fatwa majlis ulama indonesia (mui) tentang nikah...

58
FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH BEDA AGAMA DAN RESPON PARA PEMUKA AGAMA TERHADAPNYA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana SI Oleh: Wahyu Sunandar NIM: 105032101051 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Upload: ledung

Post on 08-May-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH

BEDA AGAMA DAN RESPON PARA PEMUKA AGAMA

TERHADAPNYA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana SI

Oleh:

Wahyu Sunandar

NIM: 105032101051

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011

Page 2: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga
Page 3: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga
Page 4: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam yang Maha Pengasih dan lagi

maha penyayang, yang selalu memberikan hidayah dan naungan kepada semua

manusia, khususnya penulis. Sehingga penulis bias menyelesaika skripsi ini

walaupun masih banyak cela.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia agung, sang

Revolusioner sejati, yang megantarkan manusia dari jaman kebodohan dan sampai

pada jaman yang penuh dengan ilmu pengetauan, nabi besar Muhammad Saw.

Aselanjutnya, tiada kata-kata penulis ucapkan selain ucapan terima kasih,

kepada semua pihak yang yang telah membantu proses penyelesain skripsi ini

terutama:

1. Ayahanda tercinta Abdul Koyab BA dan ibunda tercinta Sayati yang selalu

memberikan semangat dan motipasi kepada saya, dan perhatian kasih dan

sayangnya kepada ananda . ibu bapak terimakasih atas semuahnya

2. Bapak Prof Dr. Zainun Kamalludin Faqih M.A. selaku dosen pembimbing,

penulis haturkan banyak terima kasih atas waktu dan usaha yang bapak

berikan kepada penulis guna menyelesaikan Skripsi ini. Penulis meminta

maaf jika dalam bimbingan banyak kesalahan dan cele yang penulis

lakukan. Semoga Allah memberikan keridoan kepada bapak.

3. KAJUR dan SEKJUR Perbandingan Agama, Bapak Drs. M. Nuh Hasan,

M.A. terimakasih atas semua yang bapak berikan, semoga bapak dalam

naungan kebahagiyaan Allah Swt.

Page 5: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

4. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pembantu-pembantu dekan

penulis ucapkan terimakasih. Semoga sehat selalu dan sukses selalu

5. Seluruh dosen perbandingan Agama yabng tak bisa penulis sebutkkan

namanya satu persatu. Terima kasih atas ilmu yang telah bapak berikan

kepada saya, semoga amal kebaikan bapak ibu sekalian di terima di sisi

Allah Swt.

6. Bapak rector UIN Syarif Hidayatullah jakarta beserta stsf-stafnya, yang

tak bias penilis sebutkan namanya satu-persatu.

7. seluruh karyawan Fakultas Ushuluddin dan anggotanya. Yang telah

meyediakan fasilitas buku-buku ilmiyah kepada Mahasiswa dan

mahasiswi.

8. Kepada bapak KH. Salahudi Al- Aiyubi M.Si. selaku seken MUI. Yang

telah menerima penulis dengan penuh kehengatan dan memberikan

inpormasi tentang fatwa-fatwa. MUI.

9. Kepada Suhu Ruwadi selaku pengurus sungha Mahayana tanah

terimakasih atas kesedianya.

10. Kepada bapak pendeta Adolp Nazara terimakasih

11. Kawan-kawan sekalian yang telah menemani penulis dari semester awal

hingga akhir terima kasih untuk temen-temen. Semoga sukses selalu.

12. dan semuah pihak yang telah membantu semua penyelesau skripsi ini good

luck to you Alll…..

Jakarta, 14Maret 2011

Page 6: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………i

DAFTAR ISI.…………………………………………………………………...iv

BAB I :PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah……………………………………..1

B. Rumusan Masalah……………………………………………5

C. Tujuan Penelitian……………………………………………..5

D. Metodeligo Penelitian..………………………………………5

E. Sistematika Penulisan….…………………….........................7

BAB II : PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAN PERSPEKTIF

AGAMA-AGAMA.

A. Pernikahan Beda Agama Dalam perpektif Islam……………8

B. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Katolik……….14

C. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektip Hindu..……….21

D. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Protestan……...23

E. Pernikahan Neda Agama Dalam Perspektif Buddha…….…24

BAB III : FATWA MUI TENTANG NIKAH BEDA AGAMA

A. Sekilas tentang Komisi Fatwa….………………………………..25

B. Susunan Pengurus Majlis Ulama Indonesia Tahun 2005-2010…..31

C. Fatwa Mui Nomor: 4/Munas: VII/MUI/8/2005 Tentang Pernikahan

Beda Agama….…………………………………………………..37

D. Dasar-dasar Fatwa MUI nomor; 4/MUNAS/VII/MUI/8/2005

Tentang Pernikahan Beda Agama……………………………….42

BAB IV : RESPON PARA PEMUKA AGAMA TERHADAP FATWA

MUI

A. Islam…………………………………………………………45

B. Protestan…………………………………………………….47

C. Katholik…………………..…………………………………48

D. Hindu……………….……………………………………….49

E. Buddha..………….………………………………………….49

BAB V ;PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………….51

B. Saran-saran………………………………………………….53

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 7: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan pengaruh

transformasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja

membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan

perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya.

Dalam hal ini fatwa menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan

yang ada di tengah-tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat

universalitas ajaran Islam. Dengan demikian hukum Islam (fiqh) harus selalu

dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fiqih sebagai aplikasi operasional

dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah sesuai dengan situasi yang

sering berubah pula.1 Dengan demikian sifat fiqih sangat fleksibel. Dalam sebuah

kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan al-hukmu yaduuru ma ’a illatihi

wujudan waadaman.

Pada dasarnya, hukum Islam (fiqh) dihadirkan dalam rangka

merealisasikan kemaslahatan umat manusia (li-tahqiq mashalih al-nas), yang

harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Dalam kerangka inilah selalu

diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Jangankan perbedaan antara umat sekarang

dengan masa lebih seribu tahun lalu; masa hidup Imam Syafi’i saja diperlukan dua

pendapat yang berbeda yang disebut dua pendapat berbeda yang disebut qaul

1 Ilyas Supena, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta: GamaMedia, 2002, hlm. 1.

Page 8: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

2

qadi m (pedapat Imam Syafi’i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) danqaul

jadid (pendapat Imam Syafi’iketika ia pindah ke Mesir).2

Dalam konteks ke-Indonesiaan salah satu upaya merealisasikan hukum

Islam yang dinamis adalah dengan adanya fatwa. Fatwa ini dikeluarkan apabila

terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian baik dilakukan oleh

lembaga yang berkompenten maupun kiai perseorangan. Fatwa merupakan

pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi

dalam masyarakat.3 Dalam hal ini masyarakat ada yang mengajukan kepada NU

yang kemudian dibahas dalam forum bahtsul masail, ada yang mengajukan ke

Muhammadiyah yang kemudian menggelar majelis tarjih dan ada pula yang

mengajukan ke MUI yang kemudian menggelar sidang fatwa. Dengan demikian,

fatwa tentang persoalan hukum biasanya dikeluarkan oleh lembaga atau

organisasi sosial keagamaan walaupun memang ada juga yang secara

perseorangan.

Perlu dijelaskan bahwa dalam dekade 1970 dan 1980-an MUI ditengarai

banyak mengeluarkan fatwa yang kontroversial dan cenderung ‘memihak’

pemerintah. Tidak jarang ‘tangan-tangan’ politik politik Orde Baru yang sedang

berkuasa sangat i nt ens mengintervensi masalah agama di dalam MUI.

Ini tentu tidak lepas dari sejarah Islam masa lalu. Dalam sejarah bisa

dilihat pertikain pemikiran “mazhab negara” dan “mazhab non negara” sampai

2A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 32.

