-
0
HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM
Dihimpun oleh:
ABDURRAHMAN
MA MUHAMMADIYAH 1 MALANG
2011
-
1
DAFTAR ISI
Pendahuluan: Kewajiban Mempelajari Fikih Muamalah (Fikih Ekonomi) ................... 2
Bagian 1 Hukum Jual Beli Dalam Islam ........................................................................ 7
Bagian 2 Jual Beli yang Terlarang ................................................................................. 10
Bagian 3 MLM Menurut Fiqh Muammalah .................................................................. 13
Bagian 4 Hukum Al-Faraidh (Warisan) ........................................................................ 16
Bagian 5 Hukum Ar-Rahnu (Pegadaian) Dalam Islam .................................................. 22
Bagian 6 Akad Murabahah Dalam Hukum Islam dan Problematika Penerapannya
Pada Bank Syari'ah ......................................................................................................... 33
Bagian 7 Ijarah (Sewa Menyewa dan Upah Mengupah)
Bagian 8
hibah menurut hukum islam
Bagian 9
Hukum wakalah dan sulhu
Bagian 10
Hukum asuransi dalam islam
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1090:kewajiban-mempelajari-fikih-muamalah-fikih-ekonomi&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.htmlhttp://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.htmlhttp://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/hibah-menurut-islam.html -
2
PENDAHULUAN:
KEWAJIBAN MEMPELAJARI FIKIH MUAMALAH (FIKIH EKONOMI)
Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah
satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi
Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan
berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para ulama tidak pernah
mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah
(pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh
ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahas
ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj
karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani,
Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu
Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya.
Namun dalam waktu yang panjang, materi muamalah (ekonomi Islam)
cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting
dari ajaran Islam, akibatnya, terjadilah kajian Islam parsial (sepotong-sepotong).
Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah
(menyeluruh).
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
menyeluruh (kaffah) . Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan
itu musuh yang nyata bagimu. (QS.Al-Baqarah 208).
Akibat lainnya, ialah ummat Islam tertinggal dalam ekonomi dan banyak
kaum muslimin yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah
hidupnya, seperti riba, maysir, gharar, haram, batil, dsb.
Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran
Islam. Dalam kitab Al-
mengatakan :
Artinya :
Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia
dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1090:kewajiban-mempelajari-fikih-muamalah-fikih-ekonomi&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60 -
3
muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan
menjelaskan hukumnya kepada mereka.
Menurut ulama Abdul Sattar di atas, para ulama sepakat tentang mutlaknya
ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi
syariah)
Artinya :
Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang
maha penting (dharuriyah basyariyah)
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-
Iltizam bi Dhawabith asy-
muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam.
Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, g muamalah maliyah ini,
seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai
maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia
sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus
berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk
setiap muslim, namun untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya
fardhu kifayah
Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah
mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam izi)
Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa
umat Islam:
Tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah Tidak boleh beraktivitas perbankan, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas asuransi, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas koperasi, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas pegadaian, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas reksadana, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas jual-beli, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah
-
4
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan:
Artinya :
agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu
para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan
muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti
dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.
Dalam konteks ini Allah berfirman:
Artinya :
-kali Tiada Tuhan bagimu selain
Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku
melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu
kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat
kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)
mengajarkan
ingatkan mereka
tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama
ini.
Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa
keberatan diatur transaksi ekonominya.
Artinya :
yang menyuruh kamu agar
kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang
kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya
kamu adalah orang-
-
5
Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalaH. Ayat ini
juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh
sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah,
Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat
Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia
amkan
bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali
Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat
pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan
lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum
faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama
dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian
muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.
Muamalah adalah Sunnah Para Nabi. Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh
Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi
sepanjang sejarah.
Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para
Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah:
Artinya :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca
keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.
Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas,
sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan
-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam memperoleh d
ten
Ruang Lingkup Muamalah
1. Harta, Ha akad-akad) 2. 3. Ar-Rahn (tentang pegadaian) 4. Hiwalah (pengalihan hutang) 5. Ash-Shulhu (perdamaian bisnis) 6. Adh-Dhaman (jaminan, asuransi) 7. Syirkah (tentang perkongsian)
-
6
8. Wakalah (tentang perwakilan) 9. 10. 11. Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah) 12. an dalam syirkah atau sepadan tanah) 13. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga) 14. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun) 15. 16. Kafalah (penjaminan) 17. Taflis (jatuh bangkrut) 18. Al-Hajru (batasan bertindak) 19. alah (sayembara, pemberian fee) 20. Qaradh (pejaman) 21. 22. 23. 24. 25. dan transaksi vala 26. 27. Ijarah (sewa-menyewa) 28. Riba, konsep uang dan kebijakan moneter 29. Shukuk (surat utang atau obligasi) 30. Faraidh (warisan) 31. Luqthah (barang tercecer) 32. Waqaf 33. Hibah 34. Washiat 35. Iqrar (pengakuan) 36. 37. Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat) 38. Ibrak (pembebasan hutang) 39. Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur 40. Baitul Mal dan Jihbiz 41. Kebijakan fiskal Islam 42. Prinsip dan perilaku konsumen 43. Prinsip dan perilaku produse 44. Keadilan Distribusi 45. Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh) 46. - , 47. Ihtikar dan monopoli 48. Pasar modal Islami dan Reksadana 49. Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain
(Sumber: Agustianto, Penulis adalah: Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia dan Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana
Universitas Indonesia)
-
7
BAGIAN 1
HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM
Pengertian Jual Beli
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga,
sedangkan membeli yaitu menerimanya. Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya
yang mulia demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang
suci beberapa hukum muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan
karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan
tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan
sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.
Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as
Sunnah, ijma serta qiyas:
Allah Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli (Al Baqarah)"
Allah Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman
(rizki) dari Rabbmu " (Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di
musim haji).
Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling
berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah,
maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan
barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi
keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan
aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya"
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany
dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli,
adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada
perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada
orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia
tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang
lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai
kepada tujuan yang dikehendaki. .
Akad Jual Beli
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan
ucapan "saya beli "
Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan
kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah
ditentukan).
-
8
Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :
Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada
beberapa gambaran
1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil,
demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan
"ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu
jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)
3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.
Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan
(barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur
maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :
Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq
(sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika
jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan"
(HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila
keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual
belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk
menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa
maka sah jual belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang
sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba
sahaya dengan tanpa izin tuannya. (catatan : jual beli yang tidak boleh anak
kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh
orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang
sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat
sebagian dari para ulama pent).
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi
kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu"
(diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya
jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.
Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa
tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam
kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang
semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil
Bagi (Barang) yang diaqadi
1. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya
-
9
seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu
'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai,
khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan "
mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya,
mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis
atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika
mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di
dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau
tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles
perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka
beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".
2. Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai)
menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak
sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan
seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang
curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk
mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah
pencurinya sendiri..
3. Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk
penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu
yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak
mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang
masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli
sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana
yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian
" Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan
"pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0
sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan
melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi
(dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila
mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "
(Sumber : Mulakhos Fiqhy Syaikh Sholeh bin Fauzan AL Fauzan Penerbit
Dar Ibnul Jauzi - Saudi Arabia)
-
10
BAGIAN 2
JUAL BELI YANG TERLARANG
-Nya selama tidak
melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya
dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.
Jual Beli Ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan
u setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan
-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
meng
Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang
jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan
kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak
yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan
maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli
sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.
Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan
aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk
-masjid
yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya,
pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan
membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya
Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada
mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
batas." (QS. 24:36-37-38).
Jual Beli Untuk Kejahatan
Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu
terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah.
Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer
karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan
-menolong dalam perbuatuan dosa
Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di
waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi
penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang
demikian.
-
11
Ibnul Qoyim berkata "Telah jelas dari dalil-dal
akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka
persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala
diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim.
Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan.
Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi
menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan
kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."
Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia
tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina
-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-
orang yang beriman." (QS. 4:141). rsabda :
Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang
berkata kepada o
Nabi shalal aklah sebagian diatara
kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian
juala
Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya.
aya
Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang
diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita
untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta
mengingkari segenap pelakunya.
Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak
sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang
dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk
menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent). Hal ini
hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang
kampu
mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah, (Shahih
Tirmid
-
12
Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan
barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi
penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang
milikny
menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia
membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit.
Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit.
Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan.
Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas
waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena
termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia
menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan
bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya
sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.
-ekor sapi (sibuk denngan
bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan
kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian,
Abu Da
oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)
(Dikutip dari situs Zisonline, tulisan al Ustadz Qomar Su'aidi, Lc. Diarsipkan
al akh Fikri Thalib. Sumber : Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13;
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=66)
-
13
BAGIAN 3
MLM MENURUT FIQH MUAMMALAH
Benarkah MLM haram ? (Kajian Fiqh Muamalah)
Beberapa dekade belakangan ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang
atau dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM) semakin berkembang pesat di
tanah air. Perusahaan MLM adalah perusahaan yang menerapkan sistem
pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, yang dibangun
secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai
tenaga pemasaran. Konsep perusahaan ini adalah penyaluran barang (produk dan
jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut
terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan keuntungan di dalam garis
kemitraannya. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula disebut sebagai distributor
atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang lain untuk menjadi anggota pula
sehingga jaringan pelanggan/pasar semakin besar/luas, itu artinya mitraniaga telah
berjasa mengangkat omset perusahaan. Atas dasar itulah kemudian perusahaan
berterimakasih dengan bentuk memberi sebagian keuntungannya kepada
mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif berupa bonus, baik bonus bulanan,
tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.
