2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id filemerusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan...

20
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiasi Radiasi adalah pemancaran atau pengeluaran dan perambatan energi menembus ruang atau sebuah substansi dalam gelombang atau partikel. Partikel radiasi terdiri dari atom atau sub-atom yang mempunyai massa dan bergerak, menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Anonimous 2011). Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi. Radiasi ionisasi didefinisikan sebagai suatu radiasi yang memiliki energi yang cukup untuk memindahkan elektron dari molekulnya serta mampu merusak ikatan kimia. Radiasi ionisasi merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x dan sinar-ɤ atau partikel sub-atom berupa proton, neutron, dan partikel-α dan β (NCR 2006) (Gambar 1). Menurut Fajardo et al. (2001), radiasi ionisasi dapat merusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan partikel atau ion. Konsekuensi proses ini pada tubuh meliputi perubahan kimiawi sel berupa inisiasi kematian sel dan potensi berbahaya lainnya. Gambar 1 Daya tembus radiasi ionisasi (partikel radiasi alpha, beta, gamma, x- ray, dan neutron) (Anonimous 2012). 2.1.1 Sinar- X Radiasi ionisasi sinar-X termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik. Panjang sinar-X 10-0.01 nanometer, frekuensi 30 petahertz30 exahertz (30 x 10 15 Hz sampai 30 x 10 18 Hz) dan memiliki energi 120 elektron Volt 120 Kiloelektron

Upload: vuthien

Post on 14-Mar-2019

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiasi

Radiasi adalah pemancaran atau pengeluaran dan perambatan energi

menembus ruang atau sebuah substansi dalam gelombang atau partikel. Partikel

radiasi terdiri dari atom atau sub-atom yang mempunyai massa dan bergerak,

menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Anonimous

2011). Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis

yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi.

Radiasi ionisasi didefinisikan sebagai suatu radiasi yang memiliki energi

yang cukup untuk memindahkan elektron dari molekulnya serta mampu merusak

ikatan kimia. Radiasi ionisasi merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x

dan sinar-ɤ atau partikel sub-atom berupa proton, neutron, dan partikel-α dan β

(NCR 2006) (Gambar 1). Menurut Fajardo et al. (2001), radiasi ionisasi dapat

merusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan partikel atau ion. Konsekuensi

proses ini pada tubuh meliputi perubahan kimiawi sel berupa inisiasi kematian sel

dan potensi berbahaya lainnya.

Gambar 1 Daya tembus radiasi ionisasi (partikel radiasi alpha, beta, gamma, x-

ray, dan neutron) (Anonimous 2012).

2.1.1 Sinar- X

Radiasi ionisasi sinar-X termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik.

Panjang sinar-X 10-0.01 nanometer, frekuensi 30 petahertz–30 exahertz (30 x 1015

Hz sampai 30 x 1018

Hz) dan memiliki energi 120 elektron Volt–120 Kiloelektron

5

Volt. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultra violet

(Thrall 2002).

2.1.2 Pemanfaatan Sinar-X dalam Dunia Medis

Sejak pertama kali sinar-X ditemukan sudah berkembang sangat pesat

sebagai sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Dunia

kedokteran hewan memanfaatkan sinar-X sejak tahun 1970 di Eropa. Ilmu yang

mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi

disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini dapat dimanfaatkan

sebagai sarana radiodiagnostik dan radioterapi. Radiografer memanfaatkan sinar-

X untuk menghasilkan gambaran diagnostik yang dapat membantu mendeteksi

berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang

(Thrall 2002; McCurnin dan Bassert 2006).

RÖntgen merupakan sarana radiodiagnostik yang sudah berkembang

dengan pesat dalam menunjang diagnosa. RÖntgen atau sinar-X menghasilkan

energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi kesehatan. Sejak tahun 2005

pemerintah Amerika Serikat memasukan sinar-X dalam daftar penyebab

terjadinya kanker. Penggunaan sarana radiodiagnostik sinar-X di Indonesia

diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana

2008).

