12 senin, 22 mei 2017s, 0 kolom pakar - bi.go.id filemerusak kredibilitas yang diban-gun dengan...

2
SENIN, 22 MEI 2017 KOLOM PAKAR 12 UJ U U UR saja, saya merasa risau terhadap kon n n ndisi sosialpolitik di Indonesia, seiring dengan maraknya isu intoleransi yang cukup mencekam. Terlebih lagi, isu ini muncul di sekitar Mei, yang pada 19 tahun yang silam (20 Mei 1998) kita pernah menderita musibah huru-hara yang trauma- tik, yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Akankah hal ini akan memantik deja vu ? Tentu saja tidak boleh. Yang saya pikirkan adalah, kon- flik sosial-politik ini bisa amat mengganggu kondisi perekono- mian nasional, saat pemerintah dan semua stakeholders sedang berupaya mati-matian menjaga stabilitas dan berjuang agar per- tumbuhan ekonomi bisa tetap ‘sekadar’ 5% pada 2017. Terlebih lagi Indonesia masih menghadapi kondisi global yang tidak menentu: kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump yang tidak jelas; pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus merosot; prospek per- ekonomian Eropa dan Inggris yang bakal tersendat karena Brexit; dan lain-lain. Di tengah kegalauan itu, pada akhir pekan lalu (19 Mei 2017) kita justru mendapatkan ‘hadiah’atau hembusan angin amat segar yang memang sudah lama kita tung- gu. Lembaga pemeringkat utang Standard & Poor’s memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia. Meski hal tersebut sebenarnya sudah terantisipasi, tetap saja hal ini menggembirakan. Itu wajar, karena jika kasus sosial-politik intoleransi sampai dominan meng- ganggu mood persepsi pereko- nomian kita, segala susah payah insiatif pembangunan ekonomi In- donesia bakal buyar, berantakan, dan sia-sia. Karena itu, kehadiran investment grade dari S&P ini datang pada saat yang dibutuhkan. Ketika senti- men negatif dari sisi sosial-politik merebak dan kita membutuhkan hembusan sentimen positif yang signikan, datanglah investment grade ini. Predikat investment grade ini menjadi ‘penyempurna’ dari sta- tus setara yang sudah lebih dulu diberikan dua lembaga terkemuka lain, yakni Fitch dengan BBB- (21/12/16) dan Moody’s dengan Baa3 (8/2/17). Selain itu, juga masih ada Japan Credit Rating Agency dengan BBB (3/3/17) dan Rating and Investment Information Inc dengan BBB- (5/4/17). Kredibilitas skal Hal paling esensial yang mendo- rong S&P menaikkan peringkat In- donesia ialah kondisi dan outlook skal kita yang dinilai kian kredi- bel, akuntabel, dan berkelanjutan (sustainable). Ini penting, karena tatkala Presiden Jokowi memulai pemerintahannya pada Oktober 2014, dirinya berupaya keras un- tuk memacu kencang belanja skal untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Sepintas, strategi ini kelihatannya benar. Indonesia su- dah sangat ketinggalan n n dalam hal infrastruktur jika dibandingkan dengan negara-negara emerging markets (apalagi Tiongkok), ka- rena itu but u u u uh upaya yang luar biasa besar r r r agar segera dapat mengejarnya. Namun demikian, semua ke- hendak baik itu tetap harus mem- perhitungkan situasi dan kondisi. Di awal kabinet kerja, pertum- buhan penerimaan pajak dipatok 30%. Semua pengamat ekonomi terhenyak. Bagaimana angka 30% bakal diperoleh, padahal pereko- nomian global tengah dicekam penurunan yang cukup tajam? Perekonomian Tiongkok ya ng menikmati pertumbuhan ekonomi double digit selama delapan tahun saja(2001-2008) mulai menurun. Padahal, Tiongkok merupakan lokomotif perekonomian dunia, yang kinerjanya bakal berpenga- ruh terhadap kinerja negara-ne- gara lain di seluruh dunia. Beruntung hal ini mulai diko- reksi, seiring dengan masuknya Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan yang baru, tahun lalu. Target penerimaan pajak dipangkas, agar lebih sesuai dengan realitas. Belanja pun ter- paksa dipotong, meski hal itu pasti menyakitkan. Tapi tidak apa-apa sakit dalam jangka pendek, demi kredibilitas dan keberlanjutan skal di kemu- dian hari. Pasar pun menyambut positif: APBN yang sudah direvisi menjadi kredibel di mata pasar. Demikian pula akhirnya lembaga pemeringkat seperti Moody’s dan Fitch menilai positif, sehingga a- khirnya S&P tidak punya alasan lagi untuk menilai Indonesia de- ngan persepsi yang sama. Keanehan sempat timbul ketika JP Morgan sempat memberikan persepsi negatif terhadap Indone- sia. Namun, setelah komplain keras dilakukan Menteri Keuangan, JP Morgan pun akhirnya ‘menyerah’. Mereka pun mengakui Indone- sia tidak selayaknya dinilai lebih jelek daripada Brasil, negara yang tersandung krisis fiskal besar- besaran. Brasil menderita defisit fiskal hingga 10% terhadap PDB. Band- ingkan dengan Indonesia yang masih konservatif dengan desit APBN 2,5% terhadap PDB. Sikap aneh JP Morgan yang nekat ‘berani tampil beda’ ini justru mengganggu reputasi dan kredibilitasnya. Sa- ngat disayangkan dan ironis. Pelajaran terpenting dari kasus ini ialah, Indonesia harus me- nyusun kebijakan