maka persoalan-
persoalan sosial yang ada akan menjadi ‘api dalam sekam’ yang tidak
hanya mengorbankan hutan di pulau jawa tetapi lebih dari itu kerusakan
hutan akan mengancam kestabilan ekosistem.
5. Penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Pemerintah Indonesia, melalui Departemen Kehutanan khususnya
berupaya keras mengeluarkan berbagai kebijakan terkait penyelamatan dan
63
pelestarian hutan. Bahkan secara tegas Presiden SBY dalam pertemuan
Copenhagen 2009 yang lalu menyatakan kesiapan Indonesia menurunkan
emisi mencapai 26% pada 2020, dengan 14%nya melalui mekanisme Hutan
Lestari, meskipun angka tersebut dianggap banyak kalangan terlalu
ambisius mengingat banyaknya kelemahan mendasar di sektor kehutanan
khususnya, yang sampai hari ini masih menyimpan banyak persoalan.
Hal tersebut dipahami sebagai salah satu bagian dari upaya
Pemerintah (Pusat) untuk memperbanyak atau meningkatkan keluasan
kawasan konservasi, salah satunya melalui bentuk Taman Nasional,
termasuk di tahun 2003, menggabungkan hutan eks Perhutani menjadi satu
rangkaian perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung
Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Sebagaimana amanah Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pemerintah
(Pusat), dalam hal ini Kementerian Kehutanan, bertanggung jawab
(sepenuhnya) dalam mewujudkan tujuan kegiatan konservasi, yakni melalui
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara bijaksana
untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Menjadikan TNGHS sebagai satu rangkaian ekosistem
merupakan upaya memaksimalkan fungsi konservasi, sebagaimana surat
Dirjen PHKA No.848/DJ-V/KK/2000 tanggal 27 November 2000 kepada
Menteri Kehutanan yang menyarankan untuk memperluas TNGH hingga
64
ke Hutan Lindung (yang saat itu dikelola Perhutani). Pertimbangan yang
termaktub dalam surat adalah bahwa TNGH dan Hutan Lindung (HL)
Gunung Salak merupakan kesatuan ekosistem yang terfrakmentasi oleh
Hutan Produksi (Perhutani) yang diasumsikan dapat menghambat aliran
genetik kehidupan liar, sehingga perlu dikelola dalam satu kesatuan
pengelolaan (TNGHS). Tidak dijelaskan secara pasti posisi ilmiah dari
argumentasi ‘aliran genetik’, namun tampaknya kajian akademis yang
dilakukan oleh konsorsium GedePahala bersama JICA yang menyatakan
bahwa kawasan hutan eks Perhutani (Gunung Salak) cukup layak untuk di
ubah fungsi menjadi Taman Nasional karena merupakan habitat berbagai
jenis satwa liar yang dilindungi serta menjadi hulu penting yang mengalir
ke Ibukota Negara, Provinsi Jawa Barat dan banten, telah menguatkan
dasar pertimbangan kebijakan perluasan TNGHS.
Dijelaskan oleh Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa Taman
Nasional masuk ke dalam salah satu kategori Kawasan Pelestarian Alam,
yakni kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi
pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang ditujukan untuk
pelestarian ekosistem, pendidikan serta rekreasi.
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang
meliputi: a. Zona inti; b. Zona rimba dan Zona perlindungan bahari untuk
65
wilayah perairan; c. Zona pemanfaatan; d. Zona lain (zona tradisional,
zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus). Lebih
lanjut kriteria penetapan zonasi di dalam taman nasional dijelaskan di
dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 Tentang
Pedoman Zonasi Taman Nasional, yakni: 1. wilayah yang ditetapkan
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami; 2. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik
baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta
gejala alam yang masih utuh dan alami; 3. satu atau beberapa ekosistem
yang terdapat didalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat
diubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia; 4. memiliki
keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata
alam; 5. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Terlepas dari kontroversi layak tidaknya kawasan tersebut
menjadi kawasan pelestarian alam Taman nasional, publik perlu
mengetahui bahwa proses penunjukan ini belum final, masih akan
diteruskan menuju tahapan pengukuhan agar mencapai Penetapan yang
berkekuatan hukum mengikat. Dalam rangkaian kegiatan yang akan
dilakukan menuju Penetapan status kawasan tersebut tentunya memerlukan
kajian mendalam terhadap aspek sosial budaya mengingat di dalam lokasi
Taman Nasional tersebut terdapat masyarakat yang telah menghuni dan
66
menggarap lahan sejak lama. Lebih lanjut diharapkan bahwa penetapan
kawasan hutan (konservasi) tidak melewati bagian-bagian penting yang
kadang dipahami sebagai pengingkaran terhadap hak rakyat.
Kondisi lapar lahan dan ketidakpastian status hukum hutan perlu
segera diantisipasi melalui prioritas pemantapan kawasan. Untuk
memastikan kawasan hutan Negara agar berkekuatan hukum dilakukan
kegiatan pengukuhan hutan, yang menurut UU No.5 tahun 1967,
dimaksudkan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan hutan
lindung, hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata. Terdapat 3
(tiga) prinsip dalam kegiatan pengukuhan, yakni (1) tahap penunjukan, (2)
tahap kegiatan pengukuhan dan (3) tahap penetapan.
Data Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2011
menyebutkan bahwa dari total kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan
hutan Negara, baru sekitar 11,1% yang berhasil ditetapkan status hutannya.
Ironi bagi sebuah Negara yang memiliki hutan terluas ketiga di dunia,
setelah Brazil dan Republik Kongo, tetapi masih dalam kondisi belum
mantap status hukumnya. Termasuk masih dalam proses penetapan adalah
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.175 tahun 2003 yang menunjuk kawasan hutan gunung
halimun (TNGH) dan hutan eks Perum Perhutani, menjadi bagian dari
proses pengukuhan kawasan seluas +113.000 Ha sebagai kawasan
konservasi. Penunjukan hutan pada dasarnya merupakan penetapan awal
peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah hutan. Penunjukan ini
67
didasari pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) atau Goberneur
Besluit (GB) Pemerintah Hindia Belanda atau atas dasar tukar menukar
kawasan hutan dengan hutan milik, hasil kompensasi terhadap pemakaian
kawasan hutan di daerah yang luasan kawasan hutannya sudah sangat
minimal dan atau karena perbuatan hukum lain.8
Prinsip pengukuhan hutan tersebut tidak banyak diketahui publik,
seolah-olah penunjukan mengandung legitimasi yang kuat atas ketetapan
status kawasan. Diatur oleh Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1970
tentang Perencanaan Hutan dan Keputusan Menteri Kehutanan No.
399/Kpts-II/1990 tentang Pedoman pengukuhan Hutan, bahwa setelah
Penunjukan, Kementerian Kehutanan harus menempuh 8 (delapan)
kegiatan lanjutan menuju Penetapan, yakni: (1) penyusunan rencana kerja
dan pembuatan peta; (2) Penyusunan Konsep Trayek Batas; (3) Rapat
Panitia Tata Batas; (4) Pemancangan Patok Batas; (5) Inventarisasi dan
Penyelesaian Hak-Hak Pihak Ketiga yang berkaitan dengan Trayek Batas;
(6) Pengumuman; (7) Kegiatan Pengukuran, Pemetaan dan Pemasangan Pal
Batas; (8) Membuat dan Menandatangani Berita Acara Tata Batas. Panitia
tata batas dimaksud berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No.400/Kpts-
II/1990 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas, terdiri atas unsur:
Bupati/Walikota sebagai Ketua panitia merangkap Anggota, Kepala
Cabang Dinas Kehutanan/Administratur Perhutani sebagai Sekretaris
merangkap Anggota, Badan Perencana Pembangunan Daerah Tk.II sebagai
8 Salim, HS. Dasar‐Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika Offset. Jakarta
68
Anggota, Kantor Badan Pertanahan Nasional Tk.II sebagai Anggota, Dinas
Pertanian yang terkait sebagai Anggota, Camat sebagai Anggota, Sub Balai
Inventarisasi dan Perpetaan Hutan sebagai Anggota, Sub Balai/Sub Seksi
Konservasi Sumber Daya Alam sebagai Anggota, dan perwakilan Instansi
lain yang dianggap perlu.
Uraian di atas menunjukan kerumitan Pemerintah (dalam hal ini
Kementerian Kehutanan) untuk memastikan kemantapan status kawasan
hutan. Situasi tersebut, menjadi salah satu akar konflik sektor kehutanan,
yang pada akhirnya dalam beberapa kasus dimanfaatkan segelintir orang
atau yang disebut sebagai ‘penunggang gelap’ untuk mengajukan klaim
atas tanah/yang diakui mereka sebagai atau untuk menjadi Hak Milik
ataupun Hak Adat. Begitu pula yang terjadi di lokasi penunjukan TNGHS.
Tidak lama berselang setelah dikeluarkannya SK 175/2003, berbagai
kelompok masyarakat yang mengatasnamakan perwakilan dari masyarakat
adat ataupun masyarakat setempat menolak keputusan penunjukan kawasan
konservasi di atas lahan yang mereka klaim sebagai hak mereka. Tentu hal
tersebut akan memakan banyak energi dan biaya dalam penyelesaian
sengketa dan tidak menemukan penyelesaian yang win-win apabila masing-
masing pihak ‘lagi-lagi’ tidak mengedepankan itikad baik konservasi
sebagai ‘kepentingan utama’. Secara umum, terdapat ambivalensi
Pemerintah vs Masyarakat, Di satu pihak, Pemerintah menganggap rakyat
tidak mendukung kebijakan konservasi, namun di sisi yang lain-masyarakat
sepertinya menuduh Pemerintah melakukan akal-akalan dalam menetapkan
69
kawasan konservasi secara sepihak untuk dapat mengusir mereka dari
lokasi yang ditunjuk dan dicurigai adanya kecenderungan memprioritaskan
investor dalam mengelola hutan.
Kebijakan konservasi di TNGHS khususnya, berimplikasi pada
terjadinya konflik, khususnya menyangkut konflik vertikal antara rakyat
dengan Negara. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang belum
terselesaikan sebelumnya atas penetapan status hutan negara, seperti:
kesejahteraan, status hukum kepemilikan lahan, ketersediaan lapangan
pekerjaan, dan sebagainya dianggap bertambah pelik dengan lahirnya
kebijakan konservasi. Hal ini salah satunya disebabkan karena perbedaan
persepsi mengenai konservasi itu sendiri dan kurangnya sosialisasi atas
itikad baik penunjukan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi.
Beberapa hal tersebut dan uraian akar konflik secara umum dapat
dimaknai sebagai sumber konflik.
Peta spatial yang berbeda yang digunakan oleh pusat, daerah dan
antar instansi (misal: Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan
Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum, Bakosurtanal, Badan Pertanahan,
Pemerintah Daerah, dll) menimbulkan konflik batas yang menimbulkan
ketidakjelasan status kawasan. Sebagai contoh: Kementerian Kehutanan
menggunakan peta penunjukkan kawasan hutan Tata Guna Hutan
Kesepakatan-TGHK dengan skala 1: 250.000 sebagai data awal untuk
menentukan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam serta hutan
lindung. Namun skala ini tidak cukup detail untuk digunakan di tingkat
70
daerah atau kabupaten, sehingga selisih batasan menimbulkan konflik di
lapangan, belum lagi jika persoalan dihubungkan dengan aspek historis
(masyarakat adat khususnya). Saat ini digunakan Peta Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) Paduserasi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kehutanan dengan koordinasi berbagai instansi sektor lainnya, utamanya
perwakilan unsur Pemerintah Daerah dan dibuat melalui pendekatan yang
menyesuaikan kepentingan daerah atau mengikuti Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Aspek sosio-historis masih belum mendapat ruang
penyelesaian dalam Paduserasi ini, terkait masih tingginya klaim
kepemilikan masyarakat setempat atas lahan yang masuk ke dalam
Paduserasi tersebut.
Penunjukan Perluasan Kawasan Taman Nasional sebagai
Kawasan Konservasi di wilayah TNGHS ini rupanya bukan merupakan
harga mati. Masih ada ruang untuk mengoptimalkan aspek kajian sosial
budaya sebelum Penetapan Status Kawasan Hutan yang berkekuatan
hukum tetap (final).
B. Konflik Vertikal di Kawasan Hutan
Secara umum konflik di TNGHS bersifat vertikal. Konflik ini
melibatkan Negara di satu sisi, yang diwakili oleh Kementerian Kehutanan,
dan masyarakat setempat di sisi lainnya. Sekalipun terdapat nuansa konflik
yang bersifat antar lembaga pemerintah, dalam hal ini misalnya konflik antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tapi bisa dibilang konflik vertikal
71
inilah yang mewarnai dan mendominasi sebagian besar perselisihan yang
muncul akibat penunjukan kawasan Gunung Halimun Salak sebagai kawasan
pelestarian alam berupa taman nasional.
Bagi Kementerian Kehutanan, kawasan Gunung Halimun Salak
seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya, bersifat strategis dalam
rangka konservasi. Keberadaan kawasan ini berfungsi penting untuk menjaga
stabilitas biodiversitas sebagai penyangga ekosistem untuk daerah ibukota
Jakarta dan sekitarnya. Lebih dari itu TNGHS juga berfungsi sebagai tempat
penelitian, pengawetan, rekreasi dan berbagai fungsi lain sebagaimana
dimaksudkan dalam UU tentang konservasi sumber daya alam yang di
dalamnya mencantumkan dan menjabarkan fungsi-fungsi Taman Nasional.
Berdasarkan ini semua Kementerian Kehutanan sangat berkepentingan
mempertahankan kawasan Gunung Halimun Salak sebagai sebuah kesatuan
ekosistem yang dikelola secara integratif di bawah kendali Kementerian.
Di atas sudah disebutkan bahwa secara khusus kepentingan untuk
melakukan konservasi sumber daya alam telah dituangkan dalam UU No
5/1990. Persoalannya implementasi UU ini berjalan tidak sesuai dengan yang
diharapkan, yang menurut penulis menjadi sumber utama terjadinya konflik
vertikal. Pertama-tama, sosialisasi UU No.5/1990 tidak dilakukan secara
optimal oleh kementerian. Ketidakoptimalan ini bisa dimengerti menjadi
sumber penting salah persepsi masyarakat terhadap niat baik pemerintah
melakukan pelestarian sumber daya alam. Masyarakat setempat, sebagai
contoh, dengan mudahnya menangkap maksud kebijakan konservasi dari
72
Kementerian Kehutanan sebagai upaya Negara mengambil hak atas tanahnya
yang selama bertahun-tahun menjadi sumber penghidupannya.
Situasi ini masih diperparah dengan ketidaksiapan pemerintah
dalam membentuk zonasi dan mensosialisasikannya sesuai dengan yang
diharapkan. Sebetulnya UU tersebut mengatur tentang zonasi kawasan Gunung
Halimun Salak dengan tujuan memaksimalkan tiga fungsi hutan: ekologi,
ekonomi dan sosial. Dengan Zonasi ini masyarakat setempat tidak akan serta
merta direlokasi selama mereka bisa menempati zonasi yang sesuai dan
memenuhi beberapa persyaratan yang memenuhi kaidah konservasi jika ingin
tetap terus berdiam di kawasan tersebut. Kelambatan pemerintah dalam
menentukan dan mensosialisasikan zonasi sesuai termaktub UU No.41/1999
dan UU No.5/1990 justeru dittangkap sepihak sebagai upaya mendorong
relokasi masyarakat setempat. Bisa dimengerti jika sosialisasi ketentuan zonasi
kawasan konservasi yang tidak tepat ini mendapat tentangan dari masyarakat
yang sebetulnya (saat ini) memiliki kemampuan berpikir rasional. Maksudnya,
mereka bisa menerima kebijakan konservasi sumber daya alam di wilayah
huniannya sepanjang kebijakan yang bersangkutan tidak membawa kerugian
ekonomi dan sosial.
