133237896 129079327 hukum muamalah dalam islam docx

Download 133237896 129079327 Hukum Muamalah Dalam Islam Docx

If you can't read please download the document

Upload: witrisyah-putri

Post on 23-Oct-2015

92 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

asdfgh

TRANSCRIPT

  • 0

    HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM

    Dihimpun oleh:

    ABDURRAHMAN

    MA MUHAMMADIYAH 1 MALANG

    2011

  • 1

    DAFTAR ISI

    Pendahuluan: Kewajiban Mempelajari Fikih Muamalah (Fikih Ekonomi) ................... 2

    Bagian 1 Hukum Jual Beli Dalam Islam ........................................................................ 7

    Bagian 2 Jual Beli yang Terlarang ................................................................................. 10

    Bagian 3 MLM Menurut Fiqh Muammalah .................................................................. 13

    Bagian 4 Hukum Al-Faraidh (Warisan) ........................................................................ 16

    Bagian 5 Hukum Ar-Rahnu (Pegadaian) Dalam Islam .................................................. 22

    Bagian 6 Akad Murabahah Dalam Hukum Islam dan Problematika Penerapannya

    Pada Bank Syari'ah ......................................................................................................... 33

    Bagian 7 Ijarah (Sewa Menyewa dan Upah Mengupah)

    Bagian 8

    hibah menurut hukum islam

    Bagian 9

    Hukum wakalah dan sulhu

    Bagian 10

    Hukum asuransi dalam islam

    http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1090:kewajiban-mempelajari-fikih-muamalah-fikih-ekonomi&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.htmlhttp://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.htmlhttp://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/hibah-menurut-islam.html
  • 2

    PENDAHULUAN:

    KEWAJIBAN MEMPELAJARI FIKIH MUAMALAH (FIKIH EKONOMI)

    Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh

    aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah

    satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi

    Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan

    berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para ulama tidak pernah

    mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah

    (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh

    ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahas

    ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj

    karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani,

    Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu

    Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya.

    Namun dalam waktu yang panjang, materi muamalah (ekonomi Islam)

    cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting

    dari ajaran Islam, akibatnya, terjadilah kajian Islam parsial (sepotong-sepotong).

    Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah

    (menyeluruh).

    Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara

    menyeluruh (kaffah) . Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan

    itu musuh yang nyata bagimu. (QS.Al-Baqarah 208).

    Akibat lainnya, ialah ummat Islam tertinggal dalam ekonomi dan banyak

    kaum muslimin yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah

    hidupnya, seperti riba, maysir, gharar, haram, batil, dsb.

    Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran

    Islam. Dalam kitab Al-

    mengatakan :

    Artinya :

    Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia

    dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur

    http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1090:kewajiban-mempelajari-fikih-muamalah-fikih-ekonomi&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60
  • 3

    muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan

    menjelaskan hukumnya kepada mereka.

    Menurut ulama Abdul Sattar di atas, para ulama sepakat tentang mutlaknya

    ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi

    syariah)

    Artinya :

    Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang

    maha penting (dharuriyah basyariyah)

    Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-

    Iltizam bi Dhawabith asy-

    muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam.

    Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu

    Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, g muamalah maliyah ini,

    seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai

    maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia

    sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus

    berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk

    setiap muslim, namun untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya

    fardhu kifayah

    Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :

    Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah

    mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam izi)

    Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa

    umat Islam:

    Tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah Tidak boleh beraktivitas perbankan, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas asuransi, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas koperasi, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas pegadaian, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas reksadana, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas jual-beli, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah

  • 4

    Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan:

    Artinya :

    agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu

    para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan

    muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti

    dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.

    Dalam konteks ini Allah berfirman:

    Artinya :

    -kali Tiada Tuhan bagimu selain

    Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku

    melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu

    kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu

    merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat

    kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)

    mengajarkan

    ingatkan mereka

    tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama

    ini.

    Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa

    keberatan diatur transaksi ekonominya.

    Artinya :

    yang menyuruh kamu agar

    kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang

    kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya

    kamu adalah orang-

  • 5

    Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalaH. Ayat ini

    juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh

    sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah,

    Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat

    Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia

    amkan

    bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali

    Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat

    pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan

    lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum

    faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama

    dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian

    muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.

    Muamalah adalah Sunnah Para Nabi. Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh

    Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi

    sepanjang sejarah.

    Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para

    Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah:

    Artinya :

    Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti

    yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca

    keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.

    Pengertian Muamalah

    Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas,

    sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan

    -aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan

    manusia dalam memperoleh d

    ten

    Ruang Lingkup Muamalah

    1. Harta, Ha akad-akad) 2. 3. Ar-Rahn (tentang pegadaian) 4. Hiwalah (pengalihan hutang) 5. Ash-Shulhu (perdamaian bisnis) 6. Adh-Dhaman (jaminan, asuransi) 7. Syirkah (tentang perkongsian)

  • 6

    8. Wakalah (tentang perwakilan) 9. 10. 11. Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah) 12. an dalam syirkah atau sepadan tanah) 13. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga) 14. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun) 15. 16. Kafalah (penjaminan) 17. Taflis (jatuh bangkrut) 18. Al-Hajru (batasan bertindak) 19. alah (sayembara, pemberian fee) 20. Qaradh (pejaman) 21. 22. 23. 24. 25. dan transaksi vala 26. 27. Ijarah (sewa-menyewa) 28. Riba, konsep uang dan kebijakan moneter 29. Shukuk (surat utang atau obligasi) 30. Faraidh (warisan) 31. Luqthah (barang tercecer) 32. Waqaf 33. Hibah 34. Washiat 35. Iqrar (pengakuan) 36. 37. Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat) 38. Ibrak (pembebasan hutang) 39. Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur 40. Baitul Mal dan Jihbiz 41. Kebijakan fiskal Islam 42. Prinsip dan perilaku konsumen 43. Prinsip dan perilaku produse 44. Keadilan Distribusi 45. Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh) 46. - , 47. Ihtikar dan monopoli 48. Pasar modal Islami dan Reksadana 49. Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain

    (Sumber: Agustianto, Penulis adalah: Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi

    Islam Indonesia dan Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana

    Universitas Indonesia)

  • 7

    BAGIAN 1

    HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM

    Pengertian Jual Beli

    Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga,

    sedangkan membeli yaitu menerimanya. Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya

    yang mulia demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang

    suci beberapa hukum muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan

    karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan

    tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan

    sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.

