146509758-dvi

Upload: willyandre-alex-nps

Post on 29-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kwanf/lamfawfw

TRANSCRIPT

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana baik bencana alam maupun akibat ulah

    manusia disebabkan letak geografis, jumlah penduduk, keterbatasan sarana. Setiap bencana pasti

    menimbulkan korban baik korban hidup yang mengalami luka-luka atau korban mati, secara

    teknis penanganan korban hidup telah mendapatkan perhatian yang cukup baik dengan

    melibatkan baik Pemerintah, LSM maupun masyarakat. Penanganan korban mati juga harus

    mendapat perhatian yang lebih optimal.

    Saat ini identifikasi korban mati merupakan suatu hak asasi manusia (HAM) pada serta

    pemenuhan aspek legal sipil juga untuk keluarganya, termasuk identifikasi masalah korban bom

    atau korban akibat terorisme lainnya. Kementerian Kesehatan bersama dengan Kepolisian RI

    sejak tahun 1999 telah melakukan kerjasama dalam penanganan korban mati dengan beberapa

    kegiatan yang telah dilakukan, antara lain penerbitan buku Pedoman Penatalaksanaan

    Identifikasi Korban Mati pada bencana dan musibah massal.

    Kementerian Kesehatan bersama Kepolisian RI sejak tahun 1999 melakukan kegiatan

    Pembentukan Tim DVI di Indonesia (Tim DVI Nasional, Tim DVI Regional dan Tim DVI

    Provinsi). Tim DVI Nasional berkedudukan di ibu kota Negara dan mempunyai tugas membina

    dan mengkoordinasikan semua usaha serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang

    berlaku secara nasional maupun Internasional pada korban-korban mati massal akibat bencana

    (Disaster Victim Identification).

    1.2 Tujuan

    Dengan membahas tentang DVI secara lebih jelas dan rinci,maka diharapkan dapat

    memberikan pengetahuan mengenai definisi, serta tahap-tahap yang dilakukan pada setiap

    bencana yang terjadi oleh orang-orang yang terlibat dalam DVI dalam upaya mengidentifikasi

    dan mengkoordinasi korban sesuai aturan dan prosedur yang berlaku.

    1

  • 1.3 Manfaat

    Penulisan makalah tentang DVI ini dapat menjadi bacaan yang memberikan pengetahuan

    tentang bagaimana prosedur yang dilakukan untuk mengidentifikasi korban meninggal pada

    sebuah bencana.

    BAB II2

  • PEMBAHASAN

    2.1 PENGERTIAN

    Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban

    meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah

    serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak

    Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai

    penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat

    dipertanggungjawabkan.

    Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti

    kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi

    terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.

    Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi

    korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat

    korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3

    bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif

    melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

    2.2 TUGAS UTAMA DVI

    Tugas Utama DVI secara umum adalah sebagai berikut:

    1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan evakuasi

    korban meninggal dari tempat kejadian

    2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat rujukan korban

    meniinggal

    3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada

    4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan

    5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait

    3

  • Setiap operasi respon bencana dimulai dengan pengukuran kegawatan untuk mencegah atau

    mengurangi bahaya yang lebih lanjut :

    1. Pertolongan pertama bagi korban luka

    2. Pengukuran Personal security

    3. Pengukuran property security

    Setelah gambaran awal situasi telah diperoleh di lokasi bencana, unit-unit operasional yang

    berbeda harus dibentuk untuk melaksanakan langkah-langkah tanggap bencana yang tersisa. Unit

    ini harus diberi tugas tertentu dan tanggung jawab

    1. Central Emergency Rescue unit

    2. Central Investigation Unit

    3. Victim Identification Unit

    4. Disaster Investigation Unit

    Central emergency rescue unit

    Dalam kebanyakan kasus tindakan darurat penyelamatan segera dimulai di lokasi

    bencana, sering kali dengan korban bencana atau orang lain di sekitarnya. Personil penyelamatan

    darurat khawatir dengan korban atau saksi.

    Laporan lisan awal untuk unit penyelamatan darurat jarang sekali memberikan informasi rinci

    atau indikasi yang jelas tentang lingkup bencana dan jumlah korban.