Dari sisi masyarakat, kebijakan konservasi sumber daya alam,
apalagi yang menimbulkan konflik, sering dilihat sebagai peluang oleh pihak-
pihak yang diistilahkan Penulis sebagai ‘penunggang gelap’. Kawasan yang
baru dijadikan wilayah konservasi seperti TNGHS kerap diperlakukan sebagai
wilayah tak bertuan yang bisa dipergunakan ‘tanpa aturan’. Kondisi inilah yang
73
mendorong masuknya sejumlah perambah hutan yang justru kebanyakan
berasal dari luar atau daerah sekitar taman nasional. Sebagai contoh di kawasan
Lokapurna, terjadi peningkatan pesat jumlah pendatang dalam tujuh tahun
terakhir bahkan setelah penunjukkan TNGHS.
Ketegangan yang muncul antara Kementerian Kehutanan dan
masyarakat di TNGHS dengan mudahnya tersulut menjadi konflik terbuka.
Sementara beberapa kekeliruan dalam tahap implementasi terus terjadi,
ketegangan vertikal ini membuka jalan bagi masuknya beberapa aktor lain
seperti sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Sudah tentu tidak semua LSM
bisa dikategorikan dengan cara yang sama, termasuk diantaranya beberapa
LSM yang memiliki perhatian yang bisa diterima bagi kepentingan konservasi
maupun kepentingan penghidupan masyarakat di wilayah taman nasional.
Namun berdasarkan beberapa temuan yang Penulis peroleh, sebagian besar
LSM, terutama yang lokal, yang terlibat dalam konflik di TNGHS cenderung
memperkeruh suasana. Sebagai contoh, LSM-LSM ini mengetahui peluang
hukum hutan Negara yang bisa diganggu gugat oleh klaim kepemilikan
masyarakat setempat. Sebagian besar LSM lokal mendorong masyarakat untuk
menuntut hak kepemilikan. Tindakan semacam ini bertolak belakang dengan
aktivitas beberapa LSM lain. LSM jenis yang ini melakukan beberapa hal yang
penulis nilai positif bagi proses penyelesaian konflik seperti sosialisasi arti
penting konservasi, menyiapkan masyarakat untuk tidak sepenuhnya
bergantung pada hutan dan peningkatan kapasitas masyarakat agar memiliki
keahlian dan ketrampilan untuk bekerja di sektor-sektor non kehutanan.
74
BAB IV BERKACA DARI KASUS VILLA ‘LIAR’
Pada bab ini, selain menguraikan kronologi dan siklus konflik villa yang dianggap liar di kawasan Gunung Salak Endah, juga mengidentifikasi aktor-aktor
yang terlibat konflik dan mengkaitkan kejadian konflik Villa dengan isu-isu pokok yang muncul dalam hubungan-hubungan yang diamati dan pernah diteliti. Dalam kajian digunakan analogi bawang Bombay yang dipopulerkan oleh Simon Fisher dkk (2000) untuk memilah kemungkinan posisi, kepentingan dan kebutuhan
pihak-pihak yang bertikai yang dikaitkan dengan permasalahan kontemporer, seperti misalnya: disharmoni dan egosektoral akibat otonomi daerah dan faktor
lain yang berpengaruh, termasuk kemungkinan resolusinya.
A. Kronologis Konflik Villa
1. Tanggal 31 Agustus 1954, berdasarkan SK Menteri Pertanian
No.92/1954, kelompok hutan Ciampea, KPH Bogor seluas 14.368 Ha
ditunjuk sebagai kawasan hutan berfungsi sebagai Hutan Lindung dan
Hutan Produksi dan telah diadakan pengukuran definitif tahun 1975 serta
rekonstruksi batas tahun 1985.
2. Tanggal 1 Juni 1967, beberapa orang Veteran RI yang tergabung dalam
Markas Seksi LVRI Cibungbulan, melalui surat No.139/1967,
mengajukan Permohonan izin menggarap Lahan, yang ditujukan
kepada Kepala Perum Perhutani KPH Bogor.
3. Kurang dari lima hari, yakni tangal 5 Juni 1967, Permohonan 75 orang
veteran untuk mengggarap tanah di Blok Rawalega, Rawa tempele dan
Pasir Malang (kawasan Hutan Gunung Bunder) seluas +70 Ha disetujui
dengan cara tumpang sari selama jangka waktu 5 (lima) tahun.
75
4. Tanggal 10 Agustus 1967, Markas Seksi LVRI Cibungbulan kembali
mengajukan permohonan perihal pembukaan Proyek Pertanian dan
Peternakan Veteran lokal di Gn.Picung yang ditujukan kepada Menteri
Veteran dan Demobilisasi RI.
5. Setelah keputusan Menteri Veteran dan Demobilisasi RI yang menyetujui
Proyek Pertanian tersebut sesuai SK No.72/kpts/MenVed/1972 tertanggal
10 Agustus 1967, Proyek berlangsung tertib dan sesuai peruntukannya
selama 5 tahun sejak tahun 1967-1972.
6. Setelah itu terjadi berbagai penyimpangan oleh pimpinan proyek,
diantaranya melakukan jual beli lahan illegal. Penanganan terhadap
penyimpangan ini dilakukan dengan cara pengangkatan kepengurusan
Pimpinan Proyek yang baru dan koordinasi lintas sektor termasuk usulan
untuk membentuk Tim Terpadu. Tim terpadu ini merupakan gabungan
unsur pihak yang berkonflik, terdiri atas: Perwakilan Dephut,
Dephankam, Perhutani, Pemda, LVRI dan terkait.
7. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1978, ditetapkan
Pendirian Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) Wilayah
Jawa Barat yang secara utuh dilegitimasi menjadi Perum Perhutani
(meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura) berdasar
Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1986.
8. Pada tanggal 8 Agustus 1979, Kepala Kantor Administrasi Veteran dan
Demobilisasi (KANMINDEV) IX mengeluarkan Surat Keputusan No.
Kep/140/III/1979 tentang Penertiban kembali Proyek Pertanian dan
76
Peternakan Veteran Lokapurna Gunung Picung. Penertiban dimaksudkan
untuk menanggapi keluhan warga veteran penghuni proyek mengenai
kebijaksanaan yang diambil Ketua Harian Proyek, dengan cara
memberhentikan pengurus lama dan mengangkat Pengurus yang baru.
9. Pada tanggal 22 Februari 1985, Menteri Hankam RI mengeluarkan surat
Persetujuan Pembentukan Tim Terpadu, Nomor B/142/M/25/12/Set
yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI.
10. Menteri Kehutanan saat itu, melalui SK No.140 tanggal 18 Juni 1985
memandang perlunya proses kajian terhadap permasalahan dengan
memerintahkan Pembentukan Tim Peninjauan atau Tim Penelitian yang
bertugas mengadakan peninjauan atau penelitian lapangan atas Kawasan
Hutan Ciampea Kabupaten Bogor yang digunakan untuk Proyek
Pertanian Veteran dan Demobilisasi RI ‘Lokapurna’ termasuk calon
tanah penggantinya (sesuai ketentuan ruislag).
11. Keikutsertaan Departemen Hankam c.q. Dirjen Persmanvet dalam kasus
ini tampak pada surat No.D/48/V/1986 tertanggal 17 Desember 1986
mengenai penunjukan lokasi tanah pengganti (tukar guling Lokapurna)
yang terletak di Desa Antajaya, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor.
Surat ini hanya berhenti di tataran administrasi karena lokasi yang
ditunjuk sebagai calon tanah pengganti sampai hari ini belum dilakukan
proses pembebasan.
77
12. Setelah melihat perkembangan situasi dan laporan Tim, Menteri
Kehutanan melalui surat No 239, tertanggal 10 Juni 1987 mengirimkan
surat kepada Menteri Hankam RI, yang diantaranya berisi:
a. Proyek Pertanian Veteran dan Demobilisasi RI Lokapurna yang diketahui
berada pada lahan hutan seluas total +560,29 Ha, terdiri atas seluas
+256,77 Ha di Hutan Produksi disetujui untuk Tukar Guling, dan seluas
+303,52 Ha di Hutan Lindung harus dikosongkan untuk dikembalikan
sesuai Fungsinya.
b. Departemen Pertahanan dan Keamanan C.q. Proyek Pertanian dan
Demobilisasi Veteran RI Lokapurna diperkenankan melakukan kegiatan
lanjutan setelah dapat menyelesaikan Calon Tanah Penukarnya (Ruislag).
Ratio tukar menukar kawasan hutan tersebut ditetapkan 1:1.
13. Ijin Prinsip Menteri Kehutanan No.497/Menhut-II/1994 tanggal 25 April
1994, seluas ±256,77 ha, diberikan kepada Direktur Utama Perum
Perhutani untuk Tukar Menukar Kawasan Hutan Lokapurna Gunung
Sunder Jawa Barat dengan kewajiban memberikan tanah pengganti
dengan rasio 1:1 dalam jangka waktu 1 tahun.
14. Terhitung sejak 1 Januari 1996, Badan Pemeriksa (BARIKSA) LVRI
memutuskan mengangkat Tatang Suwandi sebagai Ketua BALAK LVRI
dengan kuasa dan wewenang penuh untuk membentuk personal dalam
pelaksanaan penertiban lokasi serta menentukan dan memutuskan
langkah-langkah kebijkasanaan untuk suksesnya masalah Proyek
Pertanian Veteran serta pengadaan lahan pengganti dan proses tukar
78
menukar. Dalam perkembangannya, kepemimpinan Tatang Suwandi
dianggap gagal karena banyaknya penyelewengan dan penyalahgunaan
wewenang.
15. Penyelesaian yang berlarut-larut oleh pimpinan LVRI, pengurus proyek
bahkan Dephankam c.q. Permansvet mendorong Markas Daerah
(MADA) LVRI Jabar untuk ikut terlibat.
16. Pada tanggal 24 Juli 1996, MADA LVRI Jabar c.q.BALAK LVRI
mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan sesuai surat
No.05/KLP/VII/1996 untuk menginformasikan lahan pengganti di Desa
Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.
17. Departemen Kehutanan c.q. Dirjen Intag merespon dengan mengirimkan
surat No.1315/VII/TGH-PFH tertanggal 16 September 1996 kepada
Dirut Perhutani dan Kakanwil Kehutanan Jawa Barat untuk bersama-
sama melakukan peninjauan lapangan dengan helikopter terhadap calon
tanah pengganti di Kabupaten Sukabumi dimaksud.
18. Pada tanggal 18 September 1986, berdasar perintah Menteri Kehutanan,
Dirjen Intag melakukan peninjauan lokasi calon pengganti di Desa
Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi seluas 256,77 Ha.
19. Melalui surat No.1362/Menhut VII/1996, tertanggal 1 Oktober 1996,
Menhut menyetujui calon tanah pengganti dan meminta agar pimpinan
veteran menyelesaikan proses tersebut sesuai peraturan yang berlaku.
20. Selanjutnya, Dirjen Intag Dephut, pada tanggal 11 Oktober 1996 melalui
surat No.975/A/VII-9/1996 meminta pimpinan proyek veteran lokapurna
79
untuk melakukan pengukuran definitif terhadap kawasan hutan yang
akan digunakan sebagai Proyek Demobilisasi dan termasuk calon tanah
pengganti dimaksud dengan pembiayaan sepenuhnya ditanggung oleh
proyek veteran lokapurna. Disarankan agar mekanisme di lapangan
berkoordinasi dengan Pemda setempat, Kanwil Kehutanan Jabar serta
BPN setempat.
21. Tanggal 30 Oktober 1996, MADA LVRI Jabar mengukuhkan
organisasinya sebagai Badan Pelaksana (BALAK) LVRI melalui surat
No. SP.46/MADA/X/1996 dengan argumentasi ketidakmampuan LVRI
Kab. Bogor, LVRI Kec.Cibungbulan dan Dephankam dalam
menyelesaikan proses ruislag selama 30 tahun (1967-1996).
22. Memulai kinerjanya, MADA LVRI Jabar (BALAK LVRI) melalui surat
No.105/BALAK/I/1997 tanggal 1 Januari 1997, kepada Kakanwil BPN
Jabar meminta untuk melakukan pengukuran kawasan hutan Lokapurna
Gn.Picung Kab.Bogor dan calon tanah pengganti di Desa Ciwalat,
Kec.Pabuaran, Kab.Sukabumi.
23. Bupati Sukabumi melalui surat No.590/086.Huk tertanggal 8 Mei 1998,
memberikan persetujuan prinsip atas pembebasan tanah seluas +260 Ha
di Desa Ciwalat tersebut untuk atas nama BALAK LVRI.
24. Tanggal 26 Oktober 1999, BALAK LVRI (MADA JABAR)
mengirimkan surat persetujuan atas calon tanah pengganti kepada
Menteri Kehutanan dan Perkebunan c.q. Kepala BAPLAN dengan
80
permohonan dispensasi perpanjangan waktu penyelesaian lahan
pengganti dan pengukurannya.
25. Periode 1999-2001, pengukuran batas luas lokasi Proyek Pertanian
Lokapurna telah selesai dilakukan, sedangkan upaya pembebasan dan
pengukuran batas calon tanah pengganti sedang dalam proses.
26. Atas nama Penghuni dan Penggarap kawasan Proyek Pertanian Veteran
Lokapurna, pada tanggal 1 April 2005 ditetapkan pencabutan kuasa
kepada YVLP terkait pengurusan tanah pengganti karena dianggap gagal
menyelesaikan ruislag selama 7 tahun.
27. Selanjutnya pada tanggal 6 Juni 2005, ketua BALAK LVRI dilaporkan
ke Kapolres Kab.Bogor dan diminta untuk tidak lagi ke lokasi Lokapurna
dan tidak ikut campur urusan Lokapurna.
28. Pada tanggal 28 Juni 2005, diputuskan oleh Pimpinan Daerah LVRI
Provinsi Jabar, untuk mengangkat Pimpinan Cabang/Pincab LVRI
Kab.Bogor (Ateng Surirdjo) selaku Pengawas dan Ketua Maran LVRI
Kec.Cibungbulan dan Pamijahan (Soleh Fajar) selaku pengelola dan
bertugas menyelesaikan tukar guling Lokapurna.
29. Direktur Utama Perum Perhutani pada tanggal 8 Agustus 2005,
mengirimkan surat kepada Sekjen Dephut yang intinya menyatakan
dukungan terhadap pihak LVRI untuk menyelesaikan proses tukar
menukar kawasan hutan Lokapurna yangs empat terhenti serta untuk
lebih proaktif dalam menyelesaikan dan melengkapi kewajiban-
kewajiban sebagaimana dipersyaratkan.
81
30. Selanjutnya, persoalan internal Proyek dan ketidakmampuan
menyediakan lahan pengganti sesuai ketentuan terus berlangsung,
termasuk klaim organisasi atau pihak yang sah dalam pengurusan tukar
menukar kawasan Lokapurna. Masing-masing bertindak untuk dan atas
nama penghuni dan penggarap areal proyek pertanian dan demobilisasi
Veteran Lokapurna.
31. Sejak tahun 1980-2000an telah terjadi jual beli tanah/ over kepemilikan
di lokasi proyek eks Veteran, termasuk diantaranya dimiliki oleh Pejabat/
Artis ternama dengan status kepemilikan yang variatif. Di atas tanah-
tanah tersebut didirikan Villa permanen, semi, maupun non permanen
dengan kategori biasa sampai sangat mewah. Beberapa diantaranya
menggunakan tanah tersebut untuk bisnis peternakan atau pertanian.
Villa-villa disewakan kepada umum.
32. Pemerintah Daerah, melalui surat Bupati No.550.1/057-DIP, tertanggal
25 Februari 1989 perihal pengendalian penggunaan lahan di kawasan
pariwisata Gunung Salak Endah, salah satunya menyebutkan bahwa
Kawasan tersebut ditetapkan secara nasional sebagai kawasan pariwisata
alternatif bagi kawasan pariwisata puncak.
33. PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara
(Perum Perhutani) dalam pasal 9 dinyatakan bahwa wilayah kerja Perum
Perhutani meliputi hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten kecuali kawasan hutan konservasi.