    Hukum Jual Beli

    Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as

    Sunnah, ijma serta qiyas:

    Allah Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli (Al Baqarah)"

    Allah Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman

    (rizki) dari Rabbmu " (Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di

    musim haji).

    Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling

    berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah,

    maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan

    barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi

    keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan

    aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya"

    (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany

    dalam shahih Jami no. 2886)

    Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli,

    adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada

    perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada

    orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia

    tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang

    lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai

    kepada tujuan yang dikehendaki. .

    Akad Jual Beli

    Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :

    Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan

    ucapan "saya beli "

    Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan

    kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah

    ditentukan).

  • 8

    Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :

    Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada

    beberapa gambaran

    1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil,

    demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan

    "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.

    2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu

    jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)

    3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

    Syarat Sah Jual Beli

    Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan

    (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur

    maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :

    Bagi yang beraqad :

    1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq

    (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika

    jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi

    wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan"

    (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila

    keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual

    belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk

    menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa

    maka sah jual belinya.

    2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang

    sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba

    sahaya dengan tanpa izin tuannya. (catatan : jual beli yang tidak boleh anak

    kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh

    orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang

    sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat

    sebagian dari para ulama pent).

    3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi

    kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu"

    (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya

    jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.

    Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa

    tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam

    kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang

    semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil

    Bagi (Barang) yang diaqadi

    1. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya

  • 9

    seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu

    'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai,

    khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan "

    mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya,

    mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis

    atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika

    mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di

    dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau

    tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles

    perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka

    beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".

    2. Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai)

    menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak

    sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan

    seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang

    curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk

    mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah

    pencurinya sendiri..

    3. Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk

    penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu

    yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak

    mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang

    masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli

    sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana

    yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian

    " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan

    "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0

    sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi

    shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan

    melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi

    (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila

    mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "

    (Sumber : Mulakhos Fiqhy Syaikh Sholeh bin Fauzan AL Fauzan Penerbit

    Dar Ibnul Jauzi - Saudi Arabia)

  • 10

    BAGIAN 2

    JUAL BELI YANG TERLARANG

    -Nya selama tidak

    melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya

    dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.

    Jual Beli Ketika Panggilan Adzan

    Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan

    u setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan

    -orang yang beriman, apabila diseru untuk

    menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat

    Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu

    meng

    Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang

    jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan

    kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak

    yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan

    maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli

    sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

    Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan

    aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk

    -masjid

    yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya,

    pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan

    dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan

    membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan

    penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya

    Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa

    yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada

    mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa

    batas." (QS. 24:36-37-38).

    Jual Beli Untuk Kejahatan

    Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu

    terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah.

    Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer

    karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan

    -menolong dalam perbuatuan dosa

    Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di

    waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi

    penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang

    demikian.

  • 11

    Ibnul Qoyim berkata "Telah jelas dari dalil-dal

    akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka

    persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala

    diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim.

    Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan.

    Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi

    menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan

    kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."

    Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim

    Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia

    tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina

    -kali

    tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-

    orang yang beriman." (QS. 4:141). rsabda :

    Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya

    Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang

    berkata kepada o

    Nabi shalal aklah sebagian diatara

    kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian

    juala

    Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya.

    aya

    Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang

    diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita

    untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta

    mengingkari segenap pelakunya.

    Samsaran

    Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak

    sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang

    dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk

    menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent). Hal ini

    hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang

    kampu

    mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah, (Shahih

    Tirmid

  • 12

    Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan

    barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi

    penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang

    milikny

    menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia

    membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit.

    Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit.

    Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan.

    Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas

    waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena

    termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia

    menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan

    bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya

    sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

    -ekor sapi (sibuk denngan

    bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan

    kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian,

    Abu Da

    oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)

    (Dikutip dari situs Zisonline, tulisan al Ustadz Qomar Su'aidi, Lc. Diarsipkan

    al akh Fikri Thalib. Sumber : Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13;

    http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=66)

  • 13

    BAGIAN 3

    MLM MENURUT FIQH MUAMMALAH

    Benarkah MLM haram ? (Kajian Fiqh Muamalah)

    Beberapa dekade belakangan ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang

    atau dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM) semakin berkembang pesat di

    tanah air. Perusahaan MLM adalah perusahaan yang menerapkan sistem

    pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, yang dibangun

    secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai

    tenaga pemasaran. Konsep perusahaan ini adalah penyaluran barang (produk dan

    jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut

    terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan keuntungan di dalam garis

    kemitraannya. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula disebut sebagai distributor

    atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang lain untuk menjadi anggota pula

    sehingga jaringan pelanggan/pasar semakin besar/luas, itu artinya mitraniaga telah

    berjasa mengangkat omset perusahaan. Atas dasar itulah kemudian perusahaan

    berterimakasih dengan bentuk memberi sebagian keuntungannya kepada

    mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif berupa bonus, baik bonus bulanan,

    tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.