Konsep MLM pertama dicetuskan oleh NUTRILITE sebuah perusahaan AS
pada tahun 1939. Saat ini MLM di seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar
10.000 an, di Indonesia jumlah MLM yang ada mencapai jumlah 1500an.
Menurut data di internet, menunjukkan bahwa setiap hari muncul 10 orang
millioner/ jutawan baru karena mereka sukses menjalankan bisnis MLM. Data
menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk di Amerika Serikat kaya karena
mereka sukses dari bisnis MLM, begitu pula di Malaysia. Kini jumlah MLM di
Malaysia telah mencapai sekitar 2000-an dengan jumlah penduduk 20 jutaan.
Tahun-tahun berikutnya diduga akan makin banyak perusahaan MLM dari
Malaysia dan Negara lain akan masuk ke Indonesia.
Perusahaan MLM syariah adalah perusahaan yang menerapkan sistem
pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, dengan
menggunakan konsep syariah, baik dari sistemnya maupun produk yang dijual.
Pada dasarnya MLM syariah merupakan konsep jual beli yang berkembang
dengan berbagai macam variasinya. Perkembangan jual beli dan variasinya ini
tentu saja menuntut kehati-hatian agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang
diharamkan oleh syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya atau
pada sistemnya. Menurut Syafei (2008:73) jual beli dalam bahasa Arab adalah
berdasarkan cara khusus yang diperbolehkan. Landasannya adalah terdapat pada
surat Al Baqarah ayat 275, Al Baqarah ayat 282 dan An Nisa ayat 29. Pada Al
Baqarah ayat 275 Allah berfirman :
-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
-
14
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-
Allah SWT juga memerintahkan manusia agar mengembara di muka bumi
mencari karunia (nafkah) setelah melakukan ibadah shalat. Allah SWT berfirman
dalam surat Al Jumuah ayat 10 :
bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
Pada as Sunnah Rasululah SAW pernah ditanya mengenai mata pencaharian
yang paling baik. Rasul menjawab :
leh kepedulian akan kondisi
perekonomian umat Islam Indonesia yang masih terpuruk. Umat Islam yang
menjadi mayoritas di negeri ini, harus menggunakan kekuatan jaringan, agar
pemberdayaan potensi bisnis umat Islam Indonesia, bisa diwujudkan.
Pemberdayaan ekonomi kaum Muslimin, adalah pemberdayaan ekonomi
kerakyatan yang harus dilakukan, sebab sebagian besar rakyat Indonesia adalah
umat Islam.
produk-produk Muslim yang halalan thayyiban yang dibidani oleh figur ulama
dari MUI dan ICMI. Gerakan ini juga mendapat dukungan kuat dari pakar
ekonomi Islam dan perguruan tinggi Islam yang mengembangkan kajian ekonomi
Dengan demikian, MLM konvensional yang berkembang pesat saat ini,
-aspek haram dan syubhat
dihilangkan dan diganti dengan nilai-
tauhid, akhlak, hukum muamalah. Visi dan misi MLM bisa juga berbeda total
dengan MLM sy
konvensional yang pernah ada dan berkembang di Indonesia saat ini. Perbedaan
itu terlihat dalam banyak hal, seperti perbedaan motivasi dan niat, visi, misi,
prinsip, orientasi, komoditi, sistem pengelolaan, pengawasan dan sebagainya.
barang-
mengangkat derajat ekonomi umat. Keempat, mengutamakan produk dalam
negeri.
derajat ekonomi umat melalui usaha yang sesua
Kedua, meningkatkan jalinan ukhuwah Islam di seluruh dunia. Ketiga,
membentuk jaringan ekonomi Islam dunia, baik jaringan produksi, distribusi,
maupun konsumennya, sehingga dapat mendorong kemandirian dan kemajuan
ekonomi umat. Keempat, memperkukuh ketahanan aqidah dari serbuan budaya
dan idelogi yang tidak Islami. Kelima, mengantisipasi dan meningkatkan strategi
-
15
menghadapi era liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Keenam,
meningkatkan ketenangan batin konsumen Muslim dengan tersedianya produk-
produk halal dan thayyib.
untuk berkembang dimasa depan. Hal ini disebabkan mayoritas bangsa Indonesia
menganut agama Islam dan MLM yang dijalankan sesuai syari
dan mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI hanya ada
tiga yaitu PT Ahad-Net Internasional, PT UFO, dan PT Exer Indonesia dengan
rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia No. U-299/DSN-MUI/XI/2007.
Selanjutnya dari segi fikh muamalah ada beberapa ulama yang belum berani
keberadaan Multi Level Marketing masih menjadi kontroversi bagi sebagian
nyebab keraguan
masyarakat akan kehalalan MLM mengingat begitu banyaknya kejadian di
masyarakat yang kontroversial dimana masyarakat yang menginginkan
kemakmuran, kekayaan dan kesehatan dalam waktu relative singkat dan juga
terdapat beberapa kejadian-kejadian yang menarik dan mengejutkan mengenai
keberadaan MLM syariah ini, maka penulis sangat tertarik untuk mendalami dan
mencoba meneliti dari segi fikh muamalah. Penulis tertarik untuk memeriksa
MLM ini dengan rumusan masalah : Bagaimana keberadaan MLM dilihat dari
segi sisi fiqh muamalah ?
