10. posmo paradigm
TRANSCRIPT
De-Signs of the Times: Paradigma-paradigma Posmodern
Strukturalisme dan Semiotika
Ilmu yang mempelajari kehidupan tentang tanda-tanda dalam masyarakat adalah masuk akal; ini akan menjadi sebuah bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, menjadi bagian dari psikologi umum; aku akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani semeion = “tanda”). Semiologi akan menunjukkan apa saja yang menjadi unsur-unsur dari tanda-tanda, apa hukum-hukum yang mengatur mereka. Ketika ilmu ini belum eksis, tak seorang pun dapat mengatakan tentangnya; tapi, ia mempunyai hak untuk eksis, sebuah wilayah yang mendapat pengawasan terlebih dahulu.Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (1916)
Strukturalisme (studi tentang struktur-struktur budaya) dan ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan semiotika (ilmu tentang tanda-tanda),
keduanya terlahir oleh sebuah teks tunggal, yaitu, Course in General
Linguistics, yang ditulis oleh pakar linguistik Swiss, Ferdinand de
Saussure (1857-1913), setelah kematiannya.
Dalam praktek, dua karya Saussure ini sulit untuk dibedakan,
tapi pada garis besarnya, keduanya dapat didefinisikan sebagai
berikut:
Strukturalisme adalah istilah yang lebih inklusif. Ia mengacu
pada penelitian untuk sturktur-struktur “mendalam” umum,
yang melandasi ranah yang luas dari ekspresi-ekspresi budaya.
Sebuah contoh dari antropologi adalah analisa Claude Levi-
Strauss tentang mitos: banyak mitos yang tampak berbeda,
sebenarnya mempunyak “makna” yang sama (menyediakan
fungsi yang sama) ketika mereka beroperasi dengan cara yang
sama (mempunyai struktur yang sama). Para strukturalis dari
satu jenis atau jenis lain mungkin juga ditemukan di kalangan
para filosuf, sejarawan, psikolog, dan kritikus sastra, disamping
pakar linguistik.
Semiotika adalah sebuah cabang dari strukturalisme. Ide
dasarnya adalah bahwa semua jenis perilaku itu bersifat
komunikatif, untuk mengatakan bahwa mereka adalah
“penanda”. Segala sesuatu dari gambaran detail tentang apa
saja yang menjadi perhatian anda mengenai sebuah aksi
perang, dapat dipahami sebagai sebuah “tanda” yang analog
bagi sebuah kata atau kalimat. Semiotika mempelajari sistem-
sistem, yang serupa dengan bahasa, dimana tanda-tanda
semacam ini mengandaikan adanya makna (yang ditandai).
Mayoritas dari pakar semiotika sekarang ini adalah para
teoritisi sastra atau para mahasiswa perfilman, karena citra
mereka sebagai orang yang sangat mencintai Perancis, yang
merokok secara terus-menerus.
Saussure menyebut dirinya sendiri sebagai bukan seorang
strukturalis (sebuah istilah yang belum ditemukan) dan bukan juga
seorang pakar semiotika (meskipun dia menemukan istilah ini),
tapi dalam karya ilmiahnya the Course, dia mengajukan konsep-
konsep fundamental yang umum bagi masing-masing.
Dia mulai dengan menyerang bias sejarah dan bias komparatif
dari pakar linguistik di masanya. Para pakar linguistik, kebanyakan
menyibukkan diri mereka dengan ide-ide penting yang menjadi
bahan perdebatan tentang sejarah, perkembangan, dan saling
keterhubungan dengan bahasa-bahasa modern. (Dia menyebut ini
sebagai aspek “diakronik” sejarah/temporer). Saussure
mempertahankan pendapatnya bahwa studi-studi semacam ini
sebagai meletakkan kereta di depan kuda, karena para pakar
linguistik tidak mempunyai teori yang memadai tentang bagaimana
bahasa berfungsi dalam semua waktu (dalam aspek strukturalnya
atau aspek “sinkronik”). Bayangkan para ilmuwan yang
mempelajari evolusi manusia tanpa memahami biologi atau
fisiologi, dan anda akan memahami apa yang sedang dikeluhkan
oleh Saussure.
Saussure bertujuan untuk menyembuhkan kelemahan ini.
Pertama, dia memerinci bahasa menjadi dua komponen: langue
(struktur dan aturan-aturan tentang bahasa) dan parole (bahasa
sebagaimana ia diucapkan). Langue, pada intinya, adalah
sinkronik---ia adalah sebuah sistem abstrak dan dibakukan dan
tidak berubah kapanpun. Parole bersifat cair dan diakronik---
pembicaraan adalah merangkai kata-kata pada suatu waktu, dan
sementara diatur oleh konvensi-konvensi dari langue, ia
berlangsung dalam waktu singkat dan cenderung cepat berubah.
(Pikirkan tentang langue sebagai kamus raksasa yang tidak
penting-bersama dengan---buku panduan grammar).
Saussure berpikir bahwa untuk dapat memahami secara
mendalam tentang bagaimana bahasa bekerja, kita pertama kali
harus memahami langue, yang bersifat lebih fundamental daripada
parole. Inilah teorinya: langue adalah sebuah struktur dari tanda-
tanda yang, secara inheren, tidak mempunyai makna atau dalam
keadaan terisolasi, tapi hanya sebagai bagian dari sistem. Kata tree
(pohon), misalnya, adalah sebuah tanda linguistik dengan sebuah
makna bagi orang –orang yang berbahasa Inggris. Tapi, jika anda
mengatakan “tree” kepada seorang warga kepulauan Aleut di
Alaska, ia tidak mempunyai makna sama sekali. Sebuah kata
mempunyai makna hanya jika ia mempunyai sebuah tempat khusus
dalam sebuah sistem tanda-tanda (misalnya, bahasa Inggris).
Selanjutnya, ia tidak mengandung makna aslinya ketika terjadi
penggabungan suara yang melahirkan kata tree, tapi lebih karena
ia adalah berbeda dari semua tanda-tanda lain dalam bahasa
Inggris.
Poin Saussure yang paling mendasar adalah bahwa tanda-tanda
linguistik (suara-suara, kata-kata, frasa-frasa, kalimat-kalimat, dll.)
tidak mempunyai makna yang esensial; dalam dan tentang diri
mereka, mereka adalah hampa makna. Makna dihadirkan oleh
sistem tanda-tanda---sistem tentang perbedaan-perbedaan---yang
sepenuhnya netral. Tidak ada alasan yang diperlukan bagi kata
tree agar diingat oleh pikiran sebagai citra dari sebuah pohon;
tidak ada alasan yang diperlukan oleh kata “tetapi” yang bermakna
kontradiksi; tidak ada alasan tentang penambahan suara s di akhir
kata-kata dalam bahasa Inggris yang membuat mereka bersifat
plural. Semua makna-makna ini didefinisikan oleh konvensi,
sebagaimana tercakup dalam langue; makna adalah sebuah produk
budaya.
