105-766-1-dr

14
PERBAIKAN MANAGEMEN (PAKAN) UNTUK MENINGKATKAN KONDISI TUBUH DAN KINERJA REPRODUKSI SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF Sudirman Baco, Ratmawati Malaka dan Muhammad Hatta Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar 9024, e-mail : [email protected] ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kondisi tubuh dan kinerja reproduksi induk sapi Bali pada periode breeding dengan sistem pemeliharaan intensif (intensive management). Sebanyak 13 induk sapi Bali dipelihara dalam 1 kandang kelompok bersama 1 ekor pejantan. Sstem perkawinan yang diterapkan adalah perkawinan secara alam, pejantan dilepas bersama induk dalam 1 kandang secara terus menerus. Pakan konsentrat yang diberikan 1,5% dari bobot badan ternak dan hijauan/rumput secara ad bilitum. Parameter yang diamati antara lain kondisi tubuh induk (BCS), berahi pertama setelah melahirkan (post-partum estrus), tingkat kebuntingan dan service perconception (S/C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan managemen pada periode breeding setelah kelahiran :1) dapat memperbaiki kondisi induk setelah melahirkan dengan BCS 5,40,8 menjadi 6,31,0 selama 3 bulan pemeliharaan dengan sistem intensif dan 6,70,8 selama 6 bulan pertama pemeliharaan. Post-partum estrus pertama 64,531,5 hari. Tingkat kebuntingan 53,8% dengan S/C 2,20,5 selama 3 bulan pemeliharaan dan 100% tingkat kebuntingan dengan S/C 2,50,8 selama 6 bulan pemeliharaan. Kata Kunci: Skor Kondisi Tubuh Induk (BCS), Post-partum esterus, Tingkat Kebuntingan, Service perconception (S/C), managemen intensif, Produktifitas, sapi Bali. 1 Bidang Ilmu Peternakan

Upload: mas-agus

Post on 11-Dec-2015

3 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

105-766-1 -DR

TRANSCRIPT

Page 1: 105-766-1-DR

PERBAIKAN MANAGEMEN (PAKAN) UNTUK MENINGKATKAN KONDISI TUBUH DAN KINERJA REPRODUKSI SAPI BALI YANG DIPELIHARA

SECARA INTENSIF

Sudirman Baco, Ratmawati Malaka dan Muhammad Hatta

Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar 9024, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kondisi tubuh dan kinerja reproduksi induk sapi Bali pada periode breeding dengan sistem pemeliharaan intensif (intensive management). Sebanyak 13 induk sapi Bali dipelihara dalam 1 kandang kelompok bersama 1 ekor pejantan. Sstem perkawinan yang diterapkan adalah perkawinan secara alam, pejantan dilepas bersama induk dalam 1 kandang secara terus menerus. Pakan konsentrat yang diberikan 1,5% dari bobot badan ternak dan hijauan/rumput secara ad bilitum. Parameter yang diamati antara lain kondisi tubuh induk (BCS), berahi pertama setelah melahirkan (post-partum estrus), tingkat kebuntingan dan service perconception (S/C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan managemen pada periode breeding setelah kelahiran :1) dapat memperbaiki kondisi induk setelah melahirkan dengan BCS 5,40,8 menjadi 6,31,0 selama 3 bulan pemeliharaan dengan sistem intensif dan 6,70,8 selama 6 bulan pertama pemeliharaan. Post-partum estrus pertama 64,531,5 hari. Tingkat kebuntingan 53,8% dengan S/C 2,20,5 selama 3 bulan pemeliharaan dan 100% tingkat kebuntingan dengan S/C 2,50,8 selama 6 bulan pemeliharaan.

Kata Kunci: Skor Kondisi Tubuh Induk (BCS), Post-partum esterus, Tingkat Kebuntingan, Service perconception (S/C), managemen intensif, Produktifitas, sapi Bali.

