101208-djaya cahyadi-fuh.pdf

Upload: hudri-abu-kayyisa

Post on 06-Jul-2018

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    1/104

    1

    TAKDIR DALAM PANDANGAN

    FAKHR AL-DIN AL-RAZI

    SkripsiDiajukan kepada Fakultas Ushuluddin

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

    Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

    Oleh

    Djaya Cahyadi NIM: 104034001199

    PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

    FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1432 H./2011 M.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    2/104

    i

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1.  Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    2.  Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3.  Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

    atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

    menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 3 Maret 2011

    Djaya Cahyadi

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    3/104

    ii

    TAKDIR DALAM PANDANGAN

    FAKHR AL-DIN AL-RAZI

    SkripsiDiajukan kepada Fakultas Ushuluddin

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

    Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

    Oleh

    Djaya Cahyadi

    104034001199

    Pembimbing.

    Dr. Edwin Syarif, M.A.

     NIP. 19670918 199703 1 001

    PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

    FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA1432 H./2011 M.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    4/104

    iii

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    5/104

    i

    ABSTRAK

    Djaya CahyadiTakdir dalam Pandangan Fakhr al-Din al-Razi 

    Problematika takdir merupakan salah satu tema urgen yang telah menjaditopik pembahasan secara luas dalam Islam. Pemahaman mengenai takdir itu sendiri

     berdeda-beda tergantung pada perspektif yang digunakan. Setidaknya pengertian

    takdir terpecah kepada dua definisi antara yang mengatakan bahwa takdir merupakan

    suatu ketentuan yang telah ditetapkan sejak zaman azali dan takdir yang bermaknasuatu aturan yang berlaku pada alam semesta, termasuk manusia. Definisi pertama

    menghasilkan konsep bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dan ditetapkan.

    Dengan kata lain manusia terpaksa dalam setiap perbuatannya. Sedangkan definisikedua melahirkan pemikiran bahwa manusia bebas menentukan keinginan dan

     perbuatannya. Namun dalam merealisasikan perbuatannya tersebut manusia mesti

    memperhatikan dan memenuhi aturan yang berlaku tersebut. Kedua pengertian ini

    telah berlaku dalam Islam dan masing-masing memiliki dalil dalam al-Quran yangmenguatkan pendapatnya. 

    Penelitian ini memfokuskan diri pada pemahaman Fakhr al-Din al-Razi

    terhadap takdir sebagai salah satu dari warisan keilmuan yang ada pada Islam.Pemahaman al-Razi terhadap takdir tidak dapat dilihat begitu saja tanpa

    memperhatikan juga berbagai kondisi yang terjadi pada masanya, aktifitas

    keilmuannya, dan mazhab fiqh, filsafat, maupun teologi yang dipegangnya. Al-Razi

    dikenal sebagai pembela aliran Asy‟ariah yang terkemuka pada masanya. Namundemikian ia tidak segan berbeda dengan al-Asy‟ari sendiri maupun Muktazilah yang

    sangat ditentangnya. Dengan berbagai referensi yang didapatnya al-Razi

    mengeluarkan pendapatnya sendiri yang menurutnya objektif dan dapat dibuktikan.Al-Razi merupakan seorang pemikir bebas yang berani berbeda dengan para

     pendahulunya dan mengeluarkan pemikiran orisinil yang diperolehnya dari berbagai

    kajiannya terhadap suatu permasalahan.

    Dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat seputar takdir al-Razi terlihatmemiliki kecenderungan determinis. Perbuatan manusia dipengaruhi atau bergantung

    kepada faktor-faktor yang berada di luar kekuasaannya. Takdir dipandang sebagai

    suatu ketetapan yang telah ditentukan sejak azali. Apa yang diinginkan dan diperbuat

    manusia bergantung kepada kehendak ketuhanan.

    i

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    6/104

    ii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah

    melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

    yang berjudul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”.

    Salawat beserta salam semoga tetap berlimpah kepada junjungan Nabi Muhammad

    saw., kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya serta seluruh umat Muslim yang

    mengikuti langkah-langkah mereka hingga akhir jaman.

    Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai ujian yang banyak

    menyita waktu dan materi sehingga kadang-kadang mengendorkan semangat penulis

    untuk menyelesaikan skripsi ini. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa

    usaha penulisan skripsi ini masih menyisakan banyak hal yang tidak dapat penulis

    hadirkan di dalamnya, hal itu karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki.

     Namun patut disyukuri karena banyak sekali pengalaman yang berharga telah penulis

    dapatkan dalam penyelesaian skripsi ini. Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat

    kontribusi dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih

    sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

    1.  Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal Fakih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku ketua Jurusan

    Tafsir Hadis dan Ibu Dr. Lilik Umi Kalsum, M.A. selaku sekretaris Jurusan Tafsir

    Hadis.

    ii

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    7/104

    iii

    2.  Bapak Dr. Edwin Syarif, M.A. sebagai dosen pembingbing skripsi. Penulis

    ucapkan terima kasih atas kesabaran dan ketelitian beliau dalam membimbing

     penulis.

    3.  Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin, perpustakaan Utama

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama‟. 

    4.  Para dosen selama masih aktif di bangku kuliah dari tahun 2004-2008 yang tidak

     bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan ilmu

    yang telah diberikannya, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal salih

     bagi mereka semua dan membawa berkah dan manfaat bagi penulis.

    5.  Kedua orang tua tercinta, Zakiah dan Junaidi yang merupakan motivator utama

     penulis dalam penyusunan skripsi ini, yang tulus telah memberikan kasih sayang

    dan dorongan baik moril maupun materil, serta do‟a yang tak henti-hentinya

    dipanjatkan guna keberhasilan dan kebahagiaan anaknya. Terima kasih yang tak

    terhingga dari lubuk hati yang paling dalam. Mohon maaf kepada keduanya, juga

    saudara penulis Zuhriah dan Abdul Aziz Rijal jika orang yang diharapkan terlalu

    lama merampungkan tugasnya.

    6.  Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis

    Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: Aang Setiawan, Muhammad Mahsun, Ahmad

    Khozin, Ja‟far Shodiq, Muhammad Mukhlis, Muhammad Ridwan, Engkus

    Kusnandar, Matrozi, Haromain, Ahmad Iskandar, Nurfadhilah, Muhammad Fajar

    Faqihuddin, Fikri, Subur Abdurrahman, Amelia, Ida Nurmala, Een Hendrawati,

    Eni Nuraeni, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebut semua namanya. Terima

    kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis selama aktif kuliah

    iii

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    8/104

    iv

    dan penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya jika tak dapat memenuhi

    harapan mereka.

    7. 

    Soulmate penulis satu harapan dan tujuan, Nurulloh, Syaifulloh, dan teman-teman

    lainnya yang tak hentinya memberikan motivasi dan pengertian mereka untuk

    tetap menjalankan tanggung jawab penulis sepenuh hati. Juga Bang Syu‟bah, guru

    sekaligus teman yang selalu mendoakan kebaikan kepada penulis.

    Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua

     pihak yang ikut serta memberikan partisipasinya sehingga akhirnya skripsi ini

    terselesaikan. Semoga bantuan, dukungan dan do‟a restu mereka semua menjadi amal

    salih yang mendapatkan curahan rahmat dan ampunan serta balasan yang berlipat

    ganda dari Allah swt. Amin. Harapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi

     penulis pribadi maupun pada semua orang yang membacanya. Wallâhu A‘lamu bi

     Murâdih… 

    Jakarta, 3 Maret 2011

    Penulis

    iv

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    9/104

    v

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ............................................................................................................ i

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ vPEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vi

    BAB I PENDAHULUANA.  Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

    B.  Batasan Masalah .......................................................................... 7 C.  Rumusan Masalah ........................................................................ 10 D.  Tujuan Penelitian ......................................................................... 10E.  Manfaat Penelitian ....................................................................... 10

    F.  Metodologi Penelitian .................................................................. 10

    G.  Kajian Pustaka .............................................................................. 11H.  Sistematika Penulisan ................................................................... 13

    BAB II BIOGRAFIA.  Biografi ........................................................................................ 14B.  Karir Intelektual ........................................................................... 21

    C.  Karya Tulis ................................................................................... 27

    D.  Metode Penafsiran ........................................................................ 30

    BAB III TAKDIR DALAM ISLAMA.  Pengertian Takdir ......................................................................... 34

    B.  Seputar Takdir dalam Islam ......................................................... 37

    BAB IV TAFSIR FAKHR AL- DIN AL-RAZI TENTANG TAKDIRA.  Kajian Mengenai Takdir Menurut al-Razi ................................... 59B.  Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 6 ................ 67

    C.  Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 26 .............. 70

    D.  Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Kahfi Ayat 29 ................... 77

    E.  Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-A‟raf Ayat 178 ................. 79 F.  Analisis........................................ ................................................. 82

    BAB V  PENUTUPA.  Kesimpulan .................................................................................. 87B.  Saran ............................................................................................. 87

    DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 89

    v

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    10/104

    vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    :  ض : d

    ب

      : bط

      : t

     ت : t  ظ : z

     ث : ts  ع : ‘ 

     ج : j  غ : gh

     ح : h  ف : f

     خ : kh  ق : q

     د : d  ك : k

     ذ : dz  ل : l

     ر : r  م : m

     ز : z  ن : n

     س : s  و : w

     ش : sy  ه : h

     ص : s : ‘ 

     ي : y

    Vokal Tunggal Vokal Panjang

    Fathah : a : â

    Kasrah : i  ي : î

    Dammah : uو

      : û

    Kata Sandang

    : al-Qamar

    : al-Syams

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    11/104

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. 

    Latar Belakang Masalah

    Membahas tentang takdir bagaikan menyelami sebuah samudera tak bertepi.

    Permasalahan ini telah menjadi pembahasan dari zaman klasik hingga kontemporer,

     baik di Timur maupun di Barat. Bahkan problematika takdir yang diantaranya

    membahas apakah manusia memiliki kebebasan kehendak atau perbuatannya telah

    ditentukan sebelumnya (ditakdirkan) telah menjadi suatu permasalahan filsafat tertua

    yang mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat Islam.1 Terlepas dari permasalahan

    itu, pandangan mengenai takdir membawa dampak yang tidak kecil dalam kehidupan.

    Banyak orang berkeyakinan salah mengenai takdir menyalahkan Tuhan atas berbagai

    kesulitan dan kemalangan yang menimpanya. Ini membuktikan bahwa pandangan

    mengenai takdir akan mempengaruhi sikap dan mental seseorang dalam kehidupan.