    Oleh karena itu ketua dari tim emergency rescue harus bekerja sama dengan polisi untuk

    membuat daan mengevaluasi :

    1. Langkah-langkah untuk memastikan bahwa tenaga medis dapat segera dikenali

    2. Penyelamatan dan perawatan medis korban yang selamat

    3. Membentuk kesiapan darurat dengan stand by di rumah sakit setempat (rencana krisis)

    4. Tentukan kapasitas rumah sakit; mengkoordinasikan transportasi korban luka-luka

    4

  • 5. Membuat tempat perawatan medis sementara di sekitar lokasi bencana yang diperlukan.

    Dan penentuan jumlah korban telah meninggalkan situs dalam panik karena shock.

    6. Siapkan dokumentasi pada kondisi jumlah, dan identitas orang cedera sebagai dasar

    untuk pelaporan terus menerus ke komando operasi bencana.

    7. Penyediaan informasi untuk pengumpulan korban terluka, rumah sakit dan klinik rawat

    jalan

    8. Pembentukan sebuah rumah sakit pertolongan pertama / lapangan staf dengan dokter dan

    asisten medis sebagai tempat transit untuk semua korban yang diperlukan.

    9. Tanggung Jawab berubah setelah korban telah dihapus dari lokasi bencana. Operasi

    penyelamatan terus berlanjut, namun para ahli teknis dan ahli identifikasi korban

    sekarang dapat melakukan tugas masing-masing di bawah otoritas mereka sendiri.

    10. Jika selama operasi penyelamatan, perlu untuk memindahkan mayat, adalah penting

    untuk mengetahui yang pindah dan dari dan ke mana. Hindari membuka baju atau

    penghapusan perhiasan di tubuh.

    11. Untuk dapat mempersiapkan daftar orang hilang (PM), itu adalah keharusan untuk tahu

    persis di mana para korban terluka telah diambil

    Central investigation unit

    1. Penahanan daerah situs bencana, seperti keamanan yang lengkap, sangat penting dalam

    rangka untuk memastikan kemajuan yang optimal dari operasi penyelamatan darurat dan

    untuk melindungi bukti dan masyarakat.

    2. Survei lokasi bencana / daerah yang diperlukan (GPS, peralatan survei leser, dokumentasi

    fotografi, Fotogram survei metrik)

    3. Mengamankan lokasi bencana untuk mencegah akses oleh orang yang tidak sah (pagar,

    hambatan, jika perlu penjaga)

    4. Memastikan keselamatan sebelum akses ke lokasi bencana

    Pengadaan wide-area foto, peta dan / atau layout dari situs bencana (bernomor lantai

    bangunan )

    5. Penyusunan grid direkomendasikan untuk bencana luar ruangan (kecelakaan pesawat,

    kecelakaan kereta api dan sejenisnya), dalam rangka untuk memastikan pemrosesan yang

    5

  • lebih lengkap dan efektif dari sektor terkait. Pengaturan sektor dalam pola papan catur

    akan memudahkan pencarian berikutnya untuk bukti

    6. Pembentukan jalur tetap dengan pintu masuk yang spesifik dan exit point sedapat

    mungkin. Melakukan pemeriksaan identitas individu masuk atau keluar pada titik-titik.

    7. Penugasan tanggung jawab khusus untuk sukarelawan sipil yang sesuai.

    8. Individu tanpa perlu atau otorisasi untuk hadir di lokasi bencana harus diperintahkan

    untuk meninggalkan situs.

    9. Pengadaan data pribadi dari para saksi mungkin.

    10. Pendirian pusat kontrol transportasi, area parkir, masuk dan jalan keluar, landasan

    helikopter, dll

    Victim identification unit

    Dalam rangka untuk memastikan pencarian menyeluruh dan dokumentasi fotografi, tim

    identifikasi korban dan pemulihan memerlukan peta yang akurat dari daerah bencana. Sejauh

    mungkin, lokasi bencana harus dilapis dengan grid dalam rangka untuk memfasilitasi operasi

    pencarian. Metode ini telah terbukti sangat efektif untuk daerah bencana relatif besar. Grid terdiri

    dari garis dasar yang hasil dari atau berjalan antara titik tetap diidentifikasi pada tanah serta garis

    paralel ditarik pada interval misalnya 10 m (tapi tergantung situasi), sehingga membentuk bagian

    persegi di mana pencarian dapat metodis dilakukan. Sejauh mungkin, grid harus menutupi

    seluruh daerah bencana

    Tugas spesifik dan tanggung jawab :

