2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id filemerusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan...
TRANSCRIPT
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radiasi
Radiasi adalah pemancaran atau pengeluaran dan perambatan energi
menembus ruang atau sebuah substansi dalam gelombang atau partikel. Partikel
radiasi terdiri dari atom atau sub-atom yang mempunyai massa dan bergerak,
menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Anonimous
2011). Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis
yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi.
Radiasi ionisasi didefinisikan sebagai suatu radiasi yang memiliki energi
yang cukup untuk memindahkan elektron dari molekulnya serta mampu merusak
ikatan kimia. Radiasi ionisasi merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x
dan sinar-ɤ atau partikel sub-atom berupa proton, neutron, dan partikel-α dan β
(NCR 2006) (Gambar 1). Menurut Fajardo et al. (2001), radiasi ionisasi dapat
merusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan partikel atau ion. Konsekuensi
proses ini pada tubuh meliputi perubahan kimiawi sel berupa inisiasi kematian sel
dan potensi berbahaya lainnya.
Gambar 1 Daya tembus radiasi ionisasi (partikel radiasi alpha, beta, gamma, x-
ray, dan neutron) (Anonimous 2012).
2.1.1 Sinar- X
Radiasi ionisasi sinar-X termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik.
Panjang sinar-X 10-0.01 nanometer, frekuensi 30 petahertz–30 exahertz (30 x 1015
Hz sampai 30 x 1018
Hz) dan memiliki energi 120 elektron Volt–120 Kiloelektron
5
Volt. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultra violet
(Thrall 2002).
2.1.2 Pemanfaatan Sinar-X dalam Dunia Medis
Sejak pertama kali sinar-X ditemukan sudah berkembang sangat pesat
sebagai sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Dunia
kedokteran hewan memanfaatkan sinar-X sejak tahun 1970 di Eropa. Ilmu yang
mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi
disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai sarana radiodiagnostik dan radioterapi. Radiografer memanfaatkan sinar-
X untuk menghasilkan gambaran diagnostik yang dapat membantu mendeteksi
berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang
(Thrall 2002; McCurnin dan Bassert 2006).
RÖntgen merupakan sarana radiodiagnostik yang sudah berkembang
dengan pesat dalam menunjang diagnosa. RÖntgen atau sinar-X menghasilkan
energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi kesehatan. Sejak tahun 2005
pemerintah Amerika Serikat memasukan sinar-X dalam daftar penyebab
terjadinya kanker. Penggunaan sarana radiodiagnostik sinar-X di Indonesia
diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana
2008).
Menurut Nicholas dan Robert (2007) radioterapi ialah pemanfaatan radiasi
sinar-X atau sinar-Gamma yang dipajankan terhadap sel-sel malignan. Pada
masing-masing penyakit malignan digunakan dosis dan frekuensi paparan yang
berbeda. Menurut Tjokronagoro (2001) dalam Riyatun (2011), radioterapi
didefinisikan sebagai pemanfaatan sinar-X untuk memberikan efek terapi terhadap
sel-sel yang mengalami mitosis berlebihan atau sel kanker. Radiasi akan merusak
sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi atau pembelahan sel-sel kanker akan
terhambat.
2.1.3 Efek Radiasi Ionisasi
Sinar-X merupakan bentuk radiasi ionisasi yang sangat berbahaya bagi
kesehatan. Disamping memiliki nilai positif sebagai sarana radiodiagnostik,
6
radiasi ionisasi sinar-X dapat menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan
tubuh yang terpapar. Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi
terbentuknya kanker adalah 50 mSv. Badan pengawas Nuklir Amerika Serikat
atau disebut NCR (Nuclear Regulatory Commision) membatasi jumlah dosis
okupasional pada orang dewasa tidak boleh melebihi 0.05 Sv (5 rem/tahun)
(Thrall 2002).