Menurut Nicholas dan Robert (2007) radioterapi ialah pemanfaatan radiasi

sinar-X atau sinar-Gamma yang dipajankan terhadap sel-sel malignan. Pada

masing-masing penyakit malignan digunakan dosis dan frekuensi paparan yang

berbeda. Menurut Tjokronagoro (2001) dalam Riyatun (2011), radioterapi

didefinisikan sebagai pemanfaatan sinar-X untuk memberikan efek terapi terhadap

sel-sel yang mengalami mitosis berlebihan atau sel kanker. Radiasi akan merusak

sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi atau pembelahan sel-sel kanker akan

terhambat.

2.1.3 Efek Radiasi Ionisasi

Sinar-X merupakan bentuk radiasi ionisasi yang sangat berbahaya bagi

kesehatan. Disamping memiliki nilai positif sebagai sarana radiodiagnostik,

6

radiasi ionisasi sinar-X dapat menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan

tubuh yang terpapar. Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi

terbentuknya kanker adalah 50 mSv. Badan pengawas Nuklir Amerika Serikat

atau disebut NCR (Nuclear Regulatory Commision) membatasi jumlah dosis

okupasional pada orang dewasa tidak boleh melebihi 0.05 Sv (5 rem/tahun)

(Thrall 2002).

BAPETEN sebagai badan pengawas tenaga nuklir nasional di Indonesia

mengatur bahwa dosis maksimum pekerja radiasi adalah 20 mSv rata-rata dalam 5

tahun (Ulum dan Noviana 2008). Dosis 50 mSv/tahun yang diterima dari radiasi

alam di berbagai bagian bumi tidak berbahaya bagi penduduk setempat. Akan

tetapi pada dosis 100 mSv/tahun memacu terjadinya kanker dengan semakin

meningkatnya dosis yang diterima. Kejadian kanker terjadi pada 5 dari 100 orang

atau sekitar 5% dengan dosis 1000 mSv. Kejadian umum berupa kanker pada

dosis tersebut sekitar 25% dan mampu meningkat menjadi 30%.

Semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap

radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah dari sinar RÖntgen oleh jaringan akan

mengakibatkan perubahan dan kerusakan pada sel (McCurnin dan Bassert 2006).

Sinar-X membentuk radikal bebas yang berakibat kerusakan atau hilangnya

elektron atom dari jaringan yang terpapar. Tubuh sebagian besar terdiri atas

komponen air sekitar 70% sehingga radiasi ionisasi akan mengubah susunan

molekul air membentuk radikal bebas secara aktif. Jumlah radikal bebas yang

terbentuk akan merusak jaringan. Daya sensitifitas dan regenerasi tiap jaringan

berbeda-beda sehingga efek yang ditimbulkan akan berbeda sesuai dengan jenis

jaringan dan dosis radiasi yang diterima. Efek yang ditimbulkan berupa

abnormalitas jaringan hingga kematian. Jaringan yang sangat aktif membelah

seperti usus dan sumsum tulang akan memperlihatkan efek yang sangat besar.

Sebaliknya pada jaringan yang tidak aktif membelah seperti otot dan tulang akan

menimbulkan sedikit efek (Thrall 2002).

7

2.2 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

2.2.1 Karakteristik Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman dari genus

hibiscus yang banyak ditemukan di wilayah tropis. Rosela termasuk ke dalam

anggota famili Malvaceae yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan

subtropis. Habitat asli rosela terbentang dari India hingga Malaysia (Maryani dan

Kristiana 2005). Gambar 2 dapat dilihat gambar rosela yang tumbuh di Indonesia.

Gambar 2 Tanaman rosela (Maryani dan Kristiana 2005).

Klasifikasi ilmiah rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menurut Widyanto dan

Nelistya 2009:

kelas : Plantae

ordo : Malvales

famili : Malvaceae

genus : Hibiscus

spesies : H. sabdariffa L.

Tanaman rosela berbentuk semak yang berdiri tegak dengan tinggi 3-5 m.

Ketika masih muda, batang dan daunnya berwarna hijau. Ketika beranjak dewasa

dan masih berbunga, batangnya berwarna cokelat kemerahan. Batang berbentuk

silindris dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Batang terdapat daun-

daun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan

pertulangan menjari dan tepi meringgit. Ujung daun ada yang runcing atau

menguncup. Tulang daunnya berwarna merah. Panjang daun dapat mencapai 6-15

8

cm dan lebar 5-8 cm. Akar yang menopang batangnya berupa akar tunggang

(Widyanto dan Nelistya 2009).