82
34. Terdorong isu konservasi dan tekanan internasional, Pemerintah (dalam
hal ini Departemen Kehutanan RI) mengeluarkan SK No.175, tertanggal
10 Juni 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung, Hutan
Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, pada kelompok hutan Gunung
Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas 113.357 Ha di Prov.
Jawa Barat & Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
35. Di luar konteks Ekologi, Lahirnya SK tentang Taman Nasional tersebut,
tidak hanya menyisakan persoalan konflik dengan pihak LVRI tetapi juga
Masyarakat Desa Hutan (MDH) di dalam dan sekitar hutan yang menjadi
obyek perluasan itu sendiri. Masyarakat setempat dan pihak yang terkena
dampak, termasuk tentunya warga eks Proyek Lokapurna (diantaranya
adalah para pemilik Villa) mencoba mempertanyakan dan
mempermasalahkan kebijakan Menteri tersebut.
36. Melalui Badan Pengurus Yayasan Veteran (BP-LVRI) Lokapurna
mengajukan permohonan kepada Badan Planologi (Baplan) Departemen
Kehutanan melalui surat Nomor B/2-7/YVLP/2006 tertanggal 20 Juli
2006, untuk kembali memproses tukar menukar (ruislag).
37. BAPLAN Departemen Kehutanan melalui surat No. No.S.880/VII-
Kp/2006 tertanggal 15 September 2006, melimpahkan kewenangan
penyelesaian tukar menukar kawasan Lokapurna kepada Direktorat
Jenderal PHKA Dephut.
38. Secara khusus persoalan Proyek Pertanian dalam hal Penyelesaian tukar
menukar lahan di Kawasan Hutan Produksi seluas +256,77 Ha belum
83
bisa terselesaikan sampai kemudian tanggal 15 Juni 2007 melalui SK
Menhut No.225, dibentuk Tim terpadu Percepatan Penyelesaian Tukar
menukar seluas +256,77 Ha tersebut.
39. Ironisnya, melalui surat No.B/il97/08/38/69/DJKUAT tertanggal 23
November 2007, Dirjen Kekuatan Pertahanan a.n. Menteri Pertahanan
menyampaikan kepada Menteri Kehutanan bahwa Departemen
Pertahanan tidak dalam posisi dapat memutuskan organisasi Veteran
yang paling berhak atas penyelesaian kasus tukar menukar kawasan
hutan Lokapurna, dianjurkan agar Dephut berkoordinasi dengan Ketua
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LVRI.
40. Tanggal 11 Januari 2008, Ketua DPP LVRI menyampaikan surat kepada
Menhut bahwa BALAK LVRI adalah Badan Pelayanan yang
dikendalikan Pimpinan Pusat LVRI untuk menyelesaikan ruislag.
41. Selanjutnya pihak Dephut (Dirjen PHKA) pada tanggal 27 Februari 2008
mengirimkan surat kepada YVLP dan LVRI Kec. Pamijahan yang
memberitahukan bahwa TIM TERPADU percepatan penyelesaian ruislag
selanjutnya akan berkoordinasi dengan BALAK LVRI sesuai surat
Dephan dan DPP LVRI dan berkaitan hal tersebut kedua pihak (YVLP
dan LVRI Kec. Pamijahan) dapat memberikan tanggapan tertulis.
42. Pihak-pihak tersebut selanjutnya memberikan tanggapan tertulis sebagai
pihak/organisasi veteran yang sah dengan menyebutkan bahwa organisasi
BALAK LVRI tidak dikenal sebagai organisasi veteran Departemen
84
Pertahanan dan apabila Dephut memberi ijin ruislag pada BALAK LVRI,
maka akan ditempuh jalur hukum.
43. Pada tanggal 11 Maret 2008, DPP LVRI bersurat kepada Dirjen PHKA
menyampaikan ucapan terima kasih atas penetapan BALAK LVRI
sebagai mitra koordinasi/konsultasi dalam penyelesaian ruislag dan
memohon agar Tim Terpadu bersedia menerima BALAK LVRI untuk
mempresentasikan progress dari upaya tukar menukar kawasan.
44. Departemen Kehutanan melalui ketua Tim Terpadu, pada tanggal 26
Maret 2008, melalui surat No.S.105/KK-1/2008, meminta agar DPP
LVRI memfasilitasi ketiga organisasi veteran (YVLP, BALAK LVRI
dan LVRI Maran Kec.Pamijahan) untuk bersama mengadakan pertemuan
dan menyepakati pihak mana yang akan ditunjuk dalam proses tukar
menukar yang selanjutnya secara resmi akan dicatat dalam Berita Acara
Hasil Pertemuan.
45. Undangan rapat DPP LVRI No. UND23/MBLV/IX104/2008 ditujukan
kepada Direktur Kehutanan, BALAK LVRI, LVRI Maran Kec.
Pamijahan, Macla dan Macab LVRI serta 7 orang purnawirawan ABRI
untuk menghadiri pertemuan membahas penyelesaian permasalahan
kawasan Lokapurna Gn.Picung yang akan dilakukan tanggal 8 April
2008 di Ruang Rapat I DPP LVRI.
46. Pada tanggal 16 April 2008, DPP LVRI menyampaikan hasil rapat
kepada Dephut dengan inti bahwa penyelesaian proses ruislag di ambil
85
alih sepenuhnya oleh MABES LVRI dan hanya MABES LVRI yang
akan berhubungan dengan Departemen Kehutanan secara sah.
47. Sepanjang tahun 2008, Koordinasi dilakukan Dephut dan MABES LVRI,
termasuk peninjauan lapangan terhadap pengalihan tanah pengganti
seluas +297 Ha dari kab. Sukabumi ke Desa Cintamekar,
kec.Serangpanjang, Desa Jambelaer Kec.Dawuan dan Desa Curug Agung
Kec.Sagalaherang Kab.Subang Provinsi Jawa Barat.
48. Akhir tahun 2009, Publik dikejutkan dengan berita Media Massa
Nasional mengenai ‘adanya bangunan/Villa liar milik pejabat tinggi dan
artis ternama’ yang berdiri di atas local point Taman Nasional dimaksud.
Sebagian besar pemilik mengaku memiliki bukti transaksi yang sah,
bahkan sampai ada beberapa yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
Menteri Kehutanan memerintahkan membongkar bangunan yang
dianggap liar tersebut.
49. Tahun 2010, atas nama Masyarakat Korban perluasan Taman Nasional
(termasuk Pemilik Villa), melalui Kantor Pengacara Eggi Sudjana &
Partners mengajukan gugatan dan melakukan demo terhadap kebijakan
Menteri Kehutanan saat ini yang menginstruksikan pembongkaran paksa
Bangunan/Villa yang dianggap liar tersebut.
50. Uniknya, di pertengahan tahun yang sama, para pemilik Villa melalui
berita-berita media massa menyampaikan keinginannya untuk secara
‘sukarela’ memberikan Villa mereka kepada Kementerian Kehutanan.
86
B. Siklus Konflik Villa Liar
Berdasarkan teori siklus konflik Kriesberg (1998), kejadian konflk
dapat ditelaah salah satunya melalui penahapan konflik. Intensitas konflik yang
berubah-ubah, baik dari sisi aktivitas maupun level kekerasan dapat dipahami
sebagai bagian dari dinamika konflik yang dapat dirunut menjadi satu
rangkaian siklus. Ditambahkan oleh Fisher dkk (2000), tahapan konflik ini
menjadi penting untuk mengetahui posisi kejadian konflik sebagai upaya
mencegah atau mengelola konflik di masa depan yang memiliki pola-pola
peningkatan intensitas yang sama.
Siklus konflik sederhana dalam kasus Villa yang dianggap liar di
Kawasan Gunung Salak Endah-Taman Nasional Gunung Halimun Salak,
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.1. Siklus Konflik Kriesberg
Sumber (Konteks)
Manifestasi
Eskalasi
Deeskalasi
Terminasi
Hasil Akhir
87
1. Sumber konflik
Ketidakpastian hukum atas status tanah garapan maupun tempat
tinggal yang diwariskan dari kebijakan konservasi oleh Belanda sejak
tahun 1800an, termasuk selanjutnya beberapa generasi pergantian Menteri
Kehutanan tidak juga dapat menyelesaikan problem sosial yang terdapat di
dalam atau sekitar kawasan hutan, terkait kepemilikan lahan dan akses
terhadap sumber daya telah menjadikan hal tersebut sebagai salah satu
konteks yang menyuburkan konflik di kawasan hutan.
Dalam kasus villa liar, permohonan Legiun Veteran Republik
Indonesia (LVRI) di tahun 1967 untuk membuka kawasan hutan Ciampea
Kabupaten Bogor (saat ini dikenal dengan Lokapurna-Lokasi
Purnawirawan) menjadi Proyek Pertanian disetujui Menteri Kehutanan
saat itu dengan ketentuan tukar menukar (ruislag) sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Penyelesaian proses ini terkesan sangat
lamban, bahkan sampai tahun 2008 masih dilakukan pembahasan terkait
ruislag yang masih terganjal persoalan tanah pengganti yang diwajibkan.
Sekitar tahun 1967 - 1972 beberapa keluarga veteran mendiami
lokasi dimaksud sesuai tujuan proyek, yakni bertani. Namun
penyimpangan-penyimpangan di lakukan Pengurus Proyek mulai tahun
1973, diantaranya memperjual belikan tanah yang masih dalam proses
ruislag tersebut dan dalam perkembangannya terus terjadi jual beli tanah
yang berstatus Hak Garap tersebut. Pada masa itu terjadi konflik
horizontal antara keluarga veteran maupun pendatang terhadap pengurus
88
proyek maupun di antara mereka terkait tata batas kelola dan luasan yang
diinginkan. Namun tidak menimbulkan masalah berarti ketika sifat
konfliknya masih di level individual dan tidak terorganisir. Baru di sekitar
akhir tahun 1978, sejumlah orang dari kelompok veteran menggugat
kepengurusan proyek melalui Kantor Administrasi Veteran dan
Demobilisasi, yang menghasilkan kepengurusan yang baru.
Ternyata pembentukan kepengurusan baru tidak menyelesaikan
persoalan sengketa lahan di lokasi Proyek Lokapurna, proses jual beli atau
alih garapan terus berlangsung selama beberapa decade. Proses ruislag ini
dibiarkan berlarut-larut yang seolah-olah menciptakan ‘status quo’ atas
tanah negara. Bahkan jual beli/ alih Hak garap terus berlangsung dengan
diketahui aparat setempat, termasuk manajemen Perhutani lapangan.
Sampai kemudian sekitar tahun 1990an, beberapa orang (yang saat ini di
kenal publik sebagai pejabat tinggi, pengusaha, politisi pemuka agama
maupun artis) ikut membeli tanah-tanah yang masih dalam proses ruislag
tersebut. Kepemilikan tanah berkisar antara 1 – 15 Ha/Orang. Tanah
hutan Negara yang semula di tahun 1967 hanya diminta sejumlah 70 Ha
dalam perkembangannya sudah diduduki seluas +560 Ha, yang berada di
lokasi Hutan Produksi dan Hutan Lindung (saat itu merupakan wilayah
kewenangan Perum Perhutani-BUMN Kehutanan sebelum keluar Surat
Keputusan Menteri kehutanan No.175 tahun 2003 tentang Penunjukan
Perluasan Taman Nasional Gunung halimun dan Hutan Eks Perhutani
menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak).
89
Tidak ada ketegasan Pemerintah (Kementerian Kehutanan dan
Perum Perhutani) dalam memastikan proses ruislag untuk mengakhiri
sengketa dan mengamankan hutan negara. Jual beli lahan dan pendirian
villa secara nyata diketahui oleh aparat setempat maupun pihak Perhutani
yang saat itu berwenang atas Hutan di wilayah tersebut, namun saat itu
semua tampak berjalan biasa, tidak ada reaksi atas alih fungsi hutan
Negara yang saat ini disebut illegal.
Bahkan Legitimasi atas keberadaan villa tersebut diperkuat
melalui surat Bupati Bogor No.550.1/057-DIP tertanggal 25 februari 1989
perihal pengendalian penggunaan lahan di kawasan pariwisata Gunung
Salak Endah yang secara tegas menyebutkan kawasan pariwisata alternatif
bagi kawasan pariwisata Puncak Bogor9, secara aktif Pemerintah Daerah
menyediakan sarana prasarana pendukung seperti: jalan aspal/hotmix,
pintung gerbang wisata, information center yang diantaranya memuat
daftar villa-villa yang disewakan, kawasan parkir dan sebagainya.
Ketika proses ruislag dibiarkan mengambang maka kondisi
tersebut menciptakan ruang-ruang penyelewengan yang diasumsikan oleh
Penulis sebagai salah satu bagian dari Sumber Konflik.
2. Manifestasi Konflik
Kondisi lapar lahan, desakan investasi, kurangnya pengetahuan,
kepentingan konservasi menyebabkan benih-benih konflik laten mulai
9http://www.tvonenews.tv/www/berita/36822/pengacara_keberadaan_villa_di_gunung_ halimun_legal.html. 16 April 2010, diakses tanggal 1 Maret 2011.
90
muncul ke permukaan. Masing-masing pihak dalam kepentingan dan
kebutuhan yang berbeda mulai menunjukkan aktivitas yang cenderung
win-lose. Di sisi Pemerintah, dalam kewenangan yang besar berdasarkan
legitimasi Undang-Undang yang mengatur penguasaan hutan Negara,
muncul kecenderungan arogansi yang termanifestasi dalam bentuk represif
terhadap bentuk-bentuk yang dianggap ‘perlawanan terhadap kekuasaan
negara’. Kementerian Kehutanan mengekspose di media massa terkait
rencana melakukan pembongkaran villa-villa di Lokapurna kawasan
Gunung salak Endah yang dianggap liar yang berdiri di atas tanah Negara
yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Para pemilik mulai mempersiapkan kekuatan dengan
menghimpun ‘seluruh pemilik villa’ dan masyarakat setempat, termasuk
menunjuk kuasa hukum untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
3. Eskalasi Konflik
Eskalasi Konflik yang disebut Riza Noer Arfani (2011) sebagai
bagian terpenting dari Manajemen Konflik merupakan bentuk nyata
perjuangan atau perlawanan dalam mencapai tujuan. Pada tahap eskalasi
ini dimungkinkan adanya tindakan kekerasan (violence conflict) ketika
interaksi keduanya semakin menguat negatif. Seringkali pada tahap ini
masing-masing pihak berposisi zero-sum gain (salah satu harus menang).
Implementasi SK Menhut 175/2003 berimplikasi pada eskalasi konflik
yang ditunjukkan dengan adanya perlawanan dari masyarakat yang terkena
91
langsung dampak kebijakan, termasuk khususnya dalam hal ini para
pemilik villa. Kementerian Kehutanan berkeinginan memaksakan
kebijakan pembongkaran villa di kawasan Gunung Salak Endah yang
akibat kebijakan tersebut pemilik villa dipaksa atau diwajibkan untuk
membongkar villanya dan beberapa dilaporkan sebagai tindak pidana
penggunaan lahan hutan tanpa izin apabila tidak segera berinisiatif
membongkar villa mereka sendiri.
Menurut pengakuan para pemilik villa, kebijakan pembongkaran
villa ini dilakukan tanpa proses komunikasi personal terlebih dahulu
terhadap para pemilik villa. Sementara berdasar keterangan dari Balai
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, jauh sebelumnya para pemilik
villa telah diberi surat peringatan sebanyak tiga kali untuk membongkar
villanya yang dianggap telah menyalahi peruntukan kawasan hutan.
Pemilik villa melakukan perlawanan dengan menunjukkan bukti-
bukti berupa surat jual beli (over alih garapan), bahkan sejumlah 6 (enam)
orang menunjukkan bukti kepemilikan (SHM) dan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Sebagian besar menunjukkan bukti setor pembayaran
pajak (PBB) dan restribusi jasa wisata yang ditetapkan oleh PEMDA
melalui Peraturan Daerah.
Pada tanggal 14 April 2010, pemilik villa dan warga setempat
melakukan demo besar-besaran yang melibatkan sejumlah sekitar 700
orang di kantor Bupati Bogor dengan aspirasi menolak pembongkaran
villa dan rumah-rumah penduduk. Sebelumnya, dalam jumlah yang tidak
92
banyak, sejumlah orang (mengatasnamakan pemilik villa) juga telah
melakukan Demo di depan kantor Kementerian Kehutanan.