BAPETEN sebagai badan pengawas tenaga nuklir nasional di Indonesia
mengatur bahwa dosis maksimum pekerja radiasi adalah 20 mSv rata-rata dalam 5
tahun (Ulum dan Noviana 2008). Dosis 50 mSv/tahun yang diterima dari radiasi
alam di berbagai bagian bumi tidak berbahaya bagi penduduk setempat. Akan
tetapi pada dosis 100 mSv/tahun memacu terjadinya kanker dengan semakin
meningkatnya dosis yang diterima. Kejadian kanker terjadi pada 5 dari 100 orang
atau sekitar 5% dengan dosis 1000 mSv. Kejadian umum berupa kanker pada
dosis tersebut sekitar 25% dan mampu meningkat menjadi 30%.
Semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap
radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah dari sinar RÖntgen oleh jaringan akan
mengakibatkan perubahan dan kerusakan pada sel (McCurnin dan Bassert 2006).
Sinar-X membentuk radikal bebas yang berakibat kerusakan atau hilangnya
elektron atom dari jaringan yang terpapar. Tubuh sebagian besar terdiri atas
komponen air sekitar 70% sehingga radiasi ionisasi akan mengubah susunan
molekul air membentuk radikal bebas secara aktif. Jumlah radikal bebas yang
terbentuk akan merusak jaringan. Daya sensitifitas dan regenerasi tiap jaringan
berbeda-beda sehingga efek yang ditimbulkan akan berbeda sesuai dengan jenis
jaringan dan dosis radiasi yang diterima. Efek yang ditimbulkan berupa
abnormalitas jaringan hingga kematian. Jaringan yang sangat aktif membelah
seperti usus dan sumsum tulang akan memperlihatkan efek yang sangat besar.
Sebaliknya pada jaringan yang tidak aktif membelah seperti otot dan tulang akan
menimbulkan sedikit efek (Thrall 2002).
7
2.2 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
2.2.1 Karakteristik Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman dari genus
hibiscus yang banyak ditemukan di wilayah tropis. Rosela termasuk ke dalam
anggota famili Malvaceae yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan
subtropis. Habitat asli rosela terbentang dari India hingga Malaysia (Maryani dan
Kristiana 2005). Gambar 2 dapat dilihat gambar rosela yang tumbuh di Indonesia.
Gambar 2 Tanaman rosela (Maryani dan Kristiana 2005).
Klasifikasi ilmiah rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menurut Widyanto dan
Nelistya 2009:
kelas : Plantae
ordo : Malvales
famili : Malvaceae
genus : Hibiscus
spesies : H. sabdariffa L.
Tanaman rosela berbentuk semak yang berdiri tegak dengan tinggi 3-5 m.
Ketika masih muda, batang dan daunnya berwarna hijau. Ketika beranjak dewasa
dan masih berbunga, batangnya berwarna cokelat kemerahan. Batang berbentuk
silindris dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Batang terdapat daun-
daun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan
pertulangan menjari dan tepi meringgit. Ujung daun ada yang runcing atau
menguncup. Tulang daunnya berwarna merah. Panjang daun dapat mencapai 6-15
8
cm dan lebar 5-8 cm. Akar yang menopang batangnya berupa akar tunggang
(Widyanto dan Nelistya 2009).
2.2.2 Pemanfaatan Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Masyarakat
Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk
sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan
oleh Khosravi et al. (2009). Sedangkan efek rosela dalam melawan tetra-butyl
hydroperoxide yang memiliki toksisitas pada hati juga sudah dilaporkan
sebelumnya oleh Wang et al. (2000).
Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dimanfaatkan sebagai bahan
obat tradisional untuk mengobati berbagai kasus penyakit seperti hipertensi,
infeksi saluran perkemihan, dan kardioprotektif (Wang et al. 2000; Odigie et al.
2003; Olaleye 2007), sebagai antioksidan dan memiliki efek hepatoprotektif pada
berbagai hewan (Amin dan Hamza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Rostinawati (2008), ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas terhadap
Mycobacterium tuberculosis galur H37Rv dan Mycobacterium tuberculosis galur
Labkes-026 (multi-drug resisten).
Rosela masih belum banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran Indonesia.