    Setidaknya terdapat perbedaan dalam bersikap antara orang yang mempercayai

     bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu dengan orang yang meyakini bahwa

    dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan dan nasibnya.2 

    Problem pertama yang timbul dari permasalahan takdir ialah makna dari

    takdir itu sendiri. Jika secara harfiah takdir ditetapkan sebagai ukuran atau batas

    tertentu dalam diri atau sifat sesuatu,3  secara terminologis pengertian takdir masih

    1  Abbas Muhajirani, „Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi‟ah Dua Belas Imam‟, dalam

    Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed.,  Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama);terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003)

    2  Syahrin Harahap,  Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: TiaraWacana Yogya, 1999), h. 29.

    3  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), h. 61.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    12/104

    2

    menjadi perdebatan. Secara umum pandangan terhadap takdir terpecah kepada dua

    kutub besar di mana satu sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah ditentukan

    sejak zaman azali, sebelum ia lahir ke dunia. Di sisi lain manusia mempunyai

    kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan yang hendak dilakukannya,

    walaupun tetap ada keterbatasan sesuai kodratnya sebagai manusia. Dalam istilah

    Barat, problem ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.4 

    Tak pelak lagi penyatuan tema takdir dan kebebasan kehendak, ataupun  free

    will and predestination  membawa kesan pereduksian makna dari takdir menurut

    Islam itu sendiri. Penyatuan ini membuat seakan-akan takdir dan kebebasan kehendak

    merupakan dua hal yang bertentangan. Seorang yang percaya akan adanya takdir

    tidak mengakui adanya kebebasan kehendak pada dirinya, begitupun sebaliknya.

    Hipotesis awal penulis mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak bertentangan.

    Tentu saja ini sangat berkaitan dengan atau tergantung pada pendefinisian kedua

    term tersebut juga pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya.

    Pertanyaan selanjutnya yang timbul dari permasalahan ini apakah takdir

    dalam Islam identik dengan paham predestinasi yang menganggap manusia hanya

     bagaikan bulu yang bertebaran mengikuti angin bertiup atau seperti wayang yang

    dimainkan oleh dalang. Tidak salah jika Muhammad Ali mengatakan bahwa paham

    seperti inilah yang menjadi pandangan umum mayoritas umat Islam saat ini.5 Hal ini

     pula yang menjadi sasaran kritik pedas Barat bahwa Islam adalah agama yang

    4  Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ketiga h. 169.5 Maulana Muhammad Ali,  Islamologi. Penerjemah: R. Kaelan dan H.M. Bachrun (Jakarta:

    PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977), h. 215.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    13/104

    3

    membawa ajaran predestinasi yang mengajarkan paham fatalistik kepada umatnya.6 

    Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan ialah apakah Islam mengajarkan umatnya

     bertindak fatalistik atau menyerah kepada takdir. Pantaskah umat Islam menyalahkan

    takdir atas apa yang terjadi pada mereka berupa kemunduran dalam beberapa abad

    terakhir.

    Telah umum diketahui bahwa Islam pada masa awal telah menjadi kekuatan

    yang mengguncang dunia, bahkan sempat menjadi “penguasa” dunia sampai sekitar

    abad ke-7 H./13 M. Kepercayaan terhadap takdir telah mem-pengaruhi umat Islam

    awal untuk bangkit berjuang menghadapi tantangan yang membentang di

    hadapannya. Jika kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai hal yang membuat

    umat Islam terbelakang saat ini, mengapa kepercayaan ter-hadapnya tidak membuat

    kaum Muslimin generasi awal tidak terbelakang, bahkan menjadi generasi yang

     paling maju diantara manusia pada masanya.7  Apakah mereka — kaum Muslimin

    awal — tidak memiliki kepercayaan terhadap takdir, atau apakah takdir hanya

    direkayasa oleh para teolog untuk mendukung paham mereka. Mengatakan kaum

    Muslimin awal tidak percaya takdir merupakan asumsi tak berdasar, sebab term 

    takdir telah menjadi keyakinan dasar umat Islam yang landasannya dapat ditemukan

     baik dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadis Nabi saw.

    Islam sebagai agama setidaknya memiliki dua hal yang menjadi sumber

    ajarannya, yakni al-Quran dan hadis. Setiap Muslim tentu menginginkan keya-kinan

    atau pahamnya sejalan dengan keduanya. Karena al-Quran bersifat umum, maka ia

    6  Ibid., catatan kaki no. 61, h. 219.7  Murtadha Muthahhari,  Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, edisi 2. Editor:

    Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 2007), h. 200.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    14/104

    4

    terbuka terhadap berbagai penafsiran yang tentu saja tidak melenceng dari maknanya.

    Setiap paham teologi, baik yang mengatakan manusia sebagai makhluk terbelenggu

    ataupun makhluk yang bebas menggunakan ayat-ayat al-Quran maupun hadis sebagai

    dalil. Sebagai contoh paham kebebasan kehendak menggunakan ayat:

     

     

     

    ―Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin(kafir) Biarlah ia kafir."  (al-Kahfi: 29)

    Sedangkan paham yang mengatakan manusia sebagai makhluk terpaksa

    (majbûr ) menggunakan ayat:

                                                     

     Artinya: ―Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."  (al-Shaffat: 96)

    Kedua ayat tersebut terkesan bertentangan padahal tidak ada pertentangan

    dalam al-Quran. Hal inilah yang mesti dikaji lebih dalam agar tidak terjadi

    kesalahpahaman atau terlebih lagi menuduh tanpa disertai bukti yang otentik.

    Dalam khazanah intelektual Islam, permasalahan ini juga menjadi perhatian

     para ulama disebabkan kepercayaan akan takdir (qadâ` dan qadar ) disebutkan dalam

    suatu hadis yang menjadi acuan dalam menentukan rukun iman.8 Setidaknya terdapat

    tiga paham yang memiliki definisi yang berbeda mengenai takdir. Paham pertama

    disebut Jabariyah yang — dengan menggunakan kiasan — mengatakan bahwa manusia

    8  Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim tentang kedatangan Jibril dalam bentuk

    manusia yang menanyakan kepada Nabi hal-hal yang berkaitan dengan iman, islam, dan ihsan.

    Diantara poin keimanan disebutkan kepercayaan kepada takdir, baik dan buruknya. Dikarenakan

    kepercayaan kepada takdir tidak secara jelas tertera dalam al-Quran, maka kaum Syi‟ah tidak

    memasukkannya ke dalam rukun iman.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    15/104

    5

    tidak lain adalah bulu yang berterbangan, mengikuti angin yang membawanya ke

    kanan dan ke kiri. Dengan kata lain paham ini mendefinisikan takdir sebagai telah

    ditentukan pada zaman azali, manusia hanya bisa menerima ketentuan tersebut.

    Paham kedua disebut Qadariyah yang selanjutnya diwakili oleh para pengikut

    Mu‟tazilah. Paham ini mengatakan bahwa manusia bisa merubah nasibnya sendiri

    dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Paham ini memahami takdir

    dalam arti harfiah, yakni batasan, yang berarti manusia tidak dapat melewati batasnya

    dalam kapasitasnya sebagai manusia. Batasan ini dapat dilihat dalam fenomena

    hukum alam atau  sunnatullah. Paham ketiga timbul sebagai reaksi dari pertentangan

    kedua paham sebelumnya yang dalam satu sisi menempatkan manusia sebagai

    makhluk yang tak berdaya terhadap ketentuan Tuhan, di sisi lain sebagai makhluk

    yang secara bebas dan dinamis menentukan sendiri arah hidupnya. Paham ini

    dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy‟ari yang kemudian menjadi acuan dalam sekte

     Ahlussunnah wal Jama‘ah. Al-Asy‟ari mengatakan bahwa tidak ada satupun usaha

    manusia yang tidak dikehendaki Tuhan. Ini berarti bahwa setiap usaha manusia

    merupakan ciptaan Tuhan. Dalam hal ini al-Asy‟ari menciptakan teori kasab. Yang

    dimaksud dengan kasab  ialah tindakan yang diusahakan, seperti berjalan, berlari,

     berpikir, dan sebagainya.  Kasab  ini berbeda dengan perbuatan yang niscaya, seperti

    menggigil karena kedinginan atau gemetar karena demam. Jadi, Tuhan men-ciptakan

     pada manusia kekuatan untuk bertindak sekaligus tindakan itu sendiri. Di tempat lain

    al-Asy‟ari mengatakan bahwa jika Tuhan dideskripsikan berkuasa menjadikan

    sesuatu sebagai usaha manusia, Tuhan juga berkuasa memaksakan usaha tersebut.9 

    9  Mulyadi Kartanegara, „Ilmu Kalam‟, dalam Taufik Abdullah dkk,  Ensiklopedia Tematis

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    16/104

    6

    Fakhr al-Din al-Razi merupakan mufasir Islam terkemuka pada abad keenam

    Hijriah. Sebagai seorang mufasir al-Razi dapat dikatakan unik dengan metodologinya

    sehingga penafsirannya dapat dikategorikan baik dalam corak al-ra‘yi, ilmi, maupun

    falsafi,10

      suatu hal yang tentunya jarang terjadi pada masanya. Tafsirnya yang

    monumental dikenal dengan  Mafâtih al-Ghaib yang juga meru-pakan karya teologis

    terbesar dari al-Razi. Dalam kitab ini al-Razi meletakkan ayat al-Quran dalam diskusi

    filosofis, walaupun ia terkenal sebagai salah seorang penentang keras filsafat. Para

     pengkritiknya seperti Abu Hayyan dan Ibn Taymiyah mengatakan bahwa di

    dalamnya ( Mafâtih al-Ghaib) terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.11 Kritik ini justru

    merefleksikan keluasan dari penafsiran yang dianggap melenceng sehingga

     penafsirannya tidak dapat dikategorikan sebagai penafsiran. Di sisi lain, para

     pembelanya seperti Tajuddin al-Subki membantah kritik ini dan mengatakan bahwa

    di dalamnya terdapat segala sesuatu disertai tafsir.12

     

    Disamping sebagai ahli tafsir dan fiqh, al-Razi juga merupakan seorang teolog

    dan filosof. Ibrahim Madkour mengatakan bahwa ia adalah filosof Timur yang

     pertama pada abad keenam Hijriah. Al-Razi konsern dalam menggeluti filsafat,

    logika, kosmologi, dan metafisika. Ia berusaha memadukan agama dan filsafat dan

    mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi Islam).13

     Dengan karya-karyanya dari

     berbagai disiplin keilmuan seperti filsafat, teologi, hukum, pengobatan, astronomi,