Pada tahap ini, masing-masing pihak masih bertahan dengan
posisi masing-masing dalam mempertahankan kepentingannya.
4. Deeskalasi
Dalam jangka waktu bervariasi pihak yang berkonflik mengalami
Deeskalasi (penurunan ketegangan konflik) yang ditimbulkan oleh faktor
internal maupun intervensi eksternal. Dalam perkembangan kasus
pendirian villa di Lokapurna TNGHS setelah eskalasi, masing-masing
pihak berusaha menahan diri untuk menekan intensitas konflik. Upaya-
upaya mediasi atau negosiasi dilakukan dengan kesadaran kedua pihak.
Kementerian Kehutanan berusaha menggandeng pihak-pihak lain untuk
mengupayakan resolusi. Dibentuk Tim terpadu yang melibatkan kalangan
akademisi, LSM/NGO, dan pihak terkait lain sebagai upaya mendesain
konstruksi sosial menuju penetapan kawasan TNGHS yang berkekuatan
hukum tetap, dengan pengaturan zonasi Taman Nasional, termasuk
diantaranya di duga untuk mengakomodir keberadaan villa-villa dan
masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan.
Sedangkan pihak pemilik villa melakukan beberapa upaya
penyelesaian, melalui pendekatan langsung ataupun tidak, seperti melalui
Menteri Kehutanan ataupun DPRD Kabupaten Bogor baik secara personal
maupun dalam kapasitas institusi. Pada hari penanaman tahun 2010 yang
93
lalu, diberitakan media, para pemilik villa di undang Kementerian
Kehutanan untuk secara khusus melakukan simbolis penanaman bersama.
Ini menunjukkan pada publik telah ada upaya rekonsiliasi kedua pihak
yang masih dalam proses penyelesaian, meskipun hasil akhirnya belum
diketahui pasti. Kondisi di lapangan masih sama, villa-villa tetap berdiri
kokoh, sebagian tetap dikomersilkan dan bahkan ada beberapa villa baru
yang sedang dibangun.
Dalam tahapan ini, tampak sekali ada beda perlakuan dari
kementerian terhadap pelaku yang sama-sama disebut ‘perambah’. Dalam
kasus masyarakat biasa, penanganan kasus perambahan cenderung
represif, terutama untuk perambahan yang sifatnya individual. Namun
dalam kasus villa liar, Kementerian tampak sangat hati-hati karena
‘perambah’ yang dihadapi adalah rekan pejabat tinggi dan orang-orang
penting di negeri ini yang memiliki kekuasaan yang besar, uang yang
banyak atau popularitas.
Proses ini menjelaskan teori Jeffrey Winter (2011) mengenai
Oligarki Politik di Indonesia, bahwa di duga kuat Negara dalam
mengambil kebijakan dan menegakkan aturan hukum seringkali
dikalahkan oleh Oligarki (figur). Diskriminasi perlakuan akan berdampak
pada meluasnya kecemburuan masyarakat yang menjadi sangat berbahaya
ketika pada perjalanannya disusupi oleh ‘penunggang gelap’ yang ingin
memanfaatkan situasi.
94
5. Terminasi
Tahap Terminasi sebagai proses peralihan yang rawan intervensi
pihak-pihak yang berkepentingan. Mengacu kembali pada Rencana
Pengelolaan TNGHS 2007-2026 yang didalamnya mengatur Zona-Zona
pengelolaan Taman Nasional, masing-masing pihak berusaha menyadari
perlunya mengakomodasi kepentingan pihak lain dengan tetap
mengupayakan win-win.
Pihak Kementerian Kehutanan tampaknya akan menjadikan
kawasan Gunung Salak Endah ke dalam Zona Khusus untuk peruntukan
ekowisata, namun belum ada keterangan pasti apakah kebijakan itu serta
merta mengakomodir kepentingan para pemilik villa.
6. Hasil Akhir
Hasil Akhir idealnya memuaskan kedua pihak (Win-Win) atau
setidaknya bisa disepakati keduanya. Hasil akhir ini disebutkan oleh
Kriesberg dapat menjadi basis dari kemunculan konflik lain.
Dalam kasus kepemilikan villa liar, hasil akhir sementara
menunjukkan kondisi ‘status quo’ atas keberadaan villa tersebut. Sejumlah
kesepakatan (tidak tertulis), diantaranya pihak Kementerian tidak akan
melakukan tindakan penyegelan atau pembongkaran terhadap villa-villa
tersebut, dengan konsekuensi para pemilik villa dilarang mengkomersilkan
villa-villa tersebut. Mereka hanya diizinkan menggunakan villa untuk
kepentingan sendiri sampai keluar keputusan yang lebih mengikat. Dan
95
sampai tulisan ini dibuat, Penulis masih bertanya-tanya apakah kasus villa
liar di Lokapurna Kawasan Gunung Salak Endah akan berakhir seperti
Villa Liar di Kawasan Puncak yang ramai diberitakan media sejak 1995,
namun sampai hari ini tidak ada tindak lanjutnya.
C. Identifikasi Aktor dan Isu Utama
Kasus kepemilikan Villa Lokapurna (Lokasi Purnawirawan),
Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS yang dianggap liar menjadi bagian
dari permasalahan perambahan hutan memiliki cerita yang agak berbeda
dengan kasus perambahan biasa yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan.
Meskipun kisaran konflik keduanya sama bercorak vertikal yang melibatkan
dominasi aktor Negara, namun dalam kasus kepemilikan villa yang
dianggap liar ini terdapat kecenderungan pola yang berbeda dalam kejadian
konflik dan pendekatan resolusinya.
Disebutkan oleh Fisher dkk (2000), Pemetaan konflik memudahkan
dalam melihat hubungan antar pihak secara lebih jelas dengan maksud dapat
memahami situasi dengan lebih baik, termasuk mengevaluasi apa yang telah
dilakukan serta kecermatan memulai intervensi. Dari banyak pihak yang
berada di lingkaran konflik, perlu diidentifikasi pihak-pihak utama yang
menjadi aktor konflik atau memiliki hubungan sangat kuat dalam sengketa.
Untuk selanjutnya diketahui pihak-pihak lain yang terkait dan kemungkinan
berafiliasi dengan aktor utama atau berada diantara keduanya untuk
memudahkan dalam memahami alur konflik.
96
1. Identifikasi Para Pihak Utama dan Isu Konflik
Pihak Utama yang bertikai dalam kasus kepemilikan Villa adalah:
a. Kementerian Kehutanan
Dalam memenuhi tekanan internasional terkait isu
lingkungan dan perubahan iklim serta di duga kuat dalam rangka
menunjukan pada dunia luar bahwa Indonesia concern terhadap isu
Konservasi, ataupun dengan argumentasi lain yang masuk akal,
Kementerian Kehutanan terus berupaya memperluas kawasan
konservasi, termasuk didalamnya memperbanyak Taman Nasional.
Tahun 2003, di era Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa,
sejumlah lebih dari 35 kawasan hutan ditetapkan sebagai Taman
Nasional, salah satunya Surat Keputusan No. 175 tahun 2003 tentang
Penunjukan Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dan eks
Hutan Perhutani menjadi TNGHS dengan total luas 113.357 Hektar.
Periode Menteri selanjutnya, dalam posisi mengamankan
kebijakan Penunjukan Perluasan TNGHS sesuai SK Menhut No.175
tertanggal 10 Juni 2003, meminta mengosongkan kawasan dari hal-
hal yang tidak sesuai peruntukannya, utamanya perambahan.
Termasuk didalamnya terdapat lokasi Lokapurna tempat berdirinya
Villa yang dianggap liar, Kementerian Kehutanan memerintahkan
pembongkaran atas Villa tersebut yang mengakibatkan kondisi
eskalasi dari rangkaian konflik di lokasi yang sebelumnya masih
dalam proses ruislag (tukar menukar kawasan).
97
Beberapa tahun sebelum perintah pembongkaran, tepatnya
tahun 2007 setelah dilakukan serah terima fisik kawasan eks
Perhutani ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kepala
Balai TNGHS telah mengeluarkan 3 (tiga) buah surat yang berisi:
(1) Larangan bagi masyarakat Lokapurna untuk melakukan over alih
garapan dan membangun- surat No.s.884/IV-T.13/Linhut/2007,
tertanggal 27 September 2007; (2) Larangan kepada BPN Bogor
yang akan melakukan pengukuran- surat No.
S.970/IV/T.13/Linhut/2007, tertanggal 19 November 2007; (3)
Menolak permohonan LSM Mitra Patria Indonesia yang meminta
rekomendasi/ijin untuk dapat membayar PBB a.n. Warga RW 08 dan
RW 09 Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten
Bogor. Namun sayang, surat tersebut dikeluarkan di saat villa-villa
tersebut telah berdiri kokoh dan dikomersilkan selama dua
dasawarsa sebelumnya akibat proses ruislag yang berlarut-larut dan
kurangnya pengawasan serta pengamanan di lapangan. Ironisnya,
ditemukan beberapa bangunan villa baru yang dibangun setelah
tahun 2007 dan tetap dibiarkan.
Di masa eskalasi, Kementerian Kehutanan mengeluarkan
perintah pembongkaran secara sukarela oleh pemilik villa atau
dilakukan bongkar paksa oleh pihak Kementerian. Direktorat
Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan bahkan mengeluarkan
ancaman pidana terhadap pemilik villa yang tidak menyerahkan
98
villanya secara sukarela. Dari peristiwa ini tampak sekali ada
perbedaan perlakuan antara ‘perambah biasa’ dengan ‘perambah dari
unsur public figure’. Ancaman dan peringatan yang dikeluarkan
terhadap ‘orang-orang berkuasa negeri ini’ rupanya sekedar ‘gertak
sambal’ dan menjadi keprihatinan bersama ketika akhirnya
dipenjarakan 2 (dua) orang penduduk yang menurut pengakuan
keduanya diminta mengaku sebagai sebagai pemilik villa, belum
jelas apakah ini bagian dari kepentingan entertainment, perlu
ditelusuri lebih jauh dalam penelitian yang lain.
Pihak Kementerian memperlakukan pemilik villa sebagai
rekan, mereka diberi ruang untuk bernegosiasi. Bahkan pada acara
Hari Puncak Penanaman Nasional bulan November 2010 yang lalu
di Jatiluhur Purwakarta, yang dihadiri oleh Presiden Republik
Indonesia, para pemilik villa ditempatkan di tempat terhormat
bersama rekan pejabat, petinggi partai, duta besar negara sahabat dan
orang penting lain yang terpilih untuk melakukan simbolik
penanaman. Tentu perlakuan khusus ini tidak pernah kita dengar
ketika Kementerian Kehutanan dihadapkan pada persoalan
perambahan yang berasal dari ‘masyarakat biasa.’
b. Pemilik Villa Liar
Sebagian besar (92%) pemilik Villa liar berasal dari unsur
public figure, baik itu pejabat aktif, politisi, mantan pejabat,
99
pengusaha, pemuka agama, purnawirawan TNI, termasuk
diantaranya artis lokal dan nasional. Sejumlah +143 Villa yang
berdiri diatas lahan TNGHS seluas total + 103 Ha dimiliki sejak
tahun 1990 secara individual (bukan kolektif), bertahap mulai dari
penguasaan tanah sampai berdiri Villa-Villa dimaksud, beberapa
diantaranya digunakan untuk peternakan skala besar maupun
kegiatan bisnis lainnya. Villa-villa sebagian besar disewakan kepada
wisatawan. Tarif yang ditawarkan berkisar antara Rp. 500 ribu s.d.
Rp. 5 Juta per Malam. Angka yang cukup fantastik untuk jenis
penginapan di daerah tersebut, namun tampaknya sebanding dengan
nilai investasi yang ditanamkan.
Hampir seluruhnya mengetahui bahwa mereka membeli
tanah dalam kondisi ‘ruislag’, namun ‘merasa sah’ karena tata cara
pembelian diketahui atau melibatkan pejabat/aparat setempat.
Sebagian besar hanya memiliki Bukti kepemilikan berupa Hak garap
(over alih garapan) dengan beberapa telah memiliki Bukti Setoran
Pajak (PBB), namun diketahui ada 6 (enam) orang yang memiliki
status Hak milik atas tanah beserta IMB. Meskipun terkait
keabsahan sertifikat dan IMB ini masih dipertanyakan dan masih
dalam proses penyelidikan pihak Kepolisian.
Secara umum pemilik villa menyadari lemahnya posisi
hukum mereka terkait hak atas tanah, namun kesadaran kolektif
untuk memperjuangkan kepentingan bersama atas nama seluruh
100
pemilik Villa memberi ruang bagi penyelesaian yang diharapkan
tidak serta merta merugikan mereka yang telah menanamkan
investasi, diantaranya dalam jumlah yang cukup besar, mencapai
miliaran rupiah. Beberapa alternatif mereka tawarkan untuk
penyelesaian konflik (melalui kuasa hukum Eggy Sudjana &
Partner), diantaranya: mereka tidak akan menuntut status
kepemilikan tanah, hanya menginginkan untuk tetap diizinkan
memanfaatkan villa (hak menghuni villa) tersebut dengan kemauan
menaati peraturan yang berlaku, misal: pajak, restribusi, kewajiban
konservasi (menanam pohon-pohonan/ kegiatan penghijauan) dan
lain-lain sesuai kesepakatan.
Dalam memperjuangkan kepentingannya, selain menunjuk
kuasa hukum khusus atas nama warga Lokapurna, para pemilik villa
juga bersatu dengan masyarakat setempat melalui isu yang sama,
yakni bahwa Kementerian akan membongkar seluruh bangunan liar
yang berdiri di atas TNGHS tanpa kecuali.
Para pemilik villa juga mendesak pihak Pemerintah Daerah
untuk bersama-sama mempertahankan keberadaan villa.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pihak Pemerintah Daerah
dianggap ikut bertanggung jawab dalam hal pendirian villa
sebagaimana tertuang dalam surat keputusan bupati dan Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Propinsi (RTRWP), yang menggambarkan
posisi villa-villa sebagai promosi wisata andalan daerah.
101
Saat ini para pemilik villa masih menanti kepastian ‘hak
atas villa’, setelah Simbolis Penanaman yang diiringi dengan
deklarasi penyerahan villa yang diorganisir Kementerian Kehutanan
akhir 2010 yang lalu. Acara ini di lansir sejumlah media massa lokal
dan nasional, seakan-akan untuk mengumumkan ke publik bahwa
pemilik villa tidak dalam posisi ‘membangkang’ terhadap kebijakan
Kementerian Kehutanan. Di antara pemilik villa yang diundang
untuk melakukan simbolik saat ini berstatus sebagai Menteri,
Anggota DPR, Pengusaha, Artis maupun pemuka Agama. Untuk
selanjutnya para pemilik villa tetap menunggu penyelesaian yang
arif sebagaimana dijanjikan Kementerian Kehutanan dalam
negosiasi tertutup yang telah dilakukan sebelumnya.
2. Para Pihak Terkait
Terdapat unsur-unsur yang berafiliasi dengan aktor utama,
dalam hal kepentingan atau posisi menguatkan salah satu pihak atas
pihak yang lain, baik secara langsung maupung tidak langsung. Namun
unsur tertentu (contoh: akademisi), meskipun di awal tampat menguat di
pihak Kementerian Kehutanan, namun dalam kerangka resolusi, unsur
tertentu tersebut bisa berposisi di tengah, di antara kedua aktor utama.
Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, misalnya, dalam kasus ini
menunjukkan fakta adanya disharmoni kebijakan Pusat dan Daerah yang
102
berdampak pada ketidakpastian nasib masyarakat dan hilang atau
menurunnya potensi sumber daya.