Yang membawa kita pada poin dimana semiotika muncul
pertama kali dari strukturalisme: pembedaan antara suatu
penanda (suara, tanda, atau isyarat) dan yang ditandai (konsep
yang diasosiasikan atau citra). Misalnya, suara-suara yang anda
buat saat anda mengatakan kata tree, atau tanda-tanda yang anda
buat pada halaman buku saat anda menuliskannya, mencakup
suatu penanda; citra mental atau konsep dari sebuah pohon (tree)
adalah benda yang ditandai yang diasosiasikan. Kombinasi dari
penanda dan yang ditandai menciptakan tanda; dan kenetralan
dari tanda ini berasal dari fakta bahwa penanda dan yang ditandai
hanya dihubungkan oleh konvensi atau kesepakatan bersama.
Dengan menyadari kenetralan dari tanda-tanda, ini hanyalah
langkah pertama dari seorang strukturalis atau analis semiotika.
Langkah selanjutnya adalah menguji sistem atau struktur
dibaliknya. Tokoh sentral dari strukturalisme adalah bukan
seorang pakar linguistik, melainkan seorang antropolog, Claude
Levi-Strauss, seorang yang menganut keyakinan yang kokoh bahwa
anda tidak dapat memahami ritual, keyakinan, praktek,
pertukaran, atau mitos tertentu kecuali anda memahami struktur
keseluruhan (seperangkat pola-pola) dari suatu budaya yang
diandaikan, yang tersembunyi dan tidak disadari. Jika anda
mengambil sebuah mitos, misalnya, anda tidak dapat
memahaminya hanya dengan menganalisanya secara terpisah---
katakanlah melalui psikoanalisa atau mencari dasar pijakan
historisnya. Apa yang perlu anda lakukan adalah melihat secara
menyeluruh pada mitos-mitos budaya untuk menemukan “bahasa”
mitis yang mendalam dibalik itu. bahasa ini, pada esensinya,
bersifat bipolar---seperangkat oposisi-oposisi (murni/tidak murni,
subur/mandul, mentah/matang, dll.) yang dapat berakhir dengan
berbagai macam cara dalam setiap mitos.
Semiotika, meskipun bersifat tersembunyi dalam karya-karya
Saussure dan rekan semasanya, filosuf Charles S. Peirce, benar-
benar berangkat dari tulisan-tulisan dari kritikus Perancis, Roland
Barthes (1915-1980). Barthes juga mempelajari mitos, tapi dia
memperluas konsep ini untuk mencakup keragaman yang luas dari
kode-kode budaya dan keyakinan-keyakinan. Dalam Mythologies
(1957), dia mengelola signifikansi budaya tentang segala sesuatu
dari otak Einstein bagi penanganan profesional, menguji cara-cara
obyek dan tindakan mengemban makna-makna kedua atau bahkan
makna-makna ketiga dalam sebuah budaya. Sebuah contoh dari
saya: warna-warna dan pola-pola tertentu pada sepotong kain
menandakan bendera negara; sebuah bendera negara menandakan
identitas nasional; identitas nasional mengimplikasikan
patriotisme; patriotisme mengimplikasikan kepatuhan pada
negara; dan lain-lain.
Barthes kemudian melatih wawasan-wawasannya pada sastra,
misalnya dalam karya masterpiece-nya S/Z (1970), sebuah studi
tentang kisah Honore de Balzac “Sarrasine”. Yang ingin
ditunjukkan oleh Barthes adalah bahwa apa yang “dimaksudkan”
oleh sebuah karya tertentu, sebagiannya ditentukan oleh
keragaman kode-kode yang luas, beberapa kode semantik,
beberapa kode ideologis, beberapa kode estetis, dan lain-lain.
Setiap teks (atau, jika anda inginkan, setiap penulis) berupaya
untuk menempatkan beberapa batasan pada bagaimana kode-kode
ini berfungsi, sehingga pembaca mengalami perasaan-perasaan
dan makna-makna yang diinginkan. Hingga pada tingkat bahwa
sebuah teks sukses dalam proyek ini, ini adalah “bersifat pembaca”
(readerly)---yang disesuaikan ke arah konsumsi yang pasif. Tapi,
tak ada penulis atau karya yang dapat mengontrol semua kode dan
membatasi watak ekspansif atau permainan bebas dari makna-
makna yang melebihi niatan semula. Hingga pada tingkat bahwa
seorang pembaca berpartisipasi dalam memilah-milah dan
merangkai makna-makna yang melampaui yang diperlukan, dia
membuat teks ini menjadi “bersifat penulis” (writerly)---sebuah
obyek tentang konsumsi yang aktif.
Selama masa keemasannya di tahun 1950-an dan 1960-an,
strukturalisme berakar dalam keragaman dari disiplin ilmu-ilmu
kemanusiaan, yang memunculkan aliran-aliran pemikiran yang
sekarang ini disebut dengan “pos-strukturalis”. Pergerakan-
pergerakan seperti dekonstruksi filsafat dan psikoanalisa Lacanian
layak memperoleh sebutan yang menimbulkan keraguan ini
karena, disamping sebagai strukturalis, mereka mempertanyakan
beberapa asumsi-asumsi strukturalisme---misalnya, superioritas
pembicaraan dari tulisan atau koherensi tentang topik manusia.
Untuk pembahasan lebih jauh dari salah satu pergerakan yang
menyenangkan dan menarik ini, lihat DEKONSTRUKSI, hal....
Grammar Universal
Menurut pakar linguistik, Noam Chomsky (lahir tahun 1928), yang
sekarang ini mungkin terkenal dengan kuliah-kuliah politiknya, otak
manusia tidak bersifat tabula rasa ketika ia dihadapkan pada soal
bahasa. Jumlah bahasa manusia yang sangat banyak, baik yang masih
ada maupun yang telah punah, adalah sangat serupa dalam struktur
secara kebetulan. Otak, pikirnya, harus tersambung dan terhubung
(hard-wired) dengan suatu “grammar universal” yang memungkinkan
anak-anak untuk belajar bahasa dengan sangat cepat, tapi yang juga
merancang batasan-batasan tentang seperti apa bahasa itu.
Chomsky mengasalkan ide ini dari studinya tentang sintaksis,
yang merupakan penyusunan kata-kata penuh makna dalam sebuah
kalimat. “Kucing ada di atas karpet” (The Cat is on the mat)
menunjukkan sintaksis bahasa Inggris yang sempurna (dan dengan
demikian mempunyai sebuah makna), sementara “Kucing karpet di
atas adalah” (Cat mat the on is) tidak demikian. Ketika Chomsky
memulai karirnya, sintaksis bukanlah sebuah topik yang banyak
diperbincangkan; strukturalisme sedang berada di puncak
kejayaannya, dan kaum strukturalis jauh lebih banyak menaruh
perhatian pada sifat dari “tanda” linguistik (kata/konsep yang
berpasangan) daripada tentang grammar atau struktur kalimat-
kalimat yang koheren.
Chomsky juga tertarik dengan struktur, tapi tidak begitu banyak
dalam struktur permukaan bahasa (penggunaan aktual dari tanda-
tanda) sebagaimana dalam apa yang ia sebut sebagai “struktur
mendalam”. Dengan mengobservasi bahwa, praktis, semua anak-anak,
apapun kecerdasan bawaan mereka, akan dengan mudah dan dengan
cepat dapat memiliki kompetensi dasar dalam berbahasa, Chomsky
berteori bahwa manusia harus berbagi beberapa kemampuan
linguistik bawaan, saat lahirnya. Ini adalah kemampuan untuk belajar,
dari mendengarkan hanya sejumlah kecil dari semua kalimat yang
mungkin, grammar dasar dan aturan-aturan untuk mentransformasi
kalimat-kalimat menjadi kombinasi-kombinasi yang baru.