2.2.2 Pemanfaatan Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Masyarakat

Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk

sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan

oleh Khosravi et al. (2009). Sedangkan efek rosela dalam melawan tetra-butyl

hydroperoxide yang memiliki toksisitas pada hati juga sudah dilaporkan

sebelumnya oleh Wang et al. (2000).

Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dimanfaatkan sebagai bahan

obat tradisional untuk mengobati berbagai kasus penyakit seperti hipertensi,

infeksi saluran perkemihan, dan kardioprotektif (Wang et al. 2000; Odigie et al.

2003; Olaleye 2007), sebagai antioksidan dan memiliki efek hepatoprotektif pada

berbagai hewan (Amin dan Hamza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Rostinawati (2008), ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas terhadap

Mycobacterium tuberculosis galur H37Rv dan Mycobacterium tuberculosis galur

Labkes-026 (multi-drug resisten).

Rosela masih belum banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran Indonesia.

Minuman berbahan rosela beberapa tahun terakhir mulai banyak dikenal sebagai

minuman kesehatan. Bahan minuman dari rosela seperti sirup dan teh juga sudah

dapat diperoleh di pasar swalayan. Pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia

pengobatan sudah tidak asing lagi di negara-negara lain (Maryani dan Kristiana

2005). Penduduk di Meksiko termasuk juga Afrika dan Asia, telah memanfaatkan

tanaman ini untuk berbagai keperluan pengobatan herbal dengan memanfaatkan

berbagai bagian dari tanaman ini (Khosravi et al. 2009).

2.2.3 Komposisi Kimia Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak mengandung

anthocyanin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak bunga rosela mengandung

flavonoid seperti gesypetin, hibiscetine, dan sabdaretine. Pigmen dari bunga

sebagian besar terdiri atas hibiscin yang telah diidentifikasi sebagai

daphniphylline. Delphinidin 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside

9

(chrysanthenin) dan delphnidin juga teridentifikasi dalam jumlah kecil (Wang et

al. 2000). Menurut Maryani dan Kristiana (2005), secara umum komposisi

kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Tabel 1 yang disajikan sebagai berikut.

Tabel 1 Kandungan gizi dalam 100 g kelopak segar bunga rosela

Zat Jumlah Zat Jumlah Kalori 44 kal Besi 3.8 mg

Air 86.2 % Betakaroten 285 mg

Protein 1.6 g Asam askorbat 14 mg

Lemak 0.1 g Tiamin 0.04 mg

Karbohidrat 1.1 g Riboflavin 0.6 mg

Serat 2.5 g Niasin 0.5 mg

Abu 1.0 g Sufida -

Kalsium 160 mg Nitrogen -

Fosfor 60 mg

Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rosela memiliki kadar air yang

tinggi dan 2.5 % kandungannya ialah serat yang sangat dibutuhkan tubuh dalam

proses pencernaan. Sedangkan hasil pengujian fisikokimia kelopak bunga rosela

dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Hasil uji fisikokimia dalam 100 g kelopak segar bunga rosela

Nama Senyawa Jumlah Campuran asam sitrat dan asam malat 13%

Antosianin yaitu gossypetin dan hisbiscin 2%

Vitamin C 0.004-0.005%

Protein 14.6%

Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)

Tabel 2 menunjukkan bahwa bunga rosela memiliki kandungan asam sitrat

yang cukup tinggi. Menurut Fasoyiro et al (2005), asam sitrat diketahui memiliki

kemampuan mengikat logam dan membentuk komplek dengan protein.

Kandungan vitamin C atau asam askorbat pada rosela lebih tinggi dari pada jeruk

dan mangga. Sedangkan pengujian terhadap kadar senyawa aktif yang terkandung

dalam kelopak bunga rosela dapat diperoleh dari hasil uji fitokimia yang

tersajikan pada Tabel 3 berikut.

10

Tabel 3 Hasil uji fitokimia ekstrak kelopak bunga rosela

Nama sampel Parameter uji Hasil Satuan Teknik analisa

Ekstrak kelopak bunga

Rosela

Fitokimia

Alkaloid

Wagner positif - kualitatif

Meyer positif - kualitatif

Dragendorf positif - kualitatif

Hidroquinon negatif - kualitatif

Tanin positif - kualitatif

Flavonoid positif - kualitatif

Saponin positif - kualitatif

Steroid negatif - kualitatif

Triterpenoid negatif - kualitatif

Ket: Hasil pengujian fitokimia ekstrak kelopak bunga Rosela, Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB

No. sertifikat 008/I3.11.8/LUB-CA/XI/2010 [18 November 2010].