    Konsep MLM pertama dicetuskan oleh NUTRILITE sebuah perusahaan AS

    pada tahun 1939. Saat ini MLM di seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar

    10.000 an, di Indonesia jumlah MLM yang ada mencapai jumlah 1500an.

    Menurut data di internet, menunjukkan bahwa setiap hari muncul 10 orang

    millioner/ jutawan baru karena mereka sukses menjalankan bisnis MLM. Data

    menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk di Amerika Serikat kaya karena

    mereka sukses dari bisnis MLM, begitu pula di Malaysia. Kini jumlah MLM di

    Malaysia telah mencapai sekitar 2000-an dengan jumlah penduduk 20 jutaan.

    Tahun-tahun berikutnya diduga akan makin banyak perusahaan MLM dari

    Malaysia dan Negara lain akan masuk ke Indonesia.

    Perusahaan MLM syariah adalah perusahaan yang menerapkan sistem

    pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, dengan

    menggunakan konsep syariah, baik dari sistemnya maupun produk yang dijual.

    Pada dasarnya MLM syariah merupakan konsep jual beli yang berkembang

    dengan berbagai macam variasinya. Perkembangan jual beli dan variasinya ini

    tentu saja menuntut kehati-hatian agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang

    diharamkan oleh syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya atau

    pada sistemnya. Menurut Syafei (2008:73) jual beli dalam bahasa Arab adalah

    berdasarkan cara khusus yang diperbolehkan. Landasannya adalah terdapat pada

    surat Al Baqarah ayat 275, Al Baqarah ayat 282 dan An Nisa ayat 29. Pada Al

    Baqarah ayat 275 Allah berfirman :

    -orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan

    seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.

    Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata

    (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah

    menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai

    kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),

  • 14

    maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan

    urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka

    orang itu adalah penghuni-

    Allah SWT juga memerintahkan manusia agar mengembara di muka bumi

    mencari karunia (nafkah) setelah melakukan ibadah shalat. Allah SWT berfirman

    dalam surat Al Jumuah ayat 10 :

    bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu

    Pada as Sunnah Rasululah SAW pernah ditanya mengenai mata pencaharian

    yang paling baik. Rasul menjawab :

    leh kepedulian akan kondisi

    perekonomian umat Islam Indonesia yang masih terpuruk. Umat Islam yang

    menjadi mayoritas di negeri ini, harus menggunakan kekuatan jaringan, agar

    pemberdayaan potensi bisnis umat Islam Indonesia, bisa diwujudkan.

    Pemberdayaan ekonomi kaum Muslimin, adalah pemberdayaan ekonomi

    kerakyatan yang harus dilakukan, sebab sebagian besar rakyat Indonesia adalah

    umat Islam.

    produk-produk Muslim yang halalan thayyiban yang dibidani oleh figur ulama

    dari MUI dan ICMI. Gerakan ini juga mendapat dukungan kuat dari pakar

    ekonomi Islam dan perguruan tinggi Islam yang mengembangkan kajian ekonomi

    Dengan demikian, MLM konvensional yang berkembang pesat saat ini,

    -aspek haram dan syubhat

    dihilangkan dan diganti dengan nilai-

    tauhid, akhlak, hukum muamalah. Visi dan misi MLM bisa juga berbeda total

    dengan MLM sy

    konvensional yang pernah ada dan berkembang di Indonesia saat ini. Perbedaan

    itu terlihat dalam banyak hal, seperti perbedaan motivasi dan niat, visi, misi,

    prinsip, orientasi, komoditi, sistem pengelolaan, pengawasan dan sebagainya.

    barang-

    mengangkat derajat ekonomi umat. Keempat, mengutamakan produk dalam

    negeri.

    derajat ekonomi umat melalui usaha yang sesua

    Kedua, meningkatkan jalinan ukhuwah Islam di seluruh dunia. Ketiga,

    membentuk jaringan ekonomi Islam dunia, baik jaringan produksi, distribusi,

    maupun konsumennya, sehingga dapat mendorong kemandirian dan kemajuan

    ekonomi umat. Keempat, memperkukuh ketahanan aqidah dari serbuan budaya

    dan idelogi yang tidak Islami. Kelima, mengantisipasi dan meningkatkan strategi

  • 15

    menghadapi era liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Keenam,

    meningkatkan ketenangan batin konsumen Muslim dengan tersedianya produk-

    produk halal dan thayyib.

    untuk berkembang dimasa depan. Hal ini disebabkan mayoritas bangsa Indonesia

    menganut agama Islam dan MLM yang dijalankan sesuai syari

    dan mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI hanya ada

    tiga yaitu PT Ahad-Net Internasional, PT UFO, dan PT Exer Indonesia dengan

    rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia No. U-299/DSN-MUI/XI/2007.

    Selanjutnya dari segi fikh muamalah ada beberapa ulama yang belum berani

    keberadaan Multi Level Marketing masih menjadi kontroversi bagi sebagian

    nyebab keraguan

    masyarakat akan kehalalan MLM mengingat begitu banyaknya kejadian di

    masyarakat yang kontroversial dimana masyarakat yang menginginkan

    kemakmuran, kekayaan dan kesehatan dalam waktu relative singkat dan juga

    terdapat beberapa kejadian-kejadian yang menarik dan mengejutkan mengenai

    keberadaan MLM syariah ini, maka penulis sangat tertarik untuk mendalami dan

    mencoba meneliti dari segi fikh muamalah. Penulis tertarik untuk memeriksa

    MLM ini dengan rumusan masalah : Bagaimana keberadaan MLM dilihat dari

    segi sisi fiqh muamalah ?