Poin utama Chomsky adalah bahwa, ketika tak satu pun dari
kita yang mempelajari aturan-aturan grammar sebelum belarjar cara
berbicara, otak harusnya mempunyai kemampuan grammatika yang
built-in (sudah terkonstruk di dalam otak sejak lahir). Ketika kita
mengajarkan kepada seorang anak kalimat “Lihatlah tempat berlari,”
kita tidak (dan tidak perlu) men-diagram kalimat ini menjadi unsur-
unsur grammatikal. Seorang anak bagaimanapun telah mengetahui
bahwa kombinasi suara-suara ini adalah mengandung makna, dan
sudah mempunyai pemahaman tentang bagaimana kata-kata saling
sesuai untuk menciptakan makna.
Selanjutnya, suatu studi komparatif tentang bahasa-bahasa yang
beraneka ragam di dunia ini menunjukkan bahwa hampir semua dari
mereka didukung oleh sekelompok kecil dari struktur-struktur
grammatika yang umum. Kombinasi subyek-kata kerja-obyek,
misalnya, adalah mendekati universal. Bahkan struktur-struktur yang
lebih sederhana, seperti klausa-klausa relatif, cenderung untuk
terlihat sama dalam setiap bahasa. Kalimat berbahasa Inggris “Buku
yang saya baca” (The book that I read) menurut ucapan bahasa
Perancisnya adalah: “Le livre que j’ai lit”: ini adalah grammar yang
sama. Padanan kalimat ini dalam bahasa Ibraninya yang agak
berbeda---mungkin menjadi “Buku yang saya membacanya,” (The
boook that I read it) sebuah bentuk yang kita temukan dalam bahasa-
bahasa lain (bahkan kadang-kadang dalam bahasa Inggris). Dua
bentuk dasar ini, “yang saya baca” dan “yang saa membacanya,”
menggambarkan klausa relatif dalam setiap bahasa yang dikenal dan
yang dipraktekkan. Mengapa hanya dua bentuk ini, ketika yang lain
dapat melakukan pekerjaan yang sama? Mengapa “Buku yang saya
baca” dan bukan “Buku yang oleh aku yang membaca yang dilakukan
di masa lalu” (The book by me reading it past time done) atau formasi
lain yang seperti ini?
Jawaban Chomsky adalah grammar universal: sebuah grammar
yang mengizinkan kita untuk mempelajari bahasa apa saja dengan
contoh dan membatasi cara-cara yang mungkin dalam membentuk
sebuah frasa atau kalimat yang mengandung makna. Dan meskipun
biasanya terdapat beberapa cara untuk mengucapkan hal yang sama,
masing-masing cara harus menderivasikan, dengan bantuan dari
aturan-aturan bawaan dan baku tentang transformasi, yang disebut
Chomsky sebagai “struktur yang mendalam” (deep structure) dari
kalimat. Misalnya, kalimat yang diucapkan “John mudah merasa puas”
adalah sebuah transformasi dengan aturan-aturan ketat dari kalimat
yang lebih eksplisit dan primitif “Adalah mudah untuk menyenangkan
John” (“ubah posisi obyek John ke posisi awal dan hapuskan subyek
‘it’”). Kalimat serupa yang berbunyi “John ingin sekali untuk
menyenangkan (“John is eager to please”) yang dihasilkan dari
“struktur mendalam” yang sangat berbeda---yaitu, “John ingin sekali
untuk menyenangkan seseorang”---melalui sebuah aturan
transformasi yang berbeda. Bahwa kita secara insting memahami
semua aturan ini, dan bahwa kita dapat mengerti banyak kalimat yang
kacau atau kalimat yang ambigu, mendukung teori suatu grammar
universal.
Jika benar, teori Chomsky menempuh jalan panjang menuju
penjelasan tentang bagaimana manusia itu dapat mengatakan apa
saja yang baru. Jika akuisisi bahasa itu bersifat empirik murni---
dengan kata lain, jika kita mempelajari semua bahasa hanya dari
tindakan mendengar---maka, akan menjadi sulit untuk menjelaskan
bagaimana kita dapat berbicara secara kreatif selain dari sekadar
mengulang-ulang apa yang telah kita dengar. Kemampuan untuk
mengganti kata-kata yang baru dan ide-ide menjadi bentuk-bentuk
kalimat yang telah dipelajari, setidaknya, haruslah bersifat bawaan.
Selanjutnya, Chomsky meyakini, struktur-struktur mendalam
yang terdapat di bawah permukaan bahasa, harusnya mempunyai
beberapa keterhubungan esensial bagi proses konstruksi otak.
Dengan demikian, sebagaimana yang dia kemukakan, bahasa adalah
suatu “cermin dari pikiran” (Reflections on Language, 1975). Dalam
suatu cara yang paling mendasar, apa yang dapat kita pikirkan
sebagai terhubung dengan apa yang dapat kita katakan, tidak harus
karena pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep ini pada esensinya
bersifat linguistik (meskipun beberapa pihak akan mengatakan
demikian), tapi karena organ otak dikonstruk untuk memiliki
pembicaraan, dan cara ia dikonstruk harusnya menentukan cara kita
berpikir.
Ide-ide Chomsky membawa perubahan yang sangat revolusioner
dalam ilmu linguistik dan ilmu kognitif, dan ide-ide ini masih berperan
sangat besar dalam kedua disiplin ilmu ini. (Tapi, pandangan-
pandangan Chomsky telah mengalami perkembangan secara
bertahap; dia sekarang menyusun sebuah versi dari teorinya yang
disebut dengan “minimalism”.). Teori-teorinya jelas mempunyai
keterbatasan-keterbatasan, khususnya ketika ia mulai memahami
memahami tindakan berbicara, yang sangat menarik perhatiannya
daripada tentang hal-hal yang potensial untuk dibicarakan. Dinamika-
dinamika percakapan dan nuansa-nuansa yang tidak disadari tentang
komunikasi praktis, adalah melampaui grammar universal; kadang-
kadang, permukaan itu lebih penting dari kedalaman. Bahwa kita
semua mampu untuk berbicara secara kreatif tidak berarti bahwa kita
semua dapat melakukan itu, dan bahwa kita dapat mengatakan dan
memahami “I love you” atau “Waspadalah terhadap
ocehan tak berguna, putraku” tidak berarti bahwa kita akan
melakukannya.