Minuman berbahan rosela beberapa tahun terakhir mulai banyak dikenal sebagai
minuman kesehatan. Bahan minuman dari rosela seperti sirup dan teh juga sudah
dapat diperoleh di pasar swalayan. Pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia
pengobatan sudah tidak asing lagi di negara-negara lain (Maryani dan Kristiana
2005). Penduduk di Meksiko termasuk juga Afrika dan Asia, telah memanfaatkan
tanaman ini untuk berbagai keperluan pengobatan herbal dengan memanfaatkan
berbagai bagian dari tanaman ini (Khosravi et al. 2009).
2.2.3 Komposisi Kimia Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak mengandung
anthocyanin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak bunga rosela mengandung
flavonoid seperti gesypetin, hibiscetine, dan sabdaretine. Pigmen dari bunga
sebagian besar terdiri atas hibiscin yang telah diidentifikasi sebagai
daphniphylline. Delphinidin 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside
9
(chrysanthenin) dan delphnidin juga teridentifikasi dalam jumlah kecil (Wang et
al. 2000). Menurut Maryani dan Kristiana (2005), secara umum komposisi
kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Tabel 1 yang disajikan sebagai berikut.
Tabel 1 Kandungan gizi dalam 100 g kelopak segar bunga rosela
Zat Jumlah Zat Jumlah Kalori 44 kal Besi 3.8 mg
Air 86.2 % Betakaroten 285 mg
Protein 1.6 g Asam askorbat 14 mg
Lemak 0.1 g Tiamin 0.04 mg
Karbohidrat 1.1 g Riboflavin 0.6 mg
Serat 2.5 g Niasin 0.5 mg
Abu 1.0 g Sufida -
Kalsium 160 mg Nitrogen -
Fosfor 60 mg
Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rosela memiliki kadar air yang
tinggi dan 2.5 % kandungannya ialah serat yang sangat dibutuhkan tubuh dalam
proses pencernaan. Sedangkan hasil pengujian fisikokimia kelopak bunga rosela
dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Hasil uji fisikokimia dalam 100 g kelopak segar bunga rosela
Nama Senyawa Jumlah Campuran asam sitrat dan asam malat 13%
Antosianin yaitu gossypetin dan hisbiscin 2%
Vitamin C 0.004-0.005%
Protein 14.6%
Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)
Tabel 2 menunjukkan bahwa bunga rosela memiliki kandungan asam sitrat
yang cukup tinggi. Menurut Fasoyiro et al (2005), asam sitrat diketahui memiliki
kemampuan mengikat logam dan membentuk komplek dengan protein.
Kandungan vitamin C atau asam askorbat pada rosela lebih tinggi dari pada jeruk
dan mangga. Sedangkan pengujian terhadap kadar senyawa aktif yang terkandung
dalam kelopak bunga rosela dapat diperoleh dari hasil uji fitokimia yang
tersajikan pada Tabel 3 berikut.
10
Tabel 3 Hasil uji fitokimia ekstrak kelopak bunga rosela
Nama sampel Parameter uji Hasil Satuan Teknik analisa
Ekstrak kelopak bunga
Rosela
Fitokimia
Alkaloid
Wagner positif - kualitatif
Meyer positif - kualitatif
Dragendorf positif - kualitatif
Hidroquinon negatif - kualitatif
Tanin positif - kualitatif
Flavonoid positif - kualitatif
Saponin positif - kualitatif
Steroid negatif - kualitatif
Triterpenoid negatif - kualitatif
Ket: Hasil pengujian fitokimia ekstrak kelopak bunga Rosela, Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB
No. sertifikat 008/I3.11.8/LUB-CA/XI/2010 [18 November 2010].
Berdasarkan Tabel 3 yang disajikan di atas dapat diketahui senyawa aktif
yang paling berpengaruh dalam penelitian. Fitokonstituen yang ditemukan dalam
ekstrak bunga rosela berupa flavonoid, polisakarida, dan asam organik,
berpengaruh terhadap aktivitas farmakologinya (Husaini et al. 2004). Bunga
rosela diketahui memiliki asam sitrat, tanin, dan glukosida seperti delfinidin-3-
monoglukosida dan delfinidin yang pada konsentrasi tinggi bersifat toksik bagi
jaringan hewan dan manusia (Ojokoh 2002). Tanin merupakan senyawa fenol
dimana derajat hidroksilasi dan ukuran molekulnya dapat membentuk komplek
dengan protein (Ojokoh 2006). Menurut Aletor (1993), asam sitrat memiliki
kemampuan mengikat logam, membentuk komplek dengan protein. Penelitian
sebelumnya dilaporkan bahwa glukosida sianogenik secara umum bersifat
menghambat proses katalisis enzim.