skalnya secara realistis. Tidak ada gunanya mema- tok target yang terlampau tinggi, jika itu tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Target tinggi seolah-olah memang bisa membuat persepsi positif bahwa hal itu menunjukkan optimisme dan antusiasme untuk bekerja keras. Namun, kalau tidak tercapai, bahkan jauh dari target, hal itu justru kontraproduktif, dan merusak kredibilitas yang diban- gun dengan susah payah. Arus masuk devisa Mesin fiskal yang dipaksakan untuk berlari terlalu kencang, itu ibarat mobil yang mesinnya kepanasan ( overheating ). Penga- laman serupa sebenarnya pernah dialami negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, sehingga memicu desit transaksi berjalan ( current account decit ) yang besar, yang kemudian menyebabkan kri- sis nansial Asia 1997-1998. Perbedaan kondisi sekarang (2014-2017) dengan saat itu (1996- 1998) ialah sekarang kita rawan menderita desit skal yang besar, sedangkan waktu itu desit tran- saksi berjalan yang besar. Pada saat ini, kondisi keseimbangan eksternal kita justru membaik. Neraca pembayaran ( balance of payments ) kita pada 2016 justru mengalami surplus US$12 miliar. Akibatnya, cadangan devisa kita terus meningkat. Selain karena neraca perdagangan kita akhir- akhir ini terus surplus (sehingga ada aliran devisa masuk), keber- hasilan amnesti pajak juga ikut menentukan. Program amnesti pajak semula terasa ambisius, misalnya mem- bayangkan bakal ada harta yang belum terungkap (belum terpantau kantor pajak), yang jumlahnya bisa setara dengan PDB kita setahun (Rp12 ribu triliun). Meski angka tersebut tidak tercapai, terung- kapnya kekayaan Rp4.855 triliun merupakan hasil yang positif dan signikan, untuk memperluas ba- sis pajak di kemudian hari. Prestasi ini mengesankan, apa- lagi jika dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain, seperti India. Pemerintah India sangat meyakini ada banyak ‘keka- yaan masyarakat yang disimpan di bawah bantal’. Itulah sebabnya mereka melun- curkan kebijakan demonetisasi (demonetization), yakni mencetak rupee baru untuk menggantikan uang lama, tetapi masyarakat hanya diberi batas waktu singkat untuk segera menukarkannya. Kisah sukses lain yang membuat S&P ‘jatuh hati’ kepada Indonesia adalah program repatriasi (pu- langnya dana orang Indonesia dari luar negeri) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar. Meski itu hanya 14,7% terhadap target, jumlah itu cukup signifi- kan untuk menaikkan cadangan devisa. Data terakhir cadangan devisa kita saat ini adalah US$123,2 mi- liar. Hanya sedikit di bawah rekor tertinggi US$124,65 miliar yang pernah kita capai pada Juli-Agustus 2011. Pada saat cadangan devisa men- capai rekor tertinggi tersebut, rupi- ah juga mencapai rekor terkuatnya sejak krisis 1998, yakni Rp8.600 per dolar AS. Namun, pencapaian ini jangan harap dapat kita ulangi, ka- rena situasinya sungguh berbeda. Pada 2011, pemerintah AS se- dang giat mencetak uang ( quanti- tative easing ) yang kemudian me- nyebar ke seluruh dunia, termasuk cukup deras menuju Indonesia. Sebaliknya sekarang, kebijakan QE tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan The Fed terus berupaya menaikkan suku bunga acuan- nya, yang berakibat kenaikan kurs dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Cadangan devisa kita berpotensi untuk memecahkan rekor baru, perkiraan saya bisa mencapai US$125 miliar. Meski mungkin dana repatriasi sudah semuanya masuk ke sini, kita kemungkinan masih akan menerima aliran modal masuk, baik melalui pa- sar modal (portofolio) maupun investasi secara langsung ( foreign ( direct investment ). Salah satu indikasinya ialah indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terus melaju, bahkan menembus rekor baru 5.820 sebe- lum terkoreksi menjadi 5.791 pada penutupan akhir pekan lalu (19/5). Kini ekspektasi pasar mulai meng- arah pada rekor baru 6.000. Saya cenderung melihat bahwa IHSG tidaklah perlu meloncat tajam da- lam tempo singkat, karena hal itu belum menunjukkan fundamental, atau didukung dengan underlying . Akibatnya, bisa timbul koreksi yang cukup tajam. Lebih baik IHSG mendaki setapak demi setahap, sambil berharap angkanya bisa berkorelasi (mencerminkan) de- ngan kondisi fundamental ekono- mi nasional (makro) serta kinerja emiten (mikro). Akhirnya, kita memang layak mendapat apresiasi dari S&P, se- bagaimana juga sudah dilakukan Moody’s dan Fitch. Semoga kerja keras para regulator dan pelaku ekonomi ini tidak diganggu lagi oleh hal-hal di luar aspek ekono- mi, seperti deraan konflik dan rongrongan sosial-politik. Kita su- dah letih mengikutinya. A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM dan Faculty Member BI Institute Kisah sukses l ain yang membuat S&P ‘jatuh hati’ kepada Indonesia adalah program repatriasi (pulangnya dana orang Indonesia dari luar negeri ) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar. SENO