1

Bidang Ilmu Peternakan

Page 2: 105-766-1-DR

PENDAHULUAN

Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang banyak dipelihara oleh petani di Sulawesi Selatan. Hal tersebut disebabkan bangsa sapi ini memiliki beberapa keunggulan antara lain, tidak selektif dan mampu memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah, memiliki tingkat adaptasi terhadap lingkungan yang cukup tinggi bahkan dapat hidup dan berproduksi baik di lahan kritis sedangkan bangsa sapi lainnya tidak demikian (Murtidjo, 1990 dan Baco, 2010), dan mempunyai persentase karkas tinggi, daging yang sedikit lemak serta keempukan dagingnya tidak kalah dengan daging sapi impor (Ngadiyono, 1997). Dengan demikian sapi Bali dapat memberikan kontribusi penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga sapi Bali dijadikan komoditas unggulan Sulawesi Selatan pada bidang peternakan. Bahkan Pemda Sulsel menargetkan pertumbuhan populasi pada tahun 2013 sebesar 1 juta ekor melalui Program Aksi Pencapaian Sejuta ekor sapi untuk mendukung Program Swasembada Daging (PSDS) tahun 2014 dan Program Nasional Kecukupan Daging yang telah dicanangkan oleh pemerintah (Anonim, 2009). Bahkan diwacanakan dilakukan gerakan pencapaian populasi 2 juta ekor pada tahun 2015. Dengan melihat kondisi dan penampilan sapi Bali di Sulawesi Selatan saat ini oleh beberapa peneliti telah mensinyalir bahwa sapi Bali terjadi penurunan mutu genetik dan produktifitasnya (Sonjaya dan Abustam, 1993). Hal ini dapat dilihat bahwa sangat sulit untuk mendapatkan sapi bibit betina dengan tinggi pundak melebihi dari 104 cm. Penurunan performansi sapi Bali mungkin disebabkan karena faktor bibit yaitu terjadinya inbreeding (silang dalam) dan tidak adanya pejantan unggul di dalam kelompok ternak masyarakat yang digunakan sebagai pemacek sehingga terjadi perkawinan acak tanpa kontrol dalam kelompok (Baco, 2000 dan 2001). Selain itu, manajemen penanganan induk pada saat musim breeding atau kawin juga kurang mendapat perhatian dengan baik. Namun demikian hasil penelitian Baco dan Rahim (2007) tentang analisis keragaman genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan menunjukkan keragaman genetik masih tinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa sangat memungkin perbaikan performans dan produktifitas sapi Bali melalui perbaikan genetik dan lingkungan atau manajemen. Secara teoritis bahwa penentu tingkat produktifitas dan performans ternak adalah faktor genetik (ternak) dan lingkungan (pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan, iklim dan sebagainya).

Pada umumnya manajemen pemeliharaan sapi Bali di masyarakat masih bersifat tradisional dan akibatnya produktifitas ternak rendah. Dengan sistem pemeliharaan seperti itu, tidak mampu mengekspoitasi potensi ternak meskipun secara genetik ternak tersebut memiliki potensi produktifitas tinggi (Wello dan Ismartoyo, 2010; Baco, 2011a). Survei di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak sapi di peternakan rakyat masih rendah 20 – 40%, umur melahirkan pertama 3 – 4 tahun, interval kelahiran panjang 1,5 – 2 tahun dan berat sapih pedet rendah 70 – 80 kg bahkan tingkat kematian pedet sangat tinggi (30 – 50%). Jika dibanding dengan potensi sapi Bali, produktifitas tersebut masih sangat rendah (Baco, 2010). Hal ini didasari atas pengalaman penulis melakukan kajian-kajian pendahuluan di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, terlihat bahwa sapi Bali yang dipelihara secara Semi-Intensif di Laboratorium Ternak Potong Unhas hasil sementara menunjukkan tingkat kebuntingan dan kelahiran dapat mencapai 95% (Baco, 2011b), akan tetapi tingkat kematian pedet masih tinggi 20 -30% dan pertumbuhan pedet sebelum sapih rendah 0,1 – 0,2 kg per ekor per hari. Hasil sementara dari pengalaman pengelolaan di Laboratorium Ternak Potong tersebut yaitu;1)Dengan perbaikan manajemen melalui pola pemeliharaan Semi-Intensif dengan pemberian pakan tambahan dengan hanya dedak padi secara terbatas sudah dapat meningkatkan tingkat kebuntingan dan kelahiran pedet tetapi belum mampu menekan tingkat kematian pedet 0 –