2.3 Mencit (Mus musculus)
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang cepat
berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya
cukup besar, serta sifat anatomis dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik
(Malole dan Pramono 1989). Mencit telah digunakan sebagai subyek penelitian
sejak abad ke-19. Hingga kini, mencit menjadi hewan penelitian yang paling
banyak dipakai untuk mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi,
dan karsinogenitas. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu
11
memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka
hidup yang pendek, berukuran kecil, dan harga relatif murah (Sirois 2005).
Gambar mencit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 3 Mencit strain DDY (Laboratorium Patologi FKH IPB).
Mencit di atas memiliki sistem taksonomi sebagai berikut (Besselsen
2004) :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
subfilum : Vertebrata
kelas : Mamalia
subkelas : Theria
ordo : Rodensia
famili : Muridae
genus : Mus
spesies : Mus musculus
Mus musculus sering dijadikan sebagai hewan percobaan. Berbagai
macam strain mencit yang dapat digunakan inbred maupun outbred dengan
karyotipnya yang telah diketahui. Pada kenyataannya, susunan genom mencit
telah banyak diketahui dari pada spesies lain. Oleh karena itu mencit banyak
digunakan sebagai hewan coba mengenai genom mencit (Wolfensohn dan Lloyd
1998).
Menurut Malole dan Pramono (1989), pemilihan hewan percobaan untuk
kepentingan diagnosis harus mempertimbangkan spesies dan kondisi
12
fisiologisnya. Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh antraks dan rabies
sebaiknya menggunakan hewan coba mencit, sedangkan diagnosis penyakit akibat
enterobaktericeae dapat menggunakan hewan coba mencit maupun tikus. Hewan
percobaan kelinci baik digunakan pada penelitian mengenai hiperkolesterolemia
karena peka terhadap kolesterol dan dapat menyimpan lemak tubuh dalam jumlah
yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap
pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005).
Mus musculus memiliki ciri ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah
ditangani dan dikembangbiakkan. Ekor mencit hanya ditutupi oleh rambut-rambut
halus. Berbeda dengan tikus dan mamalia lain, sumsum dari tulang panjang
mencit selalu aktif seumur hidupnya. Sama halnya dengan tikus, mencit memiliki
beberapa kelenjar diantaranya, saliva, paratoid (serous), submaxillary, dan
sublingual. Ditemukan pula kelenjar Harderian. Mencit memiliki sinus orbitalis
sedangkan tikus memiliki plexus orbitalis. Rata-rata umur Mus musculus 1 sampai
3 tahun dengan berat badan umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40
gram dan betina 22 sampai 63 gram. Mencit memasuki usia dewasa pada umur 6
minggu, masa bunting selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005).
Penelitian ini menggunakan Mus musculus dengan strain DDY (Deutch
Democratic Yokohama) yang sering digunakan dalam banyak penelitian tentang
malformasi dan imunologi. Strain ini sangat baik untuk penelitian mengenai
malformasi hewan yakni sensitifitas terhadap efek letal radiasi embrio mencit
pada tahap preimplantasi, sehingga dapat mempengaruhi hereditas. Sedangkan
dalam penelitian imunologi, timbulnya penyakit pada strain ini tidak tinggi,
kemungkinan disebabkan oleh latar belakang genetik yang heterogen. Selain itu
strain DDY juga dilaporkan mempunyai perkembangan yang cepat, berumur
panjang, dan memproduksi immunoglobulin A (Ig A) yang mirip dengan manusia
(Gu et al. 2002; Miyawaki et al. 1997).