Upload: duongtuyen

Post on 11-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 12 SENIN, 22 MEI 2017S, 0 KOLOM PAKAR - bi.go.id filemerusak kredibilitas yang diban-gun dengan susah payah. Arus masuk devisa Mesin fiskal yang dipaksakan untuk berlari terlalu kencang,

SENIN, 22 MEI 2017S , 0 KOLOM PAKAR12

UJUU UR saja, saya merasa risau terhadap konnnndisi sosialpolitik di Indonesia, seiring dengan maraknya isu intoleransi

yang cukup mencekam. Terlebih lagi, isu ini muncul di sekitar Mei, yang pada 19 tahun yang silam (20 Mei 1998) kita pernah menderita musibah huru-hara yang trauma-tik, yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Akankah hal ini akan memantik deja vu? Tentu saja tidak boleh.

Yang saya pikirkan adalah, kon-flik sosial-politik ini bisa amat mengganggu kondisi perekono-mian nasional, saat pemerintah dan semua stakeholders sedang berupaya mati-matian menjaga stabilitas dan berjuang agar per-tumbuhan ekonomi bisa tetap ‘sekadar’ 5% pada 2017. Terlebih lagi Indonesia masih menghadapi kondisi global yang tidak menentu: kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump yang tidak jelas; pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus merosot; prospek per-ekonomian Eropa dan Inggris yang bakal tersendat karena Brexit; dan lain-lain.

Di tengah kegalauan itu, pada akhir pekan lalu (19 Mei 2017) kita justru mendapatkan ‘hadiah’atau hembusan angin amat segar yang memang sudah lama kita tung-gu. Lembaga pemeringkat utang Standard & Poor’s memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia.

Meski hal tersebut sebenarnya sudah terantisipasi, tetap saja hal ini menggembirakan. Itu wajar, karena jika kasus sosial-politik intoleransi sampai dominan meng-ganggu mood persepsi pereko-nomian kita, segala susah payah insiatif pembangunan ekonomi In-donesia bakal buyar, berantakan, dan sia-sia.