    1. Identifikasi dan penyediaan sumber daya personil untuk unit

    2. Pembuatan jadwal operasional

    3. Organisir saluran komunikasi, koordinasi arus informasi

    4. Pengadaan informasi mengenai bencana

    5. Pelaporan ke otoritas operasional yang relevan

    6. Pengadaan kendaraan operasional untuk personil

    7. Pembentukan dan pemeliharaan kontak dengan lembaga-lembaga domestik dan asing

    yang terlibat dan organisasi lainnya (misalnya agen perjalanan, maskapai penerbangan)

    6

  • 8. Hubungan masyarakat dan pers

    9. Penentuan aliran informasi dari identifikasi korban penerbitan sertifikat kematian

    10. Dukungan teknis untuk identifikasi dan dokumentasi

    11. Hubungan dengan kedutaan besar, antar-lembaga, organisasi internasional, dll

    2.3 FASE DALAM MALAKUKAN TINDAKAN DVI

    Pada prinsipnya, disaster victim identification terdiri dari lima fase, yaitu :

    2.3.1 Initial Action at the Disaster Site

    Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana.

    Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas

    jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara

    keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam

    penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk

    operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan

    petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :

    1. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area

    bencana.

    2. Perkiraan jumlah korban.

    3. Keadaan mayat.

    4. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.

    5. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.

    6. Metode untuk menangani mayat.

    7. Transportasi mayat.

    8. Penyimpanan mayat.

    9. Kerusakan properti yang terjadi.

    7

  • Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah

    utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to

    collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

    1. To Secure

    Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah

    untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara lain

    adalah :

    Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan

    (penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police

    line.

    Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

    Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.

    Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang

    memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.

    Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehadiran

    dan otorisasi.

    Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan

    area bencana.

    2. To Collect

    Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan

    korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin

    dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.

    3. Documentation

    Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan

    kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor

    dan label pada korban.

    Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label

    dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.

    8

  • 2.3.2 Collecting Post Mortem Data

    Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh

    post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada

    fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan

    mencatat data selengkap lengkapnya mengenai korban.

    Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari yang

    sederhana sampai yang rumit.

    a. Metode sederhana

    1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas

    dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat

    diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor

    psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)

    2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan

    tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.

    3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.

    b. Metode ilmiah,

    Prosedur identifikasi korban terdiri dari 4 utama tahap, yaitu:

    (1) penandaan dan mengantongi tubuh,

    (2) sidik jari,

    (3) patologi forensik, dan

    (4) kedokteran gigi forensik. Mayat-mayat itu, tentu saja, didinginkan baik sebelum dan setelah

    prosedur, dan kemudian dibalsemkan setalah itu dipulangkan.

    Body Tagging and Bagging

    Pelabelan tubuh masing-masing dengan nomor identifikasi yang unik, diikuti oleh

    penempatan di dalam kantong kedap air tubuh dilakukan oleh tim DIV. DVI merancang sistem

    9

  • pelabelan yang terdiri urutan angka berikut: telepon kode negara internasional-situs nomor - (5-

    digit) tubuh nomor (misalnya 65-1-00123) .

    Fingerprinting

    Sidik jari dari tubuh yang sangat membusuk atau mengalami lebam mayat( post mortem),

    yang hampir selalu menunjukkan deskuamasi (mengelupas) kulit yang meluas, menimbulkan

    tantangan yang cukup untuk petugas polisi yang ditugaskan untuk tugas itu. Identifikasi

    fingerprinting mengunakan "teknik bubuk", yang memerlukan aplikasi hati-hati dan lembut,

    dimana prosesnya menabur bedak kering ke ujung jari dengan kuas, disertai permukanan dari

    kulit longgar di bagian distal dari jari-jari yang berisi lipatan kulit yang unik, teknik ini bekerja

    dengan cukup sukses

    Forensic Pathology

    Setiap tubuh berlabel dan sidik jarinya diperiksa oleh tim 4-anggota DVI, yang terdiri dari