(Sumber: Zona Ekonomi Islam http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-
muammalah#more-1519).
http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-muammalah#more-1519http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-muammalah#more-1519 -
16
BAGIAN 4
HUKUM AL-FARAIDH (WARISAN)
Pengertian Faraidh Faraidh fariidhah. Kata fariidhah terambil
dari kata fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah swt berfirman:
(QS al-
Baqarah: 237).
fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk
ahli waris.
Peringatan Keras Agar Tidak Melampaui Batas dalam Masalah Warisan Sungguh bangsa Arab pada masa Jahiliyah, sebelum Islam datang memberi
hak warisan kepada kaum laki-laki, dan tidak diberikan kepada perempuan, dan
kepada orang-orang dewasa, dan tidak diberikan anak-anak kecil.
Tatkala Islam datang, Allah
haknya. Hak-hak ini disebut (QS an-
pula (QS an-
tersebut dilanjutkan dengan masalah peringatan keras dan ancaman serius bagi
orang-
Allah swt berfirman: -hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah, barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkanya ke dalam api neraka sedang ia kekal
(QS an- -14).
Harta Mayyit Yang Sah Menjadi Warisan Manakala seseorang meninggal dunia, maka yang mula-mula harus diurus
dari harta peninggalannya adalah biaya persiapan jenazah dan penguburannya
kemudian pelunasan hutangnya, lalu penyempurnaan wasiatnya, lantas kalau
masih tersisa harta peninggalannya dibagi-bagikan kepada seluruh ahli warisnya.
Allah swt berfirman:
(QS an-
Dan pernyataan Ali ra:
(Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2195, Irwa-ul Ghalil no: 1667, Ibnu
Majah II: 906 no: 2715 dan Tirmidzi III: 294 no: 2205).
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Mendapat Warisan Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
1. Nasab Allah swt berfirman:
-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain
lebih berhak (waris- (QS al-Ahzaab: 6)
http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html -
17
2. memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia bersabda, -
Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X: 292).
3. Nikah Allah swt menegaskan:
-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri- (QS an-
Sebab-Sebab yang Menghalangi Mendapat Warisan 1. Pembunuhan
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw bahwa Beliau bersabda,
(Shahih: Shahihul
-ul Ghalil no: 1672, Tirmidzi II: 288 no:
2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).
2. Berlainan agama: Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Nabi saw bersabda,
boleh menjadi ahli waris orang kafir dan tidak (pula) orang kafir menjadi
6764, Muslim III: 1233 no: 1614, Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu Majah
3. Perhambaan Sebab seorang hamba dan harta bendanya adalah menjadi hak milik
tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya memberi warisan, maka ia
menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.
Para Ahli Waris dari Pihak Lelaki Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:
1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah. Allah swt berfirman:
u tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan."
3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas. Allah swt berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan."
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda:
"Saya adalah anak Abdul Muthallib."
4315, Muslim III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi III: 117 no: 1778).
5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah. Allah swt berfirman:
-
18
"Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),
jika ia tidak mempunyai anak."
7 dan 8. Paman dan anaknya serta seterusnya. Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya
untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."
Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III: 1233 no: 1615, Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan
no: 2881, Sunan Ibnu Majah II: 915 no. 2740).
9. Suami. Allah swt berfirman:
"Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu."
10. Laki-laki yang memerdekakan budak. Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."
Perempuan-Perempuan Yang Menjadi Ahli Waris Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:
1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya. Firman-Nya:
-anakmu."
3 dan 4. Ibu dan nenek. Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An
5. Saudara perempuan. Allah swt berfirman:
"Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkan itu."
6. Isteri. Allah swt berfirman:
"Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An
7. Perempuan yang memerdekakan budak. Sabda Nabi saw:
-
19
"Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya."
Orang-Orang yang Berhak Mendapatkan Warisan Orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan ada tiga
kelompok, yaitu: dzu fardh (kelompok yang sudah ditentukan bagiannya), kedua,
ashabah dan ketiga rahim (atau disebut juga ulul arham).
Bagian-
(pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua
pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.
A. Yang dapat 1/2: 1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit
tidak meninggalkan anak.
Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan
isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An
12).
2. Seorang anak perempuan. Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat
separuh."
3. Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut
-laki dan cucu
perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu
laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan
anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-
4. dan 5. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan
sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai
anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan
dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu."
B. Yang dapat 1/4 ; dua orang. 1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.
Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat
seperempat dari harta yang mereka tinggalkan."
2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa
yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An
C. Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu): ]
Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.
Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan."