     Dunia Islam jilid 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. II, h.135-136.10 Mohammad Anwar Syarifuddin,  Metodologi Penelitian Tafsir Hadis: Laporan Penelitian

     Individual  — naskah tidak diterbitkan  (Jakarta: FUF UIN Syahid, 2006), h. 33-34.11 W. Montgomery Watt,  Islamic Philosophy and Theology  (Edinberg: Edinberg University

    Press, 1985), h. 94-95.12  Ibid., h. 95.13  Ibrahim Madkour,  Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi Asmin

    (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 76-77.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    17/104

    7

    logika, astrologi, dan fisiognomi (ilmu firasat), tak dapat disangkal lagi bahwa al-

    Razi merupakan sarjana (ulama) paling terkemuka pada masanya.14

     

    Sebagai seorang mufasir dan juga teolog, isu takdir juga menarik perhatian al-

    Razi. Ia dihadapkan pada kenyataan berbagai pandangan mengenai takdir. Uniknya,

    walaupun dikenal sebagai teolog Asy‟ariyah— sebagian juga mengatakan

    Mu‟tazilah— al-Razi tidak mengambil suatu pendapat secara taklid   atau membabi

     buta. Dalam beberapa isu teologis al-Razi terlihat memiliki kecenderungan

    Mu‟tazilah, seperti dalam pertanyaan tentang sifat-sifat ketuhanan dan kemungkinan

    Tuhan untuk dilihat dengan mata kepala (di alam akhirat).15

     Hal ini membawa kepada

    kemungkinan al-Razi untuk bersikap netral dan sikap ini pula yang mesti dimiliki

     para ulama dan cendekiawan Islam.

    Beberapa prolog di atas melatarbelakangi penulis untuk menyusun skripsi

    dengan judul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”. 

    B. 

    Batasan Masalah

    Dikarenakan studi ini merupakan studi pemikiran Fakhr al-Din al-Razi

    mengenai takdir yang difokuskan pada penafsirannya terdahap ayat-ayat al-Quran,

    maka studi ini membatasi diri pada kajian terhadap ayat-ayat tersebut. Di dalam al-

    Quran terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai takdir, baik menggunakan kata

    qad â‘, qadar, maupun taqdîr.  Ayat-ayat tersebut digunakan oleh masing-masing

    sekte untuk mendukung ajarannya, baik yang mengatakan bahwa manusia itu

    14  Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi  (KualaLumpur: ISTAC, 1996), h. 4.

    15  Ibid., h. 5.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    18/104

    8

    terpaksa, manusia memiliki kebebasan kehendak, maupun paham yang berdiri

    diantara keduanya. Semua sekte dalam Islam, baik kaum Jabariah, Muktazilah,

    Asy‟ariah, maupun Maturidiah menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan

     paham mereka.

    Kata taqdîr  dalam berbagai bentuknya digunakan al-Quran sebanyak 133 kali.

    Kata qadâ`  dalam berbagai bentuknya disebut sekitar 63 kali. Kata qadar   dalam

     berbagai derivasinya, tidak termasuk bentuk  fâ‘il (qâdir ) disebut sekitar 73 kali.16 

    Di samping ayat-ayat yang secara tekstual menggunakan kata taqdîr , terdapat

     pula ayat-ayat yang berkaitan erat dengan permasalahan takdir. Ayat-ayat tersebut

    dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan penggunaannya oleh masing-masing sekte.

    Ayat-ayat kelompok pertama yang secara letterlek menguatkan golongan yang

     berpendapat bahwa perbuatan manusia telah ditetapkan sebelumnya (majbûr ,

    determinis, fatalistik) terdapat pada surat Ali Imran: 26, al-A‟raf: 155, al-Ra‟d: 11, al-

    Isra`: 16, al-Baqarah: 253, al-An‟am: 125, al-Anfal: 24, dan ayat-ayat serupa.17

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    ―Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepadaorang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.

     Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.‖ (AliImran: 26)

    16  Sulaiman Ibrahim,  Konsep Takdir menurut al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik  (Tesis S2 UIN Syahid Jakarta, 2003), h. 64.

    17 Miqdad Yalink, „Batas antara Takdir dan Kebebasan Kehendak‟ dalam Mohammad Thalib

    (ed.), Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar  (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 13-17.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    19/104

    9

    Ayat-ayat kedua demikian juga secara  zhahir   mendukung golongan yang

     berpendapat adanya kebebasan berkehendak pada manusia, diantaranya al-Kahfi: 29,

    al-An‟am: 148, Ali Imran: 145, dan selainnya yang serupa. 

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    ―Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya

     Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika

    mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.‖ (al-Kahfi: 29)

    Kelompok ayat terakhir manguatkan golongan ketiga yang berdiri antara

     paham predestinasi dan  free will. Diantara ayat-ayat yang mendukungnya ialah al-

    Insan: 28-31 dan al-A‟raf: 156. 

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    ―Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kamimenghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa denganmereka. Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka Barangsiapa menghendaki(kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendakiNya ke dalam rahmat-Nya (surga).

    dan bagi orang-orang zalim disediakan- Nya azab yang pedih.‖ 

    Dari berbagai ayat yang biasa digunakan dalam permasalahan takdir, maka

     penelitian ini memilih menggunakan ayat-ayat yang tidak secara tekstual

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    20/104

    10

    menyebutkan kata qadara ataupun taqdîr, melainkan ayat-ayat yang biasa digunakan

    sebagai dalil bagi paham-paham teologi. Ayat-ayat yang menjadi pembahasan dalam

     penelitian ini ialah al-Baqarah ayat 6 dan 26, al-Kahfi ayat 29, dan al-A‟raf ayat 178.

    C.  Rumusan Masalah

    Adapun rumusan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan ialah

     bagaimana penafsiran al-Razi mengenai ayat-ayat seputar takdir.

    D.  Tujuan Penelitian

    Diantara tujuan studi ini ialah mengetauhi pandangan Fakhr al-Din al-Razi

    mengenai takdir, juga untuk melihat lebih dalam khazanah klasik warisan ulama

    Islam, khususnya al-Razi, di mana aktivitas keilmuan pada saat itu tidak dapat

    dikatakan kalah dari aktivitas keilmuan kontemporer, bahkan pada masa-masa

    tersebut — abad I sampai VI H — disebut sebagai zaman keemasan dari Islam itu

    sendiri.

    E.  Manfaat Penelitian

    Studi mengenai takdir merupakan suatu kajian yang penting. Sebagaimana

    disebutkan di atas bahwa pemahaman mengenai takdir akan berpengaruh baik pada

    masyarakat, negara, maupun setiap pribadi yang meyakininya. Dengan mengkaji

     permasalahan takdir diharapkan setiap elemen masyarakat tersebut mengetahui

    aspek-aspek problematika takdir, lebih memahami kekayaan intelektual umat Islam,

    dan mengetahui faham mayoritas serta lebih-lebih mendekati kebenaran ajaran

    mengenai takdir sebagaimana dimaksudkan agama.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    21/104

    11

    F. 

    Metodologi Penelitian

    Metode penelitian terdiri dari metode pengumpulan data dan metode

     penulisan.

    Dalam pengumpulan data, studi ini melakukan penelitian pustaka (library

    research). Ini berarti bahwa studi ini memfokuskan diri pada sumber-sumber

    kepustakaan baik dalam bentuk buku, jurnal, dan berbagai referensi lainnya. Sumber

    utama dalam studi ini ialah kitab Mafâtih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, juga

    dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr Fakhrurrâzi. Adapun referensi

    sekunder terdiri dari kitab-kitab tafsir selainnya dan buku-buku yang membahas

    tentang teologi dan takdir.

    Metode Penulisan studi ini berdasar kepada buku  Pedoman Akademik

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009.

    G.  Kajian Pustaka

    Terdapat beberapa kajian yang membahas mengenai takdir dan Fakhr al-Din

    al-Razi, diantara kajian yang penulis temukan ialah sebagai berikut:

     Konsep Takdir dalam al-Quran, oleh Sulaiman Ibrahim. Tesis UIN Syahid

    Jakarta yang membahas takdir dalam ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan

    metode maudhû‘i. 

     Pemahaman Dosen Agama Perguruan Tinggi Umum Kotamadya Padang

    tentang Takdir , oleh Ahmad Kosasih. Disertasi UIN Syahid Jakarta yang merupakan

    studi lapangan terhadap dosen-dosen agama yang mengambil tempat di Kotamadya

    Padang untuk mengetahui pandangan yang dominan tentang takdir.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    22/104

    12

    Takdir dan Kebebasan Manusia (Telaah atas Penafsiran al-Zamakhsyari

    Terhadap Surat al-Furqan Ayat 2 dan Surat al- Ra‘d Ayat 11), oleh Hamka. Skripsi

    FUF UIN Syahid yang membahas tentang penafsiran al-Zamakhsyari mengenai dua

    ayat tentang takdir.

    Takdir Menurut Perspektif Hadis: Sebuah Kajian Tematik , oleh Sakinah.

    Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas secara tematis hadis-hadis yang berkaitan

    dengan takdir.

    Takdir dalam perspektif al-Quran: Kajian Tafsir Maudhû‘i, oleh Rudiyanto.

    Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas takdir dalam al-Quran dengan metode

    madhû‘i.

    Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi, oleh Yasin

    Ceylan. Disertasi ISTAC Kuala Lumpur yang membahas tema-tema teologi dan

     penafsiran al-Razi.

     Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology in Interpreting the Qur‘an,  oleh

    Shalahuddin Kafrawi. Tesis Mc Gill University Kanada yang membahas mengenai

    metodologi al-Razi dalam menafsirkan al-Quran.

     Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi, oleh Ibnu Zam Zam. Skripsi FUF

    UIN Syahid yang membahas mengenai metode al-Razi dalam menafsirkan al-Quran.

     Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib

    (tentang Keistimewaan Lebah, oleh Ihat Malihatun. Skripsi FUF UIN Syahid yang

    membahas metode penafsiran al-Razi secara khusus terhadap ayat-ayat keistimewaan

    lebah.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    23/104

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    24/104

    14

     penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat seputar takdir serta analisis dari penafsiran

    tersebut.

    Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    25/104

    1

    BAB II

    BIOGRAFI

    A. 