Dekonstruksi
Tentu saja, ini bukan sebuah pertanyaan tentang memilah-milah kembali konsep yang sama tentang penulisan dan tentang membalik hal-hal yang tidak simetris [pembicaraan atas tulisan] yang sekarang telah menjadi problematis. Ini lebih berupa sebuah pertanyaan tentang memproduksi sebuah konsep baru tentang menulis. Konsep ini dapat disebut dengan gram (sesuatu yang tertulis) atau differance. Peran dari differances, sebenarnya, mengandaikan sintesa-sintesa dan acuan-acuan (referrals) yang mencegah pada momen apapun, atau dalam pemahaman apapun, bahwa sebuah unsur sederhana hadir dalam dan dari dirinya sendiri, yang mengacu hanya pada dirinya sendiri. Apakah dalam tertib (order) wacana pembicaraan atau wacana tulisan, tidak ada unsur yang dapat berfungsi sebagai sebuah tanda tanpa proses mengacu pada unsur lain yang dirinya sendiri, sungguh-sungguh, hadir. Hasil-hasil yang serba jalin-menjalin ini pada masing-masing “unsur”---fonem [unit suara] atau grapheme [tanda tertulis]---yang tersusun pada basis dari jejak di dalamnya dari rangkaian sistem unsur-unsur yang lain. Proses jalin menjalin ini, tenunan ini, adalah teks yang dihasilkan hanya dalam transformasi dari teks lain. Tak ada satupun, tidak juga di antara unsur-unsur, tidak juga dalam sistem, dimana saja berada, yang sungguh-sungguh hadir atau absen. Yang ada hanyalah, dimana saja berada, perbedaan-perbedaan dan jejak-jejak dari jejak-jejak.Jacques Derrida, “Semiologi and Grammatology” (1968)
Well, ini menjelaskan segalanya! Tapi sebenarnya, adalah sulit untuk
menyalahkan siapapun karena melewatkan poin inti dari
dekonstruksi, ketika tulisan seorang dekonstruksionis begitu berbelit-
belit dan kompleks. Meskipun ini dapat menimbulkan sedikit
gangguan untuk melihat istilah dekonstruksi sedang merebak dimana-
mana, dengan cemoohan terhadapnya, ketika kebanyakan dari
mereka yang menggunakan dan mengejek istilah ini tidak mengetahui
apa yang sedang mereka bicarakan.
Au contraire (Sebaliknya), beberapa pihak mengatakan; adalah
para dekonstruksionis, terutama pemimpin mereka, Jacques Derrida
(lahir tahun 1930), yang melakukan penyalahgunaan istilah ini.
Diantara dosa-dosa para pendukung dekonstruksi, kata mereka,
adalah yang memutar-balikkan bahasa dan mengingkari semua yang
benar dan baik. Para pendukung dekonstruksi mengatakan bahwa
tidak ada sesuatu yang disebut dengan kebenaran, bahwa segala
sesuatu bersifat relatif, bahwa nilai-nilai moral adalah suatu ketololan,
dan bahwa makna telah dirampas. Dekonstruksi, singkatnya, berada
di balik semua kejahatan masyarakat modern, dari kebenaran politik
menuju relativisme moral dan relativisme estetika.
Terdapat suatu kadar tertentu dari kebenaran dalam distorsi-
distorsi ini, tapi ini adalah kepanikan yang tidak perlu dan tidak pada
tempatnya. Karena fakta yang sederhana adalah bahwa Derrida dan
rekan-rekan, mereka tidak benar-benar mengadakan kampanye
nihilistik1 untuk menghancurkan kebudayaan. Mereka hanya ingin
menghancurkan tradisi metafisik dalam filsafat Barat, yang dalam
pikiran mereka adalah sebuah benteng dari bahasa absurd yang
dibangun di udara.
Inilah poin utamanya, ringkasnya, bagi siapa saja dari anda
yang dapat hidup tanpa detail-detail: bahkan sejak era sebelum
Sokrates, para filosuf telah merancang ideal-ideal seperti
1 Nihilisme = doktrin yang menyatakan bahwa semua nilai adalah tidak mempunyai dasar dan bahwa tak ada satupun yang dapat diketahui atau dikomunikasikan. Penerjemah.
“kebenaran”, “orisinalitas”, “wujud”, dan “kehadiran”, dan terus
berlanjut untuk mengkonstruk sistem-sistem berdasarkan pada
kategori-kategori ini dan kategori-kategori yang berlawanan dengan
mereka. Mimpi filosofis adalah untuk menemukan dan mengklarifikasi
prinsip-prinsip metafisik yang mendasar ini. Tapi, mereka semua
penuh dengan lubang-lubang, dan upaya apapun untuk mendukung
mereka, secara tak terhindarkan, akan penuh dengan tautologi-
tautologi dan kontradiksi-kontradiksi diri.
Sekarang, untuk detail-detail yang kotor; para pembaca yang
lebih waras mungkin akan terus melanjutkan langkah mereka. Sebuah
awal yang bagus untuk memulai adalah karya terbaik dan paling
terkenal dari Derrida yaitu, Of Grammatology (1967), yang terus
menyerang secara gencar beragam target, termasuk tulisan-tulisan
strukturalis dari Saussure dan Levi-Strauss. Saussure, kata Derrida,
mempublikasikan sebuah kesalahan yang sudah berlangsung sangat
lama dengan memperlakukan pembicaraan (speech) sebagai sesuatu
yang lebih murni dan lebih orisinal daripada tulisan. Pembicaraan
diandaikan sebagai memberi kehadiran dan tubuh bagi pemikiran,
sementara tulisan hanyalah sekadar parasit, sebuah copy yang kalah
penting dari pembicaraan. Derrida menyebut doktrin ini sebagai
logosentrisme.
Saussure dan para pendahulunya tidak hanya berhenti sampai
disini saja. Logosentrisme hanyalah sekadar sebuah gejala dari
kecenderungan metafisik untuk mengobrak-abrik realitas menjadi dua
hal yang saling berlawanan, satu aspek adalah “kebaikan” dan aspek
lain adalah “keburukan”. Bahasa ucapan itu sendiri, dalam pemikiran
Saussure, diperinci menjadi dua bagian yang berlawanan, yang
disebut “hal-hal yang ditandai” (makna-makna) dan “penanda-
penanda” (suara-suara yang menunjuk pada makna-makna); hal-hal
yang ditandai adalah lebih penting dan lebih substansial daripada
penanda-penanda (signifiers), yang adalah tidak bermakna dan netral.
Sebuah daftar parsial dari hal-hal yang berlawanan ini mencakup:
Ucapan : tulisan
Yang ditandai : penanda
Di dalam : di luar
Hadir : absen
Presentasi : representasi
Sentral : marjinal
Serius : retoris
Ada : tidak ada
Benar : salah
Alam : budaya
Para filosuf metafisika memandang dunia ini dalam istilah-istilah yang
sedemikiran rupa dan, sadar atau tidak sadar, memperlakukan unsur
yang pertama dari masing-masing yang berpasangan ini sebagai lebih
orisinal, lebih murni, dan lebih baik daripada unsur yang kedua. Apa
yang tidak mereka lakukan adalah berhenti untuk mempertanyakan
logika dari pembuatan pembedaan-pembedaan seperti ini. Tidak juga
mereka menjelaskan bagaimana perbedaan-perbedaan semacam ini
dapat muncul di tempat pertama jika ucapan, alam, dan lain-lain,
adalah begitu murni, hadir dan baik.
Tujuan dari dekonstruksi adalah tidak untuk membatalkan hal-
hal yang berlawanan seperti ini, yang akan menjadi cukup idealistis
dan romantis. Tidak juga ia ingin menunjukkan bahwa istilah-istilah
yang merupakan unsur kedua (tulisan, penanda, dapat di-indera, dll)
ini adalah lebih baik dalam kenyataan ketimbang unsur yang pertama
(ucapan, yang ditandai, hal yang dapat dimengerti, dll), yang akan
hanya berupa memainkan game yang sama yang merupakan langkah
mundur. Tapi, tujuan dekonstruksi lebih untuk menunjukkan bahwa
perbedaan-perbedaan diantara istilah-istilah di atas, menyembunyikan
suatu saling-ketergantungan atau atau kesamaan.
