oase iman di media sosial - s3.amazonaws.com · mahaman asy’ariyyah, yang lebih mengutamakan...
TRANSCRIPT
Oase Iman di Media Sosial
Kumpulan Tulisan dan sTaTus nasihaT
di FacebooK
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Oase Iman di Media Sosial
Kumpulan Tulisan dan sTaTus nasihaT
di FacebooK
Ust. Abdi Kurnia Djohan
Penerbit PT Elex Media Komputindo
oase iman di media sosialKumpulan Tulisan dan status nasihat di Facebook
abdi Kurnia djohan©2019, PT Elex Media Komputindo
Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-UndangDiterbitkan Pertama Kali Oleh:
Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia—Jakarta
Anggota IKAPI, Jakarta
719100140ISBN: 978-602-04-8939-1
978-602-04-8940-7 (Digital)
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab Percetakan
v
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .......................................................... vii
TOPIK AKIDAH
ALLAH DI LANGIT? ..............................................................................2
TAWASSUL BUKAN PERBUATAN SYIRIK ......................................7
MAULID BIDAH ................................................................................. 13
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH ................................................. 25
TOPIK FIKIH
HARAMKAH BERMAZHAB? .......................................................... 36
MENGGUGAT KIRIMAN AL-FATIHAH ........................................ 49
HARAM ISTRI MEMANGGIL SUAMI ABI? ................................. 54
KURBAN SESUAI SUNNAH ............................................................ 59
BERNASAB KEPADA NABI .............................................................. 65
MEMAHAMI KONTEKS BIDAH ..................................................... 75
TOPIK KAJIAN AL-QURAN
TEKA-TEKI HURUF DI DALAM AL-QURAN .............................. 80
TANPA HURUF BA’ DI SURAH AL-IKHLAS ................................ 83
PROF M. QURAISH SHIHAB
Catatan seorang Abdi Kurnia Djohan ....................................... 86
Allah di Langit?
Beberapa waktu lalu, seorang aktivis pengajian “sunnah”
merilis sebuah video yang berisi ceramah seorang ustaz
“sunnah” tentang iman kepada Allah. Di dalam vi deo itu,
sang ustaz menjelaskan bahwa termasuk ke dalam penger
tian beriman kepada Allah adalah mengimani atau meya
kini bahwa Allah berada di langit. Menurutnya, keyakinan
bahwa Allah berada di langit itu telah sharih ( jelas) di da
lam hadis sahih yang tidak perlu diragukan lagi pemaham
annya.
Dengan argumentasi itu, sang ustaz—dan tentunya jemaah
yang mengunggah video itu ke dunia maya—meng anggap
bahwa orang yang tidak meyakini keberadaan Allah di
langit, patut diragukan keimanannya. Meski dengan nada
bicara yang pelan, dengan tajam sang ustaz menun
juk mazhab Asy’ariyyah telah keliru—jika tidak dikatakan
sesat—di dalam persoalan ini. Secara jelas, ia menganggap
salah pemahaman yang mengatakan bahwa Allah berada
di manamana. Sambil merendahkan, ia mengajukan per
tanyaan, “kalau begitu, Allah bisa berada di comberan?”
Menutup cerita nya tentang perdebatan dengan pengikut
Asy’ariyyah, sang ustaz memberi komentar, “Begitulah pe
3Topik Akidah
mahaman Asy’ariyyah, yang lebih mengutamakan logika
diban dingkan sunnah”. Komentar itu agaknya dimaksud
kan sebagai penegasan bahwa pemahaman mereka di da
lam masalah ini lebih sesuai dengan sunnah dibandingkan
pemahaman kelompok lain. Benarkah seperti itu?
Sikap nyinyir dan merasa paling benar sendiri seperti ini
yang sangat disesali harus terjadi di tengah upaya mem
bangun kesepahaman di antara sesama umat Nabi Mu
hammad ملسو هيلع هللا ىلص. Jika perbedaan pendapat itu bisa dipertemu
kan dengan sebuah diskusi yang jujur, terbuka, dan tanpa
prasangka, kenapa tidak mengambil sikap tawaqquf (diam)
terlebih dahulu ketika titik temu itu belum dicapai? Me
ngapa harus keluar kalimat “tidak se suai dengan sunnah”,
“mereka lebih mengutamakan akal dibandingkan sunnah”,
atau “begitulah perilaku kaum yang sesat”? Mengapa pula
kalimat itu seperti harus dilontarkan ke hadapan khalayak
awam, seakan menjadi alat promosi bahwa hanya kelom
pok mereka yang benarbenar mengamalkan ajaran Nabi
Muhammad, sedangkan yang lain tidak (?!)