    ahli patologi forensik, seorang teknisi anatomis, seorang penulis (biasanya seorang perwira polisi

    atau penyidik forensik kematian), dan seorang fotografer (biasanya adegan-of-kejahatan atau

    petugas FMB). Dalam bencana massal hebat, tujuan dari pemeriksaan post-mortem (AM) adalah

    untuk mendapatkan petunjuk yang mungkin menyebabkan identifikasi positif dari para korban

    yang meninggal, bukan untuk menetapkan penyebab kematian (yang sebagian besar akan terjadi

    karena tenggelam atau beberapa luka-luka yang ditimbulkan oleh bencana alam). Sebuah

    prosedur yang disederhanakan karena itu didirikan untuk mempercepat pemeriksaan apa yang

    ribuan tubuh yang sangat busuk. Prosedur ini terdiri langkah-langkah berikut:

    a) Tubuh dikirm ke kamar mayat oleh bagian sidik jari.

    b) Penulis menerima dan menandatangani formulir pelacakan.

    c) Ahli patologi dan juru tulis mengkomfirmasikan nomor tubuh, menggunakan formulir

    PM merah muda DVI (seperti yang ditentukan oleh Interpol).

    d) Nomor tubuh difoto.

    10

  • e) Teknisi mengangkat dan mencuci pakaian korban(jika ada) untuk menampilkan masing-

    masing merek, ukuran, warna dan desain, pakaian itu kemudian difoto dan dicatat.

    f) Semua efek perhiasan dicuci, difoto dengan tubuh tempat terpasangnya perhiasan ,

    dijelaskan dan direkam; mereka kemudian ditempatkan dalam kantong tertutup yang,

    pada gilirannya, ditempatkan dalam kantong mayat.

    g) Sebuah pemeriksaan luar tubuh dilakukan antara lain untuk menentukan jenis kelamin,

    tinggi, usia diperkirakan (kebanyakan mustahil), melihat tato, bekas luka (trauma dan

    terapi), fisik kelainan dan karakteristik lainnya dicatat.

    h) membuat sayatan pada garis tengah untuk memeriksa ada/tidaknya kantong empedu,

    usus buntu, genitalia interna wanita, dan bukti visum lain. Dalam hal ini,

    i) penulis pertama ditemui kasus laparotomi sebelumnya, laparoskopi kolesistektomi dan

    histerektomi total halaman dan bilateral salpingo-ooforektomi. Kadang-kadang, degradsi

    post-mortem yang cepat menjadikan sulit untuk menetapkan adanya tindak kekerasan,

    meskipun bekas luka apendisektomi akan membantu. Dibuat sayatan lain, di mana

    diperlukan, misalnya, di mana ada bekas luka sternotomy garis tengah, yang

    menunjukkan sebelumnya bedah kardiotoraks, atau bekas luka bedah terkait dengan

    pinggul total atau operasi penggantian lutut.

    j) Bukti dari setiap penyakit lain diidentifikasi, dicari dan dicatat.

    k) pembersihan mandibula untuk memfasilitasi selanjutnya pemeriksaan gigi forensik.

    Tubuh akhirnya disampaikan ke bagian gigi.

    Forensic Dentistry

    Ilmu gigi forensik terdiri 2 bagian: pemeriksaan gigi dan radiologi gigi. Tim dari

    odontologists diawasi oleh seorang odontologist senior ("dokter gigi super"), bekerja di bagian

    ini. Untuk memudahkan pemeriksaan gigi. Untuk memudahkan pemerikasaan dilakukan insisi

    bilateral dari leher anterior atas ke bagian belakang telinga. Kulit dan jaringan di bawahnya

    kemudian terdorong ke atas seluruh wajah untuk mengekspos rahang atas dan rahang bawah.

    Pada bagian pemeriksaan gigi, 1 dokter gigi (pemeriksa) memeriksa gigi tetap, sementara

    yang lain (juru tulis) mendokumentasikan hasil. Jumlah tim bisa sampai dengan 4 orang yang

    bisa bekerja di bagian ini pada waktu itu.