Marilah kita ambil contoh tentang pembedaan antara
ucapan/tulisan. Dalam penjelasan filsafat tradisional, ucapan
disetarakan dengan “kehadiran” dari seorang pembicara, dengan
beberapa pemahaman. Sang pembicara hadir dalam tubuh saat dia
berbicara, tapi pembicaraannya juga merupakan presentasi langsung
dari pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya. Tulisan, pada
sisi lain, didefinisikan dengan ketidakhadiran dari sang penulis: anda
dapat membaca kata-kata Rousseau meskipun Rousseau telah mati.
Ketidakhadiran Rousseau secara fisik juga membuat upaya untuk
memahami berbagai hal yang dimaksudkan oleh Rousseau menjadi
sulit: jika satu dari kalimat-kalimatnya tampai ambigu atau
membingungkan, anda tidak dapat menelponnya untuk menanyakan
apa yang dia maksudkan. Dengan menetapkan makna yang “benar”
dari karya tulisnya adalah termasuk membuat dugaan yang
berdasarkan pada pengetahuan.
Penolakan Derrida, terletak pada, bahwa ucapan (speech) itu
tidak lebih aman ketimbang tulisan dari (bahaya) ketidakhadiran,
kebingungan, atau kesalahan. Ucapan, dalam kenyataan, adalah
semua hal tentang ketidakhadiran, ketika jika sesuatu itu hadir
(terlihat oleh) di depan mata atau pikiran dan maknanya atau
tujuannya telah menjadi jelas, maka, tidak akan ada alasan untuk
membicarakannya. Kita berbicara untuk menujukan pada berbagai
hal---obyek-obyek, ide-ide, sikap-sikap, dan lain sebagainya---yang
belum ada disana atau yang belum menjadi jelas. Dan ketika kata-kata
tidak memerintahkan berbagai hal yang diucapkan untuk menjadi
hadir, mereka hanya memperkuat kembali ketidakhadiran mereka.
Meskipun kita berbicara untuk menghadirkan apa yang tidak
hadir, untuk mengisi ruang, dan untuk mengimbangi kebisuan
(silence) dan kehampaan, dalam kenyataan, semua yang kita lakukan
adalah menghasilkan penanda-penanda, bukan menghasilkan hal-hal
yang ditandai. Inilah yang dimaksudkan Derrida ketika dia, secara
ambigu, menyindir bahwa “Il n’y a pas de hors-text”---Tidak ada yang
ada di luar teks.” Dengan jargon “teks” ini, dia memaksudkan sebagai
menelusuri perbedaan-perbedaan, penggunaan tanda-tanda (marks)
untuk memisahkan ini dari itu atau untuk menandai apa yang tidak
hadir.
Ucapan adalah sama tekstualnya dengan tulisan, sama mudah
membuat bingung, dan sama sama mudah disalah-tafsirkan. Kita
mempunyai semua argumen-argumen itu yang tidak pernah berakhir,
dimana kata-kata kita hanya menciptakan lebih banyak perbedaan-
perbedaan lagi, bukan kesepakatan. Dan ucapan, jauh dari membuat
berbagai hal atau ide-ide menjadi sepenuhnya jelas dan hadir dan
dengan demikian membuat setiap orang menjadi terdiam, tampaknya,
secara tak terhindarkan, akan memprovokasi lebih banyak ucapan.
Bagaimana saya mengklarifikasi apa yang saya maksudkan? Saya
menggunakan kata-kata, tau tanda-tanda. Tapi, apakah tanda-tanda
ini jelas? Dan sebagainya dan sebagainya.
Tidak ada satupun yang berada di luar rangkaian
ketidakhadiran dan acuan ini, demikian pendapat Derrida. Bahkan
untuk mengucap kata “di dalam” dan “di luar”, (tidak terlepas dari)
menggunakan dan menerapkan kategori-kategori lama yang sama
yang mengasumsikan bahwa semua hal yang baik seperti kehadiran
dan wujud (being) telah dihancurkan oleh hal-hal yang buruk seperti
ketidakhadiran dan ketiadaan. Bahwa pernah ada satu periode waktu,
pernah ada suatu keadaan yang alami, yang bebas dari
ketidakhadiran, perbedaan-perbedaan, dan tekstualitas menyerang
dia hingga dalam kadar tertentu membuat dia menjadi sangat ragu---
sebuah fantasi metafisik.
Tanda-tanda yang terucap atau yang tertulis adalah bersifat
mereproduksi dan menduplikasikan-diri. Penanda-penanda terus
mengalir seperti sebuah aliran sungai. Tidak tempat untuk istirahat
dalam wacana, tidak ada kata akhir, tidak ada jangkar transendental,
tidak ada kebenaran akhir atau kehadiran dimana kita dapat
memerintahkan untuk berhenti pada semua pembicaraan dan semua
tulisan. Bagaimana mungkin seseorang dapat memutuskan apa yang
benar, apa yang otentik, apa yang eksis kecuali melalui wacana?
Ucapan dan “tulisan” (dalam definisi Derrida yang lebih luas)
membentuk suatu sistem yang membungkus dan melingkupi yang
hanya merupakan konteks itu sendiri: jika anda mencari sebuah kata
di dalam kamus, anda mendapatkan lebih banyak kata-kata, dimana
anda kemudian mencari hanya untuk memperoleh lebih banyak kata-
kata lagi, dan seterusnya dan demikian seterusnya. Tak ada satu pun
di luar bahasa yang dapat menjamin kebenarannya, keotentikannya,
kehadirannya, atau maknanya; bukti-bukti, demonstrasi-demonstrasi,
argumen-argumen, pembandingan-pembandingan, dan kontras-
kontras, semua itu adalah gestur-gestur linguistik (“diskursif”). Poin
inti Derrida, kemudian adalah, bukan bahwa tak ada satupun yang
bermakna apapun, tapi lebih berupa, bahwa terdapat lebih banyak
“makna” yang menyebar daripada makna yang dapat dikontrol oleh
seseorang.
Derrida “men-dekonstruksi” beberapa oposisi (hal-hal yang
berlawanan) metafisika kunci, seperti pusat/pinggir dan
kehadiran/ketidakhadiran. Pada masing-masing kasus, dia
menunjukkan bahwa istilah yang pertama kali disebut, tidak pernah
mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient), tapi selalu memahami
hanya dalam relasi untuk istilah yang kedua: sebuah lingkaran
mempunyai sebuah pusat hanya karena mempunyai sebuah “pinggir”
atau perimeter (batas terluar dari sebuah area); sesuatu itu hadir
hanya dalam relasi dengan ketidakhadiran potensialnya dan
ketidakhadiran aktual dari hal-hal lainnya. Ide-ide yang kita
pertimbangkan sebagai “sentral” bagi tradisi Barat adalah bukan
karena mereka, secara jelas dan secara tidak meragukan, menyingkap
suatu kebenaran transendental, tapi karena masyarakat telah
menciptakan mereka secara demikian. Mereka menjadi sentral oleh
suatu proses sejarah.