3 Tim DEPAG RI, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal, Jakarta: DEPAG RI, 2004, hlm. 432.

Page 9: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

3

menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah.4 Nampaknya MUI pernah

mengalami intervensi negara yang begitu kuat meskipun tidak seluruh fatwanya

adalah ‘pesanan’ negara. Dalam hal ini Prof. Ahmad Rofiq menegaskan bahwa di

era 1990-an MUI mengalami revitalisasi terutama di era reformasi. Revitalisasi

peran MUI ini mengingat sejarah masa lalu MUI yang sering dinilai negatif.5

Dalam rangka revitalisasi ini maka MUI bekerjasama dengan Departemen

Agama mengumpulkan fatwa-fatwanya. Ini untuk menunjukkan bahwa MUI

sangat merespons perkembangan hukum terutama dalam konteks keinian. Dalam

pandangan KH. Ma’ruf Amin, MUI tidak akan membiarkan persoalan tanpa ada

jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak bisa dibenarkan, baik

secara i 'tiqady maupun syar’i. Karena itu para ulama dituntut segera memberikan

jawaban. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para

ulama, zu ’ama dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh

umat adalah lembaga yang mempunyaikompetensi untuk menyelesaikan

persoalan hukum yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah

mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun pemerintah.6

MUI sebagai organisasi keagamaan sangat vital dalam upaya memajukan

kehidupan keagamaan dan dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan

masyarakat. Peran yang dimiliki MUI selalu dinantikan realisasinya bukan saja

4 Sebagai contoh ketika al-Ma’mun berkuasa, maka Mu’tazilah resmi menjadi mazhab negara, sementara pada sisi lain Ahl al-Hadits yang dipimpin Imam Hanbali bertentangan dengan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga muncullah peristiwa mihnah. Dari sinilah terjadi penyiksaan dan pemenjaraan terhadap para tokoh pemikir Ahl al-Hadits. Belum lagi pertikaian lain yang tidak terhitung jumlahnya. Baca: Tedi Kholitudin (eds), Runtuhnya Negara Tuhan, Semarang: PMII, 2005, hlm. xxii

5 Ahmad Rofiq, fiqih Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 362. 6 KH. Ma’ruf Amin, Pengantar dalam Himpunan Fatwa MUI 2003, Jakarta, MUI Pusat, 2003, hlm. iv.

Page 10: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

4

menyangkut bidang keagamaan yang menjadi ciri khasnya, akan tetapi juga dalam

bidang lainnya seperti ekonomi dan pendidikan.

Dalam masalah fatwa MUI mempunyai sebuah komisi yang khusus

membidangi masalah ini yakni komisi fatwa. Komisi ini dalam menjalankan

tugasnya berdasar pada pedomena penetapan fatwa yang ada dalam MUI. Salah

satu fatwa yang dikeluarkan MUI adalah masalah pernikahan beda agama yang

dikeluarkan pada MUNAS MUI Tahun 2005. Fatwa ini merupakan salah satu dari

11 fatwa MUI yang pada saat difatwakannya banyak memicu kontroversi karena

adanya fatwa tentang paham Ahmadiyah, pluralisme dan liberalisme. Fatwa MUI

Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama ini pada

prinsipnya mempunyai kesimpulan hukum bahwa wanita muslim diharamkan

menikah dengan laki-laki non mulim atau laki-laki muslim diharamkan menikah

dengan wanita ahlul kitab. Dengan fatwa ini maka perlu diadakan kajian lebih

mendalam mengenaiFatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tersebut,

berikut dasar hukum serta pandangan para pemuka agama.

Penulis memandang perlu mengkaji Fatwa MUI Nomor: 4/Munas

VII/MUI/8/2005 ini, karena belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan

beda agama, dan terjadi kontroversi tentang hukum pernikahan beda agama

tersebut di kalangan ulama, dan mengangkatnya menjadi sebuah judul Skripsi

“Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Pernikahan Beda Agama

dan Respon Para Pemuka Agama Terhadapnya”.

Page 11: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

5

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

a. Bagaimana fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang

perkawinan beda agama?

b. Bagaimana dasar hukum fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005

tentang perkawinan beda agama?

c. Bagaimana pandangan para puka agama tentang fatwa MUI tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Untuk mengetahui fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang

perkawinan beda agama.

b. Untuk mengetahui dasar hukum fatwa MUI Nomor:

4/MunasVII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.

c. Untuk mengetahui pandangan para pemuka agama tentang pernikahan

beda agama.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk jenis penelitian dokumen sehingga dalam

penelitian ini metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran

terhadap dokumen berupa fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang

Page 12: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

6

perkawinan beda agama. Sumber data tersebut berupa literatur yang terkait

dengan substansi penelitian ini. Sumber data ini meliputi :

a. Sumber Primer

Yang dimaksud sumber data primer adalah bahan utama yang dijadikan

referensi. Dalam hal ini sumber data primer yang penulis gunakan

adalah dokumen tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005

tentang perkawinan beda agama.

b. Sumber Sekunder

Sumber penunjang sebagai bahan pendukung dalam pembahasan skripsi

ini yaitu buku-buku lain yang berisi tentang perkawinan beda agama

dalam hukum Islam misalnya hasil Bahtsul Masail NU dan buku masail

fiqhiyyah.

2. Metode Analisis Data

Adapun untuk menganalisa data setelah data terkumpul, maka dianalisis

dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.7 Metode ini digunakan untuk

mendeskripsikan fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang

perkawinan beda agama dan dasar hukumnya. Adapun yang dimaksud dengan

analisis adalah berfikir tajam dan mendalam. Dalam penelitian ini setelah

dideskripsikan tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 dan dasar

hukumnya kemudian akan dianalisis secara mendalam dengan pendapat-pendapat

lainnya tentang pernikahan beda agama.

Di samping itu juga penulis menggunakan metode content analisis,

7 Moh. Nadzir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghlia Indonesia, 1996, hlm. 63.

Page 13: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

7

yaitumerupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.8 Yang

dibutuhkan akan dikumpulkan dengan metode analisis terhadap buku atau

dokumen yang ada kaitannya dengan pembahasan ini, yaitu fatwa MUI Nomor:

4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat

sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu :

Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

Pada Bab II dibahas mengenai Pernikahan Beda Agama dalam Agama-

agama, baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha.

Bab III berisi pembahasan tentang Komisi Fatwa MUI, Fatwa MUI

tentang Pernikahan Beda Agama, dan Dasar-dasar yang digunakan Komisi Fatwa

dalam menetapkan fatwa tentang Pernikahan Beda Agama.

Bab IV membahas tentang Respon para Pemuka Agama baik Islam,

Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha terhadap Fatwa MUI tentang Nikah Beda

Agama.

Bab V yakni penutup yang meliputi kesimpulan, dan saran-saran.

8 Nong Muhadjir, Methode Penelitian Kulitatif, Yogyakarta: Rake Sarasis, 1989, hlm. 76.

Page 14: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

8

BAB II

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA

A. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA

ISLAM

1. Pengertian Nikah dalam Islam

Kalimat nikah diartikan dengan perkawinan. Nikah secara bahasa adalah

akad yang merupakan pengertian majaz, sedangkan secara hakikat nikah adalah

al-wathu (bersenggama).9 Namun ada pula yang berpendapat bahwa secara bahasa

nikah adalah al-wath’u yang merupakan pengertian majaz, sedangkan hakikat dari

makna nikah adalah akad.10

Dalam konteks keindonesiaan, oleh Kompilasi Hukum Islam dikatakan

bahwa pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidza) untuk

memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11 Dengan

demikian pernikahan bukan semata-mata sebagai hubungan atau kontrak

keperdataan biasa, akan tetapi ia mepunyai nilai ibadah.12 Nikah juga merupakan

sunnatullah sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah sekaligus sebagai

salah satu sunnah Nabi SAW.

Adapun yang menjadi dalil tentang nikah yaitu:

9 Djam'an Nur, Pengantar Fiqih Munakahat, (Semarang: Qina Utama, tt), hlm. 1. 10 Lihat: Taqiyuddin, Kifayah al-A khyar, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 115. 11 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam 12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 69.

Page 15: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

9

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-ruum : 21)13

Sementara itu, dalil yang meyatakan bahwa nikah adalah sunnah Nabi

SAW adalah sebagai berikut:

Artinya : Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka bukan termasuk golonganku. ” (Muttafaq alaih).14

2. Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah pernikahan orang

Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai

masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:

a. Pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik.

Menurut Nahdlatul Ulama haram hukumnya sebuah pernikahan antara

laki-laki muslim dengan wanita kafir yang bukan murni ahli kitab, seperti wanita

penyembah berhala, Majusyi, atau salah satu dari kedua orang tuanya adalah

orang kafir.15 NU mendasarkan pada firman Allah swt Al-Baqarah ayat 221

sebagai berikut:

13 Depag RI, A l - Qu r ’a n d a n Te r je ma h n y a , (Surabaya : Mahkota, 1989), hlm. 120. 14 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, S h ah i h a l -B u k h a r i , ( Penerbit Sulaiman Mar’i,

tt), hlm. 273. 15 Imam Ghazali Dan A. Ma.ruf Asrori (eds), Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Aktual

Hukum Islam, (Surabaya: Diantama, 2004), hlm. 435.

Page 16: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

10

Artinya : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-o rang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".16

Namun terdapat perberdaan pendapat di antara para ulama yakni tentang

siapa musyrikah yang haram dinikahi sebagaimana maksud ayat di atas? Menurut

Ibnu Jarir at-Thabari, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah

dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Alqur'an

memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka

menurut pendapat ini, seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita

musyrikah dari non Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang yang diduga

mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat

dengan ini.17

Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari

bangsa Arab maupun non-Arab selain Ahlu kitab tidak boleh dinikahi. Menurut

16 Depag RI, Op. Ci t . , hlm. 53-54. 17 Rasyid Ridla, Taf si r Al -Manar , Vol. VI, (Cairo, Dar al-manar, 1367 H), hlm. 187-190,

sebagaimana dikutip Masyfu' Zuhdi, hlm. 4.