    11

  • Pertama gigi-gigi disikat bersih untuk dokumentasi fotografi. Foto Three Polaroid

    diambil, yang terdiri dari pandangan frontal gigi anterior, dan pandangan oklusal rahang atas dan

    bawah. Foto-foto ini diberi label dengan nomor tubuh.

    Tim penguji-juru tulis gigi kemudian mulai untuk menulis catatan post-mortem gigi.

    Dokter gigi melakukan pemeriksaan gigi dan melaporkannya dengan berseru sedikit keras untuk

    setiap jenis gigi, sedangkan juru tulis dokter gigi memetakan mereka dalam bentuk DVI merah

    muda menggunakan interpol dental charting system.

    Interpol dental charting system dipekerjakan oleh World Dental Federation (FDI) yang

    memberikan penomoran gigi, yang membagi menjadi 4 kuadran dentitions, nomor 1 sampai 4.

    Kuadran kanan atas adalah 1, 2 kiri atas, kiri bawah dan kanan bawah 3, 4. Gigi diberi nomor

    dari garis tengah ke posterior, misalnya, gigi seri tengah adalah # 1, # 3 dan taring molar ketiga #

    8. Gigi dilambangkan dengan kode 2-digit (kuadran dan gigi). Rincian sistem post-mortem

    charting Interpol dirangkum dalam Lampiran.

    Selama pemeriksaan gigi, gigi-gigi tersebut akan dicocokan dan dikembalikan atau

    disambung dengan saluran akarnya untuk diidentifikasi untuk penyelidikan lebih lanjut

    mengunakan radiografi. Gigi yang tak disambung ke akarnya kemudian dipilih untuk ekstraksi.

    Gigi-gigi ini akan menyediakan sumber DNA genom untuk profil DNA. Gigi yang dipilih untuk

    di ekstraksi adalah gigi geraham, karena pulp mereka lebih besar, gigi utuh lainnya juga bisa

    dipilih. Jika gigi seperti itu tidak tersedia, seperti pada orang tua atau bayi, segmen poros tulang

    femur akan digunakan walaupun ada gangguan patologis ataupun ada gangguan nonpotologis.

    Pada bagian radiologi gigi, odontologists juga bekerja berpasangan. Satu dokter gigi akan

    melakukan prosedur x-ray gigi tetap, sementara yang lain, setiap film berlabel terkena dengan

    jumlah tubuh sebelum mengirimkan mereka untuk diproses. Dua sayap gigitan radiografi, 1

    untuk setiap sisi rahang, dan radiografi tambahan lainnya diambil.

    Setelah film telah selesai diproses, mereka diperiksa untuk kualitas. Setiap informasi

    lebih lanjut mengungkapkan dengan radiografi akan direkam dalam bentuk DVI merah muda.

    Jika perlu, radiografi diulang. Setelah radiograf dianggap memuaskan, gigi yang diidentifikasi

    sebelumnya untuk profil DNA akan diekstraksi, ditempatkan dalam wadah plastik steril, dan

    12

  • dikirim ke area pengumpulan DNA. Para, dokter gigi, akan melaksanakan pemeriksaan final dari

    dokumen dan radiografi, sebelum mengembalikan tubuh kedalam wadah pendingin.

    Meskipun ilmu gigi forensik adalah proses melelahkan dan memakan waktu, itu

    menghasilkan informasi yang mengarah pada identifikasi yang relatif cepat dari sejumlah korban

    di tahap awal proses DVI.

    Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data

    sekunder sebagai berikut :

    Primer : Sidik Jari, Profil Gigi, DNA.

    Secondary : Visual, Fotografi, Properti Jenazah, Medik-Antropologi (Tinggi Badan, Ras,

    dll).

    Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan

    untuk mencegah perubahan perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan

    meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

    2.3.3 Collecting Ante Mortem Data

    Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini

    biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data

    yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah

    (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban

    semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain

    yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai

    pakaian terakhir yang dikenakan korban.

    2.3.4 Reconciliation

    Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli

    forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan

    post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai

    jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau

    13

  • telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap

    negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang

    sesuai dengan temuan post mortem jenazah.

    2.3.5 Returning to the Family

    Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik

    kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak

    teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante

    mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi

    tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan

    mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang

    menguburkan jenazah.

    Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal

    ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban. Adalah sangat

    penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk

    dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan

    agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan

    bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.

    Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigation bukan didasarkan pada cepat

    atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan

    identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, disaster victim investigation terkadang menemui

    hambatan hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem

    pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang

    dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medis pemeriksaan

    gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui kendala.

    Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua

    penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya sendiri,

    karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang lain yang bukan

    merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si pembuat SIM. Ditambah lagi tidak

    14

  • semua penduduk Indonesia pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga

    pengumpulan data profil gigi memang masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada

    pengumpulan data post-mortem juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang

    polisi sebagai organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang

    memadai untuk membayar pemeriksaan.

    Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi

    tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan pemeriksaan,

    namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana tersebut sangat sulit

    sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya. Hal ini tentunya sangat

    merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai

    benar tidaknya suatu jenazah merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap

    mengenai hal hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena

    Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik

    akan sangat diperlukan di Indonesia.

    2.4 PEMULIHAN DAN PENGUMPULAN BUKTI

    Seperti aturan, pencarian mayat korban bencana tidak bisa dimulai sampai semua korban

    telah diselamatkan. Unit-unit penyelamatan darurat yang tiba di lokasi bencana depan tim

    pemulihan harus diinformasikan sesuai itu, sementara penyelamatan kehidupan dan perawatan

    medis didahulukan, perawatan harus diambil selama darurat untuk memastikan bahwa banyak

    tubuh dan bukti bagian tubuh sebagaimana bukti lainnya, efek personal, dll, yang tidak tersentuh.

    Pemulihan tubuh / bagian tubuh dan menyimpan bukti / barang pribadi yang ditemukan di

    lokasi bencana merupakan langkah pertama dalam proses identifikasi korban, dan operasi ini

    dalam kebanyakan kasus mulanya kacau dan tidak terorganisir. Karena sejumlah besar unit

    organisasi sering sangat berbeda terlibat dalam proses ini, komunikasi dan koordinasi fungsi dan

    tanggung jawab sangat sulit.

    Untuk mengatasi kekacauan awal, pencarian terstruktur dan fase penemuan harus disiapkan

    bekerjasama dengan Tim Pengumpul Bukti (Evidence Collection Team), Tim Investigasi

    Bencana (the Disaster Investigation Team) dan Tim Kontrol Akses dan Keamanan ( Access

    15

  • Control and Security Team). Fase ini meliputi pencarian untuk tubuh, properti dan bukti (yang

    juga dapat digunakan dalam penyelidikan berikutnya ke penyebab bencana).

    Dalam kasus bencana dengan sejumlah besar korban, pembentukan bagian operasional untuk

    pengumpulan bukti pemulihan dan merupakan kebutuhan mutlak. Bagian operasional

    bertanggung jawab untuk:

    a. rekoveri/pemulihan semua badan dan bagian tubuh di lokasi bencana;

    b. pengumpulan dan pelestarian properti yang ditemukan di lokasi bencana yang tidak secara langsung sesuai dengan pemulihan kembali dari suatu bagian tubuh atau badan;

    c. pengumpulan dan pelestarian efek pribadi lainnya dari korban bencana yang ditemukan

    di sekitarnya/sekeliling daerah bencana (misalnya barang-barang pribadi korban di hotel,

    dll).

    Sedapat mungkin, tanggung jawab untuk pemulihan dan operasi pengumpulan bukti harus

    ditempatkan di tangan polisi, spesialis seperti odontologists dan patologist yang dilatih untuk

    mengenali dan membedakan jaringan manusia yang diperlukan.

    2.4.1 Pemulihan dan pengumpulan bukti / pelestarian prosedur

    Sebelum dimulainya operasi, personil operasional harus diberikan pengarahan mengenai

    situasi keseluruhan. Lokasi bencana dicari dan diproses secara metodis sector per sektor. Setiap

    tim individu harus diberi sektor tertentu dari daerah bencana ditentukan oleh komandan sektor

    operasi. Sebelum memasuki daerah bencana, personel operasional harus dilengkapi dengan

    peralatan keselamatan yang tepat dan pakaian (helm, overall, sepatu bot, sarung tangan karet, dll)

    dan disediakan oleh Pusat Komando Pemulihan (Recovery Command Centre) dengan dokumen

    yang diperlukan untuk pemulihan setiap bagian tubuh / badan dan barang bukti. Tim ini

    bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pencarian menyeluruh dari sektor ditugaskan

    dilakukan.