AKADEMISI INVESTOR
KEMENTERIAN KEHUTANAN
PERS LVRI
LSM PERHUTANI DEPHAN
DPRD PEMDA
PEMILIK VILLA MASYARAKAT SETEMPAT
Keterangan Gambar
Hubungan/Dukungan Aktor Konflik
Aliansi yang Kuat Dukungan tdk Jelas
Konflik Dukungan Jelas
Aliansi yang Retak Tergantung kepentingan
Gambar 4.2. Peta Dasar Konflik Villa
103
a. BUMN Perum Perhutani
Perum Perhutani mendapat mandat dari pemerintah
(Kementerian Kehutanan) untuk mengelola hutan di seluruh Jawa,
kecuali DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Hutan Konservasi.
Termasuk dalam kewenangan tersebut adalah Kawasan hutan
Gunung Salak, Gunung Endut dan sekitarnya yang berfungsi sebagai
Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas total +73.375 Ha yang
berada dalam pemangkuan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat,
yang meliputi 3 (tiga) wilayah administratif: Bogor, Banten dan
Sukabumi. Kawasan itu sejak 10 Juni 2003, berdasar SK. 175/2003
diubah fungsinya dan ditunjuk sebagai bagian dari perluasan Taman
Nasional menjadi TNGHS. Di dalam areal perluasan sejumlah
+73.375 Ha tersebut terdapat areal seluas +256,77 Ha yang dimohon
ruislag untuk proyek pertanian veteran dan demobilisasi RI.
Proses ruislag (tukar menukar lahan) tidak pernah tuntas
karena pihak veteran tidak pernah bisa menyediakan lahan pengganti
sesuai ketentuan peraturan perundangan. Lebih dari itu tidak ada
ketegasan dari ‘pemegang kewenangan’ (dalam hal ini Perum
Perhutani dan Kementerian Kehutanan) untuk mengambil langkah-
langkah strategis dan pengamanan di lapangan. Secara administrasi,
ada upaya Kementerian Kehutanan dalam mengatasi persoalan
dengan mengeluarkan surat No. 239/Menhut-II/1987 tertanggal 10
Juli 1987 yang ditujukan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan
104
RI, yang salah satu butirnya menyebutkan bahwa Proyek Pertanian
Veteran dan Demobilisasi Republik Indonesia Lokapurna TIDAK
DIPERKENANKAN mengadakan kegiatan sebelum dapat
menyelesaikan calon tanah penukarnya. Namun, dalam praktek di
lapangan, terus terjadi pengingkaran atas ketentuan yang
menunjukan kenyataan adanya jual beli/alih garapan dan pendirian
villa. Pihak Perhutani seakan-akan tidak berdaya dalam menegakkan
fungsi pengawasan dan pengamanan lahan hutan Negara yang secara
operasional masih menjadi tanggung jawabnya. Diketahui beberapa
aparat ‘dari instansi yang menjadi cerita konflik’ bahkan ikut terlibat
dalam transaksi jual beli dan lebih parah lagi ditemukan adanya
kepemilikan villa atas nama salah satu pejabat instansi tersebut.
Pada saat eskalasi konflik (tahun 2009), kewenangan
pengelolaan lokasi eks Perhutani yang telah menjadi bagian TNGHS
sudah sepenuhnya berada di Kementerian Kehutanan sebagaimana
berita acara serah terima (secara administrasi) dari Dirjen PHKA
Dephut ke Direktur Utama Perum Perhutani No. 06/SJ/Dir/2009 dan
No.BA.5/IV/Set/2009 tertanggal 29 Januari 2009 serta serah terima
fisik kawasan eks Perhutani kepada Balai Taman Nasional Gunung
Halimun Salak dengan Berita Acara No. 004/BAST-Hukamas/ III/
2009 dan No. SKB.482/IV/T.13/Kerjasama/2009 tertanggal 28
Agustus 2009.
105
Warisan masalah eks tanah Perhutani sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Kementerian Kehutanan, meskipun dalam
penyelesaiannya tetap melibatkan Perhutani sebagai salah satu
pelaku sejarah.
b. Departemen Pertahanan
Dalam rangka Pertahanan dan Keamanan rakyat semesta,
Departemen Pertahanan (Dephan) berfungsi dalam pembinaan LVRI
sebagai komponen cadangan Hankam Negara. Di masa Kabinet
Ampera I (periode 25 Juli 1966 – 17 Oktober 1967) urusan veteran
menjadi tanggung jawab Menteri Veteran dan Demobilisasi sebagai
bagian dari anggota kabinet pertahanan dan keamanan. Sesaat
sebelum Kabinet Ampera I berakhir, yakni tanggal 4 Oktober 1967,
Menteri Veteran dan Demobilisasi mengeluarkan Surat No.
72/Kpts/MENVED/1967, mengenai persetujuan membuka proyek
pertanian dan peternakan oleh veteran setempat. Surat tersebut
dimaksudkan untuk menjawab permohonan para veteran terkait izin
menggarap tanah kehtuanan rawalega, Pasirmalang RPH Gunung
Bunder seluas 70 Ha. Untuk selanjutnya pergantian Presiden (1967)
merubah struktur kabinet, yang menempatkan permasalahan ini
menjadi wilayah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephan).
Di lapangan, penggunaan kawasan hutan Perhutani untuk Proyek
Pertanian ini akhirnya meluas mencapai 560 Ha di areal Hutan
106
Lindung dan Hutan Produksi, yang tidak hanya dimanfaatkan oleh
anggota veteran tetapi justru sebagian besar adalah pendatang akibat
jual beli illegal oleh pengurus LVRI. Kondisi ini dibiarkan berlarut-
larut oleh pemegang kewenangan.
Dalam proses ruislag, Dephan berkapasitas menunjuk calon
tanah pengganti, namun pendanaan dibebankan ke Departemen
Keuangan. Depkeu menjawab bahwa persoalan veteran tidak dalam
otoritasnya. Ini berdampak pada berlarut-larut proses karena Dephan
tidak juga bisa menyediakan Tanah pengganti yang clear dan clean.
Ketika akhirnya tiga puluh tahun berselang, muncul
sengketa di tubuh internal organisasi LVRI. Sekelompok orang
mengatasnamakan perwakilan dari YPLP, BALAK LVRI dan LVRI
Markas Ranting (MaRan) Kecamatan Pamijahan. Masing-masing
mengklaim sebagai pihak yang paling berwenang dalam
menindaklanjuti proses ruislag. Dephan menjawab surat
Kementerian Kehutanan yang mempertanyakan organisasi LVRI
mana yang paling berwenang, melalui surat
No.B/il97/08/38/69/DJKUAT tertanggal 23 November 2007,
Dephan menyampaikan bahwa tidak dalam posisi dapat memutuskan
organisasi veteran yang paling berhak atas tukar menukar kawasan
tersebut dan Dephan menyarankan Dephut untuk langsung
berkoordinasi dengan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LVRI.
107
c. Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)
Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia atau
disingkat dengan LVRI10 didirikan dan disahkan oleh Kongres
Nasional Pejuang Kemerdekaan Seluruh Indonesia yang diadakan
pada tanggal 22 Desember 1956 sampai dengan 2 Januari 1957 di
Jakarta untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Penetapan sebagai
organisasi yang sah berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 103
tahun 1957 tertanggal 2 Januari 1957 bersamaan dengan pelantikan
Badan Pimpinan Pusat LVRI yang pertama oleh Presiden Soekarno.
Untuk selanjutnya organisasi ini memiliki kedudukan yang istimewa
mengingat pendiriannya melalui Keputusan Presiden RI, termasuk
juga Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta
pengangkatan anggota Pimpinan Pusat dan Dewan Paripurna Pusat
LVRI disahkan melalui Keputusan Presiden.
Legiun Veteran Republik Indonesia11 adalah organisasi
yang merupakan satu-satunya wadah dan sarana perjuangan segenap
Veteran RI, yang dibentuk berdasarkan persamaan kehendak, bidang
kegiatan, profesi dan fungsinya untuk berperan serta dalam;
Pewarisan Nilai Juang 1945, Pembangunan Nasioal dan
Pertahanan dan Keamanan Nasional. veteran pembela yang
10 http://lvrijawabarat.blogspot.com 11 www.veteranri.go.id
108
merupakan pensiunan TNI Polisi maupun mereka yang terpanggil
meneruskan perjuangan menjaga NKRI.
Terbentuknya Legiun Veteran Republik Indonesia dan
berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,
merupakan suatu penghargaan dan penghormatan dari Pemerintah
dan Rakyat Indonesia atas perjuangan para veteran di masa
perjuangan menuju kemerdekaan RI.
Berdasarkan Surat Keputusan Departemen Pertahanan No.
KEP/02/M/1/2003 tanggal 29 Januari 2008 tentang Ruang Lingkup
Pengertian Veteran Republik Indonesia adalah (1). Kesatuan
Bersenjata Resmi atau Kelaskaran yang tercantum dalam Undang-
Undang No. 7 Tahun 1967 mengandung pengertian Kesatuan,
Bersenjata Resmi atau Kelaskaran yang didalamnya mencakup
satuan tempur, satuan bantuan tempur dan satuan bantuan
administrasi; (2) Yang termasuk kedalam satuan bantuan
administrasi adalah antara lain satuan PMI yang melaksanakan
fungsi Kesehatan, Dapur Umum yang melaksanakan fungsi
Perbekalan, Perhubungan/caraka/kurir yang melaksanakan fungsi
komunikasi.
Dalam rangka menjalankan roda organisasi, LVRI12
menjalin kerjasama dengan Departemen Pertahanan dan TNI/POLRI
dalam rangka pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai
12 http://www.lvrijawabarat.blogspot.com
109
komponen cadangan dan dalam usaha peningkatan daya guna
organisasi dan kesejahteraan anggotanya menjalin kerjasama dengan
Departemen terkait lainnya seperti Departemen Pertahanan, Dalam
Negeri, Luar Negeri, Sosial, Pendidikan Nasional dan Sekretariat
Negara beserta jajaran ke bawahnya dengan mengacu pada BAB III
dan BAB V Pasal 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1967 tentang
Veteran Republik Indonesia. Sedangkan dalam rangka membina
persatuan dan kesatuan bangsa, LVRI menjalin hubungan kemitraan
dengan organisasi kemasyarakatan lainnya yang memiliki cita-cita
dan tujuan sama dengan organisasi LVRI.
Struktur Organisasi LVRI terkini mengacu pada KEPPRES
No. 14 tahun 2007 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia, terdiri dari
DPP LVRI (Dewan Pimpinan Pusat) yang berada di Jakarta, DPD
(Dewan Pimpinan Daerah) LVRI Propinsi, DPR (Dewan Pimpinan
Ranting) tingkat Kecamatan.
Berdasar tipologi, kelompok veteran RI terbagi atas dua,
yaitu : (1) Veteran Pejuang, yakni Mereka yang ikut serta secara
aktif berjuang dan bertempur dalam perang Kemerdekaan dari
tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 dengan
masa bakti minimal 6 bulan; (2) Veteran Pembela, yakni Mereka
yang ikut serta secara aktif berjuang dan bertempur dalam operasi-
operasi militer melawan tentara asing, (a) Operasi Militer Trikora
110
dari tanggal 19 Desember 1961 sampai dengan 1 Mei 1963 dengan
masa bakti minimal 3 bulan; (b) Operasi Militerρ Dwikora dari
tanggal 3 Mei 1964 sampai dengan 11 Agustus 1966 dengan masa
bakti minimal 3 bulan; (c) Operasi Militer Timor-Timur, tanggal
21 Mei 1975 sampai dengan 4 Agustus 1976 dengan masa bakti
minimal 3 bulan.
Pada satu atau lebih Propinsi / Daerah Istimewa / Daerah
Khusus dibentuk Dewan Pimpinan Daerah LVRI oleh Musyawarah
Daerah LVRI serta membawahkan sedikitnya tiga Cabang. DPD
LVRI bermarkas di Markas Daerah LVRI. Pada satu atau lebih
Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pimpinan Cabang LVRI oleh
Musyawarah Cabang LVRI serta membawahkan sedikitnya tiga
Ranting. DPC LVRI bermarkas di Markas Cabang LVRI. Pada satu
atau lebih Kecamatan dibentuk Dewan Pimpinan Ranting LVRI oleh
Musyawarah Ranting (MusRan) LVRI serta mempunyai anggota
sedikitnya 45 orang Veteran RI dan setiap 15 orang Veteran RI
membentuk satu kelompok Veteran RI. DPR LVRI bermarkas di
Markas Ranting (MaRan) LVRI.
Hal-hal terkait pembentukan dan organisasi LVRI
menunjukkan bahwa dalam kasus ruislag (tukar menukar kawasan)
menjadi sangat wajar apabila LVRI mendapat kesempatan untuk
memperoleh keistimewaan. Apabila pemanfaatannya sesuai tujuan
dan prosesnya memenuhi ketentuan yang berlaku, LVRI pantas
111
untuk mendapat perhatian dari Pemerintah dalam hal peningkatan
kesejahteraan dan jaminan tempat tinggal. Namun sayang, akibat
kepengurusan yang tidak mantap dan banyak penyelewangan
mengakibatkan anggota veteran menjadi terabaikan. Tanah di
Lokapurna yang seyogyanya diperuntukkan untuk memfasilitasi
anggota veteran pada akhirnya diperjualbelikan dalam status masih
ruislag. Di dalam tubuh organisasi LVRI sendiri terdikotomi oleh
kepentingan masing-masing, terdapat tiga kelompok yang
mengatasnamakan LVRI dan mengklaim sebagai organisasi LVRI
yang sah untuk menindaklanjuti proses ruislag, yakni: YPLP, Balak
LVRI dan LVRI Maran Kec.Pamijahan). namun berdasarkan hasil
pembahasan bersama tanggal 1 April 2008 di ruang Kementerian
Kehutanan, akhirnya disepakati bahwa persoalan ruislag akan tetap
diteruskan dan diambil alih langsung oleh MABES LVRI.
d. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor
Dalam banyak cerita konflik lahan dan kebijakan, termasuk
kasus alih fungsi lahan, Pemerintah Daerah hampir selalu berada
pada kisaran utama konflik, utamanya di masa pemberlakuan
otonomi daerah. Pergeseran pendulum sentralisasi ke desentralisasi
yang dilegitimasi UU No.22 dan 25 tahun 1999, disebutkan oleh
112
Prof. Ichlasul Amal (2005)13 melalui proses yang sangat tergesa-gesa
untuk memenuhi tuntutan politik. Lebih lanjut disebutkan bahwa
kedua Undang-Undang tersebut dianggap sebagai bagian dari
Demokrasi yang kebablasan.
Mendasarkan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah,
ayat 1 menyebutkan bahwa Daerah berwenang mengelola sumber
daya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab
memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-
undangan. Pasal tersebut menjadi ‘kartu sakti’ Pemda untuk berhak
atas hutan di wilayahnya. Sangat dimaklumi bahwa hutan dan
sumber daya yang ada didalamnya menjadi aset penting yang
dianggap ‘liquid’ sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang dalam pelaksanaannya seringkali tidak berkoordinasi dengan
Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah berorientasi pada peningkatan PAD,
sementara sisi lain kepentingan konservasi dan sosial sering menjadi
tidak menarik. Dalam menangani perambah misalnya, para
perambah yang hidup di dalam kawasan hutan dengan kondisi sangat
miskin tidak menjadi perhatian Pemda dalam penanganannya.
Pemda tampak acuh dalam persoalan kemiskinan masyarakat desa
hutan dan menganggap itu sebagai tanggung jawab Kementerian
Kehutanan. Berbagai program digulirkan untuk mengatasi persoalan
13 Makalah ‘Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI’ disampaikan pada Temu Konsultasi Program legislasi Daerah tanggal 13‐15 September 2005. Inna Putri Bali. Bali.
113
kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang
diinisiasi Kementerian Kehutanan, meskipun dalam pelaksanaannya
melibatkan Pemda sebagai mitra. Sebaliknya, ketika isu beralih ke
eksploitasi dan investasi, Pemda tampil sebagai pihak terdepan
dengan berbekal UU Otonomi Daerah.
Kasus villa yang dianggap liar ini menjadi cerminan
kegagalan para pemangku amanah dalam mensinergikan kebijakan.