2

Page 3: 105-766-1-DR

3%, 2) Pertumbuhan pedet sebelum sapih masih rendah sehingga berat pedet pada saat sapihan (weaning weigth) rendah pula, dengan demikian waktu pubertas, bunting dan kelahiran pertama tertunda, interval kelahiran menjadi panjang, akibatnya biaya produksi menjadi tinggi dan tidak efisien.

Dengan melihat permasalahan tersebut di atas dapat diduga bahwa salah satu penyebabnya adalah kualitas pakan ternak dan pola manajemen yang diterapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian bagaimana pengaruh perbaikan manajemen melalui perbaikan pakan terhadap tingkat produktifitas dan performans sapi Bali yang dipelihara secara Intensif?. Dengan perbaikan pakan pada saat periode breeding diharapkan tingkat produktifitas induk meningkat, maka percepatan penyapihan dengan berat pedet yang tinggi tercapai, sehingga umur pembiakan pertama dan umur kelahiran pertama (firt calving age) lebih cepat atau lebih muda. Dengan demikian terjadi efisiensi biaya produksi sehingga peternak mendapatkan keuntungan yang optimal.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perbaikan manajemen melalui perbaikan pakan periode breeding terhadap BCS induk, produktifitas sapi Bali yang dipelihara secara intensif.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Makassar pada bulan April – Nopember 2013.

Materi penelitian yang digunakan adalah sebanyak 13 ekor induk sapi Bali yang telah melahirkan 1 – 7 kali dan 1 ekor pejantan yang berumur 4 tahun.

Bahan pakan ternak (bahan konsentrat) yang digunakan adalah bahan lokal dari hasil sisa (limbah) pertanian dan industri. Bahan pakan hijauan yang digunakan adalah rumput gajah dan alam.

Alat yang digunakan adalah timbangan digital elektronik, timbangan khusus untuk ternak sapi yang memiliki kapasitas 2000 kg, digunakan untuk mengukur bobot ternak.

Perbaikan pakan dilakukan dengan memberikan pakan konsentrat pada fase breeding sebanyak 1,5% berat badan induk. Komposisi bahan konsentrat sebagaimana tertera pada Tabel 1. Bahan pakan konsentrat berbasis bahan lokal, murah dan mudah diperoleh serta ketersedian sepanjang waktu (LEISA). Sistem pemeliharaan dilakukan secara Insensif dengan perkandangan. Sistem perkawinan dilakukan secara alami dengan seekor pejantan sapi Bali umur 4 tahu. Pakan konsentrat diberikan pada pagi hari dan sore. Setelah konsentrat habis kemudian diberikan pakan hijauan 2 kali per hari dan diberikan secara ad-libitum. Selain pemberian pakan, kesehatan ternak tetap selalu terkontrol melalui sanitasi kandang yang baik dan pemberian obat-obatan. Pemeliharaan ternak induk maupun pejantan secara umum tetap menerapkan Good Management Practice (GMP) dan Good Breeding Practice (GBP). Untuk melihat pengaruh dari perlakuan pada penelitian ini, maka dilakukan pembanding dengan system pemeliharaan semi-intensif yang telah dilakukan sebelumnya di tempat yang sama.