    Biografi

    Abu „Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al-

    Taimi al-Bakri al-Thibristani, terkenal dengan nama Fakhr al-Din al-Razi. Diberi

     julukan  Ibn Khatib al-Ray  karena ayahnya, Dhiya‟ al-Din Umar, adalah seorang

    khatib di Ray. Ray merupakan sebuah desa yang banyak ditempati oleh orang „ ajam 

    (selain Arab).18

     Di Herat Fakhr al-Din mendapat julukan Syaikh al-Islam.19

     Al-Razi

    merupakan anak keturunan Quraisy yang nasabnya bersambung kepada Abu Bakr al-

    Shiddiq.20

     

    Fakhr al-Din al-Razi dilahirkan pada 25 Ramadhan 544 H,21

      bertepatan

    dengan 1150 M, di Ray — sebuah kota besar di wilayah Irak yang kini telah hancur

    dan dapat dilihat bekas-bekasnya di kota Taheran Iran.22

     Ray adalah sebuah kota yang

     banyak melahirkan para ulama yang biasanya diberi julukan al-Razi setelah nama

     belakang sebagaimana lazim pada masa itu. Diantara ulama sebangsa yang juga

    diberi gelar al-Razi ialah Abu Bakr bin Muhammad bin Zakaria, seorang filosof dan

    dokter kenamaan abad X M/IV H.23

     

    18

      Fakhr al-Din al-Razi,  Roh Itu Misterius. Editor:  Muhammad Abd al-Aziz al-Hillawi.Penerjemah: Muhammad Abdul Qadir al-Kaf (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), h. 17.19  Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân wa Anbâ‘ Abnâ‘ al -Zamân jilid IV (Beirut: Dar al-

    Tsaqafah, tt), h. 250.20 Fakhr al-Din al-Razi, Roh..., h. 17.21 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân , h. 252.22 Fakhr al-Din al-Razi, Roh, h. 17-18.23  Majid Fakhry,  A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press,

    1970), h. 355.

    15

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    26/104

    16

    Beberapa sumber lain mengatakan bahwa al-Razi dilahirkan pada tahun 543

    H/1149 M. Ibn al-Subki mengatakan bahwa menurut pendapat yang kuat al-Razi

    dilahirkan pada tahun 543 H. Tetapi pendapat ini menjadi lemah jika dikaitkan

    dengan fakta melalui tulisan yang dibuat al-Razi sendiri. Al-Razi menulis dalam tafsir

    surah Yusuf bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan pada akhir surah

    menyebutkan bahwa tafsirnya telah selesai pada bulan Sya‟ban tahun 601 H. Jika

    dikurangi, maka kelahiran al-Razi ialah tahun 544 H/1150 M.24

     

    Fakhr al-Din memiliki seorang kakak yang bernama Rukn al-Din. Dikatakan

     bahwa Rukn al-Din memiliki kedengkian terhadap al-Razi dikarenakan kemasyhuran

    dan ketinggian ilmunya. Rukn senantiasa mengikuti kemanapun al-Razi hendak pergi

    dan berusaha menyebat fitnah agar masyarakat menjadi simpati kepadanya. Alih-alih

    mendapat simpati usaha Rukn al-Din malah membuatnya dibenci masyarakat. Di

    samping perasaan sedih — karena memiliki saudara yang dengki — al-Razi

    menanggapinya dengan senantiasa menasihati sebisa mungkin dan tidak memutuskan

    tali persaudaraan.25

     

    Al-Razi menikah di Ray sepulang dari perjalanan ke Khawarizm karena

    ditolak oleh masyarakat di sana. Di Ray ada seorang dokter ahli yang memiliki

    kekayaan melimpah dan juga dua anak perempuan. Ketika dokter itu sakit dan yakin

    akan datangnya ajal, ia menikahkan salah seorang putrinya kepada al-Razi. Sejak

    24 Ali Muhammad Hasan al-„Umâri, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa Atsâruhû(al-Majlis al-A‟la li al-Syu‟un al-Islamiyah, 1969), h. 17.

    25  Ibid. h.23-24

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    27/104

    17

    masa itu terjadi perubahan ekonomi pada al-Razi dari seorang yang miskin dan

    kekurangan menjadi berkecukupan.26

     

    Dari pernikahannya itu al-Razi dikaruniai tiga orang anak lelaki dan dua anak

     perempuan. Salah seorang anak lelaki yang bernama Muhammad meninggal pada

    saat al-Razi masih hidup. Muhammad dikatakan sebagai anak yang saleh sehingga

     benar-benar bersedih sepeninggalnya. Kesedihannya itu diungkapkan dengan

    menyebutkannya — Muhammad —  berkali-kali dalam tafsirnya, yakni bertutut-turut

    dalam tafsir surah Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra‟d, dan Ibrahim. Muhammad meninggal

    dalam usia muda beranjak dewasa di perantauan, jauh dari teman dan keluarga.27

     

    Dua anak lelaki lainnya ialah Dhiya‟ al-Din dan Syams al-Din. Dhiya‟ al-din

    merupakan anak tertua yang bernama asli Abdullah. Ia dikenal sebagai orang yang

    sangat perhatian kepada ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menjadi tentara dan

    mengabdi kepada sultan Muhammad bin Taksy.28

     Adapun Syams al-Din ialah yang

    termuda dari ketiganya. Ia memiliki banyak kelebihan dan kepandaian yang luar

     biasa. Syams al-Din mengikuti jejak al-Razi setelah kematiannya, menyan-dang gelar

    Fakhr al-Din, dan banyak ulama yang menuntut ilmu kepadanya.29

     

    Salah satu anak perempuan al-Razi dinikahi dengan Ala‟ al-Mulk, seorang

    wazîr  (menteri) sultan Khawarazmsyah Jalal al-Din Taksy bin Muhammad bin Taksy

    yang terkenal dengan julukan Minkabari. „Ala‟ al-Mulk adalah seorang pakar dalam

     bidang sastra, khususnya dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan anak perempuan

    26  Ibid., h. 2027  Ibid., h. 24-26.28  Ibn al-Katsîr al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid VII juz XIII (Beirut: Dar al-

    Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 61.29  Ibid., h. 26.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    28/104

    18

    lainnya hanya disebutkan dalam riwayat ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan

    Jengis Khan memasuki kota Herat, kediaman al-Razi dan keluarga. „Ala‟ al-Mulk

    meminta perlindungan kepada Jengis Khan atas anak-anak Syaikh Fakhr al-Din dan

     permohonannya itu dikabulkan. Ketika itu disebutkan bahwa anak perempuan yang

    terakhir ini termasuk di dalamnnya.30

     

    Al-Razi meninggal di Herat pada hari Senin tanggal 1 Syawal 606 H/1209 M,

     bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Sesuai dengan amanatnya, al-Razi

    dimakamkan di gunung Mushaqib di desa Muzdakhan, sebuah desa yang terletak

    tidak jauh dari Herat.31

     Sebelum meninggal al-Razi sempat mendiktekan wasiat yang

    ditulis oleh salah seorang muridnya, Ibrahim al-Asfahani. Wasiatnya berisi tentang

     penyerahan diri sepenuhnya (tawakal) kepada kasih sayang Tuhan. Al-Razi mengakui

     bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang lapangan ilmu tanpa cukup

    memperhatikan mana yang berguna dan mana yang merusak. Dalam wasiatnya al-

    Razi juga menyatakan ketidakpuasannya dengan filsafat dan teologi (ilmu kalam).

    Dalam mencari kebenaran ia lebih menyukai metode al-Quran dibandingkan metode

    filsafat. Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis

     pada problem-problem yang tak terpecahkan. Pernyataan terakhir al-Razi mengenai

    nilai filsafat dan teologi ini masti dicatat dalam meneliti pemikiran al-Razi terutama

    dalam isu-isu kontroversial yang bermacam-macam.32

     

    30  Ibid., h. 27.31 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân , h. 25232  Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi  (Kuala

    Lumpur: ISTAC, 1996), h. 12-13.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    29/104

    19

    Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau kedua

     belad Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di kalangan umat

    Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan akidah.

    33

     Kelemahan

    Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga Baghdad sebagai pusat

     pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali serangan dari tentara Mongol

    di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656 H/1258 M.34

      Secara efektif, tidak ada

    kesatuan politik yang benar-benar memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan

    khalifah di Baghdad hanya diakui secara simbolis karena dalam prekteknya masing-

    masing daerah diperintah secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Situasi ini

    disebut Karen Amstrong sangat mirip dengan apa yang disebut monarki absolut.

    Sejak 1055 M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk.

    Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah kemenangan

    Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.35

     

    Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah di

    Baghdad.  Pertama, al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa kekua-saannya

     belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk.  Kedua, al-Mustadhi Billâh (566-

    575 H) yang merupakan anak al-Mustanjîd yang memegang kekua-saan setelah

    ayahnya meninggal. Ketiga, al-Nâshir li Dînillâh (575-622 H), anak al-Mustadhi yang

    merupakan khalifah Abbasiyah dengan masa kekuasaan terpanjang.36

     Khalifah inilah

    yang berusaha mengembalikan kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan

    33 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28.34  Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah Ira Puspita Rini (Surabaya: Ikon

    Teralitera, 2004), cet. keempat h. 115.35  Ibid., h. 97-11136 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    30/104

    20

    “kompromi” dengan syari‟ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotes

     para khalifah. Al-Nâshir juga bergabung dengan kelompok  futuwwah37 di Baghdad.

     Namun kebijakan al-Nâshir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda

     bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah.38

     

    Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya dikuasai

    oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang menguasai daerah

    ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), „Ala‟ al-Din Muhammad bin Taksy (596-

    615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-Din sampai tahun 628 H. Kabar

    mengenai perang salib di Syam dan serangan bangsa Mongol di Timur selalu

    menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu di mana bayangan kehancuran berada di

    depan mata.39

     

    Mazhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali) masih menjadi

    mayoritas mazhab yang diterima oleh sebagian besar umat Islam saat itu. Di Ray,

    kota al-Razi, terdapat setidaknya tiga mazhab yang berpengaruh, yakni Syafi‟i, yang

    merupakan minoritas, Hanafi sebagai mazhab mayoritas, dan Syi‟ah yang berjumlah

    sangat sedikit. Sebelumnya terjadi pertentangan antara Syi‟ah dan Ahlussunnah yang

    akhirnya dimenangkan oleh mazhab Syafi‟iyah dari Ahlussunnah.40

      Hal ini tentu

    tidak terlepas dari peran Bani Seljuk yang cenderung kepada Sunni dan sufisme.41

     

    37 Persatuan kelompok pemuda urban, dibentuk setelah abad ke-12, dengan upacara dan ritual

    khusus serta bersumpah untuk setia kepada pemimpin, yang sangat dipengaruhi oleh prinsip dan

     praktik sufi (Karen Armstrong).38 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 114.39 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29.40  Ibid. 41 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 101.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    31/104

    21

    Pada masa itu terdapat banyak aliran teologi. Ibn al-Subki menyebutkan tidak

    kurang dari 27 golongan. Adapun yang termasyhur daripadanya ialah Syi‟ah,

    Muktazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Karamiyah.