Berdasarkan Tabel 3 yang disajikan di atas dapat diketahui senyawa aktif

yang paling berpengaruh dalam penelitian. Fitokonstituen yang ditemukan dalam

ekstrak bunga rosela berupa flavonoid, polisakarida, dan asam organik,

berpengaruh terhadap aktivitas farmakologinya (Husaini et al. 2004). Bunga

rosela diketahui memiliki asam sitrat, tanin, dan glukosida seperti delfinidin-3-

monoglukosida dan delfinidin yang pada konsentrasi tinggi bersifat toksik bagi

jaringan hewan dan manusia (Ojokoh 2002). Tanin merupakan senyawa fenol

dimana derajat hidroksilasi dan ukuran molekulnya dapat membentuk komplek

dengan protein (Ojokoh 2006). Menurut Aletor (1993), asam sitrat memiliki

kemampuan mengikat logam, membentuk komplek dengan protein. Penelitian

sebelumnya dilaporkan bahwa glukosida sianogenik secara umum bersifat

menghambat proses katalisis enzim.

2.3 Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang cepat

berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya

cukup besar, serta sifat anatomis dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik

(Malole dan Pramono 1989). Mencit telah digunakan sebagai subyek penelitian

sejak abad ke-19. Hingga kini, mencit menjadi hewan penelitian yang paling

banyak dipakai untuk mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi,

dan karsinogenitas. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu

11

memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka

hidup yang pendek, berukuran kecil, dan harga relatif murah (Sirois 2005).

Gambar mencit disajikan pada Gambar 2.

Gambar 3 Mencit strain DDY (Laboratorium Patologi FKH IPB).

Mencit di atas memiliki sistem taksonomi sebagai berikut (Besselsen

2004) :

kingdom : Animalia

filum : Chordata

subfilum : Vertebrata

kelas : Mamalia

subkelas : Theria

ordo : Rodensia

famili : Muridae

genus : Mus

spesies : Mus musculus

Mus musculus sering dijadikan sebagai hewan percobaan. Berbagai

macam strain mencit yang dapat digunakan inbred maupun outbred dengan

karyotipnya yang telah diketahui. Pada kenyataannya, susunan genom mencit

telah banyak diketahui dari pada spesies lain. Oleh karena itu mencit banyak

digunakan sebagai hewan coba mengenai genom mencit (Wolfensohn dan Lloyd

1998).

Menurut Malole dan Pramono (1989), pemilihan hewan percobaan untuk

kepentingan diagnosis harus mempertimbangkan spesies dan kondisi

12

fisiologisnya. Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh antraks dan rabies

sebaiknya menggunakan hewan coba mencit, sedangkan diagnosis penyakit akibat

enterobaktericeae dapat menggunakan hewan coba mencit maupun tikus. Hewan

percobaan kelinci baik digunakan pada penelitian mengenai hiperkolesterolemia

karena peka terhadap kolesterol dan dapat menyimpan lemak tubuh dalam jumlah

yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap

pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005).

Mus musculus memiliki ciri ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah

ditangani dan dikembangbiakkan. Ekor mencit hanya ditutupi oleh rambut-rambut

halus. Berbeda dengan tikus dan mamalia lain, sumsum dari tulang panjang

mencit selalu aktif seumur hidupnya. Sama halnya dengan tikus, mencit memiliki

beberapa kelenjar diantaranya, saliva, paratoid (serous), submaxillary, dan

sublingual. Ditemukan pula kelenjar Harderian. Mencit memiliki sinus orbitalis

sedangkan tikus memiliki plexus orbitalis. Rata-rata umur Mus musculus 1 sampai

3 tahun dengan berat badan umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40

gram dan betina 22 sampai 63 gram. Mencit memasuki usia dewasa pada umur 6

minggu, masa bunting selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005).