-
20
D. Yang dapat 2/3; empat orang 1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua
orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan (oleh bapaknya)."
3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan
sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka
mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." 176).
E. Yang dapat 1/3; dua orang: 1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang).
Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi
ahli warisnya (hanya) ibu dan baoak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An
2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak
meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap
orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-
saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS
F. Yang dapat 1/6; ada tujuh orang: 1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih
dari seorang. Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya
dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya dapat seperenam."
2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, tidak
3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak
meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap
orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisa
4. Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan: Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil
berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak
perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia
menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan
kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan
sampaikan kepadanya,
-
21
sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak
termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan
dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw:
yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki
dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk
menyampaikan pernya
yang berilmu ini berada di tengah- -ul Ghalil
,
Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
tidak termaktub kalimat terakhir).
5. Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena
dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak
perempuan.
6. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari
mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak
7. Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak.
.
(Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi
Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka
As-Sunnah), hlm. 797 - 808., http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-
kitab-al-faraidh-warisan.html )
-
22
BAGIAN 5
HUKUM AR-RAHNU (PEGADAIAN) DALAM ISLAM
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun
muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi
dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di
antara mereka.
Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi
kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama
manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke
tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul
fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini.
Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga
dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian,
baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini.
Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil
dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam
kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.
Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya
dengan batil.
Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam
tinjauan syariat Islam.
Definisi ar-Rahn
Rahn,
ngan dasar firman Allah,
-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah
(Qs. Al-Muddatstsir: 38)
ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap
ditempatnya.[2]
menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini
-
Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan
dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi
utang
-
23
tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu
pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak
Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang
dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau
dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu
melunasinya.[7]
Hukum ar-Rahn
Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan
dasar al-Quran, as-
Dalil al-Quran adalah firman Allah,
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
(Qs. al-
Baqarah: 283)
berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim
(men
keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah
sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin
Aisyah dalam pernyataan beliau,
seora
(Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya
ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih
kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-
-
24
ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid,
ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak
safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
Ibn
-rahn itu tidak ada,
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas
ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah di
atas dan sabda beliau ,
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh
diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang
(Hr. Al-
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar [10], dan
Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. [11]
Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan),
maka bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah
hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau
wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua
pendapat.
Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim.
Hambaliyah).
Ibnu Qudamah berkata -rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami
tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang
sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn
dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga
menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).
Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib
untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah
(penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn ada ketika penulisan
perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib
untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).
-
25
Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan
yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
ada barang
perintah.
Juga dengan sabda Rasulullah ,
(Hr. Al-Bukhari)
-rahn dalam keadaan safar terdapat
dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk
mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam
Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat
tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan
dalam firman Allah setelahnya,
(Qs. Al-
Baqarah: 283)
Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh
(mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada
Hikmah Pensyariatannya
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal
harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat
membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak.
Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah
kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin
yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang
dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah
pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan
barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia
melunasi utangnya.
-
26
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan
orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi
kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan
kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut,
yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta
berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas
interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di
antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan,
dan melapangkan penguasa.[14]
Rukun ar-Rahn (Gadai) Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:
1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan). 2. Al-marhun bih (utang). 3. Shighah. [15] 4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan
murtahin (pemberi utang).
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu
rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi. [16]
Syarat ar-Rahn Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:
1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu
orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi
beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan
mengatur).[17]
2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik
barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. [18]
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang
diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. [19]
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-
rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. [20]
3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang
wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]
Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah
menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah
serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:
-
27
Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn.
Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Sya
bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.
-rahn adalah
transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-
terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang
belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya,
sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [22]
Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan
demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang
gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab
Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.
Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain
itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-
terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga
menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan
bukan syarat sahnya.
h sifat keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya)
tidak dengan serah-terima (al-qabdh). [23]
Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-
rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat
merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai
tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam
transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah
terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya. [24]
Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah? Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan,
seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara
mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan.
Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah
dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati
bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat
dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan,
maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang
berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari
tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh
yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.
Hukum-hukum Setelah Serah Terima Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang
berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai,
-
28
pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau
hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian
gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
(Qs. Al-Baqarah: 283)
Juga sabda Rasulullah ,
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh
diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang
(Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak
boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut
berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh
menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam
pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya
nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada
sabda Rasulullah ,
oleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh
diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang
menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan
(Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Syekh al-
Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga
miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki
air susu yang diperas, pen). [25]
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar
barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain
tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin
-
29
(pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan
utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh
dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki
susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras
susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut,
tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah
bersabda,
h ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh
diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang
menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan mak
(Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari
bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah
hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullah ,
(Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan
hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -
insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. [26]
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan
gadai dengan pernyataan
bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak
kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan
padanya.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak
ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah
kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi
(qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin),
dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan
memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara
menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan
nafkah, maka dalam hal ini ad
Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan,
adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti
(bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan
-
30
ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam
hal ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan
bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang
gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai
tersebut.
berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut
serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya.
hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan
hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang
yang menafkahinya. [28]
Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang
gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah
selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya
(rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo,
sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang
memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung
tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa
barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang
memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa
orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam
tidak mampu melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang
gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata
hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi
milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil
penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang
menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]
Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya.
Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai meminta
kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya,
karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang
tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan
kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia
tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang
menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui
wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik
piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang
gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual
barang gadainya tersebut.
-
31
Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya
tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil
penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh
menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk
memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah
(pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh
memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka
meniadakan kezaliman. [30]
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena
tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan
barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di
masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang)
dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka
selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai
tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang
gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang
tersebut.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita
yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada
padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan
mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk
kezaliman yang harus dihilangkan.
Wallahul Muwaffiq.
Referensi: 1. Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr.
Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-
Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.
2. -Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su ,
disusun oleh al-Amanah al- -Ulama, cetakan pertama,
tahun 1422 H.
3. Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam,
cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA.
4. Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan
Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, Penerbit Hajar,
Kairo, Mesir.
5. Al- , Imam Nawawi, dengan penyempurnaan
Muhamma Najib al- ar Ihya at-Turats al-
Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi.
Artikel: EkonomiSyariat.Com
http://ekonomisyariat.com/ -
32
===
Catatan kaki:
[1] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al
Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.
[2] Lisan al-Arab, -
Fiqh al- -
Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin
Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425H, Madar al-Wathani lin Nasyr,
Riyadh, KSA, hlm. 115.
[3] -Lughah -Ulama
bil Mamlakah al-Arabiyah as- h, disusun oleh al-Amanah al-
-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H, 6/102.
[4] Lihat: Al- , Imam Nawawi, dengan penyempurnaan
Muhamma Najieb al- -Turats al-
Beirut, 12/299 300.
[5] Lihat: Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-
Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H,
penerbit Hajar, Kairo, Mesir, 6/443.
[6] Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab al-
[7] Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-Maram : 4/460.
[8] : 6/107.
[9] Lihat: Al-Mughni: 6/444 dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.
[10]Fathul Bari: 5/140.
[11] -Bayan: 1/228.
[12]Al-Mughni: 6/444.
[13] : 6/112 112.
[14] : 6/112.
[15]Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat
mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab
qabul, atau berupa perbuatan.
[16]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.
[17]Lihat: 12/302, al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116,
dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.
[18]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.
[19]Taudhih al-Ahkam: 4/460 dan al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116.
[20]Taudhih al-Ahkam: 4/460.
[21]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.
[22]Al-Mughni: 6/446.
[23]Taudhih al-Ahkam: 4/464.
[24]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.
[25]Lihat pembahasannya dalam Taudhih al-Ahkam: 4/462 477.
[26]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.
[27]Dinukil dari Taudhih al-Ahkam: 4/462.
[28] ar Ulama 6/134-135
[29]Taudhih al-Ahkam: 4/467.
[30]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 119.
-
33
BAGIAN 6
AKAD MURABAHAH DALAM HUKUM ISLAM DAN PROBLEMATIKA
PENERAPANNYA PADA BANK SYARI'AH
I. Pendahuluan Salah satu produk perbankan syariah yang dapat membantu nasabah dalam
pengadaan barang adalah murabahah. Produk ini sama dengan ba'i bi saman ajil.
ia merupakan pembiayaan yang diberikan kepada nasabah perbankan syariah,
tetapi berbeda dengan pembiayaan konsumen (consumer finance) yang ada pada
perbankan konvesional. Makalah ini memaparkan tentang seluk beluk dari
murabahah tersebut kaitannya dengan perbankan syariah dan problematika yang
dihadapinya.
II. Pengertian Pengertian murabahah secara bahasa atau etimologis adalah berasal dari
kata "ribh" yang artinya 'keuntungan' yaitu 'pertambahan nilai modal'. Kata
murabahah merupakan bentuk mutual yang bermakna 'saling'. Jadi, murabahah
artinya 'saling mendapatkan keuntungan'. Dalam ilmu fiqh, murabahah diartikan
'menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas'.[1]
Secara terminologis, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian
barang dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan
seterusnya tergantung kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada
nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).[2]
Muhammad Syafi'i Antonio mengutip Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa
murabahah adalah "jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati". Dalam akad ini, penjual harus memberi tahu harga produk yang
ia beli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[3]
Ivan Rahmawan A. mendefinisikan murabahah sebagai suatu kontrak
usaha yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak atau lebih dimana
keuntungan dari kontrak usaha tersebut didapat dari mark up harga sebagaimana
yang terjadi dalam akad jual beli biasa.[4]
Heri Sudarsono mendefinisikan murabahah sebagai jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan
nasabah. Dalam murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian barang
kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu.[5]
Udovitch via Abdullah Saeed mendefinisikan murabahah sebagai suatu
bentuk jual beli dengan komisi, di mana si pembeli biasanya tidak dapat
memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau
ketika si pembeli tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia
mencari jasa seorang perantara.[6]
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa hal pokok
bahwa akad murabahah terdapat 1) pembelian barang dengan pembayaran yang
ditangguhkan. Dengan defenisi ini, maka murabahah identik dengan ba'i
bitsaman ajil. 2) Barang yang dibeli menggunakan harga asal. 3) Terdapat
tambahan keuntungan (komisi, mark up harga, laba) dari harga asal yang telah
disepakati. 4) terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak (pihak bank dan
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn1http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn2http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn3http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn4http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn5http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn6 -
34
nasabah) atau dengan kata lain, adanya kerelaan di antara keduanya. 5) Penjual
harus menyebutkan harga barang kepada pembeli (memberi tahu harga produk).