Karena itu, kehadiran investment grade dari S&P ini datang pada saat yang dibutuhkan. Ketika senti-men negatif dari sisi sosial-politik merebak dan kita membutuhkan hembusan sentimen positif yang signifi kan, datanglah investment grade ini.

Predikat investment grade ini menjadi ‘penyempurna’ dari sta-tus setara yang sudah lebih dulu diberikan dua lembaga terkemuka lain, yakni Fitch dengan BBB- (21/12/16) dan Moody’s dengan Baa3 (8/2/17). Selain itu, juga masih ada Japan Credit Rating Agency dengan BBB (3/3/17) dan Rating and Investment Information Inc dengan BBB- (5/4/17).

Kredibilitas fi skalHal paling esensial yang mendo-

rong S&P menaikkan peringkat In-donesia ialah kondisi dan outlookfi skal kita yang dinilai kian kredi-bel, akuntabel, dan berkelanjutan (sustainable). Ini penting, karena tatkala Presiden Jokowi memulai pemerintahannya pada Oktober 2014, dirinya berupaya keras un-

tuk memacu kencang belanja fi skal untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Sepintas, strategi ini kelihatannya benar. Indonesia su-dah sangat ketinggalannn dalam hal infrastruktur jika dibandingkan dengan negara-negara emerging markets (apalagi Tiongkok), ka-rena itu butuuu uh upaya yang luar biasa besar rrr agar segera dapat mengejarnya.

Namun demikian, semua ke-hendak baik itu tetap harus mem-perhitungkan situasi dan kondisi. Di awal kabinet kerja, pertum-buhan penerimaan pajak dipatok 30%. Semua pengamat ekonomi terhenyak. Bagaimana angka 30% bakal diperoleh, padahal pereko-nomian global tengah dicekam penurunan yang cukup tajam? Perekonomian Tiongkok yang menikmati pertumbuhan ekonomi double digit selama delapan tahun tsaja(2001-2008) mulai menurun. Padahal, Tiongkok merupakan lokomotif perekonomian dunia, yang kinerjanya bakal berpenga-ruh terhadap kinerja negara-ne-gara lain di seluruh dunia.

Beruntung hal ini mulai diko-reksi, seiring dengan masuknya Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan yang baru, tahun lalu. Target penerimaan pajak dipangkas, agar lebih sesuai dengan realitas. Belanja pun ter-paksa dipotong, meski hal itu pasti menyakitkan.

Tapi tidak apa-apa sakit dalam jangka pendek, demi kredibilitas dan keberlanjutan fi skal di kemu-dian hari. Pasar pun menyambut positif: APBN yang sudah direvisi menjadi kredibel di mata pasar. Demikian pula akhirnya lembaga pemeringkat seperti Moody’s dan Fitch menilai positif, sehingga a-khirnya S&P tidak punya alasan lagi untuk menilai Indonesia de-ngan persepsi yang sama.

Keanehan sempat timbul ketika JP Morgan sempat memberikan persepsi negatif terhadap Indone-sia. Namun, setelah komplain keras dilakukan Menteri Keuangan, JP Morgan pun akhirnya ‘menyerah’. Mereka pun mengakui Indone-sia tidak selayaknya dinilai lebih jelek daripada Brasil, negara yang tersandung krisis fiskal besar-besaran.

Brasil menderita defisit fiskal hingga 10% terhadap PDB. Band-ingkan dengan Indonesia yang masih konservatif dengan defi sit APBN 2,5% terhadap PDB. Sikap aneh JP Morgan yang nekat ‘berani tampil beda’ ini justru mengganggu reputasi dan kredibilitasnya. Sa-ngat disayangkan dan ironis.

Pelajaran terpenting dari kasus ini ialah, Indonesia harus me-nyusun kebijakan fi skalnya secara realistis. Tidak ada gunanya mema-tok target yang terlampau tinggi, jika itu tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Target tinggi seolah-olah memang bisa membuat persepsi positif bahwa hal itu menunjukkan

optimisme dan antusiasme untuk bekerja keras. Namun, kalau tidak tercapai, bahkan jauh dari target, hal itu justru kontraproduktif, dan merusak kredibilitas yang diban-gun dengan susah payah.