Penelitian ini menggunakan Mus musculus dengan strain DDY (Deutch

Democratic Yokohama) yang sering digunakan dalam banyak penelitian tentang

malformasi dan imunologi. Strain ini sangat baik untuk penelitian mengenai

malformasi hewan yakni sensitifitas terhadap efek letal radiasi embrio mencit

pada tahap preimplantasi, sehingga dapat mempengaruhi hereditas. Sedangkan

dalam penelitian imunologi, timbulnya penyakit pada strain ini tidak tinggi,

kemungkinan disebabkan oleh latar belakang genetik yang heterogen. Selain itu

strain DDY juga dilaporkan mempunyai perkembangan yang cepat, berumur

panjang, dan memproduksi immunoglobulin A (Ig A) yang mirip dengan manusia

(Gu et al. 2002; Miyawaki et al. 1997).

Pada bidang kedokteran, hewan percobaan banyak digunakan untuk

keperluan diagnosis. Penelitian-penelitian medis untuk kepentingan manusia

sering dilakukan menggunakan hewan percobaan. Menurut Wolfenshon dan

Lloyd (1998), hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok, yaitu (1) hewan

laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci, (2) karnivora,

13

seperti kucing dan anjing; (3) primata, seperti Macaca dan babon, (4) hewan

domestik besar, seperti domba, sapi, dan (5) kelompok hewan lainnya, seperti

unggas.

2.4 Duodenum

2.4.1 Anatomi dan Histologi Duodenum

Duodenum merupakan bagian dari usus halus yang berperan dalam sistem

pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan yaitu mencerna dan memecah

makanan di dalam lumennya menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana

yang bisa diserap oleh sirkulasi tubuh untuk menunjang kehidupan organisme

(Frappier 2006). Duodenum merupakan organ tubular yang terbentang dari pilorus

ke usus besar (Genesser 1994). Panjang usus halus mulai pilorus sampai ileum

mencit dewasa kira-kira 35 cm, sedangkan panjang usus besar mulai kolon sampai

sekum mencit dewasa kira-kira 14 cm (Shackelford dan Elwell 1999). Secara

makroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum mulai dari dalam ke

luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis,

dan tunika serosa (Shackelford dan Elwell 1999; Frappier 2006).

Gambar 4 Struktur mikroskopis usus mencit (SAHB 2009).

14

Secara mikroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum (usus

halus) mulai dari dalam ke luar terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa,

tunika muskularis, dan tunika serosa (Gambar 4) (Shackelford dan Elwell 1999;

Frappier 2006). Dinding duodenum kaya akan pembuluh darah yang

mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Di dinding

duodenum melepaskan lendir, air dan sejumlah kecil enzim. Lendir yang

dihasilkan ber fu ng s i u nt uk me lumasi isi usus, air untuk membantu

melarutkan molekul-molekul makanan yang dicerna, dan sejumlah kecil enzim

yang membantu proses pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Struktur histologi

duodenum disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur histologi duodenum. (S) serosa, (ME) muskularis eksterna, (L)

longitudinal, (C) sirkular, (SubM) submukosa, (BGI) kelenjar Brunner,

(D) duktus kelenjar Burner, (MM) muskularis mukosa, (Muc) mukosa,

dan (V) vili (Ross et al. 2002).

Tunika mukosa terdiri atas epitel, kelenjar intestinal, dan lamina propria.

Bagian tunika submukosa dapat dilihat adanya kelenjar Brunner atau elenjar

submukosa yang hanya terdapat pada bagian pangkal duodenum (Frappier 2006).

Epitel usus halus berbentuk epitel kolumnar selapis yang terdiri atas sel absortif,

sel goblet, sel endokrin dan sel peaneth (Genesser 1994). Lamina propria terdiri

atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh

darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan Elwell 1999).

Menurut Dellmann dan Brown (1992) menyatakan bahwa pencernaan di

usus halus ditunjang oleh bentuk khusus pada tunika mukosa, yakni vili (Gambar

5 (V). Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri

15

khas usus halus. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang

berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria (Junqueira dan Carneiro 2005).

Tinggi vili ini bervariasi bergantung pada daerah dan jenis hewannya.

Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedangkan pada sapi vili pendek dan

lebar. Panjang vili usus halus pada mencit dewasa lebih panjang dari pada mencit

neonatus (Shackelford dan Elwell 1999). Sehingga luas permukaan ditingkatkan

oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan

bebas epitel vili. Vili dan mikrovili berfungsi memperluas permukaan usus halus

sehingga penyerapan lebih efisien (Dellmann dan Brown 1992). Kerusakan

mikrovili dan atrofi vili usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi

(malabsorbtion syndrome) (Junqueira dan Carneiro 2005).

Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki

jumlah vili yang banyak, tinggi, dan berbentuk seperti lembaran daun. Duodenum

juga memiliki kripta dan kelenjar Lieberkühn dengan jumlah dan keadaan yang

paling baik. Selain itu, terdapat kelenjar submukosa (Brunner). Jejenum hampir

mirip dengan duodenum tetapi vilinya lebih kecil dan lebih banyak. Jejenum tidak

terlalu tampak adanya kelenjar submukosa (Brunner) namun jejenum memiliki

banyak sel goblet pada permukaan vilinya. Ileum adalah bagian akhir dari usus

halus, bentuk vilinya seperti ibu jari dengan jumlah kelenjar Liberkhün yang

sedikit. Ileum memiliki lebih sedikit sel goblet namun dilengkapi dengan jaringan

limfatik yang lebih besar yaitu daun Peyer (Junqueira dan Carneiro 2005;

Samuelson 2007).

Selain struktur lapis penutupnya, vili memiliki struktur jaringan lunak pada

bagian dalam yakni lamina propria. Menurut Ross et al. (2002), lamina propria

dilengkapi dengan jaringan limfatikus yang berfungsi sebagai pertahanan

imunologis terintegrasi yang mampu mencegah patogen maupun substansi antigen

lainnya yang berpotensi masuk ke dalam mukosa dari lumen saluran cerna (usus).

Jaringan limfatikus terdiri dari oleh jaringan limfatikus yang menyebar (limfosit

dan sel plasma) di dalam lamina propria, transient limfosit yang terdapat pada

ruang antar epitel, nodul limfatik, eosinofil, makrofag dan terkadang neutrofil.

Gambaran mikroskopis vili duodenum disajikan pada Gambar 6.

16

Gambar 6 Gambaran mikroskopis vili duodenum (Ross et al. 2002).

Daerah mukosa (Gambar 5), diantara dasar-dasar vili terdapat kelenjar-

kelenjar yang meluas ke bagian bawah mukosa yang disebut kripta Lieberkühn.

Kripta Lieberkühn memiliki struktur tubular sederhana yang meluas dari daerah

muskularis mukosa menuju ke lamina propria. Sel-sel kripta menyediakan sel-sel

baru untuk menggantikan sel-sel permukaan vili yang terbuang ke dalam lumen

usus (Bevelender dan Ramaley 1988). Menurut Samuelson (2007), di bagian

bawah vili baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat

kripta dan kelenjar Lieberkühn yang terdiri atas stem sel atau sel punca, sel

goblet, sel Panet dan sel enteroendokrin. Pada mencit dewasa, sel kripta epitel

usus bermitosis setiap 10-14 jam dan waktu transit sel dari kripta ke ujung vili

terjadi selama 48 jam (Shackelford dan Elwell 1999).

lacteal

Sel Goblet

Epitel silindris sebaris

Sel otot halus/

fibroblas lakteal

17

Gambar 7 Histologi submukosa usus A) kripta Lieberkühn, B) sel Paneth usus dan

C) limfosit (Ross et al. 2002).

Epitel usus halus berbentuk epitel silindris selapis (Gambar 6) yang terdiri

atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel paneth (Genesser 1994). Lamina

propria terdiri atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya

pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan

Elwell 1999). Tunika submukosa (Gambar 5 (SubM)) terdiri atas jaringan ikat

longgar, pembuluh darah dan pembuluh limfe yang lebih besar. Duodenum

memiliki kelenjar Brunner (Genesser 1994). Pada hewan dewasa lapisan ini

ditemukan banyak limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil, dan sel mast

(Schackelford dan Elwell 1999).

Tunika muskularis terdiri atas lapisan eksterna yang mempunyai serabut

otot longitudinal dan lapisan interna yang mempunyai serabut otot halus

berbentuk sirkuler (Schackelford dan Elwell 1999). Kedua lapisan ini dipisahkan

oleh suatu jaringan ikat berisi pleksus saraf parasimpatis yang disebut pleksus

Mesenterikus atau Auerbach’s (Genesser 1994). Suplai darah untuk usus halus

diberikan melalui cabang-cabang dari arteri mesenterica celiaca dan cranialis

yang menembus tunika muskularis kemudian tunika submukosa (Frappier 2006).

Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa (Gambar 5 (S)) terdiri atas lapisan

mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Genesser 1994; Frappier

2006).

Muskularis mukosa

B

A

C

18

2.5 Kondisi Patologis Pada Sel Usus

2.5.1 Apoptosis Epitel Usus

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel terprogram, diatur secara

genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi

sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya (Cotran et al. 1999; D’amico

dan McKenna 1994). Menurut Kresno (2001), apoptosis merupakan proses

penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan

keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak

dan proliferasi fisiologis sehingga mampu memelihara agar fungsi jaringan

normal. Kejadian apoptosis memiliki tujuan untuk menjaga homeostasis sel di

jaringan selain itu pula sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun.

Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel

secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker (Cotran et al. 1999).

Mekanisme apoptosis sel dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Mekanisme apoptosis sel (Cotran et al. 1999).

Mekanisme apoptosis seperti Gambar 8 dapat dipicu oleh adanya

rangsangan eksogen dan endogen seperti radiasi ultraviolet, stres oksidatif, dan

bahan kimia genotoksik. Diawali dengan adanya penyusutan sel dan kondensasi

kromatin yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan membran plasma

dan nukleus yang kolaps sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan sel lisis

(apoptosis) (Cotran et al. 1999).

2. Penyusutan sel dan

kondensasi kromatin

Kematian sel terprogram

1. Sel normal 3. Membran sel rusak

5. Pembentukan

badan apoptosis

4. Nukleus kolaps sebagai

lanjutan kerusakan membran

6. Lisis badan

apoptosis

19

Menurut Brooks (2005), terdapat tiga prosedur pengaturan sel sebagai

respon sel terhadap paparan sinar-X dosis adaptasi (akut). Tiga prosedur tersebut

yakni perbaikan DNA, kematian sel melalui mekanisme apoptosis sehingga dapat

menurunkan jumlah sel abnormal dan peningkatan fungsi imun, dimana ketiganya

berperan potensial untuk mereduksi kejadian kanker pada organisme.

Apoptosis adalah fenomena penting dalam sistem biologi (Rajesh et al.

2009). Paparan radiasi ionisasi menghasilkan efek yang cepat, terjadi kematian sel

secara apoptosis (Gambar 9) dari stem cell atau sel punca (Potten 1977). Stem cell

usus bertanggung jawab terhadap repopulasi epitel permukaan pada usus. Jika ada

gangguan pada stem sel usus maka akan terjadi perubahan bentuk kripta pada

usus. Dosis yang besar dapat menyebabkan kerusakan kripta disertai dengan

adanya gangguan fungsional usus terlihat secara klinis sebagai gangguan akut.

Apoptosis dapat terjadi akibat dari adanya induksi iradiasi terhadap usus (Mann

1991; Potten et al. 1994). Apoptosis pada stem sel pada bagian kripta kolon tikus

dapat dilihat pada Gambar 9.

Menurut Cotran et al. (1999), gambaran morfologi sel apoptosis ialah

adanya pengerutan sel, kondensasi kromatin (piknotik), pembentukan tonjolan

sitoplasma dan pada akhirnya terjadi fagositosis badan apoptosis (apoptosis

bodies). Karakteristik apoptosis ialah melibatkan sel tunggal dan kelompok sel

kecil, bentuknya sebagai masa eosinofilik bulat atau oval yang terlihat dengan

fragmen kromatin inti yang padat. Salah satu faktor yang bertanggungjawab dari

serangkaian peristiwa apoptosis baik fisiologis, adaptif maupun patologis adalah

delesi sel atau penghilangan sel. Rangkaian proses tersebut mengakibatkan deplesi

sel pada populasi sel yang berproliferasi seperti epitel kripta intestinum.

Apoptosis pada bagian basal kripta duodenum mencit dapat dilihat pada Gambar

9.

20

Gambar 9 Gambaran sel apoptosis (tanda panah) pada bagian basal kripta

duodenum mencit dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)

perbesaran 900x (Merritt et al. 1994).