Kawasan Lokapurna yang masih dalam hak kelola Perhutani
(sebelum 2003) dengan status Hutan Produksi, secara sepihak
ditetapkan Pemda sebagai Kawasan Wisata nasional. Surat
penetapan sebagai kawasan wisata dan upaya mendorong para
investor untuk berinvestasi di lokasi di maksud untuk mendirikan
villa-villa, hotel, menara dan sebagainya ‘seolah-olah’ mengabaikan
proses ruislag yang sedang berjalan antara pihak LVRI dengan
Kementerian Kehutanan.
Konsekuensi dari penetapan sebagai kawasan wisata adalah
adanya kewajiban retribusi jasa wisata bagi pemilik villa dan
pengunjung yang secara permanen ditetapkan melalui Peraturan
Daerah. Uniknya, pihak Kementerian Kehutanan dan Perum
Perhutani seperti tak berdaya.
Posisi berubah setelah Menteri Kehutanan menunjuk
Lokapurna sebagai bagian dari perluasan TNGHS. UU.No.41 tahun
1999 menyebutkan bahwa Taman Nasional merupakan bentuk
114
pelestarian alam untuk tujuan konservasi. Lebih lanjut merujuk pada
UU.22/1999 disebutkan semua kewenangan Pemerintah Pusat untuk
urusan kehutanan diserahkan kepada daerah, kecuali untuk
pengelolaan kawasan Konservasi.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor saat ini menjadi mitra
dalam upaya penyelesaian villa Lokapurna. Dalam keterangan pers,
tanggal 15 April 201014, Kepala Seksi Pengawasan Bangunan dan
Perumahan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor
menyatakan bahwa para pemilik villa jelas-jelas telah melanggar
UU. No.41/1999 tentang Kehutanan dan UU. No.26/2007 pasal 70
ayat 1 dan 2 yang menyebutkan izin pemanfaatan ruang tidak sesuai
peruntukannya bisa terkena hukuman kurungan paling lama tiga
tahun hingga lima tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta
rupiah hingga 1 miliar.
Sebelumnya, Pemda ikut memanfaatkan dan berperan
dalam menghidupkan lokasi Lokapurna, yang dibuktikan dengan
sarana prasarana wisata yang dibangun melalui APBD seperti: jalan
hotmix, berbgai fasilitas umum (mushola, toilet dsb), Pintu gerbang,
Information center, Pemandian air panas, kolam renang, track
jogging, lokasi parkir, termasuk yang disebutkan sebelumnya, yakni
mengundang investor untuk memanfaatkan tanah ruislag tersebut.
14 www.vibizdaily.com/beritapolhukam/DPRD Kab. Bogor merekomendasikan penghentian, penyegelan, dan pembongkaran villa. 15 April 2010, diakses 1 Maret 2011.
115
e. Akademisi
Reaksi pro kontra setelah ‘penunjukan kawasan TNGHS’
menjadikan posisi akademisi menjadi bagian paling strategis dalam
pengambilan kebijakan. Setidaknya melibatkan dua universitas besar
yang terdekat dengan lokasi TNGHS untuk melakukan kajian teknis
diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah untuk kepentingan
konservasi dan kemungkinan investasi. Design ekowisata yang akan
diterapkan di zona pemanfaatan dan zona lain dari TNGHS sedang
dalam kajian tim terpadu, yang beberapa diantaranya melibatkan
akademisi. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak 2007-2026 merekomendasikan untuk perlu melibatkan
antropolog dan sosiolog dalam mengidentifikasi ruang kelola
masyarakat adat dan non adat.
f. Aktivis (LSM) Lingkungan
Beberapa LSM, seperti: Walhi dan LSM lokal mendesak
Pemerintah untuk segera membongkar Villa-Villa yang dianggap liar
yang berdiri di atas lahan konservasi. Mereka menganggap pendirian
villa adalah wujud pelanggaran hukum dan berpotensi mengganggu
fungsi konservasi hutan.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dalam kasus villa
yang dianggap liar tidak menunjukan keberpihakan yang jelas, hal
ini dapat dipahami mengingat aktivitas LSM yang didominasi untuk
116
mengkritisi kebijakan dan di bagian yang lain juga menunjukkan
ketidaksenangan terhadap pemilik villa yang berasal dari
pejabat/politisi aktif.
g. Investor
Aktor lain yang tampaknya menyambut baik kebijakan
pembongkaran villa adalah para Investor di bidang ekowisata. Salah
satu diantara yang mengincar kawasan Gunung Salak Endah untuk
sasaran investasi adalah PT. Bakrieland Development melalui PT.
Graha Andrasentra Propertindo yang berkeinginan membangun dan
mengelola kawasan ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak seluas 1000 Ha.
Kawasan Gunung Salak Endah tersebut termasuk ke dalam
master plan pengembangan ekowisata yang akan dikembangkan.
Pengajuan proposal terkait Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)
PT. Bakrieland tersebut saat tulisan ini dibuat, masih dalam proses
kajian Departemen Kehutanan.
h. Pers
Media Massa, baik cetak maupun elektronik dalam hal ini
berperan dalam membentuk opini publik terkait keberadaan Villa
tersebut. Kecenderungan Pers memberitakan sepihak, kepentingan
Departemen Kehutanan dan lingkungan, tampaknya sering tidak
117
memperhatikan aspek lain yang dapat lebih mensejajarkan posisi
pihak yang berkonflik.
Pemberitaan media secara umum menempatkan Pemilik
Villa sebagai pihak yang terpojok, tanpa ada penjelasan secara runut
terkait hal-hal strategis atas proses ruislag kawasan hutan dimaksud.
Namun dalam konteks ini, Pers dianggap cukup ampuh untuk
menggiring pendapat awam untuk langsung secara cepat menuding
pihak Pemilik Villa sebagai satu-satunya yang bersalah. Tentu hal ini
tidak terlepas dari nilai jual berita, mengingat para pemilik villa
adalah public figure yang terkondisikan untuk senantiasa taat hukum
dan tidak cedera etika. Pendapat awam menyatakan pendirian villa di
atas tanah Negara dianggap bentuk bentuk pelanggaran hukum dan
norma, terkecuali penjelasan atas ‘kelemahan manajemen kehutanan’
dalam penanganan ruislag dapat menjadi penyeimbang opini.
i. Masyarakat Lokapurna
Sebagian masyarakat Lokapurna telah ada sejak tahun 1967,
sejak pengajuan lokasi hutan dimaksud diperuntukkan menjadi
Proyek Pertanian Veteran dan Demobilisasi RI. Beberapa merupakan
turunan veteran dan bergabung dengan pendatang, baik dari lokasi
sekitar maupun dari daerah yang jauh, seperti dari Jawa Tengah
bahkan Sumatera, tetapi dominasi penduduk (98%) berasal dari etnis
Sunda. Masyarakat di kawasan Gunung Salak endah tersebut hidup
118
secara turun temurun dengan mata pencaharian pokok sebagai
petani/peladang.
Sejak berdiri Villa dan ditetapkannya kawasan Gunung
Salak Endah sebagai Kawasan wisata alternatif setelah Puncak
Bogor sesuai Surat Bupati No.550.1/057-DIP, tertanggal 25 Februari
1989, banyak warga masyarakat yang beralih pekerjaan ke sektor
jasa wisata, seperti menjadi Tour Guide, Penunggu Villa,
Pengamanan lokasi, tukang parkir dan lain-lain yang juga berkaitan
dengan kepentingan wisata, misal menjadi tukang ojeg dan supir
angkutan umum.
Data terakhir menunjukkan perkembangan pesat jumlah
penduduk di Lokasi proyek eks veteran tersebut, yakni mencapai 500
KK dengan total penduduk mencapai 1800 orang*).
Kehidupan masyarakat di lokasi ini sudah lebih modern,
ditunjukkan dengan adanya jaringan listrik yang berada di lokasi
tersebut, juga jaringan telekomunikasi dengan rata-rata setiap rumah
memiliki Televisi, Motor, Handphone dan beberapa fasilitas modern
lain termasuk cara berpakaian.
Masyarakat di lokasi ini mengakui bahwa keberadaan Villa-
Villa di perkampungan mereka telah merubah penghidupan dan
kondisi sosial ekonomi wilayah tersebut. Masyarakat ini yang
disebutkan oleh Samuel L.Popkin sebagai Masyarakat rasional yang
memungkinkan diberi kesempatan atas peluang kerja yang baru.
119
j. DPRD Tk.II Kabupaten Bogor
Dalam fungsinya sebagai wakil rakyat, DPRD Kabupaten
Bogor menunjukan keberpihakannya kepada pemilik villa dan
masyarakat setempat. Hal ini terlihat pada saat pemilik villa dan
perwakilan masyarakat setempat mengadu ke DPRD terkait rencana
Kementerian Kehutanan membongkar villa-villa dan bangunan liar
yang terdapat di TNGHS. DPRD menyampaikan rekomendasi untuk
menghentikan penyegelan dan pembongkaran15.
Mendasarkan pada kronologis kejadian konflik yang telah diurai di
bab sebelumnya, dalam kasus ini, manajemen BUMN Perum Perhutani bisa
dianggap sebagai pihak yang memiliki peran yang setidaknya setara dengan
Kementerian Kehutanan sebagai induk kewenangan. Status lahan Lokasi
Lokapurna tempat Villa-Villa berdiri semula berada di kawasan hutan
kewenangan BUMN Perum Perhutani yang kemudian mengalami proses
tukar menukar kawasan (ruislag), yang dimungkinkan oleh produk hukum
kehutanan melalui persetujuan Menteri Kehutanan dengan ketentuan-
ketentuan yang ketat. Meskipun setelah proses ruislag, seolah-olah persoalan
Lokapurna menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan, namun dalam
operasional di lapangan dan pengamanan lokasi masih dalam kewenangan
BUMN Perum Perhutani, sebagaimana tercantum dalam PP No.30 tahun
2003 tentang Perum Perhutani jo. PP No.36 tahun 1986 dinyatakan bahwa
15 www.vibizdaily.com/beritapolhukam/DPRD_Kabupaten_Bogor_Rekomendasikan Penghentian_Penyegelan_dan Pembongkaran. 15 April 2010 diakses 1 Maret 2011.
120
Wilayah Kerja Perusahaan meliputi seluruh Hutan Negara yang terdapat di
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Banten, kecuali Kawasan Hutan Konservasi. Ini berarti bahwa
sebelum adanya perubahan kawasan hutan menjadi kawasan Konservasi,
kewenangan sepenuhnya masih di Perum Perhutani. Dikeluarkannya SK
Menteri kehutanan No.175/2003 tentang Penunjukan Kawasan Konservasi
dari sisi legal formal belum berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak serta
merta mengalihkan hak pengelolaan dari Perum Perhutani ke Kementerian
Kehutanan. Terjadi kondisi ‘status quo’ setelah penerbitan SK 175/2003
sampai kemudian dilakukan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Hutan
dari Perum Perhutani kepada Kementerian Kehutanan pada tanggal 29 januari
2009. Serah terima tersebut juga tidak serta merta menyebabkan
tertanganinya berbagai persoalan yang ada, khususnya terkait Villa yang
dianggap liar sampai kemudian di level operasional dilakukan serah terima
pengelolaan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak tertanggal 28 Agustus 2009
yang penandatanganannya dilakukan di Bandung.
Hal tersebut menjelaskan bahwa kegiatan alih fungsi hutan yang
terjadi di lokasi eks Perum Perhutani tersebut bisa diduga dari dua aspek,
yakni terdapat keterlibatan ‘oknum Perum Perhutani’ yang memfasilitasi
terbangunnya Villa yang saat ini Liar atau kemungkinan kedua yang lain
adalah adanya ‘pembiaran’ dari manajemen terhadap jual beli illegal tanah
Negara tersebut. Kondisi status quo menyebabkan perkembangan alih fungsi
121
atau over garapan bertambah parah, seperti pengakuan masyarakat setempat
yang menyatakan bahwa setelah tahun 2003, semakin banyak Villa berdiri di
lokasi tersebut yang sebelumnya hanya berkisar sejumlah 80 Villa.
Gambar 4.3 Salah Satu Villa di Lokasi Lokapurna Gn.Salak Endah
Alih kepemilikan yang tidak terkendali dalam ‘status quo’
sebelumnya, akhirnya pada tahap eskalasi menunjukkan bahwa proses alih
garap illegal yang dibiarkan berpuluh-puluh tahun ini menimbulkan dampak
yang merugikan kedua belah pihak. Kementerian Kehutanan sebagai
pemegang amanah atas klaim hutan Negara mendasarkan pada SK.175/2003
merasa berhak untuk membongkar Villa-Villa yang dianggap liar yang berada
di lokasi Lokapurna tersebut, sedangkan di sisi lain, pemilik Villa merasa
kepemilikan mereka dilakukan melalui proses jual beli yang sah, dibuktikan
kuitansi pembelian (yang disaksikan aparat setempat), termasuk ketaatan
mereka dalam membayar pajak (SPPT-PBB) ke Negara setiap tahunnya.
Bahkan Pemilik Villa merasa telah menunaikan kewajiban mereka pada
Pemerintah Daerah setempat yang mewajibkan membayar Restribusi bulanan
serta Pajak Daerah (terdapat bukti NPWD). Hal ini beriringan dengan Surat
122
Keputusan Bupati No. 550.1/057-DIP, tertanggal 25 Februari 1989 yang
menetapkan Kawasan Lokapurna sebagai Kawasan Wisata Nasional
Alternatif setelah Puncak Bogor.
Meskipun pada kondisi eskalasi, BUMN Perum Perhutani tampak
tidak muncul di lingkaran konflik namun dalam upaya resolusi, BUMN ini
bermitra dengan Kementerian Kehutanan dalam kapasitasnya sebagai pelaku
sejarah dalam peristiwa ruislag.
Komponen lain, yaitu Departemen Pertahanan dan Yayasan LVRI
berada di pihak Kementerian Kehutanan dalam mendorong pembongkaran
Villa dan penertiban kembali kawasan karena keduanya diasumsikan
memiliki kepentingan untuk menguasai kawasan tersebut sebagaimana
tertuang dalam resume rapat terpadu 8 April 2008 yang melibatkan Markas
Besar LVRI, secara lugas menyampaikan maksud LVRI untuk tetap
memproses tukar menukar kawasan di lokasi yang sama yang saat ini telah
berdiri Villa-Villa tersebut.
Sedangkan akademisi dan aktivis lingkungan, sesuai kepentingan
menyuarakan konservasi dalam hal pengamanan keanekaragaman hayati
memberi argumentasi yang tampak berpihak pada Kementerian Kehutanan.
Meskipun selanjutnya dalam proses deeskalasi, ada kecenderungan untuk
mendorong resolusi yang memposisikan win-win bagi kedua aktor utama
yang berkonflik. Beberapa penelitian akademisi, misalnya Dr. Pratiwi dari
IPB, yang mengambil riset disertasi mengenai ekowisata di TNGHS, serta
kajian tim teknis yang beranggotakan akademisi dan LSM, tampaknya
123
menguatkan rekonsiliasi pihak-pihak bertikai untuk mendapatkan
penyelesaian terbaik dalam kasus-kasus yang diistilahkan Pemerintah sebagai
‘perambahan hutan’.
Pers atau media massa dalam hal ini memainkan peranan penting
dalam pencitraan permasalahan. Beberapa kliping media massa terkait
pendirian villa-villa liar terlihat sangat berat sebelah, dengan hanya
memandang sisi Kementerian Kehutanan, meskipun atas nama Kepentingan
Konservasi. Namun pemberitaan sepihak tampak tidak memunculkan aspek
‘ketidakberdayaan pemerintah’ dalam menyelesaikan kasus secara cepat.
Seolah-olah kesalahan sepihak berada di pihak pemilik Villa.
Meskipun Penulis dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan
kegiatan perambahan yang dilakukan ‘bukan sekedar untuk bertahan hidup’,
namun dalam kasus ini jelas terlihat bahwa dalam kondisi eskalasi Pemilik
Villa tersudut dengan pemberitaan yang kurang seimbang.