Arus masuk devisaMesin fiskal yang dipaksakan

untuk berlari terlalu kencang, itu ibarat mobil yang mesinnya kepanasan (overheating). Penga-laman serupa sebenarnya pernah dialami negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, sehingga memicu defi sit transaksi berjalan (current account defi cit) yang besar, yang kemudian menyebabkan kri-sis fi nansial Asia 1997-1998.

Perbedaan kondisi sekarang (2014-2017) dengan saat itu (1996-1998) ialah sekarang kita rawan menderita defi sit fi skal yang besar, sedangkan waktu itu defi sit tran-saksi berjalan yang besar. Pada saat ini, kondisi keseimbangan eksternal kita justru membaik.

Neraca pembayaran (balance of payments) kita pada 2016 justru mengalami surplus US$12 miliar. Akibatnya, cadangan devisa kita terus meningkat. Selain karena neraca perdagangan kita akhir-akhir ini terus surplus (sehingga ada aliran devisa masuk), keber-hasilan amnesti pajak juga ikut menentukan.

Program amnesti pajak semula terasa ambisius, misalnya mem-bayangkan bakal ada harta yang belum terungkap (belum terpantau kantor pajak), yang jumlahnya bisa setara dengan PDB kita setahun (Rp12 ribu triliun). Meski angka tersebut tidak tercapai, terung-kapnya kekayaan Rp4.855 triliun merupakan hasil yang positif dan signifi kan, untuk memperluas ba-sis pajak di kemudian hari.

Prestasi ini mengesankan, apa-lagi jika dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain, seperti India. Pemerintah India sangat meyakini ada banyak ‘keka-yaan masyarakat yang disimpan di bawah bantal’.

Itulah sebabnya mereka melun-curkan kebijakan demonetisasi (demonetization), yakni mencetak rupee baru untuk menggantikan

uang lama, tetapi masyarakat hanya diberi batas waktu singkat untuk segera menukarkannya.

Kisah sukses lain yang membuat S&P ‘jatuh hati’ kepada Indonesia adalah program repatriasi (pu-langnya dana orang Indonesia dari luar negeri) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar. Meski itu hanya 14,7% terhadap target, jumlah itu cukup signifi-kan untuk menaikkan cadangan devisa.

Data terakhir cadangan devisa kita saat ini adalah US$123,2 mi-liar. Hanya sedikit di bawah rekor tertinggi US$124,65 miliar yang pernah kita capai pada Juli-Agustus 2011.

Pada saat cadangan devisa men-capai rekor tertinggi tersebut, rupi-ah juga mencapai rekor terkuatnya sejak krisis 1998, yakni Rp8.600 per dolar AS. Namun, pencapaian ini jangan harap dapat kita ulangi, ka-rena situasinya sungguh berbeda.

Pada 2011, pemerintah AS se-dang giat mencetak uang (quanti-tative easing) yang kemudian me-ggnyebar ke seluruh dunia, termasuk cukup deras menuju Indonesia. Sebaliknya sekarang, kebijakan QE tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan The Fed terus berupaya menaikkan suku bunga acuan-nya, yang berakibat kenaikan kurs dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia.

Cadangan devisa kita berpotensi untuk memecahkan rekor baru, perkiraan saya bisa mencapai US$125 miliar. Meski mungkin dana repatriasi sudah semuanya masuk ke sini, kita kemungkinan masih akan menerima aliran modal masuk, baik melalui pa-sar modal (portofolio) maupun investasi secara langsung (foreign (direct investment).

Salah satu indikasinya ialah indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terus melaju, bahkan menembus rekor baru 5.820 sebe-lum terkoreksi menjadi 5.791 pada penutupan akhir pekan lalu (19/5). Kini ekspektasi pasar mulai meng-arah pada rekor baru 6.000. Saya cenderung melihat bahwa IHSG tidaklah perlu meloncat tajam da-lam tempo singkat, karena hal itu belum menunjukkan fundamental, atau didukung dengan underlying. Akibatnya, bisa timbul koreksi yang cukup tajam. Lebih baik IHSG mendaki setapak demi setahap, sambil berharap angkanya bisa berkorelasi (mencerminkan) de-ngan kondisi fundamental ekono-mi nasional (makro) serta kinerja emiten (mikro).

Akhirnya, kita memang layak mendapat apresiasi dari S&P, se-bagaimana juga sudah dilakukan Moody’s dan Fitch. Semoga kerja keras para regulator dan pelaku ekonomi ini tidak diganggu lagi oleh hal-hal di luar aspek ekono-mi, seperti deraan konflik dan rongrongan sosial-politik. Kita su-dah letih mengikutinya.