    42

     

    Keilmuan didominasi pada pelajaran agama dan bahasa Arab, tidak sedikit

     pula yang mempelajari ilmu hikmah (filsafat) yang pembahasannya mencakup logika,

    fisika, dan metafisika. Termasuk cabang ilmu filsafat ialah ilmu ukur, musik, dan

    astronomi.43

     

    Kaum Muslimin masih bergelut dengan filsafat yang banyak dipelopori oleh

    kaum Muktazilah. Diantara para filosof terkenal yang berpengaruh ialah al-Kindi, al-

    Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih yang lahir di Ray dan meninggal di Isfahan

     pada tahun 1030 M.44

      Pengaruh filsafat terus meningkat hingga datang masa al-

    Ghazali pada akhir abad V H/X M. Kritik al-Ghazali terhadap filsafat tertuang dalam

    kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah. Sejak saat itu timbul kebencian kaum Muslimin — 

    khususnya para fuqahâ` dan golongan Asy‟ariyah yang menjadi mazhab mayoritas— 

    terhadap filsafat.45

      Keadaan ini ditambah dengan dukungan khalifah Abbasiyah

    dalam menentang filsafat, sehingga filsafat seakan punah dari tradisi umat Islam

    kecuali di beberapa tempat seperti Iran dan Andalusia (Spanyol).

    Abad keenam Hijriah juga merupakan puncak dari ajaran Bathiniyah yang

    telah dirintis sejak abad ketiga. Diantara aliran Bathiniyah ini — sebagaimana

    dikatakan al-Ghazali — ialah golongan Rafidhah yang merupakan sekte dalam Syi‟ah.

    42 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29.43  Ibid. 44 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, edisi kedua (Jakarta: UI-

    Press, 2002), h. 43-37.45 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 30.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    32/104

    22

    Golongan ini menganggap tercapainya ilmu itu melalui perkataan Imam yang

    ma‘shûm, Imam yang mengetahui semua rahasia syari‟ah dan pada setiap zaman pasti

    terdapat seorang Imam yang dapat menjadi sandaran dalam permasalahan

    keagamaan.46

     

    Sebelum masa al-Ghazali tasawuf masih belum dapat diterima oleh mayoritas

    ulama dan bahkan dianggap bid‟ah. Al-Ghazali berperan besar dalam

    “mendamaikan” ajaran para sufi yang dianggapnya wali dengan para ulama yang

    mengajarkan syariat formal, seperti ilmu fiqh dan tauhid. Pengaruh ini telah sampai

    hampir ke seluruh pelosok negeri Islam dari timur sampai barat. Pengaruh ini juga tak

     pelak dirasakan oleh al-Razi karena masanya tidak terlampau jauh dari al-Ghazali.47

     

    Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi hidup.

    Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikiran — dalam hal

    ini al-Razi — sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya.

    Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan metode

    untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari fakta

    keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak  — dengan suatu kelompok,

    seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya sebagai

    anggota masyarakat”.48

     Pembahasan lebih dalam ke arah itu — kondisi politik, sosial,

    dan keilmuan — akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang ulama

    atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya merupakan indikasi

     bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran, minimal pada saat itu.

    46  Ibid., h. 31.47  Ibid., h. 3248 Edward Said, Orientalisme. Penerjemah: Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1985), h. 12-13.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    33/104

    23

    B. 

    Karir Intelektual

    Sebagaimana lazim dilakukan oleh para pelajar Muslim, al-Razi melakukan

     pengembaraan intelektual secara luas ke seluruh Persia. Dari Khawarizm ke Ghaznah,

    lalu ke Herat, dan akhirnya menetap di sana di bawah perlindungan Sultan „Ala al-

    Din Khawarazmsyah.49

      Sebelum itu, al-Razi kecil terlebih dahulu menimba ilmu

     pengetahuan pertamanya dari ayahnya sendiri, Dhiyâ‟ al-Din „Umar. Dhiyâ‟ al-Din

    merupakan seorang ulama besar di Ray — terkenal dengan julukan  Khâtib al-Rayy — 

    khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul. Setelah ayahnya meninggal pada 559 H

    al-Razi kemudian menimba ilmu kepada para ulama besar pada masanya, diantaranya

    Muhammad al-Baghawi dan Majd al-Din al-Jîli.50

     

    Kepada al-Jîli al-Razi mempelajari teologi dan filsafat. Dari Kamal al-

    Simnâni al-Razi mempelajari ilmu fiqh dan kepada Yahyâ al-Suhrâwardi al-Razi

     belajar filsafat dan ushul fiqh. Dalam proses belajarnya al-Razi menghapal beberapa

    kitab, diantaranya al-Syâmil   Imam al-Haramain mengenai ilmu kalam, al-Mustasyfâ 

    al-Ghazali dalam ushul fiqh, dan al- Mu‘tamâd Abu al-Hasan al-Bashri. Dalam pada

    itu al-Razi mensyarah (memberi komentar) beberapa kitab ulama sebelumnya,

    diantaranya al-Mufashshal al-Zamakhsyari dalam ilmu nahw  (tata bahasa), al-Wajiz 

    al-Ghazali dalam ilmu fiqh, dua kitab Abd al-Qahir dalam bidang balaghah, dan

    mengkhususkan pembahasan keduanya dalam karyanya,  Nihâyah al-Îjaz fi Dirâyah

    al- I‘jâz.51 

    49  Madjid Fakhry,  A History of Islamic Philosophy  (Newyork: Columbia University Press,1970), h. 355.

    50 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 19.51  Ibid. 

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    34/104

    24

    Al-Razi menaruh perhatian lebih terhadap filsafat dan kedokteran (al-Thibb)

    sehingga memiliki pandangan yang luas mengenai keduanya. Dalam bidang filsafat

    al-Razi mensyarah kitab al-Isyârât   karya Ibn Sina dan dalam ilmu kedokteran ia

    menulis kitab Syarh al-Kulliyyât li al-Qânûn karya penulis yang sama.52 

    Dalam karyanya,  Munâzharat Fakhr al- Din fi Bilâd ma Warâ‘ al -Nahr   al-

    Razi mendokumenter tempat-tempat yang telah ia kunjungi dan para ulama yang

    ditemuinya. Kemudian ia membuat ikhtisar mengenai diskusi yang telah

    dilakukannya dengan para ulama tersebut. Dikatakan bahwa al-Razi melakukan

     perdebatan dengan para ulama terkemuka dengan menggunakan dialektika filosofis.

    Penjelasan mengenai lawan debatnya penuh dengan ironi. Sebagai contoh dikatakan

     bahwa al-Radhi al-Naisaburi sebagai orang yang jujur, tetapi lambat dalam berpikir.

    Qadhi dari Ghazna sebagai orang yang iri hati dan bodoh. Syaraf al-Din Muhammad

    al-Mas‟udi, seorang teolog terkemuka di Bukhara, sebagai orang yang arogan dan

    terlalu percaya diri dengan karya al-Ghazali. Di samping itu, di Bukhara ia memarahi

     Nur al-Shabuni dikarenakan perjalanannya ke Makkah untuk melaksanakan ibadah

    haji. Setelah diskusi panjang, al-Razi “memaksa” lawan-lawannya untuk menerima

    kebodohan mereka.53

     

    Selanjutnya al-Razi melakukan perjalanan ke Khawarazm dan Transoxania,

    nampaknya dalam rangka mengubah para pengikut Muktazilah dan Karamiyah

    kepada Sunni. Alih-alih mencapai tujuan al-Razi dipaksa keluar dari keduanya karena

     berselisih dengan ulama-ulama lokal. Al-Razi membangun hubungan baik dengan

    52  Ibid. 53 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 2.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    35/104

    25

    Syihab al-Din al-Ghuri, sultan al-Ghur dan Ghaznah, yang nantinya membangunkan

    madrasah untuk al-Razi di Herat. Di Ghaznah al-Razi sempat dicap kafir oleh kaum

    Karamiyah setelah melakukan perdebatan dengan pimpinannya Abd al-Majid bin al-

    Qudwa. Bahkan Ibn al-Qudwa, dengan dukungan keponakan sultan Dhiya‟ al-Din al-

    Ghûri, menyerangnya dalam khut-bah Jumat, menuduhnya kafir karena telah

    membaca karangan Ibn Sina dan Aristoteles. Peristiwa ini menimbulkan kegoncangan

     pada masyarakat yang mayoritas pengikut Karamiyah ini dan berujung pada hasutan

    yang berkembang untuk membunuh al-Razi. Melihat hal ini sultan berusaha

    menenangkan masyarakat bahwa ia akan mengeluarkan al-Razi dari kota itu. Tahun

    kejadian ini kemudian tercatat sebagai sanât al-fitnâ (tahun fitnah)54 

    Setelah peristiwa itu al-Razi kembali ke Khurasan dan menetap di Herat di

     bawah perlindungan sultan Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan gelar

    Khawarazmsyah. Di sana al-Razi mendapat kedudukan tinggi dan derajat mulia yang

     bahkan tidak ada ulama yang dapat melebihi posisinya dalam kedekatannya kepada

    sultan.55

     

    Dalam fiqh dan ushul, al-Razi mengikuti mazhab Syafi‟i yang diterimanya

    dari ayahnya hingga bersambung — sanadnya — ke Imam al-Syafi‟i. Dalam teologi

    menganut paham Asy‟ariyah yang juga diterima melalui ayahnya hingga sampai  ke

    Imam Abu al-Hasan al-Asy‟ari.56

     Dalam bidang filsafat al-Razi nampaknya mendapat

     pengaruh kuat dari Ibn Sina dan Abu al-Barakat al-Baghdadi (m. 560/1166), penulis

    54  Ibid., h. 3-4. Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh jilid XII (Beirut: Dar al-Shadir, tt), h. 151-152.