Pemilik Villa berafiliasi dengan masyarakat setempat dalam
memperjuangkan kepentingannya, tentu hal ini difahami karena kedua unsur
tersebut memiliki kepentingan yang sama dalam hubungan mutualisme.
Keberadaan Villa di lokasi tersebut secara signifikan telah merubah
penghidupan masyarakat setempat yang semula hanya mengandalkan sektor
pertanian dan sejenisnya ke sektor jasa wisata, yang menurut pengakuan
perwakilan masyarakat setempat, sektor yang disebut terakhir tersebut telah
mengangkat tingkat kesejahteraan mereka. Sarana dan prasarana Desa pun
berangsur membaik seiring dengan berdirinya Villa-Villa tersebut. Sebagian
124
kecil merupakan swadana masyarakat, namun sebagian besar fasilitas umum
dan sosial berasal dari Pemerintah Daerah setempat, yang dialokasikan dari
APBD dalam kapasitas meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
sektor pariwisata. Di periode tahun 1990an, dukungan Pemerintah Daerah
terhadap keberadaan Villa-Villa tersebut semakin nyata dengan Penetapan
kawasan tersebut sebagai Kawasan wisata alternatif, sebagaimana SK Bupati
dimaksud, lebih lanjut hal ini menjadi bagian yang menarik untuk diulas lebih
mendalam dalam penelitian yang memfokuskan pada disparitas Pemerintah
Pusat dan Daerah dalam implementasi kebijakan kehutanan khususnya.
Persoalan otonomi daerah (desentralisasi) masih terus menjadi
diskursus yang belum berujung karena tingginya egosektoral antar masing-
masing pihak berkepentingan. Untuk khusus urusan kehutanan, disparitas
kebijakan tidak hanya mengganggu aspek ekonomi daerah atau nasional
namun secara luas dalam jangka panjang dikuatirkan akan berdampak pada
kerusakan hutan yang mengakibatkan terganggunya stabilitas ekosistem.
Kasus villa yang dianggap liar dan TNGHS akan menjadi model
bagi pengelolaan hutan ke depan, mengingat kompleksitas permasalahan
didalamnya mewakili sumber-sumber konflik yang relatif sama dan
memerlukan penanganan segera dengan mendorong komitmen semua pihak
(berkepentingan). Komitmen yang diharapkan tentunya adalah kesepahaman
terhadap itikad baik konservasi, yang secara nyata bertujuan menjaga
stabilitas ekosistem dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. kesadaran
masing-masing pihak sesuai kapasitas dan kemampuan yang memungkinkan
125
akan menjadikan isu konservasi bukan hanya sekedar ‘kepentingan
entertainment’ atau sekedar ‘mendatangkan investor’ semata.
D. Analogi Bawang Bombay dalam Isu Konservasi
Fisher dkk (2000) menggunakan analogi bawang Bombay untuk
menganalisis perbedaan pandangan terhadap konflik dari pihak-pihak yang
berkonflik. Lebih lanjut disebutkan pada analogi ini penting bagi kita untuk
mampu mencari titik kesamaan di antara individu/kelompok yang berkonflik
untuk selanjutnya dapat menjadi landasan bernegosiasi atau memediasi.
Tabel 4.1. Analogi Bawang Bombay kasus Villa Lokapurna
Kementerian Kehutanan Pemilik Villa
Posisi - Mendorong implementasi SK.
175/2003 tentang penunjukan
TNGHS sebagai kawasan
konservasi.
- Mensterilkan kawasan konservasi
dengan membongkar villa dan
bangunan lain yang dianggap liar.
- Menyatakan bahwa jual beli
tanah sah dan diketahui
oleh aparat setempat.
- Keberadaan villa-villa
diperkuat oleh SK Bupati
Bogor utk pengembangan
wisata daerah.
Kepentingan - Menunjukkan pada dunia
internasional tentang concern
Kemenhut terhadap konservasi.
- Merehabilitasi hutan yang rusak
- Mengamankan kebijakan konservasi
- Pengakuan dan status atas
hak tanah dan villa
- Memanfaatkan villa untuk
berbagai kepentingan,
misalnya: rekreasi
Kebutuhan - Proporsional fungsi Ekologi,
Ekonomi dan Sosial
- Hak memanfaatkan villa
126
Analogi bawang Bombay16 yang dipopulerkan oleh Simon Fisher
dkk tersebut diatas menggambarkan perbedaan pandangan dari pihak-pihak
yang berkonflik. Posisi menggambarkan apa yang dapat di lihat dan di dengar
oleh semua orang. Dalam situasi konflik, Kementerian Kehutanan
menunjukkan kepada publik ketegasannya untuk membongkar villa atau
bangunan lain yang dianggap liar yang berdiri di atas tanah yang telah
ditunjuk sebagai kawasan konservasi sebagaimana SK 175/2003. Pihak lain,
yakni para pemilik villa menunjukan reaksi untuk di dengar publik bahwa
mereka berhak mempertahankan villa karena diperoleh dengan transaksi jual
beli yang sah, diantaranya dengan menunjukkan bukti-bukti pembelian atas
tanah yang berstatus ruislag (dalam proses tukar menukar kawasan).
Sedangkan Kepentingan menggambarkan apa yang ingin di capai
oleh pihak-pihak yang berkonflik. Apabila ditilik lebih jauh, banyak sekali
kejadian perambahan bahkan yang berskala luas (terutama banyak terjadi atas
hutan di luar jawa), publik mempertanyakan mengapa Villa Lokapurna
Kawasan Gunung Salak Endah TNGHS dipilih untuk diekspose atas nama
konservasi dan media sangat antusias merespon isu tersebut. Ada kepentingan
besar dari Kementerian Kehutanan untuk menunjukan pada dunia bahwa
instansi tersebut serius dalam upaya konservasi. Mengangkat isu villa liar
‘sesuai strategi kementerian’ mendapat respon positif dari media karena
sangat ‘bernilai jual’ mengingat aktor konflik melibatkan petinggi Negara
yang berada di lingkaran kekuasaan dan terkondisikan pula dengan
16 Simon Fisher dkk, 2000. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. Zed Books Ltd. United Kingdom
127
memanasnya situasi politik saat itu. Sedangkan pemilik villa berkepentingan
atas kepastian status dan pengakuan hak untuk melegalkan pemanfaatan atas
villa mereka.
Pada kondisi eskalasi, posisi dan kepentingan masing-masing pihak
berkonflik tampak sangat menonjol, seakan-akan tidak memberi ruang untuk
mendapatkan titik temu. Namun klrasifikasi atas kebutuhan dasar mereka
tersirat dari berbagai pernyataan keduanya yang pada kondisi deeskalasi
terlansir oleh media. Prinsipnya pihak Kementerian Kehutanan menginginkan
hutannya tetap terjaga dan lestari dengan mengoptimalkan tiga kemanfaatan
atas hutan, yakni fungsi Ekologi, Ekonomi dan Sosial. Fokusnya adalah
bahwa konservasi tidak menutup ruang pihak lain untuk berpartisipasi.
Penataan kembali TNGHS melalui sistem zonasi melalui kompromi
multipihak termasuk pemilik villa menjadikan kebutuhan dasar Kementerian
Kehutanan dapat dipertemukan dengan Pemilik villa. Sebagaimana tawaran
solusi yang diberikan pihak pemilik villa untuk tidak mengharap status
kepemilikan atas tanah yang diakui sebagai kawasan hutan Negara, namun
diberi hak memanfaatkan villa dengan konsekuensi beban kewajiban.
Mengupayakan resolusi dengan mengkombinasikan kebutuhan dasar masing-
masing pihak agar saling menguntungkan dapat dilakukan melalui proses
negosiasi maupun mediasi yang lebih substantif.
Selanjutnya bisa dikaji kemungkinan mempertemukan keduanya
dengan menawarkan solusi, misalnya: (1) Status hutan Negara tetap tidak bisa
dimiliki, hanya dapat dibuka kemungkinan untuk dapat memanfaatkan
128
dengan aturan-aturan dan pengawasan yang ketat; (2) memasukkan lokasi
villa ke dalam zonasi pemanfaatan atau zonasi lainnya, dengan meninjau
keberadaan villa untuk mengikuti kaidah-kaidah konservasi, seperti: tidak
berada di lahan dengan kemiringan lebih dari 40%; luasan bidang dasar
bangunan maksimal adalah 5% dari total lahan (mengadopsi KEPPRES 79
yang secara khusus mengatur villa di Puncak Bogor); Bangunan villa berupa
rumah panggung (untuk lebih mengoptimalkan konservasi tanah);
membangun sumur resapan; ikut menghijaukan TNGHS; menyumbang
kegiatan konservasi TNGHS dan sebagainya.
Tampaknya mempertemukan kebutuhan dari pemilik villa dan pihak
Kementerian Kehutanan akan jauh lebih mudah karena diasumsikan bahwa
pemilik villa tidak terganjal oleh persoalan ekonomi dengan level
pengetahuan yang lebih baik, sehingga isu konservasi ini lebih mudah
didekatkan melalui negoisasi, meskipun sifat keuntungan akan sangat
personal sekalipun. Pemilik villa bisa jadi akan didudukkan sebagai investor
yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu program Reboisasi dan
upaya konservasi lain, dengan imbalan dapat memanfaatkan villa, namun
tetap dalam koridor pelestarian yang mengindahkan kaidah silvikultur.
Sebagian besar pemilik villa menjadikan villa mereka sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan rohani, dengan memanfaatkannya sebagai tempat
berlibur dari kepenatan daerah Ibukota, dan seringkali nilai-nilai seperti ini
sifatnya intangible (tidak terukur). Ruang negosiasi memungkinkan di level
kebutuhan mendasar yang baru saja disebutkan.
129
Di luar pembahasan tersebut, persoalan penting yang menyangkut
kredibilitas dari Kementerian yang dipandang perlu untuk diperbaiki citra dan
kinerjanya. Rumor umum yang menyatakan kegagalan Kementerian
Kehutanan dalam mengatasi berbagai persoalan di lingkup kerjanya, perlu
segera dibantahkan dengan memperbaiki kapasitas institusinya, melalui:
peningkatan kualitas, kompetensi dan etika moral aparat; mengkaji beberapa
peraturan terkait dan mensinergikan lintas sektoral; mengkampanyekan
makna penting konservasi dan meningkatkan kesadaran individu melalui
konstruksi sosial yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang.
E. Analisa SPK
Analisa SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) merupakan salah satu alat
bantu untuk mengungkap akar penyebab konflik yang dapat bermanfaat untuk
mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi konflik17. Analisis
SPK dapat digunakan di awal proses untuk memperoleh pemahaman yang
lebih luas tentang motivasi pihak yang berbeda. Dapat pula digunakan di
akhir proses untuk secara jelas dapat mengidentifikasi faktor-faktor apa yang
dapat diatasi dengan suatu intervensi. Pada dasarnya, ketika faktor (Sikap-
Perilaku-Konteks) tersebut saling mempengaruhi sehingga apabila
digambarkan dengan anak panah yang membentuk lingkaran terdapat anak-
anak panah yang memiliki dua sudut.
17 Simon Fisher dkk, 2000. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. Zed Books Ltd. United Kingdom
130
Tabel 4.2. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan Masyarakat Desa
Kementerian Kehutanan Masyarakat Desa Sikap Represif, Negosiasi atau Mediasi
dimungkinkan apalagi terdapat intervensi atas pihak eksternal yang disegani
Pasrah, Bereaksi ketika ada intervensi yang mampu membangun kekuatan kolektif
Perilaku Relokasi, Pengusiran atau Penangkapan
Merambah hutan dan melakukan illegal logging
Konteks Lahan Konservasi bebas dari Perambah
Menuntut hak atas lahan dan atau akses terhadap sumber daya hutan
Tabel 4.3. Analisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) dalam Konflik Kementerian Kehutanan dengan Pemilik Villa
Kementerian Kehutanan Pemilik Villa Sikap Membuka ruang Negosiasi Menunjukan kekuatan
dalam kapasitas status, kewenangan maupun jaringannya
Perilaku Mengangkat isu konservasi ke ruang publik (melalui Pers)
Pendekatan personal maupun institusi, melalui jalur politik, kekuasaan dll
Konteks Lahan konservasi bebas dari perambah
Menuntut hak atas kepemilikan villa
Dari skema segitiga SPK tersebut, terlihat Sikap berbeda yang
ditunjukkan oleh pihak-pihak yang berkonflik dan Kementerian Kehutanan
sebagai pemegang kewenangan memperlakukan masyarakat bergantung pada
figure yang dihadapi. Ketika berbenturan dengan masyarakat biasa (bukan
public figure) ketegasan atas implementasi kebijakan memiliki
kecenderungan represif yang bahkan tidak bisa di lawan oleh jenis
masyarakat biasa ini (baik masyarakat adat maupun non adat). Namun ketika
131
persoalan villa yang dianggap liar terangkat ke ruang publik, tampak nyata
ada beda perlakuan dimana unsur public figure yang menjadi aktor konflik,
mendapat perlakuan ‘yang berbeda’ yang memungkinkan negosiasi yang
benar-benar win-win, bahkan dapat dilakukan secara personal. Sedangkan
masyarakat biasa bisa menjadi ‘berdaya’ ketika ada campur tangan atau
intervensi pihak lain yang bisa mendorong kedudukan yang sejajar dengan
Kementerian Kehutanan dalam negosiasi resolusi konflik.
Kecerdikan Kementerian Kehutanan dalam mengangkat isu Villa
yang dianggap liar meningkatkan posisi tawar Kementerian Kehutanan di
mata dunia terkait itikad baiknya dalam mengupayakan optimalisasi
konservasi di Indonesia. Sehingga dalam perilaku strategi Dephut untuk
memanfaatkan media dalam kasus villa sangatlah tepat dan dapat di duga
untuk selanjutnya memberi kontribusi yang besar dalam rencana investasi
kawasan TNGHS sebagai daerah Ekowisata.
Apabila dilihat dari kontek (sumber konflik), baik pada kasus
pemilik villa maupun masyarakat desa hutan, Kementerian Kehutanan
memiliki fokus yang sama yakni membersihkan kawasan hutan Negara dari
perambahan atau bangunan-bangunan liar. Demikian pula terdapat
keseragaman dari Pemilik villa dan Masyarakat desa hutan yang
mengharapkan memiliki kesempatan atau status terhadap lahan atau akses
sumber daya hutan.
Upaya resolusi dapat dilakukan dengan menjembatani keduanya,
baik di tinjau dari kebutuhan dasar maupun kemungkinan perubahan sikap
132
dan perilaku. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan sendirian oleh
Kementerian Kehutanan, tetapi harus melibatkan dan mengundang partisipasi
seluruh pihak, baik Pemda, akademisi, LSM, maupun masyarakat secara luas
karena sebagaimana disebutkan dalam UU. No.41/1999 bahwa setiap
individu bertanggung jawab atas fungsi konservasi.
F. Kondisi Terkini
Departemen Kehutanan, saat ini, bersama konsultan ‘Rimbawan
Bangun’ sedang dalam proses penyusunan masterplan rehabilitasi TNGHS
untuk keanekaragaman hayati (rencananya draft selesai Maret 2011)..
Disampaikan oleh Menteri Kehutanan (Media Indonesia, 29/12/10),
pengaturan kembali TNGHS tersebut dimaksudkan untuk mengatasi laju
degradasi dan deforestasi yang semakin meningkat. Sampai dengan tulisan ini
diselesaikan, penulis belum mendapat informasi mengenai detil masterplan,
sejauhmana pengelolaan TNGHS dapat mengoptimalkan konservasi setara
dengan aspek sosial masyarakat sebagai bagian dari ekosistem.
Untuk kasus Villa yang dianggap liar di Lokapurna, Kawasan
Gunung Salak Endak, Kab. Bogor, dalam Rencana Pengelolaan TNGHS
periode 2007-2026, kawasan ini akan menjadi kawasan wisata yang mampu
menciptakan alternatif pendapatan bagi masyarakat setempat dengan
menjadikan sebagai Zona khusus.