    Dalam rangka untuk melakukan tugas secara bertanggung jawab, prinsip-prinsip berikut

    harus diperhatikan:

    a. pencocokan bagian tubuh yang terpisah harus dilakukan hanya oleh ahli medis forensik

    berwenang, dan bukan oleh personil pemulihan/rekoveri. Lebih umum, itu harus dihindari dan

    setiap bagian tubuh harus diberi label. Ahli medis dan gigi harus di tempat untuk membantu

    polisi dalam mengumpulkan bagian-bagian tubuh dan khususnya tulang dan gigi.

    16

  • b. selama operasi pemulihan, personil seharusnya tidak mencari bukti identitas atau

    menghilangkan objek-objek dari pakaian korban (pengecualian: tim koleksi bukti, di sini

    dokumentasi menyeluruh harus dilakukan) atau tempat benda-benda tersebut dalam korban

    pakaian.

    c. seharusnya jelas selama operasi pemulihan bahwa kondisi tubuh dapat berubah dengan cepat

    karena pengaruh eksternal (cuaca, dll); sampel DNA (dari seluruh darah) harus diperoleh dari

    korban sebelum dimulainya operasi pemulihan. (Sebuah perintah yang sesuai harus dikeluarkan

    oleh komandan Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti.)

    Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti melakukan tugas-tugas berikut yang berkaitan dengan

    pemulihan tubuh:

    a. Lokalisasi semua badan / bagian tubuhb. Eksposur tubuh, jika perlu (dengan bantuan dukungan personil yang tepat dan peralatan

    yang sesuai)

    c. Marking tubuh / bagian tubuh dengan pelat nomor bukti yang jelas dibaca dan tidak dapat dihapus.

    d. Penempatan pisahan unik untuk setiap bagian tubuh / badane. dokumentasi situs penemuan (deskripsi, foto, sketsa atau survei dari posisi tubuh dengan

    bantuan GPS dan/atau instrumen survei TKP)

    f. dokumentasi foto tubuh untuk file pemulihan dan pemeriksaan medis forensikg. melampirkan nomor pemulihan untuk bagian tubuh / badan. Nomor ini digunakan

    sebagai nomor referensi tubuh dan tetap ditempelkan di bagian tubuh / tubuh selama

    proses identifikasi keseluruhan.

    h. perampungan Formulir DVI Interpol Post Mortem (merah muda), Bagian B, (Data Recovery), dengan mengacu ke nomor pemulihan

    i. penempatan bagian tubuh / tubuh dalam kantong mayat, lampiran nomor pemulihan

    untuk bagian luar kantong mayat, penyegelan kantong mayat

    j. transportasi bagian tubuh / tubuh ke Pusat Komando Pemulihank. perbaikan dan penyusunan dokumen pemulihan dan penyerahan dokumentasi ke Pusat

    Komando Pemulihan; pengadaan dokumen pemulihan baru bila diperlukan

    17

  • l. transfer bagian tubuh / badan dan dokumen pemulihan untuk Pusat Komando Pemulihan (Recovery Command Centre)

    Metodologi untuk memindahkan mayat

    a. rencana pencarian disesuaikan dengan daerahb. akses yang terkontrol (apa yang tersisa di badan dan harta tidak dihilangkan atau

    diganggu)

    c. kantong mayat dan tanda (tags) yang cukup

    d. menjaring lokasi dan fragmen tubuh tepat (terutama sisa terbakar dan terfragmentasi) menurut bukti-bukti lainnya.

    e. Menaruh apa yang tersisa di badan dan harta/kepunyaan di satu tas yang sama.f. Tas yang terpisah satu sama lain

    g. foto dan dokumen tertulis, kantong mayat dengan nomor yang sama.