    55 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân , h. 250.56  Ibid., h. 252.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    36/104

    26

    ikhtisar tentang fisika, logika, dan metafisika “al- Mu‘tabâr fî al - Hikmah‖ yang juga

    seorang penulis penting mengenai ilmu kedokteran pada abad VI/XII. Walaupun

    demikian dalam perkembangannya al-Razi tidak segan-segan untuk mengkritik Ibn

    Sina dalam beberapa tema penting. Komentarnya terhadap al-Isyârât   lebih dekat

    kepada kritik daripada syarah (penjelasan).57

     

    Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam memahami al-Razi,

    menurut Ceylan, ialah skeptisismenya. Al-Razi tidak pernah bisa mengatasi

    keraguannya. Skeptisisme inilah yang membuat al-Razi mempertanyakan segala hal

    hingga ia tidak menerima pendapat begitu saja secara taklid   (membabi buta).

    Meskipun seorang Asy‟ariah al-Razi tidak ragu untuk berbeda pendapat dengan al-

    Asy‟ari dalam beberapa hal. Sikap liberal al-Razi membuatnya dituduh oleh para

    oponennya sebagai Muktazilah dan mereka memang memiliki justifikasi untuk itu

     berdasarkan perkataan al-Razi sendiri. Beberapa pendapat al-Razi memperlihatkan

    tendensi Muktazilah, seperti pertanyaan mengenai sifat-sifat Tuhan dan kemungkinan

    untuk melihat Tuhan dengan mata kepala — di alam akhir, dan dalam kerangka bukti-

     bukti dogmatis. Dalam elaborasinya mengenai tema-tema ini, al-Razi terlihat sedikit

    ragu dalam meminjam pendapat dari non-Muslim maupun sarjana Muslim yang

    dianggap bid`ah, seperti Abu al-Barakat al-Baghdadi, seorang Yahudi; Tsabit bin al-

    Qurra`, seorang Kristen; dan Abu al-A‟la al-Ma‟arri, sastrawan yang terkenal dengan

     pandangan-pandangan bid`ahnya.58 

    57 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355-356.58 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 5.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    37/104

    27

    Satu aspek yang paling mencolok dari al-Razi ialah rekonsiliasinya antara

    filsafat dan dogma.59

     Ibn Khaldun mengatakan bahwa al-Razi, bersamaan dengan al-

    Ghazali, adalah barisan terdepan dalam memperkenalkan pendekatan filosofis baru

    terhadap kajian teologis.60

     Meskipun al-Razi membuktikan kesalahan argumen para

    filosof dalam banyak tempat, kritisismenya timbul dari pemikiran yang independen

    dan rasionalitas yang unik. Ketidaksetujuannya kepada para filosof lebih banyak

    timbul dikarenakan respeknya terhadap argumen filosofis daripada posisinya sebagai

    teolog. Ini sejalan dengan jalan berpikirnya yang lebih dekat kepada filosof daripada

    teolog. Pernyataan tegas al-Razi merupakan aspek signifikan dalam posisinya

    menanggapi kontroversi antara filsafat dan teologi.61

     

    Pengetahuan al-Razi yang demikian luas mengenai filsafat dan teologi

    membuat tak ada ulama sezaman yang setara dengannya dan dapat dibandingkan

    dengan keluasan pengetahuan al-Ghazali. Al-Razi merupakan salah satu penulis

    ensiklopedik terakhir umat Islam.62

     Tidak diragukan lagi bahwa al-Razi ialah seorang

    ulama Asy‟ariyah terakhir jika dilihat bahwa tidak ada figur penting lainnya dalam

    lapangan teologi hingga satu abad setelahnya.63

     

    Al-Razi memiliki banyak pengikut. Dikatakan tidak kurang dari tiga ratus

    murid dari berbagai belahan dunia Islam menyertainya ketika ia berpindah dari satu

    tempat ke tempat lainnya. Diantara murid-muridnya yang terkenal ialah Quthb al-Din

    al-Mishri, Zain al-„Abidin al-Kasysyi, Syihab al-Din al-Naisaburi, Muhammad bin

    59  Ibid. 60 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 94.61 Yasin Ceylan, T heology and Tafsir…, h. 6.62 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355.63 Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 95-96.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    38/104

    28

    Ridhwan, Syaraf al-Din al-Harawi, Atsir al-Din al-Abhari, Afdhal al-Din al-Khunji,

    Taj al-Din al-Armawi, Syams al-Din al-Khuwayya, dan Syaikh Muhammad al-

    Khusrawsyahi.

    64

     

    Pemikiran al-Razi sebagai teolog yang memaparkan pemikiran secara filosofis

    memberi pengaruh yang tidak sedikit kepada para pemikir Muslim sesudahnya,

    seperti Nashir al-Din al-Thusi, Ibn Taymiyyah (m. 729/1328), al-Taftazani (m.

    791/1389), dan al-Jurjani (m. 816/1413), khususnya dalam bidang teologi dan filsafat.

    Penjelasan dan kritiknya terhadap filsafat Ibn Sina nantinya berguna bagi filosof

     belakangan seperti Ibn Khaldun (m. 808/1406) dalam menghadapi sistem pemikiran

    Ibn Sina.65

     

    Sebagai penulis yang produktif dan melontarkan pemikirannya sedemikian

     bebas al-Razi tak dapat terlepas dari kontroversi ulama yang mendukung dan

    menentangnya, baik pada masa hidup maupun setelahnya. Diantara penentangnya

    ialah al-Dzahabi (penulis  Mîzân al- I‘tidâl ), Siraj al-Din al-Sirmiyahi, Abu Hayyan,

    dan Rasyid Ridha. Sedangkan para pembelanya ialah Taj al-Din al-Subki, Ibn Abi

    „Ushaibi‟ah, Ibn Khallikan, Ibn Khaldun, Ibn al-Atsir, al-Yafi‟i, dan al-Qifti.66

     

    Perlu dicatat bahwa al-Razi sebagai mufasir tidak hanya ahli dalam bidang

    teologi dan al-Quran, melainkan juga menguasai berbagai macam bidang keilmuan

    seperti filsafat, kedokteran, matematika, hukum Islam, dan linguistik. Al-Razi

    menulis dalam bahasa Arab —  beberapa dalam bahasa Persia — sebagaimana diakuinya

    64 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 11-12.65  Shalahuddin Kafrawi,  Fakhr al-Dîn al-Râ zi‘s Methodology in Interpretin g the Qur`an 

    (Montreal: The Institut of Islamic Studies Faculty of Graduate Studies and Research Mc Gill

    University, 1998), h. 24.66 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 95-97. M. Quraish Shihab,  Rasionalitas al-

    Quran: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar  (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.155-161.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    39/104

    29

    sebagai bahasa yang paling utama. Namun demikian dalam menyampaikan kuliah-

    kuliahnya al-Razi kerap kali menggunakan juga bahasa Persia untuk menarik lebih

     banyak audiens.

    67

     

    C.  Karya Tulis

    Dalam dunia Islam al-Razi merupakan salah satu penulis produktif dalam

    sejarah. Tulisannya terdiri dari berbagai macam cabang keilmuan mulai dari tafsir,

    teologi, filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, sejarah, heresiografi

    (kebid`ahan), astrologi (nujum/ramalan), dan fisiognomi (firasat).68

     Dikatakan bahwa

    karya al-Razi tidak kurang dari dua ratus buah karangan69

     baik berupa risalah, syarah,

    maupun kitab yang berjilid-jilid. Al-Baghdadi mengklasifikasikan karya-karya al-

    Razi menjadi sepuluh kategori:1) tafsir; 2) teologi; 3) logika, filsafat, dan etika; 4)

    kombinasi antara teologi dan filsafat; 5) fiqh dan ushul; 6) sejarah dan biografi; 7)

    matematika dan astronomi; 8) kedokteran dan fisiognomi; 9) sihir dan astrologi; dan

    10) karya umum dan ensiklopedia.70 

    Diantara karya-karya yang masih terlacak sebagai tulisan al-Razi, dalam studi

    al-Quran: al-Tafsîr al-Kabîr ( Mafâtih al-Ghaib),  Asrâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tafsîr  

    (Tafsîr al-Qur‘ân al -Shaghîr ), Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah,

    Tafsîr Sûrah al-Ikhlâsh, dan (Risâlah fi) al-Tanbîh ‗alâ Ba‘d al -Asrâr al- Mudî‘ah fî

     Ba‘d Âyât al -Qur`ân al-Karîm; teologi (kalam): al- Arba‘în fî U  sûl al-Dîn,  Asas al-

    Taqdîs,  Tahsîl al-Haqq, al-Qadâ wa al-Qadar , Syarh al-Asmâ` Allâh al-Husnâ,

    67 Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…, h. 22. 68 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 13.69 Ibn al-Katsir al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâayah, h. 60.70 Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…, h. 27.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    40/104

    30

    ‗I  smah al-Anbiyâ`, al-Mahsûl  ( fi ‗Ilm Kalâm), al- Ma‘âlim fî U  sûl al-Dîn, Nihâyah al-

    ‗Uqûl fi Dirâyah al -Usûl , dan Ajwibât al-Masâ`il al-Najjâriyah; logika, filsafat, dan

    etika: al-Âyât al-Bayyinât fî al-Mantîq, al-Mantîq al-Kabîr , Ta‘jîz al -Falâsifah, Syarhal-Isyârâh wa al-Tanbîhât   (li Ibn Sina),  Syarh ‗Uyûn al -Hikmah  (li Ibn Sina), al-

     Mabâhits al-Masyriqiyyah,  Muhassal afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta`akhkhirîn

    min al-‗Ulamâ‘ wa al -H ukamâ‘ wa al -Mutakallimîn, al-Mathâlib al-‗Âliyah, dan al-

     Akhlâq; permasalahan hukum:  Ibtâl al-Qiyâs,  Ihkâm al-Ahkâm, al- Ma‘âlim fî Usûl

     Fiqh,  Muntakhab al-Mahsûl fî Usûl Fiqh, al-Barâhin al-Barâhiyah, dan al-Nihâyah

    al-Baha`iyyah fi al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah; bahasa Arab dan ilmu-ilmunya: Syarh

     Nahj al-Balâghah  dan al-Muharrir fî Haqâ`iq  (atau  Daqâ`iq) al-Nahw; sejarah:

     Fadâ`il al-Shahâbah al-Râsyidîn  dan  Manâqib al-Imâm al-Syâfi‘î ; matematika dan

    astronomi: al-Handasah dan al- Risâlah fî ‗Ilm Hay`ah; kedokteran: al-Tibb al-Kabîr ,

    al-Asyribah, al-Tasyrîh, Syarh al-Qânûn li Ibn Sina, dan Masâ`il fi al-Tibb; sihir dan

    astrologi: al-Ahkâm al-‗Alâ`iyyah fî A‘lân al -Samâwiyyah, Kitâb fî Raml , dan Sirr al-

     Maktûm; dan karya umum: I‘tiqâd Firâq al -Muslimîn wa al-Musyrikîn71 

    Dari karya-karya tersebut yang menjadi magnum opus  atau masterpiece  al-

    Razi ialah kitab Mafâtih al-Ghaib atau al-Tafsîr al-Kabîr yang demikian fenomenal.