    (Sumber: Zona Ekonomi Islam http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-

    muammalah#more-1519).

    http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-muammalah#more-1519http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-muammalah#more-1519
  • 16

    BAGIAN 4

    HUKUM AL-FARAIDH (WARISAN)

    Pengertian Faraidh Faraidh fariidhah. Kata fariidhah terambil

    dari kata fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah swt berfirman:

    (QS al-

    Baqarah: 237).

    fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk

    ahli waris.

    Peringatan Keras Agar Tidak Melampaui Batas dalam Masalah Warisan Sungguh bangsa Arab pada masa Jahiliyah, sebelum Islam datang memberi

    hak warisan kepada kaum laki-laki, dan tidak diberikan kepada perempuan, dan

    kepada orang-orang dewasa, dan tidak diberikan anak-anak kecil.

    Tatkala Islam datang, Allah

    haknya. Hak-hak ini disebut (QS an-

    pula (QS an-

    tersebut dilanjutkan dengan masalah peringatan keras dan ancaman serius bagi

    orang-

    Allah swt berfirman: -hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan

    dari Allah, barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah

    memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,

    sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan

    barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-nya dan melanggar ketentuan-

    ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkanya ke dalam api neraka sedang ia kekal

    (QS an- -14).

    Harta Mayyit Yang Sah Menjadi Warisan Manakala seseorang meninggal dunia, maka yang mula-mula harus diurus

    dari harta peninggalannya adalah biaya persiapan jenazah dan penguburannya

    kemudian pelunasan hutangnya, lalu penyempurnaan wasiatnya, lantas kalau

    masih tersisa harta peninggalannya dibagi-bagikan kepada seluruh ahli warisnya.

    Allah swt berfirman:

    (QS an-

    Dan pernyataan Ali ra:

    (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2195, Irwa-ul Ghalil no: 1667, Ibnu

    Majah II: 906 no: 2715 dan Tirmidzi III: 294 no: 2205).

    Faktor-Faktor yang Menyebabkan Mendapat Warisan Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:

    1. Nasab Allah swt berfirman:

    -orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain

    lebih berhak (waris- (QS al-Ahzaab: 6)

    http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html
  • 17

    2. memerdekakannya):

    Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia bersabda, -

    Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X: 292).

    3. Nikah Allah swt menegaskan:

    -isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

    isteri- (QS an-

    Sebab-Sebab yang Menghalangi Mendapat Warisan 1. Pembunuhan

    Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw bahwa Beliau bersabda,

    (Shahih: Shahihul

    -ul Ghalil no: 1672, Tirmidzi II: 288 no:

    2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).

    2. Berlainan agama: Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Nabi saw bersabda,

    boleh menjadi ahli waris orang kafir dan tidak (pula) orang kafir menjadi

    6764, Muslim III: 1233 no: 1614, Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu Majah

    3. Perhambaan Sebab seorang hamba dan harta bendanya adalah menjadi hak milik

    tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya memberi warisan, maka ia

    menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.

    Para Ahli Waris dari Pihak Lelaki Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:

    1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah. Allah swt berfirman:

    u tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

    Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak

    perempuan."

    3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas. Allah swt berfirman:

    "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

    yang ditinggalkan."

    Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda:

    "Saya adalah anak Abdul Muthallib."

    4315, Muslim III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi III: 117 no: 1778).

    5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah. Allah swt berfirman:

  • 18

    "Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),

    jika ia tidak mempunyai anak."

    7 dan 8. Paman dan anaknya serta seterusnya. Nabi saw bersabda:

    "Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya

    untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."

    Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III: 1233 no: 1615, Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan

    no: 2881, Sunan Ibnu Majah II: 915 no. 2740).

    9. Suami. Allah swt berfirman:

    "Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-

    isterimu."

    10. Laki-laki yang memerdekakan budak. Sabda Nabi saw:

    "Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."

    Perempuan-Perempuan Yang Menjadi Ahli Waris Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:

    1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya. Firman-Nya:

    -anakmu."

    3 dan 4. Ibu dan nenek. Firman-Nya:

    "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An

    5. Saudara perempuan. Allah swt berfirman:

    "Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai

    saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari

    harta yang ditinggalkan itu."

    6. Isteri. Allah swt berfirman:

    "Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An

    7. Perempuan yang memerdekakan budak. Sabda Nabi saw:

  • 19

    "Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya."

    Orang-Orang yang Berhak Mendapatkan Warisan Orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan ada tiga

    kelompok, yaitu: dzu fardh (kelompok yang sudah ditentukan bagiannya), kedua,

    ashabah dan ketiga rahim (atau disebut juga ulul arham).

    Bagian-

    (pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua

    pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.

    A. Yang dapat 1/2: 1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit

    tidak meninggalkan anak.

    Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan

    isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An

    12).

    2. Seorang anak perempuan. Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat

    separuh."

    3. Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut

    -laki dan cucu

    perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu

    laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan

    anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-

    4. dan 5. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan

    sebapak.

    Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai

    anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan

    dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu."

    B. Yang dapat 1/4 ; dua orang. 1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.

    Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat

    seperempat dari harta yang mereka tinggalkan."

    2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa

    yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An

    C. Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu): ]

    Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.

    Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat

    seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan."

  • 20

    D. Yang dapat 2/3; empat orang 1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).

    Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua

    orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang

    ditinggalkan (oleh bapaknya)."

    3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan

    sebapak.

    Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka

    mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." 176).