III. Landasan Syari'ah Akad Murabahah Adapun landasan syari'ah murabahah[7] adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 275,
"...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...."
Dan juga hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Suhaib ar-Rumi bahwa
Rasulullah saw. bersabda,
"Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual." (H. R. Ibnu Majah).
Para ulama telah mengemukakan kehalalan murabahah karena keumuman
dalil yang menjelaskan tentang dibolehkannya jual beli dalam skala umum. Ijma
kaum muslimin menjadi landasan kebolehan murabahah ini, karena jual beli ini
juga dilakukan di berbagai negeri dan setiap masa. Orang yang tidak memiliki
ketrampilan jual beli dapat bergantung kepada orang lain dan hatinya tetap merasa
tenang. Ia bisa membeli barang dan menjualnya dengan keuntungan yang logis
sesuai kesepakatan.[8]
Landasan syari'ah berikutnya adalah ketika MUI mengeluarkan fatwa
tentang Uang Muka dalam Murabahah, maka landasan syari'ah yang
dikemukakan adalah,[9]
1. Q.S. al-Baqarah [2]: 282,
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [seperti
berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya] tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...."
2. Q.S. al-Maidah [5]: 1,
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [Aqad (perjanjian)
mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya]...."
3. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari sahabat 'Amr bin
'Auf,
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn7http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn8http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn9 -
35
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram."
4. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat
'Ubadah bin Samit. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Sahabat
Ibnu 'Abbas dan Malik dari Yahya,
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan
orang lain."
5. Kaidah Usul al-Fiqh,
"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya."
"Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."
6. Ijma' ulama bahwa meminta uang muka dalam akad jual beli adalah boleh (jawaz).
Demikian pula, ketika difatwakan tentang "diskon dalam akad
murabahah", MUI juga mengutip landasan syar'i yang ada pada item no 2, 3, 5
(kaidah yang pertama), dan kaidah usul al-fiqh berikut,
"Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."[10]
Ketika MUI memberikan fatwa tentang "Potongan Pelunasan dalam
Murabahah", maka yang dijadikan landasan syar'i-nya adalah,[11]
1. Q.S. al-Baqarah [2]: 275,
2. Q.S. an-Nisa' [4]: 29,
3. Q.S. al-Maidah [5]: 1,
4. Q.S. al-Maidah [5]: 2,
5) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Majah
dan di-sahih-kan oleh Ibnu Hibban berikut,
"Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah
pihak'."
6. Hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh oleh Imam at-Tabrani dalam al-Kabir dan
al-Hakim dalam al-Mustadrak yang mengatakan bahwa hadis ini sahih. Hadis
tersebut adalah sebagai berikut,
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn10http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn11 -
36
"Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw., ketika memerintahkan mengusir
Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan, 'Wahai
Nabi Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan mengusir kami sementara
kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo', maka
Rasulullah saw. berkata, 'Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat'.
7. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari Amr bin Auf
sebagai berikut,
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram."
8. Kaidah Usul al-Fiqh,
"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya."