Perlakuan dilakukan terhadap induk yang baru saja melahirkan dan dikelompok dalam satu kelompok untuk pemberian perlakukan. Kelompok induk tersebut dipelihara bersama seekor pejantan dengan umur 4 tahun untuk mengawini induk secara alam selama 6 bulan. Induk yang mempunyai pedet tetap menyusui anaknya selama perlakuan. Pengamatan terhadap berahi dilakukan setiap saat sedangkan pengukuran bobot badan induk dilakukan pada setiap 3 bulan dan dilakukan selama 3 kali (awal, 3 bulan pertama dan 3 bulan kedua). Pada saat pengukuran bobot badan sapi juga dilakukan pengamatan kondisi tubuh induk untuk menentukan BCS. Pakan konsentrat diberikan sebanyak 1,5%

3

Page 4: 105-766-1-DR

dari berat badan pedet sedangkan hijauan diberikan secara ad-libitum. Komposisi bahan pakan konsentrat pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk melihat bagaimana pengaruh perlakuan maka dilakukan pengukuran pada awal, setelah 3 bulan pertama dan 6 bulan perlakuan.

Parameter Penelitian adalah body condition score (BCS), bobot badan induk setelah kelahiran/periode breeding, estrus pertama setelah kelahiran (post-partum estrus), tingkat kebuntingan dan service preconception (S/C).

BCS diukur berdasarkan penilaian kuantitatif yaitu nilai 1 (sangat kurus) sampai 9 (sangat gemuk/obesitas). Tingkat kebunting ditentukan jika ternak betina tidak berahi kembali pada jadwal berikut setelah kawin (no return estrus). Selanjutnya monitoring kebuntingan tetap dilakukan sampai terjadi kelahiran pedet atau anak.

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis parametrik dan non-parametrik. Parameter dengan jenis data kuantitatif interval atau rasio dianalisis dengan menggunakan t-test. Sedang parameter dengan data kuantitatif nominal atau data kualitatif dianalisis dengan analisis deskritif. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini juga dilakukan pembandingan dengan data-data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan produktifitas sapi Bali dari pengaruh perbaikan pakan.

Pengolahan data menggunakan komputer paket program SPSS Versi 12 for Windows (Anonim, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skor Kondisi Tubuh (Body Condition Score) dan Berat Badan

Cadangan energi tubuh dapat dinilai dengan metode penilaian visual yang dikenal sebagai body condition score (BCS) atau skor kondisi tubuh. Skor relatif yang didapatkan dari penilaian BCS membantu peternak dalam memperoleh gambaran mengenai tingkat cadangan otot dan lemak tubuh dari setiap ekor ternak sapi. BCS sangat penting untuk keberhasilan reproduksi ternak sapi. Beberapa studi menunjukkan bahwa BCS pada saat calving/kelahiran dan pada awal musim kawin/breeding adalah indikator paling penting terhadap kinerja reproduksi (Spitzer, et al., 1995). Skor kondisi tubuh pada saat calving memiliki efek yang paling besar terhadap tingkat kebuntingan (Lalman et al., 1997). Pada penelitian ini, skor kondisi tubuh (BCS) induk sapi Bali setelah melahirkan dan periode perlakuan dengan perbaikan managemen (perbaikan pakan pada periode breeding) dengan system pemeliharaan dikandangkan (intensif) dapat dilihat pada Gambar 1. Pada grafik tersebut menunjukan bahwa BCS berkecenderungan meningkat secara gradual dari 5,4 menjadi 6,3 selama 3 bulan pertama pemeliharaan dan selanjutnya dengan pemeliharaan 6 bulan pertama, BCS mencapai 6,7. Hal ini memberikan indikasi bahwa perbaikan managemen pada sapi Bali induk dengan system intensif dapat memperbaiki kondisi induk sapi setelah melahirkan. Kondisi ini memberikan petunjuk kepada pihak managemen bahwa breeding/perkawinan sapi pada kondisi tersebut sangat layak dan ideal untuk melakukan perkawinan sehingga terjadi kebuntingan yang aman. Terjadi peningkatan BCS setelah kelahiran mungkin disebabkan oleh karena asupan gizi yang diperlukan dalam proses perbaikan kondisi tubuh setelah kelahiran pedet terpenuhi dengan baik.