Page 17: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

11

pendapat ini, siapapun yang bukan muslim atau ahlu kitab (beragama

Kristen/Yahudi) haram dinikahi.18

Menurut Yusuf Qardlawi, konteks ayat di atas, secara keseluruhan beserta

asbabun nuzulnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-kawafir

(perempuan-perempuan kafir), yakni al-watsaniyat (perempuan-perempuan

penyembah berhala).19

b. Pernikahan Antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlu Kitab.

Mayoritas ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh menikah

dengan wanita Ahlu Kitab (Yahudi/Kristen). Hal ini didasarkan pada firman Allah

dalam surat Al-Maidah ayat 5:

Artinya : "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".20

Nahdlatul Ulama dengan menukil berbagai kitab tafsir menegaskan bahwa

18 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991), hlm. 5. 19 Yusuf Qardlawi, Fa t wa- Fa t wa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 580. 20 Depag RI, Op . Ci t . , hlm. 158.

Page 18: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

12

yang dimaksud dengan al-Kitab adalah Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab lain

sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris dan Ibrahim a.s., karena kitab-kitab

tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun

dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya

saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat hikmah dan nasehat-nasehat,

dan tidak memuat hukum-hukum syari’at.

(Pernikahan sah) jika nenek moyang wanita-wanita kafir ahli kitab tersebut

belum pernah memeluk agama ahli kitab sesudah adanya penyalinan, sama saja

apakah telah mengetahui keadaan sebelumnya ataupun meragukannya, mengingat

keteguhan mereka dengan agama tersebut. Demikian halnya sah menikahi wanita

bukan Israel, jika nenek moyang mereka diketahui tekah menganut agama

tersebut sebelum perkawinannya, walaupun setelah adanya perubahan. Jika tidak

diketahui, maka pernikahannya tidak sah berdasarkan pendapat yang lebih tegas

dalam hal jika diragukan dalam kepemelukan agama tersebut.

Sah menikahi wanita Yahudi dan Nashrani dengan syarat yang telah

disebutkan perihal wanita Israel dan lainnya di atas, demikian pula dengan wanita

Samiri dan Sha ’ibah jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nashrani

dalam ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal-

hal yang tidak bersifat prinsip. Jika keduanya berbeda dalam ajaran pokok agama

Yahudi dan Nashrani, maka keduanya haram untuk dinikahi. Semua perincian ini

sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana tertera

dalam Muhtashar al-Muzan i .21

21 Lihat: Imam Ghazali Dan A. Ma.ruf Asrori (eds), Op.Cit., hlm. 433-437.

Page 19: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

13

Bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah

berhala menjadi Nashrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali

Islam. Hal ini karena dia telah mengakui ketidakbenaran agama yang

ditinggalkannya itu dan mengakui pula ketidakbenaran agama baru yang

dipeluknya.

Berdasarkan ayat 5 surat Al-Maidah di atas, dan dengan didukung oleh

sunnah Nabi dan praktik para sahabat, maka Ma’had Aly Situbondo (dengan

menukil pendapat para ulama) memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan

wanita ahlu kitab. Dalam hal ini Nabi menikah dengan Maria Qibtiyah (Muallaf).

Demikian pula sahabat Nabi seperti Usman bin Affan dan Hudzaifah menikah

dengan wanita ahlu kitab.22

c. Pernikahan antara seorang wanita muslim dengan pria non muslim

Ulama telah sepakat bahwa pernikahan antara seorang wanita muslimah

dengan laki-laki non muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang.

Disepakati, tidak sah wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, baik

merdeka maupun budak. Tidak sah pula wanita murtad menikah dengan siapapun,

tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan tidak

mengakui apapun, dan tidak sah pula menikah dengan laki-laki kafir karena masih

adanya ikatan Islam pada dirinya.

Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:

....... .......

Artimya : "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu 'min lebih baik dari

22 Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan Fiqih dengan Kekuasaan, (Yogyakarta:

LKiS, 2000), hlm. 281.

Page 20: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

14

orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu".23 (QS. al-Baqarah : 221)

Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan pria muslim.

Kenapa wanita muslim dilarang menikah dengan pria musyrik atau ahlu kitab,

sementara pria muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk menikah dengan

wanita ahlu kitab? Dalam hal ini bisa diberikan sebuah alasan hukum, bahwa surat

al-Baqarah ayat 221 memang samasama melarang wanita dan pria muslim untuk

menikah dengan musyrik atau musyrikah. Akan tetapi pada sisi lain Allah juga

berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 5 di atas yang menyatakan bahwa terdapat

wanita muhshanat (yang terpelihara) dari mu'minat dan ahlu kitab serta adanya

sunnah Nabi dan praktik sahabat. Dengan landasan ini maka kebolehan menikah

dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi pria muslim bukan sebaliknya. Dalam

hal ini AL-Jurjawi, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Yusuf Qardlawi

memberikan penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli

kitab semata-mata untuk menjaga iman. Sebab, ada stigma yang berkembang, istri

mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke

agama lain.24

B. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KATOLIK

I. Paham Gereja mengenai Pernikahan

“Perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan perempuan membentuk

antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada 23 Depag RI, Op. Cit., hlm. 53. 24 Lihat Al-Jurjawi, Juz II hlm. 33, Yusuf Qardlawi, hlm. 179, As-Shabauni, hlm. 289. semua

referensi pendapat ini dikutip melalui, Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan Fiqih dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 283.

Page 21: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

15

kesejanjadi sumi atau suami-istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak;

oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat

kemartabat sakramen.”25

“Karena itu antara orang-orang yang dibaptis; tidak dapat ada kontrak

perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.”26

Beberapa gagasan pokok mengenai perkawinan berdasarkan keterangan

diatas adalah:

1. Perkawinan pada hakekatnya merupaka sebuah perjanjian kasih setia

antara seseorang pria dan wanita.

Perjanjian kasih antara suami-istri merupakan pokok perkawinan katolik.

Kalau kita hadir dalam pemberkatan perkawinan di Gereja, salah satu bagian

penting dalam acara tersebut adalah masing-masing pengantin mengucapkan janji

perkawinan di hadapan Tuhan, imam, 2 orang saksi, dan hadirin lainya. Dengan

kemungkinan berbagai variasi yang berbeda, intinya tetap sama. Masing-masing

pihak menyatakan bahwa sejak saat itu mereka memilih pasagan yang menjadi

suami istri. Ia berjanji untuk mencintai pasaganya dalam suka dan duka. Ia

berjanji pula untuk menjadi bapak atau ibu yang baik bagi anak-anak yang

dipercayakan Tuhan kepada mereka. itulah yang disebut janji perkawinan. Janji

inilah yang membuat mereka melangsungkan perkawinan. Tanpa janji itu mereka

tidak mungkin melangsungkan Perkawinan. Janji kasih itu sendiri bukan

merupakan sesuatu yang baru sama sekali. Selama merka berpacaran dan secara

25 Lihat Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kanon 1055:1.

http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19/11/2010. 26 Lihat Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kanon 1055:2.

http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19/11/2010.

Page 22: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

16

khusus mempersiapkan perkawinan, Perlahan-lahan mereka mulai membangun

dan mewujudkan kasih itu sendiri. Dalam kesempatan perkawinan kasih yang

mereka hayati di nyatakan secara resmi dan menjadikan ikatan kasih mereka

berdua resmi pula. Mereka diakui sudah Menikah secar sah. Berbada dengan

paham konrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih membut pengakuan

spiritual dan dua pribadi dan kesamaan dalam kemampuan mereka untuk saling

memberi dan menerima secara utuh satu sama lain. Maka perjanjian

mengandaikan pilihan bebas, artinya orang tak bisa menikah secar terpaksa.

Perjanjian melibatkan pribadi yang utuh, melibatkan kesatuan spiritual, emosi,

dan fisik. Paham inilah yang diajarkan gereja seperti yang direfleisikan dalam

konsili Vatikan II. Perjanjian kasih juga mempunyai warna biblis yang mengacu

pada perjanjian kasih antar Allah dengan bangsa Israel dan memuncak dalam

hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya.27 Selanjutnya pada taraf yuridis

dengan perjanjian ini kedua mempelai memaski bersama-sama tekad mereka

untuk membangun persekutan yang paling dalam dan seluruh hidup. Itulah

sebabnya Gereja mengajarkan bahwa hubungan seksual (suami-istri) tidak

dibenarkan kalau dilakukan sebelum menikah resmi Menikah. Karena baru setelah

menikah masing-masing pasangan saling memberi dan menerima dan dengan

demikian ‘berhak’ atas pasanganya.