Dalam kaitannya dengan keyakinan “bahwa Allah berada di
langit” yang menjadi pertanyaan apakah pernyataan itu be
nar, apalagi jika dikatakan bahwa pernyataan disampaikan
di hadapan Nabi Muhammad dan beliau hanya tersenyum
mendengarnya. Bagi saya pribadi, pernyataan itu tidak da
pat dipahami secara sederhana bahwa begitulah ketetapan
syariat. Mengingat sikap taqrirnya Nabi ملسو هيلع هللا ىلص di dalam hadis
itu memunculkan teka teki baru terkait dengan kehujjahan
pernyataan itu, apakah berada di ranah itsbat atau mukh
talaf.
4 Oase Iman di Media Sosial
Makna Langit (As-Sama’)Kata “samaa” di dalam bahasa Arab menunjuk kepada tem
pat yang tinggi dan sulit untuk dijangkau. Di dalam bahasa
Indonesia kata “samaa’” ini diterjemahkan menjadi langit.
Di dalam Fiqhul Lughah wa Asrar ulArabiyyah, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan langit adalah:
اء فهو س ك ما عاك فاظلكSemua yang berada di atas anda dan menaungi anda,
itulah yang disebut langit1
Secara substansi, langit merupakan tempat yang tidak ber
batas jika dilihat dari bumi.
Yang menarik di dalam AlQuran disebut bahwa langit itu
ada batasannya, yaitu tujuh lapis. Surah alIsra ayat 44:
نك ض ومنه فيه اره ع واه موات ال�سكبه ح ل ال�ك ت�سبSelalu bertasbih kepada Allah, langit yang tujuh dan
bumi beserta semua makhluk yang ada di dalamnya.
Jika dikatakan Allah bertempat di langit, yang menjadi per
tanyaan di langit sebelah mana DIA berada? Sebab jika
yang dimaksud dengan langit itu adalah tempat, tentu para
pilot dan astronot sudah mendeteksi di mana keberadaan
Allah.
1 Abu Manshur Abdul Malik Ats-Tsa’alaby, Asrorul Arabiyyah hal. 33
137
Tentang Penulis
Penulis dilahirkan di Jakarta pada bulan April 1975 dari
pasangan H. Djohan Abidin dan Hj Mulyati. Pengeta
huan agama Islam penulis diperoleh dari mengaji kepada
Alm. K.H. Izzuddin Ahmad Zaid Buntet Pesantren Cirebon.
Penyakit TBC kelenjar yang menderanya memaksanya pu
lang lebih cepat dari Pesantren tersebut, sebelum tuntas
menyelesaikan pendidikannya. Selepas dari Buntet Pesan
tren, sambil menjalani masa penyembuhan, penulis melan
jutkan studi keislaman di Perguruan Islam Assyai’iyyah Bali Matraman, sambil mempelajari ilmu agama dari beberapa
guru antara alm. KH. Nurhilaluddin, alm. Ust. Sa’dullah, dan
KH. Qurthubi Romli. Upaya untuk mempelajari ilmuilmu
keislaman penulis tidak berhenti meskipun telah diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Setelah menyelesaikan kuliah S1 dan S2 di Fakultas Hu
kum Universitas Indonesia, penulis melanjutkan pencahari
an memperdalam pengetahuan agama Islam dari beberapa
ulama, seperti KH. Maimun Zubair, pendiri Pesantren al
Anwar Sarang Rembang, KH. Hasyim Muzadi—Ketua Tan
idziyyah PBNU 1998-2009 dan pengasuh Pesantren Maha
siswa AlHikam—dan yaitu KH. Ahmad Marwazie Shiddiq
dan KH. Zakwan Abdul Hamid, keduanya merupakan murid
dari Musnid AlAshr, ulama besar hadis dari Makkah, Syekh
Muhammad Yasin bin Isa AlFadani, Syekh Dr. Yahya Abdul
138 Oase Iman di Media Sosial
Rozzaq alGhautsany—dan menerima ijazah aammah di
bidang AlQuran dari beliau di Madinah alMunawwarah
(2012), serta Sayyid Dr Ahmad bin Muhammad AlMaliky
AlHasani selama melaksanakan ibadah haji pada tahun
2012.
Saat ini penulis tercatat sebagai anggota tim pengajar mata
kuliah Agama Islam di Universitas Indonesia, untuk Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, serta Fakultas Ilmu Budaya dan mata
kuliah Metodologi Dakwah di Sekolah Tinggi Kulliyatul
Qur’an AlHikam pimpinan KH. Hasyim Muzadi. Di samping
juga tercatat sebagai anggota pengurus Lembaga Dakwah
NU Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmah (2015
2020). Selain itu aktif menyampaikan kajiankajian keislam
an di kantorkantor Kementerian, BUMN, dan beberapa
masjid di wilayah Depok dan Cibubur.