    2.4.2 Titik Pengumpulan (Collection Points)

    1. Pusat Komando Pemulihan (Recovery Command Centre)Dalam konsultasi dengan komandan sektor operasi, Pusat Komando Pemulihan harus

    didirikan di sekitar lokasi bencana sebagai stasiun kamar mayat, sebagai pusat koleksi tubuh

    (situs) untuk tubuh dan bagian tubuh yang disampaikan oleh Tim Pemulihan dan Bukti Koleksi.

    Pusat Komando menjamin penyimpanan sementara yang tepat dari tubuh / bagian tubuh dan

    memelihara daftar korban pemulihan berdasarkan data yang diperoleh dari laporan pemulihan.

    Pusat Komando Pemulihan juga menyediakan untuk edisi pemulihan dokumen ataupun

    barang-barang untuk Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti yaitu:

    a. laporan rekoveri (Formulir Interpol DVI Post Mortem (merah muda), Bagian B)b. daftar buktic. pelat nomor

    d. kantong mayat

    e. segel

    18

  • Dokumen pemulihan direview oleh Pusat Komando Pemulihan untuk memastikan

    kelengkapan baik di saat ini dan pengembalian.

    2. Pusat Koleksi Bukti / Properti (Evidence/Property Collection Centre)Pusat Koleksi Bukti / Properti juga harus didirikan di sekitar lokasi bencana dalam

    konsultasi dengan Komandan Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti. Bukti / properti ditemukan di

    lokasi bencana dikumpulkan di Pusat Koleksi bersama dengan efek pribadi para korban bencana.

    Objek yang relevan diidentifikasi dan didaftar secara sesuai. Informasi yang berkaitan dengan

    identitas pribadi yang berasal dari benda-benda ini diteruskan ke Tim Identifikasi Korban. Pusat

    Koleksi Bukti / Properti juga melakukan fungsi-fungsi berikut:

    a. penyegelan dan penyimpanan benda-benda yang dikumpulkan dengan tepat b. persiapan catatan di atas tangan untuk barang-barang bukti yang harus menjalani

    pemeriksaan lebih lanjut untuk tujuan identifikasi atau analisa forensik sebelum

    perampungan sceneofcrime operationsc. pengujian barang properti yang relevan untuk diidentifikasi dan klasifikasi sebagai bukti,

    yang diperlukan (misalnya item nilai / dokumen pribadi, dll). penyimpanan terpisah

    objek-objek yang diidentifikasi sebagai properti dan notasi sebagai "properti" di bagian

    "Keterangan" dari daftar bukti.

    d. persiapan foto barang properti yang diperlukan untuk keperluan identifikasi / pencocokane. menyusun pengembalian properti kepada pemilik / penerima yang berhak

    BAB III

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Tim DVI mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan semua usaha serta kegiatan

    identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku secara nasional maupun Internasional pada

    korban-korban mati massal akibat bencana (Disaster Victim Identification).

    19

  • Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang berlaku

    merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara

    hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat

    dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan

    bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.

    Proteksi pada kehidupan memiliki prioritas utama dibandingkan yang lain, ini berlaku

    tidak hanya untuk korban bencana tapi ini juga berlaku pada personil. Cara lain dalam mencegah

    atau mengurangi bahaya lebih lanjut itu dapat dilakukan dengan cara pengamanan daerah

    bencana sehingga tim dapat bekerja maksimal tanpa ada gangguan dari luar seperti penonton,

    wartawan, dll.

    Daftar Pustaka

    Badan nasional penanggulangan bencana.2011. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia. Available from: http://www.bnpb.go.id/website/asp/berita_list.asp?id=328. Accessed on 17 desember 2011

    20

  • G. Lau, W.F. Tan, P.H. Tan, 2005, After the India Ocean Tsunami: Singapores Contribution to the international Disaster Victim Identification Effort in Thailand: Ann Acad Med Singapore;34:341-51. Access on 11 december 2011

    INTERPOL. 2009. Disaster Victim Identification Guide. chapter 3 pp 11-14. London: INTERPOL.

    Kementrian kesehatan RI. 2010. Disaster Victim Identification (DVI). Available from: http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:disaster-victim-identification-dvi- . Accessed on 17 desember 2011

    Singh, Surjit . 2008. Disaster Victim Identification (DVI) Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-41%20(11).pdf Accessed on 17 desember 2011

    21