    Kitab ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif dari tafsir bi al- ra‘y.72 

    Terdiri dari tiga puluh dua juz, kitab ini ditulis pada masa-masa akhir dari kehidupan

    71  Ibid., catatan kaki no. 9972  Thameem Ushama,  Methodologies of The Qur`anic Ezegesis  (Kuala Lumpur: AS

     Noordeen, 1995), h. 93.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    41/104

    31

    al-Razi.73

      Melihat kronologisnya, kitab ini ditulis pada saat al-Razi telah mancapai

    kematangan dalam keilmuannya.

    Berbagai pendapat kuat mengatakan bahwa al-Razi tidak menyelesaikan

    tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh al-Razi dan bagian kedua oleh kedua dua orang

     pengikutnya, yakni al-Syaikh Najm al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qammuli (m.

    767 H) dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuwayya.74

      Secara berurutan, al-Razi

    menulis hingga surat al-Anbiya (surat ke-21). Di samping itu, secara acak  — tidak

    mengikut mushaf  — al-Razi menafsirkan surat-surat lainnya seperti al-Syu‟ara, al-

    Qiyamah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma‟arij, dan al-Naba`.75

     

    Walaupun diyakini bahwa al-Razi tidak menyelesaikan seluruh tafsirnya,

    namun kitab yang sekarang dinisbahkan kepadanya ini tetap memiliki kesatuan ruh

    dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya, sebagai buah karya dari satu

    orang.76

      Dengan kata lain tidak terdapat kontradiksi antara satu bagian dan bagian

    lainnya dengan ide serta pemikiran al-Razi.77

     

    D.  Metode Penafsiran

     Mafâtih al-Ghaib  merupakan tafsir yang menawarkan pendekatan unik

    terhadap al-Quran. Kitab ini mencakup ruang yang begitu luas dalam pembahasan

    setiap subjeknya, seperti teologi, filsafat, logika, fiqh, dan astronomi.78

      Al-Razi

    mendasarkan penafsirannya dengan ayat al-Quran lainnya (al-tafsîr al-Qur`ân bi al-

     73 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 15.74  Ibid. 75 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 161-174.76  Ibid., h. 187.77 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 16.78 Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…, h. 110. 

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    42/104

    32

    Qur`ân), hadis Nabi, dan secara luas dengan pertimbangan rasional atau hasil

    ijtihad.79

      Dengan memasukkan ijtihad (pendapat atau ra`y) sebagai sumber

     penafsiran, maka  Mafâtih al-Ghaib  termasuk ke dalam kategori tafsîr bi al-ra`y

    80

     

    dengan kecenderungan terhadap permasalahan teologis di dalamnya. Meskipun

    terkenal sebagai seorang penentang keras filsafat, al-Razi menggunakan model

     pemaparan secara filosofis untuk menjustifikasi rasionalitas (baca: kemasuk-akalan)

     prinsip-prinsip dogmatis (akidah) dan ini sangat terlihat dalam kese-luruhan

    tafsirnya.81

     

    Dalam prosedur penulisan  Mafâtih al-Ghaib menggunakan metode tahlîlî  

    walaupun Kafrawi menyatakan bahwa al-Razi juga menggunakan metode tafsir

    maud û‘i.82 Tafsir tahlîlî sendiri didefinisikan dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran

    dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai

    dengan uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan

    (munâsabah) antar ayat dan surat, sampai sisi-sisi keterkaitan antar ayat maupun surat

    itu (wajh al-munâsabât ) dengan bantuan asbâb al-nuzûl   dan riwayat-riwayat yang

     berasal dari Nabi saw, sahabat, dan tabi‘în. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti

    susunan mushaf, ayat per ayat, dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan

     pula perkembangan kebudayaan generasi dari Nabi sampai tabi‘în; terkadang pula

    79  Ibid., h. 51-53.80 Al-„Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi, h. 134.81 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 5.82Kafrawi menyatakan demikian berdasarkan dengan begitu seringnya al-Razi mengumpulkan

    ayat-ayat dalam pembahasan mengenai suatu tema. Kafrawi,  Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…,h. 73

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    43/104

    33

    diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang

    kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Quran yang mulia.83

     

    Al-„Umari mengatakan bahwa yang menjadi ruh dari tafsir  Mafâtih al-Ghaib 

    ialah pembahasan yang panjang lebar. Al-Razi menggunakan pendapat (ra‘y)-nya

    dalam seluruh tafsirnya, sesekali menggunakan pendapat pribadi dan pendapat para

     pendahulunya di lain tempat. Kebanyakan pendapat dikeluarkan berdasarkan

    kebesaran pemikirannya dalam berbagai ilmu yang dikuasai.84

     

    Muhammad bin Lutfi al-Shibbâgh menjelaskan beberapa karakteristik

     penafsiran  Mafâtih al-Ghaib  diantaranya, bahwa al-Razi menafsirkan ayat dari

     berbagai segi yang berbeda, seperti bahasa, balaghah, fiqh, dan sebagainya, kemudian

    mengambil istinbâth  atas ayat tersebut; dalam tafsir terdapat pembicaraan yang

     berkaitan dengan pengarang, keadaan, dan perjalanannya sebagaimana contoh yang

    telah lalu dikabarkan bahwa anaknya, Muhammad, meninggal saat menafsirkan surat

    Yusuf dan al-Razi mengatakan bahwa saat itu hatinya sangat sedih karenanya; tidak

    ta‘as sub  kepada mazhab Syafi‟i yang dianutnya, seperti halnya dalam ayat-ayat

    tentang zakat al-Razi mengatakan bahwa tidak ada petunjuk (dilâlah) mengenai ayat

    ini dari al-Syâfi‟i; memperkenalkan pendekatan baru dalam tafsir, yakni teologis di

    samping dua pendekatan yang ada sebelumnya baik yang digunakan para ahli hadis

    maupun para ahli bahasa dan sastra; tidak pernah melewatkan pembahasan mengenai

    Muktazilah setiap ada kesempatan, menjelaskan, dan menolak argumen-argumen

    mereka dan mempertahankan doktrin Ahlussunnah; banyak menolak pendapat-

     83Abd al-Hayy al-Farmawi,  Metode Tafsir Maudhu‘i dan Cara Penerapannya. Penerjemah:

    Rosihan Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 23-24.84Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 134.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    44/104

    34

     pendapat para filosof, walaupun dalam pembahasannya al-Razi menggunakan bahasa

    dan metode mereka; banyak menyampaikan ilmu-ilmu alam dan astronomi; dan

    menyebutkan munâsabah baik antar ayat maupun antar surat.85

      „Umâri mengatakan

     bahwa al-Razi jarang menggunakan hadis, banyak menggunakan syair sebagai

    referensi, dan sangat memperhatikan asbâb al-nuzûl . Hampir tidak ada surat yang

    tidak dikemukakan asbâb al-nuzûl -nya karena faktor ini dianggap sangat penting dan

    sulit untuk menangkap makna tanpa menjelaskannya.86

     

    Al-Razi mendasarkan tafsirnya dari berbagai referensi yang ada sebelumnya

     baik dalam bidang tafsir, bahasa, maupun teologi. Dari kitab tafsir al-Razi mengambil

    dari Ibn Abbas, riwayat tafsir naqli seperti Ibn al-Kalbi, Mujahid, Qatadah, al-Sa‟di,

    Sa‟id bin Jubair, dan selainnya seperti Muqatil bin Sulaiman, al-Tsa‟labi (m. 437 H),

    dan al-Wahidi (m. 468 H). Dalam bidang bahasa banyak mengutip dari para

     periwayatnya, seperti al-Ashma‟i dan Abu „Ubaidah dan dari para ulamanya, seperti

    al-Farra`, al-Zajjaj, dan al-Mubarrad dengan kecenderungan khusus kepada al-Farrâ`

    dengan kitabnya  Ma‘âni al -Qur`ân. Dari kaum Muktazilah al-Razi mengutip Abu

    Muslim al-Ashfahani (m. 322 H), al-Qâdhi „Abd al-Jabbâr (m. 415H), dan al-

    Zamakhsyâri (m. 538 H) pengarang al-Kasysyâf . Al-Zamakhsyâri nampaknya

    mendapat perhatian khusus dari al-Razi, karena al-Kasysyaf biasanya menjadi

    referensi utama dalam akidah Muktazilah. Di sisi lain kitab al-Razi,  Mafâtih al-

    Ghaib, menjadi pionir dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah.87 

    85  Muhammad bin Luthfi al-Shibbagh,  Lumhât fi ‗Ul ûm al-Qur`ân wa Ittijâahât al-Tafsîr  (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1990), cet. ketiga h. 287-291

    86 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 117-134.87  Ibid., h. 135-137.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    45/104

    35

    Di samping referensi-referensi yang disebut secara jelas dalam tafsir, al-

    „Umâri melihat adanya indikasi pengaruh beberapa ulama terkemuka terhadap

     pemikiran al-Razi walaupun tidak mengutip pendapat-pendapat mereka secara

    langsung. Diantara ulama tersebut ialah Ibn Qutaibah (m. 276 H), al-Thabari, al-

    Ghazali (m. 505/1111), Abu Bakr al-Baqillani (m. 404 H), dan Ibn Furak (m. 406

    H).88

     

    88  Ibid., h. 142-149.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    46/104

    1

    BAB III

    TAKDIR DALAM ISLAM

    A. 