Pada bidang kedokteran, hewan percobaan banyak digunakan untuk
keperluan diagnosis. Penelitian-penelitian medis untuk kepentingan manusia
sering dilakukan menggunakan hewan percobaan. Menurut Wolfenshon dan
Lloyd (1998), hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok, yaitu (1) hewan
laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci, (2) karnivora,
13
seperti kucing dan anjing; (3) primata, seperti Macaca dan babon, (4) hewan
domestik besar, seperti domba, sapi, dan (5) kelompok hewan lainnya, seperti
unggas.
2.4 Duodenum
2.4.1 Anatomi dan Histologi Duodenum
Duodenum merupakan bagian dari usus halus yang berperan dalam sistem
pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan yaitu mencerna dan memecah
makanan di dalam lumennya menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana
yang bisa diserap oleh sirkulasi tubuh untuk menunjang kehidupan organisme
(Frappier 2006). Duodenum merupakan organ tubular yang terbentang dari pilorus
ke usus besar (Genesser 1994). Panjang usus halus mulai pilorus sampai ileum
mencit dewasa kira-kira 35 cm, sedangkan panjang usus besar mulai kolon sampai
sekum mencit dewasa kira-kira 14 cm (Shackelford dan Elwell 1999). Secara
makroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum mulai dari dalam ke
luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis,
dan tunika serosa (Shackelford dan Elwell 1999; Frappier 2006).
Gambar 4 Struktur mikroskopis usus mencit (SAHB 2009).
14
Secara mikroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum (usus
halus) mulai dari dalam ke luar terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa,
tunika muskularis, dan tunika serosa (Gambar 4) (Shackelford dan Elwell 1999;
Frappier 2006). Dinding duodenum kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Di dinding
duodenum melepaskan lendir, air dan sejumlah kecil enzim. Lendir yang
dihasilkan ber fu ng s i u nt uk me lumasi isi usus, air untuk membantu
melarutkan molekul-molekul makanan yang dicerna, dan sejumlah kecil enzim
yang membantu proses pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Struktur histologi
duodenum disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur histologi duodenum. (S) serosa, (ME) muskularis eksterna, (L)
longitudinal, (C) sirkular, (SubM) submukosa, (BGI) kelenjar Brunner,
(D) duktus kelenjar Burner, (MM) muskularis mukosa, (Muc) mukosa,
dan (V) vili (Ross et al. 2002).
Tunika mukosa terdiri atas epitel, kelenjar intestinal, dan lamina propria.
Bagian tunika submukosa dapat dilihat adanya kelenjar Brunner atau elenjar
submukosa yang hanya terdapat pada bagian pangkal duodenum (Frappier 2006).
Epitel usus halus berbentuk epitel kolumnar selapis yang terdiri atas sel absortif,
sel goblet, sel endokrin dan sel peaneth (Genesser 1994). Lamina propria terdiri
atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh
darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan Elwell 1999).
Menurut Dellmann dan Brown (1992) menyatakan bahwa pencernaan di
usus halus ditunjang oleh bentuk khusus pada tunika mukosa, yakni vili (Gambar
5 (V). Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri
15
khas usus halus. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang
berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria (Junqueira dan Carneiro 2005).
Tinggi vili ini bervariasi bergantung pada daerah dan jenis hewannya.
Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedangkan pada sapi vili pendek dan
lebar. Panjang vili usus halus pada mencit dewasa lebih panjang dari pada mencit
neonatus (Shackelford dan Elwell 1999). Sehingga luas permukaan ditingkatkan
oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan
bebas epitel vili. Vili dan mikrovili berfungsi memperluas permukaan usus halus
sehingga penyerapan lebih efisien (Dellmann dan Brown 1992). Kerusakan
mikrovili dan atrofi vili usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi
(malabsorbtion syndrome) (Junqueira dan Carneiro 2005).
Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki
jumlah vili yang banyak, tinggi, dan berbentuk seperti lembaran daun. Duodenum
juga memiliki kripta dan kelenjar Lieberkühn dengan jumlah dan keadaan yang
paling baik. Selain itu, terdapat kelenjar submukosa (Brunner). Jejenum hampir
mirip dengan duodenum tetapi vilinya lebih kecil dan lebih banyak. Jejenum tidak
terlalu tampak adanya kelenjar submukosa (Brunner) namun jejenum memiliki
banyak sel goblet pada permukaan vilinya. Ileum adalah bagian akhir dari usus
halus, bentuk vilinya seperti ibu jari dengan jumlah kelenjar Liberkhün yang
sedikit. Ileum memiliki lebih sedikit sel goblet namun dilengkapi dengan jaringan
limfatik yang lebih besar yaitu daun Peyer (Junqueira dan Carneiro 2005;
Samuelson 2007).
Selain struktur lapis penutupnya, vili memiliki struktur jaringan lunak pada
bagian dalam yakni lamina propria. Menurut Ross et al. (2002), lamina propria
dilengkapi dengan jaringan limfatikus yang berfungsi sebagai pertahanan
imunologis terintegrasi yang mampu mencegah patogen maupun substansi antigen
lainnya yang berpotensi masuk ke dalam mukosa dari lumen saluran cerna (usus).
Jaringan limfatikus terdiri dari oleh jaringan limfatikus yang menyebar (limfosit
dan sel plasma) di dalam lamina propria, transient limfosit yang terdapat pada
ruang antar epitel, nodul limfatik, eosinofil, makrofag dan terkadang neutrofil.
Gambaran mikroskopis vili duodenum disajikan pada Gambar 6.
16
Gambar 6 Gambaran mikroskopis vili duodenum (Ross et al. 2002).
Daerah mukosa (Gambar 5), diantara dasar-dasar vili terdapat kelenjar-
kelenjar yang meluas ke bagian bawah mukosa yang disebut kripta Lieberkühn.
Kripta Lieberkühn memiliki struktur tubular sederhana yang meluas dari daerah
muskularis mukosa menuju ke lamina propria. Sel-sel kripta menyediakan sel-sel
baru untuk menggantikan sel-sel permukaan vili yang terbuang ke dalam lumen
usus (Bevelender dan Ramaley 1988). Menurut Samuelson (2007), di bagian
bawah vili baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat
kripta dan kelenjar Lieberkühn yang terdiri atas stem sel atau sel punca, sel
goblet, sel Panet dan sel enteroendokrin. Pada mencit dewasa, sel kripta epitel
usus bermitosis setiap 10-14 jam dan waktu transit sel dari kripta ke ujung vili
terjadi selama 48 jam (Shackelford dan Elwell 1999).
lacteal
Sel Goblet
Epitel silindris sebaris
Sel otot halus/
fibroblas lakteal
17
Gambar 7 Histologi submukosa usus A) kripta Lieberkühn, B) sel Paneth usus dan
C) limfosit (Ross et al. 2002).
Epitel usus halus berbentuk epitel silindris selapis (Gambar 6) yang terdiri
atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel paneth (Genesser 1994). Lamina
propria terdiri atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya
pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan
Elwell 1999). Tunika submukosa (Gambar 5 (SubM)) terdiri atas jaringan ikat
longgar, pembuluh darah dan pembuluh limfe yang lebih besar. Duodenum
memiliki kelenjar Brunner (Genesser 1994). Pada hewan dewasa lapisan ini
ditemukan banyak limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil, dan sel mast
(Schackelford dan Elwell 1999).
Tunika muskularis terdiri atas lapisan eksterna yang mempunyai serabut
otot longitudinal dan lapisan interna yang mempunyai serabut otot halus
berbentuk sirkuler (Schackelford dan Elwell 1999). Kedua lapisan ini dipisahkan
oleh suatu jaringan ikat berisi pleksus saraf parasimpatis yang disebut pleksus
Mesenterikus atau Auerbach’s (Genesser 1994). Suplai darah untuk usus halus
diberikan melalui cabang-cabang dari arteri mesenterica celiaca dan cranialis
yang menembus tunika muskularis kemudian tunika submukosa (Frappier 2006).
Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa (Gambar 5 (S)) terdiri atas lapisan
mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Genesser 1994; Frappier
2006).
Muskularis mukosa
B
A
C
18
2.5 Kondisi Patologis Pada Sel Usus
2.5.1 Apoptosis Epitel Usus
Apoptosis adalah suatu proses kematian sel terprogram, diatur secara
genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi
sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya (Cotran et al. 1999; D’amico
dan McKenna 1994). Menurut Kresno (2001), apoptosis merupakan proses
penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan
keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak
dan proliferasi fisiologis sehingga mampu memelihara agar fungsi jaringan
normal. Kejadian apoptosis memiliki tujuan untuk menjaga homeostasis sel di
jaringan selain itu pula sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun.
Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel
secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker (Cotran et al. 1999).
Mekanisme apoptosis sel dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Mekanisme apoptosis sel (Cotran et al. 1999).
Mekanisme apoptosis seperti Gambar 8 dapat dipicu oleh adanya
rangsangan eksogen dan endogen seperti radiasi ultraviolet, stres oksidatif, dan
bahan kimia genotoksik. Diawali dengan adanya penyusutan sel dan kondensasi
kromatin yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan membran plasma
dan nukleus yang kolaps sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan sel lisis
(apoptosis) (Cotran et al. 1999).
2. Penyusutan sel dan
kondensasi kromatin
Kematian sel terprogram
1. Sel normal 3. Membran sel rusak
5. Pembentukan
badan apoptosis
4. Nukleus kolaps sebagai
lanjutan kerusakan membran
6. Lisis badan
apoptosis
19
Menurut Brooks (2005), terdapat tiga prosedur pengaturan sel sebagai
respon sel terhadap paparan sinar-X dosis adaptasi (akut). Tiga prosedur tersebut
yakni perbaikan DNA, kematian sel melalui mekanisme apoptosis sehingga dapat
menurunkan jumlah sel abnormal dan peningkatan fungsi imun, dimana ketiganya
berperan potensial untuk mereduksi kejadian kanker pada organisme.
Apoptosis adalah fenomena penting dalam sistem biologi (Rajesh et al.
2009). Paparan radiasi ionisasi menghasilkan efek yang cepat, terjadi kematian sel
secara apoptosis (Gambar 9) dari stem cell atau sel punca (Potten 1977). Stem cell
usus bertanggung jawab terhadap repopulasi epitel permukaan pada usus. Jika ada
gangguan pada stem sel usus maka akan terjadi perubahan bentuk kripta pada
usus. Dosis yang besar dapat menyebabkan kerusakan kripta disertai dengan
adanya gangguan fungsional usus terlihat secara klinis sebagai gangguan akut.
Apoptosis dapat terjadi akibat dari adanya induksi iradiasi terhadap usus (Mann
1991; Potten et al. 1994). Apoptosis pada stem sel pada bagian kripta kolon tikus
dapat dilihat pada Gambar 9.
Menurut Cotran et al. (1999), gambaran morfologi sel apoptosis ialah
adanya pengerutan sel, kondensasi kromatin (piknotik), pembentukan tonjolan
sitoplasma dan pada akhirnya terjadi fagositosis badan apoptosis (apoptosis
bodies). Karakteristik apoptosis ialah melibatkan sel tunggal dan kelompok sel
kecil, bentuknya sebagai masa eosinofilik bulat atau oval yang terlihat dengan
fragmen kromatin inti yang padat. Salah satu faktor yang bertanggungjawab dari
serangkaian peristiwa apoptosis baik fisiologis, adaptif maupun patologis adalah
delesi sel atau penghilangan sel. Rangkaian proses tersebut mengakibatkan deplesi
sel pada populasi sel yang berproliferasi seperti epitel kripta intestinum.
Apoptosis pada bagian basal kripta duodenum mencit dapat dilihat pada Gambar
9.
20
Gambar 9 Gambaran sel apoptosis (tanda panah) pada bagian basal kripta
duodenum mencit dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)
perbesaran 900x (Merritt et al. 1994).