2. Perjanjian perkawinan tersebut membentuk kebersamaan seluruh hidup.

Hakekat perkawinan adalah kebersamaan hidup suami-istri dalam semua

aspeknya. Atau senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup. Istilah latin

27 Lihat Efesus 5: 25-26.

Page 23: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

17

yang dipakai untuk megungkapkan hakekat ini adalah ‘consortium totius vitae’.

(Con=bersama. Sors=nasib. Jadi senasib dalam kebersamaan). Artinya, berbagi

nasib (senasib sepenanggungan) dalam seluruh aspek kehidupan. Gagasan ini

dinyatakan dan dikatakan secara bagus pada waktu mempelai memberikan janji,

yaitu mau setia dalam suka maupun duka. Ungkapan ini sangat sederhana, namun

begitu kaya dan tidak selalu mudah untuk megucapkanya. Mudah diucapkan pada

saat menikah, bahkan lebih mudah lagi pada waktu pacaran. Tetapi mejadi tidak

mudah pada waktu mewujudkan dalam perjalanan hidup perkawinan selanjutnya.

Dalam hal ini sangat dibutuhkan semangat kerendahan hati, keterbukaan dan mau

berkorban. Dan pengalaman menunjukkan bahwa mengandalkan kekuatan sendiri

sering terasa terlalu berat mewujudkan janji tersebut. Namun, dengan berkat

Tuhan yang berat dan tidak mudah ini bisa diwujudkan pula dan membuahkan

kebahagiaan yang sering tidak terduga sebelumnya. Jelas bahwa, istilah seluruh

hidup dimaksudkan agar suami istri membangun perkawinan dan hidup

berkeluarga yang berkualitas. Hal itu berarti ada sikap penyerahan diri timbal

balik, kestiaan, usaha untuk membahagiakan, dll.28

3. Perkawinan dan kodratinya terarah untuk membangun kesejahtraan suami

istri.

Ada beberapa tujuan perkawinan. Salah satu yang pokok adalah

membangun kesejahtraan suami istri. Mereka bersama-sama mau mewujudkan

apa yang mereka cita-citakan, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Dasar dan

dorongan memujudkan kebahagiaan adalah api cinta yang tumbuh mekar dalam

28 http://gayamsari.multiply.com/journal diakses tanggal 22/10/2010.

Page 24: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

18

hati maing-masing pasangan dan pengalaman jujur, seiap orang yang memilih

pacar dan mau menikah dengannya dasarnya yang paling pokok adalah karena

dan lubuk hati yang paling dalam sayang dengan pasangan tersebut. Selalu

tumbuh kerinduan untuk bertemu bahkan memberikan yang paling baik. Itulah

pengalaman orang jatuh cinta. Api cinta ini perlu ditumbuhkan terus dan

dipelihara jangan sampai padam. Perkawinan sering mudah terasa hambar karena

dorongan yang paling dalam ini tinggal sedikit bahkan hampir lenyap. Karena

kedua belah pihak bertekad untuk membahagiakan pasangannya, maka penting

sekali sikap-sikap yang mendukung hal tersebut. Misalnya: saling menerima dan

menghargai pasangannya dan membantu supaya pasangannya semakin

bertumbuh. Mencoba bertuturkata yang baik terhadap pasangannya menghindari

kata-kata kotor dan tindak kekerasan terhadap pasangannya. Relasi suami istri

akan awet dan berlangsung hangat kalau masing-masing pandai merawar

dorongan cinta yang dianugrahkan Tuhan pada awal saling jatuh cinta. Unsur

perawatan ini sangatlah penting karena kalau sudah terlanjur dingin dan retak,

maka sulit sekali untuk ditumbuhkan kembali.

4. Perkawinan dan kodratinya terarah pada kelahiran dan pendidikan anak

Dalam hubungan kasih suami istri, ungkapan yang paling mendalam

adalah tindak persetubuhan suami istri. Melalui persetubuhan yang wujudnya

tindakan biologis terkandung pengalaman kasih dan penyerahan diri.

Persetubuhan ini pada kodratnya terarah untuk lahirnya kehidupan baru. Maka

kehadiran anak sering disitilahkan sebagai suatu buah kasih antar mereka berdua.

Karena persetubuhan merupakan ungkapan puncak dan cinta perkawinan, maka

Page 25: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

19

perlu dilaksanakan secara manusiawi. Tidak boleh masing-masing hanya

mementingkan kepentingan dan kebutuhan sendiri. Perlu dijauhi cara-cara dan

sikap yang tidak manusiawi, seperti kemungkinan tindak kekerasan seksual

kepada pasangannya.

Seandainya mereka tidak anugerahi seorang anak, tidak berarti dan

menjadikan alasan ini untuk bercerai ataupun membatalkan perkawinan. Karena

gereja mengajarkan bahwa: “anak-anak adalah buah kasih dan anugerah Tuhan

yang sangat istimewa dan menjadi kebahagiaan orang tuanya.” Namun masih ada

buah-buah lain dari suatu perkawinan misalnya, kedamaian dan kebahagiaan hati

hidup bersama dengan pasangannya.

5. Perkawinan sah antara dua orang yang sudah dibaptis oleh Tuhan Kristus

diangkat ke martabat sakramen

Salah satu paham khas Gereja Katolik tentang perkawinan adalah

pengakuan bahwa perkawinan diantara dua orang dibaptis bermartabat sakramen.

Sakramen secara umum berarti tanda dan sarana penyelamatan Tuhan. Maka,

melalui perkawinan Tuhan mewujudkan kasih dan menjadikannya sarana

penyelamatan.

II. Sifat-Sifat Perkawinan Katolik29

1. Perkawinan Katolik haruslah antara satu orang pria dan wanita

Perkawinan Katolik bersumber pada kasih Yesus Kristus kepada umat-

Nya. Dalam mengasihi umat-Nya, Yesus Kristus memberikan diri secara total

sampai tetes darah yang terakhir. Ia merelakan hidup-Nya demi keselamatan 29 http://www.linkpdf.com/ebook-

viewer.php?url=http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6206177187.pdf diakses pada tanggal 22/10/2010.

Page 26: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

20

manusia. Cinta Kristus yang total inilah yang harus dilakukan suami-istri. Artinya,

seorang suami harus memberikan cintanya secara total hanya pada satu istri saja.

Karena itu, perkawinan Katolik menolak poligami.

2. Perkawinan Katolik tidak bisa diceraikan

Gereja Katolik tidak mengenal perceraian. Karena itu, kesetiaan sampai

mati adalah mutlak bagi seorang yang akan menikah. Karena itu sesuai dengan

keteladanan Yesus Kristus yang mencintai umat-Nya secara total.

III. Perkawinan Beda Agama menurut Katolik

Gereja Katolik memberi kemungkinan untuk perkawinan beda agama

karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih

pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya. Ada dua jenis perkawinan

agama dalam Katolik, yaitu:30

1. Perkawinan beda gereja (seorang baptis katolik menikah dengan seorang

baptis non-katolik). Contohnya, seorang baptis Katolik menikah dengan

seorang baptis Protestan. Perkawinan semacam ini membutuhkan ijin.

2. Perkawinan beda agama (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang

yang tidak di baptis). Contohnya, seorang baptis Katolik menikah dengan

seorang Muslim, Hindu atau Buddha. Perkawinan semacam ini

memerlukan dispensasi

Untuk mendapatkan ijin atau dispensasi, maka pihak Katolik diwajibkan

membuat janji yang berisi dua hal, yaitu:

1. Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.

30 Wawancara Pribadi dengan Pdt. Adolf Ostieli Nazara.

Page 27: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

21

2. Pihak Katolik berjanji untuk berusaha dengan serius untuk mendidik dan

membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik.

Selain itu, pihak non-Katolik pun harus membuat janji yang berisi dua hal:

1. Ia tidak akan menghalangi pihak Katolik untuk melaksanakan ibadahnya.

2. Ia bersedia mendidik anak-anak yang akan lahir dalam Gereja katolik.

C. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HINDU

a. Pengertian Nikah

Bagi masyarakat Hindu, soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan

khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat

dalam berbagai sastra dan kitan hukum Hindu (smriti), dan dikenal dengan nama

“wiwaha”.31

Agama Hindu memandang perkawinan sebagai suatu yang suci.

Perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian

banyak sakramen mulai dari proses kelahiran (gharbadana) sampai proses

kematian (antyasti).32 Jadi, perkawinan menurut hukum Hindu adalah ikatan suci

antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk

keluarga yang utama, yaitu “Purusa”.33

b. Syarat-syarat Perkawinan dalam Hindu34

31 Gde Puja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, (Jakarta: Direktorat Jendral

Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, DEPAG, 1974), hlm. 9. 32 Gde Djaksa, Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Hindu Dengan Perkawinan Menurut

Undang-Undang No. 1/1974 Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: 1974), hlm. 41.

33 Gde Puja, Op. Cit., hlm 11. 34 Ketut N. Natih, DKK, Pembinaan Perkawinan Agama Hindu, (Jakarta: Yayasan Dharma

Sarathi, 1990), Cet.1, hlm. 25.