    E. Yang dapat 1/3; dua orang: 1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang).

    Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi

    ahli warisnya (hanya) ibu dan baoak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An

    2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak

    meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang

    saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap

    orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-

    saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS

    F. Yang dapat 1/6; ada tujuh orang: 1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih

    dari seorang. Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian

    masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

    meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak

    mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya

    dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka

    ibunya dapat seperenam."

    2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, tidak

    3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak

    meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang

    saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap

    orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisa

    4. Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan: Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil

    berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak

    perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia

    menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan

    kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan

    sampaikan kepadanya,

  • 21

    sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak

    termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan

    dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw:

    yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki

    dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk

    menyampaikan pernya

    yang berilmu ini berada di tengah- -ul Ghalil

    ,

    Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi

    tidak termaktub kalimat terakhir).

    5. Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena

    dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak

    perempuan.

    6. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari

    mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak

    7. Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak.

    .

    (Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi

    Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam

    Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka

    As-Sunnah), hlm. 797 - 808., http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-

    kitab-al-faraidh-warisan.html )

  • 22

    BAGIAN 5

    HUKUM AR-RAHNU (PEGADAIAN) DALAM ISLAM

    Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah

    dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun

    muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi

    dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di

    antara mereka.

    Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi

    kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama

    manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke

    tangan yang lain.

    Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul

    fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini.

    Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga

    dalam meminjamkan hartanya.

    Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian,

    baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini.

    Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil

    dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam

    kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.

    Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya

    dengan batil.

    Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam

    tinjauan syariat Islam.

    Definisi ar-Rahn

    Rahn,

    ngan dasar firman Allah,

    -tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah

    (Qs. Al-Muddatstsir: 38)

    ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap

    ditempatnya.[2]

    menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini

    -

    Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan

    dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi

    utang

  • 23

    tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu

    pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak

    Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang

    dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau

    dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu

    melunasinya.[7]

    Hukum ar-Rahn

    Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan

    dasar al-Quran, as-

    Dalil al-Quran adalah firman Allah,

    sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

    tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian

    kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu

    menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah

    Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan

    barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang

    (Qs. al-

    Baqarah: 283)

    berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim

    (men

    keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).

    Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah

    sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin

    Aisyah dalam pernyataan beliau,

    seora

    (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)

    Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya

    ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih

    kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-

  • 24

    ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid,

    ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.

    -rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak

    safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).

    Ibn

    -rahn itu tidak ada,

    sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

    Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas

    ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah di

    atas dan sabda beliau ,

    (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh

    diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang

    (Hr. Al-

    Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar [10], dan

    Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. [11]

    Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan),

    maka bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah

    hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau

    wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua

    pendapat.

    Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim.

    Hambaliyah).

    Ibnu Qudamah berkata -rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami

    tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang

    sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan

    Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn

    dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga

    menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).

    Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib

    untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah

    (penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn ada ketika penulisan

    perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib

    untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).

  • 25

    Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan

    yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,

    sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

    ada barang

    perintah.

    Juga dengan sabda Rasulullah ,

    (Hr. Al-Bukhari)

    -rahn dalam keadaan safar terdapat

    dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk

    mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam

    Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat

    tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan

    dalam firman Allah setelahnya,

    (Qs. Al-

    Baqarah: 283)

    Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh

    (mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada

    Hikmah Pensyariatannya

    Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal

    harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat

    membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak.

    Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah

    kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin

    yang menjaminnya.

    Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang

    dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah

    pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan

    barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia

    melunasi utangnya.

  • 26

    Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan

    orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.

    Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi

    kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan

    kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut,

    yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.

    Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta

    berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.

    Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas

    interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di

    antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.

    Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan,

    dan melapangkan penguasa.[14]

    Rukun ar-Rahn (Gadai) Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:

    1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan). 2. Al-marhun bih (utang). 3. Shighah. [15] 4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan

    murtahin (pemberi utang).

    Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu

    rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi. [16]

    Syarat ar-Rahn Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:

    1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu

    orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi

    beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan

    mengatur).[17]

    2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)

    a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik

    barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. [18]

    b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang

    diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. [19]

    c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-

    rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. [20]

    3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang

    wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]

    Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah

    menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah

    serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:

  • 27

    Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn.

    Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Sya

    bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.

    -rahn adalah

    transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-

    terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang

    belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya,

    sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [22]

    Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan

    demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang

    gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab

    Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.

    Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain

    itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-

    terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga

    menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan

    bukan syarat sahnya.

    h sifat keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya)

    tidak dengan serah-terima (al-qabdh). [23]

    Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-

    rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat

    merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai

    tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.

    Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam

    transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah

    terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya. [24]

    Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah? Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan,

    seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara

    mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.

    Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan.

    Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah

    dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati

    bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat

    dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.

    Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan,

    maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang

    berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari

    tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh

    yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

    Hukum-hukum Setelah Serah Terima Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang

    berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai,

  • 28

    pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau

    hilang, di antaranya:

    Pertama, pemegang barang gadai.

    Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian

    gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,

    sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

    (Qs. Al-Baqarah: 283)

    Juga sabda Rasulullah ,

    (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh

    diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang

    (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)

    Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.

    Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang

    digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak

    boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut

    berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh

    menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam

    pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya

    nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada

    sabda Rasulullah ,

    oleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya

    (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh

    diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang

    menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan

    (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)

    Syekh al-

    Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga

    miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki

    air susu yang diperas, pen). [25]

    Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar

    barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain

    tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin

  • 29

    (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan

    utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh

    dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.

    Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki

    susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras

    susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut,

    tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah

    bersabda,

    h ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya

    (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh

    diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang

    menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan mak

    (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).

    Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari

    bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah

    hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullah ,

    (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)

    Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan

    hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -

    insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. [26]

    Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan

    gadai dengan pernyataan

    bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak

    kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan

    padanya.

    Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak

    ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah

    kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi

    (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin),

    dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan

    memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara

    menafkahi (hewan tersebut).

    Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan

    nafkah, maka dalam hal ini ad

    Ketiga, pertumbuhan barang gadai.

    Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan,

    adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti

    (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan

  • 30

    ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam

    hal ini.

    Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan

    bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang

    gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai

    tersebut.

    berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut

    serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya.

    hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan

    hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang

    yang menafkahinya. [28]

    Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang

    gadai.

    Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah

    selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya

    (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.

    Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo,

    sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang

    memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung

    tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).

    Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa

    barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang

    memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa

    orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam

    tidak mampu melunasi utangnya tersebut.

    Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang

    gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata

    hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi

    milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil

    penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang

    menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]

    Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya.

    Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai meminta

    kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya,

    karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang

    tanpa gadai.

    Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan

    kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia

    tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang

    menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui

    wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik

    piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.

    Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang

    gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual

    barang gadainya tersebut.

  • 31

    Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai

    tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat

    Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya

    tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil

    penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh

    menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk

    memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah

    (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh

    memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka

    meniadakan kezaliman. [30]

    Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya

    dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena

    tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan

    barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di

    masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang)

    dipenjarakan.

    Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka

    selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai

    tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang

    gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang

    tersebut.

    Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita

    yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada

    padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan

    mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk

    kezaliman yang harus dihilangkan.

    Wallahul Muwaffiq.

    Referensi: 1. Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin

    Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr.

    Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-

    Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.

    2. -Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su ,

    disusun oleh al-Amanah al- -Ulama, cetakan pertama,

    tahun 1422 H.

    3. Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam,

    cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA.

    4. Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan

    Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, Penerbit Hajar,

    Kairo, Mesir.

    5. Al- , Imam Nawawi, dengan penyempurnaan

    Muhamma Najib al- ar Ihya at-Turats al-

    Beirut.

    Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi.

    Artikel: EkonomiSyariat.Com

    http://ekonomisyariat.com/
  • 32

    ===

    Catatan kaki:

    [1] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al

    Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.

    [2] Lisan al-Arab, -

    Fiqh al- -

    Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin

    Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425H, Madar al-Wathani lin Nasyr,

    Riyadh, KSA, hlm. 115.

    [3] -Lughah -Ulama

    bil Mamlakah al-Arabiyah as- h, disusun oleh al-Amanah al-

    -Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H, 6/102.

    [4] Lihat: Al- , Imam Nawawi, dengan penyempurnaan

    Muhamma Najieb al- -Turats al-

    Beirut, 12/299 300.

    [5] Lihat: Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-

    Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H,

    penerbit Hajar, Kairo, Mesir, 6/443.

    [6] Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab al-

    [7] Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-Maram : 4/460.

    [8] : 6/107.

    [9] Lihat: Al-Mughni: 6/444 dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.

    [10]Fathul Bari: 5/140.

    [11] -Bayan: 1/228.

    [12]Al-Mughni: 6/444.

    [13] : 6/112 112.

    [14] : 6/112.

    [15]Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat

    mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab

    qabul, atau berupa perbuatan.

    [16]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

    [17]Lihat: 12/302, al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116,

    dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.

    [18]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

    [19]Taudhih al-Ahkam: 4/460 dan al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116.

    [20]Taudhih al-Ahkam: 4/460.

    [21]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

    [22]Al-Mughni: 6/446.

    [23]Taudhih al-Ahkam: 4/464.

    [24]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.

    [25]Lihat pembahasannya dalam Taudhih al-Ahkam: 4/462 477.

    [26]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.

    [27]Dinukil dari Taudhih al-Ahkam: 4/462.

    [28] ar Ulama 6/134-135

    [29]Taudhih al-Ahkam: 4/467.

    [30]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 119.

  • 33

    BAGIAN 6

    AKAD MURABAHAH DALAM HUKUM ISLAM DAN PROBLEMATIKA

    PENERAPANNYA PADA BANK SYARI'AH

    I. Pendahuluan Salah satu produk perbankan syariah yang dapat membantu nasabah dalam

    pengadaan barang adalah murabahah. Produk ini sama dengan ba'i bi saman ajil.

    ia merupakan pembiayaan yang diberikan kepada nasabah perbankan syariah,

    tetapi berbeda dengan pembiayaan konsumen (consumer finance) yang ada pada

    perbankan konvesional. Makalah ini memaparkan tentang seluk beluk dari

    murabahah tersebut kaitannya dengan perbankan syariah dan problematika yang

    dihadapinya.