IV. Profil Singkat tentang Murabahah
1. Rukun Murabahah Murabahah mempunyai beberapa rukun yaitu,
1) Para pihak (al-'aqidan, );
2) Pernyataan kehendak (sigat al-'aqd, );
3) Obyek akad (mahall al-'aqd, );
4) Tujuan akad (maudu al-'aqd, )[12]
Ivan Rahmawan mengemukakan rukun murabahah antara lain, 1) Penjual
(ba'i); 2) Pembeli (musytari); 3) Barang/ objek (mabi'); 4) Harga (saman); 5) Ijab
qabul (sigat).[13]
2. Syarat Murabahah Terdapat delapan syarat terbentuknya akad murabahah, yaitu:
1) Tamyiz (at-tamyiz);
2) Berbilang pihak (ta'addud at-tarfain);
3) Pertemuan kehendak atau kesepakatan (tatabuq al-iradatain);
4) Kesatuan majlis (ittihad at-tarfain)
5) Obyek ada pada waktu akad [dapat diserahkan] (wujud al-mal 'inda al-'aqd au
al-qudrah 'ala at-taslim);
6) Objek dapat ditransaksikan (salahiyah al-mal li at-ta'amuli);
7) Objek tertentu atau dapat ditentukan (at-ta'yin au qabiliyyah al-mahal li at-
ta'amuli);
8) Tidak bertentangan dengan ketentuan syariah ('adamu mukhalafah asy-syar'i).[14]
Adapun syarat keabsahan murabahah adalah,
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn12http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn13http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn14 -
37
1) Bebas dari paksaan (al-khalw min al-ikrah);
2) Bebas dari garar atau ketidakjelasan (al-khalw min al-garar);
3) Bebas dari riba (al-khalw min ar-riba)
4) Bebas dari syarat fasid (al-khalw min asy-syurut al-fasidah);
5) Tidak menimbulkan kerugian ketika penyerahan ('inda ad-darar 'inda at-
taslim).[15]
Di samping syarat-syarat di atas, terdapat juga syarat-syarat khusus, yaitu:
1) Harus diketahui besarnya biaya perolehan komoditi.
2) Harus diketahui keuntungan yang diminta penjual.
3) Pokok modal harus berupa benda bercontoh atau berupa uang.
4) Murabahah hanya bisa digunakan dalam pembiayaan bilamana pembeli
murabahah memerlukan dana untuk membeli suatu komoditi secara riil dan tidak
boleh untuk lainnya termasuk membayar hutang pembelian komoditi yang sudah
dilakukan sebelumnya, membayar biaya overhead, rekening listrik, dan
semacamnya.
5) Penjual harus telah memiliki barang yang dijual dengan pembiayaan murabahah.
6) Komoditi bersangkutan harus telah berada dalam resiko penjual.
7) Komoditi obyek murabahah diperoleh dari pihak ketiga bukan dari pembeli
murabahah bersangkutan (melalui jual beli kembali, )[16]
Abdullah Saeed mengemukakan ciri dasar kontrak murabahah yang kalau
diteliti, isinya tercakup dalam syarat murabahah yang telah dikemukakan di atas.
Ciri dasar kontrak murabahah yang dimaksud adalah 1) si pembeli harus memiliki
pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan tentang harga asli barang, batas laba
(mark up) harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga beserta biaya-
biayanya; 2) apa yang dijual adalah barang atau komoditi dan dibayar dengan
uang; 3) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh si penjual dan si
penjual harus harus mampu menyerahkan barang tersebut kepada si pembeli; dan
4) pembayarannya ditangguhkan. Murabahah digunakan dalam setiap
pembiayaan di mana ada barang yang bisa diidentifikasi untuk dijual.[17]
3. Ketentuan Umum Murabahah menurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/ DSN-MUI/IV/2000
tanggal 1 April 2000, dipaparkan tentang ketentuan umum murabahah sebagai
berikut;[18]
I. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah adalah sebagai berikut:
(1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba
(2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam
(3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya
(4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atan nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba
(5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara berhutang
(6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga
jual senilai harga beli ditambah keuntungan. Dalam hal ini, bank harus
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn15http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn16http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn17http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6154716137518059732#_ftn18 -
38
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang
diperlukan
(7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati
(8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak
bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah
(9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip
menjadi milik bank
II. Ketentuan murabahah Kepada Nasabah
(1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau
asset kepada bank
(2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset
yang dipesannya secara sah dengan pedagang
(3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus
menerima atau membelinya sesuai dengan pernjanjian yang telah disepakati,
karena secara hukum, perjanjian tersebut mengikat kemudian kedua belah pihak
harus membuat kontrak jual beli
(4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang
muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan
(5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus
dibayar dari uang muka tersebut
(6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank
dapat meminta kemnbali sisa kerugiannya kepada nasabah
(7) Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
(a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa
harga
(b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut: dan jika uang
muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya
III. Jaminan dalam Murabahah
(1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya
(2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang
IV. Hutang dalam Murabahah
(1) secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas
barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan
keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya
kepada bank
(2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak
wajib segera melunasi seluruhnya
(3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat
pembayaran-pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan
V. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah
(1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian
hutangnya
-
39
(2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu
pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
VI. Bangkrut dalam Murabahah
(1) Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank
harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali, atau berdasarkan
kesepakatan.
4. Murabahah dan Ba'i bi Saman Ajil Murabahah sama dengan ba'i bi saman ajil, seperti yang dikemukakan
oleh Adiwarman A. Karim. Ia mengatakan bahwa "sebenarnya produk
pembiayaan ba'i bi saman ajil secara fiqh adalah ba'i bi saman ajil yang
murabahah. Adapun murabahah, secara fiqh pembayarannya dapat dilakukan
lewat naqdan (tunai) atau bi saman ajil (tangg