A Tony PrasetiantonoKepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGMdan Faculty Member BI Institute

Kisah sukses lain yang membuat S&P‘jatuh hati’ kepada Indonesia adalah program repatriasi (pulangnya dana orang Indonesia dari luar negeri) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar.

SENO

Page 2: 12 SENIN, 22 MEI 2017S, 0 KOLOM PAKAR - bi.go.id filemerusak kredibilitas yang diban-gun dengan susah payah. Arus masuk devisa Mesin fiskal yang dipaksakan untuk berlari terlalu kencang,

BANGSA terjajah ialah bangsa yang tidak mampu membebaskan dirinya dari kebodohan, keter-belakangan, kemiskin an, keterpecahbelahan, dan kehinaan. Berbagai bentuk keterjajahan

semacam itu hanya dapat dimerdekakan bila sebuah bangsa dapat membangkitkan secara kolektif semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan, serta kesadaran sebagai sebuah entitas di tengah persaingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Konsolidasi yang menyatukan semangat pembebasan semacam itu, menurut catatan sejarah, tidak pernah terwujud selama tiga setengah abad bangsa ini berada dalam kolonialisme hingga sebuah organisasi yang ber-gerak di bidang sosial yang menjadi cikal bakal gerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia terlahir pada 20 Mei 1908.

Itulah sejarah kelahiran Budi Utomo, kelahiran bagi semangat persatuan dan kesatuan di tengah keterpe-cahbelahan. Sejak kelahiran Budi Utomo itulah sema-ngat mempersatukan seluruh perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan dari bangsa ini terus tumbuh.

Kebangkitan semangat persatuan itu kemudian mem-buahkan deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mengutuhkan semangat bertanah air satu, Indone-sia, berbangsa satu, Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan bekal semangat Budi Utomo dan Sumpah Pemuda itulah bangsa ini a-khirnya memproklamasikan kemerdekaan pada 1945.

Hari ini, 109 tahun kemudian, kita mencermati be tapa gejala yang hidup sebelum Budi Utomo lahir, ironisnya, bertumbuh kembali.

Ada banyak gejala berbagai perbedaan yang inheren sebagai bagian dari tubuh bangsa ini, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan, justru dipertentangkan dan bahkan dijadikan sebagai komoditas untuk kepen-tingan politik bagi sebagian kalangan.

Gejala itu jelas sangat membahayakan keutuhan bangsa. Itu kita cermati terus tumbuh dan semakin meng khawatirkan dalam dua tahun terakhir ini. Per-bedaan suku, agama, ras, dan antargolongan terus di jadikan bahan oleh beberapa kalangan untuk mem-bangkitkan permusuhan. Polarisasi dan keterbelahan masyarakat pun semakin menggejala. Simak saja iklim yang muncul saat pemilihan kepala daerah DKI Jakarta digelar. Aksi dukung-mendukung para calon gubernur

dan wakil gubernur yang mengo-barkan isu SARA dilakukan sejak tahun lalu dan terus berlang-sung meskipun perhelatan itu sudah berakhir pada 19 April lalu. Fenomena itu tentu sa-ngat memprihatinkan sekali-gus mengkhawatirkan.

Karena itu, dalam momen-tum peringatan Hari Kebang-kitan Nasional, hari ini, kita me-lihat nilai-nilai dan semangat Budi Utomo sangatlah relevan untuk kita hidupkan dan kuatkan kembali.

Harus kita hargai jerih payah founding fathers kita selama berabad-abad telah menyatukan keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan menjadi sebuah kekuatan bagi seluruh bangsa.

Ikrar dalam Sumpah Pemuda pun de-ngan gamblang dideklarasikan demi bangsa, tanah air, dan bahasa yang satu dan bukan hanya agama atau ras yang satu.

Paralel dengan semangat untuk me-ngelola pluralitas sebagai kekuatan, kita sepakat dengan pesan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh agar dialog menjadi jalan dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia saat bangsa ini mengha-dapi masalah.

Dengan dialog, seluruh perbe-daan dapat kita satukan. Melalui dialog pula, persatuan dan ke-satuan dalam pluralitas yang menjadi spirit Budi Utomo pun akan menjadi napas keseha-rian kita.