Organ usus dan organ yang memproduksi darah merah sangat sensitif
dengan adanya paparan sinar-X dan dapat menimbulkan efek biologis. Efek
biologi yang terjadi pada tubuh individu dibagi menjadi dua golongan utama
yakni efek biologis yang terjadi secara akut dengan paparan sinar-X dengan dosis
tinggi dengan lama paparan yang pendek atau sebentar dan efek biologis yang
terjadi secara kronis dengan paparan sinar-X dengan dosis rendah namun lama
paparan yang panjang. Paparan sinar-X dengan dosis yang tinggi dapat
mengakibatkan kematian sel sedangkan dengan dosis yang rendah dapat
mengakibatkan kerusakan sel sehingga banyak jaringan bahkan organ menjadi
rusak. Hal ini dapat mempengaruhi respon keseluruhan tubuh secara cepat dan
sering dikaitkan dengan Acute Radiation Syndrome (ARS) (USNRC 2000).
Efek biologis yang dihasilkan karena paparan dosis rendah dapat terjadi
pada tingkat sel dan hasilnya tidak dapat langsung teramati selama beberapa
tahun. Diagram alur efek radiasi pada sel tubuh dapat dilihat pada Gambar 10.
21
Gambar 10 Diagram alur kemungkinan paparan sinar-X seluler pada sel normal (Mitchel 2003 ).
Efek biologis (Gambar 10) yang dihasilkan dari adanya paparan radiasi
sinar-X banyak ditemukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sensitivitas
jaringan terhadap radiasi ionisasi sinar-X yaitu total dosis paparan, tipe sel, umur
individu, pembelahan sel, bagian tubuh yang terkena paparan sinar-X, kesehatan
individu, jumlah jaringan yang terpapar sinar-X, dan interval paparan sinar-X
yang diterima (USNRC 1999).
2.5.2 Degenerasi Epitel dan Atrofi Vili Usus
Degenerasi diartikan sebagai perubahan-perbahan morfologik akibat
kerusakan-kerusakan yang bersifat non fatal. Perubahan-perubahan tersebut masih
dapat pulih kembali (reversible). Perubahan-perubahan tersebut hanya
mencerminkan adanya lesio biomolekuler yang telah berjalan lama dan baru
kemudian dapat dilihat. Setiap sel memiliki resiko mengalami kerusakan baik dari
faktor internal atau eksternal setiap saat. Oleh karena itu sel memiliki kemampuan
untuk menanggulangi tingkat perbaikan tergantung pada besar kecilnya pengaruh
lesio yang terjadi serta kemampuan sel akan mengakibatkan sel menjadi sakit atau
tetap normal. Lesio-lesio yang terjadi mengakibatkan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak pada sel. (Himawan 1990). Gambaran vili usus
halus yang mengalami degenerasi disajikan pada Gambar 12.
Kesalahan dalam
perbaikan
kanker
Tidak ada kesalahan
dalam perbaikan
Sel normal
radiasi
Kerusakan DNA
Kematian sel/ apoptosis
22
Gambar 11 Gambaran histologi duodenum mencit yang mengalami atrofi (tanda
panah tipis) dan degenerasi (tanda panah tebal) dengan pewarnaan
hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 400x (Hummdi LA dan Habash
SH 2012).
Kejadian degenerasi pada jaringan dapat diawali oleh terjadinya respon
adaptif terhadap stimulasi perlukaan atau trauma dan kerusakan seperti halnya
atrofi (Cheville 2006). Atrofi ialah suatu kondisi dimana penurunan ukuran sel-sel
yang sebelumnya telah mengalami perkembangan organ yang menyeluruh. Atrofi
menggambarkan adanya adaptasi terhadap perubahan seluler dari lingkungan
(Cheville 2006). Ciri-ciri seluler sel atrofi adalah mitokondria yang mengecil
karena energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Pengurangan dalam transkripsi,
translasi dan konjugasi dari sekresi protein sebagai hasil dari menghilangnya
ribosom dan retikulum endoplasma dengan menghilangnya granul skretori.
Gambar histologi vili duodenum yang mengalami atrofi disajikan pada Gambar 13
(B dan D).