Page 28: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

22

1. Kedua mempelai telah menganut agama Hindu, jika calon mempelai

itu tidak beragama Hindu maka perkawinan tersebut tidak dapat

disahkan.

2. Dalam upacara pernikahan tersebut harus ada unsur persaksian, yaitu

triupasaksi yaitu saksi kepada manusia, saksi kepada bhuta dan saksi

kepada Tuhan.

3. Setiap perkawinan menurut agama Hindu harus diresmikan melalui

samskara (pembersihan).

4. Untuk mengesahkan perkawinan, menurut hukum Hindu harus

dilakukan oleh Brahmana/Pendeta/Rohaniawan, pejabat-pejabat

agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya.

c. Perkawinan Beda Agama dalam Hindu

Dari pernyataan diatas sudah sangat jelas bahwa Hindu tidak bisa

mensahkan perkawinan yang dilakukan oleh selain Hindu. Bagi pengesahan suatu

perkawinan, menurut hukum Hindu tidak ada suatu dispensasi yang

mengakibatkan bagi Brahmana untuk melakukan pengesahan upacara perkawinan

yang ia lakukan jika diantara kedua mempelai itu terdapat perbedaan agama.

Karena itu jalan yang lazim mereka tempuh dalam hal ini adalah menikah secara

adat saja atau memalsukan salah satu identitas pasangannya. Apabila kedua calon

mempelai berbeda agama, maka Brahmana (pendeta) baru bersedia mengesahkan

perkawinan tersebut jika pihak yang bukan Hindu telah Disuddhikan (disahkan)

sebagai pemeluk agama Hindu dan menandatangani Sudi Vadhani (surat

pernyataan masuk agama Hindu).

Page 29: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

23

D. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF PROTESTAN

Pandangan agama Kristen Protestan mengenai perkawinan berdasarkan al-

Kitab adalah:

a. Perkawinan sebagai suatu persetujuan hidup.

b. Perkawinan mempermiskin dan merusakkan jika perkawinan itu

dipandangan hanya dari sudut persetubuhan semata.

Jadi, perkawinan menurut agama Kristen Protestan adalah suatu

persekutuan hidup yang meliputi keseluruhan hidup. Yang menghendaki laki-laki

dan perempuan yang telah kawin supaya dua kelamin dari jenis yang berbeda

menjadi satu dalam kasih Tuhan, satu di dalam kasih-mengasihi, satu di dalam

kepatuhan, satu di dalam menghayati kemanusiaan mereka dan satu di dalam

memikul beban pernikahan.35

Dengan demikian, maka perkawinan itu menjadi suatu kesempatan untuk

memberi jawaban kepada soal mereka masing-masing di segala lapangan

kehidupan. Memiliki kesempatan untuk saling melayani agar mencapai

kebahagiaan dalam perkawinan.

Walau dikatakan agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya

menikah dengan orang yang bukan beragama Kristen Protestan, akan tetapi pada

prinsipnya agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal

dapat diketahui dari pandangan al-Kitab bahwa tujuan utama dari perkawinan

adalah kebahagiaan.

Oleh karena itu, agama Kristen Protestan memandang perkawinan sebagai

35 Rusli Tama, Perkawinan Beda Agama dan Masalahnya, (Bandung: Sartika Dharma, 1984), hlm.

23.

Page 30: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

24

perwujudan kasih sayang kepada manusia di dalam persekutuan kasih yang paling

dalam antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan

merupakan suatu perbuatan yang dikehendaki Tuhan.

1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.

2. Kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang lain.

3. Sekurang-kurangnya salah seorang calon mempelai merupakan anggota

jemaat Gereja yang bersangkutan.

Demi kesejahtraan perkawinan, geraja menganjurkan kepada umatnya

untuk mencari pasangan hidup yang seagama dengan mereka. Tetapi walaupun

demikian, karena menyadari umatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk

agama lainnya, gereja tidak melarang umatnya secara mutlak untuk menikah

dengan pemeluk agama lain.

E. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTI BUDDHA

Perkawinan beda agama memang tidak disarankan dalam agama Buddha.

Hal ini sesuai dengan petunjuk Sang Buddha tentang syarat kebahagiaan dalam

rumah tangga, salah satunya menyebutkan ‘keyakinan yang setara’. Sebenarnya

upacara perkawinan antar mereka yang beda agama tidaklah terlalu bermasalah

dalam agama Buddha hanya saja memang disarankan untuk satu agama.

Permasalahan bukan pada upacara perkawinannya, namun lebih pada kehidupan

dalam perkawinan itu sendiri.36

36 Wawancara Pribadi dengan Suhu Ruwadi.

Page 31: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

25

BAB III

FATWA MUI TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

A. Sekilas Tentang Komisi Fatwa

Komisi fatwa merupakan salah satu komisi Majelis Ulama Indonesia yang

membidangi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam yang ada di

tengah masyarakat yang memerlukan jawaban. Komisi fatwa MUI mempunyai

wewenang mengeluarkan fatwa mengenai:

a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat

Islam Indonesia secara nasional.

b. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke

daerah lain.

Adapun komisi fatwa MUI daerah mempunyai wewenang mengeluarkan

fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal (kasus-kasus di

daerah) dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan MUI / Komisi

fatwa MUI.

Dalam kinerjanya, komisi fatwa MUI maupun MUI daerah mempunyai

mekanisme dan prosedur penetapan fatwa yang menjadi pedoman dalam

mengeluarkan fatwa. Menurut KH. Ma’ruf Amin, adanya prosedur penetapan

fatwa ini karena tidak dibenarkan memberikan fatwa hanya didasarkan pada

keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan semata-mata tanpa didasarkan

pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa

didasarkan pada dalil. Tegasnya, setiap menyatakan suatu hukum haruslah dapat

Page 32: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

26

menunjukkan dalilnya, baik Al-qur'an, Hadis, maupun dalil hukum lainnya.

Menyatakan hukum tanpa didasarkan pada dalil-dalil hukum disebut tahakkum

(membuat-buat hukum).37 Perbuatan tahakkum harus dihindari, karena perbuatan

ini termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah dalam surat al-'A'raf: 33 :

Artinya : "Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang

keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."38

Dalam firman-Nya yang lain Allah secara tegas melarang tahakkum. Ini

dapat dipahami dari surat an-Nahl: 116:

Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.

Fatwa merupakan hal yang sangat penting dalam rangka memberikan

penjelasan dan penerangan kepada umat Islam utamanya dalam hal yang berkaitan

baik dalam status hukum maupun kepantansan dan etika menurut agama. Dalam

memberikan fatwa, MUI merumuskan persoalan yang memerlukan jawaban 37 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama

Indonesia, 2010), hlm. 3-4. 38 Depag RI, Al-Qur ’an dan Terjemahnya, (Surabaya : Mahkota, 1989), hlm. 226.

Page 33: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

27

sesuai dengan bidang yang diperlukan. Lalu diedarkan kepada anggota komisi

fatwa MUI untuk diteliti secara seksama. Kalau terdapat beberapa pendapat yang

berbeda dari para ulama, lalu diadakan pertemuan untuk membahas persoalan

tersebut sampai mendapatkan rumusan penjelasan yang dapat diterima sesuai

dengan dalil naqli maupun aqli.

Komisi fatwa MUI merupakan lembaga independen yang terdiri dari para

ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang

memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. MUI dengan seluruh

anggota komisi fatwanya selalu berpegang kepada al-Qur'an dan al-Sunnah

dengan memperhatikan pendapat para ulama terdahulu dan juga menggunakan

kaidah ushuliyah/fiqhiyyah. Di dalam mensikapi dan berinteraksi dengan

kelompok yang berbeda, MUI tidak fanatik dengan mazhab, kelompok maupun

negara. Putusan MUI ini merupakan putusan lembaga bukan perorangan yang

tujuannya adalah mencapai kebenaran dengan menjaga kebenaran proses

kesimpulan dalil, tujuan-tujuan syara', realitas keadaan, perubahan situasi dan

kondisi serta pencurahan segala kemampuan untuk menetapkannya.39

Terdapat mekanisme dalam menetapkan fatwa yakni dengan didasarkan SK

Dewan Pimpinan MUI No. U-634/MUI/X/1997 maka mekanisme kerja komisi

fatwa secara singkat adalah sebagai berikut:40

Penyelesaian masalah:

1. Setiap surat masuk ke komisi fatwa yang berisi permintaan fatwa atau

masalah hukum Islam dicatat dalam buku surat masuk, dilengkapi dengan

39 Wawancara Pribadi dengan Drs. K.H. Salahuddin Al-Ayubbi M.Si 40 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 6.

Page 34: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

28

asal (pengirim) dan tanggal surat, serta pokok masalahnya.

2. Semua surat masuk diseleksi oleh tim khusus untuk ditentukan

klasifikasinya.