Peningkatan BCS sebagaimana terlihat pada Gambar 1, selaras dengan peningkatan bobot badan sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Rata-rata bobot badan induk sapi Bali

4

Page 5: 105-766-1-DR

mengalami peningkatan dari 192,3 kg menjadi 200,3 kg selama 6 bulan pemeliharaan dengan perbaikan managemen/pakan dalam kandang. Peningkatan bobot badan tersebut dalam periode 6 bulan pertama breeding sebesar 4%, dan nampaknya bahwa meningkatnya bobot badan tersebut mungkin hanya karena akibat dari perbaikan kondisi pada induk setelah kelahiran atau pertumbuhan awal embrio pada periode kebunting awal induk sapi. Hal ini merupakan indikasi yang baik pada awal kebuntingan ternak dalam breeding.

Post-Partus Estrus dan Tingkat Kebuntingan

Post-partum estrus (PPE) merupakan sifat reproduksi pada sapi potong yang sangat startegis untuk meningkatkan reproduksi pedet tahunan. Post-partum estrus ditetapkan jika induk ternak memperlihatkan gejala berahi pertama setelah kelahiran. Semakin lama waktu estrus pertama setelah melahirkan semakin panjang interval kelahiran. Interval kelahiran yang panjang mengakibatkan efisiensi produksi ternak rendah. Secara ideal, rata-rata post-partum estrus 40 hari setelah melahirkan. Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa, rata-rata post-partum estrus induk dengan system intensif dan semi intensif adalah masing-masing adalah 64,531,5 hari dan 47,112,7 hari. Nilai tersebut keduanya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang ideal tetapi lebih pendek dibandingkan dengan pada sapi Peranakan Onggole (PO) dengan PPE 97 – 115,9 hari dengan penyapihan dini pada peternakan rakyat (Affandhy, dkk., 2008) dan 145,3 – 168,2 hari pada induk yang dikandangkan dengan berkelompok (Pratiwi, dkk., 2008). Post-partum estrus induk sapi Bali dengan system intensif sangat nyata lebih panjang waktunya dibanding dengan semi-intensif dan mempunyai tingkat variasi yang tinggi pada system intensif. Hal ini mungkin disebabkan system managemen pemeliharaan, oleh karena pada system intensif, ternak diberikan pakan dalam kandang yang memungkinkan ternak mengalami stress dan persaingan merebut pakan di dalam kandang.

Tingkat kebuntingan merupakan ukuran keberhasil seekor pejantan dalam peristiwa perkawinannya dengan seekor betina atau ukuran fertilitas dalam usaha peternakan sapi potong. Tingkat kebunting adalah sifat reproduksi ternak yang sangat penting untuk meningkatkan produktifitas ternak dalam populasi. Tingkat kebuntingan induk diharapkan minimal 80% dari induk/betina yang sudah siap kawin pada satu masa musim kawin atau dalam satu tahun.

Pada Tabel 2, menunjukkan tingkat kebuntingan induk sapi Bali, frekuensi estrus dan service perconception (S/C) yang mendapat perlakuan perbaikan managemen dengan perbaikan pakan pada periode breeding. Tingkat kebuntingan mencapai 53,8% dari betina yang dikawinkan. Tingkat kebuntingan tersebut diperoleh dari 2 – 3 kali siklus estrus/berahi atau S/C 2,2 selama pemeliharaan 3 bulan pertama dalam periode perbaikan pakan di dalam kandang. Sedang induk sapi Bali yang masih mengalami berahi kembali (return estrus) sebanyak 46,2% dengan frekuensi berahi 1 – 2 kali. Tingkat kebunting sapi sebesar 100% dicapai setelah 6 bulan pemeliharaan dalam kandang dengan S/C 2,5 atau frekuensi estrus antara 2 – 4. Hal ini menunjukkan bahwa induk yang dipelihara dengan system intensif dalam kandang meskipun diberikan pakan konsentrat sebanyak 1,5% dari bobot badan, S/C lebih tinggi daripada ternak yang dipelihara secara semi-intensif (S/C 2,1). Peningkatan S/C ini pada system intensif/pemeliharaan didalam kandang mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan frekuensi berahi sebelum terjadi kebuntingan. Induk sapi yang mengalami berahi kembali, pada umumnya mempunyai kondisi BCS rendah (di bawah 5). Oleh karena itu perbaikan kondisi ternak setelah kelahiran pedet menjadi penting untuk dilakukan, terutama pada awal musim kawin atau breeding. Tingkat

5

Page 6: 105-766-1-DR

kebuntingan yang diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan tingkat kebunting pada sapi Bali yang ditemukan di masyarakat petani dengan system tradisional denga tingkat kebuntingan 37% (Baco, et al., 2013) dan sapi Peranakan Onggole 40 66% (Affandhy, dkk. 2008; Montoya, et al., 2013).