Kebangkitan Indonesia itu disebabkan keberagam an dan kebersamaan, bukan karena segolongan atau perseorangan. Kebangkitan na-sional ialah kita, bukan kami atau aku.

Sanksi dan HukumanBERUPAYA cantumkan pasal sanksi dan hukuman pada pasal UUD 1945 untuk warga pelanggar 40 butir Pancasila dan UUD 1945.

@HenryQusayri

Harus TegasMERAWAT persatuan NKRI, perlu satu sikap dan ketegasan dari Kepolisian RI/TNI. Tidak boleh menolerasi hal-hal apa pun yang bernuansa SARA.

@hakimibrahim68

Mengingat SejarahSEHARUSNYA para tokoh bangsa harus mengingat sejarah yang telah kita lalui.

@HasanSadigo

Kembali ke PMPJIKA ingin merawat persatuan, kembali kepada ajaran Pen-didikan Moral Pancasila.

@Panjaitan16_JE

Macam-Macam AliranINDONESIA memiliki empat aliran, yakni aliran fundamen-talis, radikal, moderat, dan aliran liberal.

Fitri Jamilah

Manfaatkan Isu SARAKETIKA ada negarawan yang dibiarkan memanfaatkan isu SARA untuk kepentingan politik, hanya ada satu jalan bagi kaum minoritas, yakni berdiri di atas kaki sendiri.

Pius Apenobe

Lawan KetidakadilanBANGKIT untuk melawan ketidakadilan atau untuk melu-pakan ketidakadilan?

Kletus Apeliling

Keutuhan dan PersatuanAYO bangkit, jangan sakit dan terjangkit penyakit yang bisa memecah belah persatuan dan kebangsaan. Lawan segala bentuk intoleran demi menjaga keutuhan dan persatuan.

Nopiar Makawaru

Jatuh BangunBANGSA kita gemar jatuh bangun. Jatuh-jatuh, bangun-bangun, bangkit-bangkit, terus saja. Itu seperti lagunya, Kristina Jatuh Bangun. Semoga kita tidak seperti keledai yang suka jatuh dan bangun.

Nyoman Wardhana

Tanggapan Editorial20 Mei 2017

E D I T O R I A L

DUTA

SENIN, 22 MEI 2017SUARA ANDA 13

Maraknya peristiwa pohon tumbang yang memakan korban jiwa menimbulkan keprihatinan sejumlah pihak. Berikut

komentar Anda.

Kirimkan keluhan dan komentar Anda tentang pelayanan publik ke e-mail: [email protected]

Kirimkan komentar Anda atas tema: Cerdas Menggunakan Media Sosial (22-27 Mei 2017) opini publik ke e-mail: [email protected] P I N I P U B L I K

Pohon Tumbang, Alarm bagi Keteledoran Manusia

Pentingnya Pemeliharaan Rutin

BEBERAPA waktu lalu, sebuah mobil penyok tertimpa pohon tumbang di dekat area kom-

pleks Universitas Indonesia. Seorang penumpang yang baru pulang setelah menemui kakaknya tewas.

Beberapa hari setelah kejadian itu, pohon tumbang terjadi di empat titik di Kota Bogor, setelah hujan deras disertai angin kencang melanda ka-wasan itu. Akibat hal itu, sebuah angkot dan kios milik warga di Jalan Pancasan, Kelurahan Pasir Jaya, Keca-matan Bogor Selatan, jadi korban.

Kejadian pohon tumbang juga menyebabkan korban jiwa di Buton Utara, Sulawesi Utara. Korban yang diketahui bekerja sebagai PNS di Di-nas PU dan Tata Ruang Buton Utara meninggal saat hendak menyingkir-kan pohon yang lebih dulu rebah dan menghalangi jalan.

Sejumlah kejadian di atas menun-jukkan bahwa pohon tumbang bukan perkara sepele. Ada maksud yang di-

sampaikan makhluk yang berfungsi memproduksi oksigen bagi manusia pada siang hari itu.

Kejadian pohon tumbang bisa dipandang sebagai alarm atas ketele-doran manusia sendiri. Tak sedikit pangkal pohon tumbang akibat tak jeli mengawasi kualitas pohon pe-neduh jalan.