Prosedur rapat:

1. Ketua komisi fatwa atau melalui rapat komisi, berdasarkan dari tim khusus

menetapkan prioritas masalah yang dibahas dalam rapat komisi fatwa serta

menetapkan waktu pembahasannya.

2. Ketua komisi, atau melalui rapat komisi, dapat menunjuk salah seorang

atau lebih anggota komisi untuk membuat makalah mengenai masalah

yang akan dibahas.

3. Undangan rapat komisi, pokok masalah akan dibahas dan makalah sudah

harus diterima oleh anggota komisi dan peserta rapat lain (jika ada)

selambat-lambatnya tiga hari sebeleum tanggal rapat.

4. Peserta rapat komisi fatwa terdiri dari anggota komisi dan peserta lain

yang dianggap perlu.

5. Rapat komisi fatwa dipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya.

6. Rapat komisi fatwa dinyatakan sah jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya

setengah dari peserta yang diundang rapat atau jika dipandang perlu telah

memenuhi quorum oleh peserta yang hadir.

7. Hasil rapat komisi fatwa dicatat oleh sekretaris komisi fatwa.

Keputusan fatwa:

1. Hasil rapat komisi fatwa dirumuskan menjadi keputusan fatwa oleh tim

khusus, kemudian ditandatangani oleh ketua dan sekretaris komisi.

Page 35: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

29

2. Keputusan fatwa sebagaimana dimaksud point 1, dilaporkan kepada dewan

pimpinan / sekreatriat MUI untuk kemudian ditanfidzkan dalam bentuk

surat keputusan fatwa majelis ulama indonesia.

3. Setiap surat keutusan fatwa yang ditanfizkan diberi nomor dan

ditandatangani oleh ketua umum, sekretaris umum, dan ketua komisi fatwa

MUI.

4. Surat keputusan fatwa MUI dikirim kepada pihak-pihak terkait dan seluruh

anggota komisi fatwa serta MUI daerah.

5. Keputusan dipublikasikan pula melalui mimbar ulama dan penjelasannya

dalam bentuk artikel.

Di samping adanya mekanisme, dalam menetapkan fatwa MUI sudah

menetapkan metode penetapan fatwa yang tertuang dalam SK Dewan Pimpinan

MUI Nomor: U-596/MUI/IX/1997. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa dasar-

dasar umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:41

1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan

Sunnah Rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan dengan

kemaslahatan umat.

2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana

ditentukan di atas, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan

ijma', qiyas yang mu'tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti

istihsan, maslahah mursalah, dan sadz adzri'ah.

3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-

41 KH. Ma'ruf Amin, Op. Cit, hlm. 13-14.

Page 36: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

30

pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan

dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang

dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil

keputusan fatwanya dipertimbangkan.

Adapun prosedur penetapan fatwa MUI adalah sebagai berikut:42

1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih

dahulu dipelajari dengan seksama oleh anggota komisi atau tim khusus

sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.

2. Mengenai masalah yang jelas hukumnya hendaklah komisi menyampaikan

sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada

nashnya dari al-Qur'an dan Sunnah.

3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang

difatwakan adalah hasil tarjih telah mempertimbangkan fiqih muqaran

dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran yang

berhubungan dengan pentarjihan.

4. Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif serta

memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang,

komisi menetapkan fatwa.

5. Setiap keputusan fatwa harus ditanfidzkan setelah ditandatangani oleh

Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).

6. SKF harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah

42 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 5.

Page 37: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

31

oleh masyarakat luas.

7. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai dengan uraian dan

analisis secara ringkas serta sumber pengambilannya.

8. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan

rekomendasi atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi SKF

tersebut.

B. Susunan Pengurus Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005-201043

Nukilan lampiran:

Surat keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.

Kep-35/MUI/I/2010 tentang Susunan Pengurus Antar Waktu Dewan Pimpinan,

Anggota Pleno, dan Komisi-Komisi MUI Masa Bakti 2009-2010.

I. Dewan Penasehat MUI (Majelis Ulama Indonesia)

1. Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan Ketua

2. KH. M. Kafrawi Ridwan, MA Wakil Ketua

3. Dr. H. Fuad Amsyari Wakil Ketua

4. Ir. H. Azwar Anas Wakil Ketua

5. H. M. Maftuh Basyumi Anggota

6. Prof. Dr. H. Quraisy Shihab Anggota

7. Dr. H. Tarmizi Thaher Anggota

8. Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH Anggota

9. KH. Hasyim Muzadi Anggota

43 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 26-29.

Page 38: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

32

10. Prof. Dr.A. Syafii Ma’arif Anggota

11. KH. Abdullah Faqih Anggota

12. Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat Anggota

13. H. Fachrudin Masturo Anggota

14. Prof. Dr. Hj. Chamamah Suratno Anggota

15. Drs. H. Irsyad Djuwaeli Anggota

16. Drs. H.A. Chalid Mawardi Anggota

17. H. Ismael Hasan, SH Anggota

18. Prof. Dr. H. Muardi Chatib Anggota

19. Dra. Hj. Asmah Syahroni Anggota

20. KH. Syuhada Bahri, Lc Anggota

21. Prof. Drs. H. Aswadi Syukur, Lc Anggota

22. KH. Cholid Fadlullah, SH Anggota

23. H. Yudo Paripurno, SH Anggota

24. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi Anggota

25. H. Aziddin, SE Anggota

26. KH. Abdurrahman Nawi Anggota

27. KH. Syukron Makmun Anggota

28. KH. Abdur Rasyid AS Anggota

29. Drs. H.A. Mubarok Anggota

30. Dr. H. Muslim Ibrahim Anggota

31. Drs. H. Rusydi Hamka Anggota

32. Dr. Hj. Suryani Thaher Anggota

Page 39: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

33

33. Prof. Dr. Hj. Aisyah Girindra Anggota

34. Prof. Dr. H. Muslimin Nasution Anggota

35. Prof . Dr. H. Roem Rowi Anggota

36. KH. Dr. Maghtur Usman Anggota

37. Prof. Dr. H. Salim Bajerei Anggota

38. Prof. Dr. H. Sutarmadi Anggota

39. Dr. H. Sulastomo, MPH Anggota

40. Drs. H. Abdurrahman Anggota

41. H. Yos Sutomo Anggota

42. Drs. H. Zaidan Djauhari Anggota

43. Geys Ammar, SH Anggota

44. KH. Tb. Fadhlul’Azmi Anggota

45. Dr. H. Deding Ishak, SH, MH. Anggota

Sekretaris (ex officio) : Drs. H. M. Ichwan Sam

Wakil Sekretaris : Drs. H. Irfan, SH, MPd

II. Dewan Pimpinan Harian

Ketua Umum : Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudh

Wakil Ketua Umum : Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin

Ketua : Prof. Dr. H. Umar Shihab

Ketua : Prof. Drs. KH. Asmuni Abdurrahman

Ketua : KH. Ma’ruf Amin

Ketua : Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasi, MA

Page 40: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

34

Ketua : Drs. H. A. Nazri Adlani

Ketua : Drs. H. Amidhan

Ketua : Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, MA

Ketua : KH. A. Cholil Ridwan, Lc.

Ketua : Prof. Dr. Hj. Khuzaemah T. Yanggo

Ketua : Dr. Hj. Tuty Alawiyah

Ketua : Prof. Dr. H. Amir Syarifudin

Sekretaris Umum : Drs. H. M. Ichwan Sam

Sekretaris : Dr. H. Amrullah Ahmad, S.Fil.

Sekretaris : Dr. H. Anwar Abbas, MM

Sekretaris : Drs. H. Zainut Tauhid Saadi

Sekretaris : Dra. Hj. Welya Safitri, M.Si.

Bendahara Umum :

Bendahara : Dra. Hj. Juniwati T. Masjchun Sofyan

Bendahara : Dr. H. Fahmi Darmawansyah, MM

Bendahara : Drs. H. Achmad Djunaedi

Nukilan Lampiran:

Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia (MUI) No.Kep-

35/MUI/2010 tentang Susunan Pengurus Antar Waktu Dewan Pimpinan, Anggota

Pleno dan Komisi –Komisi MUI Masa Bakti 2009 – 2010.