Organ usus dan organ yang memproduksi darah merah sangat sensitif

dengan adanya paparan sinar-X dan dapat menimbulkan efek biologis. Efek

biologi yang terjadi pada tubuh individu dibagi menjadi dua golongan utama

yakni efek biologis yang terjadi secara akut dengan paparan sinar-X dengan dosis

tinggi dengan lama paparan yang pendek atau sebentar dan efek biologis yang

terjadi secara kronis dengan paparan sinar-X dengan dosis rendah namun lama

paparan yang panjang. Paparan sinar-X dengan dosis yang tinggi dapat

mengakibatkan kematian sel sedangkan dengan dosis yang rendah dapat

mengakibatkan kerusakan sel sehingga banyak jaringan bahkan organ menjadi

rusak. Hal ini dapat mempengaruhi respon keseluruhan tubuh secara cepat dan

sering dikaitkan dengan Acute Radiation Syndrome (ARS) (USNRC 2000).

Efek biologis yang dihasilkan karena paparan dosis rendah dapat terjadi

pada tingkat sel dan hasilnya tidak dapat langsung teramati selama beberapa

tahun. Diagram alur efek radiasi pada sel tubuh dapat dilihat pada Gambar 10.

21

Gambar 10 Diagram alur kemungkinan paparan sinar-X seluler pada sel normal (Mitchel 2003 ).

Efek biologis (Gambar 10) yang dihasilkan dari adanya paparan radiasi

sinar-X banyak ditemukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sensitivitas

jaringan terhadap radiasi ionisasi sinar-X yaitu total dosis paparan, tipe sel, umur

individu, pembelahan sel, bagian tubuh yang terkena paparan sinar-X, kesehatan

individu, jumlah jaringan yang terpapar sinar-X, dan interval paparan sinar-X

yang diterima (USNRC 1999).

2.5.2 Degenerasi Epitel dan Atrofi Vili Usus

Degenerasi diartikan sebagai perubahan-perbahan morfologik akibat

kerusakan-kerusakan yang bersifat non fatal. Perubahan-perubahan tersebut masih

dapat pulih kembali (reversible). Perubahan-perubahan tersebut hanya

mencerminkan adanya lesio biomolekuler yang telah berjalan lama dan baru

kemudian dapat dilihat. Setiap sel memiliki resiko mengalami kerusakan baik dari

faktor internal atau eksternal setiap saat. Oleh karena itu sel memiliki kemampuan

untuk menanggulangi tingkat perbaikan tergantung pada besar kecilnya pengaruh

lesio yang terjadi serta kemampuan sel akan mengakibatkan sel menjadi sakit atau

tetap normal. Lesio-lesio yang terjadi mengakibatkan gangguan metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak pada sel. (Himawan 1990). Gambaran vili usus

halus yang mengalami degenerasi disajikan pada Gambar 12.

Kesalahan dalam

perbaikan

kanker

Tidak ada kesalahan

dalam perbaikan

Sel normal

radiasi

Kerusakan DNA

Kematian sel/ apoptosis

22

Gambar 11 Gambaran histologi duodenum mencit yang mengalami atrofi (tanda

panah tipis) dan degenerasi (tanda panah tebal) dengan pewarnaan

hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 400x (Hummdi LA dan Habash

SH 2012).

Kejadian degenerasi pada jaringan dapat diawali oleh terjadinya respon

adaptif terhadap stimulasi perlukaan atau trauma dan kerusakan seperti halnya

atrofi (Cheville 2006). Atrofi ialah suatu kondisi dimana penurunan ukuran sel-sel

yang sebelumnya telah mengalami perkembangan organ yang menyeluruh. Atrofi

menggambarkan adanya adaptasi terhadap perubahan seluler dari lingkungan

(Cheville 2006). Ciri-ciri seluler sel atrofi adalah mitokondria yang mengecil

karena energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Pengurangan dalam transkripsi,

translasi dan konjugasi dari sekresi protein sebagai hasil dari menghilangnya

ribosom dan retikulum endoplasma dengan menghilangnya granul skretori.

Gambar histologi vili duodenum yang mengalami atrofi disajikan pada Gambar 13

(B dan D).

23

Gambar 12 Gambaran histologi vili duodenum mencit (A dan C) vili duodenum

mencit normal dan (B dan D) vili duodenum yang mengalami atrofi

dan dilatasi lumen usus yang ditunjukan dengan tanda panah hitam.

Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 200x (Uzal et al.

2009).

C D