Jadi, Derrida tidak mengingkari bahwa kebenaran, keindahan,
dan kebaikan itu eksis---karena mereka memang eksis, sebagai fungsi-
fungsi, dalam semua budaya. Tapi lebih berupa, Derrida mengingkari
bahwa mereka adalah realitas-realitas transendental yang eksis di
luar dan menjamin konsep-konsep manusiawi, wacana, dan sejarah.
Singkatnya, orang-orang akan terus bicara dan bicara tanpa ada
akhir, dan tidak ada kebenaran absolut atau kehadiran absolut yang
akan pernah turun dari atas untuk menghentikan mereka. Dimana
semua ini menimbulkan situasi stres dan situasi menyenangkan
sekaligus.
“Desa Global”
Media elektronik yang dimiliki manusia pasca melek huruf (post-literate), membuat dunia ini berkerut dan menyusut menjadi sebuah desa atau suku dimana segala sesuatunya terjadi terhadap setiap orang pada waktu yang sama: setiap orang mengetahui tentang, dan oleh karena itu, berpartisipasi di dalamnya, segala sesuatu yang sedang terjadi di menit pertama ia terjadi. Televisi memberi sifat simultanitas (terjadi pada waktu yang bersamaan) ini pada peristiwa-peristiwa di desa global ini. Marshall McLuhan, Explorations in Communication (1960), Introduction
Marshall McLuhan (1911-1980) begitu intens menjelaskan
keseluruhan budaya Barat bahwa dia membiarkan banyak detail yang
terlewatkan. Bahkan generalisasi-generalisasi sedikit dibelokkan dan
jangkauannya melampaui rengkuhannya; tapi poin-poin utamanya
adalah jelas dan wawasan-wawasannya sangat menarik dan
memesona.
Mcluhan meramalkan suatu pergeseran budaya, secara tak
terduga, yang direkayasa oleh teknologi canggih, terutama sekali oleh
media elektronik. Hasilnya adalah “desa global” demikian dia
menamainya pada tahun 1960. Ini adalah sebuah dunia dimana
peristiwa-peristiwa yang berjauhan lokasinya, dapat dikomunikasikan
dan dialami secara spontan, melalui radio, televisi, dan, setelah
kematiannya, mesin faks dan jaringan komputer. Ruang mengalami
kolaps, waktu dimampatkan, dan dengan terjadinya ini, cair pula
batasan-batasan dari dunia-dunia tradisional dan parokial (pandangan
yang sempit dan terbatas). Seperti hubungan bertetangga dan
negara. Hidup kita menjadi saling terjalin berkelindan dengan semua
orang.
Ini adalah observasi yang fundamental, tapi McLuhan
melangkah lebih jauh lagi. Dia menjelaskan (secara lebih terperinci)
teorinya yang lebih luas dalam The Gutenberg Galaxy (1962), yang
dimulai dengan pendahuluan proses cetak-mencetak di Eropa.
McLuhan mengklaim bahwa penemuan Gutenberg ini lebih besar
maknanya ketimbang membuat buku-buku tersebar dan tersedia
secara lebih luas; ia juga merevolusionerkan kesadaran. Bangsa
Yunani kuno, setelah mengadopsi apfabet fonetik, menjadi mampu
untuk merekam ide-ide dalam urut-urutan yang linear, dan oleh
karena itu, mampu untuk berpikir secara rasional dan linear; proses
mencetak menyebarkannya ke seluruh budaya Barat. Dan dengan
membuat teks-teks menjadi tersedia, proses mencetak ini telah
mengembangkan dan memajukan suatu relasi baru diri manusia
dengan masyarakatnya: budaya-budaya buku (tradisi membaca)
adalah budaya-budaya yang bersifat individualistik dan introspektif,
yang penekanannya bertumpu pada “kebebasan pemikiran” dan
analisa yang bebas dari bias dan bebas dari kepentingan pribadi.
Pada masyarakat yang belum melek huruf, situasinya sangatlah
berbeda. Budaya sebelum membaca buku---budaya oral---dipusatkan
pada pembicaraan dan mendengar; pengetahuan disampaikan oleh
generasi yang lebih tua, dan tradisi (lebih dari inisiatif individu)
mendominasi aktivitas budaya. Dalam analisa McLuhan, pengalaman
berpusat pada sensasi aura adalah lebih konkret dan lebih komunal,
lebih langsung dan dramatik dan emosional, daripada pengalaman
visual yang terutama berlangsung melalui teks-teks. Suatu dunia
suara adalah sebuah dunia tentang gerak dan aktivitas, dimana semua
pengalaman dikonsentrasikan di masa sekarang. Dunia visi, pada sisi
lain, adalah sebuah dunia yang berjarak dan abstraksi, yang tidak
bias. Kebanyakan dari apa yang kita lihat, yang dipertentangkan
dengan mayoritas apa yang kita dengar, bertempat tinggal dalam satu
tempat dan tetap tidak mengalami perubahan. Kebanyakan dari apa
yang kita lihat, yang dipertentangkan dengan mayoritas apa yang kita
dengar, adalah tidak ditujukan kepada kita dan tidak secara langsung
melibatkan kita. Kita berada pada jarak yang lebih jauh dari dunia
visual; kita dapat mengelilinginya, membelakanginya,
menganalisanya, meletakkannya dalam perspektif.
Di periode karirnya yang lebih awal, McLuhan telah
memenangkan nilai-nilai rasionalistik dan linear dari budaya buku,
dimana dia melihatnya terancam oleh radio dan televisi. Dalam karya-
karya ilmiah selanjutnya, dia memperkuat serangan dan pada saat
yang sama menghentikan vonis-vonis tentang nilai. Teknologi-
teknologi baru membuat kita benar-benar kalah, mereka
menghancurkan (secara bertahap) perspektif-perspektif yang
bergantung pada jarak waktu dan ruang, mereka menghancurkan
(secara bertahap) analisa dan dan membuka secara paksa apa yang
tampaknya telah tertutup; tapi, ini tidak harus menjadi sesuatu yang
buruk. Dalam salah satu aspek, proses mengalir, keterpisahan dan
ketakterhubungan, kehadiran yang bersifat abadi dari pengalaman
media massa, dengan menghapus batasan-batasan, membawa kita
lebih dekat kepada realitas yang semakin berjarak lagi, dimana ilmu
fisika telah menunjukkan hal ini sebagai dikonstruksi yang
berdasarkan pada medan-medan terbuka dan kemungkinan-
kemungkinan daripada berdasarkan pada obyek-obyek yang telah
dibakukan (fixed) dan kepastian-kepastian. Dalam pandangan
McLuhan, terdapat sesuatu yang sangat memiskinkan tentang sebuah
budaya yang terobsesi dengan dunia visual ini: budaya semacam ini
sangat tidak menyatu dan menyeluruh, tidak menyentuh kekayaan
dari pengalaman yang dikomunikasikan secara langsung melalui
semua indera.