Page 41: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

35

Komisi Fatwa

Penasehat : K.H. Ma’ruf Amin

Ketua : Dr. H.M. Anwar Ibrahim

Wakil Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

Wakil Ketua : Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA

Wakil Ketua : Dr. H. Masyhuri Na’im, MA

Wakil Ketua : Prof . Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA

Sekretaris : Dr. H. Hasanuddin, M.Ag

Wakil Sekretaris : Drs. H.M. Aminuddin Yakub, MA

Wakil Sekretaris : Dr. H.M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA

Wakil Sekretaris : Drs. H. Sholahuddin al-Aiyubi, M.Si

Anggota :

. Drs. K.H. Hafiz Usman

. Drs. K.H. Ghazalie Masroerie

. K.H. Tb. Hasan Basri

. Drs. K.H. Saifuddin Amsir

. Prof. Dr. K.H. Muslim Nasution, MA

. Prof. Drs. H.M. Nahar Nahrawi, SH, MM

. Drs.H. Asnawi Latief

. Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA

. Dr. K.H. A. Munif Suratmaputra, MA

. Dra. Hj. Mursyidah Thahir, MA

. Dra. Hj. Maria Ulfa MA

Page 42: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

36

. Drs. H. Zafrullah Salim, SH, M.Hum

. Drs. H. Ali Zardjas, SH

. Dr. H. A. Fattah Wibisono, MA

. H. Mas’adi Sulthoni, MA

. H. Nurul Iman, MA

. Prof. Dr. H. Syamsul Anwar

. K.H. Ahmad Suhaili

. K.H. Yakub Lubis

. Dra. Hj. Muslimah Syukri, MA

. Dr. Hj. Isnawati Rais, MA

. Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, MA

. K.H. Muhammad Sofwan Kosasih

. H. Abdul Wahhab Abd. Muhaimin, Lc, MA

. Drs. H. Sopa, MA

. Dr. H. Muchlis Hanafi, MA

. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA

. Drs. Agus Salim Dasuki, M.Eng

. K.H. Abdul Manan, MM

. Dr. H. Setiawan Budi Utomo, Lc

Ditetapkan : Jakarta, 13 jumadil Awal 1428 H 30 Mei 2007 M

Page 43: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

37

B. Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda

Agama44

Dalam MUNAS MUI yang ke VII pada Tahun 2005 di Jakarta, MUI

mengeluarkan 11 fatwa MUI yang salah satunya adalah fatwa tentang pernikahan

beda agama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikutip seutuhnya keputusan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang

Pernikahan Beda Agama.

Majelis ulama Indonesia (MUI), dalam Musyarah Nasional MUI VII pada

tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005M., setelah:

Menimbang:

a. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan beda agama.

b. Bahwa pernikahan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di

antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengudang keresahan di

tengah-tengah masyarakat.

c. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang

membenarkan pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan

kemaslahatan

d. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentaraman kehidupan

berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang

pernikahan beda agama untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :

1. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ (4):

44 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 472-477.

Page 44: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

38

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

2. Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (21)

Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".

3. Firman Allah dalam QS. Al-Tahrim (6)

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ".

4. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5)

Page 45: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

39

Artinya : "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".

5. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (221)

Artinya : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ".

6. Firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah (10)

Page 46: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

40

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

7. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ (25)

Page 47: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

41

Artinya : "Dan barangsiapa diantara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain , karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji , maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

8. Hadits Rasululllah SAW

فاظفر بذات الدین تربت یداك. تنكح المرأة األربع، لمالھا، ولنسبھا، ولجمالھا، ولدینھا

Artinya : "Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena keturunannya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu bepegang teguh kepada perempuan yang memeluk agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tanganmu”. (HR. Bukhari Muslim dari sahabat Abi Hurairah RA)

9. Kaidah Fiqh

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya : “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”

Memperhatikan :

1. Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan

campuran.

2. Pendapat sidang komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Page 48: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

42

Dengan tawakkal kepada Allah SWT,

MEMUTUSKAN

Menetapkan: FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab, menurut qaul

mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

Dari deskripsi di atas, fatwa MUI tentang pernikahan beda agama ditafsil

menjadi dua, yakni pernikahan beda agama haram dan tidak sah tanpa ada qayyid,

sedangkan yang kedua khusus pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli

kitab yang dihukumi haram dan tidak sah. Dalam hal ini fatwa item kedua ini

yang sesungguhnya banyak dipersoalkan, karena dalam Alqur'an, hadis maupun

literatur fiqih klasik pernikahan model ini secara mendetail telah dibahas dan

jumhur ulama membolehkan.

C. Dasar-dasar Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang

Perkawinan Beda Agama

Lembaga fatwa merupakan lembaga independen yang terdiri dari para ahli

ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang

memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. Untuk itu, lembaga ini

dengan seluruh anggotanya selalu berpegang pada dasar-dasar yang sudah baku

dan menjadi aturan yang dijadikan pedoman penetapan fatwa. Sesuai dengan

Surat Keputusan Dewan Pimpinan tahun 1997 yakni setiap keputusan fatwa harus

mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu'tabarah, tidak

Page 49: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

43

bertentangan dengan kemaslahatan umat, ijma', qiyas yang mu'tabar, dan

didasarkan pada dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah,

dan sadz adzri'ah. Dengan demikian. dalam menetapkan fawa, MUI berdasar pada

prosedur penetapan fatwa yang telah ditetapkan.

Dalam menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama, MUI mengacu

pada prosedur penetapan fatwa di atas. Hal ini semata-mata untuk menjaga bahwa

fatwa yang dikeluarkan MUI secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil

yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah baku dalam mengeluarkan fatwa.

Dalam mengaplikasikan prosedur penetapan fatwa tentang pernikahan

beda agama, MUI mendasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an, Hadits, dan

menggunakan kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah.45 Sebelum terbitnya SK MUI

Tahun 1997, MUI dalam menetapkan fatwa sering sekali hanya mencantumkan

konklusi hukum tanpa adanya pencantuman al-Qur'an, Hadits, bahkan kaidah

fiqhiyyah. Karenanya, dalam Munas VII tahun 2005, MUI telah mengalami

kemajuan dalam penggunaan dasar-dasar hukum secara lebih rinci dan sistematis

dalam pengambilan fatwa sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan oleh

dewan pimpinan pusat.

Dasar yang digunakan dalam pernikahan beda agama dalam Munas VII di

Jakarta adalah al-Qur'an QS. An-Nisa' ayat 3, QS. Al-Rum ayat 30, QS. At-Tahrim

ayat 6, QS. Al-Maidah ayat 5 dan 25, QS. Al-Baqarah: 221, QS. dan al-

Mumtahanah ayat 10.

Di samping ayat-ayat al-Qur’an, MUI mendasarkan fatwanya kepada

45 Kaidah fiqhiyyah adalah dalil-dalil umum (al-’adillah al-’ammah /legal theory) sedangkan

kaidah fiqih adalah patokan hukum secara umum (‘ibarat ‘anil akhkam al-‘ammah/legal maxim).

Page 50: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

44

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang

pentingnya kualitas agama calon istri yang dapat membawa pada keberuntungan

dan keselamatan.46

Adapun kaidah ushuliyah yang dipakai adalah sadz adzri'ah. Hasbi as-

Shiddiqy mendefinisikan bahwa sadz adz-dzariah adalah mencegah sesuatu yang

menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang

menyampaikan seseorang kepada kerusakan.47 Sedangkan kaidah fiqhiyyah yang

digunakan adalah dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih.

46 Lihat: Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al -Bukhari , (Penerbit

Sulaiman Mar’i, tt), hlm. 243. 47 Hasbi As-Syiddiqi, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Rizki Putra, 1997), hlm. 220.

Page 51: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

45

BAB IV

RESPON PARA PEMUKA AGAMA TERHADAP FATWA MAJELIS

ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH BEDA AGAMA

A. Respon Pemuka Agama Islam Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah

Beda Agama

Yang dengan Pernikahan Beda Agama adalah Pernikahan orang Islam

(pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita). Ada beberapa

perbedaan hukum mengenai masalah ini:

a. Pernikahan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik dan

sebaliknya.

Para ulama bersepakat bahwa pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan

wanita Musyrik adalah tidak boleh hukumnya hal ini didasarkan pada firman

Allah SWT:

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-

Page 52: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

46

perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”48 Dr. Hasan Luthfy At Tamimy49 mengatakan sebagaimana dikutif dari kitab

al-um karangan imam Syafi’I beliau mengatakan bahwa pernikahan seorang laki-

laki Muslim dengan wanita Musyrik adalah haram hukumnya. Yang dimaksud

wanita musyrik disini adalah para penyembah berhala.

b. Pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlu Kitab

Pernikahan semacam inilah yang sering menjadi perdebatan baik di

kalangan para ulama maupun para cendikiawan Muslim. Yang menjadi

permasalah adalah ahlu kitab yang seperti apa? Dan apakah masih ada ahlu kitab

di jaman sekarang ini?.