    II. Pengertian Pengertian murabahah secara bahasa atau etimologis adalah berasal dari

    kata "ribh" yang artinya 'keuntungan' yaitu 'pertambahan nilai modal'. Kata

    murabahah merupakan bentuk mutual yang bermakna 'saling'. Jadi, murabahah

    artinya 'saling mendapatkan keuntungan'. Dalam ilmu fiqh, murabahah diartikan

    'menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas'.[1]

    Secara terminologis, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian

    barang dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan

    seterusnya tergantung kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada

    nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).[2]

    Muhammad Syafi'i Antonio mengutip Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa

    murabahah adalah "jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan

    yang disepakati". Dalam akad ini, penjual harus memberi tahu harga produk yang

    ia beli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[3]

    Ivan Rahmawan A. mendefinisikan murabahah sebagai suatu kontrak

    usaha yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak atau lebih dimana

    keuntungan dari kontrak usaha tersebut didapat dari mark up harga sebagaimana

    yang terjadi dalam akad jual beli biasa.[4]

    Heri Sudarsono mendefinisikan murabahah sebagai jual beli barang pada

    harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan

    nasabah. Dalam murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian barang

    kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu.[5]

    Udovitch via Abdullah Saeed mendefinisikan murabahah sebagai suatu

    bentuk jual beli dengan komisi, di mana si pembeli biasanya tidak dapat

    memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau

    ketika si pembeli tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia

    mencari jasa seorang perantara.[6]

    Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa hal pokok

    bahwa akad murabahah terdapat 1) pembelian barang dengan pembayaran yang

    ditangguhkan. Dengan defenisi ini, maka murabahah identik dengan ba'i

    bitsaman ajil. 2) Barang yang dibeli menggunakan harga asal. 3) Terdapat

    tambahan keuntungan (komisi, mark up harga, laba) dari harga asal yang telah

    disepakati. 4) terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak (pihak bank dan

    http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn1http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn2http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn3http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn4http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn5http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn6
  • 34

    nasabah) atau dengan kata lain, adanya kerelaan di antara keduanya. 5) Penjual

    harus menyebutkan harga barang kepada pembeli (memberi tahu harga produk).

    III. Landasan Syari'ah Akad Murabahah Adapun landasan syari'ah murabahah[7] adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 275,

    "...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...."

    Dan juga hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Suhaib ar-Rumi bahwa

    Rasulullah saw. bersabda,

    "Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,

    muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk

    keperluan rumah, bukan untuk dijual." (H. R. Ibnu Majah).

    Para ulama telah mengemukakan kehalalan murabahah karena keumuman

    dalil yang menjelaskan tentang dibolehkannya jual beli dalam skala umum. Ijma

    kaum muslimin menjadi landasan kebolehan murabahah ini, karena jual beli ini

    juga dilakukan di berbagai negeri dan setiap masa. Orang yang tidak memiliki

    ketrampilan jual beli dapat bergantung kepada orang lain dan hatinya tetap merasa

    tenang. Ia bisa membeli barang dan menjualnya dengan keuntungan yang logis

    sesuai kesepakatan.[8]

    Landasan syari'ah berikutnya adalah ketika MUI mengeluarkan fatwa

    tentang Uang Muka dalam Murabahah, maka landasan syari'ah yang

    dikemukakan adalah,[9]

    1. Q.S. al-Baqarah [2]: 282,

    "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [seperti

    berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya] tidak secara

    tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...."

    2. Q.S. al-Maidah [5]: 1,

    "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [Aqad (perjanjian)

    mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh

    manusia dalam pergaulan sesamanya]...."

    3. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari sahabat 'Amr bin

    'Auf,

    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang

    mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin

    http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn7http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn8http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn9
  • 35

    terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang

    halal atau menghalalkan yang haram."

    4. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat

    'Ubadah bin Samit. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Sahabat

    Ibnu 'Abbas dan Malik dari Yahya,

    "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan

    orang lain."

    5. Kaidah Usul al-Fiqh,

    "Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

    mengharamkannya."

    "Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."

    6. Ijma' ulama bahwa meminta uang muka dalam akad jual beli adalah boleh (jawaz).

    Demikian pula, ketika difatwakan tentang "diskon dalam akad

    murabahah", MUI juga mengutip landasan syar'i yang ada pada item no 2, 3, 5

    (kaidah yang pertama), dan kaidah usul al-fiqh berikut,

    "Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."[10]

    Ketika MUI memberikan fatwa tentang "Potongan Pelunasan dalam

    Murabahah", maka yang dijadikan landasan syar'i-nya adalah,[11]

    1. Q.S. al-Baqarah [2]: 275,

    2. Q.S. an-Nisa' [4]: 29,

    3. Q.S. al-Maidah [5]: 1,

    4. Q.S. al-Maidah [5]: 2,

    5) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Majah

    dan di-sahih-kan oleh Ibnu Hibban berikut,

    "Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,

    'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah

    pihak'."

    6. Hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh oleh Imam at-Tabrani dalam al-Kabir dan

    al-Hakim dalam al-Mustadrak yang mengatakan bahwa hadis ini sahih. Hadis

    tersebut adalah sebagai berikut,

    http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn10http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn11
  • 36

    "Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw., ketika memerintahkan mengusir

    Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan, 'Wahai

    Nabi Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan mengusir kami sementara

    kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo', maka

    Rasulullah saw. berkata, 'Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat'.

    7. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari Amr bin Auf

    sebagai berikut,

    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang

    mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin

    terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang

    halal atau menghalalkan yang haram."

    8. Kaidah Usul al-Fiqh,

    "Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

    mengharamkannya."