Media elektronik mengembalikan kita kepada situasi “desa”
dalam banyak cara daripada hanya satu cara. “Sekarang ini,”
ramalan-ramalan McLuhan dalam The Gutenberg Galaxy, “kita
bergerak kembali dengan sangat cepat menuju sebuah dunia tentang
pengalaman mendengar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi secara
simultan dan kesadaran yang komprehensif.” Teknologi-teknologi
baru “men-suku-kan” kita kembali (retribalize), membawa kita
kembali ke periode waktu dimana realitas bersifat lebih langsung dan
lebih dangkal sepenuhnya, dihadapan kemenangan abstraksi,
keberjarakan, dan garis linear satu dimensi, yang begitu sempurnanya
terkandung dalam ilmu pengetahuan mekanistik dari Descartes dan
Newton, dan tempat-tempat perakitan dari pabrik-pabrik di abad dua
puluh. Media massa yang populer, katanya, “tidak menawarkan visi
yang tunggal, tidak menawarkan sudut pandang, tapi menawarkan
suatu mosaik (desain gambar yang harus disusun melalui kepingan-
kepingan gambar agar menjadi utuh) dari kerangka berpikir dan
sikap-sikap dari kesadaran kolektif.” Sekarang ini, “ilmu pengetahuan
dan metode kita tidak memperjuangkan suatu sudut pandang, tidak
mengupayakan metode yang tertutup dan perspektif, tapi
mengupayakan ‘medan’ yang terbuka dan vonis yang ditunda untuk
sementara waktu. Hal sedemikian ini sekarang merupakan satu-
satunya metode yang mampu bertahan dan berkembang dibawah
kondisi-kondisi dari gerakan informasi secara serentak dan saling
ketergantungan total manusia.”
seseorang mungkin merasa enggan untuk mendukung
antusiasme McLuhan ini. Jika semua umat manusia sekarang ini
menjadi satu suku yang berterima kasih kepada CNN dan Internet,
maka, klan-klan dan kerabat-kerabatnya masih mampu untuk
berperilaku yang tidak terpuji. Peristiwa-peristiwa membuktikan
bahwa dalam desa global ini, kita belum menjadi satu keluarga besar
yang bahagia. Ini barangkali setara dengan memberi peringatan
adanya bahaya bahwa ritual magis dari suku ini sekarang,
berdasarkan pengakuan langsung dari pribadi McLuhan sendiri,
kewenangannya diambil alih oleh para pendeta periklanan. “Sekali
lagi,” dia melaporkan dengan sikap netral, siapapun anak kecil yang
lahir di Barat sekarang ini, tumbuh dan berkembang dalam jenis
[kesukuan] dari dunia repetitif magis ini ketika dia mendengar
tayangan iklan-iklan di radio dan TV.” Desa global ini disatukan bukan
hanya oleh aliran informasi dan citra-citara yang bersifat spontan,
tapi juga oleh dari McDonald’s dan film-film Terminator yang merebak
dimana-mana di berbagai penjuru dunia ini. Saya pikir, saya harus
berpartisipasi untuk membaca sebuah buku sekarang ini.
“The Medium Is the Message”
Dalam suatu budaya yang kita punyai, yang telah lama dibiasakan untuk memilah-milah dan membagi berbagai hal sebagai suatu sarana kontrol, ini kadang-kadang agak mengejutkan untuk diingat bahwa, dalam fakta praktikal dan operasional, media ini adalah pesan. Ini sekadar untuk mengatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi dari media apapun secara personal maupun secara sosial---yaitu, terkait dengan perluasan (extension) diri kita---yang dihasilkan dari skala baru, yang diperkenalkan ke dalam urusan-urusan kita oleh masing-masing dari perluasan diri-diri kita ini, atau melalui teknologi baru apa saja.Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (1964)
Jika anda mendapati sindiran dari Marshall McLuhan bahwa “media
adalah pesan” ini agak sedikit membingungkan, jangan merasa
bingun, karena ia memang bersifat samar dan tidak jelas. McLuhan
ingin membuat diri anda bingung untuk memahami apa yang dia
maksudkan---yaitu, dia ingin menjadi “cool”, sebuah istilah yang akan
saya jelaskan berikut ini. Untuk menerjemahkan secara sederhana,
McLuhan sedang mengatakan “media-media yang
mengkomunikasikan mempunyai lebih dari satu pengaruh (pesan)
dibandingkan dengan informasi apa saja yang ia komunikasikan.”
McLuhan memandang teknologi-teknologi komunikasi sebagai
perluasan dari tubuh-tubuh dan indera-indera kita---kamera adalah
perluasan dari mata, radio adalah perluasan dari telinga, dan
seterusnya. Ide besar dia adalah bahwa teknologi-teknologi ini tidak
pernah bersikap netral---bahwa mereka bukan sekadar media-media
yang jelas untuk menyampaikan pesan-pesan. Lebih tepatnya adalah
bahwa ketika mereka memperluas indera-indera kita yang
ditransformasi oleh mereka, dengan mengubah hubungan kita
terhadap ruang dan waktu dan mempengaruhi interaksi-interaksi kita
dengan dunia.
Penemuan tulisan, misalnya, bukan hanya memperluas kuasa
kita untuk berbicara menyeberangi ruang dan waktu, ia juga
membuat mungkin perkembangan dari pemikiran rasional dan
analitik, yang mentransformasikan hubungan-hubungan laki-laki dan
perempuan terhadap alam dan terhadap satu sama lain. Dan
penemuan-penemuan dari mesin cetak dan buku, yang melahirkan
dan mengembangkan tradisi membaca dan berrefleksi yang dilakukan
secara menyendiri, terpisah dari orang-orang lain, adalah hal-hal yang
sangat esensial bagi perkembangan individualisme yang berlangsung
pada abad tujuh belas. “Pesan” (hasil, pengaruh) dari tulisan adalah
pemikiran analitik; “pesan” dari mesin cetak adalah individualisme.
McLuhan, meskipun terlatih sebagai seorang Profesor dalam
bahasa Inggris, adalah sangat dikenal atas tulisan-tulisannya tentang
media elektronik, televisi secara khusus. Dia menyebut televisi
sebagai sebuah media yang bersifat “rileks” (cool), yang disifatkan
dengan keakraban dan privasi, citra-citra yang mengandung definisi
tentang berbagai hal yang remeh (low-definition) dan ide-ide yang
sangat menuntut partisipasi para pemirsanya. (Media “hot” seperti
film dan percetakan, menghadirkan citra-citra yang didefinisikan
secara jelas dan mendetail serta mendorong konsumsi pasif).
Meskipun McLuhan menyetujui kritik-kritik yang menyatakan
bahwa TV telah mengubah masyarakat secara radikal, dia mencibir
upaya-upaya moralistik mereka untuk menyensor atau mempersingkat
program-program tayangan tertentu. Dia mengklaim bahwa isi dari
(pemrogaman) TV adalah tidak relevan; apa yang sedang mengubah
masyarakat, lebih tepatnya, adalah stimulasi media tentang cara-cara
melihat pada dunia secara baru dan lebih aktif, dimana “informasi”
menjadi kurang penting dibandingkan dengan pola-pola merasa dan
keikut-sertaan (oartisipasi). Cara dia yang romantis dengan
mengajukan poin ini adalah bahwa televisi memperkenalkan kembali
anak-anak muda kepada pemikiran “mitis”, “visi yang instan dari
sebuah proses yang kompleks yang biasanya meluas hingga periode
waktu yang lama.