Ahlu kitab sebagaimana yang dimaksud oleh Nahdlatul Ulama adalah

orang-orang yang mempercayai kitab Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab lain

sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris dan Ibrahim. Karena, menurut

Nahdlatul Ulama kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara sistematik. Artinya,

para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, atau

karena kitab-kitab tersebut hanya memuat hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak

memuat hukum-hukum syari’at.50

Yang menjadi permasalah sekarang adalah apakah ahlu kitab masih exist

dijaman sekarang ini?. Dr. Hasan Luthfy At Tamimy berpendapat bahwa ahlu

kitab masih ada sampai sekarang. Beliau mengartikan ahlu kitab sekarang ini

sebagai seorang yang masih mempercayai bahwa kitab yang mereka miliki adalah

adalah dari Tuhan mereka. Beliau juga mengistilahkan Kristen Koptik sebagai

48 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), hlm. 53-54. 49 Beliau adalah Lektor Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Syafi’I Jakarta 50 http://www.nu.or.id

Page 53: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

47

ahlu kitab dan dia bisa dinikahi.

c. Pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim

Pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim baik

musyrik maupun ahlu kitab para ulama telah bersepakat bahwa pernikahan

semacam ini adalah dilarang. Alasan pelarangan ini didasarkan pada:

……. .........

Artinya: “…..sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang Musyrik, walaupun dia menarik hatimu…..”

Ada juga alasan lain yang melarang pernikahan semacam ini yaitu tentang

stigma yang berkembang dimasyarakat jika pernikahan semacam ini

diperbolehkan dikhawatirkan sang istri akan terpengaruh dan terperdaya sehingga

berpindah keyakinan.

B. Respon Pemuka Agama Protestan Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah

Beda Agama

Bagi Protestan pernikahan adalah suatu persekutuan hidup yang meliputi

keseluruhan hidup yang menghendaki laki-laki dan perempuan yang telah kawin

yang berbeda menjadi satu dalam kasih Tuhan.

Walau dikatakan agama Protestan tidak melarang umatnya menikah

dengan orang yang bukan Protestan, akan tetapi tetap saja pada prinsipnya

Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal ini dapat diakui dari

pandangan al-Kitab bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah kebahagiaan.

Page 54: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

48

C. Respon Pemuka Agama Katolik Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah

Beda Agama

Pernikahan bagi Katolik adalah sesuatu yang sangat sakral. Jika seseorang

telah menikah maka ia tidak boleh diceraikan oleh manusia. Hal ini terdapat

dalam Matius51 sebagimana yang dijelaskan oleh Pdt. Adolf Ostieli Nazara.

Didalam pasal 2 ayat 24 Matius dikatakan “Sebab itu seorang laki-laki akan

meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga

keduanya menjadi satu daging”.

Lebih jauh Pdt. Adolf pun mengatakan bahwa Katolik tidak menginginkan

kawin campur karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam

katolik dan juga perkawinan beda itu bukan merupakan sebuah sakramen

sedangkan Katolik sangat menjunjung tinggi nilai sakramen.

Kalaupun harus terjadi pernikahan beda agama dalam Katolik, maka harus

mendapatkan ijin dari keuskupan dan melakukan beberapa perjanjian diantaranya:

1. Pihak Katolik harus berjanji bahwa ia akan setia pada Iman Katolik.

2. Dia harus bersedia untuk mendidik dan membaptis anak-anaknya secara

katolik.

3. Pihak non-Katolik jangan menghalangi pihak yang Katolik untuk

beribadah.

4. Pihak non-Katolik juga harus bersedia agar anak-anaknya dididik dan

dibaptis secara Katolik.

51 Lihat Matius 19: 6 “ Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Page 55: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

49

D. Respon Pemuka Agama Hindu Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah

Beda Agama

Perkawinan dalam Hindu adalah suatu ikatan suci antara seorang pria

dengan wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama. Hindu

secara jelas sangat menentang pernikahan beda agama dilihat dari salah satu

syarat pernikahan dalam Hindu, yaitu “ kedua mempelai telah menganut agama

Hindu, jika calon mempelai itu tidak menganut agama Hindu maka perkawinan

tersebut tidak dapat disahkan.”52

Kalaupun terjadi pernikahan beda agama, maka orang yang tidak

menganut agama Hindu harus bersedia untuk di suddhikan (disahkan) sebagai

pemeluk agama Hindu dan menandatangani Sudi Vadhani (surat pernyataan

masuk agama Hindu).

E. Respon Pemuka Agama Buddha Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah

Beda Agama

Agama Buddha sebenarnya tidak nyarankan pemeluknya untuk melakukan

nikah beda agama karena dikhawatirkan adanya konflik pada kehidupan dalam

perkawinan itu sendiri. Jadi, kalaupun harus terjadi pernikahan beda agama dalam

Buddha maka harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

a. Ada persetujuan dari keluarga kedua belah pihak.

b. Tidak ada pemaksaan untuk memeluk satu agama tertentu jika pernikahan

telah berlangsung.

52 Lihat, Ketutn N. Natih, DKK, Pembinaan Perkawinan Agama Hindu, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), hlm. 25.

Page 56: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

50

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pernikahan adalah sebuah upacara yang sangat sakral bagi semua agama.

Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak saling

menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh bahtera

rumah tangga.

Sejatinya pernikahan yang akan dilakukan oleh sepasang laki-laki dan

perempuan bisa berjalan dengan tanpa ada permasalahan jika pernikahan yang

akan dilaksanakan oleh sepasang calon tersebut sama memiliki latar belakang

keyakinan yang sama, contohnya Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen,

dan lain sebagainya.

Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan terjadi pernikahan dengan latar

belakang keyakinan yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan

pernikahan beda agama. Bisa saja, orang Islam menikah dengan orang-orang non-

Islam baik itu Katolik, Protestan, Hindu Buddha, Konghucu dan lain sebagainya,

baik itu pria maupun wanita.

Pernikahan semacam inilah yang sering menimbulkan perdebatan panjang.

Karena ada semacam stigma negatif yang berkembang yang menyatakan bahwa

pernikahan beda agama sering dianggap sebagai cara halus untuk membawa

pemeluk salah satu agama menjadi pemeluk agama lain.

Pangkal perdebatan tersebut sekarang telah merambat hingga pada

Page 57: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

51

permasalahan penafsiran teks-teks suci, baik itu al-Qur’an dalam Islam sampai al-

Kitab dalam katolik. Ada banyak pro dan kontra bila kita membicarakan masalah

penafsiran teks-teks suci ini. Pihak-pihak yang menolak pernikahan beda agama

biasanya hanya menggunakan penafsiran dengan metode tekstual saja dalam

memahami teks-teks suci tanpa memandang realitas sosial yang terjadi.

Berdasarkan latar belakang perdebatan penafsiran teks-teks suci itulah,

akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa yang

menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah.

Fatwa tersebut diambil MUI guna menyikapi makin maraknya pernikahan

beda agama yang terjadi di Indonesia. Banyak sekali dalil-dalil yang digunakan

MUI dalam menetapkan fatwa tersebut. Tetapi apakah MUI mengetahui bahwa

agama-agama di Indonesia baik itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha

sekalipun memperbolehkan pernikahan beda agama.

Walaupun awal mulanya agama-agama tersebut melarang pernikahan beda

agama, tetapi tetap saja pada akhirnya mereka memperbolehkannya juga

walaupun dengan adanya embel-embel syarat yang harus dipenuhi.

Katolik misalnya memperbolehkan nikah beda agama asalkan dengan sarat

pihak yang beragama Katolik tetap pada keyakinannya setelah ia menikah dan

pihak non-Katolik tidak memaksakan untuk berpindah keyakinan.

Dari uraian tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa fatwa yang

dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia tentang pernikahan beda agama adalah

kurang relevan. Karena sepertinya MUI hanya mengambil keputusan berdasarkan

teks-teks suci tanpa melihat realita dan pendapat dari agama-agama lain. Karena

Page 58: FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4082/1/WAHYU SUNANDAR-FUH.pdf · Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga

52

pernikahan beda agama bukan hanya menyangkut Islam saja tetapi lebih bersifat

umum antar agama lainnya.

Menurut penulis fatwa MUI yang mengharamkan nikah beda agama

adalah lemah karena dengan alasan dan data-data yang telah penulis kumpulkan

pernikahan beda agama dibolehkan oleh semua agama-agama walaupun dengan

embel-embel. Sepertinya MUI mengambil keputusan memukul rata artinya

mengambil keputusan hanya dari satu pihak saja tanpa melibatkan berbagai tokoh

agama. Padahal pernikahan beda agama ini tidak hanya melibatkan pihak Islam

tapi juga pihak dari agama-agama lain. Dalam hal ahlul kitab dan musyrik pun

sepertinya MUI memukul rata padahal banyak sekali literatur-literatur yang

membolehkan menikahi wanita ahlul kitab. Mungkin saja MUI menganggap

bahwa sekarang ini wanita ahlul kitab sudah tidak eksist lagi.

B. SARAN

Saran yang ingin penulis lebih tekankan khususnya adalah kepada MUI

agar setiap menetapkan fatwa jangan hanya berdasarkan teks-teks suci saja,

cobalah untuk melakukan penelitian langsung lapangan atau berdiskusi dengan

para penganut agama-agama lain.

Bukankah dalam memahami teks-teks suci tersebut selain dengan berpikir

harus juga dengan observasi langsung. Apakah pemahaman teks-teks suci dengan

berpikir sesuai dengan realita yang ada.