Pohon dibiarkan tinggi menjulang, tapi akarnya dibabat tanpa perhi-tungan hanya gara-gara dianggap menyempitkan jalan. Jika tak per-caya, coba perhatikan bagaimana kontraktor memotong akar pohon yang menjadi penyangga hidupnya dan hanya menyisakan sedikit ruang demi pelebaran jalan.

Keteledoran manusia juga bisa di-lihat dari kurang telitinya pemilihan pohon untuk menghijaukan lingkung-an sekitar. Kasus pohon tumbang di sekitar UI yang menyebabkan nyawa mahasiswa melayang itu salah satu contohnya.

Kepala Suku Dinas Kehutanan Ja-karta Selatan Christian Simora dalam sebuah berita online menyebutkan pohon sengon buto yang menimpa mobil nahas itu tumbang akibat tanah sekitarnya terlalu gembur. Dengan kata lain, ia hendak menyatakan po-hon yang ditanam kurang pas untuk

kondisi tanah di lingkungan itu.Maka itu, riset pendahuluan penting

dilaksanakan sebelum penanaman pohon. Untuk riset yang mumpuni, petugas yang bertanggung jawab jelas harus punya ilmu dan berpengala-man. Jika petugas terus-menerus sa-lah menanam, risiko nyawa melayang akibat pohon tumbang tetap tinggi.

Di sisi lain, masyarakat juga bisa membantu meminimalkan pohon tumbang dengan merawatnya. Jangan mentang-mentang tak bisa bicara, po-hon dipaku semena-mena dan dibiar-kan meminum air bekas cucian piring pedagang pinggir jalan. Bagaimana pun simbiosis mutualisme harus tetap dikedepankan agar tak hanya manusia yang menikmati manfaat keberadaan pohon, tetapi pohon juga gembira me-naungi manusia di bawahnya.

Dinny M Jakarta

BEBERAPA pekan ini masyarakat dikejutkan dengan peristiwa pohon tumbang di beberapa

daerah yang menyebabkan korban tewas. Yang terbaru ialah peristiwa pohon tumbang di kawasan UI, Depok, yang menyebabkan satu orang tewas dan dua lainnya luka-luka.

Kejadian pohon tumbang juga terjadi di berbagai daerah yang me-nyebabkan jatuhnya korban, baik meninggal maupun luka-luka akibat terimpit pohon tumbang. Dari berba-gai kejadian yang memprihatinkan ini perlu adanya penanganan serius

agar kejadian ini tidak terulang lagi. Pasalnya, bila kita perhatikan, pe-ristiwa yang terakhir terjadi di UI bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada Februari tahun yang sama, dua orang tewas akibat kendaraan yang mereka tumpangi terimpit pohon yang tumbang saat hujan deras.

Banyaknya pohon tumbang perlu diantisipasi sedini mungkin. Dalam hal ini instansi terkait harus melaku-kan identifi kasi ataupun pengamatan pohon-pohon di lapangan, serta peme-liharaan yang teratur.

Apalagi, mayoritas kota-kota di Indo-

nesia terdapat pohon-pohon besar. Di sisi lain, datangnya cuaca ekstrem su-lit ditebak. Hujan deras yang disertai angin kencang saat ini kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Sebagai contoh di Jakarta saja se-perti Jakarta Selatan, hingga Januari sampai Mei sudah sekitar 40 pohon tumbang dan patah dahan (sempal).

Untuk solusi dan pencegahan me-ngurangi bencana tersebut, perlu pemeliharaan pohon-pohon secara intensif di semua wilayah. Upaya pemiliharan itu dengan melakukan pemangkasan atau mengurangi ke-

tinggian pohon atau kalau dirasa perlu bisa menebang pohon-pohon yang berumur tua yang dirasa membahaya-kan. Tentunya agar kelestarian tetap terjaga, pohon yang ditebang tersebut harus ditanam lagi.

Di sisi lain, apabila terjadi hujan deras dan angin kencang sebaiknya pengendara menepikan kendaraannya di tempat yang lebih aman, terutama dari pohon-pohon besar.

Icha ZairTasikmalaya

Kebangkitan NasionalAdalah Kita

Riset pendahuluan penting dilaksanakan sebelum penanaman pohon. Untuk riset yang mumpuni, petugas yang bertanggung jawab jelas harus punya ilmu dan berpengalaman.