Televisi, menegasikan ruang dan waktu dengan membawa abad-
abad sejarah dan semua sudut-sudut dari belahan dunia ini ke dalam
kamar-kamar kita setiap malam. Dengan kata lain, ia telah membantu
menciptakan suatu “desa global”. Namun, dalam prosesnya, televisi
“mendinginkan” apa yang ia sajikan, dengan mengurangi konflik-
konflik dan membuat datar (membosankan) kepribadian-kepribadian,
membuatnya menjadi mungkin untuk melompat dari meng-cover
peperangan ke iklan komersial produk bir. Definisi yang remeh dan
tidak penting, keikut-sertaan (partisipasi), “pesan” TV yang
berorientasi pada proses, barangkali sangat baik digambarkan dengan
contoh acara-acara TV yang sukses seperti “The People’s Court” dan
“America’s Funniest Home Videos”; kesimpulan-kesimpulan logisnya
adalah bahwa iklan-iklan “gelombang baru” yang elusif (cenderung
rumit) ini dan parade yang bergairah dari pola-pola mitis ini, MTV.
McLuhan meramalkan bahwa transformasi televisi terhadap
masyarakat, pada akhirnya, akan menjadi usang dan tak berguna
lagi---dan ramalannya ini menjadi benar dengan kemunculan buku-
buku komputer dan kematian surat kabar secara perlahan-lahan.
(Semua ini masih terlihat hidup lebih seperti layar-layar TV setiap
tahun, dengan foto-foto warna padi-padian dan grafik-grafik yang
mengandung informasi yang menghibur. Harian USA Today menjual
kotak-kotak yang dibentuk seperti perangkat TV). Tapi, dia juga
mengatakan bahwa ketika citra televisi mencapai ketajaman dan
definisi tentang film, ia akan tidak lagi menjadi televisi, karena ia
tidak lagi menjadi bersifat cool (rileks). Andaikan dia hidup kembali
untuk menyaksikan HDTV (dia meninggal tahun 1980), dia mungkin
sekarang ini akan memprediksi kematian dari tube sebagaimana kita
mengetahuinya.
Virtual Reality (Realitas Maya)
“Realitas virtual” adalah sebuah frasa tentang dunia maya yang
banyak dibicarakan oleh orang-orang sekarang ini, tapi, apakah ia
benar-benar eksis? Tidak---setidaknya menurut beberapa kamus yang
pernah saya lihat. Sebagai bahasa, maka, ia hanya bersifat maya, dan
hal yang sama mungkin juga dapat dikatakan atas realitas yang
dihasilkannya. Cara yang paling sering digunakan oleh mayoritas
orang untuk mengarungi dunia maya adalah dengan memainkan video
game yang sangat dipuja, yang menampilkan “jalan setapak yang
beratap di alam maya” (“virtual arcade”).
Lalu, apa intinya? Intinya adalah bahwa ia akan datang segera
dan memasuki rumah anda. Ketika komputer menjadi semakin kuat,
semakin berpengaruh, dan semakin murah harganya dari hari ke hari,
mereka membuka lebih banyak kemungkinan untuk simulasi-simulasi
yang lebih meyakinkan tentang situasi-situasi kehidupan-nyata.
Realitas yang dihasilkan oleh komputer tentang masa depan ini,
bukan sekadar gambar yang sangat jelas. Ia akan menjadi, kata “nabi-
nabi” suatu gambar berdefinisi tinggi yang dapat anda masuki secara
maya.
Istilah “realitas maya” berkembang berdasarkan jargon
komputer, dimana “maya” aslinya bermakna “tidak hidup, tapi dibuat
tampak nyata melalui software”. (Istilah ini pertama kali digunakan
pada tahun 1959, dalam frasa, “memori maya”, yang masih digunakan
sekarang ini dan yang berarti “ruang hard-disk yang dirancang oleh
sistem software untuk digunakan seolah-olah ia adalah akses memori
secara acak (RAM = Random Access Memory). Dengan demikian,
realitas maya---suatu pengalaman sensoris yang diciptakan oleh
software komputer---suatu simulasi tiga dimensi yang, pada titik
terbaiknya, dapat dilihat, dirasa, didengar, dan tercium seperti
realitas.
Seperti banyak teknologi-teknologi baru lainnya, realitas maya
telah dikembangkan di industri pertahanan (militer) Amerika. Realitas
maya yang sangat mirip dengan aslinya adalah simulator-simulator
pesawat terbang yang dikembangkan untuk melatih pilot-pilot tempur
di akhir tahun 1940-an. Dengan menggunakan simulator-simulator ini,
para pilot dapat menguasai berbagai macam skenario-skenario
berbahaya tanpa membahayakan diri mereka (atau membahayakan
mesin pesawat yang sangat mahal harganya). Satu dekade kemudian,
menurut Howard Rheingold dalam Virtual Reality (1991), sinemator
Hollywood, Morton Helig, telah memikirkan dan merakit “Simulator
Sensorama” pertamanya, suatu ruang-ruang yang bersekat-sekat
dengan jalan setapak yang dilengkapi dengan tangkai pemutar dan
sebuah lempengan ceper untuk memasuki pengalaman maya untuk
mengendarai motor (salah satu dari program-program yang tersedia)
melalui jalanan Brooklyn.
Tapi, alat mekanis (gadget) dari Helig ini, yang melampaui visi
untuk membungkus semua indera, tidak pernah dilirik oleh berbagai
pihak. Baru pada tahun 1980-an, ketika Departemen Pertahanan dan
NASA menyadari potensi penting dari realitas maya (yang kemudian
dipercanggih di M.I.T. dan di tempat-tempat lain) dimana teknologi ini
membutuhkan perhatian serius dan banyak uang. Yang membuat
realitas maya ini melampaui simulasi adalah bahwa bukan cuma
sekadar mengimitasi atau mensimulasi sebuah pengalaman, ia
mensimulasikan lingkungan dan kondisi-kondisi yang memungkinkan
untuk menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang aktual. Ini
adalah realitas yang terjadi dalam suatu lingkungan maya.
Semakin hari, pengalaman maya ini semakin menjadi lebih
akrab. Hingga sekarang ini, basis teknologi dari realitas maya ini---
yang menggunakan helm, “power glove”, goggles, dan komputer
kabel milik perseorangan---secara relatif masih kasar dan belum
matang, terutama dalam aplikasi-aplikasi komersialnya. Tapi, terdapat
ide-ide besar untuk aplikasi-aplikasi mendatang: bangunan-bangunan
virtual yang dapat anda “lalui” sebelum mereka dibangun; komunikasi
maya jarak jauh, dimana anda dapat menjangkau dan mengontak
seseorang yang berjarak ribuan mil; manipulasi virtual dari molekul-
molekul dengan kekuatan tangan seseorang yang terbungkus sarung
tangan (power-gloved hands); perjalanan virtual melalui tubuh
seorang pasien; konferensi bisnis virtual. (Ucapkan selamat tinggal
pada pertemuan bisnis yang membutuhkan banyak biaya ke Vegas
dan Frisco). Ide besar bagi kebanyakan orang, tentu saja, adalah seks
virtual; tapi, saya tidak ingin menganggap baik hal ini pada simulasi
komputer (sangat memprihatinkan) di era kita sekarang.