    Pengertian Takdir

    Kata takdir diderivasi dari bahasa Arab qaddara yuqaddiru taqdîran, yang

     berarti menaksir atau mengira. Jika  syiddah-nya dihilangkan maka menjadi qadara,

    yang berarti mampu. Dari sini dikenal salah satu sifat Tuhan yakni qudrah 

    (Mahakuasa). Dalam dalam akidah Islam biasanya kata taqdir  disandingkan dengan

    kata qadâ` dan lebih sering disebut qadâ` dan qadar. Penggunaan kata takdir dalam

     pembahasan ini bukan tanpa alasan, melainkan dengan tujuan yang lebih

    menitikberatkan kepada penggunaan atau apresiasi terhadapnya daripada pembahasan

    mengenai pengertian. Kata takdir digunakan dalam posisinya yang dianggap

     berlawanan dengan kebebasan kehendak (ikhtiar atau  free will ) dan apa yang

    dipahami oleh para teolog.

    Sebelum melangkah lebih jauh alangkah lebih baiknya dipaparkan berbagai

     penjelasan mengenai makna takdir, baik secara etimologi maupun terminologi. Arifin

    Jami‟an melihat ada tiga pengertian takdir dari segi etimologi:  pertama, takdir

    merupakam ilmu yang amat luas meliputi segala apa yang akan terjadi dan semua

    yang berhubungan dengan itu. Semua hal yang akan terjadi pasti telah diketahui dan

    ditentukan sejak semula. Kedua, berarti sesuatu yang sudah dipastikan. Kepastian itu

    lahir dari penciptanya di mana eksistensinya sesuai dengan apa yang telah diketahui

    sebelumnya.  Ketiga, takdir berarti menerbitkan, mengatur, dan menentukan sesuatu

    36

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    47/104

    37

    menurut batas-batasnya di mana akan sampai sesuatu kepadanya, sebagaimana

    tercermin dalam al-Quran surat Fushshilat ayat 10.89

     

     

     

     

     

     

     

    90 

    KH Taib Thahir setelah melihat penggunaan kata qadâ`  dalam al-Quran

    mengartikan qadâ` dengan hukum yang ditetapkan Tuhan sejak zaman azali

    mengenai segala apa yang akan terjadi. Qadar   diartikan dengan merancang dan

    merencanakan sesuatu dengan perhitungan paling mendalam dan teliti. Juga

    mengetahui semua batas, hubungan, dan sebab akibat yang terjadi setelah

     perencanaan itu terwujud. Dengan demikian Taib melihat secara etimologi tidak

    terdapat perbedaan mendasar dalam keduanya. Dari sana keduanya disebut qadar

    atau takdir saja sebagaimana digunakan dalam hadis Nabi saw , “Dan percaya kepada

    takdir, baik dan buruknya.”91

     

    Dja‟far Amir mengartikan takdir dengan ketentuan-ketentuan yang mesti

     berlaku atas tiap-tiap makhluk, sesuai batas-batas yang telah ditentukan Tuhan sejak

    zaman azali, baik ketentuan yang baik maupun yang buruk, semua akan terjadi sesuai

    dengan yang dikehendaki Tuhan. Sedangkan qadâ`  berarti keputusan yang telah

    terjadi sesuai dengan ilmu serta takdir Tuhan sejak zaman azali.92

     

    89  Arifin Jami‟an, Memahami Takdir (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), h. 32-33.90

    ‖Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung -gunung yang kokoh di atasnya. Diamemberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empatmasa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.‖ 

    91 Arifin Jami‟an, Memahami Takdir , h. 36.92  Ibid., h. 47-50.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    48/104

    38

    M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa takdir terambil dari kata qaddara,

     berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau

    ukuran. Dicontohkan jika dikatakan bahwa Allah telah menakdirkan demikian, maka

     berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau

    kemampuan maksimal makhluk-Nya. Istilah takdir mirip dengan  sunnatullah  atau

    hukum alam, tetapi takdir setingkat di atasnya karena hukum-hukumnya tidak hanya

    terjadi pada alam, melainkan juga pada hukum-hukum kemasyarakatan.93

     

    M. Taqi Misbah Yazdi mengatakan bahwa kata qadar  berarti ukuran (miqdar )

    dan takdir (taqdir ) berarti ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu,

    atau menciptakan sesuatu dengan ukuran yang ditentukan. Sedangkan qadha`  berarti

    memutuskan dan menuntaskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam

    unsur konvensi. Kedua kata ini terkadang digunakan secara sinonim yang berarti

    nasib.94

     

    Muthahhari, seorang ulama Syi‟ah, mengatakan bahwa qadâ`  berarti

     penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang disebut qâdi 

    karena tugasnya menghakimi dan memutuskan perkara antara dua orang yang

     bersengketa di pengadilan. Qadar  berarti kadar dan ukuran sesuatu. Setiap kejadian

    alam jika ditinjau dari pengawasan dan kehendak Tuhan dapat dikelompokkan ke

    dalam qadâ`  Ilahi dan jika dilihat dari sudut keterbatasan sifatnya pada ukuran dan

    93 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 61-65.94  M. Taqi Misbah Yazdi,  Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Penerjemah:

    Ahmad Marzuki Amin (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 141.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    49/104

    39

    kadar tertentu pada kedudukannya di dalam ruang dan waktu dapat dikelompokkan ke

    dalam qadar Ilahi.95 

    Jamaluddin al-Afghani menolak ajaran qadâ`  dan qadar   yang mengan-dung

     paham fatalistik. Ia berpendapat bahwa qadâ` dan qadar   mengandung arti bahwa

    segala sesuatu terjadi menurut sebab akibat. Kemauan manusia merupakan salah satu

    mata rantai hukum sebab akibat. Qadâ`dan qadar   menurutnya sinonim dengan

    hukum dan ciptaan Tuhan.96

     

    Fazlur Rahman, sejalan dengan al-Afghani, menolak jika takdir disamakan

    dengan  predeterminisme. Ia mengatakan bahwa sebenarnya perkataan qadar  berarti

    memberikan ukuran atau keterhinggaan dan ide yang terkandung dalam doktrin qadar  

     bawa Allah saja yang tak terhingga secara mutlak. Segala sesuatu selain-Nya sebagai

    ciptaan memiliki tanda ukuran dan keterhinggaan, dengan kata lain memiliki jumlah

     potensi yang terbatas — walaupun jangkauan potensi-potensi ini, seperti yang terdapat

     pada manusia kemungkinan sangat luas.97

     

    Berbagai pengertian mengenai takdir di atas terlihat terpecah kepada dua

    kutub besar sebagaimana digunakan pada penjelasan secara klasik. Takdir

    didefinisikan antara hukum atau pengetahuan Tuhan semenjak azali dan juga sebagai

    kadar atau ukuran segala sesuatu. Namun demikian sebelum definisi-definisi tersebut

    telah berlaku pendefinisian takdir yang lebih tua dan yang berasal dari aliran-aliran

    95 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, h. 217.96 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), cet. III,

    h. 149-150.97 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka,

    1996), cet. II, h. 35.

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    50/104

    40

    teologi dalam Islam, yakni Jabariah, Muktazilah, dan Ahlussunnah yang terbagi

    kepada Asy‟ariah dan Maturidiah.

    B. Seputar Takdir dalam Islam

    Sejak zaman primitif manusia selalu menyertakan kepercayaan akan takdir

     bersamaan dengan kepercayaannya terhadap sembahannya. Takdir diilustrasikan

    sebagai kekuatan luar biasa yang menentukan kesenangan dan kekuasaan hidupnya.

    Takdir belum terbayangkan sebagai aturan yang telah ditetapkan untuk kelangsungan

    hidup alam semesta. Takdir dibicarakan baik oleh kaum Hindu, Babilonia, Mesir

    kuno, Yunani, Yahudi, Kristen, Islam, juga para filosof dari berbagai agama dan

    kebudayaan tersebut.98

      Berbagai pendapat yang dilontarkan tidak terlepas dari dua

     paham ekstrim yang mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan

     bahwa manusia terikat dalam genggaman takdir.

    Pembicaraan takdir dalam Islam tidak terlepas juga dari pengaruh berbagai

    agama dan kebudayaan sebelumnya. Sebagaimana dalam tema lainnya, dalam hal ini

     pun para teolog maupun filosof Muslim sangat terpengaruh oleh pandangan para

    filosof Yunani. Plato mengatakan bahwa semua tuhan adalah baik 99

     dan dari tuhan-

    tuhan itu hanya akan lahir kebaikan. Kejahatan timbul akibat dari kurang-nya

     pengetahuan dan kebodohan. Manusia terjerumus ke dalam kejahatan karena

    kepadatan materi (hayûla) merintangi usaha untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.

    Menurutnya segala sesuatu yang ada di alam wujud merupakan gambaran ideal yang

    98  Abbas Mahmud al-Aqqad,  Filsafat Qur‘an. Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986), h. 197-232.

    99 Plato mengatakan demikian karena orang Yunani mengenal banyak tuhan (dewa-dewa).

  • 8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF

    51/104

    41

    ada di dalam akal tuhan. Kejahatan bukan berasal dari takdir tuhan. Kebebasan

    manusia menuju kesempurnaan tidak dibatasi oleh takdir tuhan, tetapi oleh rintangan

    materi yang amat padat itu (hayûla).  Hayûla  inilah yang merintangi manusia bagi

    terwujudnya kemampuan yang dikehendaki tuhan.100

     

    Pemikiran takdir menurut Aristoteles sejalan dengan pemikirannya dengan

    sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan sama sekali tidak mencampuri urusan alam dan

    semua yang ada di dalamnya, baik yang bernyawa maupun tidak. Karena itu Tuhan

    tidak menentukan urusan apapun juga bagi alam, sebab takdir tidak sesuai dengan

    kesempurnaan sifat kemutlakan Tuhan. Zat yang sempurna dan mutlak

    kesempurnaannya tidak membutuhkan apapun juga selain zat-Nya, tidak

    menghendaki sesuatu, dan tidak memikirkan sesuatu salain zat-Nya sendiri.

    Hubungan antara Tuhan dan alam tidak lebih dari sebagai penggerak pertama yang

    tidak bergerak. Sejalan dengan pemikirannya tersebut, Aristoteles menga-takan

     bahwa setiap manusia bebas memilih sesuatu bagi dirinya sendiri. Tidak ada qadâ‘  

    maupun qadar . Setidaknya manusia bisa menahan diri jika ia tidak bisa melakukan

    suatu perbuatan. Sedangkan tujuan bagi setiap makhluk hidup ialah mewujudkan

    sesuatu yang diperlukan oleh eksistensinya menurut cara yang sesuai dengan

    eksistensinya.101

     

    Ibrahim Madkour beranggapan mus