    IV. Profil Singkat tentang Murabahah

    1. Rukun Murabahah Murabahah mempunyai beberapa rukun yaitu,

    1) Para pihak (al-'aqidan, );

    2) Pernyataan kehendak (sigat al-'aqd, );

    3) Obyek akad (mahall al-'aqd, );

    4) Tujuan akad (maudu al-'aqd, )[12]

    Ivan Rahmawan mengemukakan rukun murabahah antara lain, 1) Penjual

    (ba'i); 2) Pembeli (musytari); 3) Barang/ objek (mabi'); 4) Harga (saman); 5) Ijab

    qabul (sigat).[13]

    2. Syarat Murabahah Terdapat delapan syarat terbentuknya akad murabahah, yaitu:

    1) Tamyiz (at-tamyiz);

    2) Berbilang pihak (ta'addud at-tarfain);

    3) Pertemuan kehendak atau kesepakatan (tatabuq al-iradatain);

    4) Kesatuan majlis (ittihad at-tarfain)

    5) Obyek ada pada waktu akad [dapat diserahkan] (wujud al-mal 'inda al-'aqd au

    al-qudrah 'ala at-taslim);

    6) Objek dapat ditransaksikan (salahiyah al-mal li at-ta'amuli);

    7) Objek tertentu atau dapat ditentukan (at-ta'yin au qabiliyyah al-mahal li at-

    ta'amuli);

    8) Tidak bertentangan dengan ketentuan syariah ('adamu mukhalafah asy-syar'i).[14]

    Adapun syarat keabsahan murabahah adalah,

    http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn12http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn13http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn14
  • 37

    1) Bebas dari paksaan (al-khalw min al-ikrah);

    2) Bebas dari garar atau ketidakjelasan (al-khalw min al-garar);

    3) Bebas dari riba (al-khalw min ar-riba)

    4) Bebas dari syarat fasid (al-khalw min asy-syurut al-fasidah);

    5) Tidak menimbulkan kerugian ketika penyerahan ('inda ad-darar 'inda at-

    taslim).[15]

    Di samping syarat-syarat di atas, terdapat juga syarat-syarat khusus, yaitu:

    1) Harus diketahui besarnya biaya perolehan komoditi.

    2) Harus diketahui keuntungan yang diminta penjual.

    3) Pokok modal harus berupa benda bercontoh atau berupa uang.

    4) Murabahah hanya bisa digunakan dalam pembiayaan bilamana pembeli

    murabahah memerlukan dana untuk membeli suatu komoditi secara riil dan tidak

    boleh untuk lainnya termasuk membayar hutang pembelian komoditi yang sudah

    dilakukan sebelumnya, membayar biaya overhead, rekening listrik, dan

    semacamnya.

    5) Penjual harus telah memiliki barang yang dijual dengan pembiayaan murabahah.

    6) Komoditi bersangkutan harus telah berada dalam resiko penjual.

    7) Komoditi obyek murabahah diperoleh dari pihak ketiga bukan dari pembeli

    murabahah bersangkutan (melalui jual beli kembali, )[16]

    Abdullah Saeed mengemukakan ciri dasar kontrak murabahah yang kalau

    diteliti, isinya tercakup dalam syarat murabahah yang telah dikemukakan di atas.

    Ciri dasar kontrak murabahah yang dimaksud adalah 1) si pembeli harus memiliki

    pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan tentang harga asli barang, batas laba

    (mark up) harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga beserta biaya-

    biayanya; 2) apa yang dijual adalah barang atau komoditi dan dibayar dengan

    uang; 3) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh si penjual dan si

    penjual harus harus mampu menyerahkan barang tersebut kepada si pembeli; dan

    4) pembayarannya ditangguhkan. Murabahah digunakan dalam setiap

    pembiayaan di mana ada barang yang bisa diidentifikasi untuk dijual.[17]

    3. Ketentuan Umum Murabahah menurut Fatwa Dewan Syariah

    Nasional Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/ DSN-MUI/IV/2000

    tanggal 1 April 2000, dipaparkan tentang ketentuan umum murabahah sebagai

    berikut;[18]

    I. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah adalah sebagai berikut:

    (1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba

    (2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam

    (3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah

    disepakati kualifikasinya

    (4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atan nama bank sendiri, dan

    pembelian ini harus sah dan bebas riba

    (5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya

    jika pembelian dilakukan secara berhutang

    (6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga

    jual senilai harga beli ditambah keuntungan. Dalam hal ini, bank harus

    http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn15http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn16http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn17http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn18
  • 38

    memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang

    diperlukan

    (7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka

    waktu tertentu yang telah disepakati

    (8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak

    bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah

    (9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak

    ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip

    menjadi milik bank

    II. Ketentuan murabahah Kepada Nasabah

    (1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau

    asset kepada bank

    (2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset

    yang dipesannya secara sah dengan pedagang

    (3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus

    menerima atau membelinya sesuai dengan pernjanjian yang telah disepakati,

    karena secara hukum, perjanjian tersebut mengikat kemudian kedua belah pihak

    harus membuat kontrak jual beli

    (4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang

    muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan

    (5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus

    dibayar dari uang muka tersebut

    (6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank

    dapat meminta kemnbali sisa kerugiannya kepada nasabah

    (7) Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:

    (a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa

    harga

    (b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar

    kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut: dan jika uang

    muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya

    III. Jaminan dalam Murabahah

    (1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya

    (2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang

    IV. Hutang dalam Murabahah

    (1) secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada

    kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas

    barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan

    keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya

    kepada bank

    (2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak

    wajib segera melunasi seluruhnya

    (3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus

    menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat

    pembayaran-pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan

    V. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

    (1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian

    hutangnya

  • 39

    (2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu

    pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

    Badan Arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah

    VI. Bangkrut dalam Murabahah

    (1) Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank

    harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali, atau berdasarkan

    kesepakatan.

    4. Murabahah dan Ba'i bi Saman Ajil Murabahah sama dengan ba'i bi saman ajil, seperti yang dikemukakan

    oleh Adiwarman A. Karim. Ia mengatakan bahwa "sebenarnya produk

    pembiayaan ba'i bi saman ajil secara fiqh adalah ba'i bi saman ajil yang

    murabahah. Adapun murabahah, secara fiqh pembayarannya dapat dilakukan

    lewat naqdan (tunai) atau bi saman ajil (tangg