SIMPULAN

Perbaikan manajemen melalui perbaikan pakan pada system pemeliharaan secara intensif dalam kandang kelompok pada periode breeding cenderung melambat dalam perbaikan kondisi tubuh dan pertambahan bobot badan induk sapi Bali setelah melahirkan. Kecenderungan juga terjadi perlambatan estrus pertama setelah melahirkan dan tingkat kebuntingan melambat dengan S/C sebesar 2,5. Tingkat kebuntingan dapat mencapai 100% dalam waktu 6 bulan periode breeding.

SANWACANA

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui DP2M Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, LP2M Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kepercayaan dan supporting dana untuk melakukan penelitian melalui Program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2013. Seluruh Tim Peneliti dan mahasiswa serta para pihak yang telah membantu dalam pelaksanaa penelitian ini mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai pembuatan laporan penelitian, atas bantuan dan kerjasamanya diucapkan banyak terima kasih.

.DAFTAR PUSTAKA

Affandhy, L., D. Pamungkas dan D. Ratnawati. 2008. Respons reproduksi sapi potong induk pada umur penyapihan pedet berbeda di kondisi peternakan rakyat di lahan kering. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 132-136.

Anonim. 2009. Panduan Lengkap SPPS 12,0 for Windows. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Anomim. 2009. Sulawesi Selatan dalam Angka tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Sulawesi Selatan.

Baco, S., H. Harada and R. Fukuhara. 1998. Genetic Relationships of Body Measurements at Registration to a Couple of Reproductive Traits in Japanese Black Cows. Anim. Sci. Technol. (Jpn.), 69(1): 1-7.

Baco, S. 2000. Genetic Parameters for Performance Traits of Bali Cattle on Smallholders in South Sulawesi. Laporan Penelitian URGE Dikti.

Baco, S. 2001. Perbandingan Bobot Badan dan Beberapa Ukuran Dimensi Tubuh Sapi Bali Betina yang Dipelihara Secara Ekstensif pada Daerah Dataran Rendah dan Pegunungan Di Kabupaten Bone. Laporan Penelitian Proyek DPP Universitas Hasanuddin.

6

Page 7: 105-766-1-DR

Baco, S., dan L. Rahim. 2007. Analisis Keragaman Genetik Sapi Bali Di Sulawesi Selatan Berdasarkan Perbedaan Performans dan Topografi Menggunakan RAPD-PCR. Laporan Penelitian Fundamental DIKTI.

Baco, S. 2010. Performansi sapi Bali pada Kawasan Instalasi populasi dasar Breeding Center di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Hal. 236 - 245.

Baco, S., R. Malaka dan L. Rahim. 2010. Kesamaan Genetik dalam dan antar Populasi Sapi Bali dan Persilangannya Di Sulawesi Selatan Berdasarkan Analisis Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA (PCR-RAPD). Laporan Penelitian Stranas-Dikti.

Baco, S. 2011a. Konservasi Sapi Bali sebagai Plasma Nutfah Ternak Indonesia. Buletin Peternakan. 40 : 12 – 21.

Baco, S. 2011b. Arah dan strategi pengembangan sapi bali secara berkelanjutan. Buletin Peternakan. 42 : 1 – 8.

Baco, S., M. Yusuf, B. Wello and M. Hatta. 2013. Current status of reproductive management in Bali cows in South Sulawesi Province, Indonesia. Open J. Forestry. Vol. 3 (4B) : 2 – 6. http://dx.doi.org/10.4236/ojf.2013.34B002.