133
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hutan sebagai perpaduan sistem ekologi tanah, flora, fauna, air,
udara dan sumber alam non hayati yang berfungsi sebagai penyangga
ekosistem dan paru-paru dunia, sewajarnya menjadi perhatian setiap
individu masyarakat dari berbagai unsur dan kalangan. Berbagai bencana
dan isu perubahan iklim (climate change) telah mendorong kesadaran
internasional untuk memprioritaskan fungsi ekologi hutan, diantaranya
dengan memperbanyak kawasan konservasi sebagai cara mewujudkan
hutan lestari. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dua manfaat hutan
yang lain, yakni: Ekonomi dan Sosial juga berpengaruh dalam menunjang
kelestarian dan keragaman biodiversitas.
Pada perkembangannya, upaya-upaya konservasi hutan
seringkali berbenturan dengan dinamika sosial yang berubah sangat cepat.
Bentuk konservasi lain, misal cagar alam, suaka alam, dan lainnya
dianggap mengebiri peran pihak lain untuk berpartisipasi dalam
pengelolaannya. Pelestarian alam berupa Taman Nasional dianggap
sebagai bentuk konservasi yang bisa mengakomodir tiga fungsi tersebut,
yakni proporsional Ekologi, Ekonomi dan Sosial. Sebagaimana disebutkan
dalam Peraturan Pemerintah No.68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional memberi ruang
134
untuk ‘partisipasi masyarakat’ dalam mewujudkan ekosistem lestari
melalui adanya pembagian zonasi di dalam kawasan Taman Nasional,
yakni: Zona inti, Zona rimba dan Zona pemanfaatan. Zona tersebut
menjadikan hutan bukan kawasan yang sangat steril dari jamahan atau
aktivitas manusia, terkecuali zona inti, di dalam zona lain, masyarakat
(beserta multistakeholder yang berkepentingan) bisa ikut memanfaatkan
areal hutan untuk kepentingan budidaya, penelitian, pariwisata, bahkan
investasi. Namun, kebijakan konservasi seringkali menimbulkan konflik,
utamanya bersifat vertikal, antara Pemerintah dan Rakyat. Ada persoalan
serius di lapangan yang perlu penanganan segera agar permasalahan tidak
melebar yang dikuatirkan berdampak pada disintegrasi bangsa dan
rusaknya hutan Indonesia.
Komponen yang seakan-akan tidak bisa dipertemukan, menurut
kajian Penulis, salah satunya disebabkan karena perbedaan persepsi
terhadap isu konservasi itu sendiri. Pemerintah (dalam hal ini Kementerian
Kehutanan) mengeluarkan kebijakan konservasi yang sifatnya elitis tanpa
melalui konstruksi sosial yang berkesinambungan dan melibatkan semua
pihak yang berdampak pada tingginya angka konflik di tataran
implementasi. Di sisi lain, masyarakat (di dalam kawasan dan sekitar
hutan khususnya) menganggap bahwa kebijakan konservasi telah
memarjinalkan posisi mereka, terutama terkait kepemilikan lahan, akses
terhadap sumber daya, dan pengakuan atas keberadaan mereka.
135
Terkait konflik vertikal di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS), terdapat dua kasus konflik vertikal yang diteliti oleh
Penulis yang menunjukkan beda perlakuan yang nyata dalam pola dan
resolusi konfliknya. Aktor (pihak) utama yang terlibat konflik adalah
serupa, yakni: Kementerian Kehutanan dan Masyarakat dengan kasus
perambahan (pendudukan) kawasan hutan Negara. Dalam kasus
perambahan biasa, masyarakat digolongkan sebagai ‘masyarakat biasa’
yang sangat bergantung terhadap hutan dan tempat tinggal mereka.
Sedangkan tinjauan kasus kedua, konflik villa yang dianggap liar, terdapat
jenis masyarakat yang dikategorikan Penulis sebagai ‘public figure’ yang
dengan pendekatan kekuasaan, figur ataupun uang dapat mempengaruhi
kebijakan dan opini publik.
Kecenderungan pihak Kementerian Kehutanan dalam
menghadapi perambah dari golongan ‘masyarakat biasa’ yang sebagian
besar telah hidup dan berpenghidupan secara turun temurun di kawasan
hutan tersebut adalah melalui tindakan represif, berupa: tindakan
intimidatif, pengusiran maupun pengingkaran terhadap hak masyarakat
(termasuk hak untuk didengar). Posisi golongan masyarakat ini sangat
lemah, dari ketiadaan nilai tawar dalam bentuk jaringan, pengetahuan,
uang, apalagi kekuasaan. Level konflik menguat mencapai eskalasi ketika
‘gejolak/keresahan individual’ masyarakat terorganisir secara kolektif
menjadi kekuatan massal yang setidaknya setara dengan Pemerintah.
Konflik vertikal untuk masyarakat biasa yang sifatnya individual sudah
136
dapat dipastikan hanya akan berakhir dengan kemenangan ‘penguasa’
yang bisa diistilahkan sebagai arogansi kewenangan.
Berkaca dari kasus villa yang dianggap liar, yang melibatkan
aktor utama: Kementerian Kehutanan dan pemilik villa yang berasal dari
unsur public figure, seperti: Pejabat aktif, politisi, pengusaha,
purnawirawan TNI, pemuka agama, artis ternama menunjukkan perbedaan
perlakuan dalam situasi konflik dan bahkan resolusinya. Dalam kasus ini,
Kementerian Kehutanan memulai konflik dengan mengangkat persoalan
ke media massa. Pernyataan Menteri Kehutanan untuk membongkar villa-
villa yang berdiri di Lokapurna, kawasan Gunung Salak Endah solah-olah
mengisyarakatkan dua hal penting, pertama bahwa Kementerian
Kehutanan concern terhadap isu konservasi yang saat ini menjadi fokus
internasional dan kedua adalah ketegasan Pemerintah dalam mengatasi
perambahan tanpa tebang pilih. Media menangkap konflik villa yang
dianggap liar ini sebagai isu panas yang bernilai jual berita karena
melibatkan menteri, anggota DPR dan orang penting lain di negeri ini.
Tentu hal tersebut sangat menguntungkan Kementerian Kehutanan.
Menjadi menarik untuk diteliti ketika muncul pertanyaan besar, “mengapa
isu villa menjadi penting untuk diangkat oleh Kementerian Kehutanan”.
Sangat berbeda ketika ‘upaya pembersihan kawasan hutan’ dari
masyarakat biasa dilakukan, justru Pemerintah terkesan menghindari
publikasi media atau bisa juga diartikan bahwa ‘isu masyarakat biasa’
tidak lagi menarik kalangan media untuk di ekspose.
137
Seperti telah dibahas sebelumnya, masyarakat di dalam kawasan
hutan dianggap parasit yang dicurigai berpotensi mengganggu kepentingan
konservasi karena diasumsikan bahwa masyarakat menganggap hutan
sebagai sumber kesejahteraan semata. Pendudukan atas kawasan hutan dan
pemanfaatan sumber daya didalamnya dianggap sebagai hak atas warisan
nenek moyang. Sedangkan ‘pemilik villa’ diincar sebagai obyek yang
mewakili ‘kampanye kesadaran konservasi’ dan menunjukan bahwa
pemilik villa mewakili lapisan masyarakat yang dapat didekati melalui
sanksi sosial oleh media. Jenis masyarakat ini memungkinkan Pemerintah
untuk memanfaatkan deeskalasi melalui jalur negosiasi, baik personal
maupun kelompok. Penekanannya adalah bahwa dalam kasus villa yang
dianggap liar ini, pemilik villa-secara personal sekalipun-memiliki posisi
yang sejajar dengan pihak Kementerian Kehutanan, bahkan dalam situasi
tertentu bisa jadi pemilik villa memiliki nilai tawar yang lebih baik dari
Kementerian karena kekuatan status sosial, kekuasaan, uang dll. Pemilik
villa dalam kasus ini berperan besar dalam membuka peluang investasi
yang saling menguntungkan, khususnya diarahkan untuk tujuan konservasi
dengan beberapa komitmen yang bisa disepakati.
Konflik Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
menunjukkan salah satu pembuktian teori Simon Fisher dkk bahwa analisa
konflik memungkinkan diketahuinya secara jelas posisi, kepentingan dan
kebutuhan dari masing-masing pihak yang berkonflik. Mengetahui
kebutuhan dasar dari masing-masing pihak memberi ruang bagi analis
138
untuk dapat mempertemukan pihak-pihak berkonflik dalam arahan
negosiasi produktif yang menghasilkan posisi win-win dan diterima semua
pihak secara sadar dan besar hati.
Persoalan disharmoni kebijakan dan egosektoral nyata-nyata telah
memperparah kerusakan Hutan dan menimbulkan ketidakpastian dalam
kehidupan sosial masyarakat perlu segera ditindaklanjuti dengan
mensikronkan produk hukum, mulai dari pusat hingga daerah agar tidak
saling tumpang tindih atau bertolak belakang. Era otonomi daerah
diharapkan mendorong peran Pemerintah Daerah untuk bersama-sama
Pemerintah Pusat dan Masyarakat mengkampanyekan kepentingan
konservasi dengan pemahaman yang sama dengan pembatasan-
pembatasan kewenangan dan hak yang jelas.
Perlu ada kesepakatan ulang mengenai posisi Kehutanan dalam
era Otonomi Daerah, untuk dua pilihan: menjadi bagian desentralisasi utuh
atau kembali sentralisasi. Tentunya hal tersebut memerlukan kajian
mendalam dari beberapa aspek dengan melibatkan berbagai unsur dengan
pemikiran yang jernih. Konsekuensi atas salah satu pilihan disepakati
sebagai bagian dari tanggung jawab moral bersama. Kesepakatan ini
meentukan perlu tidaknya revisi UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU
No.22/1999 (= UU No.32/2004) tentang Otonomi Daerah dan UU terkait
lainnya, dengan substansi yang lebih tegas keberpihakannya terhadap
kewenangan, tugas dan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah atas
139
‘kesepahaman konservasi’ serta keberpihakan terhadap rakyat tanpa
diskriminasi (tebang pilih).
Berdasarkan temuan dalam penelitian yang penulis
lakukan, UU No. 41/1999 tidak berhasil mengatasi persoalan konflik yang
menguat setelah penunjukkan TNGHS. Sebaliknya UU tersebut menjadi
salah satu sumber konflik yang paling penting. Beberapa faktor berikut ini
penulis anggap sebagai penyebab. Pertama, UU ini tidak cukup jelas
memberikan kewenangan atas wilayah hutan pada umumnya antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kejelasan kewenangan ini perlu
ada agar tanggung jawab dalam hal pengelolaan kelestarian hutan bisa
selalu dibebankan kepada pihak yang tepat dan hutan tidak digunakan
semata-mata untuk kepentingan-kepentingan non-konservasi. Kedua,
Undang-Undang ini tidak bisa menjawab klaim kepemilikan yang selama
beberapa dekade menjadi persoalan klasik konflik vertikal yang tidak
terselesaikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat bukannya
tidak mengapresiasi kebijakan konservasi yang dikeluarkan pemerintah,
persoalannya pada ketidaktahuan tentang adanya kebijakan dan juga
tentang maksud dan tujuan kebijakan konservasi. Dalam hal ini menurut
penulis kelemahan utama UU yang bersangkutan adalah pada aspek
sosialisasi pada multistakeholder yang terkait. Bisa dibayangkan jika
sosialisasi tentang gagasan konservasi berjalan dengan kesalahpahaman
yang menimbulkan ketegangan vertikal antara Kementerian Kehutanan
dan masyarakat setempat bisa dikurangi. Ketiga, berkaitan dengan
140
sosialisasi, penelitian ini juga menunjukkan bahwa sosialisasi yang
berhasil sebaiknya didukung dengan diseminasi pengetahuan yang
memadai tentang arti penting konservasi. Diseminasi pengetahuan ini
dimaksudkan untuk membangun konstruksi sosial menuju kesepahaman
pemaknaan konservasi hutan.
B. Saran
1. Perlu kearifan Pemerintah dalam menangani konflik di dalam kawasan
hutan yang menjadikan masyarakat (tanpa diskriminasi) sebagai mitra
sejajar yang aspirasinya perlu didengar dan diperhatikan.
2. Dalam hal penegakan hukum, perlu ketegasan dan ‘kewibawaan’
Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) untuk memastikan
pelaku pelanggaran mendapat sanksi yang sesuai.
3. Prioritas konservasi untuk kelangsungan ekosistem jangka panjang
sewajarnya proporsional dengan fungsi ekonomi dan sosial dari
keberadaan hutan.
4. Perlu peninjauan ulang terhadap Undang-Undang No.41 tahun 1999,
khususnya pasal 18, ayat (1) yang menyebutkan luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 minimal
30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional
karena tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan publik.
141
5. Dalam kondisi ketidaksiapan infrastruktur, operasional dan SDM di
daerah, untuk sementara waktu urusan kehutanan sebaiknya dikelola
secara sentralistik (Kementerian Kehutanan) dengan melibatkan
multistakeholder dalam prinsip pengelolaannya, sambil
mempersiapkan perangkat menuju desentralisasi utuh dengan target
waktu yang disepakati bersama.
6. Lebih lanjut perlu dikaji secara ilmiah luas kawasan hutan
sesungguhnya yang dibutuhkan untuk kepentingan daya dukung
lingkungan terkait nilai manfaat riil dari hutan.
.
142
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul. 2005. Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI. Makalah Temu Konsultasi Program Legislasi Daerah. Disampaikan tanggal 13 September 2005 di Hotel Inna Putri Bali. Bali.
Arfani, Riza Noer. 2011. Siklus dan Tahapan Konflik. Bahan Kuliah Manajemen Konflik I Program Pasca Sarjana MPRK UGM. Disampaikan tanggal 2 Maret 2010. Yogyakarta.
Fisher, Simon., Ludin, Jawed., Williams, Steve., Abdi, Deka I., Smith, dan Williams, Sue. 2000. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action.. Zed Books Ltd. London.
Galudra, Gamma. 2006. Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak Banten. Warta Tenure Nomor 2. Bogor.
Galtung, Johan. 1996. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. Sage Publication. London.
Gray, Andrew. 1991. Between the Spice of Live and the Melting Pot: Biodiversity Conservation and Its Impact on Indigenous Peoples. IWGIA Document 70. Copenhagen.
Handadhari, Transtoto. 2009. Kepedulian yang Terganjal: Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Indonesia. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Justianto, 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflict: From Escalation to Resolution. Rowman and Little Field Pub. New York.
Lederach, John Paul. 1996. Preparing For Peace: Conflict Transformation Across Culture. Syracus University Press. New York.
Lederach, John Paul. 2001. Identifying Key Actor in Conflict Situations, 6 Levels of Leadership. Dalam L. Reychler dan T. Paffenholz, (ed.), Peace Building: A Field Guide. Lynne Rienner Publishers Inc. United Kingdom.
Myers, John G. 1982. Advertising Management. Prentice Hall Inc. New York.
143
Popkins, Samuel L. 1981. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. University of California Press. USA.
Pratiwi, Sudhiani. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Di akses dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40933/Cover%20%202008spr.pdf?sequence=1 tanggal 25 Januari 2011.
Rokhmad, Abu. 2009. Negara vs Petani: Konflik dan Resolusi Konflik Tanah Hutan Negara Perspektif Sosio legal dan Hukum Islam. Walisongo Press. Semarang
Scott, James C. 1976. The Moral Economy of Peasant: Rebellion and Subsitence in Southeast Asia. Yale University Press. USA
Siburian, Robert. 2006. Antara Komitmen dan Implementasi: Perlakuan di Sekitar Kawasan konservasi. Masyarakat Indonesia-Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia Jilid XXXII No.1. LIPI Jakarta.
WALHI, 2010. Privatisasi Kawasan Konservasi-Wajah Pemerintahan Neolib. http://www.walhi.or.id/id/kampanye-dan-advokasi/tematik/hutan/77. diakses tanggal 25 Januari 2011.
Wilmot, William W dan Hocker, Joyce L. 2001. Interpersonal Conflict. McGraw- Hill. New York.
http://www.dephut.go.id/
http://www.tnhalimun.go.id/