Glaze, J.B. 2009. Body condition score (BCS) in beef cattle. http://osufacts.okstate.edu/bcs_pres_carl.pdf. 15 Nopember 2013.

Lalman, D.L., D.H. Keisler, J.E. Williams, E.J. Scholljegerdes and D.M. Mallet. 1997. Influence of postpartum weight and body condition score change on duration of anestrus by undernourished suckled beef heifers. J. Anim. Sci., 75 (8): 2003–2008.

Montoya, E.S., R.B. Rosales and T.R. Cortes. 2013. Reproductive trend in Cebu cattle grazing rice crop residues in Colombian tropical dry forest. Open J. Forestry. Vol. 3 (4B) : 7 – 12. http://dx.doi.org/10.4236/ojf.2013.34B003.

Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Ngadiyono, N. 1997. Kinerja dan Prospek Sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental Pollution and Natural Product and Bali Cattle in Regional Denpasar, Bali.

Pratiwi, W.C., L. Affandhy dan D. Ratnawati. 2008. Pengaruh umur penyapihan terhadap performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok. Prosiding Semnar Nasional Sapi Potong. Palu, : 115-122.

Sonjaya, H. dan E. Abustam. 1993. Penampilan dan kondisi peternakan sapi Bali di daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Bull. Ilmu Peternakan dan Perikanan Vol. II (6) : 54-71.

Spitzer, J.C., D.G. Morrison, R.P. Wettemann and L.C. Faulkner. 1995. Reproductive responses, calf birth and weaning weight as affected by body condition at

7

Page 8: 105-766-1-DR

parturition and postpertum weight gain in primiparous beef cows. J. Anim.sci., 73: 1251-1257.

Wello, B. dan Ismartoyo. 2010. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Bali di Sulawesi Selatan. [terhubung berkala]. http://disnaksulsel.info/index. php?option=com_docman&task=doc.(28 Agustus 2010).

8

Page 9: 105-766-1-DR

Awal P-1 P-20

1

2

3

4

5

6

7

8

9

5,4

0,8

6,3

1,0

6,7

0,8Body

Con

ditio

n Sc

ore

(BCS

)

Gambar 1. Body Condition Score (BCS) selama perlakuan (Awal: BCS awal penelitian/setelah kelahiran, P-1: Penilaian 3 bulan pemeliharaan/breeding dan P-2 : 6 bulan pemeliharaan)

Awal P-1 P-20

50

100

150

200

250

192,3

16,0

196,7

19,8

200,3

19,3Bera

t Bad

an (k

g)

Gambar 2. Berat Badan Induk selama perlakuan (Awal: awal penelitian/setelah kelahiran, P-1: Penilaian 3 bulan pemeliharaan/breeding dan P-2 : 6 bulan pemeliharaan)

9

Page 10: 105-766-1-DR

Intensif Semi-Intensif0

25

50

75

100

64,5

31,547,1

12,7P

os

t-p

art

us

Es

tru

s

(ha

ri)

Gambar 3. Post-Partus Estrus Pertama Setelah Melahirkan dengan perbaikan pakan di dalam kandang (Intensif) dan Semi-Intensif (penelitian sebelumnya)

Tabel 1. Komposisi Bahan Konsentrat penelitianNo. Bahan Komposisi (%)1. Dedak Padi 42,52. Tumpi Jagung 42,53. Bungkil Kelapa 7,04. Molases 5,05. Mineral 1,06. Urea 0,57. Garam 1,08. Probiotik 0,5

Tabel 2. Tingkat Kebuntingan Induk sapi Bali, Frequensi Estrus dan Servis Perconception (S/C)

No StatusFrequenci

(%) Freq-Estrus S/C3 Bulan Pemeliharaan/Breeding

1. Bunting 53,8 2 – 3 2,20,52. Belum Bunting 46,2 1 – 2

6 Bulan Pemeliharaan/Breeding1. Bunting 100 2 – 4 2,50,8

10

Page 11: 105-766-1-DR

2. Tidak Bunting - -

11